Anda di halaman 1dari 40

KEHAMILAN DENGAN THALASEMIA

Universitas Andalas

Oleh :
dr. Susan Meuthia

Pembimbing :
Dr. dr. H.Defrin, Sp.OG (K)-KFM

PPDS OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP M. DJAMIL PADANG
2022
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS (PPDS) OBSTETRI
DAN GINEKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
ANDALAS RSUD RSUP M. DJAMIL PADANG

LEMBAR PENGESAHAN

Nama : dr.Susan Meuthia


Semester : Sub Bagian
Fetomaternal

Telah menyelesaikan Presentasi Ilmiah dangan judul:

KEHAMILAN DENGAN THALASEMIA

Padang, 17 Februari 2022


Mengetahui / menyetujui Peserta PPDS
Pembimbing Obstetri & Ginekologi

Dr.dr. H.Defrin, Sp.OG (K)-KFM dr. Susan Meuthia

Mengetahui :
KPS PPDS OBGIN
FK UNAND RS. Dr. M. DJAMIL PADANG

dr. Bobby Indra Utama, Sp.OG (K)

i
DAFTAR TABEL

BAB I...................................................................................................................................1
PENDAHULUAN...............................................................................................................1
BAB III................................................................................................................................3
TINJAUAN PUSTAKA.....................................................................................................3
2.1 Thalasemia..............................................................................................................3
A. Perawatan Perikonsepsi..............................................................................................15
B. Perawatan antenatal....................................................................................................17
C. Perawatan Intrapartum...............................................................................................18
D. Perawatan Postpartum................................................................................................18
Manajemen medis...........................................................................................................19
Transfusi Darah...............................................................................................................19
Terapi Kelasi...................................................................................................................20
Transplantasi Sumsum Tulang.......................................................................................21
Terapi gen.......................................................................................................................22
3.1.7 Komplikasi13,43......................................................................................................................................................23
2.1.8 Pencegahan.................................................................................................24
BAB III..............................................................................................................................26
KESIMPULAN.................................................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................27

vii
BAB I
PENDAHULUAN

Thalasemia merupakan sekelompok kelainan genetik yang heterogen yang


disebabkan oleh menurunnya kecepatan sintesis rantai alfa atau beta yang
diturunkan secara autosomal ditandai dengan anemia hipokromik mikrositik
dengan berbagai derajat keparahan.1 Thalasemia adalah penyakit monogenetik
paling sering diseluruh dunia. Klasifikasi thalasemia dapat dibedakan dari 2 grup
besar ini, thalassemia alfa dan thalassemia beta, disubklasifikasikan berdasarkan
tidak adanya (α0β0) atau berkurangnya (α+β+) sintesis rantai globin. 2
Thalasemia saat ini dapat ditemukan hampir di seluruh dunia. WHO
memperkirakan jumlah pembawa sifat kelainan hemoglobin mencapai 269 juta
orang. Sekitar 3% populasi dunia atau sekitar 150 juta orang membawa gen
talasemia β.3,4 Di Indonesia, diperkirakan jumlah pembawa sifat thalasemia sekitar
3 hingga 5% dari jumlah populasi.2 Berdasarkan prevalensi geografik, thalasemia
tidak hanya terjadi di regio mediterania, eropa selatan atau afrika utara. Namun
dapat terjadi pada etnik grup timur tengah dan Asia Selatan. 1 Pada thalasemia
terjadi defek genetik didasari terjadinya delesi total atau parsial gen globin,
substitusi, atau insersi nukleotida. Akibatnya terjadi pengurangan atau tidak
adanya mRNA untuk satu atau lebih rantai globin atau terbentuknya mRNA yang
cacat secara fungsional. Keadaan ini menyebabkan ketidakseimbangan sintesis
rantai globin yang mengakibatkan kerusakan sel darah merah di sumsum tulang
dan perifer dan terjadi anemia berat yang akan menyebabkan peningkatan
produksi eritopoesis, pembesaran limpa dan hati.2

Pada ibu hamil, dapat ditemukan anemia pada saat kunjungan prenatal
awal atau skrining ulang usia kehamilan 24-28 minggu.5 Pada ibu hamil yang
menderita talasemia, gejala anemia dapat lebih buruk. Kebutuhan transfusi akan
meningkat selama kehamilan. Pasien yang tidak tergantung dengan transfusi
seperti pada talasemia intermedia atau Hemoglobin H menjadi perlu transfusi saat
hamil hingga setelah melahirkan. Hemoglobin harus tetap terjaga ≥ 10 g/dl pada
talasemia β mayor. Observasi pasien dilakukan terhadap fungsi jantung dan USG
serial untuk mengetahui kesejahteraan janin.5,6 Penegakkan diagnosis
1
dapat dilakukan

2
dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang serta skrinning
prenatal. Tujuan dilakukannya skrining prenatal yaitu untuk menurunkan
morbiditas dan mortalitas akibat thalasemia. Selain itu, mencegah komplikasi yang
dapat timbul lebih berat pada janin. Risiko maternal yang dapat timbul seperti
dekompensasi kardio, risiko besi berlebih akibat terapi kelasi besi selama
kehamilan, eksaserbasi anemia, dan tromboemboli vena. Selain itu, dapat
meningkatkan kejadian IUGR, kelahiran preterm, dan section caesarea.7
Tatalaksana pada thalasemia yaitu dengan transfusi darah secara regular,
pemberian asam folat, kelasi besi, splenektomi
hingga transplantasi sel punca.2
Perencanaan kehamilan dan penanganan selama kehamilan bagi wanita dengan
talasemia sangat penting. Selain itu, pemahaman diagnosis, edukasi dan
penatalaksaan yang tepat pada talasemia dalam kehamilan perlu diketahui oleh
dokter dan tenaga kesehatan lainnya. Oleh karena itu, perlu pemahaman lebih
lanjut terkait talasemia dalam kehamilan.

3
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Thalasemia
2.1.1 Definisi Thalasemia
Thalasemia berasal dari kata Yunani yaitu “Thalassa” (laut) dan “Haema” (darah)
mengacu pada gangguan sintesis subunit globin hemoglobin alfa atau beta,
diwariskan sebagai alel patologis dari satu atau lebih gen globin yang terletak
pada kromosom 11 (β) dan 16 (α). Thalasemia adalah sekelompok kelainan
genetik yang heterogen yang diturunkan secara autosomal ditandai dengan anemia
hipokromik mikrositik.1,2

2.1.2 Epidemiologi Thalasemia


Hemoglobinopati adalah kelainan genetik yang paling sering terjadi di Asia
Tenggara. Thalasemia, gangguan monogenik umum, adalah kelompok heterogen
anemia yang dihasilkan dari sintesis globin yang rusak dari hemoglobin dewasa.8
The World Health Organization (WHO) melaporkan, sebanyak 250 juta orang
diseluruh dunia (4,5%) membawa karier thalasemia dan sebanyak 300,000 hingga
400,000 bayi dengan keadaan berat dari penyakit ini lahir setiap tahunnya. Di Asia
Tenggara pembawa hemoglobinopati mencapai 60% dari jumlah populasi. Dari
berbagai macam struktur hemoglobin, HbE merupakan tipe yang paling sering
dimana insiden HbE sebesar lebih dari 50% telah dilaporkan. 9 Prevalensi anemia
pada wanita hamil sebesar 41,8%.10
Pada populasi kehamilan, di Thailand bagian utara, prevalensi karier thalasemia
secara keseluruhan sebesar 25,4% yang diklasifikasikan menjadi alpha-thalasemia
trait sebesar 6,6%, beta-thalasemia trait sebesar 3,7%, hemoglobin E trait sebesar
11,6%, dan homozigot HbE sebesar 0,8%.11 Di Thailand dan berbagai negara di
Asia Tenggara lainnya, HbE merupakan kelainan yang paling sering, dimana
sebesar 20 hingga 30% dari populasi menjadi karier alpha-thalasemia, 39%
menjadi karier beta-thalasemia, dan sebesar 20 hingga
30% menjadi karier HbE.10
Penelitian yang dilakukan di RS Dr. Moewardi dengan studi crosssectional dari
Januari 2011 sampai Februari 2012 kepada 26 saudara pasien thalasemia,
diperoleh
4
sebanyak 6 orang dengan beta thalasemia atau HbE, 5 orang dengan karier beta
thalasemia, dan 5 orang dengan karier HbE.9

2.1.3 Klasifikasi thalassemia


Sindrom thalasemia di klasifikasikan berdasarkan rantai globin yang terkena,
yaitu alfa atau beta. 2 grup besar ini, thalasemia alfa dan thalasemia beta,
disubklasifikasikan berdasarkan tidak adanya (α0β0) atau berkurangnya (α+β+)
sintesis rantai globin.12

