Anda di halaman 1dari 27

REFERAT

LEUKEMIA PADA ANAK

Disusun untuk Melaksanakan Tugas Kepaniteraan Klinik Lab/SMF


Ilmu Kesehatan Anak RSD dr. Soebandi Jember

Disusun oleh:
Ayu Lilyana Nuridah
212011101079

Dokter Pembimbing:
dr. B. Gebyar Tri Baskara, Sp.A
dr. Saraswati Dewi, Sp.A(K)
dr. Ali Shodikin, M.Kes, Sp.A

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER


KSM ILMU KESEHATAN ANAK
RSD DR. SOEBANDI JEMBER
2022

1
REFERAT
LEUKEMIA PADA ANAK

Disusun untuk Melaksanakan Tugas Kepaniteraan Klinik Lab/SMF


Ilmu Kesehatan Anak RSD dr. Soebandi Jember

Disusun oleh:
Ayu Lilyana Nuridah
212011101079

Dokter Pembimbing:
dr. B. Gebyar Tri Baskara, Sp.A
dr. Saraswati Dewi, Sp.A(K)
dr. Ali Shodikin, M.Kes, Sp.A

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER


KSM ILMU KESEHATAN ANAK
RSD DR. SOEBANDI JEMBER
2022
DAFTAR ISI

2
Halaman
HALAMAN SAMPUL................................................................................. i
HALAMAN JUDUL.................................................................................... ii
DAFTAR ISI................................................................................................. iii

BAB 1. PENDAHULUAN........................................................................... 1
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA.................................................................. 2
2.1 Definisi....................................................................................... 2
2.2 Tujuan......................................................................................... 2
2.3 Area............................................................................................ 2
2.4 Cara Pengisian............................................................................ 3
2.5 Interpretasi.................................................................................. 4
BAB 3. .......................................................................................................... 13
3.1 Identitas Pasien........................................................................... 13
3.2 Riwayat Penyakit........................................................................ 13
3.3 Pemeriksaan Fisik....................................................................... 13
3.4 Riwayat Kehamilan.................................................................... 14
3.5 Riwayat Persalinan..................................................................... 14
3.6 Status Gizi.................................................................................. 14
3.7 Implementasi Kuesioner............................................................. 15
3.8 Interpretasi Kuesioner................................................................ 23

DAFTAR PUSTAKA................................................................................... 24

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

3
Leukemia merupakan penyakit keganasan pada jaringan hematopoietik
yang ditandai dengan penggantian elemen sumsum tulang normal oleh sel darah
abnormal atau sel leukemik. Hal ini disebabkan oleh proliferasi tidak terkontrol
dari klon sel darah immatur yang berasal dari sel induk hematopoietik. Sel
leukemik tersebut juga ditemukan dalam darah perifer dan sering menginvasi
jaringan retikuloendotelial seperti limpa, hati dan kelenjar limfe (1).
Klasifikasi besar leukemia terbagi menjadi leukemia akut dan kronis.
Apabila populasi sel abnormal tidak matang, disebut dengan bentuk akut.
Sedangkan leukemia yang terdiri atas sel matang dinamakan leukemia kronis.
Leukemia akut dapat dibagi menjadi leukemia myelositik akut (LMA) dan
leukemia limfoblastik akut (LLA) (2).
Leukemia akut pada anak-anak mencakup 30%-40% dari keganasan pada
anak, yang dapat terjadi pada semua umur, insidens terbesar terjadi pada usia 2-5
tahun dengan insidens rata-rata 4-4,5 kasus/tahun/100.000 anak di bawah umur 15
tahun. Beberapa penelitian melaporkan bahwa proporsi pasien laki-laki lebih besar
dari pada perempuan, terutama terjadi setelah usia pertama kehidupan. Proporsi
tersebut menjadi lebih dominan pada usia 6-15 tahun. Pada keseluruhan kelompok
umur, rasio laki-laki dan wanita pada LLA adalah 1,15. Leukemia akut jenis LLA
(leukemia limfoblastik akut) terdapat pada ± 90% kasus, sisanya 10% merupakan
leukemia mieolobastik akut (LMA). Sedangkan leukemia limfositik kronik (LLK)
maupun eosinofilik, basofilik, megakariosit, dan eritroleukemia sangat jarang
terjadi pada anak-anak. Dikatakan bahwa angka kejadiannya di negara
berkembang kurang lebih sama yaitu berkisar antara 83% untuk LLA dan sisanya
17% untuk LMA (1).
Salah satu manifestasi klinis dari leukemia adalah perdarahan. Manifestasi
perdarahan yang paling sering ditemukan berupa petekie, purpura atau ekimosis,
yang terjadi pada 40 – 70% penderita leukemia akut. Lokasi perdarahan yang
paling sering adalah pada kulit, mata, membran mukosa hidung, ginggiva dan
saluran cerna. Perdarahan yang mengancam jiwa biasanya terjadi pada saluran
cerna dan sistem saraf pusat (1).

