Anda di halaman 1dari 48

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Diare merupakan suatu kondisi umum yang ditandai dengan peningkatan
frekuensi buang air besar dan peningkatan likuiditas dari tinja. Meskipun diare akut
biasanya dapat sembuh sendiri, dapat memburuk dan menyebabkan dehidrasi yang
memburuk, yang dapat menyebabkan volume darah abnormal, tekanan darah
menurun, dan kerusakan pada ginjal, jantung, hati, otak dan organ tubuh lainnya.
Diare akut menjadi penyebab utama kematian bayi di seluruh dunia (Gidudu et al.,
2011).
Menurut World Health Organization (WHO) dan UNICEF, ada sekitar 2 juta
kasus diare penyakit di seluruh dunia setiap tahun dan 1,9 juta anak-anak lebih muda
dari 5 tahun meninggal karena diare setiap tahun, terutama di negara-negara
berkembang. Jumlah ini 18 % dari semua kematian anak-anak di bawah usia 5 dan
berarti bahwa > 5000 anak-anak meninggal setiap hari akibat diare penyakit (WGO,
2013).
Kematian akibat penyakit diare ini biasanya terjadi di awal masa bayi dan
anak-anak dengan dehidarasi berat (Hayajneh et al.,2010). Dehidrasi itu sendiri
diartikan sebagai kehilangan air dan garam (terutama natrium klorida) atau cairan
ekstraselular. Penyebab tersering yang terjadi pada bayi karena diare yang disebabkan
oleh infeksi virus dan bakteri (Finberg, 2002).
Insiden dan period prevalencediare untuk seluruh kelompok umur di
Indonesia adalah 3,5 persen dan 7,0 persen. Lima provinsi dengan insiden dan period
prevalen diare tertinggi adalah Papua (6,3% dan 14,7%), Sulawesi Selatan (5,2% dan
10,2%), Aceh (5,0% dan 9,3%), Jawa Barat (4,7% dan 10,1%), dan Sulawesi Tengah
(4,4% dan 8,8%). Insiden diare pada kelompok usia balita di Indonesia adalah 6,7
persen. Lima provinsi dengan insiden diare tertinggi adalah Aceh (10,2%), Papua

(9,6%), DKI Jakarta (8,9%), Sulawesi Selatan (8,1%), dan Banten (8,0%)(Riskesdas,
2013).
Berdasarkan data yang diperoleh, insiden diare balita tertinggi di Indonesia
pada tahun 2013 terjadi pada kelompok umur 12-23 bulan (7,6%), umur 0-11 bulan
(5,5%), umur 24-35 bulan (5,8%), umur 36-47 bulan (4,3%), dan umur 48-59(3,0%)
(Riskesdas, 2013).
Pada tahun 2014, dari 559.011 perkiraan kasus diare yang ditemukan dan
ditangani adalah sebanyak 216.175 atau 38,67%, sehingga angka kesakitan (IR) diare
per 1.000 penduduk mencapai 16,36%. Pencapaian ini mengalami penurunan
dibandingkan tahun 2011 yaitu 19,35% dan 2010 yaitu 18,73%. Pencapaian IR ini
jauh di bawah target program yaitu 220 per 1.000 penduduk. Rendahnya IR
dikhawatirkan bukan merefleksikan menurunnya kejadian penyakit diare pada
masyarakat tetapi lebih dikarenakan banyaknya kasus yang tidak terdata(Profil
Kesehatan Provinsi Jawa Barat, 2014).
Berdasarkan data yang telah dikumpulkan, perkiraan kasus diare yang terjadi
di Kota Bandung pada tahun 2014 yaitu sebanyak 89.795 kasus. Berdasarkan jenis
kelamin kasus yang terjadi pada laki-laki sebanyak 44.325 sedangkan pada
perempuan sebanyak 45.469 kasus diare. Dari perkiraan kasus diare tersebut kasus
diare yang ditangani sekitar 33,90% (Profil Kesehatan Provinsi Jawa Barat, 2014).
Berbagai faktor mempengaruhi terjadinya kematian, malnutrisi, ataupun
kesembuhan pada pasien penderita diare. Pada balita, kejadian diare lebih berbahaya
dibanding pada orang dewasa dikarenakan komposisi tubuh balita yang lebih banyak
mengandung air dibanding dewasa. Jika terjadi diare, balita lebih rentan mengalami
dehidrasi dan komplikasi lainnya yang dapat merujuk pada malnutrisi ataupun
kematian.Faktor ibu berperan sangat penting dalam kejadian diare pada balita. Ibu

adalah sosok yang paling dekat dengan balita. Jika balita terserang diare maka
tindakan-tindakan yang ibu ambil akan menentukan perjalanan penyakitnya.
Tindakan

tersebut

dipengaruhi

pengetahuan.Pengetahuan

merupakan

berbagai
domain

hal,
yang

salah
sangat

satunya
penting

adalah
untuk

terbentuknya tindakan seseorang. Karena dari pengalaman dan penelitian ternyata


perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih baik daripada perilaku yang tidak
didasari oleh pengetahuan (Notoatmodjo, 2003).
Perilaku manusia berasal dari dorongan yang ada dalam diri manusia dan
dorongan itu merupakan salah satu usaha untuk memenuhi kebutuhan yang ada dalam
diri manusia. Dengan adanya dorongan tersebut, menimbulkan seseorang melakukan
sebuah tindakan atau perilaku khusus yang mengarah pada tujuan. Sementara itu,
para sosiolog melihatnya bahwa perilaku manusia tidak bisa dipisahkan dari konteks
setting sosialnya. Dalam kaitannya dengan perilaku kesehatan atau lebih spesifik lagi
yaitu derajat kesehatan, perilaku manusia merupakan faktor utama untuk terwujudnya
derajat kesehatan individu secara prima. Perilaku individu memiliki pengaruh yang
lebih besar dibandingkan dengan layanan kesehatan. Sementara faktor genetis hanya
berpengaruh sebesar 5 %. Dari pernyataan diatas seolah-olah menegaskan bahwa
layanan kesehatan hanya faktor kecil untuk meningkatkan derajat kesehatan
sedangkan faktor perilaku dan lingkungan merupakan faktor yang sangant besar
dalam mendukung derajat kesehatan manusia. Dalam konteks inilah, pendidikan atau
promosi kesehatan memiliki peranan yang penting dalam mendukung angka
partisipasi kesehatan masyarakat dalam mendukung kualitas kesehatan masyarakat.
Secara umum, tujuan dari promosi kesehatan ini adalah perubahan perilaku individu
dan budaya masyarakat sehingga mampu menunjukan perilaku dan budaya yang
sehat (Sudarma, 2008)

Berdasarkan data-data diatas, penulis tertarik untuk meneliti mengenai


hubungan tingkat pengetahuan dan tindakan ibu dengandengandiare akut yang
disertai dehidrasi pada anak balita di RSUD Kota Bandung. Selain untuk mengetahui
angka kejadian diare akut sekaligus juga untuk mengetahui pengetahuan dan tindakan
ibu dalam mengatasi diare yang terjadi pada anaknya.
1.2. Rumusan Masalah
Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanahubungan tingkat
pengetahuandan tindakan ibu dengandiare akut yang disertai dehidrasi pada anak
balitadi RSUD Kota Bandung tahun 2014?
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1.
Tujuan Umum
Mengetahui hubungan tingkat pengetahuan dan tindakan ibu dengan diare
akut yangdisertai dehidrasi pada anak balita di RSUD Kota Bandung tahun 2014.
1.3.2.

Tujuan Khusus
Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah :
1. Mengetahui jumlah kasus pasien yang mengalami diare akut pada anak
balita.
2. Mengetahui tingkat pengetahuan ibu tentang diare pada anak balita.
3. Mengetahui tindakan ibu terhadap diare pada anak balita.
4. Mengetahui derajat dehidrasi akibat diare pada anak balita.

1.4. Manfaat Penelitian


1. Bagi Peneliti
Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan
peneliti tentang diare akut yang disertai dehidrasi pada anak balita.
2. Bagi Pelayanan Kesehatan

Penelitian ini diharapkan dapat membantu meningkatkan pelayanan


kesehatan pada anak balita yang mengalami diare akut disertai dehidrasi
yang dirawat di rumah sakit tersebut.
3. Bagi Masyarakat
Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan masyarakat
khususnya kepada ibu tentang bahayadiare akut disertai dehidrasi pada
anak balita apabila tidak ditangani dengan baik.
4. Bagi Peneliti Lain
Sebagai data dasar atau pembanding bagi peneliti lain untuk melakukan
penelitian selanjutnya.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Diare
2.1.1. Definisi

