Anda di halaman 1dari 31

REFERAT

THALASEMIA PADA KEHAMILAN

Oleh :
Putu Ayu Inten Dewi Gayatri

19710037

Pembimbing :
dr. Pramudiyo Dwi Putro, Sp.OG (K)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEBIDANAN DAN KANDUNGAN


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH SIDOARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA
202
UCAPAN TERIMAKASIH

Puji dan syukur atas rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas KehendakNya saya
dapat menyelesaikan referat dengan judul “Thalasemia Pada Kehamilan”. Referat ini dibuat
sebagai salah satu tugas sebagai Dokter Muda di Kepaniteraan Klinik Ilmu Kebidanan dan
Kandungan Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Sidoardjo. Penulis sadar masih banyak
kekurangan baik dari segi isi, susunan bahasa maupun sistematika penulisannya. Untuk itu kritik
dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Pada kesempatan yang baik ini,
penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada dr. Pramudya Dwiputro, Sp. OG (K) selaku
pembimbing yang telah memberikan masukan yang berguna dalam proses penyusunan referat
ini. Tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan yang juga turut membantu
dalam upaya penyelesaian referat ini. Akhir kata penulis berharap sekiranya referat ini dapat
menjadi masukan yang berguna dan bisa menjadi informasi bagi tenaga medis dan profesi lain
yang terkait dengan masalah kesehatan pada umumnya, dan khususnya tentang masalah
kesehatan kandungan.

Sidoarjo, September 2021

ii
DAFTAR ISI

Ucapan Terimakasih…..............................................................................................ii
Daftar Isi…...............................................................................................................iii
Daftar Gambar..........................................................................................................iv
Daftar Tabel...............................................................................................................v
BAB I Pendahuluan…...............................................................................................1
1.1 Latar Belakang.....................................................................................................1
1.2 Tujuan..................................................................................................................2
1.3 Manfaat................................................................................................................2
BAB II Tinjauan Pustaka...........................................................................................3
2.1 Definisi Thalasemia.............................................................................................3
2.2 Epidemiologi thalassemia....................................................................................3
2.3 Klasifikasi Thalasemia.........................................................................................4
2.4 Patogenesis Thalasemia.......................................................................................4
2.5 Diagnosis Thalasemia..........................................................................................8
2.6 Efek Thalasemia Pada Kehamilan........................................................................12
2.7 Efek Kehamilan Pada Thalasemia.......................................................................13
2.8 Penanganan Thalasemia Pada Ibu Hamil.............................................................14
2.9 Komplikasi Thalasemia.......................................................................................17
2.10 Pencegahan Thalasemia.....................................................................................18
BAB III Kesimpulan…..............................................................................................20
Daftar Pustaka............................................................................................................21

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Patogenesis Thalasemia….....................................................................5


Gambar 2.2 Algoritma nilai RDW….......................................................................10
Gambar 2.3 Algoritma diagnosa mikrositosis.........................................................11

iv
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Klasifikasi thalasemia alfa….....................................................................4


Tabel 2.2 Klasifikasi thalasemia beta…....................................................................4
Tabel 2.3 Identifikas thalasemia................................................................................9

v
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Thalasemia adalah sekelompok kelainan genetik yang heterogen yang disebabkan oleh
menurunnya kecepatan sintesis rantai alfa atau beta yang diturunkan secara autosomal
ditandai dengan anemia hipokromik mikrositik.1,2 Thalasemia adalah penyakit monogenetik
paling sering diseluruh dunia. Klasifikasi 2 grup besar ini, thalassemia alfa dan thalassemia
beta, disubklasifikasikan berdasarkan tidak adanya (α0β0) atau berkurangnya (α+β+) sintesis
rantai globin.
Menurut World Health Organization (WHO), 20 hingga 52% dari wanita hamil
mengalami anemia. Dari hasil survey lokal dan kunjungan wawancara para ahli, WHO
memperkirakan jumlah pembawa sifat kelainan hemoglobin mencapai 269 juta orang. Di
Indonesia, diperkirakan jumlah pembawa sifat thalasemia sekitar 3 hingga 5% dari jumlah
populasi.2 Berdasarkan prevalensi geografik, thalasemia tidak hanya terjadi di regio
Mediterania, Eropa Selatan atau Afrika Utara, namun dapat terjadi pada etnik grup Timur
Tengah dan Asia Selatan.1
Pada thalasemia terjadi defek genetik didasari terjadinya delesi total atau parsial gen
globin, substitusi, atau insersi nukleotida. Akibatnya terjadi pengurangan atau tidak adanya
mRNA untuk satu atau lebih rantai globin atau terbentuknya mRNA yang cacat secara
fungsional. Keadaan ini menyebabkan ketidakseimbangan sintesis rantai globin yang
mengakibatkan kerusakan sel darah merah di sumsum tulang dan perifer dan terjadi anemia
berat yang akan menyebabkan peningkatan produksi eritopoesis, pembesaran limpa dan hati.2
Penegakkan diagnosis dapat dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang serta skrinning prenatal. Tujuan dilakukannya skrining prenatal yaitu
untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas akibat thalasemia. Selain itu, mencegah
komplikasi yang dapat timbul lebih berat pada janin. Risiko maternal yang dapat timbul
seperti dekompensasi kardio, resiko besi berlebih akibat terapi kelasi besi selama kehamilan,
eksaserbasi anemia, dan tromboemboli vena. Selain itu, dapat meningkatkan kejadian IUGR,
kelahiran preterm, dan sectio caesarea.3 Tatalaksana pada thalasemia yaitu dengan transfusi
darah secara regular, pemberian asam folat, kelasi besi, splenektomi hingga transplantasi sel

1
2

punca.2

1.2 Tujuan
Referat ini disusun sebagai salah satu tugas persyaratan mengikuti ujian akhir dari
serangkaian kegiatan kepaniteraan klinik Ilmu Kebidanan dan Kandungan.

