Anda di halaman 1dari 43

REFERAT

UVEITIS POSTERIOR

Diajukan untuk memenuhi sebagian tugas kepaniteraan klinik dan melengkapi salah

satu syarat menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter di Bagian Ilmu Kesehatan

Mata di RS Islam Jemursari Surabaya

Disusun oleh:
Cici Dita Virlliana (6120019046)

Pembimbing:

dr. Hani Faradis, Sp.M

Departemen / SMF Ilmu Kesehatan Mata

Fakultas Kedokteran Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya

RSI Jemursari Surabaya

2020
LEMBAR PENGESAHAN

Referat

UVEITIS POSTERIOR

Oleh :

Cici Dita Virlliana (6120019046)

Referat “UVEITIS POSTERIOR” ini telah diperiksa, disetujui, dan diterima sebagai

salah satu tugas dalam rangka menyelesaikan studi kepanitraan klinik di bagian Ilmu

Kesehatan Mata RSI Jemursari Surabaya, Fakultas Kedokteran Universitas Nahdlatul

Ulama Surabaya.

Surabaya, 02 Desember 2020

Mengesahkan,

Dokter Pembimbing

dr. Hani Faradis, Sp.M

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.............................................................................1

HALAMAN PENGESAHAN...............................................................2

DAFTAR ISI..........................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN......................................................................4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA...........................................................6

2.1 Anatomi.............................................................................................6

2.2 Definisi..............................................................................................11

2.3 Epidemiologi.....................................................................................11

2.4 Etiologi .............................................................................................12

2.5 Klasifikasi .........................................................................................23

2.6 Patofisiologi......................................................................................24

2.7 Diagnosis...........................................................................................30

2.8 Tatalaksana........................................................................................34

2.10 Komplikasi......................................................................................37

2.11 Prognosis.........................................................................................39

BAB III PENUTUP...............................................................................40

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………….41

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Organ penglihatan manusia terdiri atas banyak elemen yang saling bersinergi

untuk menjalankan fungsinya dengan baik. Salah satu organ yang berperan

penting dalam melaksanakan fisiologis dari penglihatan ini adalah suatu lapisan

vaskular pada mata yang dilindungi oleh kornea dan sklera disebut uvea (Ilyas

S, 2007).

Uveitis merupakan proses peradangan uvea, meliputi iris, badan siliar, dan

koroid. Terminologi uvea berasal dari Bahasa Latin “uva” yang mengandung

arti “anggur”, berdasarkan gambaran struktur anatomi, warna dan geometri iris,

badan siliar, dan koroid. Uveitis merupakan salah satu penyakit mata yang

jarang, namun dapat menimbulkan gangguan berat bahkan kebutaan

(Krisnhaliani, 2020).

Prevalensi uveitis diperkirakan 5,4 dari 1.000 penduduk di Amerika Serikat

pada tahun 2009-2010; 10% kebutaan di Amerika Serikat disebabkan oleh

uveitis. Uveitis juga merupakan penyebab kebutaan keempat paling sering pada

populasi usia produktif di negara berkembang. Etiologi uveitis sangat

heterogen, 30-45% merupakan bagian dari penyakit sistemik (autoimun,

infeksi, keganasan), dapat pula akibat perluasan radang kornea dan sklera,

trauma, atau tidak diketahui (idiopatik) (Krisnhaliani, 2020).

4
Secara anatomi, uveitis dapat diklasifikasikan menjadi uveitis anterior,

intermediet, posterior, dan panuveitis. Uveitis anterior merupakan peradangan

bagian depan mata, sehingga sering dikenal dengan istilah iritis. Uveitis

intermediet dikenal sebagai pars planitis atau cyclitis, merujuk pada peradangan

jaringan di daerah tepat di belakang iris dan lensa mata. Uveitis posterior, juga

dikenal sebagai koroiditis, merujuk pada peradangan koroid yang terletak di

bagian belakang uvea. Uveitis posterior dapat mempengaruhi fungsi fisiologis

retina dan saraf optik, sehingga dapat menyebabkan hilangnya penglihatan

permanen. Uveitis posterior langka tetapi paling sering mengakibatkan

kebutaan; sedangkan uveitis anterior dan intermediet lebih umum dan sering

akut (Krisnhaliani, 2020). Menurut National Organization for Rare Disorders

pada tahun 2005, uveitis posterior sama kejadiannya pada pria dan wanita.

Uveitis posterior juga dapat menyerang hampir semua usia, cenderung lebih

sering pada usia di bawah 40 tahun. Pada studi epidemiologi di Vienna, 18,3%

kasus uveitis merupakan uveitis posterior (Krisnhaliani, 2020).

Dalam referat ini akan dibahas secara menyeluruh mengenai uveitis posterior.

Adapun tujuan pembuatan referat ini sebagai bahan bacaan agar mengetahui

bagaimana cara mendiagnosis uveitis postserior yang disertai definisi,

epidemiologi, patofisiologi, klasifikasi, komplikasi serta prognosis dari uveitis

posterior, serta sebagai syarat kelulusan dalam kepaniteraan klinik ilmu

penyakit mata Rumah Sakit Islam Jermursari.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Traktus Uvealis

Traktus uvealis terdiri atas iris, corpus ciliare dan koroid. Bagian ini

merupakan lapisan vaskuler tengah mata dan dilindungi oleh kornea dan sclera.

Struktur ini ikut mendarahi retina. Uvea dibagi menjadi 3 bagian yaitu iris

dibagian anterior, badan ciliare di tengah dan koroid diposterior (Emmett,

2007).

Gambar 1. Anatomi Uvea

Vaskularisasi uvea dibedakan antara bagian anterior yang diperdarahi oleh 2

buah arteri siliar posterior longus yang masuk menembus sklera di temporal dan

nasal dekat tempat masuk saraf optik dan 7 buah arteri siliar anterior, yang

terdapat 2 pada setiap otot rektus superior, medial, inferior dan satu pada otot

rektus lateral. Arteri siliar anterior dan posterior ini bergabung menjadi satu

6
membentuk arteri sirkulus major pada badan siliar. Uvea posterior mendapat

perdarahan dari 15- 20 buah arteri siliar posterior brevis yang menembus sklera

disekitar tempat masuk saraf optic (Eva, Whitcher, 2007).

Gambar 2. Vaskularisasi Uvea

Persarafan uvea didapatkan dari ganglion siliar yang terletak antara bola mata

dengan otot rektus lateral, 1 cm didepan foramen optik, yang menerima 3 akar

saraf dibagian posterior yaitu (Eva , Whitcher, 2007):

1. Saraf sensoris, yang berasal dari saraf nasosiliaris mengandung serabut saraf

sensoris untuk kornea, iris, dan badan siliar.

7
2. Saraf simpatis membuat pupil berdilatasi, yang berasal dari saraf simpatis

yang melingkari arteri karotis; mempersarafi pembuluh darah uvea dan

untuk dilatasi pupil.

3. Akar saraf motor akan memberika saraf parasimpatis untuk mengecilkan

pupil. Pada ganglion siliar hanya saraf parasimpatis yang melakukan sinaps.

Iris

Iris adalah perpanjangan corpus ciliare ke anterior. Iris berupa permukaan

pipih yang dengan apertura yang bulat yang terletak ditengah, pupil. Iris

terletak bersambungan dengan permukaan anterior lensa, memisahkan bilik

mata depan dari bilik mata belakang, yang masing-masing berisi aqueos humor.

