Anda di halaman 1dari 32

CASE REPORT SESSION (CRS)

*Kepaniteraan Klinik Senior/ G1A218104


** Pembimbing/ dr. Rudi Gunawan, Sp.OG (K) Onk

ABORTUS
Meika Amsi Munte, S.Ked* dr. Rudi Gunawan, Sp.OG (K) Onk**

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
TAHUN 2020
LEMBAR PENGESAHAN

CASE REPORT SESSION

ABORTUS

Oleh:
Meika Amsi Munte, S.Ked

BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI

RSUD RADEN MATTAHER JAMBI

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS JAMBI

2020

Jambi, Mei 2020

Pembimbing

dr. Rudi Gunawan, Sp.OG (K) Onk

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
berkat-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas Case Report Session (CRS)
dengan judul “Abortus” sebagai kelengkapan persyaratan dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik Senior Bagian Anestesi di Rumah Sakit Umum Daerah
Raden Mattaher Provinsi Jambi.

Case Report Session (CRS) ini bertujuan agar penulis dapat memahami lebih
dalam teori-teori yang diberikan selama menjalani Kepaniteraan Klinik Senior Bagian
Obstetri dan Ginekologi di RSUD Raden Mattaher Jambi, dan melihat penerapannya
secara langsung di lapangan. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak
terima kasih kepada dr. Rudi Gunawan, Sp.OG (K) Onk sebagai pembimbing yang
telah meluangkan waktunya untuk membimbing penulis.

Penulis menyadari bahwa penulisan Case Report Session (CRS) ini masih
banyak kekurangan, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran
yang bersifat membangun dari semua pihak yang membacanya.Semoga tugas ini
dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Jambi, Mei 2020

Penulis

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Aborsi di dunia dan di Indonesia khususnya tetap menimbulkan banyak


persepsi dan bermacam interpretasi, tidak saja dari sudut pandang kesehatan,
tetapi juga dari sudut pandang hukum dan agama. Aborsi merupakan masalah
kesehatan masyarakat karena memberi dampak pada kesakitan dan kematian ibu.
Sebagaimana diketahui penyebab kematian ibu yang utama adalah perdarahan,
1
infeksi dan eclampsia.
Abortus merupakan istilah yang diberikan untuk semua kehamilan yang
berakhir sebelum periode viabilitas janin, yaitu ancaman atau pengeluaran hasil
konsepsi sebelum janin dapat hidup di luar kandungan. Akan tetapi, karena
jarangnya janin yang dilahirkan dengan berat badan di bawah 500 gram dapat
hidup terus, maka abortus ditentukan sebagai pengakhiran kehamilan sebelum
1,2
janin mencapai berat 500 gram atau kurang dari 20 minggu.
Diperkirakan diseluruh dunia setiap tahun terjadi 20 juta kasus aborsi tidak
aman, 70 ribu perempuan meninggal akibat aborsi tidak aman dan 1 dari 8
kematian ibu disebabkan oleh aborsi tidak aman. 95% (19 dari 20 kasus aborsi
tidak aman) dintaranya bahkan terjadi di negara berkembang. Di Indonesia setiap
tahunnya terjadi kurang lebih 2 juta kasus aborsi, artinya 43 kasus/100 kelahiran
hidup (sensus 2000). Angka tersebut memberikan gambaran bahwa masalah
aborsi di Indonesia masih cukup besar (Wijono 2000). Suatu hal yang dapat kita
tengarai, kematian akibat infeksi aborsi ini justru banyak terjadi di negara-negara
1
dimana aborsi dilarang keras oleh undang-undang.
Angka kejadian abortus sukar ditentukan karena kasus abortus banyak yang
tidak dilaporkan, kecuali apabila terjadi komplikasi. Abortus yang berlangsung tanpa
tindakan disebut abortus spontan, sedangkan abortus yang terjadi dengan sengaja
dilakukan tindakan disebut abortus provokatus. Abortus spontan kadang-kadang
hanya disertai gejala dan tanda ringan, sehingga pertolongan medik tidak diperlukan
dan kejadian ini dianggap sebagai terlambat haid. Diperkirakan frekuensi abortus
spontan berkisar 10-15%. Frekuensi ini dapat mencapai angka

1
50% bila diperhitungkan mereka yang hamil sangat dini, terlambat haid beberapa
3
hari, sehingga wanita itu sendiri tidak mengetahui bahwa ia sudah hamil.
Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO) diperkirakan 4,2 juta abortus
dilakukan setiap tahun di Asia Tenggara, dengan perincian: 1,3 juta dilakukan di
Vietnam dan Singapura; antara 750.000 sampai 1,5 juta di Indonesia; antara
155.000 sampai 750.000 di Filipina; antara 300.000 sampai 900.000 di Thailand.
Di Indonesia, diperkirakan ada 5 juta kehamilan per-tahun. Dengan demikian
2
setiap tahun 500.000-750.000 abortus spontan. Berdasarkan data yang
dikeluarkan BKKBN, diperkirakan setiap tahun jumlah aborsi di Indonesia
1
mencapai 2,4 juta jiwa. Bahkan, 800 ribu di antaranya terjadi di kalangan remaja.
Data dari beberapa studi menunjukkan bahwa setelah satu kali abortus spontan,
pasangan punya risiko 15% untuk mengalami keguguran lagi, sedangkan apabila
pernah dua kali, risikonya akan meningkat 25%. Beberapa studi meramalkan
1,3
bahwa risiko abortus setelah tiga abortus berurutan adalah 30-45%.
Berdasarkan pemikiran tersebut di atas, maka saya mengangkat
permasalahan abortus sebagai makalah, mengingat permasalahan abortus sendiri
merupakan suatu permasalahan yang kompleks bagi ibu, suami/pasangan maupun
keluarga.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI
Menurut Kamus kedokteran Dorland, abortus adalah fetus dengan berat
kurang dari 500 gram atau umur kehamilan kurang dari 20 minggu pada saat
1,5
dikeluarkan dari uterus, yang tidak mempunyai kemungkinan hidup.
Abortus/keguguran adalah ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi sebelum
janin dapat hidup di luar kandungan. Sebagai batasan ialah kehamilan kurang dari
1,2
20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram.

2.2 ETIOLOGI
Penyebab abortus (early pregnancy loss) bervariasi dan sering
diperdebatkan. Umumnya lebih dari satu penyebab. Faktor-faktor penyebabnya
sangat banyak pada bulan pertama dari kehamilan yang mengalami abortus.
3,4,9,10
Penyebab terbanyak diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Penyebab Genetik
Menurut HERTIG, pertumbuhan abnormal dari fetus sering menyebabkan
abortus spontan. Pada ovum abnormal, 6% diantaranya terdapat degenerasi hidatid
vili. Abortus spontan yang disebabkan oleh karena kelainan dari ovum, berkurang
kemungkinannya jika kehamilan sudah lebih dari satu bulan, artinya makin muda
kehamilan saat terjadinya abortus makin besar kemungkinan disebabkan oleh
2
kelainan ovum (50-80%). Sebagian besar abortus spontan disebabkan oleh
kariotip embrio. Paling sedikit 50% kejadian abortus pada trimester pertama
merupakan kelainan sitogenetik. Gambaran ini belum termasuk kelainan yang
disebabkan oleh gangguan gen tunggal (misalnya kelainan Mendelian) atau mutasi
pada beberapa lokus (misalnya gangguan poligenik atau multifaktor) yang tidak
terdeteksi dengan pemeriksaan kariotipe.
Kejadian tertinggi kelainan sitogenik konsepsi terjadi pada awal kehamilan.
Kelainan sitogenik embrio biasanya berupa aneuploidi yang disebabkan oleh kejadian
sporadis. Trisomi 16 dengan kejadian sekitar 30% dari seluruh trisomi, merupakan
penyebab terbanyak. Semua kromosom trisomi berakhir abortus kecuali pada trisomi
kromosom 1. Sindrom turner merupakan penyebab 20-25% kelainan

