Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH KESMAS LAHAN RAWA

Penyakit Demam Berdarah Dengue dan Kaitannya dengan Masyarakat Lahan Rawa

Dosen Pembimbing : Erwin Ernadi, SKM., M.Kes

KELOMPOK 4

Dhita Faulina NPM : 18070479

Erna Cindy Martino NPM: 180700176

Gusti Dewi Lazuardya NPM : 18070499

Ira Hefpy Tana NPM : 19070554

FAKULTAS ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS ISLAM KALIMANTAN

MUHAMMAD ARSYAD AL BANJARY

BANJARBARU

TAHUN 2021
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kepada Allah SWT, karena berkat taufiq
dan hidayah-Nya lah penulisan makalah ini dapat disesuaikan. Kami selaku
penulis sadar bahwa penulisan makalah yang berjudul “Penyakit Demam
Berdarah Dengue Kaitannya dengan Masyarakat Lahan Rawa” ini masih jauh
dari kesempurnaan, oleh sebab itu, penulis selalu mengharapkan kritik dan saran
dari para pemerhati demi perbaikan selanjutnya.
Terlepas dari semua kekurangan penulisan makalah ini, baik dalam
susunan dan penulisannya yang salah, penulis memohon maaf dan berharap
semoga penulisan makalah ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan kepada
pembaca pada umumnya.
Kami mengucapkan terima kasih yang sebanyak-banyaknya kepada semua
pihak yang telah membantu terselesaikannya pembuatan makalah ini terutama
kepada Dosen yang telah banyak memberikan bimbingan kepada kami.

Banjarbaru, 10 November 2021

Penulis
DAFTAR ISI
Hal
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I. PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Rumusan Masalah 3
BAB II. PEMBAHASAN 3
A. Pengertian Demam Berdarah Dengue 2
B. Penyakit Demam Berdarah Dengue dan Kaitannya dengan 5
Masyarakat Lahan Rawa
BAB III PENUTUP 12
A. Kesimpulan 12
B. Saran 12
DAFTAR PUSTAKA 13
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu masalah kesehatan yang
sering terjadi pada masyarakat. Menurut (Hadriyati, Marisdayana dan Ajizah. 2016) DBD
disebabkan oleh kondisi lingkungan yang tidak memenuhi syarat kesehatan yaitu terdapat
genangan air yang merupakan tempat berkembangbiaknya nyamuk aedes aegypti.
Perilaku masyarakat dalam melakukan tindakan pemberantasan sarang nyamuk (PSN)
dengan cara 3M Plus (menguras, menutup, mengubur) kurang maksimal sehingga
menyebabkan DBD meningkat menurut (Priesley, Reza dan Rusdji. 2018).
Kesimpulannya, penyebab terjadinya penyakit DBD akibat dari kondisi lingkungan yang
buruk dan tindakan PSN yang kurang maksimal.

Penyakit yang sudah menyebar luas dibeberapa daerah didunia dengan jumlah
penderita yang terus meningkat setiap tahunnya merupakan DBD. Menurut World Health
Organization (WHO) tahun 2016 menunjukan bahwa terjadi peningkatan jumlah kasus
DBD dari 2,2 juta pada tahun 2010 menjadi 3,2 juta pada tahun 2015. Daerah yang jumlah
penderita DBD paling tinggi terkena dampak DBD yaitu Amerika, Asia Tenggara dan
Pasifik Barat (Lumingas, Kaunang dan Asrifuddin. 2016). Pada tahun 2016 wilayah
Amerika melaporkan lebih dari 2,38 juta kasus DBD dan wilayah Pasifik Barat
melaporkan lebih dari 375.000 kasus DBD. Pada tahun 2017 terjadi penurunan signifikan
di laporkan dalam jumlah kasus DBD di Amerika yaitu 548.263 kasus, ini mewakili
penurunan 73%. Kesimpulannya, Jumlah persentase Demam Berdarah Dengue didunia
setiap tahunnya meningkat.