Didalam stromairis terdapat sfingter dan otot – otot dilatator. Kedua lapisan

berpigmen pekat pada permukaan posterior iris merupakan perluasan

neuroretina dan lapisan epitel pigmen retina ke arah anterior (Eva, Whitcher,

2007).

Pendarahan iris didapat dari circulus major iris. Kapiler- kapiler iris

mempunyai lapisan endotel yang tak berlubang (nonfenestrated) sehingga

normalnya tidak membocorkan fluoresin yang disuntikan secara intravena.

Persarafan sensoris iris melalui serabut-serabut dalam nervi ciliares (Eva,

Whitcher, 2007).

Iris mengendalikan banyaknya cahaya yang masuk kedalam mata. Ukuran

pupil pada prinsipnya ditentukan oleh keseimbangan antara konstriksi aktivitas

8
parasimpatis yang dihantarkan melaui nervus kranialis III dan dilatasi yang

ditimbulkan oleh aktivitas simpatis (Eva, Whitcher, 2007).

Corpus ciliare

Corpus ciliare berbentuk segitiga pada potongan melintang, membentang

kedepan dari ujung anterior koroid ke pangkal iris (sekitar 6 mm). Corpus

ciliare terdiri atas zona anterior yang berombak-ombak, pars plicata (2 mm),

dan zona posterior yang datar, pars plana (4 mm). Processus ciliaris berasal dari

pars plicata. Processus ciliaris ini terutama terbentuk dari kapiler dan vena yang

bermuara ke vena-vena verticosa. Kapiler –kapilernya besar dan berlubang-

lubang sehingga membocorkan fluoresin yang disuntikn secara intravena. Ada

dua lapisan epitel ciliaris: satu lapisan tanpa pigmen disebelah dalam, yang

merupakan perluasan neuroretina ke anterior; dan satu lapisan berpigmen

disebelah luar, yang merupakan perluasan epitel pigmen retina. Processus

ciliaris dan epitel ciliares pembungkusnya berfungsi sebagai pembentuk

aqueous humor (Eva, Whitcher, 2007).

Radang badan siliar akan mengakibatkan melebarnya pembuluh darah di

daerah limbus, yang akan mengakibatkan mata merah yang merupakan

gambaran karakteristik peradangan intraocular (Eva, Whitcher, 2007).

Musculus ciliaris, tersusun dari gabungan serat-serat longitudinal, sirkuler dan

radial. Fungsi serat-serat sirkular adalah untuk mengerutkan dan relaksasi serat-

serat zonula, yang berorigo dilembah-lembah diantara processus ciliares. Otot

ini mengubah tegangan pada kapsul lensa sehingga lensa dapat mempunyai

9
berbagai focus baik untuk objek berharak dekat maupun yang berjarak jauh

dalam lapangan pandang (Eva, Whitcher, 2007).

Serat-serat longitudinal musculus ciliaris menyisip kedalam anyaman

trabekula untuk mempengaruhi besar porinya. Bila musculus ciliaris

berkontraksi akan membuka anyaman trabekula dan mempercepat pengaliran

cairan mata melalui sudut bilik mata. Pembuluh-pembuluh darah yang

mendarahi corpus ciliare berasal dari circulus arteriosus major iris. Persarafan

sensoris iris melalui saraf-saraf ciliaris (Eva, Whitcher, 2007).

Koroid

Koroid adalah segmen posterior uvea, di antara retina dan sclera. Koroid

tersusun atas tiga lapis pembuluh darah koroid; besar, sedang, dan kecil.

Semakin dalam pembuluh terletak didalam koroid, semakin lebar lumennya.

Bagian dalam pembuluh darah koroid dikenal sebagai koriokapilaris. Darah dari

pembuluh koroid dialirkan melalui empat vena vorticosa, satu di tiap kuadran

posterior. Koroid disebelah dalam dibatasi oleh membrane Bruch dan disebelah

luar oleh sklera. Ruang suprakoroid terletak diantara koroid dan sklera. Koroid

10
melekat erat ke posterior pada tepi-tepi nervus opticus. Disebelah anterior,

koroid bergabung dengan korpus ciliare (Eva, Whitcher, 2007).

B. Definisi Uveitis Posterior

Uveitis posterior merupakan peradangan lapisan koroid yang dapat pula

melibatkan jaringan sekitar, meliputi vitreus, retina, saraf optik, dan pembuluh

darah retina yang sebagian besar berhubungan dengan penyakit sistemik

(Krisnhaliani, 2020).

C. Epidemiologi

Menurut National Organization for Rare Disorders pada tahun 2005, uveitis

posterior sama kejadiannya pada pria dan wanita. Uveitis posterior juga dapat

menyerang hampir semua usia, cenderung lebih sering pada usia di bawah 40

tahun (Krisnhaliani, 2020). Pada studi epidemiologi di Vienna, 18,3% kasus

uveitis merupakan uveitis posterior. Sebagian besar pasien uveitis di UK

menunjukkan variasi dalam hal prevalensi relatif berbagai bentuk uveitis.

Uveitis anterior sebanyak 28-66 % kasus, uveitis intermediate 5-15 %, uveitis

posterior 19-51 %, dan panuveitis 7-18 %. (Yanoff, 2009).

Insiden uveitis anterior di negara maju lebih tinggi dibandingkan negara

berkembang karena ekspresi human leukocyte antigen (HLA-B27) yang

merupakan faktor presdisposisi uveitis anterior, lebih tinggi di negara maju.

Uveitis posterior menjadi penyebab kebutaan kelima di negara berkembang

seperti Amerika selatan, India, dan Afrika karena tingginya penyakit infeksi

khususnya toksoplasmosis, tuberkulosis, HIV dan sifilis (Ratna, 2016).

11
Uveitis yang paling banyak di temui adalah infeksi baru kemudian imun

proses. Sementera di RS Dr Cipto Mangunkusumo dari tahun 2006 sampai

2010 dari sebanyak 772 pasien dari 932 uveitis untuk infeksi adalah

toksoplasmosis 219 (28.4%), CMV retinitis 112 (14.5%), TBC 45 (5.8%),

herpes simplex 20 (2.6%), dan sifilis 5 (0.6%).

D. Etiologi

Menurut etiologinya, uveitis posterior dapat diklasifikasikan berdasarkan

penyebab infeksi dan non-infeksi. Penyebab infeksi meliputi infeksi bakteri,

jamur, parasit, dan virus. Beberapa patogen yang diketahui, yaitu Toxoplasma

gondii, Mycobacterium tuberculosis, Treponema pallidum, Bartonella, Herpes

Simplex Virus (HSV), Varicella Zoster Virus(VZV), Cytomegalovirus (CMV),

dan Human Immunodeficiency Virus (HIV). Penyebab non-infeksi meliputi

kelainan imunologi, alergi, keganasan, ataupun penyebab idiopatik. Sekitar

60% kasus uveitis posterior akibat masalah intrinsik mata dan 40% lainnya

akibat masalah autoimun, infeksi, dan/atau trauma pada mata. Beberapa

gangguan yang dikaitkan dengan uveitis posterior adalah koroiditis multifokal,

birdshot choroidopathy, sindrom Behcet, ankylosing spondylitis, penyakit

Lyme, sindrom Vogt-Koyanagi-Harada, sarkoidosis, neoplasma, dan psoriasis.

