Anda di halaman 1dari 18

Referat Fetomaternal

Kehamilan dengan Riwayat Obstetri Buruk


(Abortus Habitualis)

Oleh :

dr. Alfa Febrianda


PPDS Obstetri dan Ginekologi

Pembimbing :

Dr. dr. Hj. Roza Sri Yanti, SpOG, Subsp. KFM (K)

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS


OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP Dr. M. DJAMIL PADANG
2021

1
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS OBSTETRI
DAN GINEKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ANDALAS RSUP Dr. M. DJAMIL PADANG

LEMBAR PENGESAHAN ILMIAH

Nama : dr. Alfa Febrianda


Semester : V (Lima) / Sub-Bagian

Telah menyelesaikan Referat Fetomaternal dengan judul:

Kehamilan dengan Riwayat Obstetri Buruk


(Abortus Habitualis)

Padang, 3 Januari 2022


Mengetahui/Menyetujui Peserta PPDS
Pembimbing, Obstetri dan Ginekologi,

(Dr. dr. Hj. Roza Sri Yanti, SpOG, Subsp. KFM (K) (dr.Alfa Febrianda)

Mengetahui
KPS PPDS OBGIN
FK UNAND RS. Dr. M. DJAMIL PADANG

(Dr. dr. Bobby Indra Utama, SpOG, Subsp. UROGIN (K))

2
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Abortus merupakan salah satu masalah di dunia yang mempengaruhi
kesehatan, kesakitan dan kematian ibu hamil. Abortus merupakan pengeluaran
hasil konsepsi yang terjadi pada umur kehamilan < 20 minggu dan berat badan
janin ≤ 500 gram. Dampak dari abortus jika tidak mendapatkan penanganan yang
cepat dan tepat akan menambah angka kematian ibu yang disebabkan oleh
komplikasi dari abortus yaitu dapat terjadi perdarahan, perforasi, infeksi dan
syok.1 Abortus dapat terjadi secara tidak sengaja maupun disengaja. Abortus yang
berlangsung tanpa tindakan disebut abortus spontan, sedangkan abortus yang
dilakukan dengan sengaja disebut abortus provokatus dan abortus yang terjadi
berulang tiga kali secara berturut-turut disebut habitualis.2
Di dunia, terjadi 208 juta kehamilan dengan 41 juta mengarah ke aborsi
dan 11 juta mengarah ke abortus spontan. Di negara berkembang, 90% abortus
terjadi secara tidak aman, sehingga berkontribusi 11%-13% terhadap kematian
maternal.3 Menurut WHO, diperkirakan 4,2 juta abortus dilakukan setiap tahun di
ASEAN dengan perincian 1,3 juta dilakukan di Vietnam dan Singapura, 750.000–
1,5 juta dilakukan di Indonesia, 155.000–750.000 dilakukan di Filiphina dan
300.000–900.000 dilakukan di Thailand. Laporan dari Australian Consortium For
Indonesian Studies, bahwa hasil penelitian yang dilakukan di 10 kota besar dan 6
kabupaten di Indonesia menunjukkan terjadi 43 kasus aborsi per 100 kelahiran
hidup. 4
Riskesdas tahun 2010 menunjukkan presentase keguguran di Indonesia
sebesar 4% pada kelompok perempuan pernah kawin usia 10–59 tahun.
Presentase kejadian abortus spontan di Indonesia berdasarkan kelompok umur
yaitu 3,8% pada kelompok umur 15–19 tahun, 5,8 % pada kelompok umur 20-24
tahun, 5,8% pada kelompok umur 25-29 tahun dan 5,7% pada kelompok umur 30-
34 tahun. 5 Besarnya kemungkinan keguguran yang terjadi pada wanita usia subur
adalah 10%–25%.5

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Abortus habitualis adalah abortus yang terjadi dua kali atau lebih secara
berturut - turut sebelum usia kehamilan 20 minggu. 6 Hal ini terjadi akibat adanya
pembukaan dari daerah mulut rahim atau servik. Terdapat beberapa penyebab
abortus antara lain; kelainan kromosom, infeksi, plasenta sirkumvalata, dan
adanya ketidakseimbangan metabolik ibu. 6
Ibu yang mengalami kejadian itu umumnya tidak mendapat kesulitan
untuk hamil, tetapi kehamilannya tidak dapat berlanjut dan akan berhenti sebelum
waktunya. Terkadang muncul pada trimester pertama atau pada kehamilan lebih
lanjut. 6,8

