Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN TALASEMIA

Disusun Oleh :
Kelompok 3
Noviana Fitria G0A021079
Jeanolla Labina P. G0A021080
Puji Lestari G0A021081
M. Lutfi Haikal G0A021082
Imel Febriyanti G0A021083
Khusnul Khotimah G0A021084
Andi Nugroho S. G0A021085
Annisa Afiyani G0A021086
Diah Arum Sari G0A021087

PROGRAM STUDI DIPLOMA III KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
Kata Pengantar

Puja dan puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT. atas rahmat dan
hidayahNya, kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “MAKALAH
ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN TALASEMIA” dengan baik dan tepat
waktu.

Makalah disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Anak Selain itu,
makalah ini bertujuan menambah wawasan dan pengetahuan tentang penyakit Talasemia
pada anak.

Kami mengucapkan terimakasih kepada Ibu Ns. Dera Alfiyanti, M.Kep. selaku Dosen
pembimbing Keperawatan anak yang telah memberikan kami kesempatan dan kepercayaan
untuk membuat makalah ini. Kami ucapkan terima kasih juga disampaikan kepada semua
pihak yang telah membantu penyelesaian makalah ini.

Kami menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah terdapat kekurangan dan jauh
dari sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya saran, usulan, dan kritik demi perbaikan
makalah yang akan kami buat di masa yang akan datang. Semoga makalah ini dapat dipahami
bagi siapapun yang membaca.

Semarang, 9 Maret 2023

Penulis

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................1

DAFTAR ISI...........................................................................................................2

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang..............................................................................................3

B. Tujuan Penulisan..........................................................................................4

1. Tujuan Umun..........................................................................................4

2. Tujuan khusus........................................................................................4

C. Metode Penulisan.........................................................................................4

D. Sistematika penulisan...................................................................................4

BAB II KONSEP DASAR

A. Pengertian Talasemia........................................................................................6

B. Etiologi Talasemia............................................................................................6

C. Patofisiologi Talasemia.....................................................................................7

D. Manifestasi Talasemia......................................................................................8

E. Penatalaksanaan Talasemia.............................................................................10

F. Pengkajian Fokus Talasemia...........................................................................11

G. Pathways Keperawatan Talasemia..................................................................13

H. Fokus Intervensi Talasemia............................................................................13

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan.....................................................................................................19

B. Saran................................................................................................................19

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................20

2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang

Talasemia merupakan penyakit hemolitik kronik karena kelainan genetik yang


diturunkan secara autosomal resesif. Thalasemia memiliki karakteristik berupa penurunan
atau pengurangan produksi rantai globin, sehingga menyebabkan eritrosit yang mudah rapuh
dan mengakibatkan anemia dengan berbagai macam derajatnya (Ganie, 2016).

Data dari World Health Organization menyatakan sekitar 250 juta penduduk dunia
(4,5%) membawa gen thalasemia, sedangkan 80-90 juta di antaranya membawa gen
thalasemia β (beta). Prevalensi thalasemia di berbagai negara juga mengalami angka yang
cukup tinggi, seperti di Italia 10%, Yunani 5-10%, Cina 2%, India 1-5%. Jika dilukiskan
dalam peta dunia, seolah-olah membentuk sebuah sabuk (thalassemic belt) dimana Indonesia
termasuk di dalamnya (Bakta, 2007).

Data Riset Kesehatan Dasar Kementrian Kesehatan (Riskesdas) 2015 menunjukan,


penderita thalasemia di Indonesia terdapat 7.029 kasus. Data ini meningkat dari tahun 2014
dengan sebanyak 6.647 kasus. Berdasarkan data terdapat sekitar 7% populasi dunia sebagai
pembawa sifat thalasemia dengan kematian sekitar 50.000 – 100.000 anak dimana 80% nya
terjadi di negara berkembang (Riskesdas, 2015).

Yayasan Thalasemia Indonesia atau Perhimpunan Orang Tua Penderita Thalasemia


Indonesia mencatat kasus thalasemia di Indonesia terus mengalami peningkatan sejak tahun
2011 hingga tahun 2015. Pada tahun 2015 penderita thalasemia mencapai 7.029 orang dengan
kasus terbanyak terjadi di wilayah Jawa Barat, yaitu 2.881 orang (Kementrian Kesehatan,
2017).

