Disusun Oleh
dr. Jackson
Pembimbing
dr. Suryani Margono, Sp.A
Pendamping
dr. Tony Giovanno Sinaga
dr. Mustika Warni Siregar
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
atas kelimpahan rahmat-Nya laporan kasus yang berjudul Talasemia pada Anak
dapat terselesaikan. Adapun tujuan dari pembuatan lapkas ini adalah untuk
melengkapi persyaratan dalam menjalankan Program Internsip Dokter Indonesia
di RSU Dr. Ferdinand Lumban Tobing Sibolga.
Terima kasih saya ucapkan kepada dr. Suryani Margono, Sp.A selaku
pembimbing dalam penyelesaian laporan kasus ini atas bimbingan serta
pencerahan yang telah diberikan dalam penyusunan laporan kasus ini, kemudian
ucapan terima kasih untuk kedua orang tua dan keluarga yang senantiasa
memberikan doa, semangat dan motivasi, juga rekan seperjuangan internsip.
Karena keterbatasan pengetahuan yang ada pada penulis, penulis sadar
bahwa hasil dari usaha penyusunan paer ini masih jauh dari sempurna dan masih
banyak kekurangan. Oleh karena itu kritik dan saran yang sifatnya membangun
sangat penulis harapkan untuk memperbaiki kekurangan serta penyusunan laporan
kasus lain dikemudian hari.
Semoga laporan kasus yang penulis buat ini dapat menambah wawasan
bagi pembaca dan dapat bermanfaat bagi masyarakat luas pada umumnya serta
praktisi kesehatan pada khususnya.
dr. Jackson
ii
DAFTAR ISI
BAB 1
PENDAHULUAN
1.2. Tujuan
Dalam penyusunan laporan kasus ini tentunya memiliki tujuan yang
diharapkan berguna bagi pembaca dan khususnya pada penulis sendiri. Tujuan
penyusunan laporan kasus ini adalah sebagai berikut:
1. Melengkapi tugas dokter internship
2. Menambah wawasan tentang kasus talasemia pada anak bagi penulis dan
pembaca
3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Hemoglobin
2.1.1. Tipe Hemoglobin
Oksigen diangkut dari paru-paru ke jaringan oleh molekul protein yang
sangat khusus, hemoglobin, yang terletak di dalam sel darah merah. Setiap sel
darah merah mengandung sekitar 300 juta molekul protein ini, dengan total massa
sekitar 30 pikogram per sel. Setiap molekul hemoglobin dibentuk oleh dua pasang
sub-unit identik, yaitu rantai globin. Rantai ini dinamai dengan huruf alfabet
Yunani dan dibagi menjadi dua kelompok: gugus α-globin, yang terdiri dari rantai
ζ- dan α-globin, dan gugus β-globin, yang terdiri dari rantai globin ε, γ, β, dan δ.2
Rantai globin muncul secara berurutan selama ontogeni dan, setelah berpasangan,
membentuk empat jenis utama hemoglobin berikut ini:
1. Hemoglobin "Embrionik", yang dapat dideteksi dari minggu ke-3 hingga ke-
10 kehamilan dan mewakili ζ2ε2 (Hb Gower 1), α2ε2 (Hb Gower 2), ζ2γ2
(Hb Portland 1); dan tetramer ζ2β2 (Hb Portland 2);
2. Hemoglobin "Janin" (HbF), yang merupakan pembawa oksigen dominan
selama kehamilan dan merupakan molekul α2γ2;
3. Hemoglobin dewasa (HbA α2β2), yang menggantikan HbF tidak lama setelah
lahir; dan
4. Komponen dewasa minor, HbA2 (α2δ2).2
Proses spesies hemoglobin yang berbeda diproduksi dan berhenti pada
periode tertentu perkembangan manusia dikenal sebagai "hemoglobin switching"
seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.1. Di bawah kondisi normal, sel darah
merah manusia dewasa mengandung sekitar 97-98% HbA, 2-3% HbA2 dan jejak
sisa HbF.2
4
2.2. Talasemia
2.2.1. Definisi
Menurut Thalassaemia International Federation (TIF), istilah "talasemia"
mengacu pada sekelompok penyakit darah yang ditandai dengan penurunan atau
tidak adanya sintesis rantai globin normal.2
Sedangkan, menurut definisi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI),
talasemia merupakan penyakit anemia hemolitik herediter yang disebabkan oleh
defek genetik pada pembentukan rantai globin.3,4
2.2.2. Epidemiologi
Penyebaran talasemia meliputi daerah Mediterania, Afrika, Timur Tengah,
Asia Tenggara termasuk Tiongkok, Semenanjung Malaysia, dan Indonesia.