3
sitogenik pada abortus. Sepertiga dari fetus dengan Sindroma Down (trisomi 21)
bisa bertahan. Struktur kromosom merupakan kelainan kategori ketiga. Triplodi
ditemukan pada 16% kejadian abortus di mana terjadi fertilisasi ovum normal oleh
2 sperma (dispermi).
Kelainan struktural terjadi pada sekitar 3% kelainan sitogenik pada
abortus. Abortus berulang bisa disebabkan oleh penyatuan dari 2 kromosom yang
abnormal, di mana bila kelainannya hanya pada salah satu orang tua, faktor
1,2,3,8
tersebut tidak diturunkan.
Abortus berulang bisa disebabkan oleh penyatuan dari 2 kromosom yang
abnormal, di mana bila kelainannya hanya pada salah satu orang tua, faktor
tersebut tidak diturunkan. Studi yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa bila
ddapatkan kelainan kariotip pada kejadian abortus, maka kehamilan berikutnya
1,2
juga berisiko mengalami abortus.
Selain itu, gen yang abnormal akibat mutasi gen bisa mengganggu proses
impantasi dan mengakibatkan abortus seperti mytotic dystrophy yg berakibat pada
kombinasi gen yang abnormal dan gangguan fungsi uterus. Gangguan genetik
seperti Sindroma Marfan, Sindroma Ehlers-Danlos, hemosistenuri dan
pseusoxantoma elasticum merupakan gangguan jaringan ikat yang bisa berakibat
abortus. Kelainan hematologik seperti pada penderita sickle cell anemia,
disfibronogemi, defisiensi faktor XIII mengakibatkan abortus dengan
mengakibatkan mikroinfak pada plasenta.

5
Gambar 2.1 Frekuensi Kelainan Kromosom pada masing-masing Trimester

4
b. Penyebab Anatomik
Defek anatomik uterus diketahui sebagai penyebab komplikasi obstetrik,
seperti abortus berulang, prematuritas, serta malpresentasi janin. Insiden kelainan
bentuk uterus berkisar 1/200 sampai 1/600 perempuan. Pada perempuan dengan
riwayat abortus, ditemukan anomali uterus pada 27% persen. Penyebab terbanyak
abortus karena kelainan anatomik uterus adalah septum uterus akibat kelaianan
duktus mulleri (40-80%), kemudian uterus bikornis atau uterus didelfis atau unikornis
(10-30%). Mioma uteri bisa menyebabkan baik infertilitas maupun abortus berulang
akibat gangguan passage dan kontraktilitas uterus. Sebagian besar mioma tidak
memberikan gejala, hanya yang berukuran besar atau yang memasuki kavum uteri
1
(submukosa) yang akan menimbulkan gangguan. Sindroma Asherman bisa
menyebabkan gangguan tempat implantasi serta pasokan darah pada permukaan
endometrium. Kelainan kogenital arteri uterina yang membahayakan aliran darah
endometrium dapat juga berpengaruh. Selain itu, kelainan yang didapat misalnya
adhesi intrauterin (synechia), leimioma, dan endometriosis mengakibatkan komplikasi
1
anomali pada uterus dan dapat mengakibatkan abortus.

Risiko abortus antara 25 – 80%, bergantung pada berat ringannya


gangguan. Untuk mendiagnosis kelainan ini bisa digunakan Histerosalpingografi
3,4
(HSG) dan ultrasonografi.
c. Penyebab Autoimun
Terdapat hubungan yang nyata antara abortus berulang dan penyakit
autoimun. Misalnya pada Systematic Lupus Erythematosus (SLE) dan
Antiphospholipid Antibodies (aPA). Diperkirakan 75% pasien dengan SLE akan
berakhir dengan terhentinya kehamilan. Sebagian besar kematian janin
dihubungkan dengan adanya aPA. Antiphospolipid syndrom (APS) sering juga
ditemukan pada beberapa keadaan obstetrik, misalnya pada preeklampsia, IUGR
dan prematuritas. Usia kehamilan saat terjadinya abortus bisa memberi gambaran
tentang penyebabnya . Sebagai contoh , Antiphospholipid Syndrome (APS) dan
inkompetensi serviks sering terjadi setelah trimester pertama. The International
Consensus Workshop mengajukan klasifikasi kriteria untuk APS, yaitu meliputi:
trombosis vaskular, komplikasi kehamilan, kriteria laboratorium dan antibodi
3,4
fosfolipid.

5
The International Consensus Workshop pada 1998 mengajukan klasifikasi
kriteria untuk APS, yaitu meliputi:
➢ Trombosis vaskular

Dibuktikan dengan gambaran Doppler, pencitraan, atau histologi. Pada


pemeriksaan histopatologi, trombosisnya tanpa disertai gambaran inflamasi.

➢ Komplikasi kehamilan

3 atau lebih kejadian abortus dengan sebab yang tidak jelas, kematian janin
dimana gambaran morfologi secara sonografi normal, dan adanya persalinan
prematur dengan gambaran janin normal dan berhubungan dengan
preeklamisia berat atau insufisiensi plasenta yang berat.

➢ Kriteria laboratorium

Anticardiolipin antibodies (aCLs) : IgG dan atau IgM dengan kadar yang
sedang atau tinggi pada 2 kali atau lebih pemeriksaan dengan jarak lebih dari
atau sama dengan 6 minggu. aCLs diukur dengan metode ELISA standar.

➢ Antibodi fosfolipid/antikoagulan.

Adanya perbaikan nilai tes yang memanjang dengan penambahan fosfolipid.

aPA ditemukan 20% pada perempuan yang mengalami abortus dan lebih
dari 33% pada perempuan yang mengalami SLE. Pada kejadian abotus berulang,
.4
ditemukan infark plasenta yang luas akibat adanya atherosis dan oklusi vaskular

d. Penyebab Infeksi
Ada pelbagai teori untuk menjelaskan keterkaitan infeksi dengan
kejadian abortus. Infeksi janin yang bisa berakibat kematian janin dan
4
cacat berat sehingga janin sulit untuk bertahan hidup.
3,4
Peran infeksi terhadap risiko abortus, diantaranya sebagai berikut:
- Adanya metabolik toksik, endotoksin, eksotoksin, atau sitokin yang
berdampak langsung pada unit atau fetoplasenta,
- Infeksi janin yang bisa berakibat kematian janin atau cacat berat
sehingga janin sulit bertahan hidup,
- Infeksi plasenta yang berakibat insufisiensi plasenta dan bisa berlanjut
kematian janin,

6
- Infeksi kronis endometrium dari penyebaran kuman genitalia bawah
yang bisa mengganggu proses implantasi,
- Amnionitis (oleh kuman gram positif dan negatif),
- Memacu perubahan genetik dan anatomik embrio, umumnya oleh
karena virus selama kehamilan awal.

e. Faktor Lingkungan
Diperkirakan 1-10% malformasi janin akibat dari paparan obat, bahan kimia
atau radiasi dan umunya berakhir dengan abortus, misalnya paparan terhadap
buangan gas anestesi dan tembakau. Dengan adanya gangguan pada sistem
sirkulasi fetoplasenta dapat terjadi ganggguan pertumbuhan janin yang berakibat
3,4
terjadinya abortus. Faktor-faktor yang terbukti berhubungan dengan
peningkatan insiden abortus adalah merokok, alkohol dan kafein.

