Oleh : Kelompok 18
1
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan ra
hmatnya penulis dapat menyelesaikan Asuhan Keperawatan yang berjudul ”Thalasemia” ini d
engan baik. Asuhan Keperawatan ini diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawat
an Anak, Program Studi Pendidikan Profesi Ners, Jurusan Keperawatan Kupang, Poltekkes K
emenkes Kupang.
kami mengucapkan limpah terima kasih kepada dosen pembimbing atas bantuan dan bimbing
annya kepada kami dalam proses pengerjaan makalah ini. Kami juga mengucapkan limpah te
rima kasih kepada semua pihak yang baik secara langsung maupun tidak langsung membantu
penulis dalam proses pengerjaan makalah ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna maka kami sangat mengharapka
n kritik dan saran dari pembaca agar makalah ini dapat menjadi lebih baik. kami juga berhara
p, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kami khususnya dan juga bagi para pembaca.
Penulis
2
DAFTAR ISI
ASUHAN KEPERAWATAN....................................................................................................1
KATA PENGANTAR...............................................................................................................2
DAFTAR ISI..............................................................................................................................3
BAB I.........................................................................................................................................4
PENDAHULUAN......................................................................................................................4
1.2 Tujuan..............................................................................................................................5
BAB II........................................................................................................................................6
TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................................................6
BAB III.....................................................................................................................................14
A. Pengkajian.......................................................................................................................14
3
B. Diagnosa..........................................................................................................................15
C. Intervensi Keperawatan...................................................................................................15
D. Implementasi...................................................................................................................18
E. Evakuasi...........................................................................................................................19
BAB IV....................................................................................................................................20
PENUTUP................................................................................................................................20
3.1. Kesimpulan...................................................................................................................20
3.2. Saran..............................................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................21
4
BAB I
PENDAHULUAN
Data dari World Bank menunjukan bahwa 7% dari populasi dunia merupakan
pembawa sifat thalasemia. Setiap tahun sekitar 300.000- 500.000 bayi baru lahir disert
ai dengan kelainan hemoglobin berat, dan 50.000 hingga 100.000 anak meninggal aki
bat thalasemia B(beta) 80% dari jumlah tersebut berasal dari negara berkembang (Blei
bel, 2019). Indonesia termasuk salah satu negara dalam sabuk thalasemia dunia, yaitu
negara dengan frekuensi gen (angka pembawa sifat) thalasemia yang tinggi. Hal ini te
rbukti dari penelitian epidemiologi di Indonesia yang mendapatkan bahwa frekuensi g
en thalasemia beta berkisar 3-10 (Permenkes, 2018).
Pengobatan penyakit thalasemia sampai saat ini belum sampai pada tingkat pe
nyembuhan. Transplantasi sumsum tulang hanya dapat membuat seorang thalasemia
mayor menjadi tidak lagi memerlukan transfusi darah, namun masih dapat memberika
n gen thalassemia pada keturunannya. Di seluruh dunia tata laksana thalasemia bersifa
t simptomatik berupa transfusi darah seumur hidup (Liswanti, 2014).
Faktor yang berperan pada pertumbuhan pasien thalasemia adalah faktor genet
ik dan lingkungan. Selain itu hemoglobin juga berpengaruh, bila kadar hemoglobin di
pertahankan tinggi, lebih kurang 10 g/dl disertai pencegahan hemokromatosis, maka g
angguan pertumbuhan tidak terjadi (Arijanty, 2008).
5
1.2 Tujuan
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Thalasemia diturunkan dari orang tua kepada anaknya melalui gen. Jika kedua
orang tua adalah pembawa sifat thalasemia ada kemungkinan 50% anak pembawa sifa
t thalasemia (minor) sedangkan 25% menderita thalasemia mayor dan 25% lagi anak a
kan normal. Namun, bila salah satu dari orang tua pembawa sifat, dan satunya lagi nor
mal, maka kemungkinan 50% anak menjadi pembawa sifat thalassemia sedangkan 50
% lagi kemungkinan anak akan normal (E. Sri Indiyah, S. Meri Rima M, 2019).
