Anda di halaman 1dari 115

Laboratorium / SMF Ilmu Obstetri dan Ginekologi Tutorial Klinik

Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman

KEGAWATDARURATAN DALAM OBSTETRI

Oleh:
Amalia Rizkiannur Putri 1910017065
Cristian Bungin 1910017071
Mita Maulida Rifqiya F. 1910017062
Olga Fanny Tantiwi N. 1910017063

Pembimbing:
dr. Prima Deri Pella T., Sp,OG(K)

LABORATORIUM / SMF ILMU OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
MARET 2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penyusun panjatkan Tuhan Yang Maha Esa


atas berkat dan rahmat-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan
laporan Tutorial Klinik tentang “Kegawatdaruratan dalam Obstetri”.
Laporan ini disusun dalam rangka tugas Kepaniteraan Klinik di
Laboratorium Obstetri dan Ginekologi Rumah Sakit Abdul Wahab
Sjahranie Samarinda.

Dalam penulisan ini, penyusun juga ingin menghaturkan


banyak terima kasih kepada dr. Prima Deri Pella T., Sp,OG(K) atas
waktunya untuk membimbing penyusun di sela-sela kesibukannya.
Banyak ilmu yang penyusun dapat dari arahan beliau yang bisa
membantu dalam kehidupan penyusun.

Penyusun sadar bahwa masih banyak kekurangan dalam


laporan ini, oleh sebab itu penyusun mengharapkan pembaca dapat
memberi saran dan kritik yang dapat membangun demi perbaikan
laporan ini. Akhirnya, penyusun berharap agar laporan ini dapat
bermanfaat menambah wawasan dan pengetahuan tentang
kegawatdaruratan dalam obstetri dan menjadi bekal di masa
mendatang.

Samarinda, 16 Maret 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i

DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii

BAB 1 PENDAHULUAN ...................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang .................................................................................................. 1

1.2 Tujuan ..............................................................................................................1

1.2.1 Tujuan Umum ................................................................................................ 1

1.2.2 Tujuan Khusus................................................................................................ 1

1.3 Manfaat.............................................................................................................. 2

1.3.1 Manfaat Umum .............................................................................................. 2

1.3.2 Manfaat Bagi Pembaca................................................................................... 2

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 3

2.1 Abortus ..............................................................................................................3

2.2 Kehamilan Ektopik Terganggu (KET) ............................................................ 18

2.3 Mola Hidatidosa .............................................................................................. 24

2.4 Plasenta Previa ................................................................................................ 36

2.5 Solusio Plasenta............................................................................................... 42

2.6 Atonia Uteri ..................................................................................................... 49

2.7 Retensio Plasenta............................................................................................. 51

2.8 Rest Plasenta/Sisa Plasenta ............................................................................. 53

2.9 Robekan Jalan Lahir ........................................................................................ 54

2.10 Inversio Uteri................................................................................................. 57

2.11 Perdarahan karena Gangguan Pembekuan Darah ......................................... 60

2.12 Preeklampsia-Eklampsia ............................................................................... 60

2.13 Ruptur Uteri................................................................................................... 83

2.14 Distosia .......................................................................................................... 92

ii
2.15 Infeksi Puerperalis ....................................................................................... 104

2.16 Prolaps Tali Pusat ........................................................................................ 105

BAB 3 PENUTUP .............................................................................................. 109

3.1 Kesimpulan.................................................................................................... 109

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 110

iii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kegawatdaruratan obstetri disebabkan oleh kasus obstetri yang apabila
tidak tertangani dengan segera dapat menyebabkan kematian bagi ibu dan janin.
Penyebab kematian ibu secara garis besar dapat disebabkan oleh perdarahan,
infeksi, preeklampsia/eklampsia, dan distosia.
Kasus perdarahan dapat terjadi selama masa kehamilan, persalinan,
hingga nifas, misalnya abortus, kehamilan ektopik, mola hidatidosa, plasenta
previa, solusio plasenta, atonia uteria, retensio plasenta, rest plasenta, robekan
jalan lahir, inversio uteri, dan perdarahan akibat gangguan pembekuan darah.
Begitupula dengan kasus infeksi dan preeclampsia/eklampsia dapat terjadi
selama masa kehamilan, persalinan, hingga nifas. Sedangkan kasus distosia
hanya berlangsung saat persalinan.
Kegawatdaruratan obstetri seringkali terjadi secara tiba-tiba dan bila
tidak ditangani segera dapat berakibat buruk bagi ibu dan janin. Dokter sebagai
tenaga medis diharapkan mampu mengidentifikasi kasus kegawatdaruratan
obstetri hingga melakukan tatalaksananya sesuai dengan kompetensi untuk
menyelamatkan ibu dan janin. Berdasarkan uraian tersebut, maka disusunlah
laporan tutorial klinik ini sebagai referensi bagi dokter muda mengenai
kegawatdaruratan obstetri.

1.2 Tujuan

1.2.1 Tujuan Umum


Tujuan umum dari penulisan ini adalah menambah wawasan mengenai
kegawatdaruratan dalam obstetri.

1.2.2 Tujuan Khusus


Mengetahui teori tentang kasus-kasus kegawatdaruratan obstetric, yaitu
abortus, kehamilan ektopik, mola hidatidosa, plasenta previa, solusio plasenta,
atonia uteri, retensio plasenta, rest plasenta, robekan jalan lahir, inversio uteri,

1
perdarahan karena gangguan pembekuan darah, preeklampsia/eklampsia, ruptur
uteri, distosia, infeksi puerperalis, dan prolaps tali pusat.

1.3 Manfaat

1.3.1 Manfaat Umum


Memperkaya khasanah ilmiah ilmu pengetahuan dalam bidang
kedokteran terutama di bidang Obstetri dan Ginekologi, khususnya
kegawatdaruratan dalam obstetri.

1.3.2 Manfaat Bagi Pembaca


Makalah ini diharapkan menjadi sumber pengetahuan bagi pembaca
mengenai kasus kegawatdaruratan obstetri.

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Abortus
A. Definisi
Abortus adalah keluarnya hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup diluar
kandungan pada umur kehamilan < 20 minggu dengan berat badan janin < 500 gr.
B. Epidemiologi
Rata-rata terjadi 114 kasus aborsi per jam. Sebagian besar studi
menyatakan kejadian abortus antara 15-20% dari semua kehamilan. Kalau dikaji
lebih jauh abortus sebenarnya bisa mendekati 50%. Hal ini dikarenakan tingginya
angka chemical pregnancy loss yang tidak bisa diketahui pada 2-4 minggu setelah
konsepsi.
WHO memperkirakan di seluruh dunia, dari 46 juta kelahiran pertahun
terdapat 20 juta kejadian abortus. Sekitar 13% jumlah dari total kematian ibu di
seluruh dunia diakibatkan oleh komplikasi abortus, 800 wanita diantaranya
meninggal karena komplikasi abortus dan sekurangnya 95% (19 dari setiap 20
abortus) di antaranya terjadi di negara berkembang. Di Amerika Serikat angka
kejadian abortus spontan berkisar antara 10-20% kehamilan. Di Rumah Sakit
Umum Daerah (RSUD) Banyumas Unit II Purwekerto, angka kejadian abortus
pada tahun 2007 sebesar 23,7%, pada tahun 2008 meningkat menjadi 30,7%. Di
Rumah Sakit dr. Hasan Sadikin Bandung, prevalensi abortus tercatat sebesar 8-
12%.
C. Klafisikasi
Klasifikasi menurut terjadinya abortus adalah sebagai berikut :
1. Abortus spontan adalah keluarnya hasil konsepsi tanpa intervensi
medis maupun mekanis.
2. Abortus buatan, Abortus provocatus (disengaja, digugurkan), yaitu:
a. Abortus buatan menurut kaidah ilmu (Abortus provocatus
artificialis atau abortus therapeuticus). Indikasi abortus untuk
kepentingan ibu, misalnya : penyakit jantung, hipertensi esential,
dan karsinoma serviks. Keputusan ini ditentukan oleh tim ahli

3
yang terdiri dari dokter ahli kebidanan, penyakit dalam dan
psikiatri, atau psikolog
b. Abortus buatan kriminal (Abortus provocatus criminalis) adalah
pengguguran kehamilan tanpa alasan medis yang sah atau oleh
orang yang tidak berwenang dan dilarang oleh hukum.

Klasifikasi Menurut gambaran klinis abortus dapat dibedakan kepada:


1. Abortus imminens yaitu abortus tingkat permulaan (threatened
abortion) dimana terjadi perdarahan pervaginam, Abortus iminens
didiagnosa bila seseorang wanita hamil kurang daripada 20 minggu
mengeluarkan darah sedikit pada vagina. Perdarahan dapat berlanjut
beberapa hari atau dapat berulang, dapat pula disertai sedikit nyeri
perut bawah atau nyeri punggung bawah seperti saat menstruasi.
ostium uteri masih tertutup dan hasil konsepsi masih baik dalam
kandungan.

Gambar 1. Abortus Imminen


2. Abortus insipiens (inevitable abortion) yaitu abortus yang sedang
mengancam dimana serviks telah mendatar dan ostium uteri telah
membuka, akan tetapi hasil konsepsi masih dalam kavum uteri.
Abortus insipiens didiagnosis apabila pada wanita hamil ditemukan
perdarahan banyak, kadang-kadang keluar gumpalan darah yang
disertai nyeri karena kontraksi rahim kuat dan ditemukan adanya
dilatasi serviks sehingga jari pemeriksa dapat masuk dan ketuban
dapat teraba. Kadang-kadang perdarahan dapat menyebabkan
kematian bagi ibu dan jaringan yang tertinggal dapat menyebabkan
infeksi sehingga evakuasi harus segera dilakukan. Janin biasanya

4
sudah mati dan mempertahankan kehamilan pada keadaan ini
merupakan kontraindikasi.

Gambar 2. Abortus Insipien


3. Abortus inkomplit (incomplete abortion) yaitu jika hanya sebagian
hasil konsepsi yang dikeluarkan, yang tertinggal adalah desidua atau
plasenta. Perdarahan biasanya terus berlangsung, banyak, dan
membahayakan ibu. Sering serviks tetap terbuka karena masih ada
benda di dalam rahim yang dianggap sebagai benda asing (corpus
alienum). Oleh karena itu, uterus akan berusaha mengeluarkannya
dengan mengadakan kontraksi sehingga ibu merasakan nyeri, namun
tidak sehebat pada abortus insipiens.

Gambar 3. Abortus Inkomplit


4. Abortus komplit (complete abortion) artinya seluruh hasil konsepsi
telah keluar (desidua atau fetus), sehingga rongga rahim kosong.
Perdarahan segera berkurang setelah isi rahim dikeluarkan dan
selambat-lambatnya dalam 10 hari perdarahan berhenti sama sekali
karena dalam masa ini luka rahim telah sembuh dan epitelisasi telah
selesai. Serviks juga dengan segera menutup kembali. Kalau 10 hari
setelah abortus masih ada perdarahan juga, abortus inkompletus atau
endometritis pasca abortus harus dipikirkan.

5
Gambar 4. Abortus Komplit
5. Missed abortion adalah abortus dimana fetus atau embrio telah
meninggal dalam kandungan sebelum kehamilan 20 minggu, akan
tetapi hasil konsepsi seluruhnya masih tertahan dalam kandungan
selama 6 minggu atau lebih.

Gambar 5. Missed Abortion


6. Abortus habitualis (recurrent abortion) adalah keadaan terjadinya
abortus tiga kali berturut-turut atau lebih. Etiologi abortus ini adalah
kelainan dari ovum atau spermatozoa, dimana sekiranya terjadi
pembuahan, hasilnya adalah patologis. Selain itu, disfungsi tiroid,
kesalahan korpus luteum dan kesalahan plasenta yaitu tidak
sanggupnya plasenta menghasilkan progesterone sesudah korpus
luteum atrofis juga merupakan etiologi dari abortus habitualis.
7. Abortus infeksius (infectious abortion) adalah abortus yang disertai
infeksi genital.
8. Abortus septik (septic abortion) adalah abortus yang disertai infeksi
berat dengan penyebaran kuman ataupun toksinnya kedalam peredaran
darah atau peritonium.
D. Etiologi
1. Faktor genetik

6
Sekitar 5 % abortus terjadi karena faktor genetik. Paling sering
ditemukannya kromosom trisomi dengan trisomi 16. Penyebab yang
paling sering menimbulkan abortus spontan adalah abnormalitas
kromosom pada janin. Lebih dari 60% abortus spontan yang terjadi
pada trimester pertama menunjukkan beberapa tipe abnormalitas
genetik. Abnormalitas genetik yang paling sering terjadi adalah
aneuploidi (abnormalitas komposisi kromosom) contohnya trisomi
autosom yang menyebabkan lebih dari 50% abortus spontan.
Poliploidi menyebabkan sekitar 22% dari abortus spontan yang terjadi
akibat kelainan kromosom. Sekitar 3-5% pasangan yang memiliki
riwayat abortus spontan yang berulang salah satu dari pasangan
tersebut membawa sifat kromosom yang abnormal. Identifikasi dapat
dilakukan dengan pemeriksaan kariotipe dimana bahan pemeriksaan
diambil dari darah tepi pasangan tersebut. Tetapi tentunya
pemeriksaan ini belum berkembang di Indonesia dan biayanya cukup
tinggi.
2. Faktor anatomi
Faktor anatomi kogenital dan didapat pernah dilaporkan timbul
pada 10-15 % wanita dengan abortus spontan yang rekuren.
a. Lesi anatomi kogenital yaitu kelainan duktus Mullerian (uterus
bersepta). Duktus mullerian biasanya ditemukan pada keguguran
trimester kedua.
b. Kelainan kogenital arteri uterina yang membahayakan aliran
darah endometrium.
c. Kelainan yang didapat misalnya adhesi intrauterin (synechia),
leimioma, dan endometriosis.
Abnormalitas anatomi maternal yang dihubungkan dengan
kejadian abortus spontan yang berulang termasuk inkompetensi
serviks, kongenital dan defek uterus yang didapatkan (acquired).
Malformasi kongenital termasuk fusi duktus Mulleri yang inkomplit
yang dapat menyebabkan uterus unikornus, bikornus atau uterus
ganda. Defek pada uterus yang acquired yang sering dihubungkan

7
dengan kejadian abortus spontan berulang termasuk perlengketan
uterus atau sinekia dan leiomioma. Adanya kelainan anatomis ini
dapat diketahui dari pemeriksaan ultrasonografi (USG),
histerosalfingografi (HSG), histeroskopi dan laparoskopi (prosedur
diagnostik). Pemeriksaan yang dapat dianjurkan kepada pasien ini
adalah pemeriksaan USG dan HSG. Dari pemeriksaan USG sekaligus
juga dapat mengetahui adanya suatu mioma terutama jenis submukosa.
Mioma submukosa merupakan salah satu faktor mekanik yang dapat
mengganggu implantasi hasil konsepsi. Jika terbukti adanya mioma
pada pasien ini maka perlu dieksplorasi lebih jauh mengenai keluhan
dan harus dipastikan apakah mioma ini berhubungan langsung dengan
adanya ROB pada pasien ini. Hal ini penting karena mioma yang
mengganggu mutlak dilakukan operasi.
3. Faktor endokrin:
a. Faktor endokrin berpotensial menyebabkan aborsi pada sekitar
10-20 % kasus.
b. Insufisiensi fase luteal ( fungsi corpus luteum yang abnormal
dengan tidak cukupnya produksi progesteron).
c. Hipotiroidisme, hipoprolaktinemia, diabetes dan sindrom
polikistik ovarium merupakan faktor kontribusi pada keguguran.
Kenaikan insiden abortus bisa disebabkan oleh hipertiroidismus,
diabetes melitus dan defisisensi progesteron. Pengendalian
glukosa yang tidak adekuat dapat menaikkan insiden abortus.
Defisiensi progesteron karena kurangnya sekresi hormon
tersebut darikorpus luteum atau plasenta, mempunyai kaitan
dengan kenaikan insiden abortus. Karena progesterone berfungsi
mempertahankan desidua, defisiensi hormone tersebut secara
teoritis akan mengganggu nutrisi pada hasil konsepsi dan
dengan demikian turut berperan dalam peristiwa kematiannya.
4. Faktor infeksi
Infeksi termasuk infeksi yang diakibatkan oleh TORC
(Toksoplasma, Rubella,Cytomegalovirus) dan malaria. Infeksi

8
intrauterin sering dihubungkan dengan abortus spontan berulang.
Organisme-organisme yang sering diduga sebagai penyebab antara
lain Chlamydia, Ureaplasma, Mycoplasma, Cytomegalovirus, Listeria
monocytogenes dan Toxoplasma gondii. Infeksi aktif yang
menyebabkan abortus spontan berulang masih belum dapat dibuktikan.
Namun untuk lebih memastikan penyebab, dapat dilakukan
pemeriksaan kultur yang bahannya diambil dari cairan pada servikal
dan endometrial.
5. Faktor imunologi
Terdapat antibody kardiolipid yang mengakibatkan pembekuan
darah dibelakang ari-ari sehingga mengakibatkan kematian janin
karena kurangnya aliran darah dari ari-ari tersebut. Faktor imunologis
yang telah terbukti signifikan dapat menyebabkan abortus spontan
yang berulang antara lain: antibody antinuklear, antikoagulan lupus
dan antibodi cardiolipin. Adanya penanda ini meskipun gejala klinis
tidak tampak dapat menyebabkan abortus spontan yang berulang.
Inkompatibilitas golongan darah A, B, O, dengan reaksi antigen
antibodi dapat menyebabkan abortus berulang, karena pelepasan
histamine mengakibatkan vasodilatasi dan peningkatan fragilitas
kapiler.
6. Penyakit-penyakit kronis yang melemahkan
Pada awal kehamilan, penyakit-penyakit kronis yang melemahkan
keadaan ibu, misalnya penyakit tuberkulosis atau karsinomatosis
jarang menyebabkan abortus, sebaliknya pasien penyakit tersebut
sering meninggal dunia tanpa melahirkan. Adanya penyakit kronis
(diabetes melitus, hipertensi kronis, penyakit liver/ ginjal kronis) dapat
diketahui lebih mendalam melalui anamnesa yang baik. Penting juga
diketahui bagaimana perjalanan penyakitnya jika memang pernah
menderita infeksi berat, seperti apakah telah diterapi dengan tepat dan
adekuat. Untuk eksplorasi kausa, dapat dikerjakan beberapa
pemeriksaan laboratorium seperti pemeriksaan gula darah, tes fungsi
hati dan tes fungsi ginjal untuk menilai apakah ada gangguan fungsi

9
hepar dan ginjal atau diabetes melitus yang kemudian dapat
menimbulkan gangguan pada kehamilan seperti persalinan prematur.
7. Faktor Nutrisi
Malnutrisi umum yang sangat berat memiliki kemungkinan paling
besar menjadi predisposisi abortus. Meskipun demikian, belum
ditemukan bukti yang menyatakan bahwa defisisensi salah satu/
semua nutrien dalam makanan merupakan suatu penyebab abortus
yang penting.
8. Obat-obat rekreasional dan toksin lingkungan.
Peranan penggunaan obat-obatan rekreasional tertentu yang
dianggap teratogenik harus dicari dari anamnesa seperti tembakau dan
alkohol, yang berperan karena jika ada mungkin hal ini merupakan
salah satu yang berperan.
9. Faktor psikologis.
Dibuktikan bahwa ada hubungan antara abortus yang berulang
dengan keadaan mental akan tetapi belum dapat dijelaskan sebabnya.
Yang peka terhadap terjadinya abortus ialah wanita yang belum
matang secara emosional dan sangat penting dalam menyelamatkan
kehamilan. Usaha-usaha dokter untuk mendapat kepercayaan pasien,
dan menerangkan segala sesuatu kepadanya, sangat membantu. Pada
penderita ini, penyebab yang menetap pada terjadinya abortus spontan
yang berulang masih belum dapat dipastikan. Akan lebih baik bagi
penderita untuk melakukan pemeriksaan lengkap dalam usaha mencari
kelainan yang mungkin menyebabkan abortus yang berulang tersebut,
sebelum penderita hamil guna mempersiapkan kehamilan yang
berikutnya.
10. Faktor trauma
Trauma abdominal yang berat dapat menyebabkan terjadinya
abortus yang yang diakibatkan karena adanya perdarahan, gangguan
sirkulasi maternoplasental, dan infeksi. Namun secara statistik, hanya
sedikit insiden abortus yang disebabkan karena trauma
E. Patologi

10
Abortus biasanya disertai dengan perdarahan di dalam desidua basalis dan
perubahan nekrotik di dalam jaringan-jaringan yang berdekatan dengan tempat
perdarahan. Ovum yang terlepas sebagian atau seluruhnya dan mungkin menjadi
benda asing di dalam uterus sehingga merangsang kontraksi uterus dan
mengakibatkan pengeluaran janin.
Pada kehamilan kurang dari 8 minggu, hasil konsepsi biasanya
dikeluarkan seluruhnya, karena vili koreales belum menembus desidua terlalu
dalam, sedangkan pada kehamilan 8 sampai 14 minggu, telah masuk agak tinggi,
karena plasenta tidak dikeluarkan secara utuh sehingga banyak terjadi perdarahan.
Pada kehamilan 14 minggu keatas, yang umumnya bila kantong ketuban pecah
maka disusul dengan pengeluaran janin dan plasenta yang telah lengkap terbentuk.
Perdarahan tidak banyak terjadi jika plasenta terlepas dengan lengkap.
Hasil konsepsi pada abortus dikeluarkan dalam berbagai bentuk. Ada
kalanya janin tidak tampak didalam kantong ketuban yang disebut blighted ovum,
mungkin pula janin telah mati lama disebut missed abortion. Apabila mudigah
yang mati tidak dikeluarkan dalam waktu singkat, maka ovum akan dikelilingi
oleh kapsul gumpalan darah, isi uterus dinamakan mola kruenta. Bentuk ini
menjadi mola karneosa apabila pigmen darah diserap sehingga semuanya tampak
seperti daging.
Kemungkinan lain yang terjadi apabila janin yang meninggal tidak
dikeluarkan dari uterus yaitu terjadinya maserasi, kulit terkupas, tengkorak
menjadi lembek, dan seluruh janin berwarna kemerah-merahan.
F. Gejala Klinis Abortus
Penegakan diagnosis dapat dilihat berdasarkan gejala klinis dan
menyesuaikan pada jenis abortus dengan pemeriksaan dengan inspeksi dan
bimanual vagina. Gejala klinis abortus meliputi :
1. Perdarahan pervaginam dari bercak hingga berjumlah banyak

2. Perut nyeri dan kaku

3. Pengeluaran sebagian produk konsepsi

4. Serviks dapat tertutup maupun terbuka

5. Ukuran uterus lebih kecil dari yang seharusnya


11
G. Diagnosis Banding
1. Kehamilan Ektopik Terganggu : nyeri lebih hebat dibandingkan
abortus.
2. Mola Hidatidosa : uterus biasanya lebih besar daripada lamanya
anmenore dan muntah lebih sering.
3. Kehamilan dengan kelainan serviks seperti karsinoma servisi uteri,
polipus uteri, dan sebagainya
H. Penatalaksanaan
1. Tatalaksana Umum
a. Lakukan penilaian secara cepat mengenai keadaan umum ibu
termasuk tanda-tanda vital (nadi, tekanan darah, pernapasan,
suhu).
b. Periksa tanda-tanda syok (akral dingin, pucat, takikardi, tekanan
sistolik <90 mmHg). Jika terdapat syok, lakukan tatalaksana
awal syok. Jika tidak terlihat tanda-tanda syok, tetap pikirkan
kemungkinan tersebut saat penolong melakukan evaluasi
mengenai kondisi ibu karena kondisinya dapat memburuk
dengan cepat.
c. Bila terdapat tanda-tanda sepsis atau dugaan abortus dengan
komplikasi, berikan kombinasi antibiotika sampai ibu bebas
demam untuk 48 jam:
i. Ampicillin 2 g IV/IM kemudian 1 g diberikan setiap 6 jam
ii. Gentamicin 5 mg/kgBB IV setiap 24 jam
12
iii. Metronidazol 500 mg IV setiap 8 jam
iv. Segera rujuk ibu ke rumah sakit .
v. Semua ibu yang mengalami abortus perlu mendapat
dukungan emosional dan konseling kontrasepsi pasca
keguguran.
vi. Lakukan tatalaksana selanjutnya sesuai jenis abortus.

2. Tatalaksana Khusus
a. Abortus Imminens
i. Pertahankan kehamilan
ii. Tidak perlu pengobatan khusus
iii. Jangan melakukan aktivitas fisik berlebihan atau
berhubungan seksual
iv. Jika perdarahan berhenti, pantau kondisi ibu selanjutnya
pada pemeriksaan antenatal termasuk pemantauan kadar Hb
dan USG panggul serial setiap 4 minggu. Lakukan
penilaian ulang bila perdarahan terjadi lagi.
v. Jika perdarahan tidak berhenti, nilai kondisi janin dengan
USG. Nilai kemungkinan adanya penyebab lain.
vi. Tidak perlu terapi hormonal (estrogen atau progestin) atau
tokolitik (salbutamol atau indometasin) karena obat ini
tidak dapat mencegah abortus.
vii. Bila reaksi kehamilan 2 kali berturut-turut negatif, maka
sebaiknya uterus dikosongkan (kuret)
b. Abortus Insipiens
i. Lakukan konseling untuk menjelaskan kemungkinan risiko
dan rasa tidak nyaman selama tindakan evakuasi, serta
memberikan informasi mengenai kontrasepsi
pascakeguguran.
ii. Jika usia kehamilan < 16 minggu: lakukan evaluasi isi
uterus. Jika evakuasi : Lakukan konseling untuk
menjelaskan kemungkinan risiko dan rasa tidak nyaman

13
selama tindakan evakuasi, serta memberikan informasi
mengenai kontrasepsi pascakeguguran.
iii. Jika usia kehamilan < 16 minggu: lakukan evakuasi isi
uterus dengan aspirasi vakum manual (AVM). Jika
evakuasi tidak dapat dilakukan segera:
- Berikan Ergometrin 0,2 mg IM (dapat diulang 15 menit
kemudian bila perlu) atau Misoprostol 400 mg per oral
dan bila masih diperlukan dapat diulang setelah 4 jam
jika perlu.
- Segera lakukan persiapan untuk pengeluaran hasil
konsepsi dari uterus.
iv. Jika usia kehamilan > 16 minggu:
- Tunggu pengeluaran hasil konsepsi secara spontan dan
spontan kemudian dilakukan evakuasi uterus dengan
AVM.
- Bila perlu, berikan Induksi oksitosin 20 unit dalam 500
ml NS atau RL mulai 8 tetes sampai 40 tetes/ menit,
sesuai kondisi kontraksi uterus sampai terjadi
pengeluaran hasil konsepsi.
- Segera lakukan persiapan untuk pengeluaran hasil
konsepsi dari uterus.
v. Lakukan pemantauan pasca tindakan setiap 30 menit
selama 2 jam. Bila kondisi ibu baik, pindahkan ibu ke ruang
rawat.
vi. Lakukan pemeriksaan jaringan secara makroskopik dan
kirimkan untuk pemeriksaan patologi ke laboratorium.
vii. Lakukan evaluasi tanda vital, perdarahan pervaginam, tanda
akut abdomen, dan produksi urin setiap 6 jam selama 24
jam, Periksa kadar hemoglobin setelah 24 jam. Bila hasil
pemantauan baik dan kadar Hb >8 g/dl, ibu dapa
diperbolehkan pulang.
c. Abortus inkomplit

14
i. Lakukan konseling.
ii. Jika perdarahan ringan atau sedang dan kehamilan usia
kehamilan kurang dari 16 minggu, gunakan jari atau forsep
cincin untuk mengeluarkan hasil konsepsi yang mencuat
dari serviks.
iii. Jika perdarahan berat dan usia kehamilan kurang dari 16
minggu, lakukan evakuasi isi uterus. Aspirasi vakum
manual (AVM) adalah metode yang dianjurkan. Kuret
tajam sebaiknya hanya dilakukan bila AVM tidak tersedi.
Jika evakuasi tidak dapat segera dilakukan, berikan
ergometrin 0,2 mg IM (dapat diulang 15 menit kemudian
bila perlu).
iv. Jika usia kehamilan lebih dari 16 minggu, berikan infus 40
IU oksitosin dalam 1 liter NaCl 0,9% atau Ringer Laktat
dengan kecepatan 40 tetes per menit untuk membantu
pengeluaran hasil konsepsi.
v. Lakukan evaluasi tanda vital pasca tindakan setiap 30 menit
selama 2 jam. Bila kondisi ibu baik, pindahkan ibu ke ruang
rawat.
vi. Lakukan pemeriksaan jaringan secara makroskopik dan
kirimkan untuk pemeriksaan patologi ke laboratorium.
vii. Lakukan evaluasi tanda vital, perdarahan pervaginam, tanda
akut abdomen, dan produksi urin setiap 6 jam selama 24
jam. Periksa kadar hemoglobin setelah 24 jam. Bila hasil
pemantauan baik dan kadar Hb >8 g/dl, ibu dapat
diperbolehkan pulang.
d. Abortus komplit
i. Tidak diperlukan evakuasi lagi.
ii. Lakukan konseling untuk memberikan dukungan emosional
dan menawarkan kontrasepsi pasca keguguran.
iii. Observasi keadaan ibu.

