Anda di halaman 1dari 27

Laboratorium / SMF Obstetri & Ginekologi Refleksi Kasus

Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman

MOLA HIDATIDOSA

Oleh
Abella Verda Dea Amanda
NIM. 2010017029

Dosen Pembimbing
dr. Marihot Pasaribu, Sp.OG

Program Studi Pendidikan Profesi Dokter


Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
April 2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Yang Maha Esa atas
segala rahmat, dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan refleksi
kasus yang berjudul “Mola Hidatidosa”.
Penulis menyadari bahwa keberhasilan penulisan refleksi kasus ini tidak
lepas dari bantuan berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan
penghargaan dan ucapan terimakasih kepada:
1. dr. I.G.A.A Sri M. Montessori, Sp.OG selaku Kepala SMF Obstetri dan
Ginekologi RSUD AWS Samarinda.
2. Dr. dr. Novia Fransiska Ngo, Sp.OG selaku Kepala Laboratorium Obstetri
dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman.
3. dr. Marihot Pasaribu, Sp.OG(K)Onk sebagai dosen pembimbing klinik
selama mengikuti stase Obstetri dan Ginekologi.
4. Dosen-dosen klinik dan preklinik FK UNMUL khususnya staf pengajar
Lab/SMF Obstetri dan Ginekologi, terima kasih atas ilmu yang telah
diajarkan kepada kami.
5. Rekan-rekan dokter muda di Lab/SMF Obstetri dan Ginekologi RSUD
AWS/FK UNMUL dan semua pihak yang telah membantu, baik secara
langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak ketidaksempurnaan


dalam penulisan refleksi kasus ini, penulis sangat mengharapkan kritikdan saran
demi kesempurnaan refleksi kasus ini. Akhir kata, semoga refleksi kasus ini dapat
bermanfaat bagi penulis sendiri dan para pembaca.

Samarinda, April 2021


Penulis,

Abella Verda Dea Amanda

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................................................i
DAFTAR ISI..............................................................................................................................ii
BAB 1.........................................................................................................................................1
PENDAHULUAN......................................................................................................................1
1.1 Latar Belakang...................................................................................................1
1.2 Tujuan................................................................................................................1
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA................................................................................................3
2.1 Definisi...............................................................................................................3
2.2 Epidemiologi dan Faktor Risiko.........................................................................3
2.3 Etiologi...............................................................................................................4
2.4 Klasifikasi..........................................................................................................5
2.5 Patogenesis.........................................................................................................6
2.6 Diagnosis............................................................................................................7
2.7 Diagnosis Banding...........................................................................................11
2.8 Penatalaksanaan...............................................................................................12
2.9 Komplikasi.......................................................................................................23
2.10 Prognosis..........................................................................................................24
BAB 3 PENUTUP....................................................................................................................25
3.1 Kesimpulan......................................................................................................25
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................26

ii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kehamilan, yang dedifinisikan oleh Federasi Obstetri Ginekologi
Internasional (FOGI), adalah fertilisasi atau penyatuan dari spermatozoa dan
ovum dan dilanjutkan dengan implantasi. Kehamilan normal berlangsung dalam
waktu 40 minggu atau 9 bulan menurut kalender internasional, dan setelah itu
lahirlah bayi.1
Selain kehamilan normal, dapat pula terjadi kehamilan abnormal yang
salah satunya yaitu mola hidatidosa. Mola hidatidosa adalah suatu kehamilan yang
berkembang secara abnormal, di mana tidak ditemukan janin dan hampir seluruh
vili korialis mengalami perubahan bentuk berupa degenerasi hidropik.2
Studi epidemiologi melaporkan variasi regional yang luas pada insidensi
mola hidatidosa. Perkiraan dari studi yang dilakukan di Amerika Utara, Australia,
New Zealand, dan Eropa menunjukkan bahwa kasus mola hidatidosa muncul
dengan angka dari 0.57-1.1 per 1000 kehamilan, sedangkan studi di Asia
Tenggara dan Jepang menunjukkan kejadian sebesar 2.0 per 1000 kehamilan.
Untuk insiden mola hidatidosa komplit di Asia yang tertinggi adalah di Indonesia
yaitu 1 dari 77 kehamilan dan 1 dari 57 persalinan.3
Gambaran klinis mola hidatidosa biasanya ditandai dengan adanya
keluhan tidak haid (amenorea) disertai dengan pembesaran uterus yang tidak
sesuai dengan usia kehamilannya disertai peningkatan kadar serum human
chorionic gonadotrophyn (hCG), dapat pula seorang yang mengalami mola
hidatidosa datang dengan keluhan perdarahan pervaginam yang masif sehingga
menyebabkan anemia, selain itu terdapat gejala lain dari mola hidatidosa yaitu
hipertensi, hiperemesis gravidarum, dan tirotoksiskosis.4

1.2 Tujuan
Mengetahui teori tentang mola hidatidosa.

1.3 Manfaat

1
Memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dalam bidang kedokteran
terutama bidang Obstetri dan Ginekologi, khususnya mengenai mola hidatidosa.

