Anda di halaman 1dari 30

REFERAT

Obat Simpatomimetik

Disusun oleh:
Ninda Pangestika Setyawan
Rayhana Nur Asyiah

Pembimbing
dr. Dedi A, Sp.An

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESI


RSUD BUDHI ASIH
PERIODE 23 JULI – 25 AGUSTUS 2018
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan
rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul “Obat Simpatomimetik”. Referat
ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas dalam kepaniteraan klinik di bagian Ilmu
Anestesiologi RSUD Budhi Asih. Penulis mengucapkan terima kasih terutama kepada dr. Dedi
A, Sp.An selaku pembimbing atas masukan dan pengarahannya dalam penulisan referat ini.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kelancaran
penyelesaian referat ini, termasuk para dokter dan staf RSUD Budhi Asih serta teman-teman
kepaniteraan klinik Ilmu Anestesiologi atas segala bentuk bantuan dan dukungannya.

Penulis menyadari dalam pembuatan referat ini masih terdapat banyak kekurangan, oleh
karena itu penulis mengharapkan segala kritik dan saran yang bersifat membangun untuk
menyempurnakan referat ini. Penulis berharap semoga referat ini dapat bermanfaat bagi penulis
maupun pembaca.

Jakarta, Agustus 2018

Ninda Pangestika S,
Rayhana Nur Asyiah

1
LEMBAR PERSETUJUAN

LAPORAN REFERAT DENGAN JUDUL


“Obat Simpatomimetik”

Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing sebagai syarat


untuk menyelesaikan kepaniteraan klinik Departemen Ilmu Anestesi
di Rumah Sakit Umum Daerah Budhi Asih periode 23 Juli – 25 Agustus 2018

Jakarta, Agustus 2018

dr. Dedi A, Sp, An

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................................................................... 1
LEMBAR PERSETUJUAN................................................................................................................................2
DAFTAR ISI ...................................................................................................................................................3
I. PENDAHULUAN....................................................................................................................................4
II. PEMBAHASAN......................................................................................................................................5
2.1 Komponen Seluler.................................................................................................................................5
2.2 Sifat Listrik Sel Saraf..............................................................................................................................6
2.3 Transmisi Sinaps ...................................................................................................................................8
2.3.1 Aktivitas Post-Synaptic Neurotransmitter............................................................................. 9
2.4 Perubahan Efisiensi Sinaps................................................................................................................. 10
2.5 Fisiologi Adrenoreceptor........................................................................................................12
2.6 Agonis Adrenergik ...............................................................................................................................18
KESIMPULAN............................... .............................................................................................................. 27
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................................................... 28

3
BAB I
PENDAHULUAN

Sistem saraf berkoordinasi dengan sistem endokrin untuk mengatur dan mengintegrasikan
fungsi tubuh. Sistem endokrin mengirim sinyal kepada target jaringan melalui kandungan hormon yang
bervariasi di dalam darah. Sedangkan sistem saraf, mengirimkan sinyalnya dengan transmisi yang cepat
melalui impuls elektris yang melewati serabut saraf dan berakhir pada sel efektor.1 Kedua sistem ini
mempunyai integrasi tingkat tinggi di otak dan mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi proses
yang letaknya relatif jauh dalam tubuh, sertamenggunakan zat kimia untuk mentransmisikan informasi.2
Setiap neuron merupakan suatu satuan unit anatomi yang pada umumnya tidak mempunyai kontinuitas
struktural satu dengan lainnya. Komunikasi antar neuron, maupun antara neuron dan sel efektor terjadi
melalui pelepasan sinyal kimia spesifik, yang disebut neurotransmiter. Meskipun terdapat lebih dari 50
sinyal kimia spesifik yang dilepaskan neuron dan berhasil diidentifikasi, terdapat 6 neurotransmiter yang
paling sering terlibat dalam kerja terapi melalui obatobatan, yaitu: norepinefrin, epinefrin, asetilkolin,
dopamin, serotonin, histamin dan γ – amino butiric acid (GABA). 1 Sistem saraf keseluruhan secara
anatomis dibagi dua, yang pertama adalah Sistem Saraf Pusat (SSP) yang terdiri dari otak dan medulla
spinalis, yang kedua adalah Sistem Saraf Perifer, mencakup seluruh saraf yang masuk maupun keluar
dari Sistem Saraf Pusat. Sistem Saraf Perifer dapat dibagi menjadi kelompok saraf efferen yaitu saraf
yang membawa sinyal dari SSP menuju perifer dan kelompok saraf afferen yaitu saraf yang membawa
sinyal dari perifer menuju SSP. Kelompok saraf eferen dibagi menjadi dua kelompok yaitu Sistem Saraf
Somatis yang kerjanya dipengaruhi kontrol kesadaran dan Sistem Saraf Otonom yang bekerja tanpa
dipengaruhi kontrol kesadaran. Pada sistem saraf otonom, neurotransmitter kolinergik dan
neurotransmiter adrenergik memegang peranan utama sebagai sinyal kimia spesifik.
Obat simpatomimetik adalah obat yang memacu saraf simpatis atau obat yang
menyerupai stimulasi saraf simpatis. Saraf simpatis yang dimaksud adalah saraf postganglioner
yang umumnya menggunakan noradrenalin sebagai neurotransmitternya. Obat ini disebut juga
obat adrenergik atau obat noradrenergik karena obat ini menstimulasi serabut saraf noradrenegik
atau saraf adrenergic yang terletak di dalam serabut simpatis. Serabut simpatis merupakan bagian
saraf autonom.

