Anda di halaman 1dari 43

REFERAT

VOGT-KOYANAGI-HARADA DISEASE

PEMBIMBING:
dr. Ayu S. Bulo Oetoyo, Sp.M, M.Sc

DISUSUN OLEH:
Nadia Fernanda
030.13.133

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT MATA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BUDHI ASIH
PERIODE 15 JANUARI - 17 FEBRUARI 2018
JAKARTA
LEMBAR PENGESAHAN

Referat dengan judul:

“VOGT-KOYANAGI-HARADA DISEASE”

Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing, sebagai syarat untuk


menyelesaikan tugas kepaniteraan klinik Ilmu Penyakit Mata
di RSUD Budhi Asih
Periode 15 Januari - 17 Februari 2018

Jakarta, Januari 2017


Pembimbing,

dr. Ayu S. Bulo Oetoyo, Sp.M, M.Sc

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat dan
rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul
“Vogt-Koyanagi-Harada Disease”. Referat ini disusun untuk memenuhi salah satu
tugas dalam Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Mata di Rumah Sakit Umum
Daerah Budhi Asih. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih
kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam penyusunan dan penyelesaian
referat ini, terutama kepada dr. Ayu S. Bulo Oetoyo, Sp.M, M.Sc selaku
pembimbing yang telah memberikan waktu dan bimbingannya sehingga referat ini
dapat terselesaikan.
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan referat ini tidak lepas dari
kesalahan dan kekurangan, maka dari itu penulis mengharapkan berbagai saran
dan masukan untuk perbaikan selanjutnya. Akhir kata, penulis berharap semoga
referat ini dapat memberikan manfaat sebesar-besarnya dalam bidang kedokteran,
khususnya untuk bidang ilmu penyakit mata.

Jakarta, Januari 2018

Nadia Fernanda
030.13.133

ii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ………………………..………………………..… i


KATA PENGANTAR ………………………………….…………………..…. ii
DAFTAR ISI …………………………………………………………………... iii
BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………………... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………………… 1
2.1 Anatomi Traktus Uvealis ……………………………………………… 2
2.2 Anatomi Retina dan Vitreus …………………….…………………….. 7
2.3 Definisi Uveitis …………………………………………………..…… 10
2.4 Klasifikasi Uveitis …………………………………………………….. 11
2.5 Epidemiologi Uveitis ………………………………….……………… 13
2.6 Uveitis Anterior ………………………………………………...…….. 13
2.7 Uveitis Intermediet ……………………………………………...……. 15
2.8 Uveitis Posterior …………………………………………..………….. 16
2.9 Panuveitis …………………………………………………….…..…… 16
2.10 Patofisiologi Uveitis …………………………………….……………. 16
2.11 Penegakan diagnosis Uveitis …………………………………….…… 18
2.12 Tatalaksana Uveitis ………………………………………….……..…. 22
2.13 Definisi Vogt Koyanagi Harada Disease ……….…………..………… 23
2.14 Etiologi Vogt Koyanagi Harada Disease ………………….………….. 23
2.15 Epidemiologi Vogt Koyanagi Harada Disease …………….…………. 24
2.16 Patofisiologi Vogt Koyanagi Harada Disease ……………….……….. 24
2.17 Penegakan Diagnosis Vogt Koyanagi Harada Disease …….………… 26
2.18 Diagnosis Banding Vogt Koyanagi Harada Disease ……….………… 35
2.19 Tatalaksana Vogt Koyanagi Harada Disease …………..…….………. 35
2.20 Prognosis Vogt Koyanagi Harada Disease …………………….…….. 36
2.21 Komplikasi Vogt Koyanagi Harada Disease ………………………… 36
BAB III KESIMPULAN ………………………………………………..…… 37
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………….….. 38

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Vogt-Koyanagi-Harada Disease (VKHD) sebelumnya digambarkan sebagai


sindrom uveomeningoencephalitis, adalah kelainan multisistemik yang ditandai
dengan panuveitis granulomatosa dengan detasemen retina eksudatif yang
mengenai jaringan yang kaya akan melanosit, seperti mata, telinga bagian dalam,
meninges, kulit dan rambut.1,2
Pada tahun 1906, Alfred Vogt di Swiss pertama kali menggambarkan pasien
dengan pemutihan dini pada bulu mata yang terjadi secara mendadak dan
iridoklikitis subakut bilateral. Dua puluh tahun kemudian, Harada (1926)
melaporkan sebuah kasus dengan ablasio retina bilateral yang berhubungan
dengan cerebrospinal fluid (CSF) pleocytosis. Tidak lama kemudian (1929),
Koyanagi menerbitkan sebuah artikel review yang mengasosiasikan secara jelas
keterlibatan mata posterior dengan manifestasi pendengaran dan integumen. Pada
tahun 1932, Babel, menyarankan bahwa gejala dari gangguan yang dijelaskan
oleh Vogt, Koyanagi dan Harada adalah manifestasi dari entitas tunggal yang
sama, maka disebut sebagai sindrom Vogt Koyanagi Harada.1
Prevalensi penyakit ini bervariasi menurut jenis ras. VKHD secara khas
terjadi pada kelompok berpigmen, seperti Hispanik, Asia, Timur Tengah dan
Indian Asia, namun bukan kulit hitam keturunan sub-Sahara Afrika. VKHD
terjadi sebesar 8% pada penderita uveitis di Jepang yaitu sebesar 2,9% di Timur
Tengah, 1,2% di Eropa dan 1-4% di Amerika Serikat. Dalam sebuah penelitian di
India Selatan, prevalensi dilaporkan sebesar 1,4-3,5%.3 VKHD biasanya terjadi
lebih sering pada perempuan dengan rasio antara laki-laki dan perempuan sekitar
2:1 dan merupakan salah satu dari tiga penyebab utama kejadian uveitis di China.4
Uveitis adalah kondisi peradangan pada mata yang melibatkan lapisan traktus
uvealis yang meliputi peradangan pada iris, korpus siliaris dan koroid namun
mungkin juga dapat melibatkan retina dan badan vitreous. Dapat terjadi pada
kejadian idiopatik yang terisolasi, komplikasi dari suatu infeksi atau berhubungan
dengan penyakit inflamasi sistemik. Penyebab uveitis dapat terjadi secara non
infeksi (paling banyak dianggap sebagai bentuk autoimun uveitis) dan infeksi.

1
Jika tidak ditatalaksana dengan baik, uveitis dapat menyebabkan penurunan
kualitas penglihataan, termasuk kebutaan.5,6

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Traktus Uvealis

Gambar 1. Anatomi Mata

Traktus uvealis terdiri atas iris, corpus ciliare dan koroid (Gambar 1). Bagian
ini merupakan lapisan vaskular tengah mata dan dilindungi oleh kornea dan sklera.
Struktur ini ikut mendarahi retina.

Iris
Iris adalah perpanjangan corpus ciliare ke anterior. Iris berupa permukaan
pipih dengan apertura bulat yang terletak di tengah, pupil. Iris terletak
bersambungan dengan permukaan anterior lensa, memisahkan bilik mata depan
dari bilik mata belakang, yang masing-masing berisi aqeous humor. Di dalam
stroma iris terdapat sfingter dan otot-otot dilator. Kedua lapisan berpigmen pekat

3
pada permukaan posterior iris merupakan perluasan neuroretina dan lapisan epitel
pigmen retina ke arah anterior.
Pendarahan iris didapat dari circulus major iris. Kapiler-kapiler iris
mempunyai lapisan endotel yang tak berlubang (nonfenestrated) sehingga
normalnya tidak membocorkan fluoresein yang disuntikkan secara intravena.
Persarafn sensoris iris melalui serabut-serabut dalam nervi ciliares.
Pada iris terdapat 2 macam otot yang mengatur besarnya pupil, yaitu
muskulus dilatator yang berfungsi melebarkan pupil dan muskulus sfingter pupil
yang berfungsi mengecilkan pupil. Kedua otot tersebut memeilihara ketegangan
iris sehingga tetap tergelar datar. Dalam keadaan normal, pupil kanan dan kiri
kira-kira sama besarnya, keadaan ini disebut isokoria. Apabila ukuran pupil kanan
dan kiri tidak sama besar, keadaan ini disebut anisokoria (Gambar 2).
Iris mengendalikan banyaknya cahaya yang masuk ke dalam mata. Ukuran
pupil pada prinsipnya ditentukan oleh keseimbangan antara konstriksi akibat
aktivitas parasimpatis yang dihantarkan melalui nervus kranialis III dan dilatasi
yang ditimbulkan oleh aktivitas simpatis.

