Anda di halaman 1dari 36

LAPORAN KASUS

Talasemia pada Anak

Disusun Oleh
dr. Jackson

Pembimbing
dr. Suryani Margono, Sp.A

Pendamping
dr. Tony Giovanno Sinaga
dr. Mustika Warni Siregar

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


KELOMPOK STAF MEDIS ILMU KESEHATAN ANAK
RUMAH SAKIT UMUM DR. FERDINAND LUMBAN TOBING
SIBOLGA
2019
i

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
atas kelimpahan rahmat-Nya laporan kasus yang berjudul Talasemia pada Anak
dapat terselesaikan. Adapun tujuan dari pembuatan lapkas ini adalah untuk
melengkapi persyaratan dalam menjalankan Program Internsip Dokter Indonesia
di RSU Dr. Ferdinand Lumban Tobing Sibolga.
Terima kasih saya ucapkan kepada dr. Suryani Margono, Sp.A selaku
pembimbing dalam penyelesaian laporan kasus ini atas bimbingan serta
pencerahan yang telah diberikan dalam penyusunan laporan kasus ini, kemudian
ucapan terima kasih untuk kedua orang tua dan keluarga yang senantiasa
memberikan doa, semangat dan motivasi, juga rekan seperjuangan internsip.
Karena keterbatasan pengetahuan yang ada pada penulis, penulis sadar
bahwa hasil dari usaha penyusunan paer ini masih jauh dari sempurna dan masih
banyak kekurangan. Oleh karena itu kritik dan saran yang sifatnya membangun
sangat penulis harapkan untuk memperbaiki kekurangan serta penyusunan laporan
kasus lain dikemudian hari.
Semoga laporan kasus yang penulis buat ini dapat menambah wawasan
bagi pembaca dan dapat bermanfaat bagi masyarakat luas pada umumnya serta
praktisi kesehatan pada khususnya.

Sibolga, 23 Maret 2019

dr. Jackson
ii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................... i


DAFTAR ISI ...................................................................................................... ii
BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................................. 1
1.1. Latar Belakang ...................................................................................... 1
1.2. Tujuan ................................................................................................... 2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 3
2.1. Hemoglobin........................................................................................... 3
2.1.1. Tipe Hemoglobin .................................................................... 3
2.1.2. Gen Globin dan Sintesis Globin ............................................. 4
2.2. Talasemia .............................................................................................. 5
2.2.1. Definisi ................................................................................... 5
2.2.2. Epidemiologi........................................................................... 5
2.2.3. Klasifikasi ............................................................................... 5
2.2.4. Etiologi ................................................................................... 6
2.2.5. Patofisiologi ............................................................................ 7
2.2.6. Manifestasi Klinis ................................................................... 9
2.2.7. Diagnosis ................................................................................ 10
2.2.8. Penatalaksanaan ...................................................................... 16
2.2.9. Komplikasi .............................................................................. 19
2.2.10. Pencegahan ............................................................................. 20
BAB 3 LAPORAN KASUS .............................................................................. 23
BAB 4 TEORI DAN DISKUSI ........................................................................ 30
BAB 5 KESIMPULAN ..................................................................................... 32
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 33
1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Talasemia merupakan gangguan sintesis hemoglobin (Hb), khususnya
rantai globin, yang diturunkan. Penyakit genetik ini memiliki jenis dan frekuensi
terbanyak di dunia. Manifestasi klinis yang ditimbulkan bervariasi mulai dari
asimtomatik hingga gejala yang berat.1
Data dari World Bank menunjukan bahwa 7% dari populasi dunia
merupakan pembawa sifat talasemia. Setiap tahun sekitar 300.000-500.000 bayi
baru lahir disertai dengan kelainan hemoglobin berat, dan 50.000 hingga 100.000
anak meninggal akibat talasemia β (beta); 80% dari jumlah tersebut berasal dari
negara berkembang. Indonesia termasuk salah satu negara dalam sabuk talasemia
dunia, yaitu negara dengan frekuensi gen (angka pembawa sifat) talasemia yang
tinggi. Hal ini terbukti dari penelitian epidemiologi di Indonesia yang
mendapatkan bahwa frekuensi gen talasemia beta berkisar 3-10%. Data Pusat
Talasemia, Departemen Ilmu Kesehatan Anak, FKUI-RSCM, sampai dengan
bulan Mei 2014 terdapat 1.723 pasien dengan rentang usia terbanyak antara 11-14
tahun. Jumlah pasien baru terus meningkat hingga 75-100 orang/tahun, sedangkan
usia tertua pasien hingga saat ini adalah 43 tahun. Beberapa pasien sudah
berkeluarga dan dapat memiliki keturunan, bahkan diantaranya sudah lulus
menjadi sarjana. Penelitian oleh Wahidiyat pada tahun 1979 melaporkan usia
angka harapan hidup pasien talasemia rerata hanya dapat mencapai 8-10 tahun.1
Pengobatan penyakit talasemia sampai saat ini belum sampai pada tingkat
penyembuhan. Transplantasi sumsum tulang hanya dapat membuat seorang
talasemia mayor menjadi tidak lagi memerlukan transfusi darah, namun masih
dapat memberikan gen talasemia pada keturunannya. Di seluruh dunia tata laksana
talasemia bersifat simptomatik berupa transfusi darah seumur hidup. Transfusi
darah dan pemakaian obat-obatan seumur hidup sering menimbulkan rasa jenuh,
bosan berobat, belum lagi adanya perubahan fisik, merasa berbeda dengan saudara
atau teman-temannya akan menyebabkan rasa inferior diri sehingga mereka sering
2

putus sekolah dan tidak mendapatkan pekerjaan sehingga menimbulkan efek


psikososial yang sangat berat.1

1.2. Tujuan
Dalam penyusunan laporan kasus ini tentunya memiliki tujuan yang
diharapkan berguna bagi pembaca dan khususnya pada penulis sendiri. Tujuan
penyusunan laporan kasus ini adalah sebagai berikut:
1. Melengkapi tugas dokter internship
2. Menambah wawasan tentang kasus talasemia pada anak bagi penulis dan
pembaca
3

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Hemoglobin
2.1.1. Tipe Hemoglobin
Oksigen diangkut dari paru-paru ke jaringan oleh molekul protein yang
sangat khusus, hemoglobin, yang terletak di dalam sel darah merah. Setiap sel
darah merah mengandung sekitar 300 juta molekul protein ini, dengan total massa
sekitar 30 pikogram per sel. Setiap molekul hemoglobin dibentuk oleh dua pasang
sub-unit identik, yaitu rantai globin. Rantai ini dinamai dengan huruf alfabet
Yunani dan dibagi menjadi dua kelompok: gugus α-globin, yang terdiri dari rantai
ζ- dan α-globin, dan gugus β-globin, yang terdiri dari rantai globin ε, γ, β, dan δ.2
Rantai globin muncul secara berurutan selama ontogeni dan, setelah berpasangan,
membentuk empat jenis utama hemoglobin berikut ini:
1. Hemoglobin "Embrionik", yang dapat dideteksi dari minggu ke-3 hingga ke-
10 kehamilan dan mewakili ζ2ε2 (Hb Gower 1), α2ε2 (Hb Gower 2), ζ2γ2
(Hb Portland 1); dan tetramer ζ2β2 (Hb Portland 2);
2. Hemoglobin "Janin" (HbF), yang merupakan pembawa oksigen dominan
selama kehamilan dan merupakan molekul α2γ2;
3. Hemoglobin dewasa (HbA α2β2), yang menggantikan HbF tidak lama setelah
lahir; dan
4. Komponen dewasa minor, HbA2 (α2δ2).2
Proses spesies hemoglobin yang berbeda diproduksi dan berhenti pada
periode tertentu perkembangan manusia dikenal sebagai "hemoglobin switching"
seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.1. Di bawah kondisi normal, sel darah
merah manusia dewasa mengandung sekitar 97-98% HbA, 2-3% HbA2 dan jejak
sisa HbF.2
4