4
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Komponen Seluler


Komponen sel utama yang terdapat pada susunan saraf pusat adalah neuron dan glia. Neuron
memiliki beberapa bentuk, namun secara morfologi terdiri atas empat bagian, yaitu badan sel,
dendrite, axon dan axon terminal. 1

5
Sel glia yang terdapat pada susunan saraf pusat terdiri atas :
• Astrosit, yang berfungsi sebagai
(1) pemisah antar saraf dan jalannya saraf
(2) membantu perbaikan cedera saraf
(3) memodulasi lingkungan mikro metabolik dan ionik sel saraf.
• Oligodendrosit, yang memiliki cabang lebih sedikit dan lebih halus daripada astrosit, berperan dalam
pembentukan selubung myelin di sekitar axon. : Neurofarmakologi - Asetilkolin dan Nore Efinefrin
• Mikroglia, merupakan sel kecil yang tersebar dan akan berproliferasi setelah terjadi cedera ataupun
proses degeneratif. Sel ini dapat membentuk makrofag dan menyingkirkan debris pada tempat
terjadinya cedera. 1
Sel-sel glia membantu kontrol lingkungan di sekitar neuron dan memiliki peran
penting pada banyak fungsi saraf. Sel saraf harus bekerja dengan cepat dan berulang-ulang untuk
mentransmisikan informasi, dan penting untuk selalu menyuplai neurotransmitter pada axon terminal.
Kebanyakan sel saraf mensintesis neurotransmitter secara lokal di bagian terminal, kecuali
neurotransmitter golongan peptide, yang disintesis sebagai molekul prekursor besar di sel tubuh dan
ditransportasikan ke axon terminal. 1

2.2 Sifat Listrik Sel Saraf


Membran sel saraf membentuk barier fisik untuk meniadakan difusi molekul
larut antara kompartemen intraseluler dan ekstraseluler. Sifat listrik sel saraf ini terbentuk dari
kemampuan permukaan membrannya untuk mengontrol perpindahan molekul bermuatan (ion) dan
secara selektif memusatkannya pada salah satu sisi membran sel. Total gradien ion menghasilkan
perbedaan muatan (voltage) antara sisi membran, yang dikenal sebagai potensial membran. Ini
merupakan mekanisme utama dimana informasi disimpan dan diproses di susunan saraf pusat. 1
Pumps dan channels merupakan dua mekanisme utama perpindahan molekul
melalui membran, yang tujuan utamanya adalah mengontrol perpindahan ion. Disamping itu dikenal
pula leak current, merupakan sifat dan permeabilitas yang relatif kecil dan konstan dari membran sel
terhadap ion. Distribusi ion Na+ , K + dan Cl- merupakan penentu utama potensial membran pada
susunan saraf pusat. 1
Na+ dan Clditemukan dalam konsentrasi yang tinggi di luar sel, sedangkan K +
konsentrasinya tinggi di dalam sel. Gradien konsentrasi ini mendorong Na+ untuk masuk ke dalam sel
dan K+ ke luar sel. Proses ini didukung oleh pompa Na+K + -ATPase, yang menukarkan 3 ion Na+ dengan

6
2 ion K+ dan menghasilkan distribusi muatan yang sedikit berbeda antara sisi membran dan
mempertahankan resting membrane potential. Ion Cldidistribusikan secara luas melalui kebanyakan
membran sel saraf, namun hanya memberikan sedikit peranan pada resting membrane potential,
namun penting untuk menentukan respon elektrik terhadap sinyal yang datang. 1
Pada saat istirahat, membran sel saraf permeabel terhadap K+ karena sebagian
besar channel Na+ tertutup, namun banyak channel K + yang terbuka. Hal ini menyebabkan bagian
dalam sel saraf menjadi lebih negatif. Meskipun resting membrane potential ini dianggap sebagai akibat
dari permeabilitas selektif terhadap K+ , beberapa channel Na+ pun terbuka pada saat istirahat. Hal ini
menyebabkan beberapa Na+ masuk ke dalam sel dan mengurangi besarnya resting membrane potential,
yang menunjukkan kisaran angka –90 sampai –40 mV, tergantung aktivitas relatif berbagai pumps dan
channel. 1
Potensial Aksi
Potensial aksi memungkinkan sel saraf membawa sinyal listrik dalam jarak yang
panjang tanpa kehilangan kekuatan sinyalnya. Impuls listrik secara aktif dan cepat disebarkan melalui
axon sampai ke terminal saraf, dan dikenal dengan allor-non phenomenon. Potensial aksi dihasilkan dari
perubahan permeabilitas ion channel pada membran sel.

7
2.3 Transmisi Sinaps
Axon terminal dipisahkan dari sel yang berdekatan dengan celah sebesar 20 nm, dan
sinyal yang datang harus mampu melewati celah tersebut. Hal ini mampu dicapai oleh area khusus
untuk komunikasi axon terminal, yang dikenal sebagai sinaps. Setelah axon mencapai titik terminalnya,
axon akan mengeluarkan berbagai macam materi subseluler khusus, antara lain varicosities dan axon
terminal yang mengandung mitokondria dan sejumlah sinaptik vesikel. Bagian terminal ini membentuk
area kontak khusus dengan sel yang berdekatan, yang disebut sel post-synaptic. Depolarisasi yang
terjadi pada axon terminal dapat secara langsung mempengaruhi potensial membran pada sel post-
synaptic. 1

2 jenis sinaps, yaitu sinaps elektrik dan sinaps kimia. Pada sinaps elektrik, channel protein yang besar
menjadi penghubung celah antara membran pre- dan post-synaptic. Hal tersebut memungkinkan
adanya aliran ion dan molekul kecil lainnya dari bagian dalam satu sel ke bagian dalam sel yang lain.
Ketika potensial aksi memasuki sinaps elektrik, influks muatan posistif yang dihasilkan pada terminal
pre-synaptic dapat secara langsung mengalir ke sel postsynaptic dan menyebabkan terjadinya
depolarisasi lokal.
Sinaps kimia memiliki kekhususan yang lebih besar dibandingkan dengan sinaps elektrik.
Terminal pre-synaptic harus memiliki mekanisme penyimpanan neurotransmitter dan juga pelepasannya
sebagai respons terhadap rangsang depolarisasi. Sedangkan sel post-synaptic harus memiliki reseptor
untuk dapat mendeteksi keberadaan sekaligus mengidentifikasi neurotransmitter yang berbeda-beda
dan memulai perubahan yang tepat terhadap fisiologi dan metabolisme sel. 1 Kriteria lain yang dapat
digunakan untuk mengklasifikasikan sinaps adalah jarak antara terminal pre-synaptic dan target post-