15
iv. Apabila terdapat anemia sedang, berikan tablet sulfas
ferosus 600 mg/ hari selama 2 minggu, jika anemia berat
berikan transfusi darah.
v. Evaluasi keadaan ibu setelah 2 minggu.
e. Abortus Habitualis
i. Pada serviks inkompeten terapinya operatif Shirodkar atau
Mc Donald (cervical cerclage).
ii. Pengobatan pada kelainan endometrium pada abortus
habitualis lebih besar hasilnya jika dilakukan sebelum ada
konsepsi daripada sesudahnya.
f. Abortus Infeksious
i. Bila perdarahan banyak, berikan transfusi darah dan cairan
yang cukup
ii. Berikan antibiotika yang cukup dan tepat (buat
pemeriksaan pembiakan dan uji kepekaan obat)
- Berikan suntikan penisilin 1.000.000 satuan tiap 6 jam
- Berikan suntikan streptomisin 500mg setiap 12 jam
- Atau antibiotika spektrum luas lainnya.
iii. Bila tetap terjadi perdarahan banyak setelah 1-2 hari
lakukan dilatasi dan kuretase untuk mengeluarkan hasil
konsepsi
g. Abortus Septik
Penatalaksanaan sama dengan abortus infeksious, hanya
dosis dan jenis antibiotika ditinggikan dan dipilih jenis yang
tepat sesuai dengan hasil pembiakan dan uji kepekaan kuman.
Perlu di observasi apakah ada tanda perforasi atau akut abdomen.
I. Komplikasi
1. Perdarahan akibat luka pada jalan lahir, atonia uteri, sisa jaringan
tertinggal, diatesa hemoragik dan lain-lain. Perdarahan dapat timbul
segera pasca tindakan, dapat pula timbul lama setelah tindakan.
2. Syok akibat refleks vasovagal atau nerogenik. Komplikasi ini dapat
mengakibatkan kematian yang mendadak. Diagnosis ini ditegakkan

16
bila setelah seluruh pemeriksaan dilakukan tanpa membawa hasil.
Harus diingat kemungkinan adanya emboli cairan amnion, sehingga
pemeriksaan histologik harus dilakukan dengan teliti.
3. Emboli udara dapat terjadi pada teknik penyemprotan cairan ke
dalam uterus. Hal ini terjadi karena pada waktu penyemprotan, selain
cairan juga gelembung udara masuk ke dalam uterus, sedangkan pada
saat yang sama sistem vena di endometrium dalam keadaan terbuka.
Udara dalam jumlah kecil biasanya tidak menyebabkan kematian,
sedangkan dalam jumlah 70-100 ml dilaporkan sudah dapat
memastikan dengan segera.
4. Inhibisi vagus, hampir selalu terjadi pada tindakan abortus yang
dilakukan tanpa anestesi pada ibu dalam keadaan stress, gelisah, dan
panik. Hal ini dapat terjadi akibat alat yang digunakan atau suntikan
secara mendadak dengan cairan yang terlalu panas atau terlalu dingin.
5. Keracunan obat / zat abortivum, termasuk karena anestesia.
Antiseptik lokal seperti KmnO4 pekat, AgNO3, K-Klorat, Jodium dan
Sublimat dapat mengakibatkan cedera yang hebat atau kematian.
Demikian pula obat-obatan seperti kina atau logam berat. Pemeriksaan
adanya Met-Hb, pemeriksaan histologik dan toksikolgik sangat
diperlukan untuk menegakkan diagnosis.
6. Infeksi dan sepsis. Komplikasi ini tidak segera timbul pasca tindakan
tetapi memerlukan waktu.
J. Prognosis
Prognosis keberhasilan kehamilan tergantung dari etiologi abortus
sebelumnya.
1. Perbaikan endokrin yang abnormal pada wanita dengan abortus yang
rekuren mempunyai prognosis yang baik sekitar >90 %.
2. Pada wanita abortus dengan etiologi yang tidak diketahui,
kemungkinan keberhasilan kehamilan sekitar 40-80 %.
3. Sekitar 77 % angka kelahiran hidup setelah pemeriksaan aktivitas
jantung janin pada kehamilan 5 sampai 6 minggu pada wanita dengan
2 atau lebih abortus yang tidak jelas

17
2.2 Kehamilan Ektopik Terganggu (KET)
A. Definisi
Kehamilan ektopik adalah kehamilan yang pertumbuhn sel telur yang telah
dibuahi tidak menempel pada dinding endometrium. Berdasarkan lokasi terjadinya,
kehamilan ektopik dibagi menjadi:
1. Tuba Falopii
Kehamilan ektopik pada tuba falopii meliputi 95% dari seluruh
kejadian yang meliputi pars ampula (55%), pars ismika (25%), pars
fimbria (17%), dan pars interstisialis (2%)
2. Kehamilan Ektopik Lain
Meliputi seviks, ovarium, atau abdominal.
3. Intraligamen
4. Kehamilan heterotopik

B. Epidemiologi
Kehamilan ektopik belum terganggu sulit diketahui, karena biasanya
penderita tidak menyampaikan keluhan yang khas, kehamilan ektopik baru
memberikan gejala bila kehamilan tersebut terganggu. Sehingga insidens
kehamilan ektopik yang sesungguhnya sulit ditetapkan. Meskipun secara
kuantitatif mortalitas akibat KET berhasil ditekan, persentase insidens dan
prevalensi KET cenderung meningkat dalam dua dekade ini. Dengan

18
berkembangnya alat diagnostik canggih, semakin banyak kehamilan ektopik yang
terdiagnosis sehingga semakin tinggi pula insidens dan prevalensinya.
Keberhasilan kontrasepsi pula meningkatkan persentase kehamilan ektopik,
karena keberhasilan kontrasepsi hanya menurunkan angka terjadinya kehamilan
uterin, bukan kehamilan ektopik, terutama IUD dan mungkin juga progestagen
dosis rendah. Meningkatnya prevalensi infeksi tuba juga meningkatkan
keterjadian kehamilan ektopik. Selain itu, perkembangan teknologi di bidang
reproduksi, seperti fertilisasi in vitro, ikut berkontribusi terhadap peningkatan
frekuensi kehamilan ektopik. Kehamilan ektopik lebih sering di temukan pada
wanita kulit hitam dari pada wanita kulit putih. Perbedaan ini diperkirakan karena
peradangan pelvis lebih banyak ditemukan pada golongan wanita kulit hitam.
Kehamilan ektopik banyak terdapat bersama dengan keadaan gizi buruk
dan keadaan kesehatan yang rendah, maka insidennya lebih tinggi di negara
sedang berkembang dan pada masyarakat yang berstatus sosio- ekonomi rendah
daripada di negara maju dan pada masyarakat yang berstatus sosio-ekonomi tinggi.
Di Amerika Serikat, kehamilan ektopik terjadi pada 1 dari 64 hingga 1 dari
241 kehamilan, kejadian ini dipengaruhi oleh faktor sosial, mungkin karena pada
golongan pendapatan rendah lebih sering terdapat gonorrhoe karena kemungkinan
berobat kurang
C. Etiologi
Etiologi kehamilan ektopik telah banyak diselidiki, namun sebagian besar
penyebabnya masih tidak diketahui. Pada tiap kehamilan akan dimulai dengan
pembuahan didalam ampulla tuba, dan dalam perjalanan kedalam uterus telur
mengalami hambatan sehingga pada saat nidasi masih berada di tuba. Ada
beberapa faktor yang menjadi penyebab kehamilan ektopik:
1. Faktor Tuba
a. Faktor dalam lumen tuba.
Adanya infeksi atau peradangan pada tuba menyebabkan
penyempitan pada lumen tuba. Lumen tuba yang sempit juga
dapat disebabkan oleh hipoplasia uteri atau karena bekas operasi
pada tuba yang bersangkutan.
b. Faktor pada dinding tuba.

19
Endometriosis tuba dapat memudahkan implantasi ovum di
dinding tuba. Selain itu, divertikulum kongenital juga dapat
menghambat jalannya ovum ke dalam uterus.
c. Faktor di luar dinding tuba.
Tumor abdomen dapat mengakibatkan penyempitan lumen tuba.
2. Faktor abnormalitas dari zigot.
Zigot yang bertumbuh terlalu cepat tersendat pada saat di tuba
sehingga terhenti dan bertumbuh di tuba.
3. Faktor hormonal.
Pada akseptor, hormon progesteron dapat memperlambat gerakan tuba
sehingga meningkatkan risiko terjadinya kehamilan ektopik.
4. Faktor lain.
Pemasangan IUD menyebabkan peradangan endometrium dan
endosalping sehingga menyebabkan kehamilan ektopik. Faktor usia
dan merokok juga disangkakan sebagai penyebab kehamilan ektopik.
D. Patofisiologi
Kehamilan pada daerah intersisial sering berhubungan dengan kesakitan
yang berat, karena baru mengeluarkan gejala yang muncul lebih lama dari tipe
yang lain, dan sulit di diagnosis, dan biasanya menghasilkan perdarahan yang
sangat banyak bila terjadi ruptur.
Jika embrio tidak mencapai endometrium, maka embrio akan menempel
pada tuba dan akan berkembang. Namun karena tuba bukan merupakan tempat
yang baik untuk pertumbuhan janin, maka dapat terjadi beberapa kelainan yaitu:
1. Hasil konsepsi mati dan diresorpsi
Pada implantasi secara kolumner, ovum yang dibuahi cepat mati
karena vaskularisasi yang kurang dan dengan mudah terjadi resorpsi
total. Dalam keadaan ini, penderita tidak mengeluhkan apa-apa.
Hanya haid saja yang terlambat untuk beberapa hari.
2. Abortus tuba
Perdarahan yang terjadi karena pembukaan pembuluh-pembuluh
darah oleh villi koriales pada dinding tuba di tempat implantasi dapat
melepaskan mudigah dari koriales pada dinding tersebut bersama-

20
sama dengan robeknya pseudokapsularis. Pelepasan ini dapat terjadi
sebagian atau seluruhnya, tergantung dari derajat perdarahan yang
timbul. Bila pelepasan menyeluruh, mudigah dengan selaputnya
dikeluarkan dalam lumen tuba dan kemudian didorong oleh darah
kearah ostium tuba abdominale. Frekuensi abortus dalam tuba
tergantung pada implantasi telur yang dibuahi. Abortus tuba lebih
umum terjadi pada kehamilan tuba pars ampullaris, sedangkan
penembusan dinding tuba oleh villi koriales kearah peritoneum
biasanya terjadi pada kehamilan pars isthmika. Perbedaan ini
disebabkan karena lumen pars amoullaris lebih luas, sehingga dapat
mengikuti lebih mudah pertumbuhan hasil konsepsi dibandingkan
dengan bagian isthmus dengan lumen sempit.
Pada pelepasan hasil konsepsi yang tidak sempurna pada abortus,
perdarahan akan terus berlangsung, dari sedikit-sedikit oleh darah,
sampai berubah menjadi mola kruenta. Perdarahan akan keluar
melalui fimbriae dan masuk rongga abdomen dan terkumpul secara
khas di kavum Douglas dan akan membentuk hematokel retrouterina.
Bila fimbriae tertutup, tuba fallopii dapat membesar karena darah dan
membentuk hematosalping.
3. Ruptur tuba
Penyusupan, dan perluasan hasil konsepsi dapat mengakibatkan
rupture pada saluran lahir pada beberapa tempat. Ruptur dapat terjadi
secara spontan, atau karena trauma ringan seperti koitus atau
pemeriksaan vagina.
Ruptur sekunder dapat terjadi bila terjadi abortus dalam tuba dan
ostium tuba tertutup. Dalam hal ini dinding tuba yang sudah menipis
karena invasi dari trofoblas, akan pecah karena tekanan darah dalam
tuba. Kadang-kadang ruptur terjadi diarah ligamentum latum dan
terbentuk hematoma intraligamenter. Jika janin hidup terus, terdapat
kehamilan intraligamenter. Pada ruptur ke rongga perut, seluruh janin
dapat keluar dari tuba, tetapi bila robekan kecil, perdarahan terjadi
tanpa hasil konsepsi dikeluarkan dari tuba. Bila pasien tidak mati dan

21
meninggal karena perdarahan, nasib janin bergantung pada kerusakan
yang diderita dan tuanya kehamilan. Bila janin yang dikeluarkan tidak
mati dengan masih diselubungi oleh kantong amnion dan dengan
plasenta yang utuh, kemungkinan tumbuh terus dalam rongga
abdomen sehingga terjadi kehamilan abdominal sekunder.
E. Gejala Klinis
Gambaran klinik klasik untuk kehamilan ektopik adalah trias nyeri
abdomen, amenore, dan perdarahan pervaginam. Namun sayangnya, hanya 50%
pasien dengan kehamilan ektopik ini yang menampilkan gejala-gejala tersebut
secara khas. Pasien yang lain mungkin muncul gejala-gejala yang umumnya
terjadi pada masa kehamilan awal termasuk mual, lelah, nyeri abdomen ringan,
nyeri bahu, dan riwayat disparenu baru-baru ini. Sedangkan gejala dan tanda
kehamilan ektopik terganggu, seperti tersebut diatas, dapat berbeda-beda, dari
yang khas sampai tidak khas sehingga sukar untuk mendiagnosisnya. Bila
memang terjadi kehamilan ektopik namun belum muncul gejala, maka kita sebut
kehamilan ektopik belum terganggu.
Pada pemeriksaan fisik harus difokuskan pada tanda vital dan pemeriksaan
abdomen dan pelvik. Pada pemeriksaan dalam, dapat teraba kavum douglas yang
menonjol dan terdapat nyeri gerakan serviks. Adanya tanda-tanda peritoneal, nyeri
gerakan serviks, dan nyeri lateral atau bilateral abdomen atau nyeri pelvik
meningkatkan kecurigaan akan kehamilan ektopik dan merupakan temuan yang
bermakna.
F. Diagnosis
Sulit untuk menegakkan diagnosis kehamilan ektopik belum terganggu,
sehingga sering pasien harus mengalami rupture atau abortus dahulu sehingga
menimbulkan gejala. Dalam menegakkan diagnosis, dengan anamnesis yang teliti
dapat dipikirkan kemungkinan adanya kehamilan ektopik, namun untuk
menegakkan diagnosis pasti harus dibantu dengan pemeriksaan fisik yang cermat
dan dibantu dengan alat bantu diagnostik.
Pada anamnesis biasanya didapatkan keluhan terlambat haid untuk
beberapa waktu dan kadang-kadang terdapat gejala subjektif kehamilan muda.
Terdapat nyeri perut bagian bawah, nyeri bahu, dan kadang-kadang tenesmus.

22
Perdarahan pervaginam dapat terjadi, dan biasanya terjadi setelah muncul keluhan
nyeri perut bagian bawah, berapa jumlah perdarahannya, warna dari darahnya,
apakah mengalir seperti air atau hanya seperti tetesan saja, dan apakah keluar
gumpalan-gumpalan. Ditanyakan juga riwayat kehamilan sebelumnya, bila sudah
pernah hamil, riwayat menstruasinya.
Pada pemeriksaan umum, penderita dapat tampak pucat dan kesakitan.
Pada perdarahan dalam rongga perut aktif dapat ditemukan tanda-tanda syok dan
pasien merasakan nyeri perut yang mendadak. Pada jenis yang tidak mendadak,
mungkin hanya terlihat perut bagian bawah yang sedikit menggembung dan nyeri
tekan. Klasifikasi berdasarkan diagnosis
1. Kehamilan ektopik belum terganggu
a. Kehamilan ektopik belum terganggu sulit didiagnosis karena
pasien tidak menyampaikan keluhan yang khas
b. Amenore atau gangguan haid dilaporkan oleh 75-95% penderita,
tanda-tanda kehamilan muda seperti mual muntah dilaporkan
oleh 10-25% kasus.
c. Di samping gangguan haid, keluhan yang paling sering
dikeluhkan adalah nyeri di perut bawah yang tidah khas,
Kadang-kadang teraba massa dengan batas yang tidak jelas
sehingga harus dipastikan dengan alat batu diagnostik.
2. Kehamilan ektopik terganggu
a. Diagnosis kehamilan ektopik terganggu akut biasanya tidak sulit.
Keluhan yang sering disampaikan adalah haid yang terlambat
disertai nyeri perut bawah dan penesmus.Dapat terjadi
perdarahan pervaginam.
b. Penderita dapat terlihat kesakitan, pucat, dan dapat dijumpai
tanda-tanda shock karea perdarahan dalam rongga perut. Seriks
nyeri bila digerakkan, kavum douglas menonjol, dan nyeri raba
dijumpai.
3. Kehamilan ektopik lanjut
Kehamilan ektopik lanjut adalah kehamilan ektopik dimana janin
tumbuh terus karena mendapat cukup nutrisi sehingga implantasinya

23
meluas ke jaringan sekitar, seperti ligamentum latum, uterus, dasar
panggul, dan sebagainya
G. Diagnosis Banding
Yang perlu dipikirkan sebagai diagnosis diferensial adalah

1. Infeksi pelvik

2. Abortus

3. Tumor ovarium

4. Ruptur korpus luteum

H. Penatalaksanaan
Sebagian besar wanita dengan kehamilan ektopik akan membutuhkan
tindakan bedah. Tindakan bedah ini dapat radikal (salpingektomi) atau konservatif
(biasanya salpingotomi) dan tindakan itu dilakukan dengan jalan laparaskopi atau
laparatomi. Laparatomi merupakan teknik yang lebih dipilih bila pasien secara
hemodinamik tidak stabil, operator yang tidak terlatih dengan laparaskopi,
fasilitas dan persediaan untuk melakukan laparaskopi kurang, atau ada hambatan
teknik untuk melakukan laparaskopi. Pada banyak kasus, pasien-pasien ini
membutuhkan salpingektomi karena kerusakan tuba yang banyak. Salpingotomi
laparaskopik diindikasikan pada pasien hamil ektopik yang belum rupture dan
besarnya tidak lebih dari 5 cm pada diameter transversa yang terlihat komplit
melalui laparaskop.
Penggunaan obat-obatan juga dapat dipilih dengan indikasi: (1) kehamilan
di pars ampularis tuba belum pecah, (2) diameter kantong gestasi <4 cm, (3)
perdarahan dalam rongga perut ≤ 100cc, (4) tanda vital stabil. Obat yang
dipakaiadalah metrotrexat 1mg/kgBB IV dan faktor sitrovorum 0,1 mg/kgBB IM
berselang-seling setiap hari selama 8 hari

2.3 Mola Hidatidosa


A. Definisi
Mola berasal dari Bahasa Latin yaitu “mola” yang berarti konsepsi palsu
sedangkan hidatidosa berasal dari Bahasa Yunani yaitu “hydatis” yang berarti
24
setetes air atau kista yang berisi air. Mola hidatidosa adalah suatu kehamilan yang
berkembang tidak wajar dimana tidak ditemukan janin dan hampir seluruh vili
korialis mengalami perubahan berupa degenerasi hidropik. Mola hidatidosa
merupakan kehamilan abnormal yang ditandai oleh beberapa vesikel seperti
anggur yang mengisi dan meregangkan rahim, biasanya dengan tidak adanya janin
utuh
B. Epidemiologi
Mola hidatidosa atau kehamilan mola jarang dijumpai. Diperkirakan
insidensi kehamilan mola di dunia sekitar 1-3 kasus untuk 1000 kelahiran hidup.
Taiwan melaporkan insidensi mola hidatidosa adalah 1 dari 125 kelahiran hidup.
Insidensi kehamilan mola di Eropa 1 dari 1000 kelahiran dan 1 dari 1500
kehamilan di USA. Sedangkan di Asia Tenggara dan Jepang insidensinya sebesar
2 dari 1000 kehamilan. Kehamilan mola paling banyak dijumpai pada negara
oriental seperti Filipina, Cina, Indonesia, Jepang, India, Amerika sentral dan latin
serta Afrika.Di Indonesia, mola hidatidosa dianggap sebagai penyakit yang
penting dengan insiden yang tinggi (data RS di Indonesia, 1 per 40 persalinan).
C. Etiologi dan Faktor Risiko
Penyebab mola hidatidosa masih tidak jelas. Beberapa ahli memperkirakan
hal ini disebabkan oleh kelainan kromosom ovum atau sperma atau kedua-duanya.
Beberapa faktor risiko mola hidatidosa yaitu :
1. Pada usia reproduksi yang ekstrim, yaitu pada usia dibawah 15 tahun
memiliki faktor risiko sekitar 20 kali lebih tinggi daripada wanita
berusia 20-40 tahun. Wanita berusia lebih dari 45 tahun juga
beberapa ratus kali lebih berisiko daripada yang berusia 20-40 tahun.
Hal ini disebabkan bagi wanita yang lebih tua sulit untuk membuat
konsepsi dan kehamilan yang sehar dikarenakan pada perimenopause
ovulasi menjadi tidak teratur sehingga membuat konsepsi sulit. Pada
wanita yang teah berumur, ovum juga semakin berumur sehingga
meningkatkan kesempatan terjadinya kelainan kromosom.
2. Pasien yang telah memiliki riwayat kehamilan mola sebelumnya.
Pasien dengan riwayat kehamilan mola komplit maka risiko untuk
menderita kehamilan mola selanjutnya sebesar 1,5%, sedangkan

25
pasien dengan riwayat kehamilan mola parsial maka risiko untuk
menderita kehamilan mola selanjutnya sebesar 2,7%. Setelah dua
kali kehamilan mola, maka risiko mengalami kehamilan mola pada
kehamilan yang ketiga sebesar 23%.
3. Nutrisi yang buruk. Ketidakcukupan dalam mengkonsumsi protein
dan lemak hewani dapat menjelaskan prevalensi di negara oriental
lebih banyak dijumpai. Konsumsi karoten yang rendah merupakan
salah satu faktor risiko yang meningkatkan kejadian kehamilan mola.
4. Terganggunya mekanisme imun maternal. (a) meningkatnya level
gamma globulin pada penyakit hepar dan (b) meningkatnya
hubungan dengan golongan darah AB yang tidak memiliki antibody
ABO.
5. Tingginya rasio kromosom paternal:maternal, maka semakin tinggi
kejadian mola. Mola komplit menunjukkan rasio kromosom
paternal:maternal sebesar 2:0. Pada mola parsial, rasio kromosom
paternal:maternal sebesar 2:1.
6. Riwayat merokok.
7. Riwayat infertilitas, nuliparitas
D. Klasifikasi
Mola hidatidosa diklasifikasikan menjadi dua tipe yaitu mola hidatidosa
parsial (Partial Mola Hydatidosa/PMH) dan mola hidatidosa komplit (Complete
Mola Hyatidosa/CMH).
1. Mola hidatidosa parsial (Partial Mola Hydatidosa/PMH)
Kehamilan mola dapat terjadi akibat dari kesalahan baik dalam
produksi oosit atau pada saat pembuahan. Biasanya, pembuahan
menggabungkan 23,X set kromosom haploid dari ovum dengan 23,X
atau 23,Y set kromosom haploid dari sperma, yang hasilnya menjadi
diploid zigot 46,XX atau 46,XY yang merupakan keseimbangan gen
maternal dan paternal. Pada kehamilan mola parsial, biasanya
memiliki triploid kariotipe 69,XXX, 69,XXY atau lebih jarang
69,XYY. Masing-masing terdiri dari dua set haploid paternal dan
satu set haploid maternal. Biasanya disebabkan oleh masuknya dua

26
sperma yang terpisah ke dalam sel ovum. Zigot triploid ini dapat
menghasilkan beberapa perkembangan embrio, namun pada akhirnya
akan menimbulkan kondisi janin yang mematikan. Janin yang
mencapai usia lanjut memiliki banyak keterlambatan pertumbuhan,
beberapa anomali kongenital atau keduanya. Mola hidatidosa parsial
ini jarang berubah menjadi suatu keganasan.
2. Mola hidatidosa komplit (Complete Mola Hyatidosa/CMH)
Berbeda dengan mola hidatidosa parsial, pada kehamilan mola
komplit mempunyai jumlah kromosom yang lengkap yaitu 46,XX
sekitar 95% dan 46,XY sekitar 5%. Semua kromosomnya berasal
dari kromosom paternal, dimana pronukleus sel ovum tidak ada. Hal
ini dinamakan androgenesis, yang berarti kedua set kromosom
berasal dari kromosom paternal. Terdapat dua mekanisme
munculnya kombinasi genetik ini.
a. Kromosom haploid maternal 23,X hilang/tidak ada saat
pembuahan dan kromosom haploid paternal 23,X menduplikasi
dirinya sendiri sehingga membentuk 46,XX
b. Ovum yang kosong dibuahi oleh dua buah spermatozoa yang
berbeda/dispermi, yang juga berasal dari kromosom paternal.
Dalam kehamilan mola komplit, tidak terbentuk janin dan
penampilan dari kehamilan mola lengkap umumnya terjadi
pada trimester kedua. Mola hidatidosa komplit ini mempunyai
kemungkinan yang lebih besar untuk menjadi suatu keganasan,
yaitu sekitar 15-20%

27
E. Patologi
Patologi dari mola hidatidosa merupakan penyakit korion. Kematian sel
ovum atau gagalnya perkembangan embrio merupakan hal penting untuk
terbentuknya mola hidatidosa komplit/klasik. Sekresi dari sel yang hiperplastik
dan zat-zat yang ditransfer dari darah maternal/ibu terakumulasi di stroma vili
yang tanpa pembuluh darah. Hal ini menyebabkan distensi vili untuk membentuk
vesikel kecil. Distensi ini dapat terjadi akibat edema dan pencairan stroma.
Cairan vesikel merupakan cairan interstitial dan hampir mirip dengan
cairan asites atau edema, tapi kaya akan hCG. Naked eye appearance, merupakan
massa yang mengisi Rahim yang terbuat dari beberapa rantai dan kelompok kista
dari berbagai ukuran. Tidak dijumpai adanya embrio atau kantung amnion. Jika
terjadi perdarahan, biasanya di ruang desidua.