Protein yang terdiri dari rantai polipeptida. Hemoglobin pada manusia normal
terdiri dari 2 rantai alfa (α) dan 2 rantai beta (β). Penderita thalasemia tidak mampu m
emproduksi salah satu dari protein tersebut dalam jumlah yang cukup, sehingga eritro
sit tidak terbentuk dengan sempurna. Akibatnya hemoglobin tidak dapat mengangkut
02 dalam jumlah yang cukup oleh karena itu penderita thalasemia mengalami anemia
sepanjang hidupnya.
7
2.2 Klasifikasi Thalasemia
1. Klasifikasi Klinis
Berdasarkan kelainan klinis, Thalasemia terbagi atas tiga pembagian utama yaitu : Th
alasemia mayor, Thalasemia intermedia, dan Thalasemia minor. Kriteria utama untuk
membagi 3 bagian itu berdasar atas gejala, tanda klinis, dan kebutuhan transfusi darah
yang digunakan untuk terapi suportif pasien Thalasemia (Rujito, 2019).
a. Thalasemia mayor
Thalasemia mayor adalah adalah keadaan klinis Thalasemia yang paling berat. Ko
ndisi Thalasemia mayor terjadi karena gen penyandi hemoglobin pada 2 alel kromoso
m mengalami kelainan. Pasien membutuhkan transfusi darah sejak tahun pertama pert
umbuhan pada rentang usia 6-24 bulan dan kontinyu sampai seumur hidupnya (lyza, 2
010).
Beberapa masalah seperti diare, lemah, serangan demam berulang, dan pembesara
n perut progresif yang disebabkan oleh pembesaran limpa dan hati dapat menjadi alas
an pasien untuk datang ke pelayanan kesehatan. Dibeberapa negara berkembang, dise
babkan kurangnya sumber daya yang ada, gambaran klinis Talasemia ditandai dengan
keterlambatan pertumbuhan, pucat, ikterus, hipotrofi otot, genu valgum, hepatospleno
8
megali, ulkus kaki, dan perubahan tulang yang disebabkan oleh perluasan sumsum tul
ang. Tulang rangka akan mengalami perubahan struktur terutama pada tulang panjang
perubahan khas daerah kraniofasial, dahi yang menonjol, depresi dari jembatan hidun
g, kecenderungan untuk kenampakan mata mongoloid, dan hipertrofi maxillae yang c
enderung mengekspos gigi atas (tonggos). Gangguan pertumbuhan dan malnutrisi seri
ng dialami oleh pasien Talasemia mayor. Secara umum berat badan dan tinggi badan
menurut umur berada dibawah persentil ke-50, dengan frekuensi gizi kurang dan buru
k mencapai 64,1% dan 13, 2 %.
Penyebab kematian paling tinggi pada pasien Thalasemia adalah gangguan jan
tung termasuk didalamnya adalah kardiomiopati. Tercatat bahwa 70% kematian pasie
n Talasemia disebabkan karena defek pada otot dan gangguan irama jantung, heart dy
sfunction, aritmia, atau gabungan keduanya. Komplikasi organ lain seperti gangguan s
istem skeletal, gangguan syaraf, gangguan epidermis, dan gangguan gastrointestinal m
enempati kelainan yang tidak terlalu dianggap berbahaya. Kelainan DM merupakan b
agian komplikasi Thalasemia lainnya yang mempunyai morbiditas dan mortalitas pali
9
ng tinggi diantara 67 hendaya endokrin lainnya. Penyebab utama terjadinya kelainan
DM pada pasien Thalasemia adalah efek samping dari kegiatan transfusi rutin.
Deposit iron setiap transfusi dapat memasukin komponen besi ke dalam tubuh 250 ng
pada setiap periode. Penumpukan besi terus menerus dan ketidakmampuan tubuh untu
k membuang besi menjadi faktor utama iron overload dalam pasien Thalasemia. Kelas
i besi rutin adalah satusatunya usaha aktif untuk mengekskresikan besi dalam tubuh p
asien. Administrasi Deferoksamin, Deferipron, dan Deferasirox; jenis kelator yang ter
sedia; menjadi kebutuhan wajib pasien Thalasemia. Ketidakpatuhan konsumsi obat ini
menjadikan banyak pasien Thalasemia jatuh pada kondisi iron overload yang berat.