8
synaptic. Dikenal adanya sinaps langsung dan sinaps tidak langsung. Sinaps neuromuscular junction
antara saraf motorik somatic dan otot skelet adalah contoh sinaps langsung. Dalam hal ini, terminal pre-
synaptic dan membran post-synaptic berjerak sangat dekat (sekitar 20 sampai 20 nm), yang dapat
menyebarkan informasi secara luas ke sekitar terminal dan juga membatasi difusi neurotransmitter
asetilkolin. Sedangkan sinaps yang terjadi antara saraf simpatis postganglion dan target organnya pada
system saraf otonom merupakan contoh sinaps tidak langsung.

2.3.1 Aktivitas Post-synaptic Neurotransmitter


Setelah dilepaskan, neurotransmitter hanya akan efektif bila berinteraksi dengan
reseptornya pada sel target. Spesifisitas interaksi neuronal ini ditentukan oleh jenis transmitter yang
dilepaskan dan jenis reseptor.
Reseptor merupakan alat yang dapat mendeteksi informasi yang masuk ke dalam sel. Reseptor
telah diketahui memiliki tempat ikatan dengan struktur yang kaku. Reseptor biasanya berikatan hanya
dengan satu jenis transmitter, walaupun substansi alami dan sintesis lainnya dapat berikatan dengan
afinitas yang tinggi. Namun demikian, setiap jenis transmitter dapat mengaktivasi lebih dari satu jenis
reseptor.
Keberadaan reseptor dapat dilihat dari ada atau tidaknya respon suatu area sel atau membrane
sel terhadap transmitter. Kebanyakan reseptor terletak pada plasma membrane eksternal, yang
memungkinkan cepatnya penerimaan informasidan juga pemindahan neurotransmitternya.
Neurotransmitter juga dapat mengaktifkan reseptor yang terdapat pada terminal saraf yang melepaskan
neurotransmitter tersebut. Jenis reseptor ini disebut autoreseptor.
Respon suatu sel saraf terhadap neurotransmitter tergantung pada berapa banyak jenis
reseptor yang tersedia untuk setiap jenis neurotransmitter yang dilepaskan. Penting untuk diketahui
bahwa pemberian neurotransmitter atau obat tidak selalu menghasilkan efek post-synaptic yang sama.
Sebagai contoh, pada sistem saraf perifer, pelepasan asetilkolin menyebabkan relaksasi otot jantung dan
subtipe reseptor yang berbeda akan menimbulkan efek kontraksi otot skelet. Pada sistem saraf pusat,
mekanisme transduksi sinyal yang utama terjadi pada membran sel eksterna, dan pengaruh utama
aktivasi reseptor merupakan pengaruh langsung pada channel ion atau aktivasi salah satu protein
pengatur golongan nukleotida guanine, yaitu protein G. Aktivasi protein G yang berbedabeda dapat
mengaktifkan channel ion spesifik, atau secara umum, merubah aktivitas membrane terikat enzim yang
mensintesis atau melepaskan second messenger di dalam sel. Second messenger ini menghasilkan efek

9
metabolic pada sel, terutama aktivasi fosforilasi protein oleh protein kinase dan pelepasan kalsium
intraseluler.
Setiap transmitter dapat mengaktivasi reseptor yang berbeda-beda melalui mekanisme
transduksi sinyal yang jelas, oleh karena itu, satu transmitter dapat menghasilkan pengaruh yang
berbeda pada tiap sel yang berbeda pula. Sebagai contoh, asetilkolin menyebabkan depolarisasi resting
membrane potential pada satu sel melalui aktivasi reseptor nikotinik, yang menyebabkan influks Na+ .
Pada sel yang lain, asetilkolin menyebabkan hiperpolarisasi melalui aktivasi reseptor muskarinik dan
terjadi effluks K+ .

2.4. Perubahan Efisiensi Sinaps


Perubahan efisiensi sinaps ini mencakup perubahan pada pelepasan transmitter dan
sensitivitas post-synaptic. Besarnya jumlah transmitter yang dilepaskan terhadap adanya rangsang
depolarisasi diatur oleh dua faktor, yaitu (1) konsentrasi kalsium intrasel dan (2) availabilitas transmitter.
Kekuatan hubungan sinaps dapat berubah sebagai akibat dari perlakuan terhadap sel. Untuk ini dikenal
istilah habituasi. Habituasi merupakan penurunan potensial post-synaptic akibat rangsang berulang
terhadap satu sinaps. Respons terhadap input tunggal dapat bervariasi karena adanya perubahan pada
sel post-synaptic. Sel dapat meningkatkan atau menurunkan responsnya terhadap transmitter sebagai
tanggapan terhadap perubahan input sinaps. Bila rangsang yang datang lebih cepat dari kedaan normal,
sel post-synaptic akan menerima lebih banyak transmitter dan seringkali mengurangi responsnya
terhadap input berikutnya. Fenomena semacam ini dikenal sebagai desensitasi atau subsensitivitas,
yang dapat melindungi sel dari rangsang yang berlebihan. Sebaliknya, dapat pula terjadi
supersensitivitas, bila terjadi penurunan impuls yang normal yang mengakibatkan peningkatan respons
seluler.

10
Sistem Saraf Otonom membawa sinyal saraf dari SSP menuju organ efektor melelui dua tipe
saraf eferen. Tipe yang pertama adalah saraf preganglionik, dendritnya terletak di SSP. Saraf
preganglionik keluar dari brain stem maupun medulla spinalis dan membentuk hubungan sinaptik dalam
ganglia. Ganglia ini merupakan stasiun relay antara saraf preganglionik dengan tipe saraf yang kedua,
saraf postganglionik. Saraf postganglionik mempunyai dendrit yang berada dalam ganglia kemudian
neuritnya berakhir pada organ efektor.