Frekuensi pembawa talasemia beta tertinggi dilaporkan terdapat di Maladewa
(18%), Siprus (14%), Sardinia (10,3%), dan Asia Tenggara (3-5%). Talasemia
beta banyak ditemukan di Asia Tenggara, sedangkan talasemia alfa banyak
ditemukan di daerah Timur jauh termasuk Tiongkok.2,3
Di RSCM sampai dengan akhir tahun 2008 terdapat 1.442 pasien talasemia
mayor yang berobat jalan di Pusat Talasemia Departemen Ilmu Kesehatan Anak
FKUI-RSCM yang terdiri dari 52,5% pasien talasemia beta homozigot, 46,5%
pasien talasemia beta HbE, serta 1,3% pasien talasemia alfa. Sekitar 70-100
pasien baru datang setiap tahunnya.3
2.2.3. Klasifikasi
Talasemia adalah grup kelainan sintesis hemoglobin yang heterogen akibat
pengurangan produksi satu atau lebih rantai globin. Hal ini menyebabkan
ketidakseimbangan produksi rantai globin.4 Secara klinis dibagi menjadi 3 grup
yang dimana memiliki implikasi klinis diagnosis dan penatalaksanaan, yaitu:
Talasemia mayor sangat tergantung pada transfusi
Talasemia minor/karier tanpa gejala
Talasemia intermedia
6
2.2.4. Etiologi
Dasar kelainan pada talasemia berlaku secara umum, yaitu talasemia alfa
disebabkan oleh delesi gen atau terhapus karena kesalahan genetik, yang mengatur
produksi tetramer globin, sedangkan pada talasemia beta karena adanya mutasi
gen tersebut.6
7
2.2.5. Patofisiologi
Ada dua hal yang saling terkait yang berkontribusi terhadap terjadinya
talasemia beta mayor, yaitu produksi gen β-globin yang tidak adekuat
menyebabkan menurunnya kadar hemoglobin normal (HbA) dan produksi rantai
α- dan β-globin yang tidak seimbang. Pada talasemia beta mayor, rantai α-globin
berlebih terhadap rantai non-α-globin, dan tetramer α-globin (α4) terbentuk dan
muncul sebagai inklusi sel darah merah. Rantai α-globin dan inklusi bebas sangat
tidak stabil, mengendap dalam prekursor sel darah merah, merusak membran sel
darah merah, dan mempersingkat kelangsungan hidup sel darah merah yang
menyebabkan anemia dan peningkatan produksi eritroid. Ini menghasilkan
peningkatan yang ditandai dengan eritropoiesis dengan kematian prekursor
eritroid dini di sumsum tulang. Secara klinis, ini ditandai dengan kurangnya
pematangan eritrosit dan jumlah retikulosit yang rendah yang tidak sesuai.
Eritropoiesis yang tidak efektif ini dan ekspansi sumsum tulang masif
terkompensasi dengan hiperaktifitas eritroid yang menandakan talasemia beta.
Karena pasien talasemia beta-0 (β0) tidak dapat memproduksi HbA, rantai α
bergabung dengan rantai γ, menghasilkan HbF (α2γ2) menjadi hemoglobin
8
dominan. Selain efek bertahan hidup alami, rantai γ-globin dapat diproduksi
dalam peningkatan jumlah, yang diatur oleh polimorfisme genetik. Sintesis rantai
δ biasanya tidak terpengaruh pada talasemia beta atau pembawa sifat talasemia
beta, dan, oleh karena itu, pasien memiliki peningkatan relatif atau absolut dalam
produksi HbA2 (α2δ2).5
Pada sindrom talasemia alfa, 2 gen dengan 2 alel ibu dan 2 alel ayah
mengendalikan produksi α-globin, yang bervariasi dari yang tidak ada sama sekali
(hidrops fetalis) sampai yang hanya sedikit berkurang (karier tersembunyi
talasemia alfa). Pada sindrom talasemia alfa, kelebihan rantai β-globin dan γ-
globin dihasilkan. Rantai berlebih ini membentuk hemoglobin Bart (γ4) dalam
kehidupan janin dan HbH (β4) setelah lahir. Tetramer abnormal ini adalah
hemoglobin yang tidak berfungsi dengan afinitas oksigen yang sangat tinggi.