f. Faktor Hormonal
Ovulasi, implantasi, serta kehamilan dini bergantung pada koordinasi yang
baik sistem pengaturan hormom maternal. Oleh karena itu, perlu perhatian
langsung terhadap sistem hormon secara keseluruhan, fase luteal, dan gambaran
hormon setelah konsepsi terutama kadar progesteron. Misalnya pada kasus
diabetes mellitus, kadar progesteron yang rendah, defek fase luteal, dan pengaruh
1,3,4
hormonal terhadap imunitas desidua.

g. Faktor Hematologik
Beberapa kasus abortus berulang ditandai dengan defek plasentasi dan
adanya mikrotrombi pada pembuluh darah plasenta. Berbagai komponen koagulasi
dan fibrinolitik memegang peran penting pada implantasi embrio, invasi trofoblas,
1,3,4
dan plasentasi. Pada kehamilan terjadi keadaan hiperkoagulasi dikarenakan:
- Peningkatan kadar faktor prokoagulan
- Penurunan faktor antikoagulan
- Penurunan aktivitas fibrinolitik
Kadar faktor VII, VIII, X, dan fibrinogen meningkat selama kehamilan
normal terutama pada kehamilan sebelum 12 minggu. Pada abortus sering didapatkan
defek hemostatik. Perempuan dengan riwayat abortus berulang, sering terdapat
peningkatan produksi tromboksan yang berlebihan pada usia kehamilan 4–

7
6 minggu, dan penurunan produksi prostasiklin saat usia kehamilan 8-11 minggu.
Perubahan rasio tromboksan-prostasiklin memacu vasospasme serta agregasi
3,4
trombosit, yang menyebabkan mikrotrombi serta nekrosis plasenta.
Homosistein merupakan asam amino yang dibentuk selama konversi
metionin kesistein. Hiperhomosisteinemi, bisa kongenital ataupun akuisita
berhubungan dengan trombosis dan penyakit vaskular dini. Kondisi ini
berhubungan dengan 21% abortus berulang. Gen pembawa akan diturunkan
secara autosom resesif. Bentuk terbanyak yang didapat adalah defisiensi folat.
Pada pasien ini, penambahan folat akan mengembalikan kadar homosistein
3,4
normal dalam beberapa hari.

2.3 EPIDEMIOLOGI
Lebih dari 80% abortus terjadi dalam 12 minggu pertama. Anomali
kromosom menyebabkan paling sedikit separuh dari abortus dini. Risiko abortus
spontan meningkat seiring dengan paritas serta usia ibu dan ayah. Abortus spontan
yang secara klinis terdeteksi meningkat dari 12% pada wanita berusia kurang dari
20 tahun, menjadi 26% pada wanita berusia lebih dari 40 tahun. Akhirnya, insiden
abortus meningkat pada wanita yang hamil dalam 3 bulan setelah melahirkan
5
aterm.
Rata-rata terjadi 114 kasus abortus per jam. Frekuensi Abortus spontan
berkisar 15-20 % dari semua kehamilan. Menurut SIEGLER dan EASTMAN,
abortus terjadi pada 10 % kehamilan. Data dari RS.Pringadi Medan diperoleh 10%
abortus dari seluruh kehamilan. Angka kejadian abortus habitualis 3-5 % . Data
menunjukkan bahwa setelah 1 kali abortus spontan , pasangan punya resiko 15 %
untuk mengalami keguguran lagi . sedangkan bila pernah 2 kali . resiko akan
meningkat 25 % , beberapa studi meramalkan bahwa resiko abortus setelah 3
3,4
abortus berurutan adalah 30-45 %.

2.4 PATOFISIOLOGI
Endometrium menyiapkan diri sebagai tempat implantasi dan memberi
makan kepada blastokist yang disebut sebagai desidua.
1,3,4
Setelah terjadi implantasi, desidua akan dibedakan menjadi :
1. Desidua basalis: desidua yang terletak antara blastokist dan miometrium

8
2. Desidua kapsularis: desidua yang terletak antara blastokist dan kavum uteri
3. Desidua vera: desidua sisa yang tidak mengandung blastokist
Bersamaan dengan hal ini pada daerah desidua basalis terjadi suatu
degenerasi fibrinoid, yang terletak diantara desidua dan trofoblast untuk
menghalangi serbuan trofoblast lebih dalam lagi. Lapisan dengan degenerasi
fibrinoid ini disebut sebagai lapisan Nitabuch. Pada perkembangan selanjutnya,
saat terjadi persalinan, plasenta akan terlepas dari endometrium pada lapisan
Nitabuch tersebut.
Pada awal abortus terjadi perdarahan dalam desidua basalis kemudian diikuti
oleh nekrosis jaringan di sekitarnya. Hal tersebut menyebabkan hasil konsepsi
terlepas sebagian atau seluruhnya, sehingga merupakan benda asing dalam uterus.
Keadaan ini menyebabkan uterus berkontraksi untuk mengeluarkan isinya. Pada
kehamilan kurang dari 8 minggu hasil konsepsi itu biasanya dikeluarkan seluruhnya
karena villi koriales belum menembus desidua secara mendalam. Pada kehamilan
antara 8 sampai 14 minggu villi koriales menembus desidua lebih dalam, sehingga
umumnya plasenta tidak dilepaskan sempurna yang dapat menyebabkan banyak
perdarahan. Pada kehamilan 14 minggu ke atas umumnya yang dikeluarkan setelah
ketubah pecah ialah janin, disusul beberapa waktu kemudian plasenta. Perdarahan
tidak banyak jika plasenta segera terlepas dengan lengkap. Peristiwa abortus ini
3,4
menyerupai persalinan dalam bentuk miniatur.

Hasil konsepsi pada abortus dapat dikeluarkan dalam berbagai bentuk. Ada
kalanya kantong amnion kosong atau tampak di dalamnya benda kecil tanpa
bentuk yang jelas (blighted ovum); mungkin pula janin telah mati lama (missed
abortion). Apabila mudigah yang mati tidak dikeluarkan dalam waktu singkat,
maka ia dapat diliputi oleh lapisan bekuan darah. Isi uterus dimanakan mola
kruenta. Bentuk ini menjadi mola karnosa apabila pigmen darah telah diserap dan
dalam sisanya terjadi organisasi, sehingga semuanya tampak seperti daging.
Bentuk lain adalah mola tuberosa; dalam hal ini amnion tampak berbenjol-benjol
karena terjadi hematoma antara amnion dan korion.

9
Faktor genetik Faktor Faktor penyakit Faktor infeksi Faktor Faktor
anatomik autoimun lingkungan hormonal
uterus

Kelainan Gangguan SLE dan aPA Terjadinya Seperti nikotin Penurunan


sitogenik implantasi serta metabolisme dan co2 kadar
(mutasi gen) pasokan darah toksin, infeksi progesteron
ke janin, amnion,
Kematian janin
endometrium plasenta, dan
endometrium Efek vasoaktif
Gangguan Gangguan
proses implantasi
implantasi
Hambatan
Gangguan
sirkulasi
implantasi dan
uteroplasenta
kematian janin

Gangguan
pertumbuhan
janin

Perdarahan pada desidua basalis

Nekrosis jaringan disekitar pendarahan

Hasil konsepsi terlepas seluruhnya atau


sebagian dari dinding endometrium

Merupakan Korpus alineum dalam uterus

Terjadi kontraksi untuk mengeluarkan isinya

ABORTUS

Gambar 2.2 Skema Patofisiologi Abortus

10
Pada janin yang telah meninggal dan tidak dikeluarkan dapat terjadi proses
mumifikasi: janin mengering dan karena cairan amnion menjadi kurang oleh
sebab diserap, ia menjadi agak gepeng (fetus kompressus). Dalam tingkat lebih
lanjut ia menjadi tipis seperti kertas perkamen (fetus papiraseus). Kemungkinan
lain pada janin-mati yang tidak segera dikeluarkan ialah terjadinya maserasi; kulit
terkupas, tengkorak menjadi lembek, perut membesar karena terisi cairan, dan
3
seluruh janin berwarna kemerah-merahan.

