Anda di halaman 1dari 172

MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

GAMBARAN FUNDUSKOPI

I. GAMBARAN FUNDUS NORMAL

• Papil batas tegas


• Warna Jingga
• Cupping (+) à [cupping (-) ok ekskavasio terisi oleh transudat/eksudat pd papil edema]
• Aa : Vv = 2 : 3
• Perdarahan (-)
• Eksudat (-)
• Lamina cribrosa (+) à akan terlihat bintik abu-abu pd papil bila dimainkan dioptrinya

II. GAMBARAN FUNDUS DENGAN PAPILLEDEMA

“You see nothing, Patient sees everything”


Papilledema: pembengkakan pada optic disc yang disebabkan peningkatan TIK ke N. II ok LCS pd
subarachnoid space.
DD/ disc swelling due to optic neuropathy and pseudopapiledema
Dapat dijumpai:
- hiperemis  disebabkan dilatasi dari kapiler-kapiler diskus, stasis vena.
- Pembengkakan/edema akson  pada peripapiler NFL (nerve fiber layer/lapisan serabut saraf)
serta permukaan NFL diskus.
Sehingga menyebabkan:
- batas diskus kabur/blurred disc margin
- elevasi diskus
- edema diskus

Patofisiologi papilledema

1
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

Hipertensi intrakranial

Ditransmisikan sepanjang selubung meningen otak & N. II

Axoplasmic stasis  hantaran sel melambat sepanjang bagian prelaminar


dari N. II

Akumulasi cairan dan metabolit intraseluler

Pembengkakan akson

Regurgitasi & kebocoran kedalam ruang ekstraseluler


diskus pada tempat kepala N. II

Pembengkakan optic disc

Gambaran:
• Papil Batas Kabur
• Warna hiperemis
• Cupping (-)
• Aa : Vv = 1 : 3
(vena melebar dan berkelok-kelok)
• Perdarahan (+)
• Eksudat (+) à terutama soft eksudat
• Chocked Disc à Papilledema > 2 dioptri

2
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

Berdasarkan kronisitas dan gambaran funduskopi, diklasifikasikan:

 Early edema papil


 Disc Hyperemia
 Disc swelling
 Peripapillary nerve fiber layer
changes  RC (–)
 Small splinter haemorrhages
 Spontaneous venous pulsation (-)

 Edema papil akut

 Peripapillary flame haemorrhages


 Cotton wool spots & peripapillary
nerve fibers layer infarcts
 Circumferential retinal folds (Patton’s
lines)
 Macular edema
 Lipid star formation
 Kompresi kapiler dan venula papil 
- stasis dan dilatasi vena
- pembentukan mikroaneurisma
- perdarahan peripapiler
 Kompresi vena sentral retina 
- dilatasi vena
 Edema papil kronis - hilangnya pulsasi vena
- Peripapillary haemorrhages & exudates <
- Optic disc menjadi bulat
- Champagne cork-like cup
- Optic disc drussen
- Physiology cup (-)

 Atrophic papiledema (> 5-6 minggu)

o Papil atrofi  papil pucat


o Retinal blood vessel menyempit
o Sheathed appearance
o Optocilliary shunt vessel

3
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

Grading papilledema berdasarkan Lars Frisen:

 Stadium 0

Normal papil dengan batas


bagian nasal dan temporal
kabur, cupping (+), NFL Jernih,
perdarahan (-), tidak ada
pembuluh darah yang tidak jelas

 Stadium 1

Bentuk C bagian nasal, batas


superior dan inferior kabur
NFL sedikit kabur, tidak ada
pembuluh darah yang tidak
jelas

 Stadium 2

Batas temporal terlihat


elevasi. NFL kabur,
mungkin ada pembuluh
darah yang tidak jelas

 Stadium 3

4
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

Elevasi seluruh papil


dengan pembuluh retina
tidak jelas pada batas papil.
NFL agak kabur, hiperemis,
vascular obscuration

 Stadium 4
Cupping obliterasi komplet
dan pembuluh darah tidak
jelas pada permukaan papil.
NFL seluruhnya kabur,
hiperemis lanjut pada papil,
perdarahan (+)

 Stadium 5

Dome-shaped appearance
(+) dan seluruh pembuluh
darah tidak jelas. NFL total
kabur, hiperemis lanjut
papil dengan perdarahan
(+), retinal folds

III. PAPIL ATROFI

Pada pemeriksaan funduskopi warna papil pucat yang berhubungan dengan terjadinya erosi pada
lapisan serabut saraf serta pembuluh darah kecil yang memberi nutrisinya sehingga menyebabkan
kerusakan pada nervus optikus, jumlah pembuluh darah di cupping (peripapiler) < 7  Kestenbaum’s
Rule. Normal jumlah papil rata-rata 9.47, 95% pasien mempunyai pembuluh darah peripapiler >8
dilihat dengan oftalmoskop, dan > 7 jika dihitung pada fotograf.

5
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

IV.GAMBARAN FUNDUS PADA HIPERTENSI

Epidemiologi
Tekanan darah tinggi merupakan penyebab penting morbiditas dan mortalitas global. Kejadian hipertensi
sistemik meningkat sesuai usia. Faktor resikonya adalah herediter, obesitas, diet, merokok, stress, gaya hidup,
dan kondisi sistemik seperti diabetes dan penyakit ginjal.
Beragam kondisi okular, seperti aneurisma, oklusi arteri atau vena, amaurosis fugax, AION, sindroma
iskemik okular dan palsi neuro-ocular berhubungan dengan hipertensi sistemik. Prevalensi hipertensi sistemik
30,9% dengan retinopati hipertensif sekitar 10,7% kasus.

Patofisiologi
Sirkulasi retina mengalami perubahan serial terhadap respon perubahan patofisiologi peningkatan
tekanan darah. Awalnya, pada stadium vasokonstriksi, terjadi vasospasme dan peningkatan tonus arteriol
retina sebagai mekanisme autoregulasi setempat. Pada stadium ini secara klinis terlihat penyempitan general
arteriol retina.
Peningkatan tekanan darah yang menetap menyebabkan penebalan intima, hiperplasia dari dinding
media, dan berikutnya terjadi degenerasi hyaline pada stadium sklerotik. Stadium ini berhubungan dengan
beratnya penyempitan arteriol secara general dan fokal, menyebabkan perubahan pada arteriol dan venular
junction (seperti arteriovenous nicking atau nipping), dan perubahan pada arteriolar light reflex (seperti
melebarnya dan menonjolnya central light reflex atau copper wiring).
Kemudian diikuti stadium eksudatif, dimana terjadi kerusakan blood-retina barrier, nekrosis smooth
muscles dan sel endotel, eksudasi darah dan lipid, serta iskemi retina. Manifestasi perubahan ini pada retina
berupa mikroaneurisma, perdarahan, dan hard eksudat, serta cotton-wool spots. Pembengkakan dari papil dapat
terjadi pada saat ini dan biasanya menunjukkan beratnya peningkatan tekanan darah (seperti hipertensi maligna).

6
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

7
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

Perubahan Fundus Pada Hipertensi

Perubahan Karakteristik Gambar


Penyempitan arteriol - merupakan respon primer
dari arteriol retina
terhadap hipertensi
sistemik
- dapat general atau fokal

Refleks arteriol  central light meningkat karena penebalan dinding


reflex atau copper wiring tunika media pembuluh darah/arteri

Perubahan arteriovenous - defleksi vena pada


crossing  penebalan intima, persilangan (Salu’s sign)
hiperplasia dinding media, - pelebaran vena pada
degenerasi hyaline  perubahan persilangan bagian distal
arteriol- venular junction (Bonnet’s sign)
- Meruncingnya vena pada sisi
lain dari persilangan (Gunn’s
sign)
Hard exudates - menunjukkan deposit lipid
- menunjukkan hipertensif
malignant
Perdarahan retina - flame-shaped
- menunjukkan severe
retinopathy (grade 3 atau
lebih)
Cotton-wool spots - menunjukkan iskemik
- pada severe hypertension

Intra Retina microvascular - mikroaneurisma,


Abnormalities (IRMA) arteriovenous shunt, kolateral
- pada severe hypertension

Edema retina dan makula - pada hipertensi malignan

Neuropati optik - edema papiler


- perdarahan peripapiler
- pada hipertensi maligna

Dengan adanya proses autoregulasi pada pembuluh darah retina, peningkatan tekanan darah
sistemik akan menyebabkan vasokonstriksi arteriol. Vasokonstriksi ini biasanya terjadi secara merata
(difus) di seluruh retina, namun kadang-kadang terjadi secara segmental (setempat). Terjadinya
vasokonstriksi yang setempat ini mekanismenya belum diketahui. Peningkatan tekanan darah yang
berlangsung lama menyebabkan rusaknya inner blood retinal barrier sehingga terjadi ekstravasasi
plasma dan sel darah merah ke retina. Perdarahan biasanya terjadi pada lapisan serat saraf retina
(distribusinya mengikuti serat saraf) sehingga perdarahan terlihat seperti lidah api (flame shaped).

8
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

Bila perdarahan terjadi pada lapisan nuklear atau pleksiform, bentuknya lebih bulat atau blotlike
appearance.
Pada hipertensi essensial, efek hipertensi yang lama menyebabkan perubahan pada
pembuluh darah berupa arteriolosklerosis ataupun arterosklerosis. Arteriosklerosis adalah perubahan
yang terjadi pada arteriol. Dinding arteriol menebal karena pada lapisan media terjadi hipertrofi
jaringan otot, tunika intima mengalami hialinisasi dan endotel mengalami hipertrofi, sehingga
membentuk lapisan konsentris yang multipel, secara histologik memberikan gambaran seperti kulit
bawang (onion skin). Lumen pembuluh darah menjadi kecil. Sedangkan arterosklerosis adalah
perubahan yang terjadi pada pembuluh yang lebih besar. Pada arterosklerosis ini juga terdapat
deposit lipid yang sering disertai oleh kalsifikasi dan fibrosis, jika terlepas ke dalam lumen arteri dapat
menyebabkan trombosis.
Bila terjadi area non perfusi (iskemik) fokal pada lapisan serat saraf retina terjadi degenerasi
serat saraf, serat saraf ini menjadi bengkak, secara histologik tampak menyerupai suatu kelompok
cystoid bodies. Kelainan ini dikenal dengan cotton wool spot (soft exudates), pada funduskopi
terlihat sebagai area putih abu-abu, seperti kapas, dengan batas yang tidak tegas.
Kerusakan kapiler di sekitar papil dan parafovea dapat menyebabkan material yang
mengandung lipid masuk ke lapisan pleksiform luar di daerah macula dengan pola distribusi yang
radial, sehingga terlihat seperti bintang (macula star) yang berwarna abu-abu atau kuning perak.
Sklerosis juga dapat ditemukan pada orangtua normal tanpa hipertensi, yang terjadi karena
proses penuaan, dikenal dengan sinile atau involutional sclerosis. Biasanya timbul setelah dekade
keenam, terutama mengenai arteri besar.
Bertambahnya ketebalan dinding arteriol karena proses arteriosklerosis menyebabkan
perubahan refleks cahaya arteriol. Dalam keadaan normal dinding arteriol tidak terlihat, yang terlihat
adalah sel darah merah di dalam lumen. Pantulan cahaya dari permukaan dinding arteriol yang
konveks terlihat seperti garis tipis yang mengkilat di tengah kolom darah (refleks cahaya normal).
Pada dinding pembuluh yang menebal pantulan refleks cahaya normal hilang dan cahaya terlihat lebih
luas dan buram. Ini merupakan tanda awal dari arteriosklerosis.
Dengan meningkatnya ketebalan dinding dan berkurangnya lumen arteriol timbul campuran
antara warna merah kolom darah dan warna kuning dari dinding pembuluh yang sklerotik (dinding
pembuluh darah yang sklerotik kurang tembus pandang), sehingga tampak warna merah coklat, yang
dikenal dengan refleks kawat tembaga (copper wire reflex). Bila proses arteriosklerosis berlanjut,
dinding pembuluh darah bertambah tebal dan lumen tambah kecil, yang akhirnya hampir tidak terlihat,
sehingga pada tempat tersebut hanya terlihat garis putih, yang dikenal dengan refleks kawat perak
(silver wire reflex).
Pada persilangan arteriol dan vena tampak crossing phenomenon, di mana dinding arteriol
yang kaku menekan vena yang dindingnya lebih lembut, karena pada tempat persilangan tersebut
arteriol dan vena terbungkus oleh satu selubung jaringan ikat. Dalam keadaan normal pada
persilangan arteriol-vena tidak terjadi penekanan maupun elevasi vena, tidak ada perubahan diameter
ataupun warna arteriol dan vena. Pada sklerosis, vena yang berada di bawah arteri (pada 70%
populasi vena menyilang di bawah arteri) tidak terlihat atau tersembunyi karena hilangnya
transparansi arteri, vena seolah terputus, di mana terputusnya vena terlihat secara perlahan-lahan dan
muncul kembali setelah persilangan juga secara perlahan-lahan, yang memberikan gambaran
arteriolovenous nicking. Petanda ini dikenal dengan Gunn’s sign. Petanda ini bervariasi tergantung
beratnya sklerosis, dimana pada sklerosis yang lebih berat dapat menyebabkan vena mengalami
defleksi pada daerah persilangan, yang terlihat seperti huruf S dan Z, dikenal dengan Salus’
sign. Bila vena berada di atas arteri, vena akan menggelembung (elevasi) di atas arteri. Vena dapat
tertekan oleh arteriol sehingga dapat terjadi stenosis pada vena bagian distal persilangan.

9
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

Gambar.
Crossing
phenomenon
pada retinopati
hipertensi: A.
Arteriolovenous
nicking (Gunn’s
sign); B. Deviasi vena
pada persilangan
(Salus sign). C. Elevasi
vena di atas arteri yang
sclerosis; D.
Stenosis vena
bagian distal.

GAMBARAN KLINIS
Perubahan pembuluh darah retina pada retinopati hipertensi jarang menyebabkan hilangnya
penglihatan. Hilangnya penglihatan dapat disebabkan oleh eksudasi lipid atau material serous ke
daerah makula yang berasal dari kapiler pada makula, kerusakan papil optik karena iskemik dan
kelainan koroid sehingga terjadi ablasi retina eksudatif yang mengenai makula.
Gambaran fundus pada retinopati hipertensi disebabkan oleh vasokonstriksi, kebocoran dan
arteriolosklerosis. Vasokonstriksi ditandai oleh penyempitan pembuluh darah yang difus atau
segmental. Vasokonstriksi ini merupakan respons utama arteriol dan arteri sentralis retina terhadap
hipetensi sistemik, di mana derajat konstriksi ini dipengaruhi oleh adanya fibrosis (skelrosis involusi)
yang sudah terjadi sebelumnya. Karena itu pada pasien usia tua di mana sudah terjadi kekakuan
pembuluh darah, konstriksi pembuluh darah tidak terlihat. Vasokonstriksi yang murni biasanya terlihat
pada pasien usia muda. Adanya vasokonstriksi yang difus pada retina kadang-kadang sulit diketahui.
Untuk mengetahui vasokonstriksi tersebut ada dua cara yang dapat dilakukan, yaitu membandingkan
dengan pembuluh arah orang yang tidak menderita hipertensi serta melihat perbandingan (rasio) arteri
dan vena.

Vasokonstriksi yang difus dapat dikelompokan 4 tingkat sebagai berikut:


Grade I : Pengurangan kaliber arteriol menjadi ¾ dari kaliber rata-rata atau kaliber arteri ½ dari
kaliber vena.
Grade II : Pengurangan kaliber arteriol menjadi ½ dari kaliber rata-rata atau kaliber arteri 1/3 dari
kaliber vena.
Grade III: Pengurangan kaliber arteriol menjadi 1/3 dari kaliber rata-rata atau kaliber arteri 1/4 dari
kaliber vena.
Grade IV : Arteriol terlihat seperti benang atau tidak terlihat.

Vasokonstriksi arteriol setempat (segmental) bervariasi dalam ukuran panjang, jumlah dan
lokasinya. Vasokonstriksi ini dikelompokkan menjadi 4 kelompok sebagai berikut :
Grade I : Kaliber arteriol yang konstriksi 2/3 dari kaliber arteriol bagian

10
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

proksimalnya
Grade II : Kaliber arteriol yang konstriksi ½ dari kaliber arteriol bagian
proksimalnya.
Grade III : Kaliber arteriol yang konstriksi 1/3 dari kaliber arteriol bagian
proksimalnya.
Grade IV : Arteriol yang konstriksi terlihat seperti benang atau tidak terlihat.

Kebocoran pembuluh darah (abnormalitas permeabilitas dinding pembuluh) dapat


menimbulkan perdarahan retina berupa flame shape atau blotlike appearance, hard-exudates
(macula star) dan edema retina.
Gambaran cotton wool spots tidak spesifik untuk hipertensi maligna, sering keliru dengan
focal intraretinal periarteriolar trasnsudates (FIPTs). FIPTs adalah gambaran funduskopi yang
paling spesifik dan paling dini terjadi pada hipertensi maligna, berupa titik bulat atau oval, berwarna
putih, terletak pada lapisan retina yang lebih dalam dibanding cotton wool spots, serta berada dekat
pembuluh darah retina. FIPTs terjadi karena rusaknya blood retinal barrier pada arteriol prekapiler
retina, karena dilatasi arteriol yang disebabkan oleh kegagalan autoregulasi.
Arteriolosklerosis menyebabkan penebalan dinding pembuluh darah. Pada funduskopi terlihat
perubahan refleks pembuluh darah retina berupa copper wire, silver wire, pada persilangan arteriol
vena terlihat crossing phenomen berupa Gunn’s sign. Salus sign, elevasi vena di atas arteriol
ataupun stasis vena bagian distal. Walaupun tanda ini tidak menunjukkan beratnya hipertensi, tetapi
dengan adanya gambaran ini menunjukkan hipertensi telah berjalan beberapa tahun sebelumnya.
Untuk kepentingan klinis, perubahan morfologik pada retina akibat hipertensi di bagi menjadi
beberapa kelompok. Klasifikasi mengalami perubahan dibuat oleh Keith-Wagener-Barker pada tahun
1939 dan juga oleh Scheie tahun 1953.
Pada klasifikasi Keith-Wagener-Barhker (KWB) retinopati hipertensi dibagi menjadi 4
kelompok, yaitu :
Kelompok I : Belum ada kelainan yang nyata pada arteri, hanya didapatkan hipertensi dinding dan
penciutan lumen, copper wire atau silver wire reflex.
Kelompok II : Mulai terlihat kelainan pada arteri seperti copper wire atau silver wire reflex,
crossing phenomenon, perdarahan flame shaped, dan cotton wool spot.
Kelompok III : Kelompok II + arteriospasme. Di sini dapat terlihat edema retina, eksudat di daerah
makula (star shaped figure).
Kelompok IV : Kelompok III + papil edema.

Kelompok I dan II didominasi oleh sklerosis, disebut juga retinopati arteriosklerotik atau
retinopati hipertensi benigna. Biasanya didapatkan pada orangtua. Prognosis lebih baik. Kelompok III
dan IV didominasi oleh arteriospasme, disebut juga retinopati arteriospastik atau retinopati hipertensi
maligna.
Sedangkan Scheie membedakan perubahan fundus akibat hipertensi dan arteriolosklerotik
menjadi 5 grade. Untuk hipertensi gradasinya sebagai berikut.
Grade O : Belum ditemukan kelainan pada pembuluh darah retina, walaupun
pasien sudah didiagnosis menderita hipertensi.
Grade I : Terlihat vasokonstriksi arteri yang difus, terutama pada pembuluh
yang kecil.
Grade 2 : Vasokonstriksi arteri tampak nyata, disertai iregularitas setempat.
Grade 3 : Grade 2 + perdarahan retina dan atau eksudat
Grade 4 : Grade 3 + papiledema

Klasifikasi Scheie untuk arteriolosklerosis adalah:


Grade O : Normal
Grade I : Refleks pembuluh darah yang melebar, dengan penekanan arteri
vena yang minimal atau belum ada
Grade 2 : Peningkatan refleks pembuluh arteri dan perubahan persilangan
AV yang nyata
Grade 3 : Copper wire appearance dan penekanan arteri vena yang nyata.

11
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

Grade 4 : Silver wire appearance, dan peubahan persilangan arteri vena


yang lebih nyata.

V.GAMBARAN FUNDUS PADA DIABETES

Epidemiologi
Diabetes mellitus adalah penyebab kebutaan tersering pada individu usia produktif (20-65 tahun).
Prevalensi terjadinya diabetic retinopathy (DR) pada masyarakat barat adalah mendekati antara 1,6-1,9/100.000.
Sebagai penyebab hilangnya penglihatan, prevalensi retinopati diabetik meningkat. Retinopati jarang
terjadi pada 10 tahun pertama diabetes, tetapi didapatkan pada hampir 90% individu yang menderita diabetes
selama 30 tahun atau lebih.
Patofisiologi
Pada diabetes, abnormalitas pembuluh darah terutama terdapat pada posterior pole mata (terutama
pada daerah makula diantara vascular arcades), perubahan midperifer ischemic ball atau perubahan periferal
terlihat pada gangguan vasooklusif yang lain seperti penyakit Coat, penyakit Eales, sickle retinopathy.
Kebocoran dan oklusi mikrovaskular merupakan dua proses patologi utama yang bertanggung jawab
terhadap perkembangan yang mengancam terjadinya retinopati diabetik. Ketidaknormalan struktur, yang
berkembang dalam dinding kapiler retina menyebabkan terjadinya proses termasuk:
- pericyte loss
- hilangnya sel endotel
- penebalan membran basal
- disfungsi sel endotel
Peningkatan permeabilitas pembuluh darah retina mengakibatkan perdarahan,
eksudat dan edema retina.
Klasifikasi DR:
Klasifikasi klinis yang digunakan mengenai jenis lesi yang dideteksi dengan funduskopi sebagai berikut:

 Non-proliferative diabetic retinopathy (NPDR)


Perubahan awal yang berkembang
menjadi mikroaneurisma, sering di
bagian temporal dari fovea dan dalam
bentuk non-proliferative diabetic
retinopathy (NPDR). Terjadi karena
kelemahan ringan kapiler retina yang
menyebabkan bocornya serum atau
pecah mengakibatkan perdarahan
retina. Mikroaneurisma dapat terjadi
pada setiap lapisan mulai dari
jaringan kapiler retina superficial
hingga lebih dalam, biasanya pada
inner nuclear layer. Ukuran bervariasi
mulai diameter 10 um hingga 100
um, secara klinis ≥ 30 um.
 Mild non-proliferative diabetic retinopathy

12
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

- Mikroaneurisme
- Dot and blot haemorrhages
- Hard (intra-retinal) exudates

 Moderate to severe NPDR

Lesi diatas biasanya dengan eksaserbasi,


ditambah:
- Cotton-wool spots
- Venous beading and loops
- Intraretinal microvascular
abnormalities (IRMA)

 Proliferative DR

13
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

- Terjadi neovaskularisasi pada retina,


optic disc atau iris
- Jaringan fibrous melekat
pada permukaan vitreous dari retina
- Perdarahan vitreous
- Perdarahan pre retinal

 Maculopathy

- Clinically significant macular edema


(CSME)
- Ischaemic maculopathy

Patologi pembuluh darah retina pada retinopati diabetikum

Lokasi Gangguan
Kapiler - oklusi
- dilatasi
- mikroaneurisma
- permeabilitas abnormal
Arteriol - penyempitan asal dari arteriol terminal
- oklusi
- sheathing
Vena - dilatasi
- beading
- reduplikasi
- looping, kingking
- oklusi vena cabang
- oklusi vena sentral

Klasifikasi retinopati diabetikum terdapat 5 stadium

Tipe Gambaran
Background Diabetic Retinopathy - mikroaneurisma
- perdarahan dot and blot dan flame
shaped
- hard eksudat
- edema retina

14
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

Makulopati diabetic - edema makula dan hard eksudat +


latar belakang retinopati
diabetikum

Preproliferatif retinopati diabetikum - cotton wool spots


- IRMA (intraretinal microvascular
abnormalities)
- penyempitan arteriolar
- dilatasi vena, looping dan segmentasi

Proliferatif retinopati diabetikum - neovascularisation on disc (NVD)


and elsewhere (NVE)
- perdarahan retina dan vitreous

Komplikasi - retinopati diabetikum


- perdarahan vitreous
- fibrosis preretinal
- glaukoma neovaskular

15
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

RESUME:
Fundus Hipertensif  pada hipertensi kronis
Retinopati hipertensif  pada hipertensi emergensi

Fundus hipertensif
 Spasme arteriol dan proses sklerosis
o Ukuran Arteri mengecil  Aa : Vv= 1 : 3

16
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

o Crossing phenomenon  akibat tekanan dinding arteriol yang kaku terhadap


dinding vena yang lebih lembut di daerah persilangan arteriol-vena
o Sausage appearance
o Silver wire refleks  akibat proses sklerosis arteriol yang tebal, lumen menyempit
dan tidak adanya aliran darah lagi di dalam lumen sehingga tampak sebagai garis
putih, menunjukkan derajat sklerosis.
o Copper wire refleks  lumen menyempit dan tampak warna merah kecoklatan
yang timbul akibat warna darah (merah) bercampur dengan warna dinding arteriol
(kecoklatan), di dalam lumen masih ada aliran darah.
o Gunn’s sign : Vena yang terletak di bawah arteriol seolah-olah hilang perlahan
akibat warna transparansi arteriol berkurang, dan muncul lagi setelah persilangan
(nipping)
o Salus’ sign: vena mengalami defleksi di daerah persilangan sehingga tampak
seperti huruf S atau Z.

Retinopati hipertensif
 Tanda fundus hipertensif
 Perdarahan
o Flame-shaped  perdarahan pada lapisan retina yang superfisial, terjadi karena
perdarahan mengikuti serabut saraf yang berjalan horisontal sehingga
gambarannya seperti lidah api.
o Blot and dot  perdarahan pada lapisan yang lebih dalam (pleksiform) dimana
serabut saraf sudah berjalan vertikal, sehingga pada oftalmoskop gambaran
perdarahan yang terpotong seperti bercak dan bulat.
 Eksudat
o Soft exudates (cotton wool spot)
 Merupakan area iskemik retina karena oklusi pada pembuluh darah
 Berbentuk difus, opak, seperti kapas, warna kuning-putih, terletak di
daerah non irigasi/perfusi
 Terjadi pada lapisan serabut saraf superfisial
 Infark dari lapisan serabut saraf akan membentuk kumpulan-kumpulan
bulat  cystoid bodies  (terminal swelling of interrupted axons)
o Hard exudates
 Merupakan infiltrasi lipid ke dalam retina, Kapiler yang bocor
meninggalkan sisa berupa fibrin dan lipid
 Bentuknya ireguler, kekuningan. Awalnya berupa eksudat pungtata yang
lalu membesar dan bergabung.
 Jika terjadi di lapisan plexiform luar akan membentuk gambaran macular
star shaped formation
 Bila eksudat berada di inner nuclear layer  dibatasi oleh sel Muller
vertikal  membentuk gambaran small yellowish masses

17
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

Retinopati dibetikum
 Mikroaneurisma
o Penonjolan dinding vena (vena melebar)
o Bentuk seperti bintik merah kecil
o Bentuk gangguan awal
 Perdarahan
o Akibat mikroaneurisma pecah
o Bentuk seperti bintik/garis/bercak

 Dilatasi pembuluh darah


o Akibat kelainan sirkulasi atau kelainan endotel dan eksudasi plasma

18
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

o Bentuk lumen irreguler dan berkelok-kelok


 Hard exudates
o Infiltrasi sisa endapan lipid ke retina akibat kapiler yang bocor
 Soft exudates
o Akibat oklusi pembuluh darah dan merupakan area iskemik retina
 Neovaskularisasi
o Bentuknya berkelok-kelok, berkelompok dan ireguler
o Bila pecah menimbulkan perdarahan retina, subhyaloid, dan lensa
 Edema retina
o Gambaran retina menghilang
o Tajam penglihatan berkurang
o Gangguan lapang pandang sentral

Bedanya pembuluh darah aa:vv = 1:3 pada gambaran funduskopi fundus hipertensif dan papil edema 
- Pada fundus hipertensif, pembuluh darah yang mengecil adalah arteri karena proses arteriosklerosis,
- Pada papil edema, pembuluh darah yang melebar adalah vena karena kongesti vena.

19
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

20
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

RETINA
I. ANATOMI RETINA

Retina merupakan neural tunic dari mata, lapisan retina terdiri dari 8 lapis mulai dari korpus
vitreus sampai koroid:
1. Nerve fiber layer/Lapisan serabut saraf  merupakan lapisan serabut akson sel ganglion yang
berjalan horizontal (Stratum optikum), yang dilapisi oleh membrtan transparan yang bukan merupakan
bagian fungsional dari retina, yaitu membrana limitans interna. Akson dari sel ganglion seluruh retina
menuju ke papila nervi optisi, sehingga membentuk selembar substansia alba yang dinamakan
stratum optikum. Akson-akson yang membentuk stratum optikum tidak bermielin, selubung mielin baru
membungkus akson saat akson membentuk nervus optikus dan meninggalkan bagian intraokuler serta
dilengkapi dengan jaringan arakhnoid.
2. Lapisan sel ganglion (Stratum gangliosum)  yang mengandung sel-sel ganglion yang menjulurkan
serabut-serabut yang membentuk stratum optikum. Merupakan neuron ketiga dari lintasan visual.
Dendrit bersinaps dengan akson sel bipolar dan sel amakrin. Hampir di seluruh retina terdapat sebaris
sel ganglion.
3. Lapisan pleksiform interna (Stratum molekulare interna)  terdiri dari akson sel bipolar dan dendrit
dari sel ganglion.
4. Lapisan nuklear interna (Stratum nukleare interna)  mengandung sel-sel bipolar yang menjulurkan
aksonnya ke stratum molekulare interna.
5. Lapisan pleksiform eksterna (Stratum molekulare eksterna)  terdiri dari serabut-serabut yaitu
akson-akson sel kerucut dan sel batang serta dendrit sel bipolar tsb di atas.
6. Lapisan nuklear eksterna (Stratum nukleare eksterna)  disusun oleh inti-inti sel batang dan sel
kerucut.
7. Lapisan fotoreseptor  lapisan yang mengandung sel batang dan sel kerucut.
8. Lapisan sel epitelium berpigmen.