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Mola hidatidosa adalah suatu kehamilan yang berkembang tidak wajar di
mana tidak ditemukan janin dan hampir seluruh vili korialis mengalami perubahan
berupa degenerasi hidropik. Plasenta dengan vili korialis berkembang tidak
sempurna dengan gambaran adanya pembesaran, edema, dan vili vesicular
sehingga menunjukkan berbagai ukuran trofoblas proliferative abnormal.2

2.2 Epidemiologi dan Faktor Risiko


2.2.1 Epidemiologi
Angka kejadian mola hidatidosa sangat bervariasi di seluruh dunia dan
cenderung mangalami peningkatan setiap tahunnya terutama pada negara
berkembang. Angka kejadian mola hidatidosa pada tahun 2012 di Amerika Utara,
Australia, Selandia Baru dan Eropa rata-rata sebesar 0,57 per 1000 kehamilan
meningkat pada tahun 2013 menjadi 1,1 per 1000 kehamilan. Angka kejadian di
Asia Tenggara dan Jepang rata-rata sebesar 2 kasus dari 1000 kehamilan. Angka
prevalensi mola hidatidosa di Indonesia rata-rata adalah 1 per 100 sampai 1 per
141 kehamilan.5
2.2.2 Faktor Risiko
1. Usia
Usia ibu dikedua ujung spektrum reproduksi adalah faktor risiko untuk
kehamilan mola. Secara spesifik, remaja (dibawah 20 tahun) dan wanita
berusia 36 hingga 40 tahun memiliki risiko dua kali lipat dan mereka yang
berusia lebih dari 40 tahun hampir 10 kali lipat.4,6

2. Riwayat Mola Sebelumnya


Terdapat peningkatan risiko substansial untuk penyakit trofoblastik rekuren.
Dalam suatu ulasan terhadap 12 penelitian yang mencakup total 5000
kehamilan mola, frekuensi mola rekuren adalah 1,3 persen. Risikonya adalah
1,5 persen untuk mola komplit dan 2,7 persen untuk mola parsial. Berkowitz

3
dkk. (1998) melaporkan bahwa 23 persen wanita pernah mengalami 2 kali
kehamilan mola memiliki mola ketiga. Mola hidatidosa berulang pada wanita
dengan pasangan yang berbeda menandakan bahwa pembentukan mola
disebabkan oleh defek oosit.4

3. Faktor lain
Pemakaian kontrasepsi oral dan durasinya serta riwayat abortus meningkatkan
kemungkinan kehamilan mola hingga dua kali lipat. Studi-studi lain
mengungkapkan adanya peran merokok, berbagai defisiensi vitamin, dan
peningkatan usia ayah.4

4. Faktor risiko lainnya yaitu,6:


a. Faktor ovum yang memang sudah patologik, tetapi terlambat untuk
dikeluarkan;
b. Imunoselektif dari trofoblas;
c. Keadaan sosio-ekonomi yang rendah;
d. Malnutrisi, defisiensi protein, asam folat, karoten, vitamin, dan lemak
hewani;
e. Paritas tinggi;
f. Infeksi virus dan faktor kromosom yang belum jelas.

2.3 Etiologi
Hingga kini belum diketahui penyebab pasti dari mola hidatidosa.
Berbagai teori telah diajukan, antara lain4:
1. Teori missed abortion
Mudigah mati pada kehamilan 3-5 minggu (missed abortion). Karena itu
terjadi gangguan peredaran darah sehingga terjadi penimbunan cairan dalam
jaringan mesenkim dari villi dan akhirnya terbentuklah gelembung-
gelembung. Menurut Reynolds, kematian mudigah itu disebabkan
kekurangan gizi berupa asam folat dan histidine pada kehamilan hari ke 13
dan 21. Hal ini kemudian menyebabkan gangguan angiogenesis.

4
2. Teori Neoplasma dari Park
Menyatakan bahwa yang abnormal adalah sel-sel trofoblas, yang mempunyai
fungsi abnormal juga, dimana terjadi proses resorpsi cairan yang berlebihan
ke dalam villi sehingga timbul gelembung. Hal ini menyebabkan gangguan
peredaran darah dan kematian mudigah.

2.4 Klasifikasi
Gangguan Mola hidatidosa diklasifikan menjadi mola hidatidosa komplet
(complete hydatidiform mole/CHM) dan mola hidatidosa parsial (partial
hydatidiform mole/PHM). Tabel berikut mendeskripsikan perbedaan kedua jenis
mola hidatidosa.4,7

Tabel Gambaran Mola Hidatidosa Parsial dan Komplet


Gambaran Mola Parsial Mola Komplet
Kariotipe Biasanya 69XXX atau 46XX atau 46XY
69XXY
Patologi
Mudigah janin Sering ada Tidak ada
Amnion, sel darah merah Sering ada Tidak ada
janin
Edema vilus Bervariasi, fokal Difus
Proliferasi trofoblastik Bervariasi, fokal, ringan- Bervariasi, ringan-berat
sedang
Gambaran klinis
Diagnosis Missed abortion Gestasi mola
Ukuran uterus Kecil untuk usia 50% lebih besar untuk
kehamilan usia kehamilan
Kista teka-lutein Jarang 25-30%
Penyulit medis Jarang Sering
Penyakit trofoblas 1-5% 15-20%
persisten

