Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

Dosen pengampuh: Ns. Nur Hijrah Tiala, S.Kep.,M.Kep

Konsep Asuhan Keperawatan Anak : Thalasemia

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK 6

1. SERTU SYAMSUL (219044)

2. ANANDA FEBRIANTY (219002)

3. INDAH PERMATA ASRI (219015)

4. INDRI ANGGRIANI (219016)

PROGRAM STUDI DIPLOMA III KEPERAWATAN


INSTITUT ILMU KESEHATAN PELAMONIA
MAKASSAR 2021
KATA  PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas


limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga makalah yang
berjudul “Konsep Asuhan Keperawatan Anak: Thalasemia” dapat
terselesaikan.
Penulis berterima kasih yang sebesar-besarnya kepada dosen
pembimbing Ns. Nur Hijrah Tiala, S.Kep.,M.Kep karena telah membimbing
penulis dalam mengerjakan makalah ini sehingga dapat menambah
wawasan dan pengetahuan bagi penulis.
Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang
telah memberikan dukungan dalam menyelesaikan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan yang disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan penulis.
Tidak sedikit kesulitan yang penulis hadapi baik dari segi waktu maupun
tenaga, tetapi penulis menyadari juga bahwa setiap ikhtiar yang baik
harus diiringi dengan doa yang tulus sehingga kesulitan dapat teratasi.
Kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan makalah ini tetap
penulis harapkan.
Semoga Allah SWT memberikan imbalan yang setimpal atas
segala keikhlasan hati dan bantuan dari semua pihak  yang telah
diberikan kepada penulis, dan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
para pembaca.

Makassar,  Maret 2021

                                Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................i
DAFTAR ISI...............................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN. ...........................................................................1
A. Latar Belakang...............................................................................1
B. Rumusan Masalah.........................................................................2
C. Tujuan Penulisan...........................................................................2
BAB II PEMBAHASAN..............................................................................4
A. TINJAUAN MEDIS............................................................................4
1. Pengertian....................................................................................4
2. Penyebab......................................................................................5
3. Patofisiologi.................................................................................5
4. Manifestasi Klinis........................................................................5
5. Penatalaksanaan.........................................................................6
6. Pemeriksaan Diagnostik.............................................................8
B. TINJAUAN KEPERWATAN.............................................................11
1. Pengkajian....................................................................................11
2. Diagnosis.....................................................................................13
3. Intervensi......................................................................................14
4.Implementasi.................................................................................15
5. Evaluasi........................................................................................16
BAB III PENUTUP ...................................................................................18
A. Kesimpulan ....................................................................................18
B. Saran................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................19

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Thalasemia merupakan salah satu penyakit yang ditimbulkan
karena sindrom genetik yang terjadi penurunan sintesis salah satu
rantai dalam hemoglobin utama (Hb A) yang sering terdapat di dunia.
Penyakit ini disebabkan oleh terjadinya kelainan pada gen autosom
resesif pada gen kromosom 16 pada alfa thalasemia dan kromosom 11
beta thalasemia berdasarkan hukum mendel dari orang tua yang
diturunkan pada anaknya (Muncie & Campbell, 2009).
Pada saat ini penyakit ini merupakan penyakit yang ditimbulkan
karena keturunan yang paling banyak di dunia. Terdapat beberapa
daerah yang menunjukkan adanya penderita thalasemia terutama pada
wilayah daerah perbatasan Laut Mediterania, sebagian besar Afrika,
timur tengah, sub benua India, dan Asia Tenggara. Mulai 3 % sampai 8
% orang Aerika keturunan Itali atau Yunani dan 0,5% dari kulit hitam
Amerika membawa gen untuk thalasemia β. Beberapa daerah Asia
Tenggara meliputi Indonesia memiliki sebanyak 40% dari populasi
mempunyai satu atau lebih gen thalasemia (Kliegman, 2012).
Badan kesehatan dunia atau WHO (2012) menyatakan kurang
lebih 7% dari penduduk dunia mempunyai gen thalasemia dimana
angka kejadian tertinggi sampai dengan 40% kasusnya adalah di Asia.
Beberapa anak yang mengalaminya akan memiliki vitamin dan mineral
yang berkurang dan menurunnya nafsu makan.
Penderita thalasemia sangat bergantung pada orang tuanya
karena kondisi fisik yang lemah sangat. Terutama pemantauan dalam
menjalankan transfusi darah secara rutin,dan pemantauan asupan
nutrisi cukup dibutuhkan agar tidak terjadi keterlambatan tumbuh
kembang anak. Karena anak thalasemia sebagian besar mengalami