Penyakit thalasemia selain berdampak pada kondisi fisik juga berdampak terhadap
kondisi psikososial, dimana anak dengan kondisi penyakit kronik mudah mengalami emosi
dan masalah perilaku. Lamanya perjalanan penyakit, pengobatan dan perawatan yang
terjadwal secara pasti serta seringnya tidak masuk sekolah menuntut kebutuhan emosional
yang lebih besar. Anak penderita thalasemia mengalami perasaan berbeda dengan orang lain
dan mengalami harga diri yang rendah (Shaligram, Girimaji & Chaturvedi, 2007).

3
B. Tujuan Penulisan

1. Tujuan Umum

Tujuan umum penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas seminar
kelompok khususnya mata kuliah Keperawatan anak serta melatih mahasiswa
untuk berpikir kritis.

2. Tujuan khusus

a. Mahasiswa mampu memahami pengertian talasemia

b. Mahasiswa mampu memahami etiologi talasemia

c. Mahasiswa mampu memahami patofisiologi talasemia

d. Mahasiswa mampu memahami manifestasi klinik talasemia

e. Mahasiswa mampu memahami penatalaksanaan talasemia

f. Mahasiswa mampu melakukan asuhan keperawatan pada klien dengan


talasemia

C. Metode Penulisan

Metode yang kami gunakan dalam menulis makalah ini, yaitu :

1. Metode Kepustakaan

Adalah metode pengumpulan data yang digunakan penulis dengan


mempergunakan buku atau referensi yang berkaitan dengan masalah yang sedang
dibahas.

2. Metode Media Informatika

Adalah metode dengan mencari data melalui situs-situs di intenet

D. Sistematika penulisan

Sitematika penulisan dalam makalah ini disusun sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

4
Bab ini berisi latar belakang masalah, tujuan penulisan, metode penulisan dan
sistematika penulisan

BAB II KONSEP DASAR

Bab ini meliputi pengertian, etiologi/prediposisi, patofisiologi, manifestasi klinik,


penatalaksanaan, pengkajian fokus, pathways keperawatan, fokus intervensif dan
rasional

BAB III PENUTUP

Bab ini berisi kesimpulan dan saran

5
BAB II

KONSEP DASAR

A. Pengertian Talasemia

Talasemia adalah suatu gangguan darah yang diturunkan yang ditandai oleh
defisiensi produksi rantai globin pada hemoglobin. Talasemia merupakan penyakit
hemolitik kronik karena kelainan genetik yang diturunkan secara autosomal resesif.
Talasemia memiliki karakteristik berupa penurunan atau pengurangan produksi rantai
globin, sehingga menyebabkan eritrosit yang mudah rapuh dan mengakibatkan
anemia dengan berbagai macam derajatnya (Ganie, 2016).

Talasemia merupakan kelainan darah yang diturunkan yang disebabkan oleh


kelainan hemoglobin (akibat ketidakmampuan sumsum tulang membentuk protein
yang dibutuhkan untuk memproduksi hemoglobin) yang menyebabkan kerusakan
pada sel darah merah sehingga penderitanya mengalami anemia atau kurang darah
(Marnis, Indriati, & Nauli, 2018).

Thalasemia adalah suatu penyakit keturunan yang diakibatkan oleh kegagalan


pembentukan salah satu dari empat rantai asam amino yang membentuk hemoglobin,
sehingga hemoglobin tidak terbentuk sempurna. Tubuh tidak dapat membentuk sel
darah merah yang normal, sehingga sel darah merah mudah rusak atau berumur
pendek kurang dari 120 hari dan terjadilah anemia (Yuyun Rahayu, et al 2015).

Thalasemia terjadi akibat ketidakmampuan sumsum tulang membentuk protein


yang dibutuhkan untuk memproduksi hemoglobin sebagaimana mestinya.
Hemoglobin merupakan protein kaya zat besi yang berada di dalam sel darah merah
dan berfungsi sangat penting untuk mengangkut oksigen dari paru-paru ke seluruh
bagian tubuh yang membutuhkannya sebagai energi. Apabila produksi hemoglobin
berkurang atau tidak ada, maka pasokan energi yang dibutuhkan untuk menjalankan
fungsi tubuh tidak dapat terpenuhi, sehingga fungsi tubuh terganggu dan tidak mampu
lagi menjalankan aktivitasnya secara normal. Thalasemia adalah sekelompok penyakit
keturunan yang merupakan akibat dari ketidakseimbangan pembuatan salah satu dari

6
keempat rantai asam amino yang membentuk hemoglobin.Thalasemia adalah penyakit
yang sifatnya diturunkan. Penyakit ini, merupakan penyakit kelainan pembentukan sel
darah merah.

