Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN

Tuberkulosis adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh kuman mikobakterium


tuberkulosa. Hasil ini ditemukan pertama kali oleh Robert Koch pada tahun 1882. Penyakit
tuberkulosis sudah ada dan dikenal sejak zaman dahulu, manusia sudah berabad-abad hidup
bersama dengan kuman tuberkulosis. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya lesi
tuberkulosis pada penggalian tulang-tulang kerangka di Mesir. Demikian juga di Indonesia,
yang dapat kita saksikan dalam ukiran-ukiran pada dinding candi Borobudur.

Diseluruh dunia tahun 1990 WHO melaporkan terdapat 3,8 juta kasus baru TB
dengan 49% kasus terjadi di Asia Tenggara. Dalam periode 1984 – 1991 tercatat peningkatan
jumlah kasus TB diseluruh dunia, kecuali Amerika dan Eropa. Di tahun 1990 diperkirakan
7,5 juta kasus TB dan 2,5 juta kematian akibat TB diseluruh dunia.

Annual Risk Infection ditahun 1980 – 1985 dinegara-negara Asia Tenggara


diperkirakan sekitar 2% yang berarti terdapat insidensi 100 kasus BTA (+) per 100.000
penduduk. Tahun 1987 di Singapura terdapat 62 kasus per 100.000 penduduk, dengan rata-
rata penurunan tahunan 5,7% sejak tahun 1959. Brunei Darussalam dengan angka kematian
8,5 kasus per 100.000 penduduk dengan insiden BTA (+) 84 kasus per 226.000 penduduk.
Sedangkan Filipina ditahun 1981 – 1983 memperkirakan prevalensi BTA (+), 0,95%.
Berdasarkan data dari SEAMIC Health Statistic tahun 1990, penyakit tuberkulosis penyebab
kematian no. 10 di Thailand tahun 1989 dan menduduki urutan ke 4 di Filipina pada tahun
1987. Menurut Global TB – WHO, 1998 saat ini pusat dari epidemi TB berada di Asia
dengan terdapat 4,5 juta dari 8 juta kasus yang diperkirakan terdapat di dunia atau 50%
kasusnya di 6 negara yaitu India, Cina, Bangladesh, Pakistan, Indonesia dan Filipina.
Indonesia menempati urutan ke-3 sebagai penyumbang kasus terbesar di dunia setelah India
dan Cina.

Berdasarkan hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Departemen Kesehatan


RI, tahun 1972 TB menempati urutan ke 3 penyebab kematian menurut SKRT tahun 1980 TB
menempati urutan ke 4, dan menurut SKRT tahun 1992, TB menempati urutan nomor 2
sesudah penyakit sistem sirkulasi.

1
Hasil SKRT tahun 1995 TB merupakan penyebab kematian nomor 3 dari seluruh
kelompok usia dan nomor 1 antara penyakit infeksi yang merupakan masalah kesehatan
masyarakat Indonesia.
Pembuatan diagnosis tuberkulosis paru kadang-kadang sulit, sebab penyakit
tuberkulosis paru yang sudah berat dan progresif, sering tidak menimbulkan gejala yang
dapat dilihat/dikenal; antara gejala dengan luasnya penyakit maupun lamanya sakit, sering
tidak mempunyai korelasi yang baik. Hal ini disebabkan oleh karena penyakit tuberkulosis
paru merupakan penyakit paru yang besar (great imitator), yang mempunyai diagnosis
banding hampir pada semua penyakit dada dan banyak penyakit lain yang mempunyai gejala
umum berupa kelelahan dan panas.

Walaupun penyakit ini telah lama dikenal, obat-obat untuk menyembuhkannya belum
lama ditemukan, dan pengobatan tuberkulosis paru saat ini lebih dikenal dengan sistem
pengobatan jangka pendek dalam waktu 6–9 bulan. Prinsip pengobatan jangka pendek adalah
membunuh dan mensterilkan kuman yang berada di dalam tubuh manusia. Obat yang sering
digunakan dalam pengobatan jangka pendek saat ini adalah isoniazid, rifampisin,
pirazinamid, streptomisin dan etambutol.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI

Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium

tuberculosis.

B. ETIOLOGI

Penyebab TB adalah Mycobacterium tuberculosis, sejenis kuman berbentuk

batang dengan ukuran panjang 1 – 4 μm dan tebal 0,3 – 0,6 μm, tidak berspora dan

tidak berkapsul. Sebagian besar dinding kuman terdiri atas asam lemak (60%),

peptidoglikan dan arabinomannan. Lipid inilah yang membuat kuman lebih tahan

terhadap asam (asam alkohol) sehingga disebut bakteri tahan asam (BTA) dan juga

lebih tahan terhadap gangguan kimia dan fisis. Hal ini terjadi karena kuman berada

dalam sifat dormant. Dari sifat dormant ini kuman dapat bangkit lagi dan menjadikan

TB menjadi aktif lagi (Amin, 2007).

C. PATOGENESIS

Paru merupakan port d’entrée lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena

ukurannya yang sangat kecil, kuman TB yang terhirup melalui droplet nuclei dapat

mencapai alveolus. Masuknya kuman TB ini akan segera diatasi oleh mekanisme

imunologis non spesifik. Makrofag alveolus akan memfagosit kuman TB dan

biasanya sanggup menghancurkan sebagian besar kuman TB. Akan tetapi, pada

sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan kuman TB dan kuman

3
akan bereplikasi dalam makrofag. Kuman TB dalam makrofag yang terus

berkembang biak, akhirnya akan membentuk koloni di tempat tersebut. Lokasi

pertama koloni kuman TB di jaringan parus disebut Fokus Primer GOHN.

Dari fokus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar

limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran ke lokasi fokus primer.

Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di

keenjar limfe (limfadenitis) yng terka. Jika fokus primer terletak di lobus paru bagian

bawah atau tengah, kelenjar limfe yang terlibat adalah kelenjar limfe parahilus,

sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar

paratrakeal. Kompleks primer merupakan gabungan antara fokus primer, kelenjar

limfe regional yang membesar (limfadenitis) dan saluran limfe yang meradang

(limfangitis).

Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman Tb sehingga terbentuknya

komplek primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi TB. Hal ini berbeda

dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang

diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi

TB biasaya berlangsung dalam waktu 4 – 8 minggu dengan rentang waktu antara 2 –

12 minggu. Dalam masa inkubasi tersebut, kumas tumbuh hingga mencpai 103 – 104,

yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons imunitas seluler.