11
Antara saraf preganglionik dan saraf postganglionik juga terjadi transmisi sinyal menggunakan
neurotransmiter. Neurotransmiter yang dilepaskan bagian terminal saraf preganglionik melewati
hubungan sinaptik kedua saraf tersebut kemudian berikatan dengan reseptor spesifik.
Saraf otonom yang mensintesis dan melepaskan asetilkolin sebagai neurotransmiter neuron disebut
kolinergik. Sedangkan saraf otonom yang mensintesis dan melepaskan adrenalin/epinefrin sebagai
neurotransmiter disebut neuron adrenergik.

2.5 Fisiologi Adrenoceptor

Adrenergik pada awalnya mengarah pada efek dari epinephrine (adrenaline), berlawanan dengan
efek kolinergik dari acetilcolin. Sekarang dapat kita ketahui norephinephrine (noradrenaline)
adalah neurotransmitter yang bertanggung jawab pada sebagian besar aktivitas adrenergic dari
system persarafan oleh serat simpatis postgaglionis pada jaringan akhir organ. Sedangkan
acetilkolin dilepaskan oleh serat simpatis preganglionis dan semua parasimpatis. Norephinefrine
disintesis di sitoplasma dan masuk ke vesikel dari serat postganglionis simpatis. Setelah
dilepaskan melalui proses eksotosis, kerja dari norephinefrine diakhiri melalui pengambilan

12
kembali ke dalam postganglion nerve ending, difusi dari reseptor atau dimetabolisme oleh
monoamine oksidase.

Adrenergic reseptor dibagi ke dalam dua kategori besar  dan . Masing-masing kategori
kemudian dibagi menjadi dua subkategori 1, 2 dan 1, 2.

 1-Reseptor

1-Reseptor adalah postsinap adrenoceptor yang berlokasi di otot-otot rangka diseluruh tubuh,
pada mata, paru, pembuluh darah, uterus, usus, dan sistim genitourinary. Aktivasi dari reseptor
ini meningkatkan konsentrasi ion kalsium intraselular, yang membuat kontraksi otot. 1 agonist
berhubungan dengan midriasis pupil, bronkokonstriksi, vasokonstriksi, kontraksi uterus dan 2
kontraksi dari spinkter di gastrointestinal dan traktus genitourinary. Stimulasi 1 juga berfungsi
menghambat sekresi insulin dan lipolisis. Efek 1 pada jantung adalah vasokonstriksi dengan
peningkatan tahanan pembuluh darah perifer, afterload left ventrikel dan tekanan arteri darah.

 2-Reseptors

2-Reseptor berlawanan dengan 1-reseptor, 2-reseptors utamanya berlokasi pada saraf


presinaptik. Aktivasi dari adrenoceptor ini menghambat aktivitas adenylate cyclase. Akibatnya
menurunkan masuknya ion kalsium ke neuron terminal, yang membatasi eksotosis dari
penyimpanan ephinephrine yang dilepaskan dari neuron. Efek utama dari postsinaptik 2-
Reseptors pada sistim saraf pusat menyebabkan sedasi dan mengurangi efek dari outflow
simpatis. Yang menyebabkan vasodilatasi perifer dan menurunkan tekanan darah.

 1-Reseptors

1-Reseptor berlokasi pada membrane postsinap dari jantung. Stimulasi dari reseptor
mengaktifkan adenylate cyclase, yang menkonversi adenosine triphospate ke cyclic adenosin
monophosphate. Efeknya bersifat chronotropik (meningkatkan nadi), dromotropik
(meningkatkan konduksi) dan inotropik (meningkatkan kontraktilitas)

 2-Reseptor

2-Reseptor merupakan adrenoceptor postsinaps yang berlokasi di otot rangka dan kelenjar.
Memiliki mekanisme yang sama dengan 1. Memiliki fungsi yang merelaksasi otot lurik,

13
bronkhodilatasi, vasodilatasi, relaksasi uterus, gycogenolisis, dan pelepasan insulin. 2 agonis
juga mengaktivasi sodium potassium pump. Yang mana fungsinya untuk membawa potassium ke
dalam intracellular yang dapat menyebabkan hipokalemia dan disritmia.

• Obat simpatomimetik disebut adrenergik/ agonis adrenergik → memulai respon pada


tempat reseptor adrenergik
• Reseptor adrenergik: alfa, beta1 dan beta2
• Norepineprin dilepaskan oleh ujung saraf simpatis → merangsang reseptor untuk
menimbulkan respon
Obat simpatomimetik adalah obat yang memacu saraf simpatis atau obat yang
menyerupai stimulasi saraf simpatis. Saraf simpatis yang dimaksud adalah saraf
postganglioner yang umumnya menggunakan noradrenalin sebagai neurotransmitternya.
Obat ini disebut juga obat adrenergik atau obat noradrenergik karena obat ini
menstimulasi serabut saraf noradrenegik atau saraf adrenergic yang terletak di dalam
serabut simpatis. Serabut simpatis merupakan bagian saraf autonom.

a. Kerja obat adrenergik dapat dibagi dalam 7 jenis yaitu :

1. Perangsang perifer terhadap otot polos pembuluh darah kulit dan mukosa, dan
terhadap kelenjar liur dan keringat.

2. Penghambatan perifer terhadap otot polos usus, bronkus, dan pembuluh darah otot
rangka.

3. Perangsangan jantung, dengan akibat peningkatan denyut jantung dan kekuatan


kontraksi.

4. Perangsangan SSP, misalnya perangsangan pernapasan, penungkatan


kewaspadaan, aktivitas psikomotor, dan pengurangan nafsu makan.

5. Efek metabolik, misalnya peningkatan glikogenolisis di hati dan otot, lipolisis dan
pelepasan asam lemak bebas dari jaringan lemak

6. Efek endokrin, misalnya mempengaruhi sekresi insulin, renin dan hormone


hipofisis.