Menurut WHO (2005) jumlah pengeluaran tinja yang dikeluarkan dalam


sehari bervariasi sesuai diet dan usia. Diare didefinisikan sebagai tinja yang
mengandung lebih banyak air dengan frekuensi > 3 kali dalam sehari. Tinja tersebut
mungkin juga dapat bercampur dengan darah, dalam hal ini disebut dengan disentri.
Bayi dibawah 6 bulan yang hanya meminum ASI umumnya memiliki tinja yang
lunak tetapi keadaan ini tidak disebut dengan diare.
Diare akut didefinisikan sebagai peningkatan frekuensi buang air besar (tiga
kali atau lebih perhariatau setidaknya 200 gram tinjaper hari) yang berlangsung
kurang dari14 hari, bisa disertai dengan mual, muntah, kram perut, gejala sistemik
yang signifikan secara klinis, atau malnutrisi (Thielman dan G.Richard, 2004).
Menurut Friedman dan Kurt (1995) diare harus dibedakan dengan pseudodiare atau
hiperdefikasi yang merupakan peningkatan frekuensi defekasi tanpa peningkatan
jumlah tinja diatas normal, keaadaan ini biasa terjadi pada pasien irritable bowel
syndrome. Diare juga harus dibedakan dengan inkontinensia fekal yang merupakan
pelepasan isi rektum tanpa disadari.
2.1.2. Etiologi
Virus adalahpenyebab utamapenyakit diare akut. Secara khusus,grup
Arotavirus (RV) adalahpenyebabtersering penyakit diareyang parahdan dehidrasi,
yangseringmenyebabkanrawat inapbayi dananak-anakdi seluruh dunia. Agen
viruslainnya, termasukadenovirusenterik (Adv), astroviruses (AstV),

danHuman

calicivirus(HucV) sepertinorovirus (NOV) dansapovirus (SAV), juga diyakinisebagai


penyebab utama kasus sporadis dan wabah diare anak (Yabo et al., 2012).
Table 2.1

Sumber: WHO, 2008


Agen bakteri
Di negara berkembang, bakteri enterik dan parasit lebih umum daripada virus
dan biasanya mencapai puncak selama musim panas.Campylobacter adalah bakteri
yang lazim pada orang dewasa dan merupakan salah satu bakteri yang paling sering
diisolasi dari tinja bayi dan anak-anak di negara berkembang. Shigella dysenteriae
tipe 1 menghasilkan toksin Shiga, seperti halnya enterohemorrhagicE. coli (EHEC)
yang memiliki ciri khas diare dengan lendir berdarah. Ini telah menyebabkan epidemi
diare berdarah dengan tingkat fatalitas kasus mendekati 10% di Asia, Afrika, dan
Amerika Tengah.V. choleraeserogrup O1 dan O139 menyebabkan deplesi cairan yang
cepat dan berat dan bila tidak ditangani dengan cepat dapat mengakibatkan kematian
dalam waktu 12-18 jam.Salmonella sangat beresiko pada bayi dan orang tua,
Salmonella typhi atau paratyphi A,B, atau C mengakibatkan demam tipoid (WHO,
2008).

Diare akut merupakan masalah yang sangat penting di negara-negara


berkembang dan sering terjadi akibat agen infeksi yang ditemukan pada anak
penderita diare. Agen-agen ini antara lain adalah: rotavirus, Shigella spp, dan E. Coli
enterotoksigenik.

Rotavirus sendiri merupakan penyebab diare akut yang

diidentifikasi pada anak dalam komunitas dengan iklim tropis (Walker, 1997).
Agen Virus
Virus merupakan penyebab utama diare akut yang terjadi terutama di negaranegara maju. Rotavirus penyebab terparah dehidrasi akibat gastroenteritis pada anakanak. Insiden puncak penyakit pada anak-anak antara 4 sampai 23 bulan. Human
Calicivirus yang sebelumnya disebut dengan Norwalk-like virus

mungkin

merupakan agen virus paling umum kedua setelah Rotavirus. Infeksi adenovirus
paling sering menyebabkan penyakit pada sistem pernapasan. Namun, tergantung
pada serotipe yang menginfeksi dan terutama pada anak-anak, mereka mungkin juga
menyebabkan gastroenteritis (WHO, 2008). Rotavirus dapat dilihat dengan
mikroskop elektro dalam sediaan tinja dari 20-40% anak berumur 5 tahun kebawah
yang menderita gastroeneteritis akut. Prevalensi tertinggi penderita didapati pada
musim dingin. Adenovirus dapat ditemukan pada 5-10% penderita gastroenteritis dan
spesisifik bagi calcivirus, astrovirus dapat ditemukan pada 1-5% anak lainnya
(Karsinah, 1994).
Agen Parasit
Intestinalis Giardia, Cryptosporidiumparvum, Entamoeba histolytica, dan
Cyclosporacayetanensis paling sering menyebabkan penyakit diare akut pada anakanak. Parasit jarang menjadi penyebab diare menular di kalangan anak-anak di negara
berkembang. (WHO, 2008).

Disamping itu penyebab diare non infeksi yang dapat menimbulkan diare pada anak
antara lain :
1. Kesulitan makan
2. Defek anatomis
Malrotasi
Penyakit Hirchsprung
Short Bowel Syndrome
Atrofi mikrovilli
Stricture
3. Malabsorpsi
Defisiensi disakaridase
Malabsorpsi glukosa-galaktosa
Cholestosis
Penyakit Celiac
4. Endokrinopati
Tyrotoksikosis
Penyakit Addison
Sindroma Adrenogenital
5. Keracunan makanan
Logam Berat
Mushrooms
6. Neoplasma
Neuroblastoma
Sindroma Zollinger Ellison
7. Lain-lain :
Infeksi non gastointestinal
Alergi susu sapi
Penyakit Crohn
Defisiensi imun
Gangguan motilitas
2.1.3. Faktor Resiko
Menurut Subagyo dan Nurtjahjo (2009) penularan diare pada umunya melalui
fekal-oral dari makanan atau minuman yang telah tercemar oleh enteropatogen.
Beberapa faktor yang berpengaruh untuk terjadinya diare antara lain :
1. Faktor umur
9

Sebagian besar terjadi pada usia 2 tahun pertama kehidupan. Insiden tertinggi
terjadi pada kelompok umur 6-11 bulan.
2. Infeksi asimtomatik
Sebagian besar infeksi usus bersifat asimtomatik dan kejadian ini meningkat
setelah umur 2 tahun karena pembentukan imunitas aktif tubuh penderita yang
asimtomatik pada tinjanya dapat mengandung virus, bakteri atau kista
protozoa yang infeksius. Orang dengan infeksi asimtomatis ini biasanya
berperan penting dalam penyebaran banyak enteropatogen, tidak menjaga
kebersihan dan berpindah-pindah tempat ke tempat lain.
3. Faktor musim
Insiden diare dapat terjadi menurut letak geografis suatu daerah. Di daerah
sub tropik, diare kerena bakteri lebih sering terjadi pada musim panas,
sedangkan akibat virus lebih sering terjadi pada musim dingin. Sedangkan
pada daerah tropik seperti indonesia, diare yang disebabkan rotavirus dapat
terjadi sepanjang tahun dan meningkat pada musim kemarau, dan pada musim
hujan lebih disebabkan akibat bakteri.
4. Epidemi dan pandemi
Vibriocholera dan Shigelladysentriaedapat mengakibatkan epidemi dan
pandemi yang mengakibatkan tingginya angka kesakitan dan kematian pada
semua golongan usia.
5. Faktor ASI
Menurut Sutoto (1992) dalam Ishak (2010) Insiden diare meningkat pada saat
anak untuk pertama kali mengenal makanan tambahan dan makin lama makin
meningkat. Pemberian ASI penuh akan memberikan perlindungan diare 4 kali
daripada bayi dengan ASI disertai susu botol. Bayi dengan susu botol saja
akan mempunyai resiko diare lebih besar dan bahkan 30 kali lebih banyak
daripada bayi dengan ASI secara penuh.
6. Faktor Pendidikan

10

Tingginya angka kesakitan dan kematian (morbiditas dan mortalitas) karena


diare di Indonesia disebabkan oleh faktor kesehatan lingkungan yang belum
memadai, keadaan gizi, kependudukan, pendidikan, keadaan sosial ekonomi
dan perilaku masyarakat yang secara langsung ataupun tidak langsung
mempengaruhi keadaan penyakit diare. Menurut penelitian yang dilakukan
oleh Erial, B. et al, 1994, ditemukanbahwa kelompok ibu dengan status
pendidikan SLTP ke atas mempunyai kemungkinan 1,6 kali memberikan
cairan rehidrasi oral dengan baik pada balita dibanding dengan kelompok ibu
dengan status pendidikan SD ke bawah.
7. Faktor Pekerjaan
Ayah dan ibu yang bekerja sebagai pegawai negeri atau swasta rata-rata
mempunyai pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan ayah dan ibu yang
bekerja sebagai buruh atau petani. Jenis pekerjaan umumnya berkaitan dengan
tingkat pendidikan dan pendapatan. Tetapi ibu yang bekerja harus
membiarkan anaknya diasuh oleh orang lain, sehingga mempunyai resiko
lebih besar untuk terpapar dengan penyakit diare.
8. Faktor Jamban
Resiko kejadian diare lebih besar pada keluarga yangtidak mempunyai
fasilitas jamban keluarga dan penyediaan sarana jamban umum dapat
menurunkan resiko kemungkinan terjadinya diare. Berkaitan dengan personal
hygienedari masyarakat yang ditunjang dengan situasi kebiasaan yang
menimbulkan pencemaran lingkungan sekitarnya dan terutama di daerahdaerah dimana air merupakan masalah dan kebiasaan buang air besar yang
tidak sehat.
9. Faktor Sumber Air
Sumber air adalah tempat mendapatkan air yang digunakan. Air baku tersebut
sebelum digunakan adalah yang diolah dulu, namun ada pula yang langsung
digunakan oleh masyarakat. Kualitas air baku pada umumnya tergantung dari

11

mana sumber air tersebut didapat.Ada beberapa macam sumber air misalnya :
air hujan, air tanah (sumur gali, sumur pompa), air permukaan (sungai, danau)
dan mata air. Apabila kualitas air dari sumber air tersebut telah memenuhi
syarat kesehatan sesuai dengan peraturan yang berlaku, dapat langsung
dipergunakan tetapi apabila belum memenuhi syarat, harus melalui proses
pengolahan airterlebih dahulu.Berdasarkan data survei demografi dan
kesehatan tahun 1997, kelompok anak-anak di bawah lima tahun yang
keluarganya menggunakan sarana sumur gali mempunyai resiko terkena diare
1,2 kali dibandingkan dengan kelompok anak yang keluarganya menggunakan
sumber sumur pompa.

