Anda di halaman 1dari 35

HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN POLA ASUH DENGAN

KEJADIAN STUNTING PADA BADUTA (ANAK USIA DI BAWAH 2


TAHUN) DI UPT PUSKESMAS SAIGON PONTIANAK TIMUR PADA
MASA PANDEMI COVID-19

PROPOSAL PENELITIAN

Oleh:

Iva Anggreini Putri

NIM: 821181006

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

YAYASAN RUMAH SAKIT ISLAM (YARSI) PONTIANAK

2022
Diterima dan disetujui untuk dipertahankan proposal penelitian dengan judul:
Hubungan Pengetahuan Dan Pola Asuh Dengan Kejadian Stunting Pada
Baduta (Anak Usia Di Bawah 2 Tahun) Di UPT Puskesmas Saigon
Pontianak Timur Pada Masa Pandemi Covid-19

Pembimbing I

NIDN.

Pembimbing II

NIDN.

i
DAFTAR ISI

Lembaran Persetujuan...........................................................................................i
Daftar Isi.................................................................................................................ii
Daftar Tabel..........................................................................................................iii
Daftar Skema.........................................................................................................iv
Daftar Lampiran....................................................................................................v
Kata Pengantar.....................................................................................................vi

BAB I : PENDAHULUAN....................................................................................1
A. Latar Belakang................................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah............................................................................................ 4
C. Tujuan Penelitian............................................................................................. 4
D. Manfaat Penelitian........................................................................................... 5
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................6
A. Konsep Dasar Stunting.................................................................................... 6
B. Konsep Baduta............................................................................................... 15
C. Konsep Pengetahuan...................................................................................... 21
D. Konsep Pola Asuh.......................................................................................... 25
E. Kerangka Teori............................................................................................... 26

ii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Status gizi bayi-balita berdasarkan indeks antropometri ……..... 20

iii
DAFTAR SKEMA
Skema 2.1 Kerangka Teori ……………………………………….………….. 29

iv
KATA PENGANTAR
Segala puji hanyalah milik Allah SWT, Tuhan pemilik alam semesta serta
dengan limpahan rahmat dan hidayahnya yang telah memberikan kesehatan dan
keselamatan sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan penelitian ini
dengan judul "Hubungan Pengetahuan Dan Pola Asuh Dengan Kejadian
Stunting Pada Baduta (Anak Usia Di Bawah 2 Tahun) Di UPT Puskesmas
Saigon Pontianak Timur Pada Masa Pandemi Covid-19" sebagai syarat dalam
menyelesaikan perkuliahan di kampus STIKes YARSI Pontianak.

Shalawat serta salam saya ucapkan kepada baginda Rasulullah SAW,


sebagai suri tauladan kita semua. Penulis sampaikan ucapan terima kasih kepada
orang-orang yang telah memberikan bantuan, dukungan serta kritik dan saran
kepada penulis. Semoga Allah SWT, senantiasa membimbing kita dalam usaha
serta niat dalam rangka menjadi hamba yang berlomba-lomba dalam kebaikan.

v
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Stunting adalah tinggi badan anak yang kurang dari normal jika
dibandingkan berdasarkan usia dan jenis kelamin. Pemeriksaan tinggi badan
merupakan salah satu pemeriksaan antropometri untuk mengetahui status gizi
anak. Stunting terjadi bila anak mengalami status gizi buruk (malnutrisi)
dalam waktu lama (kronis). Grafik pertumbuhan dengan standar global
digunakan untuk memantau status gizi anak. Diagnosis stunting ditegakkan
dengan membandingkan z-score tinggi badan per umur berdasarkan standar.
Indonesia menggunakan standar grafik pertumbuhan yang ditetapkan oleh
WHO pada tahun 2005 dalam menegakkan diagnosis stunting (Oktaviani,
Wiwik., et al. 2022: 3).
Balita dengan stunting merupakan masalah yang paling sering terjadi di
beberapa negara di dunia. Tercatat jumlah angka stunting di dunia sebanyak
149,2 juta (UNICEF, WHO, & World Bank Group, 2021:1). Lebih dari
separuh anak balita berasal dari Asia (55%) (UNICEF, WHO, & World Bank
Group, 2018: 3).
Berdasarkan hasil SSGI (Survei Studi Status Gizi Indonesia), Prevalensi
baduta pendek di Indonesia tahun 2019 sebesar 27,7%. Angka ini mengalami
penurunan 3,3% pada tahun 2021 menjadi 24,4% (Kementerian Kesehatan
RI,. 2021). Berdasarkan angka stunting yang di kumpulkan oleh Dinas
Kesehatan Kota Pontianak, Kalimantan Barat merupakan provinsi yang
menempati urutan ketujuh dengan prevalensi stunting sebesar 27,7% pada
balita. Prevalensi stunting di Kota Pontianak sebesar 353 baduta (11,4%).
Sedangkan jika dilihat menurut kecamatan, kejadian tertinggi adalah
Kabupaten Pontianak Utara dengan 68 baduta (15,18%), sedangkan
Pontianak Timur menempati urutan kedua tertinggi yaitu 100 baduta
(12,84%) (Survei PSG Kota Pontianak, 2021).