Selama berminggu-minggu awal proses infeksi, terjadi pertumbuhan

logaritmik kuman TB sehingga jaringan tubuh yang awalnya belum tersenstasi

terhadap tuberkulin, mengalami perkembangan sensitivitas. Pada saat terbentuknya

kompleks primer inilah, infeksi TB primer dinyatakan telah terjadi. Hal tersebut

ditandai oleh terbentuknya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu

timbulnya respons positif terhadap uji tuberkulin. Selama masa inkubasi, uji

4
tuberkulin masih negatif. Setelah kompleks primer terbentuk, imunitas seluler tubuh

terhadap TB teah terbentuk. Pada sebagian besar individu dengan sistem imun yag

berfungsi baik, begitu sistem imun seluler berkembang, proliferasi kuman TB

terhenti. Namun, sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila

imunitas seluler telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan

segera dimusnahkan.

Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya

mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah

mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga anak

mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak

sesempurna fokus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap

selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini.

Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang terjadi

dapat disebabkan oleh fokus paru atau di kelenjari limfe regional. Fokus primer di

paru dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi

nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui

bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas). Kelenjar limfe

hilus atau pratrakea yang mulanya berukuran normal saat awal infeksi, akan

membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut. Bronkus dapat terganggu. Obstruksi

parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal dapat menyebabkan ateletaksis.

Kelenjar yang mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan

menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial atau

membentuk fistula. Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus

sehingga menyebabkan gabungan pneumonitis dan ateletaksis, yang sering disebut

sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi.

5
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat terjadi

penyebaran limfogen da hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke

kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer. Sedangkan pada penyebaran

hematogen, kuman TB masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh

tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai

penyakit sistemik.

Penyebaran yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk penyebaran

hematogenik tersamar (occult hematogenic spread). Melalui cara ini, kuman TB

menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala

klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ di seluruh tubuh. Organ

yang biasanya dituju adalah organ yang mempunyai vaskularisasi baik, misalnya otak,

tulang, ginjal dan paru, terutama di apeks paru atau lobus atas paru. Di berbagai lokasi

tersebut, kuman TB akan bereplikasi dan membentuk koloni kuman sebelum

terbentuk imunitas seluler yang akan membatasi pertumbuhannya.

Di dalam koloni yang sempat terbentuk dan kemudian dibatasi

pertumbuhannya oleh imunitas seluler, kuman tetap hidup dalam bentuk dormant.

Fokus ini umumnya tidak langsung berlanjut menjadi penyakit, tetapi berpotensi

untuk menjadi fokus reaktivasi. Fokus potensial di apeks paru disebuut sebagai fokus

SIMON. Bertahun-tahun kemdian, bila daya tahan tubuh penjamu (host) menurun,

fokus TB ini dapat mengalami reaktivasi dan menjadi penyakit TB di organ terkait,

misalnya meningitis TB, TB tulang dan lain-lain.

Bentuk penyebaran hematogen yang lain adalah penyebaran hematogenik

generalisata akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini, sejumlah

besar kuman TB masuk dan beredar dalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini

dapat menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit TB secara akut, yang

6
disebut TB diseminata. TB diseminata ini timbul dalam waktu 2 – 6 bulan setelah

terjadi infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi kuman TB

yang beredar serta frekuensi berulangnya penyebaran. Tuberkulosis diseminata terjadi

karena tidak adekuatnya sstem imun penjamu (host) dalam mengatasi infeksi TB,

misalnya pada balita.

Tuberkulosis milier merupaka hasil dari acute generalized hematogenic

spread dengan jumlah kuman yang besar. Seua tuberkel yang dihasilkan melalui cara

ini akan mempunyai ukuran yang lebih kurang sama. Istilah milier berasal dari

gambaran lesi diseminata yang menyerupai butir padi-padian (miller seed). Secara

patologi anatomik, lesi ini berupa nodul kuning berukuran 1 – 3 mm, yang secara

histologi merupakan granuloma.

Bentuk penyebaran hematogen yang jarang terjadi adalah protracted

hematogenic spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu fokus perkijuan

menyebar ke saluran vaskular di dekatnya, sehingga sejumlah kuman TB akan masuk

dan beredar di dalam darah. Secara klinis, sakit TB akibat penyebaran tipe ini tidak

dapat dibedakan dengan acute generalized hematogenic spread. Hal ini dapat terjadi

secara berulang.

Pada anak, 5 tahun pertama setelah infeksi (terutama 1 tahun pertama),

biasanya sering terjadi komplikasi. Menurut Wallgren, ada 3 bentuk dasar TB paru

pada anak, yaitu penyebaran limfohematogen, TB endobronkial dan TB paru kronik.

Sebanyak 0,5 – 3 % penyebaran limfohematogen akan menjadi TB millier atau

meningitis TB, hal ini biasanya terjadi 3 – 6 bulan setelah infeksi primer.

Tuberkulosis endobronkial (lesi segmental yang timbul akibat pembesaran kelenjar

regional) dapat terjadi dalam waktu yang lebih lama (3 – 9 bulan). Tejadinya TB paru

kronik sangat bervariasi, bergantung pada usia terjadinya infeksi primer. TB paru

7
kronik biasanya terjadi akibat reaktivasi kuman di dalam lesi yang tidak mengalami

resolusi sempurna. Reaktivasi ini jarag terjadi pada anak-anak, tetapi sering pada

remaja dan dewasa muda.

Tuberkulosis esktrapulmonal dapat terjadi pada 25 – 30 % anak yang

terinfeksi TB. TB tulang dan sendi terjadi pada 5 – 10 % anak yang terinfeksi, dan

paling banyak terjadi dalam 1 tahun tetapi dapat juga 2 – 3 tahun kemudian. TB ginjal

biasanya terjadi 5 – 25 tahun setelah infeksi primer.

D. KLASIFIKASI

Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi dari penyakit :

1) Tuberkulosis paru :

a) Adalah TB yang terjadi pada parenkim (jaringan) paru. TB milier dianggap

sebagai TB paru karena adanya lesi pada jaringan paru.

