Anda di halaman 1dari 60

LAPORAN KASUS

G1P1A0 Gravida 9-10 Minggu dengan Kehamilan Ektopik


Terganggu dan Anemia

Disusun oleh :
Monica Octafiani
1102015150

Pembimbing :
dr. Ronny, Sp.OG

KEPANITERAAN KLINIK OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


RSUD KABUPATEN BEKASI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
PERIODE 28 SEPTEMBER - 6 NOVEMBER 2020
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.................................................................................................................
KATA PENGANTAR...................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...................................................................................
Kehamilan Ektopik Terganggu
2.1 Definisi.................................................................................................................
2.2 Epidemiologi........................................................................................................
2.3 Etiologi.................................................................................................................
2.4 Patofisiologi.......................................................................................................
2.5 Gambaran Klinis................................................................................................
2.6 Pemeriksaan Penunjang......................................................................................
2.7 Diagnosis............................................................................................................
2.8 Diagnosis Banding.............................................................................................
2.9 Penatalaksanaan.................................................................................................
2.10Komplikasi........................................................................................................
2.11 Prognosis..........................................................................................................
BAB III LAPORAN KASUS......................................................................................
BAB IV PEMBAHASAN...........................................................................................
BAB V KESIMPULAN..............................................................................................
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................

2
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Segala puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha
Esa, karena atas rahmat dan hidayah-Nya saya dapat menyelesaikan laporan kasus
dengan judul “G1P1A0 Gravida 9 - 10 Minggu dengan Kehamilan Ektopik
Terganggu dengan Anemia” sebagai salah satu tugas Kepaniteraan Ilmu Obstetri
dan Ginekologi RSUD Kabupaten Bekasi. Tidak lupa shalawat serta salam saya
sampaikan kepada Nabi Besar Muhammad SAW.
Pada kesempatan ini, saya selaku penulis mengucapkan terima kasih
kepada semua pihak yang telah membantu kami untuk menyelesaikan makalah
laporan kasus, terima-kasih kepada dr. Ronny, Sp.OGselaku pembimbing dan
klinisi kepaniteraan Ilmu Obstetri dan Ginekologi yang telah meluangkan waktu
dalam membimbing dan memberi masukan-masukan kepada penulis, dan juga
kepada seluruh dokter, staf bagian kebidanan dan kandungan, orang tua saya yang
telah mendukung secara moril maupun materil demi terwujudnya, dan teman-
teman sejawat lainnya yang turut membantu penyusun selama kepanitraan di
bagian Ilmu Obstetri dan Ginekologi. Semoga Allah SWT memberikan balasan
yang sebesar-besarnya atas bantuan yang diberikan selama ini.
Kami menyadari bahwa dalam penulisan laporan kasus ini masih banyak
terdapat kekurangan. Oleh sebab itu, kami mengharapkan saran serta kritik yang
dapat membangun dalam laporan presentasi kasus ini untuk perbaikan di
kemudian hari. Semoga presentasi kasus ini dapat berguna dan bermanfaat bagi
kita semua. Amin.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Bekasi, Oktober 2020

Penulis

3
BAB I

PENDAHULUAN 

Kehamilan Ektopik Terganggu (KET) merupakan kehamilan ektopik yang


disertai dengan gejala akut abdomen. Kondisi ini merupakan kondisi yang gawat
yang bila lambat ditangani akan berakibat fatal bagi penderita. Kehamilan ektopik
terganggu merupakan salah satu penyebab utama mortalitas ibu, khususnya pada
trimester pertama. Karena manifestasinya yang cukup dramatis, sering kali KET
dijumpai terlebih dahulu bukan oleh dokter-dokter ahli kebidanan, melainkan
dokter-dokter yang bekerja di unit gawat darurat, sehingga entitas ini perlu
diketahui oleh setiap dokter.1
Menurut World Health Organization (2007), kehamilan ektopik adalah
penyebab hampir 5% kematian di negara maju. Namun kematian akibat kehamilan
ektopik di Amerika Serikat kini semakin jarang terjadi sejak tahun 1970-an.
Kematian kasus kehamilan ektopik turun tajam dari tahun 1980 hingga 1992.4
Dalam kepustakaan, prevalensi hemailan ektopik 1 dari 40 kehamilan atau
diperkirakan 25 dari 1000 kehamilan.11
Riwayat kerusakan tuba, baik karena kehamilan ektopik sebelumnya atau
karena pembedahan tuba merupakan risiko tertinggi terjadinya kehamilan ektopik.
Riwayat infeksi tuba atau penyakit menular seksual lain juga merupakan faktor
risiko umum. Satu kali serangan salpingitis dapat diikuti oleh kehamilan ektopik
pada hampir 9% wanita.
Angka kejadian kehamilan ektopik dari tahun ke tahun cenderung
meningkat. Di Indonesia, laporan dari rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo
Jakarta, angka kejadian kehamilan ektopik pada tahun 1987 ialah 153 diantara
4007 persalinan atau 1 diantara 26 persalinan. Dalam kepustakaan, frekuensi
kehamilan ektopik dilaporkan antara 1:28 sampai 1:329 tiap kehamilan. Saat ini
lebih dari 1 dalam 1000 kehamilan di Amerika adalah kehamilan ektopik. Resiko
kematian akibat akibat kematian di luar rahim 10 kali lebih besar daripada
persalinan pervaginam dan 50 kali lebih besar daripada abortus induksi.3

4
Gambaran klinis KET ditandai oleh trias klasik yaitu amenore, nyeri
abdomen akut dan perdarahan pervaginam. Namun kadang-kadang gambaran
klinis KET tidak khas, sehingga menyulitkan diagnosa. Yang perlu diingat adalah
bahwa setiap wanita dalam masa reproduksi dengan keluhan telat haid yang
disertai dengan nyeri perut bagian bawah perlu dipikirkan kemungkinan
terjadinya KET. Seiring dengan kemajuan ilmu kedokteran, penderita KET telah
dapat ditangani secara adekuat, sehingga mengurangi angka kematian karena
komplikasi penyakit tersebut. Hal yang harus diingat ialah KET bisa dihadapi baik
oleh dokter umum maupun dokter spesialis, sehingga setiap dokter umum harus
dapat mengenali tanda-tanda KET, sehingga penderita dapat segera tertangani.2

5
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Kehamilan ektopik adalah suatu kehamilan yang pertumbuhan sel telur
yang telah dibuahi tidak menempel pada dinding endometrium kavum uteri. Lebih
dari 95% kehamilan ektopik berada di saluran tuba (tuba Fallopii).1 Blastokis
normalnya akan berimplantasi pada endometrium kavum uteri. Bila blastokis
tidak berimplantasi pada tempat tersebut, maka disebut kehamilan ektopik.
Kehamilan Ektopik tergangu (KET) merupakan kehamilan ektopik yang disertai
dengan gejala akut abdomen, dengan trias gambaran klasik yaitu amenore, nyeri
abdomen akut dan perdarahan pervaginam. Implantasi hasil konsepsi dapat terjadi
pada tuba fallopii, ovarium, dan kavum abdomen atau pada uterus namun dengan
posisi yang abnormal (kornu, serviks). Kehamilan ekstrauterin tidak bersinonim
dengan kehamilan ektopik karena kehamilan pada pars intersitialis tuba dan
kanalis servikalis masih termasuk dalam uterus, tetapi jelas kehamilan ektopik.
Kira-kira 95% kasus kehamilan ektopik terjadi pada tuba falopii dan kehamilan
ini disebut sebagai kehamilan tuba. Kehamilan tuba tidaklah sinonim untuk
kehamilan ektopik melainkan lebih merupakan tipe kehamilan ektopik yang
paling sering dijumpai.2

6
Gambar 1. Anatomi Organ Reproduksi Wanita

Bentuk-bentuk kehamilan ektopik yaitu kehamilan tuba, kehamilan kornu uteri,


kehamilan interstisial tuba, kehamilan servikal, kehamilan ovarial, kehamilan
abdominal, kehamilan uterus rudimenter dan kehamilan ektopik rudimenter.1
Sebagian besar kehamilan ektopik berlokasi pada tuba fallopi, di pars
ampularis 80%, pars ismika 12%, fimbriae 5%, dan kornual 2%. Sangat jarang
terjadi implantasi pada ovarium (0,2%), rongga perut (1,4%), kanalis servikalis
uteri (0,2%), kornu uterus yang rudimenter dan divertikel pada uterus. 3,6
Terbatasnya kemampuan tuba fallopi untuk mengembang menyebabkan
kehamilan ektopik mengalami ruptur tuba sehingga dapat timbul perdarahan ke
dalam kavum abdomen, keadaan ini biasa dikenal dengan kehamilan ektopik
terganggu.1 

Gambar 2. Lokasi Kehamilan Ektopik

2.2 Epidemiologi
Kejadian kehamilan ektopik diperkirakan 1-2% dari seluruh jumlah
kehamilan. Prevalensi kehamilan ektopik adalah 1 dari 40 kehamilan atau
diperkirakan terjadi pada 25 dari 1000 kehamilan. Kejadian kehamilan ektopik 85-
90% ditemukan pada wanita multigravida. Angka kematian akibat kehamilan

7
ektopik di Amerika lebih banyak ditemukan pada wanita kulit hitam dibandingkan
wanita kulit putih. Usia di atas 40 tahun memiliki risiko sebesar 2.9 kali untuk
mengalami kehamilan ektopik.14

Angka kejadian kehamilan ektopik dari tahun ke tahun cenderung


meningkat. Angka kejadian kehamilan ektopik per 1000 kehamilan yang
dilaporkan di Amerika Serikat meningkat empat kali lipat dari tahun 1970 sampai
tahun 1992. Pada tahun 1992 di Amerika Serikat angka kejadian kehamilan
ektopik hampir 2% dari seluruh kehamilan. Yang penting, kehamilan ektopik
menyebabkan 10% kematian yang berhubungan dengan kehamilan. Sedangkan di
Indonesia, laporan dari Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta, angka
kejadian kehamilan ektopik pada tahun 1987 ialah 153 diantara 4007 persalinan
atau 1 diantara 26 persalinan. Di Amerika Serikat, sebagian besar wanita yang
mengalami kehamilan ektopik berumur antara 35-44 tahun dimana wanita kulit
hitam memiliki resiko 1,6 kali lebih tinggi untuk mengalami kehamilan ektopik
dibandingkan wanita kulit putih. Di Indonesia berdasarkan penelitian kehamilan
ektopik di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo selama 3 tahun (1 Januari 1997- 31
Desember 1999) wanita yang mengalami kehamilan ektopik terbanyak pada usia
26-30 tahun yaitu 44,59 %. Sedangkan resiko untuk mengalami kehamilan
ektopik yang berulang dikatakan 7-13 kali lebih besar atau sekitar 10-25%
dibandingkan wanita yang tidak pernah mengalami kehamilan ektopik.2

2.3 Etiologi
Kehamilan ektopik telah banyak diselidiki untuk mengetahui
penyebabnya. Pada penelitian RSUP. Prof. Dr. R. D. Kandou Manado sebelumnya
faktor Kehamilan Ektopik yang menggunakan alat kontrasepsi yaitu berjumlah 48
jiwa (71,63%) dan yang tidak menggunakan alat kontrasepsi berjumlah 19 jiwa
(28,36%). Dan kasus kehamilan ektopik ini paling banyak terjadi pada pemakaian
kontrasespsi hormonal berupa suntikan dan kondom dengan presentasi kasus
sebesar 46,15 % ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Suparman
(2001) bahwa kehamilan ektopik paling banyak ditemukan pada pengguna
kontrasepsi hormonal berupa suntikan sebesar 31,34 %.3

8
Sedangkan wanita yang memiliki risiko yang sedang untuk mengalami
kehamilan ektopik adalah wanita dengan riwayat infeksi saluran genital, dan
berganti-ganti pasangan seksual. Dan risiko rendah pada wanita yang merokok,
dan riwayat koitus pada usia muda. Penyebab yang paling sering adalah
salpingitis yang terjadi sebelumnya akibat penyakit menular seksual seperti
infeksi gonokokal, klamidia, atau salpingitis yang mengikuti abortus septik dan
sepsis puerperium.5
Aktivitas mioelektrik bertanggung jawab terhadap aktivitas dalam tuba
fallopi. Aktivitas ini membantu pergerakan sperma dan ovum agar saling bertemu
dan membantu zigot menuju ke kavum uteri. Estrogen akan meningkatkan
aktivitas otot polos dan progesteron menurunkan aktivitas tersebut. Proses
penuaan menyebabkan hilangnya aktivitas mioelektrik tuba fallopi secara
progresif, sehingga bisa dijelaskan terjadinya peningkatan insiden kehamilan tuba
pada wanita perimenopause. Adanya kontrol hormonal pada aktivitas otot tuba
falopii mungkin menjelaskan peningkatan insiden kehamilan ektopik yang
berhubungan dengan penggunaan mini pil, IUD, dan induksi ovulasi. 8
Sekitar 2 % hingga 8 % konsepsi IVF (Invitro Fertilization) adalah daerah
tuba. Faktor predisposisi masih tidak jelas, mungkin karena penempatan embrio
pada kavum uterus terlalu diatas, refluks cairan ke dalam tuba, dan faktor kelainan
tuba lainnya yang mencegah refluks embrio kembali ke dalam kavum uterus. 8 The
Society of Assisted Reproductive Tecnology (1993) melalui the National IVF
Registry, melaporkan insiden kehamilan ektopik per kehamilan klinis adalah 5,5
% untuk IVF, 2,9 % untuk Gamete Intrafallopian Transfer, dan 4,5 % untuk
Zygote Intrafallopian Transfer pada tahun 1991. 4