1
Di Indonesia kejadian DBD merupakan salah satu penyakit yang tertinggi.
Menurut profil kesehatan Indonesia tahun 2017 menunjukan bahwa kasus DBD
berjumlah 68.407 dengan jumlah kematian sebanyak 0,72%. Jumlah tersebut
menurun cukup drastis dari tahun sebelumnya, yaitu 204.171 kasus dengan
jumlah kematian sebanyak 0,78%. Angka kesakitan DBD tahun 2017 menurun
dibandingkan tahun 2016 yaitu dari 78,85 menjadi 26,10 per

100.000 penduduk dengan angka kematian atau nilai Case Fatality Rate
(CFR) tahun 2016 0,78% menjadi 0,72% pada tahun 2017 (Kemenkes RI,
2017). Dapat disimpulkan bahwa angka kejadian DBD terjadi peningkatan pada
tahun 2016 dan menurun pada tahun 2017.

B. Rumusan Masalah
Setelah melihat paparan latar belakang serta batasan masalah yang tertera
diatas, maka dapat ditarik suatu rumusan permasalahan yang timbul dari
pembahasan ini adalah:
1. Bagaimana hubungan kondisi lingkungan terhadap kejadian Demam
Berdarah Dengue?
2. Bagaimana upaya mengatasi perkembanganbiakan nyamuk Aedes Aegepty
yang tak terkendali di lingkungan rawa-rawa?

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Demam Berdarah Dengue


Demam berdarah dengue (atau Dengue Haemorrhagic Fever, selanjutnya
disingkat DBD) ialah penyakit yang terdapat pada anak dan dewasa dengan
gejala utama demam, nyeri otot dan sendi, yang biasanya memburuk setelah
dua hari pertama. Sindrom renjatan dengue (dengue shock syndrome,
selanjutnya disingkat DSS) ialah penyakit DBD yang disertai renjatan
(Mansjoer dkk, 2000). a. Penyebab Virus dengue yang menjadi penyebab
penyakit ini termasuk ke dalam Arbovirus (Arthropod borne virus) grup B,
terdiri dari empat tipe, yaitu virus dengue tipe 1,2,3 dan 4. Keempat tipe virus
dengue tersebut terdapat di Indonesia, dan dapat dibedakan satu dari yang
lainnya secara serologis. Virus dengue yang termasuk dalam genus Flarivirus
ini berukuran diameter 40 nanometer, dapat berkembang biak dengan baik pada
berbagai macam kultur jaringan (Soedarto, 1995).

Ada 2 teori tentang terjadinya manifestasi yang lebih berat yang


dikemukakan oleh pakar demam berdarah dunia:

1) Teori infeksi primer/teori virulensi yaitu munculnya manifestasi disebabkan


karena adanya mutasi dari virus dengue menjadi lebih virulen.

2) Teori infeksi sekunder yaitu manifestasi berat bila terjadi infeksi ulangan oleh
virus dengue yang serotipenya berbeda dengan infeksi sebelumnya (Suroso
dan Umar, 2002). Berbagai kemungkinan akibat seseorang digigit oleh
nyamuk yang mengandung virus dengue: 1) Asymtomatis, yaitu tidak
menimbulkan gejala (sakit) hal ini disebabkan karena orang telah mempunyai
kekebalan terhadap virus tersebut. 2) Demam dengue (dengue fever), gejala-
gejalanya berupa demam tinggi tiruan pada kulit, nyeri kepala, nyeri belakang
bola mata, otot, punggung, sendi, yang akan sembuh dengan sendirinya dalam
waktu 5 hari.