1.3 Manfaat
Manfaat yang diharapkan penyusun referat ini yaitu:
1.3.1 Bagi Institusi Pendidikan
Sebagai bahan masukan bagi institusi pendidikan untuk menjadi kepustakaan
penyusunan karya ilmiah lainnya.
1.3.2 Bagi Dokter Muda
Dokter muda mampu memahami dan mengaplikasikan semua ilmu yang telah
diperoleh selama proses penyusunan referat ini.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI THALASEMIA


Thalasemia berasal dari kata Yunani yaitu “Thalassa” (laut) dan “Haema” (darah)
mengacu pada gangguan sintesis subunit globin hemoglobin alfa atau beta, diwariskan
sebagai alel patologis dari satu atau lebih gen globin yang terletak pada kromosom 11 (β) dan
16 (α). Thalasemia adalah sekelompok kelainan genetik yang heterogen yang diturunkan
secara autosomal ditandai dengan anemia hipokromik mikrositik.1,2

2.2 EPIDEMIOLOGI THALASEMIA


Hemoglobinopati adalah kelainan genetik yang paling sering terjadi di Asia Tenggara.
Thalasemia, gangguan monogenik umum, adalah kelompok heterogen anemia yang
dihasilkan dari sintesis globin yang rusak dari hemoglobin dewasa.5 The World Health
Organization (WHO) melaporkan, sebanyak 250 juta orang diseluruh dunia (4,5%) membawa
karier thalasemia dan sebanyak 300,000 hingga 400,000 bayi dengan keadaan berat dari
penyakit ini lahir setiap tahunnya. Di Asia Tenggara pembawa hemoglobinopati mencapai
60% dari jumlah populasi. Dari berbagai macam struktur hemoglobin, HbE merupakan tipe
yang paling sering dimana insiden HbE sebesar lebih dari 50% telah dilaporkan. 6 Prevalensi
anemia pada wanita hamil sebesar 41,8%.7
Pada populasi kehamilan, di Thailand bagian utara, prevalensi karier thalasemia secara
keseluruhan sebesar 25,4% yang diklasifikasikan menjadi alpha-thalasemia trait sebesar
6,6%, beta-thalasemia trait sebesar 3,7%, hemoglobin E trait sebesar 11,6%, dan homozigot
HbE sebesar 0,8%.8 Di Thailand dan berbagai negara di Asia Tenggara lainnya, HbE
merupakan kelainan yang paling sering, dimana sebesar 20 hingga 30% dari populasi menjadi
karier alpha-thalasemia, 39% menjadi karier beta-thalasemia, dan sebesar 20 hingga 30%
menjadi karier HbE.7
Penelitian yang dilakukan di RS Dr. Moewardi dengan studi cross-sectional dari Januari
2011 sampai Februari 2012 kepada 26 saudara pasien thalasemia, diperoleh sebanyak 6 orang
dengan beta thalasemia atau HbE, 5 orang dengan karier beta thalasemia, dan 5 orang dengan
karier HbE.6

3
4

2.3 KLASIFIKASI THALASEMIA


Sindrom thalasemia diklasifikasikan berdasarkan rantai globin yang terkena, yaitu alfa
atau beta. 2 grup besar ini, thalasemia alfa dan thalasemia beta, disubklasifikasikan
berdasarkan tidak adanya (α0β0) atau berkurangnya (α+β+) sintesis rantai globin.13

Clinical classification Genotype Number of genes present


Silent carrier aa / - a 3 genes
Thalassemia α trait - a /- a or aa / - - 2 genes
Hemoglobin H disease -a/-- 1 gene
Hb Barts/ Hydrops fetalis --/-- 0 genes
Tabel 2.1. Klasifikasi thalassemia alfa13

Clinical classification Genotype Clinical severity


Thalasemia β minor/trait β/ β+ or β/ β0 Silent
Thalasemia β intermedia β+/ β+ or β+/ β0 Moderate
Thalasemia β mayor β0 / β0 Severe
Tabel 2.2. Klasifikasi thalassemia beta13

2.4 PATOGENESIS THALASEMIA


Molekul hemoglobin normal terdiri dari grup haem non-protein yang dikelilingi oleh 4
rantai protein globin. Struktur dari subunit-subunit protein tersusun dalam struktur tetramer
dengan berbagai bentuk sejak embrio hingga dewasa. Saat fase embrio, terdiri dari 2 subunit
zeta (ζ) dan 2 subunit epsilon (ε). Dimulai dari usia gestasi 6 hingga 7 minggu, subunit
tersebut berubah dari zeta menjadi alfa dan dari epsilon menjadi gamma (γ) dan membentuk
hemoglobin fetal yaitu hemoglobin F (α2β2). Struktur tetramer ini tidak berubah hingga
beberapa bulan setelah lahir, menjadi bentuk hemoglobin dewasa yaitu, hemoglobin A.
Hemoglobin A terdiri atas 2 subunit alfa dan 2 subunit beta (α2β2) atau bentuk lainnya
hemoglobin A2 yang terdiri atas 2 alfa dan 2 delta.
Patologi ini ditandai dengan penurunan produksi hemoglobin dan masa hidup sel darah
merah, dihasilkan dari berlebihnya rantai globin yang tidak terkena, membentuk
homotetramer yang tidak stabil yang mengendap sebagai badan inklusi. Homotetramer α pada
thalasemia β lebih tidak stabil dibandingkan dengan homotetramer β pada thalasemia α oleh
5

karena itu, mempercepat masa hidup dari sel darah merah yang menyebabkan kerusakan sel
darah merah dan hemolisis beratyang berhubungan dengan tidak efektifnya proses
eritropoesis dan hemolisis ekstramedular.

Gambar 2.1. Patogenesis Thalasemia

Pada thalasemia beta yang berat, proses eritropoesis yang tidak efektif menghasilkan
pertambahan rongga sumsum yang menimpa pada tulang normal dan menyebabkan distrorsi
dari os frontalis, facialis, dan tulang panjang. Selain itu, aktifitas proliferasi eritrosit pada
hematopoetik ekstramedullar, menyebabkan limfadenopati, hepatosplenomegali, dan
beberapa kasus dapat terjadi tumor ekstramedular.
Proses eritropoesis yang tidak efektif, anemia kronik, dan hipoksia menyebabkan
meningkatnya absorpsi besi di traktus gastrointestinal sehingga membutuhkan transfusi.
Namun, transfusi menyebabkan akumulasi besi berlebih karena jalur ekskresi yang tidak
adekuat. Terapi kelasi besi dapat diberikan apabila terdapat akumulasi besi akibat transfusi
yang dapat dinilai dari saturasi serum transferrin. Terapi kelasi besi juga satu-satunya pilihan
6

untuk menurunkan morbiditas dan memperpanjang kelangsungan hidup.