14
7. Efek prasinaptik, dengan akibat hambatan atau peningkatan pelepasan
neurotransmitter NE dan Ach.

Serabut simpatis mempunyai reseptor α dan reseptor β. Dan pada obat


simpatomimetik menstimulasi reseptor α dan reseptor β, atau keduanya(r-α 1, r- α 2, r- β 1
and r- β 2).

Obat sympatomimetik terdapat 2 jenis,

1. Direct sympathomimetics
Secara langsung merangsang reseptor α dan/atau reseptor β
Contoh :
a. Selektif

Phenylephrine, Phenylpropanoamin (pada obat pilek) → memacu r-α 1


[note: tentang r- α 2 yang berfungsi untuk pengaturan release/pelepasan
transmitor. Jika r- α 2 dipacu maka pelepasan menjadi berkurang. Biasanya
dipakai pada hipertensi→menghambat pelepasan transmitor→efeknya
penurunan denyut jantung dan vasodilatasi p. darah]

Sabutamol, Terbutaline (pada obat asma) → memacu r- β2


Dobutamin → memacu r- β1
b. Tidak selektif
Adrenaline, noradrenalin, ephedrine → memacu r- β dan r-α

2. Indirect sympathomimetic
Secara tidak langsung merangsang reseptor α dan/atau reseptor β oleh
inhibisi/penghambatan penyerapan NA(noradrenalin) atau inhibisi MAO (monoamine
oxydase) → akumulasi NA di celah sinaptik yang menstimulasi reseptor → efek
menyerupai terhadap rangsangan noradrenalin(yang terpacu hanya r-α 1, r- β 2)
Contoh: desipramine, amitryptiline, amphetamine → menghambat MAO (enzim yang
memecah noradrenalin).
Note:

15
▪ r- β 2 terdapat di broncus, pembuluh darah koroner, dan juga di pembuluh darah yang
terdapat di otot rangka. Dan jika terpacu maka terjadi relaksasi.
▪ r-α1 terdapat di pembuluh darah kulit dan mukosa.

16
Contoh Obat Adrenergik

17
• Epineprin
• Norepineprin
• Isoproterenol
• Dopamin
• Dobutamin
• Amfetamin
• Metamfenamin
• Efedrin
• Metoksamin
• Fenilefrin
• Mefentermin
• Metaraminol
• Fenilpropanolamin
• Hidroksiamfetamin
• Etilnorepineprin

2.6 Agonis Adrenergik


Sebagian besar obat agonis adrenergik adalah derivat dari β- feniletilamin. Substitusi pada
cincin benzene atau pada rantai etilamin menghasilkan variasi struktur yang mempengaruhi
kemampuannya untuk berikatan dengan reseptor α dan β. Agonis adrenergik terdiri dari golongan
katekolamin dan juga nonkatekolamin. Golongan katekolamin yang terdiri dari epinefrin, norepinefrin,
isoproterenol, dopamin, tidak akan efektif ketika memasuki tubuh melalui per oral. Golongan
katekolamin ini akan dimetabolisme oleh enzim COMT (catecholO-methyl transferase) yang terdapat di
dinding usus dan enzim MAO (Mono amin Oksidase) yang terdapat di hepar dan dinding usus. Berbeda
dengan golongan non-katekolaminseperti; fenilefrin, efedrin dan amfetamin yang tidak dimetabolisme
oleh kedua enzim tersebut sehingga mempunyai(duration of action) DOA yang lebih panjang.

a. Klasifikasi Agonis Adrenergik


1. Direct-acting agonists Obat golongan ini langsung berikatan dengan reseptor α dan β,
menghasilkan efek yang sama dengan stimulus saraf simpatis ataupun efek yang dihasilkan hormon

18
epinefrin yang disekresikan oleh kelenjar adrenal medula. Yang termasuk golongan obat ini adalah:
epinefrin, norepinefrin, isoproterenol, dopamin dan fenilefrin.
2. Indirect-acting agonists Obat golongan ini mampu memasuki neuron presinaptik dan
merangsang pelepasan norepinefrin dari sitoplasma neuron maupun dari vesikel penyimpanan. Akibat
stimulus ini, norepinefrin dilepaskankemudian berikatan dengan reseptor dan menghasilkan efek
simpatomimetik. Yang termasuk golongan ini adalah: Amfetamin dan tiramin.
3. Mixed-action agonist Beberapa oabat agonis adrenergic mempunyai kemampuan untuk
berikatan langsung dengan reseptor α, β maupun menstimulus pelepasan norepinefrin dari neuron pre
sinaptik. Yang termasuk golongan ini adalah efedrin dan metaraminol.

Metabolisme
o Katekolamine
Semua obat terdiri dari struktur 3,4-dihidroxybenzen yang secara cepat tidak
mengaktifkan enzim MAO atau COMT. Paru-paru berguna untuk menyaring bahan-
bahan biokimia
o Sintetik katekolamine
Sintetik katekolamine tidak dibuat dari COMT (catechol-Omethyltransferase) dan dia
tergantung MAO (monoamine oxidase) untuk metabolismenya (sering lebih lambat
daripada katekolamine dan menghalangi MAO) lebih lanjut mungkin untuk
memperpanjang durasi kerja mereka.