Namun demikian, patogenesis umum uveitis posterior masih belum dapat

dijelaskan. Pada anak-anak, kelainan ini sering dikaitkan dengan juvenile

rheumatoid arthritis (Krisnhaliani, 2020).

Adapun beberapa etiologi dari uveitis ialah:

12
1. Infeksi

a. Uveitis tuberculosis

Tuberkulosis dapat menyebabkan berbagai jenis uveitis, pada uveitis

posterior dapat timbul koroiditis, tetapi memerlukan perhatian khusus bila

terdapat keratic precipitate granulomatosa atau granuloma koroid atau

granuloma iris. Granuloma-granuloma atau tuberkel, tersebut mengandung

sel epithelial dan sel raksasa. Nekrosis perkijuan yang khas ditemukan

pada pemeriksaan histopatologik. Walaupun infeksi berasal dari suatu

focus primer di suatu tempat di dalam tubuh, uveitis tuberkulosis jarang

ditemukan pada pasien-pasien tuberkulosis paru aktif. Temuan yang khas

pada pasien ini adanya mutton fat keratic precipitate, nodul busacca dan

posterior sinekia (Agrawal et al, 2010).

Gambar. Tuberkel Koroid pada TB milier berupa nodul putih keabu-


abuan (Ratna, 2016).
b. Toxoplasmosis

Sebanyak 20-60% kasus uveitis posterior disebabkan oleh T.Gondii

dengan gejala utama necrotizing chorioretinitis. Toxoplasma gondii,

suatu protozoa intrasel obligat. Lesi ocular mungkin didapat in utero atau

13
muncul sesudah infeksi sistemik. Gejala-gejala konstitusional mungkin

ringan dan mudah terlewatkan. Kucing peliharaan dan spesies kucing

lainnya berperan sebagai hospes definitive parasite ini. Wanita-rentan

yang terkena selama kehamilan dapat menularkan penyakit ke janinnya,

yang bisa berakibat fatal. Sumber infeksi pada manusia adalah ookista di

tanah atau debu di udara, daging kurang matang yang mengadnugn

bradiozit (parasite bentuk kista), dan takizoit (bentuk proliferative) yang

ditularkan melalui plasenta. Pasien retinokoroiditis mengeluhkan floaters

dan penglihatan kabur. Pada kasus-kasus yang berat, dapat pula disertai

nyeri dan fotofobia. Lesi okularnya terdiri atas sejumlah daerah putih

halus retinokoroiditis nekrotik fokal yang bisa kecil atau besar, tungga

atau multiple. Lesi edema yang aktif sering didapatkan bersebelahan

dengan parut retina yang telah sembuh. Pada retina dapat terjadi vaskulitis

dan perdarahan. Edema macula kistoid bisa menyertai lesi pada macula

atau didekatnya. Iridosiklitis sering terlihat pada pasien pasien dengan

infeksi berat dan tekanan intraokularnya bisa meningkat (Agrawal et al,

2010).

14
Gambar. Retinokoroiditis Toksoplasmosis. Papil bulat, batas tidak
tegas dengan eksudat berwarna putih kekuningan di daerah makula
(Ratna, 2016).

c. Sifilis

Sifilis merupakan penyebab uveitis yang jarang, tetapi dapat

disembuhkan. Peradangan intraocular hampir seluruhnya terjadi pada

infeksi stadium kedua dan ketiga, dan semua jenis uveits bisa terjadi.

Retinitis atau neuritis optic sering menyertai. Atrofi luas dan hyperplasia

epitel pigmen retina dapat terjadi pada stadium lanjut jika peradangan

dibiarkan tanpa diobati (Agrawal et al, 2010). Di iris dapat dijumpai nodul

kekuningan ( roseola) yang merupakan dilatasi kapiler iris. Gejala lain

korioretinitis, neuritis optik, dan neuroretinitis. Menurut Amaratunge et al

menyatakan sifilis lebih sering menyerang segmen posterior dan

ketelibatan segmen anterior mengarah pada koinfeksi dengan HIV (Ratna,

2016).

d. Herpes virus

15
Uveitis yang disebabkan oleh virus herpes, biasanya penyebabnya ada

dua yaitu virus herpes simpleks dan virus varicella zoster. Biasanya untuk

mengetahui penyebab pasti di antara kedua virus tersebut agak sulit.

Namun biasanya virus herpes simpleks mengenai anak-anak dan dewasa

muda, sedangkan virus varicella zoster mengenai orang lanjut usia atau

orang yang immunocompromised. Selain itu, virus herpes simpleks

menimbulkan vesikel-vesikel bergerombol di kulit penderita dan terdapat

edema, sedangkan vesikel yang ditimbulkan oleh virus varicella zoster

terpisah-pisah. Manifestasi klinis yang timbul biasanya hanya pada satu

mata (unilateral), penglihatan kabur, mata sakit dan merah, fotofobia. Pada

pemeriksaan akan didapatkan hipopion, hifema, tekanan intraocular

meningkat, iris atrofi sektoral, edema kornea (Agrawal et al, 2010).

e. Cytomegalovirus (CMV)

Infeksi oportunistik yang paling umum adalah retinitis CMV. Awalnya

ditemukanlebih dari 1/3 pasien AIDS, namun populasi beresiko telah

berkurang secara bermaknasejak berkembangnya terapi antivirus yang

sangat aktif dalam terapi AIDS. Khas terjadi pada pasien dengan hitung

sel CD4 + dan leukosit 5/ μl. Pasien biasanya mengeluh penglihatan kabur

atau floaters. Diagnosis penyakit AIDS biasanya telah ditegakkan

dansering ditemukan tampilan AIDS lainnya seperti retinopati CMV yang

terdiri dari area retina keputihan berhubungan dengan perdarahan disertai

likenifikasi hingga terlihat seperti keju softage. Lesi itu dapat mengancam

16
makula atau lempeng optik dan biasanya terdapat sedikit inflamasi pada

vitreus (Ilyas, 2005).

Gambar. Retina yang terkena Cytomegalovirus

f. Leptospirosis

Uveitis terjadi pada 10% pasien yang terinfeksi spirochaeta leptospira.

Manusia adalah pejamu aksidental, yan paling sering terinfeksi akibat

berkontak dengan atau menelan air yang terinfeksi. Binatang liar dan

peliharaan-pengerat, anjing, babi, dan sapi adalah pejamu alam dan

mengeluarkan sejumlah besar organisme infeksius melalui urinenya.

Petani, dokter hewan, dan orang-orang yang bekerja atau berenang di air

yang berasal dari daerah pertanian memiliki risiko yang tinggi untuk

terkena penyakit ini. Gejala-gejala konstitusional yang sering timbul

adalah demam, malaise, dan sakit kepala. Pada pasien-pasien yang tidak

diobati, insiden gagal ginjal dan kematian dapat mencapai 30%. Uveitis

bisa timbul dalam bentuk apapun tetapi khasnya difus dan sering disertai

hipopion serta vaskulitis retina. Organisme hidup hanya dapat dibiakkan

pada awal infeksi (Agrawal et al, 2010).

17
g. Onkosersiasis

Onkosersiasis disebabkan oleh Onchocerca volvulus. Penyakit ini

diderita sekitar 15 juta orang di Afrika dan amerika Tengah dan

merupakan penyebab utama kebutaan. Onkosersiasis ditularkan oleh

Simulim damnosum, lalat hitam yang berkembang biak di daerah-daerah

berarus deras sehingga terdapat istilah “buta sungai”. Mikrofilaria yang

dibawa lalat dari kulit, berkembang menjadi larva dan menjadi cacing

dewasa dalam 1 tahun. Parasit dewasa membentuk nodul-nodul kulit

dengan diameter 5-25 mm di badan, paha, lengan, kepala dan bahu.