28
Tampilan mikroskopik yang biasa ditemukan adalah proliferasi dari epitel
sinsitial dan sitotrofoblas, penipisan jaringan stroma akibat degenerasi hidropik,
tidak adanya pembuluh darah di vili dan pola vili yang jelas dipertahankan.
Perubahan ovarium seperti kista lutein bilateral dijumpai pada sekitar 50%
kasus. Hal ini dikarenakan produksi korionik gonadotropin yang berlebihan dan
dapat juga dijumpai pada kehamilan ganda. Biasanya akan mengecil secara
spontan dalam waktu 2 bulan setelah ekspulsi dari mola. Cairan kista ini kaya
akan korionik gonadotropin, esterogen dan progesterone. Perbedaan patologi mola
hidatidosa parsial dan komplit yaitu :
1. Mola hidatidosa parsial (Partial Mola Hydatidosa/PMH)
Pada kehamilan mola parsial, terdapat dua populasi vili. Salah
satunya memiliki ukuran dan konfigurasi normal serta mengandung
pembuluh darah janin, sedangkan yang lainnya menunjukkan
perubahan khas mola yaitu seperti anggur. Biasanya, embrio atau
jaringan embrio dapat dijumpai. Hyperplasia trofoblas fokal dan
biasanya hanya terbatas pada sinsitiotrofoblas.
2. Mola hidatidosa komplit (Complete Mola Hyatidosa/CMH)
Pada kehamilan mola komplit, terjadi edema vili dan dinamakan
setandan buah anggur. Tidak dijumpai embrio. Secara mikroskopis,
vili sangat besar dan distensi. Dijumpai hiperplasia dari kedua
sinsitiotrofoblas dan sitotrofoblas.
F. Gejala dan Tanda Klinis
1. Gejala Klinis
a. Perdarahan pervaginam merupakan gejala yang sering dijumpai
yaitu pada 90% kasus. Biasanya terjadi pada trimester pertama.
Sekitar ¾ pasien mengeluhkan gejala ini sebelum 3 bulan
kehamilan dan hanya sepertiganya yang mengalami perdarahan
dengan jelas. Darah bercampur dengan cairan gelatin yang
berasal dari rupture kista memberikan tampilan cairan “white
currant in red currant juice”.
b. Nyeri perut bagian bawah dengan berbagai derajat yang
diakibatkan oleh pelebaran uterus yang berlebihan, perdarahan

29
yang tersembunyi, jarang diakibatkan oleh perforasi uterus
dikarenakan invasive mola, infeksi atau kontraksi uterus saat
mengekspulsi kan isinya.
c. Gejala konstitusional, seperti: pasien tampak sakit tanpa alasan
yang jelas, muntah berlebihan dikarenakan kadar korionik
gonadotropin yang tinggi dialami pada sekitar 14-32% dan
sekitar 10% mengalami muntah berat sehingga memerlukan
perawatan di rumah sakit. Sesak nafas akibat embolisasi dari sel
trofoblas (2%). Tampilan tirotoksik seperti tremor, takikardia
dijumpai pada sekitar 2% kasus dikarenakan meningkatnya
kadar korionik tirotropin.
d. Ekspulsi vesikel seperti anggur secara pervaginam merupakan
diagnostik mola. Sekitar 50% kasus mola tidak diduga sampai
ekspulsi sebagian atau seluruhnya

2. Tanda Klinis
a. Tanda awal-awal kehamilan yang jelas.
b. Pasien tampak lebih sakit.
c. Pucat dijumpai dan biasanya tidak sesuai dengan proporsi
jumlah darah yang hilang, mungkin disebabkan adanya
perdarahan yang tersembunyi.
d. Tanda preeklampsia seperti hipertensi, edema dan/atau
proteinuria dapat dijumpai pada sekitar 50% kasus. Kejang
dapat terjadi, namun jarang dijumpai
3. Pemeriksaan Fisik
a. Pemeriksaan abdomen

30
i. Ukuran uterus lebih besar dari yang diperkirakan, hal ini
dikarenakan pertumbuhan vesikel yang berlebihan dan
perdarahan yang tersembunyi.
ii. Uterus bersifat elastis/kenyal. Hal ini dikarenakan tidak
adanya kantung amnion.
iii. Bagian janin tidak teraba dan tidak ada pergerakan janin.
Balotement eksternal tidak dijumpai.
iv. Tidak adanya denyut jantung janin yang dideteksi melalui
Doppler.
v. Tanda abdominal yang negatif ini dinilai ketika tanda ini
seharusnya ada berdasarkan ukuran uterus dalam kasus
tertentu
b. Pemeriksaan pervaginam
i. Balotement internal tidak di jumpai.
ii. Pembesaran unilateral atau bilateral (kista teka lutein) dari
ovarium dapat teraba pada 25-50% kasus. Pembesaran
ovarium dapat tidak teraba akibat pembesaran dari uterus.
Pasien dengan kista teka lutein memiliki risiko lebih besar
menderita keganasan.
iii. Dijumpainya vesikel dalam vagina merupakan
patognomonik pada mola hidatidosa.
iv. Jika ostium serviks terbuka, bekuan darah atau vesikel
dapat dirasakan.

4. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
Darah lengkap dengan hitung platelet, blood urea nitrogen
(BUN) kreatinin, dan fungsi hati. Golongan darah, fungsi tiroid
diindikasikan. Prothrombin time (PT), partial thromboplastin
time (PTT), protrombin, fibrinogen diperiksa jika secara klinis
diindikasikan. Kadar hCG yang tinggi (> 100.000 IU/L)
biasanya dijumpai pada pasien dengan kehamilan mola komplit.

31
Penilaian kadar hCG > 100.000 IU/L disertai dengan perdarahan
pervaginam dan pembesaran uterus merupakan sugestif untuk
diagnosis kehamilan mola komplit. Pada kehamilan mola parsial
biasanya kurang berhubungan dengan peningkatan kadar hCG,
biasanya < 100.000 IU/L. berdasarkan subunit hCG, kehamilan
mola komplit memiliki kadar subunit beta hCG yang lebih tinggi
dibandingkan kehamilan mola parsial (24:1). Sedangkan, pada
kehamilan mola parsial mempunyai kadar alfa hCG yang lebih
tinggi dibandingkan kehamilan mola komplit (0,85:0,17). Rata-
rata persentasi rasio beta hCG terhadap alf hCG pada kehamilan
mola komplit dan mola parsial adalah 20,9:2,4.
b. Foto polos
Foto polos abdomen dapat dilakukan jika usia kehamilan
lebih dari 16 minggu. Pada kehamilan mola dapat dijumpai
bayangan janin yang negatif. Pemeriksaan foto polos dada juga
dilakukan untuk mengetahui adanya embolisasi paru.
c. USG
Pencitraan sonografi merupakan andalan dalam
mendiagnosis penyakit trofoblastik. USG merupakan teknik
yang akurat dan sensitif untuk mendiagnosiss mola hidatidosa
komplit. Kehamilan mola komplit dengan karakteristik pola
vesikuler akibat pembengkakan pada seluruh korionik vili.
Korionik vili pada trimester satu tampak kecil dan sedikit
kavitasi. Namun, secara umum pada kehamilan mola komplit
menunjukkan massa uterin ekogenik dengan beberapa rongga
kistik anekoik tetapi tanpa janin atau kantung amnion, tampilan
ini sering disebut sebagai badai salju (snow storm) atau
gambaran seperti sarang lebah (honey comb). Tampilan USG
pada kehamilan mola parsial berupa penebalan dan multikistik
plasenta bersama dengan janin yang disertai retardasi
pertumbuhan atau setidaknya jaringan janin. Walaupun beberapa

32
karakteristik ini hanya dijumpai kurang dari setengah kejadian
mola hidatidosa
d. CT dan MRI
Penggunaan CT dan MRI untuk diagnosis tidak dianjurkan.
Diagnosis pasti mola hidatidosa didapati melalui pemeriksaan
histopatologi dari hasil konsepsi.

G. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan mola hidatidosa yaitu :
1. Perbaikan keadaan umum
Yang termasuk diantaranya misalnya pemberian transfusi darah untuk
memperbaiki syok atau anemia dan menghilangkan atau mengurangi
penyulit seperti preeklampsia atau tirotoksikosis.
2. Pengeluaran jaringan mola, terdapat dua cara yaitu :
a. Vakum kuretase
Setelah keadaan umum diperbaiki, dilakukan vakum kuretase tanpa
pembiusan. Evakuasi mola dilakukan dengan vakum kuretase, terlepas
dari seberapa besar ukuran uterus. Dilatasi serviks pada preoperasi
dengan agen osmosis direkomendasikan jika serviks dilatasi minimal.
Perdarahan yang hebat dapat terjadi selama operasi pada kasus
kehamilan mola dibandingkan kehamilan nonmolar. Sehingga pada
mola yang besar, anestesia yang adekuat, akses intravena yang cukup,
dan persiapan transfusi darah diperlukan. Serviks dilatasi secara
mekanik agar dapat memasukkan vakum kuretase dengan ukuran 10
mm sampai 14 mm. Ketika evakuasi dimulai, oksitosin diberikan
untuk mengurangi perdarahan. USG selama operasi direkomendasikan
untuk membantu dalam menentukan kavitas uterus telah dikosongkan.
Ketika miometrium berkontraksi, dilakukan kuret secara menyeluruh
dan hati-hati dengan alat kuret sharp large-loop Sims. Jika perdarahan
terus berlangsung walaupun evakuasi uterus dan infus oksitosin, agen
uterogenik dapat diberikan. Pada beberapa kasus embolisasi arteri
pelvis atau histerektomi mungkin dibutuhkan. Tindakan kuretase

33
cukup dilakukan 1 kali saja, asal bersih. Kuretase kedua hanya
dilakukan bila ada indikasi
b. Histerektomi
Metode selain vakum kuretase mungkin dapat dipertimbangkan
pada kasus tertentu. Histerektomi dengan preservasi ovarium dapat
dipertimbangkan pada wanita yang sudah pernah melahirkan. Alasan
dilakukannya histerektomi ialah karena umur tua dan paritas tinggi
merupakan faktor predisposisi untuk terjadinya keganasan, batasan
yang dipakai adalah umur 35 tahun dengan anak hidup tiga. Pada
wanita usia 40 tahun atau lebih, sekitar sepertiganya berkembang
menjadi PTG dan histerektomi dapat menurunkan angka kejadian
PTG ini. Tidak jarang bahwa pada sediaan histerektomi bila dilakukan
pemeriksaan histopatologik sudah tampak adanya tanda-tanda
keganasan berupa mola invasif/koriokarsinoma
H. Komplikasi
1. Komplikasi segera
a. Perdarahan dan syok
Penyebab perdarahan antara lain akibat pemisahan vesikel dengan
ikatannya pada desidua, perdarahan ini dapat tersembunyi atau tidak
tersembunyi; perdarahan intraperitoneal yang masif akibat dari
perforasi mola; dan perdarahan selama evakuasi mola akibat atonik
uterus atau cedera uterus.
b. Sepsis
Meningkatnya risiko sepsis disebabkan antara lain karena tidak
adanya membrane pelindung sehingga organisme vagina dapat masuk
ke dalam rongga rahim; adanya degenerasi vesikel, pengelupasan
desidua dan darah yang lama merupakan tempat kesukaan bakteri
untuk tumbuh; dan meningkatnya intervensi selama operasi.
c. Perforasi uterus
Uterus mungkin terluka dikarenakan perforasi mola yang
menyebabkan perdarahan intraperitoneal yang masif; selama evakuasi

34
vagina terutama dengan metode konvensional atau selama kuretase
vakum.
d. Preeklampsia dengan kejang jarang ditemukan.
e. Insufisiensi pulmonary akut
Infeksi pulmonarr akut diakibatkan embolisasi paru dari sel
trofoblas dengan atau tanpa stroma vili. Gejala biasanya dimulai
dalam waktu 4-6 jam setelah evakuasi
f. Kegagalan koagulasi dikarenakan embolisasi paru dari sel trofoblas
menyebabkan deposisi fibrin dan trombosit.
2. Komplikasi lanjut
Perkembangan mola hidatidosa menjadi koriokarsinoma berkisar
antara 2-10%. Faktor risikonya antara lain pasien berusia ≥ 40 tahun
dan < 20 tahun, paritas ≥ 3, serum hCG > 100.000 mIU/mL, ukuran
uterus > 20 minggu, riwayat kehamilan mola sebelumnya dan kista
teka lutein yang besar (diameter > 6 cm)
I. Prognosis
Risiko langsung dari perdarahan dan sepsis berkurang dengan nyata
dikarenakan diagnosis dini, transfusi darah dan pengobatan. Sekitar 15-20%
kehamilan mola komplit menjadi penyakit kehamilan trofoblas persisten, dimana
adanya plateu atau peningkatan kembali dari kadar hCG. Pada sekitar 5% kasus,
berkembang menjadi metastasis. Risiko rekurensi mola hidatidosa di kehamilan
selanjutnya sekitar 1-4%. Sebagian dari pasien mola akan segera sehat kembali
setelah jaringannya dikeluarkan, tetapi ada sekelompok wanita yang menderita
degenerasi keganasan menjadi koriokarsinoma yaitu sekitar 5,56%. Kejadian
malformasi janin tidak meningkat setelah kemoterapi. Perbaikan dan prognosis
jangka panjang dapat dikaitkan dengan faktor faktor berikut :
1. Pengenalan faktor risiko tinggi yang terkait dengan koriokarsinoma4
2. Follow up kadar beta hCG
3. Penggunaan obat sitotoksik pada saat optimal dan dalam kasus yang
tepat

35
2.4 Plasenta Previa
A. Definisi
Plasenta previa adalah keadaan dimana plasenta berimplantasi pada tempat
yang abnormal, yaitu pada segmen bawah rahim sehingga menutupi sebagian atau
seluruh dari ostium uteri internum (pembukaan jalan lahir). Pada keadaan normal
plasenta terletak dibagian atas uterus. Sejalan dengan bertambahnya membesarnya
rahim dan meluasnya segmen bawah rahim ke arah proksimal memungkinkan
plasenta yang berimplantasi pada segmen bawah rahim seolah plasenta tersebut
bermigrasi. Ostium uteri yang secara dinamik mendatar dan meluas dalam
persalinan kala satu bisa mengubah luas pembukaan serviks yang tertutup oleh
plasenta. Fenomena ini berpengaruh pada derajat atau klasifikasi dari plasenta
previa ketika pemeriksaan dilakukan baik dalam masa antenatal maupun dalam
masa intranatal, baik dengan ultrasonografi maupun pemeriksaan digital. Oleh
karena itu, pemeriksaan ultrasonografi perlu diulang secara berkala dalam asuhan
antenatal ataupun intranatal
B. Etiologi
Penyebab blastokista berimplantasi pada segmen bawah rahim belum
diketahui dengan pasti. Dalam teori mengemukakan bahwa salah satu
penyebabnya adalah vaskularisasi desidua yang tidak memadai, mungkin sebagai
akibat dari proses radang atau atrofi.
Di samping masih banyak penyebab plasenta previa yang belum diketahui
atau belum jelas, bermacam-macam teori dan faktor-faktor dikemukakan sebagai
etiologinya.
1. Endometrium yang inferior
2. Chorion leave yang persisten
3. Korpus luteum yang bereaksi lambat
Strassman mengatakan bahwa faktor terpenting adalah vaskularisasi yang
kurang pada desidua yang menyebabkan atrofi dan peradangan, sedangkan
Browne menekankan bahwa faktor terpenting ialah Vili Khorialis persisten pada
desidua kapsularis.
Faktor-faktor etiologi:
1. Umur dan Paritas

36
Pada Primigravida, umur diatas 35 tahun lebih sering daripada
umur dibawah 25 tahun dan ebih sering pada paritas tinggi dari paritas
rendah.
2. Hipoplasia endometrium; bila kawin dan hamil pada usia muda.

3. Endometrium cacat pada bekas persalinan berulang-ulang, bekas


operasi, post operasi caesar, kuretase, dan manual plasenta. Hal ini
berperan menaikkan insiden dua sampai tiga kali.

4. Korpus luteum bereaksi lambat, dimana endometrium belum siap


menerima hasil konsepsi.

5. Kehamilan janin kembar, plasenta yang terlalu besar seperti pada


kehamilan ganda dan eritoblastosis fetalis bisa menyebabkan
pertumbuhan plasenta melebar ke segmen bawah rahim sehingga
menutupi sebagian atau seluruh ostium uteri internum.

6. Tumor-tumor, seperti mioma uteri, polip endometrium.

7. Kadang-kadang pada malnutrisi.

8. Riwayat perokok, pada perempuan perokok dijumpai insidensi


plasenta previa lebih tinggi dua kali lipat. Hipoksemia akibat karbon
mono-oksida hasil pembakaran rokok menyebabkan plasenta menjadi
hipertrofi sebagai upaya kompensasi
C. Klasifikasi
Didasarkan atas terabanya jaringan plasenta melalui pembukaan jalan lahir pada
waktu tertentu:
1. Plasenta previa totalis atau komplit adalah bila plasenta menutupi
seluruh jalan lahir. Pada posisi ini, jelas tidak mungkin bayi dilahirkan
per-vaginam (normal/spontan/biasa), karena risiko perdarahan sangat
hebat.
2. Plasenta previa lateralis/persialis adalah bila hanya sebagian/separuh
plasenta yang menutupi jalan lahir. Pada posisi inipun risiko
perdarahan masih besar, dan biasanya tetap tidak dilahirkan melalui
per-vaginam.
37
3. Plasenta previa marginalis adalah bila hanya bagian tepi plasenta yang
menutupi jalan lahir. Bisa dilahirkan per-vaginam tetapi risiko
perdarahan tetap besar.
4. Plasenta letak rendah bila plasenta yang letaknya abnormal di segmen
bawah uterus, tetapi belum sampai menutupi pembukaan jalan lahir,
tepi bawahnya berada pada jarak lebih kurang 2 cm dari ostium uteri
internum. Pinggir plasenta kira-kira 3 atau 4 cm diatas pinggir
pembukaan, sehingga tidak teraba pada pembukaan jalan lahir. Jarak
yang lebih dari 2 cm dianggap plasenta letak normal

D. Patofisiologi
Perdarahan anterpatum yang disebabkan oleh plasenta previa umumnya
terjadi pada trimester ketiga kehamilan. Karena pada saat itu segmen bawah
uterus lebih banyak mengalami perubahan berkaitan dengan makin tuanya
kehamilan.
Kemungkinan perdarahan anterpatum akibat plasenta previa dapat sejak
kehamilan berusia 20 minggu. Pada usia kehamilan ini segmen bawah uterus telah
terbentuk dan mulai menipis.
Penyebab plasenta melekat pada segmen bawah rahim belum diketahui
secara pasti. Ada teori menyebutkan bahwa vaskularisasi desidua yang tidak
memadai yang mungkin diakibatkan oleh proses radang atau atrofi dapat
menyebabkan plasenta berimplantasi pada segmen bawah rahim. Plasenta yang
terlalu besar dapat tumbuh melebar ke segmen bawah rahim dan menutupi ostium
uteri internum misalnya pada kehamilan ganda, eritroblastosis dan ibu yang
merokok. Pada saat segmen bawah rahim terbentuk sekitar trisemester III atau
lebih awal tapak plasenta akan mengalami pelepasan dan menyebabkan plasenta
yang berimplantasi pada segmen bawah rahim akan mengalami laserasi. Selain itu,
laserasi plasenta juga disebabkan oleh serviks yang mendatar dan membuka. Hal
38
ini menyebabkan perdarahan pada tempat laserasi. Perdarahan akan dipermudah
dan diperbanyak oleh segmen bawah rahim dan serviks yang tidak bisa
berkontraksi secara adekuat.
Pembentukan segmen bawah rahim akan berlangsung secara progresif, hal
tersebut menyebabkan terjadi laserasi dan perdarahan berulang pada plasenta
previa. Pada plasenta previa totalis perdarahan terjadi lebih awal dalam kehamilan
bila dibandingkan dengan plasenta previa parsialis ataupun plasenta letak rendah
karena pembentukan segmen bawah rahim dimulai dari ostium uteri internum.
Segmen bawah rahim mempunyai dinding yang tipis sehingga mudah diinvasi
oleh pertumbuhan vili trofoblas yang mengakibatkan terjadinya plasenta akreta
dan inkreta. Selain itu segmen bawah rahim dan serviks mempunyai elemen otot
yang sedikit dan rapuh sehingga dapat menyebabkan perdarahan postpartum pada
plasenta previa
E. Tanda dan Gejala
1. Perdarahan terjadi tanpa rasa sakit dan biasanya darah berwarna merah
segar.
2. Perdarahan pertama (first bleeding) biasanya tidak banyak, tetapi
perdarahan berikutnya (recurrent bleeding) biasanya lebih banyak.
3. Bagian terdepan janin tinggi (floating), sering dijumpai kelainan letak
janin

F. Diagnosis
1. Anamnesis
a. Keluhan utama : perdarahan pada kehamilan setelah 28 minggu
atau pada kehamilan lanjut (trimester III)
b. Sifat perdarahan tanpa sebab, tanpa nyeri, dan berulang
2. Inspeksi/inspekulo
a. Perdarahan keluar pervaginam (dari dalam uterus)
b. Tampak anemis
3. Palpasi abdomen
a. Janin sering belum cukup bulan, TFU masih rendah
b. Sering dijumpai kesalahan letak janin
c. Bagian terbawah janin belum turun
39
4. Pemeriksaan USG
a. Evaluasi letak dan posisi plasenta.
b. Posisi, presentasi, umur, tanda-tanda kehidupan janin.
c. Transabdominal ultrasonography
Suatu metode yang sederhana, akurat, dan aman untuk
memvisualisasikan plasenta, teknik ini memiliki keakuratan
hingga 98%. Pembiasan hasil dan positif palsu dapat terjadi
pada kontraksi fokal uterus atau distensi vesika urinaria.
d. Transvaginal ultrasonography
Studi terbaru menunjukkan bahwa metode transvaginal
ultrasonography lebih akurat dan aman dibanding metode
transabdominal ultrasonography. Suaru penelitian studi, 26%
pasien telah yang didiagnosa dengan plasenta previa oleh
metode transabdominal ultrasonography dinyatakan salah
setelah dicek ulang dengan transvaginal ultrasonography.
Sudut antara probe transvaginal dan saluran serviks diatur
sedemikian rupa sehingga probe tidak sampai masuk ke dalam
serviks. Beberapa ahli menyatakan probe dimasukkan tidak
lebih dari 3 cm untuk memberikan gambaran yang baik dari
plasenta.
e. Transperineal ultrasonography
Transperineal ultrasonography merupakan metode
alternatif. Terutama pada kasus-kasus kontraindikasi
pemasukkan probe ke dalam kanal vagina. Tetapi pemeriksaan
lebih lanjut perlu dilakukan untuk mengetahui efikasi dan
efisiensinya.
f. Magnetic Resonance Imaging (MRI).
MRI tetap merupakan cara yang aman dan paling baik
untuk visualisasi plasenta terutama untuk menentukan
visualisasi plasenta akreta
G. Diagnosis Banding

40
Diagnosis banding plasenta previa antara lain solusio plasenta, vasa previa,
laserasi serviks atau vagina. Perdarahan karena laserasi serviks atau vagina dapat
dilihat dengan inspekulo. Vasa previa, dimana tali pusat berkembang pada tempat
abnormal selain di tengah plasenta, yang menyebabkan pembuluh darah fetus
menyilang serviks. Vasa previa merupakan keadaan dimana pembuluh darah
umbilikalis janin berinsersi dengan vilamentosa yakni pada selaput ketuban. Hal
ini dapat menyebabkan ruptur pembuluh darah yang mengancam janin. Pada
pemeriksaan dalam vagina diraba pembuluh darah pada selaput ketuban.
Pemeriksaan juga dapat dilakukan dengan inspekulo atau amnioskopi. Bila sudah
terjadi perdarahan maka akan diikuti dengan denyut jantung janin yang tidak
beraturan, deselerasi atau bradikardi, khususnya bila perdarahan terjadi ketika atau
beberapa saat setelah selaput ketuban pecah
H. Penatalaksanaan
Prinsip dasar yang harus segera dilakukan pada semua kasus perdarahan
antepartum adalah menilai kondisi ibu dan janin, dan melakukan resusitasi secara
tepat apabila diperlukan. Apabila terdapat fetal distress dan bayi sudah cukup
matur untuk dilahirkan, maka perlu dipertimbangkan untuk terminasi kehamilan
dan memberikan Imunoglobulin anti D pada semua ibu dengan rhesus negatif.
Penanganan ibu dengan plasenta previa simtomatik meliputi : setelah terdiagnosis
maka ibu disarankan untuk rawat inap di rumah sakit, menyediakan darah
transfusi apabila dibutuhkan segera, fasilitas yang mendukung untuk tindakan
bedah sesar darurat, rencana persalinan pada minggu ke-38 kehamilan namun
apabila terdapat indikasi sebelum waktu yang telah ditentukan maka dapat
dilakukan bedah sesar saat itu juga.
Cara pesalinan ditentukan oleh jarak antara tepi plasenta dan ostium uteri
internum dengan pemeriksaan USG transvaginal pada minggu ke-35 kehamilan.
Apabila jaraknya >20 mm persalinan pervaginam kemungkinan besar berhasil.
Apabila jarak antara tepi plasenta dengan ostium uteri internum 0-20 mm maka
besar kemungkinan dilakukan bedah sesar, namun persalinan pervaginam masih
dapat dilakukan tergantung keadaan klinis pasien
I. Komplikasi
1. Prolaps tali pusat

41
2. Prolaps plasenta
3. Plasenta melekat sehingga harus dikeluarkan manual dan kalau perlu
dibersihkan dengan kuretase
4. Robekan-robekan jalan lahir karena tindakan
5. Perdarahan post partum
6. Infeksi karena perdarahan yang banyak
7. Bayi prematur atau lahir mati
8. Anemia
J. Prognosis
Karena dahulu penanganan relatif bersifat konservatif, maka mortalitas
dan morbiditas pada ibu dan bayi tinggi, mortalitas ibu mencapai 8-10% dan
mortalitas janin 50-80%.Sekarang penangan relatif bersifat operatif dini sehingga
angka kematian dan kesakitan ibu dan perinatal jauh menurun. Kematian maternal
menjadi 0,1-5% terutama disebabkan perdarahan, infeksi, emboli udara, dan
trauma karena tindakan. Kematian perinatal juga turun menjadi 7-25% terutama
disebabkan oleh prematuritas, asfiksia, prolaps funikuli, dan persalinan buatan
atau tindakan.

2.5 Solusio Plasenta

A. Definisi

Solusio plasenta adalah terlepasnya sebagian atau seluruh permukaan


maternal plasenta dari tempat implantasinya yang normal pada lapisan desidua
endometrium sebelum waktunya yakni sebelum anak lahir.

B. Epidemiologi

Insiden solusio plasenta 1 dalam 155 sampai 1 dalam 225 persalinan


(<0,4%) di negara-negara Eropa untuk solusio plasenta yang tidak sampai
mematikan janin. Solusio yang lebih berat sampai mematikan janin, insidensinya
lebih rendah, yaitu 1 dalam 830 persalinan. Namun, insidensi solusio plasenta
diyakini masih lebih tinggi di Indonesia dibandingkan dengan negara maju.

C. Etiologi
42
Hingga saat ini penyebab utama dari solusio plasenta tidak diketahui.
Tetapi, menurut Prawirohardjo (2010), terdapat beberapa faktor risiko solusio
plasenta:
1. Riwayat solusio plasenta
2. Ketuban pecah preterm/korioamnionitis
3. Sindroma preeklampsia
4. Hipertensi kronik
5. Merokok
6. Pecandu kokain
7. Mioma di belakang plasenta
8. Gangguan sistem pembekuan darah
9. Gangguan imunologis
10. Trauma abdomen dalam kehamilan
11. Kelainan pada plasent

D. Klasifikasi

Klasifikasi solusio plasenta :

1. Ruptura sinus marginalis : hanya terlepas pinggirnya saja.

2. Solusio plasenta parsialis : terlepas lebih luas.

3. Solusio plasenta totalis : seluruh permukaan maternal plasenta terlepas.


Klasifikasi solusio plasenta berdasarkan perdarahannya :

1. Revealed hemorrhage: perdarahan yang merembes antara plasenta dan


miometrium lalu menyelinap di bawah selaput ketuban dan
memperoleh jalan ke kanalis servikalis sehingga darah keluar melalui
vagina.