1
penurunan pada nafsu makan yang dapat menghambat tumbuh
kembang bagi penderitanya terutama pada anak (Indriati, 2011).
Pengetahuan orang tua yang dimiliki dapat berpengaruh pada
pemberian nutrisi yang tepat untuk anaknya,dengan ini orang tua dapat
memantau kebutuhan makanan dan minuman. Melalui pengetahuan
orang tua terhadap nutrisi anak thalasemia maka orang tua dapat
mengatur dan mengamati apa yang harus diberikan kepada anaknya
dan apa yang tidak boleh diberikan kepada anaknya agar tidak
membahayakan bagi anaknya. Pada anak dengan thalasemia
membutuhkan terapi kelasi besi untuk mengatasi terjadinya
penimbunan zat besi pada tubuh (hemosiderosis) akibat tranfusi.
Pemberian diet rendah besi juga sangat penting karena untuk
mengurangi timbunan yang diakibatkan transfusi darah yang dilakukan
seumur hidupnya (Munthe, 2011).
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Thalasemia ?
2. Apa penyebab Thalasemia ?
3. Bagaimana patofisiologi Thalasemia ?
4. Bagaimana manifestasi klinis Thalasemia ?
5. Bagaimana penatalaksaan Thalasemia ?
6. Bagaimana pemeriksaan diagnostic Thalasemia ?
7. Bagaimana proses pengkajian pada pasien Thalasemia ?
8. Bagaimana proses diagnosis keperawatan pada pasien Thalasemia
?
9. Bagaimana proses intervensi keperawatan pada pasien Thalasemia
?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian Thalasemia.
2. Untuk mengetahui penyebab Thalasemia .
3. Untuk mengetahui patofisiologi Thalasemia.
4. Untuk mengetahui manifestasi klinis Thalasemia.

2
5. Untuk mengetahui penatalaksaan Thalasemia.
6. Untuk mengetahui pemeriksaan diagnostic Thalasemia.
7. Untuk mengetahui proses pengkajian pada pasien Thalasemia.
8. Untuk mengetahui proses diagnosis keperawatan pada pasien
Thalasemia.
9. Untuk mengetahui proses intervensi keperawatan pada pasien
Thalasemia.

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. KONSEP MEDIS THALASEMIA


1. Pengertian

Thalasemia merupakan sindrom kelainan yang diwariskan


(inherited) dan masuk kedalam kelompok hemoglobinopati, yakni
kelainan yang disebabkan oleh gangguan sintesis hemoglobin
akibat mutasi didalam atau dekatgen globin (Sudoyo aru).

Thalasemia merupakan suatu sindrom kelainan darah yang


diwariskan (inherited) dan merupakan kelompok penyakit
hemoglobinopati, yaitu kelainan yang disebabkan oleh gangguan
sintesis hemoglobin akibat mutasi di dalam atau dekat gen globin.
Kelainan hemoglobin pada penderita thalasemia akan
menyebabkan eritrosit mudah mengalami destruksi, sehingga usia
sel-sel darah merah menjadi lebih pendek dari normal yaitu
berusia 120 hari (Marnis, Indriati, & Nauli, 2018).

Thalasemia adalah suatu gangguan darah yang diturunkan


ditandai oleh defisiensi produk rantai globulin pada hemoglobin
(Suriadi, 2010). Penyakit thalasemia merupakan salah satu
penyakit genetik tersering di dunia. Penyakit genetic ini
diakibatkan oleh ketidakmampuan sumsum tulang membentuk
protein yang dibutuhkan untuk memproduksi hemoglobin (Potts &
Mandleco, 2007). Hemoglobin merupakan protein kaya zat besi
yang berada di dalam sel darah merah yang berfungsi untuk
mengangkut oksigen dari paru-paru keseluruh bagian tubuh
(McPhee & Ganong, 2010) dalam (Rosnia Safitri, Juniar Ernawaty,
2015).