2.4.1 Thalasemia Alfa


Sintesis rantai globin alfa ditentukan oleh dua lokus genetik dari setiap kromosom 16,
sehingga terdapat 4 alel. Penyebab paling sering alfa thalasemia akibat delesi gen atau mutasi.
Apabila mengenai 1 alel, ketiga alel globin alfa lainnya masih normal atau adekuat untuk
memproduksi hemoglobin yang normal disebut silent carrier thalassemia. Apabila mengenai
2 alel, eritropoesis masih dipertahankan oleh 2 alel alfa yang tidak terkena, walaupun akan
muncul anemia ringan mikrositik hipokrom (alfa thalasemia trait). Apabila adanya kedua
rantai globin alfa yang abnormal pada kromosom yang sama disebut dengan α-thal-1 atau
thal-α0. Bila mengenai 2 gen yang terletak pada kromoson homolog berbeda, disebut dengan
thal-α-2 atau α+-thal. Thal-α0 lebih sering terjadi pada individu di Asia atau Mediterania.
Jika mengenai 3 alel dan sisa 1 alel normal yang tertinggal, dimana dikenal dengan
penyakit hemoglobin H (HbH), gestasi dapat bertahan. Pada keadaan ini produksi rantai
globin alfa terganggu. Individu akan timbul gejala ringan sampai sedang anemia mikrositik
hipokrom dengan adanya sel target atau Heinz bodies pada pemeriksaan darah tepi. Keadaan
ini terkadang memerlukan transfusi darah. Apabila mengenai 4 alel, maka tidak ada rantai
globin alfa, sehingga terbentuk rantai globin gamma (hemoglobin Bart) yang tidak stabil dan
efektif. Akibatnya, di kemudian hari fetus yang terkena akan timbul komplikasi anemia
dengan kardiomegali dan fetal hidrops.

2.4.2 Thalasemia Beta


Dua lokus genetik untuk sintesis rantai globin beta masih ada, masing-masing pada
kromosom 11. Mutasi pada gen globin beta akan menghasilkan tidak adanya globin beta (β 0)
atau gangguan produksi dari rantai beta (β +). Pada kasus lainnya, bila terjadi kelebihan dari
rantai alfa yang ada, maka akan terikat dengan sel darah merah di jaringan yang akan
mengakibatkan kerusakan membran. Secara klinis, penyakit ini dikelompokkan kedalam
minor (karier), intermedia, dan mayor tergantung dari derajat berkurangnya sintesis rantai
globin beta.
7

2.4.3 Pembawa sifat thalasemia


Pada thalasemia alfa dimana gen globin alfa terletak pada kromosom 16. Seorang anak
mewarisi 4 gen globin alfa (berjumlah 2 dari masing-masing orang tua). Misalnya, seorang
ayah kehilangan 2 gen globin alfa dan ibu kehilangan 1 gen globin alfa. Setiap anak memiliki
kemungkinan sebesar 25% mewarisi 2 gen globin alfa yang hilang dan 2 gen normal
(thalasemia trait), tiga gen yang hilang dan satu gen normal (penyakit HbH), empat gen
normal, atau satu gen hilang dan tiga gen yang normal (silent carrier).
Pada thalasemia beta dimana gen globin alfa terletak pada kromosom 11. Seorang anak
mewarisi dua gen globin beta (satu dari masing-masing orang tua). Sebagai contohnya yaitu
setiap orang tua memiliki 1 gen globin alfa yang berubah. Maka, setiap anak memiliki
kemungkinan sebesar 25% mewarisi 2 gen normal, 50% mewarisi 1 gen yang berubah dan
satu gen normal (thalasemia beta trait) atau 25% mewarisi 2 gen yang berubah (thalasemia
beta mayor).

2.4.4 Hemoglobin E
Hemoglobin E adalah hemoglobin abnormal yang disebabkan oleh mutasi single pada
gen beta, sehingga terjadi subtitusi glutamat dengan lisin pada posisi 26 rantai globin beta. 9,10
Keadaan ini sering ditemukan di Asia Tenggara. Wanita dengan homozigot hemoglobin E,
menunjukkan gejala anemia hemolitik yang ringan. Namun sebaliknya, pada heterozigot
hemoglobin E (karier) menunjukkan gejala yang asimtomatik. Apabila hemoglobin E
dikombinasikan dengan thalassemia beta, dapat terjadi thalassemia beta mayor atau
intermediet.
Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan di India pada seorang wanita berusia 27
tahun, primigravida, datang ke klinik antenatal departemen obstetri dan ginekologi, dengan
kehamilan 27 minggu dan riwayat mudah lelah, lemah, dan sesak napas saat beraktivitas.
Pasien memiliki riwayat transfusi darah pada usia 9 dan 25 tahun. Pasien rutin check up
kehamilan dan mendapat tablet besi sebanyak 2 kali sehari. Pada pemeriksaan diperoleh BMI
= 19 kg/m2; nadi 100 x/menit; tekanan darah 110/70 mmHg; jugular venous pressure normal;
thorax dalam batas normal; edema pada ekstremitas bawah +/+. Pada pemeriksaan abdomen
gravid dengan besar uterus 26 minggu dan denyut jantung janin 138 x/menit; hepatomegali +;
splenomegali +. Pemeriksaan darah rutin didapatkan anemia berat dengan Hb 6 gr%; red
blood cell distribution (RDW) 30,5%; mean corpuscular hemoglobin (MCH) 20,6 pg; mean
8

corpuscular volume (MCV) 76 fl. Pemeriksaan darah tepi diperoleh hipokromik mikrositik
dengan anisositosis, tear drop cells, dan sel target. Selain itu, terdapat peningkatan serum
ferritin (260 ng/mL) dan total iron binding capacity dalam batas normal. Pada pemeriksaan
elektroforesis hemoblobin memperlihatkan peningkatan hemoglobin fetal (HbF) sebesar
55,3% dan HbE sebesar 44,7%.10
Setelah diagnosis HbE ditegakkan, pemberian terapi besi dihentikan. Saat kehamilan
mencapai usia 37 minggu dengan Hb 6,9 gr% dan diberikan transfusi PRC sebanyak 3 kolf.
Pada usia kehamilan 38 minggu terjadi ruptur membran dan dilakukan section caesarea cito
karena kegagalan induksi. Setelah 7 hari pasca operasi kondisi pasien stabil dengan Hb 9,8 gr
%. 2 minggu dan 4 minggu setelah operasi, pasien dianjurkan untuk dilakukan splenektomi
dan elektroforesis untuk bayi.10
Kehamilan dengan thalasemia HbE berhubungan dengan terjadinya mobiditas pada
ibu dan janin. Individu yang terkena dengan gejala yang berat, membutuhkan ketergantungan
transfusi disertai adanya hepatosplenomegali, jaundice, retardasi pertumbuhan, dan expansi
berlebih dari ruang sumsum tulang belakang. Pasien dengan Hb >7 gr% tanpa komplikasi,
direkomendasikan untuk terapi asam folat jangka panjang. Namun, pasien dengan Hb <7 gr%
membutuhkan transfusi darah berulang pada wanita dengan thalassemia intermedia untuk
mengurangi anemia dan berat badan lahir rendah.10