9
Gambar.3 Kehamilan Ektopik1

Adapun faktor-faktor yang menyebabkan kehamilan ektopik 4,6


A. Faktor-faktor mekanis yang mencegah atau menghambat perjalanan ovum yang
telah dibuahi ke kavum uteri.
1. Salpingitis, khususnya endosalpingitis, yang menyebabkan aglutinasi lipatan
arboresen mukosa tuba dengan penyempitan lumen atau pembentukan
kantong-kantong buntu. Berkurangnya siliasi mukosa tuba akibat infeksi
dapat turut menyebabkan implantasi zigot dalam tuba fallopi. Pada laporan
klasik Westrom, wanita dengan riwayat salpingitis (yang dikonfirmasi
dengan laparoskopi) mempunyai risiko 4 kali lipat untuk menderita
kehamilan ektopik. Bukti infeksi Klamidia (antibodi dalam sirkulasi)
berhubungan dengan peningkatan 2 kali lipat risiko kehamilan ektopik.
2. Adhesi peritubal setelah infeksi pasca abortus atau infeksi masa nifas,
apendisitis ataupun endometriosis, yang menyebabkan tertekuknya tuba dan
penyempitan lumennya.
3. Kelainan pertumbuhan tuba, khususnya divertikulum, ostium assesorius dan
hipoplasia. Kelainan semacam ini sangat jarang terjadi.
4. Kehamilan ektopik sebelumnya, dan sesudah sekali mengalami kehamilan
ektopik, insiden kehamilan ektopik berikutnya akan menjadi 7 hingga 15
persen. Meningkatnya risiko ini kemungkinan disebabkan oleh salpingitis
yang terjadi sebelumnya.

10
5. Pembedahan sebelumnya pada tuba, entah dilakukan untuk memperbaiki
patensi tuba atau kadang-kadang dilakukan pada kegagalan sterilisasi.
Wanita yang pernah mengalami pembedahan tuba mempunyai risiko
kehamilan ektopik yang lebih tinggi. Wanita dengan kehamilan ektopik
yang dilakukan pembedahan konservatif mempunyai risiko 10 kali lipat
untuk mengalami kehamilan ektopik berikutnya.
6. Abortus induksi yang dilakukan lebih dari satu kali akan memperbesar risiko
terjadinya kehamilan ektopik. Risiko ini tidak berubah setelah satu kali
menjalani abortus induksi, namun akan menjadi dua kali lipat setelah
menjalani abortus induksi sebanyak dua kali atau lebih, kenaikan risiko ini
kemungkinan akibat peningkatan insiden salpingitis.
7. Tumor yang mengubah bentuk tuba, seperti mioma uteri dan adanya
benjolan pada adneksa.
8. Penggunaan alat kontrasepsi dalam rahim yang digalakkan akhir-akhir ini
telah meningkatkan insiden kehamilan ektopik. Tapi harus diingat bahwa
penggunaan IUD modern seperti Copper T tidak meningkatkan risiko
kehamilan ektopik dan malahan merupakan proteksi terhadap kehamilan.
Studi yang lebih besar yang dilakukan oleh WHO menyatakan bahwa
pengguna IUD memiliki risiko kurang dari 50 % untuk mengalami
kehamilan ektopik dibandingkan dengan yang tidak menggunakan
kontrasepsi. Tetapi apabila pemakai IUD menjadi hamil maka kehamilannya
kemungkinan besar merupakan kehamilan ektopik. Sekitar 3-4 % kehamilan
pada pemakai IUD adalah ektopik.

B. Faktor-faktor fungsional yang memperlambat perjalanan ovum yang telah


dibuahi ke dalam kavum uteri
1. Migrasi eksternal ovum mungkin bukan faktor yang penting kecuali pada
kasus-kasus perkembangan duktus mulleri yang abnormal, sehingga terjadi
hemiuterus dengan kornu uterina rudimenter dan tidak berhubungan. Risiko
terjadinya kehamilan ektopik dapat pula sedikit meningkat pada wanita
dengan satu oviduk kalau saja dia mengalami ovulasi dari ovarium sisi

11
kontra lateralnya. Kelambatan pengangkutan ovum yang telah dibuahi lewat
saluran tuba atau oviduk akibat migrasi eksternal akan meningkatkan sifat-
sifat invasif blastokis sementara masih berada di dalam oviduk. Peristiwa ini
mungkin bukan faktor yang penting dalam proses terjadinya kehamilan
ektopik pada manusia.
2. Refluks menstrual pernah dikemukakan sebagai penyebab terjadinya
kehamilan ektopik. Kelambatan fertilisasi ovum dengan perdarahan
menstruasi pada waktu sebagaimana biasanya, secara teoritis dapat
mencegah masuknya ovum ke dalam uterus atau menyebabkan ovum
tersebut berbalik ke dalam tuba. Bukti yang mendukung fenomena ini tidak
banyak.
3. Berubahnya motilitas tuba dapat terjadi mengikuti perubahan pada kadar
estrogen dan progesteron dalam serum. Perubahan jumlah dan afinitas
reseptor adrenergik dalam otot polos uterus serta tuba fallopi kemungkinan
benar menjadi penyebabnya. Segi praktisnya tampak pada peningkatan
insiden kehamilan ektopik yang dilaporkan setelah penggunaan preparat
kontrasepsi oral yang hanya mengandung progestin. Juga dilaporkan
peningkatan insiden kehamilan ektopik sebesar 4 hingga 13 persen di antara
para wanita yang pernah mendapatkan preparat dietilstilbestrol (DES)
intrauteri. Kejadian ini mungkin lebih disebabkan oleh berubahnya motilitas
tuba daripada oleh abnormalitas strukturnya.
C. Peningkatan daya penerimaan mukosa tuba terhadap ovum yang telah dibuahi.
Unsur- unsur ektopik endometrium dapat meningkatkan implantasi dalam tuba.
Meskipun para pengamat pernah melaporkan adanya fokus-fokus
endometriosis dalam tuba fallopi, namun hal ini merupakan keadaan yang
jarang dijumpai.
 
2.4 Patofisiologi
Pada proses awal kehamilan, apabila embrio tidak bisa mencapai endometrium
untuk proses nidasi, maka embrio dapat tumbuh di saluran tuba dan kemudia
akan mengalami beberapa proses seperti pada kehamilan pada umumnya.

12
Karena tuba bukan merupakan medium yang baik untuk pertumbuhan embrio
atau mudigah, maka pertumbuhan dapat mengalami perubahan dalam bentuk
berikut ini.3
1. Hasil konsepsi mati dini dan diresorpsi
Pada implantasi secara kolumner, ovum yang dibuahi cepat mati karena
vaskularisasi kurang dengan mudah terjadi resorpsi total. Dalam keadaan ini
penderita tidak mengeluh apa-apa dan haidnya terlambat untuk beberapa hari.
2. Abortus ke dalam lumen tuba
Perdarahan yang terjadi karena pembukaan pembuluh-pembuluh
darah oleh villi koriales pada dinding tuba di tempat implantasi dapat melepaskan
mudigah dari dinding tersebut bersama-sama dengan robeknya pseudokapsularis.
Pelepasan ini dapat terjadi sebagian atau seluruhnya. Bila pelepasan menyeluruh,
mudigah dan selaputnya dikeluarkan dalam lumen tuba dan kemudian didorong
oleh darah ke arah ostium tuba abdominale. Perdarahan yang berlangsung terus
menyebabkan tuba membesar dan kebiru-iruan (hematosalping) dan selanjutnya
darah mengalir ke rongga perut melalui ostium tuba berkumpul di kavum douglas
dan akan membentuk hematokel retrouterina.3

Gambar 4 Abortus Tuba


3. Ruptur dinding tuba

13
Ruptur dinding tuba sering terjadi bila ovum berimplantasi pada ismus
dan biasanya pada kehamilan muda. Sebaliknya ruptur pada pars interstisialis
terjadi pada kehamilan lebih lanjut. Faktor utma yang menyebabkan ruptur
adalah penembusan vili koriales ke dalam lapisan muskularis tuba terus ke
peritoneum. Ruptur dapat terjadi spontan atau karena trauma ringan. Darah
dapat mengalir ke dalam rongga perut melalui ostium tuba abdominale. Bila
ostium tuba tersumbat, ruptur sekunder terjadi. Dalam hal ini, dinding tuba
telah menipis oleh invasi trofoblas, pecah karena tekanan darah dalam tuba.
Kadang ruptur terjadi di arah ligamentum latum dan terbentuk hematoma
intraligamenter antara 2 lapisa ligamentum tersebut. Ika janin hidup terus
dapat terjadi kehamilan intraligamenter.3
Pada ruptur ke rongga perut, seluruh janin dapat keluar dari tuba,
tetapi bila robekan tuba kecil, perdarahan terjadi tanpa hasil konsepsi
dikeluarkan dari tuba. Nasib janin bergantung pada tuanya kehamilan dan
kerusakan yang diderita. Bila janin mati dan masih kecil, dapat diresorpsi
seluruhnya dan bila besar dapat diubah menjadi litopedion. 3
Janin yang dikeluarkan dari tuba dengan masih diselubungi oleh
kantomg amnion dan dengan plassenta masih untuh kemungkinan tumbuh
terus dalam rongga peru, sehingga terjadi kehamilan ektopik lanjut atau
kehamilan abdominal sekunder. 3

14
Gambar 5 Komplikasi Kehamilan Ektopik, Ruptur tuba

2.5Gambaran Klinis
Kehamilan ektopik terganggu yang khas ditandai dengan trias klasik yaitu
amenore, nyeri perut mendadak serta perdarahan pervaginam. 1 Gejala ini
umumnya terdapat hanya pada 50% pasien, dan kebanyakan pada pasien yang
telah mengalami ruptur. Nyeri pada abdomen merupakan keluhan yang paling
sering. Dalam buku teks dengan uraian mengenai kasus-kasus kehamilan tuba
yang ruptur, haid yang normal digantikan dengan perdarahan per vaginam yang
agak tertunda dan biasanya disebut dengan istilah “spotting”. Tiba-tiba wanita ini
akan merasakan nyeri abdomen bawah yang hebat dan kerapkali dijelaskan
sebagai rasa nyeri yang tajam, menusuk serta seperti perasaan terobek. Gangguan
vasomotor akan terjadi yang berkisar dari gejala vertigo hingga sinkop. Perabaan
abdomen menunjukkan nyeri tekan, dan pemeriksaan pervaginam, khususnya
ketika serviksnya digerakkan, menimbulkan rasa nyeri yang hebat. Forniks
posterior vagina dapat menonjol karena adanya darah dalam kavum Douglas, dan
adanya benjolan yang nyeri tekan bisa teraba pada salah satu sisi uterus. Keluhan
iritasi diafragma yang ditandai oleh rasa nyeri pada leher atau bahu khususnya
saat inspirasi mungkin terdapat pada 50% wanita dengan perdarahan

15
intraperitoneum yang cukup banyak. Keadaan ini disebabkan oleh darah
intraperitoneal yang menimbulkan iritasi pada saraf sensorik yang mempersarafi
permukaan inferior diafragma, khususnya saat inspirasi. Wanita tersebut dapat
memperlihatkan gejala hipotensi ketika disuruh berbaring terlentang. Pada kasus-
kasus kehamilan tuba dengan gambaran klinis tersebut diatas, diagnosis tidak sulit
untuk dibuat. Meskipun demikian, gejala dan tanda kehamilan ektopik sangat
tergantung pada lamanya kehamilan ektopik terganggu, abortus atau ruptur tuba,
tuanya kehamilan, derajat pendarahan yang terjadi dan keadaan umum penderita
sebelum hamil. Hal ini menyebabkan gambaran klinis kehamilan ektopik sangat
bervariasi, dari perdarahan yang banyak dan tiba-tiba dalam rongga perut sampai
terdapatnya gejala yang tidak jelas sehingga sukar membuat diagnosisnya.5
Adapun gejala dan tanda dari kehamilan ektopik terganggu yang sering
dijumpai ialah sebagai berikut 6,7
1. Nyeri perut
Merupakan keluhan utama pada kehamilan ektopik terganggu, yang terjadi
pada kira-kira 90-100% penderita. Nyeri bisa terjadi unilateral atau bilateral
dan bisa terjadi baik pada perut bagian bawah maupun atas. Nyeri juga bisa
dirasakan sebagai nyeri tajam, nyeri tumpul, atau kram serta bisa terus
menerus atau hilang timbul. Pada ruptur tuba, nyeri perut bagian bawah
terjadi secara tiba-tiba dan intensitasnya sangat berat disebabkan oleh darah
yang mengalir ke dalam kavum peritonei. Biasanya pada abortus tuba, nyeri
tidak seberapa hebat dan tidak terus menerus. Rasa nyeri mula-mula terdapat
pada satu sisi, tetapi setelah darah masuk ke dalam rongga perut, rasa nyeri
menjalar ke bagian tengah atau ke seluruh perut bawah. Darah dalam rongga
perut dapat merangsang diafragma, sehingga menyebabkan nyeri bahu dan
bila membentuk hematokel retrouterina dapat ,menyebabkan nyeri saat
defekasi.
2. Perdarahan pervaginam
Perdarahan pervaginam merupakan tanda penting kedua pada kehamilan
ektopik terganggu, kira-kira terjadi pada 60-80% penderita. Perdarahan
biasanya mulai 7-14 hari setelah periode menstruasi yang terlewatkan/tidak

