Anda di halaman 1dari 43

MAKALAH

KEPERAWATAN GAWAT DARURAT TENTANG


KEHAMILAN EKTOPIK TERGANGGU

DI SUSUN OLEH :

KELOMPOK 4

IRMA NANDA PRATAMA


MAULIDIYAH NURVITASARI
KHAIRUL PUTRIANA
MIFTAHUL ASRO ASARI ALFAN
MAS AYU OCTIN
KURNIATILLAH
M ZAINUDIN B
LALU YUAN A
LALU ARIFUDIN
LIA ZARIFA

YAYASAN RUMAH SAKIT ISLAM NUSA TENGGARA BARAT


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN YARSI MATARAM
PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN
2017

1
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb

Puji serta syukur marilah kita panjatkan kepada kehadirat Allah SWT.
Yang telah memberikan begitu banyak nikmat yang mana makhluk-nya pun tidak
akan menyadari begitu banyak nikmat yang telah didapatkan dari ALLAH SWT.
Selain itu penulis juga merasa sangat bersyukur karena telah mendapatkan
hidayahnya baik iman maupun islam. Dengan nikmat dan hidayahnya pula kami
dapat menyelesaikan tugas mata kuliah Keperawatan Gawat Darurat ini. Penulis
juga menyadari dalam makala ini masih banyak kekurangan dan kesalahan baik
dari isinya maupun dari struktur penulisannya, oleh karena itu penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran positif untuk perbaikan di kemudian hari.

Dengan demikian semoga makalah ini dapat memberikan manfaat


umumnya pada para pembaca dan khususnya bagi penulis sendiri.

Wassalamu’alaikum wr.wb

Mataram, 09 Januari 2018

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

1.2 Tujuan

BAB 2 PEMBAHASAN

2.1 Konsep Dasar Penyakit


2.1.1 Pengertian
2.1.2 Klasifikasi
2.1.3 Epidemiologi
2.1.4 Etiologi
2.1.5 Patofisiologi
2.1.6 Manifstasi klinis
2.1.7 Komplikasi
2.1.8 Penatalaksanaan
2.1.9 Prognosis
2.2 Asuhan Keperawatan
2.2.1 Pengkajian
2.2.2 Diagnosa Keperawatan
2.2.3 Intervensi Keperawatan
2.2.4 Implementasi Keperawatan
2.2.5 Evaluassi Keperawatan
BAB 3 PENUTUP
3.1 Kesimpulan

3.2 Saran

DAFTAR PUSTAKA

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Kehamilan ektopik adalah kehamilan yang berbahaya bagi wanita yang

bersangkutan berhubungan dengan besarnya kemungkinan terjadi keadaan

yang gawat.Keadaan yang gawat ini dapat terjadi apabila kehamilan ektopik

terganggu.

Kehamilan ektopik ialah kehamilan, dengan ovum yang dibuahi,

berimplantasi dan tumbuh tidak di tempat yang normal yakni dalam

endometrium kavum uteri. Istilah kehamilan ektopik lebih tepat daripada

istilah ekstrauterin yang sekarang masih juga banyak dipakai, oleh karena

terdapat beberapa jenis kehamilan ektopik yang berimplantasi dalam uterus

tetapi tidak pada tempat yang normal, misalnya kehamilan pada pars

interstisialis tuba dan kehamilan pada serviks uteri. Kehamilan ektopik

terganggu merupakan peristiwa yang dapat dihadapi oleh stiap dokter, karena

sangat beragamnya gambaran klinik kehamilan ektopikterganggu itu.Tidak

jarang yang menghadapi penderita untuk pertama kali adalah dokter umum

atau dokter ahli lainnya, maka dari itu, perlu diketahui setiap setiap dokter

klinikkehamilan optic terganggu serta diagnosis diferensialnya. Hal yang

perlu diingat adalah bahwa setiap wanita dalam masa reproduksi dengan

gangguan atau keterlambatan haid yang disertai dengan nyeri perut bagian

bawa, perlu difikirkan kehamilan ektopik terganggu.

4
Gejala yang muncul pada kehamilan ektopik terganggu tergantung

lokasi dari implantasi. Dengan adanya implantasi dapat meningkatkan

vaskularisasi di tempat tersebut dan berpotensial menimbulkan ruptur organ,

terjadi perdarahan masif, infertilitas, dan kematian. Hal ini dapat

mengakibatkan meningkatnya angka mortalitas dan morbiditas Ibu jika tidak

mendapatkan penanganan secara tepat dan cepat.

Insiden kehamilan ektopik terganggu semakin meningkat pada semua

wanita terutama pada mereka yang berumur lebih dari 30 tahun. Selain itu,

adanya kecenderungan pada kalangan wanita untuk menunda kehamilan

sampai usia yang cukup lanjut menyebabkan angka kejadiannya semakin

berlipat ganda.

1.2 TUJUAN

1.2.1 Tujuan umum

Menjelaskan pengertian dari kehamilan etopik serta menyebabkan

terjadinya kehamilan ektopik

1.2.2 Tujuan khusus

Adapun tujuan khusus dari penulisan makalah ini :

a. Mahasiswa memahami anatomi fisiologi dari kehamilan ektpik

b. Mahasiswa mampu memahami tentang pengertian kehamilan

ektopik

c. Mahasiswa mampu memahami tentng klasifikasi dari kehamilan

ektopik

5
d. Mahasiswa mampu memahami tentang manifestasi klinis dari

kehamilan ektopik

e. Mahasiswa mampu memahami tentang tanda dan gejala dari

kehamilan ektopik

f. Mahasiswa mampu memahami tentang komplikasi kehamilan

ektopik

g. Mahasiswa memahami tentang patofisiologi dari kehamilan ektopik

h. Mahasiswa mampu memahami tentang penatalaksanaan dari

kehamilan ektopik

6
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 KONSEP PENYAKIT

2.1.1 PENGERTIAN

Kehamilan ektopik adalah kehamilan yang tempat implantasi/

nidasi/ melekatnya buah kehamilan di luar tempat yang normal, yakni

di luar rongga rahim Sedangkan yang disebut sebagai kehamilan

ektopik terganggu adalah suatu kehamilan ektopik yang mengalami

abortus ruptur pada dinding tuba (Wibowo, 2007). Pembagian menurut

lokasi :

a. Kehamilan ektopik tuba: pars interstisialis, isthmus, ampulla,

infundibulum, fimbria.

b. Kehamilan ektopik uterus: kanalis servikalis, divertikulum, kornu,

tanduk rudimenter.

c. Kehamilan ektopik ovarium

d. Kehamilan ektopik intraligamenter

e. Kehamilan ektopik abdominal

f. Kombinasi kehamilan dalam dan luar uterus Kehamilan ektopik

yang paling banyak terjadi adalah di tuba, hal ini disebabkan oleh

adanya hambatan perjalanan ovum yang telah dibuahi ke kavum

uteri, hal ini dapat disebabkan karena :

a. Adanya sikatrik pada tuba

7
b. Kelainan bawaan pada tuba

c. Gangguan fisiologis pada tuba karena pengaruh hormonal

(Prawirohardjo, 2005).