Gambar 2. Muskularis pada iris

4
Corpus Ciliare
Corpus ciliare, yang secara kasar berbentuk segitiga pada potongan melintang,
membentang ke depan dari ujung anterior koroid ke pangkal iris (sekitar 6 mm).
corpus ciliare terdiri atas zona anterior yang berombak-ombak, pars plikata, dan
zona posterior yang datar, pars plana (Gambar 3). Processus ciliares berasal dari
pars plikata. Processus ciliares ini terutama terbentuk dari kapiler dan vena yang
bermuara ke vena-vena vorticosa. Kapiler-kapilernya besar dan berlubang-lubang
sehingga membocorkan fluoresein yang disuntikkan secara intravena. Ada dua
lapisan epitel siliaris: satu lapisan tanpa pigmen di sebelah dalam, yang
merupakan perluasan neuroretina ke anterior; dan satu lapisan berpigmen di
sebelah luar, yang merupakan perluasan lapisan epitel pigmen retina. Processus
ciliares dan epitel siliaris pembungkusnya berfungsi sebagai pembentuk aqueous
humor.
Aqueous humor ini sangat menentukan tekanan bola mata (tekanan
intraokular/TIO). Aqueous humor mengalir melalui kamera okuli posterior ke
kamera okuli anterior melalui pupil, kemudian ke angulus iridokornealis,
kemudian melewati trabekulum meshwork menuju canalis Schlemm, selanjutnya
menuju kanalis kolektor masuk ke dalam vena episklera untuk kembali ke jantung
(Gambar 4).
Musculus ciliaris, tersusun dari gabungan serat-serat longitudinal, sirkular
dan radial. Fungsi serat-serat sirkular adalah untuk mengerutkan dan relaksasi
serat-serat zonula, yang berorigo di lembah-lembah diantara processus ciliares.
Otot ini mengubah tegangan pada kapsul lensa sehingga lensa dapat mempunyai
berbagai fokus baik untuk objek bejarak dekat maupun yang berjarak jauh dalam
lapangan pandang. Serat-serat longitudinal musculus ciliaris menyisip ke dalam
anyaman trabekula untuk mempengaruhi besar porinya.
Pembuluh-pembuluh darah yang mendarahi corpus ciliare berasal dari
circulus arteriosus major iris. Persarafan sensoris iris melalui saraf-saraf siliaris.

5
Gambar 3. Posterior corpus ciliare

Gambar 4. Aliran aqueous humor

Koroid
Koroid adalah segmen posterior uvea, diantara retina dan sklera. Koroid
tersusun atas tiga lapis pembuluh darah koroid; besar, sedang dan kecil. Semakin
dalam pembuluh terletak di dalam koroid, semakin besar lumennya. Bagian dalam
pembuluh darah koroid dikenal sebagai koriokapilaris. Darah dari pembuluh
koroid dialirkan melalui empat vena vorticosa, satu di tiap kuadran posterior.
Koroid di sebelah dalam dibatasi oleh membran Bruch dan di sebelah luar oleh

6
sklera. Ruang suprakoroid terletak diantara koroid dan sklera. Koroid melekat erat
ke posterior pada tepi-tepi nervus opticus. Disebelah anterior, koroid bergabung
dengan corpus ciliare.
Kumpulan pembuluh darah koroid memperdarahi bagian luar retina yang
menyokongnya.

2.2 Anatomi Retina dan Vitreus


Retina
Retina adalah lembaran jaringan saraf berlapis yang tipis dan semitransparan
yang melapisi bagian dalam dua pertiga posterior dinding bola mata. Retina
membentang ke anterior hampir sejauh corpus ciliare dan berakhir pada ora serata
dengan tepi yang tidak rata. Pada orang dewasa, ora serata berada sekitar 6,5 mm
dibelakang garis Schwalbe pada sisi temporal dan 5,7 mm pada sisi nasal.
Permukaan luar retina sensoris bertumpuk dengan lapisan epitel berpigmen retina
sehingga juga berhubungan dengan membran Bruch, koroid dan sklera.
Disebagian besar tempat retina dan epitel pigmen retina mudah terpisah hingga
terbentuk suatu ruang subretina, seperti yang terjadi pada ablasio retina. Namun
pada diskus optikus dan ora serata, retina dan epitel pigmen retina saling melekat
kuat sehingga perluasan cairan subretina pada ablasio retina dapat dibatasi. Hal ini
berlawanan dengan ruang subkoroid yang dapat terbentuk antara koroid dan sklera,
yang meluas ke taji sklera. Dengan demikian, ablasio koroid akan meluas
melampaui ora serata, dibawah pars plana dan pars plikata. Lapisan-lapisan epitel
pada permukaan dalam corpus ciliare dan permukaan posterior iris merupakan
perluasan retina dan epitel pigmen retina ke anterior. Permukaan dalam retina
berhadapan dengan vitreus.
Lapisan-lapisan retina mulai dari sisi dalamnya adalah sebagai berikut:
1. Membran limitans interna
2. Lapisan serat saraf, yang mengandung akson-akson sel ganglion yang
berjalan menuju nervus optikus
3. Lapisan sel ganglion
4. Lapisan pleksiform dalam, yang mengandung sambungan sel ganglion
dengan sel amakrin dan sel bipolar

7
5. Lapisan inti dalam badan-badan sel bipolar, amakrin dan horizontal
6. Lapisan pleksiform luar yang mengandung sambungan sel bipolar dan sel
horizontal dengan fotoreseptor
7. Lapisan inti luar sel fotoreseptor
8. Membran limitans eksterna
9. Lapisan fotoreseptor segmen dalam dan luar batang dan kerucut
10. Epitel pigmen retina
Retina mempunyai tebal 0,1 mm pada ora serata dan 0,56 mm pada kutup
posterior. Ditengah-tengah retina posterior terdapat makula berdiameter 5,5-6 mm,
yang secara klinis dinyatakan sebagai daerah yang dibatasi oleh cabang-cabang
pembuluh darah retina temporal. Daerah ini ditetapkan oleh ahli anatomi sebagai
area sentralis, yang secara histologi merupakan bagian retina yang ketebalan
lapisan sel ganglionnya lebih dari 1 lapis. Makula lutea secara anatomis
didefinisikan sebagai daerah berdiameter 3 mm yang mengandung pigmen luteal
kuning xantofil. Fovea yang berdiameter 1,5 mm ini merupakan zona avaskular
retina pada angiografi fluoresens. Secara histologis, fovea ditandai sebagai daerah
yang mengalami penipisan lapisan inti luar tanpa disertai lapisan parenkim lain.
Hal ini terjadi karena akson-akson sel fotoreseptor berjalan miring (lapisan
serabut Henle) dan lapisan-lapisan retina yang lebih dekat dengan permukaan
dalam retina lepas secara sentrifugal. Ditengah makula, 4 mm lateral dari diskus
optikus, terdapat foveola yang berdiameter 0,25 mm, yang secara klinis tampak
jelas dengan oftalmoskop. Sebagai cekungan yang menimbulkan pantulan khusus.
Foveola merupakan bagian retina yang paling tipis (0,25 mm) dan hanya
mengandung fotoreseptor kerucut. Gambaran histologis fovea dan foveola ini
memungkinkan diskriminasi visual yang tajam; foveola memberikan ketajaman
visual yang optimal. Ruang ekstraselular retina yang normalnya kosong
cenderung paling besar di makula. Penyakit yang menyebabkan penumpukan
bahan ekstrasel secara khusus dapat mengakibatkan penebalan pada daerah ini
(edema makula).
Retina menerima darah dari dua sumber; koriokapilaris yang berada tepat
diluar membran Bruch, yang mendarahi sepertiga luar retina, termasuk lapisan
pleksiform luar dan lapisan inti luar, fotoreseptor dan lapisan pigmen retina; serta

8
cabang-cabang dari arteria sentralis retinae, yang mendarahi duapertiga dalam
retina. Fovea seluruhnya didarahi oleh koriokapilaris dan rentan terhadap
kerusakan yang tak dapat diperbaiki bila retina mengalami ablasi. Pembuluh darah
retina mempunyai lapisan endotel yang tidak berlubang, yang membentuk sawar
darah-retina. Lapisan endotel pembuluh koroid berlubang-lubang. Sawar
darah-retina sebelah luar terletak setinggi lapisan epitel pigmen retina.