8
b) Limfadenitis TB di rongga dada (hillus dan atau mediastinum) atau efusi

pleura tanpa terdapat gambaran radiologis yang mendukung TB pada paru,

dinyatakan sebagai TB ekstra paru

c) Pasien yang menderita TB paru dan sekaligus juga menderita TB ekstra paru,

diklasifikasikan sebagai pasien TB paru

2) Tuberkulosis ekstra paru

a) Adalah TB yang terjadi pada organ selain paru, misalnya : pleura, kelenjar

limfe, abdomen, saluran kencing, kulit, sendi, selaput otak, dan tulang

b) Diagnosis TB ekstra paru dapat ditetapkan berdasarkan hasil pemeriksaan

bakteriologis atau klinis. Diagnosis TB ekstra paru harus diupayakan

berdasarkan penemuan Mycobacterium tuberculosis.

c) Pasien TB ekstra paru yang menderita TB pada beberapa organ ,

diklasifikasikan sebagai pasien TB ekstra paru pada organ menunjukkan

gambaran TB yang terberat (Depkes RI, 2016)

Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya :

1) Pasien baru TB : adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau

sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu atau <28 dosis).

2) Pasien yang pernah diobati TB : adalah pasien yang sebelumnya pernah menelan

obat OAT selama 1 bulan atau lebih (≥ dari 28 dosis). Pasien ini selanjutnya

diklasifikasikan berdasarkan hasil pengobatan TB terakhir yaitu :

a) Kasus Kambuh (Relaps) : adalah pasien TB yang sebelumnya pernah

mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau

pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau

kultur).

9
b) Kasus Putus Berobat (Default/Drop Out/DO): adalah pasien TB yang telah

berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.

c) Kasus Gagal (Failure): adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap

positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama

pengobatan.

d) Kasus lain : adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas.

Dalam kelompok ini termasuk Kasus Kronik, yaitu pasien dengan hasil

pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan.

3) Pasien yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak diketahui : adalah pasien TB

yang tidak masuk dalam kelompok diatas (Depkes RI, 2016)

Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat

Pengelompokkan pasien disini berdasarkan hasil uji kepekaan contoh uji dari

Mycobacterium Tuberculosis terhadap OAT dan dapat berupa :

1) Mono resistan (TB MR) : resistan terhadap salah satu jenis OAT lini pertama saja

2) Poli resistan (TB PR) : resistan terhadap lebih dari satu jenis OAT lini pertama

selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan

3) Multi drug resistant (TB MDR) : resistan terhadap Isoniazid (H) dan Rifampisin

(R) secara bersamaan

4) Extensive drug resistant (TB XDR) : TB MDR yang sekaligus juga resistan

terhadap salah satu OAT golongan florokuinolon dan minimal salah satu dari

OAT lini kedua jenis suntikan (Kanamisin, Kapreomisin dan Amikasin)

5) Resistan Rifampisin (TB RR) : resistan terhadap Rifampisin dengan atau tanpa

resistensi terhadap OAT lain yang terdeteksi menggunakan metode genotip (tes

cepat) atau metode fenotip (konvensional) (Depkes RI, 2014)

10
Klasifikasi TB Paru berdasarkan Dahak

1) Tuberkulosis paru BTA positif

a) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.

b) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada

menunjukkan gambaran tuberkulosis.

c) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif. d)

1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS

pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan

setelah pemberian antibiotika non OAT.

2) Tuberkulosis paru BTA negative : kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB

paru BTA positif. Kriteria diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi:

a) Minimal 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negative

b) Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberculosis

c) Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.

d) Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan (WHO,

2014)

E. EPIDEMIOLOGI

Laporan mengenai TB anak jarang didapatkan. Diperkirakan jumlah TB anak

per tahun adalah 5-6% dari total kasus TB (IDAI). TB pada anak terjadi pada usia 0-

14 tahun. Di negara-negara berkembang jumlah anak berusia kurang dari 15 tahun

adalah 40-50% dari seluruh populasi umum dan terdapat sekitar 500.000 anak di

dunia yang menderita TB tiap tahun. (Depkes, 2016). Proporsi kasus TB anak

diantara semua kasus TB di Indonesia pada tahun 2010 adalah 9,4 % kemudian

menjadi 8,5% pada tahun 2011. 8,2% pada tahun 2012, 7,9 % pada tahun 2013,

11
7,16% pada tahun 2014, dan 9% pada tahun 2015. Variasi proporsi ini proporsi ini

mungkin menunjukkan endemisitas yang berbeda antar provinsi dari 1,2% sampai

17,3%. Variasi proporsi ini mungkin menunjukkan endemisitas yang berbeda antar

provinsi, tetapi bisa juga karena perbedaan kualitas diagnosis TB anak pada level

provinsi (Depkes RI, 2014).

F. MANIFESTASI KLINIS

1. Manifestasi sistemik (umum/nonspesifik) (IDAI, 2015)


 Demam lama ≥ 2 mingu dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas (bukan tifoid, isk,
malaria dan lain-lain), yang dapat disertai keringat malam, demam umumnya tidak
tinggi
 Batuk lama lebih dari 3 minggu dan sebab lain telah disingkirkan
 Berat badan turun tanpa sebba yang jelas, atau tidak naik dalam 1 bulan dengan
penangana gizi yang adekuat
 Nafsu makan tidak ada (anoreksia) dengan gagal tumbuh dan BB tidak naik dengan
adekuat (failure to thrive)
 Lesu dan malaise
 Diare persisten yang tidak sembuh dengan pengobatan baku diare.

2. Manifestasi spesifik organ/lokal (Depkes RI, 2016)

Manifestasi klinis spesifik bergantung pada organ yang terkena, yaitu :

1. Tuberkulosis kelenjar
a. Biasanya di daerah leher (regio colli anterior atau posterior)

b. Pembesaran kelenjar getah bening (KGB) tidak nyeri, tidak hangat, mudah

digerakkan, konsistensi kenyal, multiple dan kadang saling melekat (konfluens)

c. Ukuran besar (lebih dari 2x2 cm), biasanya pembesaran KGB terlihat jelas, bukan

hanya teraba.

d. Tidak berespon terhadap pemberian antibiotika

e. Bisa terbentuk rongga dan discharge

12
2. Tuberkulosis sistem saraf pusat

a. Meningitis TB

Gejala-gejala meningitis dengan seringkali disertai gejala akibat keterlibatan

saraf-saraf otak yang terkena. Gejala klinis berupa nyeri kepala, penurunan

kesadaran, kaku kuduk, muntah proyektil dan kejang

b. Tuberkuloma otak

Gejala-gejala sesuai dengan lokasi lesi yang menyebabkan proses desak ruang

3. Tuberkulosis sistem skeletal

a. Tulang belakang (spondilitis) : Penonjolan tulang belakang (gibbus)

b. Tulang panggul (koksitis) : pincang, gangguan berjalan, atau tanda peradangan di

daerah panggul

c. Tulang lutut (gonitis) : pincang dan/atau bengkak pada lutut tanpa sebab yang

jelas

d. Tulang kaki dan tangan (spina ventosa/daktilitis)

