Anda di halaman 1dari 61

Referat

GIZI BURUK

Disusun Oleh :

Ni Nyoman Pipit Trivitha

Preseptor :

dr. Aspri Sulanto, M.Sc, Sp.A

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT PERTAMINA BINTANG AMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI
BANDAR LAMPUNG
TAHUN 2020
LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT

“GIZI BURUK”

Yang diajukan oleh :

NI NYOMAN PIPIT TRIVITHA


NPM: 19360127

Telah disetujui dan disahkan oleh bagian Program Studi Pendidikan Profesi
Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Malahayati Bandar Lampung

Mengetahui :

dr. Aspri Sulanto, M.Sc, Sp.A

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT PERTAMINA BINTANG AMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI
BANDAR LAMPUNG
TAHUN 2020

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan Kasih dan
Karunia-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas referat dan case report ini
dalam rangka memenuhi salah satu persyaratan Kepaniteraan Klinik Ilmu
Kesehatan Anak berjudul ―GIZI BURUK‖.
Saya menyadari bahwa penulisan referat dan case report ini tidak akan
selesai tanpa adanya bantuan dan dukungan dari berbagai pihak baik secara
langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati
saya menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan kepada:
1. dr. Aspri Sulanto, M.Sc, Sp.A selaku pembimbing yang telah bersedia
memberikan bimbingan, arahan, kritik dan saran yang sangat berharga kepada
kami selama menyusun referat dan case report ini.
2. Teman-teman bagian Ilmu Kesehatan Anak yang telah banyak membantu dan
mendukung kami hingga akhirnya tersusunlah referat dan case report ini.
3. Semua pihak yang terlibat dalam penyusunan referat dan case report ini baik
secara langsung maupun tidak langsung.
Saya menyadari bahwa dalam referat dan case report ini masih banyak
terdapat kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu kritik dan
saran yang membangun tentunya sangat diharapkan. Semoga segala bantuan
berupa nasihat, motivasi, masukan dan budi baik semua pihak akan mendapat
karunia dari Tuhan. Dan semoga referat dan case report ini dapat bermanfaat untuk
semua pihak, khususnya di bagian Ilmu Kesehatan Anak.

Bandar Lampung, November 2020

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
LEMBAR PERSETUJUAN ........................................................................... i
KATA PENGANTAR ..................................................................................... ii
DAFTAR ISI .................................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... iv
DAFTAR TABEL ............................................................................................ v
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1
BAB II ISI ....................................................................................................... 3
2.1. Definisi .......................................................................................... 3
2.2. Epidemiologi ................................................................................. 3
2.3. Etiologi .......................................................................................... 4
2.4. Patogenesis .................................................................................... 7
2.5. Klasifikasi ...................................................................................... 9
2.6. Manifestasi Klinis ......................................................................... 12
2.7. Faktor Risiko ................................................................................. 14
2.8. Diagnosis ....................................................................................... 22
2.9. Pemeriksaan Penunjang ................................................................. 25
2.10. Penatalaksanaan ............................................................................ 26
2.11. Komplikasi .................................................................................... 47
2.12. Pencegahan .................................................................................... 49
2.13. Prognosis ....................................................................................... 51
BAB III KESIMPULAN ................................................................................5 2
DAFTAR PUSTAKA

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Patogenesis Marasmik-Kwashiorkor .......................................... 8


Gambar 2. Langkah Rencana Pengobatan Anak Gizi Buruk ....................... 27
Gambar 3. 10 Langkah Utama Tatalaksana Anak Gizi Buruk ..................... 30

iv
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Klasifikasi MEP berat menurut Wellcome Trust ............................ 9


Tabel 2. Klasifikasi MEP berat menurut Gomez ............................................. 9
Tabel 3. Klasifikasi KEP berdasarkan baku median WHO-NHCHS .............. 9
Tabel 4. Klasifikasi KEP menurut Departemen Kesehatan RI ...................... 10

v
BAB I

PENDAHULUAN

Gizi buruk (severe malnutrition) adalah suatu istilah teknis yang umumnya

dipakai oleh kalangan gizi, kesehatan dan kedokteran. Gizi buruk adalah bentuk

terparah dari proses terjadinya kekurangan gizi menahun. Menurut Departemen

Kesehatan (2004), pada tahun 2003 terdapat sekitar 27,5% (5 juta balita kurang

gizi), 3,5 juta anak (19,2%) dalam tingkat gizi kurang, dan 1,5 juta anak gizi buruk

(8,3%). WHO (1999) mengelompokkan wilayah berdasarkan prevalensi gizi

kurang ke dalam 4 kelompok yaitu: rendah (di bawah 10%), sedang (10-19%),

tinggi (20-29%), sangat tinggi (30%).1,2

Gizi buruk masih merupakan masalah di Indonesia, walaupun Pemerintah

Indonesia telah berupaya untuk menanggulanginya. Data Dusenas menunjukkan

bahwa jumlah balita yang BB/U < -3 SD Z-score WHO-NCHS sejak tahun 1989

meningkatkan dari 6,3 % menjadi 7,2 % tahun 1992 dan mencapai puncaknya

11,6% pada tahun 1995. Upaya Pemerintah antara lain melalui pemberian makanan

tambahan dalam jaringan pengaman sosial (JPS) dan peningkatan pelayanan gizi

melalui pelatihan-pelatihan tatalaksana gizi buruk kepada tenaga kesehatan,

berhasil menurunkan angka gizi buruk menjadi 10,1% pada tahun 1998, 8,1% pada

tahun 1999, dan 6,3% tahun 2001. Namun pada tahun 2002 terjadi peningkatan

kembali 7% dan pada tahun 2003 menjadi 8,15%.1,3

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) dan Laporan Survei Departemen

Kesehatan-Unicef tahun 2005, dari 343 kabupaten/kota di Indonesia penderita gizi

buruk sebanyak 169 kabupaten/kota tergolong prevalensi sangat tinggi dan 257

1
2

kabupaten/kota lainnya prevalensi tinggi. Dari data Depkes juga terungkap masalah

gizi di Indonesia ternyata lebih serius dari yang kita bayangkan selama ini. Gizi

buruk atau anemia gizi tidak hanya diderita anak balita, tetapi semua kelompok

umur. Perempuan adalah yang paling rentan, disamping anak-anak. Sekitar 4 juta

ibu hamil, setengahnya mengalami anemia gizi dan satu juta lainnya kekurangan

energi kronis (KEK). Dalam kondisi itu, rata-rata setiap tahun lahir 350.000 bayi

lahir dengan kekurangan berat badan (berat badan rendah). 1

Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa anak gizi buruk dengan gejala

klinis (marasmus, kwashiorkor, marasmus kwashiorkor) umumnya disertai dengan

penyakit infeksi seperti diare, Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA), tuberculosis

(TB), serta penyakit infeksi lainnya. Data dari WHO menunjukkan bahwa 54%

angka kesakitan pada balita disebabkan karena gizi buruk, 19% diare, 19% ISPA,

18% perinatal, 7% campak, 5% malaria, dan 32% penyebab lainnya.4


BAB II

ISI

2.1. Definisi

Gizi buruk adalah kondisi seseorang yang nutrisinya di bawah rata-rata. Hal

ini merupakan suatu bentuk terparah dari proses terjadinya kekurangan gizi

menahun. Balita disebut gizi buruk apabila indeks Berat Badan menurut Umur

(BB/U) < -3 SD. Keadaan balita dengan gizi buruk sering digambarkan dengan

adanya busung lapar.1,5,6

Marasmus adalah keadaan gizi buruk yang ditandai dengan tampak sangat

kurus, iga gambang, perut cekung, wajah seperti orang tua dan kulit keriput.

Kwashiorkor adalah keadaan gizi buruk yang ditandai dengan edema seluruh tubuh

terutama di punggung kaki, wajah membulat dan sembab, perut buncit, otot

mengecil, pandangan mata sayu dan rambut tipis/kemerahan. Marasmus-

kwashiorkor adalah keadaan gizi buruk dengan tanda-tanda gabungan dari

marasmus dan kwashiorkor.7

Sedangkan menurut Pedoman Pelayanan Gizi Rumah Sakit Departemen

Kesehatan RI 2003 marasmus-kwashiorkor adalah gizi buruk dengan gambaran

klinik yang merupakan campuran dari beberapa gejala klinik kwashiorkor dan

marasmus dengan BB/U < 60 % baku median WHO-NHCS disertai edema yang

tidak mencolok.8

3
4

2.2. Epidemiologi

Secara global, pada tahun 2014 terdapat 50 juta anak di bawah umur lima

tahun mengalami kekurangan gizi, sebanyak 16 juta diantaranya mengalami gizi

buruk. Diperkirakan satu dari setiap 13 anak di dunia mengalami gizi buruk. Di

Indonesia kejadian kekurangan gizi terlihat meningkat pada tahun 2013 yakni

sebesar 19,6% mengalami kekurangan gizi dengan kejadian gizi buruk sebesar

5,7% dibandingkan dengan tahun 2010 yakni sebesar (17,9%) dengan 4,9%

berstatus gizi buruk. Sulawesi Selatan menduduki peringkat ke-10 tertinggi untuk

kejadian gizi buruk pada balita dengan prevalensi kekurangan gizi sebesar 25,6%

dan 6,6% diantaranya gizi buruk.9,10

Pemetaan gizi buruk yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi

Selatan pada tahun 2013 kabupaten/kota yang memiliki prevalensi gizi buruk jenis

marasmuskwashiorkor (M+K) yang paling tinggi adalah Kota Makassar, dengan

prevalensi kekurangan gizi sebesar 16,39% dengan status gizi buruk sebesar 3,66%.

Penyumbang terbesar kejadian gizi buruk di Kota Makassar berasal dari Kecamatan

Tallo dengan prevalensi kekurangan gizi yang cukup tinggi di tahun 2015 yakni

sebesar 15,5%.11

2.3. Etiologi

Gizi buruk dipengaruhi oleh banyak faktor yang saling terkait. Secara garis

besar penyebab anak kekurangan gizi disebabkan karena asupan makanan yang

kurang dan anak sering sakit atau terkena infeksi. Selain itu gizi buruk dipengaruhi

oleh faktor lain seperti sosial ekonomi, kepadatan penduduk, kemiskinan, dan lain-

lain.1,2
5

2.3.1 Faktor utama penyebab gizi buruk pada anak12

1. Peranan diet

Anak sering tidak cukup mendapatkan makanan bergizi seimbang terutama

dalam segi protein dan karbohidratnya. Diet yang mengandung cukup energi tetapi

kurang protein akan menyebabkan anak menjadi penderita kwashiokor, sedangkan

diet kurang energi walaupun zat gizi esensialnya seimbang akan menyebabkan anak

menjadi penderita marasmus. Pola makan yang salah seperti pemberian makanan

yang tidak sesuai dengan usia akan menimbulkan masalah gizi pada anak.