tetramer ini tidak mengangkut oksigen dan mengakibatkan hemolisis
9
ekstravaskular. Janin dengan bentuk talasemia alfa yang paling parah (hidrops
fetalis) berkembang dalam anemia uterus dan kehilangan janin karena produksi
HbF memerlukan jumlah α-globin yang cukup. Sebaliknya, bayi dengan talasemia
beta mayor menjadi simtomatik hanya setelah lahir ketika HbA mendominasi dan
produksi β-globin yang tidak cukup bermanifestasi dalam gejala klinis.5
2.2.7. Diagnosis
Talasemia yang bergantung pada transfusi adalah pasien yang
membutuhkan transfusi secara teratur seumur hidup. Diagnosis talasemia
ditegakkan dengan berdasarkan kriteria anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Manifestasi klinis talasemia mayor umumnya sudah
dapat dijumpai sejak usia 6 bulan.1,3
Anamnesis
a. Pucat kronik; usia awitan terjadinya pucat perlu ditanyakan.
b. Pada talasemia beta/HbE usia awitan pucat umumnya didapatkan pada usia
yang lebih tua.
c. Riwayat transfusi berulang; anemia pada talasemia mayor memerlukan
transfusi berkala.
d. Riwayat keluarga dengan talasemia dan transfusi berulang.
e. Perut buncit; perut tampak buncit karena adanya hepatosplenomegali.
11
f. Etnis dan suku tertentu; angka kejadian talasemia lebih tinggi pada ras
Mediterania, Timur Tengah, India, dan Asia Tenggara. Talasemia paling
banyak di Indonesia ditemukan di Palembang 9%, Jawa 6-8%, dan
Makasar 8%.
g. Riwayat tumbuh kembang dan pubertas terlambat.1,3
Pemeriksaan Fisik
Beberapa karakteristik yang dapat ditemukan dari pemeriksaan fisik pada anak
dengan talasemia bergantung transfusi adalah pucat, sklera ikterik, facies
Cooley (dahi menonjol, mata menjadi sipit, jarak kedua mata melebar, maksila
hipertrofi, maloklusi gigi), hepatosplenomegali, gagal tumbuh, gizi kurang/
buruk, perawakan pendek, pubertas terlambat, dan hiperpigmentasi kulit.1,3
Pemeriksaan Penunjang
Darah Perifer Lengkap (DPL)
a. Anemia yang dijumpai pada talasemia mayor cukup berat dengan
kadar hemoglobin mencapai < 7 g/dL.
b. Hemoglobinopati seperti Hb Constant Spring dapat memiliki MCV
dan MCH yang normal, sehingga nilai normal belum dapat
menyingkirkan kemungkinan sifat talasemia dan hemoglobinopati.
c. Indeks eritrosit merupakan langkah pertama yang penting untuk
skrining pembawa sifat talasemia (trait), thalassemia δβ, dan High
Persistent Fetal Haemoglobin (HPFH),
d. Mean Corpuscular Volume (MCV) < 80 fL (mikrositik) dan Mean
Corpuscular Haemoglobin (MCH) < 27 pg (hipokromik). Talasemia
mayor biasanya memiliki MCV 50 – 60 fL dan MCH 12 – 18 pg.
