Anda di halaman 1dari 63

LAPORAN KASUS

GIZI BURUK MARASMUS

Oleh:
Nurhasanah 1808320055
Annisa Rahmadayani 1808320056
M. Pany Al-A’raf 1808320088
Adinda Nadira Larasati 1808320096
Muhammad Ikhsan 1808320097

Pembimbing:
dr. Washly Zakiyah, M.Ked(Ped), Sp.A
SMF ILMU ANAK
RSUD DELI SERDANG LUBUK PAKAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA UTARA
LUBUK PAKAM
2019

KATA PENGANTAR
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang

telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, akhirnya penulis dapat

menyelesaikan laporan kasus ini guna memenuhi persyaratan Kepaniteraan Klinik

Senior di bagian SMF Ilmu Anak RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam dengan

Judul “Gizi Buruk Marasmus”.

Telaah jurnal ini bertujuan agar penulis dapat memahami lebih dalam

teori-teori yang diberikan selama menjalani Kepaniteraan Klinik SMF Ilmu Anak

RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam dan mengaplikasikannya untuk kepentingan

klinis kepada pasien. Penulis mengucapkan terimakasih kepada dr. Washly

Zakiyah, M.Ked(Ped), Sp.A yang telah membimbing penulis dalam laporan

kasus ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa laporan kasus ini masih memiliki

kekurangan, oleh karena itu penulis mengharapkan saran yang membangun dari

semua pihak yang membaca laporan kasus ini. Harapan penulis semoga laporan

kasus ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang membacanya.

Lubuk Pakam, Mei 2019

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................... ii
DAFTAR ISI ................................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR....................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN............................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..................................................................... 2
2.1 Definisi.................................................................................................... 3
2.2 Etiologi.................................................................................................... 4
2.3 Epidemiologi .......................................................................................... 4
2.4 Faktor Risiko........................................................................................... 4
2.5 Klasifikasi ............................................................................................... 6
2.6 Manifestasi Klinis................................................................................... 11
2.7 Antopometri ........................................................................................... 14
2.8 Patogenesis.............................................................................................. 15
2.9 Diagnosis................................................................................................. 17
2.10 Penatalaksanaan...................................................................................... 20
2.11 Komplikasi.............................................................................................. 34
2. 12 Prognosis................................................................................................. 36
2.13 Pencegahan ............................................................................................. 36
BAB II KESIMPULAN.................................................................................. 37
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 42
LAMPIRAN.................................................................................................... 44

3
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Patogenesis Marasmus…………………………….16

4
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Usia balita merupakan periode pertumbuhan dan perkembangan yang
sangat pesat. Oleh karena itu, kelompok usia balita perlu mendapat perhatian,
karena merupakan kelompok yang rawan terhadap kekurangan gizi.Status gizi
adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat
gizi. 1
Gizi buruk merupakan status kondisi seseorang yang kekurangan nutrisi,
atau nutrisinya di bawah standar. Gizi buruk masih menjadi masalah yang belum
terselesaikan sampai saat ini. Gizi buruk dapat terjadi pada semua kelompok
umur, tetapi yang perlu lebih diperhatikan pada kelompok bayi dan balita. Pada
usia 0-2 tahun merupakan masa tumbuh kembang yang optimal (golden period)
sehingga bila terjadi gangguan pada masa ini tidak dapat dicukupi pada masa
berikutnya dan akan berpengaruh negatif pada kualitas generasi penerus. 2
Keadaan gizi masyarakat Indonesia pada saat ini masih belum
menggembirakan. Faktor-faktor yang mempengaruhi keadaan tersebut antara lain
adalah tingkat kemampuan keluarga dalam menyediakan pangan sesuai dengan
kebutuhan anggota keluarga, pengetahuan dan perilaku keluarga dalam meilih,
mengolah, dan membagi makanan di tingkat rumah tangga, ketersediaan air bersih
dan fasilitas sanitasi dasar serta ketersediaan dan aksesibilitas terhadap pelayanan
kesehatan dan gizi masyarakat yang berkualitas.3
Status gizi balita dapat diukur dengan indeks berat badan per umur
(BB/U), tinggi badan per umur (TB/U) dan berat badan per tinggi badan (BB/TB).
Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia tahun 2016 didapatkan hasil persentase
gizi buruk sebesar 3,4% menurut indeks BB/U pada balita 0-59 bulan. Angka
tersebut tidak jauh berbeda dengan hasil tahun 2015, yaitu sebesar 3,9%.
Sedangkan hasil penimbangan status gizi pada balita 0-23 bulan menurut indeks
BB/U tahun 2016 adalah 3,1% gizi buruk, hasil ini relatif sama dengan hasil tahun
2015 yaitu 3,2%.4

1
Gizi buruk (severe malnutrition) adalah suatu istilah teknis yang umumnya
dipakai oleh kalangan gizi, kesehatan dan kedokteran. Gizi buruk adalah bentuk
terparah dari proses terjadinya kekurangan gizi menahun. Menurut Departemen
Kesehatan (2004), pada tahun 2003 terdapat sekitar 27,5% (5 juta balita kurang
gizi), 3,5 juta anak (19,2%) dalam tingkat gizi kurang, dan 1,5 juta anak gizi
buruk (8,3%). WHO (1999) mengelompokkan wilayah berdasarkan prevalensi
gizi kurang ke dalam 4 kelompok yaitu: rendah (di bawah 10%), sedang (10-
19%), tinggi (20-29%), sangat tinggi (30%).4,5
Gizi buruk masih merupakan masalah di Indonesia, walaupun Pemerintah
Indonesia telah berupaya untuk menanggulanginya. Data Dusenas menunjukkan
bahwa jumlah balita yang BB/U < -3 SD Z-score WHO-NCHS sejak tahun 1989
meningkatkan dari 6,3 % menjadi 7,2 % tahun 1992 dan mencapai puncaknya
11,6% pada tahun 1995. Upaya Pemerintah antara lain melalui pemberian
makanan tambahan dalam jaringan pengaman sosial (JPS) dan peningkatan
pelayanan gizi melalui pelatihan-pelatihan tatalaksana gizi buruk kepada tenaga
kesehatan, berhasil menurunkan angka gizi buruk menjadi 10,1% pada tahun
1998, 8,1% pada tahun 1999, dan 6,3% tahun 2001. Namun pada tahun 2002
terjadi peningkatan kembali 7% dan pada tahun 2003 menjadi 8,15%.4,5
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) dan Laporan Survei Departemen
Kesehatan-Unicef tahun 2005, dari 343 kabupaten/kota di Indonesia penderita gizi
buruk sebanyak 169 kabupaten/kota tergolong prevalensi sangat tinggi dan 257
kabupaten/kota lainnya prevalensi tinggi. Dari data Depkes juga terungkap
masalah gizi di Indonesia ternyata lebih serius dari yang kita bayangkan selama
ini. Gizi buruk atau anemia gizi tidak hanya diderita anak balita, tetapi semua
kelompok umur. Perempuan adalah yang paling rentan, disamping anak-anak.
Sekitar 4 juta ibu hamil, setengahnya mengalami anemia gizi dan satu juta lainnya
kekurangan energi kronis (KEK). Dalam kondisi itu, rata-rata setiap tahun lahir
350.000 bayi lahir dengan kekurangan berat badan (berat badan rendah).4

BAB II

2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Marasmus adalah bentuk malnutrisi energi protein yang terutama
disebabkan kekurangan kalori berat dalam jangka waktu lama, terutama terjadi
selama tahun pertama kehidupan, yang ditandai dengan retardasi pertumbuhan
dan pengurangan lemak bawah kulit dan otot secara progresif tetapi biasanya
masih ada nafsu makan dan kesadaran mental.4
Penentuan KEP dilakukan dengan menimbang BB anak
dibandingkandengan umur.Untuk menyatakan bahwa balita dikategorikan KEP
ringan,sedang, berat dengan menggunakan standar baku BB/U WHO-NCHS.3,4

a. KEP Ringan bila hasil penimbangan berat badan pada KMS


terletak padapita warna kuning, atau BB/U 70% - 80% baku
median WHO-NCHS
b. KEP Sedang bila hasil penimbangan berat badan pada KMS
terletakdibawah garis merah (BGM) atau BB/U 60% - 70% baku
median WHO-NCHS
c. KEP Berat bila hasil penimbangan BB/U < 60% baku median
WHO-NCHS.
Secara klinis KEP terdapat dalam 3 tipe yaitu:6
 Kwashiorkor, ditandai dengan: edema, yang dapat terjadi di seluruh
tubuh, wajah sembab dan membulat, mata sayu, rambut tipis,
kemerahan seperti rambut jagung, mudah dicabutdan rontok,
cengeng, rewel dan apatis, pembesaran hati, otot mengecil
(hipotrofi), bercakmerah kecoklatan di kulit dan mudah terkelupas
(crazy pavement dermatosis), sering disertai penyakit infeksi
terutama akut, diare dan anemia.
 Marasmus, ditandai dengan: sangat kurus, tampak tulang
terbungkus kulit, wajah seperti orang tua, cengeng dan rewel, kulit

3
keriput, jaringan lemak subkutan minimal/tidak ada, perut cekung,
iga gambang, sering disertai penyakit infeksi dan diare.
 Marasmus kwashiorkor, campuran gejala klinis kwashiorkor dan
marasmus.

2.2. Etiologi
Gizi buruk dipengaruhi oleh banyak faktor yang saling terkait. Secara garis
besar penyebab anak kekurangan gizi disebabkan karena asupan makanan yang
kurang dan anak sering sakit atau terkena infeksi. Selain itu gizi buruk
dipengaruhi oleh faktor lain seperti sosial ekonomi, kepadatan penduduk,
kemiskinan, dan lain-lain.4,5
Keadaan ini merupakan hasil akhir dari interaksi antara kekurangan makanan
dan penyakit infeksi. Selain faktor lingkungan, ada beberapa faktor lain pada diri
anak sendiri yang dibawa sejak lahir, diduga berpengaruh terhadap terjadinya
marasmus.4
2.3. Epidemiologi
Marasmus adalah masalah serius seluruh dunia yang melibatkan lebih dari
50 juta anak berusia kurang dari 5 tahun. Menurut WHO 49% dari 10,4 juta
kematian pada anak-anak usia kurang dari 5 tahun di negara-negara berkembang
berkaitan dengan PEM. Di Indonesia, sebanyak 72% penderita gizi kurang
ditemukan di daerah-daerah kabupaten Indonesia dengan 2 – 4 dari 10 balita
menderita gizi kurang.6,7

2.4. Faktor Risiko


Beberapa faktor resiko untuk marasmus, yaitu:8
- Kelaparan yang berkepanjangan
- Terpajan air yang terkontaminasi
- Kekurangan vit lain (vit A, E, K)
- Diet yang buruk, tidak seimbang dalam buah, sayur-sayuran, biji-
bijian.