 Katekolamine
o Ephineprine
Efineprin
Epinefrin mampu berikatan dengan reseptor α (α1 , α2) dan reseptor β (β1, β2) dengan baik.
a) Efek Kardiovaskular Epinefrin mempunyai kemampuan meningkatkan kekuatan kontraktilitas
otot jantung (inotropik positif (+)) dan juga meningkatkan frekuensi denyut jantung (kronotropik +),
sesuai dengan efek stimulasinya terhadap reseptor β1. Akibatnya, cardiac output pun meningkat. Efek
ini mengakibatkan permintaan miokard terhadap oksigen semakin meningkat. Selain itu, epinefrin juga
mampu mengakibatkan vasokontriksi arteriola yang terdapat di kulit, membran mukosa dan viscera.
Efek α1 mampu menyebabkan dilatasi pembuluh darah di sekitar otot skelet. Efek-efek ini berakumulasi
dan menyebabkan peningkatan tekanan sistolik dan juga penurunan diastolik

19
b) Efek Respiratori Epinefrin menyebabkan bronkhodilatasi dengan berikatan langsung dengan
reseptor β2. Efek ini mampu menanggulangi bronkhokonstriksi akibat stimulasi histamin (alergi),
maupun dalam kasus syok anafilaktik. Selain itu, efek epinefrin mampu menanggulangi keadaan
dyspneu pada serangan asma akut dan meningkatkan volume tidal pernafasan.
c) Hiperglikemia Epinefrin mempunyai efek hiperglikemik yang cukup signifikan, diakibatkan
kemampuannya untuk berikatan dengan reseptor β2 sehingga meningkatkan glikogenolisis dalam hepar,
meningkatkan pelepasan glukagon dan menurunkan pelepasan insulin (efek α2). Efek ini dimediatori
oleh mekanisme siklik AMP.
d) Lipolisis Epinefrin mampu menginisiasi lipolisis pada jaringan adiposa, akibat ikatannya pada
reseptor β1. Setelah berikatan dengan reseptor tersebut, epinefrin mampu mengaktivasi adenylil siklase
untuk meningkatkan siklik AMP, sehingga kadar siklik AMP yang tinggi mampu menstimulasi lipase yang
bekerja untuk menghidrolisis triasilgliserol menjadi asam lemak bebas dan gliserol.
Farmakokinetik Epinefrin seperti halnya katekolamin yang lain dimetabolisme oleh enzim COMT
dan MAO, sehingga jalur pemberian per oral sangat tidak efektif. Jalur pemberian lain dapat diberikan
melalui intravena, inhalasi, subkutan atau secara topikal. Metabolit akhir yang berupa metanefrin dan
asam vanilil mandelik dapat ditemukan dalam urine.
Indikasi Efeknya yang cukup kuat, mampu menanggulangi keadaan dyspneu akibat
bronkhospasme dan juga merupakan obat pilihan untuk kasus syok anafilaktik. Dalam oftalmologi,
epinefrin seringkali digunakan secara topikal sebagai terapi glaukoma. Obat ini mampu mengurangi
produksi aquaeous humor dengan cara pengkonstriksian pembuluh darah badan siliaris. Sehingga,
tekanan intraokular pun akan berkurang. Di samping itu, epinefrin juga digunakan dalam pemberian
obat lokal anestetik untuk memperpanjang (duration of action) DOA efek anestetik obat tersebut.
Efek samping gangguan SSP seperti tegang, gelisah, ketakutan, sakit kepala dan tremor. Selain
itu, epinefrin juga mampu mengakibatkan cardiac arythmia, edema paru dan juga perdarahan akibat
meningkatnya tekanan darah.

Sediaan:
• Suntikan: lar 1:1000 epi HCl (untuk syok → sk 0,2 – 0,5 ml)
• Inhalasi: epi 1%, 2% → asma
• Tetes mata: epi 0,1 – 2%
d. Posologi dan sediaan

20
Suntikan epinefrin adalah larutan steril 1 : 1000 Epi HCL dalam air untuk
penyuntikan SK, ini digunakan untuk mengatasi syok anafilaktik dan reaksi-reaksi
hipersensitivitas akut lainnya. Dosis dewasa berkisar antara 0,2-0,5 mg (0,2-0,5 ml
larutan 1 : 1.000). untuk penyuntikan IV, yang jarang dilakukan, larutan ini harus
diencerkan lagi dan harus disuntikkan dengan sangat perlahan-lahan. Dosisnya jarang
sampai 0,25 mg, kecuali pada henti jantung, dosis 0,5 mg dapat diberikan tiap 5 menit.
Penyuntikan intrakardial kadang-kadang dilakukan untuk resusitasi dalam keadaan
darurat (0,3-0,5 mg).

Inhalasi epinefrin adalah larutan tidak steril 1% Epi HCL atau 2% Epi bitartrat
dalam air untuk inhalasi oral (bukan nasal) yang digunakan untuk menghilangkan
bronkokonstriksi.

Epinefrin tetes mata adalah larutan 0,1-2% Epi HCL 0,5-2% Epi borat dan 2%
Epi bitartrat.

o Norephinephrine
Norephineprine adalah pelepasan neurotransmitter endogen dari postganglion
simpatis nerve ending. Potensi norephineprine kira-kira sama dengan
ephinephrine pada stimulasi dari 1-reseptor, sedangkan perbedaannya,
norephinephrine mempunyai sedikit efek agonist pada 2- reseptor.
Norephinephrine adalah -agonist kuat yang menghasilkan arteri yang kuat.
Efek kardiovaskular Infus kontinyu dari norephinefrine, 4-16 µg/kg/mnt IV,
mungkin digunakan untuk mengobati hipotensi yang dapat terjadi dengan cepat
setelah ligasi dari suplai pembuluh darah. Norephinephrine menimbulkan
vasokonstriksi perifer dengan meningkatkan daya tahan pembuluh darah sistemik
dan mengurangi kembalinya aliran darah vena ke jantung.

o Dopamine
Efek klinis dari dopamine tergantung dari dosis. Dosis kecil ( < 2 µg/kg/min)
dari dopamine memiliki efek adrenergic minimal. Vasodilatasi renal dan diuresis.
Dosis sedang (2-10 µg/kg/mnt), stimulasi β1 meningkatkan kontraktilitas

21
miokardial, nadi, cardiac output. Efek menjadi lebih jelas dengan peningkatan
dosis menjadi 10-20 µg/kg/min, menyebabkan tahanan perifer pembuluh darah
dan menyebabkan penurunan aliran darah ginjal.
Dopamin biasa digunakan untuk penangan kasus shock sampai meningkatkan
cardiac output, mempertahankan tekanan darah dan mempertahankan fungsi
ginjal. Dopamin dapat digunakan secara infuse intravena ( 400 mg dalam 1000 ml
D5W; 400 µml) dengan aliran darah 1- 20µg/kg/min. Biasa sediaan dopamine
dalam 5 ml ampul mengandung 200 atau 400 mg dopamine).