2.5 Patogenesis

5
Mola hidatidosa secara patofisiologi dan sitogenetik dibagi dalam dua tipe
yaitu mola hidatidosa komplit (complete mole) dan mola hidatidosa parsial
(partial mole). Mola hidatidosa komplit berasal dari fertilisasi ovum tanpa
nukleus atau nukleusnya tidak aktif sehingga tumbuh kembang didominasi inti
spermatozoa. Struktur histologik mola hidatidosa komplit mempunyai sifat:
degenerasi hidrofik dan pembengkakan stroma vili, tidak terdapat pembuluh darah
didalam vili yang bengkak, proliferasi sel epitel trofoblast dengan derajat yang
beragam, serta tidak terdapat janin dan amnion. Komposisi kromosom yang paling
sering ditemukan pada mola hidatidosa komplit adalah 46, XX dengan kromosom
seluruhnya berasal dari paternal.
Mola hidatidosa parsial terdapat perubahan hidrofik pada sebagian vili,
masih ada gambaran vaskuler, proliferasi hanya terjadi pada lapisan
sinsiotrofoblast, dan kadang terdapat janin yang normal. Komposisi kromosom
pada mola hidatidosa parsial adalah triploid (69 XXX, 69 XXY, atau 69 XYY)
dengan komposisi satu dari maternal dan dua dari paternal Hingga kini belum
diketahui penyebab pasti dari mola hidatidosa.8,9
Berbagai teori telah diajukan, antara lain:

Gambar Formasi Genetik pada Mola Hodatidosa


Pada (gambar 1) diatas dapat kita lihat bahwa untuk suatu proses
pembuahan normal itu berasal dari satu sperma dengan kromosom 23X atau 23Y
yang membuahi satu sel telur 23X, sehingga terbentuk kromosom 46XY atau
46XX. (A) mola hidatidosa komplit paling sering berasal dari pembuahan sel telur

6
kosong oleh satu sperma yang kemudian kromosomnya mengalami duplikasi. (B)
Yang jarang terjadi ialah mola hidatidosa komplit berasal dari dua sperma
(dispermia), dimana dua sperma membuahi satu sel telur yang kosong. (C) mola
hidatidosa parsial berasal dari dua sperma yang membuahi satu sel telur (ovum).
Sebagian kecil mola hidatidosa komplit memiliki kromosom 46XY, atau
memiliki kromosom 46 XX, yang mana hal ini berasal dari dua sel sperma yang
membuahi satu sel telur yang kosong sehingga terbentuk penyatuan 2 nukleus dari
ayah. Mola hidatidosa dengan kromosom 46YY tidak ditemukan, hal ini
menggambarkan bahwa hal itu merupakan suatu kondisi yang letal dengan angka
kehidupan yang terbatas. Angka mola hidatidosa komplit sekitar 15% adalah
dispermia. Mola hidatidosa yang triploid dan tetraploid jarang terjadi. Ini juga
berasal semata-mata dari DNA ayah. Sebagai perbandingan, mola hidatidosa
parsial biasanya bersifat triploid. Mereka berasal dari pembuahan satu sel telur
dengan dua sperma, yang mana perbandingan kromosom ayah dibandingkan ibu
ialah 2:1 (Gambar C). Jadi, mola hidatidosa parsial umumnya 69XXX, 69XXY,
atau jarang 69XYY.10

2.6 Diagnosis
2.6.1. Manifestasi Klinik
Pada permulaannya gejala mola hidatidosa tidak seberapa berbeda dengan
kehamilan biasa, yaitu riwayat amenorea, mual, muntah, pusing dan lain-lain,
hanya saja derajat keluhannya sering lebih hebat. Selanjutnya perkembangan lebih
pesat, sehingga pada umumnya besar uterus lebih besar dari umur
kehamilan,namun ada juga kasus-kasus yang uterusnya lebih kecil atau sama
besar walaupun jaringannya belum dikeluarkan.3
Perdarahan uterus merupakan gejala utama mola. Perdarahan uterus
hampir bersifat universal, dan dapat bervariasi dari bercak sampai perdarahan
berat. Perdarahan mungkin terjadi sesaat sebelum abortus atau, yang lebih sering
terajdi secara intermiten selama beberapa minggu sampai bahkan bulan. Efek
dilusi akibat hipervolemia yang cukup berat dibuktikan terjadi pada sebagian
wanita yang molanya lebih besar. Kadang-kadang terjadi perdarahan berat yang
tertutup di dalam uterus.4

7
Keluhan perdarahan inilah yang menyebabkan mereka datang ke rumah
sakit. Gejala perdarahan ini biasanya terjadi antara bulan pertama sampai ketujuh
dengan rata-rata 12-14 minggu. Karena perdarahan ini umumnya pasien mola
hidatidosa masuk dalam kedaan anemia.4 Dalam hal ini anemia yang terjadi ialah
anemia defisiensi zat besi sering dijumpai dan kadang-kadang terdapat
eritropoeisis megaloblastik, mungkin akibat kurangnya asupan gizi karena mual
dan muntah disertai meningkatnya kebutuhan folat trofoblas yang cepat
berproliferasi.4
Pada mola hidatidosa komplit gejala yang dominan adalah perdarahan
vagina. Tanda klasik dari mola hidatidosa selain perdarahan vaginal adalah tidak
adanya denyut jantung janin dan ukuran uterus yang lebih besar dari perkiraan
usia getasi sehingga menimbulkan keluhan nyeri perut. Pada mola hidatidosa
parsial gejala yang banyak terjadi adalah perdarahan ireguler. Berbeda dengan
mola hidatidosa komplit, mola hidatidosa parsial biasanya tidak menyebabkan
terjadinya pembesaran ukuran uterus. Namun, janin dapat hidup berdampingan
dengan mola hidatidosa parsial. Pada umumnya, pasien dengan mola hidatidosa
parsial datang dengan gejala missed abortion atau abostus inkomplit dan baru
dapat di diagnosis setelah dilakukan pemeriksaan histologi dari hasil kuret.3,4