2. Concealed hemorrhage: perdarahan tidak keluar melalui vagina pada


keadaan:

a. Bagian plasenta sekitar perdarahan masih melekat pada


dinding rahim

b. selaput ketuban masih melekat pada dinding rahim

43
c. perdarahan masuk ke dalam kantong ketuban setelah selaput
ketuban pecah karenanya

d. bagian terbawah janin, umumnya kepala, menempel ketat


pada segmen bawah rahim

Klasifikasi solusio plasenta berdasarkan gambaran klinik dan luas permukaan


yang terlepas :
1. Solusio plasenta ringan

Luas plasenta yang terlepas <25% atau <1/6 bagian. Jumlah darah
yang keluar <250 ml. Perdarahan berwarna kehitaman. Komplikasi
pada ibu dan janin belum ada.
2. Solusio plasenta sedang

Luas plasenta yang terlepas >25% tetapi belum mencapai 50%.


Jumlah darah yang keluar >250 ml tetapi belum mencapai 1000 ml.
Biasanya diserta gejala nyeri perut terut menerus, denyut jantung janin
menjadi cepat, dan hipotensi, serta takikardia.
3. Solusio plasenta berat

Luas plasenta yang terlepas >50%. Jumlah darah yang keluar


>1000 ml. Biasanya penderita tampak syok dan hampir semua
janinnya telah meninggal. Komplikasi koagulopati dan gagal ginjal
yang ditandai dengan oliguria telah ada (Prawirohardjo, 2010).
E. Patofisiologi

Solusio plasenta merupakan hasil akhir dari suatu proses yang bermula
dari suatu keadaan yang mampu memisahkan vili-vili korialis plasenta dari tempat
implantasinya pada desidua basalis sehingga terjadi perdarahan. Oleh karena itu
patofisiologinya bergantung pada etiologi. Pada trauma abdomen etiologinya jelas
karena robeknya pembuluh darah di desidua.
Dalam banyak kejadian perdarahan berasal dari kematian sel (apoptosis)
yang disebabkan oleh iskemia dan hipoksia. Semua penyakit ibu yang dapat
menyebabkan pembentukan trombosis dalam pembuluh darah desidua atau dalam
vaskular vili dapat berujung kepada iskemia dan hipoksia setempat yang

44
menyebabkan kematian sejumlah sel dan mengakibatkan perdarahan sebagai hasil
akhir. Perdarahan tersebut menyebabkan desidua basalis terlepas kecuali selapisan
tipis yang tetap melekat pada miometrium. Dengan demikian, pada tingkat
permulaan sekali dari proses terdiri atas pembentukan hematom yang bisa
menyebabkan pelepasan yang lebih luas, kompresi dan kerusakan pada bagian
plasenta yang berdekatan. Pada awalnya mungkin belum ada gejala kecuali
terdapat hematom pada bagian belakang plasenta yang baru lahir. Dalam beberapa
kejadian pembentukan hematom retroplasenta disebabkan oleh putusnya arteria
spiralis dalam desidua. Hematoma retroplasenta mempengaruhi penyampaian
nutrisi dan oksigen dari sirkulasi maternal/plasenta ke sirkulasi janin. Hematoma
yang terbentuk dengan cepat meluas dan melepaskan plasenta lebih luas/banyak
sampai ke pinggirnya sehingga darah yang keluar merembes antara selaput
ketuban dan miometrium dan selanjutnya keluar melalui serviks ke vagina
(revealed hemorrhage). Perdarahan tidak bisa berhenti karena uterus yang lagi
mengandung tidak mampu berkontraksi untuk menjepit pembuluh arteria spiralis
yang terputus. Walaupun jarang terdapat perdarahan tinggal terperangkap di
dalam uterus (concealed hemorrhage) (Prawirohardjo, 2010).

F. Gejala Klinis

Berikut adalah tanda dan gejala solusio plasenta:

1. Perdarahan dengan nyeri intermitten atau menetap.

2. Warna darah kehitaman dan cair, tetapi mungkin terdapat


bekuan jika solusio relatif baru.
3. Jika ostium terbuka, terjadi perdarahan berwarna merah segar.

4. Uterus tegang dan nyeri.

5. Anemia berat.

6. Tanda-tanda syok yang tidak sesuai dengan jumlah darah


yang keluar (tipe tersembunyi).
7. Gawat janin atau hilangnya denyut jantung janin.

8. Melemahnya atau hilangnya gerak janin.


45
Gambaran klinik penderita solusio plasenta bervariasi sesuai dengan berat
ringannya atau luas permukaan maternal plasenta yang terlepas. Gejala dan tanda
klinis yang klasik dari solusio plasenta adalah terjadinya perdarahan yang
berwarna tua keluar melalui vagina (80 % kasus), rasa nyeri perut dan uterus
tegang terus-menerus mirip his partus prematurus. Sejumlah penderita bahkan
tidak menunjukkan tanda atau gejala klasik, gejala yang lahir mirip tanda
persalinan prematur saja. Oleh sebab itu, kewaspadaan atau kecurigaan yang
tinggi diperlukan dari pihak pemeriksa.

1. Solusio plasenta ringan


Kurang lebih 30% penderita solusio plasenta ringan tidak atau sedikit
sekali melahirkan gejala. Pada keadaan yang sangat ringan tidak ada gejala
kecuali hematom yang berukuran beberapa sentimeter terdapat pada
permukaan maternal plasenta. Ini dapat diketahui secara retrospektif pada
inspeksi plasenta setelah partus. Rasa nyeri pada perut masih ringan dan
darah yang keluar masih sedikit, sehingga belum keluar melalui vagina.
Nyeri yang belum terasa menyulitkan membedakannya dengan plasenta
previa kecuali darah yang keluar bewarna merah segar pada plasenta previa.
Tanda-tanda vital dan keadaan umum ibu ataupun janin masih baik. Pada
inspeksi dan auskultasi tidak dijumpai kelainan kecuali pada palpasi sedikit
terasa nyeri lokal pada tempat terbentuk hematom dan perut sedikit tegang
tapi bagian-bagian janin masih dapat dikenal. Kadar fibrinogen darah dalam
batas-batas normal yaitu 350 mg%. Walaupun belum memerlukan intervensi
segera, keadaan yang ringan ini perlu dimonitor terus sebagai upaya
mendeteksi keadaan bertambah berat. Pemeriksaan ultrasonografi berguna
untuk menyingkirkan plasenta previa dan mungkin bisa mendeteksi luasnya
solusio terutama pada solusio sedang atau berat.

2. Solusio plasenta sedang


Gejala-gejala dan tanda-tanda sudah jelas seperti rasa nyeri pada perut
yang terus menerus, denyut jantung janin biasanya telah menunjukkan
gawat janin, perdarahan yang tampak keluar lebih banyak, takikardia,
hipotensi, kulit dingin dan keringatan, oliguria mulai ada, kadar fibrinogen

46
berkurang antara 150 sampai 250 mg/100 ml, dan mungkin kelainan
pembekuan darah dan gangguan fungsi ginjal sudah mulai ada.
Rasa nyeri dan tegang perut jelas sehingga palpasi bagian-bagian anak
sukar. Rasa nyeri datangnya akut kemudian menetap tidak bersifat hilang
timbul seperti pada his yang normal. Perdarahan pervaginam jelas dan
berwarna kehitaman, penderita pucat karena mulai ada syok sehingga
keringat dingin. Keadaan janin biasanya sudah gawat. Pada stadium ini bisa
jadi telah timbul his dan persalinan telah mulai. Pada pemantauan keadaan
janin dengan kardiotokografi bisa jadi telah ada deselerasi lambat. Perlu di
lakukan tes gangguan pembekuan darah. Bila terminasi persalinan terlambat
atau fasilitas perawatan intensif neonatus tidak memadai, kematian perinatal
dapat dipastikan terjadi.
3. Solusio plasenta berat
Perut sangat nyeri dan tegang serta keras seperti papan (defance
musculaire) disertai per- darahan yang berwarna hitam. Oleh karena itu
palpasi bagian-bagian janin tidak mung kin lagi dilakukan. Fundus uteri
lebih tinggi daripada yang seharusnya oleh karena telah terjadi penumpukan
darah di dalam rahim pada kategori concealed hemorrhage. Jika dalant masa
observasi tinggi fundus bertambah lagi berarti perdarahan baru masih ber-
langsung. Pada inspeksi rahim kelihatan membulat dan kulit di atasnya
kencang dan berkilat. Pada auskaltasi denyut jantung janin tidak terdengar
lagi akibat gangguan anatomik dan fungsi dari plasenta. Keadaan umum
menjadi buruk disertai syok. Ada- kalanya keadaan umum ibu jauh lebih
buruk dibandingkan perdarahan yang tidak seberapa keluar dari vagina.
Hipofibrinogenemia dan oliguria boleh jadi telah ada sebagai akibat
komplikasi pembekuan darah intravaskular yang luas (disseminated
intravascular coagulation), dan gangguan fungsi ginjal'. Kadar fibrinogen
darah rendah yaitu kurang dari 150 mg% dan telah ada trombositopenia
(Prawirohardjo, 2010).

G. Diagnosis
Dalam banyak hal diagnosis bisa ditegakkan berdasarkan gejala dan tanda
klinik yaitu perdarahan melalui vagina, nyeri pada uterus, dan pada solusio
47
plasenta yang berat terdapat kelainan denyut jantung janin pada pemeriksaan
dengan KTG. Namun kadang pasien datang dengan gejala perdarahan tidak
banyak dengan perut tegangan tetapi janin telah meninggal. Diagnosis pasti hanya
bisa ditegakkan dengan melihat adanya perdarahan retroplasenta setelah partus.
Ultrasonografi merupakan pemeriksaan yang berguna untuk membedakan
dengan plasenta previa, tetapi pada solusio plasenta pemeriksaan dengan USG
tidak memberikan kepastian berhubung kompleksitas gambaran retroplasenta
yang normal mirip dengan gambaran perdarahan retroplasenta pada solusio
plasenta. Kompleksitas gambaran normal retroplasenta, kompleksitas vaskular
rahim, desidua dan mioma semuanya bisa mirip dengan solusio plasenta dan
memberikan hasil pemeriksaan positif palsu. Disamping itu, solusio plasenta sulit
dibedakan dengan plasenta itu sendiri. Pemeriksaan ulang pada perdarahan baru
sering bisa membantu karena gambaran ultrasonografi dari darah yang telah
membeku akan berubah menurut waktu menjadi lebih ekogenik pada 48 jam
kemudian menjadi hipogenik dalam waktu 1 sampai 2 minggu.

H. Penatalaksanaan

Menurut Prawirohardjo (2014), berikut adalah penatalaksanaan solusio plasenta.

1. Penatalaksanaan umum

a. Rawat inap di rumah sakit.

b. Dilakukan pemeriksaan darah lengkap.

c. Observasi secara ketat tanda-tanda gawat janin.

d. Resusitasi cairan dan pemberian transfusi darah,


diikuti persalinan segera pada perdarahan yang
cukup banyak.
2. Jika janin masih hidup dan cukup bulan, serta belum ada
tanda-tanda inpartu, maka umumnya dipilih persalinan
bedah sesar darurat.
3. Jika perdarahan ringan atau sedang, maka tindakan
bergantung pada DJJ. Jika djj normal, maka dapat

48
dilakukan induksi oksitosin jika kontraksi jelek atau
seksio sesarea jika serviks kenyal dan tertutup. Jika DJJ
abnormal, maka dilakukan persalinan sesegera mungkin.

I. Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi pada ibu antara lain anemia, syok
hipovolemik, insufisiensi fungsi plasenta, gangguan pembekuan darah, gagal
ginjal akut, dan uterus Couvelaire. Komplikasi yang dapat terjadi pada janin
adalah gawat janin yang dapat berujung pada kematian janin.

J. Prognosis

Solusio plasenta memiliki prognosis yang buruk bagi ibu hamil dan janin
dibandingkan plasenta previa. Prognosis dari solusio plasenta tergantung dari
beratnya solusio plasenta dan kecepetan serta ketepatan bantuan medik yang
diperoleh. Solusio plasenta ringan prognosisnya lebih baik karena tidak ada data
kematian dan morbiditasnya rendah. Solusio plasenta sedang mempunyai
prognosis yang lebih buruk terutama terhadap janin karena mortalitas dan
morbiditas perinatal yang tinggi, morbiditas ibu pun lebih berat. Solusio plasenta
berat memiliki prognosis paling buruk karena umumnya pada keadaan demikian
janin telah mati dan mortalitas maternal meningkat akibat komplikasi.

2.6 Atonia Uteri

A. Definisi dan Etiologi

Atonia uteri adalah keadaan lemahnya tonus/kontraksi rahim yang


menyebabkan uterus tidak mampu menutup perdarahan terbuka dari tempat
implantasi plasenta setelah bayi dan plasenta lahir.
Perdarahan oleh karena atonia uteri dapat dicegah dengan :
1. Melakukan secara rutin menajemen aktif kala III pada semua wanita
yang bersalin karena hal ini dapat menurunkan insidens pendarahan
pascapersalinan akibat atonia uteri.
2. Pemberian misoprostol peroral 2-3 tablet (400-600 µg) segara setelah
bayi lahir.
49
Faktor predisposisi adalah sebagai berikut :
1. Regangan rahim berlebihan karena kehamilan gemeli, polihidramnion,
atau anak terlalu besar
2. Kelelahan karena persalinan lama atau persalinan kasep
3. Kehamilan grande-multipara
4. Ibu dengan keadaan umum yang kurang baik,anemis,atau menderita
penyakit menahun
5. Mioma uteri yang mengganggu kontraksi rahim
6. Infeksi intrauterin (Korioamnionitis)
7. Ada riwayat pernah atonia uteri sebelumnya

B. Penegakan Diagnosis

Diagnosis ditegakkan bila setelah bayi dan plasenta lahir ternyata


perdarahan masih aktif dan banyak, bergumpal dan pada palpasi didapatkan
fundus uteri masih setinggi pusat atau lebih dengan kontraksi yang lembek. Perlu
diperhatikan bahwa pada saat atonia uteri didiagnosis, maka pada saat itu juga
masih ada darah sebanyak 500 – 1.000 cc yang sudah keluar dari pembuluh darah,
tetapi masih terperangkap dalam uterus dan harus diperhitungkan dalam kalkulasi
pemberian darah pengganti.

C. Tatalaksana

Banyaknya darah yang hilang akan mempengaruhi keadaan umum pasien.


Pasien bisa masih dalam keadaan sadar, sedikit anemis, atau sampai syok berat
hipovolemik. Tindakan yang pertama yang harus dilakukan bergantung pada
keadaan kliniknya.

Pada umunya dilakukan secara simultan (bila pasien syok) hal-hal sebagai
berikut :

1. Sikap trendelenburg, yaitu memasang venous line dan memberikan


oksigen

50
2. Merangsang kontraksi uterus dengan cara:
a. Masase fundus uteri dan merangsang puting susu
b. Pemberian oksitosin dan turunan ergot melalui suntikan i.m , i.v
atau s.c
c. Memberikan derivate prostaglandin F2α (carboprost
tromethamine) yang kadang memberikan efek samping seperti
diare, hipertensi, mual muntah, febris, dan takikardia
d. Pemberian misoprostol 800 – 1000 µg per-rektal
e. Kompresi bimanual eksternal dan/ internal
f. Kompresi aorta abdominalis
Bila semua tindakan itu gagal, maka dipersiapkan untuk dilakukan tindakan
operatif laparotomi dengan pilihan bedah konservatif atau melakukan
histerektomi. Alternatifnya berupa:

1. Ligasi arteria uterine atau arteria ovarika

2. Operasi ransel B Lynch

3. Histerektomi supravaginal

4. Histerektomi total abdominal

2.7 Retensio Plasenta

Bila plasenta tetap tertinggal dalam uterus setengah jam setelah anak lahir
disebut sebagai retensio plasenta. Retensio plasenta bisa disebabkan oleh dua hal,
yaitu:
1. Sebab fungsional

a. Kontraksi atau tenaga his yang kurang adekuat untuk melepas


plasenta

b. Insersi di sudut tuba

c. Bentuk: plasenta membranasesa, plasenta annularis.

d. Ukuran plasenta yang terlalu kecil.

2. Sebab patologi-anatomi
51
a. plasenta akreta bila implantasi menembus desidua
basalis dan Nitbuch layer.
b. plasenta inkreta bila plasenta sampai menembus miometrium.

c. plasenta perkreta bila vili korialis sampai menembus


perimetrium.

Faktor predisposisi terjadinya plasenta akreta adalah plasenta previa, bekas


seksio sesarea, pernah kuret berulang, dan multiparitas. Bila sebagian kecil dari
plasenta masih tertinggal dalam uterus disebut rest placenta dan dapat
menimbulkan PPP primer atau (lebih sering) sekunder. Proses kala III didahului
dengan tahap pelepasan/separasi plasenta akan ditandai oleh perdarahan
pervaginam (cara pelepasan Duncan) atau plasenta sudah sebagian lepas tetapi
tidak keluar pervaginam (cara pelepasan Schultze), sampai akhirnya tahap
ekspulsi, plasenta lahir. Pada retensio plasenta, sepanjang plasenta belum terlepas,
maka tidak akan menimbulkan perdarahan. Sebagian plasenta yang sudah lepas
dapat menimbulkan perdarahan yang cukup banyak (perdarahan kala III) dan
harus diantisipasi dengan segera melakukan phcenu manwal, meskipun kala uri
belum lewat setengah jam.
Sisa plasenta bisa diduga bila kala uri berlangsung tidak lancar, atau
setelah melakukan plasenta manual atau menemukan adanya kotiledon yang tidak
lengkap pada saat melakukan pemeriksaan plasenta dan masih ada perdarahan dari
ostium uteri eksternum pada saat kontraksi rahim sudah baik dan robekan jalan
lahir sudah terjahit. Untuk itu, harus dilakukan eksplorasi ke dalam rahim dengan
cara manual/digital atau kuret dan pemberian uterotonika. Anemia yang
ditimbulkan setelah perdarahan dapat diberi transfusi darah sesuai dengan
keperluannya.

Tatalaksana dari retensio plasenta adalah sebagai berikut:

1. Berikan 20-40 unitoksitosin dalam 1000 ml larutan NaCl 0,9%/Ringer


Laktat dengan kecepatan 60 tetes/menitdan 10 UNIT IM. Lanjutkan
infus oksitosin 20 UNIT dalam 1000 ml larutan NaCl 0,9%/Ringer
Laktat dengan kecepatan 40 tetes/menit hingga perdarahan berhenti

52
2. Lakukan tarikan tali pusat terkendali

3. Bila tarikan tali pusat terkendali tidak berhasil, lakukan plasenta


manual secara hati-hati
4. Berikan antibiotika profilaksis dosis tunggal (ampisilin 2 g IV DAN
metronidazol 500 mg IV).
5. Segera atasi atau rujuk ke fasilitas yang lebih lengkap bila terjadi
komplikasi perdarahan hebat atau infeksi.
Jika terjadi sisa plasenta, maka dilakukan hal berikut:

1. Berikan 20-40 unit oksitosin dalam 1000 ml larutan NaCl


0,9%/Ringer Laktat dengan kecepatan 60 tetes/menitdan 10 unitIM.
Lanjutkan infus oksitosin 20 unitdalam 1000 ml larutan NaCl
0,9%/Ringer Laktat dengan kecepatan 40 tetes/menit hingga
perdarahan berhenti

2. Lakukan eksplorasi digital (bila serviks terbuka) dan keluarkan


bekuan darah dan jaringan (lihat lampiran A.2). Bila serviks hanya
dapat dilalui oleh instrumen, lakukan evakuasi sisa plasenta dengan
aspirasi vakum manual atau dilatasi dan kuretase (lihat lampiran A.3
dan A.4).
3. Berikan antibiotika profilaksis dosis tunggal (ampisillin 2 g IV dan
metronidazole 500 mg).
4. Jika perdarahan berlanjut, tatalaksana seperti kasus atonia uteri.

2.8 Rest Plasenta/Sisa Plasenta


A. Definisi
Rest plasenta adalah keadaan dimana suatu bagian dari plasenta (satu atau
lebih lobus) tertinggal, maka uterus tidak dapat berkontraksi secara efektif dan
dapat menimbulkan perdarahan.
B. Tatalaksana

Sewaktu suatu bagian dari plasenta - satu atau lebih lobus - tertinggal,
maka uterus tidak dapat berkontraksi secara efektif
1. Raba bagian dalam uterus untuk mencari sisa plasenta. Eksplorasi

53
manual uterus menggunakan teknik yang serupa dengan teknik yang
digunakan untuk mengeluarkan plasenta yang tidak keluar
2. Keluarkan sisa plasenta dengan tangan, cunam ovulum, atau kulit
besar. Catatan: jaringan yang melekat dengan kuat, mungkin
merupakan plasenta akreta. Usaha untuk melepaskan plasenta yang
melekat kuat dapat mengakibatkan perdarahan berat atau perforasi
uterus, yang biasanya membutuhkan tindakan histerektomi
3. Jika perdarahan berlanjut, lakukan uji pembekuan darah dengan
menggunakan uji pembekuan darah sederhana. Kegagalan
terbentuknya bekuan darah setelah 7 menit atau terbentuknya
bekuan darah yang lunak yang mudah hancur menunjukkan
kemungkinan adanya koagulopati.

2.9 Robekan Jalan Lahir

Risiko yang ditimbulkan karena robekan jalan lahir adalah perdarahan


yang dapat menjalar ke segmen bawah uterus. Risiko lain yang dapat terjadi
karena robekan jalan lahir dan perdarahan yang hebat adalah ibu tidak berdaya,
lemah, tekanan darah turun, anemia dan berat badan turun. Keluarnya bayi
melalui jalan lahir umumnya menyebabkan robekan pada vagina dan perineum.
Meski tidak tertutup kemungkinan robekan itu memang sengaja dilakukan untuk
memperlebar jalan lahir.
Jalan-lahir terdiri atas jalan-lahir bagian tulang dan jalan-lahir bagian
lunak. Jalanlahir bagian tulang terdiri atas tulang-tulang panggul dan sendi-
sendinya, sedang bagian lunak terdiri atas otot-orot, jaringan, dan ligamen-
ligamen. Dalam persalinan per vaginam janin harus melewati jalan-lahir ini. Jika
jalan-lkhususnya bagian tulang-mempunyai bentuk dan ukuran rata- rata normal
serta ukuran janinnya pun rara-rata normal, maka dengan kekuatan yang normal
pula persalinan per vaginam akan berlangsung tanpa kesulitan.
Pada umumnya robekan jalan lahir terjadi pada persalinan dengan trauma.
Pertolongan persalinan yang semakin manipulatif dan traumatik akan
memudahkan robekan jalan lahir dan karena itu dihindarkan memimpin persalinan
pada saat pembukaan serviks belum lengkap. Robekan jalan lahir biasanya akibat

54
episiotomi, robekan spontan perineum, trauma forseps atau vakum ekstraksi, atau
karena versi ekstraksi. Faktor resiko terjadinya robekan jalan lahir adalah :
1. Bayi besar
2. Malpresentasi atau malposisi janin (distosia bahu, posisi kepala
kurang fleksi dan oksipital anterior kelahiran dengan bantuan (forcep)
3. Posisi ibu saat melahirkan (berdiri), persalinan presipitatus (sangat
cepat)
4. Kala dua persalinan yang lama
5. Prkus pubis yang sempit
6. Primipara
7. Jarak persalinan
Robekan yang terjadi bisa ringan (lecet, laserasi), luka episiotomi, robekan
perineum spontan derajat ringan sampai ruptur perinei totalis (sfingter ani
terputus), robekan pada dinding vagina, forniks uteri, serviks, daerah sekitar
klitoris dan uretra dan bahkan, yang terberat, mptura uteri. Oleh karena itu, pada
setiap persalinan hendaklah dilakukan inspeksi yang teliti untuk mencari
kemungkinan adanya robekan ini.
Serviks mengalami laterasi pada lebih dari separuh pelahiran
pervaginatum, sebagian besar berukuran kurang dari 0.5 cm. Robekan yang dalam
dapat meluas ke sepertiga atas vagina. Cedera terjadi setelah setalah rotasi forceps
yang sulit atau pelahiran yang dilakukan pada serviks yang belum membuka
penuh dengan daun forseps terpasang pada serviks. Robekan dibawah 2 cm
dianggap normal dan biasanya cepat sembuh dan jarang menimbulkan kesulitan.
A. Gejala
1. Darah segar yang mengalir segera setelah bayi lahir
2. Uterus kontraksi dan keras
3. Plasenta lengkap, dengan gejala lain pucat, lemah, dan menggigil
Berdasarkan tingkat robekan, maka robekan perineum, dibagi menadi 4 tingkatan
yaitu:
1. Tingkat I : Robekan hanya terdapat pada selaput lendir vagina dengan
atau tanpa mengenai kulit perineum

55
2. Tingkat II : Robekan mengenai selaput lendir vagina dan otot perinei
transversalis, tetapi tidak mengenai sfringter ani
3. Tingkat III : Robekan menganai seluruh perineum dan otot sfringter
ani
4. Tingkat IV : Robekan sampai mukosa rektum

Pemeriksaan dapat dilakukan dengan cara melakukan inspeksi pada vulva,


vagina, dan serviks dengan memakai spekulum untuk mencari sumber perdarahan
dengan ciri warna darah yang merah segar dan pulsatif sesuai denyut nadi.
Perdarahan karena rutrura uteri dapat diduga pada persalinan macet atau kasep,
atau uterus dengan lokus minoris resistensia dan adanya atonia uteri dan tanda
cairan bebas intraabdominal. Semua sumber perdarahan yang terbuka harus
diklem, diikat dan luka ditutup dengan jahitan cat-gut lapis demi lapis sampai
perdarahan berhenti.
Jika terjadi ruptur perineum dan robekan dinding vagina, maka dilakukan
tindakan berikut:
1. Lakukan eksplorasi untuk mengidentifikasi sumber perdarahan.
2. Lakukan irigasi pada tempat luka dan bersihkan dengan antiseptik.
3. Hentikan sumber perdarahan dengan klem kemudian ikat dengan
benang yang dapat diserap. Lakukan penjahitan (lihat lampiran A.6).
4. Bila perdarahan masih berlanjut,berikan 1gr asam traneksamat IV
(bolus selama 1 menit, dapat diulang setelah 30 menit) lalu rujuk
pasien.
Jika terjadi robekan pada serviks:
1. Paling sering terjadi pada bagian lateral bawah kiri dan kanan dari
porsio.
2. Jepitkan klem ovum pada lokasi perdarahan.
3. Jahitan dilakukan secara kontinu dimulai dari ujung atas robekan
4. kemudian ke arah luar sehingga semua robekan dapat dijahit.
5. Bila perdarahan masih berlanjut, berikan 1gr asam traneksamat IV
(bolus selama 1 menit, dapat diulang setelah 30 menit) lalu rujuk
pasien.
Teknik penjahitan memerlukan asisten, anestesi lokal, penerangan lampu

56
yang cukup serta spekulum dan memperhatikan kedalaman luka. Bila penderita
kesakitan dan tidak kooperatif, perlu mengundang sejawat anestesi untuk
ketenangan dan keamanan saat melakukan hemostasis.
Komplikasi dari robekan jalan lahir adalah timbulnya perdarahan, fistula,
hematoma, hingga infeksi.