4
2. Penyebab
Thalasemia merupakan penyakit anemia hemolitik
herediter yang diturunkan secara resesif.Ditandai oleh defisiensi
produksi globin pada hemoglobin.Dimana terjadi kerusakan sel
darah merah di dalam pembuluh darah sehingga umur eritroit
menjadi pendek (kurang dari 100 hari).Kerusakan tersebut
karena hemoglobin yang tidak normal (hemoglobinopatia).
Sementara menurut Ngastiyah (2006) Penyebab
kerusakan tersebut karena hemoglobin yang tidak normal
(hemoglobinopatia) dan kelainan hemoglobin ini karena adanya
gangguan pembentukan yang disebabkan oleh gangguan
structural pembentukan hemoglobin (hemoglobin abnormal)
misalnya pada HbS, HbF, HbD dan sebagainya, selain itu
gangguan jumlah (salah satu/beberapa) rantai globin seperti
pada thalassemia.
3. Patofisiologi
Penyebab anemia pada thalasemia bersifat primer dan
sekunder.Primer adalah berkurangnya sintesis HbA dan
eritroipoeisis yang tidak efektif disertai penghancuran sel-sel
eritrosit.Sedangkan sekunder ialah krena defisiensi asam folat,
bertambahnya volume palsma intravaskular yang mengakibatkan
hemodilusi dan destruksi eritrosit oleh sistem retikuloendotelial
dalam limpa dan hati.Penelitian biomolekuler menunjukkan adanya
mutasi DNA pada gen sehingga produksi rantai alfa atau beta dari
hemoglobin berkurang. Molekul globin terdiri atas sepasang rantai-
α dan sepasang rantai lain yang menentukan jenis Hb.

4. Manifestasi Klisis
Pada beberapa kasus Thalassemia dapat ditemukan gejala-
gejala seperti: badan lemah, kulit kekuningan (jaundice), urin gelap,
cepat lelah, denyut jantung meningkat, tulang wajah abnormal dan

5
pertumbuhan terhambat serta permukaan perut yang membuncit
dengan pembesaran hati dan limpa.
Pasien Thalassemia mayor umumnya menunjukkan
gejalagejala fisik berupa hambatan pertumbuhan, anak menjadi
kurus, perut membuncit akibat hepatosplenomegali dengan wajah
yang khas, frontal bossing, mulut tongos (rodent like mouth), bibir
agak tertarik, dan maloklusi gigi. Perubahan ini terjadi akibat
sumsum tulang yang terlalu aktif bekerja untuk menghasilkan sel
darah merah, pada Thalassemia bisa menyebabkan penebalan dan
pembesaran tulang terutama tulang kepala dan wajah, selain itu
anak akan mengalami pertumbuhan yang terhambat. Akibat dari
anemia kronis dan transfusi berulang, maka pasien akan
mengalami kelebihan zat besi yang kemudian akan tertimbun di
setiap organ, terutama otot jantung, hati, kelenjar pankreas, dan
kelenjar pembentuk hormon lainnya, yang dikemudian hari akan
menimbulkan komplikasi. Perubahan tulang yang paling sering
terlihat terjadi pada tulang tengkorak dan tulang wajah. Kepala
pasien Thalassemia mayor menjadi besar dengan penonjolan pada
tulang frontal dan pelebaran diploe (spons tulang) tulang tengkorak
hingga beberapa kali lebih besar dari orang normal.
5. Penatalaksaan Thalasemia
Terapi diberikan secara teratur untuk mempertahankan
kadar Hb diatas 10 g/dL. Regimen hipertransfusi ini mempunyai
keuntungan klinis yang nyata memungkinkan aktivitas normal
dengan nyaman, mencegah ekspansi sumsum tulang dan masalah
kosmetik progresif yang terkait dengan perubahan tulang-tulang
muka, dan meminimalkan dilatasi jantung dan osteoporosis.
Transfusi dengan dosis 15-20 ml/kg sel darah merah (PRC)
biasanya diperlukan setiap 4-5 minggu. Uji silang harus di kerjakan
untuk mencegah alloimunisasi dan mencegah reaksi transfuse.
Lebih baik digunakan PRC yang relative segar (kurang dari 1