4
Untuk membantu menegakkan diagnosis perlu beberapa pemeriksaan
penunjang dengan peningkatan jumlah leukosit, tampak sel leukemia pada darah
tepi, sumsum tulang dan LCS, dan pemeriksaan sitogenetik. Diagnosis pasti
leukemia ditegakkan melalui aspirasi sumsum tulang yang akan memperlihatkan
keadaan yang hiperseluler dengan sel blas leukemik lebih dari 30%.
Pengobatan dengan kemoterapi bertujuan mengeradikasi sel blas dari
darah dan sumsum tulang untuk mencapai remisi, serta upaya profilaksis
terhadap relaps di SSP yang dilanjutkan dengan kemoterapi rumatan selama 2
tahun. Transplantasi sumsum tulang bisa dilakukan bila relaps gagal dengan
terapi konvensional. Prognosis leukemia tergantung dari respon terapi awal,
jumlah leukosit awal, usia dan jenis kelamin.4

BAB II

PEMBAHASAN

5
1. Definisi
Leukemia merupakan penyakit keganasan sel darah yang berasal dari
sumsum tulang, ditandai oleh proliferasi sel-sel darah putih, dengan manifestasi
adanya sel-sel abnormal dalam darah tepi. Pada leukemia ada gangguan
pengaturan sel leukosit. Leukosit dalam darah berpoliferasi secara tidak teratur
dan tidak terkendali dan fungsinyapun menjadi tidak normal. Leukimia akut
dibagi atas leukimia limfoblastik akut (LLA) dan leukemia mieloblastik akut
(LMA).

2. Epidemiologi
Leukemia akut pada anak mencapai 97% dari semua leukeia pada anak, dan
terdiri dari 2 tipe yaitu LLA 82% dan LMA 18%. Leukemia kronik mencapai
3% dari seluruh leukemia pada anak. Di RSU Dr.Sardjito LLA 97% , LMA 9%
dan sisanya leukemia kronik, sementara di RSU dr. Soetomo pada tahun 2002
LLA 88%, LMA 8% dan 4% leukemia kronik. Rasio lai-laki dan perempuan
adalah 1,15 untuk LLS dan mendekati 1 untuk LMA. Puncak kejadian pada
umur 2-5 tahun, spesifik untuk anak kulit putih dengan ALL, hal ini disebabkan
banyaknya kasus pre B-LLA pada rentang usia ini. Kejadian ini tidak tampak
pada kulit hitam. Kemungkinan puncak tersebut merupakan pengaruh faktor-
faktor lingkungan di negara industri yang belum diketahui

3. Etiologi
Kelompok penyakit keganasan yang diakibatkan oleh abnormalitas genetik
pada sel hematopoietik yang mengakibatkan proliferasi klonal sel darah. Progeni
sel tersebut memiliki kelainan komponen genetik sehingga kemampuan proliferasi
menjadi berlebihan, penurunan laju apoptosis spontan atau keduanya. Akibatnya
terdapat disrupsi fungsi sel sumsum tulang normal yang berakibat pada kegagalan
sumsum tulang.
Penyebab masih belum diketahui, namun anak dengan trisomi 21,
sindroma blooms, anemia fanconi, dan ataksia talangektasia, paparan radiasi dosis

6
tinggi memiliki resiko tinggi leukemia. Studi faktor lingkungan yang dilakukan
oleh Moskow pada 204 pasien dengan paparan maternal terhadap pestisida dan
produk minyak bumi menunjukkan hasil bahwa terjadi peningkatan resiko
leukemia pada janin. Beberapa kondisi perinatal merupakan faktor resiko
terjadinya leukemia pada anak (Cnattingius dkk, 1995). Faktor-faktor tersebut
adalah gagal ginjal pada ibu, penggunaan suplemen oksigen, asfiksia, BBL > 4500
gram, dan hipertensi saat hamil. Shu dkk (1996) melaporkan bahwa ibu hamil
yang mengkomsumsi alkohol meningkatkan risiko terjadinya leukemia pada bayi,
terutama LMA.

4. Patofisiologi
Sejumlah besar sel pertama menggumpal pada tempat asalnya (granulosit
dalam sumsum tulang, limfosit di dalam limfe node) dan menyebar ke organ
hematopoetik dan berlanjut ke organ yang lebih besar (splenomegali,
hepatomegali). Proliferasi dari satu jenis sel sering mengganggu produksi
normal sel hematopoetik lainnya dan mengarah ke pengembangan/pembelahan
sel yang cepat dan ke sitoenias (penurunan jumlah). Pembelahan dari sel darah
putih mengakibatkan menurunnya immunocompetence dengan meningkatnya
kemungkinan terjadi infeksi.5
Jika penyebab leukemia adalah virus, maka virus tersebut akan mudah
masuk ke dalam tubuh manusia, jika struktur antigen virus sesuai dengan
struktur antigen manusia. Begitu juga sebaliknya, bila tidak sesuai maka akan
ditolak oleh tubuh. Stuktur antigen manusia terbentuk oleh struktur antigen dari
berbagai alat tubuh terutama kulit dan selaput lendir yang terletak dipermukaan
tubuh. Istilah HL–A (Human Leucocyte Lotus-A) antigen terhadap jaringan
telah ditetapkan (WHO). Sistem HL–A individu ini diturunkan menurut hukum
genetika, sehingga adanya peranan faktor ras dan keluarga dalam etiologi
leukemia tidak dapat diabaikan. 5
Timbul disfungsi sumsum tulang, menyebabkan turunnya jumlah eritrosit,
neutrofil dan trombosit. Sel-sel leukemia menyusupi limfonodus, limfa, hati,
tulang, dan SPP. Di semua tipe leukimia, sel yang beproliferasi dapat menekan