2.10 Inversio Uteri

Kegawatdaruratan pada kala III yang dapat menimbulkan perdarahan


adalah terjadinya inversi uterus. Inversi uterus adalah keadaan di mana iapisan
dalam uterus (endometrium) turun dan keluar lewat ostium uteri eksternum.
Inversio uteri sangat jarang terjadi. Menurut kepustakaan angka kejadiannya
adalah I : 5000-20.000 persalinan. Inversio uteri dapat bersifat inkomplit sampai
komplit. Pada inversio inkomplit, fundus uteri tidak sampai keluar dari serviks,
sedangkan pada inversio komplit seluruh fundus keluar dari serviks. Faktor-
faktor yang memungkinkan hal itu terjadi adalah adanya atonia uteri, serviks
yang masih terbuka lebar, dan adanya kekuatan yang menarik'fundus ke bawah
(misalnya karena plasenta akreta, inkreta dan perkreta, yang tali pusatnya ditarik
keras dari bawah) atau ada tekanan pada fundus uteri dari atas (manuver Crede)
atau tekanan intraabdominal yang keras dan tiba-tiba (misalnya batuk keras atau
bersin).
Inversio uteri ditandai dengan tanda-tanda sebagai berikut:
1. Syok karena kesakitan
2. Perdarahan banyak bergumpal
3. Di vulva tampak endometrium terbalik dengan atau tanpa plasenta
yang masih melekat
4. Bila baru terjadi, maka prognosis cukup baik akan tetapi bila
kejadiannya cukup lama, maka jepitan serviks yang mengecil akan
membuat utenrs mengalami iskemia, nekrosis, dan infeksi.
Untuk menegakkan diagnosis inversio uteri dilakukan palpasi abdomen
dan pemeriksaan dalam. Palpasi abdomen pada inversio inkomplit didapatkan
cekungan berbentuk seperti kawah pada fundus uteri, sedang pada inversio
komplit fundus uteri tidak dapat diraba. Pemeriksaan dalam pada inversio uteri

57
inkomplit teraba fundus uteri di kanalis servikalis dan pada inversio komplit
fundus uteri teraba di vagina atau bahkan sudah keluar dari vagina.
Secara garis besar tindakan yang dilakukan sebagai berikut:
1. Kaji ulang indikasi.
2. Kaji ulang prinsip dasar perawatan dan pasang infus.
3. Berikan petidin dan diazepam IV dalam semprit berbeda secara
perlahan- lahan, atau anestesi umum jika diperlukan.
4. Basuh uterus dengan larutan antiseptik dan tutup dengan kain basah
(dengan NaCl hangat) menjelang operasi.
5. Reposisi manual:
a. Pasang sarung tangan DTT
b. Pegang uterus pada daerah insersi tali pusat dan masukkan
kembali melalui serviks, dimulai dari bagian fundus. Gunakan
tangan lain untuk membantu menahan uterus dari dinding
abdomen. Jika plasenta masih belum terlepas, lakukan plasenta
manual setelah tindakan reposisi.
Jika reposisi manual tidak berhasil, lakukan reposisi hidrostatik.
1. Reposisi hidrostatik
a. Pasien dalam posisi Trendelenburg – dengan kepala lebih
rendah sekitar 50 cm dari perineum.
b. Siapkan sistem douche yang sudah didisinfeksi, berupa selang
2 m berujung penyemprot berlubang lebar. Selang disambung
dengan tabung berisi air hangat 3-5 L (atau NaCl atau infus
lain) dan dipasang setinggi 2 m.
c. Identifikasi forniks posterior.
d. Pasang ujung selang douche pada forniks posterior sambil
menutup labia sekitar ujung selang dengan tangan.
e. Guyur air dengan leluasa agar menekan uterus ke posisi
semula.
2. Reposisi manual dengan anestesia umum
Jika reposisi hidrostatik gagal, upayakan reposisi dalam anestesia
umum. Halotan merupakan pilihan untuk relaksasi uterus.

58
3. Reposisi kombinasi abdominal-vaginal
a. Kaji ulang indikasi.
b. Kaji ulang prinsip dasar perawatan operatif.
c. Lakukan insisi dinding abdomen sampai peritoneum dan
singkirkan usus dengan kassa. Tampak uterus berupa lekukan.
d. Dengan jari tangan, lakukan dilatasi cincin kontraksi serviks.
e. Pasang tenakulum melalui cincin serviks pada fundus.
f. Lakukan tarikan/traksi ringan pada fundus sementara asisten
melakukan reposisi manual melalui vagina.
g. Jika tindakan traksi gagal, lakukan insisi cincin konstriksi
serviks di bagian belakang untuk menghindari risiko cedera
kandung kemih, ulang tindakan dilatasi, pemasangan
tenakulum dan traksi fundus.
h. Jika reposisi berhasil, tutup dinding abdomen setelah
melakukan penjahitan hemostasis dan dipastikan tidak ada
perdarahan.
i. Jika ada infeksi, pasang drain karet.
j. Jika inversi sudah diperbaiki, berikan infus oksitosin 20 unit
dalam 200 ml cairan NaCl/Ringer Laktat IV dengan kecepatan
10 tetes/menit.
k. Jika dicurigai perdarahan, berikan infus sampai dengan 60
tetes/menit.
l. Jika kontraksi uterus kurang baik, berikan ergometrin 0,2 mg
atau prostaglandin.
m. Berikan antibiotika dosis tunggal Ampisilin 2 g IV dan
metronidazol 500 mg IV ATAU sefazolin 1 g IV dan
metronidazol 500 mg iv
n. Lakukan perawatan pasca bedah bila dilakukan reposisi
kombinasi abdominal-vaginal.
o. Berikan antibiotik jika ada tanda infeksi sampai pasien bebas
demam selama 48 jam.

59
p. Berikan analgetik bila perlu.

Cara Manual Reposisi Inversio Uteri

2.11 Perdarahan karena Gangguan Pembekuan Darah


Kausal perdarahan pascapersalinan karena gangguan pembekuan darah
baru dicurigai bila penyebab yang lain dapat disingkirkan apalagi disertai ada
riwayat pernah mengalami hal yang sama pada persalinan sebelumnya. Akan ada
tendensi mudah terjadi perdarahan setiap dilakukan penjahitan dan perdarahan
akan merembes atau timbul hematoma pada bekas jahitan, suntikan, perdarahan
dari gusi, rongga hidung, dan lain-lain.
Pada pemeriksaan penunjang ditemukan hasil pemeriksaan faal
hemostasis yang abnormal. Waktu perdarahan dan waktu pembekuan
memanjang, trombositopenia, terjadi hipofibrinogenemia, dan terdeteksi adanya
FDP (Fibrin Degradation Time) serta pemanjangan tes prothrombin dan PTT
(Partial Tromboplastin Time). Predisposisi untuk terjadinya hal ini adalah
solusio plasenta, kematian janin dalam kandungan, eclampsia, emboli cairan
ketuban, dan sepsis. Terapi yang dilakukan adalah dengan transfusi darah dan
produknya seperti plasma beku segar, trombosit, fibrinogen, dan heparinisasi
atau pemberian EACA (Epsilon Amino Caproic Acid).

2.12 Preeklampsia-Eklampsia
Hipertensi dalam kehamilan merupakan 5 - 15 % penyuiit kehamilan dan
merupakan salah satu dari tiga penyebab tertinggi mortalitas dan morbiditas ibu

60
bersalin. Di Indonesia mortaiitas dan morbiditas hipertensi dalam kehamilan
juga masih cukup tinggi. Hal ini disebabkan selain oleh etiologi tidak jelas, juga
oleh perawatan dalam persalinan masih ditangani oleh petugas non medik dan
sistem rujukan yang belum sempurna. Hipertensi dalam kehamilan dapat dialami
oieh semua lapisan ibu hamil sehingga pengetahuan rentang pengelolaan
hipertensi dalam kehamiian harus benar- benar dipahami oleh semua tenaga
medik baik di pusat maupun di daerah.
A. Terminologi
Terminologi yang dipakai adalah
1. Hipertensi dalam kehamilan, atau
2. Preeklampsia-eklampsia
B. Klasifikasi
Klasifikasi yang dipakai di Indonesia adalah berdasarkan Report of the
National High Blood Pressure Education Program Working Group on High
Blood Pressure in Pregnancy tahun 2001, ialah:
1. Hipertensi kronik
Hipertensi kronik adalah hipertensi yang timbul sebelum umur
kehamilan 20 minggu atau hipertensi yang pertama kali didiagnosis
seteiah umur kehamilan 20 minggu dan hipertensi menetap sampai
12 minggu pascapersalinan.
2. Preeklampsia-eklampsia
a. Preeklampsia adalah hipertensi yang timbul setelah 20 minggu
kehamilan
b. Eklampsia adalah preeklampsia yang disertai dengan kejang-
keiang dan/atau koma
3. Hipertensi kronik dengan superimposed preeklampsia
Hipertensi kronik dengan superimposed preeklampsia adalah
hipertensi kronik disertai tanda-tanda preeklampsia atau hipertensi
kronik disertai proteinuria
4. Hipertensi gestasional. Penjelasan pembagian klasifikasi
Hipertensi gestasional (disebut juga transient hypertension) adalah
hipertensi yang timbul pada kehamilan tanpa disertai proteinuria dan

61
hipertensi menghilang setelah 3 bulan pascapersaiinan atau
kehamilan dengan tanda-tanda preeklampsia retapi tanpa proteinuria
Penjelasan Tambahan
1. Hipertensi ialah tekanan darah sistolik dan diastolik ≥ 140/90
mmHg. Pengukuran tekanan darah sekurang-kurangnya dilakukan 2
kali selang 4 jam. Kenaikan tekanan darah sistolik ≥ 30 mmHg dan
kenaikan tekanan darah diastolik ≥ 15 mmHg sebagai parameter
hipertensi sudah tidak dipakai iagi.
2. Proteinuria ialah adanya 300 mg protein dalam urin selama 24 jam
atau sama dengan ≥1+ dipstick
3. Edema, dahulu edema mngkai, dipakai sebagai tanda-tanda
preeklampsia, tetapi sekarang edema tungkai tidak dipakai lagi,
kecuali edema generalisata (anasarka). Perlu dipenimbangkan faktor
risiko timbulnya hipertensi dalam kehamilan, bila didapatkan edema
generalisata, atau kenaikan berat badan > 0,57 kg/minggu.
Primigravida yang mempunyai kenaikan berat badan rendah, yaitu <
0,34 kg/minggu, menurunkan risiko hipertensi, tetapi menaikkan
risiko berat badan bayi rendah.
C. Faktor Risiko
1. Terdapat banyak faktor risiko untuk terjadinya hipertensi dalam
kehamilan, yang dapat dikelompokkan dalam faktor risiko sebagai
berikut:
2. Primigravida, primipaternitas.
3. Hiperplasentosis, misalnya: mola hidatidosa, kehamilan multipel,
diabetes mellitus, hidrops fetalis, bayi besar
4. Umur yang ekstrim
5. Riwayat keluarga pernah preeklampsia/eklampsia
6. Penyakit-penyakit ginjal dan hipertensi yang sudah ada sebelum
hamil
7. Obesitas
D. Patofisiologi
Penyebab hipertensi dalam kehamilan hingga kini beium diketahui

62
dengan jelas. Banyak teori telah dikemukakan tentang terjadinya hipertensi
dalam kehamilan, terapi tidak ada satu pun teori tersebut yang dianggap mutlak
benar. Teori-teori yang sekarang banyak dianut adalah:
1. Teori kelainan vaskularisasi plasenta
Pada kehamilan normal, rahim dan plasenta mendapat aliran darah dari
cabang-cabang arteri uterina dan arteria ovarika. Kedua pembuluh darah
tersebut menembus miometrium berupa arteri arkuarta dan arteri arkuarta
memberi cabang arteria radialis. Arteria radialis menembus endometrium
menjadi arteri basalis dan arteri basalis memberi cabang arteria spiralis.
Pada hamil normal, dengan sebab yang belum jelas, terjadi invasi
rrofoblas ke dalam Iapisan otot arteria spiralis, yang menimbulkan
degenerasi lapisan otot tersebur sehingga terjadi dilatasi arteri spiralis.
Invasi trofoblas juga memasuki jaringan sekitar arteri spiralis, sehingga
jaringan matriks menjadi gembur dan memudahkan lumen arteri spiralis
mengalami distensi dan dilatasi. Distensi dan vasodilatasi lumen arteri
spiralis ini memberi dampak penunrnan tekanan darah, penurunan
resistensi vaskular, dan peningkatan aliran darah pada daerah utero
plasenta. Akibatnya, aliran darah ke janin cukup banyak dan perfusi
jaringan juga meningkat, sehingga dapat menjamin pertumbuhan janin
dengan baik. Proses ini dinamakan "remodeling arteri spiralis".
Pada hipertensi dalam kehamilan tidak terjadi invasi sel-sel trofoblas
pada lapisan otot arteri spiralis dan jaringan matriks sekitarnya. Lapisan
otot arreri spiralis menjadi tetap kaku dan keras sehingga lumen arteri
spiralis tidak memungkinkan mengalami distensi dan vasodilatasi.
Akibatnya, arteri spiralis relatif mengalami vasokonstriksi, dan terjadi
kegagalan "remodeling arteri spiralis", sehingga aliran darah uteroplasenta
menurun, dan terjadilah hipoksia dan iskemia plasenta. Dampak iskemia
plasenta akan menimbulkan perubahan-perubahan yang dapat menjelaskan
patogenesis hipertensi dalam kehamilan selanjutnya.
Diameter rata-rata arteri spiralis pada hamil normal adalah 500 mikron,
sedangkan pada preeklampsia rata-rata 200 mikron. Pada hamil normal
vasodilatasi lumen arteri spiralis dapat meningkatkan 10 kali aliran darah

63
ke utero plasenta.

2. Teori iskemia plasenta, radikal bebas, dan disfungsi endotel


a. Iskemia plasenta dan pembentukan oksidan/radikal bebas
Sebagaimana dijelaskan pada teori invasi trofoblas, pada
hipertensi dalam kehamilan terjadi kegagalan "remodeling
arteri spiralis", dengan akibat plasenta mengalami iskemia.
Plasenta yang mengalami iskemia dan hipoksia akan
menghasilkan oksidan (disebut juga radikal bebas).
Oksidan atau radikal bebas adalah senyawa penerima
elektron atau atom/molekul yang mempunyai elektron yang
tidak berpasangan. Salah satu oksidan penting yang dihasilkan
plasenta iskemia adalah radikal hidroksil yang sangat toksis,
khususnya terhadap membran sel endotel pembuluh darah.
Sebenarnya produksi oksidan pada manusia adalah suatu
proses norrnal, karena oksidan memang dibutuhkan untuk
perlindungan tubuh. Adanya radikal hidroksil dalam darah
mungkin dahulu dianggap sebagai bahan toksin yang beredar
dalam darah, maka dulu hipertensi dalam kehamilan disebut
"toxaemia".
Radikal hidroksil akan merusak membran sel, yang
mengandung banyak asam lemak tidak jenuh menjadi
peroksida lemak. Peroksida lemak selain akan merusak
membrane sel, juga akan merusak nukleus, dan protein sel
endotel. Produksi oksidan (radikal bebas) dalam tubuh yang
bersifat toksis, selalu diimbangi dengan produksi antioksidan.
b. Peroksida lemak sebagai oksidan pada hipertensi dalam
kehamilan Pada hipertensi dalam kehamilan telah terbukd
bahwa kadar oksidan, khususnya peroksida lemak meningkat,
sedangkan antioksidan, misal vitamin E pada hipertensi dalam
kehamilan menurun, sehingga terjadi dominasi kadar oksidan
peroksida lemak yang relatif tinggi. Peroksida lemak sebagai

64
oksidan/radikal bebas yang sangat toksis ini akan beredar di
seluruh rubuh dalam aliran darah dan akan merusak membran
sel endotel.
Membran sei endotel lebih mudah mengalami kerusakan
oleh peroksida lemak, karena letaknya langsung berhubungan
dengan aliran darah dan mengandung banyak asam lemak tidak
jenuh. Asam lemak tidak jenuh sangar renran terhadap oksidan
radikal hidroksil, yang akan berubah menjadi peroksida lemak.
c. Disfungsi sel endotel. Akibat sel endotel terpapar terhadap
peroksida lemak, maka terjadi kerusakan sel endotel, yang
kerusakannya dimulai daii membran sel endotel. Kerusakan
membrane sel endotel mengakibatkan terganggunya fungsi
endotel, bahkan rusaknya seluruh strukrur sel endotel. Keadaan
ini disebut "disfungsi endotel".
Pada waktu terjadi kerusakan sel endotel yang
mengakibatkan disfungsi sel endotel, maka akan terjadi:
i. Gangguan metabolisme prostaglandin, karena salah satu
fungsi sel endotel, adalah memproduksi prostaglandin,
yaitu menumnnya produksi prostasiklin (PGE2): suatu
vasodilatator kuat.
ii. Agregasi sel-sel trombosit pada daerah endotel yang
mengalami kerusakan. Agregasi sel trombosit ini adalah
untuk menutup tempat-tempat di lapisan endotel yang
mengalami kerusakan. Agregasi trombosit memproduksi
tromboksan (TXA2) suatu vasokonstriktor kuat.
iii. c. Dalam keadaan normal perbandingan kadar
prostasiklin/tromboksan lebih tinggi kadar prostasiklin
(lebih tinggi vasodilatator). Pada preeklampsia kadar
tromboksan lebih tinggi dari kadar prostasiklin sehingga
terjadi vasokonstriksi, dengan terjadi kenaikan tekanan
darah.
iv. Perubahan khas pada sel endotel kapilar glomerulus

65
(glomerular endotheliosis).
v. Peningkatan permeabilitas kapilar.
vi. Peningkatan produksi bahan-bahan vasopresor, yaitu
endotelin. Kadar nitrat oksida (vasodilatator) menurun,
sedangkan endotelin (vasokonstriktor) meningkat.
vii. Peningkatan faktor koagulasi.
3. Teori intoleransi imunologik antara ibu dan janin
Dugaan bahwa faktor imunologik berperan terhadap terjadinya
hipertensi dalam kehamilan terbukti dengan fakta sebagai berikut.
a. Primigravida mempunyai risiko lebih besar terjadinya
hipertensi dalam kehamilan jika dibandingkan dengan
multigravida.
b. Ibu multipara yang kemudian menikah lagi mempunyai risiko
lebih besar terjadinya hipertensi dalam kehamilan jika
dibandingkan dengan suami yang sebelumnya.
c. Seks oral mempunyai risiko lebih rendah terjadinya hipertensi
dalam kehamilan. Lamanya periode hubungan seks sampai saat
kehamilan ialah makin lama periode ini, makin kecil terjadinya
hipertensi dalam kehamilan.
Pada perempuan hamil normal, respons imun tidak menolak adanya
“hasil konsepsi” yang bersifat asing. Hal ini disebabkan adanya human
leukocyte antigen protein G (HLA-G), yang berperan penting dalam
modulasi respons imun, sehingga si ibu tidak menolak hasil konsepsi
(plasenta). Adanya HLA-G pada plasenta dapat melindungi trofoblas janin
dari lisis oleh sel Natural Killer (NK) ibu.
Selain itu, adanya HLA-G akan mempermudah invasi sel trofoblas ke
dalam jaringan desidua ibu. Jadi HLA-G merupakan prakondisi untuk
terjadinya invasi trofoblas ke dalam jaringan desidua ibu, di samping
untuk menghadapi sel Natural Killer. Pada plasenta hipertensi dalam
kehamilan, terjadi penurunan ekspresi HLA-G. Berkurangnya HLA-G di
desidua daerah plasenta, menghambat invasi trofoblas ke dalam desidua.
Invasi trofoblas sangat penting agar jaringan desidua menjadi lunak,

66
dan gembur sehingga memudahkan terjadinya dilatasi arteri spiralis. HLA-
G juga merangsang produksi sitokin, sehingga memudahkan terjadinya
reaksi inflamasi. Kemungkinan terjadi adaptasi imun pada preeklampsia.
Pada awal trimester kedua kehamilan perempuan yarrg mempunyai
kecenderungan teriadi preeklampsia, ternyata mempunyai proporsi Helper
Sel yang lebih rendah dibanding pada normotensif.
4. Teori adaptasi kardiovaskulatori genetik
Pada hamil normal pembuluh darah refrakter terhadap bahan- bahan
vasopresor. Refrakter, berarti pembuluh darah tidak peka terhadap
rangsangan bahan vasopresor, atau dibutuhkan kadar vasopresor yang
lebih tinggi untuk menirnbulkan respons vasokonstriksi. Pada kehamilan
normal terjadinya refrakter pembuluh darah terhadap bahan vasopresor
adalah akibat dilindungi oleh adanya sintesis prostaglandin pada sel
endotel pembuluh darah. Hal ini dibuktikan bahwa daya refrakter terhadap
bahan vasopressor akan hilang bila diberi prostaglandin sintesa inhibitor
(bahan yang menghambat produksi prostaglandin). Prostaglandin ini
dikemudian hari ternyata adalah prostasiklin.
Pada hipertensi dalam kehamilan kehilangan daya refrakter terhadap
bahan vasokonstriktor, dan ternyata terjadi peningkatan kepekaan terhadap
bahan-bahan vasopresor. Artinya, daya refrakter pembuluh darah terhadap
bahan vasopresor hilang sehingga pembuluh darah menjadi sangat peka
terhadap bahan vasopresor. Banyak peneliti telah membuktikan bahwa
peningkatan kepekaan terhadap bahan- bahan vasopresor pada hipertensi
dalam kehamilan sudah terjadi pada trimester I (pertama). Peningkatan
kepekaan pada kehamilan yang akan menjadi hipertensi dalam kehamilan,
sudah dapat ditemukan pada kehamilan dua puluh minggu. Fakta ini dapat
dipakai sebagai prediksi akan terjadinya hipertensi dalam kehamilan.
5. Teori genetik
Ada faktor keturunan dan familial dengan model gen tunggal. Genotipe
ibu lebih menentukan terjadinya hipertensi dalam kehamilan secara
familial jika dibandingkan dengan genotipe janin. Telah terbukti bahwa
pada ibu yang mengalami preeklampsia, 26% anak perempuannya akan

67
mengalami preeklampsia pula, sedangkan hanya 8% anak menantu
mengalami preeklampsia.
6. Teori defisiensi gizi (teori diet)
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa kekurangan defisiensi
gizi berperan dalam terjadinya hipertensi dalam kehamilan.
Penelitian yang penting yang pernah dilakukan di Inggris ialah
penelitian tentang pengaruh diet pada preeklampsia beberapa waktu
sebelum pecahnya Perang Dunia II. Suasana serba sulit mendapat gizi
yang cukup dalam persiapan perang menimbulkan kenaikan insiden
hipertensi dalam kehamilan.
Penelitian terakhir membuktikan bahwa konsumsi minyak ikan,
termasuk minyak hati halibut, dapat mengurangi risiko preeklampsia.
Minyak ikan mengandung banyak asam lemak tidak jenuh yang dapat
menghambat produksi tromboksan, menghambat aktivasi trombosit, dan
mencegah vasokonstriksi pembuluh darah. Beberapa peneliti telah
mencoba melakukan uji klinik untuk memakai konsumsi minyak ikan atau
bahan yang mengandung asam lemak tak jenuh dalam mencegah
preeklampsia. Hasil sementara menunjukkan bahwa penelitian ini berhasil
baik dan mungkin dapat dipakai sebagai alternatif pemberian aspirin.
Beberapa peneliti juga menganggap bahwa defisiensi kalsium pada diet
perempuan hamil mengakibatkan risiko terjadinya
preeklampsia/eklampsia. Penelitian di Negara Equador Andes dengan
metode uji klinik, ganda tersamar, dengan membandingkan pemberian
kalsium dan plasebo. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ibu hamil
yang diberi suplemen kalsium cukup, kasus yang mengalami preeklampsia
adalah 14 % sedang yang diberi glukosa 17 %.
7. Teori stimulus inflamasi
Teori ini berdasarkan fakta bahwa lepasnya debris trofoblas di dalam
sirkulasi darah merupakan rangsangan utama terjadinya proses inflamasi.
Pada kehamilan normal plasenta juga melepaskan debris trofoblas, sebagai
sisa sisa proses apoptosis dan nekrotik trofoblas, akibat reaksi stres
oksidatif.

68
Bahan-bahan ini sebagai bahan asing yang kemudian merangsang
timbulnya proses inflamasi. Pada kehamilan normal, jumlah debris
trofoblas masih dalam batas wajar, sehingga reaksi inflamasi juga masih
dalam batas normal. Berbeda dengan proses apoptosis pada preeklampsia,
di mana pada preeklampsia terjadi peningkatan stres oksidatif, sehingga
produksi debris apoptosis dan nekrotik trofoblas juga meningkat. Makin
banyak sel trofoblas plasenta, misalnya pada plasenta besar, pada hamil
ganda, maka reaksi stres oksidatif akan sangat meningkat, sehingga jumlah
sisa debris trofoblas juga makin meningkat. Keadaan ini menimbulkan
beban reaksi inflamasi dalam darah ibu menjadi jauh lebih besar,
dibanding reaksi inflamasi pada kehamilan normal. Respons inflamasi ini
akan mengaktivasi sel endotel, dan sel-sel makrofag/granulosit, yang lebih
besar pula, sehingga terjadi reaksi sistemik inflamasi yang menimbulkan
gejala- gejala preeklampsia pada ibu.
Redman, menyatakan bahwa disfungsi endotel pada preeklampsia
akibat produksi debris trofoblas plasenta berlebihan tersebut di atas,
mengakibatkan "aktivitas leukosit yang sangat tinggi" pada sirkulasi ibu.
Peristiwa ini oleh Redman disebut sebagai "kekacauan adaptasi dari proses
inflamasi intravaskular pada kehamilan" yang biasanya berlangsung
normal dan menyeluruh.
E. Perubahan Sistem dan Organi pada Preeklampsia
1. Volume plasma
Pada hamil nomal volume plasma meningkat dengan bermakna (disebut
hipervolemia), guna memenuhi kebutuhan pertumbuhan janin. Peningkaan
tertinggi volume plasma pada hamil normal terjadi pada umur kehamilan
32 - 34 minggu. Sebaliknya, oleh sebab yang tidak jelas pada preeklampsia
terjadi penurunan volume plasma antara 30%-40% dibanding hamil
normal, disebut hipovolemia. Hipovolemia diimbangi dengan
vasokonstriksi, sehingga terjadi hipertensi. Volume plasma yang menurun
memberi dampak yang luas pada organ-organ penting.
Preeklampsia sangat peka terhadap pemberian cairan intravena yang
terlalu cepat dan banyak. Demikian sebaliknya preeklampsia sangat peka

69
terhadap kehilangan darah waktu persalinan. Oleh karena itu, observasi
cairan masuk ataupun keluar harus ketat.
2. Hipertensi
Hipertensi merupakan tanda terpenting guna menegakkan diagnosis
hipertensi dalam kehamilan. Tekanan diastolik menggambarkan resistensi
perifer, sedangkan tekanan sistolik, menggambarkan besaran curah
jantung. Pada preeklampsia peningkatan reaktivitas vaskular dimulai umur
kehamilan 20 minggu, tetapi hipertensi dideteksi umumnya pada trimester
II. Tekanan darah yang tinggi pada preeklampsia bersifat labil dan
mengikuti irama sirkadian normal. Tekanan darah menjadi normal
beberapa hari pascapersalinan, kecuali beberapa kasus preeklampsia berat
kembalinya tekanan darah normal dapat terjadi 2-4 minggu
pascapersalinan. Tekanan darah bergantung terutama pada curah jantung,
volume plasma, resistensi perifer, dan viskositas darah. Timbulnya
hipertensi adalah akibat vasospasme menyeluruh dengan ukuran tekanan
darah ≥ 140/90 mmHg selang 6 jam. Tekanan diastolik ditentukan pada
hilangnya suara Korotkoff’s phase V. Dipilihnya tekanan diastolik 90
mmHg sebagai batas hipertensi, karena batas tekanan diastolik 90 mmHg
yang disenai proteinuria, mempunyai korelasi dengan kematian perinatal
tinggi. Mengingat proteinuria berkorelasi dengan nilai absolut tekanan
darah diastolik, maka kenaikan (perbedaan) tekanan darah tidak dipakai
sebagai kriteria diagnosis hipertensi, hanya sebagai tanda waspada. Mean
Arterial Blood Pressure (MAP) tidak berkorelasi dengan besaran
proteinuria. MAP jarang dipakai oleh sebagian besar klinisi karena kurang
praktis dan sering terjadi kesalahan pengukuran. Pengukuran tekanan
darah harus dilakukan secara standar.
3. Fungsi Ginjal
Perubahan fungsi ginjal disebabkan oleh hal-hal berikut.
a. Menurunnya aliran darah ke ginjal akibat hipovolemia
sehingga terjadi oliguria, bahkan anuria.
b. Kerusakan sel glomerulus mengakibatkan meningkatnya
permeabilitas membrane basalis sehingga terjadi kebocoran

70
dan mengakibatkan proteinuria. Proteinuria terjadi jauh pada
akhir kehamilan, sehingga sering dijumpai preeklampsia tanpa
proteinuria, karena janin lebih dulu lahir.
c. Terjadi Glomerular Capilary Endotheliosis akibat sel endotel
glomerular membengkak disertai deposit fibril.
d. Gagal ginjal akut terjadi akibat nekrosis tubulus ginjal. Bila
sebagian besar kedua korteks ginjal mengalami nekrosis, maka
terjadi "nekrosis korteks ginjal" yang bersifat ireversibel.
e. Dapat terjadi kerusakan intrinsik jaringan ginjal akibat
vasospasme pembuluh darah. Dapat diatasi dengan pemberian
dopamin agar terjadi vasodilatasi pembuluh darah ginjal.
4. Proteinuria
a. Bila proteinuria timbul sebelum hipertensi, umumnya
merupakan gejala penyakit ginjal. Tanpa hipertensi, maka
dapat dipertimbangkan sebagai penyulit kehamilan Tanpa
kenaikan tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg, umumnya
ditemukan pada infeksi saluran kencing atau anemia. Jarang
ditemukan proteinuria pada tekanan diastolik < 90 mmHg.
b. Proteinuria merupakan syarat untuk diagnosis preeklampsia,
tetapi proteinuria umumnya timbul jauh pada akhir kehamilan,
sehingga sering dijumpai preeklampsia tanpa proteinuria,
karena janin sudah lahir lebih dulu.
c. Pengukuran proteinuria, dapat dilakukan dengan (a) urin
dipstik: 100 mg/l atau +1, sekurang-kurangnya diperiksa 2 kali
urin acak selang 6 jam dan (b) pengumpulan proteinuria dalam
24 jam. Dianggap patologis bila besaran proteinuria ≥ 300
mg/24 jam.
Asam urat serum (wric acid serwm): umumnya meningkat ≥ 5 mg/cc.
Hal ini disebabkan oleh hipovolemia, yang menimbulkar menumnnya
aliran darah ginjal dan mengakibatkan menurunnya filtrasi glomerulus,
sehingga menurunnya sekresi asam urat. Peningkatan asam urat dapat
terjadi juga akibat iskemia jaringan.