2.5 KLASIFIKASI ABORTUS DAN PENANGANANNYA


1,3,4,5,6,7
Abortus dapat diklasifikasikan atas dua golongan:
1. Abortus Spontan, yaitu abortus yang terjadi dengan tidak didahului
faktor-faktor mekanis ataupun medisinalis, semata-mata disebabkan
1,7
oleh faktor-faktor alamiah.
2. Abortus Provokatus (induced abortion), yaitu abortus yang disengaja,
baik dengan memakai obat-obatan maupun alat-alat. Abortus ini dibagi
1,7
menjadi:
a. Abortus Medisinalis (abortus therapeutica)
Abortus karena tindakan sendiri, dengan alasan bila kehamilan
dilanjutkan dapat membahayakan jiwa ibu (berdasarkan indikasi
medis). Biasanya perlu mendapat persetujuan 2 sampai 3 tim
dokter ahli.
b. Abortus kriminalis
Abortus yang terjadi oleh karena tindakan-tindakan yang tidak
legal atau tidak berdasarkan indikasi medis.

Abortus spontan secara klinis dapat digolongkan atas:


Abortus Imminens
Abortus imminens ialah peristiwa terjadinya perdarahan dari uterus pada
kehamilan sebelum 20 minggu, dimana hasil konsepsi masih dalam uterus, dan
tanpa adanya dilatasi serviks.
Diagnosis abortus immines ditentukan karena pada wanita hamil terjadi
perdarahan melalui ostium uteri eksternum, disertai mules sedikit atau tidak sama
sekali, uterus membesar sebesar tuanya kehamilan, serviks belum membuka, dan

11
tes kehamilan positif. Pada beberapa wanita hamil dapat terjadi perdarahan sedikit
pada saat haid yang semestinya datang jika tidak terjadi pembuahan. Hal ini
disebabkan oleh penembusan villi koriales ke dalam desidua, pada saat implantasi
ovum. Perdarahan implantasi biasanya sedikit, warnanya merah, dan cepat berhenti,
tidak disertai mules-mules. Untuk menentukan prognosis abortus iminens dapat
dilakukan dengan melihat kadar hormon HCG pada urin dengan cara melakukan tes
urin kehamilan menggunakan urin tanpa pengenceran dan dengan pengenceran 1/10.
Bila hasil tes urin masih positif keduanya maka prognosisnya adalah baik, bila dengan
pengenceran 1/10 hasilnya negatif maka prognosisnya dubia ad malam.
1,3,4,7
Penanganan abortus imminens terdiri atas:
1. Istirahat-baring. Tirah baring merupakan unsur penting dalam pengobatan,
karena cara ini menyebabkan bertambahnya aliran darah ke uterus dan
berkurangnya rangsangan mekanik. Tirah baring dilakukan sampai
perdarahan berhenti.
2. Tentang pemberian hormon progesteron pada abortus imminens belum ada
persesuaian faham. Sebagian besar ahli tidak menyetujuinya, dan mereka
yang menyetujuinya menyatakan bahwa harus ditentukan dahulu adanya
kekurangan hormon progesteron, apabila difikirkan bahwa sebagian besar
abortus didahului oleh kematian hasil konsepsi dan kematian ini dapat
disebabkan oleh banyak faktor, maka pemberian hormon progesteron
memang tidak banyak manfaatnya.
3. Pemeriksaan ultrasonografi penting dilakukan untuk menentukan apakah janin
masih hidup. Pemeriksaan USG diperlukan untuk mengetahui pertumbuhan
janin yang ada dan mengetahui keadaan plasenta apakah sudah terjadi
pelepasan atau belum. Diperhatikan ukuran biometri janin/kantong gestasi
apakah sesuai dengan umur kehamilan berdasarkan HPHT. Denyut jantung
janin dan gerakan janin diperhatikan disamping ada tidaknya hematoma
retroplasenta atau pembukaan kanalis servikalis. Pemeriksaan USG dapat
dilakukan baik secara transabdominal maupun transvaginal.
4. Macam dan lamanya perdarahan menentukan prognosis kelangsungan
kehamilan. Prognosis menjadi kurang baik bila perdarahan berlangsung lama,
mules-mules yang disertai pendataran serta pembukaan serviks. Penderita

12
boleh dipulangkan setelah tidak terjadi perdarahan dengan pesan khusus
tidak boleh berhubungan seksual dulu sampai lebih kurang 2 minggu.

Abortus Insipiens
Abortus insipiens ialah peristiwa perdarahan uterus pada kehamilan
sebelum 20 mingggu dengan adanya dilatasi serviks uteri yang meningkat, tetapi
hasil konsepsi masih dalam uterus. Dalam hal ini rasa mules menjadi lebih sering
dan kuat, perdarahan bertambah. Pengeluaran hasil konsepsi dapat dilaksanankan
3,4
dengan kuret vakum atau dengan cunam ovum, disusul dengan kerokan.
Pada kehamilan lebih dari 12 minggu biasanya perdarahan tidak banyak dan
bahaya perforasi pada kerokan lebih besar, maka sebaiknya proses abortus dipercepat
dengan pemberian infus oksitosin. Apabila janin sudah keluar tetapi plasenta masih
tertinggal, sebaiknya pengeluaran plasenta dikerjakan secara digital yang dapat
disusul dengan kerokan bila masih ada sisa plasenta yang tertinggal. Bahaya perforasi
pada hal yang terakhir ini tidak seberapa besar karena dinding uterus menjadi tebal
1,3,4,7
disebabkan sebagian besar hasil konsepsi telah keluar.

3,4
Gambar 2.3 Abortus Iminens, abortus Insipiens, dan missed abortion

13
Pengelolaan penderita ini harus memperhatikan keadaan umum dan
perubahan hemodinamik yang terjadi dan segera lakukan tindakan
evakuasi/pengeluaran hasil konsepsi disusul dengan kuretase bila perdarahan
banyak. Pada usia kehamilan di atas 12 minggu, uterus biasanya sudah melebihi
telur angsa, maka tindakan evakuasi dan kuretase harus dilakukan hati-hati, kalau
perlu dilakukan evakuasi dengan cara digital yang kemudian disusul dengan
tindakna kuretase sambil memberikan uterotonika yang akan mencegah terjadinya
perforsi pada dinding uterus. Pascatindakan perlu perbaikan keadaan umum,
3,4,6,7
pemberian uterotonika, dan antibiotika profilaksis.

Abortus Inkompletus
Abortus inkompletus ialah pengeluaran sebagian hasil konsepsi pada
kehamilan sebelum 20 minggu dengan masih ada sisa tertinggal dalam uterus.
Pada pemeriksaan vaginal, kanalis servikalis terbuka dan jaringan dapat diraba
dalam kavum uteri atau kadang-kadang sudah menonjol dari ostium uteri
eksternum. Perdarahan pada abortus inkompletus dapat banyak sekali, sehingga
menyebabkan syok dan perdarahan tidak akan berhenti sebelum sisa hasil
konsepsi dikeluarkan. Dalam penanganannya, apabila abortus inkompletus disertai
syok karena perdarahan, segera harus diberikan infus cairan NaCl fisiologik atau
cairan Ringer yang disusul dengan transfusi. Setelah syok diatasi, dilakukan
kerokan. Pasca tindakan disuntikkan intramuskulus ergometrin untuk
3,4
mempertahankan kontraksi otot uterus.