Tabel 1. Klasifikasi thalasemia alfa


Clinical classification Genotype Number of genes present

Silent carrier aa / - a 3 genes

Thalassemia α trait - a /- a or aa / - - 2 genes

Hemoglobin H disease -a/-- 1 gene

Hb Barts/ Hydrops fetalis - - / - - 0 genes

Tabel 2. Klasifikasi thalasemia beta


Clinical classification Genotype Clinical severity

Thalasemia β minor/trait β/ β+ or β/ β0 Silent

Thalasemia β intermedia β+/ β+ or β+/ β0 Moderate

Thalasemia β mayor β0 / β0 Severe

2.1.4 Patofisiologi13
Molekul hemoglobin normal terdiri dari grup haem non-protein yang dikelilingi
oleh 4 rantai protein globin. Struktur dari subunit-subunit protein tersusun dalam
struktur tetramer dengan berbagai bentuk sejak embrio hingga dewasa. Saat fase
embrio, terdiri dari 2 subunit zeta (ζ) dan 2 subunit epsilon (ε). Dimulai dari usia
gestasi 6 hingga 7 minggu, subunit tersebut berubah dari zeta menjadi alfa dan
dari epsilon menjadi gamma (γ) dan membentuk hemoglobin fetal yaitu
hemoglobin F
5
(α2β2). Struktur tetramer ini tidak berubah hingga beberapa bulan setelah lahir,
menjadi bentuk hemoglobin dewasa yaitu, hemoglobin A. Hemoglobin A terdiri
atas 2 subunit alfa dan 2 subunit beta (α2β2) atau bentuk lainnya hemoglobin A2
yang terdiri atas 2 alfa dan 2 delta.13
Patologi ini ditandai dengan penurunan produksi hemoglobin dan masa hidup sel
darah merah, dihasilkan dari berlebihnya rantai globin yang tidak terkena,
membentuk homotetramer yang tidak stabil yang mengendap sebagai badan
inklusi. Homotetramer α pada thalasemia β lebih tidak stabil dibandingkan dengan
homotetramer β pada thalasemia α oleh karena itu, mempercepat masa hidup dari
sel darah merah yang menyebabkan kerusakan sel darah merah dan hemolisis
berat yang berhubungan dengan tidak efektifnya proses eritropoesis dan hemolisis
ekstramedular.13

Gambar 1. How I treat thalassemia

Pada thalasemia beta yang berat, proses eritropoesis yang tidak efektif
menghasilkan pertambahan rongga sumsum yang menimpa pada tulang normal dan
menyebabkan distrorsi dari os frontalis, facialis, dan tulang panjang. Selain itu,
aktifitas proliferasi eritrosit pada hematopoetik ekstramedullar, menyebabkan
limfadenopati, hepatosplenomegali, dan beberapa kasus dapat terjadi tumor
ekstramedular.13
6
Proses eritropoesis yang tidak efektif, anemia kronik, dan hipoksia menyebabkan
meningkatnya absorpsi besi di traktus gastrointestinal sehingga membutuhkan
transfusi. Namun, transfusi menyebabkan akumulasi besi berlebih karena jalur
ekskresi yang tidak adekuat. Terapi kelasi besi dapat diberikan apabila terdapat
akumulasi besi akibat transfusi yang dapat dinilai dari saturasi serum transferrin.
Terapi kelasi besi juga satu-satunya pilihan untuk menurunkan morbiditas dan
memperpanjang kelangsungan hidup.13

2.1.4.1 Thalasemia alfa


Sintesis rantai globin alfa ditentukan oleh dua lokus genetik dari setiap kromosom
16, sehingga terdapat 4 alel. Penyebab paling sering alfa thalasemia akibat delesi
gen atau mutasi. Apabila mengenai 1 alel, ketiga alel globin alfa lainnya masih
normal atau adekuat untuk memproduksi hemoglobin yang normal disebut silent
carrier thalassemia. Apabila mengenai 2 alel, eritropoesis masih dipertahankan
oleh 2 alel alfa yang tidak terkena, walaupun akan muncul anemia ringan
mikrositik hipokrom (alfa thalasemia trait). Apabila adanya kedua rantai globin
alfa yang abnormal pada kromosom yang sama disebut dengan α-thal-1 atau thal-
α0. Bila mengenai 2 gen yang terletak pada kromoson homolog berbeda, disebut
dengan thal-α-2 atau α+-thal. Thal-α0 lebih sering terjadi pada individu di
Asia atau Mediterania.13
Jika mengenai 3 alel dan sisa 1 alel normal yang tertinggal, dimana dikenal
dengan penyakit hemoglobin H (HbH), gestasi dapat bertahan. Pada keadaan ini
produksi rantai globin alfa terganggu. Individu akan timbul gejala ringan sampai
sedang anemia mikrositik hipokrom dengan adanya sel target atau Heinz bodies
pada pemeriksaan darah tepi. Keadaan ini terkadang memerlukan transfusi darah.
Apabila mengenai 4 alel, maka tidak ada rantai globin alfa, sehingga terbentuk
rantai globin gamma (hemoglobin Bart) yang tidak stabil dan efektif. Akibatnya,
di kemudian hari fetus yang terkena akan timbul komplikasi anemia dengan
kardiomegali dan fetal hidrops.13

2.1.4.2 Thalasemia beta


Dua lokus genetik untuk sintesis rantai globin beta masih ada, masingmasing pada
kromosom 11. Mutasi pada gen globin beta akan menghasilkan tidak adanya
globin beta (β 0) atau gangguan produksi dari rantai beta (β +). Pada kasus
7
lainnya, bila

8
terjadi kelebihan dari rantai alfa yang ada, maka akan terikat dengan sel darah
merah di jaringan yang akan mengakibatkan kerusakan membran. Secara klinis,
penyakit ini dikelompokkan kedalam minor (karier), intermedia, dan mayor
tergantung dari derajat berkurangnya sintesis rantai globin beta.13

Tabel 3. Klasifikasi Thalasemia

2.1.4.3 Pembawa sifat thalassemia


Pada thalasemia alfa dimana gen globin alfa terletak pada kromosom 16. Seorang
anak mewarisi 4 gen globin alfa (berjumlah 2 dari masing-masing orang tua).
Misalnya, seorang ayah kehilangan 2 gen globin alfa dan ibu kehilangan 1 gen
globin alfa. Setiap anak memiliki kemungkinan sebesar 25% mewarisi 2 gen
globin alfa yang hilang dan 2 gen normal (thalasemia trait), tiga gen yang hilang
dan satu gen normal (penyakit HbH), empat gen normal, atau satu gen hilang dan
tiga gen yang normal (silent carrier).13
Pada thalasemia beta dimana gen globin alfa terletak pada kromosom 11.
Seorang anak mewarisi dua gen globin beta (satu dari masing-masing orang tua).
Sebagai contohnya yaitu setiap orang tua memiliki 1 gen globin alfa yang berubah.
Maka, setiap anak memiliki kemungkinan sebesar 25% mewarisi 2 gen normal,
50% mewarisi 1 gen yang berubah dan satu gen normal (thalasemia beta trait) atau
25% mewarisi 2 gen yang berubah (thalasemia beta mayor).13

2.1.4.4 Hemoglobin E
Hemoglobin E adalah hemoglobin abnormal yang disebabkan oleh mutasi single
pada gen beta, sehingga terjadi subtitusi glutamat dengan lisin pada posisi 26
rantai globin beta.13,14 Keadaan ini sering ditemukan di Asia Tenggara. Wanita
dengan homozigot hemoglobin E, menunjukkan gejala anemia hemolitik yang

9
ringan.