2.1.4. Patofisiologi Diare


Menurut Simadibrata dan Daldiyono (2009) diare dapat disebabkan oleh
beberapa patofisiologi sebagai berikut :
1. Diare osmotik
Diare ini terjadi akibat peningkatan tekanan osmotik intralumen dari usus
halus yang disebabkan oleh obat-obatan/zat kimia yang hiperosmotik seperti
MgSO4, Mg(OH)2 dan defek dalam absorpsi mukosa usus misal pada
defisiensi disakaridase, malabsorpsi glukosa/galaktosa.
2. Diare sekretori
Diare tipe ini disebabkan peningkatan sekresi air dan elektrolit dari usus, atau
penurunan absorpsi dengan gejala khas peningkatan volume tinja. Penyebab

12

tersering akibat efek enterotoksin infeksi Vibrio cholerae, atau Escherichia


coli.
3. Malabsorpsi asam empedu, malabsorpsi lemak
Diare ini tipe ini didapatkan gangguan pembentukan micelle empedu.
4. Defek sistem pertukaran anion/transport elektrolit aktif di enterosit
Diare tipe ini disebabkan adanya hambatan mekanisme transport aktif Na+K+
ATP ase di enterosit dan absorpsi Na+ dan air yang abnormal.
5. Motilitas dan waktu transit usus abnormal
Diare tipe ini disebabkan hipermotilitas dan iregularitas motilitas usus hingga
mengakibatkan absorpsi yang abnormal di usus halus.
6. Gangguan permeabilitas usus
Diare ini terjadi akibat adanya kelainan morfologi membran epitel spesifik
pada usus halus menyebabkan permeabilitas usus menjadi abnormal.
7. Diare inflamatorik
Diare ini karena kerusakan mukosa usus akibat proses inflamasi, sehingga
terjadi produksi mukus yang berlebihan dan eksudasi air dan elektrolit
kedalam lumen juga gangguan absorpsi air-elektrolit.
8. Diare infeksi
Diare ini merupakan tipe diare yang tersering terbagi atas bakteri invasif
(merusak mukosa) dan non-invasif (tidak merusak mukosa).
2.1.5. Klasifikasi Diare
Menurut WHO (2005) diare terbagi atas diare akut dan persisten. Diare akut
dimulai secara tiba-tiba dan dapat berlanjut selama beberapa hari. Hal ini disebabkan
oleh infeksi usus.
Menurut

Simadibrata

dan

Daldiyono

(2009)

diare

diklasifikasikan

berdasarkan :
1. Lama waktu diare : diare akut apabila diare berlangsung kurang dari 15 dan
2.
3.
4.
5.

kronik bila diare berlangsung 15 hari lebih.


Mekanisme patofisiologi : osmotik, sekretorik dll.
Berat ringan diare : kecil atau besar.
Penyebabnya : infeksi atau non infeksi.
Organik atau fungsional.

13

2.1.6. Diagnosa Diare


Menurut WHO guideline (2008) ada beberapa hal yang perlu diperlukan
untuk mendiagnosa suatu diare akut antara lain :
1. Episode diare diklasifikasikan dalam 3 kategori
a. Diare akut
: 3x atau lebih dengan tinja berair dalam 24 jam.
b. Disentri
: diare yang disertai darah.
c. Diare persisten : episode diare lebih dari 14 hari.
2. Evaluasi gejala klinis meliputi :
Tabel 2.2. Evaluasi Pasien Diare Akut

Sumber: WHO, 2008


Gambaran klinis pasien diare infeksius yang akut secara khas ditemukan
dengan gejala seperti mual, muntah, nyeri abdomen, panas dan diare yang bisa encer,
malabsorpsi atau berdarah menurut penyebabnya. Pasien yang termakan toksin atau
dengan infeksi toksigenik secara khas akan mengalami mual dan muntah sebgai gejala
yang menonjol tetapi jarang mengalami panas yang tinggi. Nyeri abdomen yang
terjadi bersifat ringan, difus serta kram dan mengakibatkan diare cair. Muntah
dimulai dalam waktu beberapa jam setelah mengkonsumsi suatu makan harus
dicurigai kemungkinan keracunan makanan disebabkan oleh toksin yang terbentuk.
Parasit yang tidak menginvasi mukosa intestinal seperti Giardialamblia dan

14

Cryptosporidium biasanya hanya menimbulkan perasaan tidak enak diperut yang


ringan. Bakteri invasif seperti Campylobacter, Salmonella serta Shigella dan
oraganisme yang menghasilkan sitotoksin seperti C.Difficile serta organisme
enterohemorhagik Escherichiacoli menyebabkan inflamasi interstinal yang serta,
nyeri abdomen dan sering pula demam yang tinggi. Bakteri Yesrsenia sering
menginfeksi ileum terminalis serta sekum dan ditemukan dengan nyeri dan nyeri
tekan pada abdomen kuadran kanan bawah yang dapat diduga ke arah apendisitis
akut. Diare encer merupakan ciri khas organisme yang menginvasi epitel intestinal
dengan inflamsi ringan, seperti virus enterik, atau oraganisme yang menempel tanpa
merusak epitel tersebut, seperti kuman enteropatogenik atau adheren E. coli, protozoa
dan helmintes (Friedman dan kurt, 1994).
Tabel 2.3. Gambaran Klinik dari Infeksi dengan Bakteri Patogen

Sumber: WHO, 2013


Menurut WHO (2005) ketika seseorang mengalami diare, langkah pertama
yang perlu dinilai adalah tanda-tanda dehidrasi.
Penentuan derajat dehidrasi menurut MMWR 2003
Tabel 2.4Penilaian Derajat Dehidrasi Berdasarkan Klinis

15

Sumber : Subagyo dan Nurtjahjo, 2009


Penilaian turgor kulit dilakukan untuk menilai apakah kulit dapat kembali
dengan cepat, lambat, atau sangat lambat (lebih dari 2 detik). Pada bayi dilakukan
pencubitan pada bagian perut ataupun paha. Mencubit kulit juga dapat memberikan
informasi yang salah apabila dilakukan pada pasien yang memiliki malnutrisi yang
berat, karena kulit akan kembali secara lambat bahkan ketika pasien tidak mengalami
dehidrasi. Sedangkan pada pasien yang obesitas, kulit dapat kembali dengan cepat
meskipun pasien mengalami dehidrasi (WHO, 2005).
Pengambilan suhu pada anak untuk menilai apakah anak mengalami demam
atau tidak. penilaian suhu menggunakan yang dilakukan pada rektal harus disterilkan
terlebih dahulu setiap kali digunakan. Jika menggunakan suhu aksila harus
ditambahkan 0,8

untuk mendapatkan suhu yang setara dengan suhu rektal

(WHO, 2005).
3. Laboratorium
Menurut Subagyo dan Nurtjahjo (2009) Pemeriksaan lengkap
umumnya tidak begitu diperlukan pada kasus diare akut, hanya pada keadaan

16

tertentu seperti apabila penyebab dasarnya tidak diketahui atau ada sebab lain
dan pada keadaan dehidrasi berat.
Pemeriksaan yang terkadang perlu dilakukan pada diare akut yaitu :
1. Darah : darah lengkap, serum elektrolit, analisa gas darah, glukosa darah,
kultur dan tes kepekaan terhadapa antibiotika.
2. Urin : urin lengkap, kultur dan tes kepekaan terhadap antibiotik.
3. Tinja :
Pemerikasaan makroskopik :
Pemeriksaan tinja sangat diperlukan meskipun pemeriksaan laboratorium
tidak dilakukan. Tinja yang sifatnya watery dan tanpa mukus atau darah
biasanya disebabkan oleh enterotoksin virus, protozoa atau disebabkan oleh
infeksi diluar saluran gastrointestinal. Tinja yang mengandung darah atau
mukus biasanya disebabkan oleh bakteri yang menghasilkan sitotoksin,
bakteri enteroinvasif yang menyebabkan peradangan mukosa atau parasit usus
seperti : E. histolytica, B. coli dan T. trichiura. Apabila terdapat darah
biasanya bercampur dalam tinja kecuali pada infeksi degan E. histolytica
darah sering terdapat pada permukaan tinja danpada infeksi EHEC terdapat
garis-garis darah pada tinja. Tinja yang berbau busuk didapatkan pada infeksi
dengan Salmonella, Giardia, Cryptosporidium dan Strogyloides.