16
terjadi. Selama fungsi endokrin plasenta masih bertahan, perdarahan uterus
biasanya tidak ditemukan; namun bila dukungan endokrin dari endometrium
sudah tidak memadai lagi, mukosa uterus akan mengalami perdarahan. Hal
ini menunjukkan sudah terjadi kematian janin dan berasal dari kavum uteri
karena pelepasan desidua. Perdarahan yang berasal dari uterus biasanya
sedikit-sedikit, berwarna coklat tua, dan dapat terputus-putus atau terus
menerus . Perdarahan berarti gangguan pembentukan human chorionic
gonadotropin. Jika plasenta mati, desidua dapat dikeluarkan seluruhnya.
3. Amenore
Tidak adanya riwayat terlambat haid bukan berarti kemungkinan kehamilan
tuba dapat disingkirkan. Lamanya amenore tergantung pada kehidupan janin,
sehingga dapat bervariasi. Sebagian penderita tidak mengalami amenore
karena kematian janin sebelum haid berikutnya. Hal ini menyebabkan
frekuensi amenore yang dikemukakan berbagai penulis berkisar antara 23-
97%. Riwayat amenore tidak ditemukan pada seperempat kasus atau lebih.
Salah satu sebabnya adalah karena pasien menganggap perdarahan
pervaginam yang lazim terjadi pada kehamilan tuba sebagai periode haid
yang normal, dan dengan demikian memberikan tanggal haid terakhir yang
keliru. Sumber kesalahan diagnostik yang penting ini dapat diatasi pada
banyak kasus bila riwayat haid ditanyakan dengan teliti. Sifat haid terakhir
harus ditanyakan secara terinci berkenaan dengan waktu mulainya, lamanya
serta banyaknya haid dan dianjurkan pula untuk menanyakan apakah pasien
merasa bahwa haidnya abnormal.
4. Tekanan darah dan denyut nadi
Sebelum terjadi ruptur, tanda vital umumnya normal. Respon awal terhadap
perdarahan bervariasi dari tanpa perubahan tanda vital sampai bradikardi dan
hipotensi. Tekanan darah menurun (sistolik < 90 mmHg), nadi cepat dan
lemah (> 110 kali/menit), pucat, berkeringat dingin, kulit lembab, nafas cepat
(> 30 kali/menit), cemas, kesadaran menurun atau tidak sadar bisa terjadi bila
perdarahan berlangsung terus dan terjadi hipovolemia yang signifikan.

17
Stabile dan Grudzinskas (1990) melaporkan dari 2400 wanita dengan
kehamilan ektopik, hampir 1-4% dalam keadaan syok.
5. Perubahan uterus
Pada kehamilan ektopik terganggu, uterus juga membesar karena pengaruh
hormon-hormon kehamilan, terutama selama 3 bulan pertama, dimana tetap
terjadi pertumbuhan uterus hingga mencapai ukuran yang hampir mendekati
ukuran uterus pada kehamilan intrauteri. Konsistensinya juga serupa selama
janin masih dalam keadaan hidup. Uterus pada kehamilan ektopik dapat
terdorong ke salah satu sisi oleh massa ektopik tersebut.
6. Tumor dalam rongga panggul (massa pelvis)
Pada sekitar 20% pasien ditemukan massa lunak kenyal pada rongga panggul.
Massa ini memiliki ukuran, konsistensi, serta posisi yang bervariasi.
Biasanya massa berukuran antara 5-15 cm, teraba lunak dan elastis. Akan
tetapi, dengan terjadinya infiltrasi tuba yang luas oleh karena darah, massa
dapat teraba keras. Hampir selalu massa pelvic ditemukan di sebelah
posterior atau lateral uterus. Timbulnya massa pelvis disebabkan kumpulan
darah di tuba dan sekitarnya. Keluhan nyeri dan nyeri tekan kerapkali
mendahului gejala massa yang ditemukan dengan palpasi.
7. Gangguan kencing
Kadang-kadang terdapat gejala beser kencing karena perangsangan
peritoneum oleh darah di dalam rongga perut.
8. Suhu tubuh
Setelah terjadi perdarahan akut, suhu tubuh bisa tetap normal atau bahkan
menurun. Suhu yang sampai 38 0C dan mungkin berhubungan dengan
hemoperitonium dapat terjadi; namun suhu yang lebih tinggi jarang dijumpai
dalam keadaan tanpa adanya infeksi. Karena itu panas merupakan gambaran
yang penting untuk membedakan antara kehamilan tuba yang mengalami
ruptur dengan salpingitis akut; pada salpingitis akut, suhu tubuh umumnya di
atas 38 0C.
9. Pada pemeriksaan dalam

18
Nyeri goyang porsio, menonjol dan nyeri pada perabaan dengan jari,
dijumpai pada lebih dari tiga perempat kasus kehamilan tuba yang sudah atau
sedang mengalami ruptur, tetapi kadang-kadang tidak terlihat sebelum ruptur
terjadi.
10. Hematokel pelvis
Pada banyak kasus ruptur kehamilan tuba, terdapat kerusakan dinding tuba
yang terjadi bertahap, diikuti oleh perembesan darah secara perlahan-lahan ke
dalam lumen tuba, kavum peritoneum atau keduanya. Gejala perdarahan aktif
tidak terdapat dan bahkan keluhan yang ringan dapat mereda. Namun darah
yang terus merembes akan berkumpul dalam panggul, kurang lebih
terbungkus dengan adanya perlengketan, dan akhirnya membentuk hematokel
pelvis. Pada sebagian kasus, hematokel pelvis akhirnya akan terserap dan
pasien dapat sembuh tanpa pembedahan. Pada sebagian lainnya, hematokel
dapat ruptur ke dalam kavum peritonei atau mengalami infeksi dan
membentuk abses. Kendati demikian, peristiwa yang paling sering terjadi
adalah rasa tidak enak terus menerus akibat adanya hematokel, dan akhirnya
pasien akan memeriksakan diri ke dokter beberapa minggu atau bahkan
beberapa bulan setelah ruptur yang asli terjadi. Kasus-kasus semacam ini
merupakan kasus yang tidak khas.4,5,6
Perbedaan gejala yang khas pada kehamilan ektopik abortus tuba dan rupture
tuba.13
Kehamilan Ektopik Abortus Tuba Kehamilan Ektopik Ruptur Tuba
• Gejala Awal kehamilan • Kolaps dan lemah
(bercak-bercak atau perdarahan • Denyut nadi cepat dan lemah
yang tidak teratur, mual, (110x/menit atau lebih)
pembengkakan payudara, • Hipotensi
vagina, dan serviks menjadi • Hipovolemia
kebiruan, pelunakan serviks, • Nyeri akut pada abdomen dan
uterus sedikt membesar, panggul
peningkatan frekuensi • Distensi abdomen
berkemih) • Nyeri tekan yang memantul

19
• Nyeri abdomen dan panggul • Pucat

2.6 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang yang dapat dikerjakan untuk menegakkan diagnosis
kehamilan ektopik ialah sebagai berikut:
1. Pemeriksaan laboratorium
a. Pemeriksaan Hb dan jumlah sel darah merah
Dapat diduga bahwa kadar hemoglobin turun pada kehamilan tuba yang
terganggu, karena perdarahan yang banyak ke dalam rongga perut, tapi
turunnya Hb disebabkan karena darah diencerkan oleh air dan jaringan untuk
mempertahankan volume darah. Hal ini memerlukan waktu 1-2 hari. Jadi
mungkin pada pemeriksaan Hb yang pertama, kadar Hb belum seberapa
turunnya, maka kesimpulan adanya perdarahan didasarkan atas penurunan
kadar Hb pada pemeriksaan kadar Hb yang berturut-turut. Pada kasus jenis
tidak mendadak, biasanya ditemukan anemia tetapi harus diingat bahwa
penurunan Hb baru terlihat setelah 24 jam 4,5,6.
b. Perhitungan leukosit
Perdarahan juga menimbulkan naiknya leukosit, sedangkan pada perdarahan
sedikit demi sedikit, leukosit normal atau sedikit meningkat. Ini berguna
dalam menegakkan diagnosis kehamilan ektopik terganggu, terutama bila
ada tanda-tanda perdarahan dalam rongga perut. Untuk membedakan
kehamilan ektopik dan infeksi pelvik dapat diperhatikan jumlah leukosit,
jika > 20.000 biasanya menunjukkan adanya infeksi pelvic. 4,5,6
c. Tes kehamilan
Jaringan tropoblas pada kehamilan ektopik menghasilkan hCG
dalam kadar yang lebih rendah daripada kehamilan intrauterin normal, oleh
sebab itu dibutuhkan tes yang mempunyai tingkat sensitivitas yang lebih
tinggi 2
. Akan tetapi tes negatif tidak menyingkirkan kemungkinan
kehamilan ektopik terganggu karena kematian hasil konsepsi dan
degenerasi tropoblas menyebabkan produksi hCG menurun dan
menyebabkan hasil tes negatif. Permasalahan yang timbul kemudian adalah

20
bagaimana mendeteksi penanda kehamilan ini dengan cara klinik yang
terefektif.4,8
Tes kehamilan melalui urin merupakan slide test inhibisi aglutinasi
lateks yang paling sering dikerjakan, karena memiliki kepekaan terhadap
korionik gonadotropin yang berkisar dari 500 hingga 800 mIU per mL.
Kemudahan penggunaannya dan kecepatannya diimbangi dengan persentase
kemungkinan hasil positif yang besarnya hanya sekitar 50 hingga 60 persen
pada wanita dengan kehamilan ektopik. 4,8
Kadar dkk melihat bahwa pada wanita dengan kehamilan yang
normal, waktu panggandaan rata-rata untuk kadar beta-hCG serum kurang
lebih 48 jam dan nilai normal yang paling rendah adalah 66 %. Mereka
menghitung angka ini dengan mengurangkan nilai mula-mula dengan dari
nilai 48 jam dan membagi hasilnya dengan nilai mula-mula tersebut untuk
kemudian dikalikan dengan seratus sehingga didapatkan suatu presentase.
Kadar dkk mengingatkan bahwa kedua pengukuran kadar beta-hCG harus
dilakukan pada waktu yang bersamaan dan bahwa hasil-hasil yang lebih
dapat diandalkan bisa di peroleh dengan interval waktu 48 jam. Mereka
menyimpulkan bahwa kegagalan untuk mempertahankan kecepatan
peningkatan produksi beta-hCG ini bersama-sama dengan uterus yang
kosong merupakan bukti yang sangat subjektif kearah kehamilan ektopik.
Lebih lanjut pakar tersebut mengakui bahwa rancangan ini akan menunda
pembedahan paling tidak selama 48 jam dan bahwa hasil tes tersebut secara
keliru bisa mengidentifikasikan 15 % wanita normal sebagai kelainan
ektopik dan 13 % wanita kelainan ektopik sebagai wanita normal.6
Doubling time untuk serum beta-hCG pada kehamilan intrauterine
adalah 48 jam hingga mencapai 10.000-20.000 mIU/mL.5,11 Berdasarkan
penelitian tentang doubling time, serum level beta-hCG akan meningkat
paling kurang 66 % dalam 48 jam pada 85 % kehamilan normal. Doubling
time hanya bisa digunakan pada awal kehamilan hingga kurang dari 41 hari
kehamilan. 5
2. Ultrasonografi (USG)

21
USG yang digunakan meliputi USG transabdominal dan USG
transvaginal. Diagnosis dari kehamilan ektopik dapat dibuat 1 minggu lebih
cepat dengan USG transvaginal dibandingkan dengan USG transabdominal.
Pada USG transabdominal biasanya ditemukan kavum uteri yang tidak
berisi kantong gestasi, gambaran cairan bebas serta massa abnormal di
daerah pelvis. Sedangkan pada USG transvaginal digunakan setelah satu
minggu telat haid yang dikombinasi dengan pemeriksaan kadar ß-hCG
serum.4,8 Sebuah kantung gestasi merupakan tanda pada USG, yang
berlokasi pada permukaan endometrial dan tampak dengan USG
transvaginal 30-35 hari setelah menstruasi terakhir. Terlihat daerah
sonolusen di tengah yang dikelilingi dengan lapisan ekogenik tebal, yang
dibentuk oleh reaksi desidual di sekeliling kantong korionik. Yolk sac
sebagai struktur yang pertama kali terlihat dalam kantong gestasi, tampak
pada 5 minggu setelah menstruasi terakhir. Gerakan jantung janin pertama
kali terlihat saat umur kehamilan 5-6 minggu. Kegagalan untuk dapat
melihat kantong gestasi sampai 24 hari atau lebih setelah konsepsi (38 hari
atau lebih) biasanya menunjukkan adanya kehamilan ektopik.6,8
Saat beta-hCG mencapai 2000 mIU/mL, gestasional sac harus bisa
dilihat didalam uterus pada USG transvaginal, ketika sudah mencapai 6000
mIU/mL harus sudah bisa dilihat dengan USG abdominal.7
USG transvaginal dapat membedakan kehamilan dalam uterus atau di luar
antara lain sebagai berikut :7
1. Kehamilan intrauterine (IUP) : sebuah gestational sac dengan sebuah
sonolusent center (diameter >5mm) dikelillingi oleh cincin yang tebal,
konsentris dan echogenic, terletak didalam endometrium dan mengandung
fetal pole, yolk sac, atau keduanya.
2. Kemungkinan IUP abnormal : gestational sac dengan diameter lebih besar
dari 10 mm tanpa fetal pole atau dengan fetal pole tanpa aktivitas kardiak.
3. Kehamilan ektopik : sebuah struktur seperti cincin tebal, echogenik terletak
diluar uterus, dengan gestational sac yang mengandung fetal pole, yolk sac
atau keduanya.