1
Stunting pada balita hingga saat ini masih menjadi proritas pemerintah,
meskipun angka kejadian stunting tergolong rendah bahkan setiap tahunnya
mengalami penurunan namun untuk memperlihatkan kepada pembaca bahwa
stunting ini masih sangat penting dan perlu untuk di atasi, bahkan stunting ini
sangat berpotensi mengganggu SDM (Sumber Daya Manusia) dan
berhubungan dengan tingkat kesehatan, bahkan kematian anak (Bkkbn,
2021).
Salah satu faktor risiko yang mempunyai pengaruh signifikan terjadinya
stunting adalah kurangnya pengetahuan Ibu (Tanzil & Hafriani, 2021).
Banyaknya kasus stunting tidak lain akibat dari tingkat pengetahuan orang tua
yang kurang memahami tentang stunting. Orang tua khususnya ibu
mempunyai peranan yang sangat penting dalam proses tumbuh kembang
anak, terutama dalam pemenuhan kebutuhan gizi anak sehingga anak bisa
tumbuh dengan baik dan terhindar dari gizi buruk serta stunting
(Muzayyaroh, 2021). Diantaranya pengetahuan ibu yang kurang mengenai
stunting ialah pengertian, penyebab, faktor predisposisi, pencegahan, dampak,
indikator pengawasan stunting dan jenis asupan gizi yang optimal pada bayi
dan balita untuk tumbuh kembang balita (Muliawati & Sulistyawati, 2016).
Pola Asuh adalah pernyataan mendasar dan terpenting dalam
menyiapkan anak untuk menjadi masyarakat yang baik serta dalam
pemenuhan kebutuhan fisik, kebutuhan psikologis, dan sosialisasi norma-
norma yang berlaku di masyarakat agar anak dapat hidup selaras dengan
lingkungannya (Anjaswarni, dkk,. 2019: 72). Tingkat pengetahuan ibu yang
kurang berpengaruh terhadap pola asuh Ibu dalam pemilihan makanan
(Ramdhani, Handayani & Setiawan, 2020). Oleh karena itu, peran dan pola
asuh orang tua sangat memegang peranan penting dalam upaya peningkatan
status gizi khususnya bagi balita untuk mencegah stunting (Saleh. A. Dkk..
2021). Macam-macam peranan pola asuh Ibu menurut (Aidah, Nur, S,. 2020:
7) yaitu, pola asuh permisif, oteriter, autoritatif dan demokratif.
Untuk itu, salah satu upaya penanggulangan stunting di Indonesia selama
ini menjadi tanggung jawab kita bersama, tidak hanya pemerintah tetapi juga

2
setiap keluarga di Indonesia. Karena stunting dalam jangka panjang
berdampak buruk tidak hanya pada pertumbuhan dan perkembangan anak
tetapi juga pada perkembangan emosional yang mengakibatkan kerugian
ekonomi. Mulai dari pemenuhan nutrisi yang baik untuk 1000 hari pertama
kehidupan anak hingga menjaga kebersihan dan kesehatan lingkungan
(WartaKesmas, 2018:5). Oleh sebab itu salah satu pedoman yang akan
membantu puskesmas dalam memaksimalkan pelayanan gizi spesifik adalah
pedoman manajemen pelayanan gizi di puskesmas untuk percepatan
penurunan stunting di Indonesia. Dinas kesehatan kabupaten/kota juga
diharapkan dapat melakukan proses monitoring dan evaluasi serta suvervisi
melalui laporan bulanan dan kunjungan puskesmas untuk melakukan umpan
balik dan pembinaan (KemenKes, 2021).
Hasil studi pendahuluan di UPT Puskesmas Saigon Pontianak Timur
dengan melakukan pada salah satu petugas kesehatan, di dapatkan data bahwa
yang mengalami stunting tergolong banyak pada usia baduta. Hasil
kunjungan ke Puskesmas, ditemukan 6 Ibu yang mempunyai masing-masing
baduta dengan stunting. 3 orang Ibu mengatakan kurang mengetahui
mengenai stunting dan mengatakan stunting adalah penyakit keturunan.
Kemudian 3 orang Ibu lainnya mengatakan mengetahui stunting akan tetapi
tidak mengetahui salah satu pencetus terjadinya stunting adalah pola asuh
yang buruk dan berdasarkan observasi peneliti secara langsung, Ibu
mengatakan jika berada di rumah jarang berinteraksi dengan anaknya karena
sibuk dengan pekerjaan rumah sehingga anak dibebaskan untuk bermain
game dan menonton televisi. Berdasarkan fenomena di atas, maka peneliti
tertarik untuk mengetahui apakah terdapat “Hubungan Pengetahuan Dan Pola
Asuh Dengan Kejadian Stunting Pada Baduta (Anak Usia Di Bawah 2 Tahun)
Di UPT Puskesmas Saigon Pontianak Timur Pada Masa Pandemi Covid-19”.
Hal ini sejalan dengan upaya pemerintah untuk mencapai target
pengendalian stunting pada masa pandemi covid-19 khususnya di UPT
Puskesmas Saigon 2021 yaitu dengan meningkatkan penyuluhan mengenai
ASI eksklusif yang lebih intens dan dapat terpantau dengan baik, sosialisasi

3
tentang Pedoman Pemberian Makan Bayi dan Anak (PMBA) yang ditujukan
kepada kedua orang tua balita, petugas kesehatan dan kader. Upaya
meningkatkan penyelenggaraan kelas ibu hamil merupakan salah satu faktor
dalam memahami pentingnya pemberian ASI eksklusif (Dinas Kesehatan
Kota Pontianak, 2021). Oleh karena itu, pengetahuan dan peran orang tua
sangat penting dalam mengasuh, merawat, dan mengasah anak selama proses
tumbuh kembang, khususnya ibu (Nurlinda, dkk. 2021: 9). berbagai
penelitian juga mengatakan bahwa tingkat pendidikan dan pengetahuan
merupakan hal yang sangat berpengaruh terhadap terjadinya stunting pada
anak (Utami, Setiawan, Fitriyani, 2019).

B. Rumusan Masalah
Dengan kurangnya pengetahuan dan pola asuh orang tua tentang
stunting, ibu yang memiliki balita tidak merasa rentan, karena ibu yang
memiliki baduta tidak mengetahui bahwa stunting dapat berdampak negatif
bagi kesehatan anaknya. Oleh karena itu peneliti ingin melihat apakah ada
hubungan antara tingkat pengetahuan dan pola asuh dengan kejadian stunting
pada anak dibawah 2 tahun di UPT Puskesmas Saigon Pontianak Timur pada
masa pandemi covid-19.

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui “hubungan
pengetahuan dan pola asuh dengan kejadian stunting pada baduta (anak usia
di bawah 2 tahun) di UPT Puskesmas Saigon Pontianak Timur pada masa
pandemi covid-19.
2. Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi karakteristik responden meliputi usia, pendidikan dan
pekerjaan, tentang pengetahuan dan pola asuh dengan kejadian stunting
pada baduta (anak usia di bawah 2 tahun) di UPT Puskesmas Saigon
Pontianak Timur pada masa pandemi covid-19.