Secara garis besar penyebab marasmus, antara lain9:

4
a. Masukan makanan yang kurang: marasmus terjadi akibat masukan
kalori yang sedikit, pemberian makanan yang tidak sesuai dengan
yang dianjurkan akibat dari ketidaktahuan orang tua si anak,
misalnya pemakaian secara luas susu kaleng yang terlalu encer.
b. Infeksi yang berat dan lama menyebabkan marasmus, terutama
infeksi enteral misalnya infantil gastroenteritis,
bronkhopneumonia, pielonephiritis dan sifilis kongenital.
c. Kelainan struktur bawaan misalnya: penyakit jantung bawaan,
penyakit Hirschpurng, deformitas palatum, palatoschizis,
mocrognathia, stenosis pilorus. Hiatus hernia, hidrosefalus, cystic
fibrosis pankreas
d. Prematuritas dan penyakit pada masa neonatus. Pada keadaan
tersebut pemberian ASI kurang akibat reflek mengisap yang kurang
kuat
e. Pemberian ASI yang terlalu lama tanpa pemberian makanan
tambahan yang cukup.
f. Gangguan metabolik, misalnya renal asidosis, idiopathic
hypercalcemia, galactosemia, lactose intolerance.
g. Tumor hypothalamus, kejadian ini jarang dijumpai dan baru
ditegakkan bila penyebab maramus yang lain disingkirkan.
h. Penyapihan yang terlalu dini desertai dengan pemberian makanan
tambahan yang kurang akan menimbulkan marasmus.
i. Urbanisasi mempengaruhi dan merupakan predisposisi untuk
timbulnya marasmus, meningkatnya arus urbanisasi diikuti pula
perubahan kebiasaan penyapihan dini dan kemudian diikuti dengan
pemberian susu manis dan susu yang terlalu encer akibat dari tidak
mampu membeli susu, dan bila disertai infeksi berulang terutama
gastroenteritis akan menyebabkan anak jatuh dalam marasmus.

2.5. Klasifikasi

5
Tujuannya adalah untuk menentukan prevalensi KEP di suatu daerah,
sehingga dapat menentukan presentasi gizi-kurang dan berat di daerah tersebut.4
Klasifikasi menurut derajat beratnya KEP
a. Klasifikasi menurut Gomez
Klasifikasi tersebut berdasarkan atas berat badan individu dibandingkan
dengan berat badan yang diharapakan pada anak sehat yang seumur. Sebagai baku
patokan dipakai persentil 50 baku Harvard (Stuart dan Stevenson, 1945). Gomez
mengelompokkan KEP dalam KEP ringan, sedang, dan berat.4
Tabel 2.1. Klasifikasi KEP menurut Gomez4
Derajat KEP Berat Badan % dari baku*
0 = normal ≥ 90 %
1 = ringan 89-75 %
2 = sedang 74-60 %
3 = berat < 60 %
*Baku = persentil 50 Harvard
b. Modifikasi Bengoa atas Klasifikasi Gomez
Bengoa pada tahun 1970 mengadakan modifikasi pada klasifikasi Gomez,
yang hanya didasarkan pada defisit berat badan saja. Penderita KEP dengan
edema, tanpa menlihat defisit berat badannya digolongkan oleh Bengoa dalam
derajat 3. Penderita kwarsiorkor berat badannya jarang menurun hingga kurang
dari 60% disebabkan oleh adanya edema, sedangkan lemak tubuh dan otot-ototnya
tidak mengurang sebanyak seperti pada keadaan marasmus. Padahal kwarshiorkor
merupakan penyakit yang serius dengan angka kematian tinggi.4
c. Modifikasi yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan R.I.
Demi keseragaman dalam membuat rencana dan mengevaluasi program-
program pangan dan gizi serta kesehatan masyarakat, maka Lokakarya
Antropometri Gizi Departemen Kesehatan R.I yang diadakan pada tahun 1975
membuat keputusan yang merupakan modifikasi klasifikasi Gomez. Berbeda
dengan penggolongan yang ditetapkan Gomez, lokakarya mengklasifikasikan
status gizi dalam gizi lebih, gizi kurang, dan gizi buruk.4
Tabel 2.2. Klasifikasi KEP menurut Dep.Kes (1975)
Derajat KEP Berat badan % dari baku*
0 = normal ≥ 80%

6
1 = gizi kurang 60-79 %
2 = gizi buruk < 60 %
*Sebagai baku patokan dipakai persentil 50 Harvard.

Klasifikasi menurut tipe (Klasifikasi Kualitatif).4


Klasifikasi ini menggolongkan KEP menurut tipenya: gizi kurang,
marasmus, kwarshiorkor, dan marasmus-kwarshiorkor.
a. Klasifikasi kualitatif menurut Wellcome Trust.
Cara Wellcome Trust dapat dipraktekan dengan mudah, tidak ditemukan
penentuan gejala klinis maupun laboratories, dan dapat dilakukan oleh para tenaga
medis setelah diberi latihan seperlunya. Cara ini dapat digunakan untuk survei
lapangan, namun apabila dilakukan pada penderita yang sudah mengalami
perawatan dan pengobatan selama beberapa hari dapat membuat diagnosa
menjadi salah. Misalnya pada penderita kwarshiorkor dengan berat badan > 60%,
jika dirawat selama 1 minggu maka edema akan hilang dan berat badan menjadi <
60% walaupun gejala lainnya masih ada. Dengan berat badan < 60% dan tidak ada
edema, maka penderita tersebut dapat didiagnosa sebagai marasmus dengan
menggunakan metode Wellcome Trust.4
Tabel 2.3. Klasifikasi Kualitatif KEP menurut Wellcome Trust.
Berat badan % dari baku* Edema
Tidak ada Ada
>60% Gizi kurang Kwarshiorkor
<60% Marasmus Marasmic-Kwarshiorkor
* baku = persentil 50 Harvard.
b. Klasifikasi Kualitatif menurut McLaren4
McLaren mengklasifikasikan golongan KEP berat dalam 3 kelompok
menurut tipenya. Gejala klinis edema, dermatosis, edema disertai dermatosis,
perubahan pada rambut, dan pembesaran hati diberi angka bersama-sama dengan
menurunnya kadar albumin atau total protein serum. Cara seperti ini dikenal
sebagai scoring system McLaren.
Tabel. 2.4. Cara Pemberian Angka menurut McLaren.
Gejala klinis/laboratoris Angk
a

7
Edema 3
Dermatosis 2
Edema disertai dermatosis 6
Perubahan pada rambut 1
Hepatomegali 1
Albumin serum atau protein
total serum/g %
< 1.00 < 3.25 7
1.00 – 1.49 3.25 – 3.99 6
1.50 – 1.99 4.00 – 4.75 5
2.00 – 2.49 4.75 – 5.49 4
2.50 – 2.99 5.50 – 6.24 3
3.00 – 3.49 6.25 – 6.99 2
3.50 – 3.99 7.00 – 7.74 1
>4.00 > 7.75 0
Penentuan tipe didasarkan atas jumlah angka yang dapat dikumpulkan dari
tiap penderita:
0 – 3 angka = marasmus
4 – 8 angka = marasmic-kwarshiorkor
9 – 15 angka = kwarshirkor
Cara demikian dapat mengurangi kesalahan jika dibandingkan dengan cara
Wellcome Trust, akan tetapi harus dilakukan oleh seorang dokter dengan bantuan
laboratorium(3).
c. Klasifikasi KEP menurut Waterlow
Waterlow (1973) membedakan antara penyakit KEP yang terjadi akut dan
menahun. Beliau berpendapat, bahwa defisit berat badan terhadap tinggi badan
mencerminkan gangguan gizi yang akut dan menyebabkan keadaan wasting
(kurus-kering), sedangkan defisit tinggi badan menurut umur merupakan akibat
kekurangan gizi yang berlangsung sangat lama. Akibat tersebut dapat
mengganggu laju pertumbuhan tinggi badan, sehingga anak menjadi pendek
(stunting) untuk umurnya. Waterlow membagi keadaan wasting dan stunting
dalam 3 kategori.
Tabel 2.5. Klasifikasi KEP menurut Waterlow.
Derajat gangguan Stunting Wasting
(tinggi menurut (berat terhadap tinggi)
umur)

8
0 >95% >90%
1 95 – 90 % 90 – 80 %
2 80 – 70 % 80 – 70 %
3 < 70 % < 70 %

Lokakarya Antropometri Dep.Kes. R.I pada tahun 1975 memutuskan untuk


mengambil baku Harvard persentil 50 sebagai patokan dan menggolongkannya
sebagai berikut:
Bagi tinggi menurut umur
Tinggi normal : diatas 85% Harvard persentil 50
Tinggi kurang : 70 – 84 % Harvard persentil 50
Tinggi sangat kurang : < 70% Harvard persentil 50

Bagi berat terhadap tinggi


Gizi baik : ≥ 90% Harvard persentil 50
Gizi kurang dan buruk : < 90% Harvard persentil 50

Beberapa cara membuat klasifikasi direncanakan sedemikian, sehingga


hanya memerlukan alat-alat yang sederhana, tidak diperlukan untuk menkalkulir
hasilnya, tidak perlu mengetahui umur yang akan diperiksa, sehingga dapat
dilakukan oleh tenaga paramedik atau sukarelawan setelah mendapat petunjuk
seperlunya. Cara Quack stick (Arnold, 1969) merupakan salah satu cara yang
dapat digunakan, dengan mengukur lingkar lengan dan tinggi badan.

Gizi buruk juga dapat dikaslifikasikan berdasarkan gambaran klinis


sebagai berikut:
1. Marasmus (atrofi, infantile, kelemahan, insufisiensi nutrisi bayi
(athrepesia))
Malnutrisi berat pada bayi sering terdapat di daerah dengan makanan yang
tidak cukup atau hygiene jelek. Sinonim marasmus ditetapkan pada pola penyakit
klinis yang menekankan satu atau lebih tanda defisiensi protein dan kalori.
Gambaran klinis marasmus berasal dari masukan kalori yang tidak cukup karena
diet yang tidak cukup. Hal ini berhubungan dengan kebiasaan makan yang tidak

9
tepat seperti pada hubungan orang tua dan anak yang terganggu, atau karena
kelainan metabolik atau malformasi kongenital. Gangguan berat setiap sistem
tubuh dapat mengakibatkan malnutrisi.10
Pada awalnya, terjadi kegagalan menaikkan berat badan, disertai dengan
kehilangan berat badan sampai berakibat kurus, dengan kehilangan turgor pada
kulit, sehingga kulit menjadi berkerut dan longgar karena lemak subkutan hilang.
Lemak pada daerah pipi adalah bagian yang terakhir hilang, sehingga dalam
beberapa waktu wajah bayi tampak terlihat relatif normal sampai nantinya
menyusut dan berkeriput. Abdomen dapat kembung atau datar dan gambaran usus
dapat dengan mudah dilihat. Terjadi atrofi otot akibat hipotoni. Suhu biasanya
subnormal, nadi mungkin lambat, dan angka metabolisme dasar cenderung
menurun. Mula-mula mungkin bayi rewel, tapi kemudian menjadi lesu dan nafsu
makan hilang. Bayi biasanya konstipasi,tetapi dapat muncul diare dengan buang
air besar sering, tinja berisi mucus dan sedikit.

2. Malnutrisi protein (Malnutrisi protein kalori, kwarshiorkor).


Anak harus mengkonsumsi cukup makanan nitrogen untuk mempertahankan
keseimbangan positif (karena sedang dalam masa pertumbuhan). Walaupun
defisiensi kalori dan nutrient lain mempersulit gambaran klinik dan kimia, gejala
utama malnutrisi protein disebabkan karena masuknya protein tidak cukup
bernilai biologis baik. Dapat juga karena penyerapan protein terganggu, seperti
pada diare kronis, kehilangan protein abnormal seperti proteinuria atau nefrosis,
infeksi, perdarahan atau luka bakar, dan gagal mensintesis protein seperti pada
penyakit hati kronis10.
Kwarshiorkor merupakan sindroma klinis akibat dari malnutrisi protein
berat (MEP berat) dan masukan kalori tidak cukup. Dari kekurangan masukan
atau dari kehilangan yang berlebihan atau kenaikan angka metabolic yang
disebabkan oleh infeksi kronis, akibat defisiensi vitamin dan mineral dapat turut
menimbulkan tanda dan gejala tersebut.
Bentuk malnutrisi yang paling serius dan menonjol di dunia saat ini
terutama pada daerah industri belum berkembang. Kwarshiorkor berarti ‘anak
tersingkirkan’ yaitu anak yang tidak lagi mengisap, dapat menjadi jelas sejak masa
bayi sampai sekitar usia 5 tahun, biasanya sudah menyapih dari ASI. Walaupun

10
penambahan tinggi dan berat badan dipercepat dengan pengobatan, ukuran ini
tidak akan pernah sama dengan tinggi dan berat badan anak normal10.