22
USG Doppler memiliki sensitivitas yang lebih baik dan secara tehnik lebih
cepat. Meskipun USG tradisional dapat menunjukkan massa adneksa,
Doppler dapat menunjukkan bahwa massa tersebut adalah massa ektopik
dengan menunjukkan adanya aktivitas vaskular abnormal pada massa
tersebut dan juga gambaran vaskular uterin yang tenang. Perbedaan USG
Doppler dan USG standar ini sangat berarti pada awal kehamilan, dan hal ini
dapat mengarah kepada pengobatan medisinalis seawal mungkin.7

Gambar 6a. Gambaran USG menunjukkan Gambar 6b. Garis merah - bagian luar
kehamilan intrauterin dan kehamilan tuba uterus, hijau - uterus, kuning - kehamilan
ektopik. Cairan dalam uterus yang
dilingkari warna biru disebut dengan
“pseudosac"

Gambar 6c. Gambaran detail kehamilan Gambar 6d. Kehamilan tuba dilingkari oleh
ektopik garis merah, fetal pole berukuran 4,5 mm
(diantara kursor), hijau, yolk sac-biru.

4. Kombinasi USG dengan pengukuran serum ß-hCG


Bila pada USG transvaginal ditemukan uterus yang kosong, dan kadar ß-hCG
serum 1500 mIU/ml atau lebih, maka diagnosis kehamilan ektopik dapat

23
dipastikan dengan tingkat akurasi hampir 100 %.7 Kadar dkk (1981)
mengemukakan empat kemungkinan klinik berdasarkan nilai kuantitatif ß-
hCG: 7
a. Kalau nilai ß-hCG di atas 6000 mIU per ml dan kantong kehamilan terlihat
di dalam uterus lewat pemeriksaan USG abdomen, maka diagnosis
kehamilan normal pada dasarnya bisa dipastikan.
b. Kalau nilai ß-hCG di atas 6000 mIU per ml dan kavum uteri tampak
kosong, maka kemungkinan adanya kehamilan ektopik sangat besar.
Keadaan ini jarang dijumpai dalam praktek klinik sebenarnya.
c. Kalau nilai ß-hCG di bawah 6000 mIU per ml dan cincin kehamilan
intrauteri jelas terlihat, maka abortus spontan mungkin tengah terjadi atau
segera akan terjadi. Kehamilan ektopik masih menjadi suatu kemungkinan
karena derajat ultrasonik yang ada. Diagnosis keliru mengenai kantong
kehamilan dalam uterus dapat saja dibuat kalau ada bekuan darah atau
silinder desidua.
d. Kalau nilai ß-hCG di bawah 6000 mIU per ml dan terlihat uterus yang
kosong, tidak ada diagnosis pasti yang dapat ditegakkan. Kegagalan untuk
melihat kantong kehamilan di dalam uterus sering terjadi pada pemeriksaan
USG abdomen yang dikerjakan sebelum usia kehamilan 5 minggu.
Sayangnya usia kehamilan yang tepat acapkali tidak diketahui pada wanita
dengan suspek kehamilan ektopik. Pada kasus-kasus ini, wanita tersebut
dapat mengalami abortus atau bisa mempertahankan kehamilannya dan
kemudian terbentuk kantong kehamilan, atau dapat pula memperlihatkan
bukti yang menunjukkan adanya kehamilan ektopik.
5. Kuldosintesis
Suatu cara pemeriksaan untuk mengetahui apakah dalam kavum
Douglas ada darah atau cairan lain. Serviks ditarik ke arah simfisis dengan
tenakulum, kemudian sebuah jarum panjang ukuran 16 atau 18 dimasukkan
lewat forniks posterior vagina ke dalam kavum Douglas dan kemudian
dilakukan aspirasi cairan yang ada di dalamnya. Jika darah yang diaspirasi
kemudian membeku, darah ini mungkin berasal dari pembuluh darah yang

24
mengalami perforasi bukan dari kehamilan ektopik yang mengalami
perdarahan kecuali terjadi perdarahan cepat dari tempat ruptur dan darah dapat
diaspirasi dari kavum Douglas sebelum sempat membeku.
Kuldosintesis mungkin tidak memberikan hasil yang memuaskan pada
wanita dengan riwayat salpingitis dan peritonitis pelvik, mengingat kavum
Douglas kemungkinan sudah mengalami obliterasi. Jadi, kegagalan untuk
mendapatkan darah dari kavum Douglas tidak meniadakan kemungkinan
diagnosis hemoperitonium dan tentu saja bukan merupakan bukti yang
menentang adanya kehamilan ektopik dengan atau tanpa ruptur.4
6. Pada umumnya kadar serum progesterone pada pasien dengan kehamilan
ektopik lebih rendah dibandingkan kehamilan normal. Pada suatu penelitian
yang melibatkan lebih dari 5000 pasien dengan kehamilan trimester I ,
diketahui bahwa 70% dari penderita dengan kehamilan normal mempunyai
kadar progesterone lebih dari 25 ng/mL, dimana hanya 1,5% dari penderita
kehamilan ektopik yang mempunyai kadar progesterone serum lebih dari 25
ng/mL.
Kadar progesterone serum dapat dipergunakan untuk skrining tes baik
pada kehamilan ektopik maupun pada kehamilan normal terutama apabila
tidak tersedia pemeriksaan hCG dan USG. Kadar progesterone serum yang
kurang dari 5 ng/mL mempunyai sensivitas yang tinggi adanya kehamilan
yang abnormal, tetapi tidak sampai 100%. Resiko terjadinya kehamilan
normal dengan kadar progesterone serum kurang dari 5 ng/mL kira-kira
1:1500. Karena itu pengukuran progesterone serum saja tidak bisa
dipergunakan untuk menegakkan diagnosa.
7. Kuretase uterus
Manfaat kuretase uterus adalah untuk menentukan ada atau tidaknya vili yang
menandakan adanya kehamilan intrauterin yang non viabel. Pada sebagian
besar kasus, kuretase sangat menolong jika serum progesteron kurang dari 5
ng/mL dan titer HCG yang tidak meningkat dan kurang dari 1000 IU/L.
Kuretase dan pemeriksaan hasilnya dapat digunakan untuk mencegah
laparoskopi yang tidak perlu pada pasien yang mengalami keguguran. Dengan

25
melarutkan hasil kuretase pada larutan salin, biasanya menunjukkan adanya
vili, tetapi tidak selalu. Hasil kuretase dalam larutan salin dapat mengalami
kesalahan sebesar 6,6 % dari pasien yang mengalami kehamilan ektopik dan
kesalahan sebesar 11,3 % pada pasien dengan kehamilan intrauterine. Karena
ketidakakuratan ini, pemeriksaan patologi dan pemantauan titer HCG sangat
diperlukan untuk konfirmasi.4,6,8
8. Laparoskopi
Tehnik pemeriksaan ini memberikan sarana untuk mendiagnosis penyakit
pada organ pelvis, termasuk kehamilan ektopik. Sistem optis dan elektronik
yang disempurnakan telah mengatasi sebagian besar keberatan yang timbul
dalam upaya untuk menggunakan sonde transabdominal intraperitoneal yang
dilengkapi dengan cahaya untuk melihat organ-organ dalam panggul.
Meskipun demikian, laparoskopi yang aman dan berhasil memerlukan
peralatan yang sempurna, operator yang berpengalaman, ruang operasi dan
biasanya tindakan anestesi seperti pada pembedahan. Inspeksi lengkap rongga
panggul mungkin tidak dapat dilakukan bila terdapat inflamasi pelvik atau
perdarahan yang baru atau sudah lama terjadi. Kadang-kadang, pengenalan
kehamilan tuba dini tanpa terjadinya ruptur sulit dilakukan dengan
laparoskopi, meskipun tuba bisa dilihat seluruhnya.4,8 Laparoskopi merupakan
diagnosis definitif pada kebanyakan kasus. Selain itu laparoskopi operatif juga
digunakan sebagai jalan untuk memindahkan massa ektopik dan sekaligus
sebagai saluran untuk menyuntikkan kemoterapi 4.
9. Laparotomi
Jika masih terdapat keraguan, laparotomi harus dilakukan, karena kematian
akibat kelambatan atau ketidakmampuan dalam mengambil keputusan jauh
lebih tragis daripada pembedahan yang tidak diperlukan. Angka kematian
yang berkaitan dengan pembedahan yang terbatas pada insisi suprapubik yang
dilakukan secara hati-hati dan diperbaiki kembali, adalah sangat kecil. Di
samping itu, diagnosis sering dipermudah dengan inspeksi langsung dan
palpasi organ pelvis yang dimungkinkan lewat laparotomi. Hal yang
mengesankan adalah bahwa laparotomi jangan ditunda meskipun dilakukan

26
laparoskopi pada wanita dengan kelainan serius dalam panggul atau abdomen
yang memerlukan tindakan pasti dan segera.4,8 Laparotomi dikerjakan bila
penderita secara hemodinamik tidak stabil, dan membutuhkan terapi definitif
secepatnya 4. 

Bagan 1. Algoritma Diagnosis Kehamilan Ektopik Berdasarkan Kadar


Progesteron Serum dan ß-Hcg

2.7 Diagnosis
Diagnosis KET ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik serta
pemeriksaan penunjang1-8
1. Anamnesis
Pada anamnesis biasanya didapatkan trias KET klasik yaitu: amenorea, nyeri
perut yang biasanya bersifat unilateral serta perdarahan pervaginam. Gejala tak

27
spesifik lainnya seperti perasaan enek, muntah dan rasa tegang pada payudara
serta kadang-kadang gangguan defekasi.
2. Pemeriksaan fisik
a. Tanda-tanda syok : tekanan darah menurun (sistolik < 90 mmHg), nadi
cepat dan lemah (> 110 kali permenit), pucat, berkeringat dingin, kulit yang
lembab, nafas cepat (> 30 kali permenit), cemas, kesadaran berkurang atau
tidak sadar.
b. Gejala akut abdomen : perut tegang pada bagian bawah, nyeri tekan, nyeri
ketok dan nyeri lepas dari dinding perut.
c. Pemeriksaan ginekologi: biasanya didapatkan servik teraba lunak, nyeri
tekan dan nyeri goyang, korpus uteri normal atau sedikit membesar,
kadang-kadang sulit diketahui karena nyeri abdomen yang hebat, kavum
Douglas menonjol oleh karena terisi darah.
3. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
Kadar Hb, jumlah sel darah merah dan leukosit, tes kehamilan
b. USG
c. Kombinasi USG dengan pemeriksaan kuantitatif ß-hCG
d. Kuldosintesis
e. Kadar progesteron
f. Kuretase uterus
g. Laparoskopi
h. Laparotomi
Kehamilan ektopik harus dibedakan dari yang lain entitas yang disebut
"kehamilan lokasi tidak diketahui" (PUL). Keduanya ditandai dengan minimnya
visualisasi sebuah kehamilan intrauterine pada pemeriksaan ultrasonografi.
Pemeriksaan ultrasonografi awal selama kehamilan, tergantung pada waktunya
dan pengalaman pemeriksa, sering belum secara jelas mengungkapkan kehamilan
intrauterine. kehamilan di luar rahim ternyata hadir dalam 7-20% dari kasus
tersebut. Diagnosis banding meliputi kehamilan intrauterin dini yang utuh yang
belum bisa dilihat dengan USG dan secara dini keguguran. Studi pencitraan,

28
klinis individu fitur, dan kursus gonado korionik manusia - tingkat tropin (hCG)
menunjukkan diagnosis yang benar.7
Kehamilan intrauterin awal yang utuh hadir di sekitar 30-50% kasus dengan
temuan yang tidak jelas. Itu harus Ingatlah bahwa bahkan kehamilan intrauterine
terkadang tidak dapat dilihat dengan ultrasonografi jika hCG levelnya di bawah
1000 IU / L. Saat level hCG lebih tinggi Selain itu, kehamilan intrauterine
menunjukkan dirinya sebagai diposisikan secara eksentrik, struktur cincin
hiperekogenik. Jika embrio atau kantung kuning telur terlihat, maka intrauterine
kehamilan pasti ada. Kalau hanya kosong, bulat struktur terlihat, mungkin
kantung pseudogestasional yang terkait dengan kehamilan ektopik.
Pseudogestasional kantung muncul sebagai kumpulan kecil cairan di dalam
Rahim rongga dan karenanya tidak terletak secara eksentrik; mereka umumnya
tidak bulat, dan tidak pernah dikaitkan dengan kantung kuning telur atau struktur
embrio.7
Sekitar setengah dari semua keguguran dini dikaitkan dengan kehamilan di
lokasi yang tidak diketahui. Endometrium ketebalan, yang diukur dengan USG,
tidak berkorelasi dengan diagnosis aborsi lengkap dini. Jika massa heterogen
terlihat di daerah tuba, maka kemungkinan kehamilan tuba lebih tinggi.
Visualization dari kantung kehamilan (sering termasuk kantung kuning telur atau
struktur embrio) diperlukan untuk hipotesis kerja kehamilan dengan lokasi yang
tidak diketahui berubah menjadi diagnosis pasti kehamilan tuba. Klasifikasi
berikut telah direkomendasikan dalam pernyataan consensus:7
kehamilan ektopik pasti: kantung kehamilan ekstrauterin dengan kantung
kuning telur dan / atau embrio
 kemungkinan kehamilan ektopik: massa heterogen di daerah adnexal
 kehamilan di lokasi yang tidak diketahui: tidak ada bukti baik kehamilan
intrauterine atau ekstrauterine
 kemungkinan kehamilan intrauterin: visualisasi struktur cincin intrauterine
 kehamilan intrauterin pasti: kantung kehamilan intrauterin dengan kantung kuning
telur dan / atau embrio.