Gambar 2.1. Sintesis Globin pada Berbagai Perkembangan Tahap


Embrionik, Eritroid Janin dan Orang Dewasa2

2.1.2. Gen Globin dan Sintesis Globin


Rantai globin memiliki struktur yang sangat tepat, memastikan
pemuatannya oksigen yang cepat di alveoli paru-paru dan pengiriman bertahap
gas yang terkontrol ke dalam jaringan. Struktur yang tepat dari rantai globin
tersebut dikodekan oleh gen yang terkandung dalam DNA kromosom 16 (gugus
gen α) dan 11 (gugus gen β). Mengapit gen struktural, yaitu di depan (di sisi 5
'dari urutan DNA, "hulu") dan mengikuti mereka (di sisi 3' dari Urutan DNA,
"hilir"), terbentang beberapa urutan nukleotida yang memiliki peran "pengatur",
yaitu mereka menentukan gen mana yang harus dihidupkan dan mana yang
dimatikan, serta seberapa efisien ekspresinya. Dalam kehidupan orang dewasa,
sebagian besar sintesis globin terjadi pada eritroblas di sumsum tulang. Rantai
globin harus memiliki struktur yang benar dan dipangkas sedemikian rupa
sehingga jumlah rantai α tepat sama dengan rantai β. Ketika kondisi tersebut tidak
terpenuhi, hasilnya adalah defek lengkap atau sebagian pada satu atau kedua gen
globin "alel".2
5

2.2. Talasemia
2.2.1. Definisi
Menurut Thalassaemia International Federation (TIF), istilah "talasemia"
mengacu pada sekelompok penyakit darah yang ditandai dengan penurunan atau
tidak adanya sintesis rantai globin normal.2
Sedangkan, menurut definisi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI),
talasemia merupakan penyakit anemia hemolitik herediter yang disebabkan oleh
defek genetik pada pembentukan rantai globin.3,4

2.2.2. Epidemiologi
Penyebaran talasemia meliputi daerah Mediterania, Afrika, Timur Tengah,
Asia Tenggara termasuk Tiongkok, Semenanjung Malaysia, dan Indonesia.
Frekuensi pembawa talasemia beta tertinggi dilaporkan terdapat di Maladewa
(18%), Siprus (14%), Sardinia (10,3%), dan Asia Tenggara (3-5%). Talasemia
beta banyak ditemukan di Asia Tenggara, sedangkan talasemia alfa banyak
ditemukan di daerah Timur jauh termasuk Tiongkok.2,3
Di RSCM sampai dengan akhir tahun 2008 terdapat 1.442 pasien talasemia
mayor yang berobat jalan di Pusat Talasemia Departemen Ilmu Kesehatan Anak
FKUI-RSCM yang terdiri dari 52,5% pasien talasemia beta homozigot, 46,5%
pasien talasemia beta HbE, serta 1,3% pasien talasemia alfa. Sekitar 70-100
pasien baru datang setiap tahunnya.3

2.2.3. Klasifikasi
Talasemia adalah grup kelainan sintesis hemoglobin yang heterogen akibat
pengurangan produksi satu atau lebih rantai globin. Hal ini menyebabkan
ketidakseimbangan produksi rantai globin.4 Secara klinis dibagi menjadi 3 grup
yang dimana memiliki implikasi klinis diagnosis dan penatalaksanaan, yaitu:
 Talasemia mayor sangat tergantung pada transfusi
 Talasemia minor/karier tanpa gejala
 Talasemia intermedia
6

Talasemia juga bisa diklasifikasikan secara genetik menjadi α- (alfa) β-


(beta), δβ- (delta-beta) atau εγδβ (epsilon-gamma-delta-beta) sesuai dengan
bentuk rantai globin yang berkurang produksinya. Pada beberapa talasemia sama
sekali tidak terbentuk rantai globin yang disebut αo dan βo, dan bila produksinya
rendah disebut talasemia α+ dan β+. Sedangkan talasemia δβ dapat dibedakan
menjadi (δβ)o dan (δβ)+ dimana terjadi gangguan pada rantai δ dan β.4
Bila talasemia timbul pada populasi dimana variasi hemoglobin struktural
ada seringkali diturunkan gen talasemia dari satu orang tua dan gen varian
hemoglobin dari orang tua lainnya. Sebagai tambahan, mungkin didapatkan
talasemia alfa dan beta bersamaan. Interaksi dari beberapa gen ini menghasilkan
gambaran klinis yang bervariasi mulai dari kematian dalam rahim sampai sangat
ringan. Talasemia diturunkan berdasarkan hukum Mendel, resesif dan ko-
dominan. Heterozigot biasanya tanpa gejala homozigot atau gabungan heterozigot
gejalanya lebih berat dari talasemia alfa dan beta.4
Saat ini, berdasarkan derajat klinis dan kebutuhan transfusi, sindrom
talasemia dapat dikelompokkan secara fenotip menjadi dua kelompok utama,
yaitu talasemia bergantung transfusi (Transfusion Dependent Thalassaemias
(TDT)) dan talasemia tidak bergantung transfusi (Non-Transfusion Dependent
Thalassaemias (NTDT)). Pada TDT yang memerlukan transfusi darah yang
teratur untuk bertahan hidup dan tanpa dukungan transfusi yang adekuat, akan
mengalami komplikasi yang berat dan memperpendek masa hidup. Kelompok ini
termasuk pasien dengan talasemia beta mayor, talasemia beta/HbE berat, penyakit
HbH tergantung transfusi atau hidrops HbH dan hidrops HbBart yang bertahan
hidup.2

2.2.4. Etiologi
Dasar kelainan pada talasemia berlaku secara umum, yaitu talasemia alfa
disebabkan oleh delesi gen atau terhapus karena kesalahan genetik, yang mengatur
produksi tetramer globin, sedangkan pada talasemia beta karena adanya mutasi
gen tersebut.6
7