2.6. Manifestasi Klinis


Pada kasus malnutrisi yang berat, gejala klinis terbagi menjadi dua bagian
besar, yaitu kwashiokor dan marasmus. Pada kenyataannya jarang sekali
ditemukan suatu kasus yang hanya menggambarkan salah satu dari bagian tertentu
saja. Sering kali pada kebanyakan anak-anak penderita gizi buruk, yang
ditemukan merupakan perpaduan gejala dan tanda dari kedua bentuk malnutrisi
berat tersebut4.
Marasmus lebih sering ditemukan pada anak-anak dibawah usia satu tahun,
sedangkan insiden pada anak-anak dengan kwashiokor terjadi pada usia satu
hingga enam tahun. Pada beberapa negara seperti di Asia dan Afrika, marasmus
juga didapatkan pada anak yang lebih dewasa dari usia satu tahun (toddlers),
sedangkan di Chili, marasmus terjadi pada bulan pertama kehidupan anak
tersebutnya.10

Gejala pertama dari malnutrisi tipe marasmus adalah kegagalan tumbuh


kembang. Pada kasus yang lebih berat, pertumbuhan bahkan dapat terhenti sama
sekali. Selain itu didapatkan penurunan aktifias fisik dan keterlambatan
perkembangan psikomotorik. Pada saat dilakukan pemeriksaan fisik, akan
ditemukan suara tangisan anak yang monoton, lemah, dan tanpa air mata, lemak
subkutan menghilang dan lemak pada telapak kaki juga menghilang sehingga
memberikan kesan tapak kaki seperti orang dewasa.10
Kulit anak menjadi tipis dan halus, mudah terjadi luka tergantung adanya
defisiensi nutrisi lain yang ikut menyertai keadaan marasmus. Kaki dan tangan
menjadi kurus karena otot-otot lengan serta tungkai mengalami atrofi disertai
lemak subkutan yang turut menghilang. Pada pemeriksaan protein serum,
ditemukan hasil yang normal atau sedikit meningkat.10
Selain itu keadaan yang terlihat mencolok adalah hilangnya lemak subkutan
pada wajah. Akibatnya ialah wajah anak menjadi lonjong, berkeriput dan tampak
lebih tua (old man face). Tulang rusuk tampak lebih jelas. Dinding perut
hipotonus dan kulitnya longgar. Berat badan turun menjadi kurang dari 60% berat
badan menurut usianya. Suhu tubuh bisa rendah karena lapisan penahan panas

11
hilang. Cengeng dan rewel serta lebih sering disertai diare kronik atau konstipasi,
serta penyakit kronik. Tekanan darah, detak jantung dan pernafasan menjadi
berkurang.3,10

Manifestasi Klinik10
Marasmus Kwshiorkor Obesitas
 Pertum  Peruba  wajah
buhan berkurang han mental sampai bulat dengan pipi
atau berhenti apatis tembem dan dagu
 Terlihat  Anemia rangkap
sangat kurus  Peruba  leher
 Penamp han warna dan relatif pendek
ilan wajah seperti tekstur rambut,  dada
orangtua mudah dicabut / membusung dengan
 Perubah rontok payudara membesar
an mental  Ganggu - perut membuncit dan
 Cengen an sistem striae abdomen
g gastrointestinal - pada anak laki-laki :
 Kulit  Pembes Burried penis,
kering, dingin, aran hati gynaecomastia
mengendor, keriput  Peruba
- pubertas dini
 Lemak han kulit
- genu valgum (tungkai
subkutan  Atrofi
berbentuk X) dengan
menghilang hingga otot
 Edema kedua pangkal paha
turgor kulit
simetris pada kedua bagian dalam
berkurang
 Otot punggung kaki, saling menempel dan
atrofi sehingga dapat sampai bergesekan yang
kontur tulang seluruh tubuh. dapat menyebabkan
terlihat jelas laserasi kulit
 Vena
superfisialis tampak

12
jelas
 Ubun –
ubun besar cekung
 tulang
pipi dan dagu
kelihatan menonjol
 mata
tampak besar dan
dalam
 Kadang
terdapat bradikardi
 Tekana
n darah lebih
rendah
dibandingkan anak
sebaya
*Manifestasi klinis dari marasmic-kwashiorkor merupakan campuran
gejala marasmus dan kwashiorkor

2.7. Antopometri
Berat Badan
Berat badan adalah parameter pertumbuhan yang paling sederhana, mudah
diukur dan diulang dan merupakan indeks untuk status nutrisi sesaat. Hasil
pengukuran berat badan dipetakan pada kurva standar Berat badan/ Umur (BB/U)
dan Berat Badan/ Tinggi Badan (BB/TB). Adapun interpretasi pengukuran berat
badan yaitu:4

BB/U dibandingkan dengan acuan standard (CDC 2000) dan dinyatakan


dalam persentase:4

 > 120 % : disebut gizi lebih


 80 – 120 % : disebut gizi baik
 60 – 80 % : tanpa edema ; gizi kurang dengan edema ; gizi buruk
(kwashiorkor)

13
 < 60% : gizi buruk : tanpa edema (marasmus) dengan edema
(marasmus – kwashiorkor)
Tinggi Badan (TB)
Tinggi badan pasien harus diukur pada tiap kunjungan . Pengukuran berat
badan akan memberikan informasi yang bermakna kepada dokter tentang status
nutrisi dan pertumbuhan fisis anak. Seperti pada pengukuran berat badan, untuk
pengukuran tinggi badan juga diperlukan informasi umur yang tepat, jenis
kelamin dan baku yang diacu yaitu CDC 2000.4

Interpretasi dari dari TB/U dibandingkan standar baku berupa:4

 90 – 110 % : baik/normal
 70 – 89 % : tinggi kurang
 < 70 % : tinggi sangat kurang

Rasio Berat Badan menurut tinggi badan (BB/TB)


Rasio BB/TB bila dikombinasikan dengan beraat badan menurut umur dan
tinggi badan menurut umur sangat penting dan lebih akurat dalam penilaian status
nutrisi karena ia mencerminkan proporsi tubuh serta dapat membedakan antar
“wasting” dan “stunting” atau perawakan pendek. Indeks ini digunakan pada anak
perempuan hanya sampai tinggi badan 138 cm, dan pada anak lelaki sampai tinggi
badan 145 cm. Setelah itu rasio BB/TB tidak begitu banyak artinya, karena
adanya percepatan tumbuh (growth spurt). Keuntungan indeks ini adalah tidak
diperlukannya faktor umur, yang seringkali tidak diketahui secara tepat.3,4
BB/TB (%) = (BB terukur saat itu) (BB standar sesuai untuk TB terukur) x
100%, interpretasi di nilai sebagai berikut:4

 > 120 % : Obesitas


 110 – 120 % : Overweight
 90 – 110 % : normal

14
 70 – 90 % : gizi kurang
 < 70 % : gizi buruk

2.8. Patogenesis
Malnutrisi merupakan suatu sindrom yang terjadi akibat banyak faktor.
Faktor-faktor ini dapat digolongkan atas tiga faktor penting yaitu : tubuh sendiri
(host), agent (kuman penyebab), environment (lingkungan). Memang faktor diet
(makanan) memegang peranan penting tetapi faktor lain ikut menentukan.
Marasmus adalah compensated malnutrition atau sebuah mekanisme adaptasi
tubuh terhadap kekurangan energi dalam waktu yang lama. Dalam keadaan
kekurangan makanan, tubuh selalu berusaha untuk mempertahankan hidup dengan
memenuhi kebutuhan pokok atau energi.13
Kemampuan tubuh untuk mempergunakan karbohidrat, protein dan lemak
merupakan hal yang sangat penting untuk mempertahankan kehidupan,
karbohidrat (glukosa) dapat dipakai oleh seluruh jaringan tubuh sebagai bahan
bakar, tetapi kemampuan tubuh untuk menyimpan karbohidrat sangat sedikit.
Akibatnya katabolisme protein terjadi setelah beberapa jam dengan menghasilkan
asam amino yang segera diubah jadi karbohidrat di hepar dan di ginjal. Selama
kurangnya intake makanan, jaringan lemak akan dipecah jadi asam lemak, gliserol
dan keton bodies.13
Setelah lemak tidak dapat mencukupi kebutuhan energi, maka otot dapat
mempergunakan asam lemak dan keton bodies sebagai sumber energi kalau
kekurangan makanan. Pada akhirnya setelah semua tidak dapat memenuhi
kebutuhan akan energi lagi, protein akan dipecah untuk memenuhi kebutuhan
metabolisme basal tubuh. Proses ini berjalan menahun, dan merupakan respon
adaptasi terhadap ketidak cukupan asupan energi dan protein.10

Gambar 2.1 Patogenesis Marasmus13

15
2.9. Diagnosis
Anamnesis
 Anamnesis awaldiperlukan untuk mengetahui adanya tanda bahaya
dan tanda penting:9
o Syok/renjatan
o Letargis
o Muntah dan atau diare atau dehidrasi
 Anamnesis lanjutandiperlukan untuk mengetahui faktor yang
menyebabkan terjadinya gizi buruk:11
o Riwayat kehamilan & kelahiran
o Riwayat pemberian makan
o Riwayat imunisasi & pemberian vit A
o Riwayat penyakit penyerta/penyulit
o Riwayat tumbuh kembang
o Penyebab kematian pada saudara kandung
o Status sosial, ekonomi dan budaya keluarga

Pemeriksaan Fisik
 Pemeriksaan fisik awaldilakukan untuk mengetahui adanya kedaruratan
medis:4,11

 gangguan sirkulasi/syok

 gangguan kesadaran

16
 dehidrasi

 hipoglikemi

 hipotermi

 Pemeriksaan fisik lanjutan

o Pengukuran dan penilaian antropometri

 BB/U (berat badan menurut umur), TB/U (tinggi badan


menurut umur), LLA/U (lingkar lengan atas menurut
umur), BB/TB (berat badan menurut tinggi badan),
LLA/TB (lingkar lengan atas menurut tinggi badan.

o Tanda klinis gizi buruk

 Pada marasmus, anak kurus muncul dengan ditandai


hilangnya lemak subkutan dan pengecilan otot. Kulit
tampak xerotik, keriput, dan longgar. Hilangnya bantalan
lemak bukal adalah karakteristik dari gangguan ini.
Marasmus mungkin tidak memiliki dermatosis klinis.
Namun, temuan tidak konsisten termasuk kulit halus,
rambut rapuh, alopesia, pertumbuhan terganggu, dan
fissuring pada kuku. Dalam kekurangan energi protein,
rambut lebih berada dalam fase (istirahat) telogen dari
dalam fase (aktif) anagen, kebalikan dari normal. Kadang-
kadang, seperti pada anoreksia nervosa, ditandai
pertumbuhan rambut lanugo dicatat.3,4,7

 Tanda defisiensi vitamin A pada mata dan mikronutrien


lain.

 Tanda dan gejala klinis penyakit penyerta/penyulit.

17
Pemeriksaan Penunjang Lainnya
 Pemeriksaan Laboratorium WHO merekomendasikan tes
laboratorium berikut:4
 Glukosa darah

 Pemeriksaan pap darah dengan mikroskop atau pengujian


deteksi langsung

 Hemoglobin

 Pemeriksaan urine pemeriksaan dan kultur

 Pemeriksaan tinja dengan mikroskop untuk telur dan parasit

 Serum albumin

 Tes HIV (Tes ini harus disertai dengan konseling orang tua
anak, dan kerahasiaan harus dipelihara.)