21
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

PEMBULUH DARAH PADA RETINA DAN KELAINANNYA

Pembuluh darah utama pada retina yaitu arteri sentralis retina, memberikan cabang-
cabangnya kedalam mata melalui optic disk. Arteri sentralis retina merupakan cabang pertama dari A.
Optalmika yang merupakan cabang dari A. Karotis interna.
Arteri sentralis retina menembus dura nervus optikus di belakang bola mata, kemudian berjalan dalam
saraf untuk mencapai diskus optikus yang akan memberikan suplai dua pertiga retina bagian dalam.
Retina bagian luar menerima darah melalui chorio-capillaris. Arteri optalmika juga memberi
cabang yaitu A. Siliaris posterior yang akan memberikan suplai pada papil nervus optikus, koroid dan
sepertiga retina bagian luar. Lapisan retina luar (fotoreseptor dan lapisan fleksiform luar menerima
oksigen dan nutrien melalui difusi dari vaskular di koroid. Sebuah lapisan avaskuler dengan tebal 400
um pada fovea disebut daerah avaskuler foveal. Tidak adanya vaskuler ini penting untuk tajam
penglihatan. Cabang-cabang dari A. Siliaris posterior mencapai pleksus kapiler pada daerah lamina
koroidalis dan lamina kribrosa melalui cabang-cabang sirkulasi intra scleral Zinn-Haller.
Secara umum terdapat 4 cabang A. Sentralis retina yang keluar dari disk, yaitu: A. Superior
nasal, A. Superior temporal, A. Inferior nasal, dan A. Inferior temporal.
Cabang A. Sentralis retina yang menuju bagian temporal atas dan bawah makula mengikuti
bundle serabut saraf (akson sel ganglion). Pembuluh-pembuluh darah ini ditemukan pada lapisan
retina dalam dan biasanya tidak meluas lebih dalam dari lapisan pleksiform dalam.
Arteri silioretinal berasal dari sirkulasi koroidal dan ditemukan pada kurang lebih 20% individu.
Koroid diperdarahi oleh A. Optalmika melalui cabang-cabang dari A. siliaris anterior dan A. Siliaris
posterior. Vena-vena koroid bermuara ke vena-vena vortex dan kemudian ke V. Orbitalis superior dan
inferior pada sinus cavernosus. Pemisahan muara vena-vena retina (V. Sentralis) dan koroid (vena-
vena vortex) penting untuk diingat, karena banyak proses patologis yang menyebabkan obstruksi V.
Sentralis dapat menyebabkan kolateral atau shunt antara V. Retina pada papila n. Optikus dan
sirkulasi koroid.

Saat vena dan arteri bersilangan, arteri terletak di atas retina dan membran basalisnya
bersatu. Penyilangan ini merupakan dasar untuk penyumbatan vena retina. Densitas kapiler retina
lebih besar dari vena retina. Vena sentralis retina terletak temporal dari A. Sentralis retina pada papil
N. Optikus dan bermuara pada V. Orbitalis superior dan sinus kavernosus. Pembuluh darah retina,
seperti pembuluh darah serebral lainnya berfungsi sebagai barier pembuluh retina melalui tight
junction antara sel-sel endotel. Pembuluh darah retina tidak memiliki otot polos dan lamina elastik
interna.

22
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

Bentuk dari gangguan lapang pandang yang terjadi karena lesi vaskular dapat diduga,
berhubungan dengan lokasi dari oklusi pada retina. Karena oklusi pada cabang arteriolar retina
berakibat pada lapisan serabut saraf, gangguannya meluas dibelakang sumbatan lokal dan meluas
dengan bentuk pola arcuate atau sectoral karena serabut saraf yang dilaluinya akan menjadi daerah
yang mengalami iskemik.

II. PERDARAHAN RETINA

1. Perdarahan Pre Retina/Subhyaloid

Terdapat di antara limiting membran


retina dan membran hyaloid/vitreous.
Berbentuk seperti air fluid level
(karena adanya condensed gel at the
periphery of the vitreous body).

2. Perdarahan Superfisialis = Flamed Shaped = Splinter haemorrhage


Dibatasi oleh jalannya lapisan serat saraf retina superfisialis (NFL) yang horizontal, sehingga
berbentuk seperti lidah api, letaknya superfisial, biasanya menutupi pembuluh darah.

3. Retina dalam = Blot and Dot haemorrhage

23
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

- Perdarahan pada lapisan dalam retina  lapisan outer plexiform


- Serabut saraf tersusun vertikal  akumulasi darah berbentuk silinder yang terlihat
seperti titik dan bercak pada pemeriksaan funduskopi
- Dapat terlihat di bagian bawah pembuluh darah

4. Perdarahan Subretinal

Perdarahan terjadi di bawah


epitel pigmen, tampak berwarna
abu-abu.

5. Fan shaped
- Gambar seperti kipas karena adanya neovaskularisasi akibat oklusi pembuluh
darah dan terbentuknya anastomosis arteri-vena di perifer.

24
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

PUPIL
Lengkung Refleks Cahaya

Impuls dari sel ganglion retina  aferen n optikus  chiasma optikum  traktus optikus  melalui
bagian anterior medial CGL  brachium colliculus superior nucleus pretektalis  memberi 2 cabang:
Cabang 1  Nucleus Edinger Westphal ipsilateral  ganglion ciliaris  N III eferen  m spingter
pupil (refleks cahaya langsung)
Cabang 2  Nucleus pretektalis kontralateral Nucleus Edinger Westphal kontralateral  ganglion
ciliaris  N III eferen  m spingter pupil (refleks cahaya tidak langsung/konsensual)

25
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

Wernicke’s pupil (Hemianopia pupil)


Stimulasi cahaya pada bagian retina yang “blind” menyebabkan reaksi pupil tidak ada, sedangkan
cahaya yang diproyeksikan pada bagian retina yang “intact” akan menghasilkan konstriksi pupil.

Pada lesi traktus optikus atau chiasma


optikus terdapat perbedaan respon pupil
(miosis) saat setengah bagian retina
daerah nasal atau temporal distimulasi
dengan cahaya. Pada diagram dengan
lesi pada sebelah kanan cahaya
diarahkan pada sisi lesi dan respon pupil
adalah sedikit miosis (1). Tetapi cahaya
yang diarahkan dari sisi yang menjauhi
lesi menyebabkan reaksi miosis yang
lebih jelas (2).
da lesi
traktus

26
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

27
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

28
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

GERAKAN BOLA MATA


SARAF KRANIALIS PENGGERAK OTOT BOLA MATA

I. NERVUS OCULOMOTORIUS (N. III

Saraf oculomotorius mempunyai 2 nuclei:


1. Nucleus oculomotorius utama/somato-motorik
Terletak dalam bagian anterior substansia grisea yang mengelilingi aquaductus cerebralis otak tengah,
letaknya setinggi colliculus superior.
Mensarafi: - 4 otot-otot ekstrinsik gerakan bola mata, yaitu: m. rectus
superior, m. rectus medialis, m. rectus inferior, m. obliqus
inferior.
- m. levator palpebra superior.
Serabut saraf ini keluar melintas ke anterior melalui nucleus rubrum dan muncul di permukaan anterior
otak tengah dalam fossa interpeduncularis.
Nucleus oculomotorius utama menerima:
- serabut corticonuclearis dari kedua hemispherium cerebri,
- serabut tectobulbaris dari colliculus superior 
menerima informasi dari cortex visual,
- serabut dari fasciculus longitudinalis medialis yang berhubungan
dengan nuklei saraf kranial IV, VI dan VIII.

2. Nucleus parasimpatis tambahan/viscero-motorik (Nucleus Edinger-Westphal)


Terletak posterior nucleus oculomotorius utama, disebut juga nukleus otonom. Axon sel saraf
preganglionik bersama-sama serabut oculomotorius lain menuju ke mata, bersinaps dalam ganglion
ciliaris dan serabut postganglionik melintas melalui n. ciliaris brevis, mensarafi:
- m. constrictor pupila iris dan
- m. ciliaris.
Nucleus parasimpatis tambahan menerima:
- serabut corticonuclearis untuk refleks akomodasi dan
- serabut dari nucleus pretectalis untuk refleks cahaya langsung dan konsensual.

29
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

Gambar Lengkung Refleks Cahaya

Impuls dari sel ganglion retina  aferen n optikus  chiasma optikum  traktus optikus  melalui
bagian anterior medial CGL  brachium colliculus superior nucleus pretektalis  memberi 2 cabang.
Cabang 1  Nucleus Edinger Westphal ipsilateral  ganglion ciliaris  N III eferen  m spingter
pupil (refleks cahaya langsung)
Cabang 2  Nucleus pretektalis kontralateral  Nucleus Edinger Westphal kontralateral  ganglion
ciliaris  N III eferen  m spingter pupil (refleks cahaya tidak langsung/konsensual)

ANATOMI
Nukleus oculomotor terletak di mesensefalon setinggi colliculus superior, di dekat garis tengah
dan ventral terhadap akuaduktus serebri. Akson LMN berjalan ke ventral dari nukleus melalui nukleus
rubra dan bagian medial pedunkulus serebri serta keluar di fossa interpedunkularis pada perbatasan
mesensefalon dan pons.
Serabut somato-motorik akan bergabung dengan serabut parasimpatik dari nukleus Edinger
Westphal dan membentuk N. Oculomotorius, yang kemudian akan berjalan ke anterior diantara arteri
cerebri posterior (PCA) dan arteri cerebellaris superior (SCA), menembus dura, dan masuk ke dalam
sinus cavernosus. Dalam sinus cavernosus ini, N. III akan berjalan sepanjang dinding lateral sinus,
superior terhadap N. IV, menuju fisura orbitalis superior.
Setelah memasuki orbita, N. III terbagi menjadi:
- Divisi superior  berjalan ke atas di lateral N. II dan menginervasi m. rectus
superior dan m. levator palpebra superior.
- Divisi inferior  bercabang 3 untuk menginervasi m. rectus inferior, m. obliqus
inferior, dan m. rectus medialis.

30
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

Nukleus Edinger Westphal terletak di bagian dorsal mesensefalon, anterior terhadap nukleus
oculomotor. Serabut LMN preganglion dari nukleus tersebut berjalan ke ventral bersama serabut
somato-motorik di mesensefalon, fosa medialis kranialis, sinus cavernosus, dan fisura orbitalis
superior sampai ke orbita. Serabut parasimpatis ini kemudian memisahkan diri dan menuju ganglion
siliaris yang terletak dekat apeks konus otot ekstraokuler. Serabut postganglion bersama serabut
simpatis menembus okuli berjalan di antara koroid dan sklera serta berakhir di m. Siliaris dan iris.
Komponen viscero-motorik mengatur tonus m. constrictor pupil dan m. siliaris yang mengatur ukuran
pupil dan bentuk lensa.

Sindrom N. III (7 sindrom):


1. Nukleus  sangat jarang terjadi, di nukleus rektus superior mendapat inervasi dari
kontralateral. Kelumpuhan nukleus N. III pada 1 sisi mengakibatkan kelumpuhan N. III sisi
kontralateralnya. Kedua m. levator palpebra diinervasi oleh salah satu subnukleus, shg
kelumpuhan nukleus N. III akan menyebabkan ptosis bilateral.
2. Fascicle/fasikulus  dijumpai adanya kelainan neurologis lain: Nothnagel’s  lesi pd area
pedunkulus serebelar superior; paresis N. III ipsilateral & ataksia serebelar, Benedikt’s  lesi
pada daerah nukleus rubra; paresis N. III ipsilateral & hemitremor kontralateral, Weber’s 
mengenai N. III yg berdekatan dg pedunkulus serebri; paresis N. III ipsilateral dg hemiparesis
kontralateral, Claude’s  Gabungan gejala Benedikt & Nothnagel. Penyebab paling sering
iskemik, infiltratif (tumor), inflamasi (jarang).
3. Sindrom herniasi unkal  Pada tepi tentorial terdpt unkus dari lobus temporal. Bila terjadi SOL
yg mengakibatkan herniasi unkus ke tentorial akan menyebabkan kompresi N. III yg
mengakibatkan pupil midriasis (Hutchinson pupil).
4. Aneurisma PCA  Dlm perjalanan menuju sinus kavernosus N. II berjalan berdampingan dg
A. Komunikans posterior. Penyebab utama non traumatik biasanya aneurisma pd junction A.
Karotis interna. Aneurisma dpt menyebabkan kompresi N. III.

31
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

5. Sindrom sinus cavernosus  superior terhadap N. IV; paresis N. III cenderung parsial (tdk
semua muskulus terkena). Melibatkan N. IV, V1-V2, VI, okulosimpatik.
6. Sindrom orbital  N. III sebelum memasuki fisura orbitalis superior pecah menjadi 2 divisi,
superior dan inferior. Lesi pada sindrom ini mengenai salah satu divisi. Proptosis  tanda
awal; N. II normal, atrofi atau edem; serta V1.
7. Pupil sparing isolated III nerve paresis.

Okulomotor  2 jenis
Perifer  Kelainannya berupa Diplopia oleh karena aksisnya tidak sama
Sentral  Kelainannya berupa Gaze konjugat, karena aksisnya sama sehingga tidak timbul
diplopia.

Pergerakan bola mata  terjadi kelainan yang sifatnya


Sentral  gerakan volunter (-), gerakan involunter (+)
Perifer  gerakan volunter (-), gerakan involunter (-)

II.NERVUS TROCHLEARIS (N. IV)

Komponen: somato-motorik  mensarafi m. obliqus superior, untuk menggerakkan mata ke bawah,


ke dalam, dan abduksi dalam derajat kecil. Paralisis otot ini menyebabkan deviasi mata yang sakit ke
atas dan sedikit ke dalam ke arah mata yang sehat. Deviasi ini terutama terlihat jika mata yang terlibat
melihat ke bawah dan ke dalam, pada arah mata normal.

ANATOMI
Nukleus troklearis terletak pada tegmentum mesensefalon setinggi colliculus inferior, dekat
garis tengah, ventral terhadap aquaductus cerebri. Akson dari nukleus berjalan memutar ke dorsal
mengelilingi aquaductus, bersilangan dengan akson sisi kontralateral di vellum medulla superior, dan
keluar dari permukaan belakang mesensefalon. Persilangan ini menyebabkan setiap m. obliqus
superior diinervasi oleh nukleus troklearis kontralateral. Dari belakang mesensefalon, akson berjalan
memutar kembali ke depan di sekeliling pedunkulus serebral, kemudian berjalan antara PCA dan SCA
di belakang N. III serta menembus dura pada sudut tentorium serebeli. N. IV masuk ke sinus
cavernosus bersama N. III, N. V1 (kadang bersama N. V2) dan N. IV berjalan sepanjang dinding
lateral sinus di anterior lalu masuk orbita melalui fisura orbitalis superior.

Nucleus trochlearis menerima:


- serabut corticonuclearis dari kedua hemispherium cerebri,
- serabut tectobulbaris yang berhubungan dengan cortex penglihatan melalui colliculus
superior, juga menerima
- serabut dari fasciculus longitudinalis yang dihubungkan ke nuclei saraf kranial III, VI dan
VIII.
Saraf ini merupakan satu-satunya saraf kranialis yang keluar dari sisi dorsal batang otak.

32
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

Head tilting  posisi kepala menjauhi lesi untuk mengurangi diplopia.

Sindrom N. IV (5 sindrom):
1. Nuclear-fascicular syndrome  sebenarnya tidak mungkin dibedakan lesi nuclear dengan
fascicular karena pendeknya perjalanan fascicular dalam midbrain, serta tiadanya hubungan
tanda-tanda neurologik. Sering disebabkan karena perdarahan, infark, demielinisasi, trauma
(termasuk operasi). Lesi fascicular dapat terlihat pada sindrom Horner kontralateral, saat jalur
simpatik turun melalui dorsolateral tegmentum dari midbrain yang berdekatan dengan
fascicular troklear.
2. Subarachnoid space syndrome  Sebenarnya N. IV mudah terkena injury saat keluar dari
permukaan dorsal batang otak. Saat terjadi paresis N. IV bilateral, tempat injury mungkin di

33
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

anterior vellum medulla. Lesi contrecoup ditransmisikan ke batang otak oleh tepi tentorium
yang bebas sehingga dapat terjadi injury N. IV pada tempat ini. Penyebab yang jarang adalah
tumor (pinealoma, tentoroal meningioma), meningitis, neurosurgical trauma.
3. Sinus cavernosus syndrome  berhubungan dengan kelumpuhan nervus kranialis lain seperti
kelumpuhan Nn. III, V, VI, okulosimpatik. Pemeriksaan fungsi N. IV pada terjadinya
kelumpuhan N. III: a. Saat mata terlibat tidak dapat beradduksi dengan baik, gerakan vertikal
dari m. Superior oblique tidak dapat dilakukan, b. Jika mata digerakkan abduksi kemudian
pasien disuruh untuk melihat ke bawah; kemampuan mata intorsi diperiksa untuk mengukur
fungsi N. IV, c. Jika terdapat tanda dari limbal atau konjungtiva (seperti pterigium atau
pembuluh darah) dapat intorsi, diasumsikan N. IV intak.
4. Orbital syndrome  Biasanya berhubungan dengan kelumpuhan nervus kranialis II, IV, dan
VI: tanda orbitalnya proptosis, chemosis, injeksi konjungtiva. Penyebab utama trauma,
inflamasi, tumor.
5. Isolated IV nerve palsy  I. Kongenital: sering dijumpai pada anak, dan dekade 5-6 kehidupan
saat kelumpuhan N. IV mungkin dekompensasi. Kuncinya amplitudo fusi vertikal besar (dioptri
10-15 prisma), FAT (family album tomography) scan: lihat foto lama untuk mendeteksi long-
standing head tilt, menunjukkan penyebab kongenital. II. Didapat: onset akut diplopia vertikal,
biasanya komponen torsional. Karakteristik posisi kepala; tilt kearah berlawanan, kepala
melihat kebawah dengan dagu turun, mata naik, wajah bergerak kearah berlawanan.
Konfirmasi diagnosis dengan Parks-Bielschowsky three-step test. Evaluasi awalnya
tentukan tekanan darah, glucose tolerance test (GTT), LED.
Parks-Bielschowsky three-step test
I. Primary position  hiper (posisi bola mata agak keatas)
2. Lateral gaze: ipsilateral  inferior; kontralateral  superior
3. Head tilt position  kalau lirik ke kanan, kepala miring ke kanan; kalau lirik ke kiri, kepala miring ke
kiri. (lihat di Bajandas)

III.NERVUS ABDUCENT (N. VI)

Komponen: somato-motorik  mensarafi m. rectus lateralis.


Jika saraf abdusens mengalami kelumpuhan mata tidak dapat bergerak ke lateral. Karena otot rektus
medialis tidak lagi memiliki antagonis, mata agak berdeviasi ke arah nasal. Kondisi ini dikenal sebagai
strabismus konvergen atau esotropia.

ANATOMI
Nukleus abducens terletak pada tegmentum pons, dekat garis tengah, anterior dari ventrikel
IV. Akson krus interna N. VII berjalan melingkar mengelilingi nukleus abducens, sehingga dasar
ventrikel IV tampak menonjol, disebut facial colliculus. Akson dari nukleus abducens berjalan ke
ventral melalui tegmentum pons dan keluar di permukaan ventral batang otak di antara batas pons
dan piramis medulla. Nervus abducens berjalan antero-lateral dalam ruang subarachnoid fossa
posterior dan menembus dura di lateral dorsum sella pada os sphenoid. Nervus ini kemudian terus
berjalan ke depan di antara dura dan apeks os petrosa temporal masuk ke dalam sinus cavernosus.
Dalam sinus ini, N. VI terletak lateral terhadap arteri carotis interna dan medial terhadap N. III, IV, V1
dan V2. Kemudian N. VI masuk ke orbita melalui bagian medial fisura orbitalis superior.
Nucleus menerima serabut:
- aferen corticonuclearis dari kedua hemispherium cerebri,

34
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

- tractus tectobulbaris dari colliculus superior oleh cortex penglihatan dihubungkan ke


nucleus,
- fasciculus longitudinalis medialis yang dihubungkan ke nuclei saraf kranial III, IV dan VIII.

Sindrom N. VI (6 sindrom):
1. Brainstem syndrome  Lesi batang otak juga terdapat kelainan pada Nn. V, VII, VIII dan
serebelum. Nukleus N. VI mengandung motorneuron yang mensarafi m. rektus lateralis dan neuron
internuclear abduscens yang berproyeksi melalui FLM ke subdivisi rektus medial dari nukeus
okulomotor kontralateral serta kelumpuhan nukleus N. VI menyebabkan kelumpuhan konyugasi
gaze horisontal.
Lesi pada bagian bawah pons: neuron sentral okulosimpatik  sindrom Horner ipsilateral, PPRF 
kelumpuhan konyugasi gaze horisontal ipsilateral, FLM  INO ipsilateral, traktus piramidal 
hemiparesis kontralateral.
Sindrom Millard-Gubler  paresis N. VI, paresis N. VII ipsilateral, hemiparesis kontralateral;
Sindrom Raymond’s  paresis N. VI, hemiparesis kontralateral; Sindrom Foville’s  kelumpuhan
konyugasi gaze horisontal, kelumpuhan Nn kranialis V, VII, VIII, sindrom Horner ipsilateral.
2. Subarachnoid space syndrome  Peningkatan TIK dapat menghasilkan pergeseran batang otak ke
bawah disertai peregangan N. VI yang akan tertambat keluar dari pons dan kanalis Dorello akan
menyebabkan kelumpuhan N. VI nonlocalizing karena peningkatan TIK. Kira-kira 30% pasien
pseudotumor cerebri mengalami kelumpuhan N. VI, yang merupakan satu-satunya defisit neurologik
disamping papilledema dan perubahan lapang pandang. Gangguan lain dari ruang subarachnoid
dapat menyebabkan kelumpuhan N. VI seperti perdarahan, infeksi meningen & parameningen (spt
virus, bakteri, fungi), inflamasi (spt sarkoidosis), atau infiltrasi (spt limfoma, leukemia, keganasan).
3. Apex petrosus syndrome  Sindrom Gradenigo: kelumpuhan N. VI, penurunan pendengaran
ipsilateral, facial pain ipsilateral sesuai distribusi N. V¹, kelumpuhan facial ipsilateral; terjadi karena
inflamasi lokal atau abses ekstradural pada apeks petrosus sebagai komplikasi otitis media. Fraktur
tulang petrosus: fraktur basis kranii, kemungkinan terlibatnya Nn. V, VI, VII, VIII; bapat dijumpai
hemotimpanum, Battle’s sign, ekimosis mastoid, otorrhea LCS. Sindrom Pseudo-Gradenigo: KNF
dapat menyebabkan otitis media serosa yang terjadi karena obstruksi tuba eustachius dan
keganasan dapat masuk ke sinus kavernosus sehingga menyebabkan kelumpuhan N. VI; tumor
CPA dapat menyebabkan kelumpuhan N. VI dan kelainan klinis lainnya yaitu penurunan
pendengaran, kelumpuhan N. VII, kelumpuhan N. V, ataksia, papilledema.
4. Sinus cavernosus syndrome  Melibatkan Nn. III, IV, V¹; pleksus okulosimpatik
karotis (sindrom Horner); N. Optikus dan chiasma; kelenjar hipofisis. DD/
penyakit sinus kavernosus: trauma, vaskular, neoplasma, inflamasi.
5. Orbital syndrome  Gejala awal adalah proptosis yang disebabkan kongesti pembuluh darah
konjungtiva serta kemosis, N. II dapat normal/atrofi/edema, dapat dijumpai gangguan pada V¹.
Penyebabnya tumor, trauma, inflamasi pseudotumor, selulitis.
6. Isolated VI nerve palsy  Sering terlihat sebagai sindrom postviral pada pasien usia muda dan
mononeruropati iskemik pada dewasa.

35
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

II. Otot Gerak Bola Mata

Keempat muskulus rektus (rektus superior, rektus inferior, rektus medialis, rektus lateralis) dan
muskulus oblikus superior mempunyai origo pada tendon annulus Zinn, suatu jaringan fibrous
berbentuk cincin yang berdekatan dengan periorbita dan disekitar kanalis optikus serta bagian medial
dari fisura orbitalis superior. Otot-otot tersebut bergabung dengan sklera berinsersio pada tendon ± 6
mm dibelakang limbus bola mata.
1. Muskulus oblikus superior, berorigo pada annulus Zinn dan ala parva tulang sphenoid diatas
foramen optic merupakan otot ekstraokuler yang paling panjang dan tipis, berjalan di bagian
depan superonasal orbita menjadi tendinous, melalui troklea dan membelok secara oblik
kebawah, berjalan diatas otot rektus superior, untuk mencapai sklera pada bagian kuadran
atas temporal di bagian posterior bola mata sebagai insersionya.
Oblik superior dipersarafi saraf ke IV atau saraf troklear yang keluar dari bagian dorsal
susunan saraf pusat.
Mempunyai aksi penggerak miring dari troklea pada bola mata dengan kerja utama terjadi bila
sumbu aksi dan sumbu penglihatan searah atau mata melihat kearah nasal. Berfungsi
menggerakkan bola mata untuk depresi (primer) terutama bila mata melihat ke nasal, abduksi
dan insiklotorsi.

36
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

2. Muskulus Rektus Lateral, mempunyai origo pada anulus Zinn di atas dan di bawah foramen
optik. Rektus lateral dipersarafi oleh N.VI dengan pekerjaan menggerakkan mata terutama
abduksi.

3. Muskulus oblikus inferior, berorigo di periorbita pada puncak lakrimal pada


maksila di belakang lingkaran nasal orbital dan berjalan superior serta
posterior, inferior dari muskulus rektus inferior menuju bola mata inferior
dan temporal tetapi di atas daerah rektus lateral pada makula (berinsersi pada
sklera posterior 2 mm dari kedudukan makula). Dipersarafi saraf
okulomotor, bekerja untuk menggerakkan mata keatas, abduksi, dan
eksiklotorsi.

4. Muskulus Rektus Inferior, mempunyai origo pada anulus Zinn, berjalan antara oblik inferior
dan bola mata atau sklera dan insersi 6 mm di belakang limbus yang pada persilangan
dengan oblik inferior diikat kuat oleh ligamen Lockwood.
Rektus inferior dipersarafi oleh n.III
Fungsi menggerakkan mata depresi (gerak primer), eksiklotorsi (gerak sekunder), aduksi
(gerak sekunder).
Rektus inferior membentuk sudut 230 dengan sumbu penglihatan.

37
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

5. Muskulus Rektus Medius, mempunyai origo pada anulus Zinn dan pembungkus dura saraf
optik yang sering memberikan rasa sakit pada pergerakan mata bila terdapat neuritis
retrobulbar, dan berinsersi 5 mm di belakang limbus. Rektus medius merupakan otot mata
yang paling tebal dengan tendon terpendek.
Menggerakkan mata umtuk aduksi (gerakan primer).

6. Muskulus Rektus Superior, mempunyai origo pada anulus Zinn dekat fisura orbita superior
beserta lapis dura saraf optik yang akan memberikan rasa sakit pada pergerakan bola mata
bila terdapat neuritis retrobulbar. Otot ini berinsersi 7 mm di belakang limbus dan dipersarafi
cabang superior N.III
Fungsinya menggerakkan mata – elevasi, terutama bila mata melihat ke lateral :
- aduksi, terutama bila tidak melihat ke lateral
- insiklotorsi

38
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

Persarafan dan Kerja Otot-otot Ekstraokuler

Saraf Otot Primer Kerja Sekunder

Okulomotorius Rektus superior Menggerakkan mata Aduksi,


ke atas endorotasi
Rektus inferior Menggerakkan mata Aduksi,
ke bawah eksorotasi
Rektus medial Abduksi
Oblikus inferior Menggerakkan mata Tidak ada
ke atas Abduksi,
eksorotasi
Troklearis Oblikus superior Menggerakkan mata Abduksi,
ke bawah endorotasi
Abdusens Rektus lateral Menggerakkan mata Tidak ada
ke lateral
Peter Duus hal 95

39
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

► Untuk melihat adanya paresis saraf-saraf gerakan bola mata, jari pemeriksa digerakkan perlahan-
lahan, agar dapat melihat adakah gerakan bola mata yang tertinggal. Jari digerakkan menjauhi dan
mendekati.

- Test drifting (cover uncover); pada


mata yang sakit tidak ada gerakan,
kompensasi pasien untuk merubah
fokus, menunjukkan tonus yang
lemah dari otot yang paresis.
- cover test (untuk strabismus laten)
 Suruh pasien (Ps) untuk melihat
dengan kedua matanya ke arah mata
kanan pemeriksa (Pm). Kemudian
tutup mata kiri Ps (mata yang
paresis), maka posisi mata akan
menjauhi dari otot mata kanan Ps.
Jika terdapat Strabismus, maka mata
40
kiri berusaha akan mengadakan
koreksi setelah tutup dibuka dengan
kembali ke posisi semula.
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

► Lesi supranuklear/sentral N. III: gaze paresis


Lesi infranuklear/perifer N. III : diplopia
Pusat gaze Horisontal: PPRF dan inti N. VI.
Vertikal : INC (interstitial nucleus of Cajal)

GAZE PALSI
Gerakan konjugat mata
IRITASI PARALISIS
LESI KORTIKAL Deviasi menjauhi lesi deviasi ke arah lesi
LESI PONTIN deviasi ke arah lesi deviasi menjauhi lesi

41
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

Gambaran klinis gangguan konjugat:


- Lesi kortikal paralitik, arah deviasi konjugat menjauhi sisi tubuh yang mengalami hemiparesis.
Menunjukkan lesi di lobus frontal ipsilateral terhadap arah deviasi konjugat.

- Lesi kortikal iritatif, jika terjadi deviasi konjugat kearah anggota gerak yang mengalami kejang maka
kemungkinan lesi di daerah frontal kontralateral dari arah deviasi mata. Menunjukkan fokus epileptik di
lobus frontal kontralateral dari arah deviasi konjugat.

- Jika terjadi deviasi konjugat kearah sisi tubuh yang mengalami paresis maka kemungkinan lesi
terdapat di pons kontralateral dari arah deviasi mata atau lesi di hemisfer kontralateral yang bersifat
iritatif.

► Proyeksi makula pada korteks terdapat di lobus oksipital pada fisura kalkarina.

► Nistagmus : gerakan osilasi ritmis yang terdiri dari fase cepat dan fase lambat.
Biasanya fase lambat diikuti fase cepat
► Nistagmoid : gerakan osilasi yang didahului oleh komponen cepat.

42
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

► Topis OKN pada parietal dalam (parieto-occipito-temporal junction)

2. Perbedaan prominensia papiledema/perbedaan dioptri dari kedua mata dapat menunjukkan lesi
intrakranial (supratentorial atau infratentorial).
- Pada lesi infratentorial prominensia papiledema pada kedua mata akan sama
(tidak ada perbedaan dioptri).
- Pada lesi supratentorial terdapat perbedaan dioptri pada kedua mata.