2.1.2 KLASIFIKASI KEHAMILAN EKTOPIK

a. Kehamilan Abdominal

Hampir semua kasus kehamilan abdominal merupakan

kehamilan ektopik sekunder akibat ruptur atau aborsi kehamilan tuba

atau ovarium ke dalam rongga abdomen. Implantasi primer di dalam

rongga abdomen amatlah jarang. Mortalitas akibat kehamilan

abdominal tujuh kali lebih tinggi daripada kehamilan tuba, dan 90

kali lebih tinggi daripada kehamila intrauterin. Morbiditas maternal

dapat disebabkan perdarahan, infeksi, anemia, koagulasi

intravaskular diseminata (DIC), emboli paru atau terbentuknya

fistula antara kantong amnion dengan usus. Pada kehamilan

abdominal yang khas, plasenta yang telah menembus dinding tuba

secara bertahap membuat perlekatan baru dengan jaringan serosa di

sekitarnya, namun juga mempertahankan perlekatannya dengan tuba.

Pada beberapa kasus, setelah ruptur tuba plasenta mengadakan

implantasi di tempat yang terpisah dari tuba dalam rongga abdomen.

Kehamilan abdominal dapat juga terjadi akibat ruptur bekas insisi

seksio sesaria, dan pada kasus ini kehamilan berlanjut di balik plika

vesikouterina. Diagnosis kehamilan abdominal berawal dari indeks

kecurigaan yang tinggi. Temuan-temuan ultrasonografik berikut,

meskipun tidak patognomonis, harus segera membuat kita berpikir

8
akan suatu kehamilan abdominal: 1) tidak tampaknya dinding uterus

antara kandung kemih dengan janin, 2) plasenta terletak di luar

uterus, 3) bagian-bagian janin dekat dengan dinding abdomen ibu, 4)

letak janin abnormal, dan 5) tidak ada cairan amnion antara plasenta

dan janin. MRI dan CT-scan dapat memberikan visualisasi yang jauh

lebih baik daripada USG.

Kehamilan ekstrauterin lanjut memiliki peluang kelahiran

hidup sebesar 10-25%, namun angka malformasi kongenital pada

bayi ekstrauterin cukup tinggi akibat oligohidramnios, dan hanya

50%-nya dapat bertahan hidup lebih dari satu minggu. Kelainan

kongenital yang ditemukan umumnya berupa abnormalitas wajah,

kranium dan ekstremitas. Kehamilan abdominal pula memberikan

ancaman-ancaman kesehatan bagi si ibu. Oleh sebab itu, terminasi

sedini mungkin sangat dianjurkan. Janin yang mati namun terlalu

besar untuk diresorbsi dapat mengalami proses supurasi, mumifikasi

atau kalsifikasi. Karena letak janin yang sangat dekat dengan traktus

gastrointestinal, bakteri dengan mudah mencapai janin dan

berkembang biak dengan subur. Selanjutnya, janin akan mengalami

supurasi, terbentuk abses, dan abses tersebut dapat ruptur sehingga

terjadi peritonitis. Bagian-bagian janin pun dapat merusak organ-

organ ibu di sekitarnya. Pada satu atau dua kasus yang telah

dilaporkan, janin yang mati mengalami proses mumifikasi, menjadi

lithopedion, dan menetap dalam rongga abdomen selama lebih dari

15 tahun. Penanganan kehamilan abdominal sangat berisiko tinggi.

9
Penyulit utama adalah perdarahan yang disebabkan

ketidakmampuan tempat implantasi plasenta untuk mengadakan

vasokonstriksi seperti miometrium. Sebelum operasi, cairan

resusitasi dan darah harus tersedia, dan pada pasien harus terpasang

minimal dua jalur intravena yang cukup besar. Pengangkatan

plasenta membawa masalah tersendiri pula. Plasenta boleh diangkat

hanya jika pembuluh darah yang mendarahi implantasi plasenta

tersebut dapat diidentifikasi dan diligasi. Karena hal tersebut tidak

selalu dapat dilaksanakan, dan lepasnya plasenta sering

mengakibatkan perdarahan hebat, umumnya plasenta ditinggalkan in

situ. Pada sebuah laporan kasus, plasenta yang lepas sebagian

terpaksa dijahit kembali karena perdarahan tidak dapat dihentikan

dengan berbagai macam manuver hemostasis. Dengan ditinggalkan

in situ, plasenta diharapkan mengalami regresi dalam 4 bulan.

Komplikasi-komplikasi yang sering terjadi adalah ileus, peritonitis,

pembentukan abses intraabdomen dan infeksi organ-organ sekitar

plasenta, serta preeklamsia persisten. Regresi plasenta dimonitor

dengan -hCG serum. Pemberianbpencitraan ultrasonografi dan

pengukuran kadar methotrexate untuk mempercepat involusi

plasenta tidak dianjurkan, karena degradasi jaringan plasenta yang

terlalu cepat akan menyebabkan akumulasi jaringan nekrotik, yang

selanjutnya dapat mengakibatkan sepsis. Embolisasi per angiografi

arteri-arteri yang mendarahi tempat implantasi plasenta adalah

sebuah alternatif yang baik.

10
b. Kehamilan Ovarium

Kehamilan ektopik pada ovarium jarang terjadi. Pada tahun

1878, Spiegelberg merumuskan criteria diagnosis kehamilan

ovarium: 1) tuba pada sisi ipsilateral harus utuh, 2) kantong gestasi

harus menempati posisi ovarium, 3) ovarium dan uterus harus

berhubungan melalui ligamentum ovarii, dan 4) jaringan ovarium

harus ditemukan dalam dinding kantong gestasi. Secara umum faktor

risiko kehamilan ovarium sama dengan faktor risiko kehamilan tuba.

Meskipun daya akomodasi ovarium terhadap kehamilan lebih besar

daripada daya akomodasi tuba, kehamilan ovarium umumnya

mengalami ruptur pada tahap awal.

Manifestasi klinik kehamilan ovarium menyerupai manifestasi

klinik kehamilan tuba atau perdarahan korpus luteum. Umumnya

kehamilan ovarium pada awalnya dicurigai sebagai kista korpus

luteum atau perdarahan korpus luteum. Kehamilan ovarium

terganggu ditangani dengan pembedahan yang sering kali mencakup

ovariektomi. Bila hasil konsepsi masih kecil, maka reseksi parsial

ovarium masih mungkin dilakukan. Methotrexate dapat pula

digunakan untuk terminasi kehamilan ovarium yang belum

terganggu.

c. Kehamilan Serviks

Kehamilan serviks juga merupakan varian kehamilan ektopik

yang cukup jarang. Etiologinya masih belum jelas, namun beberapa

kemungkinan telah diajukan. Burg mengatakan bahwa kehamilan

11
serviks disebabkan transpor zigot yang terlalu cepat, yang disertai

oleh belum siapnya endometrium untuk implantasi. Dikatakan pula

bahwa instrumentasi dan kuretase mengakibatkan kerusakan

endometrium sehingga endometrium tidak lagi menjadi tempat

nidasi yang baik. Sebuah pengamatan pada 5 kasus kehamilan

serviks mengindikasikan adanya hubungan antara kehamilan serviks

dengan kuretase traumatik dan penggunaan IUD pada sindroma

Asherman. Hubungan serupa juga tercermin pada fakta bahwa

Jepang, di mana angka kuretase juga tinggi, memiliki angka

kehamilan serviks yang tertinggi di antara negara-negara lain.