 Elektrolit

 Hasil

 Temuan yang signifikan dalam kwashiorkor meliputi


hipoalbuminemia (10-25 g / L), hIpoproteinemia (transferin,
asam amino esensial, lipoprotein), dan hipoglikemia.

 Plasma kortisol dan kadar hormon pertumbuhan yang tinggi,


tetapi sekresi insulin dan tingkat pertumbuhan insulin faktor
yang menurun.

 Persentase cairan tubuh dan air ekstraseluler meningkat.


Elektrolit, terutama kalium dan magnesium, yang habis.

18
 Tingkat beberapa enzim (termasuk laktosa) yang menurun,
dan tingkat lipid beredar (terutama kolesterol) yang rendah.

 Ketonuria terjadi, dan kekurangan energi protein dapat


menyebabkan penurunan ekskresi urea karena asupan
protein menurun. Dalam kedua kwashiorkor dan marasmus,
anemia defisiensi besi dan asidosis metabolik yang hadir.

 Ekskresi hidroksiprolin berkurang, mencerminkan


terhambatnya pertumbuhan dan penyembuhan luka.

 Kemih meningkat 3-methylhistidine adalah refleksi dari


kerusakan otot dan dapat dilihat di marasmus.

 Malnutrisi juga menyebabkan imunosupresi, yang dapat


menyebabkan hasil negatif palsu tuberkulin kulit tes dan
kegagalan berikutnya untuk secara akurat menilai untuk TB.

 Biopsi kulit dan analisis rambut dapat dilakukan. 6,8,11

 Analisis diet dan makanan

Riwayat diet rincidiperlukan untuk mengukurkuantitas asupan


makanan (Food recall) dan kualitas asupan makanan (Food frequency).
Pengukuran pertumbuhan, indeks massa tubuh (BMI), dan pemeriksaan
fisik lengkap ditunjukkan. Tindakan pengukuran tinggi badan-banding-
usia atau berat badan-untuk-tinggi pengukuran kurang dari 95% dan 90%
dari yang diharapkan atau lebih besar dari 2 standar deviasi di bawah rata-
rata untuk usia. Pada anak yang lebih dari 2 tahun, pertumbuhan kurang
dari 5 cm/th juga dapat menjadi indikasi defisiensi.7

 Klasifikasi:8

o KEP ringan: > 80-90% BB ideal terhadap TB (WHO-CDC)

19
o KEP sedang: > 70-80% BB ideal terhadap TB (WHO-CDC)

o KEP berat: ≤70% BB ideal terhadap TB (WHO-CDC)

2.10. Penatalaksanaan
 Penatalaksanaan Gizi Buruk Pada Kondisi :3
o Kondisi 1  Tanda Renjatan / Syok + Letargis/tidak sadar +
muntah dan atau diare/dehidrasi
o Kondisi 2  Letargis/tidak sadar + Muntah dan atau
diare/dehidrasi
o Kondisi 3  Muntah dan atau diare/dehidrasi
o Kondisi 4  Letargis/tidak sadar
o Kondisi 5  Jika tidak ditemukan tanda renjatan / syok +
letargis/tidak sadar + muntah/diare/dehidrasi
 Prosedur tetap pengobatan dirumah sakit:6
o Prinsip dasar penanganan 10 langkah utama (diutamakan
penanganan kegawatdaruratan:
 Penanganan hipotermi
 Pengobatan infeksi
 Pemberian makanan
 Fasilitasi tumbuh kejar
 Koreksi defisiensi nutrisi mikro
 Melakukan stimulasi sensorik dan perbaikan mental
 Perencanaan tindak lanjut setelah sembuh
 Fase Penatalaksanaan Kondisi

Dalam proses pengobatan KEP berat/Gizi buruk terdapat 3 fase


yaitu fase stabilisasi, fase transisi, dan fase rehabilitasi. Petugas kesehatan
harus trampil memilih langkah mana yang cocok untuk setiap fase.
Tatalaksana ini digunakan pada semua penderita KEP Berat/Gizi Buruk.13

Pada awal fase stabilisasi, perlu pendekatan yang sangat berhati-


nati karena keadaan faali anak sangat lemah dan kapasitas homeostatik
berkurang. Pemberian makanan harus dimulai segera setelah anak dirawat dan
dirancang sedemikian rupa sehingga energi dan protein cukup untuk
memenuhi metabolisme basal.2,13

20
Prinsip pemberian nutrisi pada fase ini adalah :9,13,14

 Porsi kecil tapi sering dengan formula laktosa rendah dan hipo/iso-
osmolar.
 Berikan secara oral/nasogastric
 Energi : 80 – 100 kal/kgBB/hari
 Protein : 1 – 1.5 g/kgBB/hari
 Cairan : 130 ml/kgBB/hari (100 ml/kgBB/hari bila terdapat edema)
 Bila masih mendapat ASI, tetap diberikan tetapi setelah pemberian
formula.

Perhatikan bahwa formula khusus seperti F-WHO 75 yang dianjurkan dan


jadwal pemberian makanan harus disusun sedemikian rupa agar dapat
mencapai prinsip tersebut. Berikan formula dengan cangkir/gelas. Bila anak
terlalu lemah, berikan dengan sendok / pipet.Pada anak dengan selera makan
baik dan tanpa edema, jadwal pemberian makanan pada fase stabilisasi ini
dapat diselesaikan dalam 2-3 hari saja (1 hari untuk setiap tahap). Bila asupan
makanan tidak mencapai dari 80 Kkal/kg BB/hari, berikan sisa formula
melalui pipa nasogastrik. Jangan beri makanan lebih 100 Kkal/kgBB/hari
pada fase stabilisasi ini.9

Pada masa rehabilitasi, dibutuhkan berbagai pendekatan secara gencar agar


tercapai masukan makanan yang tinggi dan pertambahan berat badan  50
g/minggu. Awal fase rehabilitasi ditandai dengan timbulnya selera makan,
biasanya 1-2 minggu setelah dirawat. Transisi secara perlahan dianjurkan
untuk menghindari risiko gagal jantung dan intoleransi saluran cerna yang
dapat terjadi bila anak mengkonsumsi makanan dalam jumlah banyak secara
mendadak.11,12

Bagan dan jadwal pengobatan sebagai berikut:5

No FASE STABILISASI TRANSISI REHABILITASI

21
Hari ke Hari ke 2-7 Minggu ke- Minggu ke 3-7
1-2 2

1 Hipoglikemia

2 Hipotermia

3 Dehidrasi

4 Elektrolit

5 Infeksi

6 MulaiPemberia
n

Makanan

7 Tumbuh
kejar/peningka
tan pemberian
makanan

8 Mikronutrien Tanpa Fe dengan Fe

9 Stimulasi

10 Tindak lanjut

 Tatalaksana Khusus Pada Fase Stabilisasi Gizi Buruk


1. Hipoglikemia

22
Semua anak dengan gizi buruk berisiko hipoglikemia (kadar gula
darah < 3 mmol/L atau < 54 mg/dl) sehingga setiap anak gizi buruk
harus diberi makan atau larutan glukosa/gula pasir 10% segera setelah
masuk rumah sakit.3
Jika fasilitas setempat tidak memungkinkan untuk memeriksa
kadar gula darah, maka semua anak gizi buruk harus dianggap
menderita hipoglikemia dan segera ditangani sesuai panduan.5
Tatalaksana
Segera beri F-75 pertama atau modifikasinya bila penyediaannya
memungkinkan.
Bila F-75 pertama tidak dapat disediakan dengan cepat, berikan
50 ml larutan glukosa atau gula 10% (1 sendok teh gula dalam 50 ml
air) secara oral atau melalui NGT.3
Lanjutkan pemberian F-75 setiap 2–3 jam, siang dan malam
selama minimal dua hari.
Bila masih mendapat ASI teruskan pemberian ASI di luar jadwal
pemberian F-75.
Jika anak tidak sadar (letargis), berikan larutan glukosa 10%
secara intravena (bolus) sebanyak 5 ml/kg BB, atau larutan
glukosa/larutan gula pasir 50 ml dengan NGT.
Beri antibiotik.
Pemantauan
Jika kadar gula darah awal rendah, ulangi pengukuran kadar gula
darah setelah 30 menit.
Jika kadar gula darah di bawah 3 mmol/L (< 54 mg/dl), ulangi
pemberian larutan glukosa atau gula 10%.
Jika suhu rektal < 35.5° C atau bila kesadaran memburuk,
mungkin hipoglikemia disebabkan oleh hipotermia, ulangi pengukuran
kadar gula darah dan tangani sesuai keadaan (hipotermia dan
hipoglikemia).
Pencegahan

23
Beri makanan awal (F-75) setiap 2 jam, mulai sesegera mungkin
atau jika perlu, lakukan rehidrasi lebih dulu. Pemberian makan harus
teratur setiap 2-3 jam siang malam. 3,4

2. Hipotermia
Diagnosis Hipotermi adalah apabila Suhu aksilar < 35.5° C
Tatalaksana
Segera beri makan F-75 (jika perlu, lakukan rehidrasi lebih
dulu).
Pastikan bahwa anak berpakaian (termasuk kepalanya). Tutup
dengan selimut hangat dan letakkan pemanas (tidak mengarah
langsung kepada anak) atau lampu di dekatnya, atau letakkan anak
langsung pada dada atau perut ibunya (dari kulit ke kulit: metode
kanguru). Bila menggunakan lampu listrik, letakkan lampu pijar 60 W
dengan jarak 60 cm dari tubuh anak.3
Beri antibiotik sesuai pedoman.
Pemantauan
Ukur suhu aksilar anak setiap 2 jam sampai suhu meningkat
menjadi 36.5° C atau lebih. Jika digunakan pemanas, ukur suhu tiap
setengah jam. Hentikan pemanasan bila suhu mencapai 36.5° C5
Pastikan bahwa anak selalu tertutup pakaian atau selimut,
terutama pada malam hari
Periksa kadar gula darah bila ditemukan hipotermia
Pencegahan
Letakkan tempat tidur di area yang hangat, di bagian bangsal
yang bebas angin dan pastikan anak selalu tertutup pakaian/selimut
Ganti pakaian dan seprai yang basah, jaga agar anak dan tempat
tidur tetap kering
Hindarkan anak dari suasana dingin (misalnya: sewaktu dan
setelah mandi, atau selama pemeriksaan medis)

24
Biarkan anak tidur dengan dipeluk orang tuanya agar tetap
hangat, terutama di malam hari
Beri makan F-75 atau modifikasinya setiap 2 jam, mulai
sesegera mungkin, sepanjang hari, siang dan malam.6,7