Contohnya anak usia tertentu sudah diberikan makanan yang seharusnya belum

dianjurkan untuk usianya, sebaliknya anak telah melewati usia tertentu tetapi tetap

diberikan makanan yang seharusnya sudah tidak diberikan lagi pada usianya. Selain

itu mitos atau kepercayaan di masyarakat atau keluarga dalam pemberian makanan

seperti berpantang makanan tertentu akan memberikan andil terjadinya gizi buruk

pada anak.

2. Peranan penyakit atau infeksi

Penyakit atau infeksi menjadi penyebab terbesar kedua setelah asupan

makanan yang tidak seimbang. Telah lama diketahui adanya hubungan yang erat

antara malnutrisi dan penyakit infeksi terutama di negara tertinggal maupun di

negara berkembang seperti Indonesia, dimana kesadaran akan kebersihan diri

(personal hygiene) masih kurang, dan adanya penyakit infeksi kronik seperti

Tuberkulosis dan cacingan pada anak-anak. Kaitan antara infeksi dan kurang gizi

sangat sukar diputuskan, karena keduanya saling terkait dan saling memperberat.

Kondisi infeksi kronik akan menyebabkan anak menjadi kurang gizi yang pada
6

akhirnya memberikan dampak buruk pada sistem pertahanan tubuh sehingga

memudahkan terjadinya infeksi baru pada anak.

2.3.2 Faktor lain penyebab gizi buruk pada anak1,2

1. Peranan sosial ekonomi

Tidak tersedianya makanan yang adekuat terkait langsung dengan masalah

sosial ekonomi, dan kemiskinan. Data di indonesia dan negara lain menunjukkan

adanya hubungan timbal balik antara kurang gizi dengan masalah-masalah sosial

yang terjadi di masyarakat terutama masalah kemiskinan yang pada akhirnya

mempengaruhi ketersedian makanan serta keragaman makanan yang dikonsumsi.

Banyak masyarakat yang masih menganut sistem bahwa orang tua harus lebih

mendapatkan porsi makanan yang lebih banyak dan lebih bergizi daripada anak-

anaknya karena mereka harus bekerja keras untuk menghidupi keluarganya

sedangkan anak-anak hanya bermain dirumah sehingga tidak perlu mendapat

asupan yang bergizi. Selain itu adanya faktor-faktor lain seperti poligami, seorang

suami dengan banyak istri dan anak membuat pendapatan suami tersebut tidak

dapat mencukupi makan istri-istri dan anak-anaknya, serta tingginya tingkat

perceraian, dimana sebelumnya suami dan istri bersama-sama mencari nafkah

untuk menghidupi anak-anaknya, kini hanya tinggal istri yang menghidupi anaknya

sebagai orang tua tunggal (single parent).

2. Peranan kepadatan penduduk

Dalam kongresnya di Roma pada tahun 1974, World Food Organization

memaparkan bahwa meningkatnya jumlah penduduk yang cepat tanpa diimbangi

dengan bertambahnya persediaan pangan maupun bahan makanan setempat yang

memadai merupakan sebab utama krisis pangan. Marasmus dapat terjadi jika suatu
7

daerah terlalu padat penduduknya dengan keadaan higiene yang buruk, contohnya

dikota-kota besar yang laju pertambahan penduduknya sangat besar akibat arus

urbanisasi dan tingginya angka kelahiran menyebabkan kepadatan penduduk yang

semakin meningkat. Pada akhirnya ketersediaan makanan yang ada tidak akan

mencukupi lagi untuk memenuhi kebutuhan makanan masyarakat di daerah

tersebut.

2.4. Patogenesis

Penyakit marasmus-kwashiorkor memperlihatkan gejala campuran antara

penyakit marasmus dan kwashiorkor. Makanan sehari-harinya tidak cukup

mengandung protein dan juga energi untuk pertumbuhan yang normal. Pada

penderita demikian, di samping menurunnya berat badan di bawah 60% dari

normal, memperlihatkan tanda-tanda kwashiorkor, seperti edema, kelainan rambut,

kelainan kulit, sedangkan kelainan biokimiawi terlihat pula. Pada KEP terdapat

perubahan nyata dari komposisi tubuhnya, seperti jumlah dan distribusi cairan,

lemak, mineral, dan protein, terutama protein otot. 13,14

Kurangnya protein dalam diet akan menimbulkan kekurangan berbagai asam

amino essensial yang dibutuhkan untuk sintesis albumin, sehingga terjadi

hipoalbuminemia dan edema. Anak dengan marasmus kwashiorkor juga sering

menderita infeksi multipel, seperti tuberkulosis dan gastroenteritis. Infeksi akan

mengalihkan penggunaan asam amino ke sintesis protein fase akut, yang semakin

memperparah berkurangnya sintesis albumin di hepar. Penghancuran jaringan akan

semakin lanjut untuk memenuhi kebutuhan energi, memungkinkan sintesis glukosa

dan metabolit essensial lainnya seperti asam amino. Kurangnya kalori dalam diet
8

akan meningkatkan kadar kortisol dan menurunkan kadar insulin. Hal ini akan

menyebabkan atrofi otot dan menghilangnya lemak di bawah kulit. Pada awalnya,

kelainan ini merupakan proses fisiologis. Untuk kelangsungan hidup, jaringan

tubuh memerlukan energi yang dapat dipenuhi oleh makanan yang diberikan, jika

hal ini tidak terpenuhi maka harus didapat dari tubuh sendiri sehingga cadangan

protein digunakan juga untuk memenuhi kebutuhan energi. Tubuh akan

mengandung lebih banyak cairan sebagai akibat menghilangnya lemak dan otot

sehingga tampak edema.13,14

Gambar 1. Patogenesis Marasmik-Kwashiorkor13,14


9

2.5. Klasifikasi

Klasifikasi menurut Wellcome pada MEP berat dapat digunakan sampai usia

lebih dari 20 tahun. Klasifikasi menurut Wellcome ini sangat sederhana karena

hanya melihat % BB/U dan ada atau tidaknya edema. Terdapat kategori kurang gizi

ini meliputi anak dengan PEM sedang atau yang mendekati PEM berat tapi tanpa

edema, pada keadaan ini % BB/U berada diatas 60%.1

Tabel 1. Klasifikasi MEP berat menurut Wellcome Trust 1

% BB/U Dengan edema Tanpa edema

60-80 Kwashiorkor Kurang Gizi

<60 Marasmus-kwashiorkor Marasmus

Tabel 2 Klasifikasi MEP berat menurut Gomez1

Klasifikasi % BB/U

Normal >90

Grade I (Malnutrisi Ringan) 75-89.9

Grade II (Malnutrisi Sedang) 60-74.9

Grade III (Mallnutrisi Berat) <60

Tabel 3 Klasifikasi KEP berdasarkan baku median WHO-NHCHS15

Klasifikasi KEP BB/U BB/TB

Ringan 70-80% 80-90%

Sedang 60-70% 70-80%

Berat <60% <70%


10

Tabel 4 Klasifikasi KEP menurut Departemen Kesehatan RI15

Klasifikasi BB/TB TB/U

(berat menurut tinggi) (tinggi menurut umur)

Mild 80 – 90 % 90 – 94%

Moderate 70 – 79 % 85 – 89 %

Severe < 70 % <85 %

ANTROPOMETRI

1. Berat Badan

Berat badan adalah parameter pertumbuhan yang paling sederhana, mudah

diukur dan diulang dan merupakan indeks untuk status nutrisi sesaat. Hasil

pengukuran berat badan dipetakan pada kurva standar Berat badan/Umur (BB/U)

dan Berat Badan/Tinggi Badan (BB/TB). Adapun interpretasi pengukuran berat

badan yaitu:1

BB/U dibandingkan dengan acuan standard (CDC 2000) dan dinyatakan

dalam persentase:1

• > 120 % : disebut gizi lebih

• 80 – 120 % : disebut gizi baik

• 60 – 80 % : tanpa edema ; gizi kurang dengan edema ; gizi buruk

(kwashiorkor)

• < 60% : gizi buruk ; tanpa edema (marasmus) dengan edema

(marasmus – kwashiorkor)
11

2. Tinggi Badan (TB)

Tinggi badan pasien harus diukur pada tiap kunjungan. Pengukuran berat

badan akan memberikan informasi yang bermakna kepada dokter tentang status

nutrisi dan pertumbuhan fisis anak. Seperti pada pengukuran berat badan, untuk

pengukuran tinggi badan juga diperlukan informasi umur yang tepat, jenis kelamin

dan baku yang diacu yaitu CDC 2000.1

Interpretasi dari dari TB/U dibandingkan standar baku berupa:1

• 90 – 110 % : baik/normal

• 70 – 89 % : tinggi kurang

• < 70 % : tinggi sangat kurang

3. Rasio Berat Badan menurut tinggi badan (BB/TB)

Rasio BB/TB bila dikombinasikan dengan berat badan menurut umur dan

tinggi badan menurut umur sangat penting dan lebih akurat dalam penilaian status

nutrisi karena ia mencerminkan proporsi tubuh serta dapat membedakan antar

―wasting‖ dan ―stunting‖ atau perawakan pendek. Indeks ini digunakan pada anak

perempuan hanya sampai tinggi badan 138 cm, dan pada anak lelaki sampai tinggi

badan 145 cm. Setelah itu rasio BB/TB tidak begitu banyak artinya, karena adanya

percepatan tumbuh (growth spurt). Keuntungan indeks ini adalah tidak

diperlukannya faktor umur, yang seringkali tidak diketahui secara tepat.1,16

BB/TB (%) = (BB terukur saat itu) (BB standar sesuai untuk TB terukur) x

100%, interpretasi di nilai sebagai berikut:1

• > 120 % : Obesitas

• 110 – 120 % : Overweight


12

• 90 – 110 % : normal

• 70 – 90 % : gizi kurang

• < 70 % : gizi buruk

2.6. Manifestasi Klinis

Pada kasus malnutrisi yang berat, gejala klinis terbagi menjadi dua bagian

besar, yaitu kwashiokor dan marasmus. Pada kenyataannya jarang sekali ditemukan

suatu kasus yang hanya menggambarkan salah satu dari bagian tertentu saja. Sering

kali pada kebanyakan anak-anak penderita gizi buruk, yang ditemukan merupakan

perpaduan gejala dan tanda dari kedua bentuk malnutrisi berat tersebut. Marasmus

lebih sering ditemukan pada anak-anak dibawah usia satu tahun, sedangkan insiden

pada anak-anak dengan kwashiokor terjadi pada usia satu hingga enam tahun.12,17

Gejala pertama dari malnutrisi tipe marasmus adalah kegagalan tumbuh

kembang. Pada kasus yang lebih berat, pertumbuhan bahkan dapat terhenti sama

sekali. Selain itu didapatkan penurunan aktifitas fisik dan keterlambatan

perkembangan psikomotorik. Pada saat dilakukan pemeriksaan fisik, akan

ditemukan suara tangisan anak yang monoton, lemah, dan tanpa air mata, lemak

subkutan menghilang dan lemak pada telapak kaki juga menghilang sehingga

memberikan kesan tapak kaki seperti orang dewasa. Kulit anak menjadi tipis dan

halus, mudah terjadi luka tergantung adanya defisiensi nutrisi lain yang ikut

menyertai keadaan marasmus. Kaki dan tangan menjadi kurus karena otot-otot

lengan serta tungkai mengalami atrofi disertai lemak subkutan yang turut

menghilang. Pada pemeriksaan protein serum, ditemukan hasil yang normal atau

sedikit meningkat. Selain itu keadaan yang terlihat mencolok adalah hilangnya
13

lemak subkutan pada wajah. Akibatnya ialah wajah anak menjadi lonjong,

berkeriput dan tampak lebih tua (old man face). Tulang rusuk tampak lebih jelas.