2
Demam berdarah dengue (dengue hemorrhagic fever), gejala-gejala pada
umumnya seperti pada demam dengue, tetapi disertai dengan pendarahan pada
kulit dan organ-organ tubuh lainnya sehingga dapat menimbulkan pendarahan
di hidung, pendarahan gusi, dan pendarahan saluran pencernaan. Komplikasi
berat yang dapat terjadi ialah syok, pendarahan hebat (hematemesis-melena)
dan encefalopati yang dapat menyebabkan kematian (Soedarmo, dkk., 2008). b.
Vektor Nyamuk Aedes aegyti maupun Aedes albopictus merupakan vektor
penular virus dengue dari penderita kepada orang lainnya dengan melalui
gigitannya (Soedarto, 1995). 18 1) Aedes aegypti Aedes aegypti adalah spesies
nyamuk tropis dan subtropis yang ditemukan di bumi, biasanya antara garis
lintang 350 U dan 350 S kira-kira berhubungan dengan musim dingin, isoterm
100 C. Meski Aedes aegypti telah ditemukan sampai sejauh lintang 450 U,
invasi ini telah terjadi selama musin hangat, dan nyamuk tidak hidup pada
musim dingin (WHO, 1999). Nyamuk Aedes berkembang biak pada genangan
air bersih yang terdapat pada bejana-bejana yang terdapat di dalam rumah
(Aedes aegypti) maupun yang terdapat diluar rumah, di lubanglubang pohon, di
dalam potongan batu, di lipatan daun dan genangan air bersih alami lainnya
(Aedes albopictus).

Pusat-pusat Penularan Dengue Faktor-faktor yang mempengaruhi derajat


penularan virus dengue antara lain:

a. Kepadatan vektor

b. Mobilitas penduduk

c. Kepadatan penduduk

Diagnosis

a) Anamnesis Pada waktu anak masuk rumah sakit, diambil anamnesis


tentang lama dan sifat demam, keluhan dan gejala sebelum dan bersamaan
timbulnya demam, timbulnya manifestasi pendarahan, bila penderita
menjadi gelisah dan bila terdapat kulit yang dingin pada ujung hidung, jari,

3
dan kaki. Ditanyakan pula apakah sebelum di rawat mendapat atau 20 tidak
mendapat pengobatan sendiri dari petugas kesehatan atau mendapat
pengobatan sendiri dengan disebut juga jenis dan nama obat
(Soedarmo,dkk.,2008).

b) Pemeriksaan fisik Meliputi berat dan tinggi badan pada waktu masuk
rumah sakit, keadaan gizi, pembesaran hati dan tekanan darah (Soedarmo,
1988). Pembesaran hati pada umumnya pada permulaan penyakit,
bervariasi dari hanya sekedar dapat diraba sampai 2-4 cm di bawah
lengkung iga kanan (Hadinegoro, dkk., 2002).

c) Pemeriksaan laboratorium 1) Pada akhir fase demam, jumlah leukosit dan


sel neutrofil menurun sehingga jumlah sel limfosit secara relatif meningkat
2) Penurunan jumlah sel trombosit menjadi < 100.000/mm3

d) Peningkatan nilai hematokrit (Ht) sampai dengan 20% atau lebih

e) Kadar albumin menurun sedikit dan bersifat sementara

f) Pada kasus berat dijumpai disfungsi hati

g) Hipoproteinemia (Hadinegoro, dkk., 2002).

WHO (1986) membagi menjadi empat kategori penderita menurut derajat berat
penderita sebagai berikut :

1. Derajat I : Adanya demam tanpa perdarahan spontan, manifestasi perdarahan


hanya berupa tourniket tes yang positif.

2. Derajat II : Gejala demam diikuti dengan perdarahan spontan, biasanya


berupa perdarahan dibawah kulit dan atau tanpa perdarahan lainnya.

3. Derajat III : Adanya kegagalan sirkulasi berupa nadi yang cepat dan lemah,
penyempitan tekanan nadi (<20 mmHg), atau hipotensi, dengan disertai akral
yang dingin dan gelisah.