3. Dehidrasi
Cenderung terjadi diagnosis berlebihan dari dehidrasi dan estimasi
yang berlebihan mengenai derajat keparahannya pada anak gizi buruk.
Hal tersebut disebabkan oleh sulitnya menentukan status dehidrasi
secara tepat pada anak dengan gizi buruk, yaitu hanya dengan
menggunakan gejala klinis saja. Anak gizi buruk dengan diare cair,
apabila gejala dehidrasi tidak jelas anggap dehidrasi ringan.
Tatalaksananya: 4
• Jangan menggunakan infus untuk rehidrasi, kecuali pada kasus
dehidrasi berat dengan syok
• Beri ReSoMal secara oral atau melalui NGT, lakukan lebih lambat
dibanding jika melakukan rehidrasi pada anak dengan gizi baik.
• Beri 5 mL/kgBB setiap 30 menit untuk 2 jam pertama
• Setelah 2 jam, berikan ReSoMal 5-10 mL/kgBB/jam berselang-
seling dengan F-75 dengan jumlah yang sama, setiap jam selama
10 jam
• Jumlah yang pasti tergantung seberapa banyak anak mau, volume
tinja yang keluar, dan apakah anak muntah
• Selanjutnya berikan F-75 secara teratur setiap 2 jam
• Apabila anak masih diare, beri ReSoMal setiap kali diare
• Usia <1 tahunà 50-100 ml setiap BAB
• Usia ≥1tahun 100-200 ml setiap BAB
4. Gangguan keseimbangan elektrolit
Semua anak dengan gizi buruk mengalami defisiensi kalium dan
magnesium yang mungkin membutuhkan waktu 2 minggu atau lebih
untuk memperbaikinya. Selain itu, pada anak dengan gizi buruk dapat
terjadi kelebihan natrium total dalam tubuh, walaupun kadar natrium
dalam serum mungkin rendah. Kondisi tersebut dapat menyebabkan
terjadinya edema. Jangan obati edema dengan diuretikum. Pemberian

25
natrium yang berlebihan dapat menyebabkan kematian. 9,10
Tatalaksananya: 9,10
• Untuk mengatasi gangguan elektrolit diberikan kalium dan
magnesium yang seudah terkandung di dalam larutan mineral
mix yang ditambahkan dalam F-75, F-100 atau ReSoMal
• Gunakan larutan ReSoMal untuk rehidrasi
• Siapkan makanan tanpa menambah garam (NaCl)

5. Infeksi
Pada anak dengan gizi buruk, gejala infeksi yang biasa
ditemukan seperti demam, seringkali tidak ada. Padahal infeksi ganda
merupakan hal yang sering terjadi pada gizi buruk. Oleh karena itu,
anggaplah semua anak dengan gizi buruk mengalami infeksi saat
mereka datang ke rumah sakit dan segera tangani dengan antibiotik.
Tanda adanya infeksi berat adalah adanya hipoglikemia dan
hipotermia. Tatalaksananya:4,10
- Antibiotik spektrum luas
• Apabila tidak ada komplikasi atau infeksi nyata, beri
Kotrimoksazol per oral (25 mg SMZ + 5 mg TMP/kgBB)
setiap 12 jam selama 5 hari
• Apabila terdapat komplikasi (hipoglikemia, hipotermia,
atau anak terlihat letargis atau tampak sakit berat) atau anak
terlihat sakit berat, maka berikan:
• Ampisilin (50 mg/kgBB IM/IV setiap 6 jam selama 2 hari),
dilajutkan dengan Amoksisilin oral (15 mg/kgBB setiap 8
jam selama 5 hari) atau ampisilin oral (50 mg/ kgBB setiap
6 jam selama 5 hari) sehingga total selama 7 hari, ditambah
Gentamisin (7,5 mg/kgBB/hari IM/IV) setiap hari selama 7
hari, ditambah Gentamisin (7,5 mg/kgBB/hari IM/IV)
setiap hari selama 7 hari. Jika anak tidak membaik dalam
waktu 48 jam, tambahkan Kloramfenikol (25 mg/kgBB
IM/IV setiap 8 jam) selama 5 hari

26
• Vaksin campak jika berumur ≥ 6 bulan dan belum pernah
mendapatkannya, atau jika anak berumur > 9 bulan dan
sudah pernah diberi vaksin sebelum berumur 9 bulan.
Tunda imunisasi bila syok.

6. Defisiensi zat gizi mikro


Semua anak gizi buruk mengalami defisiensi vitamin dan
mineral. Meskipun sering ditemukan anemia, jangan beri zat besi
pada fase awal. Tunggu sampai anak mempunyai nafsu makan yang
baik dan mulai bertambah berat badannya (biasanya pada minggu
kedua, mulai fase rehabilitasi), karena zat besi dapat memperparah
infeksi. Berikan setiap hari selama 2 minggu:5,9
- Multivitamin
- Asam folat (5 mg pada hari 1, dan selnjutnya 1 mg/ hari)
- Seng (2 mg Zn elemenatal/ kgBB/ hari)
- Tembaga (0,3 mg Cu/ kgBB/ hari)
- Ferosulfat 3 mg/ kgBB/ hari setelah berat badan naik
(mulai fase rehibilitasi)
- Vitamin Adiberikan secara oral pada hari pertama (kecuali
apabila telah diberikan sebelum dirujuk) dengan dosis:
• Anak < 6 bulan: 50.000 IU (½ kapsul biru)
• Anak 6-12 bulan: 100.000 IU (1 kapsul biru)
• Anak 1-5 tahun: 200.000 IU (1 Kapsul merah)
Pemberian makanan awal
Sifat utama yang menonjol dari pemberian makanan awal
adalah:9
• Makanan dalam jumlah sedikit tetapi sering dan rendah
osmolaritas maupun rendah laktosa
• Diberikan secara oral atau melalui NGT, hindari penggunaan
parenteral

27
• Apabila anak masih mendapatkan ASI, lanjutkan pemberian
ASI, namun pastikan bahwa jumlah F-75 yang ditentukan harus
terpenuhi
Memberikan makanan untuk tumbuh kejar
Tanda yang menunjukan bahwa anak telah mencapai fase ini
adalah:
• Kembalinya nafsu makan
• Edema minimal atau hilang
Tatalaksana:4,5,9
Lakukan transisi secara bertahap dari formula awal (F-75) ke
Formula tumbuh kejar (F-100) (fase transisi):
- Ganti F-75 dengan F-100, dan berikan F 100 dalam jumlah
yang sama dengan F-75 selam 2 hari berturut-turut
- Selanjutnya naikan jumlah F-100 sebanyak 10 mL setiap
kali pemberian sampai anak tidak mampu menghabiskan
atau tersisa sedikit. Biasanya hal tersebut terjadi ketika
pemberian formula mencapai 200 mL/kgBB/hari. Dapat
pula digunakan bubur atau makanan pendamping ASI yang
dimodifikasi sehingga kandungan energi dan proteinnya
sebanding dengan F-100
- Setelah transisi bertahap, selanjutnya beri anak:
• Pemberian makan yang sering dengan jumlah tidak
terbatas (sesuai kemampuan anak)
• Energi: 150-220 kkal/ kgBB/ hari
• Protein: 4-6 g/ kgBB/ hari
Apabila anak masih mendapatkan ASI, lanjutkan pemberian ASI,
namun pastikan bahwa anak sudah mendapat F-100 sesuai
kebutuhan, karena ASI tidak mengandung cukup energi untuk
menunjang tumbuh kejar. Makanan-terpeutik-siap-saji (ready to
use therapeutic food = RUTF) yang mengandung energi sebanyak
500 kkal/ sachet 92 g dapat digunakan pada fase rehabilitasi.4,9,10

7. Penilaian kemajuan

28
Kemajuan terapi dinilai dari kecepatan kenaikan berat badan
setelah tahap transisi dan mendapat F-100:9
- Timbang dan catat berat badan setiap pagi sebelum diberi
makan
- Hitung dan catat kenaikan berat badan setiap 3 hari dalam
gram/ kgBB/ hari
• Apabila kenaikan berat badan:
- Kurang (< 5g/kgBB/hari) anak membutuhkan penilaian
ulang secara lengkap
- Sedang (5-10g/kgBB/hari) periksa apakah target asupan
terpenuhi, atau mungkin ada infeksi yang tidak terdeteksi
- Baik (>10g/kgBB/hari)

8. Stimulasi sensorik dan emosional


Untuk memberikan stimulasi sensorik dan emosional, lakukan
beberapa tindakan berikut:10
- Ungkapan kasih sayang
- Lingkungan yang ceria
- Terapi bermain terstruktur selama 15-30 menit per hari
- Aktivitas fisik segera setelah anak cukup sehat
- Keterlibatan ibu sesering mungkin (misalnya: menghibur,
memberi makan, memandikan, bermain)
Mempersiapkan pulang dan tindak lanjut di rumah
Apabila telah tercapai BB/TB>-2SD (setara dengan >80%), maka
dapat dianggap anak telah sembuh. Anak mungkin masih memiliki
BB/U rendah karena anak berperawakan pendek. Pola pemberian
makan yang baik dan stimulasi harus tetap dilanjutkan di rumah.
Berikan contoh kepada orang tua:
- Menu dan cara membuat makanan kaya energi dan padat
gizi serta frekuensi pemberian makan yang sering
- Terapi bermain dan terstruktur
Selain itu juga sarankan ibu untuk melengkapi imunisasi dasar
dan/atau ulangan serta mengikuti program pemberian vitamin A.2,7

29
9. Tatalaksana Diet
Tata laksana diet pada Balita KEP berat/gizi buruk ditujukan untuk
memberikan makanan tinggi energi, tinggi protein dan cukup vitamin
mineral secara bertahap, guna mencapai status gizi optimal.5
Ada 4 kegiatan penting dalam tata laksana diet, yaitu pemberian
diet, pemantauan dan evaluasi, penyuluhan gizi, serta tindak
lanjut.5,9,10
 Pemberian Diet
Pemberian diet pada KEP berat/gizi buruk harus memenuhi syarat
sebagai berikut:
1. Melalui 3 periode yaitu periode stabilisasi, periode transisi, dan periode
rehabilitasi.
2. Kebutuhan energi mulai dari 80 sampai 200 kalori per kg BB/hari.
3. Kebutuhan protein mulai dari 1 sampai 6 gram per kg BB/hari.
4. Pemberian suplementasi vitamin dan mineral bila ada defisiensi atau
pemberian bahan makanan sumber mineral tertentu, sebagai berikut:

Bahan makanan sumber mineral khusus5,9,10


 Sumber Zn : daging sapi, hati, makanan laut, kacang tanah, telur
ayam.
 Sumber Cuprum : tiram, daging, hati
 Sumber Mangan : beras, kacang tanah, kedelai
 Sumber Magnesium : daun seldri, bubuk coklat, kacang-kacangan,
bayam,
 Sumber Kalium : jus tomat, pisang, kacang-kacangan, kentang, apel,
alpukat, bayam, daging tanpa lemak.
1. Jumlah cairan 130-200 ml per kg BB/hari, bila terdapat edema dikurangi
2. Cara pemberian : per oral atau lewat pipa nasogastrik
3. Porsi makanan kecil dan frekwensi makan sering

30
4. Makanan fase stabilisasi hipoosmolar/isoosmolar dan rendah laktosa dan
rendah serat, (lihat tabel 1 formula WHO dan modifikasi).
5. Terus memberikan ASI
10. Membedakan jenis makanan berdasarkan berat badan, yaitu:
 BB <7 kg diberikan kembali makanan bayi dan BB >7 kg dapat
langsung diberikan makanan anak secara bertahap.
11. Mempertimbangkan hasil anamnesis riwayat gizi