2.5 DIAGNOSIS THALASEMIA


Diagnosis thalasemia dibuat berdasarkan anamnesis meliputi gejala yang timbul, riwayat
keluarga, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium. Semua thalasemia memiliki
gejala yang mirip tetapi beratnya bervariasi, tergantung jenis rantai asam amino yang terkena.
Pada keadaan yang lebih berat, seperti pada thalasemia beta mayor, adanya anemia (lemah,
lesu, pucat), sesak napas, pembesaran limpa dan hati, perut membesar, jaundice, dan ulkus.
Selain itu terjadi penebalan dan pembesaran tulang terutama pada bagian kepala dan wajah,
tulang-tulang panjang menjadi mudah patah.
Terdapat 3 cara mengidentifikasi anak dengan thalasemia yaitu dengan evaluasi indeks
sel darah merah, identifikasi skrining pada bayi baru lahir, dan skrining prenatal serta
perencanaan keluarga.18 Skrining yang paling efektif dan mudah dilakukan untuk mendeteksi
awal karier thalasemia menggunakan darah rutin seperti Hb, MCV, dan MCH, serum ferritin,
serum iron, transferrin, TIBC, dan aspirasi sumsum tulang dapat dilakukan untuk
menegakkan diagnosis. Pada thalasemia trait dapat ditemukan dengan pemeriksaan dengan
9

hitung darah lengkap yang memperlihatkan anemia mikrositik ringan. Anemia mikrositik
dapat disebabkan oleh defisiensi besi, thalasemia, anemia sideroblastik, dan anemia karena
penyakit kronis.16,17
Pada karier thalasemia pada dewasa sehat, manifestasi yang dapat timbul hanya Hb yang
rendah. Dikatakan karier apabila nilai MCH <27 pg dan MCV <80 fl untuk semua jenis
karier. Tahap selanjutnya adalah apabila ditemukan nilai MCV atau MCH rendah, maka
dilakukan pemeriksaan hemoglobin pattern dan status besi. Apabila setelah dilakukan
pemeriksaan tersebut diagnosa masih belum jelas untuk mengidentifikasi thalasemia trait,
maka dilakukan pemeriksaan elektroforesis hemoglobin.9,16,17
Peningkatan Red cell distribution width (RDW) >90% dengan defisiensi besi, 50%
dengan thalasemia. Walaupun anemia mikrositik dengan RDW yang normal selalu karena
thalasemia, seseorang dengan peningkatan RDW membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut. 16
Pengukuran pada RDW tidak cukup sensitif dan spesifik untuk membedakan defisiensi besi
dan thalasemia beta trait.

Tabel 2.3. Identifikasi thalasemia


10
11

Gambar 2.2. Algoritma nilai RDW dalam mendiagnosa thalasemia16


12

Gambar 2.3. Algoritma diagnosa mikrositosis

Pembawa sifat alfa thalasemia ditegakkan apabila terdapat badan inklusi hemoglobin
H. Pada karier beta thalasemia menunjukkan peningkatan kadar level hemoglobin A2 lebih
dari 3,5% dan hemoglobin F. Apabila kadar HbA2 kurang dari 3,5% menunjukkan defisiensi
besi, thalasemia alfa, atau bentuk lain dari thalasemia beta. Selain itu, pola dari hemoglobin
normal dapat menunjukkan gambaran defisiensi besi, namun tidak bisa menyingkirkan
thalasemia trait. Oleh karena itu, disarankan untuk mengulang pemeriksaan hemoglobin
setelah mendapat pengobatan defisiensi besi.9, 12
13

2.6 EFEK THALASEMIA PADA KEHAMILAN

Ketika seorang ibu hamil didiagnosis mengidap talasemia, maka suaminya sebaiknya
menjalani skrining untuk mengetahui apakah pasutri ini adalah pembawa gen talasemia yang
sama (α dan β) atau tidak. Jika suami memiliki MCV/MCH normal, biasanya calon anaknya
tidak berisiko mengalami talasemia berat, kecuali pada kasus yang tidak lazim seperti
talasemia homozigot α° atau talasemia β mayor yang disebabkan disomi uniparental (DUP)
ibu atau non paternitas.19 Pasutri yang memiliki gen pembawa talasemia yang tidak sejenis
(α dan β) hendaknya ditawarkan untuk menjalani pemeriksaan DNA untuk menyingkirkan
kemungkinan talasemia α yang berpasangan dengan talasemia β.
Talasemia adalah suatu penyakit autosomal resesif. Jika pasangan suami istri
merupakan pembawa gen (carrier) talasemia heterozigot yang sama (α atau β), maka anak
mereka akan memiliki kemungkinan 1:4 untuk mengidap talasemia homozigot. Jika istri
memiliki penyakit Hb H dan suaminya merupakan pembawa gen (carrier) talasemia α°, maka
calon anak mereka akan memiliki risiko sebesar 25% untuk mengidap talasemia α° dan 25%
penyakit Hb H. Jika istri merupakan pengidap talasemia β mayor dan suaminya merupakan
pembawa gen (carrier) talasemia β, maka calon anak mereka memiliki kemungkinan 50%
mengidap talasemia β mayor.
Konseling dan pemeriksaan prenatal, invasif atau non invasif, perlu ditawarkan dan
dilakukan oleh personil dan laboratorium berpengalaman. Secara konvensional, diagnosis
prenatal diperoleh melalui analisis DNA sesudah dilakukan pengambilan sampel vilus
korionik atau amniosentesis. Pendekatan non invasif yang terdiri dari serangkaian
pemeriksaan ultrasonografi dua dimensi untuk menilai rasio kardiotorasik fetus dan ketebalan
plasenta yang mulai dilakukan sejak usia kehamilan 12 minggu secara efektif dapat
mengurangi kebutuhan pemeriksaan invasive pada sebagian besar kehamilan yang tidak
dipengaruhi oleh talasemia homozigot α°.20‐21 Belakangan ini pemeriksaan noninvasif
terhadap janin yang mengidap talasemia dapat dilakukan melalui pemeriksaan DNA cell‐free
pada plasma ibu hamil.
Jika seorang wanita memiliki anak yang mengidap talasemia mayor, darah tali pusat
dari janin yang sesudah didiagnosis prenatal ternyata tidak menuruni bakat talasemia mayor
dapat menjadi sumber sel punca yang bernilai untuk ditransplantasikan ke saudara
kandungnya yang mengidap talasemia jika mereka memiliki HLA yang sesuai/cocok.22
Skrining awal dianjurkan untuk mengurangi kecemasan sejak dini pada ibu hamil
14