Pemeriksaan mikroskopik :
Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat adanya lekosit yang memberikan
informasi tentang penyebab dari diare, letak anatomis serta adanya proses
peradangan dari mukosa. Lekosit dalam tinja diproduksi sebagai respon
terhadap bakteri yang menyerang mukosa kolon. Pemerikasan lekosit yang
positif pada pemeriksaan tinja menunjukan adanya kuman invasif atau kuman
yang menghasilkan sitotoksin seperti Shigella, Salmonella, C. jejuni, EIEC,
C. difficile, Y. enterocolitica. Lekosit yang ditemukan umumnya adalah lekosit

17

PMN, kecuali pada S. typhii lekosit mononuklear. Parasit yang menyebabkan


diare pada umunya tidak memproduksi lekosit dalam jumlah yang banyak.
Pasien yang dicurigai menderita diare yang disebabkan giardiasis,
cryptosporidiosis, isosporiasis dan strongyloides dengan pemeriksaan tinja
negatif, aspirasi atau biopsi duodenum atau yeyunum bagian atas mungkin
diperlukan. E. histolytica dapat didiagnosa dengan pemeriksaan mikroskopik
tinja segar. Tropozoit biasanya ditemukan pada tinja cair sedangkan kista
ditemukan pada tinja yang berbentuk.
2.1.7. Komplikasi Diare
Menurut Subagyo dan Nurtjahjo (2009) komplikasi diare akut pada anak yaitu
:
a. Hipernatremia
b. Hiponatremia : anak dengan diare yang hanya meminum air putih atau cairan
yang mengandung sedikit garam dapat terjadi hiponatremia Na<130 mol/L.
Hiponatremia sering terjadi pada anak dengan shigellosis dan anak dengan
malnutrisi berat disertai oedema.
c. Hiperkalemia : jika K > 5 mEq/L.
d. Hipokalemia : jika K < 3,5 mEq/L dapat menyebabkan kelemahan otot,
paralitik usus, gangguan fungsi ginjal dan aritmia jantung.
2.1.8. Pencegahan Diare
Menurut Subagyo dan Nurtjahjo (2009) pencegahan diare dapat dilakukan
dengan beberapa cara yaitu :
1. Upaya pencegahan kuman patogen penyebab diare meliputi :
a. Pemberian ASI yang benar.
b. Memperbaiki penyiapan dan penyimpanan ASI.
c. Penggunaan air bersih.
d. Membudayakan kebiasaan mencuci tangan dengan sabun sehabis BAB dan
sebelum makan.
e. Penggunaan jamban yang bersih dan higienis.
f. Membuang tinja dengan benar.

18

2. Memperbaiki daya tahan tubuh :


a. Memberikan ASI paling tidak sampai usia 2 tahun.
b. Meningkatkan nilai gizi MPASI.
c. Imunisasi.
Studi menunjukan bahwa ASI yang meliputi oligosakarida dalam bentuk
bebas dan terkonjugasi mereka, merupakan bagian dari mekanisme imunologi alami
yang dapat melindungi bayi terhadap terjadinya penyakit diare, selain itu bayi yang
menyusui dapat mengurangi paparan terkontaminasi cairan dan makanan, dan
memberikan nutrisi yang memadai bagi bayi dengan demikian kekebalan tubuh bayi
menjadi lebih baik. WHO merekomendasikan pemberian ASI eksklusif pada 6 bulan
pertama kehidupan. Pentingnya ASI juga melindungi bayi terhadap morbiditas dan
mortalitas akibat diare terutama selama 2 tahun pertama kehidupan (Lamberti et al.,
2011).
Bayi kurang dari 3 bulan jarang menderita diare rotavirus, diduga
berhubungan dengan antibodi ibu terhadap rotavirus yang disalurkan melalui plasenta
dan air susu ibu.Disamping itu Lactadherin pada air susu ibu diketahui berperan
mengganggu proses replikasi virus rotavirus. Dibandingkan dengan bayi yang
mendapat ASI eksklusif selama 6 bulan atau lebih, bayi yang tidak mendapat ASI
eksklusif berisiko dua kali lebih sering menderita diare rotavirus. Anak umur 6-23
bulan rentan terkena infeksi rotavirus karena kadar antibodi ibu yang diperoleh
melalui ASI mulai menurun dan mulai memasuki fase oral ketika anak suka
memasukkan semua benda yang dipegang ke dalam mulut.Temuan tersebut
mendukung rekomendasi WHO tentang waktu pemberian imunisasi rotavirus pada
bayi usia dini (kurang dari 6 bulan) (Widowati et al., 2012).
2.2. Dehidrasi
2.2.1. Definisi Dehidrasi

19

Menurut Muscari (2005) dehidrasi adalah kehilangan cairan dari jaringan


tubuh yang berlebihan. Dehidrasi merupakan gangguan yang umum terjadi pada
anak-anak ketika pengeluaran cairan total melebihi asupan cairan total.
2.2.2. Klasifikasi Dehidrasi
Dehidrasi dapat digolongkan berdasarkan derajat atau jenisnya yaitu :
a) Dehidrasi berdasarkan derajatnya :
1. Dehidrasi ringan dicirikan dengan kehilangan 5% dari berat badan
sebelum sakit.
2. Dehidrasi sedang dicirikan kehilangan 5% sampai 10% dari berat
badan sebelum sakit.
3. Dehidrasi berat dicirikan kehilangan berat badan lebih dari 10% berat
badan sebelum sakit.
b) Dehidrasi berdasarkan tipenya :
1. Dehidrasi isotonis : kehilangan cairan terutama melibatkan komponen
ekstra sel dan volume darah sirkulasi, menyebabkan anak rentan
terhadap syok hipovolemik. Kadar natrium (Na+), klorida (Cl-) dan
kalium (K+) tetap normal atau menurun.
2. Dehidrasi hipertonik : kehilangan air yang berlebihan dibandingkan
elektrolit, mengakibatkan perpindahan cairan dari kompartemen
intrasel ke ekstrasel, yang dapat menyebabkan gangguan neurologis
seperti kejang. Kadar natrium (Na+) meningkat, klorida (Cl-)
meningkat dan kalium (K+) dapat bervariasi.
3. Dehidrasi hipotonik : cairan berpindah dari kompartemen ekstrasel ke
kompartemen intrasel sebagai usaha mempertahankan keseimbangan
osmotik, yang selanjutnya dapat meningkatkan kebocoran CES dan
mengakibatkan syok hipovolemik. Kadar natrium (Na+) menurun,
klorida (Cl-) menurun dan kalium (K+) bervariasi.
Diare mengakibatkan kehilangan sejumlah besar air dan elektrolit,
terutama natrium dan kalium dan sering kali dikomplikasi oleh asidosis

20

sistemik yang berat. Pada sekitar 70% penderita, kehilangan air dan
natrium dan air seimbang sehingga terjadi dehidrasi isonatremik.
Dehidarasi hiponatremik terjadi pada sekitar 10-15% penderita diare. Hal
ini terjadi bila sejumlah besar elektrolit, terutama natrium, hilang dari
tinja, melebihi kehilangan cairan. Hiponatremia dapat diperberat bila
selama masa diare, diberikan sejumlah besar masukan cairan rendah atau
bebas elektrolit peroral. Dehidrasi hipernatremik dapat dijumpai sekitar
15-20% penderita diare dan dapat terjadi bila penderita selama masa diare
mendapat larutan elektrolit rumah tangga dengan konsentrasi garam tinggi
dan juga dapat meningkat bila ada demam karena suhu tubuh yang tinggi
meningkatkan kehilangan air melalui evaporasi secara bermakna
(Adelman dan Michael , 1999).
Tabel 2.5. Gambaran Keberadaan Elektrolit Tubuh
Elektrolit

Konsentrasi di luar

Konsentrasi

sel (mEq/L)

dalam sel (mEq/L)

Natrium (Na+)

142

10

Kalium (K+)

150

Kalsium (Ca++)

Magnesium

40

155

202

Klorida

103

Bikabonas

27

10

Fosfat

103

Sulfat

20

Asam oraganik (Laktat,

10

piruvat)
Protein

16

57

155

202

di

Kation

Anion

Sumber : Almatsier, 2009

21

2.2.3. Penatalaksanaan Diare Akut dan Dehidrasi


Anak dengan tanpa dehidrasi-ringan
WHO (2005) anak dengan diare tanpa dehidrasi membutuhkan cairan
tambahan untuk mencegah dehidrasi. Seorang anak dengan tidak ada tanda-tanda
dehidrasi memerlukan perawatan rumah. Empat aturan perawatan di rumah adalah:

Berikan cairan ekstra, cairan oralit .


Lanjutkan makan, mendorong pemberian ASI berlangsung ketika berlaku.
Berikan suplemen zink selama 10/14 hari di direkomendasikan dosis untuk
usia anak yaitu anak < 6 bulan diberikan 1/2 tablet/hari selama 14 hari
sedangkan untuk anak usia 6 bulan dan lebih diberikan 1 tablet/hari. Tablet
pertama harus diberikan di pusat kesehatan, menunjukkan kepada ibu

bagaimana larutkan dalam air atau ASI, jika diperlukan.