Dinding perut hipotonus dan kulitnya longgar. Berat badan turun menjadi kurang

dari 60% berat badan menurut usianya. Suhu tubuh bisa rendah karena lapisan

penahan panas hilang. Cengeng dan rewel serta lebih sering disertai diare kronik

atau konstipasi, serta penyakit kronik. Tekanan darah, detak jantung dan pernafasan

menjadi berkurang.12,16

Pada kasus malnutrisi marasmus-kwashiorkor ditemukan perpaduan gejala

antara kwashiorkor dan marasmus. Keadaan ini ditemukan pada anak-anak yang

makanan sehari-harinya tidak mendapatkan cukup protein dan energi untuk

pertumbuhan yang normal. Pada anak-anak penderita kasus ini disamping terjadi

penurunan berat badan dibawah 60% berat badan normal seusianya, juga

memperlihatkan tanda-tanda kwashiorkor, seperti edema, kelainan rambut,

kelainan kulit, dan kelainan biokimiawi. Kelainan rambut pada kwashiorkor adalah

rambut menjadi lebih mudah dicabut tanpa reaksi sakit dari penderita, warna rambut

menjadi lebih merah, ataupun kelabu hingga putih. Kelainan kulit yang khas pada

penyakit ini ialah crazy pavement dermatosis, yaitu kulit menjadi tampak bercak

menyerupai petechiae yang lambat laun menjadi hitam dan mengelupas di

tengahnya, menjadikan daerah sekitarnya kemerahan dan dikelilingi batas-batas

yang masih hitam. Adanya pembesaran hati dan juga anemia ringan dikarenakan

kekurangan berbagai faktor yang turut mengiringi kekurangan protein, seperti zat

besi, asam folat, vitamin B12, vitamin C, dan tembaga. Selain itu juga ditemukan

kelainan biokimiawi seperti albumin serum yang menurun, globulin serum yang

menurun, dan kadar kolesterol yang rendah.1,12


14

2.7. Faktor Risiko

Faktor risiko gizi buruk antara lain:

1. Asupan makanan

Asupan makanan yang kurang disebabkan oleh berbagai faktor, antara

lain tidak tersedianya makanan secara adekuat, anak tidak cukup atau salah

mendapat makanan bergizi seimbang, dan pola makan yang salah. Kebutuhan

nutrisi yang dibutuhkan balita adalah air, energi, protein, lemak, karbohidrat,

vitamin dan mineral. Setiap gram protein menghasilkan 4 kalori, lemak 9

kalori, dan karbohidrat 4 kalori. Distribusi kalori dalam makanan balita dalam

keseimbangan diet adalah 15% dari protein, 35% dari lemak, dan 50% dari

karbohidrat. Kelebihan kalori yang menetap setiap hari sekitar 500 kalori

menyebabkan kenaikan berat badan 500 gram dalam seminggu.1,18

Setiap golongan umur terdapat perbedaan asupan makanan misalnya

pada golongan umur 1-2 tahun masih diperlukan pemberian nasi tim

walaupun tidak perlu disaring. Hal ini dikarenakan pertumbuhan gigi susu

telah lengkap apabila sudah berumur 2-2,5 tahun. Lalu pada umur 3-5 tahun

balita sudah dapat memilih makanan sendiri sehingga asupan makanan harus

diatur dengan sebaik mungkin. Memilih makanan yang tepat untuk balita

harus menentukan jumlah kebutuhan dari setiap nutrien, menentukan jenis

bahan makanan yang dipilih, dan menentukan jenis makanan yang akan

diolah sesuai dengan hidangan yang dikehendaki.18

Sebagian besar balita dengaan gizi buruk memiliki pola makan yang

kurang beragam. Pola makanan yang kurang beragam memiliki arti bahwa

balita tersebut mengkonsumsi hidangan dengan komposisi yang tidak


15

memenuhi gizi seimbang. Berdasarkan dari keseragaman susunan hidangan

pangan, pola makanan yang meliputi gizi seimbang adalah jika mengandung

unsur zat tenaga yaitu makanan pokok, zat pembangun dan pemelihara

jaringan yaitu lauk pauk dan zat pengatur yaitu sayur dan buah.19

2. Status sosial ekonomi

Sosial ekonomi merupakan suatu konsep dan untuk mengukur status

sosial ekonomi keluarga dilihat dari variabel tingkat pekerjaan. Rendahnya

ekonomi keluarga, akan berdampak dengan rendahnya daya beli pada

keluarga tersebut. Selain itu rendahnya kualitas dan kuantitas konsumsi

pangan, merupakan penyebab langsung dari kekurangan gizi pada anak balita.

Keadaan sosial ekonomi yang rendah berkaitan dengan masalah kesehatan

yang dihadapi karena ketidaktahuan dan ketidakmampuan untuk mengatasi

berbagai masalah tersebut. Balita dengan gizi buruk pada umumnya hidup

dengan makanan yang kurang bergizi.19,20

3. Pendidikan ibu

Kurangnya pendidikan dan pengertian yang salah tentang kebutuhan

pangan dan nilai pangan adalah umum dijumpai setiap negara di dunia.

Kemiskinan dan kekurangan persediaan pangan yang bergizi merupakan

faktor penting dalam masalah kurang gizi. Salah satu faktor yang

menyebabkan timbulnya kemiskinan adalah pendidikan yang rendah. Adanya

pendidikan yang rendah tersebut menyebabkan seseorang kurang mempunyai

keterampilan tertentu yang diperlukan dalam kehidupan. Rendahnya

pendidikan dapat mempengaruhi ketersediaan pangan dalam keluarga, yang


16

selanjutnya mempengaruhi kuantitas dan kualitas konsumsi pangan yang

merupakan penyebab langsung dari kekurangan gizi pada anak balita.21

Tingkat pendidikan terutama tingkat pendidikan ibu dapat

mempengaruhi derajat kesehatan karena pendidikan ibu berpengaruh

terhadap kualitas pengasuhan anak. Tingkat pendidikan yang tinggi membuat

seseorang mudah untuk menyerap informasi dan mengamalkan dalam

perilaku sehari-hari. Pendidikan adalah usaha yang terencana dan sadar untuk

mewujudkan suasana dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif

mengembangkan potensi diri dan ketrampilan yang diperlukan oleh diri

sendiri, masyarakat, bangsa, dan negara.21

Jalur pendidikan terdiri dari pendidikan formal dan non formal yang bisa

saling melengkapi. Tingkat pendidikan formal merupakan pendidikan dasar,

pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Pendidikan dasar merupakan

tingkat pendidikan yang melandasi tingkat pendidikan menengah. Tingkat

pendidikan dasar adalah Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama atau

bentuk lain yang sederajat, sedangkan pendidikan menengah adalah lanjutan

dari pendidikan dasar yaitu Sekolah Menengah Atas atau bentuk lain yang

sederajat. Pendidikan tinggi merupakan tingkat pendidikan setelah

pendidikan menengah yang terdiri dari program diploma, sarjana, magister,

spesialis, dan doktor yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi. Tingkat

pendidikan berhubungan dengan status gizi balita karena pendidikan yang

meningkat kemungkinan akan meningkatkan pendapatan dan dapat

meningkatkan daya beli makanan. Pendidikan diperlukan untuk memperoleh

informasi yang dapat meningkatkan kualitas hidup seseorang.21


17

4. Penyakit penyerta

Balita yang berada dalam status gizi buruk, umumnya sangat rentan

terhadap penyakit. Seperti lingkaran setan, penyakit-penyakit tersebut justru

menambah rendahnya status gizi anak. Penyakit-penyakit tersebut adalah:18

a. Diare persisten : sebagai berlanjutnya episode diare selama 14 hari atau

lebih yang dimulai dari suatu diare cair akut atau berdarah (disentri).

Kejadian ini sering dihubungkan dengan kehilangan berat badan dan

infeksi non intestinal. Diare persisten tidak termasuk diare kronik atau

diare berulang seperti penyakit sprue, gluten sensitive enteropathi dan

penyakit Blind loop.

b. Tuberkulosis : Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh

Mycobacterium tuberculosis, yaitu kuman aerob yang dapat hidup

terutama di paru atau di berbagai organ tubuh hidup lainnya yang

mempunyai tekanan parsial oksigen yang tinggi. Bakteri ini tidak tahan

terhadap ultraviolet, karena itu penularannya terjadi pada malam hari.

Tuberkulosis ini dapat terjadi pada semua kelompok umur, baik di paru

maupun di luar paru.

3. HIV AIDS : HIV merupakan singkatan dari ’human immunodeficiency

virus’. HIV merupakan retrovirus yang menjangkiti sel-sel sistem

kekebalan tubuh manusia (terutama CD4 positive T-sel dan

macrophages– komponen-komponen utama sistem kekebalan sel), dan

menghancurkan atau mengganggu fungsinya. Infeksi virus ini

mengakibatkan terjadinya penurunan sistem kekebalan yang terus-

menerus, yang akan mengakibatkan defisiensi kekebalan tubuh. Sistem


18

kekebalan dianggap defisien ketika sistem tersebut tidak dapat lagi

menjalankan fungsinya memerangi infeksi dan penyakit- penyakit.