10
Namun sebaliknya, pada heterozigot hemoglobin E (karier) menunjukkan gejala
yang asimtomatik. Apabila hemoglobin E dikombinasikan dengan thalassemia
beta, dapat terjadi thalassemia beta mayor atau intermediet. Pada penelitian
sebelumnya yang dilakukan di India pada seorang wanita berusia 27 tahun,
primigravida, datang ke klinik antenatal departemen obstetri dan ginekologi,
dengan kehamilan 27 minggu dan riwayat mudah lelah, lemah, dan sesak napas
saat beraktivitas. Pasien memiliki riwayat transfusi darah pada usia 9 dan 25
tahun. Pasien rutin check up kehamilan dan mendapat tablet besi sebanyak 2 kali
sehari. Pada pemeriksaan diperoleh BMI = 19 kg/m2; nadi 100 x/menit; tekanan
darah 110/70 mmHg; jugular venous pressure normal; thorax dalam batas normal;
edema pada ekstremitas bawah
+/+. Pada pemeriksaan abdomen gravid dengan besar uterus 26 minggu dan
denyut jantung janin 138 x/menit; hepatomegali +; splenomegali +. Pemeriksaan
darah rutin didapatkan anemia berat dengan Hb 6 gr%; red blood cell distribution
(RDW) 30,5%; mean corpuscular hemoglobin (MCH) 20,6 pg; mean corpuscular
volume (MCV) 76 fl. Pemeriksaan darah tepi diperoleh hipokromik mikrositik
dengan anisositosis, tear drop cells, dan sel target. Selain itu, terdapat peningkatan
serum ferritin (260 ng/mL) dan total iron binding capacity dalam batas normal.
Pada pemeriksaan elektroforesis hemoblobin memperlihatkan peningkatan
hemoglobin fetal (HbF)
sebesar 55,3% dan HbE sebesar 44,7%.14
Setelah diagnosis HbE ditegakkan, pemberian terapi besi dihentikan. Saat
kehamilan mencapai usia 37 minggu dengan Hb 6,9 gr% dan diberikan transfusi
PRC sebanyak 3 kolf. Pada usia kehamilan 38 minggu terjadi ruptur membran dan
dilakukan section caesarea cito karena kegagalan induksi. Setelah 7 hari pasca
operasi kondisi pasien stabil dengan Hb 9,8 gr%. 2 minggu dan 4 minggu setelah
operasi, pasien dianjurkan untuk dilakukan splenektomi dan elektroforesis untuk
bayi.14
Kehamilan dengan thalasemia HbE berhubungan dengan terjadinya mobiditas
pada ibu dan janin. Individu yang terkena dengan gejala yang berat, membutuhkan
ketergantungan transfusi disertai adanya hepatosplenomegali, jaundice, retardasi
pertumbuhan, dan expansi berlebih dari ruang sumsum tulang belakang. Pasien
dengan Hb >7 gr% tanpa komplikasi, direkomendasikan untuk terapi asam folat
jangka panjang. Namun, pasien dengan Hb <7 gr% membutuhkan transfusi darah
11
berulang pada wanita dengan thalassemia intermedia untuk mengurangi anemia
dan berat badan lahir rendah.14

2.1.5 Diagnosis Thalasemia


Diagnosis thalasemia dibuat berdasarkan anamnesis meliputi gejala yang timbul,
riwayat keluarga, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium. Semua
thalasemia memiliki gejala yang mirip tetapi beratnya bervariasi, tergantung jenis
rantai asam amino yang terkena. Pada keadaan yang lebih berat, seperti pada
thalasemia beta mayor, adanya anemia (lemah, lesu, pucat), sesak napas,
pembesaran limpa dan hati, perut membesar, jaundice, dan ulkus. Selain itu terjadi
penebalan dan pembesaran tulang terutama pada bagian kepala dan wajah,
tulangtulang panjang menjadi mudah patah.
Terdapat 3 cara mengidentifikasi anak dengan thalasemia yaitu dengan evaluasi
indeks sel darah merah, identifikasi skrining pada bayi baru lahir, dan skrining
prenatal serta perencanaan keluarga.15 Skrining yang paling efektif dan mudah
dilakukan untuk mendeteksi awal karier thalasemia menggunakan darah rutin
seperti Hb, MCV, dan MCH, serum ferritin, serum iron, transferrin, TIBC, dan
aspirasi sumsum tulang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis. Pada
thalasemia trait dapat ditemukan dengan pemeriksaan dengan hitung darah
lengkap yang memperlihatkan anemia mikrositik ringan. Anemia mikrositik dapat
disebabkan oleh defisiensi besi, thalasemia, anemia sideroblastik, dan anemia
karena penyakit kronis.16,17
Pada karier thalasemia pada dewasa sehat, manifestasi yang dapat timbul hanya
Hb yang rendah. Dikatakan karier apabila nilai MCH <27 pg dan MCV <80 fl
untuk semua jenis karier. Tahap selanjutnya adalah apabila ditemukan nilai MCV
atau MCH rendah, maka dilakukan pemeriksaan hemoglobin pattern dan status
besi. Apabila setelah dilakukan pemeriksaan tersebut diagnosa masih belum jelas
untuk mengidentifikasi thalasemia trait, maka dilakukan pemeriksaan

elektroforesis hemoglobin.13,16,17
Peningkatan Red cell distribution width (RDW) >90% dengan defisiensi besi,
50% dengan thalasemia. Walaupun anemia mikrositik dengan RDW yang normal
selalu karena thalasemia, seseorang dengan peningkatan RDW
membutuhkan

12
pemeriksaan lebih lanjut.16 Pengukuran pada RDW tidak cukup sensitif dan
spesifik untuk membedakan defisiensi besi dan thalasemia beta trait.

Tabel 4. Hematologic Indices of Iron Deficiency and Alpha and Beta Thalassemia

Gambar 2. Algorithm of the Use OF RDW values to assist in diagnosing thalassemia

13
Gambar 3. Suggested algorithm for diagnosing the cause of microcytosis in adults

Pembawa sifat alfa thalasemia ditegakkan apabila terdapat badan inklusi


hemoglobin H. Pada karier beta thalasemia menunjukkan peningkatan kadar level
hemoglobin A2 lebih dari 3,5% dan hemoglobin F. Apabila kadar HbA2 kurang
dari 3,5% menunjukkan defisiensi besi, thalasemia alfa, atau bentuk lain dari
thalasemia beta. Selain itu, pola dari hemoglobin normal dapat menunjukkan
gambaran defisiensi besi, namun tidak bisa menyingkirkan thalasemia trait. Oleh
karena itu, disarankan untuk mengulang pemeriksaan hemoglobin setelah
mendapat pengobatan defisiensi besi.13, 18

14
2.1.5.1 Diagnosis prenatal
Skrining antenatal pada thalasemia beta diikuti dengan diagnosis prenatal pada
pasangan yang berisiko dapat mencegah terjadinya dampak pada anak.
Penegakkan diagnosis dapat menggunakan MCV untuk mendeteksi sindroma
thalasemia selama kehamilan. Jika pasangan dikonfirmasi sebagai pembawa karier
yang sama, konseling genetik dan analisis genetik harus dilakukan untuk
menentukan dengan tepat jenis mutasi gen atau delesi yang penting untuk
menegakkan diagnosis genetik janin berikutnya. Kombinasi analisis Hb dan tes
DNA merupakan cara terbaik memastikan status karier.13,18

Pengakkan diagnosis pasti pada fetal diambil dari jaringan fetal yaitu
chorionic villus sampling dan amniosentesis. Pengambilan sampel pada villus
chorialis pada usia kehamilan 11 minggu dan pada amniosentesis pada usia setelah
16 minggu. Tidak seperti thalasemia beta, dimana timbul gejala setelah lahir, janin
yang terkena alfa thalasemia akan timbul gejala sejak awal kehamilan ditandai
adanya anemia yang dapat dideteksi menggunakan ultrasound.13 Penelitian yang
dilakukan pada tahun 2015 di India sebanyak 1000 pasien antenatal dengan usia
kehamilan kurang dari 20 minggu mengenai skrining pada wanita dengan karier

15
thalassemia menggunakan perbandingan antara naked eye single tube red cell
osmotic fragility test (NESTROFT), analisis high-performance liquid
chromatography (HPLC), dan hitung darah lengkap. Dari hasil penelitian
disebutkan bahwa analisis HPLC darah merupakan gold standard untuk diagnosis
thalasemia trait. Namun, karena membutuhkan biaya tinggi, canggih, dan
peralatan mahal, maka tidak dapat digunakan dalam jumlah besar. Studi terkini
melaporkan bahwa NESTROFT dan indeks sel darah merah sebagai alternatif
untuk skrining thalassemia trait yang terbukti sensitif, biaya yang efektif, cepat,
dan dapat digunakan untuk studi lapangan dalam jumlah besar terutama di negara
berkembang. Sampel yang digunakan untuk NESTROFT dari kapiler yang
diperoleh dari tusukan jari.19