Gambar 2.2. Klasifikasi Fenotipik dari Sindrom Talasemia berdasarkan


Derajat Klinis dan Kebutuhan Transfusi2

2.2.5. Patofisiologi
Ada dua hal yang saling terkait yang berkontribusi terhadap terjadinya
talasemia beta mayor, yaitu produksi gen β-globin yang tidak adekuat
menyebabkan menurunnya kadar hemoglobin normal (HbA) dan produksi rantai
α- dan β-globin yang tidak seimbang. Pada talasemia beta mayor, rantai α-globin
berlebih terhadap rantai non-α-globin, dan tetramer α-globin (α4) terbentuk dan
muncul sebagai inklusi sel darah merah. Rantai α-globin dan inklusi bebas sangat
tidak stabil, mengendap dalam prekursor sel darah merah, merusak membran sel
darah merah, dan mempersingkat kelangsungan hidup sel darah merah yang
menyebabkan anemia dan peningkatan produksi eritroid. Ini menghasilkan
peningkatan yang ditandai dengan eritropoiesis dengan kematian prekursor
eritroid dini di sumsum tulang. Secara klinis, ini ditandai dengan kurangnya
pematangan eritrosit dan jumlah retikulosit yang rendah yang tidak sesuai.
Eritropoiesis yang tidak efektif ini dan ekspansi sumsum tulang masif
terkompensasi dengan hiperaktifitas eritroid yang menandakan talasemia beta.
Karena pasien talasemia beta-0 (β0) tidak dapat memproduksi HbA, rantai α
bergabung dengan rantai γ, menghasilkan HbF (α2γ2) menjadi hemoglobin
8

dominan. Selain efek bertahan hidup alami, rantai γ-globin dapat diproduksi
dalam peningkatan jumlah, yang diatur oleh polimorfisme genetik. Sintesis rantai
δ biasanya tidak terpengaruh pada talasemia beta atau pembawa sifat talasemia
beta, dan, oleh karena itu, pasien memiliki peningkatan relatif atau absolut dalam
produksi HbA2 (α2δ2).5

Gambar 2.3. Patofisiologi Talasemia Beta2

Pada sindrom talasemia alfa, 2 gen dengan 2 alel ibu dan 2 alel ayah
mengendalikan produksi α-globin, yang bervariasi dari yang tidak ada sama sekali
(hidrops fetalis) sampai yang hanya sedikit berkurang (karier tersembunyi
talasemia alfa). Pada sindrom talasemia alfa, kelebihan rantai β-globin dan γ-
globin dihasilkan. Rantai berlebih ini membentuk hemoglobin Bart (γ4) dalam
kehidupan janin dan HbH (β4) setelah lahir. Tetramer abnormal ini adalah
hemoglobin yang tidak berfungsi dengan afinitas oksigen yang sangat tinggi.
tetramer ini tidak mengangkut oksigen dan mengakibatkan hemolisis
9

ekstravaskular. Janin dengan bentuk talasemia alfa yang paling parah (hidrops
fetalis) berkembang dalam anemia uterus dan kehilangan janin karena produksi
HbF memerlukan jumlah α-globin yang cukup. Sebaliknya, bayi dengan talasemia
beta mayor menjadi simtomatik hanya setelah lahir ketika HbA mendominasi dan
produksi β-globin yang tidak cukup bermanifestasi dalam gejala klinis.5

2.2.6. Manifestasi Klinis


Bila tidak ditangani, anak-anak dengan talasemia beta-0 homozigot
biasanya menjadi simtomatik mulai dari anemia hemolitik yang progresif, dengan
kelemahan dan dekompensasi jantung yang serius selama 6 bulan kehidupan yang
kedua. Bergantung pada mutasi dan derajat produksi hemoglobin janin, transfusi
dalam talasemia beta mayor diperlukan pada awal 2 bulan sampai 2 tahun
kehidupan, tetapi jarang tertunda. Keputusan untuk transfusi bersifat multfaktorial
tetapi tidak hanya ditentukan oleh derajat anemia. Tanda yang muncul pada
eritropoiesis yang tidak efektif seperti gagal tumbuh, deformitas tulang sekunder
terhadap ekspansi sumsum tulang, hepatosplenomegali merupakan variabel yang
penting dalam menentukan untuk memulai transfusi.5
Presentasi klasik pada anak-anak dengan penyakit berat seperti facies
talasemik (hiperpasia maksila, jembatan hidung yang rata, penonjolan tulang
frontal), fraktur patologik, hepatosplenomegali, dan kaheksia dan saat ini terutama
muncul di negara yang tidak terdapat akses terapi transfusi berkepanjangan.
Kadang-kadang, pasien dengan anemia derajat sedang memiliki manifestasi klinis
tersebut oleh karena eritropoiesis yang tidak efektif kompensasi yang berat.
Pada pasien yang tidak ditransfusi dengan eritropoiesis yang tidak efektif
yang berat, splenomegali dapat muncul dengan hipersplenisme dan gejala
abdomen. Manifestasi klinis yang muncul dari eritropoiesis yang tidak efektif
seperti rongga medulla yang meluas (dengan ekspansi masif pada sumsum tulang
wajah dan kranium yang menghasilkan karakteristik facies talasemik),
hematopoiesis ekstramedullar, dan kebutuhan metabolik yang lebih tinggi.
Anemia kronik tanpa paparan transfusi menghasilkan peningkatan absorbsi zat
besi dari saluran cerna dan hemosiderosis sekunder yang dipicu cedera organ.5
10

Terapi transfusi berkepanjangan secara dramatis meningkatkan kualitas


hidup dan mengurangi komplikasi talasemia berat. Hemosiderosis yang dipicu
transfusi menjadi komplikasi klinis utama pada talasemia yang bergantung
transfusi. Setiap mL PRC (packed red cells) mengandung 1 mg zat besi. Secara
fisiologis, tidak terdapat mekanisme untuk mengeleminasi kelebihanzat besi
dalam tubuh. Zat besi secara inisial terdeposit di dalam hepar. Hemosiderosis
hepar muncul 1 tahun setelah terapi transfusi berkepanjangan dan diikuti dengan
deposisi zat besi di dalam sistem endokrin. Hal ini berdampak pada tingginya
angka hipotiroidisme, hipogonadotropik gonadisme, defisiensi GH (growth
hormone), hipoparatiroidisme, dan diabetes melitus. Setelah transfusi selama 10
tahun, disfungsi jantung sekunder terhadap hemosiderosis mulai tampak. Pada
akhirnya, kebanyakan pasien yang tidak mendapatkan terapi kelasi zat besi yang
adekuat akan meninggal oleh karena gagal jantung dan/atau aritmia jantung
sekunder terhadap hemosiderosis. Hemosiderosis yang menimbulkan morbiditas
dapat dicegah dengan pemberian terapi kelasi besi yang adekuat.5

2.2.7. Diagnosis
Talasemia yang bergantung pada transfusi adalah pasien yang
membutuhkan transfusi secara teratur seumur hidup. Diagnosis talasemia
ditegakkan dengan berdasarkan kriteria anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Manifestasi klinis talasemia mayor umumnya sudah
dapat dijumpai sejak usia 6 bulan.1,3

 Anamnesis
a. Pucat kronik; usia awitan terjadinya pucat perlu ditanyakan.
b. Pada talasemia beta/HbE usia awitan pucat umumnya didapatkan pada usia
yang lebih tua.
c. Riwayat transfusi berulang; anemia pada talasemia mayor memerlukan
transfusi berkala.
d. Riwayat keluarga dengan talasemia dan transfusi berulang.
e. Perut buncit; perut tampak buncit karena adanya hepatosplenomegali.
11

f. Etnis dan suku tertentu; angka kejadian talasemia lebih tinggi pada ras
Mediterania, Timur Tengah, India, dan Asia Tenggara. Talasemia paling
banyak di Indonesia ditemukan di Palembang 9%, Jawa 6-8%, dan
Makasar 8%.
g. Riwayat tumbuh kembang dan pubertas terlambat.1,3

 Pemeriksaan Fisik
Beberapa karakteristik yang dapat ditemukan dari pemeriksaan fisik pada anak
dengan talasemia bergantung transfusi adalah pucat, sklera ikterik, facies
Cooley (dahi menonjol, mata menjadi sipit, jarak kedua mata melebar, maksila
hipertrofi, maloklusi gigi), hepatosplenomegali, gagal tumbuh, gizi kurang/
buruk, perawakan pendek, pubertas terlambat, dan hiperpigmentasi kulit.1,3

