Dosen Pembimbing:
Yuli Suryanti, M.Keb
Oleh :
Iffa Karimah Lestari
Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan
studi kasus dengan judul “Asuhan Kebidanan Pada Ibu Hamil Ny”Y” G1P0A0H0
Usia kehamilan 7-8 Minggu di RSUD H.Hanafie Muara Bungo, Tahun 2020 ”
Laporan studi kasus ini penulis susun dalam rangka pencapaian kompetensi, dan
merupakan salah satu tugas seminar pribadi yang harus dipenuhi oleh setiap mahasiswi
Prodi Profesi Bidan.
Penulis menyadari bahwa penulisan laporan studi kasus ini masih belum
sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun
demi kesempurnaan laporan kasus ini.
Akhirnya penulis mengharapkan semoga laporan studi kasus ini dapat memenuhi
tugas akhir seminar kasus.
Jambi,
2020
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kehamilan Ektopik Terganggu (KET) merupakan kehamilan ektopik yang
disertai dengan gejala akut abdomen. Kondisi ini merupakan kondisi yang gawat
yang bila lambat ditangani akan berakibat fatal bagi penderita. Kehamilan ektopik
terganggu merupakan salah satu penyebab utama mortalitas ibu, khususnya pada
trimester pertama. Karena manifestasinya yang cukup dramatis, sering kali KET
dijumpai terlebih dahulu bukan oleh dokter-dokter ahli kebidanan, melainkan dokter-
dokter yang bekerja di unit gawat darurat, sehingga entitas ini perlu diketahui oleh
setiap dokter.
Di masa lampau KET hampir selalu fatal, namun berkat perkembangan alat
diagnostik yang canggih morbiditas maupun mortalitas akibat KET jauh berkurang.
Meskipun demikian, kehamilan ektopik masih merupakan salah satu masalah utama
dalam bidang obstetri. Perkembangan teknologi fertilitas dan kontrasepsi memang di
satu sisi menyelesaikan masalah infertilitas maupun KB, namun di sisi lain
menciptakan masalah baru. Kehamilan ektopik dapat terjadi sebagai akibat usaha
fertilisasi in vitro pada seorang ibu, dan kehamilan ektopik tersebut dapat
menurunkan kesempatan pasangan infertil yang bersangkutan untuk mendapatkan
anak pada usaha berikutnya. Masalah yang lain ialah masalah diagnosis. Tidak
semua pusat kesehatan di negara ini mempunyai fasilitas pencitraan, dan dalam
menghadapi pasien yang datang dengan keluhan maupun tanda KET, tidak semua
dokter, terutama primary-care physician, segera memikirkan KET sebagai salah satu
diagnosis banding. Hal ini mengakibatkan keterlambatan diagnosis dan terapi yang
adekuat.
Kehamilan ektopik yang belum terganggu juga menjadi masalah tersendiri,
karena seolah-olah menjadi bom waktu dalam tubuh pasien. Hal ini terjadi bila tidak
ada fasilitas diagnostik yang menunjang, seperti yang terjadi di berbagai daerah rural
di Indonesia. Dengan diagnosis yang tepat dan cepat kesejahteraan ibu, bahkan janin,
dapat ditingkatkan.
Angka kejadian kehamilan ektopik dari tahun ke tahun cenderung meningkat. Di
Indonesia, laporan dari rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta, angka
kejadian kehamilan ektopik pada tahun 1987 ialah 153 diantara 4007 persalinan atau
1 diantara 26 persalinan. Dalam kepustakaan, frekuensi kehamilan ektopik
dilaporkan antara 1:28 sampai 1:329 tiap kehamilan. Saat ini lebih dari 1 dalam
1000 kehamilan di Amerika adalah kehamilan ektopik. Resiko kematian akibat
akibat kematian di luar rahim 10 kali lebih besar daripada persalinan pervaginam dan
50 kali lebih besar daripada abortus induksi.
Seiring dengan kemajuan ilmu kedokteran, penderita KET telah dapat ditangani
secara adekuat, sehingga mengurangi angka kematian karena komplikasi penyakit
tersebut. Hal yang harus diingat ialah KET bisa dihadapi baik oleh dokter umum
maupun dokter spesialis, sehingga setiap dokter umum harus dapat mengenali tanda-
tanda KET, sehingga penderita dapat segera tertangani.
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu melaksanakan asuhan kebidanan pada ibu hamil “NyY”
G1P0A0H0 umur kehamilan 7-8 Minggu di RSUD H.Hanafie Muara Bungo,
Tahun 2020.
B. Tujuan Khusus
1. Mampu melakukan pengkajian ibu hamil “Ny Y” G1P0A0H0 usia kehamilan 7-
8 minggu di RSUD H.Hanafie Muara Bungo.
2. Mampu menganalisa dan menginterpretasikan untuk menentukan diagnosa
aktual pada ibu hamil “Ny Y” G 1P0A0H0 usia kehamilan 7-8 minggu di RSUD
H.Hanafie Muara Bungo.
3. Mampu mengantisipasi kemungkinan timbulnya diagnosa atau masalah
potensial pada ibu hamil “Ny Y” G 1P0A0H0 usia kehamilan 7-8 minggu di
RSUD H.Hanafie Muara Bungo.
4. Mampu melaksanakan tindakan segera dan kolaborasi pada ibu hamil “Ny Y”
G1P0A0H0 usia kehamilan 7-8 minggu di RSUD H.Hanafie Muara Bungo.
