VOGT-KOYANAGI-HARADA DISEASE
PEMBIMBING:
dr. Ayu S. Bulo Oetoyo, Sp.M, M.Sc
DISUSUN OLEH:
Nadia Fernanda
030.13.133
“VOGT-KOYANAGI-HARADA DISEASE”
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat dan
rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul
“Vogt-Koyanagi-Harada Disease”. Referat ini disusun untuk memenuhi salah satu
tugas dalam Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Mata di Rumah Sakit Umum
Daerah Budhi Asih. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih
kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam penyusunan dan penyelesaian
referat ini, terutama kepada dr. Ayu S. Bulo Oetoyo, Sp.M, M.Sc selaku
pembimbing yang telah memberikan waktu dan bimbingannya sehingga referat ini
dapat terselesaikan.
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan referat ini tidak lepas dari
kesalahan dan kekurangan, maka dari itu penulis mengharapkan berbagai saran
dan masukan untuk perbaikan selanjutnya. Akhir kata, penulis berharap semoga
referat ini dapat memberikan manfaat sebesar-besarnya dalam bidang kedokteran,
khususnya untuk bidang ilmu penyakit mata.
Nadia Fernanda
030.13.133
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
Jika tidak ditatalaksana dengan baik, uveitis dapat menyebabkan penurunan
kualitas penglihataan, termasuk kebutaan.5,6
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Traktus uvealis terdiri atas iris, corpus ciliare dan koroid (Gambar 1). Bagian
ini merupakan lapisan vaskular tengah mata dan dilindungi oleh kornea dan sklera.
Struktur ini ikut mendarahi retina.
Iris
Iris adalah perpanjangan corpus ciliare ke anterior. Iris berupa permukaan
pipih dengan apertura bulat yang terletak di tengah, pupil. Iris terletak
bersambungan dengan permukaan anterior lensa, memisahkan bilik mata depan
dari bilik mata belakang, yang masing-masing berisi aqeous humor. Di dalam
stroma iris terdapat sfingter dan otot-otot dilator. Kedua lapisan berpigmen pekat
3
pada permukaan posterior iris merupakan perluasan neuroretina dan lapisan epitel
pigmen retina ke arah anterior.
Pendarahan iris didapat dari circulus major iris. Kapiler-kapiler iris
mempunyai lapisan endotel yang tak berlubang (nonfenestrated) sehingga
normalnya tidak membocorkan fluoresein yang disuntikkan secara intravena.
Persarafn sensoris iris melalui serabut-serabut dalam nervi ciliares.
Pada iris terdapat 2 macam otot yang mengatur besarnya pupil, yaitu
muskulus dilatator yang berfungsi melebarkan pupil dan muskulus sfingter pupil
yang berfungsi mengecilkan pupil. Kedua otot tersebut memeilihara ketegangan
iris sehingga tetap tergelar datar. Dalam keadaan normal, pupil kanan dan kiri
kira-kira sama besarnya, keadaan ini disebut isokoria. Apabila ukuran pupil kanan
dan kiri tidak sama besar, keadaan ini disebut anisokoria (Gambar 2).
Iris mengendalikan banyaknya cahaya yang masuk ke dalam mata. Ukuran
pupil pada prinsipnya ditentukan oleh keseimbangan antara konstriksi akibat
aktivitas parasimpatis yang dihantarkan melalui nervus kranialis III dan dilatasi
yang ditimbulkan oleh aktivitas simpatis.
4
Corpus Ciliare
Corpus ciliare, yang secara kasar berbentuk segitiga pada potongan melintang,
membentang ke depan dari ujung anterior koroid ke pangkal iris (sekitar 6 mm).
corpus ciliare terdiri atas zona anterior yang berombak-ombak, pars plikata, dan
zona posterior yang datar, pars plana (Gambar 3). Processus ciliares berasal dari
pars plikata. Processus ciliares ini terutama terbentuk dari kapiler dan vena yang
bermuara ke vena-vena vorticosa. Kapiler-kapilernya besar dan berlubang-lubang
sehingga membocorkan fluoresein yang disuntikkan secara intravena. Ada dua
lapisan epitel siliaris: satu lapisan tanpa pigmen di sebelah dalam, yang
merupakan perluasan neuroretina ke anterior; dan satu lapisan berpigmen di
sebelah luar, yang merupakan perluasan lapisan epitel pigmen retina. Processus
ciliares dan epitel siliaris pembungkusnya berfungsi sebagai pembentuk aqueous
humor.
Aqueous humor ini sangat menentukan tekanan bola mata (tekanan
intraokular/TIO). Aqueous humor mengalir melalui kamera okuli posterior ke
kamera okuli anterior melalui pupil, kemudian ke angulus iridokornealis,
kemudian melewati trabekulum meshwork menuju canalis Schlemm, selanjutnya
menuju kanalis kolektor masuk ke dalam vena episklera untuk kembali ke jantung
(Gambar 4).
Musculus ciliaris, tersusun dari gabungan serat-serat longitudinal, sirkular
dan radial. Fungsi serat-serat sirkular adalah untuk mengerutkan dan relaksasi
serat-serat zonula, yang berorigo di lembah-lembah diantara processus ciliares.
Otot ini mengubah tegangan pada kapsul lensa sehingga lensa dapat mempunyai
berbagai fokus baik untuk objek bejarak dekat maupun yang berjarak jauh dalam
lapangan pandang. Serat-serat longitudinal musculus ciliaris menyisip ke dalam
anyaman trabekula untuk mempengaruhi besar porinya.