e. Nilai MCV dan MCH yang rendah ditemukan pada talasemia, dan
juga pada anemia defisiensi besi. MCH lebih dipercaya karena lebih
sedikit dipengaruhi oleh perubahan cadangan besi (less suscpetible to
storage changes).1,3
12
Retikulosit
Jumlah retikulosit menunjukkan aktivitas sumsum tulang. Pasien
thalassemia memiliki aktivitas sumsum tulang yang meningkat,
13
Elektroforesis Hemoglobin
Beberapa cara pemeriksaan elektroforesis hemoglobin yang dapat
dilakukan adalah pemeriksaan Hb varians kuantitatif (electrophoresis
cellose acetate membrane), HbA2 kuantitatif (metode mikrokolom), HbF
(alkali denaturasi modifikasi Betke 2 menit), atau pemeriksaan
elektroforesis menggunakan capillary hemoglobin electrophoresis, dan
HbH badan inklusi (menggunakan pewarnaan supravital (retikulosit)).1,3
Analisis DNA
Analisis DNA merupakan upaya diagnosis molekular talassemia, yang
dilakukan pada kasus atau kondisi tertentu:1,3
1. Ketidakmampuan untuk mengonfirmasi hemoglobinopati dengan
pemeriksaan hematologi:
a. Diagnosis talasemia beta mayor yang telah banyak menerima
transfusi. Diagnosis dapat diperkuat dengan temuan talasemia β
heterozigot (pembawa sifat talasemia beta) pada kedua orangtua.
b. Identifikasi karier dari talassemia beta tenang, talasemia beta
dengan HbA2 normal, talasemia α0, dan beberapa talasemia α+.
c. Identifikasi varian hemoglobin yang jarang.
2. Keperluan konseling genetik dan diagnosis prenatal.
15
2.2.8. Penatalaksanaan
Transfusi Darah
Tujuan transfusi darah pada pasien talasemia adalah untuk
menekan hematopoiesis ekstramedular dan mengoptimalkan tumbuh
kembang anak. Transfusi dilakukan apabila dari pemeriksaan laboratorium
terbukti pasien menderita talasemia mayor, atau apabila Hb < 7 g/dL
setelah 2 kali pemeriksaan dengan selang waktu > 2 minggu, tanpa adanya
tanda infeksi atau didapatkan nilai Hb > 7 g/dL dan dijumpai perubahan
muka/facies Cooley, gagal tumbuh, fraktur tulang, dan/atau curiga adanya
hematopoietik ekstramedullar .1,2,3
Pasien perlu menjalani pemeriksaan laboratorium berikut sebelum
memulai transfusi pertama:1
a. Profil besi: feritin serum, serum iron (SI), total iron binding capacity
(TIBC).
b. Kimia darah berupa uji fungsi hati; SGOT, SGPT, PT, APTT, albumin,
bilirubin indirek, dan bilirubin direk.
c. Fungsi ginjal : ureum, kreatinin.
d. Golongan darah: ABO, Rhesus.
e. Penanda virus yang dapat ditransmisikan melalui transfusi darah:
antigen permukaan Hepatitis B (HbsAg), antibodi Hepatitis C (anti-
HCV), dan antibodi HIV (anti-HIV).
f. Bone age.
Volume dan kecepatan darah yang ditransfusikan bergantung pada
nilai Hb pratransfusi. Volume transfusi 10-15 mL/kg untuk Hb ≥ 6 g/dL,
dan 2-5 mL/kg untuk Hb < 6 g/dL. Interval transfusi 12 jam, dan jarak
antara transfusi berikutnya 2-4 minggu. Transfusi dilakukan dengan target
Hb post-transfusi 12-13 g/dL dan Hb pratransfusi 9-10 g/dL. Pemberian
diuretik tidak rutin diberikan pada anemia berat. Diuretik hanya hanya
diberikan pada klinis gagal jantung. Darah yang diberikan adalah darah
leucodepleted yang telah menjalani uji skrining NAT dengan golongan
darah yang sama (ABO, Rh). Bila darah berjenis PRC biasa atau
17
Nutrisi
Pasien talasemia umumnya mengalami defisiensi nutrisi akibat
proses hemolitik, peningkatan kebutuhan nutrisi, dan morbiditas yang
menyertainya seperti kelebihan besi, diabetes, dan penggunaan kelasi besi.