5. Mampu mengintervensikan tindakan asuhan kebidanan yang telah disusun
pada ibu hamil “Ny Y” G1P0A0H0 usia kehamilan 7-8 minggu di RSUD
H.Hanafie Muara Bungo.
6. Mampu merencanakan secara langsung dari rencana tindakan yang telah
disusun pada ibu hamil “Ny Y” G1P0A0H0 usia kehamilan 7-8 minggu di
RSUD H.Hanafie Muara Bungo.
7. Mampu mengevaluasi efektifitas tindakan yang telah dilaksanakan pada ibu
hamil “Ny Y” G1P0A0H0 usia kehamilan 7-8 minggu di RSUD.Hanafie Muara
Bungo.
C. Manfaat
1. Bagi Mahasiswa
Mahasiswa dapat lebih memahami cara melakukan pemeriksaan kehamilan.
2. Bagi Lahan Praktek
Dapat menjadi bahan masukan bagi lahan peraktek dalam rangka meningkatkan
kualitas pelayanan dan pelaksanan Asuhan kebidanan pada Ibu Hamil sesuai
standar pelayanan.
3. Bagi Institusi Pendidikan
Sebagai sumber referensi, sember bacaan dan bahan pengajaran terutama yang
berkaitan dengan asuhan kebidanan pada Ibu Hamil.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
5. Patofisiologi
Proses implantasi ovum yang dibuahi yang terjadi di tuba pada dasarnya
sama dengan di kavum uteri. Telur di tuba bernidasi secara kolumner atau
interkolumner. Pada nidasi yang kolumner, telur berimplantasi pada ujung atau
sisi jonjot endosalping. Perkembangan telur selanjutnya dipengaruhi oleh
kurangnya vaskularisasi dan biasanya telur mati secara dini dan dengan mudah
dapat diresorbsi total. Pada nidasi interkolumner, telur bernidasi antara dua jonjot
endosalping. Setelah tempat nidasi tertutup, maka telur dipisahkan dari lumen
tuba oleh lapisan jaringan yang menyerupai desidua dan dinamakan
pseudokapsularis. Karena pembentukan desidua di tuba tidak sempurna, dengan
mudah villi korialis menembus endosalping dan masuk ke dalam lapisan otot-
otot tuba dengan merusak jaringan dan pembuluh darah. Perkembangan janin
selanjutnya bergantung pada beberapa faktor seperti tempat implantasi dan
tebalnya dinding tuba.
Mengenai nasib kehamilan dalam tuba terdapat beberapa kemungkinan.
Karena tuba bukan tempat untuk pertumbuhan hasil konsepsi, tidak mungkin
janin bertumbuh secara utuh seperti dalam uterus. Sebagian besar kehamilan
terganggu pada umur kehamilan antara 6-10 minggu.
Ruptur tuba sering terjadi bila ovum berimplantasi pada ismus dan
biasanya pada kehamilan muda. Sebaliknya ruptur pada pars interstisialis terjadi
pada kehamilan yang lebih lanjut. Faktor utama yang menyebabkan ruptur adalah
penembusan villi korialis ke dalam lapisan muskularis tuba terus ke peritonem.
Ruptur dapat terjadi secara spontan namun dapat pula karena trauma ringan
seperti koitus dan pemeriksaan vaginal. Akibat dari ruptur ini akan terjadi
perdarahan dalam rongga perut, kadang-kadang sedikit namun dapat pula banyak
sampai menimbulkan syok dan kematian.
Bila pseudokapsularis ikut pecah, maka terjadi pula perdarahan dalam
lumen tuba. Abortus ke dalam lumen tuba lebih sering terjadi pada kehamilan
pars ampullaris. Bila pelepasan menyeluruh, mudigah dengan selaputnya
dikeluarkan dalam lumen tuba dan kemudian didorong oleh darah ke arah ostium
tuba abdominale. Pada pelepasan hasil konsepsi yang tidak sempurna pada
abortus, perdarahan akan terus berlangsung, dari sedikit-sedikit oleh darah
sehingga berubah menjadi mola kruenta. Perdarahan yang berlangsung terus
menyebabkan tuba membesar dan kebiru-biruan (hematosalping), dan
selanjutnya darah mengalir ke rongga perut melalui ostium tuba. Darah ini akan
berkumpul di kavum Douglas dan akan membentuk hematokel retrouterina.
6. Patologi
Dibawah pengaruh hormon estrogen daan progesteron dari korpus luteum
graviditatis dan tropoblas uterus menjadi besar dan lembek, endometrium dapat
berubah pula menjadi desidua. Dapat ditemukan perubahan-perubahan pada
endometrium yang disebut Fenomena Arias-Stella. Sel epitel membesar dengan
intinya hipertropik, hiperkromatik, lobuler, dan berbentuk tidak teratur.
Sitoplasma sel dapat berlubang-lubang atau berbusa, dan kadang-kadang
ditemukan mitosis. Perubahan tersebut hanya ditemukan pada sebagian
kehamilan ektopik. Setelah janin mati, desidua dalam uterus mengalami
degenerasi dan kemudian dikeluarkan berkeping-keping, tetapi kadang-kadang
dilepaskan secara utuh. Perdarahan yang dijumpai pada KET berasal dari uterus
dan disebabkan oleh pelepasan desidua yang degeneratif.