Mikrofilaria menyebabkan rasa gatal, dan penyembuhan lesi kulit dapat

menimbulkan hilangnya elastisitas kulit serta depigmentasi kulit (Agrawal

et al, 2010).

Kornea menampakkan keratitis numularis dan keratitis sclerosis.

Mikrofilaria yang berenang aktif di bilik mata depan tampak seperti

benang-benang perak. Mikrofilaria yang mati menimbulkan reaksi radang

hebat seperti uveitis, vitritis, dan retinitis yang berat. Mungkin terlihat

retinokoroiditis folk. Atrofi optic dapat terjadi sekunder akibat glaucoma

(Agrawal et al, 2010).

2. Non-Infeksi (Autoimun)

a. Syndrome Behcet

Ditemukan pada usia 20-40 tahun, pria lebih banyak dari

wanita.Penyebab diduga suatu proses imunologik tetapi virus sebagai

18
penyebab tidak dapat disingkirkan. Walaupun memiliki banyak gambaran

penyakit hipersensitivitas tipe lambat, adanya perubahanmencolok kadar

komplemen serum pada permulaan serangan mengisyaratkan

suatugangguan kompleks imun. Baru-baru ini pada pasien Behcet dapat

dideteksi adanya kompleks imun berkadar tinggi dalam darah. Sebagian

besar pasien dengan gejala mata positif untuk HLA-B51, suatu subtipe

HLA-B5 . Ditandai 4 kelainan yaitu :

 Uveitis (iridosiklitis, retinitis, retinokoroiditis). Pada

dasarnyadidapatkan peri arteritis dan end arteritis yang

menyebabkanvaskulitis obliteratif sehingga dapat terjadi

iskemi retina, perdarahan retina, serta ablasi. Bila terdapat

hipopion maka hal inimerupakan gejala yang lebih lanjut.

 Kelainan pada rongga mulut berupa stomatitis aftosa yang

dapatmengenai bibir, lidah, mukosa bukal, palatum durum

serta palatummolle.

 Kelainan kulit berupa eritema nodusum, folikulitis

sertahipersensitivitas kulit.

 Kelainan genital berupa ulserasi pada alat genital pria

atauwanita. Pengobatan sering berupa pemberian

imunosupresanmultipel (mis: steroid, siklosporin, azatioprin),

walaupundemikian hasil akhir penglihatan tetap buruk pada

25% kasus ( Voughan, 2000).

19
b. Sindrom Vogt-Koyanagi-Harada (VKH)

Terdiri dari peradangan uvea pada satu atau kedua mata yang ditandai

oleh iridosiklitisakut, koroiditis bebercak dan pelepasan serosa retina.

Penyakit ini biasanya diawali olehsuatu episode demam akut disertai nyeri

kepala dan kadang-kadang vertigo. Pada beberapa bulan pertama penyakit

dilaporkan terjadi kerontokan rambut bebercak atau timbul uban.

Walaupun iridosiklitis awal mungkin membaik dengan cepat, perjalanan

penyakit di bagian posterior sering indolen dengan efek jangka panjang

berupa pelepasan serosa retina dan gangguan penglihatan.Pada sindrom

Vogt-Koyanagi-Harada diperkirakan terjadi hipersensitivitas tipelambat

terhadap struktur-struktur yang mengandung melanin. Tetapi virus sebagai

penyebab belum dapat disingkirkan. Diperkirakan bahwa suatu gangguan

atau cedera,infeksi atau yang lain, mengubah struktur berpigmen di mata,

kulit dan rambutsedemikian rupa sehingga tercetus hipersentivitas tipe

lambat terhadap struktur-struktur tersebut. Baru-baru ini diperlihatkan

adanya bahan larut dari segmen luar lapisanfotoreseptor retina (antigen-S

retina) yang mungkin menjadi autoantigennya. Pasiensindrom Vogt-

Koyanagi-Harada biasanya adalah Oriental, yang mengisyaratkan

adanyadisposisi imunogenetik (Wijaya, 1993).

c. Juvenile Rheumatoid Arthritis

Anterior uveitis terjadi pada penderita JRA yang mengenai beberapa

persendian. Sekitar 20% anak penderita arthritis idiopatik juvenillis (JIA)

disertai dengan iridosiklitis non-granulomatosa bilateral kronik. JRA lebih

20
banyak mengenai anak perempuan 4-5 kali lebih sering dibanding anak

lelaki. Uveitis pada JIA biasanya terdeteksi pada usia 5-6 tahun setelah

timbulnya katarak (leukokoria), perbedaan warna kedua mata

(heterokromia), perbedaan ukuran atau bentuk pupil (anisokor), atau

gangguan penjajaran mata (strabismus). Kelainan-kelainan ini sering kali

baru ditemukan pada uji penyaringan penglihatan di sekolah. Tidak ada

korelasi antara onset arthritis dan uveitis; uveitis dapat muncul lebih dulu

hingga 10 tahun sebelum arthritis. Lutut adalah sendi yang paling sering

terkena. Tanda utama penyakit ini adalah sel dan flare dalam bilik mata

depan, keratic precipitate putih berukuran kecil sampai sedang dengan

atau tanpa bintik-bintik fibrin pada endotel, sinekia posterior-yang sering

menimbulkan seclusion pupil, dan katarak. Keratopati pita, glaukoma

sekunder, edema macula kistoid juga bisa ditemukan dan menimbulkan

penurunan penglihatan. Merupakan suatu anjuran pada semua anak yang

menderita JRA untuk diperiksa kemungkinan terdapatnya uveitis anterior

(Agrawal et al, 2010).

d. Lens-induced uveitis

Uveitis terinduksi lensa (uveitis fakogenik) adalah suatu penyakit

autoimun terhadap antigen lensa. Hingga kini belum ada data yang

mendukung bahwa materi lensa itu sendirilah yang toksik. Jadi, istilah

uveitis fakotoksik sebaiknya dihindari. Kasus klasik terjadi bila lensa

mengalami katarak hipermatur; kapsul lensa bocor dan materi lensa masuk

ke bilik mata depan dan belakang. Materi ini menimbulkan reaksi radang

21
yang ditandai dengan pengumpulan sel plasma, fagosit mononukear dan

sedikit sel polimorfonuklear. Gejala khas uveitis anterior, seperti nyeri,

fotofobia, dan penglihatan kabur sering ditemukan. Uveitis teinduksi lensa

dapat pula terjadi paska trauma pada lensa atau paskaoperasi katarak

dengan sisa materi lensa yang tertinggal (Agrawal et al, 2010).

Glaukma fakolitik adalah komplikasi umum pada uveitis terinduksi lensa

(Agrawal et al, 2010).

e. Lupus eritematosus sistemik

f. Granulomatosis wegener

g. Oftalmika simpatika

h. Vaskulitis retina

3. Malignant

a. Limfoma intraokular

b. Melanoma maligna

c. Leukimia

d. Lesi metastatik (Vaughan, 2013).

4. Idiopatik (tidak diketahui )

a. Sarcoidosis

Sarkoidosis adalah penyakit granulomatosa kronik yang belum

diketahui penyebabnya; biasanya terjadi pada decade keempat atau kelima

kehidupan. Kelainan paru ditemukan pada lebih dari 90% pasien.