6
minggu dalam antikoalgulan CPD) walaupun dengan kehati-hatian
yang tinggi, reaksi demam akibat trasfusi lazim ada. Hal ini dapat
diminimalkan dengan penggunaan eritrosit yang direkonstitusi dari
darah beku atau penggunaan filter leukosit, dan dengan pemberian
antipiretik sebelum transfuse. Hemosiderosis adalah akibat terapi
transfusi jangka panjang, yang tidak dapat dihindari karena setiap
500 ml darah membawa kira-kira 200 mg besi ke jaringan yang
tidak dapat di ekskresikan secara fisiologis.
Siderosis miokardium merupakan faktor penting yang ikut
berperan dalam kematian awal penderita.Hemosiderosis dapat
diturunkan atau bahkan dicegah dengan pemberian parenteral obat
pengkelasi besi (iron chelating drugs) deferoksamin yang
membentuk kompleks besi yang dapat di ekskresikan dalam
urin.Kadar deferoksamin darah yang dipertahankan tinggi adalah
perlu untuk ekresi besi yang memadai. Obat ini diberikan subkutan
dalam jangka 8-12 jam dengan menggunakan pompa portable kecil
(selama tidur), 5 atau 6 malam/minggu penderita yang menerima
regimen ini dapat mempertahankan kadar ferritin serum kurang dari
1000 mg/mL yang benar- benar di bawah nilai toksik. Komplikasi
mematika siderosis jantung dan hati dengan demikian dapat
dicegah atau secara nyata tertunda.Obat pengkhelasi besi peroral
yang efektif, deferipron, telah dibuktikan efektif serupa dengan
deferoksamin.Karena kekhawatiran terhadap kemungkinan
toksisitas (agranulositosis, artritis, arthralgia) obat tersebut kini tidak
tersedia di Amerika Serikat.
Terapi hipertransfusi mencegah splenomegaly massif yang
disebabkan oleh eritropoesis ekstra medular.Namun splenektomi
akhirnya diperlukan karena ukuran organ tersebut atau karena
hipersplenisme sekunder. Splenektomi meningkatkan resiko sepsis
yang parah sekali, oleh karena itu operasi harus dilakukan hanya
untuk indikasi yang jelas dan harus ditunda selama

7
mungkin.Indikasi terpenting untuk splenektomi adalah
meningkatkan kebutuhan transfusi yang menunjukkan unsur
hipersplenisme.Kebutuhan transfusi melebihi 240 ml/kg PRC/tahun
biasanya merupakan bukti hipersplenisme dan merupakan indikasi
untuk mempertimbangkan splenektomi.
Imunisasi pada penderita ini dengan vaksin hepatitis B,
vaksin H.influensa tipe B, dan vaksin polisakarida pneumokokus
diharapakan, dan terapi profilaksis penisilin juga
dianjurkan.Cangkok sumsus tulang (CST) adalah kuratif pada
penderita yang telah menerima transfusi sangat banyak.Namun,
prosedur ini membawa cukup resiko morbiditas dan mortalitas dan
biasanya hanya digunakan untuk penderita yang mempunyai
saudara kandung yang sehat (yang tidak terkena) yang
histokompatibel.
6. Pemeriksaan Diagnostik
Diagnosis untuk Thalassemia terdapat dua yaitu secara screening
test dan definitive test. Di daerah endemik, anemia hipokrom
mikrositik perlu diragui sebagai gangguan Thalassemia (Wiwanitkit,
2007).
a. Screening test
1) Interpretasi apusan darah
Dengan apusan darah anemia mikrositik sering dapat
dideteksi pada kebanyakkan Thalassemia kecuali
Thalassemia α silent carrier. Pemeriksaan apusan darah rutin
dapat membawa kepada diagnosis Thalassemia tetapi kurang
berguna untuk skrining.
2) Pemeriksaan osmotic fragility (OF)
Pemeriksaan ini digunakan untuk menentukan fragiliti
eritrosit. Secara dasarnya resistan eritrosit untuk lisis bila
konsentrasi natrium klorida dikurangkan dikira. Studi yang
dilakukan menemui probabilitas formasi pori-pori pada