7. Gambaran Klinis
Kehamilan ektopik terganggu yang khas ditandai dengan trias klasik yaitu
amenore, nyeri perut mendadak serta perdarahan pervaginam. 1,10 Gejala ini
umumnya terdapat hanya pada 50% pasien, dan kebanyakan pada pasien yang
telah mengalami ruptur. Nyeri pada abdomen merupakan keluhan yang paling
sering. Dalam buku teks dengan uraian mengenai kasus-kasus kehamilan tuba
yang ruptur, haid yang normal digantikan dengan perdarahan per vaginam yang
agak tertunda dan biasanya disebut dengan istilah “spotting”. Tiba-tiba wanita ini
akan merasakan nyeri abdomen bawah yang hebat dan kerapkali dijelaskan
sebagai rasa nyeri yang tajam, menusuk serta seperti perasaan terobek. Gangguan
vasomotor akan terjadi yang berkisar dari gejala vertigo hingga sinkop. Perabaan
abdomen menunjukkan nyeri tekan, dan pemeriksaan pervaginam, khususnya
ketika serviksnya digerakkan, menimbulkan rasa nyeri yang hebat. Forniks
posterior vagina dapat menonjol karena adanya darah dalam kavum Douglas, dan
adanya benjolan yang nyeri tekan bisa teraba pada salah satu sisi uterus. Keluhan
iritasi diafragma yang ditandai oleh rasa nyeri pada leher atau bahu khususnya
saat inspirasi mungkin terdapat pada 50% wanita dengan perdarahan
intraperitoneum yang cukup banyak. Keadaan ini disebabkan oleh darah
intraperitoneal yang menimbulkan iritasi pada saraf sensorik yang mempersarafi
permukaan inferior diafragma, khususnya saat inspirasi. Wanita tersebut dapat
memperlihatkan gejala hipotensi ketika disuruh berbaring terlentang. Pada kasus-
kasus kehamilan tuba dengan gambaran klinis tersebut diatas, diagnosis tidak
sulit untuk dibuat. Meskipun demikian, gejala dan tanda kehamilan ektopik
sangat tergantung pada lamanya kehamilan ektopik terganggu, abortus atau
ruptur tuba, tuanya kehamilan, derajat pendarahan yang terjadi dan keadaan
umum penderita sebelum hamil. Hal ini menyebabkan gambaran klinis
kehamilan ektopik sangat bervariasi, dari perdarahan yang banyak dan tiba-tiba
dalam rongga perut sampai terdapatnya gejala yang tidak jelas sehingga sukar
membuat diagnosisnya. Adapun gejala dan tanda dari kehamilan ektopik
terganggu yang sering dijumpai ialah sebagai berikut
a. Nyeri perut
Merupakan keluhan utama pada kehamilan ektopik terganggu, yang terjadi
pada kira-kira 90-100% penderita. Nyeri bisa terjadi unilateral atau bilateral
dan bisa terjadi baik pada perut bagian bawah maupun atas. Nyeri juga bisa
dirasakan sebagai nyeri tajam, nyeri tumpul, atau kram serta bisa terus
menerus atau hilang timbul. Pada ruptur tuba, nyeri perut bagian bawah
terjadi secara tiba-tiba dan intensitasnya sangat berat disebabkan oleh darah
yang mengalir ke dalam kavum peritonei. Biasanya pada abortus tuba, nyeri
tidak seberapa hebat dan tidak terus menerus. Rasa nyeri mula-mula terdapat
pada satu sisi, tetapi setelah darah masuk ke dalam rongga perut, rasa nyeri
menjalar ke bagian tengah atau ke seluruh perut bawah. Darah dalam rongga
perut dapat merangsang diafragma, sehingga menyebabkan nyeri bahu dan
bila membentuk hematokel retrouterina dapat ,menyebabkan nyeri saat
defekasi.
b. Perdarahan pervaginam
Perdarahan pervaginam merupakan tanda penting kedua pada kehamilan
ektopik terganggu, kira-kira terjadi pada 60-80% penderita. Perdarahan
biasanya mulai 7-14 hari setelah periode menstruasi yang terlewatkan/tidak
terjadi. Selama fungsi endokrin plasenta masih bertahan, perdarahan uterus
biasanya tidak ditemukan; namun bila dukungan endokrin dari endometrium
sudah tidak memadai lagi, mukosa uterus akan mengalami perdarahan. Hal
ini menunjukkan sudah terjadi kematian janin dan berasal dari kavum uteri
karena pelepasan desidua. Perdarahan yang berasal dari uterus biasanya
sedikit-sedikit, berwarna coklat tua, dan dapat terputus-putus atau terus
menerus . Perdarahan berarti gangguan pembentukan human chorionic
gonadotropin. Jika plasenta mati, desidua dapat dikeluarkan seluruhnya.
c. Amenore
Tidak adanya riwayat terlambat haid bukan berarti kemungkinan kehamilan
tuba dapat disingkirkan. Lamanya amenore tergantung pada kehidupan janin,
sehingga dapat bervariasi. Sebagian penderita tidak mengalami amenore
karena kematian janin sebelum haid berikutnya. Hal ini menyebabkan
frekuensi amenore yang dikemukakan berbagai penulis berkisar antara 23-
97%. Riwayat amenore tidak ditemukan pada seperempat kasus atau lebih.