4. Tuberkulosis mata

a. Konjungtivitis fliktenularis (conjungtivitis phlyctenularis)

b. Tuberkel koroid (hanya terlihat dengan fundoskopi)

5. Tuberkulosis kulit (skrofuloderma)

Ditandai dengan adanya ulkus disertai dengan jembatan kulit antar tepi ulkus (skin

bridge)

6. Tuberkulosis organ-organ lainnya, misalnya peritonitis TB, TB ginjal ; dicurigai bila

ditemukan gejala gangguan pada organ-organ tersebut tanpa sebab yang jelas dan

disertai kecurigaan adanya infeksi TB (Depkes RI, 2016)

13
G. DIAGNOSIS

Diagnosis pati TB ditegakkan dengan ditemukan M. tuberculosis pda


pemeriksaan sputum, bilas lambung, caairan serebrospinal (CSS), cairan pleura atau
biopsies jaringan. Pada anak kesulitan menegakkan diagnosis karena dua hal yaitu
sedikitnya jumlah kuman (paucibacillary) dan sulitnya pengambilan specimen
(sputum) (IDAI, 2015).
Penyebab pertama, yaitu jumlah kuman TB di secret bronkus pasien anak
lebih sedikit daripada dewasa, karena lokasi kerusakan jaringan TB paru primer
terletak di kelenjar limfe hilum dan parenkim paru bagian perifer. Selain itu, tingkat
kerusakan parenkim paru tidak seberat pasien dewasa. Basil tahan asam baru dapat
mikroskop bila jumlahnya paling sedikit 5.000 kuman dalam 1 ml specimen (IDAI,
2015) .
Penyebab kedua, yaitu sulitnya melakukan pengambilan spesimen/sputum.
Pada anak, karena lokasi kelainannya di parenkim yang tidak berhubungan langsung
dengan bronkus, maka produksi sputum tidak ada/minimal dan gejala batuk juga
jarang. Sputum yang representatif untuk dilakukan pemeriksaan mikroskopis adalah
sputum yang kental dan purulen, berwarna hijau kekuningan dengan volume 3-5 ml,
dan ini sulit diperoleh pada anak. Walaupun batuknya berdahak, pada anak biasanya
dahak akan ditelan, sehingga diperlukan bilas lambung yang diambil melalui
nasogastric tube (NGT), dan sebaiknya dilakukan oleh petugas berpengalaman. Cara
ini tidak nyaman bagi pasien (IDAI, 2015).
Beberapa alasan di atas menyebabkan diagnosis TB anak terutama didasarkan
pada penemuan klinis dan radiologis, yang keduanya seringkali tidak spesifik.
Diagnosis TB anak ditentukan berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan
penunjang seperti uji tuberkulin, foto toraks, dan pemeriksaan laboratorium. Adanya
riwayat kontak dengan pasien TB dewasa BTA positif, uji tuberkulin positif, gejala
dan tanda sugestif TB, dan foto toraks yang mengarah pada TB (sugestif TB),
merupakan dasar untuk menyatakan anak sakit TB (IDAI, 2015).

Jenis Lesi TB Paru (IDAI, 2015)

Kelenjar Limfe Hilus, paratrakeal, mediastinum


Parenkim Focus infeksi, pneumonia, atelektasis, tuberkuloma, kavitas
Saluran napas Air trapping, penyakit endobronkial, trakeobronkitis, stenosis bronkus,

14
fistula bronkopleura, bronkiektasis, fistula bronkoesofagus
Pleura Efusi pleura, fistula bronkopleura, empiema, pneumotoraks, hematotoraks
Pembuluh Milier, perdarahan paru
darah

Pemeriksaan fisik

Pada pemeriksaan fisik kelainan yang akan dijumpai tergantung dari organ yang

terlibat. Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur

paru. Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali)

menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior

terutama daerah apex dan segmen posterior , serta daerah apex lobus inferior. Pada

pemeriksaan fisik dapat ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas

melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma & mediastinum. Pada

pleuritis tuberkulosa, kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari banyaknya cairan di

rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada auskultasi suara napas yang melemah

sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan. Pada limfadenitis tuberkulosa,

terlihat pembesaran kelenjar getah bening, tersering di daerah leher (pikirkan

kemungkinan metastasis tumor), kadang-kadang di daerah ketiak. Pembesaran kelenjar

tersebut dapat menjadi “cold abscess (Konsensus TB, 2017).

Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan Bakteriologis

Pemeriksaan bakteriologis adalah pemeriksaan yang penting untuk menentukan

diagnosis TB, baik pada anak maupun dewasa. Pemeriksaan sputum pada anak

terutama dilakukan pada anak berusia lebih dari 5 tahun, HIV + dan gambaran

kelainan paru luas. Namun demikian, karena kesulitan pengambilan sputum pada

anak dan sifat pausibasiler pada TB anak, pemeriksaan bakteriologis selama ini tidak

15
dilakukan secara rutin pada anak yang dicurigai sakit TB. Cara mendapatkan sputum

pada anak (N AK, DAE, 2005; Depkes RI, 2014) :

a. Berdahak

Pada anak lebih dari 5 tahun biasanya sudah dapat mengeluarkan

sputum/dahak secara langsung dengan berdahak.

b. Bilas Lambung

Bilas lambung dengan NGT (Nasogastric tube) dapat dilakukan pada anak

yang tidak dapat mengeluarkan dahak.Dianjurkan specimen dikumpulkan

minimal 2 hari berturut-turut pada pagi hari.

c. Induksi Sputum

Induksi sputum relative aman dan efektif untuk dikerjakan pada anak semua

umur, dengan hasil yang lebih baik dari aspirasi lambung, terutama apabila

menggunakan lebih dari 1 sampel. Metode ini bisa dikerjakan secara rawat

jalan, tetapi diperlukan pelatihan dan peralatan yang memadai untuk

melakukan metode ini.

Prosedur Induksi Sputum :

1) Alat dan Bahan :

- Alat nebulizer jet

- Masker inhalasi anak

- Pulse oxymetri

- Larutan NaCl 3%

- Larutan Salbutamol untuk inhalasi

- Larutan NaCl 0,9% 25 ml

- Pot sputum

- Mucous extractor

16
- Spuit 3 cc

- Sarung tangan

- Alcohol based hand rub

2) Cara Kerja :

- Persiapkan alat dan bahan

- Anak diberitahu harus puasa 3 jam sebelumnya untuk mengurangi

resiko muntah

- Sebelum prosedur dimulai, ukur saaturasi oksigen dengan pulse

oximetry. Prosedur selanjutnya dilakukan jika SpO2 > 92%.