4
b. Menganalisis hubungan pengetahuan dengan kejadian stunting pada
baduta (anak usia di bawah 2 tahun) di UPT Puskesmas Saigon Pontianak
Timur pada masa pandemi covid-19.
c. Menganalisis hubungan pola asuh dengan kejadian stunting pada baduta
(anak usia di bawah 2 tahun) di UPT Puskesmas Saigon Pontianak Timur
pada masa pandemi covid-19.

D. Manfaat Penelitian
1. Bagi institusi Pendidikan
Sebagai bahan tambahan literatur yang dapat menjadi suatu bacaan bagi
institusi STIKes Yarsi Pontianak. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat
meningkatkan pengetahuan mahasiswa tentang hubungan pengetahuan dan
pola asuh dengan kejadian stunting pada baduta (anak usia di bawah 2
tahun) di UPT Puskesmas Saigon Pontianak Timur pada masa pandemi
covid-19.
2. Bagi masyarakat
Dapat mengetahui dampak stunting terhadap tumbuh kembang anak usia
baduta dan melakukan pencegahan terjadinya stunting.
3. Bagi peneliti
Hasil penelitian ini dapat menambah pengetahuan dan pemahaman
mengenai hubungan pengetahuan dan pola asuh dengan kejadian stunting
pada usia baduta serta menjadi dasar untuk penelitian selanjutnya.
4. Bagi Puskesmas
Untuk menambah informasi tentang hubungan pengetahuan dan pola asuh
dengan kejadian stunting pada baduta (anak usia di bawah 2 tahun) di UPT
Puskesmas Saigon Pontianak Timur pada masa pandemi covid-19.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Stunting


1. Definisi Stunting
Istilah stunting atau kerdil atau pendek, mengacu pada gangguan
pertumbuhan linear yang disebabkan oleh kekurangan gizi kronis. Menurut
standar World Health Organization (WHO), seorang anak dinyatakan
stunting jika tinggi badan atau panjang badan menurut umur (HAZ-score)
setidaknya dua standar deviasi (SD) di bawah nilai median Standart
Pertumbuhan Anak WHO. Stunting atau pertumbuhan terhambat, adalah
hasil dari kekurangan gizi dalam waktu yang lama (Patimah, Sitti,. 2021: 1).
Stunting adalah sebuah kondisi dimana tinggi badan seseorang lebih
pendek dibanding tinggi badan orang lain pada umumnya (yang seusia)
(Saadah, Nurlailis,. 2020: 2).
Stunting merupakan luaran status gizi yang terjadi apabila seorang
anak memiliki tinggi atau panjang badan kurang dari -2.0 standar deviasi
(SD) dibandingkan dengan rerata populasi. Status gizi stunting dihitung
dengan membandingkan tinggi atau panjang badan menurut umur balita,
sesuai dengan grafik z-score Badan Kesehatan Dunia (WHO) (Helmyati,
Siti, Dkk,. 2020: 1).

2. Klasifikasi Stunting
Berikut ini merupakan klasifikasi stunting menurut (Pusatdatin, 2019:
14-15) yaitu:
a. Klasifikasi stunting berdasarkan indikator tinggi badan per-umur (TB/U):
1) Sangat pendek: Zscore < - 3,01
2) Pendek: ZScore < - 2,0 s.d 2-3,0
3) Normal: Z score 2-2,0

6
b. Dibawah ini klasifikasi status gizi stunting berdasarkan tinggi
badan/umur (TB/U) dan tinggi badan/ berat badan (TB/BB):
1) Pendek-kurus: Z score TB/U < - 2,0 dan Z score: BB/TB< - 2,0
2) Pendek-normal: Z score TB/U < - 2,0 dan Z score BB/TB antara -2,0
s.d 2,01
3) Pendek-gemuk: Z score 2-2,0 s.d Z score ≤ 2,0

3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Stunting


Beberapa faktor yang terkait dengan kejadian Stunting
berhubungan. dengan berbagai macam faktor yaitu:
a. Pendidikan Orangtua
Pendidikan dapat dipandang dalam arti luas dan teknis. Dalam
arti luas pendidikan menunjuk pada suatu tindakan atau pengalaman
yang mempunyai pengaruh yang berhubungan dengan pertumbuhan
atau perkembangan jiwa, watak, atau kemampuan fisik individu.
Dalam arti teknis, pendidikan adalah proses dimana masyarakat
melalui lembaga lembaga pendidikan (sekolah, perguruan tinggi atau
lembaga lainnya) dengan keterampilan-keterampilan, dan generasi-
generasi (Yuliana & Hakim,. 2019: 3).
Tingkat pendidikan mempengaruhi pola konsumsi makan
melalui cara pemilihan bahan makanan dalam hal kualitas dan
kuantitas. Pendidikan orang tua terutama ayah memiliki hubungan
timbal balik dengan pekerjaan. Pendidikan ayah merupakan faktor
yang mempengaruhi harta rumah tangga dan komoditi pasar yang
dikonsumsi karena dapat mempengaruhi sikap dan kecenderungan
dalam memilih bahan-bahan konsumsi. Sedangkan pendidikan ibu
mempengaruhi status gizi anak, dimana semakin tinggi pendidikan ibu
maka akan semakin baik pula status gizi anak. Tingkat pendidikan
juga berkaitan dengan pengetahuan gizi yang dimiliki, dimana
semakin tinggi pendidikan ibu maka semakin baik pula pemahaman
dalam memilih bahan makanan (Yuliana & Hakim,. 2019: 3).