Penyakit tersebut di atas dapat memperjelek keadaan gizi melalui

gangguan masukan makanan dan meningkatnya kehilangan zat-zat gizi

esensial tubuh. Terdapat hubungan timbal balik antara kejadian penyakit dan

gizi kurang maupun gizi buruk. Anak yang menderita gizi kurang dan gizi

buruk akan mengalami penurunan daya tahan, sehingga rentan terhadap

penyakit. Di sisi lain anak yang menderita sakit akan cenderung menderita

gizi buruk.18

5. Berat badan lahir rendah

Bayi berat lahir rendah (BBLR) adalah bayi dengan berat lahir kurang

dari 2500 gram tanpa memandang masa gestasi sedangkan berat lahir adalah

berat bayi yang ditimbang dalam 1 (satu) jam setelah lahir. Penyebab

terbanyak terjadinya BBLR adalah kelahiran prematur. Bayi yang lahir pada

umur kehamilan kurang dari 37 minggu ini pada umumnya disebabkan oleh

tidak mempunyai uterus yang dapat menahan janin, gangguan selama

kehamilan, dan lepasnya plasenta yang lebih cepat dari waktunya. Bayi

prematur mempunyai organ dan alat tubuh yang belum berfungsi normal

untuk bertahan hidup di luar rahim sehingga semakin muda umur kehamilan,

fungsi organ menjadi semakin kurang berfungsi dan prognosanya juga

semakin kurang baik. Kelompok BBLR sering mendapatkan komplikasi

akibat kurang matangnya organ karena prematur.22,23

Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) juga dapat disebabkan oleh bayi lahir

kecil untuk masa kehamilan yaitu bayi yang mengalami hambatan


19

pertumbuhan saat berada di dalam kandungan. Hal ini disebabkan oleh

keadaan ibu atau gizi ibu yang kurang baik. Kondisi bayi lahir kecil ini sangat

tergantung pada usia kehamilan saat dilahirkan. Peningkatan mortalitas,

morbiditas, dan disabilitas neonatus, bayi, dan anak merupakan faktor utama

yang disebabkan oleh BBLR. Gizi buruk dapat terjadi apabila BBLR jangka

panjang. Pada BBLR zat anti kekebalan kurang sempurna sehingga lebih

mudah terkena penyakit terutama penyakit infeksi. Penyakit ini menyebabkan

balita kurang nafsu makan sehingga asupan makanan yang masuk kedalam

tubuh menjadi berkurang dan dapat menyebabkan gizi buruk.22,23

6. Kelengkapan imunisasi

Imunisasi berasal dari kata imun yaitu resisten atau kebal. Imunisasi

terhadap suatu penyakit hanya dapat memberi kekebalan terhadap penyakit

tersebut sehingga bila balita kelak terpajan antigen yang sama, balita tersebut

tidak akan sakit dan untuk menghindari penyakit lain diperlukan imunisasi

yang lain. Infeksi pada balita penting untuk dicegah dengan imunisasi.24

Imunisasi juga dapat mencegah penderitaan yang disebabkan oleh

penyakit, dan kemungkinan cacat atau kematian, menghilangkan kecemasan

dan psikologi pengobatan bila anak sakit, memperbaiki tingkat kesehatan, dan

menciptakan bangsa yang kuat dan berakal untuk melanjutkan pembangunan

negara.25 Kelompok yang paling penting untuk mendapatkan imunisasi

adalah bayi dan balita karena meraka yang paling peka terhadap penyakit dan

sistem kekebalan tubuh balita masih belum sebaik dengan orang dewasa.

Macam- macam imunisasi antara lain:24


20

a. BCG : vaksin untuk mencegah TBC yang dianjurkan diberikan saat

berumur 2 bulan sampai 3 bulan dengan dosis 0,05 ml pada bayi kurang

dari 1 tahun dan 0,1 ml pada anak disuntikkan secara intrakutan.

b. Hepatitis B : salah satu imunisasi yang diwajibkan dengan diberikan

sebanyak 3 kali dengan interval 1 bulan antara suntikan pertama dan

kedua kemudian 5 bulan antara suntikan kedua dan ketiga. Usia

pemberian dianjurkan sekurang-kurangnya 12 jam setelah lahir.

c. Polio : imunisasi ini terdapat 2 macam yaitu vaksin oral polio dan

inactivated polio vaccine. Kelebihan dari vaksin oral adalah mudah

diberikan dan murah sehingga banyak digunakan.

d. DPT : vaksin yang terdiri dari toksoid difteri dan tetanus yang

dimurnikan serta bakteri pertusis yang diinaktivasi.

e. Campak : imunisasi yang digunakan untuk mencegah terjadinya

penyakit campak pada anak karena termasuk penyakit menular.

Pemberian yang dianjurkan adalah sebanyak 2 kali yaitu pada usia 9

bulan dan pada usia 6 tahun.

f. MMR : diberikan untuk penyakit measles, mumps, dan rubella

sebaiknya diberikan pada usia 4 bulan sampai 6 bulan atau 9 bulan

sampai 11 bulan yang dilakukan pengulangan pada usia 15 bulan-18

bulan.

g. Typhus abdominal : terdapat 3 jenis vaksin yang terdapat di Indonesia

yaitu kuman yang dimatikan, kuman yang dilemahkan, dan antigen

capsular Vi polysaccharida.
21

h. Varicella : pemberian vaksin diberikan suntikan tunggal pada usia

diatas 12 tahun dan usia 13 tahun diberikan 2 kali suntikan dengan

interval 4-8mg.

i. Hepatitis A : imunisasi yang digunakan untuk mencegah terjadinya

hepatitis A yang diberikan pada usia diatas 2 tahun.

j. HiB : Haemophilus influenzae type b yang digunakan untuk mencegah

terjadinya influenza tipe b dan diberikan sebanyak 3 kali suntikan.

7. ASI

Hanya 14% ibu di Indonesia yang memberikan air susu ibu (ASI)

eksklusif kepada bayinya sampai enam bulan. Rata-rata bayi di Indonesia

hanya menerima ASI eksklusif kurang dari dua bulan. Hasil yang dikeluarkan

Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia periode 1997-2003 yang cukup

memprihatinkan yaitu bayi yang mendapatkan ASI eksklusif sangat rendah.

Sebanyak 86% bayi mendapatkan makanan berupa susu formula, makanan

padat, atau campuran antara ASI dan susu formula.26,27

Berdasarkan riset yang sudah dibuktikan di seluruh dunia, ASI

merupakan makanan terbaik bagi bayi sampai enam bulan, dan

disempurnakan sampai umur dua tahun. Memberi ASI kepada bayi

merupakan hal yang sangat bermanfaat antara lain oleh karena praktis,

mudah, murah, sedikit kemungkinan untuk terjadi kontaminasi, dan menjalin

hubungan psikologis yang erat antara bayi dan ibu yang penting dalam

perkembangan psikologi anak tersebut. Beberapa sifat pada ASI yaitu

merupakan makanan alam atau natural, ideal, fisiologis, nutrien yang

diberikan selalu dalam keadaan segar dengan suhu yang optimal dan
22

mengandung nutrien yang lengkap dengan komposisi yang sesuai kebutuhan

pertumbuhan bayi.19,28

Selain ASI mengandung gizi yang cukup lengkap, ASI juga mengandung

antibodi atau zat kekebalan yang akan melindungi balita terhadap infeksi. Hal

ini yang menyebabkan balita yang diberi ASI, tidak rentan terhadap penyakit

dan dapat berperan langsung terhadap status gizi balita. Selain itu, ASI

disesuaikan dengan sistem pencernaan bayi sehingga zat gizi cepat terserap.

Berbeda dengan susu formula atau makanan tambahan yang diberikan secara

dini pada bayi. Susu formula sangat susah diserap usus bayi. Pada akhirnya,

bayi sulit buang air besar. Apabila pembuatan susu formula tidak steril, bayi

akan rawan diare.19

2.8. Diagnosis

Ditegakkan berdasarkan tanda dan gejala klinis serta pengukuran

antropometri. Anak didiagnosis gizi buruk apabila:29

 BB/TB < -3 SD atau <70% dari median (marasmus)

 Edema pada kedua punggung kaki sampai seluruh tubuh (kwashiorkor:

BB/TB >-3SD atau marasmik-kwashiorkor: BB/TB <-3SD

Jika BB/TB atau BB/PB tidak dapat diukur, gunakan tanda klinis berupa anak

tampak sangat kurus (visible severe wasting) dan tidak mempunyai jaringan lemak

bawah kulit terutama pada kedua bahu, lengan, pantat dan paha; tulang iga terlihat

jelas, dengan atau tanpa adanya edema.29

Anak-anak dengan BB/U < 60% belum tentu gizi buruk, karena mungkin

anak tersebut pendek, sehingga tidak terlihat sangat kurus. Anak seperti itu tidak
23

membutuhkan perawatan di rumah sakit, kecuali jika ditemukan penyakit lain yang

berat.29

Pada setiap anak gizi buruk lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis.

Anamnesis terdiri dari anamnesis awal dan anamnesis lanjutan.29

1. Anamnesis awal (untuk kedaruratan):

 Kejadian mata cekung yang baru saja muncul

 Lama dan frekuensi diare dan muntah serta tampilan dari bahan muntah

dan diare (encer/darah/lendir)

 Kapan terakhir berkemih

 Sejak kapan tangan dan kaki teraba dingin.

Bila didapatkan hal tersebut di atas, sangat mungkin anak mengalami

dehidrasi dan/atau syok, serta harus diatasi segera.

2. Anamnesis lanjutan (untuk mencari penyebab dan rencana tatalaksana

selanjutnya, dilakukan setelah kedaruratan ditangani):

 Diet (pola makan)/kebiasaan makan sebelum sakit

 Riwayat pemberian ASI

 Asupan makanan dan minuman yang dikonsumsi beberapa hari terakhir

 Hilangnya nafsu makan

 Kontak dengan pasien campak atau tuberkulosis paru

 Pernah sakit campak dalam 3 bulan terakhir

 Batuk kronik

 Kejadian dan penyebab kematian saudara kandung

 Berat badan lahir

 Riwayat tumbuh kembang: duduk, berdiri, bicara dan lain-lain


24

 Riwayat imunisasi

 Apakah ditimbang setiap bulan

 Lingkungan keluarga (untuk memahami latar belakang sosial anak)

 Diketahui atau tersangka infeksi HIV

3. Pemeriksaan fisis

 Apakah anak tampak sangat kurus, adakah edema pada kedua punggung

kaki. Tentukan status gizi dengan menggunakan BB/TB-PB.

 Tanda dehidrasi: tampak haus, mata cekung, turgor buruk (hati-hati

menentukan status dehidrasi pada gizi buruk).

 Adakah tanda syok (tangan dingin, capillary refill time yang lambat, nadi

lemah dan cepat), kesadaran menurun.

 Demam (suhu aksilar ≥ 37.5° C) atau hipotermi (suhu aksilar < 35.5° C).