7
produksi dan elemen di darah yang menyusup sumsum tulang dengan
berlomba-lomba untuk menghilangkan sel normal yang berfungsi sebagai
nutrisi untuk metabolisme. Tanda dan gejala dari leukemia merupakan hasil
dari infiltrasi sumsum tulang, dengan 3 manifestasi yaitu anemia dan
penurunan RBCs, infeksi dari neutropenia, dan pendarahan karena produksi
platelet yang menurun. Invasi sel leukemiayang berangsur-angsur pada
sumsum menimbulkan kelemahan pada tulang dan cenderung terjadi
fraktur, sehingga menimbullkan nyeri. Ginjal, hati, dan kelenjar limfe
mengalami pembesaran dan akhirnya fibrosis, leukemia juga berpengaruh
pada SSP dimana terjadi peningkatan tekanan intra kranial sehingga menye-
babkan nyeri pada kepala, letargi, penurunan kesadaran dan kaku kuduk.

Organ tubuh yang paling sering mengalami leukostasis adalah susunan


saraf pusat dan paru. Leukostasis akan menyebabkan perfusi yang buruk dan
terjadi hipoksia, metabolisme anaerob, asidosis laktat, akhirnya akan
menimbulkan kerusakan dinding pembuluh darah dan perdarahan. Bila
leukostasis terjadi pada susunan saraf pusat maka akan terdapat gejala klinis
berupa pusing, penglihatan kabur, tinitus, ataksia, delirium, perdarahan retina
dan perdarahan intra kranial. Penghancuran sel abnormal berlebihan pada
keadaan hiperleukositosis bisa berlangsung secara spontan atau setelah terapi
sitostatika. Pada keadaan ini harus dipantau terjadinya sindrom lisis tumor yang
dapat mengakibatkan gangguan metabolik dan gagal ginjal akut. Sindrom lisis
tumor dapat terjadi secara spontan, yaitu sebelum kemoterapi dimulai atau
sampai 5 hari setelah kemoterapi diberikan. Lisis sel tumor menyebabkan
terjadinya pelepasan kalium secara cepat, asam urat yang berasal dari asam
nukleat dan fosfat intraselular ke ekstraselular. Dengan demikian terjadilah
keadaan hiperkalemia, hiperurisemia, hiperfosfatemia dengan hipokalsemia
sekunder.5

8
5. Faktor risiko
Faktor risiko yang mempermudah terjadinya TB pada anak dibagi menjadi
factor risiko infeksi dan factor risiko progresi infeksi menjadi penyakit (risiko
penyakit) (Mansjoer,2000).

A. Risiko infeksi TB

Faktor risiko terjadinya infeksi TB antara lain adalah anak yang terpajan
dengan orang dewasa yang TB aktif (kontak TB positif), daerah endemis,
kemiskinan, lingkungan yang tidak sehat (hygiene dan sanitasi yang tidak baik),
dan tempat penampungan umum (panti asuhan, penjara, atau panti perawatan lain)
yang banyak pasien TB dewasa aktif. Sumber infeksi TB pada anak yang

9
terpenting adalah pajanan terhadap orang dewasa yang infeksius, terutama dengan
BTA (+). Berarti bayi dengan seorang ibu dengan BTA sputum (+) memiliki
risiko tinggi terinfeksi TB. Semakin erat bayi tersebut dengan ibunya, semakin
besar pula kemungkinan bayi tersebut terpajan droplet nuclei yang infeksius.
Risiko timbulnya transmisi kuman dari orang dewasa ke anak akan lebih tinggi
jika pasien dewasa tersebut mempunyai BTA sputum (+), infiltrate luas atau
kavitas pada lobus atas, produksi sputum banyak dan encer, batuk produktif dan
kuat, serta terdapat faktor lingkungan yang kurang sehat terutama sirkulasi udara
yang tidak baik.
Pasien TB anak jarang menularkan kuman pada anak lain atau orang
dewasa sekitarnya. Hal ini dikarenakan kuman TB sangat jarang ditemukan
didalam sekret endobronkial pasien anak. Ada beberapa hal yang dapat
menjelaskan hal tersebut. Pertama, kuman pada TB anak biasanya sedikit
(paucibacillary), tetapi karena imunitas anak masih lemah, jumlah yang sedikit
tersebut sudah mampu menyebabkan sakit. Kedua, lokasi infeksi primer yang
kemudian berkembang menjadi sakit TB primer biasanya terjadi di daerah
parenkim yang jauh dari bronkus, sehingga tidak terjadi produksi sputum. Ketiga,
tidak ada atau sedikitnya produksi sputum dan tidak terdapatnya reseptor batuk di
daerah parenkim menyebabkan jarangnya terdapat gejala batuk pada TB anak.

B. Risiko sakit TB

Anak yang telah terinfeksi TB tidak selalu akan mengalami sakit TB. Hal
ini dapat dipengaruhi oleh beberapa factor risiko. Faktor risiko yang pertama
adalah usia. Anak berusia ≤ 5 tahun mempunyai risiko lebih besar mengalami
progresi infeksi menjadi sakit TB karena imunitas selularnya belum berkembang
sempurna (immature). Akan tetapi, risiko sakit TB ini akan berkurang secara
bertahap seiring dengan pertambahan usia. Pada bayi yang terinfeksi TB, 43%
akan menjadi sakit TB, pada anak usia 1-5 tahun yang menjadi sakit hanya 24%,
pada usia remaja 15%, dan pada dewasa 5-10%. Anak berusia <5 tahun memiliki
risiko lebih tinggi mengalami TB diseminata (seperti TB milier dan meningitis
TB) dengan angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Risiko tertinggi