Vitreus
Vitreus adalah suatu badan gelatin yang jernih dan avaskular yang
membentuk duapertiga volume dan berat mata. Vitreus mengisi ruangan yang
dibatasi oleh lensa, retina dan diskus optikus. Permukaan luar vitreus-membran
hialoid normalnya berkontak dengan struktur-struktur berikut:
1. Kapsul lensa posterior
2. Serat serat zonula
3. Pars plana lapisan epitel
4. Retina
5. Caput nervi optici
Basis vitreus mempertahankan penempelan yang kuat seumur hidup kelapisan
epitel pars plana dan retina tepat dibelakang ora serata. Diawal kehidupan, vitreus
melekat kuat pada kapsul lensa dan caput nervi optici, tetapi segera berkurang
dikemudian hari.
Vitreus mengandung air sekitar 99%. sisa 1% meliputi dua komponen;
kolagen dan asam hialuronat, yang memberi bentuk dan konsistensi mirip gel
pada vitreu karena kemampuannya mengikat banyak air.

9
Gambar 5. Lapisan-lapisan retina

2.3 Definisi Uveitis


Radang uvea dapat mengenai hanya bagian depan jaringan uvea atau selaput
pelangi (iris) dan keadaan ini disebut sebagai iritis. Bila mengenai bagian tengah
uvea maka keadaan ini disebut sebagai siklitis. Biasanya iritis akan disertai
dengan siklitis yang disebut sebagai uveitis anterior. Bila mengenai selaput hitam
bagian belakang mata maka disebut koroiditis.8

10
2.4 Klasifikasi Uveitis9,10

11
12
2.5 Epidemiologi Uveitis
Kejadian uveitis bervariasi dari 14 sampai 52,4 / 100.000 dengan prevalensi
keseluruhan di seluruh dunia hingga 0,73%. Pada sekitar setengah pasien, usia
onset ada pada dekade ketiga atau keempat, maka mereka hadir pada usia dimana
mereka berada dalam masa aktif kehidupan kerjanya. Distribusi usia ini membuat
uveitis menjadi sekelompok penyakit mata yang memiliki dampak sosioekonomi
yang penting. Ada sub kelompok khusus pada anak-anak yang dikaitkan dengan
artritis idiopatik remaja.11

2.6 Uveitis Anterior


Uveitis anterior adalah inflamasi di iris dan badan siliar. Inflamasi di iris saja
disebut iritis sedangkan bila inflamasi meliputi iris dan badan siliar maka disebut
iridosiklitis. Uveitis anterior dapat terjadi akibat kelainan sistemik seperti
spondiloartropati, artritis idiopatik juvenil, sindrom uveitis fuchs, kolitis ulseratif,
penyakit chron, penyakit whipple, tubulointerstitial nephritis and uveitis. Infeksi
yang sering menyebabkan uveitis anterior adalah virus herpes simpleks (VHS),
virus varisela zoster (VVZ), tuberkulosis, dan sifilis. Uveitis anterior akut
umumnya terjadi di satu mata namun pada kasus kronik dapat melibatkan kedua
mata. Uveitis anterior akut dapat disebabkan oleh trauma, pasca-operasi, dan
reaksi hipersensitivitas. Frekuensi uveitis anterior kronik lebih jarang dan
umumnya asimptomatik namun dapat menimbulkan komplikasi seperti katarak
dan glaukoma. Uveitis anterior pada anak meningkatkan komplikasi strabismus,
keratopati, katarak, edema makular, dan glaukoma yang mengganggu penglihatan
serta memicu ambliopia sehingga perlu diterapi secara agresif. Gejala uveitis
anterior umumnya ringan-sedang dan dapat sembuh sendiri, namun pada uveitis
berat, tajam penglihatan dapat menurun. Gejala klinis dapat berupa mata merah,
nyeri, fotofobia, dan penurunan tajam penglihatan. Uveitis anterior menyebabkan
spasme otot siliar dan sfingter pupil yang menimbulkan nyeri tumpul/berdenyut
serta fotofobia. Jika disertai nyeri hebat, perlu dicurigai peningkatan tekanan bola
mata. Spasme sfingter pupil mengakibatkan miosis dan memicu sinekia posterior.
Penurunan tajam penglihatan terutama akibat kekeruhan cairan akuos dan edema
kornea walaupun uveitis tidak selalu menyebabkan edema kornea. Tanda uveitis

13
anterior akut adalah injeksi siliar akibat vasodilatasi arteri siliaris posterior longus
dan arteri siliaris anterior yang memperdarahi iris serta badan siliar. Di bilik mata
depan terdapat pelepasan sel radang, pengeluaran protein (cells and flare) dan
endapan sel radang di endotel kornea (presipitat keratik). Presipitat keratik halus
umumnya akibat inflamasi nongranulomatosa dan presipitat keratik kasar
berhubungan dengan inflamasi granulomatosa. Derajat inflamasi dapat ditentukan
dengan menghitung sel di bilik mata depan seluas 1x1 mm lapang pemeriksaan
slit beam. Hasil pemeriksaan dinyatakan sebagai derajat 0 (sel <1), trace (sel 1-5),
+1 (sel 6-15), +2 (sel 16-25), +3 (sel 26-50), dan +4 (sel >50). Untuk derajat trace
dan +1, jumlah sel dituliskan dalam kurung setelah penulisan derajat, sebagai
contoh +1 (sel 6). Hal itu untuk memudahkan penilaian ketika dilakukan
pemeriksaan ulang mengingat rentang jumlah sel dalam kedua kelompok tersebut
sangat kecil. Flare dinilai berdasarkan kekeruhan cairan akuos di bilik mata depan.
Derajat 0 bila tidak terdapat flare, +1 (derajat ringan), +2 (derajat sedang, iris dan
lensa terlihat jelas), +3 (flare tampak jelas, iris dan lensa tidak jelas), dan +4 (flare
hebat dengan fibrin di cairan akuos). Derajat inflamasi bermanfaat untuk menilai
keparahan dan efektivitas terapi. Uveitis anterior dikatakan inaktif atau mereda
bila dijumpai sedikit sel di bilik mata depan. Terapi dinilai berhasil bila jumlah sel
menurun dua derajat atau menurun sampai derajat 0 sedangkan inflamasi dinilai
memburuk bila jumlah sel meningkat dua derajat atau meningkat ke derajat +3
atau +4.12

Gambar 6. sel dan flare pada camera oculi anterior

14
Gambar 7. Presipitat keratik

2.7 Uveitis Intermediet


Uveitis intermediet adalah peradangan di pars plana yang sering diikuti
vitritis dan uveitis posterior. Penyakit tersebut biasanya terjadi pada usia dekade
ketiga-keempat dan 20% terjadi pada anak. Penyebabnya sebagian besar idiopatik
(69,1%), sarkoidosis (22,2%), multiple sclerosis (7,4%), dan lyme disease (0,6%).
Selain itu, dapat juga disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis,
Toxoplasma, Candida, dan sifilis. Gejala uveitis intermediet biasanya ringan yaitu
penurunan tajam penglihatan tanpa disertai nyeri dan mata merah, namun jika
terjadi edema makula dan agregasi sel di vitreus (snowballs, Gambar 8)
penurunan tajam penglihatan dapat lebih buruk. Pars planitis berupa bercak putih
akibat agregasi sel inflamasi dan jaringan fibrovaskular (snowbank) yang
menunjukkan inflamasi berat dan memerlukan terapi agresif. Vaskulitis retina
perifer terjadi pada 20-60% kasus. Komplikasinya adalah edema makula
(12-51%), glaukoma (20%), dan katarak (15-50%).12

Gambar 8. snowballs: bercak putih kekuningan di vitreus

15
2.8 Uveitis Posterior
Uveitis posterior adalah peradangan lapisan koroid yang sering melibatkan
jaringan sekitar seperti vitreus, retina, dan nervus optik. Infeksi paling sering
disebabkan oleh T.gondii, M.tuberculosis, sifilis, VHS, VVZ, cytomegalovirus
(CMV), dan HIV. Pada kasus non-infeksi, uveitis posterior disebabkan oleh
koroiditis multifokal, birdshot choroidopathy, sarkoidosis, dan neoplasma. Uveitis
posterior timbul perlahan namun dapat terjadi secara akut. Pasien mengeluh
penglihatan kabur yang tidak disertai nyeri, mata merah, dan fotofobia.
Komplikasi dapat berupa katarak, glaukoma, kekeruhan vitreus, edema makula,
kelainan pembuluh darah retina, parut retina, ablasio retinae, dan atrofi nervus
optik. Prognosis uveitis posterior lebih buruk dibandingkan uveitis anterior karena
menurunkan tajam penglihatan dan kebutaan apabila tidak ditatalaksana dengan
baik.12

2.9 Panuveitis
Panuveitis adalah peradangan seluruh uvea dan struktur sekitarnya seperti
retina dan vitreus. Penyebab tersering adalah tuberkulosis, sindrom VKH,
oftalmia simpatika, penyakit behcet, dan sarkoidosis. Diagnosis panuveitis
ditegakkan bila terdapat koroiditis, vitritis, dan uveitis anterior.12