7
b. Tingkat pengetahuan
Pengetahuan yang baik akan menciptakan sikap yang baik, yang
selanjutnya apabila sikap tersebut dinilai sesuai, maka akan muncul
perilaku yang baik pula. Pengetahuan sendiri didapatkan dari
informasi baik yang didapatkan dari pendidikan formal maupun dari
media (non formal), seperti radio, TV, internet, koran, majalah, dll.
Tingkat pengetahuan ibu terhadap kesehatan menjadi factor tidak
langsung yang berpengaruh pada kondisi pertumbuhan balita (Ni’mah
& Muniroh,. 2015).
c. Faktor Lingkungan
Rumah tangga yang memiliki fasilitas jamban yang lebih bersih
memiliki kemungkinan yang lebih kecil mengalami stunting baik di
pedesaan maupun perkotaan. Pembelian air minum yang murah
diasumsikan tidak layak juga berhubungan dengan peningkatan
stunting. Kemudian kondisi tingkat kerawanan pangan rumah tangga
juga berkaitan dengan kejadian stunting. Selain itu, pendidikan orang
tua yang rendah secara umum memungkinkan anak lebih tinggi
mengalami stunting. Kemampuan daya beli yang kurang dan beberapa
indikator kesejahteraan rumah tangga lainnya sangat berhubungan
dengan stunting. Begitu juga dengan yang perokok juga sedikit
berkaitan dengan stunting pada satu penelitian. Selain itu minimnya
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) dalam keluarga sehingga
memicu terjadinya stunting pada anak (Madjid, Taufik,. 2020: 12).
d. Tinggi badan orangtua
Tinggi badan adalah jarak dari puncak kepala hingga telapak
kaki. Parameter ini merupakan parameter yang menggambarkan
keadaan pertumbuhan skeletal dan tidak sensitif untuk mendeteksi
permasalahan gizi pada waktu yang singkat. Pengukuran tinggi badan
sebagai parameter tinggi badan mempunyai banyak kegunaan, yaitu
dalam penilaian status gizi, penentuan kebutuhan energi basal,
penghitungan dosis obat, dan prediksi dari fungsi fisiologis seperti

8
volume paru, kekuatan otot, dan kecepatan. filtrasi glomernlus. Tinggi
badan dapat ukur dari alas kaki ke titik tertinggi pada posisi tegak.
Tinggi badan merupakan ukuran posisi tubuh berdiri (vertical) dengan
kaki menempel pada lantai, posisi kepala dan leher tegak, pandangan
rata-rata air, dada dibusungkan, perut datar dan tarik nafas beberapa
saat. Tinggi badan diukur dalam posisi berdiri sikap sempurna tanpa
alas kaki. Untuk mengukur tinggi badan seseorang pada posisi berdiri
secara anatomis, dapat diukur dari kepala bagian atas sampai
ketelapak kaki bagian bawah (Yuliana & Hakim,. 2019: 3).
e. Jenis Kelamin
Jenis kelamin menentukan besar kecilnya kebutuhan gizi bagi
seseorang. Laki-laki lebih banyak membutuhkan asupan karbohidat
dan protein dibanding dengan perempuan. Dalam mengerjakan
pekerjaan yang berat laki-laki lebih sanggup dibanding perempuan.
Namun, dalam kebutuhan zat besi, perempuan lebih banyak
membutuhkan dari pada laki-laki (Andriani, Wirjatmadi, 2012) dalam
(Martony, Lestrina & Raflizar, 2022: 15).
Hasil Riskesdas 2013 menunjukkan prevalensi balita yang
stunting lebih tinggi pada jenis kelamin laki-laki sebesar 18,8%,
dibandingkan pada perempuan yaitu 17.1%. Menurut penelitian
(Nadiyah. Briawan, Martianto, 2014) dalam (Martony, Lestrina &
Raflizar, 2022: 15), bahwa anak laki-laki lebih banyak yang
mengalami stunting (35.7%) dibandingkan anak perempuan (31.6%).
f. Status Gizi
Status gizi adalah keadaan tubuh yang diakibatkan oleh status
keseimbangan antara jumlah asupan zat gizi dan jumlah yang
dibutuhkan oleh tubuh untuk berbagai fungsi biologis. Status gizi
merupakan gambaran terhadap ketiga indikator, yakni berat badan
menurut umur (BB/L), tinggi badan menurut umur (TB/U) dan berat
badan menurut tinggi badan (BB/TB) terjadi akibat faktor langsung

9
dan tidak langsung, maka berdasarkan hasil riset tersebut
menggunakan data sekunder Yuliana & Hakim. 2019: 5).
Status gizi adalah suatu keadaan seseorang sebagai akibat dari
mengkonsumsi dan proses terhadap makanan dalam tubuh dan
kesesuaian gizi yang dikonsumsi dengan gizi yang dibutuhkan oleh
tubuh. Keadaan kesehatan anak sebagai gambaran konsumsi zat
makanan yang masuk keadaan tubuh dan penggunaannya, sebagai
hasil ini dapat diketahui dari tinggi badan dan berat badan anak, yang
merupakan indikator terbaik bagi penentuan status gizi. Anak dengan
orang tua yang pendek, baik salah satu maupun keduanya, lebih
berisiko untuk tumbuh pendek dibanding anak dengan orang tua yang
tinggi badannya normal (Yuliana & Hakim. 2019: 6).
g. Pola Asuh
Stunting juga dipengaruhi aspek perilaku, terutama pada pola
asuh yang kurang baik dalam praktek pemberian makan bagi bayi dan
Balita. Dimulai dari edukasi tentang kesehatab reproduksi dan gizi
bagi remaja sebagai cikal bakal keluarga, hingga para calon ibu
memahami pentingnya memenuhi kebutuhan gizi saat hamil dan
stimulasi bagi janin, serta memeriksakan kandungan empat kali
selama kehamilan. Bersalin di fasilitas kesehatan, lakukan inisiasi
menyusu dini (IMD) dan berupayalah agar bayi mendapat colostrum
air susu ibu (ASI). Berikan hanya ASI saja sampai bayi berusia 6
bulan. Setelah itu, ASI boleh dilanjutkan sampai usia 2 tahun, namun
berikan juga makanan pendamping ASI. Jangan lupa pantau tumbuh
kembangnya dengan membawa buah hati ke Posyandu setiap bulan
(Kemenkes, RI,. 2018). Hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah
berikanlah hak anak mendapatkan kekebalan dari penyakit berbahaya
melalui imunisasi yang telah dijamin ketersediaan dan keamanannya
oleh pemerintah. Masyarakat bisa memanfaatkannya dengan tanpa
biaya di Posyandu atau Puskesmas (Kemenkes, RI,. 2018).