 Pemeriksaan Penunjang
 Darah Perifer Lengkap (DPL)
a. Anemia yang dijumpai pada talasemia mayor cukup berat dengan
kadar hemoglobin mencapai < 7 g/dL.
b. Hemoglobinopati seperti Hb Constant Spring dapat memiliki MCV
dan MCH yang normal, sehingga nilai normal belum dapat
menyingkirkan kemungkinan sifat talasemia dan hemoglobinopati.
c. Indeks eritrosit merupakan langkah pertama yang penting untuk
skrining pembawa sifat talasemia (trait), thalassemia δβ, dan High
Persistent Fetal Haemoglobin (HPFH),
d. Mean Corpuscular Volume (MCV) < 80 fL (mikrositik) dan Mean
Corpuscular Haemoglobin (MCH) < 27 pg (hipokromik). Talasemia
mayor biasanya memiliki MCV 50 – 60 fL dan MCH 12 – 18 pg.
e. Nilai MCV dan MCH yang rendah ditemukan pada talasemia, dan
juga pada anemia defisiensi besi. MCH lebih dipercaya karena lebih
sedikit dipengaruhi oleh perubahan cadangan besi (less suscpetible to
storage changes).1,3
12

 Gambaran Darah Tepi


a. Anisositosis dan poikilositosis yang nyata (termasuk fragmentosit dan
tear-drop), mikrositik hipokromik, basophilic stippling, badan
Pappenheimer, sel target, dan eritrosit berinti (menunjukan defek
hemoglobinisasi dan diseritropoiesis)
b. Total hitung dan neutrofil meningkat
c. Bila telah terjadi hipersplenisme dapat ditemukan leukopenia,
neutropenia, dan trombositopenia.1,3

Gambar 2.4. Gambaran Darah Tepi pada Talasemia Mayor1

 Red Cell Distribution Width (RDW)


RDW menyatakan variasi ukuran eritrosit. Anemia defisiesi besi
memiliki RDW yang meningkat >14,5%, tetapi tidak setinggi seperti
pada talassemia mayor. Sifat talasemia memiliki eritrosit mikrositik yang
uniform sehingga tidak/hanya sedikit ditandai dengan peningkatan RDW.
Talasemia mayor dan intermedia menunjukkan peningkatan RDW yang
tinggi nilainya.1,3

 Retikulosit
Jumlah retikulosit menunjukkan aktivitas sumsum tulang. Pasien
thalassemia memiliki aktivitas sumsum tulang yang meningkat,
13

sedangkan pada anemia defisiensi besi akan diperoleh hasil yang


rendah.1,3

 High Performance Liquid Chromatography (HPLC)


a. Sebagai alat ukur kuantitatif HbA2 dan HbF, dan dapat dipakai untuk
mengidentifikasi dan menghitung varian hemoglobin secara presumtif.
Pemeriksaan alternatif dapat dilakukan jika varian hemoglobin yang
terdeteksi pada HPLC relevan dengan klinis pasien.1,3
b. HbF dominan (>90%) pada hampir semua kasus talasemia β berat,
kecuali pasien telah menerima transfusi darah dalam jumlah besar
sesaat sebelum pemeriksaan. HbA tidak terdeteksi sama sekali pada
talasemia β0 homozigot, sedangkan HbA masih terdeteksi sedikit pada
talasemia β+. Peningkatan HbA2 dapat memandu diagnosis sifat
thalasemia β.1,3
1) Kadar HbA2 mencerminkan derajat kelainan yang terjadi.
2) HbA2 3,6-4,2% pada talasemia β+ ringan.
3) HbA2 4-9% pada talasemia heterozigot β0 dan β+ berat.
4) HbA2 lebih dari 20% menandakan adanya HbE. Jika hemoglobin
yang dominan adalah HbF dan HbE, maka sesuai dengan
diagnosis talasemia β/HbE.
c. HbA2 normal tidak langsung menyingkirkan diagnosis talasemia.1,3
1) HbA2 dapat menjadi lebih rendah dari kadar sebenarnya akibat
kondisi defisiensi besi, sehingga diperlukan terapi defisiensi besi
sebelum melakukan HPLC ulang untuk menilai kuantitas subtipe
Hb.
2) Feritin serum rendah merupakan petunjuk adanya defisiensi besi,
namun tidak menyingkirkan kemungkinan sifat talasemia. Bila
defisiensi besi telah disingkirkan, nilai HbA2 normal, namun
indeks eritrosit masih sesuai dengan talassemia, maka dapat
dicurigai kemungkinan talassemia α, atau koeksistensi talassemia
β dan δ.
14

Gambar 2.5. Gambaran Analisis Hb dengan HPLC1

 Elektroforesis Hemoglobin
Beberapa cara pemeriksaan elektroforesis hemoglobin yang dapat
dilakukan adalah pemeriksaan Hb varians kuantitatif (electrophoresis
cellose acetate membrane), HbA2 kuantitatif (metode mikrokolom), HbF
(alkali denaturasi modifikasi Betke 2 menit), atau pemeriksaan
elektroforesis menggunakan capillary hemoglobin electrophoresis, dan
HbH badan inklusi (menggunakan pewarnaan supravital (retikulosit)).1,3

 Analisis DNA
Analisis DNA merupakan upaya diagnosis molekular talassemia, yang
dilakukan pada kasus atau kondisi tertentu:1,3
1. Ketidakmampuan untuk mengonfirmasi hemoglobinopati dengan
pemeriksaan hematologi:
a. Diagnosis talasemia beta mayor yang telah banyak menerima
transfusi. Diagnosis dapat diperkuat dengan temuan talasemia β
heterozigot (pembawa sifat talasemia beta) pada kedua orangtua.
b. Identifikasi karier dari talassemia beta tenang, talasemia beta
dengan HbA2 normal, talasemia α0, dan beberapa talasemia α+.
c. Identifikasi varian hemoglobin yang jarang.
2. Keperluan konseling genetik dan diagnosis prenatal.
15