10
terjadinya progresivitas dari infeksi menjadi sakit TB adalah satu tahun pertama
setelah infeksi, terutama selama 6 bulan pertama. Pada bayi, rentang waktu antara
infeksi dan timbulnya sakit TB singkat (<1 tahun) dan biasanya timbul gejala yang
akut.
Faktor risiko lain adalah infeksi baru yang ditandai dengan adanya konversi
uji tuberkulin (dari negatif menjadi positif) dalam satu tahun terakhir seperti pada
keadaan malnutrisi, imunokompromais (misalnya HIV, keganasan, transplantasi
organ dan pengobatan imunosupres), diabetes mellitus dan gagal ginjal kronik.
Faktor yang tidak kalah penting pada epidemiologi TB adalah status sosial
ekonomi yang rendah, penghasilan yang kurang, kepadatan hunian, pengangguran,
pendidikan yang rendah, dan kurangnya dana untuk pelayanan masyarakat. Di
negara maju, migrasi penduduk termasuk menjadi faktor risiko, sedangkan di
Indonesia hal ini belum menjadi masalah yang berarti. Faktor lainnya yang
mempunyai risiko terjadi penyakit TB adalah virulensi dari M.tuberculosis dan
dosis infeksinya. Akan tetapi, secara klinis hal ini sulit dibuktikan.
Seperti telah disebutkan sebelumnya, keadaan immunokompromais
merupakan salah satu risiko penyakit TB. Pada infeksi HIV, terjadi kerusakan
sistem imun sehingga kuman TB yang dorman mengalami reaktivasi. Pandemi
infeksi HIV dan AIDS menyebabkan peningkatan pelaporan TB secara bermakna
di beberapa negara. Diperkirakan resiko terjadinya sakit TB pada pasien HIV
dengan tuberkulin positif adalah 7-10% per tahun, dibandingkan dengan pasien
non HIV yang risiko terjadinya sakit TB adalah 5-10% selama hidupnya. Angka
kejadian TB yang telah menurun pada awal abad ke-20 kembali meningkat pada
akhir tahun 1980. Hal tersebut terjadi bersamaan dengan meningkatnya epidemi
HIV dan resistensi multiobat (Multi Drug Resistence-MDR), bahkan sudah terjadi
resistensi obat yang eksrim (Extreme drug Resistence- XDR). Secara ringkas
risiko sakit TB pada anak yang terinfeksi TB dirangkum dalam tabel 1.
Umur saat infeksi Risiko sakit
primer (tahun) Tidak sakit TB paru TB diseminata
(milier, meningitis)

11
<1 50% 30-40% 10-20%
1-2 75-80% 10-20% 2-5%

2-5 95% 5% 0,5%

5-10 98% 2% <0,5%


>10 80-90% 10-20% <0,5%

Tabel 1 Risiko sakit TB pada anak yang terinfeksi TB.


6. Klasifikasi
a) Lokasi anatomi dari penyakit
o Tuberkulosis Paru. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang
jaringan (parenkim) paru, tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar
parahilus.
o Tuberkulosis Ekstra Paru. Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain
selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), ke-
lenjar lymfe, tulang, persendian, kulit, ginjal, saluran kencing, alat kelamin,
dan lain-lain. Anak dengan gejala hanya pembesaran kelenjar tidak selalu
menderita TB ekstra paru.

o Pasien TB paru dengan atau tanpa TB ekstra paru diklasifikasikan sebagai


TB paru
b) Riwayat pengobatan sebelumnya:
o Baru
Kasus TB anak yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau
sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan ( < 28 dosis).

o Pengobatan ulang

Kasus TB Anak yang pernah mendapat pengobatan dengan OAT lebih dari
1 bulan (28 dosis) dengan hasil pemeriksaan bakteriologis sesuai definisi di
atas, lokasi penyakit bisa paru atau ekstra paru. Berdasarkan hasil
pengobatan sebelumnya, anak dapat diklasifikasikan sebagai kambuh, gagal
atau pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up).

12
c) Status HIV

Pemeriksaan HIV direkomendasikan pada semua anak suspek TB


pada daerah endemis HIV atau risiko tinggi terinfeksi HIV. Berdasarkan
pemeriksaan HIV, TB pada anak diklasifikasikan sebagai:

 HIV positif
 HIV negatif
 HIV tidak diketahui

d) Resistensi Obat

Pengelompokan pasien TB berdasarkan hasil uji kepekaan M. tuberculosis


terhadap OAT terdiri dari:
o Monoresistance adalah M. tuberculosis yang resistan terhadap salah satu je-
nis OAT lini pertama.
o Polydrug Resistance adalah M. tuberculosis yang resistan terhadap lebih
dari satu jenis OAT lini pertama selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) se-
cara bersamaan.
o Multi Drug Resistance (MDR) adalah M. tuberculosis yang resistan terhadap
Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) dengan atau tanpa OAT lini pertama lain-
nya.
o Extensive Drug Resistance (XDR) adalah MDR disertai dengan resistan ter-
hadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan minimal salah satu dari
OAT lini kedua jenis suntikan yaitu Kanamisin, Kapreomisin dan Amikasin.
o Rifampicin Resistance adalah M. tuberculosis yang resistan terhadap Ri-
fampisin dengan atau tanpa resistansi terhadap OAT lain yang dideteksi
menggunakan metode pemeriksaan yang sesuai, pemeriksaan konvensional
atau pemeriksaan cepat.