Selanjutnya pantau terus SpO2 selama prosedur induksi sputum.

- Gunakan sarung tangan

- Bersihkan mulut anak dengan sikat gigi tanpa pasta gigi, berkumur,

atau dengan kassa bersih untuk mengurangi kontaminasi

- Inhalasi anak dengan larutan Salbutamol 2 mL ditambahkan NaCl

0,9% hingga volume total 5 mL pada cawan inhalasi selama 15

menit

- Lanjutkan inhalasi dengan NaCl 3% sebanyak 5 mL selama 15

menit

- Lakukan pijatan dengan menekan pelan dada anak untuk

membantu mobilisasi sputum

- Pengambilan sputum

a) Pada anak usia < 6 tahun :

- Sambungkan mucous extractor dengan alat penghisap atau

suction

17
- Tahan kepala anak saat dilakukan penghisapan dengan

mucous extractor supaya tidak terdorong ke belakang dan

mempersulit penghisapan sputum

- Sputum dihisap dengan mucous extractor dari rongga mulut

dan hidung dengan selang yang berbeda

- Penghisapan dilakukan 2 kali hingga terkumpul dalam 2

wadah mucous extractor

b) Pada anak usia ≥ 6 tahun :

- Minta anak berkumur untuk membersihkan mulut kemudian

memegang pot sputum

- Pandu anak untuk mengambil nafas dalam sebanyak 2 kali,

tahan napas beberapa detik setiap sesudah menarik napas,

kemudian hembuskan napas perlahan

- Minta anak untuk menarik napas ketiga kalinya, kemudian

hembuskan napas kuat-kuat

- Minta anak untuk menarik napas sekali lagi, lalu batukkan

hingga dapat mengeluarkan sputum yang berada jauh di

dalam paru

- Minta anak untuk memegang pot sputum dekat dengan bibir

dan mengeluarkan sputum ke dalam wadah setelah batuk

hingga volume sputum dinilai cukup dalam 2 pot sputum

yang berbeda

- Cara batuk dapat diulang kembali bila volume sputum

belum mencukupi

18
- Setelah selesai, segera bawa specimen ke laboratorium

dalam waktu 1 jam

Beberapa pemeriksaan bakteriologis untuk TB :

1) Pemeriksaan mikroskopis BTA sputum atau specimen lain (cairan

tubuh atau jaringan biopsy) : pemeriksaan BTA sputum sebaiknya

dilakukan minimal 2 kali yaitu sewaktu dan pagi hari.

2) Tes Cepat Molekuler (TCM) TB : pemeriksaan TCM digunakan untuk

mendeteksi kuman Mycobacterium tuberculosis secara molecular

sekaligus menentukan ada tidaknya resistensi terhadap Rifampicin.

Pemeriksaan TCM mempunyai nilai diagnostic yang lebih baik dari

pemeriksaan mikroskopis sputum, tetapi masih di bawah uji biakan.

Hasil negative TCM tidak menyingkirkan diagnosis TB.

3) Pemeriksaan Biakan : baku emas diagnosis TB adalah dengan

menemukan kuman penyebab TB yaitu kuman Mycobacterium

tuberculosis pada pemeriksaan biakan. Pemeriksaan biakan sputum dan

uji kepekaan obat dilakukan jika fasilitas tersedia (Depkes RI, 2014).

2. Uji Tuberkulin

Uji tuberculin bermanfaat untuk membantu menegakkan diagnosis TB pada

anak, khususnya jika riwayat kontak dengan pasien TB tidak jelas. Uji tuberculin

tidak bisa membedakan antara infeksi dan sakit TB. Hasil positif uji tuberculin

menunjukkan adanya infeksi dan tidak menunjukkan ada tidaknya sakit TB.

Sebaliknya hasil negative uji tuberculin belum tentu menyingkirkan diagnosis TB.

Prosedur Uji Tuberkulin :

1) Alat dan Bahan :

- Kapas alcohol

19
- Larutan PPD RT 23 – 2 TU atau PPD – S 5 TU

- Disposable tuberculin syringe

- Jarum suntik 26-27 G

- Medical disposal box

- Non-Medical disposal box

- Alcohol based hand rub

- Penggaris transparan

- Pen

2) Cara Kerja :

- Ambil 0,1 mL larutan PPD RT – 23 2 TU solution atau PPD – S 5 TU ke

dalam disposable tuberculin syringe

- Ganti jarum suntik dengan yang baru (ukuran 26-27 G)

- Apus daerah yang akan dilakukan penyuntikan (permukaan volar lengan

bawah 5-10 cm dibawah lipat siku) dengan kapas yang dibasahi alkohol 70%.

Pilih area kulit yang tidak ada kelainan

- Regangkan permukaan kulit

- Suntikan jarum dengan hati-hati secara inttrakutan dengan bevel jarum

menghadap ke atas pada sudut 5-15° . bevel jarum harus tampak dibawah

permukaan kulit

- Periksa tempat suntikan. Jika benar akan timbul wheal 6-10 mm pada tempat

suntikan. Jika tidak, lakukan penyuntikan ulang di tempat lain dengan jarak 5

cm dari tempat semula

- Keluarkan jarum. Masukkan jarum dan syringe pada disposal box

- Catat waktu (tanggal dan jam) dan lokasi penyuntikan pada rekam medis

20
- Beri penjelasan kepada orangtua agar membawa kembali anak pada 48-72 jam

setelah penyuntikan untuk pembacaan uji tuberculin

3) Cara pembacaan uji tuberculin :

- Metode palpasi → palpasi/raba tepi lateral indurasi kemudian beri tanda

dengan pena

- Metode ballpoint → tentukan tepi lateral indurasi dengan menggunakan pena

- Kemudian ukur diameter transversal indurasi dengan menggunakan penggaris

transparan dalam millimeter

- Catat hasil pembacaan pada buku rekam medis. Jika terdapat indurasi catat

sebagai 0 mm

- Interpretasi hasil :

 Imunokompeten → POSITIF bila indurasi ≥ 10 mm

 Imunokompromise → POSITIF bila imdurasi ≥ 5 mm

Gambar : Uji Tuberkulin

21
3. Foto Thorax

Foto thorax merupakan pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis TB pada

anak. Namun gambaran foto thorax pada TB tidak khas kecuali gambaran TB milier.