Kehamilan serviks juga berhubungan dengan fertilisasi in-vitro

dan transfer embrio. Pada kehamilan serviks, endoserviks tererosi

oleh trofoblas dan kehamilan berkembang dalam jaringan fibrosa

dinding serviks. Lamanya kehamilan tergantung pada tempat nidasi.

Semakin tinggi tempat nidasi di kanalis servikalis, semakin besar

kemungkinan janin dapat tumbuh dan semakin besar pula tendensi

perdarahan hebat. Perdarahan per vaginam tanpa rasa sakit dijumpai

pada 90% kasus, dan sepertiganya mengalami perdarahan hebat.

Kehamilan serviks jarang melewati usia gestasi 20 minggu. Prinsip

dasar penanganan kehamilan serviks, seperti kehamilan ektopik

lainnya, adalah evakuasi. Karena kehamilan serviks jarang melewati

usia gestasi 20 minggu, umumnya hasil konsepsi masih kecil dan

dievakuasi dengan kuretase. Namun evakuasi hasil konsepsi pada

kehamilan serviks sering kali mengakibatkan perdarahan hebat

12
karena serviks mengandung sedikit jaringan otot dan tidak mampu

berkontraksi seperti miometrium. Bila perdarahan tidak terkontrol,

sering kali histerektomi harus dilakukan. Hal ini menjadi dilema,

terutama bila pasien ingin mempertahankan kemampuan

reproduksinya.

Beberapa metode-metode nonradikal yang digunakan sebagai

alternatif histerektomi antara lain pemasangan kateter Foley, ligasi

arteri hipogastrika dan cabang desendens arteri uterina, embolisasi

arteri dan terapi medis. Kateter Foley dipasang pada kanalis

servikalis segera setelah kuretase, dan balon kateter segera

dikembangkan untuk mengkompresi sumber perdarahan. Selanjutnya

vagina ditampon dengan kasa. Beberapa pakar mengusulkan

penjahitan serviks pada jam 3 dan 9 untuk tujuan hemostasis

(hemostatic suture) sebelum dilakukan kuretase. Embolisasi

angiografik arteri uterina adalah teknik yang belakangan ini

dikembangkan dan memberikan hasil yang baik, seperti pada sebuah

laporan kasus kehamilan serviks di Italia24. Sebelum kuretase

dilakukan, arteri uterina diembolisasi dengan fibrin, gel atau kolagen

dengan bantuan angiografi. Pada kasus tersebut, perdarahan yang

terjadi saat dan setelah kuretase tidak signifikan. Seperti pada

kehamilan tuba, methotrexate pun digunakan untuk terminasi

kehamilan serviks.

Methotrexate adalah modalitas terapeutik yang pertama kali

digunakan setelah diagnosis kehamilan serviks ditegakkan. Namun

13
pada umumnya methotrexate hanya memberikan hasil yang baik bila

usia gestasi belum melewati 12 minggu. Methotrexate dapat

diberikan secara intramuskular, intraarterial maupun intraamnion.

d. Kehamilan Ektopik Heterotipik

Kehamilan ektopik di sebuah lokasi dapat koeksis dengan

kehamilan intrauterin. Kehamilan heterotipik ini sangat langka.

Hingga satu dekade yang lalu insidens kehamilan heterotipik adalah

1 dalam 30,000 kehamilan, namun dikatakan bahwa insidensnya

sekarang telah meningkat menjadi 1 dalam 7000, bahkan 1 dalam

900 kehamilan, berkat perkembangan teknik-teknik reproduksi.

Kemungkinan kehamilan heterotipik harus dipikirkan pada kasus-

kasus sebagai berikut: 1) assisted reproduction technique, 2) bila

hCG tetap tinggi atau meningkat setelah dilakukan kuretase pada

abortus, 3) bila tinggi fundus uteri melampaui tingginya yang sesuai

dengan usia gestasi, 4) bila terdapat lebih dari 2 korpus luteum, 5)

bila terdeteksi pada USG adanya kehamilan ektra- dan intrauterin

2.1.3 EPIDEMIOLOGI

Insidens kehamilan ektopik yang sesungguhnya sulit ditetapkan.

Meskipun secara kuantitatif mortalitas akibat KET berhasil ditekan,

persentase insidens dan prevalensi KET cenderung meningkat dalam

dua dekade ini. Dengan berkembangan alat diagnostik canggih, semakin

banyak kehamilan ektopik yang terdiagnosis sehingga semakin tinggi

pula insidens dan prevalensinya. Keberhasilan kontrasepsi pula

meningkatkan persentase kehamilan ektopik, karena keberhasilan

14
kontrasepsi hanya menurunkan angka terjadinya kehamilan uterin,

bukan kehamilan ektopik. Meningkatnya prevalensi infeksi tuba juga

meningkatkan keterjadian kehamilan ektopik. Selain itu, perkembangan

teknologi di bidang reproduksi, seperti fertilisasi in vitro, ikut

berkontribusi terhadap peningkatan frekuensi kehamilan ektopik. Di

Amerika Serikat, kehamilan ektopik terjadi pada 1 dari 64 hingga 1 dari

241 kehamilan, dan 85-90% kasus kehamilan ektopik didapatkan pada

multigravida.

2.1.4 ETIOLOGI

Semua faktor yang menghambat migrasi embrio ke kavum uteri

menyebabkan seorang ibu semakin rentan untuk menderita kehamilan

ektopik, yaitu :

a. Faktor dalam lumen tuba:

1) Endosalpingitis, menyebabkan terjadinya penyempitan lumen

tuba

2) Hipoplasia uteri, dengan lumen tuba menyempit dan berkelok-

kelok

3) Operasi plastik tuba dan sterilisasi yang tidak sempurna

b. Faktor pada dinding tuba:

1) Endometriosis, sehingga memudahkan terjadinya implantasi di

tuba

2) Divertikel tuba kongenital, menyebabkan retensi ovum.

c. Faktor di luar dinding tuba:

15
1) Perlekatan peritubal dengan distorsi atau lekukan tuba

2) Tumor yang menekan dinding tuba

3) Pelvic Inflammatory Disease (PID)

d. Faktor lain:

1) Hamil saat berusia lebih dari 35 tahun

2) Fertilisasi in vitro

3) Penggunaan Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR)

4) Riwayat kehamilan ektopik sebelumnya

5) Infertilitas

6) Mioma uteri

7) Hidrosalping (Rachimhadhi, 2005).