Oleh karena itu, Semua pasien thalassemia harus mendapatkan nutrisi
adekuat. Perlu dilakukan penilaian dan konsultasi gizi berkala sesuai
dengan asuhan nutrisi pediatrik.1
Vitamin E 2 x 200 IU/hari dan asam folat 2 x 1 mg/hari diberikan
pada semua pasien talasemia. Asam folat tidak diberikan pada pasien
19
Splenektomi
Transfusi yang optimal saat ini biasanya dapat menghindarkan pasien dari
tindakan splenektomi, namun splenektomi dapat dipertimbangkan pada
beberapa indikasi di bawah ini:1
a. Kebutuhan transfusi meningkat hingga lebih dari 200-250 mL PRC
/kg/tahun atau 1,5 kali lipat dibanding kebutuhan biasanya (kebutuhan
transfusi pasien thalassemia umumnya 180 mL/kg/tahun).1
b. Kondisi hipersplenisme ditandai oleh splenomegali dan leukopenia atau
trombositopenia persisten, yang bukan disebabkan oleh penyakit atau
kondisi lain.1
c. Splenektomi dapat mengurangi kebutuhan transfusi darah secara
signifikan hingga berkisar 30-50% dalam jangka waktu yang cukup
lama. Splenomegali masif yang menyebabkan perasaan tidak nyaman
dan berisiko untuk terjadinya infark dan ruptur bila terjadi trauma.1
2.2.9. Komplikasi
Komplikasi pada talasemia dapat terjadi akibat penyakit dasarnya, akibat
pengobatan, dan akibat terapi kelasi besi, sehingga pemantauan komplikasi yang
terjadi perlu dilakukan terus-menerus. Komplikasi akibat penyakit dasar meliputi
anemia berat, komplikasi jantung yang berkaitan dengan anemia, fraktur
patologis, komplikasi endokrin (meliputi gagal tumbuh, perawakan pendek,
pubertas terlambat, hipogonadisme, hipotiroid, diabetes melitus, osteoporosis,
osteopenia, hipoparatiroid, hipoadrenal, impotensi, dan infertilitas), gagal tumbuh,
gizi kurang, perawakan pendek, dan pembesaran organ-organ abdomen yang
menekan organ sekitarnya.1
Komplikasi pengobatan (akibat transfusi) yaitu penumpukan besi pada
organ jantung (kardiomiopati), hemosiderosis hati, paru, dan organ endokrin.
Transmisi berbagai virus melalui transfusi juga dapat terjadi, khususnya hepatitis
20
B, hepatitis C, malaria, dan HIV. Risiko saat transfusi seperti kelebihan darah atau
transfusi yang terlalu cepat dapat menimbulkan gagal jantung, dan dapat terjadi
reaksi hemolitik akibat ketidakcocokan darah yang diberikan. Kelebihan besi yang
telah terjadi dalam jaringan tubuh sangat sulit diatasi karena hanya sedikit kelator
besi yang dapat mengikat kelebihan besi dalam jaringan dan memerlukan waktu
yang lama untuk dapat mengembalikan kadar besi tubuh ke tingkat yang aman.1
Komplikasi akibat terapi kelasi besi bergantung dari kelator yang
diberikan. Desferoksamin dapat menyebabkan komplikasi pada pendengaran,
gangguan penglihatan, gangguan fungsi hati dan ginjal, serta menyebabkan
gangguan pertumbuhan. Deferipron terutama menyebabkan neutropenia,
gangguan fungsi hati, dan ginjal. Deferasiroks menyebabkan gangguan fungsi hati
dan ginjal.1
2.2.10. Pencegahan
Pencegahan talasemia terutama ditujukan untuk menurunkan jumlah bayi
lahir dengan talasemia mayor. Ada 2 pendekatan dalam pencegahan talasemia,
yaitu secara retrospektif dan prospektif. Pendekatan retrospektif dilakukan dengan
penelusuran terhadap anggota keluarga pasien talasemia mayor, sementara
pendekatan prospektif dilakukan dengan skrining untuk mengidentifikasi karier
talasemia pada populasi tertentu. Secara garis besar bentuk pencegahan talasemia