Pembuluh-pembuluh darah yang mendarahi corpus ciliare berasal dari
circulus arteriosus major iris. Persarafan sensoris iris melalui saraf-saraf siliaris.
5
Gambar 3. Posterior corpus ciliare
Koroid
Koroid adalah segmen posterior uvea, diantara retina dan sklera. Koroid
tersusun atas tiga lapis pembuluh darah koroid; besar, sedang dan kecil. Semakin
dalam pembuluh terletak di dalam koroid, semakin besar lumennya. Bagian dalam
pembuluh darah koroid dikenal sebagai koriokapilaris. Darah dari pembuluh
koroid dialirkan melalui empat vena vorticosa, satu di tiap kuadran posterior.
Koroid di sebelah dalam dibatasi oleh membran Bruch dan di sebelah luar oleh
6
sklera. Ruang suprakoroid terletak diantara koroid dan sklera. Koroid melekat erat
ke posterior pada tepi-tepi nervus opticus. Disebelah anterior, koroid bergabung
dengan corpus ciliare.
Kumpulan pembuluh darah koroid memperdarahi bagian luar retina yang
menyokongnya.
7
5. Lapisan inti dalam badan-badan sel bipolar, amakrin dan horizontal
6. Lapisan pleksiform luar yang mengandung sambungan sel bipolar dan sel
horizontal dengan fotoreseptor
7. Lapisan inti luar sel fotoreseptor
8. Membran limitans eksterna
9. Lapisan fotoreseptor segmen dalam dan luar batang dan kerucut
10. Epitel pigmen retina
Retina mempunyai tebal 0,1 mm pada ora serata dan 0,56 mm pada kutup
posterior. Ditengah-tengah retina posterior terdapat makula berdiameter 5,5-6 mm,
yang secara klinis dinyatakan sebagai daerah yang dibatasi oleh cabang-cabang
pembuluh darah retina temporal. Daerah ini ditetapkan oleh ahli anatomi sebagai
area sentralis, yang secara histologi merupakan bagian retina yang ketebalan
lapisan sel ganglionnya lebih dari 1 lapis. Makula lutea secara anatomis
didefinisikan sebagai daerah berdiameter 3 mm yang mengandung pigmen luteal
kuning xantofil. Fovea yang berdiameter 1,5 mm ini merupakan zona avaskular
retina pada angiografi fluoresens. Secara histologis, fovea ditandai sebagai daerah
yang mengalami penipisan lapisan inti luar tanpa disertai lapisan parenkim lain.
Hal ini terjadi karena akson-akson sel fotoreseptor berjalan miring (lapisan
serabut Henle) dan lapisan-lapisan retina yang lebih dekat dengan permukaan
dalam retina lepas secara sentrifugal. Ditengah makula, 4 mm lateral dari diskus
optikus, terdapat foveola yang berdiameter 0,25 mm, yang secara klinis tampak
jelas dengan oftalmoskop. Sebagai cekungan yang menimbulkan pantulan khusus.
Foveola merupakan bagian retina yang paling tipis (0,25 mm) dan hanya
mengandung fotoreseptor kerucut. Gambaran histologis fovea dan foveola ini
memungkinkan diskriminasi visual yang tajam; foveola memberikan ketajaman
visual yang optimal. Ruang ekstraselular retina yang normalnya kosong
cenderung paling besar di makula. Penyakit yang menyebabkan penumpukan
bahan ekstrasel secara khusus dapat mengakibatkan penebalan pada daerah ini
(edema makula).
Retina menerima darah dari dua sumber; koriokapilaris yang berada tepat
diluar membran Bruch, yang mendarahi sepertiga luar retina, termasuk lapisan
pleksiform luar dan lapisan inti luar, fotoreseptor dan lapisan pigmen retina; serta
8
cabang-cabang dari arteria sentralis retinae, yang mendarahi duapertiga dalam
retina. Fovea seluruhnya didarahi oleh koriokapilaris dan rentan terhadap
kerusakan yang tak dapat diperbaiki bila retina mengalami ablasi. Pembuluh darah
retina mempunyai lapisan endotel yang tidak berlubang, yang membentuk sawar
darah-retina. Lapisan endotel pembuluh koroid berlubang-lubang. Sawar
darah-retina sebelah luar terletak setinggi lapisan epitel pigmen retina.
Vitreus
Vitreus adalah suatu badan gelatin yang jernih dan avaskular yang
membentuk duapertiga volume dan berat mata. Vitreus mengisi ruangan yang
dibatasi oleh lensa, retina dan diskus optikus. Permukaan luar vitreus-membran
hialoid normalnya berkontak dengan struktur-struktur berikut:
1. Kapsul lensa posterior
2. Serat serat zonula
3. Pars plana lapisan epitel
4. Retina
5. Caput nervi optici
Basis vitreus mempertahankan penempelan yang kuat seumur hidup kelapisan
epitel pars plana dan retina tepat dibelakang ora serata. Diawal kehidupan, vitreus
melekat kuat pada kapsul lensa dan caput nervi optici, tetapi segera berkurang
dikemudian hari.
Vitreus mengandung air sekitar 99%. sisa 1% meliputi dua komponen;
kolagen dan asam hialuronat, yang memberi bentuk dan konsistensi mirip gel
pada vitreu karena kemampuannya mengikat banyak air.