2.1.5 PATOFISIOLOGI

Tempat-tempat implantasi kehamilan ektopik antara lain

ampulla tuba (lokasi tersering), isthmus, fimbriae, pars interstitialis,

kornu uteri, ovarium, rongga abdomen, serviks dan ligamentum

kardinal. Zigot dapat berimplantasi tepat pada sel kolumnar tuba

maupun secara interkolumnar.

Pada keadaan yang pertama, zigot melekat pada ujung atau sisi

jonjot endosalping yang relatif sedikit mendapat suplai darah, sehingga

zigot mati dan kemudian diresorbsi. Pada implantasi interkolumnar,

zigot menempel di antara dua jonjot. Zigot yang telah bernidasi

kemudian tertutup oleh jaringan endosalping yang menyerupai desidua,

yang disebut pseudokapsul. Villi korialis dengan mudah menembus

16
endosalping dan mencapai lapisan miosalping dengan merusak

integritas pembuluh darah di tempat tersebut. Selanjutnya, hasil

konsepsi berkembang, dan perkembangannya tersebut dipengaruhi oleh

beberapa faktor, yaitu tempat implantasi, ketebalan tempat implantasi

dan banyaknya perdarahan akibat invasi trofoblas.

Seperti kehamilan normal, uterus pada kehamilan ektopik pun

mengalami hipertrofi akibat pengaruh hormon estrogen dan

progesteron, sehingga tanda-tanda kehamilan seperti tanda Hegar dan

Chadwick pun ditemukan. Endometrium pun berubah menjadi desidua,

meskipun tanpa trofoblas. Sel-sel epitel endometrium menjadi

hipertrofik, hiperkromatik, intinya menjadi lobular dan sitoplasmanya

bervakuol. Perubahan selular demikian disebut sebagai reaksi Arias-

Stella.

Karena tempat implantasi pada kehamilan ektopik tidak ideal

untuk berlangsungnya kehamilan, suatu saat kehamilan ektopik tersebut

akan terkompromi. Kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi pada

kehamilan ektopik adalah:

1) hasil konsepsi mati dini dan diresorbsi,

2) abortus ke dalam lumen tuba, dan

3) ruptur dinding tuba.

Abortus ke dalam lumen tuba lebih sering terjadi pada

kehamilan pars ampullaris, sedangkan ruptur lebih sering terjadi pada

kehamilan pars isthmica. Pada abortus tuba, bila pelepasan hasil

17
konsepsi tidak sempurna atau tuntas, maka perdarahan akan terus

berlangsung. Bila perdarahan terjadi sedikit demi sedikit, terbentuklah

mola kruenta. Tuba akan membesar dan kebiruan (hematosalping), dan

darah akan mengalir melalui ostium tuba ke dalam rongga abdomen

hingga berkumpul di kavum Douglas dan membentuk hematokel

retrouterina.

Pada kehamilan di pars isthmica, umumnya ruptur tuba terjadi

lebih awal, karena pars isthmica adalah bagian tuba yang paling sempit.

Pada kehamilan di pars interstitialis ruptur terjadi lebih lambat (8-16

minggu) karena lokasi tersebut berada di dalam kavum uteri yang lebih

akomodatif, sehingga sering kali kehamilan pars interstitialis disangka

sebagai kehamilan intrauterin biasa.

Perdarahan yang terjadi pada kehamilan pars interstitialis cepat

berakibat fatal karena suplai darah berasal dari arteri uterina dan

ovarika. Oleh sebab itu kehamilan pars interstitialis adalah kehamilan

ektopik dengan angka mortalitas tertinggi. Kerusakan yang melibatkan

kavum uteri cukup besar sehingga histerektomi pun diindikasikan.

Ruptur, baik pada kehamilan fimbriae, ampulla, isthmus maupun pars

interstitialis, dapat terjadi secara spontan maupun akibat trauma ringan,

seperti koitus dan pemeriksaan vaginal. Bila setelah ruptur janin

terekspulsi ke luar lumen tuba, masih terbungkus selaput amnion dan

dengan plasenta yang masih utuh, maka kehamilan dapat berlanjut di

rongga abdomen. Untuk memenuhi kebutuhan janin, plasenta dari tuba

18
akan meluaskan implantasinya ke jaringan sekitarnya, seperti uterus,

usus dan ligamen (Rachimhadhi, 2005).

2.1.6 MANIFESTASI KLINIS

Trias gejala dan tanda dari kehamilan ektopik adalah riwayat

keterlambatan haid atau amenorrhea yang diikuti perdarahan abnormal

(60-80%), nyeri abdominal atau pelvik (95%). Biasanya kehamilan

ektopik baru dapat ditegakkan pada usia kehamilan 6 – 8 minggu saat

timbulnya gejala tersebut di atas. Gejala lain yang muncul biasanya

sama seperti gejala pada kehamilan muda, seperti mual, rasa penuh

pada payudara, lemah, nyeri bahu, dan dispareunia. Selain itu pada

pemeriksaan fisik didapatkan pelvic tenderness, pembesaran uterus dan

massa adneksa. (Saifiddin, 2002; Cunningham et al, 2005).

2.1.7 DIAGNOSIS

` Diagnosis kehamilan ektopik terganggu tentunya ditegakkan

dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. KET

harus dipikirkan bila seorang pasien dalam usia reproduktif

mengeluhkan nyeri perut bawah yang hebat dan tiba-tiba, ataupun nyeri

perut bawah yang gradual, disertai keluhan perdarahan per vaginam

setelah keterlambatan haid, dan pada pemeriksaan fisik ditemukan

tanda-tanda akut abdomen, kavum Douglas menonjol, nyeri goyang

porsio, atau massa di samping uterus. Adanya riwayat penggunaan

AKDR, infeksi alat kandungan, penggunaan pil kontrasepsi progesteron

dan riwayat operasi tuba serta riwayat faktor-faktor risiko lainnya

19
memperkuat dugaan KET. Namun sebagian besar pasien menyangkal

adanya faktor-faktor risiko tersebut di atas.

Bila pada pemeriksaan ultrasonografi ditemukan kantong gestasi

dengan denyut jantung janin dengan kavum uteri yang kosong, maka

diagnosis pasti dapat ditegakkan. USG transvaginal dapat mendeteksi

tubal ring (massa berdiameter 1-3 cm dengan pinggir ekhogenik yang

mengelilingi pusat yang hipoekhoik); gambaran tersebut cukup spesifik

untuk kehamilan ektopik. USG transvaginal juga memungkinkan

evaluasi kavum pelvis dengan lebih baik, termasuk visualisasi cairan di

kavum Douglas dan massa pelvis.

Kadar hCG membantu penegakan diagnosis, meskipun tidak ada

konsensus mengenai kadar hCG yang sugestif untuk kehamilan ektopik.