2.1.6 Tatalaksana
Anemia merupakan masalah umum yang terjadi akibat ekspansi volume plasma
maternal. Seseorang dengan thalasemia alfa ringan tidak membutuhkan
tatalaksana spesifik kecuali tatalaksana dalam memperbaiki kadar hemoglobin
yang rendah. Beberapa pasien dengan pemberian suplemen besi atau asam folat
dapat membantu. Defisiensi besi harus dapat dipastikan sebelum pemberian
suplemen besi karena akan menyebabkan hemokromatosis (kelebihan besi).
Pasien dengan anemia berat membutuhkan terapi transfusi jangka panjang.
Namun, tidak ada pengobatan spesifik yang direkomendasikan walaupun pasien
dalam keadaan anemis. Pada penyakit HbH, pengobatan terdiri dari suplemen
asam folat (5 mg/hari) dan transfusi darah secara periode jika terdapat indikasi.12
Transfusi sel darah merah dibutuhkan untuk mempertahankan level hemoglobin
>8.0 g/dl pada thalasemia beta intermedia dan >10 g/dl pada thalasemia beta
mayor dimana untuk pertumbuhan fetus yang optimal dan menurunkan risiko
komplikasi hemolisis dan trombus.12,13,20 Selain itu, wanita dengan thalasemia
mayor membutuhkan transfusi darah hingga mencapai konsentrasi 100 g/L
hemoglobin. Sedangkan pada thalasemia intermedia, dimulai transfusi apabila
konsentrasi hemoglobin dibawah 100 g/L sebanyak 2-3 unit hingga mencapai 120
g/L. Pemantauan hemoglobin setelah 2-3 minggu setelah transfusi. Secara umum,
pasien dengan non-transfusi, jika hemoglobin diatas 80 g/L pada usia kehamilan
36 minggu, maka transfusi dapat dihindari sebelum kelahiran dan transfusi
postnatal
16
dapat diberikan jika dibutuhkan. Jika hemoglobin <80 g/L dimulai transfusi
sebanyak 2 unit pada usia gestasi 37-38 minggu.15
Wanita hamil dengan thalasemia-β minor dan anemia dimana Hb < 7 gr/dL
biasanya terjadi pada trimester ketiga, membutuhkan asam folat 5 mg/hari dan
terapi transfusi suportif.12 Pada kebanyakan wanita, konsumsi asam folat 5 mg/hari
dapat meningkatkan hemoglobin secara signifikan dan mencegah defek susunan
saraf.15 Sebaliknya, konsumsi suplementasi zat besi tergantung terhadap individu.
Pemberian suplemen besi hanya jika pasien terdapat defisiensi yang dikonfirmasi
dengan diagnosis standar, yaitu serum iron, saturasi transferrin, dan serum ferritin.
Pencegahan trombosis pada kehamilan, dapat diberikan heparin atau low-
molecular-weight heparin 7 hari setelah melahirkan per vaginam atau selama 6
minggu setelah sectio caesarea atau dosis rendah aspirin 75 mg/hari. 15 Adanya
splenomegali dan hipersplenisme merupakan indikasi untuk dilakukannya
splenektomi.20

Pemberian kelasi besi di luar kehamilan biasanya menggunakan


desferrioxamin yang diberikan perinfus subkutan selama 12 jam selama 5-7 hari
seminggu. Bila terapi dilanjutkan saat kehamilan berisiko kelainan tulang pada
janin. Deferasirox dan deferiprone idealnya dihentikan 3 bulan sebelum konsepsi
dan beralih ke desferrioxamine. Desferrioxamine bekerja short-half life dan aman
selama terapi induksi ovulasi. Namun, obat ini sebaiknya dihindari pada trimester
pertama dan aman digunakan setelah usia gestasi 20 minggu dengan dosis rendah.
Perempuan dengan risiko dekompensasio kordis yang tinggi dapat diberikan
desferrioxamine subkutan dosis rendah (20 mg/kg/hari) selama paling cepat 4-5
hari/minggu dimulai dari usia gestasi 20-24 minggu. Pada penelitian lainnya
melaporkan, kebanyakan wantia membutuhkan transfusi lebih bila terapi kelasi
besi dihentikan sebelum atau sesudah segera kehamilan.2,15

17
Manajemen selama Kehamilan

A. Perawatan Perikonsepsi
Skrining dan konseling sebelum kehamilan: seperti dijelaskan sebelumnya,
skrining harus dilakukan secara prakonsepsi, terutama pada individu yang berisiko
tinggi menjadi pembawa talasemia dan hemo globinopati lainnya. Skrining dapat
mengidentifikasi pasangan yang memiliki risiko 25% atau lebih untuk mengalami
kehamilan dengan hemoglobinopati yang signifikan. Metode skrining yang paling
tepat untuk thalassemia alfa dan beta termasuk MCH (<27 pg) atau MCV (<80 fL).
Jika kedua indeks sel darah merah ini rendah, pola Hb dan profil besi diindikasikan.
Jika seorang wanita hamil ditemukan pembawa hemoglobinopati tertentu,
pasangannya perlu diskrining secepat mungkin. Jika ada risiko janin mengalami
hemoglobinopati mayor, pasangan harus segera berkonsultasi dengan ahli. Ini akan
memungkinkan mereka membuat pilihan berdasarkan informasi tentang diagnosis
prenatal dan kemungkinan penghentian kehamilan.
Perawatan medis: Pasien dengan sifat thalassemia tidak memerlukan pengobatan
atau pemantauan jangka panjang. Mereka biasanya tidak mengalami kekurangan
zat besi, sehingga kelenturan zat besi tidak mungkin memperbaiki anemia mereka.
Namun, terapi zat besi perlu diberikan jika terjadi defisiensi zat besi. 21 Saat ini,
dasar pengobatan pada kasus B-thalassemia mayor terdiri dari
transfusi darah dan terapi kelasi besi.22
Terapi kelasi besi: Beban besi tubuh di perikon. periode ceptional dapat
dikurangi dan dioptimalkan dengan bantuan chelation besi agresif. Ini sangat
membantu dalam mengurangi kerusakan organ akhir, terutama diabetes dan
kardiomiopati. Karena kurangnya data keamanan, semua terapi kelasi mungkin
dianggap teratogenik selama trimester pertama. Desferrioxamine (DFO) adalah
satu-satunya agen chelating yang dapat digunakan pada trimester kedua dan
ketiga, Iron chelaturs, seperti deferasirox dan deferiprone (DFP) idealnya harus
dihentikan 3 bulan sebelum pembuahan dan wanita harus dikonversi ke chelation
besi DFO. Desferrioxamine, bagaimanapun, harus dihindari pada trimester
pertama seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Ini telah digunakan dengan
aman selama trimester kedua setelah 20 minggu kehamilan dengan dosis rendah.22
Kontrol glikemik dan tes fungsi tiroid: Diabetes umum terjadi pada wanita
dengan talasemia. Wanita dengan diabetes sebaiknya dirujuk ke ahli diabetes.
18
Kontrol

19
glikemik yang baik sangat penting pada periode prahamil. Wanita dengan diabetes
mellitus sebaiknya memiliki konsentrasi fruktosamin serum kurang dari 300 nmol
/ L selama minimal 3 bulan sebelum konsepsi. Ini

setara dengan HbAlc 43 mmol / mol.23


Sejak hipotiroidisme sering ditemukan pada pasien dengan talasemia, fungsi
tiroid harus ditentukan untuk memastikan bahwa wanita tersebut dalam keadaan
eutiroid sebelum kehamilan. Hipotiroidisme yang tidak diobati tidak hanya
menyebabkan peningkatan morbiditas ibu, tetapi juga peningkatan morbiditas dan
mortalitas perinatal.24
Penilaian kardiovaskular: Seorang ahli jantung sebaiknya menilai semua wanita
dalam periode perikonsepsi. Ekokardiogram, elektrokardiogram, dan pencitraan
resonansi magnetik jantung (MRI) bintang T2 (12 ") harus dilakukan.25
Penilaian konsentrasi zat besi hati (LIC): Wanita penderita talasemia lebih
rentan untuk mengembangkan kolelitiasis dan kolesistitis, sedangkan sirosis hati
karena kelebihan zat besi atau hepatitis virus yang berhubungan dengan transfusi
juga dapat ditemukan. Konsentrasi zat besi hati harus ditentukan dengan
menggunakan FerriScan Idealnya, konsentrasi zat besi hati harus kurang dari 7 mg
/ gm [berat kering (dw)]. 23 ° Ultrasonografi hati dan kandung empedu (dan limpa
jika ada) harus dilakukan. Ini membantu dalam mendeteksi kolelitiasis dan bukti
sirosis hati karena kelebihan zat besi atau hepatitis virus terkait transfusi.26,27
Antibodi sel darah merah: Sekitar 16,5% orang dengan talasemia mungkin
memiliki alloimunitas. Oleh karena itu, ABO dan genotipe golongan darah
lengkap dan titer antibodi harus diukur pada wanita dengan thalassemia selama
periode prahamil. Kehadiran antibodi sel darah merah ABO atau Rh dapat
dikaitkan dengan peningkatan risiko penyakit hemolitik pada janin dan bayi baru
lahir. Mungkin juga ada kesulitan dalam mendapatkan darah yang cocok untuk
transfusi jika ada antibodi.28
Imunisasi dan profilaksis antibiotik: Wanita talasemia dengan HBsAg negatif
dan mungkin memerlukan transfusi darah, harus diberikan vaksinasi hepatitis B.
Status hepatitis C mereka juga harus ditetapkan. Profilaksis penisilin atau
sejenisnya harus diberikan kepada semua wanita yang pernah mengalami
splenektomi. Pneu. Vaksinasi mococcus dan Haemophilus influenzae tipe b juga
harus diberikan kepada wanita tersebut, terutama jika belum pernah dilakukan