2.10 Patofisiologi Uveitis


Uveitis adalah penyakit heterogen dengan poligenik dan pengaruh lingkungan,
sebagian besar bentuk uveitis yang dimediasi oleh imun dianggap karena
ketidakseimbangan antara mekanisme yang menghambat sistem kekebalan tubuh
dan mekanisme inflamasi. Aktivasi kekebalan menyimpang ini tampaknya
merupakan hasil dari kombinasi pemicu lingkungan dan risiko faktor genetik
yang mempengaruhi ketidakseimbangan regulasi kekebalan tubuh dan menuju
peradangan yang tidak terkendali. Contoh subkelompok sel kekebalan yang
adalah limfosit T regulator, yang menghasilkan sitokin antiinflamasi seperti
interleukin (IL) -10, mengubah faktor pertumbuhan (TGF) -b, dan baru-baru ini
menggambarkan sitokin, IL-35. Dari catatan, antiinflammatory sitokin, IL-27,
diproduksi secara konstitutif oleh sel di retina, termasuk ganglion retina dan sel

16
fotoreseptor, sehingga berkontribusi terhadap keadaan kekebalan tubuh. Sel epitel
pigmen retina dianggap memainkan peran penting dalam menginduksi sel T
regulator melalui produksi asam retinoat di hadapan TGF-b.
Komponen inflamasi dari sistem kekebalan tubuh meliputi limfosit T-helper
(Th) 1 dan limfosit Th17, yang menghasilkan sitokin seperti IL-17 dan IL-23, dan
factor nekrosis tumor (TNF) -a, yang merekrut leukosit dari sirkulasi dan
mengakibatkan kerusakan jaringan. Beberapa sitokin, seperti interferon (IFN) -g,
bisa bersifat protektif atau inflamasi pada waktu dimana mereka diproduksi.
Berbagai manifestasi klinis uveitis non infeksi mungkin karena, sebagian
perbedaan antigen yang ada pada pemicu peradangan okular dipresentasikan ke
sistem kekebalan tubuh akibat kerusakan jaringan lokal. Jika tidak, respon
kekebalan tubuh yang berbahaya dapat dipicu oleh kemiripan antara antigen tubuh
dan antigen mikroorganisme. Misalnya pada Sindrom Vogt Koyanagi Harada,
mungkin timbul dikarenakan sensitisasi menyimpang dari sel T untuk tironase,
protein yang diproduksi oleh melanosit di mata dan tempat lain di tubuh dan
dianggap meniru antigen sitomegalovirus.13

Gambar 9. Patofisiologi Uveitis

17
2.11 Diagnosis Uveitis
Anamnesis dan pemeriksaan mata bernilai tinggi dalam menentukan
diagnosis klinis kelainan mata. Sandler menyatakan bahwa 56% diagnosis
diperoleh dari anamnesis dan meningkat sampai 73% setelah pemeriksaan fisik
termasuk mata. Klasifikasi uveitis yang disusun oleh SUN sangat membantu
menegakkan diagnosis uveitis. Pada klasifikasi tersebut, uveitis dibagi menjadi
uveitis anterior, uveitis intermediet, uveitis posterior, dan panuveitis.
­ Uveitis anterior dapat berupa nyeri, fotofobia, penglihatan kabur, injeksi siliar,
dan hipopion.
­ Uveitis posterior dapat menurunkan tajam penglihatan namun tidak disertai
nyeri, mata merah, dan fotofobia bahkan sering asimtomatik.
­ Uveitis intermediet umumnya ringan, mata tenang dan tidak nyeri namun
dapat menurunkan tajam penglihatan.
­ Panuveitis merupakan peradangan seluruh uvea yang menimbulkan koroiditis,
vitritis, dan uveitis anterior.
Dalam menegakkan diagnosis, perlu diperhatikan apakah uveitis terjadi di
satu mata atau di kedua mata. Selain itu, perlu diperhatikan usia, ras, onset, durasi,
tingkat keparahan gejala, riwayat penyakit mata dan penyakit sistemik
sebelumnya.
Slit-lamp digunakan untuk menilai segmen anterior karena dapat
memperlihatkan injeksi siliar dan episklera, skleritis, edema kornea, presipitat
keratik, bentuk dan jumlah sel di bilik mata, hipopion serta kekeruhan lensa.
Pemeriksaan oftalmoskop indirek ditujukan untuk menilai kelainan di segmen
posterior seperti vitritis, retinitis, perdarahan retina, koroiditis dan kelainan papil
nervus optik.
Pemeriksaan laboratorium bermanfaat pada kelainan sistemik misalnya
darah perifer lengkap, laju endap darah, serologi, urinalisis, dan antinuclear
antibody. Pemeriksaan laboratorium tidak bermanfaat pada kondisi tertentu
misalnya uveitis ringan dan trauma. Untuk mendiagnosis infeksi virus dapat
dilakukan pemeriksaan PCR, kultur dan tes serologi. Sensitivitas serologi akan
meningkat bila disertai pemeriksaan koefisien goldmannwitmer yaitu

18
membandingkan konsentrasi hasil pemeriksaan cairan akuos dengan serologi
darah. Diagnosis pasti toksoplasmosis ditegakkan jika pemeriksaan IgM
Toxoplasma memberikan hasil positif atau jika titer antibodi IgG Toxoplasma
meningkat secara bermakna (4x lipat) atau terjadi konversi IgG dari negatif ke
positif pada pemeriksaan kedua dengan interval 2-3 minggu. Pemeriksaan cairan
intraokular dengan PCR sangat spesifik. Perbandingan kadar IgG Toxoplasma
cairan akuos dan serum cukup sensitif (48–90%). Diagnosis tuberkulosis okular
ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan mata, dan pemeriksaan
penunjang seperti rontgen toraks, tes tuberkulin, dan pemeriksaan sputum dengan
pewarnaan ziehl-neelsen. Pemeriksaan lainnya adalah PCR (menggunakan
spesimen dari aqueous tap atau biopsi vitreus), dan interferon-gamma release
assay (IGRA). PCR sangat spesifik untuk mendeteksi Mycobacterium namun
sensitivitasnya bervariasi. Diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan gejala klinis
dan ditemukannya Mycobacterium dari spesimen okular (kultur atau amplifikasi
DNA).
Pemeriksaan serologi sifilis dibagi menjadi nontreponema dan treponema.
Serologi nontreponema meliputi venereal disease research laboratory (VDLR) dan
rapid plasma reagin sedangkan serologi treponema meliputi fluorescent
treponemal antibody absorbed dan T.pallidum particle agglutination.
Optical coherence tomography (OCT) merupakan pemeriksaan non-invasif
yang dapat memperlihatkan edema makula, membran epiretina, dan sindrom
traksi vitreomakula. Saat ini telah dikembangkan high-definition spectraldomain
OCT yang memberikan resolusi lebih tinggi dan waktu lebih singkat
dibandingkan time-domain OCT. Spectral-domain OCT bermanfaat pada uveitis
dengan media keruh.
USG B-scan sangat membantu memeriksa segmen posterior mata pada
keadaan media keruh misalnya pada katarak dan vitritis. USG B-scan dapat
membedakan ablasio retinae eksudatif dengan regmatosa serta membedakan
uveitis akibat neoplasma atau abses. USG B-scan dapat menilai penebalan koroid
seperti pada sindrom VKH dan menilai pelebaran ruang tenon yang sangat khas
pada skleritis posterior.