Salah satu sebabnya adalah karena pasien menganggap perdarahan
pervaginam yang lazim terjadi pada kehamilan tuba sebagai periode haid
yang normal, dan dengan demikian memberikan tanggal haid terakhir yang
keliru. Sumber kesalahan diagnostik yang penting ini dapat diatasi pada
banyak kasus bila riwayat haid ditanyakan dengan teliti. Sifat haid terakhir
harus ditanyakan secara terinci berkenaan dengan waktu mulainya, lamanya
serta banyaknya haid dan dianjurkan pula untuk menanyakan apakah pasien
merasa bahwa haidnya abnormal.
d. Tekanan darah dan denyut nadi
Sebelum terjadi ruptur, tanda vital umumnya normal. Respon awal terhadap
perdarahan bervariasi dari tanpa perubahan tanda vital sampai bradikardi dan
hipotensi. Tekanan darah menurun (sistolik < 90 mmHg), nadi cepat dan
lemah (> 110 kali/menit), pucat, berkeringat dingin, kulit lembab, nafas cepat
(> 30 kali/menit), cemas, kesadaran menurun atau tidak sadar bisa terjadi bila
perdarahan berlangsung terus dan terjadi hipovolemia yang signifikan.
Stabile dan Grudzinskas (1990) melaporkan dari 2400 wanita dengan
kehamilan ektopik, hampir 1-4% dalam keadaan syok.
e. Perubahan uterus
Pada kehamilan ektopik terganggu, uterus juga membesar karena pengaruh
hormon-hormon kehamilan, terutama selama 3 bulan pertama, dimana tetap
terjadi pertumbuhan uterus hingga mencapai ukuran yang hampir mendekati
ukuran uterus pada kehamilan intrauteri. Konsistensinya juga serupa selama
janin masih dalam keadaan hidup. Uterus pada kehamilan ektopik dapat
terdorong ke salah satu sisi oleh massa ektopik tersebut.
10. Penatalaksanaan
Prinsip umum penatalaksanaan kehamilan ektopik terganggu ialah.
a. Segera dibawa ke rumah sakit
b. Transfusi darah dan pemberian cairan untuk mengoreksi anemia dan
hipovolemia.
c. Operasi segera dilakukan setelah diagnosis ditegakkan. Jenis operasi yang
dikerjakan antara lain berupa salpingektomi yang dilakukan pada kehamilan
tuba dan oovorektomi atau salpingoovorektomi pada kehamilan di kornu.
Pada kehamilan di kornu jika pasien berumur >35 tahun sebaiknya dilakukan
histerektomi, bila masih muda sebaiknya dilakukan fundektomi. Pada
kehamilan abdominal, bila kantong gestasi dan plasenta mudah diangkat
sebaiknya diangkat saja tetapi bila besar dan susah diangkat maka anak
dilahirkan dan tali pusat dipotong dekat plasenta, plasenta ditinggalkan dan
dinding perut ditutup.
Penanganan terhadap kehamilan tuba paling sering berupa salpingektomi
untuk mengangkat tuba fallopi yang koyak dan mengalami perdarahan, dengan
atau tanpa ooforektomi ipsilateral. Tujuan penanganan tersebut harus dan tetap
terletak dalam upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu. Akhir-akhir ini,
penanganan terhadap kehamilan ektopik telah berubah dari salpingektomi
menjadi prosedur untuk mempertahankan fungsi tuba. Pembedahan yang
dahulunya lebih radikal akan dijelaskan pertama dan kemudian diikuti dengan
uraian mengenai teknik pembedahan yang lebih baru untuk mempertahankan
kelangsungan fungsi tuba fallopi.
a. Salpingektomi
Dalam pengangkatan tuba fallopi, dianjurkan untuk membuat eksisi
berbentuk baji yang tentu saja tidak lebih dari sepertiga luar pars
interstisialis tuba (tindakan ini dinamakan reseksi kornu), untuk memperkecil
kemungkinan terjadinya kehamilan dalam puntung tuba (jarang dijumpai)
tanpa melemahkan miometrium di tempat eksisi tersebut. Harus dihindari
reseksi yang terlampau luas agar tidak mengenai kavum uteri; kalau tidak,
cacat yang ditimbulkan oleh reseksi akan menimbulkan ruptura uteri pada
kehamilan intrauteri berikutnya. Bahkan dengan reseksi kornu sekalipun,
kehamilan interstisial selanjutnya tidak dapat dicegah.
b. Ooforektomi ipsilateral
Pengangkatan ovarium di sebelahnya pada saat dilakukan salpingektomi
pernah dianjurkan sebagai prosedur yang mungkin dapat memperbaiki
kesuburan penderita maupun menurunkan kemungkinan terjadinya kehamilan
ektopik berikutnya. Dengan demikian, ovulasi selalu akan terjadi dari
ovarium yang paling dekat pada tuba fallopi yang masih tertinggal. Keadaan
ini mempermudah pengambilan ovum oleh tuba dan menghindari
kemungkinan terjadinya migrasi eksterna ovum serta kehamilan ektopik yang
bisa timbul akibat telur yang peripatetik tersebut.
c. Sterilisasi
Sebelum dilakukan pembedahan eksplorasi untuk kecurigaan kehamilan
ektopik, ibu harus ditanya dahulu apakah ia menginginkan kehamilan
selanjutnya. Jika wanita tersebut sudah tidak ingin mempunyai anak lagi dan
kehamilan ektopik yang terjadi merupakan akibat tindakan kontrasepsi yang
gagal, keputusan yang diambil dokter biasanya ke arah tindakan sterilisasi.