8
membran yang regang bervariasi mengikut order ini:
Thalassemia < kontrol < spherositosis (Wiwanitkit, 2007).
Studi OF berkaitan kegunaan sebagai alat diagnostik telah
dilakukan dan berdasarkan satu penelitian di Thailand,
sensitivitinya adalah 91.47%, spesifikasi 81.60, false positive
rate 18.40% dan false negative rate 8.53% (Wiwanitkit, 2007).
3) Indeks eritrosit
Dengan bantuan alat indeks sel darah merah dapat
dicari tetapi hanya dapat mendeteksi mikrositik dan hipokrom
serta kurang memberi nilai diagnostik. Maka metode
matematika dibangunkan (Wiwanitkit, 2007).
4) Model matematika
Membedakan anemia defisiensi besi dari Thalassemia β
berdasarkan parameter jumlah eritrosit digunakan. Beberapa
rumus telah dipropose seperti 0.01 x MCH x (MCV)², RDW x
MCH x (MCV) ²/Hb x 100, MCV/RBC dan MCH/RBC tetapi
kebanyakkannya digunakan untuk membedakan anemia
defisiensi besi dengan Thalassemia β (Wiwanitkit, 2007).
b. Definitive test
1) Elektroforesis hemoglobin
Pemeriksaan ini dapat menentukan pelbagai jenis tipe
hemoglobin di dalam darah. Pada dewasa konstitusi normal
hemoglobin adalah Hb A1 95-98%, Hb A2 2-3%, Hb F 0.8-
2% (anak di bawah 6 bulan kadar ini tinggi sedangkan
neonatus bisa mencapai 80%).
2) Kromatografi hemoglobin
Pada elektroforesis hemoglobin, HB A2 tidak terpisah
baik dengan Hb C. Pemeriksaan menggunakan high
performance liquid chromatography (HPLC) pula
membolehkan penghitungan aktual Hb A2 meskipun
terdapat kehadiran Hb C atau Hb E. Metode ini berguna

9
untuk diagnosa Thalassemia β karena ia bisa
mengidentifikasi hemoglobin dan variannya serta
menghitung konsentrasi dengan tepat terutama Hb F dan
Hb A2 (Wiwanitkit, 2007).
3) Molecular diagnosis
Pemeriksaan ini adalah gold standard dalam
mendiagnosis Thalassemia. Molecular diagnosis bukan
saja dapat menentukan tipe Thalassemia malah dapat juga
menentukan mutasi yang berlaku (Wiwanitkit, 2007).

10
B. KONSEP KEPERAWATAN
1. PENGKAJIAN
Pengkajian merupakan langkah pertama dari proses keperawatan.
Kegiatan yang dilakukan pada saat pengkajian adalah
mengumpulkan data, memvalidasi data, megorganisasikan data
dan mencatat yang diperoleh. Langkah ini merupakan dasar untuk
perumusan diagnose keperawatan dan mengembangkan rencana
keperawatan sesuai kebutuhan pasien serta melakukan
implementasi keperawatan.
a. Asal Keturunan/Kewarganegaraan
Thalasemia banyak dijumpai pada bangsa disekitar laut
tengah (mediterania). Seperti turki, yunani, Cyprus, dll. Di
Indonesia sendiri, thalassemia cukup banyak dijumpai pada
anak, bahkan merupakan penyakit darah yang paling banyak
diderita.
b. Umur
Pada thalasemia mayor yang gejala klinisnya jelas, gejala
tersebut telah terlihat sejak anak berumur kurang dari 1 tahun.
Sedangkan pada thalasemia minor yanmbg gejalanya lebih
ringan, biasanya anak baru datang berobat pada umur sekitar 4-
6 tahun.
c. Riwayat kesehatan anak
Anak cenderung mudah terkena infeksi saluran napas
bagian atas infeksi lainnya. Hal ini mudah dimengerti karena
rendahnya Hb yang berfungsi sebagai alat transport
d. Pertumbuhan dan perkembangan
Sering didapatkan data mengenai adanya kecenderungan
gangguan terhadap tumbuh kembang sejak anak masih bayi,
karena adanya pengaruh hipoksia jaringan yang bersifat kronik.
Hal ini terjadi terutama untuk thalassemia mayor. Pertumbuhan
fisik anak adalah kecil untuk umurnya dan ada keterlambatan