Anjurkan ibu tentang kapan harus kembali ke fasilitas kesehatan.
Cairan rumah tangga juga dapat diberikan untuk mencegah dehidrasi seperti

air tajin, larutan gula garam, kuah sayur-sayuran dan sebagainya. Jumlah cairan yang
diberikan yaitu 10 ml/kgBB atau untuk anak usia < 1 tahun adalah 50-100 ml, 1-5
tahun 100-200 ml, 5-12 tahun adalah 200-300 ml dan dewasa 300-400 ml setiap
BAB.Untuk anak dibawah 2 tahun diberikan dengan sendok tiap 1-2 menit.
Pemberian tidak diberikan dengan menggunakan botol dan bila terjadi muntah
hentikan dulu selama 10 menit kemudian mulai lagi secara perlahan(Subagyo dan
Nurtjahjo, 2009).
Tabel 2.6. Komposisi Oralit Baru
Oralit Baru Osmolaritas Mmol/liter
rendah
Natrium
Klorida
Glukosa, anhydrous
Kalium
Sitrat

75
65
75
20
10
22

Total osmolaritas

245

Sumber : Subagyo dan Nurtjahjo, 2009


Pada oralit dengan tingkat osmolaritas rendah lebih mendekati dengan
osmolaritas plasma sehingga kurang menyebabkan resiko terjadinya hipernatremia
(Subagyo dan Nurtjahjo, 2009).
Anak dengan dehidrasiringan-sedang
Seorang anak dengan beberapa tanda-tanda dehidrasi membutuhkan cairan
tambahan dan makanan. Pengobatanpertama anak dengan ORS diberikan di fasilitas
kesehatan dan kemudian, ketika semua tanda-tanda dehidrasi telah hilang, anak harus
dikirim pulang untuk perawatan lanjutan. Pemberian oralit di klinik dilakukan
sampaiturgor kulit normal, haus berakhir, anak tenang. Berikan suplemen zink
pertama di klinik. Instruksikan ibu bahwa zink harus dilanjutkan selama 10/14 hari
dengan dosis yang dianjurkan tergantung pada usia anak. Zink harus diberikan segera
setelah anak bisa makan dan berhasil menyelesaikan 4 jam rehidrasi. Selain cairan
anak dengan dehidrasi ringan-sedang juga membutuhkan makanan dan pemberian
ASI kepada anak yang masih menyusui harus dilanjutkan (WHO, 2005). Untuk
perawatan di rumah sakit dapat dengan segera diberikan terapi awal dengan oralit.
Jumlah oralit yang diberikan 3 jam pertama 75 ml/kgBB. Bila penderita masih terus
merasa haus dan masih ingin minum harus diberikan lagi. Sebaliknya jika terjadi
tanda-tanda kelopak mata bengkak, pemberian oralit harus segera dihentikan dan
diganti dengan pemberian minum air putih. Setelah 3 jam rehidrasi penderita
dievaluasi, apakah membaik, tetap atau memburuk. Jika membaik penderita dapat
dipulangkan dan apabila memburuk harus tetap dirawat di rumah sakit dengan
pemberian cairan parenteral (Subagyo dan Nurtjahjo, 2009).

23

Zink merupakan senyawa esensial yang berperan penting dalam banyak


fungsi tubuh. Sebagian besar dari enzim atau sebagai kofaktor pada kegiatan lebih
dari dua ratus enzim, seng berperan dalam berbagai aspek metabolisme, seperti
reaksi-reaksi yang berkaitan dengan sintesis dan degradasi karbohidrat, protein, lipida
dan asam nukleat. Seng juga berperan dalam pembentukan kulit, metabolisme
jaringan ikat dan penyembuhan luka. Defesiensi seng sering terjadi pada golongan
rentan, yaitu anak-anak, ibu hamil dan menyusui serta orang tua. Tanda-tanda
kekurangan seng adalah gangguan pertumbuhan, fungsi pencernaan karena gangguan
pembentukan kilomikron dan kerusakan permukaan saluran cerna, gangguan fungsi
kekebalan tubuh, gangguan nafsu makan dan lain-lain (Almatsier, 2009).
Anak dengan dehidrasi berat
Anak dengan tanda-tanda dehidrasi berat membutuhkan cairan tambahan.
Seorang anak yang telah diklasifikasikan dengan dehidrasi berat membutuhkan cairan
cepat. Perlakukan dengan IV (intravena) cairan harus segera dilakukan. Anak-anak
dengan dehidrasi berat harus ditangani oleh infus dan dirawat rumah sakit atau pusat
kesehatan. Jika fasilitas kesehatan dengan IV tidak dalam waktu 30 menit,
penggunaan NGT dianjurkan. Oralit harus diberikan segera setelah anak bisa
menerimanya, bahkan sementara IV sedang berjalan. Ketika dehidrasi berat
dikoreksi, pasien harus dikelola seperti di atas termasuk terapi zink ketika anak bisa
makan (WHO, 2005). Untuk rehidrasi parenteral dapat digunakan cairan Ringer
Laktat dengan dosis 100 ml/kgBB. Cara pemberianya untuk < 1 tahun 1 jam pertama
30 ml/kgBB, dilanjutkan 5 jam berikutnya 70 ml/kgBB, diatas 1 tahun jam pertama
30 ml/kgBB dilanjutkan 2 jam berikutnya 70 ml/kgBB. Setelah 6 jam pada bayi
dan 3 jam pada anak yang lebih besar lakukan evaluasi, pilih pengobatan lanjutan
dengan pengobatan diare ringan-sedang atau diare tanpa dehidrasi (Subagyo dan
Nurtjahjo, 2009).
2.3. Pengetahuan

24

2.3.1. Pengertian Pengetahuan


Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah seseorang
melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu. Penginderaan ini terjadi
melalui panca indera manusia, yaitu indera penglihatan, pendengaran, penciuman,
rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan
telinga. Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya
perilaku seseorang (Notoatmodjo, 2003).
2.3.2. Tingkatan Pengetahuan
Ada 6 tingkatan pengetahuan yang dicakup dalam domain kognitif, yakni :
1. Tahu (know)
Diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah di pelajari sebelumnya.
termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall)
terhadap sesuatu yang spesifik dari keseluruhan bahan yang dipelajari atau
rangsangan yang telah diterima. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu
tentang apa yang dipelajari antara lain menyebutkan, menguraikan, mengidentifikasi,
menyatakan, dan sebagainya.
2. Memahami (comprehension)
Diartikan sebagai suatu kemempuan untuk menjelaskan secara benar tentang obyek
yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang
yang telah paham terhadap obyek atau materi harus dapat menjelaskan, menybutkan
contoh, menyimpulkan, meramalkan dan sebagainya.
3. Menerapkan (application)
Diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menggunakan materi yang telah di pelajari
pada kondisi yang sebenarnya. Aplikasi disini dapat diartikan sebagai aplikasi atau
penggunaan hokum-hukum, rumus, metode, prinsip, dan sebagainya dalam konteks
atau situasi yang nyata.
4. Analisa (analysis)

25

Adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau obyek ke dalam


komponenkomponen tetapi masih di dalam satu struktur organisasi dan masih ada
kaitannya satu sama lainnya. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan
kata

kerja

seperti

dapat

menggambarkan,

membedakan,

memisahkan,

mengelompokkan dan sebagainya.


5. Sintesa (Synthesis)
Menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan
bagian bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain,
sintesis adalah kemampuan untuk menyusun formulasi formulasi yang ada.
6. Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemempuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian
terhadap suatu obyek atau materi. Penilaianpenilaian ini didasarkan pada suatu
kriteria yang ditentukan sendiri atau menggunakan kriteriakriteria yang telah ada.
2.4. Tindakan
2.4.1. Pengertian Tindakan
Perilaku atau tindakan merupakan cara masyarakat bertindak atau berkelakuan
yang sama dan harus diikuti oleh semua anggota masyarakat tersebut. Perilaku juga
merupakan hasil pengalaman dan proses interaksi dengan lingkungannya, yang
terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap, dan tindakan sehingga diperoleh keadaan
seimbang antara kekuatan pendorong dan kekuatan penahan. Perilaku kesehatan
adalah suatu respon seseorang terhadap stimulus atau objek yang berhubungan
dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan dan minuman serta
lingkungan. Perilaku seseorang dapat berubah jika terjadi ketidakseimbangan antara
kedua kekuatan didalam diri seseorang tersebut. Perilaku merupakan faktor tersebar
kedua setelah faktor lingkungan yang mempengaruhi kesehatan individu, kelompok,
atau masyarakat. Oleh sebab itu, untuk membina dan meningkatkan kesehatan

26

masyarakat, intervensi atau upaya yang ditujukan kepada faktor perilaku sangat
penting dan strategis, mengingat pengaruh yang ditimbulkannya (Maulana, 2009)
2.4.2. Bentuk Perilaku
Perilaku dapat diberi batasan sebagai suatu tanggapan individu terhadap
rangsangan yang berasal dari dalam maupun luar diri individu tersebut.
Secara garis besar bentuk perilaku ada dua macam, yaitu :
Perilaku pasif (respon internal)
Perilaku yang sifatnya masih tertutup, terjadi dalam diri individu dan tidak
dapat diamati secara langsung. Perilaku ini sebatas sikap belum ada tindakan yang
nyata seperti, berpikir, berfantasi, berangan-angan dan lain-lain.
Perilaku aktif (respon eksternal)
Perilaku yang sifatnya terbuka. Perilaku aktif adalah perilaku yang dapat
diamati langsung, berupa tindakan yang nyata seperti, membaca buku, mengerjakan
soal dan lain-lain (Sunaryo, 2004)
Menurut Maulana (2009) prosedur pembentukan perilaku dalam operant
conditioning ( pembentukan jenis respon atau perilaku dengan menggunakan urutanurutan komponen penguat berupa hadiah atau reward.)tersusun atas beberapa langkah
antara lain :
1. Langkah pertama : melakukan pengenalan terhadap sesuatu sebagai penguat,
berupa hadiah atau reward.
2. Langkah kedua : melakukan analisis untuk mengidentifikasi bagian-bagian
kecil pembentukan perilaku yang diinginkan, selanjutnya disusun dalam
urutan yang tepat menuju terbentuknya perilaku yang diinginkan.
3. Langkah ketiga : menggunakan bagian-bagian kecil perilaku, yaitu sebagai
berikut.