Sintetik Katekolamine
o Isoproterenol
Isoproterenol adalah sebagian besar activator yang kuat dari semua
simpatomimetik pada β1- dan β2-reseptor, menjadi dua sampai tiga kali lebih kuat
dari epinephrine dan + 100 kali lebih aktif dari norephinephrine. Pada dosis klinis,
isoproterenol tanpa efek -agonist.
Indikasi klinis Infus kontinyu dari isoproterenol 1-5 µg/kg/min efektif dalam
meningkatkan nadi. Isoproterenol digunakan untuk menghasilkan peningkatan
nadi sebelum insersi cardiac pacemaker sementara ataupun tetap pada pengobatan
dari bradidisritmia.
Efek kardiovaskular Efek kardiovaskular dari isoproterenol menggambarkan
aktifasi dari β1-reseptor di jantung dan β2-reseptor pada pembuluh darah di otot
skeletal. Efek dari isoproterenol mengubah meningkatkan kardiak output yang
cukup untuk meningkatkan tekanan darah sistolik. Isoproterenol dapat
mengurangi aliran darah koronaria pada waktu ketika kebutuhan oksigen miokard
meningkat dengan takikardi dan meningkatkan kontraktilitas miokard.

o Dobutamine

22
Dobutamine merupakan β1–agonis. Efek utamanya pada cardiovascular
adalah meningkatkan cardiac output ini diakibatkan karena peningkatan
kontraktilitas miokardial. Penurunan sedikit pada tahanan vascular perifer karena
aktivasi β2 biasanya mencegah kenaikan tekanan arterial. Efeknya sangat disukai
karena keseimbangan oksigen myocardial menyebabkan dobutamine menjadi
pilihan pada gagal jantung. Dosis dobutamine pada infuse (1 gram pada 250 ml)
alirannya 2-20 µg/kg/min.

Sintetik Nonkatekolamine
o Indirect
• Ephedrine
Efeknya hampir sama dengan epinepfrine ; meningkatkan tekanan darah,
nadi ; kontraktilitas dan cardiac output. Seperti epinephrine, ephedrine juga
memiliki efek bronchodilator. Perbedaan pentingnya adalah ephedrine
memiliki durasi yang lebih panjang.
Ephedrine juga biasa digunakan sebagai vasopressor selama anastesi.
Ephedrine tidak menurunkan aliran darah uterus. Oleh karena itu ephedrine
menjadi pilihan pada obstetric. Ephedrine dilaporkan memiliki efek
antiemetic. Pada saat terjadi hypotensi pada saat anastesi spinal, clonidine
dapat digunakan untuk memperpanjang efek ephedrine. Dosis ephedrine
secara bolus 2,5-10 mg: pada anak digunakan bolus intravena 0,1 mg/kg.

• Mephentermine
Mephentermine adalah indirek acting sintetik nonkatekolamin
yang menstimulasi - dan -adrenergik reseptor. Mengatur intravena,
mephentermine menghasilkan efek kardiovaskular yang menyerupai
ephedrine.

• Amphetamine
Amphetamin sebagai fenilisopropilamin yang terutama karena
penggunaannya dan penyalahgunaannya sebagai pacu SSP.

23
Farmakokinetiknya mirip efedrin, tetapi amfetamin masuk lebih mudah ke
dalam SSP dan menimbulkan efek pacu SSP yang jauh lebih jelas
terhadap perasaan dan kesigapan serta penekanan napsu makan. Aksi
perifernya diperantarai terutama melalui pelepasan katekolamin.
Metamfetamin (Nmetilamfetamin) sangat mirip dengan amfetamin dengan
rasio efek sentral dan perifer yang bahkan lebih tinggi dari amfetamin.
Fenmetrazin suatu variasi fenilisopropilamin dengan efek mirip
amfetamin. Obat ini terutama digunakan sebagai anoreksian (penghilang
napsu makan) dan juga sebagai obat yang popular untuk disalahgunakan.
Metilfenidat dan pemolin juga sebagi suatu variasi dari amfetamin dengan
efek farmakologi utamanya dan potensi penyalahgunaannya mirip
amfetamin. Obat-obat yang mirip amfetamin agaknya mempunyai efikasi
pada sebagian anak-anak dengan 9 berkurangnya gangguan hiperaktivitas.
Fenilpropanolamin juga suatu variasi amfetamin dengan efek pada
perasaan lebih lemah yang dapat dibeli bebas sebagai obat penurun berat
badan. Walaupun dalam dosis yang dianjurkan cukup aman, namun ada
kaitannya dengan hipertensi berat dan risiko strok dan kerusakan miokard
bila digunakan dalam dosis besar. Belum ada bukti bahwa pengobatan
kegemukan dengan obat-obat tadi menyebabkan hilangnya berat badan
dalam jangka panjang.
• Metaraminol
Metaraminol adalah sintetik nonkatekolamin yang menstimulasi
stimulasi - dan -adrenergik reseptor dengan efek secara langsung dan
tidak langsung. Dengan cepat menjadi postganglionic simpatetik nerve
ending, karena obat ini merupakan obat pengganti untuk norephinephrine
dan membuat neurotransmitter lemah.
Efek kardiovaskular Metaraminol sebagian besar menyebabkan
vasokonstriksi perifer dan sedikit meningkatkan kontraktilitas miokard
daripada ephedrine. Mendukung meningkatkan tekanan darah sitolik dan
diastolik dan juga hampir selurhnya menyebabkan vasokonstriksi perifer.