20
sebelumnya.28
Suplementasi asam folat: Dimulai pada periode prakonsepsi, minimal 3 bulan
sebelum konsepsi, asam folat harus diberikan kepada semua wanita hamil. Asam
folat dalam dosis 5 mg / hari membantu mencegah cacat tabung saraf.28

B. Perawatan antenatal
Pendekatan tim multidisiplin dan penilaian antenatal: Sesuai dengan rekomendasi
Royal College of Obstetricians and Gynecologists, 29 wanita dengan thalassemia
harus ditinjau setiap bulan sampai usia kehamilan 28 minggu dan setelahnya dua
minggu sekali. Wanita dengan talasemia paling baik dirawat dalam pengaturan tim
multidisiplin, termasuk dokter kandungan dengan keahlian dalam menangani
kehamilan berisiko tinggi dan ahli hematologi. Tim ini harus memberikan
konseling sebelum hamil sehingga wanita tersebut mendapat informasi lengkap
tentang efek talasemia pada kehamilan dan sebaliknya. Tim ini juga harus
memberikan perawatan antenatal rutin serta spesialis. Penilaian antenatal awal
harus mencakup optimalisasi manajemen talasemia dan skrining untuk kerusakan
organ akhir. Pola perawatan harus disesuaikan dengan tingkat
kerusakan organ akhir.29
Penilaian diabetes: Wanita tersebut harus sering dievaluasi di klinik spesialis
kehamilan diabetes dan penilaian bulanan konsentrasi fruktosamin serum juga
harus dilakukan23.
Penilaian jantung: Spesialis penilaian jantung harus dilakukan pada semua
wanita dengan talasemia mayor pada usia kehamilan 28 minggu dan setelahnya
jika sesuai.
Tes fungsi tiroid: Fungsi tiroid harus dipantau secara teratur selama
kehamilan pada hipotiroid
Ultrasonografi: manajemen kesuburan dalam bentuk induksi ovulasi mungkin
sering diperlukan untuk mencapai kehamilan pada wanita dengan talasemia.
Pemindaian awal pada usia kehamilan 7 sampai 9 minggu diperlukan untuk
menentukan kelangsungan hidup serta adanya kehamilan ganda. Pemindaian
anomali terperinci juga harus dilakukan pada usia kehamilan 18 hingga 20
minggu. Pemindaian biometri janin serial harus dilakukan pada setiap interval 4
minggu dari 24 minggu kehamilan karena peningkatan risiko hambatan
pertumbuhan janin.29,30

21
Regimen transfusi: Transfusi darah harus ditawarkan secara teratur kepada
semua wanita dengan thalassemia mayor untuk mencapai kadar Hb pretransfusi
100 sampai 120 gm / L. Awalnya, 2 sampai 3 unit transfusi harus diberikan.
Transfusi top-up tambahan dapat diberikan pada minggu berikutnya jika
diperlukan. Tingkat Hb harus dipantau setiap 2 sampai 3 minggu sekali. Jika pada
tahap manapun kadar Hb turun di bawah 100 gm / L, transfusi darah 2 unit dapat
diberikan.
Terapi zat besi oral: Kadar feritin serum harus diperiksa pada semua wanita
dengan hemoglobinopati. Jika kadar feritinnya kurang dari 30 mg / L, suplemen
zat besi oral dapat ditawarkan. Besi parenteral tidak boleh diresepkan dalam kasus
ini. Suplementasi asam folat: Orang dengan thalassemia harus diresepkan asam
folat dengan dosis 5 mg / hari.31

C. Perawatan Intrapartum
Thalasemia itu sendiri bukan merupakan indikasi untuk operasi caesar. Kelahiran
sesar tidak diperlukan jika tidak ada indikasi kebidanan. Darah yang dicocokkan
silang sebaiknya diatur sebelum persalinan, terutama dengan adanya alloimunitas.
Juga, pada wanita dengan thalas. semia mayor, intravena (IV) DFO dalam dosis 2
gram selama 24 jam harus diberikan selama persalinan. Pemantauan janin
elektronik intrapartum secara terus menerus harus dimulai.32

D. Perawatan Postpartum
Wanita dengan thalassemia berisiko tinggi mengalami tromboemboli vena karena
adanya sel darah merah abnormal di sirkulasi. Profilaksis dengan heparin berat
molekul rendah harus diberikan selama periode postpartum pada wanita tersebut.22
Selain itu, heparin dengan berat molekul rendah harus diberikan selama seminggu
setelah keluar dari vagina setelah persalinan pervaginam atau selama 6
minggu setelah operasi caesar.22

Menyusui aman dan harus didorong. Pada wanita dengan thalassemia mayor,
DFO harus dimulai kembali pada periode postpartum segera setelah infus DFO IV
24 jam, yang telah dimulai selama periode intrapar tum, selesai. Meskipun DFO
disekresikan dalam ASI, tidak diserap secara oral dan oleh karena itu, tidak
berbahaya bagi bayi baru lahir. Saat ini, keamanan menyusui sangat minim.

22
Selain itu, tidak ada kontraindikasi penggunaan metode kontrasepsi hormonal,
seperti pil kontrasepsi oral kombinasi, pil progestogen saja, implan hormonal, dan
sistem intrauterin Mirena pada wanita penderita thalasemia.33

Manajemen medis
Pilihan pengobatan utama, yang dapat digunakan dalam manajemen medis
diuraikan di bawah ini secara rinci dan dirangkum dalam Gambar 4:

• Transfusi darah
• Terapi khelasi - menghilangkan kelebihan zat besi yang berlebihan di
dalam tubuh
• Bone Marrow Trasnplants (BMT)
• Induksi Y-globin
• Terapi gen

Transfusi Darah
Untuk menjaga Hb pada level yang lebih tinggi dari 9,5 gm / dL, pasien dengan
talasemia beta membutuhkan transfusi darah periodik seumur hidup. Proses
transfusi darah biasanya dimulai sejak usia 6 bulan. Persyaratan transfusi kadang-
kadang dan menjadi wajib bila Hb orang tersebut tidak memadai untuk sebuah
kehidupan normal atau ketika anemia merusak pertumbuhan dan perkembangan.34

23
Gambar 4. Schematic diagram showing therapies for beta thalassemia

Komplikasi transfusi darah: Meskipun transfusi darah dapat dianggap sebagai


salah satu pilihan teraman, transfusi berulang menyebabkan kelebihan zat besi di
banyak organ dan jaringan pasien, mengakibatkan masalah yang mengancam jiwa,
seperti disfungsi endokrin, kardiomiopati, hati. penyakit, hemosiderosis
transfusional, dll. Komplikasi seperti hematopoiesis ekstrameduler dan hiperplasia
eritroid masif biasanya terjadi pada pasien yang tidak cukup ditransfusikan karena
upaya tubuh untuk mengkompensasi kehilangan sel darah merah, yang pada
akhirnya mengakibatkan kematian dini. Pasien dengan talasemia beta mayor
meninggal dalam 5 tahun pertama kehidupan karena kurangnya transfusi. Hanya
50 hingga 65% pasien yang hidup di atas usia 35 tahun bahkan setelah transfusi,
demikian juga pada bibi yang maju atau berpenghasilan tinggi. 47-49 Untuk
mengatasi komplikasi tersebut, pengobatan untuk menghilangkan kelebihan zat
besi yang berlebihan menjadi kebutuhan yang penting.35

Terapi Kelasi
Setiap unit sel darah merah yang ditransfusikan mengandung sekitar 200 mg zat
besi. Selain itu, anemia dan eritropoies yang tidak efektif menurunkan sintesis
hepcidin, protein yang bertindak sebagai pengatur penting untuk masuknya zat
besi ke dalam sirkulasi darah.36,37
Terapi khelasi adalah proses pengobatan untuk menghilangkan kelebihan zat besi
yang berlebihan dalam tubuh sebagai akibat dari banyak transfusi darah. Karena
kurangnya proses fisiologis untuk mengeluarkan zat besi yang berlebihan dari
tubuh karena banyak transfusi, transfusi-depen. pasien penyok membutuhkan
perawatan dengan kelator besi antara usia 5 dan 8 tahun. 38 Umumnya, terapi
khelasi dimulai pada usia 2 sampai 4 tahun setelah 20 sampai 25 unit sel darah
merah telah ditransfusikan, kadar feritin serum lebih dari 1000 ug / dL, dan LIC
diperkirakan dengan biopsi hati atau dengan T hepatik noninvasif, MRI lebih
banyak. dari 3mg iron / gm dw.39
Berbagai agen chelating, yang saat ini tersedia. mampu, adalah sebagai berikut
(Tabel 4):