Jika diputuskan demikian, dan keadaan pasien baik, dokter dapat
mempertimbangkan histerektomi. Kalau tidak, tubektomi biasanya dapat
dilakukan dengan cepat tanpa meningkatkan risiko. Sebaliknya, semua organ
ini perlu diselamatkan sedapat mungkin pada wanita yang masih ingin hamil
lagi, sekalipun risiko kehamilan ektopik yang akan dihadapinya pada
kehamilan berikutnya cukup besar.
d. Menyelamatkan tuba fallopi
Karena adanya kemungkinan yang besar untuk terjadi kemandulan
setelah kehamilan tuba yang ditangani dengan salpingektomi, cara lain untuk
mengangkat tuba harus dipertimbangkan. Penggunaan teknik diagnostik dan
prosedur pembedahan yang lebih mutakhir untuk mempertahankan tuba yang
rusak akan memberikan hasil akhir yang lebih baik lagi dalam kehamilan
berikutnya. Beberapa tindakan bedah rekonstruksi tuba dibahas dibawah ini:
1) Salpingostomi
Teknik ini digunakan untuk mengangkat kehamilan yang kecil
dengan panjang yang biasanya kurang dari 2 cm dan terletak dalam
sepertiga distal tuba fallopi. Suatu insisi linier sepanjang 2 cm atau
kurang dilakukan pada batas antimesenterik di dekat kehamilan ektopik.
Implantasi ektopik ini biasanya akan menonjol keluar dari lubang insisi
sehingga dapat dikeluarkan dengan hati-hati. Tempat perdarahan
dikendalikan dengan elektrokauter atau laser, dan luka insisi dibiarkan
tanpa penjahitan sampai sembuh sendiri.
2) Salpingotomi
Suatu insisi longitudinal dilakukan pada batas antimesenterik tuba
fallopi langsung di daerah implantasi ektopik. Hasil konsepsi diangkat
dengan forseps atau diisap dengan hati-hati dan tuba yang terbuka lalu
diirigasi dengan larutan ringer laktat (jangan memakai larutan salin
isotonik), sehingga tempat perdarahan dapat dikenali dan dikendalikan
seperti dijelaskan di atas. Penutupan luka yang paling dianjurkan
dilakukan dengan jahitan satu lapis memakai benang vicryl 7-0 yang
dipasang satu persatu.
3) Reseksi segmental dan anastomosis
Prosedur ini dianjurkan untuk kehamilan ektopik yang mengalami
ruptur dalam bagian isthmus tuba, mengingat salpingotomi atau
salpingostomi kemungkinan akan menimbulkan jaringan parut dan
selanjutnya penyempitan lumen tuba yang kecil ini. Setelah segmen tuba
terlihat, mesosalping di bawah tuba diinsisi, dan bagian isthmus tuba
yang berisikan implantasi ektopik tersebut direseksi. Mesosalping lalu
dijahit dan dengan demikian merapatkan kembali kedua puntung tuba.
Segmen tuba tersebut kemudian dianastomosiskan satu sama lain secara
berlapis dengan benang vicryl 7-0 yang dijahit satu per satu (jahitan
terputus); penjahitan ini sebaiknya dilakukan dengan pembesaran. Tiga
jahitan dibuat pada tunika muskularis dan tiga lagi pada tunika serosa
yang dilakukan dengan hati-hati agar tidak mengenai lumen tuba.
Penjahitan lapisan serosa akan menambah kekuatan pada lapisan pertama.
4) Evakuasi fimbria
Pada kehamilan tuba yang implantasinya di bagian distal
diusahakan untuk mengosongkan hasil konsepsi dengan cara ”mengurut”
atau “mengisap” implantasi ektopik tersebut dari dalam lumen tuba.
Tindakan ini tidak dianjurkan karena akan disertai dengan angka
kehamilan ektopik rekuren yang besarnya dua kali lipat bila dibandingkan
dengan salpingotomi. Pada tindakan ini juga terdapat angka pembedahan
reeksplorasi yang tinggi untuk mengatasi perdarahan rekuren akibat
jaringan trofoblastik persisten.
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
4 Agustus 2020 ( pkl 17.02)
Darah Lengkap :
Belum dilakukan
Faal Hemostasis:
belum dilakukan
Pungsi kavum Douglas (kuldosintesis): tidak dilakukan
Tes Kehamilan: PPT (+)
Ultrasonografi (USG):
GS intrauterin (-)
Tanda cairan bebas (+) di cavum abdomen
Kesan: Kehamilan ektopik terganggu
E. DIAGNOSIS BANDING
Kehamilan Ektopik Terganggu (KET)
Abortus imminens
F. DIAGNOSIS KERJA
G1P000 uk 7-8 minggu + Kehamilan Ektopik Terganggu (KET)
G. PENATALAKSANAAN
Terapi. : MRS
Infus RL 28 tetes/menit
Laparatomi cito
Cefotaxim 2 g IV
Persiapan darah
Monitoring : Keluhan
Vital Sign
KIE : Os dan suami tentang kondisi pasien termasuk diagnosa,
tentang rencana tindakan segera beserta manfaat dan resiko
dari tindakan yang akan dilakukan.
Tgl S O A P
4-08-20 Nyeri St present Pasca Tx:
perut (+), TD : 100/60 salfingektomi Transfusi PRC 1 kolf
gatal (+) N : 80 x/mnt dextra ec/ Puasa 6 jam
tampak RR : 20 x/mnt ruptur tuba IVFD ~ anestesi
bentol Tax : 36,8°C pars ismika Cefotaxim 2 x 1g
besar di dextra hari-0 Inj dexamethasone : della
tangan, St general: dbn 1:1 IM
paha.