Penumpukan besi berlebih akan didistribusikan pada semua organ, salah satun
ya sistem endokrin. Pankreas, sebagai salah satu organ endokrin penting dalam tubuh
menjadi target deposit besi dengan akibat terganggunya sistem homeostatis dan biosin
tesis insulin pada pulau-pulau langerhans (Rujito, 2019).
b. Thalasemia Intermedia
Diagnosis awal bisa teriadi pada usia belasan tahun, atau bahkan pada usia de
wasa. Secara klinis Thalasemia intermedia menunjukkan gejala dan tanda yang sama
dengan Thalasemia mayor, namun lebih ringan dari gambaran Thalasemia mayor. Pas
ien intermedia tidak rutin dalam memenuhi transfusi darah nya, terkadang hanya 3 bul
an sekali, 6 bulan sekali atau bahkan I tahun sekali. Namun pada keadaan tertentu, kea
daan intermedia dapat jatuh ke keadaan mayor jika tubuh mengeluarkan darah yang c
ukup banyak, atau tubuh memerlukan metabolisme yang tinggi seperti keadaan infeks
i yang menahun, kanker atau keadaan klinis lain yang melemahkan 8 sistem fisiologis
hematologi atau sistem darah. Pasien Thalasemia intermedia ini dapat cenderung menj
10
adi mayor ketika anemia kronis tidak tertangani dengan baik dan sudah menyebabkan
gangguan organorgan seperti hati, ginjal, pankreas, dan limpa (Rujito, 2019).
c. Thalasemia minor
Thalasemia minor bisa juga disebut sebagai pembawa sifat, traits, pembawa m
utan, atau karier Thalasemia. Karier Thalasemia tidak menunjukan gejala klinis semas
a hidupnya. Hal ini bisa dipahami karena abnormalitas gen yang terjadi hanya melibat
kan salah satu dari dua kromosom yang dikandungnya, bisa dari ayah atau dari ibu. Sa
tu gen yang normal masih mampu memberikan kontribusi untuk proses system hemat
opoiesis yang cukup baik. Beberapa penelitian bahkan menyebut bahwa diantara pend
onor darah rutin pada unit-unit transfusi darah adalah karier Talasemia (Rujito, 2019).
2. Klasifikasi Genetik
Thalasemia dibagi menjadi talasemia alfa (α) dan beta (β). Thalasemia a terjadi karena
akibat kurangnya (defisiensi parsial) atau tidak di produksi sama sekali (defisiensi tota
l) produksi rantai globin α, sedangkan talasemia β terjadi akibat berkurangnya rantai g
lobin β atau tidak diproduksi sama sekali rantai globin β (Nuari, 2016).
Pada talasemia alfa, terjadi penurunan sintesis dari rantai alfa globulin. Dan kelainan i
ni berkaitan dengan delesi pada kromosom 16. Akibat dari kurangnya sintesis rantai al
fa, maka akan banyak terdapat rantai beta dan gamma yang tidak berpasangan dengan
rantai alfa. Maka dapat terbentuk tetramer dari rantai beta yang disebut HbH dan tetra
mer dari rantai gamma yang disebut Hb Barts. Talasemia alfa sendiri memiliki bebera
pa jenis :
11
eberapa jam setelah kelahirannya atau dapat juga janin mati dalam kandun
gan pada minggu ke 36-40. Bila dilakukan pemeriksaan seperti dengan ele
ktroforesis di dapatkan kadar Hb adalah 80-90% Hb Barts, tidak ada HbA
maupun HbF.
II. Delesi pada tiga rantai alfa
Dikenal juga sebagai HbH disease biasa disertai dengan anemia hipokromi
k mikrositer. Dengan banyak terbentuk HbH, maka Н6H dapat mengalami
presipitasi dalam eritrosit sehingga dengan mudah eritrosit dapat dihancurk
an. Jika dilakukan pemeriksaan mikroskopis dapat dijumpai adanya Heinz
Bodies.
III. Delesi pada dua rantai alfa
Juga dijumpai adanya anemia hipokromik mikrositer yang ringan. Terjadi
penurunan dari HbA2 dan peningkatan dari HbH.
IV. Delesi pada satu rantai alfa
Disebut sebagai silent carrier karena tiga lokus globin yang ada masih bisa
menjalankan fungsi normal.