71
Kreatinin
Sama halnya dengan kadar asam urat semm, kadar kreatinin plasma
pada preeklampsia juga meningkat. Hal ini disebabkan oleh hipovolemia,
maka aliran darah ginjal menurun, mengakibatkan menurunnya filtrasi
glomerulus, sehingga menurunnya sekresi kreatinin, disertai peningkatan
kreatinin plasma. Dapat mencapai kadar kreatinin plasma ≥ 1 mg/cc, dan
biasanya terjadi pada preeklampsia berat dengan penyulit pada ginjal.
Oliguria dan anuria
Oliguria dan anuria terjadi karena hipovolemia sehingga aliran darah ke
ginjal menurun yang mengakibatkan produksi urin menurun (oliguria),
bahkan dapat terjadi anuria. Berat ringannya oliguria menggambarkan
berat ringannya hipovolemia. Hal ini berarti menggambarkan pula berat
ringannya preeklampsia. Pemberian cairan intravena hanya karena oliguria
tidak dibenarkan.
5. Elektrolit
Kadar elektrolit rotal menumn pada wakru hamil normal. Pada
preeklampsia kadar elektrolit total sama seperti hamil normal, kecuali bila
diberi diuretikum banyak, restriksi konsumsi garam atau pemberian cairan
oksitosin yang bersifat antidiuretik.
Preeklampsia berat yang mengalami hipoksia dapat menimbulkan
gangguan keseimbangan asam basa. Pada waktu terjadi kejang eklampsia
kadar bikarbonat menurun, disebabkan timbulnya asidosis laktat dan
akibat kompensasi hilangnya karbon dioksida.
Kadar natrium dan kalium pada preeklampsia sama dengan kadar hamil
normal, yaitu sesuai dengan proporsi jumlah air dalam tubuh. Karena
kadar natrium dan kalium tidak berubah pada preeklampsia, maka tidak
terjadi retensi natrium yang berlebihan. Ini berarti pada preeklampsia tidak
diperlukan restriksi konsumsi garam.
6. Tekanan osmotic koloid plasma/tekanan onkotik
Osmolaritas serum dan tekanan onkotik menumn pada umur kehamilan
8 minggu. Pada preeklampsia tekanan onkotik makin menurun karena
kebocoran protein dan peningkatan permeabilitas vaskular.

72
7. Koagulasi dan fibrinolisis
Gangguan koagulasi pada preeklampsia, misalnya trombositopenia,
jarang yang berat, tetapi sering dijumpai. Pada preeklampsia terjadi
peningkatan Fibrin Degradation Products, penurunan anti trombin III, dan
peningkatan fibronektin.
8. Viskosotas Darah
Viskositas darah ditentukan oleh volume plasma, molekul makro:
fibrinogen dan hematokrit. Pada preeklampsia viskositas darah meningkat,
mengakibatkan meningkatnya resistensi perifer dan menurunnya aliran
darah ke organ.
9. Hematokrit
Pada hamil normal hematokrit menurun karena hipervolemia, kemudian
meningkat lagi pada trimester III akibat peningkatan produksi urin. Pada
preeklampsia hematocrit meningkat karena hipovolemia yang
menggambarkan beratnya preeklampsia.
10. Edema
Edema dapat terjadi pada kehamilan normai. Edema yang terjadi pada
kehamilan mempunyai banyak interpretasi, misalnya 40% edema dijumpai
pada hamil normal, 60% edema dijumpai pada kehamilan dengan
hipertensi, dan 80 % edema dijumpai pada kehamilan dengan hipertensi
dan proteinuria.
Edema terjadi karena hipoalbuminemia atau kerusakan sel endotel
kapilar. Edema yang patologik adalah edema yang nondependen pada
muka dan tangan, atau edema generalisata, dan biasanya disertai dengan
kenaikan berat badan yang cepat.
11. Hematologik
Perubahan hematologik disebabkan oleh hipovolemia akibat
vasospasme, hipoalbuminemia hemolisis mikroangiopatik akibat spasme
arteriol dan hemolisis akibat kerusakan endotel arteriol. Perubahan
terscbut dapat berupa peningkatan hematokrit akibat hipovolemia,
peningkatan viskositas darah, trombositopenia, dan gejala hemolisis

73
mikroangiopatik. Disebut trombositopenia bila trombosit < 100.000
sel/ml. Hemolisis dapat menimbulkan destruksi eritrosit.
12. Hepar
Dasar perubahan pada hepar ialah vasospasme, iskemia, dan
perdarahan. Bila terjadi perdarahan pada sei periportal lobus perifer, akan
terjadi nekrosis sel hepar dan peningkatan enzim hepar. Perdarahan ini
dapat meluas hingga di bawah kapsula hepar dan disebut subkapsular
hematoma. Subkapsular hematoma menimbulkan rasa nyeri di daerah
epigastrium dan dapat menimbuikan ruptur hepar, sehingga perlu
pembedahan.
13. Neurologi
Perubahan neurologik dapat berupa:
a. Nyeri kepala disebabkan hiperperfusi otak, sehingga
menimbulkan vasogenik edema.
b. Akibat spasme arteri retina dan edema retina dapat terjadi
gangguan visus. Gangguan visus dapat berupa: pandangan
kabur, skotomata, amaurosis yaitu kebutaan tanpa jelas adanya
kelainan dan ablasio retina.
c. Hiperrefleksi sering dijumpai pada oreeklampsia berat, tetapi
bukan faktor prediksi terjadinya eklampsia.
d. Dapat timbul kejang eklamptik. Penyebab kejang eklamptik
belum diketahui dengan jelas. Faktor-faktor yang
menimbulkan kejang eklamptik ialah edema serebri,
vasospasme serebri dan iskemia serebri.
e. Perdarahan intrakranial meskipun jarang, dapat terjadi pada
preeklampsia berat dan eklampsia.
14. Kardiovaskuler
Perubahan kardiovaskular disebabkan oleh peningkamn cardiac
afterload akibat hipertensi dan penumnan cardiac preload akibat
hipovolemia.

74
15. Paru
Penderita preeklampsia berat mempunyai risiko besar terjadinya edema
paru. Edema paru dapat disebabkan oleh payah jantung kiri, kerusakan sel
endotel pada pembuluh darah kapilar paru, dan menurunnya diuresis.
Dalam menangani edema paru, pemasangan Central Venous Pressure
(CVP) tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya dari pulmonary
capillary uedge pressure.
16. Janin
Preeklampsia dan eklampsia memberi pengaruh buruk pada kesehatan
janin yang disebabkan oleh menurunnya perfusi utero plasenta,
hipovolemia, vasospasme, dan kerusakan sel endotel pembuluh darah
plasenta.
Dampak preeklampsia dan eklampsia pada janin adalah:
a. Intrauterine growth restriction (IUGR) dan oligohidramnion
b. Kenaikan morbiditas dan mortalitas janin, secara tidak langsung
akibat intrauterine growth restriction, prematuritas,
oligohidramnion, dan solusio plasenta.
F. Pembagian Preeklampsia
Preeklampsia merupakan penyulit kehamilan yang akut dan dapat terjadi
ante, intra, dan postpartum. Dari gejala-gejala klinik preeklampsia dapat dibagi
menjadi preeklampsia ringan dan preeklampsia berat.
Pembagian preeklampsia menjadi berat dan ringan tidaklah berarti adanya
dua penyakit yang jelas berbeda, sebab seringkali ditemukan penderita dengan
preeklampsia ringan dapat mendadak mengalami kejang dan jatuh dalam koma.
Gambaran klinik preeklampsia bervariasi luas dan sangat individual.
Kadang-kadang sukar untuk menentukan gejala preeklampsia mana yang timbul
lebih dahulu. Secara teoritik urutan-uruan gejala yang timbul pada preeklampsia
ialah edema, hipertensi, dan terakhir proteinuria; sehingga bila gejala-gejala ini
timbul tidak dalam urutan di atas, dapat dianggap bukan preeklampsia.
Dari semua gejala tersebut, timbulnya hipertensi dan proteinuria merupakan gejala
yang paling penting. Namun, sayangnya penderita seringkali tidak merasakan
perubahan ini. Bila penderita sudah mengeluh adanya gangguan nyeri kepala,

75
gangguan penglihatan, atau nyeri epigastrium, maka penyakit ini sudah cukup
lanjut (Karkata, 2010).
1. Preeklampsia ringan
a. Definisi
Preeklampsia ringan adalah suatu sindroma spesifik kehamilan
dengan menurunnya perfusi organ yang berakibat terjadinya
vasospasme pembuluh darah dan aktivasi endotel
b. Diagnosis
Diagnosis preeklampsia ringan ditegakkan berdasar atas
timbulnya hipertensi disertai proteinuria dan/atau edema setelah
kehamilan 20 minggu.
i. Hipertensi: sistolik/diastolik ≥ 140/90 mmHg. Kenaikan
sistolik ≥ 30 mmHg dan kenaikan diastolik ≥ 15 mmHg
tidak dipakai lagi sebagai kriteria preeklampsia.
ii. Proteinuria: ≥300 mg/24 jam atau ≥ 1 + dipstik.
iii. Edema: edema lokal tidak dimasukkan dalam kriteria
preeklampsia, kecuaii edema pada lengan, muka dan perut,
edema generalisata
c. Penanganan
Kehamilan kurang dari 37 minggu:
i. Jika belum ada perbaikan, lakukan penilaian 2 kali
seminggu secara rawat jalan:
a) Pantau tekanan darah, urin (untuk proteinuria),
refleks, dan kondisi janin.
b) Konseling pasien dan keluarganya tentang tanda-
tanda bahaya preeklampsia dan eklampsia.
c) Lebih banyak istirahat.
d) Diet biasa (tidak perlu diet rendah garam)
e) Tidak perlu diberi obat-obatan
ii. Jika rawat jalan tidak mungkin, rawat di rumah sakit:
a) Diet biasa
b) Pantau tekanan darah 2 kali sehari, dan urin (untuk

76
proteinuria) sekali sehari.
c) Tidak perlu diberi obat-obatan
d) Tidak perlu diuretik, kecuali jika terdapat edema
paru, dekompensasi kordis, atau gagal ginjal akut
e) Jika tekanan diastolik turun sampai normal, pasien
dapat dipulangkan:
 Nasihatkan untuk istirahat dan perhatikan
tanda-tanda preeklampsia berat.
 Kontrol 2 kalli seminggu untuk memantau
tekanan darah, urin, keadaan janin, serta gejala
dan tanda-tanda preeklampsia berat.
 Jika tekanan diastolik naik lagi, rawat kembali
iii. Jika tidak ada tanda-tanda perbaikan, tettap dirawat.
Lanjutkan penanganan dan observasi kesehatan janin
iv. Jika terdapat tanda-tanda pertumbuhan janin terhambat,
pertimbangkan terminasi kehamilan. Jika tidak, rawat
sampai aterm.
v. Jika proteinuria meningkat, tangani sebagai preeklampsia
berat.
Kehamilan lebih dari 37 minggu:
i. Jika serviks matang, pecahkan ketuban dan induksi
persalinan dengan oksitosin atau prostaglandin.
ii. Jika serviks belum matang, lakukan
pematangan dengan prostaglandin atau kateter
foley atau lakukan seksio sesarea.

2. Preeklampsia berat dan Eklampsia


a. Definisi
Preeklampsia berat ialah preeklampsia dengan tekanan
darah sistolik ≥ 160 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 110
mmHg disertai proteinuria lebih 5 g/24 jam
b. Diagnosis

77
Preeklampsia digolongkan preeklampsia berat bila
ditemukan satu atau lebih gejala sebagai berikut:
i. Tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg dan tekanan darah
diastolik ≥ 110 mmHg. Tekanan darah ini tidak menurun
meskipun ibu hamil sudah dirawat di rumah sakit dan
sudah menjalani tirah baring.
ii. Proteinuria lebih 5 g/24 jam atau 4+ dalam pemeriksaan
kualitatif.
iii. Oliguria, yaitu produksi urin kurang dari 500 cc/24 jam.
iv. Kenaikan kadar kreatinin plasma.
v. Gangguan visus dan serebral: penunrnan kesadaran, nyeri
kepala, skotoma dan pandangan kabur.
vi. Nyeri epigastrium atau nyeri pada kuadran kanan atas
abdomen (akibat teregangnya kapsula Glisson).
vii. Edema pam-paru dan sianosis.
viii. Hemolisis mikroangiopatik.
ix. Trombositopenia berat: < 100.000 sel/mm3 arau
penunlnan trombosit dengan cepat.
x. Gangguan fungsi hepar (kerusakan hepatoselular):
peningkatan kadar alanin dan aspartate aminotransferase
xi. Pertumbuhan ianin intrauterin yang terhambat.
xii. Sindrom HELLP (Hemolisis, peningkatan enzim hati, dan
jumlah trombosit rendah).
c. Penanganan
Penanganan preeklampsia berat dan eklampsia sama,
kecuali bahwa persalinan harus berlangsung dalam 12 jam
setelah timbulnya kejang pada eklampsia. Semua kasus
preeklampsia berat harus ditangani secara aktif. Penanganan
konservatif tidak dianjurkan karena gejala dan tanda eklampsia
seperti hiperrefleksia dan gangguan penglihatan sering tidak
sahih.

78
Penanganan kejang:
i. Beri obat antikonvulsan
ii. Perlengkapan untuk penanganan kejang (jalan napas,
sedotan, masker dan balon, oksigen)
i. Beri oksigen 4-6 liter per menit
ii. Lindungi pasien dari kemungkinan trauma, tetapi jangan
diikat terlalu keras.
iii. Baringkan pasien pada sisi kiri untuk mengurangi risiko
aspirasi
iv. Setelah kejang, aspirasi mulut dan tenggorokan jika perlu.
Penanganan umum:
i. Jika tekanan diastolik tetap lebih dari 110mmHg, berikan
obat antihipertensi, sampai tekanan diastolik di antara 90-
100 mmHg
ii. Pasang infus dengan jarum besar (16 gauge atau lebih
besar)
iii. Ukur keseimbangan cairan, jangan sampai terjadi
kelebihan cairan
iv. Kateterisasi urin untuk memantau pengeluaran urin dan
proteinuria
v. Jika jumlah urin kurang dari 30ml per jam:
a) Hentikan magnesium sulfat (MgSO4) dan berikan
cairan intravena. (NaCl 0,9% atau Ringer Laktat)
pada kecepatan 1 liter per 8 jam
b) Pantau kemungkinan edema paru
vi. Jangan tinggalkan pasien sendirian. Kejang disertai
aspirasi munta dapat mengakibatkan kematian ibu dan
janin.
vii. Observasi tanda-tanda vital, refleks, dan denyut jantung
janin setiap jam.
viii. Auskultasi paru untuk mencari tanda-tanda edema paru
ix. Hentikan pemberian cairan intravena dan berikan diuretik

79
misalnya furosemide 40mg intravena sekali saja jika ada
edema paru
x. Nilai pembekuan darah dengan uji pembekuan sederhana
(bedsite clotting test). Jika pembekuan tidak terjadi
sesudah 7 menit, kemungkinan terdapat koagulopati.
Antikonvulsi
Magnesium sulfat (MgSO4) merupakan obat pilihan untuk
mencegah dan mengatasi kejang pada preeklampsia berat dan
eklampsia. Cara pemberian ialah:
i. Dosis awal:
a) MgSO4 4g intravena sebagai larutan 40% selama 5
menit
b) Segera dilanjutkan dengan pemberian 10g larutan
MgSO4 50%, masing-masing 5g di bokong kanan
dan kiri secara intramuskular dalam, ditambah 1 ml
lignokain 2% pada semprit yang sama. Pasien akan
merasa agak panas sewaktu pemberian MgSO4
c) Jika kejang berulang setelah 15 menit, berikan
MgSO4 2g (larutan 40%) intravena selama 5 menit
ii. Dosis pemeliharaan:
a) MgSO4 1-2g per jam per infus, 15 tetes/menit atau
5g MgSO4 intramuskular tiap 4 jam.
b) Lanjutkan pemberian MgSO4 sampai 24 jam pasca
persalinan atau kejang berakhir.
iii. Sebelum pemberian MgSO4, periksa:
a) Frekuensi pernapasan minimal 16x/menit
b) Refleks patella (+)
c) Urin minimal 30ml/jam dalam 4 jam terakhir
iv. Berhentikan MgSO4. Jika:
a) Frekuensi pernapasan <16x/menit
b) Refleks patella (-)
c) Urin <30ml/jam dalam 4 jam terakhir

80
v. Siapkan antidotum:
a) Jika terjadi henti napas: lakukan ventilasi (masker
dan balon, ventilator) beri kalsium glukonat 1g
(20ml dalam larutan 10%) intravena perlahan-lahan
sampai pernapasan mulai lagi.
Jika MgSO4 tidak tersedia dapat diberikan diazepam, dengan
risiko terjadinya depresi pernapasan neonatal. Dosis tunggal
diazepam jarang menimbulkan depresi pernapasan neonatal.
Pemberian terus-menerus secara intravena meningkatkan risiko
depresi pernapasan pada bayi yang sudah mengalami iskemia
uteroplasental dan persalinan prematur. Pengaruh diazepam
dapat berlangsung beberapa hari. Cara pemberian diazepam
ialah:
i. Dosis awal:
a) Diazepam 10mg intravena pelan-pelan selama 2
menit
b) Jika kejang berulang, ulangi dosis awal
ii. Dosis pemeliharaan:
a) Diazepam 40mg dalam 500ml larutan RL per infus
b) Depresi pernapasan ibu mungkin akan terjadi jika
dosis >30mg/jam
c) Jangan berikan >100mg/24 jam
iii. Pemberiaan melalui rektum:
a) Jika pemberian intravena tidak memungkinkan,
diazepam dapat diberikan per rektal, dengan dosis
awal 20mg dalam semprit 10ml tanpa jarum
b) Jika konvulsi tidak teratasi dalam 10 menit, beri
tambahan 10mg/jam atau lebih, bergantung pada
berat badan pasien dan respons klinik.
Antihipertensi
Jika tekanan diastolik 110mmHg atau lebih, berikan obat
antihipertensi. Tujuannya adalah untuk mempertahankan

81
tekanan diastolik di antara 90-100mmHg dan mencegah
perdarahan serebral. Obat pilihan adalah hidralazin.
i. Berikan hidralazin 5mg intravena pelan-pelan setiap 5
menit sampai tekanan darah turun. Ulangi setiap jam jika
perlu atau berikan hidralazin 12,5mg intramuskular setiap
2 jam
ii. Jika hidralazin tidak tersedia, berikan:
a) Labetolol 10mg intravena:
 Jika respon tidak baik (tekanan
diastolik tetap >110mmHg), berikan labetolol
20mg intravena
 Naikkan dosis sampai 40mg dan 80mg jika
respons tidak baik sesudah 10 menit
b) Atau berikan nifedipin 5mg sublingual. Jika tidak
baik setelah 10 menit, beri tambahan 5mg sublingual
c) Metildopa 3x250-500mg/hari

Persalinan
Persalinan harus diusahakan segera setelah keadaan pasien
stabil Penundaan persalinan meningkatkan risiko untuk ibu dan
janin.
i. Periksa serviks
ii. Jika serviks matang, lakukan pemecahan ketuba, lalu
induksi persalinan dengan oksitosin atau prostaglandin
iii. Jika persalinan pervaginam tidak dapat diharapkan dalam
12 jam (pada eklampsia) atau dalam 24 jam (pada
preeklampsia), lakukan seksio sesarea
iv. Jika denyut jantung janin <100/menit atau >180/menit
lakukan seksio sesarea
v. Jika serviks belum matang, janin hidup, lakukan seksio
sesarea
vi. Jika anestesi untuk seksio sesarea tidak tersedia, atau janin

82
mati atau terlalu kecil:
a) Usahakan lahir pervaginam
b) Matangkan serviks dengan misoprostol,
prostaglandin, atau kateter foley
Jika seksio sesarea akan dilakukan, perhatikan bahwa:
i. Tidak terdapat koagulopati
ii. Anestesi yang aman/terpilih adalah anestesi umum, sedang
anestesi spinal berhubungan dengan risiko hipotensi.
Risiko ini dapat dikurangi dengan memberikan 500-
1000ml cairan intravena sebelum anestesi
iii. Jika anestesi umum tidak tersedia, janin mati, atau
kemungkinan hidup kecil, lakukan persalinan pervaginam.
Perawatan pasca persalinan
i. Antikonvulsan diteruskan sampai 24 jam setelah
persalinan atau kejang terakhir
ii. Teruskan terapi antihipertensi jika tekanan
diastolik masih 110mmHg atau lebih
iii. Pantau urin
Rujukan
Rujuk ke fasilitas yang lebih lengkap jika:
i. Terdapat oliguria (urin kurang dari 400ml per 24 jam)
selama 48 jam setelah persalinan
ii. Terdapat koagulopati, atau sindrom HELLP
iii. Koma berlanjut lebih dari 24 jam sesudah kejang.

2.13 Ruptur Uteri


A. Definisi
Ruptura uteri komplit ialah keadaan robekan pada rahim di mana telah
terjadi hubungan langsung antara rongga amnion dan rongga peritoneum.
Peritoneum visceral dan kantong ketuba keduanya ikut ruptur dengan demikian
janin sebagian atau seluruh tubuhnya telah keluar oleh kontraksi terakhir rahim
dan berada dalam kavum peritonei atau rongga abdomen. Pada dehisens dari parut
bekas bedah sesar kantong ketuban juga belum robek, tetapi jika kantong ketuban
83
ikut robek maka disebut telah terjadi ruptur uteri pada parut. Dehisens bias
berubah menjadii ruptur pada waktu partus atau akibat manipulasi lain pada rahim
yang berparut, biasanya bekas bedah sesar pada persalinan yang lalu. Dehisens
terjadi perlahan, sedangkan ruptur uteri terjadi secara dramatis. Ketentuan ini
berguna untuk membedakan ruptur uteri inkompleta dengan dehisens yang sama-
sama bias terjadi pada bekas bedah sesar. Pada dehisens perdarahan minimal atau
tidak berdarah, tapi pada ruptur uteri perdarahannya banyak yang berasal dari
pinggir parut atau robekan baru yang meluas.
B. Klasifikasi
Klasifikasi ruptur uteri menurut sebabnya adalah sebagai berikut:

1. Kerusakan atau anomali uterus yang telah ada sebelum hamil:


a. Pembedahan pada myometrium: seksio sesarea atau histerotomi,
histerorafia, miomektomi yang sampai menembus seluruh
ketebalan otot uterus, reseksi pada koruna uterus atau bagian
interstitial, metroplasti.
b. Trauma uterus koinsidental: instrumentasi sendok kuret atau
sonde pada penanganan abortus, trauma tumpul atau tajam
seperti pisau atau peluru, ruptur tanpa gejala pada kehamilan
sebelumnya (silent ruptur in previous pregnancy).
c. Kelainan bawaan: kehamilan dalam bagian rahim (horn) yang
tidak berkembang.

2. Kerusakan atau anomali uterus yang terjadi dalam kehamilan:


a. Sebelum kelahiran anak: his spontan yang kuat dan terus-
menerus, pemakaian oksitosin atau prostaglandin untuk
merangsang persalinan, instilasi cairan ke dalam kantong gestasi
atau ruang amnion seperti larutan garam fisiologis atau
prostaglandin, perforasi dengan kateter pengukur tekanan
intrauterine, trauma luar tumpul atau tajam, versi luar,
pembesaran rahim yang berlebihan misalnya hidramnion dan
kehamilan ganda.
b. Dalam periode intrapartum: versi-ekstrasi, ekstrasi kavum,
ekstraksi cunam yang sukar, ektraksi bokong, anomali janin
84
yang menyebabkan distensi berlebihan pada segmen bawah
rahim, tekanan kuat pada uterus dalam persalinan, kesulitan
dalam melakukan manual plasenta.
c. Cacat rahim yang didapat: plasenta inkreta atau perkreta,
neopplasi trofoblas gestasional, adenomiosis, retroversion uterus
gravidus inkarserata.

C. Insiden
Data dari World Health Organization pada tahun 2014 menyebutkan
bahwa jumlah kematian ibu disebabkan persalinan adalah 536.000. sebanyak 99%
kematian ibu akibat persalinan terjadi di negara-negara berkembang. Angka
kematian ibu di negara-negara berkembang yaitu 206 kematian ibu per 100.000
kelahiran hidup jika dbandingkan dengan angka kematian ibu di 9 negara maju
dan 51 negara persemakmuran.
Berdasarkan hasil Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) jumlah
angka kematian ibu (AKI) pada tahun 2014 yaitu 124/100.000 kelahiran hidup.
Penyebab pada kematian ibu yaitu perdarahan (27%), eklampsia (23%), infeksi
(11%).