• Desferrioksamin. Desferrioxamine saat ini disetujui di Amerika Serikat


dan agen ini diberikan melalui infus subkutan berkelanjutan lambat

24
menggunakan pompa portabel selama 8 sampai 12 jam, umumnya lima
atau enam kali seminggu. Ini juga dapat diberikan melalui IV dan rute
intramuskular. Desferrioxamine mudah larut dalam air dan sekitar 8 mg
zat besi terikat oleh 100 mg DFO. Ini diekskresikan melalui empedu dan
urin yang menghasilkan perubahan warna merah pada urin. Itu dengan
mudah mengkelat besi dari feritin dan hemosiderin, tetapi gagal untuk
mengkelat besi dari transferin.40,41
• Deferiprone / Ferriprox: Agen khelasi oral (disetujui di Eropa dan
Amerika Serikat pada Oktober 2011) umumnya disarankan berdasarkan
penurunan kadar serum ferri tin. Ini diresepkan untuk pasien yang
bergantung pada transfusi, bila terapi khelasi saat ini terbukti tidak
mencukupi. Namun, tidak ada uji coba terkontrol besar yang telah
dilakukan untuk mengevaluasi keuntungan pengobatan langsungnya,
seperti perbaikan gejala terkait penyakit. Biasanya, ini tersedia di pasar
sebagai tablet berlapis film 500 mg.40,41
• Deferasirox (Exjade): The US Food and Drug Administration (FDA)
menyetujui obat ini pada tahun 2005. Ini adalah salah satu kelator besi
trivalen selektif yang menurunkan kadar LIC dan serum feritin, 45
Tersedia di pasar sebagai suspensi oral atau tablet yang mengurangi LIC
dan kadar feritin serum pada pasien. Agen pengkelat ini memiliki lebih
banyak afin. ity untuk besi dan mengikatnya dengan perbandingan 2: 1.
Telah disetujui untuk digunakan pada pasien thalas semia yang
bergantung pada transfusi darah dan nontransfusi.42
• Deferoxamine (Desferal): Obat ini bisa adminis. diteruskan secara
subkutan atau intravena. Meskipun ini termasuk terapi non-toksik,
pemberiannya bisa membosankan dan mahal. Efek samping dari
deferasirox termasuk masalah gastrointestinal sementara. Sejauh ini belum
ada kasus agranulositosis yang dilaporkan.42

Transplantasi Sumsum Tulang


Koreksi gangguan hematopoietik ini menggunakan BMT pertama kali
ditunjukkan oleh Thomas dkk pada pasien muda dengan B-thalassemia mayor
yang tidak menjalani transfusi. BMT alogenik pada masa kanak-kanak merupakan
salah satu terapi auratif untuk talasemia mayor beta. Studi oleh Lucarelli
25
et al telah

26
menunjukkan bahwa transfusi sumsum tulang untuk pasien di bawah usia 16 tahun
dikaitkan dengan kemungkinan tinggi kelangsungan hidup bebas komplikasi,
terutama tanpa adanya hepatosplenomegali atau fibrosis portal.28 Transplantasi sel
induk hematopoietik (HSCT) melibatkan transplantasi sel hematopoietik
multipoten yang biasanya berasal dari sumsum tulang, darah tepi, atau darah tali
pusat. Proses ini biasanya menghasilkan hasil yang luar biasa pada orang yang
berisiko rendah menjalani terapi kelasi secara teratur. Protokol yang diakui
menggunakan HSCT dalam membantu mencapai kelangsungan hidup bebas
talasemia. Oleh karena itu, beberapa pusat telah menggunakan metode HSCT
sebagai terapi konklusif.28 Banyak faktor yang telah terbukti mempengaruhi hasil
akhir pasien setelah BMT sebagai berikut: kriteria keparahan sebelum
transplantasi (hepatomegali, fibrosis portal, dan riwayat kelasi tidak teratur), usia
saat transplantasi, sumber sel induk (misalnya, darah perifer, sumsum tulang, dll.
darah), histokompatibilitas (cocok terkait, tidak terkait terlambat, tidak cocok,
haploidentical), dan pemberantasan prapransplantasi hiperplasia sumsum. 5-70,
penyakit kronis graft-versus-host merupakan komplikasi utama jangka panjang
dari HSCT alogenik. Akibatnya, penggunaan BMT sebagai modalitas pengobatan
saat ini masih belum memadai. Namun, dalam waktu dekat, kelompok donor
potensial dapat berkembang dengan kemajuan teknik baru untuk memajukan
pengelolaan penyakit graft-versus-host, misalnya, melakukan BMT dari donor
yang tidak terkait dan sel punca darah tali pusat.28

Terapi gen
Terapi gen memiliki kemampuan untuk "memperbaiki" sel sumsum tulang pasien
dengan mentransfer gen normal (-globin atau y-globin ke dalam sel induk
hematopoietik (HSC), yang membantu dalam memproduksi sel darah merah
normal secara permanen. Persyaratan terpenting untuk transfer gen yang efektif di
kasus B- thalassemia diatur, spesifik-eritroid, konsisten, dan ekspresi B-globin
atau yoglobin tingkat tinggi. Transfer gen yang dimediasi vektor retroviral ke HSC
memberikan terapi yang berpotensi menyembuhkan untuk B-thalassemia berat.
Namun, mereka mungkin dikaitkan dengan cacat berikut: (i) kapasitas terbatas, (ii)
ketidakstabilan, dan (ii) ketidakmampuan untuk mentransduksi sel yang tidak
membelah (kebanyakan HSC diam). Kelemahan ini telah mencegah koreksi yang
efisien dari thalassemia beta dengan infus genetis HSCS yang
27
dimodifikasi.28
Vektor lentiviral berdasarkan imunode manusia. Virus ficiency baru-baru ini
dikembangkan untuk tujuan ini dan telah terbukti efektif untuk menyembuhkan
talasemia pada model tikus. Salah satu peserta dalam uji klinis yang sedang
berlangsung telah mencapai kemandirian dari transfusi setelah transfer gen ke sel
induk sumsum tulang yang dimediasi melalui lentivirus 2 Upaya berkelanjutan
perlu difokuskan pada peningkatan efisiensi transfer gen yang dimediasi vektor
lentiviral ke dalam sel induk sehingga potensi kuratif dari transfer gen dapat
dicapai secara konsisten.28

3.1.7 Komplikasi13,43

Komplikasi yang terjadi pada pasien thalassemia, yaitu:

- Penumpukan besi
Penumpukan zat besi terjadi karena akumulasi zat besi yang berasal dari
transfusi dan peningkatan absorbsi zat besi karena eritropoesis yang tidak
efektif.

- Gagal jantung
Efek pada kardio karena berlebihnya zat besi di jantung yang dapat
menyebabkan gagal jantung dan aritmia.

- Perikarditis
Pasien dengan thalasemia dapat terjadi perikarditis, kemungkinan
disebabkan oleh virus dan organisme mikoplasma, infeksi bakteri atau
jamur, atau berhubungan dengan sindroma pasca transplantasi.

- Endokrin
Organ-organ endokrin sensitif terhadap toksisitas besi sehingga dapat terjadi
kerusakan pituitari, hipogonadotropik hipogonadisme, diabetes, hipotiroid,
hipoparatiroid, osteopaenia, dan osteoporosis. Akibat kerusakan organ
endokrin, biasanya timbul amenore primer dan sekunder.

- Alloimunisasi
Transfusi berulang memicu produksi alloantibodi dan alloimunisasi.
Komplikasi ini terjadi pada pasien yang sudah melakukan splenektomi dan
transfusi dengan etnik berbeda antara donor dan resipien.
28
- Infeksi virus
Transmisi infeksi seperti HIV, hepatitis B dan C terutama pada wanita
dengan ketergantungan transfusi.

- Thrombosis dan hiperkoagulasi


Thrombosis ditemukan pada sindrom thalasemia alfa, thalasemia beta
mayor, thalasemia beta minor, dan thalasemia beta-HbE. Hal ini karena
adanya sirkulasi sel darah merah yang cacat dengan kerusakan membran
sehingga meningkatkan aktivasi platelet dan risiko trombus.