Selama hidupnya penderita akan tergantung pada transfusi darah. Ini dapat ber
akibat fatal, karena efek sampingan transfusi darah terus menerus yang berupa kelebih
an zat besi (Fe). Salah satu ciri fisik dari penderita talasemia adalah kelainan tulang ya
ng berupa tulang pipi masuk ke dalam dan batang hidung menonjol (disebut gacies co
oley), penonjolan dahi dan jarak kedua mata menjadi lebih jauh, serta tulang menjadi l
emah dan keropos (Regar, 2019)
12
2.3 Efek Samping Penyakit Thalasemia
Penumpukan besi dalam tubuh juga merupakan komplikasi yang terjadi akibat
proses transfusi maupun jika transfusi dengan kadar Hb yang selalu rendah. Penumpu
kan besi di organ-organ seperti hati dan jantung sangat berbahaya karena dapat menga
kibatkan kematian. Selain itu besi juga merupakan media yang baik untuk pertumbuha
n kuman, oleh karena itu penumpukan berlebih kadar besi dalam tubuh dapat menjadi
kan anak dengan thalassemia rentan terhadap penyakit infeksi (Grentina, 2016).
Penting diingat untuk tidak menunggu waktu transfusi hingga kadar Hb tubuh
terlalu rendah, kadar Hb pre-transfusi antara 9-10 g/dL adalah nilai yang baik untuk di
lakukannya transfusi darah, untuk memperlambat munculnya komplikasi dan memper
baiki kualitas hidup penderita. Perlu diperhatikan kualitas darah yang diberikan, sebai
knya memakai darah yang rendah leukosit, untuk memperlambat terjadinya reaksi tra
nsfusi, juga menggunakan skrining darah terhadap penyakit infeksi hepatitits B, C, C
MV, dan HIV dengan metode nucleic acid test atau NAT. Selain itu memakai obat kel
asi besi adekuat sangat dianjurkan untuk mencegah munculnya komplikasi akibat kele
bihan zat Fe yang merupakan suatu zat oksidan yang sangat kuat (Grentina. 2016).
13
Mengonsumsi makanan yang bergizi sangat diperlukan oleh penderita thalase
mia. Pasien thalasemia biasanya mempunyai postur tubuh yang kecil, kurus juga pend
ek, hal ini dapat diakibatkan karena kekurangan oksigen yang terjadi terus-menerus pa
da jaringan. Selain itu, pembesaran limpa juga menyebabkan turunnya napsu makan.
Semua kondisi ini menyebabkan gangguan penyerapan dan penggunaan zat-zat gizi y
ang pada akhirnya menyebabkan gangguan pertumbuhan juga penurunan imunitas tub
uh (Grentina, 2016).
14
BAB III
A. Pengkajian
1. Identitas:
Nama, umur, jenis kelamin, alamat dan keluhan
2. Riwayat Kesehatan
Anak cenderung mudah terkena infeksi saluran pernapasan atas atau infeksi lainnya. I
ni dikarenakan rendahnya Hb yang berfungsi sebagai alat transport.
3. Pertumbuhan dan perkembangan
Sering didapatkan data adanya kecenderungan gangguan terhadap tumbang sejak masi
h bayi. Terutama untuk thalasemia mayor, pertumbuhan fisik anak, adalah kecil untuk
umurnya dan adanya keterlambatan dalam kematangan seksual, seperti tidak ada pertu
mbuhan ramput pupis dan ketiak, kecerdasan anak juga mengalami penurunan.
Namun pada jenis thalasemia minor, sering terlihat pertumbuhan dan perkembangan a
nak normal.
4. Pola makan
Terjadi anoreksia sehingga anak sering susah makan, sehingga BB rendah
5. Pola aktivitas
Anak terlihat lemah dan tidak selincah anak seusianya. Anak lebih banyak tidur/istira
hat karena anak mudah lelah.
6. Riwayat Kesehatan kelurga
Thalasemia merupakan penyakit kongenital, jadi perlu diperiksa apakah orang tua jug
a mempunyai gen thalasemia. Jika iya, maka anak beresiko terkena talasemia mayor.
7. Riwayat ibu saat hamil (ante natal core-ANC)
Selama masa kehamilan, hendaknya perlu dikaji secara mendalam adanya faktor resik
o talasemia. Apabila diduga ada faktor resiko, maka ibu perlu diberitahukan resiko ya
ng mungkin sering dialami oleh anak setelah lahir.