B. Etiologi Talasemia

Menurut Mambo (2009) dalam Lazuana (2014) menyatakan bahwa


hemoglobin adalah suatu zat di dalam eritrosit yang berfungsi mengangkut O2 dari
paru-paru ke seluruh tubuh, juga memberi warna merah pada eritrosit. Hemoglobin
manusia terdiri dari persenyawaan heme dan globin. Heme terdiri dari zat besi (Fe)
dan globin adalah suatu protein yang terdiri dari rantai polipeptida. Hemoglobin pada
manusia normal terdri dari 2 rantai alfa (α) dan 2 rantai beta (β). Penderita thalasemia
tidak mampu memproduksi salah satu dari protein tersebut dalam jumlah yang cukup,
sehingga eritrosit tidak terbentuk dengan sempurna. Akibatnya hemoglobin tidak
dapat mengangkut O2 dalam jumlah yang cukup oleh karena itu penderita thalasemia
mengalami anemia sepanjang hidupnya.

Adapun etiologi dari thalasemia adalah faktor genetik (herediter). Thalasemia


merupakan penyakit anemia hemolitik dimana terjadi kerusakan sel darah merah
didalam pembuluh darah sehingga umur eritrosit menjadi pendek (kurang dari 100
hari). Penyebab kerusakan tersebut karena hemoglobin yang tidak normal
(hemoglobinopatia) dan kelainan hemoglobin ini karena adanya gangguan
pembentukan yang disebabkan oleh:

a) Gangguan struktur pembentukan hemoglobin (hb abnormal)

b) Gangguan jumlah (salah satu atau beberapa) rantai globin seperti pada talasemia

C. Patofisiologi Talasemia

Pada keadaan normal, disintetis hemoglobin A (adult : A1) yang terdiri dari 2
rantai alfa dan dua rantai beta. Kadarnya mencapai lebih kurang 95% dari seluruh
hemoglobin. Sisanya terdiri dari hemoglobin A2 yang mempunyai 2 rantai alfa dari 2
rantai delta sedangkan kadarnya tidak lebih dari 2 % pada keadaan normal.
Hemoglobin F (foetal) setelah lahir fetus senantiasa menurun dan pada usia 6 bulan

7
mencapai kadar seperti orang dewasa, yaitu tidak lebih dari 4% pada keadaan normal.
Hemoglobin F terdiri dari 2 rantai alfa dan 2 rantai gamma. Pada penderita thalasemia
satu atau lebih dari satu rantai globin kurang diproduksi sehingga terdapat kelebihan
rantai globin karena tidak ada pasangan dalam proses pembentukan hemoglobin
normal orang dewasa (HbA).

Kelebihan rantai globin yang tidak terpakai akan mengendap pada dinding
eritrosit. Keadaan ini menyebabkan eritropoesis tidak efektif dan eritrosit memberikan
gambaran anemia hipokrom dan mikrositer. Pada thalasemia beta produksi rantai beta
terganggu, mengakibatkan kadar Hb menurun sedangkan produksi HbA2 dan atau
HbF tidak terganggu karena tidak memerlukan rantai beta dan justru memproduksi
lebih banyak dari pada keadaan normal, mungkin sebagai usaha kompensasi.
Eritropoesis di dalam susunan tulang sangat giat, dapat mencapai 5 kali lipat dari nilai
normal, dan juga serupa apabila ada eritropoesis ekstra medular hati dan limfa.
(Soeparman, dkk, 1996).