Nyatanya, hampir seluruh sistem organ tubuh dapat terlibat, termasuk

22
kulit, tulang, hati, limpa, system saraf pusat, dan mata. Reaksi jaringan

yang terjadi jauh lebih ringan daripada uveitis tuberkulosis dan jarang

disertai perkijuan. Reaksi alergi pada uji kulit mendukung diagnosis

sarkoidosis. Bila kelenjar parotis terkena, penyakit ini disebut demam

uveoparotis (Heerfordt), bila kelenjar lakrimal terkena disebut sindrom

Mikulicz (Agrawal et al, 2010).

Uveitis terjadi pada sekitar 25% pasien sarkoidosis sistemik. Sama

halnya dengan tuberkulosis, setiap jenis uveitis bisa ditemukan, tetapi

sarkoid memerlukan perhatian khusus bila uveitisnya granulomatosa atau

terdapat flebitis retina, terutama pada pasien-pasien ras kulit hitam

(Agrawal et al, 2010).

b. Koroiditis serpiginosa

c. Retinokoroidopati (birdshot)

d. Epiteliopati pigmen retina

e. Multiple evanescent white dot syndrome (Vaughan, 2013).

E. Klasifikasi

Klasifikasi berdasarkan anatomis (Agrawal et al, 2010):

23
Gambar. Pembagian Uveitis berdasarkan Lokasi Anatomis Lesi

1. Uveitis anterior

a. Iritis: peradangan terbatas pada iris

b. Iridosklitis: peradangan pada iris dan badan siliar

2. Uveitis intermediet

Uveitis intermediet disebut juga siklitis, uveitis perifer atau pars planitis,

adalah jenis peradangan intraocular terbanyak kedua. Tanda uveitis

intermediet yang terpenting adanya peradangan korpus siliaris pars

plana, retina perifer dan vitreus.

3. Uveitis posterior

Termasuk di dalam uveitis posterior adalah retinitis, koroiditis,

vaskulitis retina, dan papilitis, yang bisa terjadi sendiri-sendiri atau

bersamaan.

4. Panuveitis

Inflamasi pada seluruh uvea.

24
F. Patofisiologi

Peradangan uvea biasanya unilateral, dapat disebabkan oleh efek

langsung suatu infeksi atau merupakan fenomena alergi. Bentuk uveitis

paling sering terjadi adalah uveitis anterior akut (iritis), umumnya unilateral

dan ditandai dengan adanya riwayat sakit, fotopobia dan penglihatan kabur,

mata merah, dan pupil kecil serta ireguler. Penyakit peradangan traktus

uvealis umumnya unilateral, biasanya terjadi pada orang dewasa dan usia

pertengahan. Pada kebanyakan kasus penyebabnya tidak diketahui.

Berdasarkan patologi dapat dibedakan dua jenis besar uveitis: yang

nongranulomatosa (lebih umum) dan granulomatosa. Uveitis non-

granulomatosa terutama timbul di bagian anterior traktus ini, yaitu iris dan

korpus siliaris. Terdapat reaksi radang, dengan terlihatnya infiltrat sel-sel

limfosit dan sel plasma dengan jumlah cukup banyak dan sedikit

mononuklear. Uveitis yang berhubungan dengan mekanisme alergi

merupakan reaksi hipersensitivitas terhadap antigen dari luar (antigen

eksogen) atau antigen dari dalam (antigen endogen) (Wijana, 2011).

Badan siliar berfungsi sebagai pembentuk cairan bilik mata (humor

aqueus) yang memberi makanan kepada lensa dan kornea. Radang iris dan

badan siliar menyebabkan rusaknya blood aqueous barrier sehingga terjadi

peningkatan protein, fibrin, dan sel-sel radang dalam humor akuos. Pada

pemeriksaan biomikroskop (slit lamp) hal ini tampak sebagai flare, yaitu

25
partikel-partikel kecil dengan gerak Brown. Dengan adanya peradangan di

iris dan badan siliar, maka timbullah hiperemi yang aktif, pembuluh darah

melebar, pembentukan cairan bertambah, sehingga dapat menyebabkan

glaukoma sekunder. Selain oleh cairan bilik mata, dinding pembuluh darah

dapat juga dilalui oleh sel darah putih, sel darah merah, dan eksudat yang

akan mengakibatkan tekanan osmose cairan bilik mata bertambah dan dapat

mengakibatkan glaucoma (Wijana, 2011).

Cairan dengan lain-lainya ini, dari bilik mata belakang melalui celah

antar lensa iris, dan pupil ke kamera okuli anterior. Di kamera okuli

anterior, oleh karena iris banyak mengandung pembuluh darah, maka

suhunya meningkat dan berat jenis cairan berkurang, sehingga cairan akan

bergerak ke atas. Di daerah kornea karena tidak mengandung pembuluh

darah, suhu menurun dan berat jenis cairan bertambah, sehingga di sini

cairan akan bergerak ke bawah. Sambil turun sel-sel radang dan fibrin dapat

melekat pada endotel kornea, membentuk keratik presipitat yang dari depan

tampak sebagai segitiga dengan endapan yang makin ke bawah semakin

besar. Di sudut kamera okuli anterior cairan melalui trabekula masuk ke

dalam kanalis Schlemn untuk menuju ke pembuluh darah episklera. Bila

keluar masuknya cairan ini masih seimbang maka tekanan mata akan berada

pada batas normal 15-20 mmHg. Sel radang dan fibrin dapat pula

menyumbat sudut kamera okuli anterior, sehingga alirannya terhambat dan

26
terjadilah glaukoma sekunder. Galukoma juga bisa terjadi akibat trabekula

yang meradang atau sakit (Wijana, 2011).

Pada proses peradangan yang lebih akut, dapat dijumpai penumpukan

sel-sel radang didalam bilik mata depan (BMD) yang disebut hipopion,

ataupun migrasi eritrosit ke dalam BMD dikenal dengan hifema. Akumulasi

sel-sel radang dapat juga terjadi pada perifer pupil yang disebut Koeppe

nodules, bila dipermukaan iris disebut Busacca nodules (Wijana, 2011).

Sel-sel radang, fibrin, dan fibroblast dapat menimbulkan perlekatan

antara iris dengan kapsul lensa bagian anterior yang disebut sinekia

posterior, ataupun antara iris dengan endotel kornea yang disebut dengan

sinekia anterior. Pada kasus berat dapat terbentuk bekuan fibrin besar atau

hipopion di kamera okuli anterior. Dapat pula terjadi perlekatan pada bagian

tepi pupil, yang disebut seklusio pupil. Perlekatan-perlekatan tersebut,

ditambah dengan tertutupnya trabekular oleh sel-sel radang, akan

menghambat aliran akuos humor dari bilik mata belakang ke bilik mata

depan sehingga akuos humor tertumpuk di bilik mata belakang dan akan

mendorong iris ke depan yang 29 tampak sebagai iris bombe dan

menyebabkan sudut kamera okuli anterior menyempit, dan timbullah

glaukoma sekunder. Perlekatan-perlekatan iris pada lens menyebabkan

bentuk pupil tidak teratur (Wijana, 2011).