27

Bagian-bagian perilaku disusun secara urut dan dipakai sebagai tujuan

sementara.
Mengenal penguat atau hadiah untuk masing-masing bagian.
Membentuk perilaku dengan bagian-bagian yang telah tersusun

tersebut.
Jika perilaku pertama telah dilakukan,hadiah akan diberikan sehingga

tindakan tersebut sering dilakukan.


Akhirnya akan dibentuk perilaku kedua dan seterusnya sampai
terbentuk perilaku yang diharapkan.

Menurut Notoatmodjo (2003) rangsangan yang terkait dengan perilaku


kesehatan terdiri dari empat unsur, yaitu : perilaku terhadap sakit dan penyakit, sistem
pelayanan kesehatan, makanan, dan lingkungan.
Perilaku terhadap sakit dan penyakit
Perilaku tentang bagaimana seseorang managgapi rasa sakit dan penyakit bersifat
respon internal (berasal dari dalam dirinya) maupun eksternal (dari luar dirinya), baik
respon pasif, maupun aktif (praktik).
Perilaku terhadap sistem pelayanan kesehatan
Perilaku ini adalah respon individu terhadap sistem pelayanan kesehatan modern
maupun tradisional, meliputi :
a.
b.
c.
d.

Respon terhadap fasilitas pelayanan kesehatan


Respon terhadap cara pelayanan kesehatan
Respon terhadap petugas kesehatan
Respon terhadap pemberian obat-obatan

Perilaku terhadap makanan


Perilaku ini meliputi pengetahuan, persepsi, sikap dan praktik terhadap makanan
serta unsur-unsur yang terkandung didalamnya (gizi, vitamin), dan pengelolahan
makanan sehubungan kesehatan tubuh kita.

28

Perilaku terhadap lingkungan kesehatan


Lingkup perilaku ini sesuai lingkup kesehatan lingkungan, yaitu :
a.
b.
c.
d.

Perilaku terhadap air bersih.


Perilaku sehubungan pembuangan air kotor ataupun kotoran.
Perilaku sehubungan dengan limbah, baik limbah cair maupun padat.
Perilakusehubungan dengan rumah sehat. Menyangkut ventilasi,

pencahayaan, lantai, dan sebagainya.


e. Perilaku terhadap pembersihan sarang-sarang vektor penyakit.

BAB III
KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFINISI
OPERASIONAL
3.1. Kerangka Konsep Penelitian
29

Berdasarkan tujuan penelitian diatas maka kerangka konsep dalam penelitian


ini adalah :
Variabel Independen

Variabel Dependen

Tingkat pengetahuan
ibu
Diare akut disertai
dehidrasi pada anak
balita
Tindakan ibu

3.2. Definisi Operasional


No Variabel

Definisi
operasional

Alat ukut

Cara
ukur

Hasil ukur

Skala

30

Pengetahu
an ibu
tentang
diare

Segala sesuatu
yang diketahui
ibu mengenai
diare pada
balita meliputi:
pengertian,
penyebab,
gejala klinis,
pengobatan,
komplikasi,
dan
pencegahan

Kuesioner

Tindakan
ibu
terhadap
kejadian
diare pada
balita

Segala sesuatu
yang lakukan
ibu
sehubungan
dengan
kejadian diare
pada balita
Kehilangan
cairan dari
jaringan tubuh
yang
berlebihan

Kuesioner

3.3.

Dehidrasi

Rekam
medik

Angket

1. Baik
2. Kurang

Ordinal

Angket 1. Baik
2. Kurang

Ordinal

Rekam
medik

1. Tanpa
dehidra Ordinal
siringan
2. Dehidr
asi
ringansedang
3. Dehidr
asi
berat

Hipotesis alternatif

Hi diterima, Ho ditolak

31

Terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan dan tindakan ibu dengan


dengandiare akut yang disertai dehidrasi pada anak balita di RSUD Kota
Bandung, tahun 2014

BAB 4
METODE PENELITIAN

32

4.1. Jenis Penelitian


Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian analitik dengan desain penelitian
cross sectional. Dilakukan dengan menggunakan pendekatan observasi dan
pengumpulan data sekaligus pada satu saat. Tiap subyek penelitian hanya satu kali
saja dilakukan observasi.
4.2. Waktu dan Tempat Penelitian
Waktu penulisan penelitian ini dimulai pada bulan April 2014 dan direncanakan
sampai bulan November 2014. Penelitian ini dilakukan di RSUD kota Bandung.
4.3. Populasi dan sample
4.3.1. Populasi
Populasi pada penelitian ini adalah seluruh ibu yang memiliki anak balita yang
menderita diare akut di RSUD Kota Bandung.
4.3.2. Sampel
Pengambilan sampel dilakukan dengan cara simple random sampling, yaitu metode
penarikan sampel dimana masing-masing subyek atau unit populasi memiliki peluang
yang sama untuk terpilih menjadi sampel.
Adapun kriteria inklusi pada penelitian ini adalah :

Ibu yang memiliki anak balita yang mengalami diare akut di RSUD Kota
Bandung

Sedangkan kriteria eksklusinya pada penelitian ini adalah :

Ibu yang tidak mengisi kuesioner secara penuh.

4.3.3. Besar sampel

33

Penentuan besar sample pada penelitian ini menggunakan rumus perhitungan besar
sampel untuk penelitian uji hipotesis satu populasi (wahyuni, 2007)

Z 1 /2 p 0 (1p 0 ) + z 1 pa (1 pa)
n=
pa po

n=

1,96 0.16 X 0.84+ 0,84 0,31 X 0, 69


0,15

n=

0,71+0,38
0, 15

n = 52,8 = 53
Keterangan :
n

= besar sampel minimum

po

= proporsi kejadian diare sebesar 16% = 0,16(profil kesehatan sumut, 2012)

pa- po = perkiraan selisih proporsi yang diteliti penulis dengan proporsi di populasi
sebesar 15% = 0,15
1 - po = 1 - 0,16 = 0,84
pa

= 0,15+ 0,16 = 0,31

1 pa = 1 0,31 = 0,69
Z1-/2 = nilai distribusi normal baku (tabel z) pada tertentu. 0,05 atau interval
kepercyaaan 95%, maka Z 1 /2 = 1,96
Z-

= nilai distribusi normal baku (tabel z) pada tertentu.Kekuatan, dalam

penelitian ini kekuatan 80%, maka Z 1- = 0,84


4.4. Instrumen Penelitian
4.4.1. Pengukuran Pengetahuan

34

Pengukuran tingkat pengetahuan ibu mengenai diare pada balita berdasarkan jawaban
dari pertanyaan yang diberikan oleh responden. Instrument yang digunakan berupa
kuesioner. Setiap jawaban benar dari responden akan diberi nilai dengan nilai 5
sampai 1 sesuai jawaban yang terbaik yang telah ditentukan peneliti.
Selanjutnya tingkat pengetahuan responden diukur dengan menggunakan skala
pengukuran sebagai berikut:
1. Baik, bila jawaban responden benar > 75% dari total nilai kuesioner pengetahuan.
2. Kurang, bila jawaban responden benar <75% dari total nilai kuesioner pengetahuan
4.4.2. Pengukuran Tindakan
Pengukuran tindakan ibu mengenai diare pada balita berdasarkan jawaban dari
pertanyaan yang diberikan oleh responden. Instrument yang digunakan berupa
kuesioner. Setiap jawaban benar dari responden akan diberi nilai dengan nilai 4
sampai 1 sesuai jawaban yang terbaik yang telah ditentukan peneliti.
Selanjutnya tingkat pengetahuan responden diukur dengan menggunakan skala
pengukuran sebagai berikut:
1. Baik, bila jawaban responden benar > 75% dari total nilai kuesioner tindakan.
2. Kurang, bila jawaban responden benar <75% dari total nilai kuesioner tindakan.
4.4.3. Pengukuran Derajat Dehidrasi
Pengukuran derajat dehidrasi dilakukan berdasarkan rekam medis dan diagnosa yang
ditetapkan oleh dokter dengan klasifikasi derajat dehidrasi sebagai berikut :
1. Tanpa dehidrasi-ringan dicirikan dengan kehilangan 5% dari berat badan sebelum
sakit.
2. Dehidrasi ringan-sedang dicirikan kehilangan 5% sampai 10% dari berat badan
sebelum sakit.
3. Dehidrasi berat dicirikan kehilangan berat badan lebih dari 10% berat badan
sebelum sakit.
4.5. Teknik Pengumpulan Data