Gambar 2.6. Alur Diagnosis Talasemia2

Tabel 2.1. Parameter Diagnostik untuk Talasemia dan Hemoglobinopati2


16

2.2.8. Penatalaksanaan
 Transfusi Darah
Tujuan transfusi darah pada pasien talasemia adalah untuk
menekan hematopoiesis ekstramedular dan mengoptimalkan tumbuh
kembang anak. Transfusi dilakukan apabila dari pemeriksaan laboratorium
terbukti pasien menderita talasemia mayor, atau apabila Hb < 7 g/dL
setelah 2 kali pemeriksaan dengan selang waktu > 2 minggu, tanpa adanya
tanda infeksi atau didapatkan nilai Hb > 7 g/dL dan dijumpai perubahan
muka/facies Cooley, gagal tumbuh, fraktur tulang, dan/atau curiga adanya
hematopoietik ekstramedullar .1,2,3
Pasien perlu menjalani pemeriksaan laboratorium berikut sebelum
memulai transfusi pertama:1
a. Profil besi: feritin serum, serum iron (SI), total iron binding capacity
(TIBC).
b. Kimia darah berupa uji fungsi hati; SGOT, SGPT, PT, APTT, albumin,
bilirubin indirek, dan bilirubin direk.
c. Fungsi ginjal : ureum, kreatinin.
d. Golongan darah: ABO, Rhesus.
e. Penanda virus yang dapat ditransmisikan melalui transfusi darah:
antigen permukaan Hepatitis B (HbsAg), antibodi Hepatitis C (anti-
HCV), dan antibodi HIV (anti-HIV).
f. Bone age.
Volume dan kecepatan darah yang ditransfusikan bergantung pada
nilai Hb pratransfusi. Volume transfusi 10-15 mL/kg untuk Hb ≥ 6 g/dL,
dan 2-5 mL/kg untuk Hb < 6 g/dL. Interval transfusi 12 jam, dan jarak
antara transfusi berikutnya 2-4 minggu. Transfusi dilakukan dengan target
Hb post-transfusi 12-13 g/dL dan Hb pratransfusi 9-10 g/dL. Pemberian
diuretik tidak rutin diberikan pada anemia berat. Diuretik hanya hanya
diberikan pada klinis gagal jantung. Darah yang diberikan adalah darah
leucodepleted yang telah menjalani uji skrining NAT dengan golongan
darah yang sama (ABO, Rh). Bila darah berjenis PRC biasa atau
17

leucoreduced maka tetap dianjurkan memakai bedside filter. Bila tranfusi


darah leucodepleted dan NAT tidak tersedia maka diupayakan mencari
donor tetap yang telah menjalani skrining rutin. Dilakukan pemeriksaan
berkala untuk menyingkirkan penyakit yang ditularkan melalui transfusi,
yaitu HbsAg, anti-HCV, dan anti-HIV penyaring.1,2,3,4

 Terapi Kelasi Besi


Kelebihan besi dapat menimbulkan komplikasi jangka panjang di
berbagai sistem organ. Pemberian terapi kelasi besi dapat mencegah
komplikasi kelebihan besi dan menurunkan angka kematian pada pasien
talasemia. Terapi kelasi besi bertujuan untuk detoksifikasi kelebihan besi
yaitu mengikat besi yang tidak terikat transferin di plasma dan
mengeluarkan besi dari tubuh.1
Kelasi besi diberikan bila kadar ferritin serum >1000 ng/mL atau
saturasi transferin >70% atau bila data laboratorium tidak tersedia, maka
digunakan estimasi pasien telah mendapatkan 3-5 liter atau 10-20 kali
transfusi PRC.1,2,3,4
Desferoksamin (DFO) merupakan lini pertama kelasi besi pada
anak. Desferoksamin diberikan dengan dosis 30–60 mg/kg per kali,
dengan kecepatan maksimal 15 mg/kg/jam dan total dosis per hari tidak
melebihi 4-6 gram. Jarum dipasang di paha atau perut hingga mencapai
dermis dan dihubungkan dengan syringe pump. Jika pump tidak tersedia
maka DFO dapat diberikan secara drip intravena, dalam NaCl 0,9% 500
mL. Asam askorbat (vitamin C) dapat meningkatkan ekskresi besi jika
diberikan bersamaan dengan desferoksamin, sehingga vitamin C
dikonsumsi per oral dengan dosis 2-4 mg/kg/hari (100-250 mg) segera
setelah infus desferoksamin dimulai. Desferoksamin tidak disarankan pada
pasien anak usia < 2 tahun karena risiko toksisitas yang lebih tinggi pada
usia lebih muda dan pada pasien dengan timbunan besi minimal.
Desferoksamin dengan dosis lebih tinggi yaitu 60-100 mg/kg berat badan
per hari, 24 jam per hari, 7 hari per minggu, secara intravena,
18

diindikasikan pada pasien dengan hemosiderosis berat dan disfungsi organ


vital misalnya kardiomiopati atau gagal jantung.1
Deferipron dan deferasiroks dapat menjadi pilihan bila pasien
menolak atau tidak patuh dalam menggunakan desferoksamin. Deferipron
merupakan kelator oral yang telah banyak digunakan di dunia. Deferipron
mampu menurunkan timbunan besi dalam tubuh, bahkan lebih efektif
menurunkan besi di jantung dibandingkan desferoksamin. Dosis yang
diberikan adalah 75-100 mg/kg per hari, dibagi dalam 3 dosis, diberikan
per oral sesudah makan. Efek samping yang dilaporkan adalah nyeri perut
dan diare, neutropenia ringan (1.200/uL), dan atralgia, yang semuanya
membaik spontan walaupun DFP dilanjutkan. Sementara itu, deferasiroks
adalah kelator oral berupa tablet dispersible. Bioavailabilitas oralnya baik
dan waktu paruhnya panjang sehingga sesuai untuk pemberian 1 kali per
hari. Dosis dimulai dari 20 hingga 40 mg/kg/hari. Tablet dicampurkan ke
dalam air, jus apel, atau jus jeruk, dan sebaiknya dikonsumsi dalam
keadaan perut kosong 30 menit sebelum atau setelah makan.
Terapi kombinasi desferoksamin dan deferipron diberikan bila
kadar feritin serum bertahan ≥ 2.500 ng/mL selama 3 bulan, atau adanya
gangguan fungsi jantung/kardiomiopati akibat kelebihan besi, atau MRI
T2 jantung < 20 ms sesuai dengan hemosiderosis jantung.

 Nutrisi
Pasien talasemia umumnya mengalami defisiensi nutrisi akibat
proses hemolitik, peningkatan kebutuhan nutrisi, dan morbiditas yang
menyertainya seperti kelebihan besi, diabetes, dan penggunaan kelasi besi.
Oleh karena itu, Semua pasien thalassemia harus mendapatkan nutrisi
adekuat. Perlu dilakukan penilaian dan konsultasi gizi berkala sesuai
dengan asuhan nutrisi pediatrik.1
Vitamin E 2 x 200 IU/hari dan asam folat 2 x 1 mg/hari diberikan
pada semua pasien talasemia. Asam folat tidak diberikan pada pasien
19

dengan kadar pretransfusi Hb < 9 g/dL. Vitamin C 2-3 mg/kg/hari


diberikan secara bersamaan pada saat pemberian desferoksamin.1

 Splenektomi
Transfusi yang optimal saat ini biasanya dapat menghindarkan pasien dari
tindakan splenektomi, namun splenektomi dapat dipertimbangkan pada
beberapa indikasi di bawah ini:1
a. Kebutuhan transfusi meningkat hingga lebih dari 200-250 mL PRC
/kg/tahun atau 1,5 kali lipat dibanding kebutuhan biasanya (kebutuhan
transfusi pasien thalassemia umumnya 180 mL/kg/tahun).1
b. Kondisi hipersplenisme ditandai oleh splenomegali dan leukopenia atau
trombositopenia persisten, yang bukan disebabkan oleh penyakit atau
kondisi lain.1
c. Splenektomi dapat mengurangi kebutuhan transfusi darah secara
signifikan hingga berkisar 30-50% dalam jangka waktu yang cukup
lama. Splenomegali masif yang menyebabkan perasaan tidak nyaman
dan berisiko untuk terjadinya infark dan ruptur bila terjadi trauma.1