- Hemolisis
Hemolisis kronik meningkatkan kadar plasma dari hemoglobin bebas yang
melepaskan nitrit oxide, beredar di sirkulasi dan menyebabkan
peningkatan resistensi pembuluh darah perifer yang nantinya dapat terjadi
hipertensi pulmonal hingga gagal jantung kanan.

- Osteopenia, osteoporosis, dan deformitas tulang


Keadaan ini disebabkan oleh eriropoesis ekstramedullar yang
mengakibatkan ganguan fungsi paratiroid atau metabolisme kalsium dan
hipogonadisme.

2.1.8 Pencegahan
Pelaksanaan program pencegahan thalasemia di Indonesia harus meliputi kegiatan
edukasi, skrining, konseling dengan memerhatikan faktor sosioetikolegal.
Sekarang ini, beberapa negara telah menetapkan program pencegahan nasional
secara komprehensif berupa, edukasi pasien, skrining karier, dan konseling serta
informasi tentang diagnosis prenatal dan preimplantasi. Negara bagian Eropa
Utara juga mengadakan program parsial berupa skrining antenatal. Skrining
dilakukan terhadap anggota keluarga pengidap thalassemia. Skrining pranatal
dilakukan terhadap ibu hamil pada saat kunjungan pertama. Skrining prakonsepsi
dilakukan terhadap pasangan yang sudah menikah dan berencana mempunyai
anak. Skrining pranikah dilakukan terhadap individu/pasangan yang akan
menikah.
Pada thalasemia alfa, skrining di rekomendasikan hanya untuk mendeteksi

29
pasangan dengan risiko sindrom hydrops fetalis karena komplikasi yang timbul

30
berupa toxemia berat (hipertensi, preeklampsi) pada ibu. Salah satu program untuk
mengontrol thalasemia beta adalah edukasi. Edukasi yang dilakukan membahas
tentang gejala klinis, riwayat penyakit, konseling genetik, dan metodologi untuk
mencegah kelahiran anak yang terkena dampaknya. Materi diskusi harus
mencakup manifestasi klinis, riwayat penyakit, terapi yang tersedia, dan harapan
hidup pada thalasemia mayor. Target populasi skrining yaitu pasangan yang ingin
menikah, prekonsepsi, dan masa pernikahan awal.

A. Deteksi karier
Thalasemia beta heterozigot, dikarakteristikan secara hematologi berupa
hitung sel darah merah, mikrositosis, hipokromik, peningkatan HbA 2, dan
ketidakseimbangan sintesis rantai globin. Metodologi yang sering
digunakan pada risiko karier yaitu MCV dan MCH. Pemeriksaan lebih
lanjut dengan pemeriksaan kuantitatif HbA2 yang merupakan pemeriksaan
paling penting untuk mengidentifikasi thalasemia beta heterozigot.
Sedangkan pada thalasemia alfa mudah untuk diindektifikasi karena
memiliki peningkatan khas pada level HbA2. Karakteristik hematologi
untuk mengidentifikasi karier thalasemia beta yaitu adanya peningkatan
pada HbA2.

B. Konseling genetik
C. Diagnosis prenatal
D. Diagnosis preimplantasi dan prekonsepsi genetik
Program pencegahan thalasemia harus dilakukan untuk mengurangi jumlah
pasien thalasemia di Indonesia karena dari sisi biaya pencegahan thalasemia
membutuhkan lebih sedikit biaya, sementara dari sisi pasien thalasemia akan
menyebabkan tumbuh kembang tidak optimal terutama pada anak.

31
BAB III
KESIMPULAN

Thalasemia adalah sekelompok kelainan genetik yang heterogen yang


diturunkan secara autosomal ditandai dengan anemia hipokromik mikrositik
Thalasemia merupakan defek genetik yang disebabkan oleh penurunan kecepatan
sintesis atau kemampuan produksi satu atau lebih rantai globin α atau β ataupun
rantai globin lainnya sehingga terjadi delesi total atau parsial gen globin dan
substitusi. Ketidakseimbangan sintesis rantai alpha atau rantai non alpha,
khususnya kekurangan sintesis rantai β akan menyebabkan kurangnya
pembentukan Hb.
Rekomendasi teknik dan metode laboratorium diagnosis thalasemia di Indonesia
yaitu dilakukan pemeriksaan MCV dan MCH digunakan untuk uji saring awal.
Dengan nilai batas yang digunakan untuk uji saring awal adalah MCV< 80 fL dan
MCH < 27 pg. Pemeriksaan feritin digunakan untuk menyingkirkan diagnosis
anemia defisiensi besi yang memberikan hasil positif palsu pada diagnosis
talasemia. Pemeriksaan Hb typing dengan elektroforesis otomatis memberikan
nilai diagnostik yang akurat dengan angka spesifisitas dan sensitivitas yang tinggi.
Pemeriksaan analisis DNA digunakan untuk diagnosis prenatal.
Program pencegahan thalasemia harus dilakukan untuk mengurangi jumlah pasien
thalasemia di Indonesia karena dari sisi biaya pencegahan thalasemia
membutuhkan lebih sedikit biaya daripada terapi pasien thalasemia, sementara
dari sisi pasien thalasemia akan menyebabkan tumbuh kembang tidak optimal.
Kebijakan, strategi dan pelaksanaan program pencegahan thalasemia di Indonesia
harus meliputi kegiatan edukasi, skrining, dan konseling.

32
DAFTAR PUSTAKA

1. Hoffbrand A V, Moss P A. Kelainan hemoglobin yang bersifat genetik.


Kapita Selekta Hematologi. 6 ed. Jakarta: EGC; 2013. p. 81-90.
2. Wiradnyana AAGP. Skrining dan Diagnosis Thalasemia dalam
Kehamilan. 2013:1-39.
3. Greer JP, Arber DA, Glader B, List AF, Means RT, Paraskevas F, Rodgers
GM. Wintrobe’s Clinical Hematology. 13th edition. New York: Lippincott
Williams & Wilkins; 2014.
4. Rimoin DL, Pyeritz RE, Korf I. Emery and Rimoin’s. Essential Medical
Genetics. New York: Elsevier; 2013.
5. Creasy RK, Resnik R, Iams JD, Lockwood CJ, Moore TR, Greene MF.
Creasy & Resnik’s Maternal-Fetal Medicine Principles and Practice. 7th
edition. New York: Elsevier; 2014.
6. Pavord S, Hunt B. The Obstetric Hematology Manual. Cambridge:
Cambridge University Press; 2010.
7. Davis B. Fertility and Pregnancy in Thalassemia and Sickle Cell Disease.
The UK Guidelines. Page Press. 2014;4:63-6.
8. Fucharoen S, Winichagoon P. Haemoglobinopathies in Southeast Asia.
Indian J Med. 2011:498-504.
9. Riza M, Widiretnani S. Hempglobin Profiles of Siblings of Thalassemia
Patients. Paediatrica Indonesia. 2015;55(2):70-3.
10. Widjaja IR, Widjaja FF, Santoso LA, Wonggokusuma E, Oktavianti.
Anemia Among Children and Adolescents in A Rural Area. Paediatrica
Indonesia. 2014;54(2):88-9.
11. Traisrisilp K, Tongsong T. Pregnancy outcomes among women with
betathalassemia trait. Springer. 2015:1-4.
12. Rachmilewitz EA, Giardina PJ. How I treat thalassemia. Blood Journal.
2011;118(13):3479-86.
13. Leung TY, Lao TT. Thalassaemia in Pregnancy. Elsevier. 2012;26:37-51.
14. Bharathi KR, Varte V, Singh A, Devi BK. HbE Thalassemia in Pregnancy.
Journal of Medical Society. 2015;29(1):45-6.
15. Management of Beta Thalassemia in Pregnancy. Royal College of
Obstetricians and Gynaecologists. 2014;66:1-17.
33
16. Muncie H, Campbell J. Alpha and Beta Thalassemia. American Family
Physician. 2009;80(4):339-44.
17. Vranken M. Evaluation of Microcytosis. American Family Physician.
2010;82(9):1117-21.
18. Dewanto JB, Tansah H, Dewi SP, Napitu H. Increased knowledge of
thalassemia promotes early carrier status examination among medical
students. Universa Medicina. 2015;4(3):220-7.
19. Lata S, Bajaj S, Popli S, Singh S. Screening of Women in the Antenatal
Period for Thalassemia Carrier Status: Comparison of NESTROFT, Red
Cell Indices, and HPLC Analysis. J Fetal Medicine. 2015:1-5.
20. Voskaridou E, Balassopoulou A, Boutou E, Komninaka V. Pregnancy in
beta-thalassemia intermedia: 20-year experince of a Greek thalassemia
center. European Journal of Haematology. 2014:492-5.
21. Rund D, Rachmilewitz E. Beta-thalassemia. N Engl J Med 2015 Sep
15;353(11):1135-1146.
22. Weatherall DJ. Thalassaemia in the next millennium. Keynote address.
Ann N Y Acad Sci 2010Jun 30;850:1-9.
23. Spencer DH, Grossman BJ, Scott MG. Red cell transfusion decreases
hemoglobin A1c in patients with diabetes. Clin Chem 2011
Feb;57(2):344346.
24. De Groot L, Abalovich M, Alexander EK, Amino N, Barbour L, Cobin
RH, Eastman CJ, Lazarus JH, Luton D, Mandel SJ, et al. Management of
thyroid dysfunction during pregnancy and postpartum: an Endocrine
Society clinical practice guideline. J Clin Endocrinol Metab 2012
Aug;97(8):2543- 2565.
25. Lupton M, Oteng-Ntim E, Ayida G, Steer PJ. Cardiac disease in
pregnancy. Curr Opin Obstet Gynecol 2012 Apr;14(2): 137-143.
26. Borgna-Pignatti C, Rugolotto S, De Stefano P, Zhao H, Cappellini MD,
Del Vecchio GC, Romeo MA, Forni GL, Gamberini MR, Ghilardi R, et al.
Survival and complications in patients with thalassemia major treated with
transfusion and deferoxamine. Haematologica 2014 Oct;89(10):11871193.
27. Olivieri NF, Brittenham GM. Iron-chelating therapy and the treatment of
thalassemia. Blood 2007 Feb 1;89(3):739-761.