yang tidak terkena talasemia atau menawarkan pilihan dini untuk mengakhiri kehamilan pada
kehamilan yang terkena talasemia. Pada wilayah dengan prevalensi pembawa gen (carrier)
talasemia α°, skrining talasemia antenatal sebaiknya dianjurkan untuk ibu hamil bahkan
setelah pertengahan trimester, dalam hal risiko maternal berat yang terkait dengan kehamilan
yang dipengaruhi talasemia homozigot α°.
Jika pasangan suami istri didiagnosis mengidap talasemia sebelum terjadinya
kehamilan, kepada mereka dapat ditawarkan untuk dilakukan diagnosis genetik pra
implantasi sebagai alternatif untuk diagnosis prenatal. Asam folat 5 mg perikonseptual
direkomendasikan untuk mencegah defek tabung saraf pada janin.23

2.7 EFEK KEHAMILAN PADA THALASEMIA

Antenatal care pada thalasemia selama kehamilan meliputi:

1. Pemeriksaan fungsi jantung, hepar dan tiroid setiap trimester

2. Skiring diabetes gestasional

3. Peningkatan kebutuhan transfusi untuk tetap mempertahankan kadar Hb > 10 gr/dl

4. Pemeriksaan USG serial untuk menilai kondisi janin

5. Adanya peningkatan insiden Seksio Sesaria

6. Pemilihan jenis kontrasepsi

7. lndikasi menyusui jika tidak ditemukan HIV (+) atau HCV RNA dan atau HbsAg (+)

Anemia matemal menyebabkan oksigenasi tidak adekuat dari unit fetal matemal,
sehingga menyebabkan terjadinya hipertrofi plasenta sebagai kompensasi. Anemia matemal
kronik dapat menyebabkan defisiensi oksigen pada fetus sehingga dapat terjadi abortus,
pertumbuhan janin terhambat, persalinan prematur dan perdarahan paska salin. Jika kadar Hb
ibu 4-6 g/dl, dapat terjadi gagal jantung kongestif, dengan pengurangan lebih jauh oksigenasi
janin. Janin menunjukkan fetal distress yang jelas, dan mungkin lahir mati. Persalinan
preterm umumnya terjadi pada Hb 4-8 g/dl, terutama jika PO2 ibu di bawah 70 mmHg atau
janin menunjukkan tanda fetal distres.

Anemia kronik penderita thalasemia beta intermedia berhubungan dengan luaran janin
yang jelek, perlu pengawasan terhadap terjadinya komplikasi kehamilan seperti preeclampsia,
kehamilan preterm, IUGR, dan kelainan kongenital pada neural tube. Terjadinya
15

cephalopelvic disproportion karena adanya kelainan skeletal dan postur tubuh yang pendek
serta gangguan fungsi jantung selama kehamilan.

2.8 PENANGANAN THALASEMIA PADA IBU HAMIL


Perawatan pra kehamilan
Idealnya, kehamilan sebaiknya direncanakan sesudah pasutri menjalani konseling pra
kehamilan pada kehamilan yang berisiko talasemia mayor dan begitu pula sebaliknya. Karena
transfusi darah berulang dapat menyebabkan kelebihan muatan zat besi yang akhirnya
mengakibatkan gangguan fungsi hati, jantung, dan endokrin, maka penilaian komprehensif
terhadap kerusakan organ‐organ akhir ini sebaiknya dilakukan, mencakup pemantauan
glukosa, fungsi tiroid, fungsi jantung, fungsi hati, dan status zat besi pada jantung dan hati. 24
Untuk pengendalian glukosa, pengukuran kadar fruktosamin lebih disukai daripada HbA1C
karena kadar HbA1C mengalami penurunan setelah transfusi darah sehingga hasilnya tidak
dapat dipercaya.25 Lebih dianjurkan untuk mengoptimalkan penanganan komplikasi yang
meliputi diabetes, hipotiroid, dan gagal jantung. 24 Karena beban zat besi akan meningkat dan
endokrinopati baru dapat terjadi sesudah penghentian terapi kelasi pada kehamilan,30-31 maka
kelasi agresif yang dilakukan pada tahap pra konsepsi dapat mengurangi kemungkinan
terjadinya endokrinopati atau masalah jantung.28-29
Selain itu, pemindaian densitas tulang harus dilakukan karena kemungkinan adanya
osteoporosis yang seringkali diakibatkan oleh perkembangan pubertas yang tidak lengkap
atau mengalami keterlambatan.30 Kadar vitamin D hendaknya dioptimalkan. 32 Juga perlu
dilakukan skrining antibodi sel darah merah karena adanya keterkaitan dengan risiko penyakit
hemolitik pada fetus dan neonatus,33 dan reaksi transfusi maternal.34
Status Hepatitis B surface antigen (HBsAg) sebaiknya dicek dan bila hasilnya negatif,
hendaknya diberikan vaksinasi hepatitis B. Pengecekan status Hepatitis C juga perlu
dilakukan.24 Semua wanita yang telah menjalani splenektomi sebaiknya diberikan profilaksis
penisilin dan vaksinasi untuk pneumokokus dan Haemophilus influenza tipe B.24