2.6.1. Pemeriksaan Fisik


1. Inspeksi
 Wajah dan kadang–kadang badan kelihatan pucat kekuning-kuningan yang
disebut sebagai mola face.
 Gelembung mola yang keluar.
2. Palpasi
 Uterus lembek dan membesar tidak sesuai kehamilan;
 Adanya fenomena harmonika: jika darah dan gelembung mola keluar
maka tinggi fundus uteri akan turun lalu naik lagi karena terkumpulnya
darah baru.
 Tidak teraba bagian-bagian janin dan balotemen gerak janin.
3. Auskultasi

8
Tidak terdengar bunyi denyut jantung janin (pada mola hidatidosa parsial
mungkin dapat didengar BJJ).
4. Pemeriksaan dalam
Pastikan besarnya rahim, rahim terasa lembek, tidak ada bagian-bagian
janin, terdapat perdarahan dan jaringan dalam kanalis servikalis dan vagina,
serta evaluasi keadaan serviks.6

2.6.3 Pemeriksaan Penunjang


1. Pemeriksaan Laboratorium
Yang harus diperhatikan pada hasil laboratorium adalah hormon β-hCG, karena
karakteristik yang terpenting dari penyakit ini adalah kemampuannya dalam
memproduksi hormon β-hCG, sehingga jumlah hormon ini lebih meningkat bila
dibandingkan dengan kehamilan normal pada usia kehamilan tersebut. Hormon ini
dapat dideteksi di urin maupun dalam serum penderita. Terdapat tiga jenis
pemeriksaan β -hCG, yaitu7 :
 β -hCG kualitatif serum, terdeteksi jika kadar hCG > 5 – 10 mIU/ml
 β -hCG kualitatif urin, terdeteksi jika kadar hCG > 25-50 mIU/ml
 β -hCG kuantitatif urin, terdeteksi jika kadar hCG > 5-2 juta mIU/ml
Hasilnya harus dibandingkan dengan kadar β -hCG serum kehamilan normal
pada usia kehamilan yang sama. Bila kadar β -hCG kuantitatif >100.000 mIU/L
mengindikasikan pertumbuhan ukuran yang berlebihan dari trofoblastik dan
meningkatkan kecurigaan adanya kehamilan mola namun kadang-kadang
kehamilan mola dapat memiliki nilai hCG normal. Biasanya tes β -hCG normal
setelah 8 minggu post evakuasi mola7.

2. Pemeriksaan Radiologi
Gambaran USG khas mola hidatidosa komplit pada trimester kedua dan ketiga
adalah rongga endometrium uterus yang membesar, dapat dilihat massa
intrauterine dengan kantung kistik yang tak terhitung banyaknya berukuran 1-30
mm, tanpa ada bagian janin. Struktur kistik tersebut memberikan gambaran
snowstorm atau punch of grapes atau honey comb appearance pada pemeriksaan
USG. Kista lutein bilateral juga dapat terlihat pada pemeriksaan USG.11,12

9
Pada trimester pertama, penampilan USG mola hidatidosa komplit relatif tidak
spesifik, sehingga sulit untuk didiagnosis. Temuan klasik dari ruang kistik jarang
terlihat. Gambaran USG yang paling umum pada trimester pertama adalah massa
endometrium yang hiperogenik secara homogen, mungkin tampak seperti
kehamilan anembrionik (kantung kehamilan kosong).11,13

Gambar USG Transabdominal, menunjukkan pembesaran uterus


dengan vesikel-vesikel yang berisi cairan.

Gambar Bunch of grapes

3. Gambaran Histopatologi
Struktur histologi mola hidatidosa komplit mempunyai sifat: degenerasi
hidrofik dan pembengkakan stroma vili, tidak terdapat pembuluh darah didalam
vili yang bengkak, proliferasi sel epitel trofoblast dengan derajat yang beragam,
serta tidak terdapat janin dan amnion. Komposisi kromosom yang paling sering
ditemukan pada mola hidatidosa komplit adalah 46,XX dengan kromosom
seluruhnya berasal dari paternal.14
Mola hidatidosa parsial terdapat perubahan hidrofik pada sebagian vili, masih
ada gambaran vaskuler, proliferasi hanya terjadi pada lapisan sinsiotrofoblast, dan
kadang terdapat janin yang normal. Komposisi kromosom pada mola hidatidosa

10
parsial adalah triploid (69 XXX, 69 XXY, atau 69 XYY) dengan komposisi satu
dari maternal dan dua dari paternal.14

Gambar Gambaran histologis mola hidatidosa menunjukkan degenerasi hidropik


dari stroma vili dengan tidak adanya pembuluh darah dan proliferasi trofoblas

2.7 Diagnosis Banding


 Gangguan Abortus Imminens : perdarah pervaginam berwarna gelap,
dengan pembesaran uterus yang tidak proporsional,membuat bingung
untuik membedakannya dengan mola jika hanya dengan pemeriksaan
klinis
 Fibroid atau tumor ovarium disertai kehamilan: pembesaran uterus yang
tidak sesuai merupakan poin yang membuat bingung
 Kehamilan multiple: Adanya preeklamsia pada bulan-bulan awal,
pembesaran uterus yang tidak proporsional dan titer hCG yang sangat
tinggi dalam urin merupakan gambaran yang membingungkan.
Diperlukan pemeriksaan kadar hCG dan USG untuk membantu membedakan
diagnosis banding diatas dengan mola hidatidosa.15