4
4. Derajat IV : Adanya syok yang berat dengan nadi tak teraba dan tekanan
darah tidak terukur (Soegijanto, 200).

B. Penyakit Demam Berdarah Dengue dan Kaitannya dengan Masyarakat


Lahan Rawa

Definisi lahan basah dapat diartikan sebagai kawasan dimana air


merupakan faktor utama yang mengendalikan lingkungan maupun tumbuhan
dan satwa yang berasosiasi di dalamnya. Lahan basah tersebut adalah daerah-
daerah rawa, payau, lahan gambut atau perairan, baik yang bersifat alami
maupun buatan, tetap ataupun sementara, dengan perairannya yang tergenang
ataupun mengalir, tawar, agak asin ataupun asin, termasuk daerah-daerah
peraitran laut yang kedalamannya tidak lebih dari enam meter pada waktu air
surut.

Indonesia sebagai salah satu negara memiliki kawasan lahan basah yang
sangat luas dan berkepentingan dalam pengelolaan kawasan lahan basah secara
lestari dan berkelanjutan, berbagai strategi dan kebijakan pengelolaan lahan
basah secara nasional telah diterbitkan untuk memandu dan mengarahkan
kegiatan pengelolaan dan pemanfaatan lahan basah secara bijaksana bagi
seluruh pemangku kepentingan.

Di Indonesia, lahan basah utama diklasifikasikan sebagai Rawa, Hutan


mangrove, Terumbu karang, Padang lamun, Danau, Muara, Sungai, Sawah,
Tambak dan Kolam garam. Tiap lahan basah tersusun atas sejumlah komponen
fisik, kimia, dan biologi, seperti tanah, air, spesies tumbuhan dan hewan, serta
zat hara. Proses yang terjadi antar-komponen dan di dalam tiap komponen
membuat lahan basah dapat mengerjakan fungsi-fungsi tertentu, dapat
membangkitkan hasilan, dan dapat memiliki tanda pengenal khas pada skala
ekosistem (Notohadiprawiro, 2017).

Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit yang disebabkan oleh


virus dengue yang tergolong Arthropod - Borne Virus, genus Flavivirus, dan
family Flaviviridae. DBD ditularkan melalui gigitan nyamuk dari genus Aedes,

5
terutama Aedes aegypti (infodatin, 2016). Penyakit DBD dapat muncul
sepanjang tahun dan dapat menyerang seluruh kelompok umur. Munculnya
penyakit ini berkaitan dengan kondisi lingkungan dan perilaku masyarakat
(Kemenkes RI, 2016).

Menurut data WHO (2015) Penyakit demam berdarah dengue pertama kali
dilaporkan di Asia Tenggara pada tahun 1954 yaitu di Filipina, selanjutnya
menyebar ke berbagai negara. Sebelum tahun 1970, hanya 9 negara yang
mengalami wabah DBD, namun sekarang DBD menjadi penyakit endemik pada
lebih dari 100 negara, diantaranya adalah Afrika, Amerika, Mediterania Timur,
Asia Tenggara dan Pasifik Barat memiliki angka tertinggi terjadinya kasus
DBD. Jumlah kasus di Amerika, Asia Tenggara dan Pasifik Barat telah
melewati 1,2 juta kasus ditahun 2008 dan lebih dari 2,3 juta kasus di 2010. Pada
tahun 2013 dilaporkan terdapat sebanyak 2,35 juta kasus di Amerika, dimana
37.687 kasus merupakan DBD berat. Perkembangan kasus DBD di tingkat
global semakin meningkat, seperti dilaporkan Organisasi Kesehatan Dunia
(WHO) yakni dari 980 kasus di hampir 100 negara tahun 1954-1959 menjadi
1.016.612 kasus di hampir 60 negara tahun 2000-2009 (WHO, 2015).