Cara mengukur dioptri – prominensi


Tentukan dioptri tertinggi papil dimana struktur kapiler masih terlihat jelas dengan mengubah-ubah
lensa oftalmoskop, lalu ukur dioptri tertinggi macula, maka prominensi papil edema adalah
pengurangan keduannya
Misal : Dioptri papil +2
Dioptri macula -1
Prominensi papiledema = +2 – (-1) = 3

3. Romberg’s test
Tanda Romberg digunakan secara primer sebagai suatu uji proprioseptif, tidak fungsi serebelar.
Temuan yang esensial adalah perbedaan antara keseimbangan berdiri dengan mata terbuka dan
tertutup. Untuk menguji fungsi ini, pasien harus stabil berdiri dengan mata terbuka dan menunjukkan
penurunan keseimbangan dengan mata tertutup.
Secara kualitas, hanya adanya perburukan keseimbangan saat mata tertutup menunjukkan suatu
tanda Romberg's positif. Seorang pasien yang tidak dapat mempertahankan keseimbangan kaki
bersamaan dan mata terbuka tidak menunjukkan suatu tanda Romberg's positif.

Pemeriksaan:
- Pasien diminta berdiri pada kakinya bersamaan selama beberapa detik.
- Katakan pada pasien, pemeriksa siap menahannya jika ia terjatuh.
- Jika pasien terjatuh saat dalam posisi tersebut dengan mata terbuka, kita tidak dapat
melanjutkan pemeriksaan, jika tidak;
- Pasien diminta untuk menutup kedua matanya.

Penilaian:
- Jika dapat berdiri tanpa terjatuh pada keadaan mata terbuka; dan tetap bertahan pada keadaan
mata tertutup, Romberg’s test dikatakan negatif: normal.
- Jika dapat berdiri tanpa terjatuh pada keadaan mata terbuka; kemudian pasien terjatuh saat menutup mata,
Romberg’s test dikatakan positif: gangguan terhadap posisi/proprioseptif.
Keadaan seperti ini dapat dijumpai pada:
1. Lesi pada kolumna posterior medulla spinalis, penyebab tersering kompresi
medula spinalis seperti pada spondilosis servikal, tumor. Penyebab lain
yang jarang dijumpai tabes dorsalis, defisiensi vitamin B12, penyakit
degeneratif medula spinalis.
2. Neuropati perifer.
- Terjatuh saat berdiri pada kedua kaki saat buka mata, Romberg’s test tidak dapat dinilai; menunjukkan
gangguan berat/severe unsteadiness. Penyebab tersering sindrom serebelar dan sindrom vestibuler perifer.
- Dapat berdiri pada saat buka mata, bergerak kedepan dan kebelakang pada saat tutup mata, kemungkinan
suatu sindrom serebelar.
- Romberg yang dipertajam atau tandem Romberg dilakukan oleh pasien saat berdiri pada posisi tandem
dengan mata terbuka dan tertutup; batas dari normalitas untuk variasi ini adalah perkiraan.
Pada penyakit-penyakit serebelar, Romberg’s test tidak dikatakan positif.

43
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

4. Fukuda stepping test


Merupakan pemeriksaan yang fungsinya mirip dengan Romberg’s test, termasuk suatu uji proprioseptif dan
dikelompokkan dalam Vestibulospinal Reflexes.

Pemeriksaan:
- Dengan mata tertutup pasien diminta jalan ditempat selama 1 menit.

Penilaian:
- Pasien normal akan tetap pada arah yang sama.
- Ambang normal bila terjadi deviasi rotasi 30 derajat, rotasi yang berlebihan diperkirakan adanya
vestibulospinal imbalance.
- Pasien dengan vestibulopathy akut akan melambat menuju lesi.
- Gerakan maju kedepan tidak patologis.

44
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

NO dr. Andradi, SpS (K)


5 April 2006

1. ALGORITME VERTIGO

Konfirmasi vertigo?  nyeri kepala, bingung dll

Vertigo Vestibuler Tentukan Jenis Vertigo NonVestibuler

Perifer Sentral Tentukan Letak Lesi Visual Somatosensorik


(proprioseptif)

Cari Kausa

Pilih Terapi
- Kausal
- Simtomatik
- Rehabilitasi

PERBEDAAN VERTIGO VESTIBULER NON VESTIBULER


- Sifat Vertigo Rasa berputar (true Rasa melayang,
vertigo) goyang, sempoyongan
- Sifat Serangan Kontinyu
- Mual-muntah Episodik (-)
- Gangguan Pendengaran (+) (-)
- Situasi Pencetus (+)/(-) Ramai orang, lalu
(-) lintas & macet, sibuk,
- Letak Lesi pasar
Vestibuler Visual, Proprioseptif

PERBEDAAN VERTIGO PERIFER SENTRAL


VESTIBULER
- Bangkitan Vertigo Mendadak Lebih lambat
- Intensitas Berat Ringan
- Pengaruh gerakan (+) (-)
kepala (++) ±
- Gejala Otonom (+) (-)
- Gangguan (-) (+)
pendengaran
- Tanda Fokal Otak

PERBEDAAN NISTAGMUS PERIFER SENTRAL


POSISIONAL
- Latensi (+) 2-20 detik (-)
- Vertigo (+) (+)/(-)
- Fatique (+) (-)
- Arah ke telinga bawah ke telinga atas/bervariasi
- Lamanya < 1 menit > 1 menit

45
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

2. Perbedaan Lesi Pre CGL (Corpus Geniculatum Laterale)


dan Post CGL
Lesi Pre Lesi Post CGL Keterangan
CGL
Refleks Terganggu Tidak terganggu Karena serabut yang
Cahaya mengurus jaras
refleks lengkung
cahaya setelah
melalui kiasma &
traktus optikus akan
menyimpang di
anterior CGL lalu
menuju ke nukleus
pretektalis lalu ke
nukleus Edinger
Westhpal kemudian
melalui N. III ke
sfingter pupil,
sehingga lesi di pre
CGL akan
menyebabkan
gangguan refleks
cahaya.
Gangguan Hemianopia Hemianopia/kuadranopia Area pre CGL
Lapang homonim homonim yang kongruen memiliki serabut
Pandang inkongruen saraf yang
membawa informasi
dari area yang
berhubungan
dengan setengah
lapang pandang
homonim
kontralateral yang
sangat rapat dan
belum tersusun
rapih sehingga akan
terlihat gangguan
lapang pandang
yang inkongruen,
sedangkan post-
CGL membawa
serabut yang lebih
jarang dan tersusun
rapih.
Papil Atrofi/ (+) (-) Degenerasi akson di
Marcus Gunn N. II & traktus
optikus hingga CGL.
Sehingga terjadi
atrofi primer
ipsilateral. Pd post
CGL tidak ada
hubungan N. II
karena sinapsnya
berada di CGL.

46
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

Lengkung refleks kornea


Kapas disentuhkan pada kornea mata pasien. Refleks kornea normal adalah positif dimana kedua
mata berkedip. Perjalanan impuls adalah sebagai berikut : sensasi dari kornea dihantarkan serabut
saraf sensorik yang memiliki badan sel di ganglion semilunaris Gasseri. Serabut saraf ini bersinaps
dengan interneuron di nucleus sensoris principalis n. V. Interneuron ini akan bersinaps dengan kedua
sisi neuron motorik n. VII pada nucleus motorik n. VII yang mempersarafi m. orbicularis oculi.

Keterangan :
5 = Serabut sensorik ordo I yang menerima impuls dari kornea
6 = Ganglion semilunaris Gasseri
7 = Interneuron pada nucleus sensoris principalis n. V menuju ke nucleus motorik n.
VII kiri dan kanan (bilateral)
8 = Nucleus motorik N. VII
9 = N. fasialis proprius yang mempersarafi otot-otot wajah
10 = M. orbicularis oculi

Nurhayana Lubis

47
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

PPDS Neurologi Juli 2003


Neuro-ophtalmologi April-Mei 2006

Dr. Eva D, SpS


I. Membedakan lesi pre CGL dan post CGL
II. Kelainan lapang pandang

48
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

Kelainan lapang pandang berdasarkan anatomi:


1. Skotoma sentral mata kiri disebabkan inflamasi pada optic disk (neuritis optik) atau nervus
optikus (neuritis retrobulbar) kiri.
2. Buta total pada mata kanan karena lesi komplit pada nervus optikus kanan.
3. Hemianopia bitemporal disebabkan tekanan yang mendesak chiasma optikum karena tumor
pituitary.
4. Hemianopia nasal kanan disebabkan lesi pada perichiasma ipsilateral (seperti kalsifikasi A.
carotis interna)
5. Hemianopia homonim kanan inkongruen karena lesi pada traktus optikus kiri.
6. Kuadranopia superior homonim kanan kongruen disebabkan lesi yang melibatkan
sebagian radiasio optik pada lobus temporal kiri (Meyer’s loop).
7. Kuadranopia inferior homonim kanan kongruen disebabkan lesi yang melibatkan sebagian
radiasio optik pada lobus parietal kiri.
8. Hemianopia homonim kanan kongruen karena lesi komplit pada radiasio optik kiri.
9. Hemianopia homonim kanan kongruen dengan macular sparing dihasilkan karena oklusi
arteri cerebral posterior  lesi di korteks striata.
Macular sparing terjadi karena walaupun terjadi gangguan aliran
dari A. cerebral posterior (A. Calcarina [cabang dari A.cerebri
posterior]  yang memperdarahi korteks striata) karena oklusi,
korteks visual macular ipsilateral masih mendapatkan supply
darah dari cabang terminal A. cerebral media yaitu A. temporo-
occipital sylvian superior  terdapat anastomosis antara
A.cerebralis posterior (A. Calcarina) dan a. temporo-occipital

49
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

sylvian superior (cabang dari a.cerebri media). .


10. Keyhole menunjukkan lesi pada corpus genikulatum laterale-radiasio optik.
11. Hemianopia homonim kanan sangat inkongruen karena lesi pada traktus optikus kiri.
12. Tilted disc menunjukkan lesi di chiasmal.
13. Junctional scotoma ipsilateral (kanan) dengan kuadranopia superior temporal
kontralateral (kiri) menunjukkan lesi pada bagian posterior nervus optikus sebelum chiasma
optikum (Wilebrand’s knee), terjadi karena serabut nervus optikus bagian nasal yang akan
menyilang, sebelum menyilang sebagian membelok ke arah temporal sebelum melanjutkan
diri menyilang ke sisi kontralateral.
14. Hemianopia binasal menunjukkan lesi di pinggang chiasma opticum bilateral.
15. Hemianopia homonim altitudinal menunjukkan lesi di :
- Lobus Oksiptial inferior
- Di atas/ di bawah sulkus kalkarina  retina diperdarahi oleh 2
cabang,terjadi di meridian horizontal

Bagaimana patofisiologi gangguan lapang pandang konstriktif


konsentris dan lokasinya :
- Jika gangguan lapang pandang konstriktif hanya terjadi pada 1 mata
maka kelainannya berhubungan dengan letak lesi yang berada
anterior sampai ke chiasma optikum  biasanya disebabkan oleh
karena penyakit retina atau lesi nervus optikus.
- Jika gangguan lapang pandang konstriktif konsentris atau terjadi
pada kedua mata dapat mengindikasikan adanya kelainan okular
bilateral (berupa penurunan visus misal karena degenerasi makula)
atau lesi nervus optikus.
GANGGUAN LAPANG LOKASI LESI KLINIS
PANDANG
Kehilangan lap. pandang N. II/ retina RCL/RCTL (-), visus 
unilateral
Hemianopia Bitemporal Chiasma optikum Abnormalitas pituitari,
hipersekresi dg atau tanpa
hipopituirisme
Quadranopia homonim Lobus temporal Hemihipestesi, hemianopia
superior ringan
Quadranopia homonim inferior Lobus Parietal Agnosia sensorik
Hemianopia homonim Lobus oksipital Ps srg memiliki
kongruen/Quadranopia keterbatasan dalam hal
Hemianopia homonim Traktus optikus kewaspadaan untuk
inkongruen memeriksa

N. II Distal & proksimal berdasarkan anamnesis dan gangguan lapang pandang


1. Nervus II Distal
Anamnesis : Didapatkan adanya penurunan visus satu mata
Menunjukkan lesi berupa monocular blindness (anopia) ipsilateral
2. Nervus II Proksimal
Anamnesis :
menunjukkan lesi pada bagian posterior nervus optikus sebelum chiasma optikum
(Wilebrand’s knee), terjadi karena serabut nervus optikus bagian nasal yang akan menyilang,

50
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

sebelum menyilang sebagian membelok ke arah temporal sebelum melanjutkan diri menyilang
ke sisi kontralateral.
 Junctional Scotoma Ipsilateral
Kuadranopia Superior Temporal Kontralateral

PEMERIKSAAN LAPANG PANDANG

I. TES KONFRONTASI

II. GOLDMANN PERIMETRY

Lapang Pandang Sentral à dapat diperiksa dg menggunakan tes konfrontasi, Kampimetri


Goldmann, Tangent screen Bjerrum, Amsler Grid.
Lapang pandang perifer à Kampimetri Goldmann
• Perimetri otomatis dapat memeriksa lapang pandang 60°
• Perimetri manual dapat memeriksa keseluruhan lapang pandang
• Berguna utk memeriksa skotoma ring (retinitis pigmentosa), nasal
step (glaukoma), temporal crescent (lobus oksipital)

51
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

III. AMSLER GRID & TANGENT BJERRUM


1.Tangent Bjerrum

Memeriksa kelainan lapang pandang radius 10º-30°


Pemeriksaan kampus sentral dengan tangent screen mempunyai
keuntungan terutama untuk pemeriksaan fungsional karena jarak
antara layar dan penderita dapat diubah-ubah.
Efektif untuk menilai skotoma yang kecil. Jika pasien didekatkan ke
layar maka defek semakin kecil dan semakin besar jika pasien
dijauhkan dari layar.

2. Amsler Grid

• Berguna untuk mendeteksi skotoma subtle, sentral dan parasentral


• Memeriksa kelainan lapang pandang 10º
• Pemeriksaan berjarak 1/3 meter dan setiap kotak mewakili 1° lapang
pandang

52
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

• Pemeriksaan dengan meminta pasien untuk memfiksasi pandangan pada satu titik pada kartu amsler
dan menggambarkan area yang kabur atau distorsi. Setiap mata diperiksa bergantian. Jarak mata ke
kartu amsler 14 inchi.
• Alat ini mempunyai kemampuan mendeteksi kelainan dengan arah 10o dari titik fiksasi.
• Dapat mendeteksi skotoma sentral dan parasentral.
• Sangat baik untuk meggambarkan skotoma sentral yang kecil, kongruitas lesi korteks visual, macular
sparing dan pembesaran blind spot.

53
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

54
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

55
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

56
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

57
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

58
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

59
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

60
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

61
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

62
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

63
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

64
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

65
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

66
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

67
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

68
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

69
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

70
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

Tugas NO dr. Eva D, SpS


Nurhayana Lubis
PPDS Neurologi Juli 2003
Neuro-ophtalmologi April-Mei 2006

I. Oscillopsia
Oscillopsia: Oscillating vision = Swinging vision/penglihatan bergoyang. Pada oscillopsia, obyek
terlihat terayun/bergoyang, bergerak maju dan mundur, jerk, atau meliuk-liuk.
Lesi pada sistem okulomotor, vestibular, dan serebelar dapat menimbulkan keluhan visual berupa ilusi
pergerakan obyek-obyek yang dilihat oleh penderita seperti pandangan kabur serta bergoyang-goyang
atau melompat-lompat yang terjadi selama pergerakan kepala baik secara aktif maupun pasif, yang
dikenal dengan oscillopsia.
Oscillopsia terjadi sebagai akibat gangguan stabilisasi (fiksasi) bayangan di retina selama pergerakan
berlangsung.
Gangguan stabilisasi bayangan di retina dapat diakibatkan oleh gangguan fungsi vestibulo-ocular
reflex (VOR) maupun gangguan respon optokinetik (OKN).
Keluhan oscillopsia paling sering didapatkan pada:
- hipofungsi sistem vestibular bilateral, seperti ototoksisitas karena obat (gentamisin,
streptomisin)  15-50% kasus
- meningitis  10%
- penyakit Meniere
- neurinoma akustik
- Kelainan kongenital yang disertai tuli (Mondini malformation)
- Kelainan sistem imun
Penatalaksanaan :
Penanganan hipofungsi vestibular bilateral dapat dikerjakan dengan 1 dari 2 latihan rehabilitasi
vestibular, untuk meningkatkan efikasi refleks-refleks vestibular yang tersisa. Pasien dengan
hipofungsi vestibular bilateral yang berat harus menggunakan strategi substitusi vestibular yaitu
dengan belajar menggunakan informasi visual dan proprioseptif untuk stabilisasi gaze dan postural.

71
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

Kelainan Klinis

Sinus Cavernosus syndrome

72
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

- Klinis
1. Palsy N. III, IV, V1 dan V2  painful ophtalmoplegia
2. Pleksus okulosimpatetik karotis (sindrom Horner)
3. N. II dan chiasma
4. Kelenjar pituitari
5. N. III parsial dengan pupil sparing
6. Diplopia oleh karena N. III, IV, VI atau isolated VI nerve palsy
7. Penurunan sensasi distribusi persarafan N. V1 & V2

- Etiologi
I. Penyakit Orbita:
1. Trauma
2. Vaskular
a. Aneurisma A. Carotis intercavernosus
b. Aneurisma A. Cerebri posterior
c. Fistula carotis cavernosus
d. Trombosis fistula carotis
3. Tumor
a. Tumor intrakranial primer: meningioma, neurofibroma, dll
b. Tumor kranial primer: chordoma, chondroma
c. Metastasis lokal: tumor nasofaringeal, cylindroma
d. Metastasis jauh: limfoma, mieloma multipel
4. Inflamasi
a. Bakteri: sinusitis
b. Virus: Herpes zoster
c. Jamur: mucormycosis
d. Spirochetal: treponema pallidum
e. Mikobakterial: M.tuberkulosis
f. Tidak diketahui sebabnya: sarkoidosis, Tolosa Hunt’s syndrome
II. Miastenia
III. Ocular dysthyroidism
IV. Diabetic ophtalmophlegia
V. Giant cell arteritis
VI. Botulism
VII. Fisher’s syndrome

73
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

Neurofisiologi persarafan otot-otot mata


Kerjasama yang sangat tepat di antara masing-masing otot okular, yang menggerakkan bola
mata ke berbagai arah, membutuhkan hubungan yang erat antara semua nukleus saraf supaya terjadi
gerakan mata. Hubungan yang erat ini disediakan oleh FLM, yang berjalan secara bilateral sejajar

74
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

dengan garis tengah dari tegmentum batang otak, ke bawah ke medula spinalis bagian servikalis.
Fasikulus ini berhubungan dengan nukleus saraf motorik dari otot-otot mata. Fasikulus ini juga
menerima impuls dari medula spinalis bagian servikalis (melayani otot leher anterior dan posterior),
dari nukleus saraf vestibularis, dari formasio retikularis yang mengontrol pontin, dan dari korteks
serebri serta ganglia basalis.
Mata dapat digerakkan secara volunter maupun secara refleks. Tetapi, mata dapat bergerak
secara konjugat. Ketika melihat secara volunter pada sebuah obyek, mata membuat gerakan
sentakan yang sangat cepat dan tepat (saccades). Tetapi kebanyakan gerakan mata terjadi secara
refleks, merupakan gerak involunter.
Setiap obyek yang memasuki lapangan pandangan, akan menarik perhatian, dan penglihatan
secara involunter diarahkan ke obyek tersebut. Jika obyek bergerak mata mengikuti secara involunter
sebagai usaha agar bayangan dari obyek tetap berada dalam daerah fovea dari kedua makula, secara
terus menerus. Jika kita secara volunter memusatkan penglihatan pada sebuah obyek yang menarik
perhatian, mata secara otomatis tetap pada obyek tersebut, meskipun kita atau obyek tersebut
bergerak.
Komponen khusus dari formasio retikularis yang terdapat pada bagian anterior otak tengah
mengatur arah penglihatan individual. Impuls eksitatorik dari Paramedian Pontin Reticular
Formation (PPRF) bersinaps pada nukleus abduscen dan membentuk gerakan saccades horisontal.
Input neural ke motorneuron abduscen (bagian dari N. Abduscen) dan interneuron intranuklear,
kemudian menyilang lewat FLM kontralateral ke subnukleus rectus medial.1 Menurut Hassler (1967),
nukleus prestitialis pada dinding posterior ventrikel ketiga mengatur gerakan ke atas ; nukleus
komisura posterior mengatur gerakan ke bawah; nukleus Cajal interstitial dan nukleus
Darkschewitsch, gerakan memutar dari mata.
Segmen kolikulus superior juga dapat menghasilkan gerakan mata ke arah tertentu. Gerakan
ke atas diwakili pada tepi anterior kolikuli superior.
Impuls yang berasal dari bagian cembung lobus oksipitalis juga berjalan ke pusat pontin
kontralateral untuk gerakan mata, dan menghasilkan gerakan konjugat lateral dari mata.
Stimulasi eksperimental dari area 18 dan 19, menghasilkan gerakan konjugat lateral, seperti
juga tatapan ke bawah dan ke atas. Kebanyakan gerakan tatapan ke lateral kebanyakan dimulai di
oksipital.
Gerakan mata volunter dicetuskan kedalam lapangan mata frontal dari area Brodmann 8,
terletak di depan girus presentralis, dan barangkali sebagian juga terletak pada area 6 dan 9.
Tidak diketahui secara jelas bagaimana lapangan mata frontal dihubungkan dengan nukleus
untuk gerakan mata. Traktus kortikopontin berjalan ke kapsula interna dan pedunkulus serebri. Semua
tidak berakhir secara langsung pada nukleus saraf kranialis. Impuls yang diberikan tiba pada nukleus
melalui neuron interkalasi dalam formasio retikularis dan melalui FLM.
Semua gerakan volunter dari mata berada di bawah pengaruh arkus refleks. Beberapa arkus
ini termasuk dalam arkus refleks optik dan lainnya arkus refleks akustik, dan propioseptif (berasal dari
otot ventral dan dorsal dari leher dan dikirimkan melalui traktus spinotektalis dan FLM).
Refleks yang berbeda dicetuskan bila sebuah obyek yang tertangkap pada pusat penglihatan,
makin lama makin mendekat. Ini adalah refleks konvergensi dan akomodasi. Terjadi tiga peristiwa
yang berbeda :
1. Konvergensi : kedua otot rektus medialis dipersarafi secara bersamaan, sehingga sumbu dari
kedua mata ke arah obyek. Proses ini menempatkan bayangan dari obyek secara tepat pada
bagian yang bersangkutan dengan retina, pada daerah dengan ketajaman penglihatan tertinggi.
2. Akomodasi : karena kontraksi otot siliaris, lensa berelaksasi dan menjadi lebih bulat. Melalui
mekanisme ini bayangan retina dari obyek yang mendekat tetap berada dalam fokus.
3. Konstriksi pupil : penyempitan dari pupil, memungkinkan bayangan retina dari obyek tetap berada
dalam bentuk yang tajam.

Impuls aferen berjalan dari retina ke korteks kalkarina. Dari sini, impuls eferen berlanjut di atas
area pretektalis ke area nuklear parasimpatik yang disebut nukleus Perlia, terletak pada garis tengah

75
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

ventral terhadap nukleus Edinger-Westphal. Impuls dari kelompok nuklear ini menuju ke neuron yang
mempersarafi kedua otot rektus medial (untuk konvergen mata), ke nukleus Edinger-Westphal, dan
dari sini ke otot siliaris melalui ganglion siliaris (akomodasi) dan ke sfingter pupil (konstriksi pupil).

INO (INTERNUKLEAR OPHTALMOPLEGIA)


Patofisiologi Internuklear Ophthalmoplegia
Ekspresi minimal dari suatu sindroma pons medial atau paramedian salah satunya adalah INO
unilateral. Kondisi ini khas dengan kelemahan adduksi mata pada sisi lesi. Kelemahan tersebut bisa
bermanifestasi sebagai berikut :
(1) Ketidakmampuan komplit adduksi mata melewati garis tengah,
(2) adduksi terbatas ringan dengan penurunan kecepatan adduksi, atau
(3) penurunan ringan dari kecepatan adduksi tanpa membatasi adduksi.
Pada mata kontralateral lesi, abnormalitasnya adalah horisontal, nistagmus abduksi yang terdiri dari
suatu arah sentripetal (ke dalam) dari mata, diikuti oleh suatu gerakan sakadik untuk mengkoreksi.

Disebabkan karena lesi pada fasikulus


longitudinal medial yang memutuskan
hubungan nukleus abdusen kontralateral ke
nukleus okulomotor ipsilateral, sehingga
menghasilkan kelainan:
- gangguan gerakan adduksi pada sisi
ipsilateral lesi
- nistagmus abduksi pada mata
kontralateral
Misal: INO mata kiri; pada gaze ke kanan 
mata kiri tidak dapat adduksi, pada mata kanan
terdapat nistagmus abduksi.

76
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

Sindroma FLM merupakan suatu gangguan supranuklear yang khas, sebab kelumpuhan otot-otot
yang nyata menghasilkan konvergen yang normal dan tidak ada diplopia pada mata sisi lesi. Suatu
lesi FLM menghasilkan gerakan mata diskonyugasi dan diplopia pada gerakan lateral, sebab impuls
ke m. rectus lateral normal, sebaliknya m. rectus medial terganggu. Pada derajat ringan INO,
nistagmus abduksi bisa dibuat lebih nyata dengan mengusahakan konvergen asimetrik atau dengan
menghasilkan gerakan yang cepat pada nistagmus abduksi. Karena itu, bila lesi FLM kanan,
nistagmus abduksi mata kiri pada gerakan ke lateral kiri diperbesar oleh optokinetik atau nistagmus
vestibular dengan fase cepat ke kiri.
Bila FLM mengalami kerusakan unilateral, mengakibatkan kegagalan adduksi selama gerakan
horisontal. Subnukleus rectus medial yang sama bisa berfungsi normal selama konvergen. Nistagmus
dari mata abduksi merupakan hal yang sangat umum, agaknya menggambarkan meningkatnya
inervasi ke rectus medial yang lemah, yang menurut hukum Hering : pengaruh yang berlebihan ke otot
rectus lateral yang normal dari mata yang berlawanan. Nistagmus berupa amplitudo kecil selalu
tampak pada mata adduksi yang paresis, tapi mungkin memerlukan okulografi untuk mendeteksi.
Kegagalan adduksi yang dihubungkan dengan nistagmus abduksi pada mata yang berlawanan
disebut internuclear ophthalmoplegia (INO).
Batasan adduksi pada INO sama untuk gerakan mata pursuit maupun sakadik dan tidak bisa
bertambah dengan stimulasi kalorik. Pada percobaan kausal terhadap gerakan horisontal, nystagmus
isolated dari mata abduksi dapat diobservasi secara penuh dan tampak adduksi normal pada mata
yang lain. Pada situasi ini ada 2 manuver bisa mengidentifikasi suatu INO yang tidak kentara : tanda
optokinetik dan dismetria okuler, yang mana menunjukkan kegagalan inervasi m. rectus medial
dibanding dengan m. rectus lateral kontralateral, selama sakadik horisontal. Dengan alat OKN gerakan
ke sisi m. rectus medial yang terlibat, respon nystagmus pada mata tersebut menurun (khususnya
sakadik adduksi) dibandingkan dengan mata yang satunya. Tanda dismetria okular haruslah
merupakan gerakan lambat sakadik horisontal yang mempertahankan suatu posisi, hipometrik dari
mata adduksi (m. rectus medial) dan saat bersamaan sikap mempertahankan yang berlebihan dari
mata abduksi (m. rectus lateral). Refiksasi dismetria dan asimetri optokinetik menyebabkan sakadik
adduksi yang lambat pada INO. Okulografi kuantitatif jarang dapat mengidentifikasi adduksi lambat
yang tidak bisa diapresiasikan secara klinis.
Terminologi internuclear ophthalmoplegia digunakan pada paresis adduksi absolut selama
gerakan horisontal, dan internuclear ophthalmoparestic sebaiknya digunakan untuk
menggambarkan kasus dimana adduksi melewati garis tengah, tapi dengan amplitudo yang
terbatas dan kecepatan yang menurun.
Kebanyakan kasus INO tanpa diplopia kecuali bila disertai oleh skew deviation. INO sering dengan
skew deviation, disebabkan kehancuran jalur motor ocular otolith tonik yang menyeberang di medulla
dan asenden di FLM. INO unilateral dengan skew deviation, mata yang lebih tinggi biasanya pada sisi
lesi.
Sebagai contoh, FLM kiri mengalami kerusakan unilateral, dan otot rektus medial kiri mengalami
kelumpuhan. Paralisis ini terjadi meskipun tidak ada kerusakan bagian nukleus atau perifer dari saraf
yang bertanggung jawab untuk otot terebut. Jika terjadi kontraksi refleks dari otot, misalnya, sebagai
respon terhadap konvergensi tetap utuh. Jika pasien berusaha melihat ke kanan, mata kiri tidak dapat
mengikuti mata kanan. Mata kanan memperlihatkan nistagmus.
Karena dekatnya, dapat terjadi kedua FLM terlibat dalam lesi yang sama. Gangguan pada FLM
kedua sisi disebut INO bilateral. Tidak ada mata yang dapat beradduksi dalam tatapan horisontal
langsung. Mata yang terkena memperlihatkan nystagmus. Semua gerakan mata lainnya terbatas, dan
reaksi pupil tidak terganggu. Pada INO bilateral sering terlihat nistagmus gaze-evoked vertikal (pada
INO unilateral kadang-kadang), sebagai hasil dari kagagalan gerakan pursuit vertikal dan vestibular.
Contoh pasien dengan INO bilateral digambarkan sebagai sindroma WEBINO (wall eyed bilateral
INO). Pada sindroma ini penderita mengalami exotropia, kedua sisi subnukleus rectus medial
terganggu, namun fungsi konvergensi tetap ada. Penyebab exotropia ini belum jelas dan tipe INO ini
mempunyai korelasi anatomi yang tidak spesifik.

77
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

Etiologi INO
Penyebab INO unilateral biasanya lesi vaskular, terutama pada orang tua. Sedangkan INO
bilateral pada orang muda biasanya oleh karena multipel sklerosis, sedangkan pada orang tua
umumnya karena lesi vaskular di batang otak. Umumnya semua proses baik struktural ataupun
fungsional yang menginterupsi hantaran dalam FLM bisa menghasilkan suatu INO. Neoplasma,
intoksikasi obat, kekacauan metabolisme, inflamasi, meningitis, karsinomatous, efek paraneoplastik,
malformasi Chiari dengan hidrosefalus sekunder, dan degenerasi spinoserebellar pernah dilaporkan
menyebabkan gejala INO. Oklusi pembuluh darah perforating pada garis tengah BO bisa merusak
FLM pada kedua sisi. Pasien dengan kondisi ini mempunyai gerakan vertikal yang abnormal, terutama
gerakan pursuit, dimana FLM membawa sinyal bidireksional untuk vertikal pursuit dan gerakan halus
vestibular mata.