2.2.9. Komplikasi
Komplikasi pada talasemia dapat terjadi akibat penyakit dasarnya, akibat
pengobatan, dan akibat terapi kelasi besi, sehingga pemantauan komplikasi yang
terjadi perlu dilakukan terus-menerus. Komplikasi akibat penyakit dasar meliputi
anemia berat, komplikasi jantung yang berkaitan dengan anemia, fraktur
patologis, komplikasi endokrin (meliputi gagal tumbuh, perawakan pendek,
pubertas terlambat, hipogonadisme, hipotiroid, diabetes melitus, osteoporosis,
osteopenia, hipoparatiroid, hipoadrenal, impotensi, dan infertilitas), gagal tumbuh,
gizi kurang, perawakan pendek, dan pembesaran organ-organ abdomen yang
menekan organ sekitarnya.1
Komplikasi pengobatan (akibat transfusi) yaitu penumpukan besi pada
organ jantung (kardiomiopati), hemosiderosis hati, paru, dan organ endokrin.
Transmisi berbagai virus melalui transfusi juga dapat terjadi, khususnya hepatitis
20

B, hepatitis C, malaria, dan HIV. Risiko saat transfusi seperti kelebihan darah atau
transfusi yang terlalu cepat dapat menimbulkan gagal jantung, dan dapat terjadi
reaksi hemolitik akibat ketidakcocokan darah yang diberikan. Kelebihan besi yang
telah terjadi dalam jaringan tubuh sangat sulit diatasi karena hanya sedikit kelator
besi yang dapat mengikat kelebihan besi dalam jaringan dan memerlukan waktu
yang lama untuk dapat mengembalikan kadar besi tubuh ke tingkat yang aman.1
Komplikasi akibat terapi kelasi besi bergantung dari kelator yang
diberikan. Desferoksamin dapat menyebabkan komplikasi pada pendengaran,
gangguan penglihatan, gangguan fungsi hati dan ginjal, serta menyebabkan
gangguan pertumbuhan. Deferipron terutama menyebabkan neutropenia,
gangguan fungsi hati, dan ginjal. Deferasiroks menyebabkan gangguan fungsi hati
dan ginjal.1

2.2.10. Pencegahan
Pencegahan talasemia terutama ditujukan untuk menurunkan jumlah bayi
lahir dengan talasemia mayor. Ada 2 pendekatan dalam pencegahan talasemia,
yaitu secara retrospektif dan prospektif. Pendekatan retrospektif dilakukan dengan
penelusuran terhadap anggota keluarga pasien talasemia mayor, sementara
pendekatan prospektif dilakukan dengan skrining untuk mengidentifikasi karier
talasemia pada populasi tertentu. Secara garis besar bentuk pencegahan talasemia
dapat berupa edukasi tentang penyakit thalassemia pada masyarakat, skrining
(carrier testing), konseling genetika pranikah, dan diagnosis pranatal.1

 Edukasi
Edukasi masyarakat tentang penyakit thalasemia memegang peranan yang
sangat penting dalam program pencegahan. Masyarakat harus diberikan
pengetahuan tentang penyakit yang bersifat genetik dan diturunkan, terutama
tentang thalasemia dengan frekuensi kariernya yang cukup tinggi. Pendidikan
genetika harus diajarkan di sekolah, demikian pula pengetahuan tentang
gejala awal thalasemia. Media massa dapat berperan lebih aktif
menyebarluaskan informasi tentang thalasemia, meliputi gejala awal, cara
21

penyakit diturunkan dan cara pencegahannya. Program pencegahan


thalasemia harus melibatkan pihak terkait. Sekitar 10% dari total anggaran
program harus dialokasikan untuk penyediaan materi edukasi dan pelatihan
tenaga kesehatan.1

 Skrining Karier
Skrining massal dan konseling genetika telah berhasil di Italia, Yunani, dan
tempat yang memiliki fekuensi gen thalassemia tinggi. Skrining pada
populasi (skrining prospektif) dikombinasikan dengan diagnostik pranatal
telah menurunkan insidens talasemia secara dramatis. Skrining talasemia
ditujukan untuk menjaring karier talasemia pada suatu populasi, idealnya
dilakukan sebelum memiliki anak. Skrining ini bertujuan untuk
mengidentifikasi individu dan pasangan karier, dan menginformasikan
kemungkinan mendapat anak dengan thalasemia dan pilihan yang dapat
dilakukan untuk menghindarinya. Target utama skrining adalah penemuan -β-
dan α° talasemia, serta Hb S, C, D, E. Skrining dapat dilakukan di sekolah,
klinik dokter keluarga, klinik keluarga berencana, klinik antenatal, saat
bimbingan pranikah, atau pada saat bayi baru lahir. Pada daerah dengan risiko
tinggi dapat dilakukan program skrining khusus pranikah atau sebelum
memiliki anak. Pendekatan genetik klasik dalam mendeteksi karier
berdasarkan penelusuran silsilah keluarga dianggap kurang efektif dibanding
dengan skrining populasi. Bila ada individu yang teridentifikasi sebagai
karier, maka skrining pada anggota keluarga yang lain dapat dilakukan.
Skrining silsilah genetik khususnya efektif pada daerah yang sering terjadi
perkawinan antar kerabat dekat.

 Konseling Genetika
Informasi dan konseling genetika harus tersedia ditempat skrining karier
dilakukan. Tenaga kesehatan tidak boleh memaksa orang untuk menjalani
skrining dan harus mampu menginformasikan pada peserta skirining bila
mereka teridentifikasi karier dan implikasinya. Prinsip dasar dalam konseling
22

adalah bahwa masing-masing individu atau pasangan memiliki hak untuk


menentukan pilihan, hak untuk mendapat informasi akurat secara utuh, dan
kerahasiaan mereka terjamin penuh. Hal yang harus diinformasikan
berhubungan dengan kelainan genetik secara detil, prosedur obstetri yang
mungkin dijalani dan kemungkinan kesalahan diagnosis pranatal. Informasi
tertulis harus tersedia dan catatan medis untuk pilihan konseling harus
tersimpan. Pemberian informasi pada pasangan ini sangat penting karena
memiliki implikasi moral dan psikologi ketika pasangan karier dihadapkan
pada pilihan setelah dilakukan diagnosis pranatal. Pilihan yang tersedia tidak
mudah dan mungkin tiap pasangan memiliki pilihan yang berbeda-beda.
Tanggung jawab utama seorang konselor adalah memberikan informasi yang
akurat dan komprehensif yang memungkinkan pasangan karier menentukan
pilihan yang paling mungkin mereka jalani sesuai kondisi masing-masing.1

 Diagnosis Pranatal
Diagnosis pranatal dapat dilakukan antara usia 8-18 minggu kehamilan.
Metode yang digunakan adalah identifkasi gen abnormal pada analisis DNA
janin. Pengambilan sampel janin dilakukan melalui amniosentesis atau biopsi
vili korialis (CVS/chorionic villus sampling). Tindakan amniosentesis, yaitu
mengambil cairan amnion, umumnya efektif dilakukan pada usia kehamilan
>14 minggu. Hal ini dikarenakan pada usia kehamilan tersebut cukup banyak
sel-sel janin yang sudah lepas ke dalam cairan amnion. Teknik ini relatif lebih
mudah, namun mempunyai kelemahan yaitu dilakukan pada usia kehamilan
yang lebih besar. Kelemahan utama dari amniosentesis trimester kedua adalah
bahwa hasil akhir biasanya hanya dapat diketahui setelah usia gestasi 17
minggu. Lamanya masa tunggu untuk mendapatkan diagnosis merupakan hal
yang sangat berat bagi pasangan, terutama karena kebanyakan dokter
kandungan enggan untuk menawarkan terminasi bedah pada usia kehamilan
lanjut. Pilihan untuk diagnosis pada usia gestasi sebelum 17 minggu yaitu
CVS dan amniosentesis dini.1
23