Masing-masing HbA yang normal terdiri dari empat rantai globin sebagai
rantai polipeptida, dimana rantai polipeptida tersebut terdiri dari dua rantai polipeptida
alfa dan dua rantai polipeptida beta. Empat rantai tersebut bergabung dengan empat
komplek heme untuk membentuk molekul hemoglobin, pada thalasemia beta sintesis
rantai globin beta mengalami kerusakan. Eritropoesis menjadi tidak efektif, hanya
sebagian kecil eritrosit yang mencapai sirkulasi prifer dan timbul anemia. Anemia
berat yang berhubungan dengan thalasemia beta mayor menyebabkan ginjal
melepaskan erythropoietin yaitu hormon yang menstimulasi bone marrow untuk
menghasilkan lebih banyak sel darah merah, sehingga heatopoesis menjadi tidak
efektif, eritropoesis yang meningkat mengakibatkan hyperplasia dan ekspansi sumsum
tulang, sehingga timbul deformitas pada tulang. Eritropoetin juga merangsang
jaringan hematopoiesis ekstra meduler di hati dan limpa sehingga timbul
hepatosplenomegali. Efek lain dari anemia adalah meningkatnya absorbsi besi dari
saluran cerna menyebabkan penumpukan besi berkisar 2-5 gram pertahun (Potts &
Mandleco, 2007).

D. Manifestasi Talasemia

8
Thalasemia diturunkan dari orang tua kepada anaknya melalui gen. Jika kedua
orang tua adalah pembawa sifat thalasemia ada kemungkinan 50% anak pembawa
sifat thalasemia (minor) sedangkan 25% menderita thalasemia mayor dan 25% lagi
anak akan normal. Namun, bila salah satu dari orang tua pembawa sifat, dan satunya
laginormal, maka kemungkinan 50% anak menjadi pembawa sifat thalassemia
sedangkan 50% lagi kemungkinan anak akan normal (E. Sri Indiyah, S. Meri Rima M,
2019).

a. Thalasemia Mayor

Thalasemia mayor adalah keadaan klinis thalasemia yang paling berat.


Kondisi thalasemia mayor terjadi karena gen penyandi hemoglobin pada 2 alel
kromosom mengalami kelainan. Pasien membutuhkan transfusi darah sejak
tahun pertama pada rentang usia 6-24 bulan dan kontinu sampai seumur
hidupnya. Rutinitas transfusi thalasemia mayor berkisar antara 2 minggu
sekali sampai 4 minggu sekali. Gejala thalasemia mayor secara umum muncul
pada usia 7 bulan awal pertumbuhan bayi atau setidaknya pada bawah tiga
tahun. Gejala awal adalah keadaan pucat pada kulitnya terlihat pada bagian
telapak tangan, mata bagian kelopak mata sebelah dalam, daerah perut, dan
semua permukaan kulit. Lambat laun bayi akan terlihat lemas, tidak begitu
aktif, dan tidak bergairah menyusu. Bayi akan mengalami kegagalan untuk
berkembang secara normal dan menjadi semakin pucat. Beberapa masalah
seperti diare, lemah, serangan demam berulang dan pembesaran perut
progresif yang disebabkan oleh pembesaran limpa dan hati dapat menjadi
alasan pasien untuk datang ke pelayanan kesehatan (Lantip Rujito, 2019).

b. Thalasemia Intermedia

Sama seperti halnya dengan thalasemia mayor, individu dengan


thalasemia intermedia terjadi akibat kelainan pada 2 kromosom yang menurun
dari ayah dan ibunya. Perbedaan ada pada jenis gen mutan yang menurun.
Individu thalasemia mayor menurun 2 gen mutan bertipe mutan berat,
sedangkan pada thalasemia intermedia 2 gen tersebut merupakan kombinasi
mutan berat dan ringan, atau mutan ringan. Onset awitan atau kenampakan

9
klinis dari thalasemia intermedia tidak seawal thalasemia mayor. Diagnosis
awal bisa terjadi pada usia belasan tahun atau bahkan pada usia dewasa.

Secara klinis thalasemia intermedia menunjukan gejala dan tanda yang


sama dengan thalasemia mayor namun lebih ringan dari gambaran thalasemia
mayor. Pasien intermedia tidak rutin dalam memenuhi transfusi darahnya,
terkadang hanya 3 bulan sekali, 6 bulan sekali atau bahkan 1 tahun sekali.
Namun pada keadaan tertentu, keadaan intermedia dapat jatuh ke keadaan
mayor jika tubuh mengeluarkan darah yang cukup banyak atau tubuh
memerlukan metabolisme yang tinggi seperti keadaan infeksi yang menahun,
kanker atau keadaan klinis lain yang melemahkan sistem fisiologis hematologi
atau sistem darah. Pasien thalasemia intermedia ini dapat cenderung menjadi
mayor ketika anemia kronis tidak tertangani dengan baik dan sudah
menyebabkan gangguan organ-organ seperti hati, ginjal, pankreas dan limpa
(Lantip Rujito, 2019).