27
Pupil dapat pula diisi oleh sel-sel radang yang menyebabkan organisasi

jaringan dan terjadi oklusi pupil. Peradangan badan siliar dapat pula

menyebabkan kekeruhan pada badan kaca, yang tampak seperti kekeruhan

karena debu. Dengan adanya peradangan ini maka metabolisme pada lensa

terganggu dan dapat mengakibatkan katarak. Pada kasus yang sudah lanjut,

kekeruhan badan kaca pun dapat mengakibtakan organisasi jaringan yang

tampak sebagai membrana yang terdiri dari jaringan ikat dengan

neurovaskularisasi dari retina yang disebut retinitis proloferans. Pada kasus

yang lebih lanjut lagi dapat mengakibatkan ablasi retina (Wijana, 2011).

G. Manifestasi

Gejala dan tanda :

a. Penurunan penglihatan : penurunan ketajaman penglihatan dapat terjadi

pada semua jenis uveitis posterior, tetapi terutama dijumpai pada

kondisi-kondisi dengan lesi makula atau ablatio retina. Pemeriksaa

defek pupil aferen harus dikerjakan pada setiap pasien bila ada

menandakan disfungsi nervus opticus atau kerusakan retina luas

b. Injeksi okular : kemerahan mata jarang terjadi pada uveitis yang terbatas

di segmen posterior, tetapi dapat terlihat pada uveitis difus

c. Nyeri : rasa nyeri kurang khas pada uveitis posterior, tetapi dapat terjadi

pada endoftalmitis, skleritis posterior, atau neuritis optik terutama bila

disebabkan oleh sklerosis multiple

28
Tanda tanda yang penting untuk mendiagnosis uveitis posterior antara

lain :pembentukan hipopion, granuloma, glaukoma, vitritis, morfologi lesi,

vaskulitis, atau panuveitis

a. Hipopion : kelainan segmen posterior yang mungkin disertai dengan

hipopion dan perdangan anterior yang nyata yaitu : sifilis, tuberkulosis,

sarkoidosis, endoftalmitis endogen, penyakit behcet dan leptospirosis.

Bila dijumpai kondisi ini, uveitisnya akan lebih tepat disebut sebagai

panuveitis

b. Jenis uveitis : uveitis granulomatosa anterior bisa di sertai kondisi-

kondisi yang mempengaruhi retina posterior dan koroid seperti sifilis,

tuberkulosis, sarkodosis, toksoplasmosis, sindrom Vogt-Koyanagi-

Harada dan oftalmika simpatika. Disisi lain uveitis anterior non-

granulomatosa mungkin berkaitan dengan penyakit behcet, sindrom

nekrosis retina akut, limfoma intraokular, atau sindrom idiopatik.

c. Glaukoma : hipertensi okular yang berkaitan dengan uveitis posterior

dapat disebabkan oleh toksoplasmosis, sindrom nekrosis retina akut oleh

virus herpes simplek atau vericella zoster, sarkoroidosis atau sifilis

d. Vitritis : uveitis posterior dapat disertai dengan vitritis biasanya karena

kebocoran dari fokus-fokus perdangan dan pembuluh darah retina atau

dari caput nervi optik. Vitritis berat cenderung terjadi pada infeksi yang

melibatkan kutub posterior seperti retinokoroiditis atau endoftalmitis

bakterial sedangkan perdangan ringan –sedang bisannya menimbulkan

kelainan peradangan primer di koroid dan retina luar (Vaughan , 2013).

29
Menurut (Khurana, 2007). Uveitis posterior mengacu pada perdangan

pada koroid (choroiditis) berbagai gejala visual yang dialami oleh

choroiditis :

a. Penglihatan. Hal ini biasanya ringan karena kabut vitreous, tetapi

bisa berat pada choroiditis central.

b. Photopsia. Ini adalah sensasi subjektif dari kilatan cahaya yang

dihasilkan akibat iritasi batang dan kerucut.

c. Black spots floating. Keluhan yang sangat umum, terjadi karena

gumpalan eksudatif dalam vitreous.

d. Metamorphopsia. Pasien melihat gambar terdistorsi dari objek,

akibat perubahan dalam kontur retina yang disebabkan oleh patch

dari choroiditis.

e. Micropsia yang dihasilkan akibat pemisahan sel visual adalah

keluhan umum.

f. Makropsia yaitu, persepsi objek yang lebih besar dari mereka.

g. Scotoma positif, yaitu, persepsi tempat besar tetap dalam bidang

penglihatan.

Lesi inflamasi segmen posterior umumnya perlahan, tetapi beberapa

bisa disertai dengan hilangnya penglihatan tiba-tiba (Eva, Whitcher,

2007).

30
H. Diagnosis

Uveitis posterior dapat terjadi karena peradangan koroid dan retina,

sebagai perluasan dari kelainan kornea dan sklera, atau akibat kelainan

sistemik. Diagnosis klinis biasanya tidak sulit, namun mencari diagnosis

etiologi merupakan masalah utama. Langkah penting diagnosis uveitis

posterior adalah menentukan penyebab dasar (Krisnhaliani, 2020).

1. Anamnesis

Anamnesis dan pemeriksaan mata merupakan tahap awal diagnosis.

Uveitis posterior biasanya memiliki onset perlahan, namun dapat sebagai

serangan akut. Kelainan yang dapat ditemukan adalah penurunan fungsi

penglihatan, gangguan lapang pandang, dan visual floaters yang biasanya

tanpa nyeri, mata merah, ataupun fotofobia. Penting juga klasifikasi uveitis

berdasarkan anatomi, etiologi, dan perjalanan penyakit

Berdasarkan system klasifikasi The Standardization of Uveitis

Nomenclature (SUN).

Tabel.1 The Standardization of Uveitis Nomenclature (SUN)

(Krisnhaliani, 2020).

31
Ditinjau dari manifestasi klinis, perbedaan umum yang dapat

membedakan uveitis anterior dari uveitis posterior adalah adanya fotofobia

serta nyeri tumpul atau berdenyut pada mata disebabkan oleh spasme otot

siliar dan sfingter pupil. Pada uveitis anterior juga dapat ditemukan injeksi

siliar akibat vasodilatasi arteri siliaris longus dan arteri siliaris anterior yang

mendarahi iris dan badan siliar.

2. Pemeriksaan mata

a. Pemeriksaan slit-lamp dapat mengevaluasi bilik mata depan,

memperlihatkan adanya injeksi siliar dan episklera, skleritis, edema

kornea, presipitat keratik, bentuk dan jumlah sel di bilik mata,

hipopion, dan kekeruhan lensa. Temuan tersebut merupakan tanda

uveitis anterior, sehingga dapat membantu menyingkirkan diagnosis

uveitis posterior.

3. Pemeriksan funduskopi untuk mengetahui kelainan di bagian posterior

mata. Tanda yang dapat ditemukan pada uveitis posterior, antara lain

lesi korioretina fokal, retinal whitening, dan penyelubungan pembuluh

darah retina (vascular sheathing). Gambaran klinis dapat menunjukkan

adanya vitritis, retinitis, perdarahan retina, koroiditis, dan kelainan papil

saraf optik yang menentukan keterlibatan peradangan bagian posterior

uvea.

32
Gambar. Gambaran funduskopi pada koroiditis: ditemukan lesi
peradangan pada sisi nasal makula berupa bercak putih kekuningan
dengan batas tidak tegas

Beberapa temuan khas untuk membedakan peradangan pada koroiditis

dan retinitis tercantum dalam tabel

Tabel 2. Perbedaan temuan funduskopi pada koroiditis dan retinitis

(Krisnhaliani, 2020).