Beberapa tipe INO yang spesifik


INO Cogan anterior, tipe ini kemampuan konvergen hilang, kemungkinan ditemukan hanya
pada lesi luas, dengan melibatkan inti-inti N. III. INO jenis ini dimasukkan ke dalam INO bilateral.
Berbeda dengan INO secara umum dimana fungsi m. rectus medial lebih baik bila dipergunakan untuk
konvergensi. Jenis terakhir ini dikenal juga dengan INO Cogan’s posterior.
Suatu kasus jarang yang disebut INO posterior Lutz, digambarkan juga sebagai INO dari
abduksi. Pada situasi ini suatu paralisis supranuklear yang nyata dari abduksi, dimana satu mata tidak
bisa bergerak secara sadar, tapi abduksi penuh bisa dilakukan sebagai respon terhadap stimulasi
kalorik.
Suatu lesi gabungan antara lesi di FLM dan PPRF ipsilateral ventral (atau di nukleus N. VI)
menghasilkan suatu INO selama pergerakan bola mata ke sisi berlawanan (half) dan gaze palsy
conjugated pontine ipsilateral (one). Gerakan normal hanya pada abduksi mata yang satunya.
Kelainan ini disebut one and half syndrome.

INO (buku Prof. Jusuf)  lesi terdapat pada kelainan fasikulus longitudinal medial. Akan terjadi
kelainan: - ipsilateral lesi akan terjadi gangguan gerakan adduksi
- pada mata sisi kontralateral akan terjadi nistagmoid

SINDROM HORNER

78
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

Gejala sindrom Horner adalah:


- unilateral miosis
- ptosis, dan
- anhidrosis
Adanya anisokor yang meningkat dalam gelap atau pupil miosis menunjukkan keterlambatan
dilatasi akan meningkatkan kecurigaan adanya sindrom Horner. Pupil normal akan berdilatasi cepat
jika seseorang berada dalam gelap. Bila terjadi denervasi sistem simpatis, maka pupil akan lambat
mengalami dilatasi dalam kegelapan, untuk menilainya adalah seorang pasien ditempatkan dalam
gelap dan dilakukan pengukuran pupil pada detik ke 5 dan 15. Secara khas, anisokor akan terlihat
pada detik ke 5, karena pupil yang normal akan mengalami dilatasi.
Ptosis kelopak mata atas pada sindrom Horner biasanya ringan, terjadi tidak komplet pada
keadaan interupsi simpatis. Oleh karena kelopak mata bawah juga terangkat, maka dapat
menimbulkan kesalahan impresi yaitu mata akan terlihat masuk ke dalam orbita (pseudo-
enophthalmus). Selain itu dapat ditemukan gejala-gejala interupsi sistem simpatis seperti injeksi
konjungtiva, dan tekanan intraokuler yang rendah.
Gejala-gejala sindrom Horner bervariasi sesuai dengan lokasi disfungsi neuron simpatis, yaitu
apakah terjadi pada neuron orde pertama (berjalan dari hipothalamus dan memberi proyeksi ke sel
kolumna intermediolateral medulla spinalis C8-T1), neuron orde kedua (neuron yang meninggalkan
medulla spinalis dan berjalan melewati bagian apeks paru dimana neuron-neuron ini terletak dekat
pleksus brakialis inferior, kemudian bersinaps dengan ganglion servikalis superior), dan neuron orde
ketiga (dari ganglion berjalan di sepanjang arteri karotis interna dan masuk ke dalam sinus kavernosus
dimana jalur simpatis mengikuti nervus nasosiliaris/cabang pertama nervus trigeminus untuk masuk
kedalam rongga orbita).
Gejala-gejala lesi batang otak dan medulla spinalis serta adanya anhidrosis pada setengah
badan menunjukkan lesi neuron orde pertama. Nyeri dan kelemahan lengan serta adanya riwayat
operasi leher atau trauma serta anhidrosis pada sesisi wajah menunjukkan adanya lesi neuron orde
kedua. Sedangkan lesi neuron orde ketiga akan memberikan gambaran klinis nyeri wajah sesisi, serta
anhidrosis sesisi wajah atau hanya pada daerah medial dahi dan daerah dekat hidung.
NB: - Bila dengan gangguan anhidrosis  kemungkinan sentral  sindrom Horner komplit di A.
Karotis komunis.
- Bila tanpa anhidrosis  kemungkinan sindrom Horner inkomplet di A. Karotis Interna.

Sindrom Horner orde pertama:


1. Sindrom Horner hipothalamus biasanya jarang karena banyaknya suplai pembuluh darah
pada area ini.
2. Sindrom Horner mesensefalon/pons; interupsi simpatis pada tingkat ini jarang terjadi.
Kombinasi dari sindrom Horner ipsilateral dan paresis m. Oblikus superior kontralateral
menunjukkan adanya lesi pada permukaan nukleus troklear atau fasikulusnya.
3. Medulla: Penyebab sentral tersering sindrom Horner adalah infark dorsolateral medulla
oblongata. Sindrom Horner terjadi pada 75% kasus ini. Gejala mata lainnya yang sering
adalah gangguan gerak pursuit, dismetria okuler dan deviasi konjugat  sindrom Wallenberg.
4. Medulla spinalis: Penyebab tersering adalah siringomielia dan trauma medulla spinalis.
Penyebab lainnya meliputi tumor, multipel sklerosis, mielitis dan infark.

Sindrom Horner orde kedua: Tumor paru dan leher, serta trauma toraks adalah penyebab tersering
dari gangguan pada tingkat ini. Pada banyak kasus penyebabnya adalah iatrogenik termasuk diseksi
leher, operasi mediastinum dan paru, kateterisasi vena jugularis interna dan kateterisasi Swan Ganz.

Sindrom Horner orde ketiga: Adanya nyeri harus menimbulkan kecurigaan diagnosis banding diseksi
carotis, oklusi carotis, vascular headache, dan proses sinus kavernosus. MRI konvensional atau MRI
angiografi berguna untuk menyingkirkan diagnosis diseksi aorta pada keadaan sindrom Horner orde
ketiga dengan nyeri.

79
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

Tes Farmakologis
Tes kokain perlu dilakukan bila diagnosis sindrom Horner masih belum bisa dipastikan. Kokain
akan memblok reuptake norepinefrin oleh neuron tingkat ketiga. Kokain tidak akan menyebabkan
dilatasi pupil yang mengalami disfungsi simpatis, sedangkan pada pupil normal akan terjadi dilatasi.
Tes kokain ini akan memberikan informasi adanya sindrom Horner tetapi tidak dapat menetapkan
lokasi paresis simpatis. Biasanya digunakan kokain 10% karena merupakan zat midriasis lemah.
Ukuran pupil harus dinilai pada saat awal dan setelah 40-60 menit kemudian. Cara yang paling akurat
untuk menginterpretasikan tes kokain adalah dengan menilai ukuran anisokor setelah kokain
diteteskan pada mata pasien. Jika terjadi anisokor sebesar 1.0 mm atau lebih maka tes kokain
dikatakan positif. Semakin besar ukuran anisokor pasca pemberian kokain, maka semakin besar pula
kemungkinan adanya paresis simpatis okuler.

80
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

Atau:

81
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

82
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

Terapi
Secara umum penatalaksanaan Horner’s syndrome tergantung penyebab. Pada banyak
kasus, tidak ada terapi yang memperbaiki atau mengembalikan keadaan. Terapi pada kasus yang
didapat secara langsung menghilangkan penyakit yang menyebabkan sindrom.

Sindrom Horner ada 2 tipe :


 Komplet : tipe sentral, anhidrosis (+), A.karotis komunis
 Inkomplet : tipe perifer, anhidrosis (-), A. Karotis interna

PTOSIS PENYEBAB GEJALA KLININS


Neurogenik Sindrom Horner, lesi simpatis Ptosis parsial, miosis,
psudoenopthalmus, anhidrosis
Paresis N. Oculomotor Ptosis komplet, berhubungan
dengan berkurangnya adduksi
dan elevasi, pupil midiriasis
Ptosis bervariasi dapat karena
Miastenia gravis kelelahan, mgk berhubungan
Neuromuscular junction dengan diplopia dan kelemahan
otot wajah
Biasanya simetris, gambarannya
berhubungan dengan penyakit
Miopati, terutama distrofi otot
Miopati miotonik Tarsal plate terpisah dari otot
levator
Aponeurotic dehiscence
Mekanik (terutama pada orang tua)

REFLEKS RCL RCTL TANDA LAIN KESIMPULAN


CAHAYA
Midriasis Normal Normal (-) Anisokoria
(-) Normal (-) Obat Midriatil
(-) Normal Ptosis, gangguan pergerakan bola mata Paresis Okulomotorik
Gangguan penglihatan, Reaksi akomodasi Lesi N. II
(-) (-) normal
Reaksi akomodasi melambat Pupil Holmes-Adie
(-) (-) Meiosis Senile
(-) Sindrome Horner
Miosis Normal Normal Ptosis, pseudoenophtalmus Pupil Argyll
Normal Normal Pupil ireguler, akomodasi normal Robertson
(-) (-)

83
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

1 April 2006
Dr. Eva D, SpS

Buta Kortikal
1. Visus 0 karena terdapat lesi di korteks visual sehingga meskipun cahaya/sinyal diterima oleh
makula tetapi tidak dapat diterjemahkan oleh korteks visual. Kehilangan total dari seluruh
sensasi visual termasuk pengenalan gelap – terang.
2. Refleks cahaya langsung dan tidak langsung positif, oleh karena jaras aferen dan eferen
untuk refleks cahaya tidak terlibat.
3. Refleks ancam negatif oleh karena visus 0.
4. Pemeriksaan funduskopi normal karena tidak melibatkan N II.
5. Fenomena Riddoch/disosiasi statokinetik yaitu dapat melihat obyek bergerak tetapi tidak
dapat melihat obyek yang diam.
Fenomena Riddoch dapat didefinisikan sebagai kondisi dimana
Terdapat persepsi yang conscious terhadap stimulus gerakan pada
lapang pandang yang buta, tetapi tidak dapat menyebutkan bentuk atau
warna dari gerakan tersebut. Hal ini disebabkan aktivasi jalur dorsal
(V5) diproyeksikan ke jalur ventral (V4) untuk persepsi conscious.
Fenomena ini disebabkan:
- Jaras ekstragenikulokalkarina (jaras retina – tektal – pulvinar –
middle temporal) tidak terlibat atau tidak melewati V 1 (area 17)
- Daerah korteks temporooccipital lateral bilateral masih intak.
6. Fenomena Anton yaitu penderita seolah-olah menyangkal akan kebutaannya  merupakan
fenomena fungsi luhur.
Hal ini disebabkan:
o Kerusakan di pusat kognitif
o Psychiatric denial?
o Kerusakan jarak dari area visual ke regio serebral yang melibatkan kewaspadaan,
asosiasi dari penglihatan.

Catatan NO Dr. Eva D, SpS


28 April 2006

EVOKED POTENTIALS

I. Visual Evoked Potentials (VEPs)


► Pola visual yang digambarkan ke pasien, dan respon serebral diukur dengan
meletakkan elektroda pada daerah oksipital.
Yang dilihat oleh pasien selama adanya gambaran pola ditunjukkan pada tabir televisi yang
menggambarkan checkerboard pattern yang bergantian antara hitam dan putih.
Sinyal yang dihasilkan dari korteks oksipital yang secara klinis mempunyai hubungan adalah sinyal
P100.
VEPs merupakan komponen pemeriksaan visual field  bagian pemeriksaan neurologi.
Secara klinis VEPs berguna untuk:
1. Evaluasi dari lesi-lesi lain pada jalur penglihatan (seperti kemungkinan MS)
2. Untuk menetapkan dimana terjadinya lesi pada jalur penglihatan (seperti lesi pre chiasma atau
post chiasma)

Pasien yang diperiksa VEPs harus kooperatif, karena harus dapat memfiksasi gaze terhadap stimulus
visual.
NB: Pada MS; secara normal respon tampak pada 100 ms setelah stimulus diperlihatkan pada mata,
keterlambatan sinyal menunjukkan demielinisasi pada jalur penglihatan.

84
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

II. Brain-stem Auditory Evoked Potentials (BAEPs)


Prinsip dasar: Penggunaan integritas jaras neural auditorik dengan merekam potensial lapangan jauh
yang ditimbulkan di n.acusticus dan batang otak dengan pemakaian elektroda yang ditempatkan pada
kulit kepala.
Caranya: pasien diperiksa dalam posisi duduk/tidur dengan memakai alat pendengar/koptelefon yang
mengeluarkan suara berdetik dengan lama bunyi 0.1 ms, frekwensi 10 Hz, intensitas 60 dB,
perangsangan 1024 kali.

► Pasien diberikan respon auditory click melalui sebuah alat headset, dan respon batang
otak/brainstem diukur melalui elektroda yang ditempatkan pada kepala, bagian korteks auditory di
lobus temporal.
Terdapat 3 gelombang yang paling penting yang diukur selama BAEPs:
1. Gelombang I
2. Gelombang III
3. Gelombang V

Korelasi secara anatomis:


Sumber neural secara pasti masih kontroversial, tetapi diduga;
- Gelombang I berasal dari perifer (organ corti)
- Gelombang III pada pons bagian lateral
- Gelombang V berasal dari midbrain/mesensefalon

BAEPs merupakan komponen pemeriksaan untuk nervus kranialis. Secara klinis berguna untuk:
 Evaluasi hilangnya pendengaran disertai nyeri
 Untuk menyingkirkan lesi N. VIII
 Untuk menilai disfungsi brainstem/batang otak
 Evaluasi koma  karena BAEPs tetap intak pada kebanyakan lesi-lesi yang menyebabkan
disfungsi brainstem/batang otak.

LCS

85
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

HUKUM MONRO-KELLIE
 Isi intrakranial dibentuk oleh 3 kompartemen yaitu otak dan cairan interstisialnya, darah
intravaskular, dan cairan serebrospinal
 Dalam rangka mempertahankan tekanan intrakranial fisiologis, peningkatan volume pada satu
kompartemen harus diikuti penurunan kompensasi dari kompartemen lainnya
 Tubuh dapat meregulasi dan memodifikasi diameter pembuluh darah arterial otak untuk
mempertahankan jumlah aliran darah yang yang relative konstan walaupun tekanan darah
sistermik bervariasi
 Tekanan intrakranial dalam keadaan ekuilibrium terjadi karena produksi dan absorbsi LCS
terdapat dalam keadaan balans, dan dihubungkan dengan volume LCS yang seimbang.

MEKANISME PRODUKSI LCS


 Sekresi LCS oleh pleksus khoroidalis dihubungkan dengan tekanan hidrostatik dalam kapiler
pleksus yang memindahkan air dan elektrolit kedalam ruang interstisial. Karena sekresi LCS
dihubungkan dengan transpor natrium, pompa ion berperan, dan pergerakan natrium
tergantung membrane-bound enzyme sodium-potassium-activated ATPase.
 Pertukaran natrium diregulasi oleh permeabilitas bikarbonat dan tergantung oleh enzim
carbonic anhidrase yang terdapat dalam sitosol epitel khoroid dan mengkatalisis formasi asam
karbonat dari air dan karbondioksida.
 Karenanya inhibitor enzim ini mengakibatkan produksi LCS berkurang hingga 50%

86
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

 Karena pertukaran natrium dipengaruhi oleh bikarbonat, maka keadaan asam-basa sangat
mempengaruhi sekresi LCS. Pada keadaan basa produksi LCS akan menurun sehingga pada
TIK meningkat tubuh berusaha membuat keadaan alkalosis.

Vertigo: Jenis dan Letak Lesinya

Definisi
Vertigo diartikan sebagai ilusi dari pergerakan, seringnya berputar.

Etiologi
Benign paroxysmal positional vertigo (BPPV) merupakan penyebab tersering berulangnya
vertigo pada dewasa. BPPV disebabkan adanya partikel bebas calcium carbonate inappropriately
yang mengapung didalam kanalis semisirkularis posterior. Partikel-partikel ini bergerak di dalam
kanal karena pengaruh gravitasi dengan posisi kepala tertentu yang menyebabkan episodik vertigo.
Sedimen kalsium ini telah dijumpai secara intra-operatif pada pasien dengan riwayat BPPV (Pames
and McCkure, 1992).

BPPV mungkin juga dijumpai pada beberapa keadaan tapi seringnya idiopatik (Baloh et al, 1987).
Lihat tabel di bawah.

Setelah dipastikan bahwa keluhan pasien memang suatu vertigo, maka langkah selanjutnya
adalah menentukan jenis vertigo dan letak anatomis lesinya. Hal ini penting oleh karena masing-
masing jenis vertigo dan lokasi lesi berbeda etiologi, patologi, terapi dan prognosisnya. Secara

87
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

fisioanatomis susunan dan fungsi keseimbangan tubuh terdiri atas tiga sistem, yaitu sistem
somatosensori, sistem visual dan sistem vestibular.
Masing-masing sistem tersebut terdiri dari tiga tingkat, yaitu: tingkat resepsi, integrasi dan
persepsi.
Semua rangsang yang diterima reseptor masing-masing sistem diintegrasikan di batang otak
dan serebelum, sehingga terjadi hubungan fungsional yang terpadu antara ketiga sistem, maupun
antara tingkat resepsi dan tingkat resepsi masing-masing sistem.
Vertigo bisa timbul bila ada gangguan pada salah satu atau lebih dari ketiga sistem tersebut
pada tingkat resepsi, integrasi maupun persepsi. Vertigo yang terjadi oleh karena kelainan pada
sistem vestibular disebut vertigo vestibular, dan yang timbul pada kelainan sistem somatosensori dan
visual disebut vertigo nonvestibular.
Kedua jenis vertigo tersebut dapat dibedakan secara klinis.(Lihat tabel)

Perbedaan Klinis Vertigo Vestibular dan Vertigo Nonvestibular

Gejala Vertigo Vestibular Vertigo Nonvestibular


Sifat vertigo Rasa berputar (true vertigo) Melayang, hilang
keseimbangan, lightheaded
Serangan Episodik Kontinyu
Mual/muntah (+) (-)
Gangguan pendengaran (+)/(-) (-)
Gerakan pencetus Gerakan kepala Gerakan obyek visual
Situasi pencetus (-) Ramai orang, lalu lintas macet,
supermarket

Berbeda dengan vertigo nonvestibular, pada kelainan sistem vestibular, sifat vertigo yang
timbul pada lesi perifer (pada labirin dan n.vestibularis) berbeda dengan vertigo yang timbul pada lesi
sentral (pada batang otak sampai korteks).
Secara klinis kedua jenis vertigo ini berbeda, di mana vertigo perifer lebih berat, timbulnya
lebih mendadak, lebih sering diperburuk dengan gerakan kepala, dan lebih sering disertai gejala-
gejala penyerta seperti mual, muntah dan gangguan pendengaran seperti tinitus atau tuli.
Sedangkan adanya gejala fokal serebral, gangguan mental dan gejala batang otak seperti
kelumpuhan saraf-saraf otak, lebih menunjukkan lesi sentral sebagai penyebab vertigo.(Lihat tabel)

Perbedaan Klinis Vertigo Vestibular Tipe Perifer dan Tipe Sentral

Tipe Perifer Tipe Sentral


Bangkitan vertigo Lebih mendadak Lebih lambat
Derajat vertigo Berat Ringan
Pengaruh gerakan kepala (+) (-)
Gejala autonom (++) (+)
(mual,muntah,keringat)
Gangguan pendengaran (+) (-)
(tinitus, tuli)
Tanda fokal otak (-) (+)

88
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

AAN 2006

AAN 2006

Mencari Penyebab Vertigo


Berbagai macam proses patologis dapat terjadi pada ketiga sistem somatosensorik,
vestibular, maupun visual, baik pada tingkat resepsi, integrasi maupun persepsi.
Penyebab vertigo vestibular:
 Perifer
Benign paroxysmal positional vertigo (BPPV), kompresi mikrovaskular, penyakit Meniere,
fistula perilimfatik, tumor N. VIII, sifilis, ototoksisitas, neuritis, oklusi arteri labirin, autoimun,
labirintitis
 Sentral
Vaskular, demielinisasi, degeneratif, tumor, epilepsi, paraneoplastik tumor, ensefalopati
Wernicke.

Penyebab Vertigo Nonvestibular:


Polineuropati, mielopati, trauma servical, arthritis/artrosis servicalis, aritmia, presinkop, serangan panik
(panic-attack), ortostatik, hiperventilasi, defisit multisensoris.

89
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

90
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

Diagnosis Klinis Vertigo


Diagnosis jenis vertigo, lesi anatomis, dan penyebabnya ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, laboratorium, elektrofisiologis, dan radiologis.

Anamnesis
1. Pertama-tama ditanyakan bentuk vertigonya: melayang, goyang berputar, tujuh keliling, rasa
naik perahu, dan sebagainya.
2. Keadaan yang memprovokasi timbulnya vertigo: perubahan posisi kepala dan tubuh,
keletihan, ketegangan.
3. Profil waktu: apakah timbulnya akut atau perlahan-lahan, hilang timbul, paroksismal, kronik,
progresif, atau membaik. Beberapa penyakit tertentu mempunyai profil waktu yang
karakteristik.
4. Adanya gangguan pendengaran yang menyertai. Pada lesi di alat vestibular atau n. vestibular
biasanya disertai oleh gangguan pendengaran.
5. Penggunaan obat-obatan seperti streptomycin, kanamicin, salisilat dan lain-lain.
6. Adanya penyakit sistemik seperti anemia, penyakit jantung, hipertensi, hipotensi, penyakit
paru.

91
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

Pemeriksaan Fisis

Umum
Diperiksa keadaan umum, tekanan darah berbaring dan tegak, nadi, jantung, paru-paru,
abdomen.

Pemeriksaan neurologis
Pemeriksaan neurologis dilakukan dengan perhatian khusus pada:
A. Fungsi vestibular/serebelar
1. Tes Romberg: pasien berdiri dengan kedua kaki dirapatkan, mula-mula dengan kedua
mata terbuka kemudian tertutup. Pada kelainan vestibular hanya pada mata tertutup
badan pasien akan bergoyang menjauhi garis tengah kemudian kembali lagi, pada
mata terbuka badan pasien tetap tegak. Sedangkan pada kelainan serebelar badan
pasien akan bergoyang baik pada mata terbuka maupun pada mata tertutup.

2. Tandem gait: pasien berjalan lurus dengan tumit kaki kiri/kanan diletakkan pada ujung
kaki kanan/kiri berganti.
3. Berdiri dengan kedua lengan lurus horizontal ke depan. Pada kelainan vestibuler
posisi pasien akan menyimpang kearah lesi dengan gerakan seperti orang melempar
cakram, kepala dan badan berputar ke arah lesi, kedua tangan bergerak ke arah lesi
dengan lengan pada sisi lesi turun dan yang lainnya naik. Keadaan ini disertai
nistagmus dengan fase lambat ke arah lesi.
4. Past pointing test: dengan jari telunjuk ekstensi dan lengan lurus ke depan, pasien
disuruh mengangkat lengannya ke atas, kemudian diturunkan sampai menyentuh
telunjuk tangan pemeriksa. Hal ini dilakukan berulang-ulang dengan mata terbuka dan
tertutup. Pada kelainan vestibular akan terlihat penyimpangan lengan pasien ke arah
lesi.
5. Tes fukuda: dengan mata tertutup pasien berjalan ditempat sebanyak 50 tindak.
Setelah itu diukur sudut penyimpangan kedua kaki. Normal sudut penyimpangan tidak
lebih dari 30 derajat.

Masih ada beberapa tes lain yang dapat dibaca di dalam buku teks neurologi atau THT.
B. Saraf-saraf otak: visus, kampus, okulomotor, sensori di wajah, otot, wajah, pendengaran,
menelan
C. Fungsi motorik (kelumpuhan ekstremitas) dan fungsi sensorik (hipestesi, parestesi).

92
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

Pemeriksaan Khusus Oto-neurologis


Pemeriksaan ini terutama untuk menentukan apakah letak lesinya di sentral atau perifer.

A. Fungsi Vestibular
1. Tes Nylen Barany atau Dix Hallpike
Dari posisi duduk diatas tempat tidur pasien dibaringkan ke belakang dengan cepat,
sehingga kepalanya menggantung 45 derajat di bawah garis horizontal, kemudian
kepalanya dimiringkan 45 derajat ke kanan lalu ke kiri. Perhatikan saat timbul dan
hilangnya vertigo dan nistagmus, dari sini dapat dibedakan apakah lesi perifer atau
sentral.
Perifer (benign positional vertigo):
Vertigo dan nistagmus timbul setelah periode laten 2-10 detik, menghilang
dalam waktu kurang dari 1 menit, akan berkurang atau menghilang bila tes diulang
beberapa kali (fatigue).
Sentral:
Tidak ada periode laten, nistagmus dan vertigo berlangsung lebih dari 1
menit, bila diulang-ulang reaksi tetap seperti semula (non-fatigue).

93
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

2. Tes kalori
Pasien berbaring dengan kepala fleksi 30 derajat sehingga kanalis semisirkularis
lateralis dalam posisi vertical. Kedua telinga diirigasi bergantian dengan air dingin
(30o) dan air hangat (44 o) masing-masing selama 40 detik dan jarak setiap irigasi 5
menit.
Dengan tes ini dapat ditentukan adanya kanal paresis atau directional preponderance
ke kiri dan ke kanan. Kanal paresis menunjukkan lesi perifer pada labirin atau N.VIII
sisi bersangkutan, sedangkan directional preponderance menunjukkan adanya
kelainan pada sistem vestibular, tetapi tidak mempunyai arti lokalisasi.
3. Elektronistagmogram
Pemeriksaan ini hanya dilakukan di rumah sakit, dengan tujuan untuk merekam
gerakan mata pada nistagmus dengan demikian nistagmus tersebut dapat dianalisis
secara kuantitatif.

B. Fungsi pendengaran
1. Tes Garpu tala
Tes ini digunakan untuk membedakan tuli konduktif dan tuli perseptif, dengan tes-tes
Rinne, Weber dan Schwabach, yang caranya dapat dibaca di dalam buku teks.
Pada tuli konduktif tes Rinne negatif, Weber lateralisasi ke sisi yang tuli dan Schwabach
memendek.
Pada tuli perseptif tes Rinne positif, Weber lateralisasi ke arah yang sehat dan Schwabach
memendek.
2. Audiometri
Beberapa macam pemeriksaan audiometric seperti Loundness Balance, SISI, Bekesy,
Audiometri, Tone Decay, dapat dibaca pada makalah di bagian lain dari buku ini.

94
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

AAN 2006

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium rutin atas darah dan urin, dan pemeriksaan lain sesuai dengan
indikasi.
Foto tulang tengkorak : leher, Stenvers (pada neurinoma akustik).
Neurofisiologi : elektroensefalografi (EEG), elektromiografi (EMG), brainstem auditory evoked potential
(BAEP).
Neuro-imaging: CT scan, pneumoensefalografi, arteriografi, magnetic resonance imaging (MRI).

Menentukan Terapi
Untuk keluhan yang sama-sama vertigo pengobatannya bisa berbeda, tergantung pada jenis
vertigo dan letak lesinya.
Terapi vertigo terdiri atas:
1. Kausal
2. Simptomatik
3. Latihan rehabilitasi vestibular
 Terapi kausal
Walaupun kebanyakan kasus vertigo tidak diketahui penyebabnya, akan tetapi bila penyebab
tersebut ditemukan, maka terapi kausal merupakan pilihan utama.
 Terapi simtomatik
Keluhan vertigo yang paling berat adalah pada jenis Vertigo Vestibular tipe perifer. Pada
kasus demikian terapi simtomatik sangat dibutuhkan segera oleh pasien terutama untuk
menghilangkan gejala vegetatif seperti mual, muntah, dan lemas serta gejala rasa berputar
waktu bergerak, ataksia, dan osilopsia, yang menimbulkan rasa takut dan cemas. Keadaan ini
biasanya timbul pada fase akut, dan akan menghilang sendiri dalam beberapa hari, berkat
adanya mekanisme kompensasi sentral, sehingga justru akan memperlambat penyembuhan

95
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

alami. Strateginya adalah memberikan obat secukupnya untuk mengurangi gejala, agar
pasien dapat segera dimobilisasi untuk latihan rehabilitasi.
Pada fase akut dapat diberikan obat golongan antihistamin dicampur diazepam untuk
menghilangkan rasa cemas dan vertigo, dan untuk mual dan muntahnya dapat diberikan
antiemerik seperti proklorperasin. Pemilihan obat tergantung pada efek obat bersangkutan,
beratnya vertigo dan fasenya.
Obat-obat untuk Vertigo adalah:
1. Golongan antikolinergik : Skopolamin, atropin
2. Golongan monoaminergik : amfetamin, efedrin
3. Golongan antihistamin : dimenhidrinat, prometasin, miklezin, siklizin
4. Golongan fenotiazin : proklorperazin
5. Golongan bensodiazepin : diazepam
6. Golongan butirofenon : haloperidol, droperidol
7. Golongan antagonis Ca : Flunarisin
8. Golongan histaminic : betahistin
9. Golongan penyekat  : carvedilol

 Terapi rehabilitatif
Pasien dengan vertigo vestibular akut akan mengalami perbaikan alami dalam waktu sekitar 1
minggu, dengan menghilangnya vertigo, mual, muntah sampai bisa berdiri kembali, dan dalam
2-3 minggu dapat bergerak dengan stabil, sampai akhirnya dapat bekerja kembali seperti
semula. Sebagian pasien mengalami penyembuhan lebih cepat, dan sebaliknya ada yang
lebih lama dari biasa.
Untuk mempercepat penyembuhan program rehabilitasi, yang berupa vestibular exercise,
harus segera diberikan begitu keluhan-keluhannya berkurang.
Tujuan latihan tersebut adalah untuk melatih mata dan otot tubuh, dengan koordinasi dari
sentral, untuk menggunakan rangsang visual dan propriseptif mengkompensasi rangsang
vestibular yang hilang.