7. Diagnosis

13
Diagnosis TB pada anak dilakukan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang. Gejala klinis TB pada anak dapat berupa gejala
sistemik/ umum atau gejala sesuai organ terkait. Gejala umum Tb pada anak
yang sering dijumpai adalah batuk persisten, berat badan turun atau gagal
tumbuh, demam lama serta lesu dan tida aktif. Gejala TB bersifat khas, yaitu
menetap lebih dari 2 minggu walaupun sudah diberikan terapi yang adekuat.
a. Gejala Sistemik/ umum
 Berat badan turun atau tidak naik dalam 2 bulan sebelumnnya atau
terjadi gagal tumbuh (failure to thrive) meskipun telah diberikan
upaya perbaikan gizi yang baik dalam waktu 1 sampai 2 bulan.
 Demam lama (≥2 minggu) dan atau berulang tanpa sebab yang
jelas. Demam umumnya tidak tinggi. Keringat malam saja bukan
merupakan gejala spesifik TB pada anak.
 Batuk lama ≥2 minggu, batuk bersiffat non remitting (tidak pernah
reda atau intensitas semakin lama semakin parah) dan sebab lain
batuk telah dapat disingkirkan. Batuk tidak membaik dengan
pemberian antibiotik
 Lesu atau malaise, anak kurang aktif bermain.
b. Gejala spesifik terkait organ
1. Tuberkulosis kelenjar
 Biasanya di regio colli
 Pembesaran KGB tidak nyeri, konsistensi kenyal, multipel dan
kadang saling melekat.
 Ukuran besar, biasanya lebih dari 2x2 cm
 Tidak berespon terhadap antibiotika
 Bisa terbentuk rongga dan discharge
2. Tuberkulosis sistem saraf pusat
 Meningitis Tb: gejala meningitis dengan seringkali gejala akibat
keterlibatan saraf saraf otak yang terkena
 Tuberkuloma otak; gejala gejala lesi desak ruang

14
3. Tuberkulosis sistem skeletal
 Spondilitis Tb: penonjolan tulang belakang (gibbus)
 Tulang panggul (koksitis): pincang, gangguan berjalan, atau tanda
peradangan di daerah panggul.
 Tulang lutut (gonitis): pincang dan atau bengkak pada lutut tanpa
sebab yang jelas
4. Tuberkulosis mata
 Konjungtivitis fliktenularis (conjunctivitis phlyctenularis)
 Tuberkel koroid
5. Tuberkulosis kulit (skrofuloderma)
Ditandai dengan adanya ulkus disertai dengan jembatan kulit antara tepi
ulkus (skin bridge). (Kemenkes, 2016)
Pemeriksaan bakteriologis
Pemeriksaan bakteriologis adalah pemeriksaan yang penting untuk
menentukan diagnosis TB, baik pada anak maupun dewasa. Pemeriksaan
sputum pada anak terutama dilakukan pada anak berusia lebih dari 5 tahun,
HIV positif, dan gambaran paru luas. Namun demikian, karena kesulitan
pengambilan sputum pada anak dan sifat pausibasiler pada TB anak,
pemeriksaan bakteriologis selama ini tidak dilakukan secara rutin pada anak
yang dicurigai sakit TB. Terdapat beberapa cara dalam melakukan
pengambilan sputum pada anak yaitu, melalui berdahak, bilas lambung dan
induksi sputum.
a. Pemeriksaan mikroskopis BTA sputum atau spesimen lain (cairan
tubuh atau jaringan biopsi)
b. Tes cepat molekuler (TCM) TB
Saat ini terdapat beberapa teknologi baru telah dikembangkan untuk
mengidentifikasi kuman Mycobacterium tuberculosis dalam waktu
yang cepat (kurang dari 2 jam (antara lain dengan libe probe assay
dan NAAT Nucleis Acid Amplification Test. Pemeriksaan TCM
mempunyai nilai diagnostik yang lebih baik dibandingan dengan

15
pemeriksaan mikroskopis sputum, tetapi masih dibawah uji biakan.
Hasil negatif TCM tidak menyingkirkan diagnosis TB.
c. Pemeriksaan biakan
Baku emas diagnosis TB adalah dengan menemukan kuman
penyebab TB pada pemeriksaan biakan. Jenis media untuk
pemeriksaan biakan yaitu :
 Media padat : hasil biakan dapat diketahui dalam 4 sampai 8
minggu
 Media cair : hasil biakan dapat diketahui 1 sampai 2 minggu.
Pemeriksaan Penunjang
a. Uji tuberkulin
Uji tuberkulin bermanfaat untuk menegakkan diagnosis TB pada anak,
khususnya jika riwayat kontak dengan pasien TB tidak jelas. Namun uji
tuberkulin tidak dapat membedakan antara infeksi dan sakit TB. Hasil
negatif pada hasil tuberkulin belum dapat menyingkirkan diagnosis TB.
Uji tuberkulin dilakukan dengan menyuntikan 0,1 ml tuberkulin PPD
secara IC di bagian volar lengan dengan arah longitudinal. Reaksi diukur
48 sampai 72 jam setelah penyuntikan. Cantumkan 0 mm jika tidak ada
indurasi sama sekali. Indurasi >10 mm dinyatakan positif, <5 dinyatakan
negatif dan 5 sampai 9 mm meragukan dan perlu diulang (IDAI, 209)
b. IGRA
Imunoglobulin Release Assay merupakan salah satu cara untuk mengetahui
adanya infeksi TB. Namun IGRA tidak dapat membedakan antara infeksi
TB laten dan TB aktif.
c. Foto Thorax
Gambaran foto Rontgen toraks pada TB tidak khas, kelainan- kelainan
radiologis pada TB dapat juga dijumpai pada penyakit lain (Kemenkes RI,
2016). Secara umum, gambaran radiologis yang sugestif TB adalah:
• Pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat
• Konsolidasi segmental/lobar
• Milier