29
Gambar 7: Temuan ultrasonografi dalam empat kasus berbeda pada kehamilan
tuba.7
a) Kehamilan tuba kanan pada minggu ke 6 + 1 kehamilan, dengan tanda blob dan
Doppler melingkar sinyal ultrasonografi.
b) Kehamilan tuba kiri vital pada minggu ke 6 + 0 kehamilan, dengan kantung
kuning telur dan embrio berukuran 2 mm (crown-rump) dengan aktivitas jantung
terdeteksi (ditampilkan dalam mode 3D-VCI)
c) Kehamilan tuba kanan pada minggu ke 5 + 3 kehamilan, dengan tanda bagel;
perhatikan perbedaannya echogenisitas dibandingkan dengan korpus luteum
kistik.
d) Kehamilan tuba kanan dalam hematosalpinx; cairan bebas melimpah yang
menunjukkan hematoperitoneum.

2.8 Diagnosis Banding


Diagnosis banding kehamilan ektopik terganggu ialah infeksi pelvis,
abortus iminens, kista folikel, korpus luteum yang pecah, kista ovarium dengan
putaran tangkai, serta apendisitis. Penyakit-penyakit ini dapat memberikan

30
gambaran klinis yang hampir sama dengan KET. Perbedaan dari masing-masing
penyakit tersebut adalah sebagai berikut:
1. Infeksi pelvis
Gejala yang menyertai infeksi pelvis biasanya timbul waktu haid dan jarang
setelah amenore. Gejala tersebut berupa nyeri perut bawah dan tahanan yang
dapat diraba pada pemeriksaan vagina, yang pada umumnya bilateral. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan perbedaan suhu rektal dan aksila melebihi 0,5
0
C, sedangkan pada pemeriksaan laboratorium didapatkan leukositosis yang
lebih tinggi daripada KET serta tes kehamilan negatif. 
2. Abortus iminens atau insipiens
Pada abortus iminens maupun insipiens, perdarahan umumnya lebih banyak
dan lebih merah sesudah amenore. Rasa nyeri yang muncul berlokasi di
daerah median. Sedangkan pada pemeriksaan fisik tidak dapat diraba tahanan
di samping atau di belakang uterus serta gerakan servik uteri tidak
menimbulkan nyeri.
3. Ruptur korpus luteum
Terjadi pada pertengahan siklus haid dan biasanya tanpa disertai perdarahan
pervaginam, serta tes kehamilan (-).
4. Torsi kista ovarium dan apendisitis
Umumnya tidak ada gejala dan tanda kehamilan muda, amenore dan
perdarahan pervaginam. Torsi kista ovarii biasanya lebih besar dan lebih bulat
daripada kehamilan ektopik. Pada apendisitis tidak ditemukan tumor dan nyeri
pada gerakan serviks kurang nyata, serta lokasi nyeri perutnya di titik
McBurney. 

2.9 Penatalaksanaan
Prinsip umum penatalaksanaan kehamilan ektopik terganggu ialah 1
1. Segera dibawa ke rumah sakit
2. Transfusi darah dan pemberian cairan untuk mengoreksi anemia dan
hipovolemia.

31
3. Operasi segera dilakukan setelah diagnosis ditegakkan. Jenis operasi yang
dikerjakan antara lain berupa salpingektomi yang dilakukan pada kehamilan
tuba dan oovorektomi atau salpingoovorektomi pada kehamilan di kornu. Pada
kehamilan di kornu jika pasien berumur >35 tahun sebaiknya dilakukan
histerektomi, bila masih muda sebaiknya dilakukan fundektomi. Pada
kehamilan abdominal, bila kantong gestasi dan plasenta mudah diangkat
sebaiknya diangkat saja tetapi bila besar dan susah diangkat maka anak
dilahirkan dan tali pusat dipotong dekat plasenta, plasenta ditinggalkan dan
dinding perut ditutup.
Penanganan terhadap kehamilan tuba paling sering berupa salpingektomi
untuk mengangkat tuba fallopi yang koyak dan mengalami perdarahan, dengan
atau tanpa ooforektomi ipsilateral. Tujuan penanganan tersebut harus dan tetap
terletak dalam upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu. Akhir-akhir ini, penanganan
terhadap kehamilan ektopik telah berubah dari salpingektomi menjadi prosedur
untuk mempertahankan fungsi tuba. Pembedahan yang dahulunya lebih radikal
akan dijelaskan pertama dan kemudian diikuti dengan uraian mengenai teknik
pembedahan yang lebih baru untuk mempertahankan kelangsungan fungsi tuba
fallopi.4
1. Salpingektomi
Dalam pengangkatan tuba fallopi, dianjurkan untuk membuat eksisi berbentuk
baji yang tentu saja tidak lebih dari sepertiga luar pars interstisialis tuba
(tindakan ini dinamakan reseksi kornu), untuk memperkecil kemungkinan
terjadinya kehamilan dalam puntung tuba (jarang dijumpai) tanpa melemahkan
miometrium di tempat eksisi tersebut. Harus dihindari reseksi yang terlampau
luas agar tidak mengenai kavum uteri; kalau tidak, cacat yang ditimbulkan oleh
reseksi akan menimbulkan ruptura uteri pada kehamilan intrauteri berikutnya.
Bahkan dengan reseksi kornu sekalipun, kehamilan interstisial selanjutnya
tidak dapat dicegah.
2. Ooforektomi ipsilateral
Pengangkatan ovarium di sebelahnya pada saat dilakukan salpingektomi pernah
dianjurkan sebagai prosedur yang mungkin dapat memperbaiki kesuburan

32
penderita maupun menurunkan kemungkinan terjadinya kehamilan ektopik
berikutnya. Dengan demikian, ovulasi selalu akan terjadi dari ovarium yang
paling dekat pada tuba fallopi yang masih tertinggal. Keadaan ini
mempermudah pengambilan ovum oleh tuba dan menghindari kemungkinan
terjadinya migrasi eksterna ovum serta kehamilan ektopik yang bisa timbul
akibat telur yang peripatetik tersebut.
3. Sterilisasi
Sebelum dilakukan pembedahan eksplorasi untuk kecurigaan kehamilan
ektopik, ibu harus ditanya dahulu apakah ia menginginkan kehamilan
selanjutnya. Jika wanita tersebut sudah tidak ingin mempunyai anak lagi dan
kehamilan ektopik yang terjadi merupakan akibat tindakan kontrasepsi yang
gagal, keputusan yang diambil dokter biasanya ke arah tindakan sterilisasi. Jika
diputuskan demikian, dan keadaan pasien baik, dokter dapat
mempertimbangkan histerektomi. Kalau tidak, tubektomi biasanya dapat
dilakukan dengan cepat tanpa meningkatkan risiko. Sebaliknya, semua organ
ini perlu diselamatkan sedapat mungkin pada wanita yang masih ingin hamil
lagi, sekalipun risiko kehamilan ektopik yang akan dihadapinya pada
kehamilan berikutnya cukup besar.
4. Menyelamatkan tuba fallopi
Karena adanya kemungkinan yang besar untuk terjadi kemandulan setelah
kehamilan tuba yang ditangani dengan salpingektomi, cara lain untuk
mengangkat tuba harus dipertimbangkan. Penggunaan teknik diagnostik dan
prosedur pembedahan yang lebih mutakhir untuk mempertahankan tuba yang
rusak akan memberikan hasil akhir yang lebih baik lagi dalam kehamilan
berikutnya. Beberapa tindakan bedah rekonstruksi tuba dibahas dibawah ini:
a. Salpingostomi
Teknik ini digunakan untuk mengangkat kehamilan yang kecil dengan
panjang yang biasanya kurang dari 2 cm dan terletak dalam sepertiga distal
tuba fallopi. Suatu insisi linier sepanjang 2 cm atau kurang dilakukan pada
batas antimesenterik di dekat kehamilan ektopik. Implantasi ektopik ini
biasanya akan menonjol keluar dari lubang insisi sehingga dapat dikeluarkan

33
dengan hati-hati. Tempat perdarahan dikendalikan dengan elektrokauter atau
laser, dan luka insisi dibiarkan tanpa penjahitan sampai sembuh sendiri.
b. Salpingotomi
Suatu insisi longitudinal dilakukan pada batas antimesenterik tuba fallopi
langsung di daerah implantasi ektopik. Hasil konsepsi diangkat dengan
forseps atau diisap dengan hati-hati dan tuba yang terbuka lalu diirigasi
dengan larutan ringer laktat (jangan memakai larutan salin isotonik),
sehingga tempat perdarahan dapat dikenali dan dikendalikan seperti
dijelaskan di atas. Penutupan luka yang paling dianjurkan dilakukan dengan
jahitan satu lapis memakai benang vicryl 7-0 yang dipasang satu persatu.
c. Reseksi segmental dan anastomosis
Prosedur ini dianjurkan untuk kehamilan ektopik yang mengalami ruptur
dalam bagian isthmus tuba, mengingat salpingotomi atau salpingostomi
kemungkinan akan menimbulkan jaringan parut dan selanjutnya
penyempitan lumen tuba yang kecil ini. Setelah segmen tuba terlihat,
mesosalping di bawah tuba diinsisi, dan bagian isthmus tuba yang berisikan
implantasi ektopik tersebut direseksi. Mesosalping lalu dijahit dan dengan
demikian merapatkan kembali kedua puntung tuba. Segmen tuba tersebut
kemudian dianastomosiskan satu sama lain secara berlapis dengan benang
vicryl 7-0 yang dijahit satu per satu (jahitan terputus); penjahitan ini
sebaiknya dilakukan dengan pembesaran. Tiga jahitan dibuat pada tunika
muskularis dan tiga lagi pada tunika serosa yang dilakukan dengan hati-hati
agar tidak mengenai lumen tuba. Penjahitan lapisan serosa akan menambah
kekuatan pada lapisan pertama.
d. Evakuasi fimbria
Pada kehamilan tuba yang implantasinya di bagian distal diusahakan untuk
mengosongkan hasil konsepsi dengan cara ”mengurut” atau “mengisap”
implantasi ektopik tersebut dari dalam lumen tuba. Tindakan ini tidak
dianjurkan karena akan disertai dengan angka kehamilan ektopik rekuren
yang besarnya dua kali lipat bila dibandingkan dengan salpingotomi. Pada

34
tindakan ini juga terdapat angka pembedahan reeksplorasi yang tinggi untuk
mengatasi perdarahan rekuren akibat jaringan trofoblastik persisten.
Methotrexate sistemik
Methotreate (MTX) adalah analog asam folat yang banyak digunakan pada
pengobatan terhadap penyakit neoplasma, psoriasis berat, dan arthritis rematoid
pada orang dewasa. MTX secara kompetitif mengikat enzim dihidrofolic acid
reduktase, sebuah enzim yang mengubah dihidrofolat menjadi tetrahidrofolat
(bentuk aktif). Tetrahisdrofolat berfungsi untuk transport 1 grup karbon selama
sintetis nukleotid purin dan thymidilate. Tanpa tetrahidrofolat sintetis DNA dan
perbaikannya, dan replikasi seluler mengalami gangguan. Proliferasi sel yang aktif
seperti pada sel ganas, sel pada sumsum tulang, sel fetal, demikian juga pada sel
mukosa mulut, usus, dan kandung kencing adalah yang paling sensitive terhadap
efek dari MTX.5
Perdarahan aktif intraabdomen adalah kontraindikasi kemoterapi. Ukuran
dari masa ektopik juga penting, Pisarska dkk (1998) merekomendasi MTX untuk
tidak digunakan jika kehamilan lebih dari 4 cm. Kesuksesan terbaik jika
kehamilan kurang dari 6 minggu, diameter massa tuba tidak lebih dari 3,5 cm,
fetus telah mati, dan beta-hCG tidak lebih dari 15.000 mIU/mL (Lipscomb and
colleagues, 1999a, Stoval, 1995). Menurut American College of Obstetrician and
Gynecologists (1998), kontraindikasi termasuk menyusui, imunodefisiensi,
alcohol, penyakit hati dan ginjal, penyakit paru aktif, dan ulkus peptikum.4
Pasien yang dapat diterapi dengan MTX harus stabil secara hemodinamik, yaitu
sesuai dengan hal-hal berikut :4
1. Terapi medis gagal pada 5-10 % kasus, dan lebih sering terjadi pada kehamilan
lebih dari 6 minggu atau massa tuba lebih dari 4 cm.
2. Kegagalan terapi medis memerlukan terapi lebih lanjut, baik secara medis atau
pembedahan.
3. Pada pasien rawat jalan, transportasi yang cepat harus tersedia.
4. Tanda dan gejala rupture tuba seperti perdarahan vagina, nyeri abdomen dan
pleura, lemah, pusing, atau sinkop harus dilaporkan dengan cermat.