Ma/mi St ginekologi Mx: Obs Keluhan, Vital
-/-, BAB Abdomen : sign
(-) Distensi (-), BU
BAK (+) (+) N, Nyeri tekan KIE
(+), Luka operasi
kateter) terawat
Flatus (-), Vagina: taa
Diagnosis kehamilan ektopik terganggu (KET) dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang. Berikut adalah perbandingan antara teori dan temuan-temuan klinis yang
dijumpai pada pasien yang mendukung diagnosa KET pada pasien.
No. Teori Pasien
1. Anamnesis Anamnesis
1. Trias klasik KET - Riwayat telat haid (+) dengan
- Amenorea HPHT (20-6-2020)
- Nyeri perut - Nyeri perut mendadak di seluruh
- Perdarahan pervaginam perut bawah yang berat dan terus
2. Tanda-tanda hamil muda menerus.
- Mual-muntah - Flek-flek berwarna kecoklatan
- Rasa tegang pada payudara pagi hari sebelum MRS.
- Mual-mual ringan terutama di
pagi hari sejak mulai merasa telat haid.
2. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan Fisik
1. Tanda-tanda syok: - Dijumpai tanda-tanda syok,
- Tekanan darah menurun keadaan umum pasien lemah dengan
(sistolik < 90 mmHg) tensi menurun (90/60), nadi cepat dan
- Nadi cepat dan lemah (> 110 lemah (112x/mnt), dengan respirasi
kali permenit) masih dalam batas normal. Tampak
- Pucat, berkeringat dingin, kulit pucat, berkeringat dingin, kulit yang
yang lembab lembab.
- Nafas cepat (> 30 kali - Status Ginekologi:
permenit) Abdomen: Fut ttb, distensi (+), BU (+) N,
- Cemas, kesadaran berkurang nyeri (+)
atau tidak sadar. Defance musculare (+)
2. Gejala akut abdomen Tanda cairan bebas (+)
- Nyeri tekan Shifting dullness (+)
- Defance musculare Nyeri tekan (+)
3. Pemeriksaan ginekologi Vagina :
- Servik teraba lunak, (Insp) : Flx (+), fl (-), P (-), livide
- Nyeri goyang, (+)
- Korpus uteri normal atau (VT) : Po: Flx (+), fl (-), P (-),
sedikit membesar, nyeri goyang (+)
- Kavum Douglas menonjol oleh CU: AF
karena terisi darah. b/c > N
AP: massa
-/-, nyeri +/+
CD:
menonjol, nyeri +
Berdasarkan tabel diatas, pada kolom anamnesis dapat dilihat bahwa pasien
memenuhi semua kriteria anamnesis untuk KET. Dari HPHT didapatkan umur kehamilan
pada saat pemeriksaan adalah 7-8 minggu, dan hal ini sesuai dengan literatur yang
menyatakan bahwa sebagian besar kehamilan ektopik pada tuba akan terganggu pada umur
kehamilan antara 6 – 10 minggu.1,3 Hal ini terjadi karena tuba bukan tempat ideal untuk
pertumbuhan hasil konsepsi, dimana pada umur kehamilan 6 – 10 minggu vili korialis dengan
mudah dapat menembus endosalping (karena pembentukan desidua tuba yang tidak
sempurna) dan masuk ke dalam lapisan otot-otot tuba dengan merusak jaringan dan
pembuluh darah. Proses ini selanjutnya akan diikuti dengan terjadinya abortus tuba atau
ruptur dari tuba yang menyebabkan berakhirnya kehamilan.
Dari anamnesis juga didapatkan bahwa pasien mengalami nyeri perut yang mendadak
dan berat. Pada umumnya nyeri seperti ini terjadi pada ruptur tuba akibat darah yang
mengalir deras ke dalam kavum peritonei. Jika yang terjadi adalah abortus tuba, nyeri yang
timbul tidak seberapa hebat dan tidak terus menerus. Rasa nyeri mula-mula terdapat pada satu
sisi, tetapi setelah darah masuk ke dalam rongga perut, rasa nyeri menjalar ke bagian tengah
atau ke seluruh perut bawah. Dari kondisi ini, disimpulkan kemungkinan pasien mengalami
ruptur tuba.
Flek-flek yang dialami oleh pasien merupakan tanda penting kedua pada kehamilan
ektopik. Flek-flek ini merupakan akibat dari perdarahan yang berasal dari uterus. Selama
fungsi endokrin plasenta masih bertahan, perdarahan uterus biasanya tidak ditemukan.
Perdarahan uterus akan terjadi bila dukungan endokrin terhadap endometrium sudah tidak
memadai lagi, dan ini terjadi jika janin telah mati. Pada keadaan telah terjadi kematian janin
pembentukan hormon hCG akan terganggu dan akan diikuti dengan terjadinya pelepasan
desidua yang bermanifestasi dalam bentuk perdarahan uterus.