D. Etiologi
Ruptur uteri bisa disebabkan oleh anomali atau kerusakan yang telah ada
sebelumnya, karena trauma, atau sebagai komplikasi persalinan pada rahim yang
masih utuh. Paling sering terjadi pada rahim ayng telah diseksio sesarea pada
persalinan sebelumnya. Lebih lagi jika pada uterus yang demikian dilakukan
partus percobaan atau persalinan dirangsang dengan oksitosin atau sejenis.
Pasien yang berisiko tinggi antara lain persalinan yang mengalami distosia,
grande multipara, penggunaan oksitosin atau prostaglandin untuk mempercepat
persalinan, pasien hamil yang pernah melahirkan sebelumnya melalui bedah sesar
atau operasi lain pada rahimnya, pernah histerorafia, pelaksanaan konduksi
persalinan terutama pada pasien bekas seksio sesarea, dan sebagainya. Oleh sebab
itu, untuk pasien dengan panggul sempit atau bekas sesio sesarea klasik berlaku
adagium Once Caesarean Section always Caesarean Section. Pada keadaan
tertentu seperti ini dapat dipilih elective caesarean section (ulangan) untuk

85
mencegah ruptur uteri dengan syarat janin sudah matang. Eksplorasi pasca
kelahiran yang sukar dengan perdarahan yang banyak atau pasca partus dengan
kemungkinan dehisens perlu dilakukan untuk memastikan tidak adanya ruptur
uteri.

E. Patofisiologi
Pada waktu his korpus uteri berkontraksi dan mengalami retraksi. Dengan
demikian dinding korpus uteri atau segmen atas rahim menjadi lebih tebal dan
volume korpus uteri menjadi lebih kecil. Akibatnya, tubuh janin yang menempati
korpus uteri terdorong ke bawah ke dalam segmen bawah rahim. Segmen bawah
rahim menjadi lebih lebar dan karenanya dindingnya menjadi lebih tipis karena
tertarik ke atas oleh kontraksi segmen atas rahim yang kuat, berulang dan sering
sehingga lingkaran retraksi yang membatasi kedua segmen semakin bertambah
tinggi. Apabila bagian terbawah janin dapat terdorong turun tanpa halangan dan
jika kapasitas segmen bawah rahim telah penuh terpakai untuk ditempati oleh
tubuh janin, maka pada gilirannya bagian terbawah janin terdorong masuk ke
dalam jalan lahir melalui pintu atas panggul ke dalam vagina melalui pembukaan
jika serviks bisa mengalah. Sebaliknya, apabila bagian terbawah janin tidak dapat
turun oleh karena sesuatu sebab yang menahannya (misalnya panggul sempit atau
kepala janin besar) maka volume korpus yang tambah mengecil pada waktu ada
his harus diimbangi oleh peluasan segmen bawah rahim ke atas. Dengan demikian,
lingkaran retraksi fisiologik semakin meninggi ke arah pusat melewati batas
fisiologik menjadi patologik. Lingkaran patologik ini disebut lingkaran Bandl
(ring van Bandl). Ini terjadi karena segmen bawah rahim terus-menerus tertarik ke
proksimal, tetapi tertahan di bagian distalnya oleh serviks yang terpegang pada
tempatnya oleh ligamentum sakrouterina di bagian belakang, ligamentum cardinal
pada kedua sisi kanan dan kiri, dan ligamentum vesikouterina pada dasar kandung
kemih. Jika his berlangsung kuat dan terus-menerus, tetapi bagian terbawah tubuh
janin tidak kunjung turun lebih ke bawah melalui jalan lahir, lingkaran retraksi
makin lama semakin meninggi (ring van Bandl berpindah mendekati pusat) dan
segmen bawah rahim semakin tertarik ke atas sembari dindingnya menjadi sangat
tipis hanya beberapa millimeter saja lagi. Ini menandakan telah terjadi tanda-tanda
ruptur uteri iminens dan rahim terancam robek. Pada saatnya dinding segmen

86
bawah rahim itu akan robek spontan pada tempat yang tertipis ketika his berikut
dating, dan terjadilah perdarahan yang banyak bergantung kepada luas robekan
yang terjadi dan pembuluh darah yang terputus. Umumnya robekan terjadi pada
dinding depan segmen bawah rahim, luka robekan bisa meluas secara melintang
atau miring. Bila mengenai daerah yang ditutupi ligamentum latum terjadi luka
robekan yang meluas ke samping. Robekan bisa juga meluas ke korpus atau ke
serviks atau terus ke vagina (kolpaporeksis) dan bahkan kadang kala bisa
mencederai kandung kemih. Pertumpahan darah sebagian besar mengalir ke
dalam rongga peritoneum, sebagian yang lain mengalir melalui pembukaan
serviks ke vagina. Peristiwa robekan pada segmen bawah rahim yang sudah
menipis itu (dalam status ruptur uteri iminens) dipercepat jika ada manipulasi dari
luar, misalnya dorongan pada perut sekalipun tidak terlalu kuat sudah cukup untuk
menyebabkan robekan. Demikian juga apabila fundus uteri didorong-dorong
seperti yang banyak dilakukan pada upaya mempercepat persalinan atau oleh
dorongan dari bawah seperti pada pemasangan cunam yang sulit, dan sebagainya.
Oleh karena itu, jika terlihat lingkaran Bandl penolong harusnya dengan berhati-
hati. Ketika terjadi robekan pasien merasa amat nyeri seperti teriris sembilu dalam
perutnya, dan his terakhir yang masih kuat itu sekaligus mendorong sebagian atau
seluruh tubuh janin ke luar rongga rahim ke dalam rongga peritoneum. Melalui
robekan tersebut usus dan omentum mendapat jalan masuk sehingga bisa
mencapai vagina dan bisa diraba pada waktu periksa dalam.
Ruptur uteri yang tidak merobek perimetrium sering terjadi pada bagian
rahim yang longgar hubungannya dengan peritoneum yaitu pada bagian samping
dan dekat kandung kemih. Di sini dinding serviks yang meregang karena ikut
tertarik bisa ikut robek. Robekan pada bagian samping bisa sampai melukai
pembuluh-pembuluh darah besar ligambentum latum, arteria uterine atau cabang-
cabangnya bisa terluka disertai perdarahan yang banyak, dan di dalam
perimetrium di pihak yang robek akan terbentuk hematoma yang besar dan
menimbulkan syok yang sering berakibat fatal.
Dari sudut patofisiologi ruptur uteri dapat ditinjau apakah terjadi dalam
masa hamil atau dalam persalinan, apakah terjadi pada rahim yang utuh atau pada
rahim yang bercacat, dan sebagainya. Tinjauan ini mungkin berlebihan karena
tidak penting dari sudut klinik tetapi mungkin ada gunanya dari aspek lain.
87
Tinjauan tersebut bisa mempengaruhi pilihan operasi, apakah akan dilakukan
histerektomi atau histerorafia. Di bawah diutarakan tinjauan tersebut menurut
beberapa aspek.
1. Aspek Anatomik
Berdasarkan lapisan dinding rahim yang terkena ruptur uteri dibagi
ke dalam ruptur uteri komplit dan rupturn uteri inkomplit. Pada ruptur
uteri komplit ketiga lapisan dinding rahim ikut robek, sedangkan pada
yang inkomplit lapisan serosanya atau perimetrium masih utuh.
2. Aspek Sebab
Berdasarkan pada sebab mengapa terjadi robekan pada rahim,
ruptur uteri dibagi ke dalam ruptur uteru spontan, ruptur uteri violenta,
dan ruptur uteri traumatika. Ruptur uteri spontan terjadi pada rahim
yang utuh oleh karena kekuatan his semata, sedangkan ruptur uteri
violenta disebabkan adanya manipulasi tenaga tambahan lain seperti
induksi aatau stimmulasi partus dengan oksitosin atau yang sejenis,
atau dorongan yang kuat pada fundus dalam persalinan. Ruptur uteri
traumatika disebabkan oleh trauma pada abdomen seperti kekerasan
dalam rumah tangga dan kecelakaan lalu lintas.
3. Aspek Keutuhan Rahim
Ruptur uteri dapat terjadi pada uterus yang masih utuh, tetapi bisa
terjadi pada uterus yang bercacat misalnya pada parut bekas bedah
sesar atau parut jahitan ruptur uteri yang pernah terjadi sebelumnya
(histerorafia), miomektomi yang dalam sampai ke rongga rahim,
akibat kerokan yang terlalu dalam, reseksi kornu atau bagian
interstitial dari rahim, metroplasti, rahim yang rapuh akibat telah
banyak meregang misalnya pada grandemultipara atau pernah
hidramnion atau hamil ganda, uterus yang kurang berkembang
kemudian menjadi hamil, dan sebagainya.
4. Aspek Waktu
Yang dimaksudkan dengan waktu di sini adalah dalam masa hamil
atau pada waktu bersalin. Ruptur uteri dapat terjadi dalam masa
kehamilan misalnya karena trauma atau pada rahim yang bercacat,
sering pada bekas bedah sesar klasik. Kebanyakan ruptur uteri terjadi
dalam persalinan kala I atau kala II dan pada partus percobaan bekas
88
seksio sesarea, terlebih pada kasus yang hisnya diperkuat dengan
oksitosin atau prostaglandin dan yang sejenis.
5. Aspek Sifat
Rahim robek bisa tanpa menimbulkan gejala yang jelas (silent)
seperti pada ruptur yang terjadi pada parut bedah sesar klasik dalam
masa hamil tua. Parut itu merekah sedikit demi sedikit (dehiscence)
dan pada akhirnya robek tanpa menimbulkan perdarahan yang banyak
dan rasa nyeri yang tegas. Sebaliknya, kebanyakan ruptur uteri terjadi
dalam waktu yang cepat dengan tanda-tanda serta gejala-gejala yang
jelas (overt) dan akut, misalnya ruptur uteri yang terjadi dalam kala I
atau kala II akibat dorongan atau picuan oksitosin. Kantong kehamilan
ikut robek dan janin terdorong masuk ke dalam rongga peritoneum.
Terjadi perdarahan internal yang banyak dan perempuan bersalin
tersebut merasa sangat nyeri sampai syok.
6. Aspek Paritas
Ruptur uteri dapat terjadi pada perempuan yang baru pertama kali
hamil (nulipara) sehingga sedapat mungkin padanya diusahakan
histerorafia apabila lukanya rata dan tidak infeksi. Terhadap ruptur
uteri pada multipara umumnya lebih baik dilakukan histerektomi atau
jika keadaan umumnya jelek dan luka robekan pada uterus tidak luas
dan tidak compang-camping, robekan pada uterus dijahit kembali
(histerorafia) dilanjutkan dengan tubektomi.
7. Aspek Gradasi
Kecuali akibat kecelakaan, ruptur uteri tidak terjadi mendadak.
Peristiwa robekan yang umumnya terjadi pada segmen bawah rahim
didahului oleh his yang kuat tanpa kemajuan dalam persalinan
sehingga batas antara korpus dan segmen bawah rahim yaitu lingkaran
retraksi yang fisiologik naik bertambah tinggi menjadi lingkaran
Bandl yang patologik, sementara ibu yang melahirkan itu merasa
sangat cemas dan ketakutan leh karena menahan nyeri his yang kuat.
Pada saat ini penderita berada dalam stadium ruptur uteri iminens
(membakat). Apabila keadaan yang demikian berlanjut dan tidak
terjadi atonia uteri sekunder, maka pada gilirannya dinding segmen

89
bawah rahim yang sudah sangat tipis itu robek. Peristiwa ini disebut
ruptur uteri spontan.
F. Gambaran Klinik
Bila telah terjadi ruptur uteri komplit sudah pasti ada perdarahan yang bisa
dipantau pada hemoglobin dan tekanan darah yang menurun, nadi yang cepat, dan
kelihatan anemis dan tanda-tanda lain dari hypovolemia serta pernapasan yang
sulit berhubung nyeri abdomen akibat robekan rahim yang mengikutsertakan
peritoneum viserale robek dan merangsang ujung saraf sensoris. Pada palpasi ibu
merasa sangat nyeri dan bagian tubuh janin mudah teraba dibawah dinding
abdomen ibu dan kekuatan his yang sudah sangat menurun seolah dirasakan his
telah hilang. Hemoperitoneum yang terbentuk bisa merangsang diafragma dan
menimbulkan nyeri memancar ke dada menyerupai nyeri dada pada emboli paru
atau emboli air ketuban. Nyeri abdomen bisa menyerupai gejala solusio plasenta.
Pada auskultasi sering tidak terdengar denyut jantung janin, tetapi jika janin
belum meninggal bisa terdeteksi deselerasi patologik (deselerasi variable yang
berat) pada pemantauan dengan kardiotokografi. Terdapat juga pasien yang tidak
merasakan nyeri abdomen yang kuat terlebih jika ada pemberian obat penenang
atau obat untuk mengurangi rasa nyeri dalam persalinan. Pada dehisens di bekas
bedah sesar atau dehisens yang berlanjut menjadi ruptur rasa nyeri dan perdarahan
tidak lebih berpengalaman. Pemeriksaan ultrasonografi di tempat (on site)
mungkin bisa membantu. Pada periksa dalam teraba bagian terbawah janin
berpindah atau naik kembali ke luat pintu atas panggul, dan jari-jari pemeriksa
bisa menemui robek yang berhubungan dengan rongga peritoneum dan melalui
mana terkadang dapat meraba usus. Namun, harus hati-hati karena bila jari-jari
tidak bisa menemui robekan belum berarti bahwa ruptur uteri tidak ada.

G. Diagnosis
Ruptur uteri iminens mudah dikenali pada lingkaran Bandl yang semakin
tinggi dan segmen bawah rahim yang tipis dan keadaan ibu yang gelisah takut
karena nyeri abdomen atau his kuat yang berkelanjutan disertai tanda-tanda gawat
janin. Gambaran klinik rupturn uteri adalah khas sekali. Oleh sebab itu pada
umumnya tidak sukar menetapkan diagnosisnya atas dasar tanda-tanda klinik yang

90
telah diuraikan. Untuk menetapkan apakah ruptur itu komplit perlu dilanjutkan
dengan periksa dalam. Pada ruptur uteri komplit jari-jari tangan pemeriksa dapat
melakukan beberapa hal sebagai berikut: (1) jari-jari tangan dalam bisa meraba
permukaan rahim dan dinding perut yang licin, (2) dapat meraba pinggir robekan,
biasanya terdapat pada bagian depan di segmen bawah rahim, (3) dapat
memegang usus halus atau omentum melalui robekan, (4) dinding perut ibu dapat
ditekan menonjol ke atas oleh ujung jari-jari tangan dalam sehinggaujung jari-jari
tangan luar saling mudah meraba ujung jari-jari tangan dalam.
H. Komplikasi
Syok hipovolemik karena perdarahan yang hebat dan sepsis akibat infeksi
adalah dua komplikasi yang fatal pada peristiwa ruptur uteri. Syok hipovolemik
terjadi bila pasien tidak segera mendapat infus cairan kristaloid yang banyak
untuk selanjutnya dalam waktu yang cepat digantikan dengan transfusi darah
segar. Darah segar mempunyai kelebihan selain menggantikan darah yang hilang
juga mengandung semua unsur atau factor pembekuan dan karena itu lebih
bermanfaat demi mencegah dan mengatasi koagulopati delusional akibat
pemberian cairan kristaloid yang umumnya banyak diperlukan untuk mengatasi
atau mencegah gangguan keseimbangan elektrolit antar-kompartemen cairan
dalam tubuh dalam menghadapi syok hipovolemik. Infeksi berat umumnya terjadi
pada pasien kiriman di mana ruptur uteri telah terjadi ebelum tiba di rumah sakit
dan telah mengalami berbagai manipulasi termasuk periksa dalam yang berulang.
Jika dalam keadaan yang demikian pasien tidak segera memperoleh terapi
antibiotika yang sesuai, hampir pasti pasien akan menderita peritonitis yag luas
dan menjadi sepsis pasca bedah. Hasil pemeriksaan kultur dan resistensi
bakteriologik dari sampel darah pasien baru diperoleh beberapa hari kemudian.
Antibiotika spectrum luas dalam dosis tinggi biasanya diberikan untuk
mengantisipasi kejadian sepsis. Syok hipovolemik dan sepsis merupakan sebab-
sebab utama yang meninggikan angka kematian maternal dalam obstetric.
Meskipun pasien bisa diselamatkan, morbiditas dan kecacatan tetap tinggi.
Histerektomi merupakan cacat permanen, yang pada kasus yang belum punya
anak hidup meninggalkan sisa trauma psikologis yang berat dan mendalam. Jalan
keluar bagi kasus ini untuk mendapatkan keturunan tinggal satu pilihan melalui

91
assisted reproductive technology termasuk pemanfaatan surrogate mother yang
hanya mungkin dikerjakan pada rumah sakit tertentu dengan biaya tinggi dan
dengan keberhasilan yang belum sepenuhnya menjanjikan serta dilema etik.
Kematian maternal dan/atau perinatal yang menimpa sebuah keluarga merupahan
komplikasi sosial yang sulit mengatasinya.

I. Penanganan
Dalam menghadapi masalah ruptur uteri semboyan prevention is better
than cure sangat diperhatikan dan dilaksanakan oleh setiap pengelola persalinan
di mana pun persalinan itu berlangsung. Pasien berisiko tinggi haruslah dirujuk
agar persalinannya berlangsung dalam rumah sakit yang mempunyai fasilitias
yang cukup dan diawasi dengan penuh dedikasi oleh petugas berpengalaman. Bila
telah terjadi ruptur uteri tindakan terpilih hanyalah histerektomi dan resusitasi
serta antibiotika yang sesuai. Diperlukan infus cairan kristaloid dan transfusi
darah yang banyak, tindakan antisyok, serta pemberian antibiotika spectrum luas,
dan sebagainya. Jarang sekali bisa dilakukan histerorafia kecuali bila luka robekan
masih bersih dan rapid an pasiennya belum punya anak hidup.
J. Prognosis
Prognosis bergantung pada apakah ruptur uteri terjadi pada uterus yang
masih utuh atau pada bekas seksio sesarea atau suatu dehisens. Bila terjadi pada
bekas seksio sesarea atau pada dehisens perdarahan yang terjadi minimal sehingga
tidak sampai menimbulkan kematian maternal dan kematian perinatal. Factor lain
yang mempengaruhi adalah kecepatan pasien menerima tindakan bantuan yang
tepat dan cekatan. Ruptur uteri spontan yang luas dengan pinggir luka yang tidak
rata dan bisa meluas ke lateral dan mengenai cabang-cabang arteria uterine atau
ke dalam ligamentum latum atau meluas ke atas atau ke vagina disertai
perdarahan yang banyak dengan mortalitas maternal yang tinggi dan kematian
perinatal yang jauh lebih tinggi.

2.14 Distosia
A. Definisi
Persalinan lama disebut juga distosia didefinisikan sebagai persalinan yang
abnormal atau sulit (Alamsyah, 2014).

92
B. Etiologi
Penyebab distosia dibagi dalam 3 golongan berikut ini :
 Kelainan tenaga his (kelainan his). His yang tidak normal dalam
kekuatan atau sifatnya menyebabkan kerintangan pada jalan lahir yang
lazim terdapat pada setiap persalinan, tidak dapat diatasi sehingga
persalinan mengalami hambatan atau kemacetan.
 Kelainan janin. Persalinan dapat mengalami gangguan atau kemacetan
karena kelainan dalam letak atau dalam bentuk janin.
 Kelainan jalan lahir. Kelainan dalam ukuran atau bentuk jalan
lahirbisa menghalangi kemajuan persalinan atau menyebabkan
kemacetan (Alamsyah, 2014)

C. Jenis-jenis Distosia
 Jenis - jenis kelainan his

 Inersia uteri : fundus berkontraksi lebih kuat dan lebih dahulu
daripada bagian-bagian lain.
 His terlampau kuat.
 Incoordinate uterine action : tidak ada koordinasi antara
kontraksi bagian atas, tengah dan bawah menyebabkan his tidak
efisien dalam mengadakan pembukaan
 Jenis-jenis kelainan janin

 Malpresentasi : semua presentasi janin selain vertex
 Malposisi : posisi kepala janin relatif terhadapt pelvis dengan
oksiput sebagai titik referensi
 Jenis-jenis kelainan jalan lahir
 Panggul sempit, kelainan serviks atau vagina, tumor jalan lahir
(Alamsyah, 2014).

D. Diagnosis dan Penanganan


1. Inersia uteri
Keadaan umum pendertita biasanya baik dan rasa nyeri tidak
seberapa. Selama ketuban masih utuh ummnya tidak berbahaya, baik
bagi ibu maupun janin, kecuali persalinan berlangsung terlalu lama.
Diagnosis inersia uteri paling sulit ditegakkan pada masa laten.

93
Kontraksi uterus yang diserta dengan rasa nyeri, tidak cukup untuk
menajdi dasar utama bahwa diagnosis sudah dimulai. Untuk sampai
kesimpulan diperlukan kenyataan bahwa sebagai akibat kontraksi itu
terjadi perubahan pada serviks yakni pendataran dan atau pembukaan.
Kesalahan yang sering dibuat ialah mengobati seorang penderita untuk
inersia uteri padahal persalinan belum mulai (false labour).
Setelah diagnosis dibuat, hars diperiksa keadaan serviks, presentasi
serta posisi janin, turunnya kepala janin dalam panggul, dan keadaan
panggul. Kemudian harus disusun rencana menghadapi persalinan
yang lamban ini. Apabila ada disproporsi sefalopelvikyang berarti
sebaiknya diambil keputusan untuk seksio sesaria. Keadaan umum
penderita sementara itu dipervaiki, kandung kemih dan rectum
dikosongkan. Apabila kepala atau bokong janin telah masuk kedalam
panggul, penderita disuruh berjalan-jalan. Pada waktu pemeriksaan
dalam ketuban boleh dipecahkan. Memang sesudah tindakan ini
persalinan tidak boleh berlangsung terlalu lama. Namun, tindakan
tersebut dapat dibenarkan karena dapat merangsang his sehingga
mempercepat jalannya persalinan.kalau diobati dengan oksitosin, 5
satuan oksitosin dimasukkan dalam larutan glukosa 5% dan diberikan
secara infus intravena dengan kecepatan kira-kira 12 tetes per menit
dan prelahan-lahan dapat dinaikkan sampai kira-kira 50 tetes,
bergantung pada hasilnya.
2. His terlampau kuat
His yang terlalu kuat dan terlalu efisien menyebabkan persalinan
selesai dalam waktu yang sangat singkat. Partus yang sudah selesai
dalam waktu kurang dari 3 jam dinamakan partus presipitatus yang
ditandai oleh his yang normal, tonus otot diluar his juga biasa,
kelainannya terletak pada kekuatan his. Bahaya partus presipitatus
bagi ibu adalah terjadinya perlukaan luas pada jalan lahir, khususnya
vagina dan perineum. Bayi dapat mengalami perdarahan dalam
tengkorak karena bagian tersebut mengalami tekanan kuat dalam
waktu yang singkat.

94
Pada partus presipitatus tidak banyak yang dapat dilakukan karena
biasanya bayi sudah lahir tanpa ada seorzng yang menolong. Kalau
seorang ibu pernah mengalami partus presipitatus, kemungkinan
kejadian ini akan berulang pada persalinan berikutnya. Oleh karena itu,
sebaiknya ibu tersebut dirawat sebelum persalinan, sehingga
pengawasan dapat dilakukan dengan baik. Pada pengawasan yang
cermat dan episiotomy dilakukan pada waktu yang tepat akan
menghindari terjadinya rupture perinei tingkat 3.
3. Incoordinate uterine action
Disini sifat his berubah. Tonus uterus meningkat, juga diluar his,
dan kontraksinya tidak berlangsung seperti biasa karena tidak ada
sinkronisasi kontraksi bagian-bagiannya. Tonus otot uterus yang
menaik menyebabkan rasa nyeri yang lebih keras an lama bagi ibu
dapat pula menyebabkan hipoksia pada janin. Kadang-kadang
persalinan lama dengan ketuban yang sudah lama pecah, kelainan his
ini menyebabkan spasmus sirkuler setempat, sehingga terjadi
penyempitan kavum uteri pada tempat itu. Ini dinamakan lingkaran
kontraksi atau lingkaran kontriksi. Lingkaran kontriksi tidak dapat
diketahui dengan pemeriksaan dalam, kecuali kalau pembukaan sudah
lengkap, sehingga tangan dapat dimasukkan kedala kavum uteri. Oleh
sebab itu jika pembukaan belum lengkap biasanya tidak mungkin
mengenal kelainan ini dengan pasti. Ada kalanya persalinan tidak
maju karena kelainan pada serviks yang dinamakan distosia
serviskalis. Kelainan ini bisa primer atau sekunder. Distosia servikalis
dinamakan primer kalau servkis tidak membuka karena tidak
mengadakan relaksasi berhubung dengan incoordinate uterine action.
Penderita biasanya seorang primigravida. Kala I menjadi lama dan
dapat diraba jelas pinggir serviks yang kaku. Kalau keadaan ini
dibiarkan maka tekanan kepala terus menerus dapat menyebabkan
nekrosis jaringan serviks dan dapat mengakibatkan lepasnya bagian
tengah servis secara sirkuler. Distosia serviskalis sekunder disebabkan
oleh kelainan organik pada serviks, misalnya karena jaringan parut

95
atau karena karsinoma. Dengan his kuat serviks bisa robek dan
robekan ini dapat menjalar ke bagian bawah uterus. Oleh karena itu
setiap ibu yang pernah operasi pada serviks selalu harus diawasi
persalinannya di rumah sakit.
Kelainan ini hanya dapat diobati secara simptomatis karena belum
ada obat yang dapat memperbaiki koordinasi fungsional antara bagian
bagian uterus. Usaha yang dapat dilakukan ialah mengurangi tonus
otot dan mengurangi ketakutan penderita. Hal ini dapat dilakukan
dengan pemberian analgetik jika seperti morphin dan petidin. Akan
tetapi persalinan tidak boleh berlangsung berlarut-larut apalagi kalau
ketuban sudah pecah. Dalam menghadapi persalinan lama oleh sebab
apapun keadaan ibu yang bersangkutan harus diawasi dengan seksama.
Tekanan darah diukur tiap empat jam, bahkan pemeriksaan ini perlu
dilakukan lebih sering apabila ada gejala pre-eclampsia. Denyut
jantung janin dicatat setiap setengah jam dalam kala I dan lebih sering
dalam kala II. Kemungkinan dehidrasi dan asidosis harus mendapat
perhatian sepenuhnya. Karena ada persalinan lama selalu ada
kemungkinan untuk melakukan tindakan pembedahan dengan narkosis,
hendaknya ibu jangan diberi makan biasa melainkan dalam bentuk
cairan. Sebaiknya diberikan infus larutan glukosa 5% dan larutan
NaCL isotonik secara intravena berganti ganti.