35
5. Hingga kehamilan ektopik sembuh, tidak diperbolehkan melakukan hubungan
seksual, minum alcohol, atau mengkonsumsi asam folat, termasuk vitamin
prenatal.

Dosis MTX :4
1. Dosis tunggal : MTX 50 mg/m2 IM. Hitung kadar beta-hCG pada hari ke 4 dan
7
 Bila penurunan > 15 %, diulang tiap minggu hingga tidak terdeteksi.
 Bila penurunan < 15 %, ulangi pemberian MTX dan hitung sebagai hari
pertama.
 Jika aktivitas jantung masih ada pada hari 7, ulangi pemberian MTX dan
hitung sebagai hari pertama.
 Pembedahan bila kadar beta-hCG tidak turun atau aktivitas jantung persisten
setelah 3 dosis MTX.
2. Dosis variable :
 MTX 1 mg/kgBB IM, hari 1, 3, 5, 7
 Leukovorin 0,1 mg/KgBB IM, hari 2, 4, 6, 8
Injeksi yang kontinyu diberikan hingga kadar beta-hCG berkurang 15 %
dalam 48 jam, atau 4 dosis MTX diberikan, kemudian perminggu hingga
beta-hCG tidak terdeteksi.
Kool dan Kock (1992) mempelajari 16 penelitian yang melaporkan
tentang efek samping. Semua gejala hilang dalam 3-4 hari setelah MTX
dihentikan. Efek samping yang paling sering adalah gangguan hati (12 %),
stomatitis (6 %) dan gastroenteritis (1 %). Seorang wanita mengalami depresi
sumsum tulang. Laporan kasus juga menggambarkan netropenia dan demam
yang mengancam jiwa, pneumonitis akibat induce obat, dan alopesia (Buster dan
Pisarska, 1999).4
Setelah linear salfingostomi, kadar beta hCG menurun hingga masa
resolusi 20 hari. Pada kasus langka, setelah dosis tunggal MTX, kadar serum beta
hCG meningkat pada 4 hari pertama, kemudian menurun secara bertahap, dengan
waktu resolusi 27 hari. Lipscomb dkk (1998) mengobati 287 wanita dengan MTX

36
dengan kesembuhan rata-rata, yaitu level beta hCG kurang dari 15 mIU/mL,
adalah 34 hari. Waktu terlama adalah 109 hari. 4

2.10 Komplikasi
Komplikasi yang dapat ditimbulkan oleh kehamilan ektopik terganggu
antara lain berupa syok yang irreversibel, perlekatan dan obstruksi usus 1,4,5,6,8,10
.
Komplikasi yang lain berupa jaringan trofoblastik persisten dan kehamilan
ektopik persisten . Namun kedua hal tersebut biasanya terjadi pada kehamilan
ektopik yang belum pecah dan menjalani terapi bedah konservatif
(salpingostomi), sehingga diperlukan pemantauan yang ketat pasca terapi.4,5,6,8
Risiko kehamilan ektopik persisten dengan pembedahan konservatif
melalui laparotomi sebesar 5 %. Laparoskopi salpingostomi dihubungkan dengan
tingginya angka jaringan tropoblas persisten; kira-kira 15 % pasien memerlukan
pengobatan lanjutan. Risiko jaringan trofoblastik persisten sangat bermakna
dengan hematosalping berdiameter lebih besar dari 6 cm, titer HCG lebih besar
dari 20.000 IU/L dan hemoperitonium lebih dari 2000 ml. Meskipun reoperasi
merupakan pengobatan pilihan, tetapi methotrexate lebih disukai. Pengobatan
profilaksis dapat diberikan dengan memberikan dosis multipel methotrexate (1
mg/kg) atau dosis tunggal methotrexate (15 mg/m2) dapat diberikan setelah
diagnosis ditegakkan.4,6,8  

2.11 Prognosis
Kehamilan ektopik merupakan sebab kematian yang penting sehingga
diagnosis harus cepat ditegakkan dan persediaan darah untuk transfusi serta
antibiotik harus mencukupi. Prognosis baik bila kita dapat menentukan kehamilan
ektopik secara dini. Ketermabatan diagnosis akan menyebabkan prognosis buruk
akibat risiko perdarahan antenatal intaabdomen, yang menyebabkan kematian
akibat syok hiovolemik bila tidak segera ditangani.14

37
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 IDENTITAS
Nama : Ny. R
Umur : 24 tahun
Tanggal lahir : 12 Juni 1996
Agama : Islam
Alamat : Cibitung
Suku : Betawi
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Tanggal masuk rumah sakit : 28 September 2020 pukul 20.00 WIB
Nama suami : Tn. A
Usia : 26 tahun
Agama : Islam
Suku : Betawi
Pekerjaan : Wiraswasta

3.2 ANAMNESIS
Anamnesis secara auto-anamnesis kepada pasien pada tanggal 29 September
2020.
1. Keluhan Utama
Pasien mengeluh nyeri perut bagian bawah.
2. Keluhan Tambahan
Keluar darah pada kemaluan.
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien Ny. R G1P0A0 dengan usia kehamilan 9-10 minggu datang
ke RSUD Kabuaten Bekasi pada hari Senin tanggal 20.00 dengan keluhan
nyeri perut bagian bawah yang dirasakan sejak 1 hari SMRS. Nyeri
dirasakan terus menerus dan semakin bertambah serta menjalar keseluruh
perut. Pasien juga mengeluh perutnya terasa penuh, mules serta mual dan

38
muntah disertai dengan lemas. Sebelum pasien ke rumah sakit pasien
mengeluh keluar darah dari organ genitalianya, warna merah kehitaman
dengan volume ±100 cc. Sejak awal perdarahan hingga datang kerumah
sakit pasien sudah mengganti pembalut sebanyak 1 kali.
Pasien mengaku sedang hamil usia kehamilan 9 minggu. dengan
HPHT 25 Juli 2020. Karena telat datang bulan pasien melakukan test pack
dan hasil menunjukan positif. Sebelumnya pasien pernah mengalami hal
serupa pada usia kehamilan 6 minggu berupa nyeri perut bagian bawah
lalu pasien melakukan cek kehamilan kembali menggunakan test pack
dengan hasil positif. Pasien pergi ke Bidan untuk cek kehamilannya lalu di
rujuk ke RSUD Kabupaten Bekasi lalu dilakukan USG dengan hasil
kantung gestasi (+) namun tidak tampak adanya embrio pada rahim.
Pasien diberikan obat allylestrenol 3x5 mg dan asam folat 3x400µg. Tidak
ada keluhan yang dialami saat kehamilan 7 dan 8 minggu. tidak ada
keluhan nyeri perut dan tidak ada perdarahan. Terjadi kembali ketika
minggu ke 9 dan pasien langsung dibawa ke RSUD Kabupaten Bekasi.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat perdarahan antepartum dan kehamilan ektopik pada
kehamilan sebelumnya disangkal. Riwayat infeksi tuba dan infeksi
menular seksual disangkal. Riwayat kuretase dan keguguran disangkal.
Riwayat operasi disangkal. Hipertensi, Diabetes, jantung, paru, asma,
alergi disangkal

5. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat abortus dan kehamilan ektopik terganggu pada keluarga
disangkal. Hipertensi, diabetes melitus disangkal.

6. Riwayat Pengobatan dan Masuk Rumah Sakit


Pasien tidak memiliki riwayat pengobatan rutin.
7. Riwayat Kebiasaan
Pasien memiliki riwayat merokok, namun tidak minum minuman
beralkohol maupun penyalahgunaan zat-zat terlarang.

39
8. Riwayat Menstruasi
Menarche usia : 12 tahun
Siklus haid : teratur, setiap 30 hari sekali
Lama haid : 7 hari
Keluhan : tidak terdapat keluhan saat menstruasi
9. Riwayat Pernikahan
Pasien menikah pertama kali umur 22 tahun, menikah hanya 1 kali dan
sudah 2 tahun.
10. Riwayat KB
Jenis KB : Tidak melakukan KB
Lama pemakaian :-
Keluhan :-
11. Riwayat Obstetri
G1P0A0
Anak hidup (AH) :0
Hari Pertama Haid Terakhir (HPHT) : 25 Juli 2020
Hari Perkiraan Lahir (HPL) : 2 Mei 2021
Usia kehamilan berdasar HPHT : 9 - 10 minggu

Tabel 2. Riwayat Persalinan Pasien


Usia Anak
Tahun Jenis Anak
No kehamila Penolong Penyulit
partus persalinan JK BB sekarang
n
1 2020 Saat ini - - - - - -

40
12. Antenatal Care
Satu kali datang ke klinik bidan, namun saat dilakukan
pemeriksaan USG oleh bidan, tidak tampak adanya kehamilan. Lalu di
rujuk ke RSUD Kabupaten Bekasi

3.3 PEMERIKSAAN FISIK


Pemeriksaan dilakukan pada tanggal 29 September 2020.

a. Pemeriksaan Umum
1. Kesan Umum : Tampak sakit sedang
2. Kesadaran : Composmentis
3. Antropometri :
Berat Badan (BB) : 50 kg
Tinggi Badan : 157 cm
4. Tanda Vital :
TD : 97/54 mmHg
HR : 98x/menit
RR : 20x/menit
Suhu : 36 0C
SpO2 : 99%

b. Status Generalis
1. Mata: edema palpebra (-/-), konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (+/+)

41
2. Wajah: Pucat(+), sianosis (-), cloasma gravidarum (-)
3. Leher: pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid (-), trakea di tengah.
4. Thorax:
Paru: gerakan dada kanan dan kiri simetris, vesicular breathing sound
(VBS) simetris (+/+), ronki (-/-), wheezing (-/-)
Jantung: bunyi jantung I dan II reguler, murmur (-), gallop (-)
5. Abdomen: status obstetrikus
6. Genitalia: status obstetrikus
7. Ekstremitas: edema tungkai (-/-), CRT<2 detik.

c. Status Obstetri
A. Pemeriksaan Luar
i. Inspeksi:
Wajah : chloasma gravidarum (-), edema (-)
Abdomen : Tampak cembung, tegang, linea nigra (-), striae
gravidarum (-).
ii. Palpasi
TFU : tinggi fundus uteri sulit dievaluasi
Leopold I : Tidak dilakukan
Leopold II : Tidak dilakukan
Leopold III : Tidak dilakukan
Leopold IV : Tidak dilakukan
iii. Auskultasi
DJJ :-
B. Pemeriksaan Dalam
Vulva dan vagina : tidak terdapat kelainan.
Porsio : porsio tebal dan lunak, OUE tertutup, nyeri goyang
porsio (+)
Cavum Douglasi : Penonjolan cavum douglasi (+), nyeri perabaan (+)

3.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG

42
A. Pemeriksaan Darah
Pada tanggal 28 September 2020 jam 23.10 WIB
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Darah Rutin
Hemoglobin 9,8(L) 12 – 16 g/dL
Hematokrit 27 (L) 38 – 47 %
Eritrosit 3,04 (L) 4.2 – 5.4 juta/µL
Leukosit 16700 (H) 5000 – 10000/µL
Trombosit 311000 150000 – 450000/µL
Golongan Darah + Rhesus
Golongan Darah B
Rhesus (+) Positif
Serologi
HIV reagen 1 Non reaktif Non reaktif
Petanda Hepatitis
HBsAg Non reaktif Non reaktif

Pada tanggal 29 September 2020 jam 09.19 WIB


Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Darah Lengkap
Hemoglobin 8,8(L) 12 – 16 g/dL
Hematokrit 25 (L) 38 – 47 %
Eritrosit 2,75 (L) 4.2 – 5.4 juta/µL
Leukosit 18000 5000 – 10000/µL
Trombosit 284000 150000 – 450000/µL
MCV 90 80-96 fL
MCH 32 28 - 33Pg/mL
MCHC 36 33 - 36 g/dL
Hitung Jenis
Basofil 0 0.0-1.0 %