 Frekuensi dan tipe pernapasan: pneumonia atau gagal jantung

 Sangat pucat

 Pembesaran hati dan ikterus

 Adakah perut kembung, bising usus melemah/meninggi, tanda asites,

atau adanya suara seperti pukulan pada permukaan air (abdominal

splash)

 Tanda defisiensi vitamin A pada mata:

— Konjungtiva atau kornea yang kering, bercak Bitot

— Ulkus kornea

— Keratomalasia

 Ulkus pada mulut

 Fokus infeksi: telinga, tenggorokan, paru, kulit


25

 Lesi kulit pada kwashiorkor:

— hipo- atau hiper-pigmentasi

— deskuamasi

— ulserasi (kaki, paha, genital, lipatan paha, belakang telinga)

— lesi eksudatif (menyerupai luka bakar), seringkali dengan infeksi

sekunder (termasuk jamur).

 Tampilan tinja (konsistensi, darah, lendir).

 Tanda dan gejala infeksi HIV.

2.9. Pemeriksaan Penunjang

- Kadar gula darah, darah tepi lengkap, urin lengkap, feses lengkap, elektrolit

serum, protein serum (albumin, globulin), feritin.

- Tes mantoux

- Radiologi (dada, AP dan Lateral)

- EKG30
26

2.10. Penatalaksanaan

Berikut ini adalah bagan langkah rencana pengobatan anak gizi buruk:4
27

Gambar 2. Langkah Rencana Pengobatan Anak Gizi Buruk4

Anak marasmus kwashiorkor berat memerlukan perawatan karena terdapat

berbagai komplikasi yang membahayakan hidupnya. Tindakan yang dilakukan

berdasarkan pada ada tidaknya tanda bahaya dan tanda penting, yang

dikelompokkan menjadi 5, yaitu:4

Kondisi I

Jika ditemukan: Renjatan (syok), letargis, muntah dan atau diare atau dehidrasi.

Lakukan Rencana I, dengan tindakan segera, yaitu:4

1. Pasang O2 1-2L/menit

2. Pasang infus Ringer Laktat dan Dextrosa / Glukosa 10% dengan

perbandingan 1:1 (RLG 5%)

3. Berikan glukosa 10% intravena (IV) bolus, dosis 5ml/kgBB bersamaan

dengan

4. ReSoMal 5ml/kgBB melalui NGT


28

Kondisi II

Jika ditemukan: letargis, muntah dan atau diare atau dehidrasi. Lakukan Rencana

II, dengan tindakan segera, yaitu:4

1. Berikan bolus glukosa 10 % intravena, 5ml/kgBB

2. Lanjutkan dengan glukosa atau larutan gula pasir 10% melalui NGT sebanyak

50ml

3. 2 jam pertama

 berikan ReSoMal secara Oral/NGT setiap 30 menit, dosis : 5ml/kgBB

setiap pemberian

 catat nadi, frekuensi nafas dan pemberian ReSoMal setiap 30 menit

Kondisi III

Jika ditemukan: muntah dan atau diare atau dehidrasi. Lakukan Rencana III, dengan

tindakan segera, yaitu:4

1. Berikan 50ml glukosa atau larutan gula pasir 10% (oral/NGT)

2. 2 Jam pertama

 berikan ReSoMal secara oral / NGT setiap 30 menit, dosis 5ml/kgBB

setiap pemberian

 catat nadi, frekuensi nafas dan beri ReSoMal setiap 30 menit

Kondisi IV

Jika ditemukan: letargis. Lakukan Rencana IV, dengan tindakan segera, yaitu:4

1. Berikan bolus glukosa 10% intravena, 5ml/kgBB

2. Lanjutkan dengan glukosa atau larutan gula pasir 10% melalui NGT sebanyak

50ml

3. 2 jam pertama
29

 berikan F 75 setiap 30 menit, . dari dosis untuk 2 jam sesuai dengan berat

badan (NGT)

 catat nadi, frekuensi nafas

Kondisi V

Jika tidak ditemukan: renjatan (syok), letargis, muntah dan atau diare atau

dehidrasi. Lakukan Rencana V, dengan tindakan segera, yaitu:4

1. Berikan 50ml glukosa atau larutan gula pasir 10% oral

2. Catat nadi, pernafasan dan kesadaran


30

Menurut Depkes RI pada pasien dengan gizi buruk dibagi dalam 4 fase yang

harus dilalui yaitu fase stabilisasi (Hari 1-7), fase transisi (Hari 8 – 14), fase

rehabilitasi (Minggu ke 3 – 6), fase tindak lanjut (Minggu ke 7 – 26). Dimana

tindakan pelayanan terdiri dari 10 tindakan pelayanan sbb:4

*) Pada fase tindak lanjut dapat dilakukan di rumah, dimana anak secara berkala (1

minggu/kali) berobat jalan ke Puskesmas atau Rumah Sakit

Gambar 3. 10 Langkah Utama Tatalaksana Anak Gizi Buruk 4


31

A. Prinsip Dasar Pengobatan Rutin Marasmus Kwashiorkor (10 Langkah

utama)

Langkah Ke-1: Pengobatan/Pencegahan Hipoglikemia

Hipoglikemia dan hipotermia biasanya terjadi bersama-sama, seringkali

sebagai tanda adanya infeksi. Periksa kadar gula darah bila ada hipotermia

(suhu ketiak <36C/suhu dubur <36C). Pemberian makanan yang sering

penting untuk mencegah kedua kondisi tersebut. 4,26

Bila kadar gula darah dibawah 50 mg/dl, berikan: 4,26

1. 50 ml ―bolus‖ (pemberian sekaligus) glukosa 10% atau larutan sukrosa

10% (1 sdt gula dalam 5 sdm air) secara oral atau pipa naso-gastrik.

2. Selanjutnya berikan larutan tsb. setiap 30 menit selama 2 jam (setiap kali

berikan ¼ bagian dari jatah untuk 2 jam).

3. Berikan antibiotika (lihat langkah 5).

4. Secepatnya berikan makan setiap 2 jam, siang dan malam (lihat langkah

6).

Pemantauan:

 Bila kadar glukosa darah rendah, ulangi pemeriksaan gula darah dengan

darah dari ujung jari atau tumit setelah 2 jam.

 Sekali diobati, kebanyakan anak akan stabil dalam 30 menit

 Bila gula darah turun lagi sampai <50 mg/dl, ulangi pemberian 50 ml

(bolus) larutan glukosa 10% atau sukrosa, dan teruskan pemberian setiap

30 menit sampai stabil.

 Ulangi pemeriksaan gula darah bila suhu aksila <36C dan/atau

kesadaran menurun.4,26
32

Pencegahan :

 Mulai segera pemberian makan setiap 2 jam (langkah 6), sesudah

dehidrasi yang ada dikoreksi.

 Selalu memberikan makanan sepanjang malam.4,26

Catatan :

Bila tidak dapat memeriksa kadar glukosa darah, anggaplah setiap anak KEP

berat/gizi buruk menderita hipoglikemia dan atasi segera dengan

ditatalaksana seperti tersebut di atas. 4,26

Langkah Ke-2: Pengobatan / Pencegahan Hipotermia

Bila suhu ketiak <36C :

Periksalah suhu dubur dengan menggunakan termometer suhu rendah.

Bila tidak tersedia termometer suhu rendah dan suhu anak sangat rendah pada

pemeriksaan dengan termometer biasa, anggap anak menderita hipotermia. 4,26

Bila suhu dubur <36C :

 Segera beri makanan cair/formula khusus (mulai dengan rehidrasi bila

perlu)

 Hangatkan anak dengan pakaian atau selimut sampai menutup kepala,

letakkan dekat lampu atau pemanas (jangan gunakan botol air panas) atau

peluk anak di dada ibu, selimuti (metoda kanguru).

 Berikan antibiotika (lihat langkah 5). 4,26

Pemantauan:

 Periksa suhu dubur setiap 2 jam sampai suhu mencapai >36,5C, bila

memakai pemanas ukur setiap 30 menit


33

 Pastikan anak selalu terbungkus selimut sepanjang waktu, terutama

malam hari

 Raba suhu anak

 Bila ada hipotermia, periksa kemungkinan hipoglikemia.4,26

Pencegahan:

 Segera beri makan / formula khusus setiap 2 jam (lihat langkah 6).

 Sepanjang malam selalu beri makan

 Selalu diselimuti dan hindari keadaan basah (baju, selimut, alas tempat

tidur)

 Hindari paparan langsung dengan udara (mandi atau pemeriksaan medis

terlalu lama).4,26

Langkah Ke-3: Pengobatan/Pencegahan Dehidrasi

Jangan menggunakan ―jalur intravena / i.v.‖ untuk rehidrasi kecuali pada

keadaan syok/renjatan. Lakukan pemberian cairan infus dengan hati-hati,

tetesan perlahan-lahan untuk menghindari beban sirkulasi dan jantung. (Lihat

penanganan kegawatan).4,26

Cairan rehidrasi oral standar WHO mengandung terlalu banyak natrium

dan kurang kalium untuk digunakan pada penderita KEP berat/gizi buruk.

Sebagai pengganti, berikan larutan garam/elektrolit khusus yaitu Resomal.

Tidaklah mudah untuk memperkirakan status dehidrasi pada KEP berat/gizi

buruk dengan menggunakan tanda-tanda klinis saja. Jadi, anggap semua anak

KEP berat/gizi buruk dengan diare encer mengalami dehidrasi sehingga harus

diberi:4,26
34

 Cairan Resomal / pengganti sebanyak 5 ml/KgBB setiap 30 menit selama

2 jam secara oral atau lewat pipa nasogastrik.

 Selanjutnya beri 5–10 ml/kg/jam untuk 4–10 jam berikutnya; jumlah

tepat yang harus diberikan tergantung berapa banyak anak

menginginkannya dan banyaknya kehilangan cairan melalui tinja dan

muntah.

 Ganti Resomal/cairan pengganti pada jam ke-6 dan ke-10 dengan

formula khusus sejumlah yang sama bila keadaan rehidrasi

menetap/stabil.

 Selanjutnya mulai beri formula khusus (langkah 6).

 Selama pengobatan, pernafasan cepat dan nadi lemah akan membaik dan

anak mulai kencing.

Pemantauan:

Lakukan penilaian atas kemajuan proses rehidrasi setiap ½-1 jam selama

2 jam pertama, kemudian setiap jam untuk 6-12 jam selanjutnya.dengan

memantau: denyut nadi, pernafasan, frekuensi kencing, frekwensi

diare/muntah.