c. Thalasemia Minor

Thalasemia minor bisa juga disebut sebagai pembawa sifat, traits,


pembawa mutan, atau karier thalasemia. Karier thalasemia tidak menunjukan
gejala klinis semasa hidupnya. Hal ini bisa dipahami karena abnormalitas gen
yang terjadi hanya melibatkan salah satu dari dua kromosom yang ada
dikandungannya, bisa dari ayah atau dari ibu. Satu gen yang normal masih
mampu memberikan kontribusi untuk proses hematopiesis yang cukup baik.
Beberapa penelitian bahkan menyebut bahwa diantara pendonor darah rutin
pada unit-unit transfusi darah adalah karier thalasemia (Latip Rujito, 2019).

E. Penatalaksanaan Talasemia

Menurut (Nur Rachmi Sausan, 2020) Pengobatan Thalasemia bergantung pada


jenis dan tingkat keparahan dari Gangguan. Seseorang pembawa atau yang memiliki
sifat alfa atau beta Thalasemia Cenderung ringan atau tanpa gejala dan hanya
membutuhkan sedikit atau tanpa pengobatan. Terdapat tiga standar perawatan umum
untuk Thalasemia tingkat Menengah atau berat, yaitu transfusi darah, terapi besi dan
chelation, serta menggunakan suplemen asam folat. Selain itu, terdapat perawatan
lainnya adalah dengan transplantasi sum-sum tulang belakang, pendonoran darah tali
pusat, dan HLA

10
1. Transfusi darah
Transfusi yang dilakukan adalah transfusi sel darah merah. Terapi Ini
merupakan terapi utama bagi orang-orang yang menderita Thalasemia sedang atau
berat. Transfusi darah dilakukan melalui pembuluh vena dan memberikan sel darah
merah dengan hemoglobin normal. Untuk mempertahankan keadaan tersebut,
transfusi darah harus dilakukan secara rutin karena dalam waktu 120 hari sel darah
merah akan mati. Khusus untuk penderita beta Thalasemia intermedia, transfusi darah
hanya dilakukan sesekali saja, tidak secara rutin. Sedangkan untuk beta thalasemia
mayor (Cooleys Anemia) harus dilakukan secara teratur terapi diberikan secara teratur
untuk mempertahankan kadar Hb di atas 10g/dl.

2. Terapi Khelasi Besi (Iron Chelation)


Hemoglobin dalam sel darah merah adalah zat besi yang kaya protein. Apabila
melakukan transfusi darah secara teratur dapat mengakibatkan penumpukan zat besi
dalam darah. Kondisi ini dapat merusak hati, jantung, dan organ-organ lainnya. Untuk
mencegah kerusakan ini, terapi khelasi besi diperlukan untuk membuang kelebihan
zat besi dari tubuh. Terdapat dua obat-obatan yang digunakan dalam terapi khelasi
besi yaitu:
a. Deferoxamine adalah obat cair yang diberikan melalui bawah kulit secara
perlahan-lahan dan biasanya dengan bantuan pompa kecil yang digunakan
dalam kurun waktu semalam. Terapi ini memakan waktu lama dan sedikit
memberikan rasa sakit. Efek samping dari pengobatan ini dapat menyebabkan
kehilangan penglihatan dan pendengaran.
b. Deferasirox adalah pil yang dikonsumsi sekali sehari. Efek sampingnya adalah
sakit kepala, mual, muntah, diare, sakit sendi, dan kelelahan.

3. Suplemen Asam Folat


Asam folat adalah vitamin B yang dapat membantu pembangunan sel-sel
darah merah yang sehat. Suplemen ini harus tetap diminum di samping melakukan
transfusi darah ataupun terapi khelasi besi.
a. Transplantasi sumsum tulang belakang Bone Marrow Transplantation (BMT)
sejak tahun 1900 telah dilakukan. Darah dan sumsum Transplantasi sel induk
normal akan menggantikan sel-sel induk yang rusak. Sel-sel induk adalah sel-
sel di dalam sumsum tulang yang membuat sel-sel darah merah. Transplantasi
sel induk adalah satu- satunya pengobatan yang dapat menyembuhkan
Thalasemia. Namun, memiliki kendala karena hanya sejumlah kecil orang
yang dapat menemukan pasangan yang baik antara donor dan resipiennya
b. Pendonoran darah tali pusat (Cord Blood) Cord Cord blood adalah darah yang
ada di dalam tali pusat dan plasenta. Seperti tulang sumsum, itu adalah sumber
kaya sel induk, bangunan
Blok dari sistem kekebalan tubuh manusia. Dibandingkan dengan pendonoran
sumsum tulang, darah tali pusat non-invasif, tidak nyeri, lebih murah dan
relatif sederhana
4. HLA (Human Leukocyte Antigens)