Kehamilan ektopik dapat dibedakan dari kehamilan normal dengan

pemeriksaan kadar hCG secara serial. Pada usia gestasi 6-7 minggu,

kadar hCG serum meningkat dua kali lipat setiap 48 jam pada

kehamilan intrauterin normal. Peningkatan yang subnormal (< 66%)

dijumpai pada 85% kehamilan yang nonviable, dan peningkatan

sebanyak 20% sangat prediktif untuk kehamilan nonviable. Fenomena

ini, bila disertai dengan terdeteksinya kavum uteri yang kosong,

mengindikasikan adanya kehamilan ektopik. Secara klinis, penegakan

diagnosis KET dengan pemantauan kadar hCG serial tidak praktis,

karena dapat mengakibatkan keterlambatan diagnosis. Selain itu,

peningkatan kadar hCG serum dua kali lipat setiap 48 jam tidak lagi

20
terjadi setelah minggu ke-7 kehamilan. Oleh sebab itu, umumnya yang

diperiksakan adalah hCG kualitatif untuk diagnosis cepat kehamilan.

Dengan adanya USG dan pemeriksaan kadar hCG yang lebih

akurat, kuldosentesis sudah tidak terlalu sering dilakukan. Meskipun

demikian, tindakan tersebut masih dilakukan bila tidak ada fasilitas

USG atau bila pada pemeriksaan USG kantong gestasi tidak berhasil

terdeteksi. Kadar progesteron pada kehamilan nonviable memang

menurun, namun penurunan kadar progesteron tersebut tidak dapat

membedakan kehamilan ektopik dari abortus insipiens.

Diagnosis juga dapat ditegakkan secara bedah (surgical

diagnosis). Kuretase dapat dikerjakan untuk membedakan kehamilan

ektopik dari abortus insipiens atau abortus inkomplet. Kuretase tersebut

dianjurkan pada kasus-kasus di mana timbul kesulitan membedakan

abortus dari kehamilan ektopik dengan kadar progesteron serum di

bawah 5 ng/ml, β-hCG meningkat abnormal (< 2000 mU/mL) dan

kehamilan uterin tidak terdeteksi dengan USG transvaginal. Diagnosis

secara bedah juga dapat dilakukan dengan laparoskopi dan laparotomi.

Laparotomi umumnya dikerjakan bila keadaan hemodinamik pasien

tidak stabil.

2.1.8 KOMPLIKASI

a. Infeksi pelvik

b. Abortus iminens atau insipiens

c. Torsi kista ovarium

21
d. Ruptur korpus luteum

e. Appendisitis akut (Wibowo, 2007; Cunningham et al, 2005).

2.1.9 PENATALAKSANAAN

1. Penatalaksanaan Medis

Pada penatalaksanaan medis digunakan zat-zat yang dapat

merusak integritas jaringan dan sel hasil konsepsi. Tindakan

konservativ medik dilakukan dengan pemberian methotrexate.

Methotrexate adalah obat sitotoksik yang sering digunakan untuk

terapi keganasan, termasuk penyakit trofoblastik ganas. Pada

penyakit trofoblastik, methotrexate akan merusak sel-sel trofoblas,

dan bila diberikan pada pasien dengan kehamilan ektopik,

methotrexate diharapkan dapat merusak sel-sel trofoblas sehingga

menyebabkan terminasi kehamilan tersebut.

Methotrexate dapat diberikan dalam dosis tunggal maupun

dosis multipel. Dosis tunggal yang diberikan adalah 50 mg/m2

(intramuskular), sedangkan dosis multipel yang diberikan adalah

sebesar 1 mg/kg (intramuskular) pada hari pertama, ke-3, 5, dan

hari ke-7. Pada terapi dengan dosis multipel leukovorin

ditambahkan ke dalam regimen pengobatan dengan dosis 0.1

mg/kg (intramuskular), dan diberikan pada hari ke-2, 4, 6 dan 8.

Terapi methotrexate dosis multipel tampaknya memberikan efek

negatif pada patensi tuba dibandingkan dengan terapi methotrexate

dosis tunggal 9. Methotrexate dapat pula diberikan melalui injeksi

per laparoskopi tepat ke dalam massa hasil konsepsi. Terapi

22
methotrexate dosis tunggal adalah modalitas terapeutik paling

ekonomis untuk kehamilan ektopik yang belum terganggu.

Kandidat-kandidat penerima tatalaksana medis harus memiliki

syarat-syarat berikut ini:

1) keadaan hemodinamik yang stabil dan tidak ada tanda robekan

dari tuba,

2) tidak ada aktivitas jantung janin,

3) diagnosis ditegakkan tanpa memerlukan laparaskopi,

4) diameter massa ektopik < 3,5 cm,

5) kadar tertinggi β-hCG < 15.000mIU/ ml,

6) harus ada informed consent dan mampu mengikuti follow up,

serta

7) tidak memiliki kontraindikasi terhadap pemberian methotrexate..

2. Penatalaksanaan Bedah

Penatalaksanaan bedah dapat dikerjakan pada pasien-pasien

dengan kehamilan tuba yang belum terganggu maupun yang sudah

terganggu. Tentu saja pada kehamilan ektopik terganggu,

pembedahan harus dilakukan secepat mungkin.

a) Salpingostomi

Salpingostomi adalah suatu prosedur untuk mengangkat hasil

konsepsi yang berdiameter kurang dari 2 cm dan berlokasi di

sepertiga distal tuba fallopii. Pada prosedur ini dibuat insisi

linear sepanjang 10-15 mm pada tuba tepat di atas hasil

konsepsi, di perbatasan antimesenterik. Setelah insisi hasil

23
konsepsi segera terekspos dan kemudian dikeluarkan dengan

hati-hati. Perdarahan yang terjadi umumnya sedikit dan dapat

dikendalikan dengan elektrokauter. Insisi kemudian dibiarkan

terbuka (tidak dijahit kembali) untuk sembuh per sekundam.

Prosedur ini dapat dilakukan dengan laparotomi maupun

laparoskopi. Metode per laparoskopi saat ini menjadi gold

standard untuk kehamilan tuba yang belum terganggu.

b) Salpingotomi

Pada dasarnya prosedur ini sama dengan salpingostomi,

kecuali bahwa pada salpingotomi insisi dijahit kembali.

Beberapa literatur menyebutkan bahwa tidak ada perbedaan

bermakna dalam hal prognosis, patensi dan perlekatan tuba

pascaoperatif antara salpingostomi dan salpingotomi.

c) Salpingektomi

Salpingektomi diindikasikan pada keadaan-keadaan

berikut ini:

1) kehamilan ektopik mengalami ruptur (terganggu),

2) pasien tidak menginginkan fertilitas pascaoperatif,

3) terjadi kegagalan sterilisasi,

4) telah dilakukan rekonstruksi atau manipulasi tuba

sebelumnya,

5) pasien meminta dilakukan sterilisasi,

6) perdarahan berlanjut pascasalpingotomi,

7) kehamilan tuba berulang,

24
8) kehamilan heterotopik, dan

9) massa gestasi berdiameter lebih dari 5 cm.