2.8 Penatalaksanaan
2.8.1 Panduan Praktik Klinis pada Fasilitas Kesehatan Primer (Tingkat I)

11
Panduan Praktik Klinis pada Fasilitas Kesehatan Primer (Tingkat I) dapat
diberlakukan pada puskesmas, bidan dan dokter umum. Adapun panduan
penatalaksanaan mola hidatidosa pada fasilitas kesehatan primer atau tingkat I
tersebut adalah sebagai berikut16:
1. Mola hidatidosa yang ditemukan segera dirujuk atau direferal kefasilitas
kesehatan sekunder atau tingkat II.
2. Mola hidatidosa yang mengalami abortus segera dilakuan evakuasi
dengan prosedur sebagai berikut: Pada saat evakuasi dipasang venous
line dengan drip oksitosin 20-40 IU dalam 500 cc dektrosa 5% = 28
tetes/menit. Evakuasi dilakukan dengan kuret isap dilanjutkan dengan
kuret tumpul,diakhiri dengan kuret tajam.
3. Pasca evakuasi abortus mola hidatidosa segera rujuk atau referal ke
fasilitas kesehatan sekunder atau tingkat II.

Gambar 2.5 Alur diagnosis dan penanganan mola hidatidosa di fasilitas


kesehatan primer (tingkat I)16

2.8.2 Panduan Praktik Klinis pada Fasilitas Kesehatan Sekunder (Tingkat II)

12
Panduan Praktik Klinis pada fasilitas kesehatan sekunder atau Tingkat II
dapat diberlakukan pada rumah sakit daerah atau kabupaten, baik tipe C dan D.
Secara umum terdapat dua prinsip utama dalam penatalaksanaan kasus mola
hidatidosa yaitu evakuasi dan pemantauan lanjutan mola hidatidosa.16
Panduan penatalaksanaan mola hidatidosa pada PPK II disesuaikan dengan
kondisi daerah setempat seperti keberadaan laboratorium penilaian kadar kadar β
hCG dan pemeriksaan histopatologis. Pada kondisi dimana daerah PPK II yang
tidak memiliki fasilitas laboratorium penilaian kadar β- hCG secara kuantitataif,
maka dapat digunakan pemeriksaan secara kualitatif dengan menggunakan Pack
Test.16
Adapun panduan diagnosis dan penatalaksanaan mola hidatidosa pada PPK
II yang tidak memiliki fasilitas penilaian kadar β-hCG secara kuantitatif dan
pemeriksaan histopatologis adalah sebagai berikut16:
A. Evakuasi mola hidatidosa
1. Pasien dilakukan rawat inap atau Masuk Rumah Sakit (MRS) walaupun
tanpa perdarahan.
2. Persiapan sebelum evakuasi:
a. Pemeriksaan fisik.
b. Pemeriksaan darah tepi, faal hemostasis.
c. Pada kasus abortus mola hidatidosa dengan perdarahan banyak dan
atau keluar jaringan mola, persiapan untuk evakuasi segera. Jenis
pemeriksaan persiapan pre evakuasi hanya yang dianggap perlu saja.
3. Evakuasi: Tindakan evakuasi mola hidatidosa dapat dilakukan dengan
dua cara yaitu dengan evakuasi jaringan mola hidatidosa dan atau
langsung dilakukan tindakan histerektomi.
a. Evakuasi mola hidatidosa dengan dilatasi vakum dan kuretase:
 Pada kondisi dimana osteum uteri belum terbuka dan serviks masih
kaku dilakukan pemasangan stif laminaria selama 12-24 jam.
 Pada saat evakuasi dipasang venous line dengan drip oksitosin 20-40
IU dalam 500cc Dektrosa 5% = 28 tetes/menit. Evakuasi dilakukan
dengan kuret isap dilanjutkan dengan kuret tumpul, dan diakhiri
dengan kuret tajam.

13
 Penderita dapat dipulangkan satu hari pascaevakuasi, kecuali
diperlukan perbaikan keadaan umum.
 Tindak lanjut dilakukan konfirmasi USG satu minggu pasca evakuasi.
Apabila terdapat sisa jaringan maka dilanjutkan dengan evakuasi ke-2.
Evakuasi kedua dilakukan dengan kuret tajam.
b. Histerektomi pada mola hidatidosa
Tindakan histerektomi pada moll hidatidosa dapat dilakukan pada
kondisi dimana umur pasien lebih atau sama dengan 40 tahun dan
anak cukup. Tindakan histerektomo dapat dikerjakan baik secara
langsung atau setelah 7 sampai 10 hari pasca evakuasi dilatasi vakum
dan kuretase yang pertama atau ke satu.
B. Pengawasan lanjut mola hidatidosa
1. Pengawasan lanjut ini bertujuan untuk melakukan konfirmasi
diagnostik apakah proses involusi telah berjalan normal atau telah
terjadi proses ke arah keganasan yang dikenal dengan persistent
trofoblastic diseases secara dini.
2. Lama pengawasan lanjut adalah selama satu tahun.
3. Pengawasan secara ketat dilakukan dalam 3 bulan atau 12 minggu
pertama pasca evakuasi. Frekuensi pemantauan setiap minggu pada
mola hidatidosa risiko tinggi dan setiap 2 minggu pada mola
hidatidosa risiko rendah.
4. Sebelum minggu ke-12 pasca evakuasi, hal yang perlu dievaluasi
adalah klinis atau kriteria HBsE, meliputi:
 Keluhan, seperti: perdarahan, batuk atau sesak nafas
 Pemeriksaan ginekologik, menilai tanda subinvolusi
5. Apabila sebelum minggu ke-12 pasca evakuasi ditemukan adanya
permasalahan klinis atau kriteria HBsE terpenuhi, pasien didiagnosis
sebagai suatu Penyakit Trofoblast Ganas (PTG) atau Persisten
Trofoblastic Diseases (PTD).
6. Pada minggu ke-12 pasca evakuasi, apabila tidak ditemukan
permasalahan pada klinis atau kriteria HBsE, maka dilakukan