16
• Kalsifikasi dengan infiltrat
• Atelektasis
• Kavitas
• Efusi pleura
• Tuberkuloma
d. Pemeriksaan HistoPA
Pemeriksaan PA akan menunjukan gambaran granuloma dengan nekrosis
perkijuan di tengahnya dan dapat pula ditemukan gambaran sel datia
langerhans dan atau kuman TB.

8. Alur Diagnosis TB Anak


Secara umum penegakan diagnosis TB pada anak didasarkan pada 4 hal,
yaitu:
1. Konfirmasi bakteriologis TB
2. Gejala klinis yang khas TB
3. Adanya bukti infeksi TB (hasil uji tuberkulin positif atau kontak erat
dengan pasien TB)
4. Gambran foto thoraks sugestif TB
Indonesia telah menyusun sistem skoring untuk membantu menegakan
digamosis TB pada anak. Sistem skoring digunakan agar tenaga kesehatan
tidak terlewat dalam mengumpulkan data klinis maupun pemeriksaan
penunjang sederhana sehingga mengurangi terjadinya underdiagnosis maupun
overdiagnosis TB.
Alur Diagnosis dibawah ini digunakan untuk penegakan diagnosis TB pada
anak yang bergejala TB, baik dengan maupun tanpa kontak TB. Pada anak
yang tidak bergejala tetapi kontak dengan pasien TB dewasa, pendekatan tata
laksananya menggunakan alur investigasi kontak.
Langkah awal pada alur diagnosis TB adalah pengambilan dan pemeriksaan
sputum:
1. Jika hasil pemeriksaan mikrobiologi (BTA/TCM, sesuai dengan fasilitas
yang tersedia) positif, anak didiagnosis TB dan diberikan OAT.

17
2. Jika hasil pemeriksaan mikrobiologi (BTA/TCM) negatif atau spesimen
tidak dapat diambil, lakukan pemeriksaan tuberkulin dan foto toraks maka:
 Jika tidak ada fasilitas atau tidak ada akses untuk uji tuberkulin dan foto
toraks:
1) Jika anak ada riwayat kontak erat dengan pasien TB menular, anak
dapat didiagnosis TB dan diberikan OAT.
2) Jika tidak ada riwayat kontak, lakukan observasi klinik selama 2-4
minggu. Bila pada follow up gejala menetap, rujuk anak untuk
pemeriksaan uji tuberkulin dan foto toraks.
 Jika tersedia fasilitas untuk uji tuberkulin dan foto toraks, hitung skor
total menggunakan sistem skoring:
1) Jika skor total ≥6, didiagnosis TB dan obati dengan OAT
2) Jika skor total <6, dengan uji tuberkulin positif atau ada kontak
erat, diagnosis TB dan obati OAT.
3) Jika skor total <6 dan uji tuberkulin negatif atau tidak ada kontak
erat, observasi gejala selama 2-4 minggu, bila menetap, evaluasi
ulang kemungkinan diagnosis TB atau rujuk ke fasilitas pelayanan
kesehatan yang lebih tinggi.
Parameter 0 1 2 3

Kontak TB Tidak jelas - Laporan keluarga BTA(+)


(BTA negatif atau
tidakjelas)
Uji Tuberkulin Negatif - - Positif (≥ 10
mm atau ≥ 5
mm pada
keadaan
imunosupresi)
Berat badan / - BB/TB< 90%atau Klinis gizi buruk -
Status Gizi BB/U < 80% atau BB/TB <70%
atau BB/U <60%

Demam tanpa - ≥ 2 minggu - -


sebab yang jelas

Batuk - ≥ 3 minggu - -

Pembesaran - ≥ 1 cm, jumlah > 1, - -


kelenjar colli, tidak nyeri
aksila, inguinal

18
Pembengkakan - Ada pembengkakan - -
tulang/sendi
panggul, lutut,
falang

Foto Thorak Normal/ Gambaran sugestif - -


kelainan tidak TB
jelas

Tabel 2. Skoring TB

Alur Diagnosis TB Paru Anak

19
9. Tatalaksana
Tatalaksana medikamentosa TB anak terdiri atas terapi (pengobatan)
dan profilaksis (pengobatan pencegahan). Pengobatan TB diberikan pada anak
sakit TB, sedangkan pencegahan TB diberikan pada anak yang sehat yang
berkontak dengan pasien TB (profilaksis primer) atau anak yang terinfeksi TB
tanpa sakit TB (profilaksis sekunder).
Prinsip pengobatan TB pada anak sama dengan dewasa, dengan tujuan
utama pemberian obat anti TB sebagai berikut:
1. Menyembuhkan pasien TB
2. Mencegah kematian akibat TB atau efek jangka panjangnya
3. Mencegah TB relaps
4. Mencegah terjadinya dan transmisi resistensi obat
5. Menurunkan transmisi TB
6. Mencapai tujuan pengobtan dengan toksisitas minimal
7. Mencegah reservasi sumber infeksi di masa yang akan datang
Beberapa hal penting dalam tatalaksana TB anak adalah:
1. Obat OAT diberikan dalam panduan obat, tidak boleh diberikan sebagai
monoterapi
2. Pengobatan diberikan setiap hari
3. Pemberian gizi yang adekuat
4. Mencari penyakit penyerta jika ada ditata laksana secara bersamaan