BAB 3
LAPORAN KASUS

No. RM : 11.75.04 Tanggal Masuk : 14 Maret 2019


Nama Pasien : An. SS Agama : Kristen Protestan
Jenis Kelamin : Laki-laki Suku : Batak
Umur : 5 tahun 3 bulan
Alamat : Kelurahan Tarutung Bolak, Kecamatan Sorkam,
Kabupaten Tapanuli Tengah

ANAMNESIS

Keluhan Utama : Pucat

Riwayat Perjalanan Penyakit :


Hal ini dialami pasien sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit. Riwayat pucat
sering dialami pasien sejak 1 tahun yang lalu dan selalu dirawat di RS untuk
mendapat transfusi darah. Perut membesar juga dirasakan pasien dalam 1 minggu
ini. Pasien juga merasa lemas dalam 1 minggu ini. Namun pasien masih memiliki
nafsu makan dan ingin minum. Saat ini pasien tidak mengalami demam, batuk,
pilek, dan sesak napas. Riwayat mimisan dan gusi berdarah disangkal oleh pasien.
BAB dalam batas normal. BAK dalam batas normal.

Riwayat Penyakit Terdahulu : Pasien sering pucat dan didiagnosa


talasemia sejak bulan Mei 2018, lalu
pasien juga pernah didiagnosa TB
paru pada bulan Agustus 2018.

Riwayat Penggunaan Obat-obatan : Pasien pernah dirawat di RS dan


mendapat transfusi darah pada bulan
24

Mei 2018, Agustus 2018, dan Januari


2019, dan OAT kategori 1 pada
bulan Agustus 2018.

Riwayat Penyakit Keluarga : Tidak jelas.

Riwayat Kehamilan dan Persalinan:


- Anak pertama dari satu anak.
- Usia ibu saat hamil 24 tahun.
- Kehamilan aterm.
- Persalinan spontan pervaginam ditolong oleh bidan.
- Berat badan lahir 3.500 gram dan panjang badan lahir 48 cm.
- Sianosis dan ikterus tidak dijumpai sewaktu lahir.

Riwayat Pemberian ASI : ASI eksklusif dari lahir sampai 4


bulan dan dilanjutkan dengan
pemberian makanan tambahan dan
susu formula mulai dari sejak usia 4
bulan.

Riwayat Imunisasi : Imunisasi lengkap.

Riwayat Tumbuh Kembang : Mengangkat kepala usia 3 bulan,


tengkurap usia 4 bulan, duduk usia 9
bulan, merangkak usia 10 bulan,
berdiri usia 9 bulan, berjalan usia 10
bulan, berbicara usia 12 bulan.
25

PEMERIKSAAN FISIK
Status Presens
Keadaan Umum : Sedang
Sensorium : Compos Mentis
Denyut Nadi : 120 kali/menit, reguler Anemis : (+)
Frekuensi Napas : 24 kali/menit Ikterik : (-)
Temperatur : 37,2 ºC Dispnea : (-)
Berat Badan : 13,5 kg Sianosis : (-)
Tinggi Badan : 106 cm Edema : (-)

Status Lokalisata
 Kepala : Normosepali
 Mata : Rc +/+, pupil isokor, konjungtiva palpebra anemis (+/+),
sklera ikterik (-/-)
 Telinga : Dalam batas normal
 Hidung : Dalam batas nomral
 Mulut : Bibir pucat (+)
 Leher : Pembesaran KGB (-), TVJ R-2 cmH2O
 Toraks
 Inspeksi : Simetris fusiformis, retraksi (-)
 Palpasi : Stem fremitus kanan = kiri, kesan normal
 Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru
 Auskultasi
 Jantung : S1, S2 (+) normal, S3 (-), S4 (-), denyut jantung
120 kali/menit, reguler, desah jantung (-)
 Paru : Suara Pernafasan : Vesikuler
Suara tambahan : Ronki (-), mengi (-)
 Abdomen
 Inspeksi : Simetris membesar
 Palpasi : Soepel, hepar teraba 2 jari di bawah arkus kosta, lien
teraba Hecket II-III, Schuffner I-II, nyeri tekan (-)
26

 Perkusi : Timpani, undulasi (-), pekak beralih (-)


 Auskultasi: Peristaltik (+) normal
 Genitalia : Laki-laki, normal
 Ekstremitas : Denyut nadi 120 x/menit, reguler, t/v cukup, akral hangat,
CRT < 3 detik, edema (-), fraktur (-)

HASIL LABORATORIUM (14 MARET 2019)

PEMERIKSAAN HASIL UNIT NILAI RUJUKAN


Darah Lengkap
Hemoglobin (Hb) 4,0 g/dL Laki-laki : 13-16
Hematokrit 13,8 % Perempuan : 12-15
Eritrosit 2.240.000 /mm3 4.400.000-5.900.000
Leukosit 8.500 /mm3 3.800-10.600
Trombosit 225.000 /mm3 150.000-400.000
Laki-laki : < 20
LED 46 mm/jam
Perempuan : < 25
MCV 62,0 Fl 74-96
MCH 17,8 Fg 27-32
MCHC 28,9 % 30-36
Golongan Darah “B”/Rhesus +
Hitung Jenis Leukosit
Eosinofil 1 % 1-3
Basofil 0 % 0-1
Neutrofil 48 % 47-80
Limfosit 47 % 20-40
Monosit 4 % 2-10
Morfologi Darah Tepi
Hipokrom Mikrositer
Eritrosit
Tear drops (+), pensil sel (+), basopihilic stippling (+)
27

Leukosit Normal
Trombosit Normal
Kesan Anemia Hipokrom Mikrositer

DIAGNOSA KERJA
Talasemia

PENATALAKSANAAN
- Transfusi PRC 250 mL (2 bag PRC, 1 bag PRC = 125 mL)
Total mL yang dibutuhkan = (Hb target – Hb terukur) x berat badan x 3
= (10,0 – 4,0) x 13,5 x 3
= 243 mL ≈ 250 mL
- Premedikasi pretransfusi  Deksametason ½ ampul, Furosemid 1 ampul
- IVFD NaCl 0,9% 20 tetes/menit (mikro)
- Diet M II
28