2.2 Epidemiologi
Di Indonesia dilaporkan terdapat sekitar 5 juta kehamilan pertahun dengan
kejadian abortus yang terjadi 37 kasus untuk setiap 1.000 wanita di usia produkif
(15-25 tahun). Pada tahun 2006 ditemukan sebanyak 42.354 orang dan riwayat
abortus dengan jumlah pasien meninggal dunia sebanyak 205 orang. Dari seluruh
kehamilan terdapat 0,4% kejadian abortus habitualis dan menurut studi
epidemiologi kemungkinan terjadinya abortus lagi pada seorang wanita yang
mengalami abortus habitualis ialah 73% dan 83,6%. 7
Lain halnya dengan
kejadian abortus berulang yang disebabkanoleh penyimpangan kromosom pada
janin, semakin sering riwayat abortus sebelumnya, semakin rendah presentasi
abortus untuk kehamilan selanjutnya. 7
Faktor penyebab abortus habitualis sangat banyak, diantaranya adalah
faktor janin, maternal, infeksi, kelainan endometrium, namun sebesar 40% lebih
tidak diketahui faktor penyebabnya.8 Faktor usia ibu berpengaruh terhadap
kejadian abortus. Semakin tua usia ibu saat hamil, maka risiko mengalami abortus
akan semakin meningkat.9 Kejadian abortus meningkat pada usia kurang dari 20
tahun dan lebih dari 35 tahun. Semakin muda usia ibu saat hamil semakin berisiko

4
mengalami abortus, begitu pula semakin tua usia ibu saat hamil semakin berisiko
mengalami abortus.6

2.3 Etiologi

a. Abnormalitas Uterus

Sekitar 15-30% abortus berulang disebabkan oleh kelainan uterus, seperti:


sinekia intrauterin-Asherman syndrome, leiomioma, polip endometrial, dan
inkompetensi servik dan kelainan uterus akibat gangguan pembentukan seperti
uterus septate, uterus unikornu/bikornu, dan uterus didelphys. Secara klinis,
inkompetensi serviks menyebabkan abortus spontan pada trimester kedua/
persalinan prematur. Abortus terjadi tanpa terjadi nyeri, dan sedikit perdarahan.
Penegakan diagnosis dapat dilakukan dengan pemeriksaan USG transvaginal/
histerogram, dan pada wanita yang tidak hamil pemeriksaan dapat dilakukan
dengan busi hegar.10.

b. Infeksi

Perempuan hamil yang memiliki infeksi seperti influenza, malaria, pielitis,


merupakan faktor predisposisi untuk mengalami abortus. Infeksi spesifik seperti
sifilis, listeria, dan toksoplasma juga dapat menyebabkan abortus, namun tidak
ada bukti organisme tersebut menyebabkan abortus habitualis. Peranan organisme
penyebab infeksi khususnya infeksi saluran genital masih belum jelas, karena
sebagian besar kuman tidak menetap dalam jangka waktu lama yang dapat
menyebabkan abortus habitualis10.

Bakterial Vaginosis telah dilaporkan sebagai faktor resiko untuk


persalinan prematur, abortus pada trimester ke dua. Pengobatan dengan anti biotik
hanya bermakna pada perempeuan dengan riwayat peralinan prematur. Hal
tersebut menjadi dasar bahwa BV tidak menyebabkan abortus, kecuali bersamaan
dengan faktor lain yang belum bisa dijelaskan10.

c. Genetik

Pasangan yang salah satunya merupakan pembawa kromsom abnormal,

5
memiliki resiko lebih tinggi mengalami abortus berulang dengan janin
menunjukkan kariotipi abnormal. Tipe terbanyak kelainan kromosom ini adalah
balanced translocation/ Robertsonian translocation yaitu jumlah kromososm
hanya 45 tetapi seluruh informasi genetik tetap utuh, abortus biasanya terjadi pada
trimester pertama. Prevalensi kelainan kromososm pada orangtua yg mengalami
abortus sekitar 3-5%10.