9
Gambar 5. Lapisan-lapisan retina
10
2.4 Klasifikasi Uveitis9,10
11
12
2.5 Epidemiologi Uveitis
Kejadian uveitis bervariasi dari 14 sampai 52,4 / 100.000 dengan prevalensi
keseluruhan di seluruh dunia hingga 0,73%. Pada sekitar setengah pasien, usia
onset ada pada dekade ketiga atau keempat, maka mereka hadir pada usia dimana
mereka berada dalam masa aktif kehidupan kerjanya. Distribusi usia ini membuat
uveitis menjadi sekelompok penyakit mata yang memiliki dampak sosioekonomi
yang penting. Ada sub kelompok khusus pada anak-anak yang dikaitkan dengan
artritis idiopatik remaja.11
13
anterior akut adalah injeksi siliar akibat vasodilatasi arteri siliaris posterior longus
dan arteri siliaris anterior yang memperdarahi iris serta badan siliar. Di bilik mata
depan terdapat pelepasan sel radang, pengeluaran protein (cells and flare) dan
endapan sel radang di endotel kornea (presipitat keratik). Presipitat keratik halus
umumnya akibat inflamasi nongranulomatosa dan presipitat keratik kasar
berhubungan dengan inflamasi granulomatosa. Derajat inflamasi dapat ditentukan
dengan menghitung sel di bilik mata depan seluas 1x1 mm lapang pemeriksaan
slit beam. Hasil pemeriksaan dinyatakan sebagai derajat 0 (sel <1), trace (sel 1-5),
+1 (sel 6-15), +2 (sel 16-25), +3 (sel 26-50), dan +4 (sel >50). Untuk derajat trace
dan +1, jumlah sel dituliskan dalam kurung setelah penulisan derajat, sebagai
contoh +1 (sel 6). Hal itu untuk memudahkan penilaian ketika dilakukan
pemeriksaan ulang mengingat rentang jumlah sel dalam kedua kelompok tersebut
sangat kecil. Flare dinilai berdasarkan kekeruhan cairan akuos di bilik mata depan.
Derajat 0 bila tidak terdapat flare, +1 (derajat ringan), +2 (derajat sedang, iris dan
lensa terlihat jelas), +3 (flare tampak jelas, iris dan lensa tidak jelas), dan +4 (flare
hebat dengan fibrin di cairan akuos). Derajat inflamasi bermanfaat untuk menilai
keparahan dan efektivitas terapi. Uveitis anterior dikatakan inaktif atau mereda
bila dijumpai sedikit sel di bilik mata depan. Terapi dinilai berhasil bila jumlah sel
menurun dua derajat atau menurun sampai derajat 0 sedangkan inflamasi dinilai
memburuk bila jumlah sel meningkat dua derajat atau meningkat ke derajat +3
atau +4.12
14
Gambar 7. Presipitat keratik
15
2.8 Uveitis Posterior
Uveitis posterior adalah peradangan lapisan koroid yang sering melibatkan
jaringan sekitar seperti vitreus, retina, dan nervus optik. Infeksi paling sering
disebabkan oleh T.gondii, M.tuberculosis, sifilis, VHS, VVZ, cytomegalovirus
(CMV), dan HIV. Pada kasus non-infeksi, uveitis posterior disebabkan oleh
koroiditis multifokal, birdshot choroidopathy, sarkoidosis, dan neoplasma. Uveitis
posterior timbul perlahan namun dapat terjadi secara akut. Pasien mengeluh
penglihatan kabur yang tidak disertai nyeri, mata merah, dan fotofobia.
Komplikasi dapat berupa katarak, glaukoma, kekeruhan vitreus, edema makula,
kelainan pembuluh darah retina, parut retina, ablasio retinae, dan atrofi nervus
optik. Prognosis uveitis posterior lebih buruk dibandingkan uveitis anterior karena
menurunkan tajam penglihatan dan kebutaan apabila tidak ditatalaksana dengan
baik.12
2.9 Panuveitis
Panuveitis adalah peradangan seluruh uvea dan struktur sekitarnya seperti
retina dan vitreus. Penyebab tersering adalah tuberkulosis, sindrom VKH,
oftalmia simpatika, penyakit behcet, dan sarkoidosis. Diagnosis panuveitis
ditegakkan bila terdapat koroiditis, vitritis, dan uveitis anterior.12
16
fotoreseptor, sehingga berkontribusi terhadap keadaan kekebalan tubuh. Sel epitel
pigmen retina dianggap memainkan peran penting dalam menginduksi sel T
regulator melalui produksi asam retinoat di hadapan TGF-b.
Komponen inflamasi dari sistem kekebalan tubuh meliputi limfosit T-helper
(Th) 1 dan limfosit Th17, yang menghasilkan sitokin seperti IL-17 dan IL-23, dan
factor nekrosis tumor (TNF) -a, yang merekrut leukosit dari sirkulasi dan
mengakibatkan kerusakan jaringan. Beberapa sitokin, seperti interferon (IFN) -g,
bisa bersifat protektif atau inflamasi pada waktu dimana mereka diproduksi.
Berbagai manifestasi klinis uveitis non infeksi mungkin karena, sebagian
perbedaan antigen yang ada pada pemicu peradangan okular dipresentasikan ke
sistem kekebalan tubuh akibat kerusakan jaringan lokal. Jika tidak, respon
kekebalan tubuh yang berbahaya dapat dipicu oleh kemiripan antara antigen tubuh
dan antigen mikroorganisme. Misalnya pada Sindrom Vogt Koyanagi Harada,
mungkin timbul dikarenakan sensitisasi menyimpang dari sel T untuk tironase,
protein yang diproduksi oleh melanosit di mata dan tempat lain di tubuh dan
dianggap meniru antigen sitomegalovirus.13
17
2.11 Diagnosis Uveitis
Anamnesis dan pemeriksaan mata bernilai tinggi dalam menentukan
diagnosis klinis kelainan mata. Sandler menyatakan bahwa 56% diagnosis
diperoleh dari anamnesis dan meningkat sampai 73% setelah pemeriksaan fisik
termasuk mata. Klasifikasi uveitis yang disusun oleh SUN sangat membantu
menegakkan diagnosis uveitis. Pada klasifikasi tersebut, uveitis dibagi menjadi
uveitis anterior, uveitis intermediet, uveitis posterior, dan panuveitis.