24
Reflek bradikardi sering terjadi pada obat ini dalam tekanan darah
sistemik, hasilnya menurunkan cardiac output.

o Direct
• Phenilephrine
Phenylephrine berpengaruh langsung pada α1-agonist (dosis tinggi juga
dapat berpengaruh pada α2-, dan β2 adrenoceptors). Efek utama dari
phenylephrine adalah vasokonstriksi perifer dengan peningkatan bersamaan
dari tahanan vascular sistemik dan tekanan arterial. Bradikardi reflex dapat
mengurangi cardiac output. Aliran jantung meningkat yang disebabkan efek
10 langsung vasokonstriksi dari phenylephrine pada arteri jantung.
Dosis kecil bolus intravena 50-100 µg (0,5 -1 µg/kg) phenylephrine secara
cepat dapat membalikkan penurunan tekanan darah yang disebabkan oleh
vasodilatasi perifer misalnya pada anastesi spinal. Infus secara kontinyu (100
µg/ml dengan kecepatan aliran 0,25–1 µg/kg/min) dapat mempertahankan
tekanan darah arterial. Tachyphylaxis dapat terjadi pada saat phenylephrinen
infusion dibutuhkan peningkatan titrasi dari infuse. Phenylephrine harus
diencerkan dari 1 % solusi (10 mg/1 ampul) biasanya menjadi 100 µg/ml
solusi.

• Methoxamine
Methoxamine adalah sintetik nonkatekolamin yang bekerja secara langsung dan selektif
pada α-adrenergik reseptor. Methoxamine mirip dengan phenylephrine tetapi mempunyai durasi
kerja yang panjang. Methoxamine, 5-10 mg IV, yang bekerja pada dewasa karena menyebabkan
vasokonstriksi arteri yang nyatanya meningkatkan tekanan darah sistolik dan diastolic, serta
timbulnya bradikardia akibat refleks vagal. Obat ini tersedia dalam bentuk suntikan, tetapi jarang
digunakan secara klinis kecuali hanya dalam keadaan hipotensi saja.
Toksisitas Obat Simpatomimetik Efek samping agonis adrenoseptor
terutama akibat meluasnya efek reseptor tubuh yang diaktifkan baik pada
kardiovaskular atau SSP. Efek samping kardiovaskular Nampak dengan obat
penekan termasuk meningkatnya tekanan darah dengan jelas, yang dapat

25
menimbulkan perdarahan otak atau edema paru. Meningkatnya kerja jantung
akan menimbulkan nyeri angina berat atau infark miokard. Obat pacu beta
sering menyebabkan takikardia sinus dan arittmia ventrikel yang serius. Obat
simpatomimetik mungkin merusak miokard, terutama setelah infus jangka
panjang. Perhatian utama ditujukan terhadap pasien usia lanjut atau mereka
yang mengidap penyakit darah tinggi atau arteri koroner. Bila efek samping
simpatomimetik ini perlu pemulihan segera, maka gunakan antagonis
adrenoreseptor khusus. Sebagai contoh, ekstravasasi ke dalam jaringan
subkutan norepinefrin yang diberikan secara infus intravena 12 akan
menimbulkan iskemia yang dapat dipulihkan dengan pemberian anagonis
adrenoreseptor alfa. Toksisitas SSP jarang ditemukan dengan katekolamin
atau obat seperti fenilefrin. Fenilisopropilamin biasanya menyebabkan
kelemahan, tremor, insomnia, dan cemas. Pada dosis sangat tinggi, mungkin
akan menimbulkan keadaan paranoid. Kokain dapat menyebabkan kejang,
perdarahan otak, aritmia atau infark miokard. Ketiga efek terakhir ini
mewakili semua toksisitas simpatomimetik.

26
27
BAB III

KESIMPULAN

Saraf simpatik terdiri atas 25 pasang simpul saraf. Simpul saraf ini saling berhubungan
membentuk dua deret, kanan dan kiri. Setiap simpul di hubungkan dengan saraf sum-sum tulang
belakang. dari simpul-simpul tersebut keluar urat saraf, ke organ tubuh dan dikendalikan. fungsi
saraf simpatik yaitu :

a. memperlebar pupil mata


b. menghambat sekresi air ludah
c. memperbesar bronkus
d. mempercepat denyut jantung
e. menghambat kerja lambung
f. menghambat kerja pankreas
g. skresi adrenalin
h. kantong kemih relaksasi
i. merangsang ejakulasi laki-laki

28
DAFTAR PUSTAKA

1. Mycek, M. J. Harvey, R.A. and Champe,P.C. Lippincott’S Illustrated Reviews: Pharmacology 2nd
edition. 2000. Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia, pp. 27-34, 55-79
2. Katzung BG, Autonomic Drugs, in Basic and Clinical Pharmacology, 9th ed.2004. McGraw-Hill,
San Francisco, pp. 75-93.
3. Hoffman BB, Adrenoceptor-Activating and Other Sympatomimetic Drugs in Basic and Clinical
Pharmacology, 9th ed. 2004. McGraw-Hill, San Francisco, pp.122-159.
4. Hoffman BB and Taylor P, Neurotransmission The Autonomic and Somatic Motor Nervous
System in Goodman and Gilman’s The Pharmacological Basis of Therapeutics, 10th ed. 2005.
McGraw-Hill, USA, pp. 115-149.
5. Craig CR, Introduction to Central Nervous System Pharmacology, in Modern Pharmacology with
Clinical Application 6 th ed. 2004. Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia, pp. 281-288.
6. Minneman, Kenneth P. 2005. Pharmacological Organization of The CNS in Human Pharmacology
Molecular to Clinical Fourth Edition Page 313-337. USA : Mosby-Year Book.
7. Katzung, Bertram G. 2004. Intoduction to Autonomic Pharmacology in Basic and Clinical
Pharmacology Ninth Edition Page 75-93. USA : McGraw Hill.
8.

29

Anda mungkin juga menyukai