11
Human Leukocyte Antigens (HLA) adalah protein yang terdapat pada sel
dipermukaan tubuh. Sistem kekebalan tubuh kita mengenali sel kita sendiri sebagai
'diri' dan sel asing' sebagai lawan didasarkan pada protein HLA ditampilkan pada
permukaan sel kita. Pada transplantasi sumsum tulang, HLA ini dapat mencegah
terjadinya penolakan dari tubuh serta Graft versus Host Disease (GVHD). HLA yang
terbaik untuk mencegah penolakan adalah melakukan donor secara genetik
berhubungan dengan penerima.

F. Pengkajian Fokus Talasemia

Menurut (Resna, 2019) pengkajian yang dilakukan pada anak thalasemia


Adalah sebagai berikut:
1. Asal keturunan atau kewarganegaraan
Thalasemia banyak dijumpai pada bangsa di sekitar Laut Tengah (Mediterania),
seperti Turki, Yunani, Cyprus, dan lain-lain. Di Indonesia sendiri, Thalasemia
cukup banyak dijumpai pada anak, dan merupakan penyakit darah yang paling
banyak diderita.
2. Umur
Pada thalasemia mayor menunjukkan gejala klinisnya secara jelas sejak anak
berusia kurang dari satu tahun. Sedangkan pada thalasemia yang gejalanya lebih
ringan biasanya baru datang untuk pengobatan pada usia sekitar 4-6 tahun.
3. Riwayat kesehatan anak
Kecenderungan mudah timbul infeksi saluran nafas bagian atas atau infeksi
lainnya. Hal ini mudah dimengerti karena rendahnya Hb yang berfungsi sebagai
alat transportasi.
4. Pertumbuhan dan perkembangan
Sering didapatkan data adanya kecenderunga gangguan tumbuh kembang sejak
anak masih bayi, karena adanya pengaruh hipoksia jaringan yang bersifat kronik.
Hal ini terjadi terutama untuk thalasemia mayor. Pertumbuhan fisik kecil
Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan umum, anak biasanya terlihat lemah dan kurang bergairah, tidak selincah
anak seusia yang normal.
2. Kepala dan bentuk wajah. Pada anak yang belum atau tidak mendapatkan
pengobatan mempunyai bentuk khas, yaitu kepala membesar dan bentuk wajah
Mongoloid (hidung pesek tanpa pangkal hidung), jarak mata lebar, serta tulang
dahi terlihat lebar.
3. Mata dan konjungtiva terlihat pucat (anemis) dan kekuningan.

12
4. Bibir terlihat pucat kehitaman.
5. Pada inspeksi terlihat dada sebelah kiri menonjol disebabkan adanya pembesaran
jantung yang disebabkan anemia kronik.
6. Perut kelihatan membuncit, serta ketika melakukan palpasi adanya pembesaran
limpa dan hati (hepatospeknomegali).
7. Pertumbuhan fisik kecil dan berat badan kurang dari normal untuk anak seusianya.
8. Adanya keterlambatan pertumbuhan organ seks sekunder untuk anak usia
pubertas.
9. Kulit. Warna kulit pucat kekuningan, jika anak sering mendapatkan transfusi
darah warna kulit akan menjadi kelabu seperti besi. Hal ini sebabkan adanya
penimbunan besi zat besi dalam jaringan kulit.