Menurut Soedarto (2015) Indonesia adalah daerah endemis DBD dan


mengalami epidemik sekali dalam 4-5 tahun. Faktor lingkungan dengan
banyaknya genangan air bersih yang menjadi sarang nyamuk, mobilitas
penduduk yang tinggi dan cepatnya trasportasi antar daerah, menyebabkan
sering terjadinya demam berdarah dengue. Indonesia termasuk dalam salah satu
Negara yang endemik demam berdarah dengue karena jumlah penderitanya
yang terus menerus bertambah dan penyebarannya semakin luas (Sungkar,
2015).

DBD banyak ditemukan di daerah tropis dan sub-tropis termasuk di


Indonesia, penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) dilaporkan pertama kali
di Surabaya pada tahun 1968 dimana sebanyak 58 orang terinfeksi dan 24 orang
diantaranya meninggal dunia(Depkes RI, 2015). Kemenkes RI (2016) mencatat

6
di tahun 2015 pada bulan Oktober ada 3.219 kasus DBD dengan kematian
mencapai 32 jiwa, sementara November ada 2.921 kasus dengan 37 angka
kematian, dan Desember 1.104 kasus dengan 31 kematian. Dibandingkan
dengan tahun 2014 pada Oktober tercatat 8.149 kasus dengan 81 kematian,
November 7.877 kasus dengan 66 kematian, dan Desember 7.856 kasus dengan
50 kematian.

M H L B

A
D B D DBD

A
S
A
A
DBD

A D B
D B

1. Genetik

Keturunan (genetik) pada manusia merupakan faktor yang telah ada


dalam diri manusia yang dibawa sejak lahir, misalnya dari golongan penyakit
keturunan seperti diabetes melitus dan asma bronehial.

Sedangkan pada nyamuk sendiri sebagai agent penyakit, studi


epidemiologis menunjukkan adanya perbedaan suseptibiltas terhadap DBD
pada berbagai populasi etnis. Pada epidemi dengue di Kuba tahun 1981 dan
2001, keturunan Afrika terlihat relatif protektif terhadap DBD/ SSD, tetapi
tidak terhadap DD. Penelitian di Brazil juga menunjukkan bahwa etnis
AfroBrazil dan keturunan Afrika protektif terhadap DBD dengan odds ratio

7
(OR) 0,28 dan 0,13. Di Haiti, pada tahun 1994-1999, tidak ada kasus
DBD/SSD walaupun terdapat sirkulasi intensif 3 serotipe virus dengue. Di
Afrika, walaupun terdapat sirkulasi sporadis virus dengue, belum pernah
dilaporkan terjadi epidemi DBD. Semua data tersebut mendukung hipotesis
bahwa faktor genetik, seperti mutasi dan polimorfisme, ikut memengaruhi
suseptibiltas seseorang terhadap DBD. Jika terjadi musim hujan, dimana
cuaca berubah atau iklim berubah, dapat mengakibatkan daya tahan
seseorang menurun. Hal ini dapat meningkatkan risiko terkena DBD.

2. Lingkungan

a) Lingkungan Biologi

Nyamuk Aedes Aegypti pada perkembangannya mengalami


metamorfosis lengkap, mulai dari telur-larva-pupa-dewasa. Telur nyamuk
Aedes Aegypti berukuran kurang lebih 50 mikron, berwarna hitam berbentuk
oval seperti terpedo. Bila berada di dalam air dengan suhu 20-40 C akan
menetas menjadi larva instar I dalam waktu 1-2 hari. Pada kondisi optimum
larva instar I akan terus berkembang menjadi instar II, III dan IV yang
kemudian menjadi nyamuk dewasa dalam waktu 2-3 hari. Pertumbuhan dan
perkembangan nyamuk