Secara umum, gambaran radiologis yang menunjang TB adalah sebagai berikut :

a. Pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat (visualisasinya

selain dengan foto thorax AP, harus disertai foto thorax lateral)

b. Konsolidasi segmental/lobar

c. Kalsifikasi dengan infiltrate

d. Efusi pleura

Gambar : TB Paru dengan Efusi Pleura

22
e. Milier

Gambar : TB Milier

f. Atelektasis

Gambar 10. Atelektasis

23
g. Kavitas

Gambar : Kavitas

4. Interferon Gamma Release Assays (IGRA)

Interferon Gamma Release Assays adalah uji laboratorium diagnostik in vitro

dengan metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) yang mengukur reaksi

pembentukan interferon-γ dalam darah pasien dikaitkan dengan infeksi kuman MTB.

Kelebihan IGRA dibandingkan dengan uji tuberkulin adalah kemampuannya untuk

membedakan antara infeksi akibat MTB dan infeksi akibat Mycobacterium other than

tuberculosis (MOTT), yang merupakan penyebab positif palsu pada uji tuberkulin.

Terdapat 2 jenis pemeriksaan IGRA yaitu Quantiferon-TB dan T-SPOT.Nilai

sensitivitas Quantiferon untuk menentukan adanya infeksi TB sebesar 91%,

sedangkan nilai sensitivitas T-SPOT sebesar 84%.Nilai spesifitas Quantiferon sebesar

99%, sedangkan T-SPOT sebesar 88%. WHO merekomendasikan penggunaan uji

tuberkulin maupun IGRA untuk menegakkan diagnosis ILTB di negara

berpenghasilan tinggi dan menengah ke atas dengan angka kejadian TB yang rendah

(estimasi kejadian TB kurang dari 100 per 100.000 penduduk). Untuk negara dengan

24
penghasilan rendah dan menengah dengan angka kejadian TB yang tinggi, IGRA

seharusnya tidak menggantikan uji tuberkulin (Depkes RI, 2014) .

5. Sistem Skoring TB

Tabel 1. Sistem Skoring TB

Parameter Sistem Skoring :

a. Kontak dengan pasien TB BTA positif diberi skor 3 bila ada bukti tertulis

hasil laboratorium BTA dari sumber penularan yang bisa diperoleh dari

TB 01 atau dari hasil laboratorium.

b. Penentuan status gizi :

- Berat badan dan panjang/tinggi badan dinilai saat pasien datang.

- Dilakukan dengan parameter BB/TB atau BB/U. Penentuan status gizi

untuk anak usia ≤ 6 tahun merujuk pada buku KIA Kemenkes 2016,

sedangkan untuk anak usia > 6 tahun merujuk pada standar WHO 2005

yaitu grafik IMT/U.

25
- Bila BB kurang, diberikan upaya perbaikan gizi dan dievaluasi selama

1-2 bulan (Depkes RI, 2016).

H. TATALAKSANA

1. Medikamentosa

Obat TB utama saat ini adalah rifampisin (R ), Isoniazid (H), Pirazinamid (Z),

Etambutol (E), dan Streptomizin (S). Obat TB lain (Second line) adalah

paraaminosalisilic acid (PAS), Cycloserin terizidone, ciprofloxacin, kanamycin,

amikacin, dan capreomycin yang digunakan bila terjadi MDR.

a. Isoniasid

Diberikan secara oral. Indikasi dari isoniazid adalah tuberkulosis

dalam kombinasi dengan obat lain, sedangkan kontraindikasinya adalah

penyakit hati yang aktif, hipersensitifitas terhadap isoniazid dan neuritis

perifer. Efek samping dari isoniazid adalah mual, muntah, neuritis perifer,

neuritis optic, kejang, demam, purpura, hiperglikemia, dan ginekomastia.

Dosis isoniazid 5mg/kg (4-6mg/kg) per hari, maksimum 300mg/hari dan

diberikan dalam satu kali pemberian. Isoniazid yang tersedia umumnya dalam

bentuk tablet 100mg dan 300mg dan dalam bentuk sirup 100mg/5ml. Sediaan

dalam bentuk sirup umunya tidak stabil sehingga tidak dianjurkan

penggunaannya. Isoniazid berinteraksi dengan anestetik yaitu hepatotoksik

mungkin di potensi oleh isofluran. Aluminium hidroksida yaitu gel yang dapat

menurunkan absobsi isoniazid dan mungkin dapat meningkatkan kadar plasma

theofilin (Rahajoe, 2015).

b. Rifampisin

Rifampisin menghambat mekanisme kerja RNA-polimerase yang

tergantung pada DNA dari mikrobakteri dan beberapa mikroorganisme.

26
Penggunaan pada konsentrasi tinggi untuk menginsibisi enzim bakteri dapat

pula sekaligus menghinsibisi sintesis RNA dalam mitokondria mamalia.

Indikasi dari rifampisin adalah tuberkulosis dan lepra sedangkan

kontraindikasinya tidak boleh digunakan pada keadaan sirosis, insufisiensi

hati, pecandu alkohol dan pada kehamilan muda. Efek samping pada

rifampisin adalah gangguan saluran cerna, terjadi sindrom influenza,

gangguan respirasi, udem, kelemahan otot, gangguan menstruasi, warna

kemerahan pada urin (Anonim, 2002). Dosis rifampisin dalam bentuk oral 10-

20 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 600 mg/hari, dengan dosis satu kali

pemberian perhari. Jika diberikan bersamaan dengan isoniazid 10mg/kgBB/

hari.Rifampisin umumnya tersedia dalam sediaan kapsul 150mg, 300mg,

450mg sehingga kurang sesuai untuk anak-anak dengan berbagai kisaran BB

(Rahajoe, 2015).

c. Pirazinamid

Pirazinamid ini bekerja sebagai bakterisida (pada suasana asam ph 5-6)

atau bakteriostatis, tergantung pada PH dan kadarnya di dalam darah.

Pirazinamid dengan spektrum kerjanya sangat sempit dan hanya meliputi M.

tuberculosis, berdasarkan pengubahanya menjadi asam pirazinat oleh enzim

pyrazinamidase yang berasal dari basil TBC. Begitu PH dalam makrograf

diturunkan, maka kuman yang berada di sarang infeksi yang menjadi asam

akan mati (Tjay dan Rahardja, 2007). Indikasi dari pirazinamid adalah

tuberkulosis dalam kombinasi dengan obat lain sedangkan kontraindikasi

gangguan fungsi hati, gangguan fungsi ginjal, diabetes. Dosis pirazinamid

secara oral 15-30mg/ kgBB/hari dengan dosis maksimal 2 gram/hari.