96
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

Beberapa metode latihan vestibular adalah:


a. Metode Brandt-Daroff
Latihan vestibular untuk pengobatan benign paroxysmal positional vertigo (Brandt
T., Daroff RB)
Metode ini dilakukan pada pasien BPPV. Caranya:
Pasien duduk tegak di tepi tempat tidur dengan kaki tergantung. Lalu tutup kedua
mata dan berbaring cepat pada salah satu sisi tubuh selama 30 detik, kemudian
duduk tegak kembali. Setelah 30 detik, baringkan tubuh kesisi lain dengan cara
yang sama, tunggu selama 30 detik, setelah itu duduk tegak kembali. Lakukan
latihan ini 5 kali pada pagi hari, dan 5 kali pada malam hari sampai 2 hari berturut-
turut tidak timbul vertigo lagi.

97
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

Pada pasien gangguan vestibular lain selain BPPV, setelah lewat fase akut, dimana rasa mual dan
muntahnya sudah menghilang, diberikan latihan vestibular lain, diantaranya:
b. Latihan visual vestibular

Pada pasien yang masih harus berbaring


1. Melirik ke atas, ke bawah, ke samping kiri, kanan: selanjutnya gerakan
serupa sambil menatap jari yang digerakkan pada jarak 30 cm, mula-mula
gerakannya lambat, makin lama makin cepat.
2. Gerakan kapala fleksi dan ekstensi, makin lama makin cepat. Lalu diulang
dengan mata tertutup. Setelah itu gerakkan kepala ke kiri dan ke kanan
dengan urutan yang sama.
Untuk pasien yang sudah bisa duduk
1. Gerakkan kepala dengan cepat ke atas dan ke bawah, seperti sedang
manggut, sebanyak 5 kali, lalu tunggu 5 detik atau lebih lama sampai vertigo
menghilang. Ulangi latihan tersebut sebanyak tiga kali.
2. Gerakan kepala menatap ke kiri/kanan selama 30 detik, kembali ke posisi
biasa selama 30 detik, lalu menatap ke atas sisi lain selama 30 detik dan
seterusnya. Ulangi latihan sebanyak 3 kali.
3. Sambil duduk membungkuk dan mengambil benda yang diletakkan di lantai.
Untuk pasien yang sudah bisa berdiri/berjalan
1. Sambil berdiri gerakan mata, kepala seperti pada latihan Ia, Ib dan IIa, IIb.
2. Duduk di kursi lalu berdiri dengan mata terbuka dan tertutup
3. Latihan berjalan: (gait exercise)
a. Jalan menyebrang ruangan dengan mata terbuka dan tertutup
bergantian.
b. Berjalan tandem dengan mata terbuka dan tertutup bergantian. Lalu
jalan tandem dengan kepala menghadap atas
c. Jalan naik-turun pada lantai miring atau undakan dengan mata terbuka
dan tertutup bergantian
d. Jalan mengelilingi seseorang sambil melempar bola padanya
e. Physical conditioning dengan melakukan olahraga bowling, basket,
jogging, rowing.

98
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

99
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

NISTAGMUS
Nurhayana Lubis, Dessy R Emril

PENDAHULUAN
Nistagmus adalah gerakan osilasi bola mata ritmik dan berulang. Nistagmus dapat terjadi
secara fisiologis sebagai respon terhadap stimulus lingkungan atau perubahan posisi tubuh.
Nistagmus juga dapat merupakan akibat dari gangguan SSP, sistim vestibular, atau gangguan visus. 1

MEKANISME NORMAL STABILITAS GAZE


Sebagai usaha untuk melihat objek dengan jelas, bayangan dari objek tersebut harus tetap
berada di region fovea retina. Meskipun sistem visual dapat mentoleransi beberapa gerakan bayangan
di retina, tapi jika gerakan ini semakin luas (>5 0/detik dengan snellen optotypus) maka akan terjadi
penurunan penglihatan. Begitu juga bila bayangan bergerak dari fovea ke perifer retina maka
bayangan akan menjadi kurang jelas.
Pada orang yang sehat terdapat 3 mekanisme terpisah yang bekerja sama untuk mencegah
deviasi garis pandangan dari objek yang sedang diperhatikan, yaitu:
1. Fiksasi, terdiri dari 2 komponen
a. Kemampuan sistem visual untuk mendeteksi penyimpangan bayangan di retina dan
memprogram gerakan mata korektif
b. Supresi terhadap sakadik yang tidak diharapkan yang akan menjauhi target
2. Refleks vestibulo-okular. Refleks ini merupakan kompensasi gerakan mata terhadap pertubasi
kepala pada latensi yang singkat sehingga dapat mempertahankan penglihatan yang jelas
selama aktifitas alamiah.
3. Kemampuan otak untuk mempertahankan mata pada posisi eksentrik di orbita melawan
dorongan elastis dari ligament suspensoriun dan otot ekstraokular, yang cenderung
mengembalikannya ke posisi sentral.
Supaya ketiga mekanisme ini dapat bekerja efektif, maka pelaksanaannya harus dijaga oleh
mekanisme adaptif yang memonitor konsekuensi visual dari gerakan bola mata. 2
SISTEM GERAKAN BOLA MATA
Tujuan dari sistem kontrol gerakan bola mata adalah untuk mempertahankan bayangan objek
yang dilihat tetap di retina sebagai usaha untuk mempertahankan ketajaman visus. Bahkan gerakan
bayangan yang halus di retina (2-3 per detik) dapat mengurangi ketajaman visus. Jika tidak terdapat
mekanisme yang akurat untuk menstabilkan dan mengatur gerakan mata yang sesuai, maka gerakan
yang sederhana sekalipun seperti berjalan dapat menimbulkan gerakan mata dan menurunkan
ketajaman visual.

A. Slow eye movement system (SEM)


SEM terdiri dari fiksasi visual, vestibular, optokonetik, pursuit , integrator neural dan sistem
vergensi. Fiksasi visual, vestibular, optokonetik, dan integrator neural bekerja untuk mempertahankan
mata tetap pada tempatnya sedangkan pursuit dan sistem vergensi memungkinkan mata untuk
mempertahankan fiksasi terhadap target yang bergerak.

B. Sistem Sakadik
Sistem sakadik adalah sistem gerakan mata cepat. Sistem ini bergerak untuk menggerakkan
mata secara cepat sehingga bayangan objek yang dilihat jatuh langsung di fovea. Mekanisme ini juga
mengembalikan mata ke tengah selama rotasi yang cenderung menggerakkan mata ke lateral.
Sakadik juga mengatur kembali mata selama nistagmus patologis. Defek pada sistem SEM
menyebabkan mata cenderung untuk menyimpang dari posisi yang dimaksud, dan sakadik adalah
fase cepat yang mengambalikan mata pada posisi yang dimaksud.

C. Kontrol Adaptasi

100
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

Otak harus dapat mengadaptasi defek pada sistem gerakan bola mata yang disebabkan oleh
gangguan vestibular perifer atau penyakit neurologi. Serebelum merupakan contoh adaptasi yang
penting. Vestibuloserebelum (flokulus dan nodulus) berperan penting dalam pursuit halus dan gerakan
mata vestibuler. Vermis dorsalis serebelum meningkatkan akurasi sakadik. Penyakit serebelar
menyebabkan abnormalitas pada SEM dan sistem sakadik. 1
PATOFISIOLOGI NISTAGMUS
Nistagmus biasanya disebabkan oleh defek pada sistem gerakan mata lambat (slow eye
movement = SEM). SEM terdiri dari fiksasi visual, sistem vestibular, pursuit halus, vergensi,
optokinetik dan jaras integrator neural.
Sistem vestibular menjaga bayangan untuk tetap berada di fovea pada saat kepala bergerak.
Pada kondisi normal refleks okulovestibular (ROV) membentuk SEM yang sama dan pada arah yang
berlawanan pada gerakan kepala. Jaras ROV berasal dari kanalis semisirkularis dan bersinaps pada
nukleus vestibularis, akhirnya berhubungan dengan nukleus motorik okular dan serebelum. 3
Nistagmus vestibular perifer dihasilkan dari ketidakseimbangan input kanalis semisirkularis,
sedangkan nistagmus vestibular sentral disebabkan oleh injuri pada nukleus vestibularis atau jaras
serebelo vestibular, atau mungkin dari input otolit. Otolit berespon terhadap aksi linier kepala.
Ketidakseimbangan sistem ini menghasilkan gerakan mata torsional dan skew deviation.
Integrator neural adalah jaringan kerja sel yang bertanggungjawab untuk mempertahankan
mata pada gaze eksentrik. Jika sistem ini mengalami kerusakan mata akan kembali ke garis tengah
dengan suatu fase cepat korektif. Flokulus serebelar, nukleus hipoglosi prepositus dan nukleus
vestibular medial adalah komponen yang membentuk integrator neural. Defek pada sistem ini
menimbulkan gaze evoked nystagmus yang patologis.
Beberapa bentuk nistagmus seperti nistagmus disosiasi pada INO, dapat mewakili fenomena
adaptif sedangkan bentuk nistagmus yang lain dapat disebabkan oleh kelelahan otot dan
ketidakmampuan untuk mananggulangi tekanan viskoelastik orbita. Sebagai contoh pasien dengan
miastenia gravis mengalami tipe gaze evoked nystagmus yang diinduksi oleh kelelahan atau fatique.
Beberapa bentuk nistagmus seperti nistagmus kongenital, nistagmus laten dan nistagmus pendular
mekanismenya belum dapat dipahami. 3
KLASIFIKASI NISTAGMUS
Sampai saat ini belum didapat klasifikasi nistagmus yang representatif. Nistagmus dapat
diklasifikasi berdasarkan:
1. Onset terjadinya nistagmus:
 Nistagmus kongenital
 Nistagmus didapat
2. Etiologi atau penyakit yang berhubungan 2
 Nistagmus yang berhubungan dengan gangguan sistim visual dan proyeksinya ke
batang otak dan serebelum.
 Nistagmus yang disebabkan oleh ketidakseimbangan vestibular
- Nistagmus vestibular sentral
- Nistagmus vestubular perifer
 Nistagmus yang disebabkan oleh abnormalitas mekanisme untuk mempertahankan
gaze eksentrik
3. Posisi bola mata saat timbul nistagmus 4
 Nistagmus yang timbul saat mata pada posisi sentral
- nistagmus kongenital
- nistagmus laten
- vertikal jerk nistamus (downbeat dan upbeat nystagmus)
- pendular nistagmus didapat
- pendular oscillation
- see-saw nystagmus
 Nistagmus yang timbul saat mata bergerak ke posisi eksentrik (gaze
evoked nystagmus)
- physiologic gaze evoked nystagmus  karena stimuli lingkungan, posisi
perubahan tubuh

101
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

- pathologic gaze evoked nystagmus  karena penyakit SSP, vestibuler


perifer, visual loss

4. Bentuk atau jenis gerakan nistagmus 5


 jerk nystagmus
 pendular nystagmus
 kombinasi

PEMERIKSAAN NISTAGMUS
Langkah pemeriksaan 4
Sebelum melakukan pemeriksaan nistagmus, perlu dilakukan hal-hal berikut:
 Perhatikan apakah terdapat postur kepala abnormal.
 Pemeriksaan sistim visual (visus, lapangan pandang, warna, stereopsis), nervus optikus,
pupil, dan tanda-tanda albinismus okular. Beberapa jenis nistagmus kongenital berhubungan
dengan gangguan sistim visual.
 Menentukan apakah terdapat rentang gerakan yang optimal pada kedua mata, dan perhatikan
jika terdapat deviasi statis ( strabismus)
 Observasi terhadap stabilitas gaze saat pasien berusaha memfikasasi penglihatan pada objek
diam yang dilihat pada jarak lebih dari 2 meter.

Setelah langkah-langkah di atas dilakukan dan diinterpretasikan, baru kita memulai


pemeriksaan nistagmus sebagai berikut:
 Posisi mata di sentral, perhatikan apakah terdapat nistagmus. Jika terdapat nistagmus,
tentukan arahnya (horizontal, vertikal, atau torsional, atau campuran). Bandingkan nistagmus
antara kedua mata, dan tentukan adanya perbedaan arah dan ukuran nistagmus (nistagmus
asinkron). Jika arah osilasi antara kedua mata berbeda disebut nistagmus diskonjugat atau
nistagmus disjunktif. Bila ukuran osilasi berbeda, disebut nistagmus disosiasi.
 Bila dicurigai terdapat nistagmus laten, maka dilakukan cover test. Nistagmus laten tidak
telihat saat kedua mata terbuka. Tapi jika salah satu mata ditutup, nistagmus akan muncul.
 Beberapa nistagmus bersifat intermiten dan membutuhkan observasi selama beberapa menit.
 Nistagmus amplitudo rendah hanya bisa dideteksi dengan oftalmoskop. Arah nistagmus
horizontal dan vertikal menjadi terbalik pada pemeriksaan dengan oftalmoskop.

102
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

 Langkah pemeriksaan di atas diulangi untuk posisi mata melirik ke kanan, kekiri, ke atas, ke
bawah, dan posis konvergensi.
 Nistagmus juga harus diperiksa dengan menghilangkan kemungkinan terjadi fiksasi. Karena
jika terdapat dugaan nistagmus berdasarkan anamnesis, tapi tidak dijumpai pada
pemeriksaan, ada kemungkinan jenisnnya adalah nistagmus vestibuler perifer yag ditekan
oleh fiksasi mata.1 Teknik untuk mencegah fiksasi antara lain:
a. Menggunakan kaca mata Frenzel (Frenzel goggles). Frenzel goggles adalah kaca
mata dengan lensa positif tinggi dan lampu kecil. Selain dapat mencegah fiksasi
terhada objek, benda ini juga berfungsi sebagai kaca pembesar.
b. Menggunakan ophtalmoskop pada jarak tertentu pada satu mata pada saat pasien
melakukan fiksasi, kemudia mata yang difiksasi tersebut ditutup. Nistagmus dapat
dilihat melalui opthalmoskop. Arah fase cepat berlawanan dengan arah yang terlihat
melalui opthalmoskop direk.
c. Menggunakan Elektronistagmografi (ENG). ENG Adalah metode lain untuk memeriksa
nistagmus yang tidak terlihat pada saat mata dibuka. 1
 Induksi nistagmus
Nistagmus dapat diinduksi pada subyek normal dengan mengunakan optokinetik atau stimulus
vestibuler. Pada keadaan alamiah, nistagmus visual dan vestibuler bekerja mempertahankan
bayangan di retina selama rotasi. Stimulus OKN terutama ditujukan untuk menguji gerakan
pursuit (fase lambat) dan sakadik (fase cepat).4

NISTAGMUS FISIOLOGIS
Individu normal akan mengalami jerk nystagmus yang diinduksi oleh gerakan bola mata pada
gaze lateral 30o yang kemudian mengalami fatigue. Pada gaze lateral yang ekstrim (400) beberapa
individu normal dapat mengalami nistagmus fisiologis yang terus-menerus (tanpa fatigue). Amplitudo
nistagmus fisiologis selalu kurang dari 30 dan simetris.

NISTAGMUS KONGENITAL
Nistagmus kongenital dapat segera terlihat setelah lahir atau beberapa saat kemudian.
Karakteristik nistagmus kongenital berupa arah horizontal yang menetap meskipun pada gaze vertikal.
Nistagmus bisa berbentuk pendular maupun jerk nistagmus. Selalu terdapat “null point” yaitu posisi
mata dimana nistagmus menjadi minimal, sehingga pasien berusaha untuk mempertahankannya
dengan memiringkan kepala. Nistagmus berkurang dengan konvergensi dan meningkat saat fiksasi.
Bisa terdapat tremor kepala yang bertujuan untuk memperbaiki visus. Pada pemeriksaan dengan OKN
terlihat respon yang terbalik. Pada nistagmus kongenital tidak terdapat osilopsia. Penurunan visus
yang terjadi berhubungan dengan kondisi aferen dan nistagmus pada gaze primer. 6

103
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

NISTAGMUS VESTIBULAR
Nistagmus vestibular dibedakan atas sentral dan perifer. Kedua jenis nistagmus ini dapat
dibedakan dari pemeriksaan klinis. Nistagmus perifer disebabkan oleh lesi vestibuler perifer yang
bersifat jinak. Sedangkan nistagmus sentral biasanya disebabkan oleh lesi vaskuler atau tumor.
Kadang lesi SSP dapat menyerupai pola nistagmus pada lesi vestibuler perifer unilateral. 1

Tabel . perbedaan nistagmus perifer dan sentral

Klinis Perifer Sentral


Arah Horizontal/torsional Bidireksional, vertikal murni,
torsional murni atau campuran

Tidak menghambat nistagmus


Fiksasi visual Menghambat nistagmus
Ringan

Vertigo Berat Bisa terdapat defek pursuit


atau sakadik
Gangguan gerakan mata Tidak ada
lesi saraf kranial atau jaras lain

Lain-lain Gangguan pendengaran


AAN 2006

NISTAGMUS SENTRAL DIDAPAT


Bila hasil pemeriksaan menunjukkan adanya nistagmus sentral, maka perlu ditentukan
polanya. Karena pola nistagmus memiliki nilai lokalisasi lesi.

A. JERK NYSTAGMUS
1. Downbeat nystagmus
Downbeat nystagmus merupakan jerk nystagmus dengan fase cepat ke bawah pada
posisi gaze sentral, berkurang pada upgaze dan meningkat saat downgaze dan konvergensi.
Biasanya paling jelas terlihat pada gaze lateral. Bisa terdapat komponen horizontal sehingga
terlihat seperti arah oblique. Osilopsia sangat menonjol karena timbul pada posisi sentral dan
downgaze. Diplopia bisa timbul bila terdapat skew deviation.1 mekanisme terjadinya DBN
diduga karena ketidakseimbangan input dari kanalis semisrkularis. Lesi di dorsal medula
dapat secara elektif merusak lintasan informasi dari kanalis semisirkularis posterior.
Sedangkan lesi di flokulus serebelum merusak inhibisi proyeksi terhadap jalur kanalis
semisirkularis anterior. 5
DBN nystagmus tipikal disebabkan oleh lesi di craniocervical junction seperti
malformasi Arnold-Chiari, lesi foramen magnum, dan degenerasi spinoserebelar. Penyebab
lain berupa hipomagnesemia, defisiensi thiamine, defisiensi B12, intoksikasi phenitoin,
Tegretol, alkohol, dan litium. 5
2. Upbeat nystagmus
Upbeat nystagmus adalah jerk nystagmus dengan fase cepat ke atas, timbul atau
lebih jelas terlihat saat upgaze. Sampai saat ini belum dapat dipastikan lokasi anatomi lesi
yang tepat yang dapat menimbulkan upbeat nistagmus. Meskipun Upbeat nistagmus lebih
sering disebabkan oleh lesi di pontomesensefalik atau pontomedulary junction, tapi UB juga
terjadi pada lesi di peryhipoglosal dan nucleus olivary inferior, brachium conjunctivum, anterior
cerebellar vermis, dan kadang juga di bagian kaudal medulla. Penyakit yang menimbulkan UB
antara lain infark, demielinisasi, tumor, dan ensefalopati wernick. 7
3. Periodic Alternating Nystagmus (PAN)
PAN adalah jenis nistagmus yang jarang dijumpai, bisa kongenital atau didapat.
Nistagmus berubah arah setiap 90 detik pada posisi primer, dengan periode istirahat 5 sampai

104
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

10 detik. Untuk menegakkan diagnosis PAN harus dilakukan observasi nistagmus minimal 3
menit supaya didapatkan siklus penuh. Pasien biasanya mengalami penurunan visus dan
osilopsia, disertai perubahan posisi kepala periodik sebagai kompensasi. PAN dapat dijumpai
pada DBN yang menujukkan adanya lesi di CMJ. PAN juga dapat disebabkan oleh degenerasi
spinoserebellar, MS, Creutzfeldt-jakob disease, infark brainstem, ataksia telangetaksia, masa
serebelum, antikonvulsan, ensefalopati hepatikum, trauma, dan kelainan kongenital. 1,5
4. Dissociated Jerk Nystagmus (DJN)
Dissociated jerk nystagmus (DJN) adalah nistagmus yang berbeda anatara kedua
mata. Penyebab tersering adalah internuclear ophthalmoplegia yang disebabkan oleh MS atau
CVD. Pada MS, DJN bias bilateral, pada CVD lebih sering unilateral. Sebagai diagnosis
banding perlu diingat bahwa miastnia gravis dapat menyerupai INO.
5. Rebound nystagmus
Rebound nyatagmus(RN) adalah nistagmus jerk horizontal. Saat mata kemabali ke
posisi sentral, terjadi jerk nsitagmus dengan arah yang berlawanan dengan nistagmus pada
posisi lateral. Contoh, jerk nystagmus dengan fase cepat ke kiri pada gaze lateral akan
berubah menjadi jerk nistagmus dengan fase cepat ke kiri saat kembali ke posisi sentral. RN
merupakan manifestasi dari penyakit jaras serebelar. 1,8
6. Burns Nystagmus
Burn nystagmus disebabkan oleh tumor besar di cerebelopontin angel. Merupakan
kombinasi antara nistagmus vestibuler perifer unilateral yang disebabkan oleh tumor nervus
vestibuler dan gaze paretic nystagmus karena tekanan tumor terhadap pons. 1

B. NISTAGMUS PENDULAR DIDAPAT


Nistagmus pendular adalah nistagmus tanpa komponen cepat tapi mata bergerak bolak balik
dengan kecepatan lambat. Bisa horizontal, vertikal, torsional, atau kombinasi. Gerakan nistagmus bisa
konjugat atau diskonjugat dan mata dengan nistagmus yang lebih berat memiliki visus yang lebih
buruk. Penyebab tersering nistagmus pendular didapat adalah MS, tapi dapat juga dijumpai pada lesi
massa atau iskemia. Kebanyakan pasien memiliki osilopsia sehingga dapat dibedakan dengan
nistgmus kongenital.
1. See-saw nystagmus
See-saw nystagmus adalah nistagmus dengan elevasi dan intorsi satu mata dan
depresi dan ekstorsi mata yang lain diikuti oleh reversal siklus sehingga mata bergerak seperti
gergaji. Pendular see-saw nystagmus sering disebabkan oleh lesi paraselar seperti tumor
pituitari. Penyebab lain adalah achiasma dan septo-optic dysplasia. Hemisee-saw nystagmus
dijumpai pada lesi unilateral di regio intertrstitial nucleus of cajal.

2. Oculopalatal myoclonus
Pendular nistagmus kadang disertai oleh tremor (1-3Hz) palatum, otot fasial, laring,
dan diafragma. Sindrom ini disebut oculopalatal myoclonus. Sindrom ini muncul beberapa
bulan setelah infark serebelum atau batang otak. 1,2
3. Oculomasticatory myorhythmia
Sindrom Oculomasticatory myorhythmia terdiri dari gerakan pendular konvergen dan
divergen 1 Hz. Kadang berhubungan dengan gerakan rahang, wajah, atau ekstremitas.
Sindrom ini dijumpai pada MS, stroke batang otak, dan Whipple’s disease.

105
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

Penurunan visus
Gangguan nervus optikus dan kiasma sering berhubungan dengan nistagmus
pendular. Nistagmus bersifat vertikal, frekuensi rendah, dan bidireksional. Bila terdapat
nistagmus dengan arah horizontal umumnya bersifat unidireksional dengan koreksi fase
cepat. Jika gangguan terjadi pada kedua mata, maka amplitudo nistagmus lebih besar pada
mata dengan visus yang lebih buruk (Heimann-Bielschowsky phenomenon).2
PENATALAKSANAAN
Sampai saat ini belum ada obat maupun alat yang dapat mengatasi nistagmus secara
kosnsiten. Tapi pada pasien tertentu terapi farmakologi memberikan hasil yang dramatis. PAN dapat
diatasi dengan backlofen. Osilasi okular bisa diterapi dengan clonazepam (pilihan pertama), valproic
acid, atau baclofen. Gabapentin lebih superior dari bacloven untuk nistagmus pendular didapat.
Botulinum toxin yang disuntikkan ke otot di rongga retrobulbar dapat mengurangi osilopsia.
Tapi efek sampingnya dapat menimbulkan diplopia dan ptosis.
Lensa positif tinggi dikombinasi dengan lensa kontak negatif digunakan untuk mengurangi
osilopsia. Kaca mata prisma yang menginduksi konvergensi dapat digunakan pada nistagmus
kongenital dan downbeat nystagmus.
Terapi operatif berguna untuk osilasi kongenital. Intervensi operasi bertujuan untuk
menempatkan “null point” pada posisi primer.3

106
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

ALGORITMA DIAGNOSIS NISTAGMUS

Gerakan osilasi okular

Nistagmus Nistagmoid

Saccadic intrusions
Superior oblique
Fisiologis Patologis myokimia
Ocular bobbing

Physiologic gaze-
evoked nystagmus Perifer sentral
OKN

Jerk Pendular

Downbeat nyatagmus Oculopalatal


PAN myoclonus
Upbeat nystagmus Oculomasticatory
Dissociated jerk myorhytmia
nystagmus Seesaw nystagmus
Reboud nystagmus Visual loss
Bruns nystagmus

Kepustakaan

1. Moster, ML. Nystagmus. American Academy of Neurology.2004


2. Leigh JR, Rucker JC. Nystagmus and related ocular motility disorders. In: Clinical Neuro-
Ophthalmology. 6th ed. Lippincot Williams and Wlkins. Philadelphia: 2005: 1133-54.
3. Liu GT, Volpe, Galetta SL. Neuro-Ophthalmology Diagnosis and Management. WB Saunders
Company. Philadelphia. 2001:627-33
4. serra A, Leigh J. Diagnostic value of nystagmus: spontaneous and induced ocular oscillations.
J Neurol Neurosurg Psychiatri . 2002: 73: 615-618.
5. Galetta SL. Nystagmus of CNS Origin. Nystagmus. American Academy of Neurology.2002
6. Moster M. Nystagmus, an organized approach. Nystagmus. American Academy of
Neurology.2002
7. Janssen et al. Upbeta nystagmus: clinicoanatomical correlation. J Neurol Neurosurg
Psychiatri. 1998; 65; 380-381

107
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

8. Newman N. Nystagmus and other ocular oscillations. In: Neuro-Ophtalmology A Practical Text.
WB Saunders Company. Philadelphia. 1998: 217-220.
Heimann-Bielschowsky’s phenomenon
Heimann-Bielschowsky’s phenomenon adalah (HBP) adalah nistagmus vertikal unilateral tipe
pendular lambat yang terjadi pada mata yang mengalami penurunan visus. Bila penurunan visus
terjadi pada kedua mata, maka mata dengan visus yang lebih buruk akan menunjukkan HBP yang
lebih jelas.1
HBP biasanya berkembang beberapa tahun setelah terjadi penurunan visus. Phenomena ini
sering salah diagnosis dan dianggap sebagai suatu kelainan neuroopthalmologi yang disebabkan oleh
lesi di fosa posterior atau batang otak.2

Halmagyi test
Halmagyi test disebut juga sebagai Rapid head impulse test atau Halmagyi –Curthoys test.
Rapid head impulses adalah gerakan kepala yang cepat (100 ms), akselerasi tinggi (4000 0/s2) yang
ditimbulkan oleh gerakan kepala subyek secara pasif oleh pemeriksa. Respon normal berupa re-
fixation saccades yang mengikuti suatu gerakan kepala pasif dengan frekuensi tinggi. 3
Mekanisme fisiologi yang mendasari uji ini adalah Vestibulo ocular reflex (VOR) dan push-pull
system. Bila fungsi keseimbangan sisi kanan terganggu oleh suatu penyakit atau trauma, gerakan
kepala yang cepat ke kanan tidak dapat dideteksi. Sebagai akibatnya, tidak terjadi kompensasi
gerakan bola mata dan pasien tidak dapat melakukan fiksasi terhadap suatu objek. 4

Vestibuloocular reflex

Kepustakaan

1. Davey K, Kowal L, Frilling R. The Heimann-Bielschowsky phenomenon: dissociated vertical


nystagmus.
2. Smith Jl et al. Monocular vertical oscillations og amblyopia. The Heimann- Bielschowsky
phenomenon. J Clin Neuroophtalmol. 1982:2 ; 85-91.
3. Haslwanter T et al. Rapid head impulses in healthy subjects. J Neurophysiol. 1996.76: 4009-
4020.
4. Vestibular system. Available at www.mrsci.com.