Aedes Aegypti dari mulai telur hingga menjadi nyamuk dewasa


memerlukan waktu 7-14 hari. Nyamuk jantan lebih cepat menetas bila
dibandingkan dengan nyamuk betina. Larva nyamuk Aedes Aegypti lebih
banyak ditemukan berturut-turut pada bejana yang terbuat dari logam, tanah
liat, semen dan plastik. Lingkungan biologi yang mempengaruhi tempat
perindukan adalah banyaknya tanaman hias dan tanaman di pekarangan yang
mempengaruhi kelembaban dan pencahayaan di dalam rumah. Di daerah
lahan basah di Kalimantan Selatan, tepatnya Banjarbaru, terjadinya kasus
DBD mungkin diseebabkan oleh banyaknya rawa, hutan dan taman di
pemukiman, lahan gamut dan bekas galian tambang. Daerah berair tersebut
dapat menjadi wadah nyamuk untuk berkembang biak.

8
b) Lingkungan Sosial Ekonomi

Pendapatan keluarga, aktifitas sosial, kepadatan hunian, bencana alam,


kemiskinan dan kondisi rumah adalah faktor-faktor yang ikut berperan di
dalam penularan DBD. Semakin baik tingkat pendapatan keluarga, semakin
mampu keluarga itu untuk memenuhi kebutuhannya, termasuk dalam hal
pencegahan dan pengobatan suatu penyakit. Semakin sering seseorang
beraktifitas secara massal di dalam ruangan (arisan, sekolah dll) pada waktu
puncak aktifitas nyamuk Aedes aegypty menggigit, semakin besar risiko
orang tersebut untuk tertular dan menderita penyakit DBD. Hunian yang
padat akan memudahkan penularan DBD dari satu orang ke orang lainnya.
Bencana alam, akan menyebabkan higiene dan sanitasi yang buruk dan
memperbanyak tempat yang dapat menampung air, yang dapat digunakan
oleh nyamuk sebagai tempat bersarang. Kondisi rumah yang lembab, dengan
pencahayaan yang kurang ditambah dengan saluran air yang tidak lancar
mengalir, disenangi oleh nyamuk penular DBD, sehingga risiko menderita
DBD pun semakin besar. Kondisi penduduk Banjarbaru yang tingkat
kepadatan penduduknya cukup padat, bekerja dan menempuh pendidikan
dengan aktivitas yang cukup tinggi semakin membuat berisiko tertular dan
menderita DBD. Lingkungan perumahan dan perkantoran yang mepet dan
padat juga membuat risiko menderita DBD bertambah.

3. Perilaku

Perilaku kesehatan (Health Behavior) menurut Notoatmodjo (2010)


adalah respon seseorang terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan
sehat-sakit, penyakit dan faktor-faktor yang mempengaruhi sehat-sakit
(kesehatan) seperti lingkungan, makanan, minuman dan pelayanan kesehatan.
Dengan kata lain perilaku adalah semua aktifitas atau kegiatan seseorang baik
yang dapat diamati (observable) maupun yang tidak dapat diamati
(unobservable) yang berkaitan dengan pemeliharaan dan peningkatan

9
kesehatan. Pemeliharaan kesehatan ini mencakup mencegah atau melindungi
diri dari penyakit dan masalah kesehatan lain, meningkatkan kesehatan dan
mencari penyembuhan apabila sakit atau terkena masalah kesehatan. Oleh
sebab itu perilaku kesehatan ini pada garis besarnya dikelompokkan menjadi
dua yakni :

a) Perilaku orang yang sehat agar tetap sehat dan meningkat. Oleh sebab itu
perilaku ini disebut perilaku sehat (health behavior) yang mencakup
perilaku-perilaku (overt dan covert behavior) dalam mencegah atau
menghindari dari penyakit dan penyebab penyakit atau masalah atau
penyebab masalah (perilaku preventif), dan perilaku dalam mengupayakan
meningkatnya kesehatan.

b) Perilaku orang yang sakit atau telah terkena masalah kesehatan untuk
memperoleh penyembuhan atau pemecahan masalah kesehatannya. Oleh
karena itu perilaku ini disebut perilaku pencarian pelayanan kesehatan
(health seeking behavior). Adapun kejadian Demam Berbarah Dengue yg
terjadi di wilayah lahan basah Kalimantan Selatan menurut kelompok kami
adalah perilaku membiarkan penampungan air yang tidak diberi penutup,
yang memungkinkan menjadi wadah nyamuk untuk berkembang biak.