Reseksi massa hasil konsepsi dan anastomosis tuba

kadang-kadang dilakukan pada kehamilan pars ismika yang

belum terganggu. Metode ini lebih dipilih daripada

salpingostomi, sebab salpingostomi dapat menyebabkan

jaringan parut dan penyempitan lumen pars ismika yang

sebenarnya sudah sempit. Pada kehamilan pars interstitialis,

sering kali dilakukan pula histerektomi untuk menghentikan

perdarahan masif yang terjadi. Pada salpingektomi, bagian

tuba antara uterus dan massa hasil konsepsi diklem, digunting,

dan kemudian sisanya (stump) diikat dengan jahitan ligasi.

Arteria tuboovarika diligasi, sedangkan arteria uteroovarika

dipertahankan. Tuba yang direseksi dipisahkan dari

mesosalping.

d). Evakuasi Fimbrae dan Fimbraektomi

Bila terjadi kehamilan di fimbrae, massa hasil konsepsi

dapat dievakuasi dari fimbrae tanpa melakukan fimbraektomi.

Dengan menyemburkan cairan di bawah tekanan dengan alat

aquadisektor atau spuit, massa hasil konsepsi dapat terdorong

dan lepas dari implantasinya. Fimbraektomi dikerjakan bila

massa hasil konsepsi berdiameter cukup besar sehingga tidak

dapat diekspulsi dengan cairan bertekanan (Chalik, 2004).

25
2.1.10 PROGNOSIS

a) Bagi kehamilan berikutnya

Umumnya penyebab kehamilan ektopik (misalnya

penyempitan tuba atau pasca penyakit radang panggul)

bersifat bilateral. Sehingga setelah pernah mengalami

kehamilan ektopik pada tuba satu sisi, kemungkinan pasien

akan mengalami kehamilan ektopik lagi pada tuba sisi yang

lain.

b) Bagi ibu

Bila diagnosis cepat ditegakkan umumnya prognosis baik,

terutama bila cukup penyediaan darah dan fasilitas operasi

serta narkose (Moechtar, 1998).

26
2.2 KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

2.2.1 PENGKAJIAN

1) Anamnesa :

a. Menstruasi terakhir.

Riwayat menstruasi yang lengkap diperlukan untuk

menetukan taksiran persalinan (TP).TP ditentukan berdasarkan hari

pertama haid terakhir (HPHT).Untuk menentukan TP berdasrkan

HPHT dapat digunakan rumus Naegle, yaitu hari ditambah tujuh,

bulan dikurang tiga, tahun disesuaikan.

b. Adanya bercak darah yang berasal dari vagina.

c. Nyeri abdomen: kejang, tumpul.

d. Jenis kontrasepsi.

Beberapa bentuk kontrasepsi dapat berakibatkan buruk

pada janin, ibu, atau keduanya.Riwayat kontrasepsi yang lengkap

harus didaptkan pada saat kunjungan pertama.Penggunaan

kontrasepsi oral sebelum kelahiran dan berlanjut saat kehamilan

yang tidak dikatahui dapat berakibat buruk pada pembentukan

organ seksual janin.

e. Riwayat gangguan tuba sebelumnya.

Kondisi kronis (menahun/terus-menerus) seperti diabetes

melitus, hipertensi, dan penyakit ginjal bisa berefek buruk pada

kehamilan.Oleh karena itu, adanya riwayat infeksi, prosedur

operasi dan trauma pada persalinan sebelumnya harus

didokumentasikan.

27
f. Tanda-tanda vital.

Pemeriksaan fisik lengkap pada ibu hamil diperlukan untuk

mendeteksi masalah fisik yang dapat dipengaruhi kehamilan.

2) Tanda-tanda vital

a. Tekanan darah

Posisi pengambilan tekanan darah sebaiknya ditetapkan, karena

posisi akan mempengaruhi tekanan darah pada ibu hamil. Sebaiknya

tekanan darah diukur pada posisi duduk dengan posisi sejajar posisi

jantung. Pendokumentasian perlu dicatat posisi dan tekanan darah

yang didapatkan.

b. Nadi

Frekuensi nadi normalnya 60-90 kali per menit.Takikardia bisa

terjadi pada keadaan cemas, hipertiroid dan infeksi.Nadi diperiksa

selama satu menit penuh untuk dapat menentukan keteraturan detak

jantung. Nadi diperiksa untuk menentukan masalah sirkulasi tungkai,

nadi seharusnya sama kuat dan teratur.

c. Pernapasan

Frekuensi pernapasan selama hamil berkisar antara 16-24 kali per

menit.Takipnea terjadi karena adanya infeksi pernapasan atau

penyakit jantung. Suara napas harus sama bilateral, ekspansi paru

simetris dan lapangan paru bebas dari suara napas abdominal.

d. Suhu

Suhu normal selama hamil adalah 36,2-37,60 C. Peningkatan suhu

menandakan terjadi infeksi dan membutuhkan perawat medis.

28
3) Sistem Kardiovaskular

a. Bendungan vena

Pemeriksaan sistem kardiovaskular adalah observasi terhadap

bendungan vena, yang bisa berkembang menjadi varises. Bendungan

vena biasanya terjadi pada tungkai, vulva dan rectum.

b. Edema pada ekstremitas

Edema pada tungkai merupakan refleksi dari pengisian darah oada

ekstermitas akibat perpindahan cairan intravaskular keruan

intertesial.Ketika dilakukan penekanan dengan jari atau jempol

menyebabkan terjadinya bekas tekanan, keadaan ini disebut pitting

edema.Edema pada tangan dan wajah memerlukan pemeriksaan

lanjut karena merupakan tanda dari hipertensi pada kehamilan.

4) Sistem musculoskeletal

a. Postur tubuh

Mekanik tubuh dan perubahan postur bisa terjadi selama kehamilan.

Keadaan ini mengakibatkan regangan pada otot punggung dan

tungkai.

b. Tinggi badan dan berat

Berat badan awal kunjungan dibutuhkan sebagai data dasar untuk

dapat menentukan kenaikan berat badan selama kehamilan.Berat

badan sebelum konsepsi kurang dari 45 kg dan tinggi badan kurang

dari 150 cm ibu beresiko melahirkan prematurdan berat badan lahir

rendah. Berat badan sebelum konsepsi lebih dari 90 kg dapat

mengakibatkan diabetes pada kehamilan, hipertensi pada kehamilan,

29
persalinan seksio caesarea, dan infeksi postpartum. Rekomendasi

kenaikan berat badan selama kehamilan berdasarkan indeks masa

tubuh.

c. Pengukuran pelviks

Tulang pelviks diperiksa pada awal kehamilan untuk menentukan

diameternya yang berguna untuk persalinan per vaginaan.

d. Abdomen

Kontur,ukuran dan tonus otot abdomen perlu dikaji. Tinggi fundus

diukur jika fundus bisa dipalpasi diatas simfisis pubis.Kandung

kemih harus dikosongkan sebelum pemeriksaan dilakukan untuk

menentukan keakuratannya.Pengukuran metode Mc. Donal dengan

posisi ibu berbaring.

e. Toraks

Nyeri merupakan keluhan utama pada kehamilan ektopik terganggu.