FOLLOW UP

HARI/TGL FOLLOW UP PENATALAKSANAAN


Jumat, S: Pucat (+) P: Transfusi PRC 1 bag
15/3/2019 O: Sens: CM Premedikasi transfusi 
HR: 112 x/i Deksametason ½ ampul,
RR: 24 x/i Furosemid 1 ampul
T: 36,6 oC IVFD NaCl 0,9% 20 gtt/i
Kepala: Normosepali (mikro)
Mata: Konj. anemis (+/+), Rc Diet M II
(+/+), pupil isokor Awasi tanda vital
Mulut: Bibir pucat
Toraks: SP: Vesikuler, ST: -
Abdomen: Simetris membesar,
soepel, hepar: teraba 2 jari
b.a.c., lien: teraba, H II-III, S I-
II, peristaltik (+) normal
Ekstremitas: Akral hangat
A: Talasemia
Sabtu, S: Pucat (-) P: IVFD NaCl 0,9% 20 gtt/i
16/3/2019 O: Sens: CM (mikro)
HR: 104 x/i Diet M II
RR: 22 x/i Awasi tanda vital
T: 36,5 oC
Kepala: Normosepali R/ Cek Darah Lengkap Post-
Mata: Konj. anemis (-/-), Rc Transfusi
(+/+), pupil isokor
Mulut: Bibir pucat (-)
Toraks: SP: Vesikuler, ST: -
Abdomen: Simetris membesar,
29

soepel, hepar: teraba 1 jari


b.a.c., lien: teraba, H I-II, S I-II,
peristaltik (+) normal
Ekstremitas: Akral hangat
A: Talasemia
Minggu, S: Pucat (-) P: Pasien PBJ
17/3/2019 O: Sens: CM
HR: 100 x/i Obat PBJ:
RR: 20 x/i Maltiron sirup 1 x cth.I
T: 36,5 oC
Kepala: Normosepali
Mata: Konj. anemis (-/-), Rc
(+/+), pupil isokor
Mulut: Bibir pucat (-)
Toraks: SP: Vesikuler, ST: -
Abdomen: Simetris, H/L: ttb,
peristaltik (+) normal
Ekstremitas: Akral hangat
A: Talasemia
Hasil Laboratorium (17/3/2019)
Parameter Hasil
Hb 11,0 g/dL
Hematokrit 37,1 %
Leukosit 5.300 /mm3
Trombosit 146.000 /mm3
LED 15 mm/jam
MCV 73,2 Fl
MCH 24,0 Fg
MCHC 32,8 %
E/B/N/L/M 1/0/58/32/9
30

BAB 4
PEMBAHASAN

KASUS TEORI
Anamnesis Anamnesis
Pucat dialami pasien sejak 1 minggu  Pucat yang lama (kronis)
sebelum masuk rumah sakit. Riwayat  Terlihat kuning
pucat sering dialami pasien sejak 1  Mudah infeksi
tahun yang lalu dan selalu dirawat di  Perut membesar akibat
RS untuk mendapat transfusi darah. hepatosplenomegali
Perut membesar juga dirasakan pasien  Pertumbuhan terhambat/pubertas
dalam 1 minggu ini. Pasien juga merasa terlambat
lemas dalam 1 minggu ini. Namun  Riwayat transfusi berulang (jika
pasien masih memiliki nafsu makan dan sudah pernah transfusi
ingin minum. Saat ini pasien tidak sebelumnya)
mengalami demam, batuk, pilek, dan  Riwayat keluarga yang menderita
sesak napas. Riwayat mimisan dan gusi talasemia
berdarah disangkal oleh pasien. BAB
dalam batas normal. BAK dalam batas
normal.
RPT: Talasemia dan TB paru.
RPO: Transfusi darah 3 kali dan OAT
kategori 1.
RPK: Tidak jelas.
Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan Fisik
Sensorium: CM Anemis: (+)  Anemia/pucat
Nadi: 120 x/i Ikterik: (-)  Ikterus
Napas: 24 x/i Dispnea: (-)  Facies Cooley
Temperatur: 37,2 ºC Sianosis: (-)  Hepatosplenomegali
BB: 13,5 kg, TB: 106 cm Edema: (-)  Gizi kurang/buruk
31

Kepala : Normosepali  Perawakan pendek


Mata : Konjungtiva palpebra anemis  Hiperpigmentasi kulit
(+/+), sklera ikterik (-/-)  Pubertas terlambat
T/H/M : Normal/normal/bibir pucat (+)
Toraks : SP: Vesikuler, ST : -
Abdomen : Soepel, peristaltik (+) N,
hepar teraba 2 jari b.a.c., lien teraba H
II-III, S I-II, nyeri tekan (-)
Genitalia : Laki-laki, normal
Ekstremitas : Akral hangat
Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan Penunjang
Tanggal 14/3/2019 Darah perifer lengkap (DPL)
Hb/Ht/L/T : 4,0/13,8/8.500/225.000  Hb (< 7 g/dL)
MCV/MCH/MCHC : 62,0/17,8/28,9  MCV (< 80 fL), MCH (< 27 pg),
LED: 46 MCHC (< 30%), RDW meningkat
E/B/N/L/M : 1/0/48/47/4 Gambaran darah tepi
Morfologi Darah Tepi:  Anisositosis dan poikilositosis
Eritrosit: Hipokrom mikrositer  Tear (fragmentosit dan tear-drop),
drops (+), pensil sel (+), basopihilic mikrositik hipokromik, basophilic
stippling (+), leukosit: Normal, stippling, badan Pappenheimer, sel
trombosit: Normal, kesan: Anemia target, dan eritrosit berinti
hipokrom mikrositer  Total hitung dan neutrofil
Tanggal 17/3/2019 meningkat
Hb/Ht/L/T : 11,0/37,1/5.300/146.000  Bila telah terjadi hipersplenisme
MCV/MCH/MCHC : 73,2/24,0/32,8 dapat ditemukan leukopenia,
LED: 15 neutropenia, dan trombositopenia.
E/B/N/L/M : 1/0/58/32/0 Analisis hemoglobin
 Elektroforesis hemoglobin  tidak
ditemukannya HbA dan
meningkatnya HbA2 dan HbF
32

BAB 5
KESIMPULAN

Anak SS, 5 tahun 3 bulan, laki-laki, berat badan 13,5 kg, tinggi badan 106 cm,
dibawa oleh orang tuanya ke RSU Dr. F. L. Tobing Sibolga pada tanggal 14 Maret
2019 dengan keluhan pucat sejak 1 minggu SMRS dengan riwayat sering menjalani
transfusi berulang. Pasien didiagnosa dengan talasemia. Selanjutnya pasien diterapi
dengan transfui PRC 250 mL, premedikasi pretransfusi berupa pemberian
deksametason ½ ampul dan furosemid 1 ampul, IVFD NaCl 0,9% 20 tetes/menit
mikro, dan diet M II. Setelah Hb pasien naik, pasien diperbolehkan PBJ pada
tangga 17 Maret 2019 dengan obat pulang Maltiron sirup 1 x cth. I.
33

DAFTAR PUSTAKA

1. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tatalaksana Thalasemia. Jakarta:


Kementrian Kesehatan Republik Indonesia; 2018.
2. Viprakasit V, Origa R. Genetic Basis, Pathophysiology and Diagnosis. In:
Cappellini MD, Cohen A, Porter J, Taher A, Viprakasit V. Guidelines for the
Management of Transfusion Dependent Thalassaemia (TDT). 3 rd Edition.
Nicosia (Cyprus): Thalassaemia International Federation (TIF); 2014. p. 14-
27.
3. Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP, Harmoniati
ED. Pedoman Pelayanan Medis (PPM) Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI).
Jakarta: IDAI; 2009. h. 299-302.
4. Permono B, Ugrasena IDG. Talasemia. Dalam: Permono B, Sutaryo,
Ugrasena IDG, Windiastuti E, Abdulsalam M. Buku Ajar Hematologi-
Onkologi Anak. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI); 2006. p. 64-
84.
5. DeBaun MR, Frei-Jones MJ, Vichinsky EV. Thalassemia Syndromes. In:
Kliegman RM, Stanton BF, St. Geme JW, Schor NF. Nelson Textbook of
Pediatrics. 20th Edition. Philadelphia (USA): Elsevier; 2016. p. 2349-2353.
6. Yunanda Y. Thalasemia. Medan: Universitas Sumatera Utara (USU); 2008.

Anda mungkin juga menyukai