19
Fundus fluoresen angiografi (FFA) adalah fotografi fundus yang dilakukan
berurutan dengan cepat setelah injeksi zat warna natrium fluoresen (FNa)
intravena. FFA memberikan informasi mengenai sirkulasi pembuluh darah retina
dan koroid, detail epitel pigmen retina dan sirkulasi retina serta menilai integritas
pembuluh darah saat fluoresen bersirkulasi di koroid dan retina. Fluoresen
diekskresi dalam 24 jam dan pada waktu tersebut dapat menyebabkan urin pasien
berwarna oranye. Cara Pemeriksaan FFA. Sebanyak 5 ml fluoresen 10%
disuntikkan intravena kemudian mata pasien disinari cahaya biru dan fundus
dilihat melalui filter kuning. Pada keadaan normal, fluoresen cahaya biru tidak
dapat menembus filter kuning sehingga tidak terlihat apapun. Fluoresen di dalam
pembuluh koroid dan retina akan menyerap sinar biru dan memancarkan sinar
kuning sehingga sinar kuning akan melewati filter dan tervisualisasi. Hanya
jaringan mengandung fluoresen yang dapat dilihat. Pada keadaan normal,
fluoresen tidak dapat melewati tight cellular junctions yaitu endotel pembuluh
darah retina dan epitel pigmen retina sedangkan di sirkulasi koroid, fluoresen
bebas keluar melalui kapiler koroid menuju membran bruch. FFA dapat
menggambarkan keadaan sawar darah-retina dan setiap kebocoran fluoresen ke
retina merupakan kondisi abnormal. Kapiler di prosesus siliaris bersifat permeabel
sehingga fluoresen segera terlihat di akuos setelah injeksi intravena. Fluoresen di
akuos dan vitreus memancarkan sinar kuning yang merefleksikan struktur
berwarna putih di dalam mata seperti diskus optik, serat bermielin, dan eksudat
kasar, sehingga struktur tersebut tampak seolah-olah berfluoresensi
(pseudofluoresen). Dalam keadaan normal fluoresen memerlukan waktu 10-15
detik untuk mencapai arteri siliaris brevis. Sirkulasi koroid terjadi satu detik lebih
awal sebelum sirkulasi retina dan fluoresen berada di sirkulasi retina selama 15-20
detik. FFA dibagi menjadi lima fase:
1. Fase koroid Fluoresen masuk melalui arteri siliaris brevis dan mengisi
lobus-lobus di kapiler koroid yang akan terlihat sebagai gambaran
bercak-bercak, diikuti pengisian dan keluarnya fluoresen dari kapiler koroid
kapilaris yang memberikan gambaran kebocoran fluoresen difus. Pembuluh
darah silioretina dan kapiler diskus optik prelaminar terisi pada fase ini.

20
2. Fase arteri Pengisian arteri retina sentral terjadi satu detik setelah pengisian
koroid.
3. Fase kapilaris Fase kapiler terjadi dengan cepat setelah fase arteri. Jaringan
kapiler perifovea terlihat sangat mencolok karena sirkulasi koroid di
bawahnya tersamarkan oleh pigmen luteal di retina dan pigmen melanin di
epitel pigmen retina. Bagian tengah cincin kapiler merupakan zona avaskular
fovea sehingga tidak ada fluoresen yang mencapai daerah tersebut.
4. Fase vena Pada pengisian awal vena, fluoresen tampak sebagai garis halus
yang menghilang setelah seluruh vena terisi.
5. Fase akhir Setelah 10-15 menit, hanya sebagian kecil fluoresen yang tersisa di
sirkulasi darah.
Fluoresen yang telah meninggalkan sirkulasi menuju ke struktur okular
tampak jelas pada fase ini. Pada uveitis, pemeriksaan FFA bermanfaat
mendokumentasikan fundus saat awal dan selama perjalanan penyakit, mengikuti
respons terapi, membedakan uveitis aktif atau tidak aktif, mengonfirmasi kelainan
yang terjadi seperti edema makula sistoid, neovaskularisasi koroid, vaskulitis
retina, mengidentifikasi daerah kapiler non-perfusi dan neovaskularisasi retina.
Pewarnaan dan kebocoran fluoresen dari pembuluh darah retina (arteri,
vena,kapiler) fokal atau difus menunjukkan vaskulitis yang dapat terjadi pada
tuberkulosis, sarkoidosis, lupus eritematosus, penyakit behcet, dan lain-lain. Efek
samping FFA adalah perubahan warna kulit yang menjadi lebih gelap akibat zat
warna fluoresen, melihat bayangan merah setelah terpapar kilatan cahaya kamera,
perubahan warna urin, mual dan muntah pada 10% kasus yang umumnya bersifat
sementara dan tidak dibutuhkan tatalaksana khusus. Selain itu dapat terjadi
vasovagal syncope pada 1% kasus, reaksi anafilaksis seperti bronkospasme,
urtikaria, hipotensi (<1% kasus), henti jantung dan henti napas (<0,01% kasus)
yang memerlukan resusitasi jantung paru. Vasovagal syncope umumnya tidak
memerlukan terapi namun jika terjadi bradikardia berat diberikan atropin
intravena. Untuk mengatasi anafilaksis, diberikan klorfeniramin 10mg IV,
hidrokortison 100mg IV, dan oksigen sedangkan untuk hipotensi dan
bronkospasme diberikan adrenalin 1:1000 sebanyak 1ml IM.12

21
2.12 Tatalaksana Uveitis
Prinsip penatalaksanaan uveitis adalah untuk menekan reaksi inflamasi,
mencegah dan memperbaiki kerusakan struktur, memperbaiki fungsi penglihatan
serta menghilangkan nyeri dan fotofobia. Kortikosteroid topikal merupakan terapi
pilihan untuk mengurangi inflamasi yaitu prednisolon 0,5%, prednisolon asetat
1%, betametason 1%, deksametason 0,1%, dan fluorometolon 0,1%. Injeksi
kortikosteroid periokular diberikan pada kasus yang membutuhkan depo steroid
dan menghindari efek samping kortikosteroid jangka panjang. Kortikosteroid
sistemik diberikan untuk mengatasi uveitis berat atau uveitis bilateral.
Penggunaan kortikosteroid harus dipantau karena meningkatkan tekanan
intraokular, menimbulkan katarak, glaukoma, dan meningkatkan risiko infeksi
bakteri dan jamur bila digunakan dalam jangka panjang. Kortikosteroid sistemik
dosis tinggi dan jangka panjang harus diturunkan secara perlahan.
Agen imunosupresan diberikan bila peradangan tidak membaik dengan
kortikosteroid atau sebagai obat pendamping agar kortikosteroid tidak digunakan
untuk jangka waktu lama dan dosis tinggi. Imunosupresan dapat dipertimbangkan
sebagai terapi lini pertama pada penyakit behcet, granulomatosis wegener, dan
skleritis nekrotik karena penyakit tersebut dapat mengancam jiwa. Imunosupresan
dibagi menjadi golongan antimetabolit, supresor sel T, dan sitotoksik. Golongan
antimetabolit adalah azatioprin, metotreksat, dan mikofenolat mofetil. Supresor
sel T meliputi siklosporin dan takrolimus sedangkan golongan sitotoksik adalah
siklofosfamid dan klorambusil. Efikasi agen imunosupresan baru tercapai setelah
beberapa minggu sehingga pada awal penggunaan harus dikombinasi dengan
kortikosteroid.33 Penghambat TNF-α diberikan pada penyakit behcet sedangkan
infliksimab dan adalimumab digunakan bila uveitis tidak membaik dengan
metotreksat.
NSAID digunakan untuk mengurangi nyeri dan inflamasi sedangkan
siklopegik diberikan untuk mencegah sinekia posterior. Obat yang diberikan
adalah siklopentolat 0,5-2% dan homatropin. Siklopentolat menginduksi
siklopegik dalam waktu 25-75 menit dan midriasis dalam 30- 60 menit; efek dapat
bertahan selama satu hari. Homatropin merupakan terapi siklopegik pilihan untuk
uveitis; menginduksi siklopegik dalam 30-90 menit dan midriasis 10-30 menit.

22
Efek siklopegik bertahan 10-48 jam sedangkan midriasis bertahan 6 jam-4 hari.
Sulfas atropin diberikan sebagai antiinflamasi dan midriatikum yang bertahan
selama dua minggu.12

multisistemik yang ditandai dengan panuveitis granulomatosa dengan detasemen


retina eksudatif yang mengenai jaringan yang kaya akan melanosit, seperti mata,
telinga bagian dalam, meninges, kulit dan rambut

2.13 Definisi Vogt Koyanagi Harada Disease


Vogt Koyanagi Harada adalah salah satu sindrom uveameningoencephalitis.14
Sindrom Vogt Koyanagi Harada menyebabkan gangguan pada multisistemik yang
mengenai jaringan yang kaya akan melanosit seperti mata, telinga bagian dalam,
meninges dan kulit.2 Uveitis bilateral yang disertai alopesia, poliosis, vitiligo dan
defek pendengaran, biasanya pada dewasa muda, diberi nama penyakit
Vogt-Koyanagi. Apabila koroiditisnya bersifat eksudatif, dapat terjadi pelepasan
retina, dan kompleks yang terjadi disebut Harada.7 Sindrom Vogt Koyanagi
Harada adalah penyakit multisistem yang jarang dijumpai yang ditandai dengan
pan uveitis granulomatosa kronis, bilateral dan bersifat difus, ablasi retina
eksudatif dengan keterlibatan sistem integumen, neurosensorik dan sistem
auditorik.16

2.14 Etiologi Vogt Koyanagi Harada Disease


Studi imunologi dan histopatologis menunjukkan bahwa VKHD adalah
kondisi inflamasi autoimun yang dimediasi oleh Sel T CD4+ yang menargetkan
melanosit. Sel T yang teraktivasi ini kemungkinan memulai proses inflamasi
melalui generasi sitokin, IL 17 dan IL 23, pada individu dengan perubahan
toleransi terhadap melanosit dari sel T regulator yang kurang.
A. Autoimunitas melawan melanosit
Ada bukti yang melibatkan autoimunitas terhadap melanosit sebagai
mekanisme yang mendasari didukung oleh klinis, histopatologis, dan imunologi.
Secara klinis, VKHD hadir dengan vitiligo dan sunset glow fundus yang
diperlihatkan berasal dari hilangnya melanosit di tempat sel inflamasi.