43
Eosinofil 2 1.0-6.0 %
Neutrofil 72(H) 50-70%
Limfosit 18(L) 20-40%
NLR 4,00 <=5.80
Monosit 8 2-9%
LED 40 (H) <15 mm/jam
Kimia Klinik
Glukosa sewaktu stik 94 80-170mg/dL
Hemostasis
CT 4’
BT 1’

B. USG

Tampak : Tidak tampak kantung gestasi pada intrauterine, terdapat GS


pada ekstrauterin, terdapat cairan bebas pada cavum abdomen.
Kesan: Kehamilan ektopik terganggu

3.5 RESUME
Pasien Ny. R G1P0A0 dengan usia kehamilan 9 - 10 minggu datang ke
RSUD Kabuaten Bekasi pada hari Senin tanggal 20.00 dengan keluhan nyeri
perut bagian bawah 1 hari SMRS. Nyeri dirasakan terus menerus dan menjalar
ke seluruh perut dan semakin bertambah serta rasa penuh, mules serta mual

44
dan muntah disertai dengan lemas. Sebelum pasien ke rumah sakit pasien
mengeluh keluar darah dari organ genitalianya, warna merah kehitaman
dengan volume ±100 cc. hasil test pack (+). Pasien mengalami hal serupa pada
usia kehamilan 6 minggu berupa nyeri perut bagian bawah lalu pasien
melakukan cek kehamilan kembali menggunakan test pack dengan hasil
positif. Pasien pergi ke Bidan untuk cek kehamilannya lalu di rujuk ke RSUD
Kabupaten Bekasi lalu dilakukan USG dengan hasil kantung gestasi (+)
namun tidak tampak adanya embrio pada rahim. Pasien diberikan obat
allylestrenol 3x5 mg dan asam folat 3x400µg. Tidak ada keluhan yang dialami
saat kehamilan 7 dan 8 minggu. tidak ada keluhan nyeri perut dan tidak ada
perdarahan. Terjadi kembali ketika minggu ke 9 dan pasien langsung dibawa
ke RSUD Kabupaten Bekasi.
Pada pemeriksaan fisik general dalam batas normal. status obstetri wajah
chloasma gravidarum (-). Abdomen : Tampak cembung dan tegang. Palpasi
nyeri tekan(+), TFU tinggi fundus uteri sulit dievaluasi, DJJ -. Pemeriksaan
Dalam vulva dan vagina tidak terdapat kelainan. Porsio porsio tebal dan lunak,
OUE tertutup, nyeri goyang porsio (+). Penonjolan cavum douglas(+), nyeri
perabaan (+)
Pemeriksaan penunjang didapatkan anemia dengan kabar Hb dan
hematcrit rendah, leukositosis. Pada pemeriksaan USG kesan kehamilan
ektopik terganggu.

3.6 DIAGNOSIS KERJA


G1P0A0 Gravida 9 - 10 minggu dengan kehamilan ektopik tertanggu dan
anemia

3.7 PENATALAKSANAAN
 IVFD RL 20 tpm
 Inj. Cefotaxim 1 gr 2x1
 Inj. Ondancetron 4 mg 2x1

45
 Persiapan transfuse darah 1 kolf
 Pemasangan kateter urin
 Laparotomi cito
 KIE : Edukasi pasien dan suami dalam diagnosis serta tentang rencana
tindakan yang akan dilakukan

Uraian tindakan operasi (29 September 2020):


Dokter bedah Dr. Djoni Nurung, Sp.OG(K)
Antibiotik Profilaksis Injeksi Ceftriakson 1 gram pukul 11.00 WIB
Diagnosis Prabedah G1P0A0 Gravida 9 - 10 minggu dengan
kehamilan ektopik tertanggu dengan anemia
Tindakan Pembedahan Salphingektomi tuba dextra + transfusi darah
Diagnosis Pasca Bedah Post salphingektomi dextra a/i kehamilan
ektopik terganggu dengan anemia
Dokter Anestesi dr. Mega Ayu Marina, S.A, Sp. An, MARS
Jenis Anestesi General Anestesi
Posisi Pasien Supinasi
Uraian Pembedahan  Dilakukan insisi horizontal
 Peritoneum dibuka ke arah atas dan bawah
 Didapatkan perdarahan pada rongga
abdomen dan cavum Douglasi sebanyak
500 cc . Perdarahan dirawat.
 Identifikasi adneksa dextra dan didapatkan
rupture tuba pars ampularis dextra. Hasil
konsepsi diangkat jaringan ±70 gram.
Perdarahan dirawat.
 Dilakukan pemotongan dan pengangkatan
tuba dextra. Sisa potongan tuba kemudian
dijahit.
 Identifikasi adneksa kiri dan tidak

46
didapatkan perlengketan adneksa kiri
dengan sekitarnya.
 Dilakukan eksplorasi rongga abdomen dan
2 buah kain steril dikeluarkan dari rongga
abdomen lalu dicuci dengan NaCl.
 Setelah yakin tidak ada perdarahan
dilakukan penutupan rongga abdomen lapis
demi lapis :Peritoneum parietal, M.Rectus
Abdominis, Fascia, Sub kutis, Kutis.
 Luka operasi dibersihkan dengan NaCl
kemudian ditutup kasa steril dan tegaderm.
 Operasi selesai

Keadaan pasien setelah operasi :


Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Tek.darah : 110/82 mmHg
Nadi : 89x/menit
Suhu : 36,50 C
RR : 24x/menit

Tatalaksana :
 Puasa 6 jam
 IVFD RL 20 tpm
 Inj. Ceftriaxone 1 gr 2x1 (IV)
 Profenid sup 100 mg 2x1
 Tranfusi PRC 1 kolf selanjutnya cek darah rutin

47
3.8 PROGNOSIS
Ad vitam : ad bonam
Ad sanactionam : ad bonam
Ad functionam : dubia ad malam

48
3.9 CATATAN PERKEMBANGAN PASIEN TERINTEGRASAI
Tanggal, Temuan Klinis dan penatalaksanaan
jam
pemeriksaan
30/9/20 di S: Pasien G1P0A0 mengeluh nyeri luka post op (+), gatal
(-),BAB (-), BAK (+), Flatus (+)
Camelia
O: KU : tampak sakit sedang
Kesadaran : CM
TD : 100/70 mmHg
N : 84 x/mnt
RR : 20 x/mnt
Sh : 36°C
Status generalis: dalam batas normal
St ginekologi
Abdomen : Distensi (-), BU (+), Nyeri tekan (+), luka
operasi terawat
Darah rutin post transfusi pukul 07;00
Hb : 9,6g/dL
Ht : 27%
Eritrosit :3.04 juta/µL
Trombosit: 269.000/µL
Leukosit : 12.800/µL
A: Post salphingektomi dextra a/i kehamilan ektopik terganggu
dengan anemia
P: IVFD RL 20 tpm
Inj. Ceftriaxon 1 gr 2x1
Propenid supp 50 g 1x1
1/10/20 di S: Pasien G1P0A0 mengeluh nyeri luka post op (+), gatal
(-),BAB (+), BAK (+), Flatus (+)
Camelia
O: KU : tampak sakit sedang
Kesadaran : CM
TD : 110/80 mmHg
N : 78 x/mnt
RR : 20 x/mnt
Sh : 36,2°C
Status generalis: dalam batas normal
St ginekologi
Abdomen : Distensi (-), BU (+), Nyeri tekan (+), luka
operasi terawat
A: Post salphingektomi dextra a/i kehamilan ektopik terganggu
dengan anemia
P: Boleh pulang
Obat pulang:
Tab cefadroxil 500mg 2x1 (PO)

49
Tab Asam mefenamat 500mg 3x1 (PO)
KIE: Pasien untuk memakan makanan yang kaya akan
zat besi seperti daging merah dan kacang-kacangan

50
BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik


Teori Kasus
Anamnesis : Trias KET
Trias KET1 1. Amenore sudah ± 9 minggu, tes
1. Amenore kehamilan positif
2. Nyeri abdomen 2. Nyeri perut kanan bawah sejak 1
3. Perdarahan pervaginam hari SMRS, menjalar ke seluruh
4. Tanda-tanda hamil muda (mual perut dan nyeri dirasakan terus
dan muntah) menerus dan semakin bertambah
3. Keluar darah dari jalan lahir
Faktor risiko:4 yang bertambah banyak dengan
1. Riwayat kerusakan tuba darah merah kehitaman
2. Riwayat infeksi tuba 4. Keluhan mual dan muntah (+)
3. penyakit menular seksual
Faktor Risiko:
Pasien tidak memiliki faktor risiko
Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum KU : tampak sakit sedang, pucatm
Pada rupture tuba terdapat tanda- anemis (+), tanda-tanda vital masih
tanda syok seperti: perdarahan, baik.
tekanan darah menurun, nadi
meningkat.7

Pemeriksaan Ginekologi Pemeriksaan Ginekologi


Pemeriksaan Luar Pemeriksaan Luar
Abdomen Abdomen
Inspeksi: Cembung, tampak Inspeksi: Tampak cembung dan
tegang tegang.
Palpasi: nyeri tekan/ defance

51
Palpasi: Nyeri tekan abdomen muskular(+), TFU tinggi fundus uteri
Auskultasi: DJJ (-). 1.4 sulit dievaluasi
Auskultasi: DJJ (-)
Pemeriksaan Dalam
Pemeriksaan Dalam vulva dan vagina:tak.
1. Nyeri goyang serviks (slinger Porsio: Porsio porsio tebal dan lunak,
pain) OUE tertutup, nyeri goyang porsio
2. Kavum douglasi menonjol (+). Penonjolan cavum douglas(+),
disertai nyeri saat perabaan nyeri perabaan (+)
karena terisi darah.1,4

Pada anamnesis pada kasus sudah memenuhi kriteria trias kehamilan


ektopik terganggu yaitu amenorea dengan tes kehamilan positif, perdarahan
pervaginam, dan nyeri perut bagian bawah dan menjalar keseluruh bagian perut.
Pasien juga merasakan mual dan muntah yang menunjukan kehamilan trimester
pertama. Muntah juga dapat menggambarkan terjadinya rupture tuba. Tidak
terdapat faktor risiko yang terjadi pada pasien. Pada anamnesis dapat juga terjadi
pada kehamilan intrauterin dan abortus spontan Pemeriksa dapat fokus menilai
tanggal menstruasi terakhir dengan diagnosis kehamilan, onset, intensitas gejala.
sehingga dibutuhkan pemeriksaan selanjutnya.1,4
Keadaan umum pasien tampak sakit sedang, pasien tampak pucat dan
anemis, pada pemeriksaan conjungitiva didapatkan CA+/+, tanda-tanda vital
masih baik. Tidak sesuai dengan teori pada ruptur tuba yaitu adanya syok, karena
syok akan terjadi pada ketika terjadi perdarahannya berlanjut yang mengakibatkan
terjadinya hipovolemia. Pada abdomen didapatkan tampak cembung dan tegang
Diperkirakan bahwa serangan nyeri hebat pada ruptur kehamilan ektopik ini
disebabkan oleh darah yang mengalir ke kavum peritoneum. Palpasi: nyeri tekan/
defance muskular(+), TFU tinggi fundus uteri sulit dievaluasi Auskultasi: DJJ (-).
Pada pemeriksaan dalam Porsio porsio tebal dan lunak, OUE tertutup, nyeri
goyang porsio (+). Penonjolan cavum douglas(+), nyeri perabaan (+). Cavum

52
douglass menonjol dapat dijelaskan dengan terjadinya perdarahan yang perlahan-
lahan menetes dari fimbrae tuba yang berkumpul di cavum douglass. Onset
terjadinya ruptur kehamilan ektopik tergantung dari lokasi terjadinya kehamilan.
Khusus KE pada tuba, kejadian ruptur lebih awal terjadi pada ismus atau pars
ampullaris.
Dari pemeriksaan fisik tersebut dapat disingkirkan beberapa diagnosis.
Diagnosis abortus dapat disingkirkan dengan ditemukan nyeri goyang portio.
Diagnosis appendisitis juga dapat disingkirkan dengan tanpa ditemukan rovsing
sign. Sedangkan pada kasus kista ovarium tersingkirkan, gejala dan tanda
kehamilan muda, amenore serta perdarahan pervaginam biasanya tidak ada. Selain
itu, pada kista ovarium tersingkirkan juga didukung dengan adanya gambaran
massa kistik ovarium pada pemeriksaan USG.1,4,7,15

4.2 Pemeriksaan Penunjang


Teori Kasus
Pemeriksaan Penunjang : 1,7 Pemeriksaan penunjang :
1. Penurunan kadar Hb 1. Darah lengkap
2. Kenaikan kadar leukosit Hb: 8,8 g/dL (anemia)
3. Tes Kehamilan (+) 2. Leukosit : 18.000 (leukositosis)
4. USG
3. Tes kehamilan (+)
Transabdominal: Kavum uteri
yang tidak berisi kantong gestasi, 4. Pemeriksaan USG

Pada ruptur tuba terdapat Tampak : Tidak tampak kantung

gambaran cairan bebas (gambaran gestasi pada intrauterine, terdapat

darah intraabdominal). GS pada ekstrauterin, terdapat


cairan bebas pada cavum
5. kadar ß-hCG serum 1500 mIU/ml
abdomen.
atau lebih.
Kesan: Kehamilan ektopik
6. Kuldosentesis terganggu
7. Laparoskopi 5. Pemeriksaan ß-hCG,
kuldosentesis, laparoskopi tidak