Adanya air mata, mulut basah, kecekungan mata dan ubun-ubun besar

yang berkurang, perbaikan turgor kulit, merupakan tanda bahwa rehidrasi

telah berlangsung, tetapi pada KEP berat/gizi buruk perubahan ini seringkali

tidak terlihat, walaupun rehidrasi sudah tercapai. Pernafasan dan denyut nadi

yang cepat dan menetap selama rehidrasi menunjukkan adanya infeksi atau

kelebihan cairan.4,26
35

Tanda kelebihan cairan: frekwensi pernafasan dan nadi meningkat,

edema dan pembengkakan kelopak mata bertambah. Bila ada tanda-tanda

tersebut, hentikan segera pemberian cairan dan nilai kembali setelah 1 jam.

Pencegahan: 4,26

 Bila diare encer berlanjut:Teruskan pemberian formula khusus (langkah

6)

 Ganti cairan yang hilang dengan Resomal / pengganti (jumlah + sama)

 Sebagai pedoman, berikan Resomal/pengganti sebanyak 50-100 ml

setiap kali buang air besar cair

 Bila masih mendapat ASI, teruskan.

Langkah Ke-4: Koreksi Gangguan Keseimbangan Elektrolit

Pada semua KEP berat terjadi kelebihan natrium (Na) tubuh, walaupun

kadar Na plasma rendah. Defisiensi kalium (K) dan magnesium (Mg) sering

terjadi dan paling sedikit perlu 2 minggu untuk pemulihan.

Ketidakseimbangan elektrolit ini ikut berperan pada terjadinya edema (jangan

obati edema dengan pemberian diuretikum). 4,26

Berikan :

 Tambahan Kalium 2-4 mEq/kg BB/hari (= 150-300 mg KCl/kgBB/hari)

 Tambahkan Mg 0.3-0.6 mEq/kg BB/hari (= 7.5-15 mg MgCl2

/kgBB/hari)

 Untuk rehidrasi, berikan cairan rendah natrium (Resomal/pengganti)

 Siapkan makanan tanpa diberi garam/rendah garam.


36

Tambahan K dan Mg dapat disiapkan dalam bentuk larutan yang

ditambahkan langsung pada makanan. Penambahan 20 ml larutan tersebut

pada 1 liter formula, dapat memenuhi kebutuhan K dan Mg. (Lihat lampiran

6 untuk cara pembuatan larutan).4,26

Langkah Ke-5: Pengobatan Dan Pencegahan Infeksi

Pada KEP berat / gizi buruk, tanda yang biasanya menunjukkan adanya

infeksi seperti demam seringkali tidak tampak.Karenanya pada semua KEP

berat/gizi buruk beri secara rutin:4,26

 Antibiotik spektrum luas

 Vaksinasi Campak bila umur anak >6 bulan dan belum pernah

diimunisasi (tunda bila ada syok). Ulangi pemberian vaksin setelah

keadaan gizi anak menjadi baik.

Catatan: 4,26

Beberapa ahli memberikan metronidazol (7.5 mg/kg, setiap 8 jam selama

7 hari) sebagai tambahan pada antibiotik spektrum luas guna mempercepat

perbaikan mucosa usus dan mengurangi resiko kerusakan oksidatif dan

infeksi sistemik akibat pertumbuhan bakteri anaerobik dalam usus halus.

Pilihan antibiotik spektrum luas:

1. Bila tanpa komplikasi: Kotrimoksasol 5 ml suspensi pediatri secara oral,

2 x/hari selama 5 hari (2,5 ml bila berat badan < 4 Kg),Atau

2. Bila anak sakit berat (apatis, letargi) atau ada komplikasi (hipoglikemia:

hipotermia, infeksi kulit, saluran nafas atau saluran kencing), beri :


37

 Ampisilin 50 mg/kgBB/i.m./i.v. – setiap 6 jam selama 2 hari,

dilanjutkan dengan Amoksisilin secara oral 15 mg/KgBB setiap 8

jam selama 5 hari. Bila amoksisilin tidak ada, teruskan ampisilin 50

mg/kgBB setiap 6 jam secara oral. Dan

 Gentamicin 7.5 mg /Kg/BB/i.m./i.v. sekali sehari, selama 7 hari.

3. Bila dalam 48 jam tidak terdapat kemajuan klinis, tambahkan

kloramfenikol 25 mg/kg/BB/i.m./i.v. setiap 6 jam selama 5 hari.

4. Bila terdeteksi infeksi kuman yang spesifik, tambahkan antibiotik

spesifik yang sesuai. Tambahkan obat anti malaria bila pemeriksaan

darah untuk malaria positif.

5. Bila anoreksia menetap setelah 5 hari pengobatan antibiotik, lengkapi

pemberian hingga 10 hari.

6. Bila masih tetap ada, nilai kembali kadaan anak secara lengkap,

termasuk lokasi infeksi, kemungkinan adanya organisme yang resisten

serta apakah vitamin dan mineral telah diberikan dengan benar.

Langkah Ke-6: Mulai Pemberian Makanan

Pada awal fase stabilisasi, perlu pendekatan yang sangat berhati-nati

karena keadaan faali anak sangat lemah dan kapasitas homeostatik berkurang.

Pemberian makanan harus dimulai segera setelah anak dirawat dan dirancang

sedemikian rupa sehingga energi dan protein cukup untuk memenuhi

metabolisme basal.4,26
38

Prinsip pemberian nutrisi pada fase ini adalah : 4,26

 Porsi kecil tapi sering dengan formula laktosa rendah dan hipo/iso-

osmolar.

 Berikan secara oral/nasogastrik

 Energi : 80 – 100 kal/kgBB/hari

 Protein : 1 – 1.5 g/kgBB/hari

 Cairan : 130 ml/kgBB/hari (100 ml/kgBB/hari bila terdapat edema)

 Bila masih mendapat ASI, tetap diberikan tetapi setelah pemberian

formula.

Formula khusus seperti F-WHO 75 yang dianjurkan dan jadwal

pemberian makanan harus disusun sedemikian rupa agar dapat mencapai

prinsip tersebut di atas: (lihat tabel 2 halaman 24). Berikan formula dengan

cangkir/gelas. Bila anak terlalu lemah, berikan dengan sendok / pipet. 4,26

Pada anak dengan selera makan baik dan tanpa edema, jadwal pemberian

makanan pada fase stabilisasi ini dapat diselesaikan dalam 2-3 hari saja (1

hari untuk setiap tahap). Bila asupan makanan tidak mencapai dari 80

Kkal/kg BB/hari, berikan sisa formula melalui pipa nasogastrik. Jangan beri

makanan lebih 100 Kkal/kgBB/hari pada fase stabilisasi ini. 4,26

Pantau dan catat: Jumlah yang diberikan dan sisanya, Muntah, Frekwensi

buang air besar dan konsistensi tinja, BB (harian). 4,26

Selama fase stabilisasi, diare secara perlahan berkurang dan BB mulai

naik, tetapi pada penderita dengan edema BB-nya akan menurun dulu

bersamaan dengan menghilangnya edema, baru kemudian BB mulai naik. 4,23


39

Bila diare berlanjut atau memburuk walaupun pemberian nutrisi sudah

berhati-hati, lihat bab diare persisten.4,26

Langkah Ke-7: Fasilitasi Tumbuh Kejar

Pada masa rehabilitasi, dibutuhkan berbagai pendekatan secara gencar

agar tercapai masukan makanan yang tinggi dan pertambahan berat badan

50g/minggu. Awal fase rehabilitasi ditandai dengan timbulnya selera

makan, biasanya 1-2 minggu setelah dirawat. Transisi secara perlahan

dianjurkan untuk menghindari risiko gagal jantung dan intoleransi saluran

cerna yang dapat terjadi bila anak mengkonsumsi makanan dalam jumlah

banyak secara mendadak.4,26

Pada periode transisi, dianjurkan untuk merubah secara perlahan-lahan

dari formula khusus awal ke formula khusus lanjutan : 4,26

 Ganti formula khusus awal (energi 75 Kkal dan protein 0.9-1.0 g per 100

ml) dengan formula khusus lanjutan (energi 100 Kkal dan protein 2.9

gram per 100 ml) dalam jangka waktu 48 jam. Modifikasi

bubur/makanan keluarga dapat digunakan asalkan dengan kandungan

energi dan protein yang sama.

 Kemudian naikkan dengan 10 ml setiap kali, sampai hanya sedikit

formula tersisa, biasanya pada saat tercapai jumlah 30 ml/kgBB/kali

(=200 ml/kgBB/hari).

Pemantauan pada masa transisi: frekwensi nafas, frekwensi denyut nadi.

Bila terjadi peningkatan detak nafas >5x/menit dan denyut nadi >25x/menit
40

dalam pemantauan setiap 4 jam berturutan, kurangi volume pemberian

formula.Setelah normal kembali, ulangi menaikkan volume seperti di atas.

Setelah periode transisi dilampaui, anak diberi: 4,26

 Makanan/formula dengan jumlah tidak terbatas dan sering.

 Energi : 150-220 Kkal/kgBB/hari

 Protein 4-6 gram/kgBB/hari

 Bila anak masih mendapat ASI, teruskan, tetapi juga beri formula, karena

energi dan protein ASI tidak akan mencukupi untuk tumbuh-kejar.

Pemantauan setelah periode transisi : kemajuan dinilai berdasarkan

kecepatan pertambahan berat badan : timbang anak setiap pagi sebelum diberi

makan, evaluasi kenaikan BB setiap minggu. Bila kenaikan BB: 4,26

 kurang ( <50 g/minggu ), perlu re-evaluasi menyeluruh : cek apakah

asupan makanan mencapai target atau apakah infeksi telah dapat diatasi.

 baik (  50 g/minggu ), lanjutkan pemberian makanan

Langkah Ke-8: Koreksi Defisiensi Mikro Nutrien

Semua KEP berat menderita kekurangan vitamin dan mineral. Walaupun

anemia biasa dijumpai, jangan terburu-buru memberikan preparat besi (Fe),

tetapi tunggu sampai anak mau makan dan berat badannya mulai naik

(biasanya setelah minggu ke-2). Pemberian besi pada masa awal dapat

memperburuk keadaan infeksinya. Berikan setiap hari:4,26

 Suplementasi multivitamin

 Asam folat 1 mg/hari (5 mg pada hari pertama)

 Seng (Zn) 2 mg/kgBB/hari


41

 Tembaga (Cu) 0.2 mg/kgBB/hari

 Bila BB mulai naik : Fe 3 mg/kgBB/hari atau sulfas ferrosus 10

mg/kgBB/hari

 Vitamin A oral pada hari I : umur > 1 tahun : 200.000 SI, 6-12 bulan :

100.000 SI, < 6 bulan : 50.000 SI, kecuali bila dapat dipastikan anak

sudah mendapat suplementasi vitamin A pada 1 bulan terakhir. Bila ada

tanda / gejala defisiensi vitamin A, berikan vitamin dosis terapi.