 Kebutuhan Gizi Menurut Fase Pemberian Makan6,8

FASE
ZAT GIZI STABILISASI TRANSISI REHABILITASI

Energi 100 150 150-200


Kkal/KgBB/hr Kkal/KgBB/hr Kkal/KgBB/hr

Protein 1-1,5 g/KgBB/hr 2-3 g/KgBB/hr 4-6 g/KgBB/hr

Vitamin A Lihat langkah 8 Lihat langkah 8 Lihat langkah 8

Asam Folat Idem Idem Idem

Zink Idem Idem Idem

Cuprum Idem Idem Idem

Fe Idem Idem Idem

Cairan 130 ml/KgBB/hr 150 ml/KgBB/hr 150-200 ml/KgBB/hr


atau
100 ml/KgBB/hr
bila ada edema

31
10. Evaluasi
Evaluasi dilakukan dengan mengukur kenaikan berat badan anak.
Kenaikan berat badan yang diharapkan adalah >50g/kgBB/minggu.
Penyebab peningkatan berat badan yang buruk antara lain:6
• Pemberian makanan yang tidak adekuat, periksa :
• Bilamana pemberian makanan sudah benar
• Bilamana target intake energi dan protein tercapai
• Teknik pemberian makanan
• Kualitas perawatan
• Semua aspek penyediaan makanan
• Defisiensi nutrien spesifik, periksa:
• Keadekuatan komposisi mutivitamin
• Penyediaan elektrolit/mineral solution, dan apakah hal ini
diresepkan dan dikelola dengan benar
• Infeksi yang tidak diatasi
• Ulangi urinalisis untuk sel darah putih
• Periksa tinja
• Bila memungkinkan, lakukan X-ray dada
• HIV/AIDS
Selain memantau berat badan, perlu dilihat pula kondisi anak
setelah pemberian makanan, apakah terjadirefeeding syndrome atau
tidak. Tanda refeeding syndrome adalah timbulnya hipofosfatemia berat
setelah uptake fosfat oleh sel selama minggu pertama mulai refeed.
Kadar fosfat dalam serum sebanyak ≤0,5 mmol/mL dapat menimbulkan
kelemahan, rabdomiolisis, disfungsi neutrofil, kegagalan kardiorespirasi,
arritmia, kejang, perubahan tingkat kesadaran, atau kematian mendadak.
Kadar fosfat harus dipantau selama refeeding, dan jika rendah, fosfat
harus diberikan selama refeeding untuk menangani hipofosfatemia berat.4

2.11. Komplikasi

Keadaan malnutrisi marasmus dapat menyebabkan anak mendapatkan penyakit


penyerta yang terkadang tidak ringan apabila penatalaksanaan marasmus tidak
segera dilakukan. Beberapa keadaan tersebut ialah:10.11

32
1. Noma
Noma merupakan penyakit yang kadang-kadang menyertai malnutrisi tipe
marasmus-kwashiokor. Noma atau stomatitis gangraenosa merupakan
pembusukan mukosa mulut yang bersifat progresif sehingga dapat
menembus pipi. Noma terjadi pada malnutrisi berat karena adanya
penurunan daya tahan tubuh. Penyakit ini mempunyai bau yang khas dan
tercium dari jarak beberapa meter. Noma dapat sembuh tetapi
menimbulkan bekas luka yang tidak dapat hilang seperti lenyapnya hidung
atau tidak dapat menutupnya mata karena proses fibrosis.10
2. Xeroftalmia
Penyakit ini sering ditemukan pada malnutrisi yang berat terutama pada
tipe marasmus-kwashiokor. Pada kasus malnutrisi ini vitamin A serum
sangat rendah sehingga dapat menyebabkan kebutaan. Oleh sebab itu
setiap anak dengan malnutrisi sebaiknya diberikan vitamin A baik secara
parenteral maupun oral, ditambah dengan diet yang cukup mengandung
vitamin A.10
3. Tuberkulosis
Pada anak dengan keadaan malnutrisi berat, akan terjadi penurunan
kekebalan tubuh yang akan berdampak mudahnya terinfeksi kuman. Salah
satunya adalah mudahnya anak dengan malnutrisi berat terinfeksi kuman
mycobacterium tuberculosis yang menyebabkan penyakit tuberkulosis.10
4. Sirosis hepatis
Sirosis hepatis terjadi karena timbulnya perlemakan dan penimbunan
lemak pada saluran portal hingga seluruh parenkim hepar tertimbun lemak.
Penimbunan lemak ini juga disertai adanya infeksi pada hepar seperti
hepatitis yang menimbulkan penyakit sirosis hepatis pada anak dengan
malnutrisi berat.10
5. Hipotermia
Hipotermia merupakan komplikasi serius pada malnutrisi berat tipe
marasmus. Hipotermia terjadi karena tubuh tidak menghasilkan energi
yang akan diubah menjadi energi panas sesuai yang dibutuhkan oleh

33
tubuh. Selain itu lemak subkutan yang tipis bahkan menghilang akan
menyebabkan suhu lingkungan sangat mempengaruhi suhu tubuh
penderita.11
6. Hipoglikemia
Hipoglikemia dapat terjadi pada hari-hari pertama perawatan anak dengan
malnutrisi berat. Kadar gula darah yang sangat rendah ini sangat
mempengaruhi tingkat kesadaran anak dengan malnutrisi berat sehingga
dapat membahayakan penderitanya.11
7. Infeksi traktus urinarius
Infeksi traktus urinarius merupakan infeksi yang sering terjadi pada anak
bergantung kepada tingkat kekebalan tubuh anak. Anak dengan malnutrisi
berat mempunyai daya tahan tubuh yang sangat menurun sehingga dapat
mempermudah terjadinya infeksi tersebut.11
8. Penurunan kecerdasan
Pada anak dengan malnutrisi berat, akan terjadi penurunan perkembangan
organ tubuhnya. Organ penting yang paling terkena pengaruh salah
satunya ialah otak. Otak akan terhambat perkembangannya yang
diakibatkan karena kurangnya asupan nutrisi untuk pembentukan sel-sel
neuron otak. Keadaan ini akan berpengaruh pada kecerdasan seorang anak
yang membuat fungsi afektif dan kognitif menurun, terutama dalam hal
daya tangkap, analisa, dan memori.11

2.12. Prognosis
Prognosis pada penyakit ini buruk karena banyak menyebabkan kematian
dari penderitanya akibat infeksi yang menyertai penyakit tersebut, tetapi
prognosisnya dapat dikatakan baik apabila malnutrisi tipe marasmus ini ditangani
secara cepat dan tepat. Kematian dapat dihindarkan apabila dehidrasi berat dan

34
penyakit infeksi kronis lain seperti tuberkulosis atau hepatitis yang menyebabkan
terjadinya sirosis hepatis dapat dihindari.15
Pada anak yang mendapatkan malnutrisi pada usia yang lebih muda, akan
terjadi penurunan tingkat kecerdasan yang lebih besar dan irreversibel dibanding
dengan anak yang mendapat keadaan malnutrisi pada usia yang lebih dewasa. Hal
ini berbanding terbalik dengan psikomotor anak yang mendapat penanganan
malnutrisi lebih cepat menurut umurnya, anak yang lebih muda saat mendapat
perbaikan keadaan gizinya akan cenderung mendapatkan kesembuhan
psikomotornya lebih sempurna dibandingkan dengan anak yang lebih tua,
sekalipun telah mendapatkan penanganan yang sama.16
Hanya saja pertumbuhan dan perkembangan anak yang pernah mengalami
kondisi marasmus ini cenderung lebih lambat, terutama terlihat jelas dalam hal
pertumbuhan tinggi badan anak dan pertambahan berat anak, walaupun jika dilihat
secara ratio berat dan tinggi anak berada dalam batas yang normal.1,4,7

2.13. Pencegahan
Tindakan pencegahan terhadap marasmus dapat dilaksanakan dengan baik bila
penyebabnya diketahui. Usaha-usaha tersebut memerlukan sarana dan prasarana
kesehatan yang baik untuk pelayanan kesehatan dan penyuluhan gizi. Beberapa
diantaranya ialah:4,7
1. Pemberian air susu ibu (ASI) sampai umur 2 tahun merupakan sumber
energi yang paling baik untuk bayi.
2. Ditambah dengan pemberian makanan tambahan bergizi dan berprotein
serta energi tinggi pada anak sejak umur 6 bulan ke atas
3. Pencegahan penyakit infeksi, dengan meningkatkan kebersihan
lingkungan dan kebersihan perorangan
4. Pemberian imunisasi.
5. Mengikuti program keluarga berencana untuk mencegah kehamilan terlalu
kerap.
6. Penyuluhan/pendidikan gizi tentang pemberian makanan yang adekuat
merupakan usaha pencegahan jangka panjang.
7. Pemantauan (surveillance) yang teratur pada anak balita di daerah yang
endemis kurang gizi, dengan cara penimbangan berat badan tiap bulan.

35
8. Meningkatkan hasil produksi pertanian agar persediaan makan mencukupi.
9. Memperbaiki infrastruktur pemasaran dan mensubsidi harga bahan
makanan
10. Melakukan program transmigrasi ke daerah lain agar terjadi pemerataan
penduduk.

Pentingnya Deteksi Dan Intervensi Dini


Mengingat penyebabnya sangat kompleks, pengelolaan gizi buruk
memerlukan kerjasama yang komprehensif dari semua pihak. Tidak hanya dari
dokter maupun tenaga medis, namun juga pihak orang tua, keluarga, pemuka
masyarakat maupun agama dan pemerintah. Langkah awal pengelolaan gizi buruk
adalah mengatasi kegawatan yang ditimbulkannya, dilanjutkan dengan “frekuen
feeding” ( pemberian makan yang sering, pemantauan akseptabilitas diet
( penerimaan tubuh terhadap diet yang diberikan), pengelolaan infeksi dan
pemberian stimulasi. Perlunya pemberian diet seimbang, cukup kalori dan protein
serta pentingnya edukasi pemberian makan yang benar sesuai umur anak. Pada
daerah endemis gizi buruk, diperlukan tambahan distribusi makanan yang
memadai.5,7
Posyandu dan puskesmas sebagai ujung tombak dalam melakukan skrining
atau deteksi dini dan pelayanan pertama menjadi vital dalam pencegahan kasus
gizi buruk saat ini. Penggunaan kartu menuju sehat dan pemberian makanan
tambahan di posyandu perlu digalakkan lagi. Tindakan cepat pada balita yang 2x
berturut-turut tidak naik timbangan berat badannya untuk segera mendapat akses
pelayanan dan edukasi lebih lanjut, dapat menjadi sarana deteksi dan intervensi
yang efektif. Termasuk juga peningkatan cakupan imunisasi untuk menghindari
penyakit yang dapat dicegah, serta propaganda kebersihan personal maupun
lingkungan. Pemuka masyarakat maupun agama akan sangat efektif jika
membantu dalam pemberian edukasi pada masyarakat, terutama dalam
menanggulangi kebiasaan atau mitos-mitos yang salah pada pemberian makan
pada anak.5,7

36
BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Penyakit KEP atau Protein Energy Malnutrition (kekurangan energi dan
protein) merupakan salah satu penyakit gangguan gizi yang penting bagi negara-
negara tertinggal maupun negara berkembang seperti Indonesia dan lainnya.
Prevalensi tertinggi terdapat pada anak-anak dibawah umur lima tahun (balita),
dan ibu yang sedang mengandung atau menyusui.
Pada kondisi ini ditemukan berbagai macam keadaan patologis disebabkan
oleh kekurangan energi maupun protein dalam tingkat yang bermacam-macam.
Akibat dari kondisi tersebut, ditemukan malnutrisi dari derajat yang ringan hingga
berat. Pada keadaan yang sangat ringan tidak ditemukan kelainan dan hanya