14
pemeriksaan β-hCG semikuantitatif urine dengan menggunakan Pack
test.
7. Apabila pada minggu ke-12 pasca evakuasi hasil Pack test adalah
positif, maka didiagnosis sebagai PTG atau PTD.
8. Pengawasan lanjut setelah Pack test negatif adalah sebagai berikut:
a. Pemeriksaan meliputi:
 Keluhan, seperti: perdarahan, batuk atau sesak nafas.
 Pemeriksaan ginekologik, menilai tanda subinvolusi
 Kadar β-hCG semikuantitatif urine dengan Pack test.
 Penunjang lainnya, apabila diperlukan misalnya: foto thoraks.
b. Jadwal Pemeriksaan:
 Tiga bulan kedua : 1 bulan sekali
 Enam bulan terakhir : 2 bulan sekali
 Selanjutnya sewaktu-waktu apabila ditemukan keluhan.
 Kontrasepsi yang dapat ditawarkan, adalah:
a. Sebelum mencapai hasil Pack test negatif dianjurkan untuk
menggunakan alat kontrasepsi kondom.
b. Setelah tercapai Pack test negatif dapat menggunakan kontrasepsi
kondom, pil kombinasi atau kontrasepsi mantap untuk pasien yang
tidak menginginkan anak.
 Pengawasan lanjut pada pemantauan mola hidatidosa diakhiri, apabila:
a. Hamil lagi sebelum satu tahun.
b. Setelah satu tahun, tidak ada keluhan baik secara klinik maupun
laboratorik.

15
Gambar Alur Diagnosis dan Penanganan Mola Hidatidosa di Fasilitas
Kesehatan Sekunder (Tingkat II) tanpa β-hCG kuantitatif dan Patologi
Anatomi16

Sedangkan panduan diagnosis dan penatalaksanaan mola hidatidosa pada


fasilitas kesehatan tingkat II yang memiliki fasilitas penilaian kadar β-hCG secara
kuantitataif dan pemeriksaan histopatologis adalah sebagai berikut:

A. Evakuasi mola hidatidosa


1. Pasien dilakukan rawat inap atau Masuk Rumah Sakit (MRS) walaupun
tanpa perdarahan.
2. Persiapan sebelum evakuasi:

16
a. Pemeriksaan fisik.
b. Pemeriksaan darah tepi, faal hemostasis.
c. Pada kasus abortus mola hidatidosa dengan perdarahan banyak dan
atau keluar jaringan mola, persiapan untuk evakuasi segera. Jenis
pemeriksaan persiapan pre evakuasi hanya yang dianggap perlu saja.
3. Evakuasi:Tindakan evakuasi mola hidatidosa dapat dilakukan dengan dua
cara yaitu dengan evakuasi jaringan mola hidatidosa dan atau langsung
dilakukan tindakan histerektomi.
1. Evakuasi mola hidatidosa dengan dilatasi vakum dan kuretase
a. Pada kondisi dimana osteum uteri belum terbuka dan serviks masih
kaku dilakukan pemasangan stif laminaria selama 12-24 jam.
b. Pada saat evakuasi dipasang venous line dengan drip oksitosin 20-
40 IU dalam 500cc Dektrosa 5% = 28 tetes/menit. Evakuasi
dilakukan dengan kuret isap dilanjutkan dengan kuret tumpul, dan
diakhiri dengan kuret tajam.
c. Diambil spesimen pemeriksaan Patologi Anatomi yang dibagi atas
dua sampel yaitu:
 PA 1 adalah jaringan dan gelembung mola.
 PA 2 adalah kerokan endometrial uterus yaitu jaringan mola
hidatidosa yang melekat pada dinding uterus.
d. Penderita dapat dipulangkan satu hari pascaevakuasi, kecuali
diperlukan perbaikan keadaan umum.
e. Tindak lanjut dilakukan konfirmasi USG satu minggu pasca
evakuasi. Apabila terdapat sisa jaringan maka dilanjutkan dengan
evakuasi ke-2. Evakuasi kedua dilakukan dengan kuret tajam dan
dilakukan pemeriksaan Patologi Anatomi.

2. Histerektomi pada mola hidatidosa


Tindakan histerektomi pada moll hidatidosa dapat dilakukan pada
kondisi dimana umur pasien lebih atau sama dengan 40 tahun dan anak
cukup. Tindakan histerektomo dapat dikerjakan baik secara langsung atau

17
setelah 7 sampai 10 hari pasca evakuasi dilatasi vakum dan kuretase yang
pertama atau ke satu.