Langkah Ke-9: Berikan Stimulasi Sensorik Dan Dukungan Emosional

Pada KEP berat terjadi keterlambatan perkembangan mental dan

perilaku, karenanya berikan:4,26

 Kasih sayang

 Lingkungan yang ceria

 Terapi bermain terstruktur selama 15 – 30 menit/hari

 Aktifitas fisik segera setelah sembuh

 Keterlibatan ibu (memberi makan, memandikan, bermain dsb).

Langkah Ke-10: Tindak Lanjut Di Rumah

Bila gejala klinis sudah tidak ada dan BB anak sudah mencapai 80%

BB/U, dapat dikatakan anak sembuh. Pola pemberian makan yang baik dan

stimulasi harus tetap dilanjutkan dirumah setelah penderita dipulangkan.

Peragakan kepada orangtua tentang pemberian makan yang sering dengan

kandungan energi dan nutrien yang padat dan terapi bermain terstruktur. 4,26
42

Nasehatkan kepada orang tua untuk :

 Melakukan kunjungan ulang setiap minggu, periksa secara teratur di

Puskesmas

 Pelayanan di PPG (lihat bagian pelayanan PPG) untuk memperoleh

PMT-Pemulihan selama 90 hari. Ikuti nasehat pemberian makanan (lihat

lampiran 5) dan berat badan anak selalu ditimbang setiap bulan secara

teratur di posyandu / puskesmas.

 pemberian makan yang sering dengan kandungan energi dan nutrien

yang padat

 penerapan terapi bermain dengan kelompok bermain atau Posyandu

 Pemberian suntikan imunisasi sesuai jadwal

Anjurkan pemberian kapsul vitamin A dosis tinggi (200.000 SI atau

100.000 SI) sesuai umur anak setiap Bulan Februari dan Agustus.

B. Pengobatan Penyakit Penyerta

1. Defisiensi vitamin A

Bila ada kelainan di mata, berikan vitamin A oral pada hari ke 1, 2

dan14 atau sebelum keluar rumah sakit bila terjadi memburuknya

keadaan klinis diberikan vitamin A dengan dosis:4,26

 umur > 1 tahun : 200.000 SI/kali

 umur 6 - 12 bulan : 100.000 SI/kali

 umur 0 - 5 bulan : 50.000 SI/kali

Bila ada ulkus dimata diberikan : tetes mata khloramfenikol atau

salep matatetrasiklin, setiap 2-3 jam selama 7-10 hari, teteskan tetes mata
43

atropin, 1 tetes 3 kalisehari selama 3-5 hari, tutup mata dengan kasa yang

dibasahi larutan garam faal.4,26

2. Dermatosis

Dermatosis ditandai adanya: hipo/hiperpigmentasi, deskuamasi

(kulit mengelupas), lesi ulcerasi eksudatif, menyerupai luka bakar, sering

disertai infeksisekunder, antara lain oleh Candida. 4,26

Tatalaksana :

a. kompres bagian kulit yang terkena dengan larutan KmnO4

(Kpermanganat) 1% selama 10 menit

b. beri salep atau krim (Zn dengan minyak kastor)

c. usahakan agar daerah perineum tetap kering

d. umumnya terdapat defisiensi seng (Zn) : beri preparat Zn peroral

3. Parasit / Cacing

Beri Mebendasol 100 mg oral, 2 kali sehari selama 3 hari, atau

preparat antihelmintik lain.4,26

4. Diare Melanjut

Diobati bila hanya diare berlanjut dan tidak ada perbaikan keadaan

umum. Berikan formula bebas/rendah lactosa. Sering kerusakan mukosa

usus dan giardiasis merupakan penyebab lain dari melanjutnya diare. Bila

mungkin, lakukan pemeriksaan tinja mikroskopik. Beri : Metronidasol

7.5 mg/kgBB setiap 8 jam selama 7 hari.4,26


44

5. Tuberkulosis

Pada setiap kasus gizi buruk, lakukan tes tuberculin / Mantoux

(sering kali anergi) dan Ro-foto toraks. Bila positif atau sangat mungkin

TB, diobati sesuai pedoman pengobatan TB.4,26

C. Kegagalan Pengobatan

Kegagalan pengobatan tercermin pada angka kematian dan kenaikan berat

badan:4,26

1. Tingginya angka kematian. Bila mortalitas >5%, perhatikan saat terjadi

kematian

 dalam 24 jam pertama: kemungkinan hipoglikemia, hipotermia,

sepsis yang terlambat atau tidak terdeteksi, atau proses rehidrasi

kurang tepat.

 dalam 72 jam: cek apakah volume formula terlalu banyak atau

pemilihan formula tidak tepat

 malam hari: kemungkinan terjadi hipotermia karena selimut kurang

memadai, tidak diberi makan, perubahan konsentrasi formula terlalu

cepat.

2. Kenaikan berat-badan tidak adekuat pada fase rehabilitasi. Penilaian

kenaikan BB:

Baik : 50 gram/kgBB/minggu

Kurang : <50 gram/kgBB/minggu.


45

Kemungkinan penyebab kenaikan BB <50 gram/kgBB/minggu antara

lain:

 pemberian makanan tidak adekuat

 defisiensi nutrien tertentu; vitamin, mineral

 infeksi yang tidak terdeteksi, sehingga tidak diobati.

 masalah psikologik.

D. Penanganan Pasien Pulang Sebelum Rehabilitasi Tuntas

Rehabilitasi dianggap lengkap dan anak siap dipulangkan bila gejala

klinis sudah menghilang, BB/U mencapai minimal 70% atau BB/TB

mencapai minimal 80%.4,26

Anak KEP berat yang pulang sebelum rehabilitasi tuntas, di rumah harus

diberi makanan tinggi energi (150 Kkal/kgBB/hari) dan tinggi protein (4-6

gram/kgBB/hari): 4,26

 beri anak makanan yang sesuai (energi dan protein) dengan porsi paling

sedikit 5 kali sehari

 beri makanan selingan di antara makanan utama

 upayakan makanan selalu dihabiskan

 beri suplementasi vitamin dan mineral/elektrolit

 teruskan ASI.
46

E. Tindakan Kegawatan

1. Syok (renjatan)

Syok karena dehidrasi atau sepsis sering menyertai KEP berat dan

sulit membedakan keduanya secara klinis saja. Syok karena dehidrasi

akan membaik dengan cepat pada pemberian cairanintravena, sedangkan

pada sepsis tanpa dehidrasi tidak. Hati-hati terhadap terjadinya

overhidrasi.4,26

Pedoman pemberian cairan :

a. Berikan larutan Dekstrosa 5% : NaCl 0.9% (1:1) atau larutan Ringer

dengan kadar dekstrosa 5% sebanyak 15 ml/KgBB dalam satu jam

pertama. Evaluasi setelah 1 jam.

b. Bila ada perbaikan klinis (kesadaran, frekuensi nadi dan pernapasan)

dan status hidrasi syok disebabkan dehidrasi. Ulangi pemberian

cairan seperti di atas untuk 1 jam berikutnya, kemudian lanjutkan

dengan pemberian Resomal / pengganti, peroral / nasogastrik, 10

ml/kgBB/jam selama 10 jam, selanjutnya mulai berikan formula

khusus (F-75 / pengganti).

c. Bila tidak ada perbaikan klinis anak menderita syok septik. Dalam

hal ini, berikan cairan rumat sebanyak 4 ml/kgBB/jam dan berikan

transfusi darah sebanyak 10 ml/kgBB secara perlahan-lahan (dalam

3 jam). Kemudian mulailah pemberian formula (F-75 / pengganti)


47

2. Anemia berat

Transfusi darah diperlukan bila: Hb < 4 g/dl, atau Hb 4-6 g/dl disertai

distress pernapasan atau tanda gagal jantung. Transfusi darah : 4,26

 Berikan darah segar 10 ml/kgBB dalam 3 jam.

 Bila ada tanda gagal jantung, gunakan packed red cells untuk

transfusi dengan jumlah yang sama.

 Beri furosemid 1 mg/kgBB secara i.v pada saat transfusi dimulai.

Perhatikan adanya reaksi transfusi (demam, gatal, Hb-uria, syok).

Bila pada anak dengan distres napas setelah transfusi Hb tetap < 4

g/dl atau antara 4-6 g/dl, jangan diulangi pemberian darah.

2.11. Komplikasi

Keadaan malnutrisi marasmus dapat menyebabkan anak mendapatkan

penyakit penyerta yang terkadang tidak ringan apabila penatalaksanaan marasmus

tidak segera dilakukan. Beberapa keadaan tersebut ialah:1,31

1. Noma

Noma merupakan penyakit yang kadang-kadang menyertai malnutrisi tipe

marasmus-kwashiokor. Noma atau stomatitis gangraenosa merupakan pembusukan

mukosa mulut yang bersifat progresif sehingga dapat menembus pipi. Noma terjadi

pada malnutrisi berat karena adanya penurunan daya tahan tubuh. Penyakit ini

mempunyai bau yang khas dan tercium dari jarak beberapa meter. Noma dapat

sembuh tetapi menimbulkan bekas luka yang tidak dapat hilang seperti lenyapnya

hidung atau tidak dapat menutupnya mata karena proses fibrosis.


48

2. Xeroftalmia

Penyakit ini sering ditemukan pada malnutrisi yang berat terutama pada tipe

marasmus-kwashiokor. Pada kasus malnutrisi ini vitamin A serum sangat rendah

sehingga dapat menyebabkan kebutaan. Oleh sebab itu setiap anak dengan

malnutrisi sebaiknya diberikan vitamin A baik secara parenteral maupun oral,

ditambah dengan diet yang cukup mengandung vitamin A.

3. Tuberkulosis

Pada anak dengan keadaan malnutrisi berat, akan terjadi penurunan kekebalan

tubuh yang akan berdampak mudahnya terinfeksi kuman. Salah satunya adalah

mudahnya anak dengan malnutrisi berat terinfeksi kuman mycobacterium

tuberculosis yang menyebabkan penyakit tuberkulosis.

4. Sirosis hepatis

Sirosis hepatis terjadi karena timbulnya perlemakan dan penimbunan lemak

pada saluran portal hingga seluruh parenkim hepar tertimbun lemak. Penimbunan

lemak ini juga disertai adanya infeksi pada hepar seperti hepatitis yang

menimbulkan penyakit sirosis hepatis pada anak dengan malnutrisi berat.

5. Hipotermia

Hipotermia merupakan komplikasi serius pada malnutrisi berat tipe

marasmus. Hipotermia terjadi karena tubuh tidak menghasilkan energi yang akan

diubah menjadi energi panas sesuai yang dibutuhkan oleh tubuh. Selain itu lemak

subkutan yang tipis bahkan menghilang akan menyebabkan suhu lingkungan sangat

mempengaruhi suhu tubuh penderita.