Uveitis anterior dapat berupa nyeri, fotofobia, penglihatan kabur, injeksi siliar,
dan hipopion.
Uveitis posterior dapat menurunkan tajam penglihatan namun tidak disertai
nyeri, mata merah, dan fotofobia bahkan sering asimtomatik.
Uveitis intermediet umumnya ringan, mata tenang dan tidak nyeri namun
dapat menurunkan tajam penglihatan.
Panuveitis merupakan peradangan seluruh uvea yang menimbulkan koroiditis,
vitritis, dan uveitis anterior.
Dalam menegakkan diagnosis, perlu diperhatikan apakah uveitis terjadi di
satu mata atau di kedua mata. Selain itu, perlu diperhatikan usia, ras, onset, durasi,
tingkat keparahan gejala, riwayat penyakit mata dan penyakit sistemik
sebelumnya.
Slit-lamp digunakan untuk menilai segmen anterior karena dapat
memperlihatkan injeksi siliar dan episklera, skleritis, edema kornea, presipitat
keratik, bentuk dan jumlah sel di bilik mata, hipopion serta kekeruhan lensa.
Pemeriksaan oftalmoskop indirek ditujukan untuk menilai kelainan di segmen
posterior seperti vitritis, retinitis, perdarahan retina, koroiditis dan kelainan papil
nervus optik.
Pemeriksaan laboratorium bermanfaat pada kelainan sistemik misalnya
darah perifer lengkap, laju endap darah, serologi, urinalisis, dan antinuclear
antibody. Pemeriksaan laboratorium tidak bermanfaat pada kondisi tertentu
misalnya uveitis ringan dan trauma. Untuk mendiagnosis infeksi virus dapat
dilakukan pemeriksaan PCR, kultur dan tes serologi. Sensitivitas serologi akan
meningkat bila disertai pemeriksaan koefisien goldmannwitmer yaitu
18
membandingkan konsentrasi hasil pemeriksaan cairan akuos dengan serologi
darah. Diagnosis pasti toksoplasmosis ditegakkan jika pemeriksaan IgM
Toxoplasma memberikan hasil positif atau jika titer antibodi IgG Toxoplasma
meningkat secara bermakna (4x lipat) atau terjadi konversi IgG dari negatif ke
positif pada pemeriksaan kedua dengan interval 2-3 minggu. Pemeriksaan cairan
intraokular dengan PCR sangat spesifik. Perbandingan kadar IgG Toxoplasma
cairan akuos dan serum cukup sensitif (48–90%). Diagnosis tuberkulosis okular
ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan mata, dan pemeriksaan
penunjang seperti rontgen toraks, tes tuberkulin, dan pemeriksaan sputum dengan
pewarnaan ziehl-neelsen. Pemeriksaan lainnya adalah PCR (menggunakan
spesimen dari aqueous tap atau biopsi vitreus), dan interferon-gamma release
assay (IGRA). PCR sangat spesifik untuk mendeteksi Mycobacterium namun
sensitivitasnya bervariasi. Diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan gejala klinis
dan ditemukannya Mycobacterium dari spesimen okular (kultur atau amplifikasi
DNA).
Pemeriksaan serologi sifilis dibagi menjadi nontreponema dan treponema.
Serologi nontreponema meliputi venereal disease research laboratory (VDLR) dan
rapid plasma reagin sedangkan serologi treponema meliputi fluorescent
treponemal antibody absorbed dan T.pallidum particle agglutination.
Optical coherence tomography (OCT) merupakan pemeriksaan non-invasif
yang dapat memperlihatkan edema makula, membran epiretina, dan sindrom
traksi vitreomakula. Saat ini telah dikembangkan high-definition spectraldomain
OCT yang memberikan resolusi lebih tinggi dan waktu lebih singkat
dibandingkan time-domain OCT. Spectral-domain OCT bermanfaat pada uveitis
dengan media keruh.
USG B-scan sangat membantu memeriksa segmen posterior mata pada
keadaan media keruh misalnya pada katarak dan vitritis. USG B-scan dapat
membedakan ablasio retinae eksudatif dengan regmatosa serta membedakan
uveitis akibat neoplasma atau abses. USG B-scan dapat menilai penebalan koroid
seperti pada sindrom VKH dan menilai pelebaran ruang tenon yang sangat khas
pada skleritis posterior.