G. Pathways Keperawatan Talasemia

13
H. Fokus Intervensi Talasemia

1. Perawatan perkembangan (I. 10339)

Observasi

 Identifikasi pencapaian tugas perkembangan anak

 Identifikasi isyarat perilaku dan fisiologis yang ditunjukkan bayi (mis: lapar,
tidak nyaman)

Terapeutik

 Pertahankan sentuhan seminimal mungkin pada bayi premature

 Berikan sentuhan yang bersifat gentle dan tidak ragu-ragu

 Minimalkan nyeri

 Minimalkan kebisingan ruangan

 Pertahankan lingkungan yang mendukung perkembangan optimal

 Motivasi anak berinteraksi dengan anak lain

 Sediakan aktivitas yang memotivasi anak berinteraksi dengan anak lainnya

 Fasilitasi anak berbagi dan bergantian/bergilir

 Dukung anak mengekspresikan diri melalui penghargaan positif atau umpan


balik atas usahanya

14
 Pertahankan kenyamanan anak

 Fasilitasi anak melatih keterampilan pemenuhan kebutuhan secara mandiri


(mis: makan, sikat gigi, cuci tangan, memakai baju)

 Bernyanyi Bersama anak lagu-lagu yang disukai

 Bacakan cerita atau dongen.

 Dukung partisipasi anak di sekolah, ekstrakulikuler dan aktivitas komunitas

Edukasi

 Jelaskan orang tua dan/atau pengasuh tentang milestone perkembangan anak


dan perilaku anak

 Anjurkan orang tua menyentuh dan menggendong bayinya

 Anjurkan orang tua berinteraksi dengan anaknya

 Ajarkan anak keterampilan berinteraksi

 Ajarkan anak teknik asertif

Kolaborasi

 Rujuk untuk konseling, jika perlu

2. Manajemen Energi (I. 05178)

Observasi

 Identifikasi gangguan fungsi tubuh yang mengakibatkan kelelahan

 Monitor kelelahan fisik dan emosional

 Monitor pola dan jam tidur

 Monitor lokasi dan ketidaknyamanan selama melakukan aktivitas

Terapeutik

15
 Sediakan lingkungan nyaman dan rendah stimulus (mis: cahaya, suara,
kunjungan)

 Lakukan latihan rentang gerak pasif dan/atau aktif

 Berikan aktivitas distraksi yang menenangkan

 Fasilitasi duduk di sisi tempat tidur, jika tidak dapat berpindah atau
berjalan

Edukasi

 Anjurkan tirah baring

 Anjurkan melakukan aktivitas secara bertahap

 Anjurkan menghubungi perawat jika tanda dan gejala kelelahan tidak


berkurang

 Ajarkan strategi koping untuk mengurangi kelelahan

Kolaborasi

 Kolaborasi dengan ahli gizi tentang cara meningkatkan asupan makanan

3. Manajemen Nutrisi (I.03119)

Observasi

 Identifikasi status nutrisi

 Identifikasi alergi dan intoleransi makanan

 Identifikasi makanan yang disukai

 Identifikasi kebutuhan kalori dan jenis nutrien

 Identifikasi perlunya penggunaan selang nasogastrik

 Monitor asupan makanan

 Monitor berat badan

16
 Monitor hasil pemeriksaan laboratorium

Terapeutik

 Lakukan oral hygiene sebelum makan, jika perlu

 Fasilitasi menentukan pedoman diet (mis: piramida makanan)

 Sajikan makanan secara menarik dan suhu yang sesuai

 Berikan makanan tinggi serat untuk mencegah konstipasi

 Berikan makanan tinggi kalori dan tinggi protein

 Berikan suplemen makanan, jika perlu

 Hentikan pemberian makan melalui selang nasogastik jika asupan oral


dapat ditoleransi

Edukasi

 Ajarkan posisi duduk, jika mampu

 Ajarkan diet yang diprogramkan

Kolaborasi

 Kolaborasi pemberian medikasi sebelum makan (mis: Pereda nyeri,


antiemetik), jika perlu

 Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan jenis nutrien
yang dibutuhkan, jika perlu

4. Perawatan Sirkulasi (I.02079)

Observasi

 Periksa sirkulasi perifer (mis: nadi perifer, edema, pengisian kapiler, warna,
suhu, ankle-brachial index)

 Identifikasi faktor risiko gangguan sirkulasi (mis: diabetes, perokok, orang tua,
hipertensi, dan kadar kolesterol tinggi)