dapat berupa edukasi tentang penyakit thalassemia pada masyarakat, skrining
(carrier testing), konseling genetika pranikah, dan diagnosis pranatal.1
Edukasi
Edukasi masyarakat tentang penyakit thalasemia memegang peranan yang
sangat penting dalam program pencegahan. Masyarakat harus diberikan
pengetahuan tentang penyakit yang bersifat genetik dan diturunkan, terutama
tentang thalasemia dengan frekuensi kariernya yang cukup tinggi. Pendidikan
genetika harus diajarkan di sekolah, demikian pula pengetahuan tentang
gejala awal thalasemia. Media massa dapat berperan lebih aktif
menyebarluaskan informasi tentang thalasemia, meliputi gejala awal, cara
21
Skrining Karier
Skrining massal dan konseling genetika telah berhasil di Italia, Yunani, dan
tempat yang memiliki fekuensi gen thalassemia tinggi. Skrining pada
populasi (skrining prospektif) dikombinasikan dengan diagnostik pranatal
telah menurunkan insidens talasemia secara dramatis. Skrining talasemia
ditujukan untuk menjaring karier talasemia pada suatu populasi, idealnya
dilakukan sebelum memiliki anak. Skrining ini bertujuan untuk
mengidentifikasi individu dan pasangan karier, dan menginformasikan
kemungkinan mendapat anak dengan thalasemia dan pilihan yang dapat
dilakukan untuk menghindarinya. Target utama skrining adalah penemuan -β-
dan α° talasemia, serta Hb S, C, D, E. Skrining dapat dilakukan di sekolah,
klinik dokter keluarga, klinik keluarga berencana, klinik antenatal, saat
bimbingan pranikah, atau pada saat bayi baru lahir. Pada daerah dengan risiko
tinggi dapat dilakukan program skrining khusus pranikah atau sebelum
memiliki anak. Pendekatan genetik klasik dalam mendeteksi karier
berdasarkan penelusuran silsilah keluarga dianggap kurang efektif dibanding
dengan skrining populasi. Bila ada individu yang teridentifikasi sebagai
karier, maka skrining pada anggota keluarga yang lain dapat dilakukan.
Skrining silsilah genetik khususnya efektif pada daerah yang sering terjadi
perkawinan antar kerabat dekat.
Konseling Genetika
Informasi dan konseling genetika harus tersedia ditempat skrining karier
dilakukan. Tenaga kesehatan tidak boleh memaksa orang untuk menjalani
skrining dan harus mampu menginformasikan pada peserta skirining bila
mereka teridentifikasi karier dan implikasinya. Prinsip dasar dalam konseling
22
Diagnosis Pranatal
Diagnosis pranatal dapat dilakukan antara usia 8-18 minggu kehamilan.
Metode yang digunakan adalah identifkasi gen abnormal pada analisis DNA
janin. Pengambilan sampel janin dilakukan melalui amniosentesis atau biopsi
vili korialis (CVS/chorionic villus sampling). Tindakan amniosentesis, yaitu
mengambil cairan amnion, umumnya efektif dilakukan pada usia kehamilan
>14 minggu. Hal ini dikarenakan pada usia kehamilan tersebut cukup banyak
sel-sel janin yang sudah lepas ke dalam cairan amnion. Teknik ini relatif lebih
mudah, namun mempunyai kelemahan yaitu dilakukan pada usia kehamilan
yang lebih besar. Kelemahan utama dari amniosentesis trimester kedua adalah
bahwa hasil akhir biasanya hanya dapat diketahui setelah usia gestasi 17
minggu. Lamanya masa tunggu untuk mendapatkan diagnosis merupakan hal
yang sangat berat bagi pasangan, terutama karena kebanyakan dokter
kandungan enggan untuk menawarkan terminasi bedah pada usia kehamilan
lanjut. Pilihan untuk diagnosis pada usia gestasi sebelum 17 minggu yaitu