10
4. Manifestasi Klinis Stunting
Stunting adalah tinggi badan yang kurang menurut umur (<-2SD),
ditandai dengan terlambatnya pertumbuhan anak yang mengakibatkan
kegagalan dalam mencapai tinggi badan yang normal dan sehat sesuai
usia anak. Stunting merupakan kekurangan gizi kronis atau kegagalan
pertumbuhan dimasa lalu dan digunakan sebagai indikator jangka
panjang (Yuliana & Hakim. 2019: 2).
Untuk gizi kurang pada anak. Stunting dapat didiagnosis melalui
indeks antropometrik tinggi badan menurut umur yang mencerminkan
pertumbuhan linier yang dicapai pada pra dan pasca persalinan dengan
indikasi kekurangan gizi jangka panjang, akibat dari gizi yang tidak
memadai dan atau kesehatan. Stunting merupakan pertumbuhan linier
yang gagal untuk mencapai potensi genetik sebagai akibat dari pola
makan yang buruk dan penyakit Stunting yang terjadi pada masa anak
merupakan faktor risiko meningkatnya angka kematian, kemampuan
kognitif dan perkembangan motik yang rendah serta fungi tubuh yang
tidak seimbang (Yuliana & Hakim. 2019: 2).

5. Dampak Stunting
Dampak stunting terdiri dari dampak jangka pendek dan jangka
panjang, Jangka pendek menyebabkan anak menjadi apatis. mengalami
gangguan bicara, serta gangguan perkembangan. Kemudian jangka
panjang menyebabkan rendahnya IQ. Rendahnya perkembangan kognitif,
gangguan pemusatan perhatian serta kurangnya rasa percaya diri. Kondisi
gizi kurang dapat menyebabkan gangguan pada proses pertumbuhan dan
perkembangan serta mengurangi kemampuan berfikir (Almatsier, 2010)
dalam (Martony, Lestrina & Raflizar,. 2022: 15-16).

11
Menurut (Nardina, Evita, Dkk,. 2021: 105-106), Stunting
merupakan gangguan pertumbuhan yang berperan sebagai marker dari
berbagai gangguan patologis. Berikut ini merupakan beberapa dampak
dari stunting, yaitu:
a. Meningkatkan risiko morbiditas dan mortilitas
Anak yang mengalami stunting mempunyai imunitas yang buruk
sehingga meningkatkan risiko terjadinya infeksi, seperti pneumonia.
diare, meningitis, tuberculosis, dan hepatitis. Intensitas anak terpapar
infeksi yang sering dapat memperburuk kondisi stunting dan anak
rentan terkena infeksi di kemudian hari. Anak yang terpapar infeksi
mempunyai karakteristik penurunan nafsu makan, gangguan
penyerapan zat gizi, dan peningkatan metabolisme
b. Mengganggu perkembangan otak
Masa 24 bulan pertama kehidupan merupakan masa kritis
perkembangan otak. Pembentukan percabangan serabut saraf berlanjut
sampai bayi dilahirkan dan akan sempurna sampai anak berusia tahun.
Pembentukan percabangan serabut saraf pada anak stunting ercana
berbeda dari anak tidak stunting, yaitu percabangan serabut saraf pada
anak stunting menjadi lebih pendek. Hal tersebut berdampak pada
perubahan fungsi otak sampai pada penurunan kognitif anak. Stunting
yang disertai dengan ketidakcukupan stimulasi, defisiensi yodium, dan
defisiensi zat besi menyebabkan kegagalan dalam mengembangkan
potensi anak.
c. Memicu penyakit degeneratif saat dewasa
Penyakit degeneratif, seperti diabetes mellitus, hipertensi,
penyakit jantung koroner dan dislipidemia umumnya ditemukan pada
individu dengan masalah gizi lebih. Namun, penyakit-penyakit
degeneratif tersebut ditemukan pada individu dewasa yang mengalami
stunting pada masa kecilnya. Hipotesis "The Developmental Origins
of Health and Disease" menyatakan bahwa kekurangan zat gizi
selama masa fetus sampai anak berusia 2 tahun akan memicu

12
perubahan epigenetic yang permanen dalam metabolisme (seperti
metabolisme lemak dan glukosa) dan dan fungsi serta susunan
anatomi pada beberapa organ (misal pembuluh darah, hati, dan ginjal).
Bentuk adaptasi dari perubahan tersebut adalah dialihkannya zat gizi
untuk fungsi vital tubuh daripada untuk pertumbuhan sehingga
meningkatkan risiko terjadinya gangguan kesehatan.

6. Pencegahan Stunting
Upaya pencegahan stunting sudah banyak dilakukan di negara-
negara berkembang berkaitan dengan gizi pada anak dan keluarga. Upaya
tersebut oleh WHO (2010) dalam (Amraeni, Yunita,. 2021: 100),
Dijabarkan sebagai berikut:
a. Zero Hunger Strategy; Stategi yang mengkoordinasikan program dari
sebelas kemeterian yang berfokus pada yang termiskin dari kelompok
miskin.
b. Dewan Nasional Pangan dan Keamanan Gizi; Memonitor strategi
untuk memperkuat pertanian keluarga, dapur umum dan strategi untuk
meningkatkan makanan sekolah dan promosi kebiasaan makanan
sehat.
c. Bolsa Familia Program; Menyediakan transfer tunai bersyarat untuk
11 juta keluarga miskin. Tujuannya adalah untuk memecahkan siklus
kemiskinan antar generasi.
d. Sitem Surveilans Pangan dan Gizi; Pemantauan berkelanjutan dari
status gizi populasi dan yang determinan.
e. Strategi Kesehatan Keluarga; Menyediakan perawatan kesehatan yang
berkualitas melalui strategi perawatan primer.