Abortus Kompletus
Pada abortus kompletus semua hasil konsepsi sudah dikeluarkan. Pada
penderita ditemukan perdarahan sdikit, ostium uteri telah menutup, dan uterus sudah
banyak mengecil. Diagnsosis dapat dipermudah apabila hasil konsepsi dapat diperiksa
3,4
dan dapat dinyatakan bahwa semuanya sudah keluar dengan lengkap.
Penderita dengan abortus kompletus tidak memerlukan pengobatan
khusus, hanya apabila menderita anemia perlu diberi sulfas ferrosus atau transfusi.

14
3,4
Gambar 2.4 Abortus Inkomplit dan abortus komplit

Abortus Servikalis
Pada abortus servikalis keluarnya hasil konsepsi dai uterus dihalangi oleh
ostium uteri eksternum yang tidak membuka, sehingga semuanya terkumpul daam
kanalis servikalis dan serviks uteri menjadi besar, kurang-lebih bundar, dengan
dinding menipis. Pada pemeriksaan ditemukan serviks membesar dan di atas
3,4
ostium uteri eksternum teraba jaringan.
Terapi terdiri atas dilatasi serviks dengan busi Hegar dan kerokan untuk
3,4
mengeluarkan hasil konsepsi dari kanalis servikalis.

Missed Abortion
Missed abortion ialah kematian janin berusia sebelum 20 minggu, tetapi
janin mati itu tidak dikeluarkan selama 8 minggu atau lebih. Etiologi missed
abortion tidak diketahui, tetapi diduga pengaruh hormon progesteron. Pemakaian
hormon progesteron pada abortus imminens mungkin juga dapat menyebabkan
3,4,5
missed abortion.
Diagnosis: dahulu diagnosis biasanya tidak dapat ditentukan dalam satu kali
pemeriksaan, melainkan memerlukan waktu pengamatan untuk menilai tanda-tanda
tidak tumbuhnya malahan mengecilnya uterus. Missed abortion biasanya didahului
oleh tanda-tanda abortus imminens yang kemudian menghilang secara spontan atau
setelah pengobatan. Gejala subjektif kehamilan menghilang, mammae agak
mengendor lagi, uterus tidak membesar lagi bahkan mengecil, tes kehamilan menjadi
negatif. Dengan ultrasonografi dapat ditentukan segera apakah janin sudah mati dan
besarnya sesuai dengan usia kehamilan. Perlu diketahui pula bahwa

15
missed abortion kadang-kadang disertai oleh gangguan pembekuan darah karena
hipofibrinogenemia, sehingga pemeriksaan ke arah ini perlu dilakukan.
Penanganan: Setelah diagnosis missed abortion ditegakkan, timbul
pertanyaan apakah hasil konsepsi perlu segera dilakukan tindakan pengeluaran.
Tindakan pengeluaran itu tergantung dari berbagai faktor, seperti apakah kadar
fibrinogen dalam darah sudah mulai turun. Hipofibrinogenemia dapat terjadi
apabila janin yang mati lebih dari 1 bulan tidak dikeluarkan. Selain itu, faktor
mental penderita perlu diperhatikan karena tidak jarang wanita yang bersangkutan
merasa gelisah, mengetahui ia mengandung janin yang telah mati, dan ingin
7
supaya janin secepatnya dikeluarkan.
Pengeluaran hasil konsepsi pada missed abortion merupakan satu tindakan
yang tidak lepas dari bahaya karena plasenta dapat melekat erat pada dinding uterus
dan kadang-kadang terdapat hipofibrinogenemia. Apabila diputuskan untuk
mengeluarkan hasil konsepsi itu, pada uterus yang besarnya tidak melebihi 12 minggu
sebaiknya dilakukan pembukaan serviks uteri dengan memasukkan laminaria selama
kira-kira 12 jam dalam kanalis servikalis, yang kemudian dapat diperbesar dengan
busi Hegar sampai cunam ovum atau jari dapat dikeluarkan lebih mudah serta aman,
3,4,7
dan sisa-sisanya kemudian dibersihkan dengan kuret tajam.

Abortus Habitualis
Definisi. Abortus habitualis ialah abortus spontan yang terjadi 3 kali atau
3,4,7
lebih berturut-turut.
Pada umumnya penderita tidak sukar menjadi hamil, tetapi kehamilannya
berakhir sebelum 28 minggu. Bishop melaporkan frekuensi 0,41% abortus
habitualis pada semua kehamilan. Menurut Malpas dan Eastman kemungkinan
terjadinya abortus lagi pada seorang wanita yang mengalami abortus habitualis
ialah 73% dan 83,6%. Sebaliknya, Warton dan Fraser dan Llewellyn-Jones
3,4,7
memberi prognosis yang lebih baik, yaitu 25,9% dan 39%.
Etiologi abortus habitualis pada dasarnya sama dengan penyebab abortus
spontan. Selain itu telah ditemukan penyebab imunologik yaitu kegagalan reaksi
terhadap antigen lymphocyte trophoblast cross reactive (TLX). Pasien dengan
reaksi lemah atau tidak ada akan mengalami abortus. Sistem TLX ini merupakan
cara untuk melindungi kehamilan. Kelainan ini dapat diobati dengan transfusi

16
leukosit atau heparin. Dalam usaha untuk mencari penyebab itu perlu dilakukan
penegakkan diagnosis yang teliti: anamnesis yang lengkap, pemeriksaan VDRL,
pemeriksaan test toleransi glukosa, pemeriksaan kromosom dan pemeriksaan
mikoplasma. Abortus habitualis yang terjadi dalam triwulan kedua dapat
disebabkan oleh serviks uteri yang tidak mampu terus menutup, melainkan
3
perlahan-lah membuka (inkompeten). Kelainan ini sering kali akibat trauma pada
serviks, misalnya karena usaha pembukaan yang berlebihan, robekan serviks yang
7
luas dan sebagainya.
Diagnosis. Diagnosis abortus habitualis tidak sukar ditentukan dengan
anamnesis. Khususnya diagnosis abortus habitualis karena inkompetensia
menunjukkan gambaran klinik yang khas, yaitu dalam kehamilan triwulan kedua
terjadi pembukaan serviks tanpa disertai mules, ketuban menonjol dan pada suatu
saat pecah. Kemudian timbul mules yang selanjutnya diikuti oleh pengeluaran
janin yang biasanya masih hidup dan normal. Apabila penderita datang dalam
triwulan pertama, maka gambaran klinik tersebut dapat diikuti dengan melakukan
pemeriksaan vaginal tiap minggu. Penderita tidak jarang mengeluh bahwa ia
mengeluarkan banyak lendir dari vagina. Di luar kehamilan penentuan serviks
inkompeten dilakukan dengan histerosalpingografi yaitu ostium internum uteri
melebar lebih dari 8 mm.
Penanganan. Penyebab abortus habitualis untuk sebagian besar tidak
diketahui. Oleh karena itu, penanganannya terdiri atas: memperbaiki keadaan
umum, pemberian makanan yang sempurna, anjuran istirahat cukup banyak,
larangan koitus dan olahraga. Terapi dengan hormon progesteron, vitamin,
hormon tiroid, dan lainnya mungkin hanya mempunyai pengaruh psikologis
3,7
karena penderita mendapat kesan bahwa ia diobati.