Penggunaan pirazinamid aman pada anak. Pirazinamid tersedia dalam bentuk

27
tablet 500mg tetapu seperti isoniazid dapat digerus dan diberikan bersamaan

dengan makanan. Efek samping dari pirazinamid adalah hepatotoksisitas,

temasuk demam anoreksia, hepatomegali, ikterus, gagal hati, mual, muntah,

artlagia, anemia, urtikaria (Rahajoe, 2015).

d. Etambutol

Dengan mekanisme kerjanya adalah penghambatan sintesa RNA pada

kuman yang sedang membelah, juga menghindarkan terbentuknya mycolic

acid pada dinding sel (Tjay dan Rahardja, 2007). Indikasi dari etambutanol

adalah tuberkulosis dalam kombinasi dengan obat lain, kemungkinan

toksisitas utama adalah neuritis opticdan buta warna merah-hijau sehingga

seringkali penggunaanya dihindari pada anak yang belum dapat diperiksa

tajam penglihatan. Dosis yang diberikan untuk etambutol adalah oral sehari

pakai 15-20mg/kg/hari maksimal 1,25 gram/ hari dengan dosis tunggal

(Rahajoe, 2015).

e. Streptomisin

Streptomisin bersifat bakterisid dan bakteriostatik terhadap kuman

ekstraseluler pada keadaan basal dan netral sehingga tidak efektif untuk

membunuh kuman intraseluler. Streptomisin jarang digunakan untuk

pengobatan TB tetapi penggunaanya penting untuk pengobatan fase intensif

meningitis TB dan MDR-TB. Streptomisin diberikan secara Intramuscular

dengan dosis 15-40mg/kgBB/hari maksimal 1gram/hari. Toksisitas utama

terjadi pada nervus kranialis VIII yang menganggu keseimbangan dan

pendengaran dengan gejala tinnitus dm pusing (Rahajoe, 2015).

28
1) Panduan Obat TB

Pengobatan TB dibagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2 bulan pertama)

dan sisanya sebagai fase lanjutan. Pemberian obat jangka panjang selain untuk

membunuh kuman juga untuk mengurangi kemungkinan relaps. OAT pada anak

diberikan setiap hari pada fase intensif diberikan rifampisin, isoniazid, dan

pirazinamid sedangkan pada fase lanjutan hanya diberikan rifampisin dan

isoniazid. Pada TB berat seperti milier, meningitis TB, TB skeletal, pada fase

intensif diberikan minimal 4 macam obat (rifampisin, isoniazid, pirazinamid, dan

etambutol) dan fase lanjutan diberikan rifampisin dan isoniazid selama 10 bulan.

Untuk kasus tertentu yaitu meningitis TB, TB milier, efusi pleura TB, perikarditis

TB, TB endobronkial, dan peritonitis TB dapat diberikan kortikosteroid

(prednisone) dengan dosis 1-2mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis, maksimal

60mg dalam 1 hari. Lama pemberian kortikosteroid adalah 2-4 minggu dengan

dosis penuh, dilanjutkan tapering off selama 1-2 minggu (Rahajoe, 2015).

Tabel 2.2 Panduan obat tuberculosis

29
2) Fixed Dose Combination (FDC)

Keuntungan penggunaan FDC adalah menyederhankan pengobatan, dan

mengurangi kesalahan penulisan resep. Mengurangi kesalahan penggunaan obat

TB (monoterapi) sehingga mengurangi resistensi terhadap pengobatan TB.

3) Evaluasi Hasil Pengobatan

Sebaiknya control setiap bulan untuk menilai perkembangan hasil terapi

memantau timbulnya efek samping obat. Evaluasi pengobatan dilakukan dalam

berbagai cara yaitu evaluasi klinis yaitu menghilang atau membaiknya kelainan

klinis yang sebelumnya ada pada awal pengobatan misalnya penambahan BB

yang bermakna, hilangnya demam, hilangnya batuk, perbaikan nafsu makan.

Apabila respon baik maka pengobatan dilanjutkan. Evaluasi radiologis dalam 2-3

bulan pengobatan tidak perlu dilakukan secara rutin kecuali pada TB dengan

kelainan radiologis yang nyata seperti TB milier, efusi pleura atau

bronkopneumoni TB.

Apabila respon setelah 2 bulan kurang baik dan gejala masih ada dan tidak

terjadi penambahan BB maka OAT tetap diberikan sambil dilakukan evaluasi

lebih lanjut. Apakah ada misdiagnosis, mistreatment, atau resisten OAT. Bila

30
awalnya pasien di sarana kesehatan terbatas maka pasien dirujuk ke sarana yang

lebih tinggi atau konsultan respirologi anak (Rahajoe, 2015).

4) Evaluasi Efek Samping Pengobatan

Efek samping yang cukup sering adalah pada pemberian isoniazid dan

rifampisin adalah gangguan gastrointestinal, hepatotoksisitas, ruam dan gatal serta

demam. Hepatotoksik ditandai dengan peningkatan SGOT dan SGPT hingga ≥ 5

kali tanpa gejala atau ≥ 3 kali batas atas normal disertai dengan gejala,

peningkatan bilirubin total lebih dari 1,5 mg/dl, serta peningkatan SGOT/SGPT

dengan nilai berapapun yang disertai dengan ikterus, anoreksia, nausea, dan

muntah.

Apabila peningkatan SGOT dan SGPT hingga ≥ 5 kali tanpa gejala atau ≥ 3

kali batas atas normalmaka OAT dihentikan kemudian kadar enzim transamin

diperiksa lagi setelah 1 minggu penghentian. OAT diberikan kembali bila nilai

laboratorium normal. Terapi berikutnya dilakukan dengan cara memberikan

isoniazid dan rifampisin dengan dosis yang dinaikkan secara bertahap dan

dilakukan pemantauan klinis dan laboratorium (Rahajoe, 2015).

5) Putus Obat

Pasien putus obat apabila berhenti menjalani pengobatan selama ≥ 2

minggu, penanganan selanjutnya tergantung pada hasil evaluasi klinis saat pasien

datang kembali. Sudah berapa lama menjalani pengobatan dan berapa lama obat

telah terputus. Pasien perlu dirujuk untuk mendapat penanganan selanjutnya

(Rahajoe, 2015).