11
dalam kematangan seksual, seperti tidak ada pertumbuhan
rambut pubis dan ketiak. Kecerdasan anak juga dapat
mengalami penurunan. Namun pada jenis thalasemia minor
sering terlihat pertumbuhan dan perkembangan anak normal.
e. Pola makan
Karena adanya anoreksia, anak sering mengalami susah
makan, sehingga berat badan anak sangat rendah dan tidak
sesuai dengan usianya.
f. Pola aktivitas
Anak terlihat lemah dan tidak selincah anak usianya. Anak
banyak tidur / istirahat, karena bila beraktivitas seperti anak
normal mudah merasa lelah
g. Riwayat kesehatan keluarga
Karena merupakan penyakit keturunan, maka perlu dikaji
apakah orang tua yang menderita thalassemia. Apabila kedua
orang tua menderita thalassemia, maka anaknya berisiko
menderita thalassemia mayor. Oleh karena itu, konseling
pranikah sebenarnya perlu dilakukan karena berfungsi untuk
mengetahui adanya penyakit yang mungkin disebabkan karena
keturunan.
h. Data keadaan fisik anak thalassemia yang sering didapatkan
diantaranya adalah:
1) Keadaan umum = Anak biasanya terlihat lemah dan kurang
bergairah serta tidak selincah aanak seusianya yang normal.
2) Kepala dan bentuk muka.Anak yang belum/tidak
mendapatkan pengobatan mempunyai bentuk khas, yaitu
kepala membesar dan bentuk mukanya adalah mongoloid,
yaitu hidung pesek tanpa pangkal hidung, jarak kedua mata
lebar, dan tulang dahi terlihat lebar.
3) Mata dan konjungtiva terlihat pucat kekuningan
4) Mulut dan bibir terlihat pucat kehitaman

12
5) Dada, Pada inspeksi terlihat bahwa dada sebelah kiri
menonjol akibat adanya pembesaran jantung yang
disebabkan oleh anemia kronik
6) Perut, Kelihatan membuncit dan pada perabaan terdapat
pembesaran limpa dan hati ( hepatosplemagali).
7) Pertumbuhan fisiknya terlalu kecil untuk umurnya dan BB nya
kurang dari normal. Ukuran fisik anak terlihat lebih kecil bila
dibandingkan dengan anak-anak lain seusianya.
8) Pertumbuhan organ seks sekunder untuk anak pada usia
pubertas Ada keterlambatan kematangan seksual, misalnya,
tidak adanya pertumbuhan rambut pada ketiak, pubis, atau
kumis. Bahkan mungkin anak tidak dapat mencapai tahap
adolesense karena adanya anemia kronik.
9) Kulit Warna kulit pucat kekuning- kuningan. Jika anak telah
sering mendapat transfusi darah, maka warna kulit menjadi
kelabu seperti besi akibat adanya penimbunan zat besi dalam
jaringan kulit (hemosiderosis) (Wiayaningsih, 2013)
2. DIAGNOSA
a. Pola Napas Tidak Efektif (PPNI T. P., 2017)

Inspirasi dan/atau ekspirasi yang tidak memberikan ventilasi


adekuat

Penyebab :

1. Depresi pusat pernapasan


2. Hambatan upaya napas (mis.nyeri saat bernapas, kelemahan
otot pernapasan)
3. Deformitas dinding dada
4. Deformitas tulang dada
5. Gangguan neuromuscular
6. Gangguan neuorologis (mis. Elektroensefalogram [EEG]
positif, cedera kepala, gangguan kejang.

13
7. Imaturitas neurologis
8. Penurunan energi
9. Obesitas
10. Posisi tubuh yang bertambah
11. Sindrom hipoventilasi
12. Kerusakan inervasi diafragma (kerusakan saraf C5 ke atas)
13. Cedera pada medula spinalis
14. Efek agen farmakologis
15. Kecemasan

Batasan Karakteristik

Gejala dan Tanda Mayor


Subjektif Objektif
1. Dispenia 1. penggunaan otot bantu
pernapasan
2. face ekspirasi memanjang
3. pola napas abnormal (mis.
Takipnea, bradipnea, hiperventilasi,
kussmaul, cheyne-stokes)
Gejala dan Tanda Minor
Subjektif Objektif
1. Ortopnea 1. Pernapasan pursed-lip
2. pernapasan cuping hidung
3. Diameter toraks anterior-posterior
meningkat
4. Ventilasi semenit menurun
5. Kapasitas vital menurun
6. Tekanan ekspirasi menurun
7. Tekanan inspirasi menurun
8. Ekskursi dada berubah