13
Di Indonesia upaya penanggulangan stunting diungkapkan oleh
Bappenas (2011) dalam (Amraeni, Yunita,. 2021: 101), yang disebut
strategi lima pilar, yang terdiri dari:
a. Perbaikan gizi masyarakat terutama pada ibu pra hamil, ibu hamil dan
anak
b. Penguatan kelembagaan pangan dan gizi
c. Peningkatan aksebilitas pangan yang beragam
d. Peningkatan perilaku hidup bersih dan sehat
e. Peningkatan pengawasan mutu dan keamanan pangan.
Kejadian balita stunting dapat diputus mata rantainya sejak janin
dalam kandungan dengan cara melakukan pemenuhan kebutuhan zat gizi
bagi ibu hamil, artinya setiap ibu hamil harus mendapatkan makanan
yang cukup gizi, mendapatkan suplementasi zat gizi (tablet Fe), dan
terpantau kesehatannya. Selain itu setiap bayi baru lahir hanya mendapat
ASI saja sampai umur 6 bulan (Eksklusif) dan setelah umur 6 bulan
diberi Makanan Pendamping ASI (MP ASI) yang cukup jumlah dan
kualitasnya. Ibu nifas selain mendapat makanan cukup gizi, juga diberi
suplementasi zat gizi berupa kapsul vitamin A. Kejadian stunting pada
balita yang bersifat kronis seharusnya dapat dipantau dan dicegah apabila
pemantauan pertumbuhan balita dilaksanakan secara rutin dan benar.

7. Stunting yang berhubungan dengan masa pandemic covid-19


Stunting merupakan permasalahan kesehatan yang menjadi
prioritas untuk menciptakan sumber daya manusia Indonesia yang
berkualitas. Kunci kesuksesan pencegahan stunting adalah pemantauan
gizi dan pengukuran berat badan bayi dan balita yang dilakukan kader
masyarakat di posyandu (Candarmaweni & Rahayu, 2020). Saat pandemi
covid-19, Pemenuhan kebututuhan gizi seimbang pada Balita, sangat
diperlukan dalam meningkatkan sistem imunitas guna memperkuat
pertahanan tubuh dalam menghadapi virus Covid-19 (Sunesni, Dkk,.
2021).

14
Pendemi covid-19 yang pada perkembangannya menambah
dampak ancaman tambahan bagi kesehatan anak dengan potensi gizi
buruk dan stunting dimana-mana. Oleh karena itu, diperlukan kerja sama
antar semua komponen untuk saling bantu, termasuk dalam upaya
menjaga pemenuhan gizi anak di masa pandemic (Umar, Nurhaeda &
Juwita,. 2021).
Edukasi tentang pencegahan stunting pada balita pada di masa
pandemi Covid-19 dapat meningkatkan pengetahuan ibu ditunjukkan
dengan hasil evaluasi bahwa sebagian besar memiliki tingkat
pengetahuan baik setelah mendapatkan edukasi. Peningkatan
pengetahuan orang tua tersebut diharapkan dapat menjadi dasar bagi
orang tua untuk melakukan tindakan agar anak dapat terhindar dari
stunting dan memiliki perkembangan serta pertumbuhan yang maksimal
(Susilowati, Trisetiyaningsih & Nursanti, 2021).

B. Konsep Baduta
1. Definisi Baduta
Anak usia di bawah dua tahun atau sering disingkat Baduta
merupakan sebutan untuk anak usia di bawah dua tahun atau sekitar 0-24
bulan. Anak dengan usia 0-24 bulan merupakan kelompok anak yang berada
pada periode kritis. Pada masa ini anak memerlukan asupan zat gizi
seimbang baik dari segi jumlah, maupun kualitasnya untuk mencapai berat
dan tinggi badan yang optimal (Rohayati, Iswari & Hartati,. 2022: 7).
Baduta adalah anak. yang berumur dibawah 2 tahun (0) sampai 23
bulan 29 hari) (Aldera, Dkk,. 2021: 173), usia ini sangat penting karena sel-
sel otak tumbuh dan berkembang dengan pesat. Pertumbuhan dan
perkembangan pada masa usia ini menentukan tahapan berikutnya.
Kekurangan gizi pada masa ini dapat menyebabkan gagal tumbuh dan
berakibat buruk dimasa yang akan datang (Rohayati, Iswari & Hartati,.
2022: 7).

15
2. Tumbuh Kembang
Tumbuh Kembang adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan,
karena petumbuhan ialah bagian dari perkembangan dan setiap yang tumbuh
pastilah berkembang. Setiap manusia akan tumbuh dan berkembang mulai
dari ia di dalam kandungan ibunya sampai ia lahir ke dunia, manusia akan
terus mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang sangat signifikan.
Apalagi pada usia golden age atau usia emas yang terjadi pada anak usia
dini 0-6 (tahun) merupakan usia yang sangat menentukan bagaimana anak
di masa yang akan mendatang. Setiap betambahnya usia anak maka akan
terjadi perubahan secara simultan pada pertumbuhan dan perkembangan
sehingga dua peristiwa tersebut sangat penting dalam kehidupan anak
(Rantina, Hasmalena & Nengsih,. 2020: 3).
a. Pertumbuhan
Pertumbuhan (Growth) adalah proses bertambahnya ukuran tubuh suatu
makhluk hidup menjadi lebih tinggi, lebih berat atau lebih besar (Untoro,
Joko, dkk,. 2011: 63).
b. Perkembangan
Perkembangan (Development) adalah bertambahnya kemampuan (skill)
dalam struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang
teratur dan dapat diramalkan sebagai hasil dari proses pematangan
(Gainau, Maryam,. 2021: 1).