37
terdapat pertumbuhan yang kurang sedangkan kelainan biokimiawi dan gejala
klinis tidak terlihat.
Pada keadaan yang berat ditemukan dua tipe malnutrisi, yaitu marasmus
dan kwashiokor, serta diantara keduanya terdapat suatu keadaan dimana
ditemukan percampuran ciri-ciri kedua tipe malnutrisi tersebut yang dinamakan
marasmus-kwashiokor. Masing-masing dari tipe itu mempunyai gejala-gejala
klinis yang khas. Pada semua derajat maupun tipe malnutrisi ini mempunyai
persamaan bahwa adanya gangguan pertumbuhan pada penderitanya.
Untuk membedakan tipe ataupun derajat beratnyamalnutrisi terdapat
beberapa cara maupun klasifikasi, salah satunya menurut Gomez atau Wellcome
trust dan yang biasa dipakai sehari-hari menurut perhitungan antropometri.
Banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya malnutrisi pada anak, terutama
adalah peranan diet sehari-hari yang kurang mencukupi kebutuhan gizi seimbang
anak pada masa usia pertumbuhan, adanya penyakit penyerta yang memperburuk
keadaan gizi serta peranan sosial ekonomi yang mempunyai peranan tinggi
terutama kemiskinan dalam hal mempengaruhi status gizi seseorang.
Gejala klinis yang timbul pada kekurangan gizi tipe marasmus mempunyai
gambaran yang khas dalam hal membedakannya dengan kekurangan gizi tipe
kwashiokor. Pada tipe marasmus, gejala klinis yang lebih menonjol bahwa
penderita terlihat wajahnya seperti orang tua dan anak sangat kurus karena
hilangnya sebagian besar lemak dan atrofi dari otot-ototnya. Sedangkan pada tipe
kwashiokor, gejala klinis yang lebih terlihat adalah penampilannya yang gemuk
disertai adanya edema ringan maupun berat dan adanya ascites dikarenakan
kekurangan protein, disamping itu juga terlihat perubahan warna rambut menjadi
merah seperti rambut pada jagung serta mudah dicabut.
Pengobatan marasmus adalah dengan pemberian diet tinggi protein,
sedangkan pada malnutrisi tipe kwashiokor terutama dengan pemberian diet tinggi
protein disertai pemberian cairan untuk menanggulangi dehidrasi jika ada. Selain
itu juga diberikan vitamin A untuk mencegah terjadinya kebutaan pada matanya
dan pemberian mineral lain untuk membantu meningkatkan gizi penderita.

38
Penyakit ini mempunyai komplikasi dari yang ringan seperti infeksi traktus
urinarius hingga yang berat seperti tuberkulosis.
Penatalaksanaannya dilakukan secara bersama-sama dengan memperbaiki
keadaan gizinya. Walaupun prognosisnya terlihat buruk tetapi dengan
penganganan yang cepat dan tepat dapat menghindarkan penderitanya dari
kematian.1,2,7

3.2 SARAN
Penyakit marasmus ini merupakan penyakit kekurangan gizi yang banyak
sekali terjadi di Indonesia dan terutama anak-anaklah yang banyak terkena kondisi
gizi buruk atau malnutrisi ini. Jika kondisi ini dibiarkan berlarut-larut maka akan
banyak sekali anak indonesia yang terhambat perkembangan dan pertumbuhannya
dalam menatap masa depannya, sehingga diperlukan usaha yang ekstra untuk
menanggulangi permasalahan tersebut, diantaranya adalah:4,7
1. Anak-anak dalam masa pertumbuhan dan perkembangan sebaiknya
mendapatkan asupan gizi yang adekuat sesuai “empat sehat lima
sempurna”, yaitu kecukupan karbohidrat, lemak, protein, serat, vitamin,
dan mineral dalam makanan sehari-harinya.
2. Orang tua harus lebih memperhatikan asupan anak-anaknya apakah
makanan yang diberikan sudah mencukupi nutrisi yang dibutuhkan dalam
masa tumbuh kembangnya, selain itu orang tua sebaiknya memeriksakan
anak-anaknya ke pusat kesehatan terdekat seperti posyandu atau
puskesmas secara rutin untuk memantau tumbuh kembang anak-anaknya.
3. Pemerintah bersama-sama dengan masyarakat melalui posyandu dan
puskesmas turut berperan serta aktif sebagai basis terdepan dalam usaha
meningkatkan taraf hidup masyarakat terutama anak-anak dalam menuju
indonesia sehat di masa yang akan datang.
4. Pemerintah menggalakan kembali program Keluarga Berencana melalui
puskesmas-puskesmas yang tersebar di kota maupun di daerah tertinggal
untuk menekan tingkat pertumbuhan penduduk sehingga dengan
rendahnya pertumbuhan penduduk maka akan meningkatkan tingkat

39
kesejahteraan individu dan keluarga terutama anak-anak. Sehingga kasus
gizi buruk pada anak-anak dapat ditekan serendah-rendahnya.

DAFTAR PUSTAKA

1. Soetjiningsih, dr. 2015. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta: EGC.


2. Almatsier S, Soetardjo S, Soekatri M. Gizi seimbang dalam
daur kehidupan. Jakarta: Gramedia pustaka utama. 2012:480.
3. Nelson. 2017. Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15. Behrman Kliegman Aevin:
EGC.
4. Staf Pengajar IKA FK UI. 2014. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta:
FK UI.
5. Nurhayati N, Soetjiningsih S, Suandi IK. Relationship between protein
energy malnutrition and social maturity in children aged 1-2 years.
Paediatrica Indonesiana. 2002;42(11-12):261-7.
6. Direktorat Bina Gizi. 2011. Bagan Tatalaksana Anak Gizi Buruk Buku 1,
cetakan keenam. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.

40
7. Kemenkes RI 2016. Profil kesehatan Indonesia Tahun 2016. Diakses dari:
http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/profil-kesehatan-
indonesia/profil-kesehatan-Indonesia-2016.pdf

8. WHO.2009. Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Jakarta: WHO


Indonesia.
9. Kemenkes RI. 2011. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
tentang Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak. Jakarta: Dirjen
Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak.
10. Parthasarathy A. IAP Textbook of pediatrics. Jaypee Brothers, Medical
Publishers Pvt. Limited; 2019 Feb 4.
11. Krisnansari, Diah. 2010. Nutrisi dan Gizi Buruk. Mandala of Health. Volume
4, Nomor 1
12. Depkes RI. 2007. Pedoman Pendampingan Keluarga Menuju Kadarzi.
Jakarta: Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat dan Direktorat Bina Gizi
Masyarakat.

13. Waterlow JC. Protein Energy Malnutrition, Edward Arnold, London, 1992
14. Departemen Keseharan RI, Petunjuk Teknis Bagi Bidan Desa Program Jaring
Pengaman Sosial Bidang Kesehatan (JPS-BK).
15. Pudjiadi Solihin. Penyakit KEP (Kurang Energi dan Protein) dari Ilmu Gizi
Klinis pada Anak edisi keempat, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta, 2005
16. Departement of Child and Adolescent Health and Development. Severe
Malnutrition in Management of The Child With a Serious Infection or Severe
Malnutrition, World Health Organization, 2004

41
1. Lampiran

STATUS ORANG SAKIT


Anamnesis Pribadi
Nama : Muhammad Danil
Usia : 2 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Dusun I Desa Rantau Panjang Kec. Pantai Labu
Tanggal Masuk : 02-05-2019
BB Masuk : 6.9 kg

Anamnesa Orangtua
Nama Wali : Jamaliyah

42
Umur : 51 tahun
Pendidikan : SD
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Perkawinan : Menikah
Alamat : Dusun I Desa Rantau Panjang Kec. Pantai Labu
Riwayat penyakit :-

Riwayat Kelahiran Pasien


Tanggal Lahir : 10 Maret 2017
Tempat lahir : Kelambir
Kelahiran : Normal
BB Lahir : 3000 gram
Panjang :-
Ditolong oleh : Bidan

Perkembangan fisik
0 – 3 bulan : Lahir tidak segera menangis
4 – 6 bulan : Dapat menegakkan kepala, tidak dapat duduk
7 – 12 bulan : Tidak dapat merangkak, tidak dapat berdiri meski dengan
bantuan
1 tahun – sekarang : Tidak dapat duduk, berdiri dan berbicara

Anamnesa Makanan
0 – 4 bulan : Susu Formula + Bubur Susu
5 – 6 bulan : Susu Formula + Bubur Susu
7 – 12 bulan : Susu Formula + Nasi Dewasa
1 tahun – sekarang : Susu Formula + Nasi Dewasa

Riwayat imunisasi
BCG : Sudah diberikan 1x (usia 0 bulan)

43
DPT : Sudah diberikan 1x (usia 2 bulan)
POLIO : Sudah diberikan 1x (usia 2 bulan)
Campak : Sudah diberikan 1x (usia 9 bulan)
Hepatitis B : Sudah diberikan 1x (usia 0 bulan)
KESAN : Imunisasi lengkap

Penyakit yang pernah Diderita Pasien:


 Diare
 Sering demam

Keterangan Mengenai Saudara Pasien:

Anamnesa Penyakit Pasien


Keluhan utama : Lemas
Telaah :
Lemas disertai muntah-muntah yang dialami pasien 2 hari ini, frekuensi 5-6
x/hari, os memuntahkan apa yang dimakan dan diminum. Os belum bisa
berbicara, belum bisa duduk ataupun berdiri dan berjalan. Sejak lahir os tidak
mendapat ASI, sebelum masuk RS os diketahui pernah mengalami mencret.
RPO :-
RPT :-
Pemeriksaan Fisik
Status Present
KU/KP/KG : Sedang/Sedang/Buruk
Sensorium : Apatis-Somnolen
HR : 102 x/i
RR : 32 x/i
Temperatur : 36.7 °C
BB Masuk : 6.9 kg
Panjang Badan: 70 cm
Status Lokalisata

44
a. Kepala : Normochepali
Rambut : Hitam, tidak mudah dicabut
Mata : Konjunctiva anemis (-/-), cekung (+/+), pupil isokor
Hidung : Nasus eksternus dbn, cavum nasi/rhinoskopi: TDP
Telinga: Auricula dbn, otoskopi: TDP

b. Leher : Pembesaran KGB (-)TVJ:TDP

c. Thoraks : Inspeksi Simetris, iga mengambang


: Palpasi SF kiri=kanan
: Perkusi Sonor/Sonor
: Auskultasi Suara pernafasan:
Vesikuler (+/+)
Suara tambahan : (-/-)

d. Abdomen : Inspeksi Kulit keriput


: Palpasi Soepel (+), nyeri tekan (-)
: Perkusi Tymphani (+)
: Auskultasi Peristaltik (+)  normal

e. Ekstermitas Superior Kulit keriput, baggy pants


Inferior Kulit keriput, baggy pants

f. Genitalia : Tidak dilakukan pemeriksaan

Status Neurologi
1. Syaraf otak : TDP
2. Sistem motorik : TDP
Pertumbuhan Gigi : TDP
Neuro Muskular : TDP
Involunter movement : TDP
3. Koordinasi : TDP
4. Sensibilitas : TDP

Pemeriksaan Laboratorium
1. Darah

Analisis pemeriksaan Hasil Satuan Nilai rujukan


Hemoglobin 12.14 g/dL 11.5 – 14.5
Hematokrit 35.2 % 33 – 43

45
Leukosit 8.96 Ribu/uL 4.0 – 12.0
Trombosit 404.5 Ribu/uL 150 – 450

Resume :
Seorang pasien anak laki-laki berusia 2 tahun diantar keluarga dengan keluhan
utama lemas disertai muntah-muntah yang dialami pasien 2 hari ini, frekuensi 5-6
x/hari, os memuntahkan apa yang dimakan dan diminum. Os belum bisa
berbicara, belum bisa duduk ataupun berdiri dan berjalan. Sejak lahir os tidak
mendapat ASI, sebelum masuk RS os diketahui pernah mengalami mencret.

Diagnosa kerja :Gizi Buruk Marasmus


Penatalaksanaan :
1.
2.
3.
4.