23
Histopatologi VKHD kronis menunjukkan hilangnya melanosit koroid dan adanya
limfosit T dan B di choroid, dengan dominasi limfosit CD4+. Pada mikroskop
elektron dari koroid pada model percobaan tikus, VKHD menunjukkan penebalan
dari inflitrasi oleh limfosit dan sel epiteloid yang mengelilingi melanosit. Maka
dapat diambil kesimpulan bahwa melanosit merupakan target dari proses
inflamasi.
B. Faktor Genetik
Peran faktor genetik pada perkembangan VKHD, seperti alel HLA, pertama
kali ditemukan pada tahun 1976. Studi selanjutnya mengungkapkan alel yang
dikaitkan dengan VKHD, terutama HLA DR1, DR4, DRB1 dengan kepekaan
bervariasi antara 11,76 sampai 45,1. Studi tentang pasien Mestizo di California
Selatan menemukan asosiasi antara HLA DR1, HLA DR4 dan VKHD.
C. Infeksi Virus

Hayasaka dan rekannya mendeskripsikan hampir secara bersamaan onset VKHD


pada 6 rekan kerja, teman, dan tetangga, dipengaruhi faktor lingkungan seperti
virus. Sugita dan rekan mencatat pada tahun 2001 bahwa ada reaksi silang antara
peptida tirosinase dan peptida sitomegalovirus (CMV-egH 290-302), berhipotesis
bahwa mungkin VKHD berkembang pada pasien dari kemiripan molekular
setelah terinfeksi CMV.16

2.15 Epidemiologi Vogt Koyanagi Harada Disease


Prevalensi penyakit ini bervariasi menurut jenis ras. VKHD secara khas
terjadi pada kelompok berpigmen, seperti Hispanik, Asia, Timur Tengah dan
Indian Asia, namun bukan kulit hitam keturunan sub-Sahara Afrika. VKHD
terjadi sebesar 8% pada penderita uveitis di Jepang yaitu sebesar 2,9% di Timur
Tengah, 1,2% di Eropa dan 1-4% di Amerika Serikat. Dalam sebuah penelitian di
India Selatan, prevalensi dilaporkan sebesar 1,4-3,5%.3 VKHD biasanya terjadi
lebih sering pada perempuan dengan rasio antara laki-laki dan perempuan sekitar
2:1 dan merupakan salah satu dari tiga penyebab utama kejadian uveitis di China.4

2.16 Patofisiologi Vogt Koyanagi Harada Disease


Etiologi VKHD yang tepat masih belum dapat ditentukan. Mekanisme yang
paling banyak diterima melibatkan agresi autoimun terhadap antigen yang terkait

24
dengan melanosit pada individu yang rentan secara genetis setelah pemicu infeksi
virus. Genom virus dari famili herpes (virus Epstein-Barr) terdeteksi oleh PCR
(Polymerase Chain Reaction) di vitreus dari pasien VKHD. Sugita dkk.
menggambarkan bahwa sel T dari darah perifer dan cairan intraokular dari pasien
dengan VKHD bereaksi silang dengan protein tirosinase dan dengan sekuens
spesifik sitomegalovirus yang sangat homolog. Temuan histopatologis dan
percobaan in vitro menunjukkan peran limfosit CD4 + T.
Matsuda menunjukkan, pada bola mata dari pasien dengan VKHD, interaksi
erat antara limfosit dan melanosit. Respon imun ditujukan pada protein yang
terkait dengan melanosit. Protein spesifik melanosit, yang terbukti memiliki peran
utama dalam diferensiasi, seperti tirosinase (TYR), protein terkait tirosinase 1
(TRP1) dan 2 (TRP2), MART-1 / Melan A dan Pmel17 / gp100, juga dinyatakan
dalam garis sel melanoma manusia dan dikenali oleh limfosit T pasien dengan
melanoma dan terlibat dalam regresi tumor. PBMCs dari pasien dengan VKHD
mengenali peptida yang berasal dari protein keluarga tirosinase yang terlibat
dalam sintesis melanin. Peptida yang berasal dari TYR, TRP1, dan TRP2
menginduksi penyakit autoimun pada tikus yang menyerupai VKHD, membuat
protein melanosit ini menjadi kandidat autoantigen untuk VKHD. Secara
keseluruhan, data ini menunjukkan bahwa pasien dengan VKHD peka terhadap
epitop melanosit dan menunjukkan respons sitokin Th1 spesifik peptida.
Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa HLA-DR4 (antigen leukosit
manusia) sangat terkait dengan pasien VKHD dari kelompok etnis yang berbeda,
mis. Amerika Utara, Jepang, Cina, Hispanik dan Brasil. Pada populasi di Jepang,
HLA-DRB1 * 0405 dan DRB1 * 0410 memiliki kerentanan gabungan yang kuat
[risiko relatif (RR) = 100].17

25
Gambar 10. Patofisiologi VKDH

2.17 Diagnosis Vogt Koyanagi Harada Disease


VKHD secara klasik dibagi menjadi:17
A. Stadium Prodromal
Stadium prodromal berlangsung beberapa hari dan seperti infeksi virus. Pasien
mungkin mengalami demam, sakit kepala, mual, vertigo, nyeri orbital, fotofobia,
tinnitus, vertigo dan gejala neurologi.
B. Stadium Uveitis Akut
Ini biasanya terjadi dalam 3 sampai 5 hari setelah stadium prodromal dan
berlangsung selama beberapa minggu. Pasien mungkin mengalami penglihatan
kabur yang terjadi secara akut pada kedua mata. Proses patologis yang mendasari
pada tahap awal adalah terjadinya choroiditis yang menyebar. Fitur dari
choroiditis ini adalah detasemen eksudatif retina neurosensori akibat
pembengkakan choroidal yang menyebar. Hyperemia dan edema disk optik
diamati pada sekitar 47%. Pada Fluorescein Angiography terdapat beberapa titik
bocor hyperfluorescent (pinpoint), yang menjadi coalescent akibat akumulasi
fluorescein di ruang subretinal (pooling of dye). Ini adalah ciri khas dari stadium
uveitis akut.

26
Gambar 11. Stadium uveitis akut (FA)

27
(Gambar 11.) Stadium uveitis akut: a dan b: mata kanan dan kiri pada pasien
Vogt-Koyanagoi-Harada Disease tahap akut, terdapat lesi bulat putih kekuningan,
hiperemis dan batas optik disk yang tidak jelas dan detasemen eksudatif retina; c
dan d: fluoreceint angiography awal, menunjukkan pinpoints dan
hiperfluorescence optik disk; e dan f: pinpoint hyperfluorescence meningkat
(tanda panah) dan kebocoran optik disk; g dan h: coalescent akibat akumulasi
fluorescein di ruang subretinal (pooling of dye).

Gambar 12. Stadium uveitis akut (OCT)

(Gambar 12.) OCT scan pada stadium uveitis akut: a dan c: funduskopi
dengan pembengkakan optik disk dan hiperemis, dan beberapa lesi bulat putih
kekuningan dan detasemen eksudatif retina; b: OCT scan menunjukkan
detasement eksudatif retina kasar dengan bahan hiperreflektif didalam cairan
subretinal (fibrin) dan terus berlanjur ke zona ellipsoid; d: OCT scan detasemen
eksudatif retina dengan beberapa kompartmen yang dipisahkan oleh membran.
Peradangan meluas ke segmen anterior dengan derajat yang bervariasi.
Dengan demikian, pasien dengan VKHD mungkin memiliki iridocyclitis
granulomatosa bilateral akut dengan mutton fat keratik presipitat, nodus iris dan
ruang anterior dangkal karena edema tubuh siliaris dan pembengkakan dan
pengumpulan cairan suprachoroidal. Fitur terakhir ini bisa menyebabkan

28
glaukoma penutupan sudut akut. Keterlibatan meningeal dan gejala pendengaran
juga dapat terjadi selama tahap uveitik akut, yang mungkin berlangsung selama
berminggu-minggu atau bahkan berbulan-bulan
C. Stadium Pemulihan
Tahap penyembuhan mengikuti tahap uveitik akut, biasanya beberapa bulan
kemudian. Hal ini ditandai dengan depigmentasi dari integumen dan choroid.
Temuan mungkin termasuk vitiligo, alopecia dan poliosis. Sugiura
menggambarkan depigmentasi perilimbal yang terjadi pada bulan pertama setelah
onset uveitis dan diamati terutama pada subjek Jepang (tanda Sugiura). Pada tahap
ini, berbagai tingkat depigmentasi difus atau terlokalisasi dengan daerah
akumulasi pigmen dapat diamati di fundus. Depigmentasi ini terjadi 2 sampai 3
bulan setelah tahap uveitik; Perubahan itu mungkin berasal dari berambut cokelat
sampai pirang, atau mungkin juga terjadi sebagai fundus glukosa kemerahan yang
berlebihan yang digambarkan sebagai “sunset glow fundus”.