A. Obat yang digunakan pada TB anak


1. Obat anti tuberkulosis (OAT)
Anak umumnya memiliki jumlah kuman yang lebih sedikit
(pausibasiler) sehingga rekomendasi pemberian 4 macam OAT pada fase
intensif hanya diberikan kepada anak dengan BTA positif, TB berat dan TB
tipe dewasa. Terapi TB pada anak dengan BTA negatif menggunakan

20
panduan INH, Rifampisin, dan Pirazinamid pada fase inisial (2 bulan
pertama) diikuti rifampisis dan INH pada 4 bulan fase lanjutan

Tabel 3. Dosis OAT untuk anak

Tabel 4. Panduan OAT dan Lama Pengobatan TB pada Anak

B. Kombinasi dosis tetap (KDT) atau Fixed Dose Combination


Untuk mempermudah pemberian OAT dan meningkatkan keteraturan minum
obat, panduan OAT disediakan dalam bentuk KDT/FDC. Paket KDT untuk
anak berisi obat fase intensif, yaitu rifampisin (R), 75 mg, ING (H) 50 mg,
dan pirazinamid (Z) 150 mg, serta obat fase lanjutan yaitu R 75 mg dan H 50

21
mg dalam bentuk satu paket. Dosis yang dianjurkan dapat dilihat pada tabel
dibawah ini.

Tabel 5. Dosis KDT/FDC pada TB anak

2. Kortikosteroid

Kortikosteroid diberikan pada kondisi:

a. TB meningitis

b. Sumbatan jalan napas terkait TB kelenjar

c. Perikarditis TB

d. TB milier dengan gangguan napas yang berat

e. Efusi pleura

f. TB abdomen dengan asietes

Obat yang biasa digunakan adalah prednison dengan dosis 2 mg/kg/hari,


sampai 4 mg/kg/ hari pada kasus sakit berat, dengan dosis maksimal 60 mg/
hari selama 4 minggu. Tappering off dilakukan secara bertahap setelah 2
minggu pemberian, kecuali pada TB meningitis diberikan selama 4 minggu
sebelum tappeing off.
3. Piridoksin
Isoniazid dapat menyebabkan defisiensi piridoksin simptomatik, terutama
pada anak dengan malnutrisi berat dan anak dengan HIV yang mendpatkan
anti retroviral therapy (ART). Suplementasi piridoksin (5 sampai 10 mg/ hari)
direkomendasikan pada HIV positif dan malnutrisi berat.

22
4. Nutrisi
Status gizi pada anak dengan TB akan mempengaruhi keberhasilan
pengobatan TB. Malnutrisi berat meningkatkan risiko kematian pada anak
dengan TB. Penilaian status gizi harus dilakukan secara rutin selama anak
dalam pengobatan. Penilaian dilakukan dengan mengukur berat, tinggi,
lingkar lengan atas atau pengamatan gejala dan tanda malnutrisi seperti
edema atau muscle wasting.

10. Pemantauan dan hasil evaluasi TB anak


Pasien TB anak harus dipastikan minum obat setiap harinya secara teratur
oleh orang tua. Pasien TB anak sebaiknya dipantau setiap 2 minggu selama
fase intensif, dan sekali sebulan pada fase lanjutan. Respon baik apabila
gejala klinis membaik, nafsu makan meningkat dan berat badan meningkat.
Jika tidak membaik maka pasien disarankan untuk dirujuk untuk menilai
kemungkinan adanya resistensi obat. Pada pasien TB anak dengan hasil BTA
positif pada awal pengobatan, pemantauan pengobatan dilakukan dengan
melakukan pemeriksaan dahak ulang pada akhir bulan ke 2 dan ke 6.
Perbaikan radiologis akan terlihat dalam jangka waktu yang lama, sehingga
tidak perlu dilakukan foto toraks untuk pemantauan pengobatan, kecuali pada
TB milier setelah pengobatan 1 bulan dan efusi pleura setelah pengobatan 2
sampai 4 minggu.

23
Tabel 7. Hasil Akhir Pengobatan

11. Pencegahan
a. Imunisasi BCG
Imunisasi BCG (Bacille Calmette-Guérin) diberikan pada usia sebelum 2
bulan. Dosis untuk bayi sebesar 0,05 ml dan untuk anak 0,10 ml, diberikan
secara intradermal di daerah insersi otot deltoid kanan (penyuntikan lebih
mudah dan lemak subkutis lebih tebal, ulkus tidak menggangu struktur otot
dan sebagai tanda baku). Bila BCG diberikan pada usia lebih dari 3 bulan,
sebaiknya dilakukan uji tuberkulin terlebih dahulu. Insidens TB anak yang
mendapat BCG berhubungan dengan kualitas vaksin yang digunakan,
pemberian vaksin, jarak pemberian vaksin dan intensitas pemaparan infeksi
(Garna, 2005).