3. INTERVENSI
a. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan posisi tubuh yang
menghambat ekspansi paru dan penurunan energy.
1) Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan
pola nafas klien membaik
Kriteria Hasil :
a) Frekuensi nafas membaik

14
b) Fungsi paru dalam batas normal
c) Tanda- tanda vital dalam batas normal
2) Intervensi
Observasi
a) Monitor frekuensi, irama, kedalaman dan upaya
b) Monitor pola nafas (seperti bradipnea, Takipnea,
hiperventilasi, kussmaul, cheyne-stokes, biot, ataksik)
c) Palpasi kesimetrisan ekspansi paru
d) Auskultasi bunyi Nafas
e) Monitor saturasi oksigen
Terapeutik
a) Posisikan semi fowler atau fowler
b) Berikan Oksigen jika perlu
4. IMPLEMENTASI
Implementasi merupakan tindakan yang sudah direncanakan
dalam rencana perawatan. Tindakan keperawatan mencakup
tindakan mandiri (independen) dan tindakan kolaborasi. Tindakan
mandiri (independen) adalah aktivitas perawat yang didasarkan
pada kesimpulan atau keputusan sendiri dan bukan merupakan
petunjuk atau perintah dari petugas kesehatan lain. Tindakan
kolaborasi adalah tindakan yang didasarkan hasil keputusan
bersama, seperti dokter dan petugas kesehatan lain. (Tarwoto &
Wartonah, 2015)
Agar lebih jelas dan akurat dalam melakukan implementasi,
diperlukan perencanaan keperawatan yang spesifik dan
operasional. Sebelum melakukan implementasi beberapa hal yang
harus dilakukan: (Tarwoto & Wartonah, 2015)
a. Kaji kembali rencana keperawatan dan validasi terhadap
pasien dan tim kesehatan lain, serta status kesehatan
pasien saat ini.

15
b. Kaji pengetahuan dan kemampuan untuk melaksanakan
rencana implementasi
c. Persiapan pasien, terangkan tentang tindakan keperawatan,
tujuan, apa yang terjadi pada pasien.
d. persiapan lingkungan, seperti ruangan, lampu, alat, sumber-
sumber yang dibutuhkan, serta menjaga privasi.

Implementasi keperawatan dapat terbentuk: (Tarwoto & Wartonah,


2015)

a. bentuk perawatan seperti melakukan pengkajian untuk


mengidentifikasi masalah baru atau mempertahankan
masalh yang ada.
b. Pengajaran/pendidikan kesehatan pada pasien untuk
membantu menambah pengetahuan tentang kesehatan.
c. Konseling pasien untuk memutuskan kesehatan pasien.
d. Konsultasi atau berdiskusi dengan tenaga professional
kesehatan lainnya sebagai bentuk perawatan holistis.
e. Bentuk penatalaksanaan secara spesifik atau tindakan untuk
memecahkan masalah kesehatan.
f. Membantu pasien dalam melakukan aktivitas sendiri.
g. Melakukan monitoring atau pengkajian terhadap komplikasi
yang mungkin terjadi terhadap pengobatan atau penyakit
yang dialami.

Perencanaan yang dapat diimplementasikan tergantung pada


aktivitas berikut ini. (Tarwoto & Wartonah, 2015)

a. Kesinambungan pengumpulan data


b. Penentuan prioritas
c. Bentuk intervensi keperawatan
d. Dokumentasi asuhan keperawatan
e. Pemberian catatan perawatan secara verbal

16
5. EVALUASI
Evalusi merupakan tahap akhir dalam proses keperawatan untuk
dapat menentukan keberhasilan dalam asuhan keperawatan.
Evaluasi pada dasarnya adalah membandingkan status keadaan
kesehatan pasien dengan tujuan atau kriteria hasil yang telah
diterapkan. (Tarwoto & Wartonah, 2015)

Tujuan dari evaluasi adalah: (Tarwoto & Wartonah, 2015)

a. Mengevaluasi status kesehatan pasien.


b. Menentukan perkembangan tujuan perawatan.
c. Menentukan efektivitas dari rencana keperawatan yang telah
ditetapkan.
d. Sebagai dasar menentukan diagnosis keperawatan sudah
tercapai atau tidak, atau adanya perubahan diagnosis.