2.6 MANIFESTASI KLINIS


2,3,4,5
Gejala abortus berupa amenorea, sakit perut kram, dan mules-mules.
Perdarahan pervaginam bisa sedikit atau banyak dilihat dari pads atau tampon yang
telah dipakai, dan biasanya berupa darah beku tanpa atau desertai dengan keluarnya
fetus atau jaringan. Ini penting untuk melihat progress abortus.Pada abortus yang
sudah lama terjadi atau pada abortus provokatus sering terjadi infeksi yang dilihat
dari demam, nadi cepat, perdarahan, berbau, uterus membesar dan lembek, nyeri

17
tekan,dan luekositosis. Pada pemeriksaan dalam untuk abortus yang baru saja
terjadi didapati serviks terbuka, kadang-kadang dapat diraba sisa-sisa jaringan
dalam kanalis servikalis atau kavum uteri, serta uterus berukuran kecil dari
seharusnya. Pada pemeriksaan USG, ditemukan kantung gestasional yang tidak
1
utuh lagi dan tiada tanda-tanda kehidupan dari janin.

2.7 DIAGNOSIS
3,4
Kriteria diagnosis abortus secara umum, meliputi:
➢ Ada riwayat terlambat haid atau amenore yang kurang dari 20 minggu

➢ Perdarahan pervaginam, mungkin disertai Jaringan hasil konsepsi.


➢ Rasa sakit atau kram perut di daerah supra simfisis.

1. Anamnesis
3 gejala utama (postabortion triad) pada abortus adalah nyeri di perut bagian
bawah terutamanya di bagian suprapubik yang bisa menjalar ke
punggung,bokong dan perineum, perdarahan pervaginam dan demam yang
tidak tinggi. Gejala ini terutamanya khas pada abortus dengan hasil konsepsi
yang masih tertingal di dalam rahim.7 Selain itu, ditanyakan adanya amenore
pada masa reproduksi kurang 20 minggu dari HPHT. Perdarahan pervaginam
dapat tanpa atau disertai jaringan hasil konsepsi. Bentuk jaringan yang keluar
juga ditanya apakah berupa jaringan yang lengkap seperti janin atau tidak atau
seperti anggur. Rasa sakit atau keram bawah perut biasanya di daerah atas
simpisis.Riwayat penyakit sekarang seperti IDDM yang tidak terkontrol,
tekanan darah tinggi yang tidak terkontrol, trauma, merokok, mengambil
alkohol dan riwayat infeksi traktus genitalis harus diperhatikan. Riwayat
kepergian ke tempat endemik malaria dan pengambilan narkoba malalui jarum
1
suntik dan seks bebas dapat menambah curiga abortus akibat infeksi.

Gejala klinis
Kriteria diagnosis pada masing-masing abortus, meliputi:
1. Abortus Iminens
Ditegakan atas dasar adanya perdarahan melalui ostium uteri eksternum,
disertai dengan perasaan mules sedikit atau tidak sama sekali, uterus

18
membesar sesuai dengan usia kehamilan, serviks belum membuka dan tes
kehamilan positif.
2. Abortus Insipiens
Didapatkan perdarahan melalui ostium uteri eksternum agak banyak, rasa
mules biasanya lebih sering dan kuat, didapatkan dilatasi dari serviks uteri
dan hasil konsepsi masih dalam uterus.
3. Abortus Inkomplit
Sebagian hasil konsepsi telah keluar, kanalis servikalis terbuka dan
Jaringan sudah dapat diraba dalam kavum uteri atau kadang-kadang sudah
menonjol dari ostium uteri eksternum. Perdarahan pada abortus inkomplit
dapat banyak sekali sampai dapat menimbulkan syok dan perdarahan ini
tidak akan berhenti sebelum sisa hasil konsepsi dikeluarkan.
4. Abortus komplit
Semua hasil konsepsi telah keluar dan diagnosis dipermudah apabila hasil
konsepsi dapat diperiksa dan dapat dinyatakan semuanya sudah keluar
dengan lengkap.
5. Missed abortion
Biasanya tidak dapat ditentukan dengan satu kali pemeriksaan, melainkan
memerlukan waktu untuk pengamatan dan penilaian tanda-tanda tidak
tumbuhnya atau bahkan mengecilnya uterus. Missed abortion biasanya
didahului oleh tanda-tanda abortus iminens yang kemudian menghilang
secara spontan atau setelah pengobatan, Hasil konsepsi tertinggal dalam
rahim lebih dari 8 minggu atau biasanya tes kehamilan negatif.
6. Abortus infeksiosa
Abortus yang disertai dengan infeksi pada organ-organ genitalia.
Didapatkan febris, nyeri adneksa dan fluor yang berbau.
7. Abortus septik
Abortus infeksiosa berat dengan penyebaran kuman atau toksin ke
peritoneum dan peredaran darah. Didapatkan tanda-tanda sepsis pada
umumnya dan tidak jarang disertai dengan syok.

19
2. Pemeriksaan Fisik
Bercak darah diperhatikan banyak, sedang atau sedikit. Palpasi abdomen dapat
memberikan ide keberadaan hasil konsepsi dalam abdomen dengan
pemeriksaan bimanual. Yang dinilai adalah uterus membesar sesuai usia
gestasi, dan konsistensinya. Pada pemeriksaan pelvis, dengan menggunakan
spekulum keadaan serviks dapat dinilai sam aada terbuka atau tertutup,
ditemukan atau tidak sisa hasil konsepsi di dalam uterus yang dapat menonjol
1
keluar, atau didapatkan di liang vagina.
Pemeriksaan fisik pada kehamilan muda dapat dilihat dari table di bawah ini:

3. Pemeriksaan Penunjang : Laboratorium


Pemeriksaan laboratorium berupa tes kehamilan, laboratorium rutin
(hemoglobin, leukosit, waktu bekuan, waktu perdarahan, trombosit dan GDS)
dan khusus seperti COT. Pemeriksaan kadar fibrinogen pada missed abortion.

20
4. Pemeriksaan Penunjang: Radioiogi
Pemeriksaan USG dan Doppler untuk menentukan apakah janin masih
hidup, adaqkah ditemukan kantung gestasi tidak utuh, ada sisa hasil
konsepsi dalam uterus, dan menentukan prognosisnya.

2.8 DIAGNOSIS BANDING


1,3,4,8,9,10,11
Diagnosis banding pada kasus abortus, meliputi:
1. Kehamilan Ektopik
Kehamilan ektopik merupakan setiap kehamilan yang terjadi di luar
kavum uteri. Kehamilan ektopik merupakan keadaan emergensi yang
menjadi penyebab kematian maternal selama kehamilan trimester pertama.
Karena janin pada kehamilan ektopik secara nyata bertanggung jawab
terhadap kematian ibu, maka para dokter menyarankan untuk mengakhiri
kehamilan. Diagnosis klinik:
• Nyeri abdominal dan perdarahan pervaginam pada trimester
pertama kehamilan. Meskipun gejala-gejala ini umumnya
ditemukan dalam komplikasi pada awal kehamilan, seperti:
ancaman keguguran dan dapat juga merupakan akibat dari keadaan
yang tidak berhubungan tetapi terjadi bersamaan, seperti: iritasi
serviks, infeksi, atau trauma.
• Hampir semua kehamilan ektopik didiagnosis antara kehamilan 5
dan 12 minggu. Identifikasi dari tempat implantasi embrio lebih
awal daripada kehamilan 5 minggu melampaui kemampuan teknik-
teknik diagnostik yang ada.