Prognosa :

Dubia ad malam

46
FOLLOW UP PASIEN KESEHATAN ANAK
RSUD LUBUK PAKAM
8 Mei 2019
S
KU : Lemas
O
Sens : compos mentis
HR : 86 x/i
RR :22 x/i
Temp : 37.7 °C
BB : 7.1 kg
A
Gizi buruk tipe Marasmus + GE R/S
P
 IVFD 4:1-5 gtt/i (mikro)
 Inj Cefotaxime 300 mg/8 jam
 Inj Novalgin 100 mg/8 jam
 L-Zinc 2x5 cc
 L-Bio 2x1 sachet
 Apialis 1x5 cc
 Vit A 1x200.000 IU (TAO)
 Asam Folat 1x1 mg (H3)
 NGT terpasang baik

9 Mei 2019
S
KU : Lemah
O
Sens : compos mentis
HR : 90 x/i

47
RR : 32 x/i
Temp : 37,6 °C
BB : 7.1 kg
A
Gizi buruk tipe Marasmus + GE R/S
P
 IVFD 4:1-5 gtt/i (mikro)
 Inj Cefotaxime 300 mg/8 jam
 Inj Novalgin 100 mg/8 jam
 L-Zinc 2x5 cc
 L-Bio 2x1 sachet
 Apialis 1x5 cc
 Vit A 1x200.000 IU (TAO)
 Asam Folat 1x1 mg
 NGT terpasang baik

10 Mei 2019
S
KU : Lemas
O
Sens : compos mentis
HR : 86 x/i
RR :22 x/i
Temp : 36.8 °C
BB : 7.1 kg
Muntah (-) Gembung (-) Belum BAB
A
Gizi buruk tipe Marasmus + GE R/S
P
 IVFD 4:1-5 gtt/i (mikro)
 Inj Cefotaxime 300 mg/8 jam
 Inj Novalgin 100 mg/8 jam
 L-Zinc 2x5 cc
 L-Bio 2x1 sachet
 Apialis 1x5 cc
 Vit A 1x200.000 IU (TAO)
 Asam Folat 1x1 mg (H3)

48
 Lactulosa 3x2.5 cc
 NGT terpasang baik

11 Mei 2019
S
KU : Lemah
O
Sens : compos mentis
HR : 90 x/i
RR : 32 x/i
Temp : 37,6 °C
BB : 7.1 kg
A
Gizi buruk tipe Marasmus + GE Ringan/Sedang
P
 IVFD 4:1-5 gtt/i (mikro)
 Inj Cefotaxime 300 mg/8 jam
 Inj Novalgin 100 mg/8 jam
 L-Zinc 2x5 cc
 L-Bio 2x1 sachet
 Apialis 1x5 cc
 Vit A 1x200.000 IU (TAO)
 Asam Folat 1x1 mg
 Lactulosa 3x2.5 cc
 NGT terpasang baik
12 Mei 2019
S
KU : Lemas
O
Sens : compos mentis
HR : 86 x/i
RR :22 x/i
Temp : 36.5 °C
BB : 7.2 kg
A
Gizi buruk tipe Marasmus + GE R/S

49
P
 IVFD 4:1-5 gtt/i (mikro)
 Inj Cefotaxime 300 mg/8 jam
 Inj Novalgin 100 mg/8 jam
 L-Zinc 2x5 cc
 L-Bio 2x1 sachet
 Apialis 1x5 cc
 Vit A 1x200.000 IU (TAO)
 Asam Folat 1x1 mg (H3)
 NGT terpasang baik

13 Mei 2019
S
KU : Masih lemah
O
Sens : compos mentis
HR : 90 x/i
RR : 32 x/i
Temp : 36,5 °C
BB : 7.1 kg
A
Gizi buruk tipe Marasmus + GE R/S
P
 IVFD 4:1-5 gtt/i (mikro)
 Inj Cefotaxime 300 mg/8 jam
 Inj Novalgin 100 mg/8 jam
 L-Zinc 2x5 cc
 L-Bio 2x1 sachet
 Apialis 1x5 cc
 Vit A 1x200.000 IU (TAO)
 Asam Folat 1x1 mg
 NGT terpasang baik

14 Mei 2019
S
KU : Lemas
O

50
Sens : compos mentis
HR : 86 x/i
RR :22 x/i
Temp : 36.5 °C
BB : 7.1 kg
A
Gizi buruk tipe Marasmus + GE R/S
P
 IVFD 4:1-5 gtt/i (mikro)
 Inj Cefotaxime 300 mg/8 jam
 Inj Novalgin 100 mg/8 jam
 L-Zinc 2x5 cc
 L-Bio 2x1 sachet
 Apialis 1x5 cc
 Vit A 1x200.000 IU (TAO)
 Asam Folat 1x1 mg (H3)
 NGT terpasang baik

15 Mei 2019
S
KU : Lemah
O
Sens : compos mentis
HR : 90 x/i
RR : 32 x/i
Temp : 37,6 °C
BB : 7.2 kg
A
Gizi buruk tipe Marasmus + GE Ringan/Sedang
P
 IVFD 4:1-5 gtt/i (mikro)
 Inj Cefotaxime 300 mg/8 jam
 Inj Novalgin 100 mg/8 jam
 L-Zinc 2x5 cc
 L-Bio 2x1 sachet
 Apialis 1x5 cc

51
 Vit A 1x200.000 IU (TAO)
 Asam Folat 1x1 mg
 NGT terpasang baik

16 Mei 2019
S
KU : Lemas
O
Sens : compos mentis
HR : 86 x/i
RR :22 x/i
Temp : 36.1 °C
BB : 7.3 kg
A
Gizi buruk tipe Marasmus + GE R/S
P
 IVFD 4:1-5 gtt/i (mikro)
 Inj Cefotaxime 300 mg/8 jam
 Inj Novalgin 100 mg/8 jam
 L-Zinc 2x5 cc
 L-Bio 2x1 sachet
 Apialis 1x5 cc
 Vit A 1x200.000 IU (TAO)
 Asam Folat 1x1 mg (H3)
 NGT terpasang baik

17 Mei 2019
S
KU : Lemah
O
Sens : compos mentis
HR : 90 x/i
RR : 32 x/i
Temp : 36.2 °C
BB : 7.1 kg
Ada lecet di bokong

52
A
Gizi buruk tipe Marasmus + GE R/S
P
 IVFD 4:1-5 gtt/i (mikro)
 Inj Cefotaxime 300 mg/8 jam
 Inj Novalgin 100 mg/8 jam
 L-Zinc 2x5 cc
 L-Bio 2x1 sachet
 Apialis 1x5 cc
 Vit A 1x200.000 IU (TAO)
 Asam Folat 1x1 mg
 NGT terpasang baik

18 Mei 2019
S
KU : Masih lemah
O
Sens : compos mentis
HR : 86 x/i
RR :22 x/i
Temp : 36.8 °C
BB : 7.1 kg
Ada lecet dibokong
A
Gizi buruk tipe Marasmus + GE R/S
P
 IVFD 4:1-5 gtt/i (mikro)
 Inj Cefotaxime 300 mg/8 jam
 Inj Novalgin 100 mg/8 jam
 L-Zinc 2x5 cc
 L-Bio 2x1 sachet
 Apialis 1x5 cc
 Vit A 1x200.000 IU (TAO)
 Asam Folat 1x1 mg (H3)
 Zalf. Ketokonazole
 NGT terpasang baik

53
19 Mei 2019
S
KU : Lemah
O
Sens : compos mentis
HR : 90 x/i
RR : 32 x/i
Temp : 36,1 °C
BB : 7.1 kg
A
Gizi buruk tipe Marasmus + GE Ringan/Sedang
P
 IVFD 4:1-5 gtt/i (mikro)
 Inj Novalgin 100 mg/8 jam
 L-Bio 2x1 sachet
 Apialis 1x5 cc
 Vit A 1x200.000 IU (TAO)
 Asam Folat 1x1 mg
 Zalf Ketokonazole
 NGT terpasang baik
20 Mei 2019
S
KU : Lemas
O
Sens : compos mentis
HR : 86 x/i
RR :22 x/i
Temp : 36.2 °C
BB : 7.2 kg
A
Gizi buruk tipe Marasmus + GE R/S
P
 IVFD 4:1-5 gtt/i (mikro)
 Inj Novalgin 100 mg/8 jam
 Apialis 1x5 cc
 Vit A 1x200.000 IU (TAO)

54
 Asam Folat 1x1 mg (H3)
 Zalf Ketokonazole
 NGT terpasang baik

21 Mei 2019
S
KU : Masih lemah
O
Sens : compos mentis
HR : 90 x/i
RR : 32 x/i
Temp : 36,5 °C
BB : 7.1 kg
A
Gizi buruk tipe Marasmus + GE R/S
P
 IVFD 4:1-5 gtt/i (mikro)
 Inj Novalgin 100 mg/8 jam
 Apialis 1x5 cc
 Vit A 1x200.000 IU (TAO)
 Asam Folat 1x1 mg
 NGT terpasang baik

22 Mei 2019
S
KU : Lemas
O
Sens : compos mentis
HR : 86 x/i
RR :22 x/i
Temp : 36.5 °C
BB : 7.1 kg
A
Gizi buruk tipe Marasmus + GE R/S
P

55
 IVFD 4:1-5 gtt/i (mikro)
 Apialis 1x5 cc
 Vit A 1x200.000 IU (TAO)
 Asam Folat 1x1 mg (H3)
 NGT terpasang baik

23 Mei 2019
S
KU : Lemah
O
Sens : compos mentis
HR : 90 x/i
RR : 32 x/i
Temp : 36.5 °C
BB : 7.2 kg
BB belum optimal
A
Gizi buruk tipe Marasmus + GE Ringan/Sedang
P
 Apialis 1x5 cc
 Vit A 1x200.000 IU (TAO)
 Asam Folat 1x1 mg
 NGT terpasang baik

24 Mei 2019
S
KU : Lemah
O
Sens : compos mentis
HR : 90 x/i
RR : 32 x/i
Temp : 37,1 °C
BB : 7.5 kg
A
Gizi buruk tipe Marasmus + GE Ringan/Sedang
P

56
 Apialis 1x5 cc
 Vit A 1x200.000 IU (TAO)
 Asam Folat 1x1 mg
 NGT terpasang baik
25 Mei 2019
S
KU : Lemas
O
Sens : compos mentis
HR : 86 x/i
RR :22 x/i
Temp : 37.3 °C
BB : 7.9 kg
A
Gizi buruk tipe Marasmus + GE R/S
P
 Apialis 1x5 cc
 Vit A 1x200.000 IU (TAO)
 Asam Folat 1x1 mg (H3)
 NGT terpasang baik

26 Mei 2019
S
KU : Lemas
O
Sens : compos mentis
HR : 86 x/i
RR :22 x/i
Temp : 37.3 °C
BB : 7.9 kg
A
Gizi buruk tipe Marasmus + GE R/S
P
 Apialis 1x5 cc
 Vit A 1x200.000 IU (TAO)

57
 Asam Folat 1x1 mg (H3)
 NGT terpasang baik

27 Mei 2019
S
KU : Lemas
O
Sens : compos mentis
HR : 86 x/i
RR :22 x/i
Temp : 37.3 °C
BB : 7.9 kg
A
Gizi buruk tipe Marasmus + GE R/S
P
 Apialis 1x5 cc
 Vit A 1x200.000 IU (TAO)
 Asam Folat 1x1 mg (H3)
 NGT terpasang baik

28 Mei 2019
S
KU : Berangsur membaik
O
Sens : compos mentis
HR : 90 x/i
RR : 32 x/i
Temp : 36,5 °C
BB : 7.9 kg
A
Gizi buruk tipe Marasmus + GE R/S
P
 Apialis 1x5 cc
 Asam Folat 1x1 mg

58
 NGT terpasang baik

PBJ

59

Anda mungkin juga menyukai