Pasien juga mengeluhkan adanya mual-mual ringan. Mual-muntah pada awal
kehamilan dipengaruhi oleh peningkatan kadar ß-hCG serum. Akan tetapi masing-masing
wanita hamil memilki respon yang berbeda-beda, tidak semua wanita hamil akan mengalami
mual muntah meskipun kadar ß-hCG serumnya meningkat. Pada umumnya, makin tinggi
peningkatan kadar ß-hCG, mual-muntah yang terjadi akan semakin berat. Jaringan trofoblas,
sebagai penghasil ß-hCG, pada kehamilan ektopik menghasilkan ß-hCG yang lebih rendah
daripada kehamilan intrauterin normal, oleh sebab itulah kejadian mual muntah pada wanita
dengan kehamilan ektopik jarang atau terjadi lebih ringan dibandingkan wanita dengan
kehamilan normal. Hal ini sesuai dengan apa yang dialami oleh pasien.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan keadaan umum pasien lemah yang ditandai dengan
tensi turun, nadi cepat, lemah dan respirasi yang masih dalam batas normal. Hal ini
merupakan tanda bahwa perdarahan ke dalam rongga perut yang masif, komplikasi yang
paling sering terjadi pada pasien dengan KET yakni terjadi syok. Untuk mencegah terjadinya
perburukan kondisi pasien dan juga untuk diagnostik, laparatomi cito merupakan terapi
definitif yang tepat.
Pemeriksaan dalam pada vagina juga mendukung bahwa pasien memang dalam
keadaan hamil (porsio yang livide). Nyeri goyang pada porsio, nyeri pada adneksa dan
parametrium, serta perabaan cavum Douglass yang menonjol dan terasa nyeri , dijumpai pada
lebih dari tiga perempat kasus kehamilan ektopik tuba yang sudah atau sedang mengalami
ruptur. Nyeri goyang pada porsio mendukung adanya rangsangan (iritasi) oleh darah pada
peritoneum. Tidak terdapat massa pada adneksa parametrium. Hal ini bisa terjadi bila sudah
terdapat ruptur dari tuba, didukung lagi oleh adanya nyeri sekitar adneksa. Ditemukan kavum
Doglas dalam keadaan menonjol, menunjukan adanya pendesakan oleh cairan dalam rongga
pelvis, dimana cairan tersebut dapat berupa darah akibat ruptur tuba.
Dari pemeriksaan laboratorium, meskipun hasil pemeriksaan hemoglobin (Hb) saat
pasien baru datang tidak dilakukan, Namun pada pemeriksaan Hb post op didapatkan 4,9.
Dari penurunan kadar Hb ini dapat disimpulkan bahwa telah terjadi perdarahan dalam tubuh
pasien. Pada awal pemeriksaan kadar Hb tidak terlalu turun karena penurunan Hb yang
terjadi akibat diencerkannya darah oleh air dan jaringan untuk mempetahankan volume darah
membutuhkan waktu sekurang-kurangnya 24 jam. Hasil penghitungan leukosit menunjukkan
terjadinya peningkatan kadar leukosit. Perdarahan yang banyak juga menimbulkan naiknya
leukosit, sedangkan pada perdarahan sedikit demi sedikit, leukosit biasanya normal atau
sedikit meningkat ini berguna dalam menegakkan diagnosis kehamilan ektopik terganggu,
terutama bila ada tanda-tanda perdarahan dalam rongga perut. Untuk membedakan kehamilan
ektopik dan infeksi pelvik dapat diperhatikan jumlah leukosit, jika > 20.000 biasanya
menunjukkan adanya infeksi pelvic
Pemeriksaan PPT dengan hasil yang positif dengan ditunjang hasil USG yang
menunjukkan tidak adanya kantong gestasi di intrauterin, dan adanya cairan bebas dalam
kavum abdomen semakin menguatkan diagnosa bahwa pasien dalam keadaan hamil ektopik
yang terganggu (KET).
Khusus mengenai perbedaan hamil ektopik dengan hamil intrauterin, dapat dilihat pada tabel berikut:
Jenis
Klinis Ultrasonografi Biomarker
Kehamilan
Ektopik - Nyeri perut berat, - GS intrauterin (-) - ß-hCG > 1500
mendadak/perlahan,lahan - Tanda cairan mIU/mL
- Perdarahan pervaginam bebas (+) - Progesteron < 5
sedikit-sedikit, berwarna - Massa abnormal ng/mL
kecoklatan di daerah pelvis
- Mual-muntah <<<
Intrauterin - Nyeri perut (-)/ringan dan - GS intrauterin (+) - ß-hCG > 6000
sementara - Endometrial line mIU/mL
- Perdarahan pervaginam, (+) - Progesteron > 25
lebih banyak, warna lebih - Tanda cairan ng/mL
merah bebas (-)
- Mual-muntah >>>
Pemeriksaan penunjang lain yang dilakukan adalah kuldosintesis dengan hasil (+) diaspirasi
darah berwarna kehitaman.
Penatalaksanaa pertama dilakukan tindakan perbaikan keadaan umum dengan
mengatasi kondisi pre syok. Pada pasien diberikan infus RL 28 tetes/menit sampai kondisi
syok teratasi, dengan terus dilakukannya monitoring tanda-tanda vital. Kemudian seharusnya
dilakukan cek Hb serial setiap 2 jam untuk memantau apakah terdapat penurunan Hb.
Apabila Hb < 9 gr/dL maka dilakukan tranfusi PRC. Namun karena kondisi emergency dan
Setelah mendapat persetujuan dari keluarga dilakukan tindakan laparatomi untuk
menghentikan perdarahan yang terjadi oleh karena ruptur tuba. Tindakan laparatomi yang
dilakukan bersifat sebagai alat diagnostik sekaligus terapeutik. Saat abdomen dibuka terdapat
darah kurang lebih sebanyak 2500 cc, hal ini membuktikan adanya perdarahan yang
terkumpul di rongga abdomen. Setelah ditelusuri didapatkan ruptur tuba pars ismika kanan.