Gambar 2.5 Kehamilan Ektopik Terganggu

21
2. Mola Hidatidosa
Mola hidatidosa merupakan suatu kehamilan yang berkembang tidak wajar
dimana tidak ditemukan janin dan hampir seluruh vili koliaris mengalami
perubahan berupa degenerasi hidropik.
Diagnosis klinik:
• Gejala awal hampir sama dengan kehamilan biasa yaitu: mual,
muntah, pusing, dan lain-lain hanya saja derajat keluhan biasanya
lebih hebat.
• Gejala perdarahan biasanya terjadi antara bulan pertama sampai
ketujuh dengan rata-rata 12-14 minggu.
• Sifat perdarahan intermiten, sedikit-sedikit atau sekaligus banyak
yang dapat menyebabkan syok.
• Pemeriksaan USG menunjukkan gambaran berupa badai salju (snow
flake pattern) atau gambaran seperti sarang lebah (honey comb).

Gambar 2.6 Mola Hidatidosa

22
3. Perdarahan anovular pada wanita yang tidak hamil
4. polip endoserviks
5. karsinoma serviks

1
2.9 Penatalaksanaan

1. Abortus Imminens
Pada abortus imminens, tidak perlu pengobatan khusus atau tirah baring
total dan pasien dilarang dari melakukan aktivitas fisik berlebihan ataupun
hubungan seksual. Jika terjadi perdarahan berhenti, asuhan antenatal diteruskan
seperti biasa dan penilaian lanjutan dilakukan jika perdarahan terjadi lagi. Pada
kasus yang perdarahan terus berlansung, kondisi janin dinilai dan konfirmasi
kemungkinan adanya penyebab lain dilakukan dengan segera. Pada perdarahan
berlanjut khususnya pada uterus yang lebih besar dari yang diharapkan, harus
dicurigai kehamilan ganda atau mola.

2. Abortus insipiens
Jika usia kehamilan kurang dari 16 minggu, evakuasi uterus dilakukan
dengan aspirasi vakum manual. Jika evakuasi tidak dapat segera dilakukan maka,
Ergometrin 0,2 mg IM atau Misopristol 400mcg per oral dapat diberikan.
Kemudian persediaan untuk pengeluaran hasil konsepsi dari uterus dilakukan
dengan segera. Jika usia kehamilan lebih dari 16 minggu, ekpulsi spontan hasil
konsepsi ditunggu, kemudian sisa-sisa hasil konsepsi dievakuasi. Jika perlu, infus
20 unit oxytoxin dalam 500cc cairan IV (garam fisiologik atau larutan Ringer
Laktat) dengan kecepatan 40 tetes per menit diberikan untuk membantu ekspulsi
hasil konsepsi. Setelah penanganan, kondisi ibu tetap dipantau.

3. Abortus inkomplit
Jika perdarahan tidak beberapa banyak dan kehamilan kurang dari 16
minggu, evakuasi dapat dilakukan secara digital atau dengan cunam ovum untuk
mengeluarkan hasil konsepsi yang keluar melalui serviks. Jika perdarahan berhenti,
Ergometrin 0,2 mg IV atau misoprostol 400mcg per oral diberikan. Jika perdarahan
banyak atau terus berlangsung, dan usia kehamilan kurang dari 16 minggu, hasil
konsepsi dievakuasi dengan aspirasi vakum manual. Evakuasi vakum tajam hanya

23
digunakan jika tidak tersedia aspirasi vakum manual (AVM). Jika evakuasi belum
dapat dilakukan dengan segera, Ergometrin 0,2mg IM atau Misoprostol 400mcg
per oral dapat diberikan. Jika kehamilan lebih dari 16 minggu, infus oksitosin 20
unit diberikan dalam
500ml cairan IV (garam fisiologik atau RL) dengan kecepatan 40 tetes per menit
sampai terjadi ekspulsi hasil konsepsi. Jika perlu Misoprostol 200mcg pervaginam
diberikan setiap 4 jam sampai terjadi ekspulsi hasil konsepsi. Hasil konsepsi yang
tertinggal dalam uterus segera dievakuasi.

4. Abortus komplit
Pada kasus ini, evakuasi tidak perlu dilakukan lagi. Observasi untuk melihat
adanya perdarahan yang banyak perlu diteruskan dan kondisi ibu setelah
penanganan tetap dibuat. Apabila terdapat anemia sedang, tablet sulfas ferrosus
600mg/hari selama 2 minggu diberikan, jika anemia berat diberikan transfusi
darah. Seterusnya lanjutkan dengan konseling asuhan pascakeguguran dan
pemantauan lanjut jika perlu.

5. Abortus septik/infeksius
Pengelolaan pasien pada abortus septik harus mempertimbangkan
keseimbangan cairan tubuh dan perlunya pemberian antibiotika yang mencukupi
sesuai dengan hasil kultur dan sensitivitas kuman yang diambil dari darah dan
cairan flour yang keluar pervaginam. Untuk tahap pertama dapat diberikan
Penisillin 4x 1juta unit atau ampicillin 4x 1gram ditambah gentamisin 2x80mg
dan metronidazol 2x1gram. Selanjutnya, antibiotik dilanjutkan dengan hasil
kultur. Tindakan kuretase dilaksanakan bila tubuh dalam keadaan membaik
minimal 6 jam setelah antibiotika adekuat telah diberikan. Pada saat tindakan,
uterus harus dilindungi dengan uterotonik untuk mengelakkan komplikasi.
Antibiotik harus dilanjutkan sampai 2 hari bebas demam dan bila dalam waktu 2
hari pemberian tidak memberikan respons harus diganti dengan antibiotik yang
lebih sesuai dah kuat. Apabila ditakutkan terjadi tetanus, injeksi ATS harus
diberikan dan irigasi kanalis vagina/uterus dibuat dengan larutan peroksida H2O2.
Histerektomi harus dibuat secepatnya jika indikasi.

24
2.10 KOMPLIKASI
Komplikasi yang berbahaya pada abortus ialah perdarahan, perforasi, infeksi
1,3,4
dan syok.
1. Perdarahan
Perdarahan dapat diatasi dengan pengosongan uterus dari sisa-sisa hasil
konsepsi dan jika perlu pemberian trasfusi darah. Kematian karena
perdarahan dapat terjadi apabila pertolongan tidak diberikan pada
waktunya. Perdarahan yang berlebihan sewaktu atau sesudah abortus bisa
disebabkan oleh atoni uterus, laserasi cervikal, perforasi uterus, kehamilan
serviks, dan juga koagulopati.
2. Perforasi
Perforasi uterus pada kerokan dapat terjadi terutama pada uterus dalam posisi
hiperretrofleksi. Jika terjadi peristiwa ini, penderita perlu diamati dengan
teliti. Jika ada tanda bahaya, perlu segera dilakukan laparatomi, dan
tergantung dari luas dan bentuk perforasi, penjahitan luka perforasi atau perlu
histerektomi. Perforasi uterus pada abortus yang dikerjakan oleh orang awan
menimbulkan persoalan gawat karena perlukaan uterus biasanya luas;
mungkin pula terjadi perlukaan pada kandung kemih atau usus. Dengan
adanya dugaan atau kepastian terjadinya perforasi, laparatomi harus segera
dilakukan untuk menentukan luasnya cedera, untuk selanjutnya mengambil
3,4
tindakan-tindakan seperlunya guna mengatasi komplikasi. Pasien
biasanya datang dengan syok hemoragik.
3. Infeksi
Infeksi dalam uterus dan adneksa dapat terjadi dalam setiap abortus tetapi
biasanya didapatkan pada abortus inkomplet yang berkaitan erat dengan
suatu abortus yang tidak aman (unsafe abortion).
Sebenarnya pada genitalia eksterna dan vagina dihuni oleh bakteri yang
merupakan flora normal, seperti : staphylococci, streptococci, Gram negatif
enteric bacilli, Mycoplasma, Treponema (selain T. paliidum), Leptospira,
jamur, Trichomonas vaginalis, sedangkan pada vagina ada lactobacili,
streptococci, staphylococci, Gram negatif enteric bacilli, Clostridium sp.,
Bacteroides sp, Listeria dan jamur. Umumnya pada abortus infeksiosa,