8. Pemeriksaan fisik anak thalassemia
a. KU = lemah dan kurang bergairah, tidak selincah anak lain yang seusia.
b. Kepala dan bentuk muka. Anak yang belum mendapatkan pengobatan mempunya
15
i bentuk khas, yaitu kepala membesar dan muka mongoloid (hidung pesek tanpa p
angkal hidung), jarak mata lebar, tulang dahi terlihat lebar.
c. Mata dan konjungtiva pucat dan kekuningan
d. Mulut dan bibir terlihat kehitaman
e. Dada, Pada inspeksi terlihat dada kiri menonjol karena adanya pembesaran jantun
g dan disebabkan oleh anemia kronik.
f. Perut, Terlihat pucat, dipalpasi ada pembesaran limpa dan hati (hepatospek nome
gali).
g. Pertumbuhan fisiknya lebih kecil daripada normal sesuai usia, BB dibawah norma
l
h. Pertumbuhan organ seks sekunder untuk anak pada usia pubertas tidak tercapai de
ngan baik. Misal tidak tumbuh rambut ketiak, pubis ataupun kumis bahkan mung
kin anak tidak dapat mencapai tapa odolense karena adanya anemia kronik.
i. Kulit, Warna kulit pucat kekuningan, jika anak telah sering mendapat transfusi w
arna kulit akan menjadi kelabu seperti besi. Hal ini terjadi karena adanya penump
ukan zat besi dalam jaringan kulit (hemosiderosis).
B. Diagnosa
1. Deficit nutrisi b.d ketidakmampuan mengabsorbsi nutrient d.d anak sering susah maka
n
2. Intoleransi aktivitas b.d ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen d.d
Anak terlihat lemah dan mudah Lelah
C. Intervensi Keperawatan
16
nsi makanan
Porsi makan yang dihabi
Identifikasi kebutuhan kalori d
skan meningkat (5)
an jenis nutrient
Frekuensi makan memba
Monitor asupan makanan
ik (5)
Monitor berat badan
Nafsu makan (5)
Terapeutik:
Edukasi:
Kolaborasi:
17
kan
Edukasi:
18
secara bertahap
Ajarkan strategi koping untuk
mengurangi kelelahan
Kolaborasi:
D. Implementasi
No Tindakan Keterangan
1. Mengidentifikasi status nutrisi Deficit nutrisi b.d ketidakmamp
Mengidentifikasi alergi dan intoleransi maka uan mengabsorbsi nutrient d.d a
nan nak sering susah makan
Mengidentifikasi kebutuhan kalori dan jenis n
utrient
Memonitor asupan makanan
Memonitor berat badan
Mengajarkan diet yang diprogramkan
19
Mengajarkan strategi koping untuk menguran
gi kelelahan
E. Evakuasi
O (objektif): yakni data yang diobservasi dari hasil pemeriksaan oleh perawat atau tenaga Ke
sehatan lain
20
BAB IV
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Protein yang terdiri dari rantai polipeptida. Hemoglobin pada manusia normal
terdiri dari 2 rantai alfa (α) dan 2 rantai beta (β). Penderita thalasemia tidak mampu m
emproduksi salah satu dari protein tersebut dalam jumlah yang cukup, sehingga eritro
sit tidak terbentuk dengan sempurna. Akibatnya hemoglobin tidak dapat mengangkut
02 dalam jumlah yang cukup oleh karena itu penderita thalasemia mengalami anemia
sepanjang hidupnya
Penyakit thalasemia sendiri membawa banyak sekali komplikasi kepada pende
ritanya. Kelebihan besi akan menyebabkan penumpukan diberbagai organ terutama ku
lit, jantung, hati dan kelenjar endokrin, sehingga terjadilah kardiomiopati, perdarahan
akibat rusaknya organ hati, diabetes melitus gangguan pertumbuhan, seperti perawaka
n tubuh yang pendek, infertilitas, hipogonadisme, kulit hitam dan juga bentuk muka y
ang berubah atau dikenal sebagai facies Cooley, disertai osteoporosis bahkan dapat ter
jadi fraktur patologis. Selain itu didapatkan juga limpa dan hati yang membesar sehin
gga menyebabkan perut anak dengan thalasemia tampak besar
3.2. Saran
21
DAFTAR PUSTAKA
22