4. Pelayanan Kesehatan

DBD termasuk salah satu penyakit menular yang dapat menimbulkan


wabah, maka sesuai dengan Undang-Undang No.4 Tahun 1984 tentang
Wabah Penyakit Menular serta Peraturan Menteri Kesehatan No.560 Tahun
1989, setiap penderita termasuk tersangka DBD harus segera dilaporkan
selambat-lambatnya dalam waktu 24 jam oleh unit pelayanan kesehatan
(rumah sakit, puskesmas, poliklinik, balai pengobatan, dokter praktek swasta
dan lain-lain). (Depkes RI, 2015). Kondisi pelayanan kesehatan juga
menunjang derajat kesehatan masyarakat. Pelayanan kesehatan yang
berkualitas sangatlah dibutuhkan. Masyarakat membutuhkan posyandu,
puskesmas, rumah sakit dan pelayanan kesehatan lainnya untuk membantu

10
dalam mendapatkan pengobatan dan perawatan kesehatan. Terutama untuk
pelayanan kesehatan dasar yang memang banyak dibutuhkan masyarakat.
Kualitas dan kuantitas sumber daya manusia di bidang kesehatan juga mesti
ditingkatkan.

Puskesmas sebagai garda terdepan dalam pelayanan kesehatan


masyarakat sangat besar perananya. sebab di puskesmaslah akan ditangani
masyarakat yang membutuhkan edukasi dan perawatan primer. Peranan
Sarjana Kesehatan Masyarakat sebagai manager yang memiliki kompetensi di
bidang manajemen kesehatan dibutuhkan dalam menyusun program-program
kesehatan. Utamanya program-program pencegahan penyakit yang bersifat
preventif sehingga masyarakat tidak banyak yang jatuh sakit. Keterlambatan
dibawa ke fasilitas kesehatan terdekat dapat memperparah keadaan penderita
DBD. Hal ini mungkin saja dipengaruhi oleh kurangnya pengetahuan
keluarga pasien atau hambatan lain.

11
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Di Indonesia, lahan basah utama diklasifikasikan sebagai Rawa, Hutan
mangrove, Terumbu karang, Padang lamun, Danau, Muara, Sungai, Sawah,
Tambak dan Kolam garam. Tiap lahan basah tersusun atas sejumlah komponen
fisik, kimia, dan biologi, seperti tanah, air, spesies tumbuhan dan hewan, serta
zat hara. Proses yang terjadi antar-komponen dan di dalam tiap komponen
membuat lahan basah dapat mengerjakan fungsi-fungsi tertentu, dapat
membangkitkan hasilan, dan dapat memiliki tanda pengenal khas pada skala
ekosistem (Notohadiprawiro, 2017).

Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit yang disebabkan oleh


virus dengue yang tergolong Arthropod - Borne Virus, genus Flavivirus, dan
family Flaviviridae. DBD ditularkan melalui gigitan nyamuk dari genus Aedes,
terutama Aedes aegypti (infodatin, 2016). Penyakit DBD dapat muncul
sepanjang tahun dan dapat menyerang seluruh kelompok umur. Munculnya
penyakit ini berkaitan dengan kondisi lingkungan dan perilaku masyarakat
(Kemenkes RI, 2016).

B. Saran
Dalam proses pembuatan makalah ini tentu banyak kekurangan-kekurangan
yang masih perlu untuk saya tambahkan demi menyempurnakannya, namun
waktu dan terbatasnya referensi yang saya peroleh membuat tak luput dari
segala bentuk baik materi maupun dalil-dalil yang kurang kuat barang kali.
Oleh karena itu kritikan dan saran pembaca sangat saya perlukan untuk
memperbaiki pada waktu-waktu yang akan datang.