34
28. Richa Saxena, Tania Banerjee, Rohit B AniyeryThalassemia and its
Management during Pregnancy. World Journal of Anemia, January-March
2017;1(1):5-17
29. Royal College of Obstetricians and Gynaecologists. Managementof beta
thalassaemia in pregnancy green-top guideline no. 66. London: RCOG;
2014.
30. Origa R, Piga A, Quarta G, Forni GL, Longo F, Melpignano A, Galanello
R. Pregnancy and β-thalassemia: an Italian multicenter experience.
Haematologica 2010 Mar;95(3): 376-381.
31. Prevention of neural tube defects: results of the Medical Research Council
Vitamin Study. Lancet 1991 Jul 20;338(8760):131-137.
32. Orr D. Difficult intubation: a hazard in thalassaemia – a case report. Br J
Anaesth 2007 Jul;39(7):585-586.
33. Neinstein Ls Katz B. Patients with hematologic disorders need careful
birth control counseling. Contracept Technol Update 2015 Mar;6(3):43-
46.
34. Cazzola M, Borgna-Pignatti C, Locatelli F, Ponchio L, Beguin Y, De
Stefano P. A moderate transfusion regimen may reduce iron loading in
beta- thalassemia major without producing excessive expansion of
erythropoiesis. Transfusion.2007 Feb;37(2):135-140.
35. Borgna-Pignatti C. The life of patients with thalassemia major.
Haematologica 2010 Mar;95(3):345-348.
36. Ganz T. Hepcidin and iron regulation, 10 years later. Blood 2011 Apr
28;117(17):4425-4433.
37. Liu J, Sun B, Yin H, Liu S. Hepcidin: a promising therapeutic target for
iron disorders. Medicine (Baltimore) 2016 Apr;95(14):e3150.
38. Roberts DJ, Brunskill SJ, Doree C, Williams S, Howard J, Hyde CJ. Oral
deferiprone for iron chelation in people with thalassaemia. Cochrane
Database Syst Rev 2007 Jul (3):CD004839.
39. Rachmeitewitz EA, Giardina PJ. How I treat thalassemia.Blood 2011 Sep
29;118(13):3479-3488.
40. Schroeder WA, Huisman TH, Shelton JR, Shelton JB, Kleihauer EF, Dozy
AM, Robberson B. Evidence for multiple structural genes for the gamma

35
chain of human fetal hemoglobin. Proc Natl Acad Sci USA 1968
Jun;60(2):537-544.
41. Muncie HL, Campbell JS. Alpha and beta thalassemia. Am Fam Physician
2009 Aug 15;80(4):339-344.
42. Taher AT, Porter JB, Kattamis A, Viprakasit V, Cappellini MD. Efficacy
and safety of iron-chelation therapy with deferoxamine, deferiprone, and
deferasirox for the treatment of iron-loaded patients with
nontransfusiondependent thalassemiasyndromes. Drug Des Devel Ther
2016 Dec 15;10: 4073-4078.
43. Cappelini MD, Viprakasit V, Taher AT. An overview of current treatment
strategies for beta-thalassemia. Expert Opinion on Orphan Drugs. 2014:665-
72.
44. Belhoul KM, Khadiem A, Dewedar A, Al Khaja F Case Report
:βThalassemia Intermedia with Immune Hemolysis during Pregnancy:
AReport of Two Cases. Thalassemia Center, Dubai Health Authority,
Dubai, UAE. J Blood DisordersTransf. 2013;5 (1)
45. Noela LY, Betty YT, Kwok YL, Wong WS. Perinatal Outcomes Among
Thalassemia Carriers in Hong Kong. Thalassemia In Preganancy.
Departement of Obstetrics and Gynaecology, Queen Elizabeth Hospital,
Kowlon Hong Kong.HKJGOM.2014;14(1).
46. Cunningham, Gant , Leveno. Obsteri Williams. 21st ed. Hartono A, editor.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2006.
47. Battaglia FC, Lubchenco LO. A practical classification of newborn infants
by weight and gestational age. J Pediatr. 1967;71(2):159–63.
48. de Onis M, Blössner M, Villar J. Levels and Patterns of Intrauterine
Growth Retardation in Developing Countries. Eur J Clin Nutr. 1998;52:
S83-S93
49. Anderson MS, Hay WW (1999) Intrauterine growth restriction and the
small-for-gestational-age infant. In:Neonatology Pathophysiology and
Management of the Newborn (5thedtn) Lippincott Williams and Wilkins,
Philadelphia.
50. Wollmann HA (1998) Intrauterine growth restriction: definition and
etiology. Horm Res 1998; 49 Suppl 2:1
51. Sharma D, Farahbakhsh N, Shastri S, Sharma P. Intrauterine Growth
Restriction–Part 2. J Matern Fetal Neonatal Med. 2016 Mar 15:1–12.
52. Hendrix N, Berghella V. Non-placental causes of intrauterine growth
restriction. Semin Perinatol. 2008;32(3):161–5.
36
53. Tranquilli AL, Bezzeccheri V, Giannubilo SR, Scagnoli C, Mazzanti L,
Garzetti GG. Amniotic levels of nitric oxide in women with fetal
intrauterine growth restriction. J Matern Fetal Neonatal Med.
2003;13(2):115–8
54. Kehl S et al. Intrauterine Growth Restriction. Geburtsh Frauenheilk. 2017;
77: 1157–1173
55. Royal College of Obstetricians & Gynaecologists. Small-for-
GestationalAge Fetus, Investigation and Management (Green-top
Guideline No. 31) [Internet]. 2015. [cited 2015 Dec 17]. Available at:
https://www.rcog.org.uk/en/guidelinesresearch-services/guidelines/gtg31/.
56. Figueras F, Gratacos E. Stage-based approach to the management of fetal
growth restriction. Prenat Diagn. 2014;34(7):655–9.
57. Figueras F, Gratacós E. Update on the diagnosis and classification of fetal
growth restriction and proposal of a stage-based management protocol.
Fetal Diagn Ther. 2014;36(2):86–98.
58. Bhutta ZA, Das JK, Rizvi A, Gaffey MF, Walker N, et al. (2013)
Evidencebased interventions for improvement of maternal and child
nutrition: what can be done and at what cost? Lancet 382: 452-477
59. Kramer MS, Kakuma R Energy and protein intake in pregnancy. Cochrane
Database Syst Rev.2003: CD000032.
60. Imdad A, Bhutta ZA (2013) Effects of calcium supplementation during
pregnancy on maternal, fetal and birth outcomers.
PaediatrPerinatEpidemiol 26 Suppl 1 : 138-152.
61. Haider BA, Bhutta ZA. Multiple-micronutrient supplementation for
women during pregnancy. Cochrane Database Syst Rev 2012;11:
CD004905
62. Garner P, Gulmezoglu AM. Drugs for preventing malaria inpregnant
women Cochrane Database Syst Rev 2009; 4: CD000169.
63. Singh M. Disorders of weight and gestation. In Care of the Newborn (Ed)
Singh M. 5th Ed,1999, Sagar Publications, New Delhi,224-45.

37

Anda mungkin juga menyukai