B. Pengawasan lanjut mola hidatidosa


1. Pengawasan lanjut ini bertujuan untuk melakukan konfirmasi diagnostik
apakah proses involusi telah berjalan normal atau telah terjadi proses ke
arah keganasan yang dikenal dengan persistent trofoblastic diseases secara
dini.
2. Lama pengawasan lanjut adalah selama satu tahun.
3. Pengawasan secara ketat dilakukan dalam 3 bulan atau 12 minggu pertama
pasca evakuasi. Frekuensi pemantauan setiap minggu pada mola
hidatidosa risiko tinggi dan setiap 2 minggu pada mola hidatidosa risiko
rendah.
4. Hal-hal yang perlu dievaluasi
a. Keluhan, seperti: perdarahan, batuk atau sesak nafas
b. Pemeriksaan ginekologik, menilai tanda subinvolusi
c. Kadar β-hCG serum kuantitatif.
d. Penunjang lainnya, apabila diperlukan misalnya: foto toraks.
5. Pemeriksaan kadar serum β-hCG serum kuantitatif. Adapun batas akhir
penilaian β -hCG kuantitatif adalah:
a. Pada minggu ke-4, kadar β-hCG ≤ 1000 m IU/ml.
b. Pada minggu ke-6, kadar β-hCG ≤ 100 m IU/ml.
c. Pada minggu ke-8 kadar β-hCG ≤ 20-30 mIU/ml.
d. Pada minggu ke-12 kadar β-hCG ≤ 5 m lU/ml.
6. Pengawasan lanjut setelah kadar β-hCG normal adalah sebagai berikut:
a. Pemeriksaan meliputi:
 Keluhan, seperti: perdarahan, batuk atau sesak nafas.
 Pemeriksaan ginekologik, menilai tanda subinvolusi
 Kadar β-hCG kuantitatif.
 Penunjang lainnya, apabila diperlukan misalnya: foto thoraks.
b. Jadwal Pemeriksaan:
 Tiga bulan kedua : 1 bulan sekali

18
 Enam bulan terakhir : 2 bulan sekali
 Selanjutnya sewaktu-waktu apabila ditemukan keluhan.
7. Kontrasepsi yang dapat ditawarkan, adalah:
a. Sebelum mencapai hasil kadar β-hCG normal dianjurkan untuk
menggunakan alat kontrasepsi kondom.
b. Setelah tercapai kadar β-hCG normal dapat menggunakan kontrasepsi
kondom, pil kombinasi atau kontrasepsi mantap untuk pasien yang
tidak menginginkan anak.
8. Pengawasan lanjut pada pemantauan mola hidatidosa diakhiri, apabila:
a. Hamil lagi sebelum satu tahun.
b. Setelah satu tahun, tidak ada keluhan baik secara klinik maupun
laboratorik.

19
Gambar 2.7 Alur Diagnosis dan Penanganan Mola Hidatidosa di Fasilitas
Kesehatan Sekunder (Tingkat II) dengan β-hCG kuantitatif dan Patologi
Anatomi16

2.9 Komplikasi
Komplikasi segera :
1. Perdarahan dan syok
Penyebab perdarahan :
a. Pemisahan vesikel dan perlekatannya dengan desidua. Perdarahan dapat
tersembunya atau tampak
b. perdarahan intraperitoneal yang mana mungkin disebabkan oleh mola
yang perforasi
c. saat evakuasi mole, diakibatkan oleh : atonia uteri, atau perlukaan uterus
2. Sepsis
Peningkatan risiko sepsis disebabkan:
a. Tidak ada membran sebagai proteksi, organisme di vaginal dapat
menjalar ke uterus.
b. Adanya vesikel yang degenerasi, terkelupasnya lapisan desidua, serta
adanya darah yang telah lama, mempermudah pertumbuhan bakteri
c. Interfensi operatif
3. Perforasi Uterus
Uterus dapat terluka akibat:
a. Perforasi mola, yang menyebabkan perdarah intraperitoneal yang masif
b. Saat evakuasi melalui vagina, khususnya akibat metode convensional
atau kuretase setelah evakuasi secara suction
4. Preklampsia, dengan kejang merupakan kejadian yang jarang terjadi
5. Acute pulmonary insufficiency, diakibatkan adanya embolisasi pulmoner
oleh sel-sel trofoblast dengan atau tanpa vili stoma. Gejala biasanya mulai
terlihat 4-6 jam post evakuasi.
6. Kegagalan pembekuan darah, karena embolisasi paru oleh sel trofoblas
menyebabkan deposisi fibrin dan trombosit di dalam vascular tree paru.

Komplikasi Lambat:

20
Perkembangan menjadi koriokarsinoma setelah mola hidatidosa berkisar antara 2-
10%.
Faktor risiko yang diketahui berkaitan dengan perubahan mola menjadi
keganasan15:
 Usia ≥ 40 tahun <20 tahun
 Paritas ≥ 3
 Kadar serum hCG >100.000 mIU/ml
 Besar uterus >20 minggu
 Riwayat pernah mengalami kehamilan mola
 Kista lutein, dengan diameter >6 cm

2.10 Prognosis
Kematian pada mola hidatidosa disebabkan oleh perdarahan, infeksi,
payah jantung atau tirotoksikosis. Di negara maju kematian karena mola hampir
tidak ada lagi. Akan tetapi, di negara berkembang masih cukup tinggi yaitu
berkisar antara 2,2% dan 5,7 %. Sebagian dari pasien mola akan segera sehat
kembali seteiah jaringannya dikeluarkan, tetapi ada sekeiompok perempuan yang
kemudian menderita degenerasi keganasan menjadi koriokarsinoma. Persentase
keganasan yang dilaporkan oleh berbagai klinik sangat berbeda-beda, berkisar
antara 5,56 %. Bila terjadi keganasan, maka pengelolaan secara khusus pada divisi
Onkologi Ginekologi.2