Evaluasi perkembangan kesehatan pasien dapat dilihat dari hasil


dari tindakan keperawatan. Tujuannya adalah untuk mengetahui
sejauh mana tujuan perawatan dapat dicapai dan memberikan
umpan balik terhadap asuhan keperawatan yang diberikan.
(Tarwoto & Wartonah, 2015)

Langkah-langkah evaluasi sebagai berikut. (Tarwoto & Wartonah,


2015)

a. Daftar tujuan-tujuan pasien.


b. Lakukan pengkajian apakah pasien dapat melakukan sesuatu.
c. Bandingkan antara tujuan dengan kemampuan pasien.
d. Diskusikan dengan pasien, apakah tujuan dapat tercapai atau
tidak.

17
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Thalasemia adalah suatu gangguan darah yang diturunkan


ditandai oleh defisiensi produk rantai globulin pada hemoglobin
(Suriadi, 2010). Penyakit thalasemia merupakan salah satu penyakit
genetik tersering di dunia. Penyakit genetic ini diakibatkan oleh
ketidakmampuan sumsum tulang membentuk protein yang dibutuhkan
untuk memproduksi hemoglobin (Potts & Mandleco, 2007).
Hemoglobin merupakan protein kaya zat besi yang berada di dalam
sel darah merah yang berfungsi untuk mengangkut oksigen dari paru-
paru keseluruh bagian tubuh (McPhee & Ganong, 2010) dalam
(Rosnia Safitri, Juniar Ernawaty, 2015).

Sementara menurut Ngastiyah (2006) Penyebab kerusakan


tersebut karena hemoglobin yang tidak normal (hemoglobinopatia) dan
kelainan hemoglobin ini karena adanya gangguan pembentukan yang
disebabkan oleh gangguan structural pembentukan hemoglobin
(hemoglobin abnormal) misalnya pada HbS, HbF, HbD dan
sebagainya, selain itu gangguan jumlah (salah satu/beberapa) rantai
globin seperti pada thalassemia.
B. Saran
`Dengan adanya penulisan ini diharapkan bagi pembaca
khususnya mahasiwa Institusi Ilmu Kesehatan Pelamonia lebih
mengetahui lagi manfaat dan nilai-nilai yang terkandung dalam makalah
ini dan dapat mengetahui lebih dalam tentang konsep keperawatan
anak yang menderita thalasemia yang sehingga dapat meningkatkan
motivasi yang positif untuk terus belajar dengan giat agar dapat

18
meneruskan dan mengembangakan ilmu-ilmu dari para ilmuan terlebih
dahulu kepada generasi berikutnya.

DAFTAR PUSTAKA
Apriany, Dyna. 2016. Asuhan Keperawatan Anak dengan Keganasan.
Bandung : PT Refika Aditama.

Apsari, Nurliana. Cipta. (2016). Pendampingan Bagi Anak Penyandang


Thalasemia Dan Keluarganya. Share : Social Work Journal.

Arnis, Yuliastati. & Amelia. (2016). Keperawatan Anak. Jakarta Selatan:


Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.

Dahnil, Fitriayi, Ai Mardhiyah, dan Efri Widianti.(2017). Kajian Kebutuhan


supportive care pada orang tua anak penderita thalasemia.

Ghofur, yustiana olfah abdul. (2016). Dokumentasi Keperawatan. Jakarta


Selatan: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.

Ngastiyah. 2012. Perawatan anak sakit. Jakarta : EGC

Rahayu, S., & Harnanto, A. M. (2016). Kebutuhan Dasar Manusia II.


Jakarta: Pusdik SDM Kesehatan.

PPNI, T. P. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Jakarta:


Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.

PPNI, T. P. (2018). STANDAR INTERVENSI KEPERAWATAN


INDONESIA. JAKARTA: DEWAN PENGURUS PUSAT
PERSATUAN PERAWAT NASIONAL INDONESIA.

Tarwoto, & Wartonah. (2015). Kebutuhan Dasar Manusia dalam Proses


Keperawatan. Jakarta Selatan: Salemba Medika.

19
20

Anda mungkin juga menyukai