108
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

PEMERIKSAAN ELEKTRONISTAGMOGRAFI
Dr. Andradi S,SpS(K)

I. RUTIN

A. Pemeriksaan ENG
PERSIAPAN
1. Hentikan obat supresan vestibular (24 jam), penenang (lama sesuai jenis obat) dan
alkohol (48 jam)
2. Kulit tempat elektroda dibersihkan dengan batu apung dan alkohol70%
3. Oleskan pasta pada elektroda
4. elektroda ditempelkan pada 5 tempat :
 1 buah : pangkal hidung (elektroda refenrensi)
 1 buah : di temporal kiri
 1 buah : di temporal kanan
 1 buah : masing-masing di atas & di bawah salah 1 mata
5. Ruang pemeriksaan : tenang & agak gelap
KALIBRASI
1. Lirik ke titik lampu 10 kiri & 10 kanan dari titik fiksasi
2. Dikalibrasi 10 = defleksi 10 mm
3. Kecepatan kertas rekaman : 10 mm/detik
PROSEDUR PEMERIKSAAN
1. Tes melirik
Posisi duduk tegak melirik 30 ke kiri, kanan, atas, bawah
2. Tes posisional
Pasien dalam keadaan alert(disuruh berhitung) dan menatap ke depan
a. Berbaring datar
- Menghadap atap : mata buka 30 detik lalu mata tutup 30 detik
- Kepala menengok ke kanan mata buka 30 detik lalu mata tutup 30 detik (bila
nistagmus (+), badan miring kanan, mata buka 30 detik lalu mata tutup 30
detik)
- Kepala menengok ke kiri mata buka 30 detik lalu mata tutup 30 detik (bila
nistagmus (+), badan miring kiri, mata buka 30 detik lalu mata tutup 30 detik)
b. Kepala Gantung
Menghadap lurus, mata buka 30 detik lalu mata tutup 30 detik
INTERPRETASI TES POSISIONAL
Normal : BM = nistagmus (-)
TM = nistagmus (-)
Nistagmus (+) = - variasi normal
- horizontal direction fixed
- intermiten pada <4 posisi
- persisten pada <3 posisi
Abnormal:
1. BM:
- Nistagmus (+)
- Vertigo -/+
- Direction fixed/direction changing
- Lesi sentral (fossa posterior)
2. TM:
a. Direction changing positional nystagmus

109
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

- Geogtropic nystagmus (ke arah lantai)  lesi perifer


- Ageogtropic nystagmus (ke arah lantai)  lesi sentral
b. Direction fixed positional nystagmus
- Intensitas berbeda pada beberapa posisi
- Bisa (-) pada ½ posisi (pada BM/TM)  lesi perifer/sentral
c. Direction changing positional nystagmus pada 1 posisi kepala
1 arah sebentar, lalu ganti ke arah lain  bisa pada lesi sentral

B. TES SAKADIK
Melirik dengan cepat ke titik lampu 20 kiri dan kanan bergantian

C. HEAD SHACKING TEST


 Bisa tanpa ENG : cukup dengan melihat langsung
 Cara pemeriksaan :
1. Pasien duduk dengan kepala menunduk 30
2. Pasien menggerakkan sendiri kepala dengan cepat 45 ke kiri dan kanan 10-20x
3. Setelah berhenti lihat adanya nistagmus
 Interpretasi Head Shacking Test :
1. Lesi perifer
Fase primer : Fase lambat ke arah lesi
Fase sekunder : Fase lambat ke arah yang sehat (fase reversal)
2. Lesi sentral
Cross coupling: timbul nistagmus vertikal setelah head shacking horizontal

D. TRACKING TEST/PURSUIT EYE MOVEMENT


Mata mengikuti gerakan bandul 20 ke kiri dan ke kanan, dengan kecepatan 40/detik

110
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

II. PEMERIKSAAN KHUSUS

A. TES KALORI
1) TES KALORI-ALTERNATE BINEURAL BITHERMAL TEST (ABB)
 Stimulus : air (44 dan 30)/udara (49 dan 25)
 Lamnya irigasi : air 30 detik, udara 60 detik
1. Persiapan 1-5 (seperti ENG rutin)
2. Pasien duduk dengan kepala dorsofleksi 60/baring dengan kepala fleksi 30
3. Periksa telinga dengan otoskopi
4. Irigasi : air 44 dan 30 selama 30 detik, udara 49 dan 25 selama 60 detik
5. Urutan irigasi :
AD panas, AS panas, AS dingin, AD dingin
Bila dicurigai kelainan pada AS :
AS panas, AD panas, AD dingin, AS dingin
- setiap selesai irigasi, selama 10 detik
- antara 2 irigasi ditunggu 5 menit
6. Rekaman dilakukan setiap selesai irigasi, selama 60 detik
7. Rekaman supresi visual :
Dilakukan  60 detik setelah tercapai respon maksimal selama 10 detik (pasien disuruh
memfiksasi penglihatan pada titik lampu)
8. Kalkulasi
Pilih rekaman 10 detik terbaik, hitung kecepatan rata-rata dari semua nistagmus dalam 10
detik tersebut

2) TES KALORI-SIMULTANEOUS BINEURAL BITHERMAL TEST (SBB)


Dilakukan bila ABB (-)

B. TES DIX-HALPIKE
1. Duduk  nistagmus spontan ?
2. Kepala tengok 30-45 kiri/kanan, tatap dahi pemeriksa
3. Kepala pasien dipegang  baring telentang, dengan cepat kepala 30 di bawah garis
horizontal selama 10-15 detik
4. Setelah itu pasien kembalikan ke posisi duduk dengan cepat  nistagmus ? 10-15 detik
5. Baringkan ke sisi yang lain dan seterusnya
Interpretasi hasil :
 Normal : BM = posisional nistagmus (-)
TM = posisional nistagmus -/+ beberapa detik
 Abnormal : BM/TM = posisional nistagmus (+)
- horizontal-rotatorik
- arah telinga sehat
- kadang waktu tegak ke arah berlawanan
- bisa disertai vertigo

111
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

112
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

113
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

114
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

115
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

116
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

117
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

118
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

119
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

120
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

121
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

122
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

123
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

Pada pasien epilepsi yang timbul gejala vertigo  kemungkinan kelainannya terletak pada lobus
temporal atau oksipital, dengan gambaran Vertigo vestibular Perifer.

NISTAGMUS & NISTAGMOID


Nistagmus : gerakan osilasi ritmis yang terdiri dari fase cepat dan fase lambat. Biasanya fase lambat
diikuti fase cepat
Nistagmoid : gerakan osilasi yang didahului oleh komponen cepat.

124
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

Dr. Eva D, SpS


19 April 2006

Hippus: Physiologic Pupillary Unrest

Pada penerangan terang (dim), pupil akan melebar dan kecepatan osilasi lambat, dengan peningkatan
intensitas cahaya, diameter pupil akan menjadi kecil dan kecepatan osilasi meningkat (maksimal 2
kali/menit). Pergerakan ini sinkron pada kedua mata dan tidak terbatas, hal ini merupakan
physiologic papillary unrest yang disebut juga hippus.
Terdapat pada orang normal dan tidak dicetuskan dengan akomodasi.
Hal ini berkurang atau tidak ada saat aferen dan eferen dari lengkung refleks cahaya terganggu atau
adanya miosis spastik.
Terjadi karena eksitabilitas dari sel yang melalui jalur penglihatan dengan perubahan konstan
eksposur retina terhadap cahaya.

Pupil Adie
- Reaksi konstriksi cahaya lebih baik dengan melihat dekat dibandingkan refleks
cahaya. Pada akomodasi pupil akan kontriksi secara lambat dan bila akomodasi
dihilangkan pupil akan berdilatasi secara lambat pula.
- Wanita > pria, usia muda.
- Penyebab yang tersering: idiopatik, trauma
- Sensitif terhadap pemberian pilocarpin 1/8%  pupil akan kontriksi.
- Pada slit lamp dijumpai kontriksi segmental (wormian movement).
- Jika disertai arefleksia pada ekstremitas/deep tendon  sindrom Holmes-Adie.

Pupil argyll-Robertson
- Pupil kecil, biasanya bilateral, ireguler dan tidak berdilatasi walaupun diberikan
midriatik.
- Merupakan tanda ketiga dari sifilis  syphilis tertier (pertama pada kelamin,
kedua saddle nose, ketiga CNS syphilis).
- Merupakan lesi pontin
- Tidak ada gangguan penglihatan
- Lesi di daerah akuaduktus silvii pada rostral midrain dengan serabut refleks cahaya
dan serabut inhibisi supranukleus yang berdekatan dengan nukleus Edinger
Westhpal  tidak berespon terhadap refleks cahaya.
Gambar Di Bajandas hal 137.

- Pupil Argyll-Robertson patognomonik untuk sifilis CNS, meskipun kelainan lain


dapat menyebabkan pseudo Argyll-Robertson (tidak berespon terhadap near light
dissociation, serta masih berespon terhadap midriatik).

125
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

Dr. Nurhayana Lubis; Dr. Widi W; Dr. Semuel W; Dr. Teguh AR, SpS(K); Dr. Erni, SpS; Dr. Lucy,
SpGizi; Dr. Esti, SpPA; Prof. Susworo, SpRad(K).
Neuro-Onkologi Kamis, 4 Mei 2006

SECONDARY BRAIN TUMOR

Pendahuluan

• Lokasi yang berbeda dari


otak mempunyai fungsi yang
berbeda
• Tumor dari otak mempunyai
prognosis, gejala, dan
penatalaksanaan yang
berbeda.

Bagian-Bagian Otak

Brain Tumors
• Tumor primer dapat berasal dari berbagai jaringan otak
• Tumor otak paling sering berupa tumor otak sekunder
• Beberapa tumor bisa mengandung beberapa jenis sel
• Tumor primer otak sangat jarang menyebar ke bagian tubuh lain

Brain Metastasis

126
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

• Merupakan tumor yang berkembang dari sel-sel kanker à menyebar dari kanker pada bagian
tubuh lain ke otak, biasanya melalui aliran darah.
• Sebaliknya, tumor yang berasal dari otak atau jaringan sekitarnya à tumor primer, dan
berdasarkan definisi di atas bukan suatu metastasis otak.

Insiden
• Metastasis otak terjadi 20% - 40% pasien kanker.
• Lebih dari 75% pasien mempunyai lesi multipel.
• Penyebab tersering sumber metastasis pd dewasa (Sawaya et al, 2001):
- Paru-paru 32%,
- Payudara 21%,
- Kulit (melanoma) 48%,
- Gastrointestinal 6%,
- Renal 11%
• Secara umum hampir semua kanker sistemik dapat menyebar ke otak.
• Penting untuk menentukan sumber primernya à pilihan penatalaksanaan yang efektif.

Tabel 1

Gejala
Dua pertiganya disebabkan karena:
- Pe↑ TIK  karena pertumbuhan tumor, edema jaringan
disekitar tumor, hidrosefalus, dengan gejala tidak spesifik spt
nyeri kepala, mual, muntah, perubahan status mental, letargi.
- Iritasi fokal, atau destruksi jaringan otak à gejala bervariasi
seperti kejang, paralisis, gangguan penglihatan, perubahan gait
tergantung lokasi lesi metastasis.

127
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

Tabel 2

Tabel 3

Jenis sel dan Jaringan


• Tumor sangat tergantung oleh jenis sel (benign/ malignant)
• Sangat bervariasi à prognosis & treatment

128
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

Bagan 1

Bagan 2

129
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

New Case of Brain Tumor

Clinical- Neuro Medical


Neurologic Emergency anticipation
Examination

Diagnostic Procedure :
- Ro, CT Scan, MRI, MRA, MRS, PET-
SPECT
- Laboratory
Non Brain - EEG, Doppler, Evoked Potensial
Tumor

Primary Brain Tumor Positive Brain Tumor: Secondary Brain Tumor


- Staging/Grading VP Shunt - IICP
- IICP Biopsy - Soliter
- PA - Stereo tactic
- Total Removal - Open
- To Reduce Tumor Size - Resection
- Residual tumor

Histologic Finding (PA)


3 cm Radiosurgery ?

Definitive Radio Tx Radiotherapy Palliative


3 Modalities Treatment Chemotherapy Depend on Primary Cancer

Out come
Quality of life & life expectancy

Tabel 4

Bagan 3

130
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

Bagan 4

131
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

Gambar 1

132
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

Gambar 2

Gambar 3
Gambar metastasis otak single lesion
dari penderita non-small cell carcinoma
paru dari hasil biopsi

Faktor–faktor Prognostik sebagai Pertimbangan Penatalaksanaan

133
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

1. Usia  usia lebih lanjut lebih beresiko dibanding dengan usia lebih
muda.
2. General Health  pasien dengan penyakit penyerta spt DM,
gangguan fungsi ginjal, hati, dll mempunyai resiko lebih buruk
dibandingkan pasien tanpa penyakit penyerta. Pasien dengan status
gizi baik > gizi kurang.
3. Ukuran Tumor  Lebih kecil serta single lesion lebih mudah
ditangani.
4. Lokasi Tumor  Lebih kortikal lebih mudah dijangkau untuk
operasi, pada lokasi beresiko spt brainstem atau kemungkinan
menekan brainstem lebih berbahaya.
5. Jenis Tumor  tumor jinak dan ganas, dilihat dari sel tumor.

Penatalaksanaan
• Tiga Metode Utama
– Surgery
– Radiotherapy
– Chemotherapy
• Penatalaksanaan dapat menginduksi perubahan struktur dan fungsional otak yang
meninggalkan efek samping yang lama (masalah bicara dan bahasa)

Terapi Pre-Surgery
• Steroid à menghilangkan swelling, contoh dexamethasone
• Anticonvulsant à untuk mencegah dan mengontrol kejang, seperti carbamazepine
• Shunt à digunakan untuk mengalirkan cairan cerebrospinal

134
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

Gambar 4

Surgery

- Merupakan pilihan utama


penatalaksanaan untuk
mengangkat tumor
- Perkembangan surgery,
seperti “gamma knife”,
mempunyai komplikasi
yang rendah dan
mengurangi waktu
pemulihan
- Pengangkatan tumor à
jarang menghilangkan gejala
yang sudah ditimbulkan.

135
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

Radiotherapy

- Menggunakan sinar peng-ion


untuk mematikan sel tumor
- Terapi lokal - regional
- Tujuan terapi Rt
• Membunuh sel tumor
sebanyak mungkin dengan
menghindarkan sebanyak
mungkin jaringan sehat
dari efek radiasi
• Menghilangkan simptoms
pada penderita dengan
tujuan memperbaiki
kualitas hidup

Radiasi Eksterna
• Memberikan radiasi peng-ion dengan sumber radiasi terletak pada jarak tertentu dari obyek.
• Dengan kemajuan teknologi dapat dihindarkan jaringan otak sehat memperoleh dosis radiasi
yang berlebihan. Sinar dapat ditujukan dengan akurasi yang tinggi pada tumor.
• Terapi diberikan 5 hari/minggu selama 4-6 minggu

Brachytherapy
• Memberikan sumber radiasi langsung pada tumor sehingga diperoleh dosis yang tinggi sekali
pada tumor tapi tidak pada jaringan sehat sekitarnya.
• Metode pemberian dengan sistem implan.

Chemotherapy
- Menggunakan powerful
drugs, bisa 1 atau kombinasi
untuk membunuh sel tumor
- Diberikan oral, IV, atau
shunt
- Biasanya diberikan dalam
siklus
- Satu siklus terdiri dari
treatment intensif dalam
waktu singkat, diikuti waktu
istirahat dan pemulihan
- Siklus sedikitnya 2 minggu
- Saat siklus 2-4 telah lengkap,
istirahat untuk terapi à
melihat apakah tumor
mempunyai respon terhadap
terapi

136
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

Bagan 5

Pain Killer

Supportive

Referensi
1. Norden AD, Wen PY, Kesari S. Brain Metastases. Curr Opin Neurol 2005;18:654-61.
2. Burri SH, Asher AL. Continuum Brain Metastases. Lippincott Williams & Wilkins;13-29.
3. Kaal ECA, Niel CGHJ, Vecht CJ. Therapeutic management of brain metastasis. Lancet Neurol
2005;4:289-98.
4. Van den Ben MJ. Current Perspective The role of chemotherapy in brain metastases.
European Journal of Cancer 39 (2003);2114-20.
5. Lassman AB, DeAngelis LM. Brain metastases. Neurol Clin N Am 21 (2003);1-23.

Tugas NO
Dr. Eva D, SpS
5 Mei 2006

137
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

RETINA

Merupakan neural tunic dari mata, lapisan retina terdiri dari 8 lapis mulai dari korpus vitreus sampai
koroid:
1. Nerve fiber layer/Lapisan serabut saraf  merupakan lapisan serabut akson sel ganglion yang
berjalan horizontal (Stratum optikum), yang dilapisi oleh membrtan transparan yang bukan merupakan
bagian fungsional dari retina, yaitu membrana limitans interna. Akson dari sel ganglion seluruh retina
menuju ke papila nervi optisi, sehingga membentuk selembar substansia alba yang dinamakan
stratum optikum. Akson-akson yang membentuk stratum optikum tidak bermielin, selubung mielin baru
membungkus akson saat akson membentuk nervus optikus dan meninggalkan bagian intraokuler serta
dilengkapi dengan jaringan arakhnoid.
2. Lapisan sel ganglion (Stratum gangliosum)  yang mengandung sel-sel ganglion yang menjulurkan
serabut-serabut yang membentuk stratum optikum. Merupakan neuron ketiga dari lintasan visual.
Dendrit bersinaps dengan akson sel bipolar dan sel amakrin. Hampir di seluruh retina terdapat sebaris
sel ganglion.
3. Lapisan pleksiform interna (Stratum molekulare interna)  terdiri dari akson sel bipolar dan dendrit
dari sel ganglion.
4. Lapisan nuklear interna (Stratum nukleare interna)  mengandung sel-sel bipolar yang menjulurkan
aksonnya ke stratum molekulare interna.
5. Lapisan pleksiform eksterna (Stratum molekulare eksterna)  terdiri dari serabut-serabut yaitu
akson-akson sel kerucut dan sel batang serta dendrit sel bipolar tsb di atas.
6. Lapisan nuklear eksterna (Stratum nukleare eksterna)  disusun oleh inti-inti sel batang dan sel
kerucut.
7. Lapisan fotoreseptor  lapisan yang mengandung sel batang dan sel kerucut.
8. Lapisan sel epitelium berpigmen.

PEMBULUH DARAH PADA RETINA DAN KELAINANNYA

Pembuluh darah utama pada retina yaitu arteri sentralis retina, memberikan cabang-
cabangnya kedalam mata melalui optic disk. Arteri sentralis retina merupakan cabang pertama dari A.
Optalmika yang merupakan cabang dari A. Karotis interna.
Arteri sentralis retina menembus dura nervus optikus di belakang bola mata, kemudian berjalan dalam
saraf untuk mencapai diskus optikus yang akan memberikan suplai dua pertiga retina bagian dalam.

138
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

Retina bagian luar menerima darah melalui chorio-capillaris. Arteri optalmika juga memberi
cabang yaitu A. Siliaris posterior yang akan memberikan suplai pada papil nervus optikus, koroid dan
sepertiga retina bagian luar. Lapisan retina luar (fotoreseptor dan lapisan fleksiform luar menerima
oksigen dan nutrien melalui difusi dari vaskular di koroid. Sebuah lapisan avaskuler dengan tebal 400
um pada fovea disebut daerah avaskuler foveal. Tidak adanya vaskuler ini penting untuk tajam
penglihatan. Cabang-cabang dari A. Siliaris posterior mencapai pleksus kapiler pada daerah lamina
koroidalis dan lamina kribrosa melalui cabang-cabang sirkulasi intra scleral Zinn-Haller.
Secara umum terdapat 4 cabang A. Sentralis retina yang keluar dari disk, yaitu: A. Superior
nasal, A. Superior temporal, A. Inferior nasal, dan A. Inferior temporal.
Cabang A. Sentralis retina yang menuju bagian temporal atas dan bawah makula mengikuti
bundle serabut saraf (akson sel ganglion). Pembuluh-pembuluh darah ini ditemukan pada lapisan
retina dalam dan biasanya tidak meluas lebih dalam dari lapisan pleksiform dalam.
Arteri silioretinal berasal dari sirkulasi koroidal dan ditemukan pada kurang lebih 20% individu.
Koroid diperdarahi oleh A. Optalmika melalui cabang-cabang dari A. siliaris anterior dan A. Siliaris
posterior. Vena-vena koroid bermuara ke vena-vena vortex dan kemudian ke V. Orbitalis superior dan
inferior pada sinus cavernosus. Pemisahan muara vena-vena retina (V. Sentralis) dan koroid (vena-
vena vortex) penting untuk diingat, karena banyak proses patologis yang menyebabkan obstruksi V.
Sentralis dapat menyebabkan kolateral atau shunt antara V. Retina pada papila n. Optikus dan
sirkulasi koroid.

Saat vena dan arteri bersilangan, arteri terletak di atas retina dan membran basalisnya
bersatu. Penyilangan ini merupakan dasar untuk penyumbatan vena retina. Densitas kapiler retina
lebih besar dari vena retina. Vena sentralis retina terletak temporal dari A. Sentralis retina pada papil
N. Optikus dan bermuara pada V. Orbitalis superior dan sinus kavernosus. Pembuluh darah retina,
seperti pembuluh darah serebral lainnya berfungsi sebagai barier pembuluh retina melalui tight
junction antara sel-sel endotel. Pembuluh darah retina tidak memiliki otot polos dan lamina elastik
interna.
Bentuk dari gangguan lapang pandang yang terjadi karena lesi vaskular dapat diduga,
berhubungan dengan lokasi dari oklusi pada retina. Karena oklusi pada cabang arteriolar retina
berakibat pada lapisan serabut saraf, gangguannya meluas dibelakang sumbatan lokal dan meluas
dengan bentuk pola arcuate atau sectoral karena serabut saraf yang dilaluinya akan menjadi daerah
yang mengalami iskemik.

I. Kelainan lapang pandang altitudinal

139
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

Oklusi pada cabang arteri retina yang menyuplai


bagian superior retina akan menyebabkan
hilangnya lapang pandang bagian inferior

II. Skotoma
Adalah gangguan lapang pandang yang terjadi karena lesi di makula-retina, nerve fiber bundle, nervus
optikus dan occipital tip/pole yang mirip pulau–pulau dari penglihatan yang terganggu yang dikelilingi
dengan penglihatan yang normal.
.

I. Nerve fiber bundle, terdapat 3 jenis gangguan yang utama:

1. Papullomacular bundle: serabut makula yang masuk ke daerah temporal dari disc. Gangguan
pada berkas serabut ini berbentuk:
-
Skotoma sentral  defek pada daerah
fiksasi sentral.

-
Sentrosekal skotoma  skotoma sentral
yang berhubungan dengan bintik buta
(cecum).

-
Parasentral skotoma  defek pada
beberapa serabut papilomakular yang
terletak disebelahnya, tapi tidak melibatkan
fiksasi sentral.

140
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

2. Arcuate nerve fiber bundle (NFB): serabut dari temporal retina ke disc melalui kutub superior
dan inferior dari disc. Gangguan pada berkas serabut ini berbentuk:
- Bjerrum, arcuate, atau scimitar scotoma  bagian arcuate yang merupakan 15 derajat dari
fiksasi, dikenal juga daerah Bjerrum.

- Seidel scotoma  defek pada bagian proksimal NFB, menyebabkan bentuk koma yang meluas
ke bintik buta.

- Nasal step (of Ronne)  defek pada bagian distal arcuate NFB. Saat berkas arcuate superior
dan inferior menyebrang horizontal dari temporal retina, defek pada nasal step membentuk
meridian 180 derajat horisontal.

- Isolated scotoma dalam area Bjerrum  defek pada bagian intermediate pada arcuate NFB.

141
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

3. Nasal NFB: serabut-serabut yang secara langsung masuk ke bagian nasal disc (nonarcuate
fashion). Defek pada berkas ini menghasilkan wedge-shaped temporal skotoma yang berasal dari
bintik buta dan tidak memerlukan meridian horisontal temporal.

Oklusi arteri sentralis retina akan menyebabkan hilangnya warna retina menjadi putih susu
dan makula kemerahan.

Oklusi vena sentralis retina  terjadi oklusi vena sentralis retina saat sirkulasi vena
mengalami sumbatan, yang menyebabkan perdarahan pada retina. Pembengkakan dan
iskemi (kurangnya oksigen) dari retina seperti glaukoma sering terjadi sebagai akibat
komplikasi. Gejala visual bervariasi tergantung apakah yang terlibat vena sentralis retina atau
cabangnya. Biasanya pasien yang mengalami oklusi cabang dari vena sering mengalami
perbaikan saat perdarahan yang terjadi diserap. Pemulihan oklusi vena sentralis retina sangat
jarang terjadi terutama bila terkena makula. Sering dijumpai pada laki-laki, biasanya setelah
usia 60 tahun.

Gejala:
- onset tiba-tiba
- pandangan kabur atau ada area
penglihatan yang hilang 
jika yg terlibat cabang vena.
- Hilangnya penglihatan sentral
yg berat  jika vena sentralis
retina yg terlibat.

Bentuk/gambaran benda di retina


Kuadaran lapang pandang diproyeksikan ke masing – masing retina dengan pattern yang terbalik dan
berlawanan karena kerja lensa (sifat lensa cembung)

142
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

Tugas NO VI Dr. Eva


Nurhayana Lubis
PPDS Neurologi Juli 2003
Neuro-ophtalmologi April-Mei 2006

KETERANGAN GAMBAR: Pusat kontrol pergerakan mata.


Gambar tengah menunjukkan hubungan supranuklear dari frontal eye fields (FEF) dan parieto-
occipital-temporal junction (POT) ke kolikulus superior (SC), rostral interstitial nucleus of the medial
longitudinal fasciculus (riMLF), dan paramedian pontine reticular formation (PPRF). FEF dan SC
menghasilkan sakadik, POT penting untuk menghasilkan pursuit.
Gambar kiri menunjukkan jaras batang otak untuk gaze horisontal. Akson dari badan sel yang
berada di PPRF berjalan ke ipsilateral nukleus abdusen (VI) yang bersinaps dengan motorneuron
abdusen dimana akson berjalan ke muskulus rektus lateral ipsilateral (LR) dan dengan neuron
internuklear abdusen dimana akson menyebrang ke garis tengah dan berjalan pada fasikulus
longitudinal medial (MLF) ke bagian nukleus okulomotor (III) untuk fungsi muskulus rektus medial (MR)
pada mata kontralateral.
Gambar kanan menunjukkan jaras batang otak untuk gaze vertikal. Struktur yang penting meliputi
riMLF, PPRF, interstitial nucleus of Cajal (INC), dan komisura posterior (PC).
Catatan: Akson dari badan sel yang berlokasi di vestibular nuclei (VN) berjalan langsung ke nukleus VI
dan kebanyakan melalui MLF ke nukleus III, serta ke nukleus IV/troklear.

143
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

1. Internuklear Oftalmoplegi

Disebabkan karena lesi pada fasikulus


longitudinal medial yang memutuskan
hubungan nukleus abdusen kontralateral ke
nukleus okulomotor ipsilateral, sehingga
menghasilkan kelainan:
- gangguan gerakan adduksi pada
sisi ipsilateral lesi
- nistagmoid abduksi pada mata
kontralateral
Misal: INO mata kiri; pada gaze ke kanan
 mata kiri tidak dapat adduksi, pada mata
kanan terdapat nistagmoid abduksi.

2. One-and-half syndrome

Disebabkan karena lesi pada nukleus VI atau


PPRF dan MLF ipsilateral.
- kelumpuhan gaze konjugat pontin pada
sisi ipsilateral (one)
- INO pada gaze sisi kontralateral (half)
Misal: One-and-half mata kanan:
- pasien tidak dapat adduksi dan abduksi
pada mata kanan(karena lesi mengenai
VI & III ipsilateral)
- pada mata kiri dapat berabduksi
dengan nistagmoid

144
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

3. Paresis N. Troklearis
- Nervus troklearis mensarafi m. obliqus superior, untuk menggerakkan mata ke bawah, ke dalam, dan
abduksi dalam derajat kecil.
- Paralisis otot ini menyebabkan deviasi mata yang sakit ke atas dan sedikit ke dalam ke arah mata
yang sehat. Deviasi ini terutama terlihat jika mata yang terlibat melihat ke bawah dan ke dalam, pada
arah mata normal.
Head tilting  posisi kepala menjauhi lesi untuk mengurangi diplopia.

Tugas ujian NO
Nurhayana Lubis
PPDS Neurologi Juli 2003
Neuro-ophtalmologi April-Mei 2006

1.Vestibular
Sistem vestibular berespon terhadap akselerasi rotasi dan linier termasuk gravitasi dan bersama
dengan input visual serta proprioseptif mempertahankan orientasi tubuh dan keseimbangan terhadap
ruang.
Neuron orde pertama vestibular (perifer) berada pada bagian vestibular nervus VIII dan menerima
hubungan/informasi dari utrikulus, sakulus dan kanalis semisirkularis ke nukleus vestibular (superior,
inferior, medial dan lateral)  pada labirin dan nervus vestibularis. Sel badan bipolar berada pada
ganglion vestibular.

145
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

Hubungan vestibular ke sentral, pada batang otak sampai korteks melalui:


1. Secara langsung ke serebellum
2. Neuron orde kedua berawal pada nukleus vestibularis dan turun ke traktus vestibulospinal
ipsilateral.
3. Neuron orde kedua ke nukleus okulomotor (III, IV, VI) melalui fasikulus longitudinal medial.
4. Neuron orde kedua ke korteks (lobus temporal)  jaras belum jelas.
5. Neuron orde kedua ke serebellum.
Terdapat lengkung feedback bilateral ke nukleus vestibular dari serebellum melalui nukleus fastigial.

2. Hemianopia binasal yang terjadi karena kompresi pada bagian lateral chiasma jarang terjadi,
biasanya disebabkan pelebaran bagian kavernosus karena arteriosklerotik/kalsifikasi dari arteri karotis
interna sehingga menekan pinggang chiasma. Kelainan ini biasanya unilateral, dapat menjadi bilateral
bila chiasma mendorong ke arteri karotis interna sisi yang berlawanan.

146
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

Dr. Andradi, SpS (K) & Dr. Teguh AR, SpS (K)

Trias tumor sellae:


1. Klinis: gangguan penglihatan, nyeri kepala, akromegali, dll.
2. Kelainan endokrinologi: GH, prolaktin, ADH, dll
3. Kelainan radiologi

TUMOR HIPOFISIS
Hipofisis merupakan kelenjar endokrin yang terletak pada dasar tengkorak & menempati sela
tursika. Terdapat 2 bagian:
1. Adenohipofisis  bagian anterior hipofisis yang mensekresi hormon ACTH,
GH, prolaktin, TSH, LH & FSH.
2. Neurohipofisis  bagian posterior hipofisis, mensekresi 2 peptida yaitu
vasopresin (ADH) & oksitosin.
Umumnya tumor bersifat jinak secara histologis & tumbuh lambat.
Dapat terjadi pada semua kelompok umur, yang paling sering dekade ke 3-4.
Tidak ada predileksi terhadap jenis kelamin, tidak bersifat herediter.
Klinis berhubungan dengan efek massa yang menekan hipofisis dan jaringan sekitarnya atau
adanya gangguan endokrin (hipersekresi/hiposekresi).
Secara anatomis terdiri dari 3 jenis:
1. Tumor intraselar  merupakan tumor primer hipofisis, terdiri
dari 3 tipe yaitu adenoma, kraniofaringioma, kista celah Rathke.
2. Tumor supraselar  adenoma, kraniofaringioma, meningioma,
kordoma, hamartoma (jarang), aneurisma A. Cerebri anterior,
aneurisma A. Karotis interna, arakhnoiditis, glioma.
3. Tumor paraselar  pertumbuhan tumor kesamping sella tursika
dapat mengenai sinus kavernosus (N. III, IV, VI, V1-V2, serta
A. Karotis interna); biasanya meningioma, aneurisma, dan
karsinoma metastasis.

147
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

148
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

Imaging
1. Magnetic resonance  pilihan pertama untuk imaging pada daerah pituitary dan
paraselar.
2. Foto polos kepala  jarang dilakukan, kecuali untuk rencana operasi pada
beberapa kasus.
3. Computed tomography  untuk kasus emergency, dimana fasilitas MRI tidak
ada, dan pada pasien claustrophobic.

149
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

150
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

Penatalaksanaan
Terapi kuratif tergantung lesi spesifik:

Terapi:
1. Operasi  dengan tujuan konfirmasi diagnosis, dekompresi jaringan dan removal tumor total.
Dengan cara transsphenoid, transfrontal, transkranial.
2. Radiasi  untuk rekurensi tumor dan sisa tumor yang tidak dapat diambil total.
3. Hormonal  pada hiperprolaktinemia dapat diberikan bromokriptin, tergantung dari hormonal yang
terganggu.