CVS dan amniosentesis dini.1
23
BAB 3
LAPORAN KASUS
ANAMNESIS
PEMERIKSAAN FISIK
Status Presens
Keadaan Umum : Sedang
Sensorium : Compos Mentis
Denyut Nadi : 120 kali/menit, reguler Anemis : (+)
Frekuensi Napas : 24 kali/menit Ikterik : (-)
Temperatur : 37,2 ºC Dispnea : (-)
Berat Badan : 13,5 kg Sianosis : (-)
Tinggi Badan : 106 cm Edema : (-)
Status Lokalisata
Kepala : Normosepali
Mata : Rc +/+, pupil isokor, konjungtiva palpebra anemis (+/+),
sklera ikterik (-/-)
Telinga : Dalam batas normal
Hidung : Dalam batas nomral
Mulut : Bibir pucat (+)
Leher : Pembesaran KGB (-), TVJ R-2 cmH2O
Toraks
Inspeksi : Simetris fusiformis, retraksi (-)
Palpasi : Stem fremitus kanan = kiri, kesan normal
Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru
Auskultasi
Jantung : S1, S2 (+) normal, S3 (-), S4 (-), denyut jantung
120 kali/menit, reguler, desah jantung (-)
Paru : Suara Pernafasan : Vesikuler
Suara tambahan : Ronki (-), mengi (-)
Abdomen
Inspeksi : Simetris membesar
Palpasi : Soepel, hepar teraba 2 jari di bawah arkus kosta, lien
teraba Hecket II-III, Schuffner I-II, nyeri tekan (-)
26
Leukosit Normal
Trombosit Normal
Kesan Anemia Hipokrom Mikrositer
DIAGNOSA KERJA
Talasemia
PENATALAKSANAAN
- Transfusi PRC 250 mL (2 bag PRC, 1 bag PRC = 125 mL)
Total mL yang dibutuhkan = (Hb target – Hb terukur) x berat badan x 3
= (10,0 – 4,0) x 13,5 x 3
= 243 mL ≈ 250 mL
- Premedikasi pretransfusi Deksametason ½ ampul, Furosemid 1 ampul
- IVFD NaCl 0,9% 20 tetes/menit (mikro)
- Diet M II
28
FOLLOW UP
BAB 4
PEMBAHASAN
KASUS TEORI
Anamnesis Anamnesis
Pucat dialami pasien sejak 1 minggu Pucat yang lama (kronis)
sebelum masuk rumah sakit. Riwayat Terlihat kuning
pucat sering dialami pasien sejak 1 Mudah infeksi
tahun yang lalu dan selalu dirawat di Perut membesar akibat
RS untuk mendapat transfusi darah. hepatosplenomegali
Perut membesar juga dirasakan pasien Pertumbuhan terhambat/pubertas
dalam 1 minggu ini. Pasien juga merasa terlambat
lemas dalam 1 minggu ini. Namun Riwayat transfusi berulang (jika
pasien masih memiliki nafsu makan dan sudah pernah transfusi
ingin minum. Saat ini pasien tidak sebelumnya)
mengalami demam, batuk, pilek, dan Riwayat keluarga yang menderita
sesak napas. Riwayat mimisan dan gusi talasemia
berdarah disangkal oleh pasien. BAB
dalam batas normal. BAK dalam batas
normal.
RPT: Talasemia dan TB paru.
RPO: Transfusi darah 3 kali dan OAT
kategori 1.
RPK: Tidak jelas.
Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan Fisik
Sensorium: CM Anemis: (+) Anemia/pucat
Nadi: 120 x/i Ikterik: (-) Ikterus
Napas: 24 x/i Dispnea: (-) Facies Cooley
Temperatur: 37,2 ºC Sianosis: (-) Hepatosplenomegali
BB: 13,5 kg, TB: 106 cm Edema: (-) Gizi kurang/buruk
31
BAB 5
KESIMPULAN
Anak SS, 5 tahun 3 bulan, laki-laki, berat badan 13,5 kg, tinggi badan 106 cm,
dibawa oleh orang tuanya ke RSU Dr. F. L. Tobing Sibolga pada tanggal 14 Maret
2019 dengan keluhan pucat sejak 1 minggu SMRS dengan riwayat sering menjalani
transfusi berulang. Pasien didiagnosa dengan talasemia. Selanjutnya pasien diterapi
dengan transfui PRC 250 mL, premedikasi pretransfusi berupa pemberian
deksametason ½ ampul dan furosemid 1 ampul, IVFD NaCl 0,9% 20 tetes/menit
mikro, dan diet M II. Setelah Hb pasien naik, pasien diperbolehkan PBJ pada
tangga 17 Maret 2019 dengan obat pulang Maltiron sirup 1 x cth. I.
33
DAFTAR PUSTAKA