16
3. Faktor yang mempengaruhi tumbuh kembang
Secara umum terdapat dua faktor utama yang berpengaruh terhadap
tumbuh kembang anak menurut (Mulyadi & Yosrika, 2020: 19), yaitu:
a. Faktor genetik
Faktor genetik (faktor yang tidak bisa dirubah) ini menjadi modal dasar
dalam mencapai hasil akhir dari proses tumbuh kembang anak. Yang
termasuk dalam faktor genetic adalah beberapa faktor bawaan yang
normal dan patologik. Seperti jenis kelamin, atau suku bangsa.
b. Faktor lingkungan
Faktor lingkungan yaitu faktor yang sangat menentukan dalam tercapai
atau tidaknya suatu potensi bawaan. Lingkungan yang cukup baik akan
memungkinkan tercapainya potensi bawaan, sedangkan lingkungan yang
kurang mendukung akan menghambatnya. Faktor lingkungan ini secara
garis besar dibagi menjadi dua bagian,
1) Faktor lingkungan yang mempengaruhi anak pada waktu masih di
dalam kandungan (faktor pranatal) Mencakup gizi ibu pada waktu
hamil mekanis yaitu trauma dan cairan ketuhan yang kurang, dapat
menyebabkan kelainan bawaan pada bayi yang dilahirkan. Demikian
juga dengan letak janin, pada saat uterus bisa mengakibatkan talipes,
dislokasi panggul, toksin/zat kimia, endokrin, radiasi, infeksi, stress,
imunitas, anoreksia embrio.
2) Faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi tumbuh kembang anak
setelah lahir (post natal) seperti ras atau suku bangsa, jenis kelamin,
umur, perawatan kesehatan, kepekaan terhadap penyakit, penyakit
kronis, fungsi metabolisme. cuaca, sanitasi, radiasi, dan lain-lain.

17
4. Kebutuhan dasar tumbuh kembang
Kebutuhan dasar anak untuk tumbuh kembang, secara umum
digolongkan menjadi 3 kebutuhan dasar menurut (Mahanani, Srinalesti,.
2020: 11), yaitu:
a. Kebutuhan fisik-biomedis (ASUH)
Kebutuhan fisik-biomedis meliputi pangan/gizi (kebutuhan penting).
perawatan kesehatan dasar (antara lain imunisasi, pemberian ASI,
penimbangan bayi/anak yang teratur, pengobatan kalau sakit).
papan/pemukiman yang layak kebersihan perorangan, sanitasi
lingkungan, sandang, kebutuhan jasmani, reaksi, dll.
b. Kebutuhan emosi/kasih saying (ASIH)
Pada tahun-tahun pertama kehidupan, hubungan yang erat, mesra dan
selaras antara ibu/pengganti ibu dengan anak merupakan syarat mutlak
untuk menjamin tumbuh kembang yang selaras baik fisik, mental
maupun psikososial. Berperanya dan kehadiran ibu/penggantinya sedini
dan selanggeng mungkin, akan menjalin rasa aman bagi bayinya. Ini
diwujudkan dengan kontak fisik (kulit/mata) dan psikis sedini mungkin,
misalnya dengan menyusui bayi secepat mungkin segera setelah lahir.
Kekurangan kasih sayang ibu pada tahun-tahun pertama kehidupan
mempunyai dampak negative pada tumbuh kembang anak dan fisik,
mental maupun sosial emosi yang disebut "Sindrom Deprivasi Maternal".
Kasih sayang dari orang tuanya (ayah-ibu) akan menciptakan ikatan yang
erat (bonding) dan kepercayaan dasar (basic trust).
c. Kebutuhan akan stimulasi mental (ASAH)
Stimulasi mental merupakan cikal bakal dalam proses belajar
(pendidikan dan pelatihan) pada anak. Stimulasi mental (ASAH) ini
mengembangkan perkembangan mental psikososial: kecerdasaan,
keterampilan. kemandirian, kreativitas, agama, kepribadian, moral-etika,
produksivitas dll.

18
5. Gizi seimbang balita
Kebutuhan zat gizi anak pada usia 2-5 tahun meningkat karena masih
berada pada masa pertumbuhan cepat dan aktivitasnya semakin meningkat.
Demikian juga anak sudah mempunyai pilihan terhadap makanan yang
disukai termasuk makanan jajanan. Oleh karena itu, jumlah dan variasi
makanan harus mendapatkan perhatian secara khusus dari ibu atau pengasuh
anak, terutama dalam memenangkan pilihan anak agar memilih makanan
yang bergizi seimbang. Disamping itu anak pada usia ini sering keluar
rumah sehingga mudah terkena penyakit infeksi dan kecacingan, sehingga
perilaku hidup bersih perlu dibiasakan untuk mencegahnya. Gizi seimbang
untuk anak usia 2-5 tahun menurut Afifah, Choirul A.N, 2022: 91), yaitu:
1) Biasakan makan 3 kali sehari, yaitu pagi, siang, dan malam bersama
dengan keluarga.
2) Perbanyak mengonsumsi makanan kaya protein seperti ikan, telur, susu,
tempe, dan tahu.
3) Perbanyak mengonsumsi sayuran dan buah-buahan
4) Batasi mengonsumsi makanan selingan yang terlalu manis, asin, dan
berlemak.

19
6. Penilaian status gizi balita
Tabel 2.1 Status gizi bayi-balita berdasarkan indeks antropometri
Indeks Kategori Status Gizi Ambang Batas
(Z-Score)
BB/U Berat badan sangat kurang < - 3 SD
(0-60 bulan) (severely underweight)
Berat badan kurang -3 SD sd < -2 SD
(underweight)
Berat badan normal -2 SD sd + 1 SD
Risiko berat badan lebih < - 3 SD
TB/U Sangat pendek (severely - 3 SD sd < -2 SD
(0-60 bulan) stunted)
Pendek (stunted) -2 SD sd + 3 SD
Normal > + 3 SD
Tinggi < - 3 SD
BB/TB Gizi buruk (severely wasted) < - 3 SD
(0-60 bulan) Gizi kurang (wasted) - 3 SD sd < -2 SD
Gizi baik (normal) - 2 SD sd + 1 SD
Berisiko gizi lebih (possible > + 1 SD sd + 2 SD
risk of overweight)
Gizi lebih (overweight) > + 2 SD sd + 3 SD
Obesitas (obese) > + 3 SD
IMT/U Gizi buruk (severely wasted) < - 3 SD
(0-60 bulan) Gizi kurang (wasted) - 3 SD sd < - 2 SD
Gizi baik (normal) - 2 SD sd + 1 SD
Berisiko gizi lebih (possible > + 1 SD sd + 2 SD
risk of overweight)
Gizi lebih (overweight) > + 2 SD sd + 2 SD
Obesitas (obese) > + 3 SD
Sumber: Kementerian Kesehatan RI, 2020).