53
dilakukan

Hasil pemeriksaan penunjang yang mendukung diagnosis kehamilan


ektopik pasien ini adalah adanya anemia dan leukositosis, tes kehamilan positif,
dan USG. Anemia dapat terjadi karena adanya tanda-tanda perdarahan pada
rongga perut. Pemeriksaan Hb dan Ht dapat dilakukan secara serial. Penurunan
Hb dan Ht dapat mendukung penegakan diagnosis kehamilan ektopik terganggu.
Penghitungan leukosit secara berturut menunjukan adanya perdarahan bila adanya
leukositosis meningkat. Jumlah leukosit yang melebihi 20.000 biasanya
menunjukan oada keadaan yang terakhir. Tes kehamilan positif. Jika tes
kehamilan negatif tidak menyngkirkan kemungkinan kehamilan ektopik
terganggu karena kematian hasil konsesi dan degenerasi trofoblas menyebabkan
produksi human chorionic gonadotropin menurun dapat menyebabkan negatif
palsu.1,15
Pada USG tidak ada kantung gestasi terdapat kantung gestasi yang berisi
mudigah di luar uterus. Pada ruptur tuba terdapat gambaran cairan bebas
(gambaran darah intraabdominal). Kuldosentesis tidak dilakukan. Pada
kuldosentesis untuk mengetahui apakah dalam kavum douglasi ada darah. Darah
segar merah sehingga dalam beberapa menit membeku menunjukan arteri atau
vena yang tertusuk. Darah tua atau coklat hitam dan tidak membeku atau terjadi
bekuan kecil menandakan adanya hematokel retrouterina.1

4.3 Penatalaksanaan
Teori Kasus
Penatalaksaan : Penatalaksaan :
- Terapi umum: - IVFD RL 20 tpm
- Resusitasi dengan cairan - Inj. Cefotaxim 1 gr 2x1 (iv)
kristaloid (500cc dalam - Inj. Ondancetron 4 mg 2x1 (iv)
15 menit pertama/ 2 L - Persiapan transfusi darah 1 kolf
dalam 2 jam pertama - Pemasangan kateter urin
- Rujuk Sp.OG - Laparotomi cito ditemukan tuba

54
- Terapi Khusus: kanan ruptur sehingga dilakukan
- lakukan transfusi darah salpingektomi dextra.
untuk mengatasi anemia
- Persiapan laparotomi. Tatalaksana setelah operasi:
Jika kerusakan berat pada - IVFD RL 20 tpm
tuba : Salpingektomi - Inj. Ceftriaxone 1 gr 2x1(iv)
Jika kerusakan ringan - Profenid sup 100 mg 2x1
pada tuba: Salpingostomi - Tab Asam mefenamat 500 mg
- Perdarahan aktif 3x1(po)
intraabdomen - KIE: Pasien untuk memakan
kontraindikasi terapi makanan yang kaya akan
metrotreksat zat besi seperti daging merah dan
kacang-kacangan

Penatalaksanaan yang dilakukan pada pasien ini bertujuan untuk


memperbaiki keadaan umum dan stabilisasi pasien sebelum operasi. Diberikan
Inj. Cefotaxim 1 gr 2x1 (iv) dan ceftriaxone 1 gr 2x1(iv) untuk mengatasi
leukositosis. Cefotaxim dan ceftriaxon merupakan golongan cefalosporin generasi
III dengan mekanisme obat menghambat sintesis dinding sel mikroba dengan
mekanisme yang serupa dengan golongan penisilin. yang umumnya kurang aktif
terhadap coccus gram positif dibandingkan dengan generasi pertama, tapi jauh
lebih aktif terhadap gram negatif. Obat ini merupakan golongan obat B 21
Penggunaan serta Inj. Ondancetron 4 mg 2x1 (iv) untuk mual dan muntah.
Ondansetron menimbulkan efek antagonis terhadap reseptor serotonin 5-HT3.
Reseptor serotonin 5-HT3 terdapat di bagian perifer yaitu pada nervus vagal dan
di sentral pada area postrema yang merupakan chemoreceptor trigger zone,
namun saat ini efek anti mual dan muntah pada pasien oleh ondansetron belum
dapat dipastikan apakah di bagian perifer, sentral, ataupun keduanya. Obat ini
merupakan golongan obat B. 21

55
Setelah keadaan umum baik dilakukan salpingektomi dextra karena sudah
terjadi ruptur tuba kanan. Indikasi pembedahan adalah gejala simptomatik dengan
gambaran free fluid level intraperitoneal, kadar βHCG yang sangat tinggi, adanya
kontraindikasi pemberian metotreksat dan adanya kegagalan terapi medis
sebelumnya.16,17 Jenis tindakan laparoskopi atau laparotomi bergantung pada
keadaan hemodinamik pasien, ada tidaknya riwayat laparoskopi pada pasien
sebelumnya, dan juga kemampuan masing-masing operator. Suatu penelitian yang
membandingkan dua teknik operasi pada 228 wanita memperlihatkan bahwa
teknik laparoskopi memberikan risiko lebih tinggi untuk kejadian persisten
trofoblas dibandingkan laparotomi. Laparotomi juga biasanya dilakukan pada
wanita dengan pendarahan intraperitoneal ekstensif, keadaan hemodinamik yang
tidak stabil maupun adanya gambaran buruk saat dilakukan laparoskopi. trofoblas
persisten dan tingginya angka kejadian kehamilan ektopik berulang.18
Transfusi PRC (packed red cell)/sel darah merah dimampatkan
merupakan pengobatan terpilih untuk mengatasi perdarahan akut. Indikasi
pemberian sel darah merah adalah untuk meningkatkan daya angkut oksigen pada
pasien anemia dan hipotensi ortostatik sekunder akibat kehilangan darah.
Transfusi sel darah merah dilakukan ketika tingkat Hb 7-10 g/dL pada kondisi
terjadi perdarahan terus menerus. Setiap unit sel darah merah yang ditransfusi
akan meningkatkan Hemoglobin ± 1 g/dL dan meningkatkan Hematokrit 1-3%. 1
Setiap unit PRC berisi 180 – 200 ml yang diambil dari 450 ml darah lengkap. 20
Pada kasus ini, dilakukan transfusi PRC sebanyak 1 labu untuk mengatasi anemia
dan meningkatkan Hb pasien yang awalnya sebesar 8,8 g/dL menjadi 9,6 g/dL.
Selanjutnya pasien diberikan edukasi untuk memakan makanan yang kaya akan
zat besi seperti daging merah, hati, ikan dan kacang-kacangan juga vitamin C dan
A buah dan sayuran untuk membantu penyerapan zat besi dan membantu peroses
pembentukan Hb.19
Penggunaan Profenid sup 100 mg 2x1 dengan zat akti ketoprofen dan Tab
Asam mefenamat 500 mg 3x1(po) merupakan OAINS dengan menghambat
sintesis prostaglandin dengan hambat pada enzim siklooksigenase sehingga

56
konversi asam arakidonat menjadi PGG2 terganggu. Obat ini merupakan
golongan obat B dan D pada hemilan trimester 3 atau menjelang persalinan.21

4.4 Prognosis
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad malam
Menstruasi : ad bonam
Reproduksi : Dubia ad malam
Seksual : ad bonam

Quo ad vitam pada pasien ini ad bonam karena setelah pasien


salpingektomi dextra keadaan pasien kembali membaik dan hasil pemeriksaan
lainnya dalam batas normal, hanya saja masih anemia ringan dapat teratasi dengan
nutrisi yang baik. Quo ad sanationam salah satu faktor resiko terjadi KET adalah
kehamilan ektopik sebelumnya, oleh karena perlu dilakukan pencegahan seperti
menghindari faktor risiko dengan menunda kehamilan sampai organ reproduksi
kembali siap untuk hamil. Minimal 3 bulan setelah operasi atau 3 siklus
menstruasi. Sehingga digunakan metode kontrasepsi untuk cegah kehamilan. Quo
ad functionam adalah pada pasien ini telah dilakukan Salpingektomi dextra.
Pasien dapat mengalami kehamilan ektopik lagi pada tuba yang lain. Hanya 60%
wanita yang pernah mengalami kehamilan ektopik terganggu dapat hamil lagi,
walaupun angka kemandulannya akan jadi lebih tinggi. Angka kehamilan ektopik
yang berulang dilaporkan berkisar antara 0 – 14,6%. Namun pasien masih dapat
menstruasi dan seksual masih baik.18

57
BAB V

KESIMPULAN

Kehamilan ektopik adalah kehamilan yang pertumbuhan sel telur yang


telah dibuahi tidak menempel pada dinding endometrum kavum uteri. Kehamilan
ektopik terganggu bila telah terjadi abortus dan ruptur dinding tuba. Persentasse
KET sering terjadi pada tuba sebesar 95%, dengan 55% terjadi pada pars
ampularis. Perdarahan yang terjadi dapat menyebabkan anemia dan membutuhkan
transfusi segera. Tatalaksana yang diberikan harus dilakukan segera untuk
mencegah terjadinya komplikasi.

58
DAFTAR PUSTAKA

1. Prawirohardjo S , Wiknjosastro H. Kehamilan Ektopik. Dalam Ilmu


Kebidanan; Jakarta; Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2016;
475-488
2. Wiknjosastro,H. Kehamilan Ektopik. Dalam Ilmu Bedah Kebidanan. Jakarta;
Yayasan Bina Pustaka sarwono Prawirohardjo, 2000; 198-204
3. Suparman E. Karakteristik kehamilan ektopik terganggu di Rumah Sakit
Umum Pusat Manado. CDK. 2007;34:255.
4. Cunningham FG, gant NF, Leveno KJ, Gilstrap LC, haulth JC, Wenstrom KD.
Ectopic Pregnancy. In: William Obstetrics, 23; USA; Mc graw hill; 2010.
5. Lipscomb GH. Ectopic Pregnancy. Obstetric and Gynecology Principles for
Practice.In: Ling FW,Duff P editor. International edition;USA. Mc Graw Hill;
2001;pp 1134-1147
6. Berek JS. Ectopic Gestasion. In Novak’s Gynecology. 13thed.Philadelphia
Lippincot Williams & Wilkins, 2002, pp510-534
7. Taran FA, et all. 2015. The Diagnosis and Treatment of ectopic Pragnancy.
Deutsches Ärzteblatt International. Jurnal research&therapy. Availabe in:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4643163/ Accessed : 8
Oktober 2020
8. Braun, RD. Surgical Management of Ectopic Pregnancy. Available in :
http://www.emedicine.com/med/topic3316.htm. Accessed : 8 Oktober 2020
9. Ectopic Pregnancy. A Guide for Patients. American Society For Reproductive
Medicine.2015
10. Stulberg D, Cain R. Ectopic Pregnancy Rates in The Medical Population
American Journal of Obstetric and Gynecology. 2013; 1:p.208-274.
11. Perkumpulan Obstetri Ginekologi (POGI) & Pedoman Nasional Pelayanan
Kedokteran (PNPK): Kehamilan Ektopik Terganggu. Indonesia: POGI 2014.
Available in: http://edunakes.bppsdmk.kemkes.go.id/images/pdf/Obsgin_4_Ju
ni_2014/Blok%2011/Kehamilan%20ektopik%20ppt.pdf . Accessed: 8
Oktober 2020

59
12. Tucker SM, Miller DA. Fetal Monitoring. St. Louis: Mosby; 2009
13. Matthews, 2006. Managing Complications in Pregnancy and Childbirth: A
Suide for Midwives and Doctor. EGC p:97
14. Djamhoer et all. 2020. Obstetri Pstologi Ilmu Kesehatan Reproduksi. Edisi 3.
EGC: Jakarta p: 22-29
15. Smith R. Netter’s Obstetrics and Gynecology. 2nd ed. Philadelphia: Saunders
Elsevier; 2009.
16. Oron G and Tulandi T.”A pragmatic and evidence-based management of
ectopic pregnancy”. Journal of minimally invasive gynecology 20.4 (2013):
446-454.
17. Nowak-Markwitz E., et al. “Cutoff value of human chorionic gonadotoprin in
relation to the number of methotrexate cycles in the succesful treatment of
ectopic pregnancy”. Fertil and steril 92.4 (2009):1203-1207
18. Juneau C and Wright Bates G. “Reproductive outcomes after medical and
surgical management of ectopic pregnancy “. Clinical Obstetrics and
Gynecology 55.2 (2012):455-460.
19. Pritasari, et all. 2017. Gizi dalam daur kehidupan. Pusat Pendidikaan Sumber
Daya Manusia Kesehatan. Jakarta
20. Indayanie N, Rachmawati B. Packed Red Cell dengan Delta Hb dan Jumlah
Eritrosit Anemia Penyakit Kronis. Indonesian Journal of Clinical Pathology
and Medical Laboratory, Vol. 21, No. 3 Juli 2015: 220-223.
21. Gunawan SG, et all. Farmakologi dan terapi Edisi 6 . Jakarta: Badan Penerbit
FKUI. 2016

60

Anda mungkin juga menyukai