31
6) Multi Drug Resistance (MDR)

MDR TBC adalah isolat M. tuberculosis yang resistance terhadap dua atau

lebih OAT lini pertama, biasanya isoiazid dan rifampisin. Kejadian MDR sulit

ditentukan karena kultur sputum dan uji kepekaan obat tidak rutin dilaksanakan

ditempat-tempat dengan prevalensi TB tinggi (Rahajoe, 2015).

2. Non Medikamentosa

1) Pendekatan DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse )

DOTS adalah strategi yang telah direkomendasikan oleh WHO dalam

pelaksanaan program penanggulangan TBC. Penanggulangan dengan strategi

DOTS dapat memberikan angka kesembuhan yang tinggi. 5 komponen strategi

DOTS (Rahajoe, 2015) :

a. Komitmen politis dari para pengambil keputusan, termasuk dukungan dana.

b. Diagnosis TBC dengan pemeriksaan dahak mikroskopis

c. Pengobatan dengan panduan OAT jangka pendek dengan pengawasan

langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO)

d. Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek dengan mutu terjamin

e. Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan

evaluasi program penanggulangan TBC

2) Sumber Penularan dan Case Finding

Sumber penularan adalah orang dewasa yang menderita TBC aktif dan

melakukan kontak erat dengan anak tersebut. Pelacakan dilakuka dengan

pemeriksaan radiologis dan BTA sputum, lalu dicari pula anak lain

disekitarnya yang mungkin tertular dengan cara uji tuberculin.

Sebaliknya jika ditemukan pasien TBC dewasa aktif maka anak di

sekitarnya atau yang kontak erat harus ditelusuri ada atau tidaknya infeksi

32
tuberculosis. Pelacakan dilakukan dengan cara anamnesik, pemeriksaan fisik

dan penunjang yaiu uji tuberkulin.

3) Aspek Sosial Ekonomi

Pengobatan TB tidak lepas dari masalah sosio-ekonomik karena

memerlukan kesinambungan pengobatan jangka waktu yang cukup lama maka

memerlukan biaya yang cukup besar. Selain itu perlu penangan gizi yang baik.

Edukasi ditujukan untuk keluarga dan pasien dan keluarga agar mengetahui

tentang tuberkulosis. Pasien anak tidak perlu diisolasi karena sebagian besar

TBC anak tidak menularkan kepada anak yang lain (Rahajoe, 2015).

I. PENCEGAHAN

1. Imunisasi BCG

Imunisasi BCG dapat diberikan pada usia sebelum 2 bulan. Dosis untuk bayi

sebesar 0,05 ml dan untuk anak 0,10 ml. Diberikan intrakutan di daerah insersi

otot deltoid kanan (sebagai tanda baku). Bila BCG diberikan pada usia lebih dari

3 bulan, sebaiknya dilakukan uji tuberkulin lebih dulu. Kontraindikasi pemberian

imunisasi BCG adalah defisiensi imun, infeksi berat dan luka bakar (Rahajoe,

2015). .

2. Kemoprofilaksis

Kemoprofilaksis primer bertujuan untuk mencegah terjadinya infeksi TBC pada

anak , sedangkan kemoprofilaksis sekunder mencegah aktifnya infeksi sehingga

anak tidak sakit. Pada kemoprofilaksis primer diberikan INH dengan dosis 5-

10mg/kgBB/hari dosis tunggal pada anak yang kontak dengan TBC menular,

terutama BTA sputum positif tetapi belum terinfeksi ( uji tuberkulin negatif).

Obat dihentikan jika sumber kontak sudah tidak menular lagi dan anak ternyata

tidak terinfeksi (tes tuberkulin ulangan ). Kemoprofilaksis sekunder diberikan ada

33
anak yag telah terinfeksi tetapi belum sakit ditandai dengan uji tuberculin positif,

klinis dan radiologis normal (Rahajoe, 2015).

34
BAB III

KESIMPULAN

Tuberkulosis adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh kuman

mikobakterium tuberkulosa. Pada anamnesis yang sering didapat pada pasien TB

adalah pasien datang dengan batuk berdahak > 2 minggu. Batuk disertai dahak, dapat

bercampur darah atau batuk darah. Keluhan dapat disertai sesak nafas, nyeri dada

atau pleuritic chest pain (bila disertai peradangan pleura), badan lemah, nafsu makan

menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam tanpa kegiatan fisik dan

demam meriang lebih dari 1 bulan. Terdapat riwayat kontak dengan pasien TB paru

juga dapat mengarah ke diagnose TB anak. Obat TB utama saat ini adalah rifampisin

(R ), Isoniazid (H), Pirazinamid (Z), Etambutol (E), dan Streptomizin (S). Obat TB

lain (Second line) adalah paraaminosalisilic acid (PAS), Cycloserin terizidone,

ciprofloxacin, kanamycin, amikacin, dan capreomycin yang digunakan bila terjadi

MDR

35
DAFTAR PUSTAKA

1. Kementrian Kesehatan RI. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis,

Kementrian Kesehatan RI, 2014

2. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Petunjuk Teknis Manajemen dan

Tatalaksana TB Anak. Kementrian Kesehatan RI, 2016

3. Kementrian Kesehatan RI. Konsensus Pengelolaan Tuberkulosis dan Diabetes

Melitus (TB-DM), Kementrian Kesehatan RI, 2014

4. N AK, DA E. Tuberculosis. A manual for medical students. Paris : World Health

Organization Geneva/ International Union Against Tuberculosis and Lung

Disease Paris, 2005

5. World Health Organization. Guidance for national tuberculosis programmes on

the management of tuberculosis in children. 2nd ed. Geneva, Switzerland;

WHO, 2014.

6. Rahajoe, Nastiti. 2015. Buku Ajar Respirologi Anak Edisi Pertama. Jakarta :

Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia

7. Eddy, PS. Sejarah dan Epidemiologi Penyakit Tuberkulosis. Simposium

Tuberkulosis. Surabaya, Des. 1982 : 11-20.

8. Raviglione MC, Snider DE, Kochi Arata, Global Epidemiology of Tuberculosis

JAMA 1995 ; 273 : 220-26.

9. WHO.TB A Clinical manual for South East Asia. Geneva, 1997; 19-23.

10. Aditama T.Y. Tuberculosis Situation in Indonesia, Singapore, Brunei

Darussalam and in Philippines, Cermin Dunia Kedokteran 1993 ; 63 : 3 –7.

36

Anda mungkin juga menyukai