4. Malpresentasi
Malpresentasi adalah semua presentasi janin kecuali presentasi
belakang kepala.
a. Presentasi Dahi

Presentasi dahi terjadi manakala kepala janin dalam sikap ekstensi


sedang. Pada pemeriksaan dalam dapat diraba daerah sinsiput yang
berada di antara ubun-ubun besar dan pangkal hidung. Bila menetap
janin dengan presentasi ini tidak dapat dilahirkan oleh karena
besarnya diameter oksipitomental yang harus melalui panggul. Janin
dengan ukuran kecil dan punggungnya berada di posterior atau ukuran

96
panggul yang sedemikian luas mungkin masih dapat dilahirkan
pervaginam. Sebagian besar presentasi dahi memerlukan pertolongan
persalinan secara bedah sesar untuk menghindari manipulasi vaginal
yang sangat meningkatkan mortalitas prenatal. Apabila presentasi dahi
didiagnosis pada persalinan awal dengan selaput ketuban yang utuh,
observasi ketat dapat dilakukan. Observasi ini dimaksudkan untuk
menunggu kemungkinan perubahan presentasi secara spontan.
Pemberian stimulasi oksitosin pada kontraksi uterus yang lemah harus
dilakukan dengan sangat hati hati dan tidak boleh dilakukan bila tidak
terjadi penurunan kepala atau dicurigai adanya disproporsi kepala-
panggul. Presentasi dahi yang menetap atau dengan selaput ketuban
yang sudah pecah sebaiknya dilakukan bedah saesar untuk melahirkan
nya. Jangan melahirkan menggunakan bantuan ekstraksi vakum,
forceps, atau simpisotomi karena hanya akan meningkatkan
morbiditas dan mortalitas.
b. Presentasi Muka
Presentasi muka terjadi apabila sikap janin ekstensi maksimal
sehingga oksiput mendekat ke arah punggung janine dan dagu
menjadi bagian persentasinya. Posisi dagu di anterior adalah syarat
yang harus dipenuhi apabila janin presentasi muka hendak dilahirkan
prevaginal. Apabila tidak ada gawat janin dan persalinan berlangsung
dengan kecepatan normal, maka cukup dilakukan observasi terlebih
dahulu hingga terjadi pembukaan lengkap. Apabila setelah pembukaan
lengkap dagu berada di anterior, maka persalinan pervagina
dilanjutkan seperti persalinan dengan presentasi belakang kepala.
Bedah sesar dilakukan apabila setelah pembukaan lengkap posisi dagu
masih posterior, didapatkan tanda tanda disproporsi, atau atas indikasi
obstetri lainnya.
c. Presentasi Majemuk
Presentasi majemuk adalah terjadinya prolaps satu atau lebih
ekstrimitas pada presentasi kepala atau bokong. Kepala masuk ke
panggul bersamaan dengan kaki dan atau tangan. Presentasi majemuk

97
juga dapat terjadi mana kala bokong memasuki panggul bersamaan
dengan tangan. Dalam pengertian presentasi majemuk tidak termasuk
presentasi bokong-kaki, presentasi bahu atau prolapse tali pusat.
Apabila bagian terendah janine tidak menutupi dengan sempurna pintu
atas panggul maka presentasi majemuk dapat terjadi. Penanganan
presentasi majemuk dimulai dengan menetapkan adanya prolapse tali
pusar atau tidak. Adanya prolapse tali pusar menimbulkan keadaan
emergensi bagi janine, dan penanganan dengan melakukan bedah
sesar ditujukan untuk mengatasi akibat prolaps tali pusar tersebut
daripada presentasi majemuk nya. Hal hal yang perlu dipertimbangkan
adalah presentasi janin, ada tidaknya prolaps tali pusar, pembukaan
serviks, keadaan selaput ketuban, kondisi dan ukuran janin, serta ada
tidaknya kehamilan kembar. Apabila tidak ada prolaps tali pusat,
maka dilakukan pengamatan kemajuan persalinan dengan seksama.
Pada keadaan terjadinya kemajuan persalinan lambat atau macet
biasanya pada pembukaan serviks praktis lengkap, dilakukan upaya
reposisi ekstremitas yang prolaps. Tekanan ekstremitas yang prolapse
oleh bagian terendah janin (kepala atau bokong) dilonggarkan dengan
cara membuat ibu dalam posisi dada-lutut.

d. Presentasi Bokong
Presentasi bokong adalah janin letak memanjang dan bagian
terendahnya bokong, kaki atau kombinasi keduanya. Pemeriksaan
yang hanya menunjukkan adanya presentasi bokong saja belum cukup
untuk membuat perkiraan besarnya resiko. Untuk menentukan cara
persalinan pada presentasi bokong, diperlukan pertimbangan
berdasarkan ada tidaknya kontra indikasi persalinan pervagina, umur
kehamilan, taksiran berat janine, dan persetujuan pasien. Percobaan
persalinan pervagina tidak dilakukan apabila didapatkan
kontraindikasi persalinan pervaginal bagi ibu atau janin, persentasi
kaki, hiperekstensi kepala janin, berat bayi > 3600 g, tidak adanya
informed consent, dan tidak adanya petugas yang berpengalaman
melakukan pertolongan. (Alamsyah, 2014).
98
D. Distosia Bahu
1. Definisi

Distosia bahu adalah suatu keadaan diperlukannya tambahan manuver


obstetrik oleh karena dengan tarikan biasa ke arah belakang pada kepala
bayi tidak berhasil untuk melahirkan bayi (Siswihanto, 2014).
2. Faktor Risiko dan Pencegahannya
Bayi cukup bulan pada umumnya memiliki ukuran bahu yang lebih lebar
dari kepalanya, sehingga berisiko terjadi distosia bahu. Pada bayi
makrosomia, perbedaan antara ukuran badan dan bahu dengan ukuran
kepalanya lebih besar dibanding bayi tanpa makrosomia, sehingga bayi
makrosomia lebih berisiko. Adanya DOPE (diabetes, obesity, prolonged
pregnancy, excessive fetal size or maternal weight gain) akan meningkatkan
risiko kejadian. Keadaan intrapartum yang banyak dilaporkan berhubungan
dengan kejadian distosia bahu adalah kala I lama, partus macet, kala II lama,
stimulasi oksitosin, dan persalinan vaginal dengan tindakan. Meskipun
demikian, perlu disadari bahwa sebagian besar kasus distosia bahu tidak
dapat diprediksi dengan tepat sebelumnya (Siswihanto, 2014)
Upaya pencegahan distosia bahu dan cedera yang dapat ditimbulkannya
dapat dilakukan dengan cara:
a. Tawarkan untuk dilakukan bedah sesar pada persalinan vaginal
berisiko tinggi: janin luar biasa besar (> 5 kg), janin sangat besar
(> 4,5 kg) dengan ibu diabetes, janin besar (>4 kg) dengan
riwayat distosia bahu pada persalinan sebelumnya, kala II yang
memanjang dengan janin besar.
b. Identifikasi dan obati diabetes pada ibu.
c. Selalu bersiap sewaktu-waktu teriadi
d. Kenali adanya distosia seawal mungkin. Upaya mengejan,
menekan suprapubis atau fundus, dan traksi berpotensi
meningkatkan cedera pada janin.
e. Perhatikan waktu dan segera minta pertolongan begitu distosia
diketahui. Bantuan yang diperlukan untuk membuat posisi

99
McRoberts, pertolongan persalinan, resusitasi bavi, dan tindakan
anestesia (bila perlu). (Siswihanto, 2014)
3. Diagnosis
a. Kepala janin dapat dilahirkan tetapi tetap berada dekat vulva
b. Dagu tertarik dan menekan perineum
c. Tarikan pada kepala gagal melahirkan bahu yang terperangkap
di belakang simfisis pubis
4. Penanganan

Diperlukan seorang asisten untuk membantu, sehingga bersegeralah


minta bantuan. Jangan melakukan tarikan atau dorongan sebelum
memastikan bahwa bahu posterior sudah masuk ke panggul. Bahu posterior
yang belum melewati pintu atas panggul akan semakin sulit bila dilakukan
tarikan pada kepala. Untuk mengendorkan ketegangan yang menyulitkan
bahu posterior masuk panggul tersebut, dapat dilakukan episiotomi yang
luas, di posisi McRobert, atau posisi dada-lutut. Dorongan pada fundus juga
tidak diperkenankan karena semakin menyulitkan bahu untuk dilahirkan dan
berisiko menimbulkan ruptura uteri. Di samping perlunya asisten dan
pemahaman yang baik tentang mekanisme persalinan, keberhasilan
pertolongan persalinan dengan distosia bahu juga ditentukan oleh waktu.
Setelah kepala lahir akan terjadi penurunan pH arteria umbilikalis dengan
laju 0,04 unit / menit. Dengan demikian, pada bayi yang sebelumnya tidak
mengalami hipoksia tersedia waktu antara 4 - 5 menit untuk melakukan
manuver melahirkan bahu sebelum terjadi cedera hipoksik pada otak. Secara
sistematis tindakan pertolongan distosia bahu adalah sebagai berikut.

100
a. Langkah pertama: Manuver McRobert

Posisi McRobert Penekanan


Suprapubik

Manuver McRobert dimulai dengan memosisikan ibu dalam posisi


McRobert, yaitu ibu telentang, memfleksikan kedua paha sehingga
lutut menjadi sedekat mungkin ke dada, dan rotasikan kedua kaki ke
arah luar (abduksi). Lakukan episiotomi yang cukup lebar. Gabungan
episiotomi dan cara McRobert akan mempermudah bahu posterior
melewati promontorium dan masuk ke dalam panggul. Mintalah
asisten menekan suprasimfisis ke arah posterior menggunakan
pangkal tangannya untuk menekan bahu anterior agar mau masuk di
bawah simfisis. Sementara itu lakukan tarikan pada kepala janin ke
arah posterokaudal dengan mantap. Langkah tersebut akan melahirkan
bahu anterior. Hindari tarikan yang berlebihan karena akan
mencederai pleksus brakhialis. Setelah bahu anterior dilahirkan,
langkah selanjutnya sama dengan pertolongan persalinan presentasi
kepala. Manuver ini cukup sederhana, aman, dan dapat mengatasi
sebagian besar distosia bahu derajat ringan sampai sedang.

b. Langkah kedua: Manuver Rubin


101
Oleh karena diameter anteroposterior pintu atas panggul lebih
sempit daripada diameter oblik atau transversanya, maka syarat bahu
dalam anteroposterior perlu diubah menjadi posisi oblik atau
transversa untuk memudahkan melahirkannya. Tidak boleh
melakukan putaran pada kepala atau leher bayi untuk mengubah posisi
bahu. Yang dapat dilakukan adalah memutar bahu secara langsung
atau melakukan tekanan suprapubik ke arah dorsal. Pada umumnya
sulit menjangkau bahu anterior, sehingga pemutaran bahu lebih
mudah dilakukan pada bahu posteriornya. Masih dalam posisi
McRobert, masukkan tangan pada bagian posterior vagina, tekanlah
daerah ketiak bayi sehingga bahu berputar menjadi posisi oblik atau
transversa. Lebih menguntungkan bila pemutaran itu ke arah yang
membuat punggung bayi menghadap ke arah anterior (manuver Rubin
anterior) oleh karena kekuatan tarikan yang diperlukan untuk
melahirkanya lebih rendah dibandingkan dengan posisi bahu
anteroposterior atau punggung bayi menghadap ke arah posterior.
Ketika melakukan penekanan suprapubik pada posisi punggung janin
anterior akan membuat bahu lebih abduksi, sehingga diameternya
mengecil. Dengan bantuan tekanan suprasimfisis ke arah posterior,
lakukan tarikan kepala ke arah posterokaudal dengan mantap untuk
melahirkan bahu anterior.

c. Langkah ketiga: Melahirkan bahu posterior, merangkak,


atau manuver Wood

Melahirkan bahu posterior dilakukan pertama kali dengan


mengidentifikasi dulu posisi punggung bayi. Masukkan tangan
penolong yang berseberangan dengan punggung bavi (punggung
kanan berarti tangan kanan, punggung kiri berarti tangan kiri) ke
vagina. Temukan bahu posterior, telusuri lengan atas dan buatlah
sendi siku menjadi fleksi (bisa dilakukan dengan menekan fossa
kubiti). Peganglah lengan bawah dan buatlah gerakan mengusap ke
arah dada bayi. Langkah ini akan membuat bahu posterior lahir dan

102
memberikan ruang yang cukup bagi bahu anterior masuk ke bawah
simfisis. Dengan bantuan tekanan suprasimfisis ke arah posterior,
lakukan tarikan kepala ke arah posterokaudal dengan mantap untuk
melahirkan bahu anterior.

Melahirkan bahu posterior

Manfaat posisi merangkak didasarkan asumsi fleksibilitas sendi


sakroiliaka bisa meningkatkan diameter sagital pintu atas panggul
sebesar 1 - 2 cm dan pengaruh gravitasi akan membantu bahu
posterior melewati promontorium. Pada posisi telentang atau litotomi,
sendi sakroiliaka menjadi terbatas mobilitasnya. Pasien menopang
tubuhnya dengan kedua tangan dan kedua lututnya. Pada manuver ini
bahu posterior dilahirkan terlebih dahulu dengan melakukan tarikan
kepala. Bahu melalui panggul ternyata tidak dalam gerak lurus, tetapi
berputar seperti ulir- an sekrup. Berdasarkan hal itu, memutar bahu
akan mempermudah melahirkannya. Manuver Wood dilakukan
dengan menggunakan dua jari dari tangan yang berseberangan dengan
punggung bayi (punggung kanan berarti tangan kanan, punggung kiri
berarti tangan kiri) yang diletakkan di bagian depan bahu posterior.
Bahu posterior dirotası 180 derajat. Dengan demikian, bahu posterior
menjadi bahu anterior dan posisinya berada di bawah arkus pubis,
sedangkan bahu anterior memasuki pintu atas panggul dan berubah
menjadi bahu posterior. Dalam posisi seperti itu, bahu anterior akan
dengan mudah dapat dilahirkan. Setelah melakukan prosedur
pertolongan distosia bahu, tindakan selanjutnya melakukan proses
dekontaminasi dan pencegahan infeksi pascatindakan serta perawatan
pascatindakan. Perawatan pascatindakan termasuk laporan di lembar

103
catatan medik dan memberikan konseling pascatindakan. (Siswihanto,
2014).

2.15 Infeksi Puerperalis

A. Definisi

Infeksi nifas atau infeksi puerperalis adalah istilah umum yang digunakan
untuk menyatakan adanya infeksi bakteri apapun yang menyerang saluran
reproduksi setelah melahirkan. Bersama dengan pre eklampsia dan perdarahan
obstetric, infeksi nifas membentuk trias letal penyebab kematian ibu selama
beberapa dekade pada abad kedua puluh.

B. Patogenesis
Infeksi nifas yang terjadi setelah kelahiran pervaginam secara primer
melibatkan tempat implantasi plasenta, desidua dan miometrium sekitarnya atau
laserasi servikovaginal. Patogenesis infeksi uterus setelah bedah sesar merupakan
infeksi pada insisi bedah. Bakteri yang mendiami servis dan vagina mendapat
akses ke cairan amnion saat persalinan, dan pascapartum, bakteri tersebut
menginvasi jaringan uterus yang mati. Selanjutnya terjadi sellitis parametrik dan
jaringan ikat fibrosaareolar retroperitoneal pelvis. Dengan terapi awal, infeksi
tertahan di dalam jaringan pervaginal, tetapi dapat meluas ke dalam menuju pelvis.
Secara umum, infeksi bersifat polimikrobial, yang meningkatkan sinergi
bakteri. Faktor lain yang meningkatkan virulensi adalah hematoma dan jaringan
mati. Walaupun serviks dan vagina secara rutin mengandung bakteri tersebut,
rongga terus biasanya steril sebelum kantung amnion pecah. Sebagai konsekuensi
persalinan dan kelahiran serta manipulasi yang berhubungan, cairan amnion dan
terus biasanya menjadi terkontaminasi dengan bakteri anaerob dan aerob.

C. Gejala Klinis
Demam adalah kriteria terpenting untuk menegakkan diagnosa metritis
pasca partum. Secara intuitif derajat demam dianggap sebanding dengan luas
infeksi dan sindrom sepsis. Suhu biasanya 38 sampai 39 ° Celcius. Menggigil
yang menyertai demam menunjukkan adanya bakterimia. Ibu biasanya mengeluh

104
nyeri abdomen dan nyeri parametrial yang muncul pada pemeriksaan bimanual
dan abdominal. Walaupun terdapat bau yang tidak sedap, banyak ibu dengan lokia
berbau busuk tanpa adanya bukti infeksi. Infeksi lain, khususnya yang disebabkan
oleh streptokokus beta hemolitikus grup A, menyebabkan lokia yang sedikit dan
tidak berbau. Leukositosis dapat berkisar dari 15.000 sampai 30.000 sel/μL,
namun perlu di ingat kembali bahwa bedah sesar itu sendiri dapat meningkatkan
hitung lekosit.
D. Penatalaksanaan
Jika metritis ringan terjadi setelah ibu yang melahirkan vagina keluar di
rumah sakit, maka rawat jalan dengan antimikroba orang biasanya sudah cukup.
Akan tetapi, untuk infeksi yang sedang sampai berat, terapi intravena dengan
regimen antibiotik spektrum luas di indikasikan. Terjadi perbaikan dalam 48
sampai 72 jam pada hampir 90% ibu yang diterapi dengan satu dari beberapa
regimen. Demam persisten setelah interval ini sangat memerlukan penelusuran
yang teliti terhadap penyebab infeksi refrakter. Ini mencakup flegmon
parametrial--daerah dengan selulitis yang intens; abses pelvis atau insisi abdomen
atau hematoma terinfeksi: serta tromboflebitis pelvis septik.

2.16 Prolaps Tali Pusat

A. Definisi
Prolaps tali pusat merupakan komplikasi yang jarang terjadi, kurang dari 1
per 200 kelahiran, tetapi dapat mengakibatkan tingginya kematian janin. Oleh
karena itu, diperlukan keputusan yang matang dan pengelolaan segera.
Prolaps tali pusat dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
1. Tali pusat terkemuka, bila tali pusat berada di bawah bagian terendah
janin dan ketuban masih intak.
2. Tali pusat menumbung, bila tali pusat keluar melalui ketuban yang
sudah pecah, ke serviks, dan turun ke vagina.
3. Occult prolapse, tali pusat berada di samping bagian terendah janin
turun ke vagina. pusat dapat teraba atau tidak, ketuban dapat pecah
atau tidak.
105
B. Etiologi
Faktor dasar yang merupakan faktor predisposisi prolaps tali pusat adalah
tidak terisinya secara penuh pintu atas panggul dan serviks oleh bagian terendah
janin.
Faktor-faktor etiologi prolaps tali pusat meliputi beberapa faktor yang
sering berhubungan dengan ibu, janin, plasenta, tali pusat, dan iatrogenic
1. Presentasi yang abnormal seperti letak lintang atau letak sungsang
terutama presentasi kaki.
2. Prematuritas
3. Kehamilan ganda
4. Polihidramnion sering dihubungkan dengan bagian terendah janin
yang
5. Multiparitas predisposisi terjadinya malpresentasi
6. Disproporsi janin-panggul
7. Tumor di panggul yang mengganggu masuknya bagian terendah janin
8. Tali pusat abnormal panjang (> 75 cm)
9. Plasenta letak rendah
10. Solusio plasenta
11. Ketuban pecah dini
12. Amniotomi

C. Patofisiologi
Tekanan pada tali pusat oleh bagian terendah janin dan jalan lahir akan
mengurangi atau menghilangkan sirkulasi plasenta. Bila tidak dikoreksi,
komplikasi ini dapat mengakibatkan kematian janin.
Obstruksi yang lengkap dari tali pusat menyebabkan dengan segera
berkurangnya detak jantung janin (deselerasi variabel). Bila obstruksinya hilang
dengan cepat, detak jantung janin akan kembali normal. Akan tetapi, bila
obstruksinya menetap terjadilah deselerasi yang dilanjutkan dengan hipoksia
langsung terhadap miokard sehingga mengakibatkan deselerasi yang lama. Bila
dibiarkan, terjadi kematian janin.
Seandainya obstruksinya sebagian, akan menyebabkan akselerasi detak
jantung. Penutupan vena umbilikalis mendahului penutupan arteri yang
menghasilkan hipovolemi janin dan mengakibatkan akselerasi jantumg janin.
106
Gangguan aliran darah yang lama melalui tali pusat menghasilkan asidosis
respiratori dan metabolik yang berat, berkurangnya oksigenisasi janin, bradikardia
yang menetap, dan akhirnya kematian janin. Prolaps tali pusat tidak berpengaruh
langsung pada kehamilan atau jalannya persalinan.

D. Diagnosis
Diagnosis prolaps tali pasat dapat melibarkan beberapa cara :
1. Melihat tali pusat keluar dari introitus vagina.
2. Teraba secara kebetulan tali pusat pada waktu pemeriksaan dalam.
3. Auskultasi terdengar jantung janin yang ireguler, sering dengan
bradikardi yang jelas, terutama berhubungan dengan kontraksi uterus.
4. Monitoring denyut jantung janin yang berkesinambungan
memperlihatkan adanya deselerasi variable.
5. Tekanan pada bagian terendah janin oleh manipulasi eksterna terhadap
pintu atas panggul menyebabkan menurunnya detak jantung secara
tiba-tiba yang menandakan kompresi tali pusat.
Diagnosis dini sangat penting untuk kehidupan janin. Meskipun demikian,
keterlambatan diagnosis adalah biasa. Pada setiap gawat janin harus segera
dilakukan pemeriksaan dalam. Penderita yang mempunyai risiko tinggi terjadinya
prolaps tali pusat harus dipantau FHR yang berkesinambungan, yang memberi
peringatan dini adanya kompresi tali pusat lebih dari 80% kasus.
E. Prognosis
Komplikasi ibu seperti laserasi jalan lahir, ruptura uteri, atonia uteri akibat
anestesia, anemia dan infeksi dapat terjadi sehagai akibat dari usaha
menyelamatkan bayi. Kematian perinatal sekitar 20 - 30 %. Prognosis janin
membaik dengan seksio sesarea secara liberal untuk terapi prolaps tali pusat.
Prognosis janin bergantung pada beberapa faktor berikut.
 Angka kematian untuk bayi prematur dengan prolaps tali pusat hampir
4 kali lebih tinggi daripada bayi aterm.
 Bila gawat janin dibuktikan oleh detak jantung yang abnormal, adanya
cairan amnion yang terwarnai oleh mekonium, atau tali pusat
pulsasinya lemah, maka prognosis janin buruk.

107
 Jarak antara terjadinya prolaps dan persalinan merupakan faktor yang
paling kritis untuk janin hidup.
 Dikenalnya segera prolaps memperbaiki kemungkinan janin hidup.
 Angka kematian janin pada prolaps tali pusat yang letaknya sungsang
atau lintang sama tingginya dengan presentasi kepala. Hal ini
menghapuskan perkiraan bahwa pada ncdua letak janin yang abnormal
tekanan pada tali pusatnya tidak kuat.

E. Tatalaksana
Ditemukannya prolaps tali pusat diperlukan tindakan yang cepat. Terapi
definitif adalah melahirkan janin dengan segera. Penilaian yang cepat sangat
penting untuk menentukan sikap terbaik yang akan diambil. Persalinan
pervaginam segera hanya mungkin bila pembukaan lengkap, bagian terendah
janin telah masuk panggul, dan tidak ada CPD.
Bahaya terhadap ibu dan janin akan berkurang bila dilakukan seksio
sesarea daripada persalinan pervaginam yang dipaksakan pada pembukaan yang
belum lengkap. Sambil menunggu persiapan seksio sesarea, tekanan pada tali
pusat oleh bagian terendah janin dapat diminimalisasi dengan posisi knee chest,
Trendelenburg, atau posisi Sim.
Bila sebelumnya diberi oksitosin, obat ini harus dihentikan. Sebaiknya
jenis apa pun dari prolaps tali pusat, bila syarat-syarat untuk melakukan persalinan
pervaginam belum terpenuhi, sebaiknya dilakukan seksio sesarea untuk
menyelamatkan janin.

108
BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dalam menangani kasus kegawatdaruratan obstetri diperlukan kemampuan
untuk mengidentifikasi penyebab kegawatdaruratan tersebut beserta dengan
penanganannya. Penanganan yang dilakukan bersifat segera untuk menghindari
dampak buruk terhadap ibu dan janin, termasuk kematian.
Kasus kegawatdaruratan obstetri meliputi perdarahan, infeksi,
preeklampsia/eklampsia, dan distosia. Kasus kegawatdaruratan obstetri dapat
terjadi secara tiba-tiba pada saat kehamilan, persalinan, dan nifas. Adapun kasus
kegawatdaruratan dalam obstetri meliputi abortus, kehamilan ektopik, mola
hidatidosa, plasenta previa, solusio plasenta, atonia uteria, retensio plasenta, rest
plasenta, robekan jalan lahir, inversio uteri, perdarahan akibat gangguan
pembekuan darah, preeklampsia/eklampsia, ruptur uteri, distosia, infeksi
puerperalis, dan prolaps tali pusat .
Masing-masing kasus yang menyebabkan kegawatdaruratan obstetri
memiliki etiologi, faktor risiko, gejala klinis, hingga pengelolaan yang berbeda.
Sehingga perlu dilakukan penegakkan diagnosa yang yang tepat dan cepat untuk
mengurangi risiko pada ibu dan janin.

109
DAFTAR PUSTAKA

Abduljabbar, Hassan S., Bahkali, Needa M., Al-Basri, Samera F., Shoudary,
Ibrahim H., Dause, Wesam R., Mira, Mohammed, Y., & Khojah,
Mohammed. (2016). Placenta Previa. A 13 Years Experience at a Tertiary
Care Center in Western Saudi Arabia. Saudi Med J. Vol. 37 (7).

Alamsyah, M. (2014). Persalinan Lama. In S. Prawiroharjo, Ilmu Kebidanan (p.


562). Jakarta: PT. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

Almnabri, Abdulrahman A., Al-Ansari, Emtenan A., Abdulmane, Murooj M.,


Saadawi, Deyala W., Almarshad, Taghreed A., Banoun, Ahmad A., Mufti,
Nora S., Bati, Bashayes S., et al. (2017). Management of Placenta During
Pregnancy. The Egyptian Journal of Hospital Medicine. Vol. 68 (3). Pg.
1549 – 1553.

Bangun, R. Karakteristik Ibu Penderita KET di RSUP H. Adam Malik Medan


tahun 2003-2008. Medan : USU. 2009.

Berghella, Vincenzo. (2017). Obstetric Evidence Based Guidelines, 3rd


Edition. London, New York : CRC Press.

Chalik, T. M. A. (2010). Perdarahan pada Kehamilan Lanjut dan Persalinan. In


Ilmu Kebidanan (4th ed.). Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

Creasy, RK., Iams, J., Lockwood, C., Moore, T., Greene, M. (2014). Placenta
Previa, Placenta Accreta, Abruptio Placentae and Vasa Previa. Creasy and
th
Resnik’s Maternal-Fetal Medicine: Principles and Practice. 7 ed.
Saunders: Philadelphia, PA., 732 – 742.

Cunningham, G. (2014). Obstetri Williams (23 ed., Vol. 1). Jakarta: EGC.

Jauniaux, ERM., Alfirevic, Z., Bhide, AG., Belfort, MA., Burton, GJ., Collins,
SL., Dornan, S., Jurkovic, D., et al. (2018). Placenta Previa and Placenta
Accreta: Diagnosis and Management. Green-top Guideline No. 27a. Royal
College of Obstetricians & Gynaecologists, 27 Sussex Place, London,
United Kingdom.

Karkata, M. K. (2010). Perdarahan Pasca Persalinan (PPP). In Ilmu Kebidanan


(4th ed.). Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

110
Kementrian Kasehatan Republik Indonesia. Buku saku pelayanan kesehatan ibu di
st
fasilitas kesehatan dasar dan rujukan. 1 ed. Jakarta: Kementrian Kesehatan
RI; 2015.

Lockwood, Charles J., Russo-Stieglitz, Karen. (2019). Placenta Previa:


Management. Editor: Vincenzo Berghella.

Nurjanah, S. N. (2013). Asuhan Kebidanan Post Partum dilengkapi dengan


Asuhan Kebidanan Post Sectio Caesaria. Bandung: PT. Refika Aditama.

Prawirohardjo, S. (2010). Ilmu Kebidanan. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono


Prawirohardjo.

Saifuddin, A. B. (2014). Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal


dan Neonatal. Jakarta: PT. Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo.

Siswihanto, R. (2014). Distosia Bahu. In S. Prawirohardjo, Ilmu Kebidanan (p.


599). Jakarta: PT. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

WHO. (2013). Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar
dan Rujukan. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Wijayanegara, H. (2014). Prolaps Tali Pusat. In S. Prawirohardjo, Ilmu Kebidanan


(p. 625). Jakarta: PT. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

111

Anda mungkin juga menyukai