d. Thrombhophilia

Merupakan kelainan genetik faktor pembekuan darah akibat


ketidakseimbangan antara jalur pembekuan dengan antikoagulasi. kelainan yang
sering terjadi adalah: resistensi terhadap protein C aktif (aPC) akibat mutasi
vaktor V leiden, penurunan/ tidak adanya aktivitas antitrombin III, mutasi gen
protombin, dan mutasi di gen untuk metilenterahidrofolat reduktase yang
menyebabkan peningkatan kadar homosistein serum-hiperhomosisteinemia.
Trombofilia herediter berdampak lebih besar pada kehamilan tahap lanjut, karena
pada kehamilan sangat dini perfusi plasenta minimal11,12.

e. Endokrin

Abortus berulang juga berhubungan dengan kelainan endokrin. Kelainan


endokrin seperti defek fase luteal, DM dependen terhadap insulin, gangguan
tiroid, hipersekresi luteinizing hormon (LH). Insufisiensi fase luteal di definisikan
sebagai secresi progesteron yang tidak adekuat oleh corpus luteumpada fase
sekresi siklus menstruasi, dan awal kehamilan, aborsi akibat hal ini dilaporkan 20-
60%. Penurunan progesteron menyebabkan disfungsi endometrial berakibat tidak
seimbangnya sekresi protein endometrium13.

Hipersekresi LH pada pasien PCOS dipertimbangkan untuk dijadikan


marker abortus berulang kadar LH yang tinggi dilaporkan pada 27-81% pasien
dengan PCOS, hal ini terjadi karena peningkatan kadar LH berpengaruh terhadap
kualitas oosit baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan meningkatnya
hormon androgen dan esterogen13.

Sudah terbukti jika hiperinsulinemia, dan resistensi insulin pada wanita

6
dengan PCOS meningkatkan LH untuk memperoduksi androgen dari sel theca
ovarium. Dalam beberapa penelitian penggunaan metformin (insulin sensinitizer)
dapat menurunkan konsentrasi LH dan androgen sehingga menurunkan resiko
abortus13.

Hiperprolaktinemia tanpa adanya bukti gangguan dari corpus luteum,


termasuk dalam faktor resiko dari abortus berulang. Peningkatan kadar prolaktin
dapat menyebabkan abortus berulang dengan perubahan endometrial dari matriks
ekstraseluler, atau dari berbagai mekanisme imunologi, dalam beberapa penelitian
menunjukkan hasil yang signifikan dengan menggunakan bromokriptin13.

Hubungan antara kelainan tiroid dan abortus berulang merupakan suatu


kontroversi. Asosiasi yang signifikan antara antibodi tiroid pada wanita eutiroid,
dan faktor resiko terjadinya abortus berulang. Mekanisme autoimun tiroid dan
abortus berulang masih belum terbukti tetapi aktivasi sistem imun khususnya sel
T sudah terbukti13.

f. Metabolik

Hiperhomosisteinemia akibat kekurangan asam folat dan vit B12,


merupakan faktor resiko dan predisposisi pada trombofilia yang berhubungan
dengan abortus berulang. Pengobatan asam folat dosis tinggi dan pemberian
vitamin B6 selama sebulan pada wanita dengan hiperhomosisteinemia dan abortus
berulang, memberikan hasil yang signifikan utnuk normalisasi kadar homosistein
dengan dampak positif terhadap perkembangan janin13,14.

Celiac disease merupakan penyakit saluran pencernaan yang menyebabkan


intoleransi gluten yang menyebabkan gangguan absorbsi nutrisi. Hubungan antara
celiac disease dan aborus berulang telah dilaporkan pada beberapa penelitian.
Salah satu cara untuk mengurangi resiko dari celiac disease adalah diet rendah
gluten13,14.

g. Imunologi

Dalam kehamilan, sistem imun maternal menghadapi konsepsi dengan


reaksi host-defense terhadap antigen placenta, dan fetus. Untuk menghindari

7
rejeksi semi-allogenic konseptus, respon imun maternal tersupresi selama
kehamilan. 3 mekanisme allo-imunitas terhadap abortus berulang14:

- Berbagi Human Leukocyt Antigen (HLA)

- Defisiensi blocking antibodi

- Mekanisme termasuk mediator imun dan sel supresi

h. Lingkungan

Gaya hidup dari wanita hamil seperti merokok, meminum minuman


alkohol, dan konsumsi kopi berlebih berdampak pada pertumbuhan fetus yang
dapat menyebabkan abortus berulang14.

i. Faktor yang Tidak Diketahui

Sebagian besar/ setengah dari kasus abortus berulang tidak diketahui


penyebabnya, pada kondisi tersebut diperlukan psikoterapi, seperti tender loving
care yang meningkatkan outcome pada kehamilan13,14.

2.4 Manifestasi klinis

Riwayat perdarahan pervaginam dan nyeri perut merupakan keluhan yang


sering terjadi. Gejala klasik yang sering menyertai abortus adalah: kontraksi
uterus, perdarahan uterus, dilatasi serviks, dan presentasi/ ekspulsi seluruh/
sebagian hasil konsepsi beberapa kriteria pada curiga keguguran15:

- terlambat haid
- terjadi perdarahan
- nyeri perut
- -pengeluaran hasil konsepsi
- pemeriksaan kehamilan bisa (+/-)

8
2.5 Patofisiologi Abortus

Mekanisme awal terjadinya abortus adalah lepasnya sebagian atau seluruh


bagian embrio akibat adanya perdarahan minimal pada desidua. Kegagalan fungsi
plasenta yang terjadi akibat perdarahan subdesidua tersebut menyebabkan
terjadinya kontraksi uterus dan mengawali proses abortus. Pada kehamilan kurang
dari 8 minggu, embrio rusak atau cacat yang masih terbungkus dengan sebagian
desidua dan villi chorialis cenderung dikeluarkan secara in toto , meskipun
sebagian dari hasil konsepsi masih tertahan dalam cavum uteri atau di canalis
servicalis. Perdarahan pervaginam terjadi saat proses pengeluaran hasil konsepsi.
Pada kehamilan 8 – 14 minggu, mekanisme diatas juga terjadi atau diawali
dengan pecahnya selaput ketuban lebih dulu dan diikuti dengan pengeluaran janin
yang cacat namun plasenta masih tertinggal dalam cavum uteri. Plasenta mungkin
sudah berada dalam kanalis servikalis atau masih melekat pada dinding cavum
uteri. Jenis ini sering menyebabkan perdarahan pervaginam yang banyak. Pada
kehamilan minggu ke 14 – 22, Janin biasanya sudah dikeluarkan dan diikuti
dengan keluarnya plasenta beberapa saat kemudian. Kadang-kadang plasenta
masih tertinggal dalam uterus sehingga menyebabkan gangguan kontraksi uterus
dan terjadi perdarahan pervaginam yang banyak. Perdarahan umumnya tidak
terlalu banyak namun rasa nyeri lebih menonjol. Dari penjelasan diatas jelas
bahwa abortus ditandai dengan adanya perdarahan uterus dan nyeri dengan
intensitas beragam.10

2.6 Diagnosa
Anamnesis memiliki peranan penting dalam alur tata laksana keguguran
berulang. Hal yang ditanyakan dalam anamnesis pada kejadian keguguran
berulang terkait faktor resiko dan prognosis. Konsep dari penyebab kejadian
keguguran berulang dapat diakibatkan oleh faktor yang terkait dengan hasil
konsepsi dan faktor maternal. Pertumbuhan dan perkembangan hasil konsepsi
tentunya tidak hanya berasal dari faktor eksternal saja, tetapi juga faktor internal
janin, seperti kromosom dan gen. Oleh karena itu, berbagai kasus dari kejadian
keguguran berulang telah banyak diteliti dan umumnya dapat diklasifikasikan
sebagai akibat dari kelainan kromoson (paternal maupun hasil konsepsi), kelainan