Kasus subfertilitas yang disebabkan hipogonadisme hipogonadotropik seringkali dijumpai


dan dapat diterapi dengan terapi induksi ovulasi dengan gonadotropin.35
Perawatan antenatal
Perawatan antenatal idealnya diberikan oleh tim multidisiplin yang terdiri dari dokter
spesialis kebidanan, bidan berpengalaman, spesialis hematologi, pakar diabetes, dan spesialis
16

jantung.24 Frekuensi kunjungan antenatal tergantung dari usia kehamilan dan beratnya
kerusakan organ akhir.24 Diabetes melitus, jika ada, sebaiknya dikendalikan. Juga hipotiroid,
jika ada, sebaiknya dikoreksi.24
Pemeriksaan USG serial yang sebaiknya dianjurkan, meliputi: (a) pemindaian dini
sebelum usia kehamilan 10 minggu untuk mengonfirmasi viabilitas janin dan meyingkirkan
kemungkinan kehamilan kembar; (b) pemindaian pada trimester pertama bersama dengan
skrining sindroma Down; (c) pemindaian detil pada pertengahan trimester untuk
menyingkirkan kemungkinan anomali; serta (d) pemindaian serial pertumbuhan pada
trimester ketiga untuk menyingkirkan kemungkinan adanya pertumbuhan janin yang
terhambat. Pengukuran serial dari kecepatan puncak aliran darah sistolik arteri serebri media
untuk menyingkirkan kemungkinan anemia pada fetus juga diperlukan jika ditemukan
antibodi terhadap sel‐sel darah merah. Kadar hemoglobin hendaknya dipantau secara berkala
dan dilakukan koreksi anemia berat melalui transfusi dengan tujuan untuk mempertahankan
kadar hemoglobin pra transfusi sebesar 10 g/dl.24
Splenektomi dan tingginya jumlah trombosit (>600 x 109/l) merupakan faktor‐faktor
risiko tambahan untuk tromboemboli pada wanita dengan talasemia mayor.
Direkomendasikan pemberian aspirin dosis rendah 75 mg/hari direkomendasikan jika pasien
wanita memiliki salah satu faktor risiko, serta pemberian heparin dengan berat molekul
rendah dan aspirin dosis rendah jika pasien wanita yang memiliki kedua faktor risiko atau
selama menjalani perawatan antenatal di rumah sakit,24 Pemeriksaan jantung diperlukan pada
usia kehamilan 28 minggu atau bilamana pasien wanita mengalami keluhan dyspnea,
palpitasi, atau gejala‐gejala terkait lainnya. Jika ditemukan adanya muatan zat besi dalam otot
jantung pada pemeriksaan MRI jantung, maka akan diperlukan pemeriksaan oleh dokter
spesialis jantung.24 Terapi kelasi dengan deferioksamin dosis rendah 20 mg/kg/hari secara
subkutan harus diberikan jika ada tanda‐tanda dekompensasi jantung, termasuk adanya
penurunan T2 hingga di bawah 20 ms,36 atau penurunan fraksi ejeksi atau peningkatan
volume ventrikel pada pemeriksaan EKG.38-40

Kelasi zat besi dengan desferioksamin dosis rendah juga perlu dipertimbangkan untuk
diberikan setelah 20 minggu41 bilamana didapati muatan zat besi yang berat pada hati karena
adanya risiko terkait muatan zat besi dalam otot jantung. Pemberian desferioksamin dosis
rendah aman digunakan pada usia kehamilan setelah 20 minggu tetapi sebaiknya dihindari
17

pemberiannya pada trimester pertama karena tidak tersedianya data keamanan mengenai obat
ini.42
Perawatan intrapartum
Idealnya perawatan intrapartum sebaiknya diberikan oleh tim multidisiplin yang
meliputi dokter spesialis kebidanan, bidan berpengalaman, spesialis anestesi, dan spesialis
hematologi. Penyakit talasemia β mayor sendiri bukan merupakan indikasi untuk seksio
sesarea atau induksi persalinan.24 Induksi persalinan dapat dipertimbangkan untuk dilakukan
atas indikasi obstetrik, sebagaimana halnya dengan kondisi pertumbuhan janin terhambat atau
diabetes melitus.
Anemia sering dijumpai. Jika ditemukan adanya antibodi terhadap sel‐sel darah merah
yang dapat menyebabkan reaksi transfusi, harus dilakukan cross‐matched terhadap darah
yang akan ditransfusi. Pemantauan elektronik terus‐menerus terhadap kecepatan denyut
jantung janin direkomendasikan mengingat adanya peningkatan risiko hipoksia pada janin. 43
Penatalaksanaan aktif persalinan kala tiga dapat meminimalisir kehilangan darah.44
Tindakan pencegahan yang sesuai harus dilakukan bilamana didapati komplikasi
medis seperti kardiomiopati. Terapi kelasi peripartum dengan desferioksamin 2 g secara
intravena selama 24 jam perlu dilakukan mengingat tingginya kadar non‐transferrin bound
iron (fraksi zat besi yang tidak terikat dengan transferrin) dalam serum yang dapat
menyebabkan kerusakan akibat radikal bebas dan gangguan irama jantung ketika pasien
wanita mengalami stres persalinan.12
Perawatan postpartum
Mengingat tingginya risiko tromboemboli vena, terapi profilaksis dengan heparin
berat molekul rendah hendaknya diberikan selama perawatan di rumah sakit, 45‐46 sekurang‐
kurangnya selama 10 hari pasca persalinan pervaginam atau selama 6 minggu pasca seksio
sesarea.46
Pemberian ASI oleh ibu menyusui yang sedang mendapat desferioksamin adalah
aman. Walaupun desferioksamin disekresikan ke dalam ASI, tetapi obat ini tidak diabsorpsi
secara oral sehingga tidak berbahaya bagi bayi. Pemberian kembali kelasi besi dan terapi
dengan biofosfonat perlu dilakukan sesudah melahirkan.47

2.9 KOMPLIKASI THALASEMIA 9,15


Komplikasi yang terjadi pada pasien thalassemia, yaitu:
18

- Penumpukan besi
Penumpukan zat besi terjadi karena akumulasi zat besi yang berasal dari transfusi dan
peningkatan absorpsi zat besi karena eritropoesis yang tidak efektif.
- Gagal jantung
Efek pada kardio karena berlebihnya zat besi di jantung yang dapat menyebabkan
gagal jantung dan aritmia.
- Perikarditis
Pasien dengan thalasemia dapat terjadi perikarditis, kemungkinan disebabkan oleh
virus dan organisme mikoplasma, infeksi bakteri atau jamur, atau berhubungan
dengan sindroma pasca transplantasi.
- Endokrin
Organ-organ endokrin sensitif terhadap toksisitas besi sehingga dapat terjadi
kerusakan pituitari, hipogonadotropik hipogonadisme, diabetes, hipotiroid,
hipoparatiroid, osteopaenia, dan osteoporosis. Akibat kerusakan organ endokrin,
biasanya timbul amenore primer dan sekunder.
- Alloimunisasi
Transfusi berulang memicu produksi alloantibodi dan alloimunisasi. Komplikasi ini
terjadi pada pasien yang sudah melakukan splenektomi dan transfusi dengan etnik
berbeda antara donor dan resipien.
- Infeksi virus
Transmisi infeksi seperti HIV, hepatitis B dan C terutama pada wanita dengan
ketergantungan transfusi.
- Thrombosis dan hiperkoagulasi
Thrombosis ditemukan pada sindrom thalasemia alfa, thalasemia beta mayor,
thalasemia beta minor, dan thalasemia beta-HbE. Hal ini karena adanya sirkulasi sel
darah merah yang cacat dengan kerusakan membran sehingga meningkatkan aktivasi
platelet dan risiko trombus.
- Hemolisis
Hemolisis kronik meningkatkan kadar plasma dari hemoglobin bebas yang
melepaskan nitrit oxide, beredar di sirkulasi dan menyebabkan peningkatan resistensi
pembuluh darah perifer yang nantinya dapat terjadi hipertensi pulmonal hingga gagal
jantung kanan.
19