Pada ruptur tuba nyeri perut bagian bawah terjadi secara tiba-tiba

dan intesitas yang kuat disertai dengan perdarahan yang

menyebabkan ibu pingsan dan masuk kedalam syok. Intensitas nyeri

berkisar antar 9-10 nyeri hebat

5) Sistem neurologi

Pemeriksaan neurologi lengkap tidak begitu diperlukan bila ibu tidak

memiliki tanda dan gejala yang mengindikasikan adanya

masalah.Pemeriksaan reflek tendo sebaiknya dilakukan karena

hiperfleksi menandakan adanya komplikasi kehamilan.

6) Sistem integumen

30
Warna kulit biasanya sama dengan rasnya. Pucat menandakan anemis,

jaundice menandakan ganguan pada hepar, lesi hiperpigmentasi seperti

closma gravidarum, sreta linea nigra berkaitan dengan kehamilan dan

strie perlu dicatat. Penempangan kuku berwarna merah muda

menandakan pengisian kapiler dengan baik.

7) Sistem endokrin

Pada trimester kedua kelenjar tiroid membesar, pembesaran yang

berlebihan menandakan hipertiroid dan perlu pemeriksaan lebih lanjut.

8) Sistem gastrointestinal

a. Mulut

Membran mukosa berwarna merah muda dan lembut .bibir bebas

dari ulserasi, gusiberwarna kemerahan, serta edema akibat efek

peningkatan estrogen yang mengakibatkan hiperplasia.Gigi terawat

dengan baik, ibu dapat dianjurkan kedokter gigi secara teratur karena

penyakit periodontal menyebabkan infeksi yang memicu terjadinya

persalinan prematur.Trimester kedua lebih nyaman bagi ibu untuk

melakukan perawatan gigi.

b. Usus

Stestokop yang hangat untuk memeriksa bising usus lebih nyaman

untuk ibu hamil.Bising usus bisa berkurang karena efek progesteron

pada otot polos, sehingga menyebabkan konstipasi.Peningkatan

bising usus terjadi bila menderita diare.

c. Sistem urinarius

31
Pengumpulan urine untuk pemeriksaan dilakukan dengan cara urine

tengah. Urine diperiksa untuk mendeteksi tanda infeksi saluran

kemih dan zat yang ada dalam urine yang menandakan suatu

masalah.

1. Protein

Protein seharusnya tidak ada dalam urine. Jika protein ada dalam

urine, hal ini menandakan adanya kontaminasi sekret vagina,

penyakit ginjal, serta hipertensi pada kehamilan,

2. Glukosa

Glukosa dalam jumlah yang kecil dalam urine bisa dikatakan

normal pada ibu hamil. Glukosa dalam jumlah yang besar

membutuhkan pemeriksaan gula darah

3. Keton

Keton ditemukan dalam urine setelah melakukan aktivitas yang

berat atau pemasukan cairan dan makanan yang tidak adekuat

4. Bakteri

Peningkatan bakteri dalam urine berkaitan dengan infeksi saluran

kemih yang bisanya terjadi pada ibu hamil

9) Sistem reproduksi

a. Ukuran payudara, kesimetrisan, kondisi putting dan pengeluaran

kolostrum perlu dicatat. Adanya benjolan dan tidak simetris pada

payudara membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut.

b. Organ reproduksi eksternal

32
Kulit dan membran mukosa perineum, vulva dan anus perlu

diperiksa dari eksiorisasi, ulserasi, lesi, varises dan jarinagn parut

pada perineum

c. Organ reproduksi internal

1. Serviks berwarna merah muda pada ibu yang tidak hamil dan

berwarna merah kebiruan pada ibu hamil yang disebut tanda

Chadwik.

2. Vagina :mengalami peningkatan pembuluh darah karena pengaruh

esterogen sehingga tampak makin merah dab kebiru biruan.

3. Ovarium (indung telur) : dengan terjadinya kehamilan, indung telur

mengandung korpus luteum gravidarum akan meneruskan

fungsinya sampai terbentuknya plasenta yang sempurna pada umur

16 minggu.

10) Tes laboratorium: Ht dan Hb menurun

a. Urine :

1. Protein: Hasil negative menunjukkan keadaan yang normal

2. Glukosa: adanya glukosa dalam urine ibu hamil harus dianggap

sebagai gejala DM, kecuali dapat membuktikan bahwa hal-hal

lain menyebabkannya

3. Pemeriksaan sedimen : untuk melihat adanya gangguan pada

Ginjal

b. Darah:

1. HB: 5 gr %

2. Eritrosit: 3,5 juta/mm3

33
4. Leukosit: 8000-10.000 mm3

c. HCG :

Terdapat kuman chorionic gonadotropin dalam urine dihasilkan oleh

tropulus ketika ovum yang dibuahi terbenam dalam endemetrium.

d. Pemeriksaan USG:

Beberapa variabel janin dan plasenta lebih jelas dan lebih detail dan

tidak ada kontraindikasi pemeriksaan USG dalam kehamilan

e. Non-Stres Test (NST):

Ada 8 Pemeriksaan 10 T di antaranya :

1. TB dan BB : tinggi badan yang diharuskan untuk kehamilan

adalah 150 cm dan kenaikan berat badan selama kehamilan

berkisar antara 11-13,5 kg, pada trimester I kenaikannya kurang

lebih 1 kg, trimester II kurang lebih 5 kg dan trimester III

kurang lebih 5,5 kg.

2. Tekanan darah :Posisi pengambilan tekanan darah sebaiknya

ditetapkan, karena posisi akan mempengaruhi tekanan darah

pada ibu hamil. Sebaiknya tekanan darah diukur pada posisi

duduk dengan posisi sejajar posisi jantung. Pendokumentasian

perlu dicatat posisi dan tekanan darah yang didapatkan.

3. TFU

Leopold I : menentukan usia kehamilan dan tinggi fundus uteri

dalam cm

Leopold II : menentukan bagian janin, punggung kiri &

punggung kanan

34
Leopold III : menentukan bagian terendah janin, apakah kepala

atau bokong

Kepala : bundar, keras dan melenting

Bokong : tidak bundar, keras dan melenting

Leopold IV: mengukur seberapa jauh kepala masuk di PAP

(pintu atas panggul)

4. TT: pemberian imunisasi selama kehamilan dilakukan sebnyak

4 kali. Pada trimester I satu kali, trimester II satu kali dan

trimester III dua kali

5. Tablet: selama hamil ibu diberikan tablet FE sebanyak 90 tablet

fungsinya yaitu untuk membantu pertumbuhan tulang janin,

waktu meminumnya 1x1 setiap malam sebelum tidur.

6. Temu Wicara (HE) : dilakukan untuk memberikan health

education pada ibu hamil dan memberikan penjelasan pada ibu

hamil yang mengalami keluhan-keluhan selama kahamilan

7. Torch/Toksoplasma : pemeriksaan melalui LAB yang

gunanya untuk mengetahui apakah ibu hamil terinfeksi bakteri

toksoplasma

8. Pemeriksaan reduksi urine atas indikasi

9. Pemberian terapi kapsul yodium untuk daerah endemis gondok

10. Pemberian terapi anti malaria untuk daerah endemis malaria

35
2.2.2 DIAGNOSA

Diagnosis keperawatan yang muncul adalah sebagai berikut.

a. Devisit volume yang berhubungan dengan rupture pada lokasi

implantasi sebagai efek tindakan pembedahan.

b. Nyeri yang berhubungan dengan rupture tuba falopi, perdarahan

intraperitoneal.

c. Kurangnya pengetahuan yang berhubungan dengan kurang

pemahaman tidak mengenal sumber-sumber informasi.