Gambar 13. Stadium Pemulihan


(Gambar 13.) Mata kanan seorang pasien di stadium kronis. a: Fundoscopy
dengan depigmentasi ringan; b: OCT scan menunjukkan peningkatan ketebalan
choroidal 444 ɥm; c dan d: Angiografi hijau indosianin menunjukkan beberapa
titik gelap (panah)

Gambar 14. Sunset glow appearance pada tahap stadium pemulihan

29
D. Stadium rekuren/kronik
Tahap ini bisa mengganggu tahap penyembuhan. Sekitar 17-73% pasien
dapat berkembang menjadi kambuh atau kronisitas. Rubsamen dan Gass
melaporkan tingkat kekambuhan 43% dalam 3 bulan pertama dan 52% dalam 6
bulan pertama. Kekambuhan terutama melibatkan segmen anterior, tanpa
keterlibatan posterior yang terdeteksi secara klinis.
Komplikasi okuler sering dapat diamati pada tahap penyembuhan dan kronis.
Komplikasi okular yang paling sering adalah katarak, glaukoma, neovaskularisasi
koroid dan fibrosis retina / choroidal.

Gejala Klinis Ekstra Okular

Manifestasi meningeal-encephalic serius dan tanda neurologis fokal (yaitu


neuropati, hemiparesis, afasia, myelitis transversal akut dan ganglionitis siliaris)
juga dilaporkan.
Perubahan pada telinga bagian dalam, seperti disakusi, gangguan
pendengaran dan vertigo, telah diamati pada 70% pasien, terutama selama tahap
prodromal. Tinnitus hadir dalam 42%. Pola kehilangan pendengaran biasanya
cochlear pada frekuensi tinggi dengan perbaikan dalam 2 sampai 3 bulan.
Disfungsi vestibular jarang terjadi.
Temuan kutaneous biasanya berkembang selama tahap penyakit kronis atau
sembuh dan termasuk vitiligo, alopecia dan poliosis bulu mata, alis dan rambut
kepala. Vitiligo dapat ditemukan pada 10 sampai 63% pasien. Kulit bagian

30
belakang atau bokong tampaknya merupakan daerah anatomi awal atau utama
yang terlibat.

Gambar 15. Poliosis

Gambar 16. Perilimbal vitiligo

Gambar 17. Lesi pada kulit

31
Kriteria Diagnosis17
Kriteria Diagnosis Vogt-Koyanagi-Harada: International Nomenclature
Committee:
1. Tidak ada riwayat penetrasi trauma okular atau operasi sebelum onset awal
uveitis
2. Tidak ada bukti klinis atau laboratorium yang menunjukkan adanya penyakit
mata lainnya
3. Keterlibatan okular bilateral (a atau b harus dipenuhi, tergantung pada
stadium penyakit saat pasien diperiksa):
a. Manifestasi awal penyakit:
i. Bukti choroiditis yang menyebar (dengan atau tanpa uveitis anterior,
reaksi inflamasi vitreus atau hyperemia optik), yang dapat bermanifestasi
sebagai (A) area fokus cairan subretinal, atau (B) pelepasan retina
eksudatif bulosa.
ii. Jika temuan fundus tidak jelas, maka keduanya:
A. Fluorescein angiography menunjukkan perfusi choroidal tertunda
difokalisasi, beberapa daerah dengan jarak tertentu, area plasetoid
hiperfluoresensi yang luas, penyatuan dalam cairan subretinal, dan
pewarnaan saraf optik.
B. Ultrasonografi menunjukkan penebalan choroidal diffuse tanpa
adanya bukti skleritis posterior

b. Gejala lanjut:
i. Riwayat yang menunjukkan adanya temuan awal sebelumnya yang
dicatat dalam 3a dan baik (ii) atau (iii) di bawah ini, atau banyak tanda
dari (iii) di bawah ini:
ii. Depigmentasi okular: baik (A) sunset glow fundus atau (B) tanda Sugiura
iii. Tanda-tanda okular lainnya termasuk (A) bekas luka korioretik
chumoretinal nummular, atau (B) epitel pigmen retina yang
menggumpal dan / atau migrasi, atau (C) uveitis anterior berulang atau
kronis
4. Temuan neurologis / pendengaran (dapat diselesaikan pada saat evaluasi):

32
a. Meningismus (malaise, demam, sakit kepala, mual, sakit perut, kekakuan
pada leher dan punggung, atau kombinasi dari faktor-faktor ini);
Perhatikan bahwa sakit kepala saja tidak cukup untuk memenuhi definisi
meningismus.
b. Tinnitus
c. Pleocytosis cairan serebrospinal
5. Temuan integumen (tidak mendahului onset sistem saraf pusat atau penyakit
mata):
a. Alopecia, atau
b. Poliosis, atau
c. Virtiligo

VKHD komplit : Kriteria 1-5 terpenuhi


VKHD inkomplit : Kriteria 1-3 dan 4/5 harus terpenuhi
Kemungkinan VKHD (penyakit mata terisolasi) : Kriteria 1-3 terpenuhi

Pemeriksaan Penunjang
Pada pasien tanpa adanya perubahan ekstraokular, dapat dilakukan
beberapa tes konfirmasi. Diantaranya adalah FA (Flavoprotein Autofluorescence),
ICG (Indocyanine Green) Angiography, OCT (Optical Coherence Tomography),
FAF (Fundus Autofluorescence) Imaging, pungsi lumbal dan ultrasonografi.15
Pada tahap uveitis akut, biasanya hasil FA (Flavoprotein Autofluorescence)
menunjukkan punctate hyperfluorescent foci pada epitel pigmen retina diikuti
oleh pooling warna di ruang subretinal di area detasemen neurosensorik.
Sebagaian besar pasien mengalami kebocoran diskus, tapi kebocoran pada
pembuluh darah retina dan CME (Cystoid Macular Edema) jarang terjadi. Pada
tahap convalescent (pemulihan) dan chronic recurrent, terjadi kehilangan dan
atrofi epitel pigmen retina yang menghasilkan multiple hyperfluorescent window
defects tanpa pewarnaan.15
ICG (Indocyanine Green) Angiography menggambarkan patologi koroid,
keterlambatan perfusi pada pembuluh darah koroid dan koriokapilaris, hiper
fluoresen dan kebocoran pembuluh darah stroma koroid, hiper fluoresen pada

33
diskus, multiple bintik hiper fluoresen di seluruh area fundus, dan dianggap sesuai
dengan infiltrasi limfotik dan perubahan pinpoint hiper fluoresen dalam area
ablasi retina eksudatif. Bintik-bintik hiper fluoresen ini bisa ditemukan pada
fuduskopi dan hasil temuan pada FA (Flavoprotein Autofluorescence) berfungsi
sebagai penanda yang sensitif untuk mendeteksi dan follow up inflamasi koroid
subklinis.15
Ultrasonografi dapat membantu dalam menegakkan diagnosis, terutama
bila adanya media opasitas. Gambaran temuan ultrasonografi meliputi difus,
penebalan reflektif koroid posterior dari tingkat rendah sampai sedang, yang
paling menonjol adalah di area peripapillary dengan perluasan ke region
equatorial, terdapat juga ablasi retina eksudatif, kekeruhan pada vitreous dan
penebalan sklera pada bagian posterior.15
OCT (Optical Coherence Tomography) berguna dalam diagnosis dan
monitor pelepasan makular serosa, CME (Cystoid Macular Edema), dan membran
vaskular koroidal. Baru-baru ini, penggunaan kombinasi FAF (Fundus
Autofluorescence) Imaging dan OCT (Optical Coherence Tomography)
menawarkan penilaian non invasif epitel pigmen retina dan perubahan pada
lapisan luar retina pada pasien sindrom Vogt Koyanagi Harada tahap kronik yang
mungkin tidak terlihat saat pemeriksaan klinis.15
Dalam kasus yang tidak khas penampakannya, khususnya pasien pada
tahap awal penyakit dengan tanda-tanda neurologis yang menonjol dan
manifestasi okular yang kurang, pungsi lumbal dapat dilakukan dimana dapat
ditemukan pleositosis limfositik yang berguna untuk diagnosa. Namun, sebagian
besar kasus, riwayat penyakit dan pemeriksaan klinis bersama FA (Flavoprotein
Autofluorescence) dan atau tanpa ultrasonografi cukup untuk menegakkan
diagnosis.15