24
Manfaat BCG telah dilaporkan oleh beberapa peneliti, yaitu antara 0- 80%.
Imunisasi BCG efektif terutama untuk mencegah TB milier, meningitis TB
dan spondilitis TB pada anak. Imunisasi ini memberikan perlindungan
terhadap terjadinya TB milier, meningitis TB, TB sistem skletal, dan kavitas.
Fakta di klinik sekitar 70% TB berat dengan biakan positif telah mempunyai
parut BCG. Imunisasi BCG ulangan dianjurkan di beberapa negara, tetapi
umumnya tidak dianjurkan di banyak negara lain, temasuk Indonesia.
Imunisasi BCG relatif aman, jarang timbul efek samping yang serius. Efek
samping yang sering ditemukan adalah ulserasi lokal dan limfadenitis
(adenitis supuratif) dengan insidens 0,1-1%. Kontraindikasi imunisasi BCG
adalah kondisi imunokompromais, misalnya defisiensi imun, infeksi berat,
gizi buruk, dan gagal tumbuh. Pada bayi prematur, BCG ditunda hingga bayi
mencapai berat badan optimal (Garna, 2005).

b. Kemoprofilaksis

Terdapat dua jenis kemoprofilaksis, yaitu kemoprofilaksis primer dan


kemoprofilaksis sekunder. Kemoprofilaksis primer bertujuan untuk mencegah
terjadinya infeksi TB, sedangkan kemoprofilaksis sekunder mencegah
berkembangnya infeksi menjadi sakit TB. Pada kemoprofilaksis primer
diberikan isoniazid dengan dosis 5-10 mg/kgBB/hari dengan dosis tunggal.
Kemoprofilaksis ini diberikan pada anak yang kontak dengan TB menular,
terutama dengan BTA sputum positif, tetapi belum terinfeksi (uji tuberculin
negatif). Pada akhir bulan ketiga pemberian profilaksis dilakukan uji
tuberkulin ulang. Jika tetap negatif dan sumber penularan telah sembuh dan
tidak menular lagi (BTA sputum negatif), maka INH profilaksis dihentikan.
Jika terjadi konversi tuberkulin positif, evaluasi status TB pasien. Jika
didapatkan uji tuberkulin negatif dan INH profilaksis telah dihentikan,
sebaiknya dilakukan uji tuberkulin ulang 3 bulan kemudian untuk evaluasi
lebih lanjut (Kemenkes, 2016).

25
Kemoprofilaksis sekunder diberikan pada anak yang telah terinfeksi, tetapi
belum sakit, ditandai dengan uji tuberkulin positif, sedangkan klinis dan
radiologis normal. Tidak semua anak diberi kemoprofilaksis sekunder, tetapi
hanya anak yang termasuk dalam kelompok resiko tinggi untuk berkembang
menjadi sakit TB, yaitu anak-anak pada keadaan imunokompromais. Contoh
anak-anak dengan imunokompromais adalah usia balita, menderita morbili,
varisela, atau pertusis, mendapat obat imunosupresif yang lama (sitostatik dan
kortikosteroid), usia remaja, dan infeksi TB baru (konvensi uji tuberkulin
dalam kurun waktu kurang dari 12 bulan). Lama pemberian untuk
kemoprofilaksis sekunder adalah 6-12 bulan. Baik profilaksis primer,
profilaksis sekunder dan terapi TB, tetap dievaluasi tiap bulan untuk menilai
respon dan efek samping obat (IDAI, 2010).

12. Prognosis
Seorang yang terinfeksi kuman TB memiliki 10% risiko dalam hidupnya
jatuh sakit karena TB. Ketika terjadi resistensi atau intoleransi terhadap
Isoniazid dan Rifampisin, angka kesembuhan menjadi hanya 50%, bahkan
lebih rendah lagi. Dengan OAT (terutama isoniazid) terjadi perbaikan
mendekati 100% pada pasien dengan TB milier. Tanpa terapi OAT pada TB
milier maka angka kematian hampir mencapai 100% (Hassan, 2007).
Prognosis buruk terdapat pada penderita TB extra pulmonary, gangguan
kekebalan tubuh, lanjut usia, dan riwayat terkena TB sebelumnya.  Prognosis
baik bila diagnosis dan pengobatannya dilakukan sedini mungkin.

26
DAFTAR PUSTAKA

Hassan R, Alatas H. Tuberkulosis pada anak. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak.
Vol II. 11th ed. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia:2007.h.573-84. https://doi.org/ISBN 978-92-4-156564-6

IDAI. 2010. Pedoman pelayanan medis ikatan dokter anak indonesia. Jilid 1.
Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2010. Buku Ajar Respirologi Anak. Jakarta: Badan
Penerbit IDAI.

Kemenkes RI. 2016. Petunjuk Teknis Manajemen dan Tatalaksana TB Anak.


Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Kemenkes RI. 2018. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2017. Jakarta:


Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman diagnosis dan penatalaksanaan


tuberkulosis di Indonesia (Konsensus TB). 2011. Hal.1-5.

Safithri, Fatiyah. 2011. Diagnostis TB Dewasa dan Anak Berdasarkan ISTC


(International Standard for TB Care). Universitas Muhammadiyah Malang

WHO Indonesia. 2009. Pelayanan Kesehatan Anak Di Rumah Sakit. Jakarta

WHO. 2018. Global tuberculosis report. Geneva: World Health Organization.

27

Anda mungkin juga menyukai