17
 Monitor panas, kemerahan, nyeri, atau bengkak pada ekstremitas

Terapeutik

 Hindari pemasangan infus, atau pengambilan darah di area keterbatasan


perfusi

 Hindari pengukuran tekanan darah pada ekstremitas dengan keterbatasan


perfusi

 Hindari penekanan dan pemasangan tourniquet pada area yang cidera

 Lakukan pencegahan infeksi

 Lakukan perawatan kaki dan kuku

 Lakukan hidrasi

Edukasi

 Anjurkan berhenti merokok

 Anjurkan berolahraga rutin

 Anjurkan mengecek air mandi untuk menghindari kulit terbakar

 Anjurkan menggunakan obat penurun tekanan darah, antikoagulan, dan


penurun kolesterol, jika perlu

 Anjurkan minum obat pengontrol tekanan darah secara teratur

 Anjurkan menghindari penggunaan obat penyekat beta

 Anjurkan melakukan perawatan kulit yang tepat (mis: melembabkan kulit


kering pada kaki)

 Anjurkan program rehabilitasi vaskular

 Ajarkan program diet untuk memperbaiki sirkulasi (mis: rendah lemak jenuh,
minyak ikan omega 3)

 Informasikan tanda dan gejala darurat yang harus dilaporkan (mis: rasa sakit
yang tidak hilang saat istirahat, luka tidak sembuh, hilangnya rasa).

18
BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan

Thalasemia merupakan suatu sindrom kelainan darah yang diwariskan (inherited) dan
merupakan kelompok penyakit hemoglobinopati, yaitu kelainan yang disebabkan oleh
gangguan sintesis hemoglobin akibat mutasi di dalam atau dekat gen globin. Kelainan
hemoglobin pada penderita thalasemia akan menyebabkan eritrosit mudah mengalami
destruksi, sehingga usia sel-sel darah merah menjadi lebih pendek dari normal yaitu
berusia 120 hari (Marnis. Indriati, & Nauli, 2018). Oleh karena itu pada penderita
thalasemia terutama golongan mayor mereka harus transfuse darah seumur hidup.
Disinilah peran perawat sangat diperlukan untuk memberikan dukungan kepada pasien
dan keluarga bukan hanya sebatas melakukan tindakan perawatan.

Perawat hendaknya harus memiliki keterampilan, kompetensi dan pengetahuan yang luas
mengenai konsep thalassemia sehingga ketika kasus tersebut dijumpai pada anak para
perawat bisa bergegas untuk mengantisipasi agar tidak terjadi tingkat keparahan yang
tinggi apabila belum terlambat untuk ditangani.

2. Saran

19
a. Diharapkan mahasiswa dapat mengeksplorasi asuhan keperawatan anak Thalasemia
dengan masalah keperawatan lainnya. Dan dapat mengaplikasikan intervensi
keperawatan yang disusun dengan baik dan sesuai.

b. Diharapkan mahasiswa dapat mengenali bagaimana proses dan tanda gejala serta
factor penyabab terjadinya Thalasemia sehingga untuk kedepannya dapat
memutuskan rantai penularannya.

DAFTAR PUSTAKA

Aman, Adi Kusuma. 2003. Klasifikasi Etiologi dan aspek Laboratorik Pada Anemi
Hematolik. Digitized by USU digital library

Eleftheriou, A. 2007. About thalassemia. Thalassemia International Federation.


Nicosia. Cyprus.

Riskesdas. 2015. Profil Kesehatan Indonesia. Kemenkes Kesehatan Republik


Indonesia. Jakarta.

Kemenkes RI. 2017. Skrinning Penting untuk Cegah Thalasemia.


https://www.kemkes.go.id/article/view/17050900002/skrining-penting-untuk-cegah-
thalassemia.html Diakses pada tanggal 9 maret 2023

Potts, S. J., & Mandleco, B. L., (2007) Pedriatic nursing ; Caing for children and
their families (2nd ed). New York : Thomson Coorporation.

20
Sudayo Ayu W.2009.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam ( Ed. 5 Jilid 2).
jakarta .interna publishing

Nur Rachmi Sausan (2020) Asuhan Keperawatan Pada Klien Anak Dengan
Thalasemia Yang Di Rawat Di Rumah Sakit, Jurnal Ilmiah Kesehatan. Available at:
http://repository.poltekkes-kaltim.ac.id/id/eprint/1066.

PPNI (2018). Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia : Definisi dan Diagnosa


Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI

PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan


Keperawatan, Edisi 1 Cetakan II. Jakarta: PPNI.

21

Anda mungkin juga menyukai