9
anatomi, kelainan endokrin (melibatkan hormon-hormon metabolik maupun
reproduksi), dan gangguan koagulasi. Diperkirakan hanya sekitar 30% dari kasus
keguguran berulang yang dapat diketahui penyebabnya sementara sisanya
termasuk dalam kategori idiopatik. Selain itu telah ditemukan sebab imunologik
yaitu kegagalan reaksi terhadap antigen lymphocyte trophoblast cross reactive
(TLX).16,20
Untuk mendiagnosa abortus habitualis pada anamnesa dapat dipastikan
dengan melihat tanda dan gejala seperti kehamilan triwulan kedua terjadi
pembukaan serviks tanpa disertai mulas, ketuban menonjol (bias sampai pecah),
timbul mulas yang selanjutnya disertai dengan melakukan pemeriksaan vaginal
tiap minggu, penderita sering mengeluh bahwa telah mengeluarkan banyak lendir
dari vagina. Diluar kehamilan penentuan serviks inkompeten dilakukan dengan
histerosalifingografi yaitu ostium internum uteri melabar lebih dari 8 mm. 2 Selain
itu juga perlu, riwayat menarche, riwayat haid, siklus dan lamanya, riwayat
menikah, riwayat keluarga yang mempunyai bayi lahir cacat dan riwayat penyakit
dahulu, yaitu trombofilia, PCOS, hipertensi, DM, asma, alergi, sakit ginjal, nyeri
sendi, batuk lama/darah, sakit jantung, dan riwayat perdarahan. Riwayat life style
juga sangat berpengaruh, misalnya merokok, konsumsi alkohol, olahraga yang
terlalu berat dan BMI yang tidak normal.17,14
Pada pemeriksaan fisik yang dilakukan untuk penegakan diagnosa abortus
habitualis untuk melihat bagian genitalia eksterna sampai interna dari pasien,
untuk menentukan apakan ada kelainan dari anatomi. 14 Selain itu, penilaian
inkompetensia sevik juga dilakukan dengan cara menilai diameter kanalis
servikalis dan didapati penonjolan selaput ketuban saat memasuki trimester ke-2.17
Jika tidak didapatkan dari pemeriksaan fisik, maka dapat dilakukan pada
pemeriksaan penunjang yang dimungkin kan sesuai dengan penyebab yang telah
disampaikan, seperti pada tabel berikut: 17
Tabel 1. Penyebab dan Diagnosa Klinis Abortus Habitualis13

Menurut ESHRE, beberapa pemeriksaan diagnostik dapat dilakukan pada


pasien dengan keguguran berulang meskipun tidak disarankan untuk semua

10
pasangan, hanya relevan pada pasangan keguguran berulang tertentu saja,
misalnya: 17,20

a. Uji prolaktin pada wanita dengan gejala klinis hiperprolaktinemia (oligo-


amenore)
b. Penentuan klasifikasi HLA II pada wanita dengan keguguran berulang
sekunder setelah kelahiran anak laki-laki.
c. Penilaian fragmentasi DNA sperma, dimana bisa lebih relevan pada laki-
laki dengan gaya hidup yang tidak sehat (merokok, alkohol, olahraga
yang berlebihan, dan berat badan yang tidak sehat).
Pemeriksaan lain dapat menjadi kurang relevan pada pasangan tertentu.
Misalnya, pemeriksaan kariotipe orang tua kurang relevan pada pasangan dengan
usia wanita di atas 39, kurang dari 3 kali mengalami keguguran, dan tidak
ditemukan pada riwayat penyakit keluarga, karena pada pasangan ini
kemungkinan menjadi carrier translokasi sangat rendah (di bawah 2.2%). Usia
wanita dan riwayat jumlah keguguran sebelumnya merupakan faktor yang terbukti
secara konsisten berdampak pada prognosis.

2.7 Tatalaksana
Penanganan pada kasus abortus habitualis disesuaikan dengan penyebab
yang mendasari terjadinya abortus. Berikut tabel penanganan abortus habitualis
menurut penyebabnya:17
Tabel 2. Terapi Abortus Berulang

11
Selain terapi medikamentosa tersebut, dapat juga dilakukan pengikatan
rahim pada wanita yang diduga mengalami inkompetensia servik dan atau telah
mengalami kehilangan kehamilan pada trimester pertama lebih dari 3 kali.
Tindakan ini dilakukan pada usia kehamilan 12-14 minggu. Berikut macam-
macam teknik untuk pengikatan rahim: 18

a. Transvaginal cerclage (Mcdonald)


Dilakukan pengikatan yang terletak pada cervicovaginal junction, tanpa
mobilisasi dari kandung kemih.