151
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

Tugas ujian dari dr. Teguh Ranakusuma, SpS(K)

1. Neuroemergensi lesi medula spinalis.


Hal terpenting dalam penatalaksanaan kasus-kasus dengan cedera medula spinalis akut adalah
menentukan waktu atau saat terjadinya cedera, lakukan penilaian klinis neurologis yang akurat dan
evaluasi radiologi yang mendetail. Pemeriksaan penunjang patologi, elektrofisiologi, dan neuroimejing
membantu untuk menentukan perjalanan penyakit, beratnya dan mekanisme cedera spinal akut.
Tujuan penatalaksanaan cedera medula spinalis akut adalah untuk mencegah kerusakan lebih
lanjut oleh segala macam tindakan atau keadaan.
I.Penatalaksanaan Umum
1. Tentukan apakah cedera tersebut adalah suatu cedera medula spinalis akut dan mungkin ada
cedera tambahan lain.
2. Lakukan stabilisasi medula spinalis
3. Atasi gangguan fungsi vital (ABC). Jika usaha bernafas atau ventilasi kurang baik perlu
dilakukan intubasi emergensi, setelah jalan nafas dan pernafasan stabil.
4. Perhatikan perdarahan dan sirkulasi, hipotensi mungkin timbul karena syok neurogenik atau
hipovolemia.
5. Terapi untuk cedera medula spinalis akut diberikan protokol metilprednisolon:
a. Metilprednisolon 30 mg/kgBB iv bolus 15 menit, 45 menit istirahat.
b. Metilprednisolon 5,4 mg/kgBB/hari iv selama 23 jam.
II. Penatalaksanaan Khusus: fiksasi atau tindakan operatif
III. Perawatan Umum
1. Perawatan kandung kemih: kateterisasi intermiten dan vit.C 4x1 gr/hr
2. Perawatan rektum: supaya pasien dapat mengontrol defekasi.
3. Perawatan kulit: cegah dekubitus
4. Nutrisi: diet tinggi kalori dan protein, keseimbangan cairan dan elektrolit
5. Kontrol nyeri: hindari obat narkotika.
6. Perawatan psikiatri: awasi gangguan depresi.
IV. Rehabilitasi
1. Fisioterapi
2. Terapi kerja: disiapkan untuk tipe pekerjaan yang sesuai dengan kecacatan.
3. Olah raga: basketball dengan kursi roda.
4. Psikiatrik: mencegah depresi atau ancaman bunuh diri.

2. LCS pada orang normal dan pada penyakit-penyakit tertentu.


Kondisi Kekeruhan Tekanan Jumlah Protein Lain-lain
dan warna sel(/mm3) (mg/dl)
Normal Jernih, tak 70-120 2; limfosit 20-45 Glukosa 45-70
berwarna mg/dl. klorida
680-760mg/dl
Tumor otak Jernih, tak ↑ N atau ↑ ↑ (albumin) Sel tumor (?)
berwarna
Abses otak Jernih, Sangat ↑, N atau ↑ ↑ (albumin) Glukosa
kadang 600-700 lekosit PMN rendah.
berkabut Pemeriksaan
bakteriologik
Ensefalitis Jernih, tak N N atau ↑; N atau agak ↑ Glukosa N;
berwarna limfosit pemeriksaan
virologik
Meningitis Berkabut, Sangat ↑, Umumnya ↑ (albumin); Klorida dan
purulen akut kekuning- 250-700 >3000; 100-1000 glukosa ↓;
kuningan, lekosit PMN pemeriksaan
seperti krim bakteriologi
Meningitis TB Kekuning- ↑ 200-450 10-500; ↑ Klorida dan

152
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

kuningan umumnya glukosa ↓;


limfosit cobweb
coagulum
Meningitis Jernih ↑; 200-300 100-1000; Sedikit ↑ VDRL +; rapid
sifilis sampai limfosit dan (khususnya plasma regin +
berkabut beberapa sel globulin)
plasma
Múltiple Jernih, tak N N atau 50- N atau sedikit Protein
sklerosis berwarna 300; limfosit ↑ oligoklonal+;
(peningkatan protein dasar
relatif gama mielin+
globulin)
Cedera otak Dapat N Eritrosit Tak dapat Dapat berdarah
berdarah dipakai; 4 per
1000 eritrosit
Hematom Kadang Umumnya ↑ N N atau agak ↑ Tidak berdarah
subdural kekuningan
Perdarahan Berdarah Sedikit ↑ Eritrosit Tak dapat Kekuning-
subarakhnoid dipakai; 4 per kuningan
1000 eritrosit setelah
sentrifugasi
Tumor spinal Sering N atau ↓ N atau ↑ Sangat ↑; Terjadi
(Sindroma kekuning- ringan 200-600 penggumpalan
Froin) kuningan LCS
Poliomielitis Jernih atau Sedikit ↑ Sedikit ↑, Sedikit ↑
sedikit terutama
kekuningan pada fase
ke-2
GBS Jernih N N atau Sangat ↑ Disosiasi
sedikit↑ (albumin) sitoalbumin

3. SSEP dan monitoring durante operatif.


SSEP terjadi karena efek somasi dari potensial aksi dan potensial sinaptik dalam suatu kondukter
volume. SSEP dengan masa laten pendek dianggap sebagai hasil dari volley yang melintas pada
serabut besar sistim sensorik seperti di kolumna dorsalis dan lemniskus medialis.

SSEP dapat memberikan gambaran unik dari fungsi susunan saraf pusat, karena gelombang-
gelombangnya timbul dari stimulasi langsung pada saraf sensorik.
Tujuan pemeriksaan SSEP:
 obyektifitas dari suatu gangguan dengan memeriksa jaras somatosensorik
 menentukan lokalisasi dan fungsi dari suatu gangguan sensibilitas.
 Menunjukkan adanya lesi klinis laten pada sistim saraf aferen.
 Menetapkan gangguan sensibilitas yang psikogen.

SSEP dapat ditimbulkan dari lengan atau tungkai dengan bentuk dan nama gelombang yang berbeda.
Digunakan lektroda-elektroda kulit/permukaan atau jarum dengan arus perangsangan sedikit di atas
ambang rangsang otot atau 3-4x ambang rangsang sensorik. Waktu konduksi melalui jaras-jaras
somatosensorik terdiri dari 2 bagian yaitu bagian perifer dan sentral.
Masa laten perifer menggambarkan bagian distal neuron pertama dari tempat stimulus sampai
awal masuk ke medula spinalis.
Masa laten sentral sesuai dengan bagian sentral neuron pertama sampai nukleus kolumna
dorsalis, sistim lemniskus dan jaras-jaras talamo-kortikal yang paling sedikit melalui 3 sinapsis.
Aplikasi klinik SSEP:
- proses desak ruang spinal/tumor spinal

153
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

- penyakit funikulus dorsalis (tabes dorsalis, mielosis funikuler)


- mielopati servikal
- radikulopati
- paresis pleksus brakhialis
- proses-proses di batang otak
- proses-proses di talamus
- infark otak di daerah media
- epilepsi
- gangguan sensibilitas yang psikogen
- kematian otak (brain death)

Pemeriksaan SSEP intraoperatif merupakan suatu tantangan, karena membutuhkan banyak waktu
dan kesabaran, diperlukan kerja sama yang baik dengan staf kamar operasi dan alat-alat yang khusus
dan juga kecanggihan dalam bidang elektro tehnik untuk menghilangkan intervensi noise elektrik, yag
ditimbulkan oleh alat-alat pembedahan sampai anestesi yang dipakai serta kedalamannya yang dapat
mengganggu hasil dari SSEP.

4. Multipel myeloma dan Limfoma

MULTIPEL MYELOMA

Multiple myeloma adalah suatu keganasan yang berasal dari sel plasma malignan. Sel plasma normal
merupakan bagian penting dari sistim imun.

Sistim imun terdiri dari beberapa jenis sel yang berkerjasama melawan infeksi dan penyakit. Limfosit
merupakan sel utama sistim imun. Ada 2 jenis limfosit: sel T dan sel B. Ketika sel B memberi respon
terhadap suatu infeksi, mereka akan matang dan berubah menjadi sel plasma. Sel plasma terutama
berada di dalam sumsum tulang yang merupakan bagian dlam tulang yang lembut. Sel plasma
menghasilkan dan melepaskan protein yang disebut antibodi (atau imunoglobulin) untuk melawan
penyakit yang disebabkan oleh bakteri atau virus.

Bila sel plasma tumbuh berlebihan dapat terjadi tumor. Tumor-tumor ini umumnya tumbuh di dalam
sumsum tulang. Jika hanya satu tumor disebut plasmasitoma. Biasanya tumor sel plasma menyebar
keluar dari sumsum tulang dan disebut myeloma atau multipel myeloma.

Pertumbuhan sel plasma yang berlebihan dapat menghambat fungsi sumsum tulang. Kondisi ini akan
mengakibatkan anemia. Anemia menyebabkan kelelahan. Juga dapat terjadi defisiensi platelet yang
dapat mengakibatkan perdarahan. Juga dapat terjadi leukopenia yang akan menurunkan resistensi
terhadap infeksi.

Myeloma juga dapat merapuhkan sel. Ada 2 jenis sel tulang. Osteoblast membentuk tulang dan
osteoklas menghancurkannya. Kedua jenis sel ini bekerjasama membentuk tulang. Sel myeloma
membentuk suatu zat yang merangsang osteoklas mempercepat penghancuran tulang. Kelemahan
dan fraktur tulang merupakan masalah tersering pada penderita myeloma.

Sel plasma abnormal tidak melindungi tubuh dari infeksi. Kadang-kadang sebelum menjadi multipel
myeloma didahului oleh pertumbuhan berlebihan sel plasma yang disebut dengan monoclonal
gammopathy of undetermined significance.

Pathophysiology: Proliferasi sel plasma dapat menghambat produksi sel darah normal,
mengakibatkan leukopenia, anemia, and trombositopenia. Sel-sel ini juga dapat menyebabkan lesi litik
di tulang rangka dan jaringan lunak. Komplikasi yang menakutkan adalah nyeri tulang, hiperkalsemi,
dan kompresi medula spinalis.Antibodi abnormal menyebabkan imunitas humoral terganggu sehingga

154
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

pasien rentan terhadap infeksi. Pembentukan berlebihan antibodi ini menyebabkan hiperviskositas,
amiloidosis gagal ginjal.

Mortality/Morbidity:

 Kompresi medula spinalis merupakan komplikasi terberat penyakit ini. Angka kejadian lebih
kurang 20% . Gejala biasanya nyeri punggung, kelemahan atau kelumpuhan kaki, baal,
kesemutan di anggota gerak bawah. Kadang-kadang disertai gejala ekstremitas atas.
Mekanisme gejala ini kemungkinan akibat adanya masa epidural yang menekan, fraktur
kompresi atau yang jarang adalah akibat masa ekstradural. Kelainan ini dapat reversibel,
tergantung lamanya kompresi spinal.
 Komplikasi yang sering lainnya adalh fraktur patologis. Dokter hendaknya melakukan stabilisai
dan radiasi terhadap lesi. Perhatian khusus terhadap gejala pasien, evaluasi radiografi
intermiten, dan pemberian bifosfonat dapat membantu mencegah terjadinya fraktur.

LIMFOMA SSP
Limfoma SSP adalah salah satu tumor intrakranial yang insidensnya sekitar 0,5%-1,2% dan
semakin meningkat akhir-akhir ini dengan semakin meningkatnya insidens HIV/AIDS. Limfoma SSP
dapat terjadi pada penderita imunokompeten dan imunokompromis. Insidens paling tinggi pada
decade ke-6 dan 7 pada pasien imunokompeten, lebih banyak pada laki-laki dengan perbandingan 3 :
2 pada pasien-pasien imunokompeten dan 9 : 1 pada pasien AIDS. Dan tidak ada perbedaan
ras.Limfoma SSP adalah limfoma non-Hodgkin dan biasanya sel B dengan subtype sel besar. Gejala
klinis awal yang sering dijumpai adalah perubahan kognitif akibat adanya lesi multifokal dan
peningkatan tekanan intrakranial. Kejang jarang terjadi karena tumor sering terdapat di periventrikuler.
Gejala klinis biasanya terjadi subakut (minggu-bulan) menunjukkan agresifnya limfoma SSP.
Etiologinya masih belum diketahui. Diduga berkaitan dengan adanya imunodefisisensi, infeksi virus
Epstein-Barr, pengaruh lingkungan (terpapar bahan-bahan kimia).
Tumor ini biasanya berupa suatu massa di daerah periventrikular substansia alba. Sebagian
besar (75%) merupakan lesi supratentorial, jarang pada fossa posterior dan medulla spinalis, 52,1%
soliter dan 33,5% berupa lesi multiple. Lokasi yang sering adalah di hemisfer (lobus frontal, temporal,
parietal), thalamus dan ganglia basalis (sering bilateral), sedangkan lesi di batang otak hanya sekitar
5,7%.
Pada CT scan 90% menunjukkan massa hiperdens atau isodens dengan edema ringan
sampai sedang serta menyangat homogen pada pemberian kontras, kecuali pada penderita
imunokompromis hanya terjadi ring-enhancement yang sering menyerupai gambaran toksoplasmosis.
Sensitivitas CT Scan cukup tinggi tetapi dapat terjadi negative palsu pada sekitar <5% kasus. Pada
MRI biasanya menunjukkan lesi hipointens sampai isointens pada T1 dan isointens sampai hiperintens
pada T2. Lokasi lesi sangat khas tapi bukan memastikan diagnosis, sebagian besar berasal dari
periventrikular dan biasanya melibatkan corpus callosum, thalamus, ganglia basalis. Sedangkan
limfoma serebral sekunder biasanya terdapat pada subdural, subarachnoid, epidural, dan medulla
spinalis. Penelitian oleh Buhring dkk menunjukkan bahwa 60% menunjukkan edema yang luas. Pada
otopsi terhadap 10 pasien limfoma serebral Rose Lai dkk menunjukkan bahwa limfoma serebral
menginfiltrasi jaringan otak secara mikroskopik dan hal ini tidak dapat dideteksi pada MRI. Diagnosis
banding limfoma dari pemeriksaan MRI antara lain glioma maligna, metastasis, inflamasi dan
gangguan demyelinisasi. MRS pada limfoma menunjukkan penurunan NAA dan peningkatan Cho.
MRS dapat digunakan untuk evaluasi keberhasilan terapi pada limfoma dimana secara bertahap akan
terjadi penurunan Cho dan peningkata NAA. Pada pasien ini karena keterbatasan dana MRI maupun
MRS tidak dapat dilakukan. Klasifikasi tidak timbul pada limfoma, kecuali pada pasien-pasien yang
telah memjalani terapi radiasi. Perdarahan pada limfoma jarang terjadi, dapat terlihat penebalan
ependima yang kontras menyengat.
Pemeriksaan liquor cerebrospinal (LCS) dapat menunjang diagnosis, yaitu meningkatnya
protein (biasanya < 150 mg/dl), menurunnya glukosa, dan terdapat pleocytosis limfositer pada 40%
kasus. Dalam LCS juga dapat ditemukan limfosit abnormal pada 10% kasus. Sitologi LCS

155
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

menunjukkan hasil positif hanya pada 1/3 kasus. Pemeriksaan imunohistokimia dapat menunjukkan
populasi sel monoclonal. Pemeriksaan LCS sebaiknya dilakukan pada semua pasien yang dicurigai
terdapat limfoma SSP karena jika sitologi menunjukkan hasil positif maka biopsy tidak perlu dilakukan,
tetapi jika terdapat lesi yang cukup besar di fossa posterior maka pungsi lumbal sebaiknya dihindari.
Pada pasien ini tidak dapat dilakukan pungsi lumbal karena ditemukan adanya tanda edema papil.
Pemberian kortikosteroid pada limfoma SSP dapat menyebabkan berkurangnya besar massa
> 50% dan bahkan sampai menghilang. Bromberg dkk menunjukkan bahwa 50% pasien yang
mengalami regresi massa tumor menderita limfoma. Pada kasus yang dicurigai limfoma SSP
kortikosteroid sebaiknya tidak diberikan sebelum diagnosis definitif ditegakkan karena steroid dapat
menyebabkan lisis sel tumor. Pada pasien ini telah diberikan dexamethason sejak awal yang bertujuan
untuk mengurangi edema perifokal. Keluarga pasien menolak untuk dilakukan tindakan operatif
sehingga diagnosis definitif tidak dapat dilakukan. Jika dalam waktu kurang lebih 4-6 minggu
pemberian steroid terjadi pengecilan jaringan tumor maka kemungkinan besar lesi tersebut adalah
limfoma. Dari kepustakaan dikatakan bahwa adanya respons terhadap pemberian steroid sebaiknya
tidak digunakan sebagai alat diagnostik.
Evaluasi untuk menemukan limfoma sistemik pada penderita imunokompeten hampir selalu
negative. Evaluasi sistemik harus dilakukan pada pasien imunokopromis (mis.AIDS) karena tingginya
insidens metastasis limfoma sistemik ke SSP.

5. Osteoporosis dan menopause


Menopause ditandai oleh hilangnya produksi estrogen oleh ovarium. Ini dapat terjadi karena proses
alamiah atau pada pembedahan pengangkatan kedua ovarium. Kehilangan estrogen ini meningkatkan
hilangnya masa tulang dalam periode 5-8 tahun. Dalam hal remodeling tulang kekurangan estrogen
meningkatkan kemampuan osteoklas untuk meresorpsi tulang. Selama osteoblas (sel yang
memproduksi tulang) tidak mendukung untuk pembentukan tulang , osteoklas akan menang, dan akan
lebih banyak lagi tulang yang hilang daripada yang terbentuk.

Estrogen dan androgen berperan pada maturasi tulang yang sedang tumbuh dan mencegah
kehilangan massa tulang. Estrogen dapat menurunkan resorpsi tulang melalui penurunan sintesis
barbagai sitokin seperti interleukin-6 (IL-6) yang diketahui banyak terdapat pada lingkungan mikro
tulang dan berperan merangsang resorpsi tulang.IL-6 berperan meresorpsi tulang dengan jalan
mengerahkan sel-sel osteoklas. Sintesis IL-6 akan dihambat oleh estrogen dan hal ini tampak pada
penurunan resorpsi tulang pada terapi estrogen.
Sitokin juga berperan pada remodeling tulang. IL-1 merupakan sitokin yang berperan pada
remodeling tulang, yaitu merangsang resorpsi tulang, replikasi sel tulang dan meningkatkan sintesis
IL-6.Pada beberapa kasus osteoporosis ternyata kadar IL-1 juga meningkat. IL-6 berperan pada
resorpsi tulang dengan jalan mengerahkan sel-sel osteoklas.

Proses metabolisme tulang

156
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

Tugas ujian dari dr. Diatri

Perdarahan Medula Spinalis


Arteri yang memperdarahi medula spinalis berasal dari 2 sumber:
A. Arteri Vertebralis, yang memberi cabang:
1. Arteri Spinalis Anterior (1 buah)
Berjalan di sepanjang garis tengah medula spinalis. Dalam perjalanannya ia diperkuat oleh 6
sampai 10 arteri radikularis anterior, yang berasal dari:
a. Pada segmen cervical dan 2 segmen pertama thoracal, disuplai oleh cabang yang berasal
dari cabang A. Subclavia.
b. Pada bagian mid-dorsal segmen T3 - T7 biasanya hanya menerima satu arteri radikularis
(bagian ini memiliki suplai darah yang jelek).
c. Pada bagian dorsolumbosacral segmen T8 – conus, mendapat suplai dari Arteri
Adamkiewicz, yang kira-kira 80 % berasal dari sisi kiri intercostal lumbal.
d. Kauda equina disuplai oleh arteri lumbal, iliolumbal, dan arteri sakral lateral dan medial.
2. Arteri Spinalis Posterior (1 pasang)
Berjalan secara transversal di permukaan posterior medula spinalis dan menerima aliran
darah tambahan dari 10 – 23 arteri radikularis posterior.
B. Arteri Segmentalis (servical, interkostal, lumbal, dan sakral) yang bercabang jadi arteri radikularis.
Tiap a. radikularis mengikuti n. spinalis, masuk melalui foramen intervertebralis dan bercabang
dua menjadi a. radikularis anterior yang lebih kecil dan a. radikularis posterior yang lebih besar.
Aliran darah utama pada segmen medula spinalis berasal dari a. radikularis, yang bergabung pada a.
spinalis anterior dan posterior. Arteri spinalis anterior mengurus dua pertiga bagian depan medula
spinalis dan a. spinalis posterior mengurus sepertiga belakang.

157
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

NON PAINFUL OPTHALMOPLEGIA


Brainstem:
A. Motor Neuron Disease  ALS: degeneratif  kortikobulber +
Tr.spinalis  UMN + LMN + Lower
Cranial Nerve.
GK: disartria, disfagia, ggn respirasi, atrofi otot, fasikulasi, hiperrefleksi.
B. Wernicke Encephalopathy  disertai dg nistagmus, ggn status mental
Ataxia.
Terjadi nekrosis hemoragik di midbrain &
talamus.
Semua ggn opthalmoplegia dg pemberian Thiamine injeksi cepat
membaik.
C. Brainstem Encephalitis  Anti GQ6 antibodi ditemukan pd daerah Paranodal nukleus otot –otot
penggerak bolamata dan sekitarnya. Menginhibisi pelepasan asetil
kolin dan “regrowth neuron “ dan bersifat sitotoksis.
GK : Stupor, opthalmoplegi, ataxia, refleks meningkat & LCS
pleisitosis.
Merupakan self limiting disease.

Subarachnoid Space:  infeksi akut, kronis.


 inflamasi
 Karsinoma.
 Demyelinating disease
GK : selain opthalmoplegi juga disertai nervus kranialis lain yg berada di
Subarachnoid space.

Basis Cranii:  tumor – tumor ( mis meningioma, chordoma, chordosarcoma dll)


GK : sakit kepala.

Sinus Cavernosus :  disertai lesi N V , N V2 , Horner sindrom.


 tumor
 Carotid Cavernosus Fistula

PAINFUL OPHTHALMOPLEGIAS
Lesi orbita

Lesi orbita yang dapat menimbulkan gejala painful ophthalmoplegia biasanya akan
memberikan gejala dan tanda yang mengarah kepada kelainan orbita seperti nyeri, pandangan kabur,
proptosis, mata merah dan pembengkakan mata. Kadang-kadang kelainan ini dapat disertai dengan
pseudo-sixth nerve palsy yang disebabkan karena fibrosis muskulus rektus medialis. Kelainan orbita
yang dapat menyebabkan painful ophthalmoplegia ini diantaranya adalah tumor, trauma dan
pseudotumor inflamasi (miositis orbita).
Trombosis oleh jamur mucormycosis dan aspergilus dapat mengenai apeks orbita dan sinus
kavernosus. Asal infeksi jamur ini biasanya berasal dari sunus atau daerah palatum rongga mulut dan
terjadi pada pasien diabetes atau kelainan immunosuppressed lainnya.

158
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

Sindrom sinus cavernosus. Lesi di daerah sinus cavernosus dapat mengenai salah satu atau
semua nervus motorik ocular, N.V1,2 dan serat saraf simpatis mata. Bila lesi berada di daerah anterior
maka akan dapat menimbulkan kerusakan n.optikus.
1. Tujuh puluh persen lesi sinus cavernosus adalah tumor (35%primer dan 35% metastasis).
Tumor primer yang tersering adalah adenoma hipofisis, meningioma, craniopharingioma dan
condroma. Penyebaran lokal dari karsinoma nasofaring merupakan salah satu penyebab
tersering sindroma sinus cavernosus sedangkan metastasis jauh dapat terjadi pada karsinoma
payudara, paru dan prostat. Limfoma dan multipel mieloma dapat terjadi pula. Tumor primer
lebih sering memberikan gejala oftalmoplegia progresif tanpa nyeri sedangkan tumor
metastasis memberikan gejala nyeri subakut.
2. Aneurisma intracavernosus. Aneurisma pada sinus cavernosus hanya 3% dari aneurisma
intrakranial, namun merupakan penyebab yang cukup sering dari sindroma sinus
cavernosus(20%). Terjadi pada pasien dewasa tua. Setengah kasus memberikan gejala
ophthalmoplegia progresif lambat tanpa nyeri, sedangkan setengahnya lagi timbul dengan
diplopia akut dengan nyeri. Nervus VI paling sering terkena pada kasus aneurisma, diikuti oleh
hilangnya sensasi nyeri dan raba di daerah yang dipersarafi n.V. Nervus III, n.IV, n.II dan
nervus simpatis mata (oculosympathetics) kadang terlibat.
3. Tolosa-Hunt syndrome. Biasanya timbul gejala akut painful ophthalmoplegia, dapat terjadi
pada semua usia dan kadang disertai dengan mual dan muntah yang berakhir sampai
beberapa hari atau minggu. Kelainan yang paling sering timbul adalah kelainan NIII dan VI,
diikuti oleh N.IV dan hipestesi didaerah N.V1. Pada sekitar 20% kasus dapat disertai dengan
lesi n.optikus. Sindrom horner, lesi sensorik N.V3 dan paresis NVII jarang terjadi. Proptosis,
chemosis dan edema periorbitajuga jarang ditemukan. Lesi patologis pada kelainan ini adalah
inflamasi granulomatosa nonkaseosa, dengan penyebab yang belum diketahui.
4. Fistula carotis-cavernosus. Merupakan kelainan komunikasi arteri-vena yang didapat. Ada 2
tipe. Tipe pertama adalah high-flow direct shunt antara a.carotis interna dan sinus cavernosus.
Tipe kedua adalah low-flow shunt antara sinus cavernosus dan cabang dura a.carotis interna
atau eksterna. Trauma kepala ataupun ruptur aneurisma intracavernosus akan menyebabkan
high-flowdirect fistula. Semua ini dapat menimbulkan komplikasi pada endarterectomy carotis,
gangliolisis trigeminal atau pada wanita muda dapat timbul defek vaskular bawaan. Gejala
timbul tiba-tiba, proptosis dengan nyeri pulsatil berat dengan edema periorbita dan kemosis.
Dapat juga timbul tinitus pulsatil yang dapat terdengar oleh pemeriksa seperti bruit pada mata.
Low-flow dural fistula dapat terjadi spontan, dimana 85% penderita berusia di atas 55 tahun
dan 90% penderita adalah wanita. Biasanya dapat terjadi mata merah dalam beberapa
minggu dengan nyeri yang minimal, diplopia , proptosis ringan yang dapat dianggap sebagai
suatu konjungtivitis. Disamping gejala motorik mata, dilatasi sklera dan vena konjungtiva
disertai eksopthalmus ringan dan peningkatan ringan tekanan intraokuler dapat timbul.

159
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

Penyebab lain
1. Diabetic opthalmoplegia. Pada penderita diabetes melitus, lesi tunggal nervus oculomotorius
(N.III), nervus trochlearis (N.IV) dan nervus abdusen (N.VI) dan terjadi dan pemeriksaan
pencitraan noninvasif seperti CT Scan atau MRI akan menunjukkan tidak ada abnormalitas. Lesi
N.III pada keadaan ini ditandai oleh pupillary sparing dengan atau tanpa nyeri. Nyeri yang timbul
biasanya cukup berat memberikan pemikiran kemungkinan adanya ekspansi aneurisma. Tidak
terlibatnya pupil biasanya menunjukkan adanya infark serabut saraf bagian tengah yang
menyisakan bagian tepi serabut parasimpatis yang berfungsi untuk konstriksi pupil. Karakteristik
lesi iskemik yang menyebabkan oftalmoplegia adalah mempunyai onset akut, usia pasien di atas
45 tahun, kadang pada pasien yang lebih muda dapat terjadi bila pasien sudah lama menderita
diabetes melitus. Nyeri yang menyertai biasnya nyeri tumpul yang terus menerus pada alis dan
mata ipsilateral selama 1 atau 2 minggu bahkan lebih. Progresifitas oftamoplegia eksternal selama
1-2 minggu timbul pada kurang lebih 2/3 kasus akut yang memiliki defisit inkomplet pada saat
evaluasi pertama kali. Progresifitas defisit yang melibihi waktu tersebut di atas memberikan
indikasi adanya kesalahan diagnosis inisial dan menunjukkan adanya suatu lesi desak ruang yang
menimbulkan kompresi NIII. Prognosis biasanya baik, dan dapat terjadi perbaikan spontan dalam
waktu 3 bulan pada 90% kasus. Kejadian berulang yang melibatkan NIII yang sama atau yang lain
dapat terjadi pada sekitar 15% pasien. Pada pasien diabetes, painful ophthalmoplegia dengan
eksoftalmus dan asidosis metabolik memerlukan perhatian khusu untuk menentukan adanya
kemungkinan infeksi jamur pada sinus paranasal, orbita atau sinus kavernosus oleh
mucormycosis. Diagnsosis biasanya ditegakkan dengan biopsi mukosa hidung. Kegagalan untuk
menegakkan diagnosis yang tepat dan memberikan terapi yang tepat dengan amfoterisin B serta
debridemen bedah jaringan nekrotik akan memberikan keluaran yang fatal.
2. Migren ophthalmoplegia
Ketiga nervus ocular motor dapat terkena, namun paresis n.III tunggal merupakan yang
paling sering terlibat.