- Osteopenia, osteoporosis, dan deformitas tulang


Keadaan ini disebabkan oleh eriropoesis ekstramedullar yang mengakibatkan ganguan
fungsi paratiroid atau metabolisme kalsium dan hipogonadisme.

2.10 PENCEGAHAN THALASEMIA

Pelaksanaan program pencegahan thalasemia di Indonesia harus meliputi kegiatan


edukasi, skrining, konseling dengan memerhatikan faktor sosioetikolegal. Sekarang ini,
beberapa negara telah menetapkan program pencegahan nasional secara komprehensif
berupa, edukasi pasien, skrining karier, dan konseling serta informasi tentang diagnosis
prenatal dan preimplantasi. Negara bagian Eropa Utara juga mengadakan program parsial
berupa skrining antenatal.22 Skrining dilakukan terhadap anggota keluarga pengidap
thalassemia. Skrining pranatal dilakukan terhadap ibu hamil pada saat kunjungan pertama.
Skrining prakonsepsi dilakukan terhadap pasangan yang sudah menikah dan berencana
mempunyai anak. Skrining pranikah dilakukan terhadap individu/pasangan yang akan
menikah.
Pada thalasemia alfa, skrining di rekomendasikan hanya untuk mendeteksi pasangan
dengan risiko sindrom hydrops fetalis karena komplikasi yang timbul berupa toxemia berat
(hipertensi, preeklampsi) pada ibu. Salah satu program untuk mengontrol thalasemia beta
adalah edukasi. Edukasi yang dilakukan membahas tentang gejala klinis, riwayat penyakit,
konseling genetik, dan metodologi untuk mencegah kelahiran anak yang terkena dampaknya.
Materi diskusi harus mencakup manifestasi klinis, riwayat penyakit, terapi yang tersedia, dan
harapan hidup pada thalasemia mayor. Target populasi skrining yaitu pasangan yang ingin
menikah, prekonsepsi, dan masa pernikahan awal.
A. Deteksi karier
Thalasemia beta heterozigot, dikarakteristikan secara hematologi berupa hitung sel
darah merah, mikrositosis, hipokromik, peningkatan HbA2, dan ketidakseimbangan
sintesis rantai globin. Metodologi yang sering digunakan pada risiko karier yaitu
MCV dan MCH. Pemeriksaan lebih lanjut dengan pemeriksaan kuantitatif HbA2
yang merupakan pemeriksaan paling penting untuk mengidentifikasi thalasemia
beta heterozigot. Sedangkan pada thalasemia alfa mudah untuk diindektifikasi
karena memiliki peningkatan khas pada level HbA2. Karakteristik hematologi untuk
mengidentifikasi karier thalasemia beta yaitu adanya peningkatan pada HbA2.
20

B. Konseling genetik
C. Diagnosis prenatal
D. Diagnosis preimplantasi dan prekonsepsi genetik
Program pencegahan thalasemia harus dilakukan untuk mengurangi jumlah pasien
thalasemia di Indonesia karena dari sisi biaya pencegahan thalasemia membutuhkan
lebih sedikit biaya, sementara dari sisi pasien thalasemia akan menyebabkan tumbuh
kembang tidak optimal terutama pada anak.
BAB II
KESIMPULAN

Prognosis talasemia minor dalam kehamilan adalah baik dan perlu dilakukan
perawatan umum obstetrik. Risiko terhadap ibu dan janin adalah tinggi untuk kasus
talasemia β mayor, membutuhkan penanganan khusus oleh tim multidisiplin. Diagnosis
prenatal diperlukan jika suami merupakan pembawa gen talasemia yang sama jenisnya
dengan istri. Pemberian asam folat selama masa perikonsepsi dan kehamilan dapat mencegah
terjadinya defek tabung saraf pada janin dan anemia pada ibu hamil.

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Hoffbrand A V, Moss P A. Kelainan hemoglobin yang bersifat genetik. Kapita


Selekta Hematologi. 6 ed. Jakarta: EGC; 2013. p. 81-90.
2. Wiradnyana AAGP. Skrining dan Diagnosis Thalasemia dalam Kehamilan. 2013:1-
39.
3. Davis B. Fertility and Pregnancy in Thalassemia and Sickle Cell Disease. The UK
Guidelines. Page Press. 2014;4:63-6.
4. Karnpean R. Fetal Blood Sampling in Pranatal Diagnosis of Thalassemia at Late
Pregnancy. J Med Association Thai. 2014;97:49-53.
5. Fucharoen S, Winichagoon P. Haemoglobinopathies in Southeast Asia. Indian J Med.
2011:498-504.
6. Riza M, Widiretnani S. Hempglobin Profiles of Siblings of Thalassemia Patients.
Paediatrica Indonesia. 2015;55(2):70-3.
7. Widjaja IR, Widjaja FF, Santoso LA, Wonggokusuma E, Oktavianti. Anemia Among
Children and Adolescents in A Rural Area. Paediatrica Indonesia. 2014;54(2):88-9.
8. Traisrisilp K, Tongsong T. Pregnancy outcomes among women with beta-thalassemia
trait. Springer. 2015:1-4.
9. Leung TY, Lao TT. Thalassaemia in Pregnancy. Elsevier. 2012;26:37-51.
10. Bharathi KR, Varte V, Singh A, Devi BK. HbE Thalassemia in Pregnancy. Journal of
Medical Society. 2015;29(1):45-6.
11. Lata S, Bajaj S, Popli S, Singh S. Screening of Women in the Antenatal Period for
Thalassemia Carrier Status: Comparison of NESTROFT, Red Cell Indices, and HPLC
Analysis. J Fetal Medicine. 2015:1-5.
12. Dewanto JB, Tansah H, Dewi SP, Napitu H. Increased knowledge of thalassemia
promotes early carrier status examination among medical students. Universa
Medicina. 2015;4(3):220-7.
13. Rachmilewitz EA, Giardina PJ. How I treat thalassemia. Blood Journal.
2011;118(13):3479-86.
14. Voskaridou E, Balassopoulou A, Boutou E, Komninaka V. Pregnancy in beta-
thalassemia intermedia: 20-year experince of a Greek thalassemia center. European
Journal of Haematology. 2014:492-5.
15. Cappelini MD, Viprakasit V, Taher AT. An overview of current treatment strategies
for beta-thalassemia. Expert Opinion on Orphan Drugs. 2014:665-72.
16. Muncie H, Campbell J. Alpha and Beta Thalassemia. American Family Physician.
2009;80(4):339-44.
17. Vranken M. Evaluation of Microcytosis. American Family Physician.
2010;82(9):1117-21.
18. Management of Beta Thalassemia in Pregnancy. Royal College of Obstetricians and
22
23