2.2.3 INTERVENSI

Diagnosis 1:

Devisit volume cairan yang berhubungan dengan rupture


lokasi implantasi sebagai efek dari tindakan
pembedahan.

Kriteria hasil:
Ibu menunjukan kestabilan /perbaikan keseimbangan
cairan yang di buktikan oleh tanda-tanda vital yang
stabil, pengisian kapiler cepat, sensorium tepat, serta
frekuensi serta berat jenis urine adekuat.

36
Rencana Intervensi Rasional

Mandiri

1. Monitor tanda-tanda vital Monitor tanda-tanda vital akan

mengetahui keadaan dan perkembangan

2. Kaji pendarahan (jumlah Mengkaji pendarahan

,warna, gumpalan) ,jumlah,warna,gumpalan akan

mengetahui gejala-gejala syok

3 Cek hemolobin. Cek hemoglobin akan mengetahui

keaadan hb klien

4. Berikan tranfusi darah Memberikan tranfusi darah akan

menggantikan banyaknya darah yang

keluar.

Kolaborasi:

5. Lakukan pemeriksaan Pemeriksaan tersebut memudahkan

rhesus golongan darah. melakukan tranfusi

Diagnosis 2 :
Nyeri yang berhubungan dengan rupture tuba falopi,
perdarahan intraperitoneal.
Tujuan :
setelah di lakukan tindakan selama....x24 jam nyeri
berkurang.
Dengan kriteria hasil :
a. Nyeri yang di rasakan berkurang
b. Skala nyeri : 3
c. Klien tampak rileks

37
Rencana intervesi Rasional

1. Kaji tingkat dan skala nyeri 1. Untuk mengetahui keadaan klien

dalam menghadapi nyeri

2. Anjurkan klien untuk melakukan 2. Dengan melakukan teknik relaksasi

teknik relaksasi (tarik nafas dalam rasa nyeri yang di rasakan menjadi

) berkurang.

3. Ajarkan klien untuk melakukan 3. Dengan teknik distraksi itu untuk

teknik distraksi melancarkan peredaran darah

merenggangkan otot-otot yang

kaku.

4. Kolaborasi : 4. Obat analgetik memberikan rasa

Berikan terapi obat analgetik nyeri menjadi berkurang.

sesuai dengan indikasi.

Diagnosa 3 :
Kurangnya pengetahuan yang berhubungan dengan kurang
pemahaman atau tidak mengenal sumber-sumber
informasi.
Tujuan :

Ibu berpartisipasi dalam proses belajar, mengungkapkan


dalam istilah sederhana, mengenai patofisiologi dan
implikasi klinis.

Kreteria Hasil :

Pasien mengetahui masalah penyakit yang dialami dan


tahu cara mengatasi penyakit yang dialami.

38
No Rencana Intervensi Rasional

1 Menjelaskan tindakan dan Memberikan informasi, menjelaskan

rasional yang ditentukan untuk kesalahan konsep pikiran ibu mengenai

kondisi hemoragia. prosedur yang akan dilakukan, dan

menurunkan sters yang berhubungan

dengan prosedur yang diberikan.

2 Berikan kesempatan bagi ibu Memberikan klisifikasi dari konsep yang

untuk mengaji\ukan pertanyaan salah, identifikasi masala-masalah dan

dan mengungkapkan kesalah kesempatan untuk memulai

konsep mengembangkan ketrampilan penyesuaian

(koping)

3 Diskusikan kemungkinan Memberikan informasi tentang

implikasi jangka ependek pada kemungkinan komplikasi dan

ibu/janin dari kedaan meningkatkan harapan realita dan kerja

pendarahan. sama dengan aturan tindakan.

4 Tinjau ulang implikasi jangka Ibu dengan kehamilan ektropik dapat

panjang terhadap situasi yang memahami kesulitan mempertahankan

memerlukan evaluasi dan setelah pengangkatan tuba/ovarium yang

tindakan tambahan. sakit.

39
2.2.4 IMPLEMENTASI

Implementasi adalah fase ketikan perawata menerapkan/


melaksanakan rencana tindakan yang telah ditentukan dengan tujuan
kebutuhan pasien terpenuhi secara optimal (Nursalam, 2008).

2.2.5 EVALUASI

Evaluasi merupakan langkah terakhir dari proses keperawatan


dengan cara melakukan identifikasi sejauh mana tujuan dari rencana
keperawatan tercapai atau tidak. Dalam melakukan evaluasi perawat
seharusnya memiliki pengetahuan dan kemampuan dalam memahami
respon terhadap intervensi keperawatan, kemampuan menggambarkan
kesimpulan tentang tujuan yang dicapai serta kemampuan dalam
menghubungkan tindakan keperawatan pada kriteria hasil. Pada tahap
evaluasi ini terdiri dari dua kegiatan yaitu kegiatan yang dilakukan
dengan mengevaluasi selama proses perawatan berlangsung atau
menilai dari respon klien disebut evaluasi proses, dan kegiatan
melakukan evaluasi dengan target tujuan yang diharapkan disebut
sebagai evaluasi hasil (Hidayat, A.A.A, 2008).

40
BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Adapun kesimpulan yang dapat ditarik dari makalah ini adalah sebagai

berikut:

1. Kehamilan Ektopik Terganggu adalah suatu kehamilan ektopik yang

mengalami abortus ruptur pada dinding tuba.

2. Etiologi kehamilan ektopik terganggu telah banyak diselidiki, tetapi

sebagian besar penyebabnya tidak diketahui. Trijatmo Rachimhadhi dalam

bukunya menjelaskan beberapa faktor yang berhubungan dengan penyebab

kehamilan ektopik terganggu, yaitu:

a. Faktor mekanis

b. Faktor fungsional

c. Peningkatan daya penerimaan mukosa tuba terhadap ovum yang

dibuahi.

d. Hal lain seperti; riwayat KET dan riwayat abortus induksi

sebelumnya.

41
3.2 SARAN

Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua, dan mohon

untuk dosen pembimbing memberikan saran dan kritik yang membangun

untuk motivasi kami selanjutnya.

42
DAFTAR PUSTAKA

Bothamley, judy dan Maureen boyle. 2011. Patofisiologi Dalam Kebidanan.

Jakarta: EGC

M, Judith wilkinson dan Nancy R. Ahern. 2011. Buku Saku Diagnosis

Keperawatan. Edisi 9. Jakarta: EGC

Kusuma, Hardi dan Amin Huda Nurarif. 2013. Asuhan Keperawatan Berdasarkan

Diagnosis Medis dan NANDA

43

Anda mungkin juga menyukai