3. Giant cell arteritis

160
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

Tumor Retrobulbar pada Dewasa


1. Massa Sinus Paranasal

Massa yang berkembang dalam sinus paranasal berpotensi berkembang ke ruang orbita dan
merupakan penyebab umum suatu lesi masa orbital. Lesi massa yang paling sering pada rongga
orbita yang berasal dari sinus adalah mukokel. Mukokel sering berasal dari obstruksi ostium sinus
yang mengakibatkan pembesaran sinus yang berisi cairan yang akhirnya dapat mengerosi melalui
dinding tulang orbita. Median usia dari kelainan ini adalah 50 tahun, walaupun dapat terjadi pada tiap
usia. Paling sering berasal dari sinus etmoidalis dan frontalis. Pasien memberi gambaran proptosis
unilateral dengan berpindahnya globus menjauhi massa, pembengkakan kelopak mata dan kadang-
kadang massa dapat teraba. Skening otak memberi gambaran massa yang homogen dan berbatas
tegas yang menyebar melalui defek tulang yang berhubungan dengan rongga sinus yang opak.
Neoplasma sinus paranasal jarang ditemukan, tetapi sering menyebar mengenai rongga orbita
bila terjadi. Neoplasma epitelial dan mesenkimal keduanya berkembang di sini. Tumor jinak cenderung
mendorong periorbita ke samping, sedangkan lesi maligna cenderung menginvasi periostium.
Keganasan yang paling sering adalah karsinoma sel skuamosa. Penyakit ini biasanya sudah lanjut
pada dua pertiga kasus. Gambaran ekstensi ke orbita menunjukkan prognosis yang buruk, terutama
bila melewati garis imajiner dari kantus medial melalui sudut mandibula (garis Ohngren). Keganasan
kelenjar dapat berasal dari kelenjar ludah minor atau dari lamina basalis epitel pernafasan.
Adenokarsinoma berasal dari sinus etmoid biasanya dihubungkan dengan pekerjaan sebagai tukang
kayu. Tumor kelenjar ludah biasanya adenokistik atau mukoepidermoid biasanya pada antrum.
Karsinoma adenoid kistik mempunyai kebiasaan untuk menyebar secara perineural melalui saraf
infraorbital dan sering diketahui menyebabkan invasi rongga orbita bilateral. Neoplasma yang invansif
lokal dapat bersumber dari neuroepitelium-estesioneuroblastoma olfaktori. Neoplasma jinak yang
sering adalah inverted papiloma. Tumor ini merupakan pertumbuhan jinak yang berasal dari dinding
nasal lateral pada regio meatus medial atau dari mukosa sinus. Tumor biasanya melibatkan sinus
etmoid dan maksila dengan pembesaran gradual melalui septum tulang dan dinding sinus

2. Tumor Kelenjar Air Mata

Pembesaran pada massa fosa lakrimalis mengakibatkan pembengkakan dan eritema yang
menunjukkan infeksi atau inflamasi kelenjar. Namun, perubahan posisi globus ke inferior dan medial
tanpa adanya tanda peradangan menunjukkan kecurigaan adanya proses neoplasma. Setengah
tumor lakrimalis adalah neoplasma epitelial, sedangkan setengah lainnya adalah kelainan
limfoproliferatif. Lesi limfoid meliputi hiperplasia limfoid jinak, limfoma maligna dan leukemia. Lesi
limfoid jarang mengakibatkan perubahan atau kerusakan tulang dan memberi gambaran pembersaran
yang mulus dari kelenjar. Neoplasma epitelial memberi gambaran lebih ireguler pada skening otak.
Termasuk didalamnya adalah adenoma pleomorfik (jinak), karsinoma kistik adenoid, adenokarsinoma,
karsinoma mukoepidermoid, dan karsinoma yang tidak dapat didiferensiasi.
Neoplasma epitelial primer dari kelenjar air mata jarang terjadi, di mana yang paling sering
adalah adenoma pleomorfik (tumor jinak campuran) yang memberi gejala proptosis tanpa nyeri
dengan penempatan globus di inferior dan medial.
Neoplasma epitelial ganas yang paling sering adalah karsinoma kistik adenoid. Dibandingkan
dengan tumor jinak campuran, neoplasma epitelial ganas akan memberi gambaran awitan proptosis
yang lebih progresif dan perubahan posisi globus.

3. Tumor limfoid

Tumor limfoid merupakan tumor orbital yang lebih sering muncul walaupun orbita tidak
mengandung kelenjar limfe atau vaskulatur limfatik. Limfoma orbital dapat merupakan penyakit primer
atau dihubungkan dengan penyakit sistemik. Walau limfoma sebagian besar terlokalisir pada rongga
orbita, banyak penderita mengalami limfoma sistemik dalam kurun tertentu. Timbulnya massa anterior
yang membesar perlahan yang mengakibatkan proptosis tanpa nyeri yang berlangsung antara minggu

161
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

hingga bulan. Gambaran lesi klasik adalah massa yang mulus, merah jambu-jingga (”salmon patch”)
dengan konjungtiva yang intak. Pencitraan CT memberi gambaran massa homogen dengan batas
yang jelas yang tidak merusak struktur sekitarnya atau tulang. Sebagian besar lesi adalah ekstrakonal
dan pada rongga orbita superior. Kelenjar lakrimalis dapat terkena namun pembesarannya seperti
bentuk semula kecuali merupakan tumor kelenjar lakrimalis primer. Untuk membuat diagnosis pasti
dilakukan biopsi yang cukup banyak dan harus dilakukan pemeriksaan imunohistokimia (jaringan
segar) dan potongan permanen (formalin)

4. Meningioma dan Schwannoma Orbita


Paling sering dijumpai pada dewasa dekade 4 hingga 7 dan jarang pada anak.

Abnormalitas membuka mata


Ptosis – insufisiensi membuka kelopak mata; dapat kongenital atau didapat
1. Ptosis kongenital – dapat unilateral atau bilateral, dan dapat dihubungkan dengan kelainan
kongenital okular atau orbital lainnya
 Fenomena jaw winking Marcus Gunn
 Paling umum adalah gerakan sinkinetik yang berhubungan dengan ptosis kongenital
 Pterigoid eksterna – sinkinesis levator palpebra: elevasi kelopak dengan gerakan mandibula
ke sisi yang berlawanan, menonjol keluar, atau membuka mulut yang lebar
 Pterigoid interna – sinkinesis levator: elevasi kelopak dengan menggeretakkan gigi
 Sindroma blefarospasme – triad: ptosis bilateral, telekantus, fimosis fisura orbitalis
 Anoftalmus (tidak ada mata)
 Hamartoma kelopak mata (contoh, kelopak berbentuk S akibat neurofibromatosis)
 Koeksistensi strabismus dan ambliopia
 Fibrosis kongenital dari otot ekstraokuler
 Kelemahan otot rektus superior (paresis elevator ganda)
2. Ptosis didapat
 Neurogenik
Lesi korteks temporal, oksipital unilateral atau frontal bilateral dapat menghasilkan ptosis
kortikal unilateral atau bilateral melalui pemutusan jaras supranukleus
Apraksia pembukaan kelopak mata: bentuk jarang ptosis kadang kadang dihubungkan
dengan penyakit ekstrapiramidal
Ptosis supranukleus dapat memberikan gambaran pada pasien dengan penyakit histerikal
atau fungsional
Inhibisi supranukleus paradoksikal dari tonus levator palpebra
Ptosis resultan dapat terisolasi atau berhubungan dengan abnormalitas gerakan mata
horizontal atau vertikal kongenital
Fenomena Marcus Gunn terbalik
Penutupan kelopak mata saat membuka mulut
Dengan gerakan menurunkan rahang bawah, terdapat inhibisi total levator palpebra dengan
ptosis
Lesi N III
Lesi jaras okulosimpatetik
Migrain oftalmoplegi
Sindroma Horner
Ptosis ringan, kurang dari 3 mm
Ptosis “upside-down”: relaksasi m tarsalis inferior

162
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

 Miogenik
1. Miastenia gravis
2. Oftalmoplegia eksternal progresif kronis
3. Distrofi miotonik
4. Botulisme
5. Ptosis yang diinduksi kortikosteroid
 Aponeurotik
 Traumatik
 Mekanikal
1. Tumor kelopak mata
2. Infiltrasi ke kelopak mata
3. Penggunaan lensa kontak
4. Blefarokalasis
5. Sikatriks
 Pseudoptosis
1. Mikroftalmia
2. Ptisis bulbi
3. Enoftalmus
4. Dermatokalasis
5. Hipotropia
6. Retraksi kelopak mata kontralateral

163
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

MENINGIOMA
Berdasarkan jenis selnya dapat dibedakan atas fibroblastic, sinkstisial, transisional, angioblastik,
papilari, rhabdoid.
- Fibroblastik : sel yang sempit dan panjang dalam lembaran, kadang ditemukan sel
psammoma
- Synctitial : sel mengingothelial, whorls, dan badan psamoma
- Transisional : gabungan fibroblastik dan sinktisial
- Angioblastik : pembuluh darah yang menebal, kompleks dan saling melibat, latar belakang
retikulin, kadang mengandung whorls, badan psamoma

Berdasarkan keganasannya, terbagi atas:


 Grade I: meningioma klasik
 Grade II: meningioma atipikal
 Grade III: meningioma anaplastik
 Grade IV: meningial sarkoma
Hubungan antara penderita meningioma dengan pemakaian kontrasepsi KB khususnya hormonal
adalah :
Pada pemakaian kontrasepsi hormonal biasanya pada perdarahan perifer dijumpai adanya
peningkatan hormon terutama estrogen sehingga akan meningkatkan pula reseptor estrogen
yang mana hal ini pada penderita meningioma juga didapatkan adanya peningkatan reseptor
hormon terutama estrogen.

Patogenesis Metastasis Ca. Cervix ke intrakranial


Metastasis Ca. Cervix ke intrakranial  sekitar 0,5-1,2 % kasus.
Penyebarannya secara hematogen/invasi langsung ke tulang, tergantung tingkah laku sel tumor,
respon imun pejamu dan embolisasi sel tumor. Penyebaran metastase juga dapat terjadi akibat
pengobatan kemoterapi, dimana obat kemoterapi dapat melemahkan sawar darah otak

KELAINAN NEURO-OPTHALMOLOGI PD PASIEN KEJANG


 Epileptic visual loss
 Gaze deviation  nistagmoid dengan komponen cepat kontralateral dan komponen lambat
menuju lesi
 Refleks pupil

STATUS EPILEPSI
Adanya dua serangan atau lebih yang berurutan tanpa pulihnya kesadaran diantara serangan,
atau adanya aktivitas serangan yang berlangsung terus menerus lebih dari 30 menit

REAKSI ANTIINFLAMASI – NEUROIMUNOLOGI  BLOOD BRAIN BARRIER


Metastasis Ca. Cervix ke intrakranial  sekitar 0,5-1,2 % kasus.
Penyebarannya secara hematogen/invasi langsung ke tulang, tergantung tingkah laku sel
tumor, respon imun pejamu dan embolisasi sel tumor. Penyebaran metastase juga dapat
terjadi akibat pengobatan kemoterapi, dimana obat kemoterapi dapat melemahkan
sawar darah otak

BEDA TREATABLE DAN CUREABLE


TREATABLE = dapat diobati
CUREABLE = dapat disembuhkan

164
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

OCULAR DISMETRI = SACCADIC HYPERMETRIA


Mata bergerak melewati target dan kemudian gerakan sakadik kembali untuk memfiksasi obyek.
Merupakan salah satu gejala disfungsi cerebellar

SKEW DEVIATION
Merupakan ketidakseimbagan vertikal pada mata, menetap. Merupakan paresis nervus IV dengan
head tilting (-). Sering terjadi dengan lesi FLM, terutama unilateral, tetapi mungkin terjadi pada lesi
brainstem. Biasanya mata yang lebih tinggi adalah pada sisi lesi. Merupakan gambaran interupsi input
otolithik. Bisa isolate/bisa juga tidak menetap “up and down gaze” tidak seperti paresis nervus IV atau
“double elevator palsies”
Oscillopsia
Oscillopsia: Oscillating vision. Swinging vision. In oscillopsia, objects seem to swing, move back and
forth, jerk, or wiggle. A classical language hybrid derived from the Latin oscillo, to swing, + the Greek
opsis, vision. Oscillopsia is caused either by a loss of the vestibulo-ocular reflex or by involuntary eye
movements (spontaneous or positional nystagmus). These in turn are caused by damage to the inner
ear, the nerves that connect the inner ear to the brain, or the brain structures to which the inner ear is
connected.

OFTALMODINAMOMETRI
ODM adalah jenis pemeriksaan penunjang khusus terdiri dari suatu pegas, penyerap beban
dengan ujung konveks, yang merupakan awal/penapisan sebelum melakukan pemeriksaan lain yang
bersifat invasif dan mahal, bersifat sederhana, mudah dan murah.
Tujuan ODM memperkirakan tekanan a. retina sentralis (sebenarnya tekanan intraluminal dari
a. Oftalmika) dengan menginduksi pulsasi a. Retina ketika tekanan eksterna diberikan pada bola mata.
Indikasi pemeriksaan ini :
1. Riwayat TIA, stroke karotis atau vertebro-basiler
2. nyeri kepala sesisi, frontal, orbita atau oksipital
3. perbedaan tekanan sistolik kanan dan kiri > 20 mmHg
4. bruit a. karotis atau sekitar orbita
5. meningkatnya pulsasi a. Temporalis superfisialis
6. cedera kepala/leher disertai gangguan sirkulasi darah
7. follow-up penderita pasca operasi endarterektomi karotis

Kontraindikasi:
1.Glaukoma
2. Cedera mata/pasca operasi mata ≤ 6 bulan
3. Inflamasi mata seperti koroiditis, uveitis
4. Miop tinggi
5. Perdarahan vitreus
6. Kelainan retina seperti ablasio, robek dan oklusi arteri sentralis retina
7. Anomali vaskuler dan tumor orbita
8. Gangguan irama jantung

Komplikasi:
1. Abrasi kornea
2. Kebutaan mata akibat penekanan terlalu lama sehingga timbul iskemi

Cara pemeriksaan:
- Pasien dalam posisi berbaring
- Mata pasien diberi midriasil 1% 1 tetes agar leber
- Diperlukan 1 orang untuk membantu membaca tekanan pada skala ODM

165
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

- Ujung alat ODM diletakkan tegak lurus pada bola mata melalui palpebra superior,
kemudian dilihat pulsasi arteri dengan oftalmoskop
- Tekanan dapat ditingkatkan dengan cara menekan bola mata menggunakan alat
ODM
- Pulsasi yang timbul pertama kali disebut diastolik
- Kemudian tekanan ditingkatkan
- Saat pulsasi hilang disebut sistolik
- Pemeriksaan dilakukan pada mata kanan dan kiri
- tekanan mata kanan dan kiri dibandingkan, perbedaan dianggap bermakna apabila:
- beda tekanan diastolik mata kiri dan kanan > 20%
- beda tekanan sistolik mata kiri dan kanan > 25%

Interpretasi pemeriksaan ini :


 peningkatan tekanan sistolik/diastolik yang bermakna, diduga adanya kelainan atau
sumbatan pada bagian distal a. Karotis interna (setelah bercabang ke a. Oftalmika)
 penurunan tekanan sistolik/diastolik yang bermakna menunjukkan adanya sumbatan
pada bagian proksimal a. Karotis interna (sebelum percabangan ke a. Oftalmika)
 pemeriksaan ODM yang normal tidak menyingkirkan kelainan a. karotis karena pada
sumbatan arteri yang belum berat atau kronik, terdapat kolateral dari cabang a.
Karotis eksterna sehingga memberikan hasil yang normal pada pemeriksaan ODM.
Jadi, penderita dengan gejala klinis penyakit emboli karotis dengan tidak ditemukannya kelainan ODM
tidak menyingkirkan penyakit ateromatosa karotis, demikian pula kelainan ODM tidak menyingkirkan
pemeriksaan angiografi bila operasi karotis dipertimbangkan.

HUBUNGAN UKURAN PUPIL DENGAN GANGGUAN KESADARAN

1. Pupil thalamik ( thalamic pupils )


Pupil sedikit lebih kecil dan reaktif, timbul pada stadium awal kompresi thalamus dengan awal
herniasi, mungkin karena interupsi jalur simpatis desendens.
2. Pupil dilatasi terfiksasi ( fixed dilated pupils )
Pupil lebih besar dari 7 mm dan tidak bereaksi dengan rangsang cahaya, biasanya akibat
kompresi N III sepanjang perjalanan dari mesensefalon sampai mata, namun juga terlihat
pada intoksikasi obat simpatomimetik atau antikolinergik. Penyebab tersering pada pasien
koma adalah herniasi transtentorial lobus temporal media dari massa supratentorial.
3. Pupil ukuran sedang terfiksasi ( fixed midsized pupils )
Pupil terfiksasi pada ukuran sekitar 5 mm, sebagai akibat kerusakan batang otak pada tingkat
mesensefalon.
4. Pupil pinpoin ( pinpoint pupils )
Berdiameter 1- 1,5 mm pada penderita koma biasanya menandakan overdosis opiat atau kerusakan
fokal pada tingkat pons. Pupil tidak reaktif. Juga disebabkan oleh keracunan organofosfat, akibat tetes
mata miotik, atau neurosifilis.
5. Pupil asimetris
Anisokoria dengan perbedaan 1 mm atau kurang normal ditemukan pada 20% populasi, pupil
berkonstriksi dengan ukuran yang sama dalam bereaksi terhadap cahaya, dan gerakan ekstraokuler
tidak terganggu. Sebaliknya, pupil yang berkonstriksi kurang cepat atau lebih cepat dari pasangannya
biasanya menunjukkan adanya lesi struktural yang mengenai mesensefalon atau N III.

Vaskularisasi sistem vestibuler


Sistem vestibuler terdiri dari labirin, saraf vestibularis dan jaras vestibularis sentral.

166
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

 Alat vestibuler terletak dalam labirin yang terdapat di telinga dalam. Bangunan ini diperdarahi
oleh a. labirinti yang merupakan cabang dari arteri serebelaris anterior inferior, cabang dari
arteri basilaris.
 Ganglion vestibularis (Scarpa) terdapat di dalam meatus acusticus internus. Serabut
perifernya membentuk hubungan dengan reseptor-reseptor alat vestibuler dan serabut-
serabut aferen membentuk nervus vestibularis yang masuk ke susunan saraf pusat pada
angulus ponto-cerebellaris dan berakhir pada nuclei vestibularis di daerah lateral dari
tegmentum yang merupakan lantai ventrikel keempat. Daerah ini diperdarahi oleh cabang-
cang arteri basilaris (cabang sirkumferensia longus). Sebagian kecil melalui corpus juxta
restiforme dan berakhir pada archicerebellum (lobulus floculo nodularis). Flokulus mendapat
suplai darah dari a. serebeli superior yang juga merupakan cabang dari a. basilaris.
 Representasi di korteks serebri. Meskipun fungsi sistem vestibuler terutama bekerja di daerah
batang otak, serebelum dan medula spinalis terdapat jaras yang jelas menuju ke korteks
serebri. Relay dalam thalamus terdapat di sekitar nukleus ventroposterior thalami. Di korteks
serebri terdapat proyeksi daerah vestibuler di girus temporalis superior. Daerah ini diperdarahi
oleh a. temporalis anterior, cabang dari a. serebri media.

Lokasi perdarahan intraserebral


 Putamen
 Nukleus kaudatus
 Talamus
 Lobar
 Intraventrikel
 Pons
 Serebelum

167
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

Optokinetik Nistagmus (OKN)

Gambar1. Pusat kontrol pergerakan mata. Tengah: Hubungan supranuklear dari frontal eye fields
(FEF) dan parieto-occipito-temporal (POT) junction ke superior colliculus (SC), rostral interstitial
nucleus of the medial longitudinal fasciculus (riMLF), dan paramedian pontine reticular formation
(PPRF). Kiri: jaras horizontal gaze. Kanan: jaras vertical gaze. LR (lateral rectus muscle), MR
(medial rectus muscle), interstitial nucleus of Cajal (INC), Posterior commissure (PC), vestibular
nuclei (VN), abduscence nucleus (VI).

 Nistagmus yang dibangkitkan oleh stimulus visual berulang yang melintasi lapang pandang.
 Merupakan refleks involunter
 Komponen lambatnya merupakan gerakan pursuit (mata bergerak mengikuti arah gerakan
objek), komponen cepatnya: gerakan sakadik dengan arah yang berlawanan. Gangguan
gerakan pursuit atau sakadik akan menyebabkan gangguan pada OKN.

Gambar 2. Pusat kontrol sakadik

168
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

Gambar 3. Pusat kontrol pursuit.

 Jaras yang mengontrol OKN berawal dari temporal tengah, medial superior temporal (MST)
dan area parietal, kemudian berlanjut ke traktus optikus asesorius dan nukleus dorsolateral
pontin. Selanjutnya ke nukleus vestibular medial baru kemudian ke nukleus okular motor.
 OKN asimetris merupakan karakteristik dari lesi di hemisfer posterior dalam terutama parietal.
OKN normal pada lesi yang terbatas pada lobus temporal atau oksipital. Sedangkan adanya
hemianopia yang disertai OKN yang asimetris menunjukkan lesi pada parietal dalam. Lesi di
batang otak yang mengganggu pergerakan mata juga akan mengganggu OKN tetapi tidak
disertai hemianopia.
 Pemeriksaan OKN dilakukan dengan meminta pasien untuk melihat tabung berbentuk silinder
dengan garis-garis vertikal hitam dan putih yang berputar. Pasien diminta melihat pada garis
hitam. Diperhatikan nistagmus yang muncul. Normal komponen lambat searah dengan
gerakan tabung dan komponen cepat berlawanan.
 Bila lesi di parietal kiri, pada gerakan tabung dari kanan ke kiri akan tampak OKN yang
berkurang.

Gambar 4. OKN dengan drum bergaris hitam putih secara horizontal (kiri) &
vertikal (kanan)

169
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

Akustik Neurinoma

Patologi
Akustik Neurinoma (AN) merupakan tumor primer otak yang cukup banyak ditemukan di daerah
infratentorial. Sekitar 8% dari semua tumor primer otak adalah schwannoma. Lokasi tersering berada
di cerebellopontine angle(CPA), dimana 90% diantaranya adalah akustik neurinoma dan hanya 10%
tumor dengan tipe histologik lainnya.
Akustik Neurinoma berasal dari saraf vestibularis dengan gambaran makroskopis berkapsul,
konsistensi keras, berwarna kekuningan kadang putih atau translusen dan bisa disertai komponen
kistik maupun perdarahan. AN diduga berasal dari titik di mana glial (central) nerve sheats bertransisi
menjadi sel Schwann dan fibroblast. Lokasi transisi ini (zona Obersteiner-Redlich) biasanya terletak di
dalam kanalis auditoris internus. Tumor akan tumbuh dalam kanalis auditoris internus dan
menyebabkan pelebaran diameter dan kerusakan dari bibir bawah porus. Selanjutnya AN akan
tumbuh dan masuk ke CPA, mendorong batang otak dan serebelum.
AN biasanya tumbuh lambat. Beberapa serial kasus AN dengan terapi konservatif didapatkan 40%
tumor tidak bertambah besar atau bahkan regresi selama periode observasi (Luetje et al. 1998;
Valvassori & Guzman 1989; Thomsen & Tos 1990; Selesnick & Johnson 1998). Kecepatan tumbuh
tumor ini rata-rata kurang dari 2 mm per tahun.

Gejala

Usia tersering ditemukannya tumor ini pada dekade ke lima dengan laki-laki sedikit lebih sering
dibandingkan perempuan.
Gejala klinis sangat tergantung pada ukuran tumor. Menurut Hardy et al. 1989 gejala AN yang
tersering adalah tuli perseptif unilateral (96%), ketidakseimbangan (77%), tinitus (71%), nyeri mastoid
atau otalgia (28%), wajah baal (7%) dan diplopia (7%).
Pasien dengan tuli perseptif unilateral atau bilateral asimetris atau unilateral tinitus yang tidak dapat
dijelaskan penyebabnya harus dieksplorasi untuk menyingkirkan AN. Salah satu tanda yang cukup
khas adalah menurunnya skor pada pemeriksaan speech discrimination yang tampak lebih jelas
dibandingkan pemeriksaan dengan pure tone audiometry. Salah satu bentuk manifestasi menurunnya
skor speech discrimination adalah kesulitan pasien dalam mendengarkan pembicaraan di telepon.
Biasanya pada pemeriksaan audiometri didapatkan hipakusis pada frekuensi tinggi (lebih dari 1kHz).
Ditemukannya tanda-tanda tersebut menunjukkan gangguan pendengaran disebabkan oleh lesi
retrokoklea dan merupakan indikasi untuk dilakukan pemeriksaan brainstem auditory evoked
responses. Hanya 5% pasien dengan AN memiliki pendengaran yang normal dan ini biasanya terjadi
bila ukuran tumor sangat kecil. Mekanisme yang pasti yang mendasari gangguan pendengaran pada
AN belum jelas benar. Diduga karena kompresi langsung pada N. koklearis, berkurangnya suplai
darah ke N. VIII atau ke koklea.
Disekuilibrium dan vertigo sering ditemukan pada tumor ini mengingat tumor ini memang berasal dari
N. Vestibularis. Insiden gejala ini berkorelasi dengan ukuran tumor. Meskipun demikian jika tumor
tumbuh lambat, defisit vestibuler ipsilateral juga akan muncul bertahap (lambat) sehingga
memungkinkan kompensasi dari input vestibuler kontralateral. Akibatnya manifestasi vertigo menjadi
tidak tampak jelas.
Tinitus ditemukan pada 70% pasien dengan AN. Seringkali bersifat persisten, high-pitched dan
ipsilateral tumor.
Nistagmus pada tumor CPA bisa berupa nistagmus spontan, posisional maupun optokinetik. Yang
tersering adalah nistagmus labirintin unilateral berupa nistagmus horisontal dengan komponen lambat
searah dengan lesi. Nistagmus ini dapat diinhibisi dengan fiksasi visual. Selain itu dapat pula
ditemukan Brun’s nistagmus yang merupakan nistagmus yang khas ditemukan pada lesi di CPA.
Nistagmus ini merupakan kombinasi antra gaze paretic nystagmus dan vestibuler nystagmus.
Meluasnya AN ke CPA menyebabkan kompresi nervus kranialis lainnya yang melewati sisterna ini. Ke
arah anterior tumor ini akan mendesak N. VII menyebabkan kelemahan otot wajah dan gangguan
pengecapan. Ekstensi ke rostral dapat mendesak N.V dan mengkompresi nervus ini di antara massa

170
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

tumor dan tentorium serebeli. Gejala dan tanda yang ditimbulkannya berupa hipestesi/anestesi daerah
wajah, otalgia dan menurunnya atau hilangnya refleks kornea. Sedangkan ekstensi ke kaudal dapat
mengkompresi nervus kranialis di foramen jugulare menyebabkan disfagia, disfonia dan pada proses
lanjut menimbulkan paralisis bulber. Dengan bertambahnya ukuran tumor, serebelum dan batang otak
juga akan terkompresi. Kompresi serebelum menyebabkan gait ataxia dan gangguan koordinasi.
Kompresi batang otak menimbulkan depresi pernapasan dan gejala long track seperti hemiparesis.
Efek pendesakan tumor ini juga dapat mengobstruksi ventrikel 4 sehingga terjadi hidrosefalus non
komunikan dan peningkatan tekanan intrakranial dengan manifestasi berupa sakit kepala, mual,
muntah, menurunnya ketajaman penglihatan dan diplopia. Peningkatan tekanan intrakranial
menyebabkan batang otak tertarik ke kaudal sehingga menekan N. VI yang melintasi apeks petrosus.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan tanda klinis serta gambaran radiologis. Sedangkan
diagnosis pasti dengan pemeriksaan histopatologi.
Karakteristik CT Scan pada AN berupa lesi hipo atau isodens yang menyangat kontras homogen
dengan posisi meatus auditoris internus di garis tengahnya. Secara radiologis tumor ini mirip dengan
meningioma. Akan tetapi terdapat beberapa perbedaan seperti: pada meningioma CPA tumor
biasanya hiperdens sebelum pemberian kontras dan letaknya terhadap meatus akustikus internus
tidak simetris seperti AN. Erosi dan pelebaran meatus akustikus internus biasanya dijumpai pada AN.
Sedangkan pada meningioma erosi ditemukan pada permukaan posterior dari piramid petrosus.
Perbedaan lain yang dapat dilihat adalah daerah batas antara tumor dan dura. Pada meningioma
tampak permukaan tumor yang melekat pada permukaan os petrosus cukup luas. Sedangkan pada
AN, sudut yang dibentuk antara tumor dengan os petrosus cukup tajam. Akibatnya pada AN bentuk
tumor biasanya bulat atau oval dan pada menigioma bentuknya semilunar atau hemisferik . Struktur
anatomi tulang akan tervisualisasikan dengan baik menggunakan CT Scan. Akan tetapi kelemahan CT
Scan untuk lesi di fossa posterior adalah adanya Hounsfield artefak (strek-like beam hardening) yang
berasal dari tulang petrosus yang mengganggu gambaran jaringan lunak disekitarnya.
MRI saat ini merupakan modalitas pencitraan pilihan untuk mendeteksi tumor intrakanalikuler.
Kebanyakan AN terlihat pada sekuens T1 non kontras tetapi tidak pada T2 karena tumor tampak
isointens sama dengan LCS. Pemberian kontras Gadolinium dapat meningkatkan kemampuan
mendeteksi tumor yang berukuran kecil. Pasca pemberian kontras akan tampak penyangatan.
Selain untuk membantu menegakkan diagnosis CT Scan dan MRI digunakan untuk mengevaluasi
ukuran tumor. Pulec et al (1971) mengklasifikasikan AN berdasarkan ukurannya: kecil
(intrakanalikuler), sedang (meluas melewati meatus internus tetapi kurang dari 2,5 cm) dan besar
(lebih dari 2,5 cm).

Penatalaksanaan
Dalam hal tatalaksana terdapat tiga strategi yang dapat digunakan yaitu observasi, radioterapi dan
bedah mikro.
Indikasi observasi berupa:
 Riwayat gejala auditori lama pada pasien dgn umur berapapun dan ukuran tumor berapapun
 Pasien usia tua dengan gejala ringan
 Tumor yang ditemukan insidentil saat CT-Scan
 Pilihan pasien

Indikasi radioterapi:

 Pasien usia tua dengan tumor yg bertambah besar ke intrakranial 2,5 cm atau kurang atau
munculnya gejala yang baru
 Sisa tumor atau rekuren setelah operasi subtotal
 Penyakit lain yang meningkatkan resiko operasi
 Pilihan pasien

Indikasi pembedahan:

171
MODUL 1 – Ketrampilan Klinik Dasar Psikiatri

Gejala yg baru atau bertambah berat


 Tumor yg bertambah besar selama observasi
 Tumor yg tumbuh kembali setelah operasi subtotal pada pasioen usia muda
 Tumor yg bertambah besar setelah radiosurgery

Terdapat tiga pendekatan pada pembedahan: translabirintin, suboksipital/retrosigmoid atau melalui


fossa media. Pemilihan tehnik operasi berdasarkan pada ukuran tumor, derajat gangguan
pendengaran, kemampuan mendengar telinga kontralateral serta keterampilan dari ahli bedah.
Keuntungan dari tehnik translabirin adalah nervus fasialis dapat segera diidentifikasi sejak awal
pembedahan sehingga resiko kerusakan nervus ini dapat dikurangi. Selain itu pada tehnik ini
serebelum tidak perlu diretraksi sehinggi resiko edema dapat dikurangi. Kerugian dari tehnik ini adalah
destruksi labirin menyebabkan ketulian.
Pada pendekatan dari fossa media, pembedahan dilakukan dari bagian atas kanalis auditoris internus
dan sisterna CPA. Dengan tehnik ini hannya tumor yang berukuran kecil (15-20 mm) saja yang dapat
diangkat. Selain itu kerugian lainnya, lobus temporal harus diretraksi sehingga membawa resiko
timbulnya serangan epilepsi.
Satu-satunya tehnik yang memungkinkan reseksi tumor radikal dan mempertahankan fungsi nervus
kranialis di CPA adalah dengan pendekatan suboksipital.

172

Anda mungkin juga menyukai