12
Gambar 1. Transvaginal cerclage (Mcdonald)

b. High transvaginal cerclage (Shirodkar)


Dilakukan pengikatan yang terletak mengikuti mobilisasi dari kandung
kemih, untuk memungkinkan pergerakan diatas ligamen cardinalis.

Gambar 2. High transvaginal cerclage (Shirodkar)

c. Transabdominal cerclage

13
Dilakukan pengikatan dengan lapaotomi atau laparoskopi, menempatkan
pengikatan pada cervicoisthmis junction
Adapun kontraindikasi dari pengikatan rahin adalah sebagai berikut :

a. Kehamilan preterm aktif


b. Terdapat gejala klinis khorioamnionitis
c. Perdarahan pervaginan terus menerus
d. PPROM
e. Letal fetal defect
f. Fetal death

Gambar 3. Algoritma Tatalaksana Keguguran Berulang


Adapun berbagai penyebab terjadinya abortus yang berulang, tatalaksana
yang diberikan terutama tetap sesuai dengan penyebabnya. Berikut bagan untuk
tatalaksana sesuaii dengan konsesus POGI dan HIFERI tahun 2018 :20

2.8 Komplikasi

14
Hubungan antara abortus habitualis dengan kehamilan selanjutnya mungkin
dapat menimbulkan terjadinya komplikasi. Sesuai dengan etiologinya jika
dihubungkan dengan DM yang tidak terkontrol dan penyakit tiroid akan
meningkatkan peningkatan faktor resiko mikro dan atau makrovaskular
komplikasi misalnya, retinopati, nefropati dan penyakit kardiovaskuler.
Selanjutnya, pasien dengan gangguan kadar hormon tiroid dapat menjadi
hiperkolesterolemia.
Kasus lain terkait abortus habitualis misalnya malformasi uterus, faktor
genetik, infeksi, dan sering melakukan kuret dapat menyebabkan nyeri yang
kronis, infeksi radang panggul dan dapat juga mejadi anemia. Yang sangat perlu
diperhatikan lagi adalah perempuan dengan aortus habitualis yang tidak
ditemukan penyebabnya, karena penyebab abortusnya tidak diketahui maka
semakin tinggi faktor resiko maternal morbidity untuk kehamilan selanjutnya.11

2.9 Prognosis
Meskipun diagnosis abortus habitualis merupakan kabar buruk bagi seorang
ibu, akan tetapi itu sangat membantu bagi dokter dan pasien untuk memberikan
terapi yang tepat pada kehamilan berikutnya. Prognosis individu tertentu akan
tergantung pada penyebab utama dari hilangnya kehamilan dan jumlah kerugian
sebelumnya. Koreksi gangguan endokrin, APA, dan anomali anatomi memberikan
tingkat keberhasilan tertinggi untuk mempertahankan kehamilan, sekitar 60%
hingga 90%. Pasien dengan dasar sitogenetik untuk kehilangan mengalami
berbagai keberhasilan (20% -80%) yang tergantung pada jenis kelainan yang ada.
Secara keseluruhan, prognosis untuk RPL cukup baik. Bahkan dengan diagnosa
RPL dan sebanyak 4 sampai 5 abortus sebelumnya, seorang pasien lebih mungkin
untuk melakukan kehamilan berikutnya untuk jangka waktu daripada memiliki
kerugian lain.17