19
Fundus fluoresen angiografi (FFA) adalah fotografi fundus yang dilakukan
berurutan dengan cepat setelah injeksi zat warna natrium fluoresen (FNa)
intravena. FFA memberikan informasi mengenai sirkulasi pembuluh darah retina
dan koroid, detail epitel pigmen retina dan sirkulasi retina serta menilai integritas
pembuluh darah saat fluoresen bersirkulasi di koroid dan retina. Fluoresen
diekskresi dalam 24 jam dan pada waktu tersebut dapat menyebabkan urin pasien
berwarna oranye. Cara Pemeriksaan FFA. Sebanyak 5 ml fluoresen 10%
disuntikkan intravena kemudian mata pasien disinari cahaya biru dan fundus
dilihat melalui filter kuning. Pada keadaan normal, fluoresen cahaya biru tidak
dapat menembus filter kuning sehingga tidak terlihat apapun. Fluoresen di dalam
pembuluh koroid dan retina akan menyerap sinar biru dan memancarkan sinar
kuning sehingga sinar kuning akan melewati filter dan tervisualisasi. Hanya
jaringan mengandung fluoresen yang dapat dilihat. Pada keadaan normal,
fluoresen tidak dapat melewati tight cellular junctions yaitu endotel pembuluh
darah retina dan epitel pigmen retina sedangkan di sirkulasi koroid, fluoresen
bebas keluar melalui kapiler koroid menuju membran bruch. FFA dapat
menggambarkan keadaan sawar darah-retina dan setiap kebocoran fluoresen ke
retina merupakan kondisi abnormal. Kapiler di prosesus siliaris bersifat permeabel
sehingga fluoresen segera terlihat di akuos setelah injeksi intravena. Fluoresen di
akuos dan vitreus memancarkan sinar kuning yang merefleksikan struktur
berwarna putih di dalam mata seperti diskus optik, serat bermielin, dan eksudat
kasar, sehingga struktur tersebut tampak seolah-olah berfluoresensi
(pseudofluoresen). Dalam keadaan normal fluoresen memerlukan waktu 10-15
detik untuk mencapai arteri siliaris brevis. Sirkulasi koroid terjadi satu detik lebih
awal sebelum sirkulasi retina dan fluoresen berada di sirkulasi retina selama 15-20
detik. FFA dibagi menjadi lima fase:
1. Fase koroid Fluoresen masuk melalui arteri siliaris brevis dan mengisi
lobus-lobus di kapiler koroid yang akan terlihat sebagai gambaran
bercak-bercak, diikuti pengisian dan keluarnya fluoresen dari kapiler koroid
kapilaris yang memberikan gambaran kebocoran fluoresen difus. Pembuluh
darah silioretina dan kapiler diskus optik prelaminar terisi pada fase ini.
20
2. Fase arteri Pengisian arteri retina sentral terjadi satu detik setelah pengisian
koroid.
3. Fase kapilaris Fase kapiler terjadi dengan cepat setelah fase arteri. Jaringan
kapiler perifovea terlihat sangat mencolok karena sirkulasi koroid di
bawahnya tersamarkan oleh pigmen luteal di retina dan pigmen melanin di
epitel pigmen retina. Bagian tengah cincin kapiler merupakan zona avaskular
fovea sehingga tidak ada fluoresen yang mencapai daerah tersebut.
4. Fase vena Pada pengisian awal vena, fluoresen tampak sebagai garis halus
yang menghilang setelah seluruh vena terisi.
5. Fase akhir Setelah 10-15 menit, hanya sebagian kecil fluoresen yang tersisa di
sirkulasi darah.
Fluoresen yang telah meninggalkan sirkulasi menuju ke struktur okular
tampak jelas pada fase ini. Pada uveitis, pemeriksaan FFA bermanfaat
mendokumentasikan fundus saat awal dan selama perjalanan penyakit, mengikuti
respons terapi, membedakan uveitis aktif atau tidak aktif, mengonfirmasi kelainan
yang terjadi seperti edema makula sistoid, neovaskularisasi koroid, vaskulitis
retina, mengidentifikasi daerah kapiler non-perfusi dan neovaskularisasi retina.
Pewarnaan dan kebocoran fluoresen dari pembuluh darah retina (arteri,
vena,kapiler) fokal atau difus menunjukkan vaskulitis yang dapat terjadi pada
tuberkulosis, sarkoidosis, lupus eritematosus, penyakit behcet, dan lain-lain. Efek
samping FFA adalah perubahan warna kulit yang menjadi lebih gelap akibat zat
warna fluoresen, melihat bayangan merah setelah terpapar kilatan cahaya kamera,
perubahan warna urin, mual dan muntah pada 10% kasus yang umumnya bersifat
sementara dan tidak dibutuhkan tatalaksana khusus. Selain itu dapat terjadi
vasovagal syncope pada 1% kasus, reaksi anafilaksis seperti bronkospasme,
urtikaria, hipotensi (<1% kasus), henti jantung dan henti napas (<0,01% kasus)
yang memerlukan resusitasi jantung paru. Vasovagal syncope umumnya tidak
memerlukan terapi namun jika terjadi bradikardia berat diberikan atropin
intravena. Untuk mengatasi anafilaksis, diberikan klorfeniramin 10mg IV,
hidrokortison 100mg IV, dan oksigen sedangkan untuk hipotensi dan
bronkospasme diberikan adrenalin 1:1000 sebanyak 1ml IM.12
21
2.12 Tatalaksana Uveitis
Prinsip penatalaksanaan uveitis adalah untuk menekan reaksi inflamasi,
mencegah dan memperbaiki kerusakan struktur, memperbaiki fungsi penglihatan
serta menghilangkan nyeri dan fotofobia. Kortikosteroid topikal merupakan terapi
pilihan untuk mengurangi inflamasi yaitu prednisolon 0,5%, prednisolon asetat
1%, betametason 1%, deksametason 0,1%, dan fluorometolon 0,1%. Injeksi
kortikosteroid periokular diberikan pada kasus yang membutuhkan depo steroid
dan menghindari efek samping kortikosteroid jangka panjang. Kortikosteroid
sistemik diberikan untuk mengatasi uveitis berat atau uveitis bilateral.