35

4.5.1. Data Primer


Data primer merupakan data dari jawaban kuesioner yang diisi oleh sampel penelitian
dan pengumpulan data dilakukan dengan metode angket.
4.5.2. Data Sekunder
Data sekunder merupakan data dari rekam medik anak balita yang menderita diare
akut.
4.5.3. Uji Validitas dan Reliabilitas
Uji validitas dilakukan dengan uji korelasi antara skor (nilai) tiap-tiap item
pertanyaan dengan skor total kuesioner tersebut. Adapun teknik korelasi yang biasa
dipakai adalah teknik korelasi product moment.
Pertanyaan disebut valid apabila nilai dari r hitung lebih besar daripada r tabel.
Pertanyaan yang telah diuji validitasnya, akan dilanjutkan dengan uji reliabilitas.
Pada uji reabilitas pertanyaan disebut reliabel jika nilai r>0.60.
Pada penelitian ini uji validitas dan reliabilitas terhadap pertanyaan kuesioner yang
dipakai akan menggunakan aplikasi SPSS
4.5.4. Pengolahan dan Analisa Data
Pengolahan data dilakukan melalui beberapa tahapan. Tahap pertama editing yaitu
mengecek nama dan kelengkapan identitas maupun data responden serta memastikan
bahwa semua jawaban telah diisi sesuai petunjuk. Tahap kedua coding yaitu memberi
kode atau angka tertentu pada kuesioner untuk mempermudah waktu mengadakan
tabulasi dan analisa. Tahap ketiga entry yaitu memasukkan data dari kuesioner ke
dalam program computer dengan menggunakan program SPSS. Tahap keempat
adalah melakukan cleaning yaitu mengecek kembali data yang telah di entry untuk
mengetahui ada kesalahan atau tidak. Tahap kelima saving yaitu menyimpan data
yang sudah di cek untuk kemudian dianalisa.

36

Data selanjutnya dianalisa secara bertahap yaitu:


1) Analisa Univariat
Analisa data dilakukan untuk mengetahui distribusi frekuensi dan presentasi tiap
variabel yang diteliti. Data yang bersifat kategorik dicari frekuensi dan persentasinya.
2) Analisa Bivariat (Uji Hipotesis)
Uji Hipotesis yang digunakan pada penelitian ini adalah uji chi square, yaitu
membandingkan frekuensi yang diamati dengan frekuensi yang diharapkan

BAB 5
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

37

5.1 Hasil Penelitian


5.1.1 Deskripsi Lokasi Penelitian
Waktu penulisan penelitian ini dimulai pada bulan April 2014 dan selesai
sampai bulan November 2014. Penelitian ini dilakukan di RSUD kota Bandung.
5.1.2 Hasil Analisa Deskriptif
5.1.2.1 Deskripsi Karakteristik Sampel
Berdasarkan hasil pengumpulan data dilapangan dengan menggunakan
kuesioner diperoleh gambaran karakteristik sampel di RSUD Kota Bandung.
Responden berjumlah 53 orang. Responden adalah ibu ibu yang memiliki anak
balita berusia dibawah 5 tahun yang menderita diare akut.
Adapun usia dan tingkat pendidikan ibu yang memiliki balita di RSUD kota
Bndung dapat dilihat pada tabel dibawah ini

Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Sampel Menurut Usia dan Tingkat
Pendidikan di RSUD Kota Bandung tahun 2014
No

Karakteristik Sampel

Usia (tahun)

Jumlah

Persentase
(%)

38

25 34
35 45
Total
2
Tingkat Pendidikan Ibu
SD
SMP
SMA
D3
S1
Lain-lainnya
Total

39
14
53

73.6
26.4
100

0
10
29
4
10
0
53

0
18.9
54.7
7.5
18.9
0
100

Dari tabel 5.1. dapat diketahui bahwa kelompok usia ibu 25 34 tahun lebih
banyak memiliki anak balita yang menderita diare akut yaitu 39 orang (73.6%) jika
dibandingkan dengan kelompok ibu yang berusia 35 45 tahun sebanyak 14 orang
(26.4%)
Dalam melakukan pengamatan terhadap tingkat pendidikan ibu, pada
penelitian ini sample dibagi atas 6 kelompok yaitu tingkat pendidikan SD, SMP,
SMA, D3, S1, dan lain-lainnya. Pengelompokan ini untuk mempermudah peneliti
mengetahui kelompok tingkat pendidikan ibu mana yang lebih rentan memiliki anak
balita yang menderita diare akut.
Berdasarkan tingkat pendidikan ibu, sampel yang memiliki tingkat pendidikan
SD 0 orang (0%), SMP 10 orang (18.9%), SMA 29 orang (54.7%), D3 4 orang
(7.5%), dan S1 10 orang (18.9%). Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa kelompok
tingkat pendidikan ibu yang tertinggi yang memiliki anak balita yang menderita diare
akut berada pada kelompok pendidikan SMA sebanyak 29 orang (54.7%).
5.1.2.2 Tingkat Pengetahuan dan Tindakan Ibu tentang Diare Akut pada Anak
Balita
Tingkat pengetahuan ibu pada sampel penelitian dikelompok menjadi 2
kelompok yaitu baik dan kurang. Berdasarkan hasil pengisian kuesioner diperoleh
data yang dapat dilihat pada tabel berikut ini :

39

Tabel 5.2. Distribusi Tingkat Pengetahuan Ibu tentang Diare Akut pada Anak
Balita di RSUD Kota Bandung 2014
No

Tingkat Pengetahuan dan Tindakan Ibu

Jumlah

Persentase
(%)

Pengetahuan Ibu
Baik
Kurang

Total
2
Tindakan Ibu
Baik
Kurang
Total

37
16
53

69.8
30.2
100

33
20
53

62.3
37.7
100

Dari tabel 5.2 di atas, tingkat perngetahuan dan tindakan ibu dibagi atas 2
kategori yaitu baik dan kurang. Tingkat pengetahuan ibu yang memiliki anak balita
yang menderita diare akut sebagian besar tergolong baik yaitu sebanyak 37 orang
(69%) sedangkan yang tingkat pengetahuannya kurang sebanyak 16 orang (30%).
Sedangkan untuk tingkat tindakan ibu yang memiliki anak balita yang
menderita diare akut yang tergolong baik yaitu sebanyak 33 orang (62,3%) sedangkan
yang tingkat tindakannya kurang sebanyak 20 orang (37.7%).
5.1.2.3 Tingkat Diare Akut Anak Balita
Tingkat diare akut pada anak balita dikelompokan menjadi 3 kolompok yaitu
diare tanpa dehidrasi, diare disertai dehidrasi ringan sedang, dan diare disertai
dehidrasi berat. Data tersebut didasarkan oleh diagnosa dokter yang diambil dari data
rekam medis anak balita yang menderita diare akut yang dibawa ibunya berobat ke
rumah sakit.
Berdasarkan hasil penilaian data rekam medis diperoleh data yang dapat
dilihat pada tabel berikut ini :
Tabel 5.3 Distribusi Tingkat Diare Akut pada Anak Balita di RSUD Kota
Bandung 2014

40

Diare Akut
Tanpa dehidrasi
Dehidrasi ringan-sedang
Dehidrasi berat
Total

Jumlah
18
26
9
53

Persentase (%)
34
49.1
17
100

Dari tabel 5.3 di atas, dapat diketahui bahwa sebagian besar anak balita
menderita diare disertai dehidrasi ringan sedang 26 orang (49.1%), anak balita yang
menderita diare tanpa dehidrasi 18 orang (34%), sedangkan yang menderita dehidrasi
berat 9 orang (17%).

5.1.2.4 Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu dengan Diare Akut pada Anak
Balita di RSUD Kota Bandung tahun 2014
Tabel 5.4 Tabulasi Silang Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu dengan Diare
Akut pada Anak Balita di RSUD Kota Bandung tahun 2014
Tingkat
Pengetahuan Ibu

Tanpa
Dehidrasi

Diagnosa Diare Akut


Dehidrasi
Dehidrasi
Ringan

Nilai p

Berat

Sedang
Baik
Kurang

18
0

15
11

4
5

0.002

Dari tabel 5.4 analisis hubungan tingkat pengetahuan ibu dengan diare akut
pada anak menggunakan uji statistik chi square didapati nilai p value atau nilai
signifikansi 0.002. Nilai kemaknaan () pada penelitian ini adalah 0.05 (Confidence
Interval 95%). Nilai signifikansi di bawah nilai kemaknaan (p=0.002 < =0.05). Ini

41

berarti bahwa Ho ditolak sehingga disimpulkan terdapat hubungan antara tingkat


pengetahuan ibu terhadap diare dengan kejadian diare akut pada anak.
Tabel 5.5 Tabulasi Silang Hubungan Tingkat Tindakan Ibu dengan Diare Akut
pada Anak Balita di RSUD Kota Bandung tahun 2014
Tingkat
Tindakan Ibu