15
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Abortus adalah penghentian kehamilan sebelum janin dapat hidup di luar
rahim yaitu usia kurang dari 20 minggu usia kehamilan dengan berat janin kurang
dari 500 gram. Terdapat beberapa jenis abortus jika ditinjau dari abortus spontan
antara lain: abortus immenens, abortus insipiens, abortus inkomplet, abortus
kompletus. Sedangkan abortus provokatus terdiri dari Therapeutic, Eugenic
abortion dan Elektive Abortion. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian
abortus yaitu faktor ibu, faktor janin dan faktor ekternal dari lingkungan.
Beberapa etiologi abortus habitualis yaitu diantaranya abnormalitas uterus,
infeksi, genetik, trombofilia, endokrin, metabolik, imunologi, lingkungan, dan
faktor yang tidak diketahui.
Abortus habitualis akibat malformasi uterus, faktor genetik, infeksi, dan
sering melakukan kuret dapat menyebabkan nyeri yang kronis, infeksi radang
panggul dan dapat juga mejadi anemia. Yang sangat perlu diperhatikan lagi adalah
perempuan dengan aortus habitualis yang tidak ditemukan penyebabnya, karena
penyebab abortusnya tidak diketahui maka semakin tinggi faktor resiko maternal
morbidity untuk kehamilan selanjutnya.

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Sujiyatini.2009. Asuhan Patologi Kebidanan. Yogyakarta: Pustaka Nuha


Medika
2. Prawirohardjo, Sarwono, et al. Ilmu Kebidanan.Edisi Ketiga. Jakarta :
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo, 2010.
3. Kementrian Kesehatan RI. 2015. Profil Kesehatan Indonesia 2015. Jakarta:
Kemenkes RI
4. World Health Organisation. 2015. Trend in Maternal: 1990 -2015.
Swiverland : WHO
5. Kemeskes RI. 2010. Riset Kesehatan Dasar tahun 2010. Jakarta :
Kemenkes RI
6. Chrisdiono M. Achadiat. Prosedur Tetap Obstetri dan Ginekologi. Jakarta:
EGC,2003.Hal 26 -29.
7. Hariadi R. Abortus Spontan Berulang. Dalam : Ilmu Kedokteran
Fetomaternal. Edisi Perdana. Surabaya : Penerbit Himpunan Kedokteran
Fetomaternal Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia.; 2004. Hal.
326-34.
8. Hanifa W. Gangguan Bersangkutan dengan Konsepsi. Ilmu Kandungan
Edisi 2.Jakarta: Penerbit Bina Pustaka Sarwono Prawirhardjo, 2008. Hal
246-249.
9. A. Kumar, V. Arora, M. Mathur. Toxoplasma Antibody Levels in Females
with Habitual or Sporadic Abortions and Normal Pregnancies. Indian
Journal of Medical Microbiology,2004;Vol 22, No.4
10. Prawirohardjo, Sarwono. 2011. Ilmu Kandungan. Jakarta : PT Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo.
11. Cunningham FG et al. 2014. Hypertensive Disorder in Pregnancy. Dalam
C. F. al, William Obstetrics 23rd Ed. New York: McGraw-Hill Companies
Inc.
12. Ford Holly B, Schust Danny J. 2009. Reccurent Pregnancy Loss: Etiology,
Diagnosis, and.Therapy. Reviews in Obstetrics & Gynecology 2:2

17
13. Qublan Hussein S. 2003. Habitual abortion: causes, diagnosis, and
treatment. Reviws in Gynaecological Practice 3:75-80.
14. ESHRE. 2017. Recurrent Pregnancy Loss. ESHRE Early Pregnancy
Guideline Development Group. Version 2
15. HIFERI dan POGI. 2018. Konsesus Keguguran Berulang. Himpunan
Endokrinologi Reproduksi dan Fertilitas Indonesia (HIFERI) dan
Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI)
16. Hutapea, M. Faktor yang mempengaruhi kejadian abortus. Jurnal Ilmiah
Kohesi : April 2017. (1):1
17. Ford, H, B., Danny, J. Schust, M, D. Recurrent Pregnancy Loss: Etiology,
Diagnosis, and Therapy. MedReview: Review in Obstetrics & Gynecology:
2009;2(2):76-83
18. Green-top Guideline No. 60. Cervical Ceclage. Royal College of
Obstetricians and Gynaecologist. NHS Evidence. May 2011
19. Sheiner, E., The Long Term Impact of Medical Complication in Pregnancy:
A Window into Maternal and Fetal Future Health. CRC Press. 2017
20. Hendarto, H., Santoso, B., Harzif, A.,K. Konsensus Keguguran Berulang.
POGI dan HIFERI. Departemen Obstetri dan Ginekologi, Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia/RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo. 2018
: ISBN: 978-979-16516-6-0

18

Anda mungkin juga menyukai