Setelah tuba diklem, dilakukan salfingektomi sinistra. Setelah mendapatkan perawatan
selama 4 hari kondisi pasien membaik dan pasien diijinkan untuk pulang.
Pada komplikasi pasien ini ditemukan komplikasi berupa syok yang reversibel.
Komplikasi berupa perlengketan dengan usus tidak terjadi.
Pasien memiliki riwayat KET pada kehamilan pertama. Sebagian wanita menjadi
steril setelah mengalami kehamilan ektopik atau dapat mengalami kehamilan ektopik lagi
pada tuba yang lain. Angka kehamilan ektopik yang berulang dilaporkan antara 0 - 4,6 %.
Kematian karena kehamilan ektopik terganggu cenderung turun dengan diagnosis dini dan
persediaan darah yang cukup. Pada pasien ini, pemulihan berlangsung dengan baik. Pada
pasien telah dilakukan pemeriksaan terhadap tuba kanan, dan didapatkan hasil post
salpingektomi dekstra. Berdasarkan literatur yang ada, hanya 60% wanita yang pernah
mengalami kehamilan ektopik terganggu dapat hamil lagi, apabila tuba yang lain masih
berfungsi normal. Namun pada pasien ini karena sudah pernah mengalami kehamilan ektopik
terganggu pada tuba dekstra sebelumnya, kemungkinan untuk hamil lagi tidak ada.
Menurut jurnal Pricilia, dkk (2015) dengan judul Gambaran Kehamilan Ektopik
Terganggu Di Rsup Prof. Dr. R. D. Kandou Manado Periode 1 Januari 2012 - 31 Desember 2013.
Sebagian besar wanita yang mengalami kehamilan ektopik berumur antara 20-40 tahun dengan
umur rata-rata 30 tahun. Lebih dari 60% kehamilan ektopik terjadi pada wanita 20-30 tahun
dengan sosio-ekonomi rendah dan tinggal didaerah dengan prevalensi gonore dan prevalensi
tuberkulosa yang tinggi.
Menurut jurnal Annissa, dkk (2015) dengan judul Hubungan antara usua, paritas dan
riwayat medic dengan kehamilan ektopik terganggu. Pada penelitian ini didapatkan kasus
kehamilan ektopik terganggu sebanyak 149 kasus. Berdasarkan hasil penelitian yang didapat
tampak bahwa usia ibu dengan kehamilan ektopik terganggu paling banyak usia 20-35 tahun
adalah sebesar 51,4%. Sedangkan untuk kelompok paritas, pada paritas 0 hanya 8,1 %,.
Sedangkan menurut jurnal Kurniawan dan Mutiara (2016) dengan judul kehamilan
ektopik di abdomen. Berdasarkan dari hasil pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang,
pasien didiagnosis kehamilan ektopik terganggu (KET). Pada prinsipnya, kehamilan ektopik
disebabkan oleh segala hal yang menghambat perjalanan zigot menuju kavum uteri. Faktor
mekanis yang menghambat adalah infeksi rongga panggul, perlekatan tuba akibat operasi non
ginekologis seperti apendektomi, alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR), ligasi tuba yang
tidak sempurna, teknik‐teknik reproduktif misalnya fertilisasi in vitro dan penggunaan obat‐
obatan untuk menginduksi ovulasi.6 Faktor fungsional yang juga berperan adalah perubahan
motilitas tuba yang berhubungan dengan faktor hormonal, defek fase luteal dan
meningkatnya usia seorang perempuan.
BAB V
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Kehamilan ektopik ialah suatu kehamilan yang berbahaya bagi wanita yang
bersangkutan, berhubungan dengan besarnya kemungkinan terjadi keadaan yang gawat.
Keadaan gawat ini dapat terjadi apabila kehamilan ektopik terganggu. Kehamilan ektopik
terganggu adalah kehamilan dimana sel telur yang dibuahi berimplantasi dan tumbuh di
luar endometrium kavum uterus dan menimbulkan keadaan gawat. Angka kejadiannya
dari tahun ke tahun cenderung meningkat. Sedangkan faktor-faktor predisposisi yang bisa
menyebabkan kehamilan ektopik ini antara lain gangguan transportasi hasil konsepsi,
kelainan hormonal dan penyebab yang masih diperdebatkan.
Untuk menegakkan diagnosis kehamilan ektopik terganggu selain berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan ginekologis kita juga perlu membedakannya
dengan keadaan patologi lainnya yang memberikan gambaran yang hampir sama seperti
infeksi pelvis, abortus iminens atau insipiens, kista folikel dan korpus luteum yang pecah,
kista ovarium dengan putaran tangkai dan apendisitis.
Kalau diagnosis sudah ditegakkan maka harus dioperasi. Operasi dilakukan sesuai
dengan lokasi dari kehamilan ektopik terganggu. Komplikasi yang dapat ditimbulkan oleh
kehamilan ektopik terganggu adalah terjadi syok irreversibel, perlekatan dan obstruksi
usus. Untuk wanita dengan anak cukup sebaiknya pada operasi dilakukan salpingektomi
bilateral untuk mencegah kehamilan ektopik berulang.
DAFTAR PUSTAKA