Baik
Kurang

Tanpa

Diagnosa Diare Akut


Dehidrasi
Dehidrasi

Dehidrasi

Ringan

Berat

15
3

Sedang
16
10

2
7

Nilai p

0.008

Dari tabel 5.5 analisis hubungan tingkat tindakan ibu dengan diare akut pada
anak menggunakan uji statistik chi square didapati nilai p value atau nilai signifikansi
0.008. Nilai kemaknaan () pada penelitian ini adalah 0.05 (Confidence Interval
95%). Nilai signifikansi di bawah nilai kemaknaan (p=0.008 < =0.05). Ini berarti
bahwa bahwa Ho ditolak sehingga disimpulkan terdapat hubungan antara tingkat
tindakan ibu terhadap diare dengan kejadian diare akut pada anak.
5.2 Pembahasan Penelitian
5.2.1Pembahasan Karakteristik Sampel
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada 53 ibu yang memiliki anak
balita yang menderita diare akut dapat dilihat bahwa 49,1% anak balita menderita
diare disertai dehidrasi ringan sedang, anak balita yang menderita diare tanpa
dehidrasi 34%, sedangkan yang menderita dehidrasi berat 17%. Umumnya ibu yang
memiliki anak balita yang diare tersebut terbanyak berada pada rentang usia 25 34
tahun 73,6%. Semakin bertambahnya usia seseorang maka semakin banyak pula
pengetahuan yang diperolehnya tentang diare. Menurut Notoadmodjo (2010), usia
mempengaruhi terhadap daya tangkap dan pola pikir seseorang. Semakin bertambah
usia membaik. Pendidikan juga berpengaruh terhadap pengetahuan dan sikap ibu
42

dengan kejadian diare akut pada anak. Hal ini dapat dilihat bahwa ibu dengan
pendidikan lulusan SMA memiliki anak yang menderita diare sebanyak
54%dibandingkan dengan pendidikan yang lebih tinggi lulusan S1 18.9% dan D3
7.5%. Menurut Mufidah (2012) bahwa perilaku seseorang atau masyarakat tentang
kesehatan ditentukan oleh pengetahuan, sikap, pendidikan, usia, pekerjaan,
pendapatan dan sebagainya dari orang yang bersangkutan tersebut sehingga semakin
baik faktor tersebut maka semakin baik pula tingkat kesehatannya.

5.2.2 Hubungan Pengetahuan Ibu dengan Tingkat Diare Akut pada Anak Balita
Pada penelitian ini bersifat analitik dengan menggunakan metode cross
sectional, dimana data yang dikumpulkan melalui pengisian kuesioner dari responden
sehingga analisis yang dihasilkan menggambarkan penilaian hubungan antara
variabel dependen dan variabel independen.
Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner. Kuesioner
yang dibuat disesuaikan dengan variabel yang akan diteliti untuk dapat memenuhi
sebagian besar teori tentang kejadian diare akut pada balita dan faktor-faktor yang
mempengaruhi terjadinya sehingga kemungkinan belum dapat menampung seluruh
fakta dan pendapat responden mengenai pengetahuan dan tindakan responden
terhadap kejadian diare akut pada balita.
Pengetahuan ibu tentang diare akut pada anak balita juga berpengaruh
terhadap tingkat keparahan diare pada anak tersebut sebagai mana dapat dikatahui
bahwa ibu yang memiliki pengetahuan yang baik memiliki anak yang menderita diare
akut sebanyak 69.8% dengan tingkat keparahan tertinggi mengalami diare akut tanpa
disertai dehidrasi 18 orang , 15 orang mengalami dehidrasi ringan-sedang dan 4 orang
mengalami dehidrasi berat. Sedangkan untuk tingkat pengetahuan ibu yang tergolong

43

kurang sebanyak 30.2% seluruhnya mengalami diare yang disertai dehidrasi terutama
dehidrasi ringan sedang sebanyak 11 orang dan dehidrasi berat 5 orang. Hasil uji
statistik didapatkan p Value=0,002 (p 0,05), berarti H0 ditolak yang artinya ada
hubungan yang signifikan antara tingkat pengetahuan ibu dengan tingkatan diare akut
pada anak balita di RSUD Kota Bandung. Hal ini sesuai dengan penelitian oleh
Akhyar (2006) dalam Mauliku (2008) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan
yang bermakna antara pengetahuan ibu dengan kejadian diare. Dan juga menurut
Kalili (2006) menyatakan pendidikan orang tua adalah faktor penting dalam
keberhasilan manajemen diare pada anak. Orang tua dengan tingkat pengetahuan
rendah, khususnya buta huruf tidak akan dapat memberikan perawatan yang tepat
pada anak diare karena kurangnya pengetahuan dalam menerima informasi.
5.2.3 Hubungan Tindakan Ibu dengan Tingkat Diare Akut pada Anak Balita
Tindakan ibu tentang diare akut pada anak balita juga berperan penting dalam
derajat keparahan diare anak tersebut sebagaimana dapat kita ketahui dari hasil
penelitian di atas bahwa ibu kelompok ibu dengan tindakan yang baik sebanyak
62,3% dengan tingkat keparahan diare tertinggi mengalami dehidrasi ringan sedang
sebanyak 16 orang, diare tanpa dehidrasi sebanyak 15 orang dan 2 orang mengalami
dehidrasi berat, sedangkan untuk kelompok ibu dengan tindakan kurang yaitu 37.7%
dengan tingkat keparahan diare hampir sama antara dehidrasi berat 7 orang dengan
dehidrasi ringan sedang 10 orang dan hanya 3 orang yang diare tanpa dehidrasi.
Hasil uji statistik didapatkan p Value=0,008 (p 0,05), berarti H0 ditolak yang
artinya ada hubungan yang signifikan antara tingkat tindakan ibu dengan tingkatan
diare akut pada anak balita di RSUD Kota Bandung. Sikap adalah bentuk evaluasi
atau perasaan mendukung atau memihak maupun perasaan tidak mendukung atau
menolak pada objek tersebut. Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap
adalah pengalaman pribadi, pengaruh orang lain yang dianggap penting, kebudayaan,
lembaga pendidikan dan agama, media massa, dan faktor emosional. Penelitian ini

44

juga didukung oleh penyataan yang mengatakan bahwa sikap ibu yang mendukung
dapat terlihat dari pernyataan lembar angket sikap yaitu saya akan lebih sering
memberikan air minum pada anaknya yang lebih dari biasanya. Karena diare
menyebabkan anak kehilangan cairan baik tanpa dehidrasi, dehidrasi ringan sedang
dan juga berat. (Suriyadi dan Yuliani, 2006)
Menurut Siahaan (2008) hal pertama yang harus diperhatikan dalam
penanggulangan diare adalah masalah kehilangan cairan tubuh yang berlebihan
(dehidrasi) sehingga perlu mendapat penangan yang segera ini berarti semakin baik
tindakan yang diberikan oleh ibu pada saat anak diare akan mengurangi tingkat
keparahan anak mengalami dehidrasi yang lebih berat.
Dari beberapa pernyataan di atas dapat kita ketahui bahwa tindakan yang baik
akan memberikan tingkat dehidrasi yang lebih ringan terhadap kejadian diare pada
anak balita dibandingkan dengan tindakan yang kurang.

45

BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan pada penelitian ini, maka dapat disimpulkan
beberapa hal sebagai berikut :
1

Hasil penelitian menunjukan adanya hubungan antara tingkat pengetahuan ibu


tentang diare akut dengan tingkat diare pada anak balita dengan p-Value :

0.002 < 0.05


Hasil penelitian menunjukan adanya hubungan antara tingkat tindakan ibu
tentang diare akut dengan tingkat diare pada anak balita dengan p-Value :

0.008 < 0.05


Pada penelitian ini ditemukan tingkat pengetahuan ibu yang baik tentang diare
akut pada anak balita 69%, sedangkan tingkat pengetahuan ibu yang kurang

30%.
Pada penelitian ini ditemukan tingkat tindakan ibu yang baik tentang diare
akut pada anak balita 62,3%, sedangkan tingkat tindakan ibu yang kurang
37.7%.

6.2. Saran
1

Adapun saran yang dapat diberikan peneliti yaitu :


Bagi Pelayanan Kesehatan

46

Peneliti menyarankan kepada pihak RSUD Kota Bandung untuk lebih


melakukan lebih banyak melakukan penyuluhan mengenai dampak dari diare akut
terutama pada anak balita yang dapat menyebabkan anak kehilangan cairan tubuh
yang berlebihan (dehidrasi) serta penanganan segera sehingga tidak jatuh ke
tingkat diare dengan dehidrasi yang lebih berat.

Bagi Masyarakat
Peneliti menyarankan kepada masyarakat untuk lebih memahami dengan tepat

dan segera bagaimana penanganan yang tepat dalam mengatasi diare akut pada
anak balita sehingga tidak sampai terjadi dehidrasi.
3

Bagi Penelitian Selanjutnya


Peniliti menyarakan kepada peneliti untuk menjadikan hasil penelitian sebagai

acuan untuk mendukung penelitian selanjutnya.

47

DAFTAR PUSTAKA
1. Akhyar. 2006. Hubungan Faktor Lingkungan, Ekonomi dan Pengetahuan Ibu
dengan Kejadian Diare pada Balita di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan
Tembilahan Kota Kabupaten Indagiri Hilir Tahun 2006. Dalam : Mauliku, N.E.
dan Wulansari, E. Hubungan antara Faktor Perilaku Ibu dengan Kejadian Diare
pada Balita di Puskesmas Batujajar Kabupaten Bandung Barat, Jurnal
Kesehatan Kartika Stikes A. Yani. 2008;38:40-51.

48

Anda mungkin juga menyukai