4. Pemeriksaan penunjang

a. Optical Coherence Tomography (OCT) merupakan penunjang non-

invasif untuk memperlihatkan adanya edema makula, membran

epiretinal, dan sindrom traksi vitreomakula. Pada keadaan media

keruh, seperti pada katarak, vitritis, dan perdarahan vitreus, dapat

dilakukan Ultrasonography B-scan (USG) atau spectral-domain

OCT.

33
b. USG juga dapat membantu membedakan uveitis posterior yang

disebabkan neoplasma atau abses; dapat pula bermanfaat untuk

evaluasi ketebalan koroid dan mengetahui penebalan ruang tenon

yang ditandai dengan “T-sign” yang merupakan tanda patognomonis

skleritis posterior. Ketebalan koroid normal adalah 1,1 milimeter.

c. FundusFluorescence Angiography (FFA) merupakan pemeriksaan

fotografi fundus dengan injeksi intravena zat pewarna natrium

fluoresen. Pemeriksaan ini untuk menilai sirkulasi pembuluh darah

retina dan koroid serta mengetahui secara detail epitel pigmen retina.

d. Pemeriksaan penunjang laboratorium, seperti darah perifer, laju

endap darah, serologi, urinalisis, dan antinuclear antibody dapat

menentukan diagnosis etiologi. Jika uveitis posterior dicurigai

disebabkan tuberkulosis, dapat dimintakan pemeriksaan radiologis

Pada uveitis ringan dan pada kasus trauma, pemeriksaan penunjang

biasanya kurang bermanfaat untuk diagnosis (Krisnhaliani, 2020).

I. Penatalaksanaan

Tatalaksana uveitis posterior memiliki prinsip menekan reaksi

peradangan, mencegah dan memperbaiki kerusakan struktur mata,

mempertahankan fungsi penglihatan, dan mengurangi gejala (Krisnhaliani,

2020).

Medikamentosa

1. Siklopegik

34
Obat-obat topikal digunakan untuk mengobati ciliary spasm yang

sering terjadi dengan uveitis anterior akut dan mengobati sinekia

posterior dan/ atau mencegah perkembangan sinekia baru. Homatropin,

skopolamin, atau atropin, yang digunakan untuk meringankan ciliary

spasm. Tropikamid atau cyclopentolate mungkin memainkan peran

dalam mencegah pembentukan sinekia posterior baru pada pasien yang

memiliki iridocyclitis kronis (misalnya, sekunder untuk JIA) dan

minimal fotofobia dan pupil (Yanoff, 2009).

2. Kortikosteroid

Kortikosteroid adalah obat pilihan di sebagian besar jenis uveitis. Cara

kerja dengan menghambat proses inflamasi dengan menekan

metabolisme asam arakidonat dan aktivasi komplemen (Babu,

Rathinam, 2010). Reaksi peradangan dapat dihambat dengan

kortikosteroid topikal, antara lain prednisolon 0,5%, prednisolon asetat

1%, betametason 1%, deksametason 0,1%, dan fluorometolon 0,1%.

Ketika diberikan secara sistemik memiliki peran dalam pengobatan

iridocyclitis non - granulomatosa, di mana peradangan, sebagian besar

terjadi akibat reaksi antigen antibodi. Bahkan dalam jenis uveitis,

steroid sistemik membantu karena efek kuat anti - inflamasi dan

antifibrotic non - spesifik. Kortikosteroid sistemik Kortikosteroid

sistemik dapat diberikan pada uveitis derajat cukup berat atau bilateral

(Krisnhaliani, 2020). Menggunakan kortikosteroid long acting dengan

35
dosis rendah diperlukan sebagai terapi pemeliharaan VKH (Vogt

Koyanagi - Harada) sindrom (Babu, Rathinam, 2010).

Respon terhadap terapi kortikosteroid dapat terganggu oleh

kekambuhan uveitis. Kasus unilateral dapat diberikan percobaan dengan

injeksi periokular dari depot kortikosteroid ke dalam ruang posterior

subtenon. Efek samping dan komplikasi kortikosteroid topikal atau

sistemik harus mencari di setiap tindak lanjut kunjungan pasien. Ini

termasuk glaukoma sekunder, posterior subkapsular katarak,

peningkatan kerentanan terhadap infeksi (mata atau sistemik),

hipertensi, tukak lambung, diabetes, obesitas, gangguan pertumbuhan,

osteoporosis dan psikosis (Babu, Rathinam, 2010).

Kortikosteroid dapat menyebabkan glaukoma melalui peningkatan

tekanan intra okuler melalui mekanisme sudut terbuka. Mekanisme

tersebut dikaitkan dengan efek ganda pada anyaman trabekula

meshwork, Mekanisme lainnya mengarah pada perubahan sitoskeletal

yang dapat menghambat pinositosis dari humour aqueous.

Kortikosteroid juga menyebabkan penurunan sintesis prostaglandin

yang mengatur fasilitas/pengeluaran humour aqueous sehingga terjadi

peningkatan tekanan intra okuler (TIO) menyebabkan tekanan pada

saraf optic (Babu, Rathinam, 2010).

3. Imunosupresan

Jika radang tidak membaik dengan kortikosteroid, dapat dilanjutkan

dengan agen imunosupresan. Imunosupresan juga merupakan lini

36
pertama pada sindrom Behcet karena dapat mengancam jiwa. Agen

imosupresan terdiri dari golongan antimetabolit (azatioprin, metotreksat,

dan mikofenolat mofenil), supresor sel T (siklosporin dan tacrolimus)

serta sitotoksik (siklofosfamid dan klorambusil) (Krisnhalianai, 2020).

Antimetabolit di indikasikan pada kasus uveitis bilateral, non infeksi,

reversible, tidak berespon dengan steroid. Steroid sparing terapy pada

pasien dengan intoleran terhadap efek sistemik steroid atau penyakit

kambuh kronis yang membutuhkan dosis harian prednisolon lebih dari

10 mg. Setelah pasien telah dimulai pada obat imunosupresif dan dosis

yang tepat dipastikan, pengobatan harus dilanjutkan selama 6-24 bulan,

setelah itu secara bertahap dan penghentian obat harus dicoba selama 3-

12 bulan ke depan. Namun, beberapa pasien mungkin memerlukan

terapi jangka panjang untuk mengontrol aktivitas penyakit (Kanski,

2016).

4. Terapi Tambahan

Nyeri dapat diatasi dengan pemberian golongan obat anti-inflamasi non-

steroid (OAINS) dan siklopegik untuk mencegah komplikasi sinekia

posterior. Siklopegik yang dapat diberikan yaitu siklopentolat 0,5-2%

dan homatropin. Tatalaksana utama lain ditujukan untuk mengobati

penyebab dasar. Untuk toksoplasmosis dapat diberi terapi

antitoksoplasma, meliputi kotrimoksazol, klindamisin, pirimetamin, dan

sulfadiazin. Tuberkulosis dapat diberi terapi antituberkulosis, seperti

isoniazid, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol. Pada infeksi sifilis,

37
terapi utama adalah antibiotik golongan penisilin. Untuk infeksi virus

dapat diberi obat antivirus, seperti asiklovir, valgansiklovir, gansiklovir,

foskarnet, dan sidofovir. (Krisnhaliani, 2020).