25
infeksi terbatas pada desidua. Pada abortus septik virulensi bakteri tinggi
dan infeksi menyebar ke perimetrium, tuba, parametrium, dan peritoneum.
Organisme-organisme yang paling sering bertanggung jawab terhadap
infeksi pasca abortus adalah E.coli, Streptococcus non hemolitikus,
Streptococci anaerob, Staphylococcus aureus, Streptococcus hemolitikus,
dan Clostridium perfringens. Bakteri lain yang kadang dijumpai adalah
Neisseria gonorrhoeae, Pneumococcus dan Clostridium tetani.
Streptococcus pyogenes potensial berbahaya oleh karena dapat membentuk
gas.
4. Syok
Syok pada abortus bisa terjadi karena perdarahan (syok hemoragik) dan
karena infeksi berat (syok endoseptik). Vasovagal syncope yang
diakibatkan stimulasi canalis sevikalis sewaktu dilatasi juga boleh terjadi
namum pasien sembuh dengan segera.

2.11 PENANGANAN LANJUTAN PASCA ABOSRTUS


Sebelum ibu diperbolehkan pulang, diberitahu bahwa abortus spontan hal
yang biasa terjadi dan terjadi pada paling sedikit 15% dari seluruh kehamilan yang
diketahui secara klinis. Kemungkinan keberhasilan untuk kehamilan berikutnya
adalah cerah kecuali jika terdapat sepsis atau adanya penyebab abortus yang dapat
mempunyai efek samping pada kehamilan berikut. Semua pasien abortus disuntik
vaksin serap tetanus 0,5 cc IM. Umumnya setelah tindakan kuretase pasien
abortus dapat segera pulang ke rumah. Kecuali bila ada komplikasi seperti
perdarahan banyak yang menyebabkan anemia berat atau infeksi. Pasien
dianjurkan istirahat selama 1 sampai 2 hari. Pasien dianjurkan kembali ke dokter
bila pasien mengalami kram demam yang memburuk atau nyeri setelah
perdarahan baru yang ringan atau gejala yang lebih berat. Tujuan perawatan untuk
mengatasi anemia dan infeksi. Sebelum dilakukan kuretase keluarga terdekat
pasien menandatangani surat persetujuan tindakan.
Setelah abortus, pasien perlu diperiksa untuk mencari sebab abortus.
Selain itu perlu diperhatikan involusi uterus dan kadar HCG 1-2 bulan kemudian.
Pasien diharapkan tidak hamil dalam waktu 3 bulan sehingga perlu memakai
3,4
kontrasepsi seperti kondom atau pil.

26
2.12 PENCEGAHAN
Pencegahan kasus abortus yaitu dengan:

• Mempersiapkan kehamilan konsumsi makanan yang bergizi,
vitamin, asam folat.
• Cek TORCH sebelum hamil
• Meghindari faktor predisposisi
• Menjaga higienitas dan gaya hidup sehat.

1
2.12 PROGNOSIS

Prognosis keberhasilan kehamilan tergantung dari etiologi aborsi spontan


sebelumnya. Perbaikan endokrin yang abnormal pada wanita dengan abortus yang
rekuren mempunyai prognosis yang baik sekitar >90 %. Pada wanita keguguran
dengan etiologi yang tidak diketahui, kemungkinan keberhasilan kehamilan
sekitar 40-80 %. Sekitar 77 % angka kelahiran hidup setelah pemeriksaan
aktivitas jantung janin pada kehamilan 5 sampai 6 minggu pada wanita dengan 2
atau lebih aborsi spontan yang tidak jelas.

27
BAB III
PENUTUP

Abortus/keguguran adalah ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi


sebelum janin dapat hidup di luar kandungan. Sebagai batasan ialah kehamilan
1,2
kurang dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram. Lebih dari 80%
abortus terjadi dalam 12 minggu pertama. Anomali kromosom menyebabkan
paling sedikit separuh dari abortus dini. Risiko abortus spontan meningkat seiring
2,3
dengan paritas serta usia ibu dan ayah.
Pada awal abortus terjadi perdarahan dalam desidua basalis kemudian diikuti oleh
nekrosis jaringan di sekitarnya. Abortus dapat diklasifikasikan atas dua
2,3,4,5,6
golongan: Abortus Spontan, yaitu abortus yang terjadi dengan tidak didahului
faktor-faktor mekanis ataupun medisinalis, semata-mata disebabkan oleh faktor-
6
faktor alamiah. Sedangkan, abortus Provokatus (induced abortion), yaitu abortus
6
yang disengaja, baik dengan memakai obat-obatan maupun alat-alat.
Setelah abortus, pasien perlu diperiksa untuk mencari penyebab abortus.
Selain itu perlu diperhatikan involusi uterus dan kadar HCG 1-2 bulan kemudian.
Pasien diharapkan tidak hamil dalam waktu 3 bulan sehingga perlu memakai
2,3
kontrasepsi seperti kondom atau pil.

28
DAFTAR PUSTAKA

1. Ihalauw, Natalia. 2014. Abrtus. Universitas Pelita Harapan: Tangerang.


2. Kamus Kedokteran Dorland. hal. 6.
3. Moeloek Anfasa Farid, Prof. Dr, dr, SpOG, KFER. Standar Pelayanan
Medik Obstetrik dan Ginekologi. Perkumpulan Obstetrik dan Ginekologi
Indonesia. Jakarta: 2006.
4. Wiknjosastro, Hanifa. Prof.dr.SPOG. Ilmu Kebidanan. Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawihardjo. Jakarta: 2007. hal. 139-56; 459-70.
th
5. Cunningham et al: Williams obstetrics. 20 ed. Connecticut: Prentice-
Hall International, Inc, 1997; 95-107, 755-60, 765-67 .
6. Leveno J Kenneth. MD, dkk. Obstetri wiliams panduan ringkas. Abortus.
Ed 21. EGC. Jakarta. 2009. hal. 54-65.
7. Rustam, Mochtar. Abortus dan Kelainan dalam Tua Kehamilan dalam
Sinopsis Obstetri. Jilid 1 Edisi ke 2. Jakarta :EGC ; 1998. hal 209-17.
8. Sastrawinata, R.S. Abortus. Dalam: Obstetri Patologi. Bagian Obstetri
dan Ginekologi FK UNPAD. 1981. hal. 7-17.
9. Supono: Ilmu kebidanan. Bab I. Fisiologi. Palembang: Unit Obstetri dan
Ginekologi rumah Sakit Umum Palembang/ Fakultas Kedokteran
universitas Sriwijaya, 1985: 45-7.
10. Winknjosastro, Gulardi H. Perdarahan pada Kehamilan Muda (Abortus).
Dalam: Pelayanan Obstetri dan Neonatal Emergensi Dasar (PONED).
1998. hal. 3-1 – 13.
11. Chadha PV. Abortus. Dalam: Ilmu Forensik dan Toksikologi. Edisi V.
Jakarta: Widya Medika; 1995. hal. 160-7.

29

Anda mungkin juga menyukai