34
2.18 Diagnosis Banding17

2.19 Tatalaksana Vogt Koyanagi Harada Disease


Pengobatan awal adalah dengan steroid lokal dan midriatikum, tetapi
sering diperlukan steroid sistemik dalam dosis besar untuk mencegah kehilangan
penglihatan yang permanen.15
Pada stadium akut, sindrom Vogt Koyanagi Harada sangat responsif
terhadap terapi awal yang meliputi pengobatan topikal, periokular, kortikosteroid
sistemik, sikloplegik dan agen midriatik. Dosis inisial prednison oral adalah
1,0-1,5 mg/kg/hari atau metilprednisolon intravena 200mg untuk 3 hari diikuti
kortikosteroid oral dosis tinggi meskipun cara pemberian tidak mempengaruhi
perubahan ketajaman visus atau perkembangan komplikasi visus yang signifikan.
Untuk pasien yang tidak menunjukkan respon yang baik terhadap terapi sistemik,
dapat digunakan kortikosteroid intravitreal, temasuk fluosinolon asetonid
intravitreal implan. Kortikosteroid sistemik harus dilakukan tapering off sesuai
dengan respon klinis, rata-rata setelah 6 bulan, dalam upaya mencegah
perkembangan penyakit ke tahap chronic recurrent dan mengurangi insiden dan
keparahan manifestasi ekstraokular.15

35
Meskipun pengobatan awal cukup adekuat dengan kortikosteroid sistemik,
banyak pasien mengalami inflamasi episode berulang. Ini menyebabkan banyak
ahli menggunakan IMT (Immunomodulatory Therapy) termasuk siklosporin,
azatioprin, mikofenolat mofetil, klorambusil, siklofosfamid, dan infliksimab untuk
mengkontrol proses inflamasi dan memudahkan tapering off kortikosteroid
dengan cepat.15

2.20 Prognosis Koyanagi Harada Disease


Jika pasien sindrom Vogt Koyanagi Harada di diagnosis dini dan diberikan
penanganan awal dan tepat, ini memungkinkan pasien tersebut mempunyai
kesempatan yang baik untuk mempertahankan penglihatan. Beberapa studi
menunjukkan bahwa sindrom Vogt Koyanagi Harada pada anak dan orang Afrika
Amerika mungkin lebih agresif. Terdapat kecenderungan perbaikan fungsi
penglihatan, tetapi hal ini tidak selalu sempurna.7

2.21 Komplikasi Koyanagi Harada Disease17

36
BAB III
KESIMPULAN

Sindrom Vogt-Koyanagi-Harada secara khas ditandai dengan panuveitis


bilateral dan ablasi retina eksudatif dan berhubungan pula dengan berbagai
manifestasi dermatologik dan neurosensorik.2,7,14,15 Etiologi sindrom Vogt
Koyanagi Harada, kondisi inflamasi autoimun yang dimediasi oleh Sel T CD4+
yang menargetkan melanosit, Peran faktor genetik pada perkembangan VKHD,
seperti alel HLA dan reaksi silang antara peptida tirosinase dan peptida
sitomegalovirus .16 VKHD secara khas terjadi pada kelompok berpigmen, seperti
Hispanik, Asia, Timur Tengah dan Indian Asia, namun bukan kulit hitam
keturunan sub-Sahara Afrika. Penyakit ini dapat mengenai laki-laki maupun
perempuan, meskipun timbul predominan pada perempuan.3,4 Sindrom Vogt
Koyanagi Harada mempunyai empat tahapan, yaitu prodromal, uveitis akut,
pemulihan dan rekuren/kronik.17 Penderita dengan berbagai gejala klinis dari
sindrom Vogt-Koyanagi-Harada (VKH) meliputi iridosiklitis bilateral kronik,
uveitis posterior, ablasi retina eksudatif, katarak, disertai manifestasi dermatologis.
Ciri utama untuk mendiagnosa sindrom Vogt Koyanagi Harada adalah terjadi
pada kedua mata (bilateral), tidak ada riwayat trauma penetrasi okular dan tidak
ada riwayat penyakit okular atau sistemik lain.17 Pengobatan awal adalah dengan
steroid lokal dan midriatikum, tetapi sering diperlukan steroid sistemik dalam
dosis besar untuk mencegah kehilangan penglihatan yang permanen.
Kortikosteroid aksi pendek seperti prednison, dapat diberikan dalam dosis
100-120 mg/hari, berdasarkan tingkat keparahan15 Jika pasien sindrom Vogt
Koyanagi Harada didiagnosis dini dan diberikan penanganan awal dan tepat, ini
memungkinkan pasien tersebut mempunyai kesempatan yang baik untuk
mempertahankan penglihatan.7 Komplikasi dari sindrom Vogt Koyanagi Harada
berupa katarak, glaukoma, choroidal neurovascularization (CNV), edema makular
kistoid, atrofi optik disk dan ptisis bulbi.17

37
DAFTAR PUSTAKA

1. Lavezzo MM, Sakata VM, Morita C, Rodriguez EEC, Abdallah SF, Silva
FTG, Hirata CE, Yamamoto JH. Vogt-Koyanagi-Harada disease: review of a
rare autoimmune disease targeting antigens of melanocytes. Orphanet Journal
of Rare Diseases. 2016; 11(29):1-21

2. Walton R. Vogt-Koyanagi-Harada Disease. Available at


https://reference.medscape.com/article/1229432-overview#showall Accesed
January 19, 2018

3. Lodhi SAK, Reddy JML, Peram V. Clinical spectrum and management


options in Vogt-Koyanagi-Harada Disease. Clin Ophthalmol. 2017;
11:1399-406

4. Ng JYW, Luk FOJ, Lai TYY, Pang CP. Influence of molecular genetics in
Vogt-Koyanagi-Harada Disease. J Ophthalmic Inflamm Infect. 2014;
4(20):1-12

5. Yeung IYL, Popp NA, Chan CC. The role of gender in uveitis and ocular
inflammation. Int Ophthalmol Clin. 2015; 55(3):111-31

6. Al-Dhibi HA, Al-Mahmood AM, Arevalo JF. A systematic approach to


emergencies in uveitis. Middle East Afr J Ophthalmol. 2014; 21(3):251-8

7. Vaughan & Ashbury. Oftalmologi umum, Ed 17. Jakarta: EGC. 2015

8. Ilyas S, Yulianti SR. Ilmu Penyakit Mata. Fakultas Kedokteran Universitas


Indonesia, Ed 5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI Jakarta. 2015

9. Laar JAM, Rothova A, Missotten T, Kuijpers RWAM, Hagen PM, Velthoven


MEJ. Diagnosis and treatment of uveitis; not restricted to the ophthalmologist.
Journal of clinical and translational research. 2015(2):94-9

10. Kelkar AS, Arora ER, Sowkath B, Biswas J. Uveitis: Classification,


etiologies and clinical signs. 2016; 26(4):264-71

38
11. International Uveitis Study Group. Available at https://www.iusg.net/
Accesed January 19, 2018

12. Sitompul R. Diagnosis dan Penatalaksanaan Uveitis dalam Upaya Mencegah


Kebutaan. eJKI. 2016; 4(1):60-70

13. Lin P, Suhler EB, Rosenbaum JT. The future of uveitis treatment. American
academy of ophthalmology. 2014;121(1):365-76

14. Nattama J, Voth D, Jacobsen J, The Vogt-Koyanagi-Syndrome: association


with Hypothyroidism and Diabetes Mellitus, King Fahad Hospital, Al Baha,
Saudi Arabia, Postgraduate Medical Journal,2012

15. American Academy of Ophthalmology (AAO), Intraocular Inflammation and


Uveitis, Basic and Clinical Science Course, Section 9; 2011-2012 : 183 - 190
16. O’Keefe GAD, Rao NA. Vogt-Koyanagi-Harada Disease. Survey of
ophthalmology. 2017;62:1-25
17. Lavezzo MM, Sakata VM, Morita C, Rodriguez EEC, Abadallah SF, Silva
FTG, Hirata CE, Yamamoto JH. Vogt-Koyanagi-Harada disease: review of a
rare autoimmune disease targeting antigens of melanocytes. Orphanet journal
of rare disease. 2016;11(29):1-21

39

Anda mungkin juga menyukai