21
BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Mola hidatidosa adalah suatu kehamilan yang berkembang tidak wajar di
mana tidak ditemukan janin dan hampir seluruh vili korialis mengalami perubahan
berupa degenerasi hidropik. Dengan ciri-ciri stroma villi korialis langka
vaskularisasi, dan edematous. Janin biasanya meninggal tetapi villus-villus yang
membesar dan edematous itu hidup dan tumbuh terus. Gambaran yang diberikan
ialah sebagai segugus buah anggur. Mola hidatidosa merupakan salah satu dari
penyakit karena kelainan plasenta yang meliputi mola hidatidosa komplit dan
parsial, tumor plasenta situs trofoblas, koriokarsinoma dan mola invasif.
Banyak ditemukan pada wanita keturunan Asia. Faktor risiko terjadinya mola
yaitu usia ibu yang sangat muda (belasan tahun) dan usia 36 hingga 40 tahun
memiliki risiko 2 kali lipat. Wanita dengan usia lebih dari 40 tahun memiliki
risiko 10 kali lebih tinggi. Mola hidatidosa dibagi menjadi 2 yaitu mola hidatidosa
kompliy yang tidak ditandai dengan adanya janin dan mola hidatidosa parsial
yang ditandai dengan adanya janin.
Gejala-gejala sebelumnya tidak berbeda dengan kehamilan biasa seperti mual,
muntah, pusing. Gejala utama mola hidatidosa ada perdarahan yang biasanya
disertai anemia, hiperemesis, tidak dirasakan tanda-tanda janin seperti gerakan
janin maupun ballotement, tanda pasti ditemukan adanya gelembung pada darah
yang keluar pervaginam. Pemeriksaan tambahan adalah pengukuran kadar hCG
serum meningkat, ditemukan ‘snow flake pattern’ atau ‘honey comb’ pada
pemeriksaan USG.
Penanganan mola dilakukan secara bertahap, yaitu memperbaiki kondisi
umum, evakuasi mola dengan kuretase atau histerektomi, pemberian terapi
profilaksis dan pemeriksaan tindakan lanjut. Saat dilakuakn tndakan lanjut, pasien
dilarang hamil dahulu. Prognosis mola masih bagus asal tidak menjadi keganasan.

22
DAFTAR PUSTAKA
1. Adriaansz, G., & Hanafiah, T. (2014). Diagnosis Kehamilan. Dalam S.
Prawihardjo, Ilmu Kebidanan (hal. 213-220). Jakarta: PT. Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo.
2. Hadijanto, B. (2014). Perdarahan pada Kehamilan Muda. Dalam S.
Prawirohardjo, Ilmu Kebidanan (hal. 459-490). Jakarta: PT. Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo.
3. Prawirohardjo, Hestiantoro, A., Soejoenoes, A., Halim, B., Aff&i, B.,
Luthan, D. & Dkk 2014. Penyakit Tropoblast Gestasional. In: Anwar, M.,
Baziad, A. & Prabowo, R. P. (eds.) Ilmu K&ungan. Jakarta: PT Bina
Pustaka Sarwono Prawirodihardjo.
4. Cunningham, F., Leveno, K., Bloom, S., Hauth, J., Rouse, D., & Spong, C.
(2015). Obstetri WIlliams, Volume 1, Edisi 23. Jakarta: EGC.
5. Winata, I. G. (2015, November 14). Penatalaksanaan mola hidatidosa :
fasilitas kesehatan tingkat primer dan sekunder. Pendidikan Kedokteran
Berkelnajutan ke-7 OBGIN BALI 2015 ( update in obstetrics and
gynecologic from theories to practice, pp. 145-159.
6. Sari, R., & Prabowo, A. (2018). Buku Ajar Perdarahan pada Kehamilan
Trimester I. Lampung: Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.
7. Bell, D. J. (2020, February). Hydatidiform Mole. Dipetik Juni Kamis, 2020,
dari https://radiopaedia.org/articles/hydatidiform-mole?lang=us
8. Garg, R. & Giuntoli, R. L. 2007. Gestational Trophoblastic Diseases. In:
Fortner, K. B., Szymanski, L. M., Fox, H. E. & Wallach, E. E. (eds.) The
Johns Hopkins Manual of Gynaecology & Obstetrics. Baltimore,Maryl&:
Lippincot Williams&Wilkins.
9. Khachani, I., Alami, M. H. & Bezad, R. 2017. Implementation &
Monitoring of Gestational Trophoblastic Diseases Management Program in
a Tertiary Hospital in Morocco :Opportunities & Challenges. Hindawi
Journal, 1-8.
10. Moore, L. E. 2016. Hydatiform Mole. Medscape
11. Mott, D. D. (2018). Hydatidiform Mole Imaging. Medscape, . Diambil
kembali dari

23
https://emedicine.medscape.com/article/405778overview#:~:text=Transverse

%20transpelvic%20sonogram%20of%20a,image%20(mother%27s%20right%20side).

12. Weerakody, Y. (2020, May 24). Complete Hydatidiform Mole.


13. Seckl, M., Sebire, N., Fisher, R., Golfier, F., Massuger, L., & Sessa, C.
(2013). Gestational Trophoblastic Disease: ESMO Clinical Practice
Guidelines for Diagnosis, Treatment and Follow-Up. Annals of Oncology,
39-50.
14. Fraser, D., Jauniaux, E., Ngan, Y. & Sabire, N. 2010. The Management of
Gestational Trophoblastic Diseases. Royal Collage Obstetrics Gynaecology.
15. Sujon, S. (2015). Dutta's Textbook of Obstetrics. New Delhi: Jaypee.
16. Winata, I. G. (2015, November 14). Penatalaksanaan mola hidatidoda :
fasilitas kesehatan tingkat primer dan sekunder. Pendidikan Kedokteran
Berkelnajutan ke-7 OBGIN BALI 2015 ( update in obstetrics and
gynecologic from theories to practice, pp. 145-159.

24

Anda mungkin juga menyukai