12
DAFTAR PUSTAKA

Amrul Hasan (2017). Hubungan Pemberantasan Sarang Nyamuk


Demam Berdarah Dengue dan Pencegahan Gigitan Nyamuk (Aedes
Aegipty) Dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue di Kota Bandar
Lampung Tahun 2017. Tesis Program Pasca Sarjana, Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.

Arsin A.A. & Wahihuddin (2016), Faktor-Faktor Y ang Berpengaruh


Terhadap Kejadian Demam Berdarah Dengue di Kota Makassar,
Jurnal Kedokteran Yarsi, 12, pp. 23- 33.

Awinda Roose (2017). Hubungan Sosiodemografi dan Lingkungan Dengan


Kejadian Penyakit DBD di Kecamatan Bukit Raya Kota Pekanbaru
Tahun 2017. Tesis Program Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara.

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Depkes. RI, (2015) Kajian


Masalah Kesehatan Demam Berdarah Dengue, ed. Wahono, T, D.

Bhisma Murti (2017). Prinsip dan Metode Riset Epidemiologi. Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.

Boesri, H. & Boewono, D.T. (2015), Situasi Nyamuk Aedes Aegypti dan
Pengendaliannya di Daerah Endemis Demam Berdarah Dengue di kota
Salatiga, Media Litbang Kesehatan, XVIII, , pp.78-82.

Cendrawirda (2015). Hubungan Faktor Individu Anak, Faktor Sosio


Demografi Keluarga dan Faktor Lingkungan Dengan Kejadian
Demam Berdarah Dengue Pada Anak di Kota Tembilahan Kabupaten
Indra Giri Hilir Provinsi Riau Tahun 2015. Tesis Program Pasca
Sarjana Program Studi Epidemiologi Komunitas, Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Indonesia.

13
Darjito E., Yuniarno S., Wibowo C., Suprasetya,D.L.A., Dwiyanti,H.
(2015), Beberapa Faktor R esiko Y ang Berpengaruh Terhadap
Kejadian Penyakit Demam B erdarah D engue (DBD) di K
abupaten B anyumas, Media Litbang Kesehatan, VolumeXVIII,
Nomor 3, pp. 126-136.

Depkes RI (2015). Pencegahan dan Pemberantasan Demam Berdarah Dengue


di Indonesia, Departemen Kesehatan RI, Jakarta.

Depkes RI (2015). Penyelidikan dan Penanggulangan Kejadian Luar Biasa


(KLB) Penyakit Menular dan Keracunan, Departemen Kesehatan RI,
Jakarta.

Depkes RI (2016). Pedoman Penyelenggaraan Sistem Kewaspadaan Dini


Kejadian Luar Biasa (KLB), Keputusan Menkes Nomor:
949/Menkes/SK/VIII/2004, Depkes RI, Jakarta.

Depkes RI (2016). Perilaku dan Siklus Hidup Nyamuk Aedes Aegypti, Buletin
Harian (News Letter), Edisi Rabu 10 Maret 2004, Departemen
Kesehatan RI, Jakarta.

Depkes RI (2016). Surveilans Epidemiologi Penyakit (PEP), Panduan


Praktis, Departemen Kesehatan RI, Jakarta.

Erliyanti (2015). Hubungan Lingkungan Fisik Rumah dan Karakteristik


Individu Terhadap Kejadian Demam Berdarah Dengue di Kota Metro
Tahun 2015. Tesis Program Pasca Sarjana, Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Indonesia.

14
Hastono SP (2017). Analisa Data Kesehatan. Basic Data Analysis for
Health Research Training. Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas
Indonesia.

http://kalsel.prokal.co/read/news/12242-gawat-banjarbaru-selatan-tertinggi-
kasus-dbd.html

15

Anda mungkin juga menyukai