Penggunaan kortikosteroid harus dipantau karena meningkatkan tekanan
intraokular, menimbulkan katarak, glaukoma, dan meningkatkan risiko infeksi
bakteri dan jamur bila digunakan dalam jangka panjang. Kortikosteroid sistemik
dosis tinggi dan jangka panjang harus diturunkan secara perlahan.
Agen imunosupresan diberikan bila peradangan tidak membaik dengan
kortikosteroid atau sebagai obat pendamping agar kortikosteroid tidak digunakan
untuk jangka waktu lama dan dosis tinggi. Imunosupresan dapat dipertimbangkan
sebagai terapi lini pertama pada penyakit behcet, granulomatosis wegener, dan
skleritis nekrotik karena penyakit tersebut dapat mengancam jiwa. Imunosupresan
dibagi menjadi golongan antimetabolit, supresor sel T, dan sitotoksik. Golongan
antimetabolit adalah azatioprin, metotreksat, dan mikofenolat mofetil. Supresor
sel T meliputi siklosporin dan takrolimus sedangkan golongan sitotoksik adalah
siklofosfamid dan klorambusil. Efikasi agen imunosupresan baru tercapai setelah
beberapa minggu sehingga pada awal penggunaan harus dikombinasi dengan
kortikosteroid.33 Penghambat TNF-α diberikan pada penyakit behcet sedangkan
infliksimab dan adalimumab digunakan bila uveitis tidak membaik dengan
metotreksat.
NSAID digunakan untuk mengurangi nyeri dan inflamasi sedangkan
siklopegik diberikan untuk mencegah sinekia posterior. Obat yang diberikan
adalah siklopentolat 0,5-2% dan homatropin. Siklopentolat menginduksi
siklopegik dalam waktu 25-75 menit dan midriasis dalam 30- 60 menit; efek dapat
bertahan selama satu hari. Homatropin merupakan terapi siklopegik pilihan untuk
uveitis; menginduksi siklopegik dalam 30-90 menit dan midriasis 10-30 menit.
22
Efek siklopegik bertahan 10-48 jam sedangkan midriasis bertahan 6 jam-4 hari.
Sulfas atropin diberikan sebagai antiinflamasi dan midriatikum yang bertahan
selama dua minggu.12
23
Histopatologi VKHD kronis menunjukkan hilangnya melanosit koroid dan adanya
limfosit T dan B di choroid, dengan dominasi limfosit CD4+. Pada mikroskop
elektron dari koroid pada model percobaan tikus, VKHD menunjukkan penebalan
dari inflitrasi oleh limfosit dan sel epiteloid yang mengelilingi melanosit. Maka
dapat diambil kesimpulan bahwa melanosit merupakan target dari proses
inflamasi.
B. Faktor Genetik
Peran faktor genetik pada perkembangan VKHD, seperti alel HLA, pertama
kali ditemukan pada tahun 1976. Studi selanjutnya mengungkapkan alel yang
dikaitkan dengan VKHD, terutama HLA DR1, DR4, DRB1 dengan kepekaan
bervariasi antara 11,76 sampai 45,1. Studi tentang pasien Mestizo di California
Selatan menemukan asosiasi antara HLA DR1, HLA DR4 dan VKHD.
C. Infeksi Virus
24
dengan melanosit pada individu yang rentan secara genetis setelah pemicu infeksi
virus. Genom virus dari famili herpes (virus Epstein-Barr) terdeteksi oleh PCR
(Polymerase Chain Reaction) di vitreus dari pasien VKHD. Sugita dkk.
menggambarkan bahwa sel T dari darah perifer dan cairan intraokular dari pasien
dengan VKHD bereaksi silang dengan protein tirosinase dan dengan sekuens
spesifik sitomegalovirus yang sangat homolog. Temuan histopatologis dan
percobaan in vitro menunjukkan peran limfosit CD4 + T.
Matsuda menunjukkan, pada bola mata dari pasien dengan VKHD, interaksi
erat antara limfosit dan melanosit. Respon imun ditujukan pada protein yang
terkait dengan melanosit. Protein spesifik melanosit, yang terbukti memiliki peran
utama dalam diferensiasi, seperti tirosinase (TYR), protein terkait tirosinase 1
(TRP1) dan 2 (TRP2), MART-1 / Melan A dan Pmel17 / gp100, juga dinyatakan
dalam garis sel melanoma manusia dan dikenali oleh limfosit T pasien dengan
melanoma dan terlibat dalam regresi tumor. PBMCs dari pasien dengan VKHD
mengenali peptida yang berasal dari protein keluarga tirosinase yang terlibat
dalam sintesis melanin. Peptida yang berasal dari TYR, TRP1, dan TRP2
menginduksi penyakit autoimun pada tikus yang menyerupai VKHD, membuat
protein melanosit ini menjadi kandidat autoantigen untuk VKHD. Secara
keseluruhan, data ini menunjukkan bahwa pasien dengan VKHD peka terhadap
epitop melanosit dan menunjukkan respons sitokin Th1 spesifik peptida.
Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa HLA-DR4 (antigen leukosit
manusia) sangat terkait dengan pasien VKHD dari kelompok etnis yang berbeda,
mis. Amerika Utara, Jepang, Cina, Hispanik dan Brasil. Pada populasi di Jepang,
HLA-DRB1 * 0405 dan DRB1 * 0410 memiliki kerentanan gabungan yang kuat
[risiko relatif (RR) = 100].17
25
Gambar 10. Patofisiologi VKDH
26
Gambar 11. Stadium uveitis akut (FA)
27
(Gambar 11.) Stadium uveitis akut: a dan b: mata kanan dan kiri pada pasien
Vogt-Koyanagoi-Harada Disease tahap akut, terdapat lesi bulat putih kekuningan,
hiperemis dan batas optik disk yang tidak jelas dan detasemen eksudatif retina; c
dan d: fluoreceint angiography awal, menunjukkan pinpoints dan
hiperfluorescence optik disk; e dan f: pinpoint hyperfluorescence meningkat
(tanda panah) dan kebocoran optik disk; g dan h: coalescent akibat akumulasi
fluorescein di ruang subretinal (pooling of dye).
(Gambar 12.) OCT scan pada stadium uveitis akut: a dan c: funduskopi
dengan pembengkakan optik disk dan hiperemis, dan beberapa lesi bulat putih
kekuningan dan detasemen eksudatif retina; b: OCT scan menunjukkan
detasement eksudatif retina kasar dengan bahan hiperreflektif didalam cairan
subretinal (fibrin) dan terus berlanjur ke zona ellipsoid; d: OCT scan detasemen
eksudatif retina dengan beberapa kompartmen yang dipisahkan oleh membran.
Peradangan meluas ke segmen anterior dengan derajat yang bervariasi.
Dengan demikian, pasien dengan VKHD mungkin memiliki iridocyclitis
granulomatosa bilateral akut dengan mutton fat keratik presipitat, nodus iris dan
ruang anterior dangkal karena edema tubuh siliaris dan pembengkakan dan
pengumpulan cairan suprachoroidal. Fitur terakhir ini bisa menyebabkan
28
glaukoma penutupan sudut akut. Keterlibatan meningeal dan gejala pendengaran
juga dapat terjadi selama tahap uveitik akut, yang mungkin berlangsung selama
berminggu-minggu atau bahkan berbulan-bulan
C. Stadium Pemulihan
Tahap penyembuhan mengikuti tahap uveitik akut, biasanya beberapa bulan
kemudian. Hal ini ditandai dengan depigmentasi dari integumen dan choroid.
Temuan mungkin termasuk vitiligo, alopecia dan poliosis. Sugiura
menggambarkan depigmentasi perilimbal yang terjadi pada bulan pertama setelah
onset uveitis dan diamati terutama pada subjek Jepang (tanda Sugiura). Pada tahap
ini, berbagai tingkat depigmentasi difus atau terlokalisasi dengan daerah
akumulasi pigmen dapat diamati di fundus. Depigmentasi ini terjadi 2 sampai 3
bulan setelah tahap uveitik; Perubahan itu mungkin berasal dari berambut cokelat
sampai pirang, atau mungkin juga terjadi sebagai fundus glukosa kemerahan yang
berlebihan yang digambarkan sebagai “sunset glow fundus”.
29
D. Stadium rekuren/kronik
Tahap ini bisa mengganggu tahap penyembuhan. Sekitar 17-73% pasien
dapat berkembang menjadi kambuh atau kronisitas. Rubsamen dan Gass
melaporkan tingkat kekambuhan 43% dalam 3 bulan pertama dan 52% dalam 6
bulan pertama. Kekambuhan terutama melibatkan segmen anterior, tanpa
keterlibatan posterior yang terdeteksi secara klinis.
Komplikasi okuler sering dapat diamati pada tahap penyembuhan dan kronis.
Komplikasi okular yang paling sering adalah katarak, glaukoma, neovaskularisasi
koroid dan fibrosis retina / choroidal.
30
belakang atau bokong tampaknya merupakan daerah anatomi awal atau utama
yang terlibat.
31
Kriteria Diagnosis17
Kriteria Diagnosis Vogt-Koyanagi-Harada: International Nomenclature
Committee:
1. Tidak ada riwayat penetrasi trauma okular atau operasi sebelum onset awal
uveitis
2. Tidak ada bukti klinis atau laboratorium yang menunjukkan adanya penyakit
mata lainnya
3. Keterlibatan okular bilateral (a atau b harus dipenuhi, tergantung pada
stadium penyakit saat pasien diperiksa):
a. Manifestasi awal penyakit:
i. Bukti choroiditis yang menyebar (dengan atau tanpa uveitis anterior,
reaksi inflamasi vitreus atau hyperemia optik), yang dapat bermanifestasi
sebagai (A) area fokus cairan subretinal, atau (B) pelepasan retina
eksudatif bulosa.
ii. Jika temuan fundus tidak jelas, maka keduanya:
A. Fluorescein angiography menunjukkan perfusi choroidal tertunda
difokalisasi, beberapa daerah dengan jarak tertentu, area plasetoid
hiperfluoresensi yang luas, penyatuan dalam cairan subretinal, dan
pewarnaan saraf optik.