Gynaecologists. 2014;66:1-17.
19. Kou KO, Lee H, Lau B et al. Two unusual cases of haemoglobin Bart’s hydrops
fetalis due to uniparental disomy or non-paternity. Fetal Diagn Ther. 2014; 35:36–
22

308.
20. Leung KY, Lee CP, Tang MHY et al. Cost effectiveness of prenatal screening for
thalassemia in Hong Kong. Prenat Diagn. 2004; 24:899–907.
21. Leung KY, Liao C, Li QM et al. A new strategy for prenatal diagnosis of
homozygous alpha-thalassaemia. Ultrasound Obstet Gynecol. 2006; 28:173–177.
22. Rappaport VJ1, Velazquez M, Williams K. Hemoglobinopathies in pregnancy. Obstet
Gynecol Clin North Am. 2004; 31:287–317.
23. MRC Vitamin Study Research Group. Prevention of neural tube defects: results of the
Medical Research Council Vitamin Study. Lancet 1991; ii:131–137.
24. Royal College of Obstetricians and Gynaecologists. Management of Beta
Thalassaemia in Pregnancy. Green-top Guideline No. 66. London: RCOG; 2014.
25. Spencer DH, Grossman BJ, Scott MG. Red cell transfusion decreases hemoglobin
A1c in patients with diabetes [letter]. Clin Chem 2011; 57:344–346.
26. Toumba M, Skordis N. Osteoporosis syndrome in thalassaemia major: an overview. J
Osteoporos 2010; 2010:537673.
27. Origa R, Piga A, Quarta G, Forni GL, Longo F, Melpignano A, et al. Pregnancy and
β-thalassemia: an Italian multicenter experience.Haematologica 2010; 95:376–81.
28. Alpendurada F, Smith GC, Carpenter JP, et al. Effects of combined deferiprone with
deferoxamine on right ventricular function in thalassaemia major. J Cardiovasc Magn
Reson 2012; 14:8.
29. Borgna-Pignatti C, Rugolotto S, De Stefano P, et al. Survival and complications in
patients with thalassemia major treated with transfusion and deferoxamine.
Haematologica 2004; 89:1187–1193.
30. Tongsong T, Srisupundit K, Luewan S. Outcomes of pregnancies affected by
hemoglobin H disease. Int J Gynaecol Obstet. 2009; 104:206–208.
31. Castaldi MA, Cobellis L. Thalassemia and infertility. Hum Fertil (Camb). 2016; 23:1–
7.
32. Walsh JM, McGowan CA, Kilbane M, McKenna MJ, McAuliffe FM. The
relationship between maternal and fetal vitamin D, insulin resistance, and fetal
growth. Reprod Sci 2013; 20:536–541.
33. Royal College of Obstetricians and Gynaecologists. The Management of Women with
Red Cell Antibodies during Pregnancy. Green-top Guideline No. 65. London: RCOG;
2014.
34. Royal College of Obstetricians and Gynaecologists. Blood Transfusions in Obstetrics.
Green-top Guideline No. 47. London: RCOG; 2007.
35. Protonotariou AA, Tolis GJ. Reproductive health in female patients with β-
thalassemia major. Ann N Y Acad Sci 2000; 900:119–124.
36. Kirk P, Roughton M, Porter JB, et al. Cardiac T2* magnetic resonance for prediction
of cardiac complications in thalassemia major. Circulation 2009; 120:1961–1968.
37. Davis BA, Porter JB. Long-term outcome of continuous 24-hour deferoxamine
infusion via indwelling intravenous catheters in highrisk β-thalassemia. Blood 2000;
95:1229–1236.
23

38. Anderson LJ, Westwood MA, Holden S, et al. Myocardial iron clearance during
24

reversal of siderotic cardiomyopathy with intravenous desferrioxamine: a prospective


study using
39. T2* cardiovascular magnetic resonance. Br J Haematol 2004; 127:348–355.
40. Davis BA, O’Sullivan C, Jarritt PH, Porter JB. Value of sequential monitoring of left
ventricular ejection fraction in the management of thalassemia major. Blood 2004;
104:263–269.
41. Olivieri NF, Brittenham GM. Iron-chelating therapy and the treatment of thalassemia.
Blood 1997; 89:739–761.
42. Diamantidis MD, Neokleous N, Agapidou A, et al. Iron chelation therapy of
transfusiondependent β-thalassemia during pregnancy in the era of novel drugs: is
deferasirox toxic? Int J Hematol. 2016; 103:537–544.
43. National Institute for Health and Clinical Excellence. Intrapartum care: Care of
healthy women and their babies during childbirth. NICE clinical guideline 55.
Manchester: NICE; 2007.
44. Begley CM, Gyte GM, Devane D, McGuire W, Weeks A. Active versus expectant
management for women in the third stage of labour. Cochrane Database Syst Rev
2011;(11):CD007412.
45. Taher A, Isma’eel H, Mehio G, et al. Prevalence of thromboembolic events among
8,860 patients with thalassaemia major and intermedia in the Mediterranean area and
Iran. Thromb Haemost 2006; 96:488–491.
46. Royal College of Obstetricians and Gynaecologists. Reducing the Risk of Thrombosis
and Embolism during Pregnancy and the Puerperium. Green-top Guideline No. 37a.
London: RCOG; 2015.
47. Leung TY, Lao TT. Thalassaemia in pregnancy. Best Pract Res Clin Obstet
Gynaecol.2012; 26:37–51.

Anda mungkin juga menyukai