Non-Medikamentosa

Pembedahan dapat dipertimbangkan pada kasus uveitis yang sudah

teratasi, untuk memperbaiki masalah fungsi penglihatan permanen yang

disebabkan oleh komplikasi, seperti katarak, glaukoma sekunder, dan

ablasio retina. Vitrektomi dapat memperbaiki tajam penglihatan apabila

kekeruhan vitreus pada uveitis posterior tetap terjadi meskipun dengan

pengobatan medikamentosa (Krisnhaliani, 2020).

J. Komplikasi

1. Glaukoma (peninggian tekanan bola mata)

Pada uveitis anterior dapat terjadi sinekia posterior sehingga

mengakibatkan hambatan aliran aquos humor dari bilik posterior ke

bilik anterior. Penupukan cairan ini bersama-sama dengan sel radang

mengakibatkan tertutupnya jalur dari out flow aquos humor sehigga

terjadi glaukoma. Untuk mencegahnya dapat diberikan midriatika

(Pleyer U, 2015).

2. Katarak

Kelainan segmen anterior mata seperti iridosiklitis yang menahun dan

penggunaan terapi kortikosteroid pada terapi uveitis dapat

mengakibatkan gangguan metabolisme lensa sehingga menimbulkan

38
katarak. Operasi katarak pada mata yang uveitis lebih kompleks lebih

sering menimbulkan komplikasi post operasi jika tidak dikelola dengan

baik. Sehingga dibutuhkan perhatian jangka panjang terhadap pre dan

post operasi. Operasi dapat dilakukan setelah 3 bulan bebas inflamasi.

Penelitian menunjukkan bahwa fakoemulsifikasi dengan penanaman

IOL pada bilik posterior dapat memperbaiki visualisasi dan memiliki

toleransi yang baik pada banyak mata dengan uveitis. Prognosis

penglihatan pasien dengan katarak komplikata ini tergantung pada

penyebab uveitis anteriornya. Pada Fuchs heterochromic iridocyclitis

operasi berjalan baik dengan hasil visualisasi bagus. Sedangkan pada

tipe lain (idiopatik, pars planitis, uveitis associated with sarcoidosis,

HSV, HZF, syphilis, toksoplasmosis, spondylo arthopathies)

menimbulkan masalah, walaupun pembedahan dapat juga memberikan

hasil yang baik (Pleyer U, 2015).

3. Ablasio retina

Akibat dari tarikan pada retina oleh benang-benang vitreus (Pleyer U,

2015).

K. Prognosis

Prognosis uveitis posterior lebih buruk dibandingkan dengan uveitis

jenis lain karena dapat menurunkan tajam penglihatan dan menimbulkan

kebutaan. Risiko komplikasi seperti glaukoma, katarak, gangguan

penglihatan, kebutaan, dan ablasio retina lebih sering ditemukan pada

uveitis posterior (Krisnhaliani, 2020)

39
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Uveitis posterior merupakan peradangan lapisan koroid yang dapat pula

melibatkan jaringan sekitar, meliputi vitreus, retina, saraf optik, dan

pembuluh darah retina yang sebagian besar berhubungan dengan

penyakit sistemik

2. Klasifikasi uveitis dibedakan menjadi empat kelompok utama secara

anatomis, yaitu uveitis anterior, intermediet, posterior dan panuveitis.

3. Sesuai epidemiologi uveitis posterior sama kejadiannya pada pria dan

wanita. Uveitis posterior juga dapat menyerang hampir semua usia, dan

sering menyebabkan kebutaan

4. Penyakit ini dapat disebabkan oleh beberapa hal, yaitu infeksi,

autoimun, malignant, trauma, dan idiopatik.

5. Tujuan utama dari pengobatan uveitis adalah untuk menekan inflamasi,

mencegah dan memperbaiki kerusakan struktur, memperbaiki fungsi

penglihatan, dan menghilangkan nyeri.

6. Apabila sudah terlambat dan fungsi penglihatan tidak dapat lagi

dipulihkan seperti semula, pengobatan tetap perlu diberikan untuk

mencegah memburuknya penyakit dan terjadinya komplikasi yang tidak

diharapkan.

40
DAFTAR PUSTAKA

1. Agrawal RV, Murty S, Sangwan V, Biswas J. 2010. Current approach in

diagnosis and management of anterior uveitis. Indian J OPhtalmol.

2. American Academy of Ophtalmology. 2010. Intraocular Inflamation and

Uveitis, dalam American Academy of Ophtalmology, St. Louis.

3. American Optometric Association, 2004, Anterior Uveitis, dalam Optometric

Clinical Practice Guideline, American Optometric Association, St. Louis.

4. Babu, Rathinam. 2010. Intermediate Uveitis. Indian Journal of Opthalmology.

5. Emmett T. 2007. Cunningham. Uveal tract In: Riordan-Eva P, Whitcher JP,


editors. General.
6. Eva, P.R., and Whitcher, J.P. 2007. Vaughan and Asbury’s General
Ophthalmology 17th Edition. USA: McGrawHill

7. Ilyas, Sidarta. 2007. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. Jakarta: Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia. (Ilyas S, 2007).

8. Islam N, Pavesio C. 2010. Uveitis (acute anterior). BMJ Clin Evid. (Islam N,

2010).

9. Kanski J, Bowling B. 2016. Clinical ophthalmology: a systematic approach.

Edisi ke-8. Australia: Elsevier. (Kanski, 2016).

10. Krisnhaliani W., Ni Made W M., Febyan. 2020. Diagnosis dan tatalaksana

uveitis posterior. Bali. CDK-289/ vol. 47 no. 8 th. 2020

41
11. Khurana A. 2007. Comprehensive Ophtalmology 4th Edition. India: New Age

International Limited Publisher.

12. Pleyer U, Chee SP. 2015. Current aspects on the management of viral uveitis

in immunocompetent individuals. Clin Ophthalmol. (Pleyer U, 2015).

13. Ratna Sitompul. 2016. Diagnosis dan penatalaksanaan uveitis dalam upaya

mencegah kebutaan. Jakarta. Departemen Ilmu Kesehatan Mata, FK

Universitas Indonesia-RSCM Vol 4 (1): 60-70

14. Schlaegel TF, Pavan-Langston D. 2007. Uveal Tract: Iris, Ciliary Body, and

Choroid In: Pavan-Langston D, editors. Manual of Ocular Diagnosis and

Therapy. 2nd Edition, Boston: Little, Brown and Company.

15. Ilyas H Sidarta. Kelainan kelopak dan kelainan jaringan orbita.Ilmu

PenyakitMata. Edisi ketiga. Jakarta : Balai Penerbit FK UI. 2005 : 102

16. Vaughan DG, Asbury T, Riordan Eva P. 2002. Oftalmologi umum. Edisi 14.

Jakarta: Widya medika.

17. Wijana, N. 2011. Uvea: dalam Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Abdi Tegal.

18. Wijaya,Nana. Ilmu Penyakit Mata. Cetakan ke-6. Semarang.

UniversitasDiponegoro. 1993 : 75-6

19. Yanoff, M. and Duker, JS., 2009. Yanoff and Duker’s Ophthalmology. 3rd

Edition. UK: Mosby Elsevier.

20. Vaughan D, Asbury J. Oftalmologi Umum. Anatomi dan embriologi mata

Glaukoma Edisi-17. Jakarta:EGC

42
21. Voughan Daniel G, Asburg Taylor, Eva-Riordan Paul. Sulvian John

H,editors.Optalmologi Umum. Edisi 14. Jakarta. Widya Medika. 2000 : 266-

78

43

Anda mungkin juga menyukai