B. Ultrasonografi menunjukkan penebalan choroidal diffuse tanpa
adanya bukti skleritis posterior
b. Gejala lanjut:
i. Riwayat yang menunjukkan adanya temuan awal sebelumnya yang
dicatat dalam 3a dan baik (ii) atau (iii) di bawah ini, atau banyak tanda
dari (iii) di bawah ini:
ii. Depigmentasi okular: baik (A) sunset glow fundus atau (B) tanda Sugiura
iii. Tanda-tanda okular lainnya termasuk (A) bekas luka korioretik
chumoretinal nummular, atau (B) epitel pigmen retina yang
menggumpal dan / atau migrasi, atau (C) uveitis anterior berulang atau
kronis
4. Temuan neurologis / pendengaran (dapat diselesaikan pada saat evaluasi):
32
a. Meningismus (malaise, demam, sakit kepala, mual, sakit perut, kekakuan
pada leher dan punggung, atau kombinasi dari faktor-faktor ini);
Perhatikan bahwa sakit kepala saja tidak cukup untuk memenuhi definisi
meningismus.
b. Tinnitus
c. Pleocytosis cairan serebrospinal
5. Temuan integumen (tidak mendahului onset sistem saraf pusat atau penyakit
mata):
a. Alopecia, atau
b. Poliosis, atau
c. Virtiligo
Pemeriksaan Penunjang
Pada pasien tanpa adanya perubahan ekstraokular, dapat dilakukan
beberapa tes konfirmasi. Diantaranya adalah FA (Flavoprotein Autofluorescence),
ICG (Indocyanine Green) Angiography, OCT (Optical Coherence Tomography),
FAF (Fundus Autofluorescence) Imaging, pungsi lumbal dan ultrasonografi.15
Pada tahap uveitis akut, biasanya hasil FA (Flavoprotein Autofluorescence)
menunjukkan punctate hyperfluorescent foci pada epitel pigmen retina diikuti
oleh pooling warna di ruang subretinal di area detasemen neurosensorik.
Sebagaian besar pasien mengalami kebocoran diskus, tapi kebocoran pada
pembuluh darah retina dan CME (Cystoid Macular Edema) jarang terjadi. Pada
tahap convalescent (pemulihan) dan chronic recurrent, terjadi kehilangan dan
atrofi epitel pigmen retina yang menghasilkan multiple hyperfluorescent window
defects tanpa pewarnaan.15
ICG (Indocyanine Green) Angiography menggambarkan patologi koroid,
keterlambatan perfusi pada pembuluh darah koroid dan koriokapilaris, hiper
fluoresen dan kebocoran pembuluh darah stroma koroid, hiper fluoresen pada
33
diskus, multiple bintik hiper fluoresen di seluruh area fundus, dan dianggap sesuai
dengan infiltrasi limfotik dan perubahan pinpoint hiper fluoresen dalam area
ablasi retina eksudatif. Bintik-bintik hiper fluoresen ini bisa ditemukan pada
fuduskopi dan hasil temuan pada FA (Flavoprotein Autofluorescence) berfungsi
sebagai penanda yang sensitif untuk mendeteksi dan follow up inflamasi koroid
subklinis.15
Ultrasonografi dapat membantu dalam menegakkan diagnosis, terutama
bila adanya media opasitas. Gambaran temuan ultrasonografi meliputi difus,
penebalan reflektif koroid posterior dari tingkat rendah sampai sedang, yang
paling menonjol adalah di area peripapillary dengan perluasan ke region
equatorial, terdapat juga ablasi retina eksudatif, kekeruhan pada vitreous dan
penebalan sklera pada bagian posterior.15
OCT (Optical Coherence Tomography) berguna dalam diagnosis dan
monitor pelepasan makular serosa, CME (Cystoid Macular Edema), dan membran
vaskular koroidal. Baru-baru ini, penggunaan kombinasi FAF (Fundus
Autofluorescence) Imaging dan OCT (Optical Coherence Tomography)
menawarkan penilaian non invasif epitel pigmen retina dan perubahan pada
lapisan luar retina pada pasien sindrom Vogt Koyanagi Harada tahap kronik yang
mungkin tidak terlihat saat pemeriksaan klinis.15
Dalam kasus yang tidak khas penampakannya, khususnya pasien pada
tahap awal penyakit dengan tanda-tanda neurologis yang menonjol dan
manifestasi okular yang kurang, pungsi lumbal dapat dilakukan dimana dapat
ditemukan pleositosis limfositik yang berguna untuk diagnosa. Namun, sebagian
besar kasus, riwayat penyakit dan pemeriksaan klinis bersama FA (Flavoprotein
Autofluorescence) dan atau tanpa ultrasonografi cukup untuk menegakkan
diagnosis.15
34
2.18 Diagnosis Banding17
35
Meskipun pengobatan awal cukup adekuat dengan kortikosteroid sistemik,
banyak pasien mengalami inflamasi episode berulang. Ini menyebabkan banyak
ahli menggunakan IMT (Immunomodulatory Therapy) termasuk siklosporin,
azatioprin, mikofenolat mofetil, klorambusil, siklofosfamid, dan infliksimab untuk
mengkontrol proses inflamasi dan memudahkan tapering off kortikosteroid
dengan cepat.15
36
BAB III
KESIMPULAN
37
DAFTAR PUSTAKA
1. Lavezzo MM, Sakata VM, Morita C, Rodriguez EEC, Abdallah SF, Silva
FTG, Hirata CE, Yamamoto JH. Vogt-Koyanagi-Harada disease: review of a
rare autoimmune disease targeting antigens of melanocytes. Orphanet Journal
of Rare Diseases. 2016; 11(29):1-21
4. Ng JYW, Luk FOJ, Lai TYY, Pang CP. Influence of molecular genetics in
Vogt-Koyanagi-Harada Disease. J Ophthalmic Inflamm Infect. 2014;
4(20):1-12
5. Yeung IYL, Popp NA, Chan CC. The role of gender in uveitis and ocular
inflammation. Int Ophthalmol Clin. 2015; 55(3):111-31
38
11. International Uveitis Study Group. Available at https://www.iusg.net/
Accesed January 19, 2018
13. Lin P, Suhler EB, Rosenbaum JT. The future of uveitis treatment. American
academy of ophthalmology. 2014;121(1):365-76
39