49

6. Hipoglikemia

Hipoglikemia dapat terjadi pada hari-hari pertama perawatan anak dengan

malnutrisi berat. Kadar gula darah yang sangat rendah ini sangat mempengaruhi

tingkat kesadaran anak dengan malnutrisi berat sehingga dapat membahayakan

penderitanya.

7. Infeksi traktus urinarius

Infeksi traktus urinarius merupakan infeksi yang sering terjadi pada anak

bergantung kepada tingkat kekebalan tubuh anak. Anak dengan malnutrisi berat

mempunyai daya tahan tubuh yang sangat menurun sehingga dapat mempermudah

terjadinya infeksi tersebut.

8. Penurunan kecerdasan

Pada anak dengan malnutrisi berat, akan terjadi penurunan perkembangan

organ tubuhnya. Organ penting yang paling terkena pengaruh salah satunya ialah

otak. Otak akan terhambat perkembangannya yang diakibatkan karena kurangnya

asupan nutrisi untuk pembentukan sel-sel neuron otak. Keadaan ini akan

berpengaruh pada kecerdasan seorang anak yang membuat fungsi afektif dan

kognitif menurun, terutama dalam hal daya tangkap, analisa, dan memori.

2.12. Pencegahan

Malnutrisi energi protein merupakan masalah gizi yang multifaktorial.

Tindakan pencegahan bertujuan untuk mengurangi insidens dan menurunkan angka

kematian. Oleh karena ada beberapa faktor yang menjadi penyebab timbulnya

masalah tersebut, maka untuk mencegahnya dapat dilakukan beberapa langkah,

antara lain:30
50

- Pola makan

Penyuluhan pada masyarakat mengenai gizi seimbang (perbandingan jumlah

karbohidrat, lemak, protein, vitamin dan mineral berdasarkan umur dan berat

badan)

- Pemantauan tumbuh kembang dan penentuan status gizi secara berkala

(sebulan sekali pada tahun pertama)

- Faktor sosial

Mencari kemungkinan adanya pantangan untuk menggunakan bahan

makanan tertentu yang sudah berlangsung secara turun-temurun dan dapat

menyebabkan terjadinya MEP.

- Faktor ekonomi

Dalam World Food Conference di Roma tahun 1974 telah dikemukakan

bahwa meningkatnya jumlah penduduk yang cepat tanpa diimbangi dengan

bertambahnya persediaan bahan makanan setempat yang memadai merupakan

sebab utama krisis pangan, sedangkan kemiskinan penduduk merupakan akibat

lanjutannya. Ditekankan pula perlunya bahan makanan yang bergizi baik di

samping kuantitasnya.

- Faktor infeksi

Telah lama diketahui adanya interaksi sinergis antara MEP dan infeksi.

Infeksi derajat apapun dapat memperburuk keadaan status gizi. MEP, walaupun

dalam derajat ringan, menurunkan daya tahan tubuh terhadap infeksi.


51

2.13. Prognosis

Prognosis pada penyakit ini buruk karena banyak menyebabkan kematian dari

penderitanya akibat infeksi yang menyertai penyakit tersebut, tetapi prognosisnya

dapat dikatakan baik apabila malnutrisi tipe marasmus ini ditangani secara cepat

dan tepat. Kematian dapat dihindarkan apabila dehidrasi berat dan penyakit infeksi

kronis lain seperti tuberkulosis atau hepatitis yang menyebabkan terjadinya sirosis

hepatis dapat dihindari. Pada anak yang mendapatkan malnutrisi pada usia yang

lebih muda, akan terjadi penurunan tingkat kecerdasan yang lebih besar dan

irreversibel dibanding dengan anak yang mendapat keadaan malnutrisi pada usia

yang lebih dewasa. Hal ini berbanding terbalik dengan psikomotor anak yang

mendapat penanganan malnutrisi lebih cepat menurut umurnya, anak yang lebih

muda saat mendapat perbaikan keadaan gizinya akan cenderung mendapatkan

kesembuhan psikomotornya lebih sempurna dibandingkan dengan anak yang lebih

tua, sekalipun telah mendapatkan penanganan yang sama. Hanya saja pertumbuhan

dan perkembangan anak yang pernah mengalami kondisi marasmus ini cenderung

lebih lambat, terutama terlihat jelas dalam hal pertumbuhan tinggi badan anak dan

pertambahan berat anak, walaupun jika dilihat secara ratio berat dan tinggi anak

berada dalam batas yang normal.1,3,17


BAB III

KESIMPULAN

Gizi buruk masih merupakan masalah kesehatan utama di banyak negara di

dunia, terutama di negara-negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia.

Salah satu klasifikasi dari gizi buruk adalah tipe marasmus-kwashiorkor, yang

diakibatkan defisiensi protein berat dan pemasukan kalori yang sedikit atau tidak

cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi.

Manifestasi klinis marasmus-kwashiorkor yang sering ditemui antara lain

hambatan pertumbuhan, hilangnya jaringan lemak bawah kulit, atrofi otot,

perubahan tekstur dan warna rambut, kulit kering dan memperlihatkan alur yang

tegas dalam, pembesaran hati, anemia, anoreksia, edema, dan lain-lain. Diagnosis

marasmus-kwashiorkor ditegakkan dari anamnesis yang terdiri dari anamnesis awal

dan anamnesis lanjutan, dan pemeriksaan fisik.

Pengobatan marasmus adalah dengan pemberian diet tinggi protein,

sedangkan pada malnutrisi tipe kwashiokor terutama dengan pemberian diet tinggi

protein disertai pemberian cairan untuk menanggulangi dehidrasi jika ada.

Penatalaksanaannya dilakukan secara bersama-sama dengan memperbaiki keadaan

gizinya. Walaupun prognosisnya terlihat buruk tetapi dengan penanganan yang

cepat dan tepat dapat menghindarkan penderitanya dari kematian.

52
DAFTAR PUSTAKA

1. Pudjiadi Solihin. Penyakit KEP (Kurang Energi dan Protein) dari Ilmu Gizi

Klinis pada Anak edisi keempat, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,

Jakarta, 2005 : 95-137

2. Nurhayati, soetjiningsih, Suandi IKG. Relationship Between Protein Energy

Malnutrition and Social Maturity in Children Aged 1-2 Years in Paediatrica

Indonesiana, 42th volume, December, 2002 : 261-266

3. Departement of Child and Adolescent Health and Development. Severe

Malnutrition in Management of The Child With a Serious Infection or Severe

Malnutrition, World Health Organization, 2004 : 80-91

4. Departemen Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Bina

Kesehatan Masyarakat Direktorat Bina Gizi Masyarakat. Buku Bagan

Tatalaksana Anak Gizi Buruk. Departemen Kesehatan RI, 2007.

5. Kementerian Kesehatan RI. Standar Antropometri Penilaian Status Gizi

Anak.Jakarta: Direktorat Bina Gizi; 2011.

6. Almatsier S. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama; 2001.

7. Departemen Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Bina

Kesehatan Masyarakat Direktorat Bina Gizi Masyarakat. Sistem Kewaspadaan

Dini (SKD) KLB-Gizi Buruk. Departemen Kesehatan RI, 2008.

8. Pusat Data dan Informasi Departemen Kesehatan RI. Glosarium Data dan

Informasi Kesehatan. Departemen Kesehatan RI. 2006.

9. World Health Organization. Malnutrition Statistics. 2015.


10. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia Tahun

2014. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2014.

11. Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan. Profil Kesehatan Provinsi

Sulawesi Selatan Tahun 2014. 2014.

12. Brunser Oscar. Protein Energy Malnutrition : Marasmus in Clinical Nutrition

of the Young Child, Raven Press, New York, 1985 : 121-154

13. Heird, WC. Food Insecurity, Hunger, and Undernutrition In Nelson Textbook

of Pediatrics, 19th ed. P. 167-73. Philadelphia: Sauders Elsevier.

14. Shetty, P. Malnutrition and Undernutrition. Medicine, 2006. 34:524-29.

15. Pudjiadi, S. Penyakit KEP (Kurang Energi Protein). Dalam Ilmu Gizi Klinis

pada Anak. Edisi 4 2000. Hal 97-190.

16. Hay WW, MJ Levin, JM sondheimer, RR Deterding. Normal Childhood

Nutrition and its Disorders in Current Diagnosis & Treatment in Pediatrics 18 th

edition, 2005 : 283-311

17. Behrman RE, RM Kliegman, HB Jenson. Food Insecurity, Hunger, and

Undernutrition in Nelson Textbook of Pediatric 18th edition, 2004 : 225-232

18. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FK Universitas Indonesia. Buku Kuliah

Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta:Infomedika;2007.

19. Soekirman. Ilmu Gizi dan Aplikasinya untuk Keluarga dan Masyarakat.

Jakarta:EGC;2000.

20. Notoatmodjo S. Prinsip-Prinsip Dasar Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta :

Rineka Cipta; 2003.

21. Departemen Kesehatan RI.Analisis Situasi dan Kesehatan Masyarakat.

Jakarta:Depkes RI;2004.
22. Kosim, Sholeh M. Buku Ajar Neonatologi Edisi I. Jakarta: Badan Penerbit

IDAI;2008.

23. Tim Paket Pelatihan Klinik PONED. Buku Acuan Pelayanan Obstetri dan

Neonatal Emergensi Dasar (PONED). Jakarta:EGC;2008.

24. Hidayat AAA. Pengantar Ilmu Kesehatan Anak untuk Pendidikan Kebidanan.

Jakarta:Salemba Medika;2008.

25. Taruna J.Hubungan Status Ekonomi Keluarga dengan Terjadinya Kasus Gizi

Buruk pada Anak Balita di Kabupaten Kampar Provinsi Riau Tahun 2002

[karya tulis ilmiah]. Jakarta:Universitas indonesia;2002.

26. World Health Organisation. Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit.

Jakarta: WHO Indonesia ; 2009.

27. Kliegman R.Nelson Textbook of Pediatrics. USA: Saunders Elsevier;2007.

28. Walker,Allan.Pediatric Gastrointertinal Disease.USA:DC Decker;2004.

29. World Health Organization. Gizi Buruk. Dalam Buku Saku Pelayanan

Kesehatan Anak di Rumah Sakit. 2009.

30. Indonesia, I.D.A., 2009. Pedoman Pelayanan Medis Jilid II.

31. Rosli AW, Rauf S, Lisal JS, Albar H. Relationship Between Protein Energy

Malnutrition and Urinary Tract Infectiont in Children in Paediatrica

Indonesiana, 48th volume, May, 2008 : 166-169

Anda mungkin juga menyukai