20
C. Konsep Pengetahuan
1. Definisi Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil "tahu", dan ini terjadi setelah orang
melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi
melalui kelima pancaindra manusia, yakni: indra penglihatan, pendengaran,
penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh
melalui mata dan telinga. Tetapi sebagian besar melalui suatu proses yaitu
proses belajar dan membutuhkan suatu bantuan, misalnya bantuan seseorang
yang lebih menguasai sesuatu hal, bantuan alat misalnya buku dan
sebagainya (Saadah, Nurlailis,. 2020: 36).
Pengetahuan (knowledge) merupakan hasil rasa keingin tahuan
manusia terhadap sesuatu dan hasrat untuk meningkatkan harkat hidup
sehingga kehidupan menjadi lebih baik dan nyaman yang berkembang
sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan manusia baik di masa sekarang
maupun di masa depan (Ariani, 2016) dalam (Arsyad, Gusman., et al. 2021:
12).
Pengetahuan juga dapat diartikan sebagai suatu bentuk kebenaran
yang di peroleh dari proses refleksi dan juga upaya sadar yang tersistematis.
Dari definisi tersebut, diketahui bahwa pengetahuan tidak turun dari langit
melainkan ada upaya manusia untuk mendapatkannya, dan usaha tersebut
merupakan suatu berkah bagi setiap manusia sehingga pengetahuan tidak
boleh digunakan untuk hanya memenuhi kebutuhan dan keinginan diri
sendiri melainkan perlu juga dibagikan kepada manusia lainnya (Sina,
Garlans, 2016: 59).

21
2. Tingkat Pengetahuan
Menurut Saadah, Nurlailis (2020: 7), Pengetahuan seseorang terhadap
objek mempunyai intensitas atau tingkat yang berbeda-beda. Secara garis
besar pengetahuan manusia dibagi dalam 6 tingkatan yaitu :
a. Tahu
Tahu diartikan hanya diartikan sebagai recall (memanggil) memori yang
telah ada sebelumnya setelah mengamati sesuatu yang spesifik dari
seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh
sebab itu, tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah.
Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari
antara lain menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan dan
sebagainya.
b. Memahami
Memahami diartikan sebagai suatu Memahami diartikan kemampuan
untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dant dapat
menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah
paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan
contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya terhadap objek
yang dipelajari.
c. Aplikasi
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang
telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya). Aplikasi
disini diartikan sebagai aplikasi penggunaan hukum-hukum, dapat atau
rumus, metode, prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang
lain. Misalnya dapat menggunakan rumus statistik dalam perhitungan-
perhitungan hasil penelitian, dan dapat menggunakan prinsip-prinsip
masalah. siklus pemecahan

22
d. Analisis
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu
objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu struktur
organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis
ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja, seperti dapat
menggambarkan. membedakan, (membuat bagan), memisahkan,
mengelompokkan, dan sebagainya.
e. Sintesis
Sintesis menunjukkan suatu kemampuan seseorang untuk merangkum
atau meletakkan dalam suatu hubungan yang dari komponen-komponen
pengetahuan yang dimiliki. Dengan kata lain sintesis adalah suatu
kemampuan untuk menyusun suatu formulasi baru dari formulasi-
formulasi yang telah ada. Misalnya, dapat menyusun, dapat
merencanakan, dapat meringkas, dapat menyesuaikan, dan sebagainya
terhadap suatu teori atau rumusan-rumusan yang telah ada.
f. Evaluasi
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi
atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian ini
didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau
menggunakan kriteria kriteria yang telah ada. Misalnya mampu
membandingkan, menanggapi, menafsirkan sesuatu masalah.

23
3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pengetahuan
Menurut Ayu, Dwi (2022: 57), Faktor-faktor yang mempengaruhi
pengetahuan adalah:
a. Tingkat pendidikan
Kemampuan belajar yang dimiliki manusia merupakan bekal yang sangat
pokok. Tingkat pendidikan dapat menghasilkan suatu. perubahan dalam
pengetahuan.
b. Informasi
Sebagai contoh dengan kurangnya informasi tentang cara mencapai
hidup sehat, cara pemelihara kesehat/an, cara menghindari penyakit akan
menurunkan tingkat pengetahuan seseorang tentang hal tersebut.
c. Budaya
Budaya sangat berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan seseorang,
karena informasi baru akan disaring kira-kira sesuai tidak dengan budaya
yang ada dan agama yang dianut.
d. Pengalaman
Pengalaman disini berkaitan dengan umur dan tingkat pendidikan
seseorang, maksudnya pendidikan yang tinggi pengalaman akan lebih
luas. sedangkan umur semakin bertambah.

4. Pengukuran Pengetahuan
Ada beberapa cara mengukur pengetahuan menurut (Zulmiyetri, dkk,.
2019: 54), Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara
atau angket atau kuesioner yang menanyakan tentang isi materi yang ing in
diukur dari subjek penelitian atau responden. Ke dalam pengetahuan yang
ingin kita ketahui atau kita ukur dapat disesuaikan dengan tingkatan-
tingkatan di atas. Peneliti hanya menggunakan 2 pilihan yaitu: Benar (B)
dan Salah (S).

24
5. Kriteria Pengetahuan
Menurut (Purba, Rostianna,. 2021: 11), Pengetahuan seseorang dapat
diketahui dan di interprestasikan yaitu :
a. Baik, bila sujek menjawab benar 76%-100% seluruh pertanyaan.
b. Cukup, bila sujek menjawab benar 56% -75% seluruh pertanyaan.
c. Kurang, bila sujek menjawab benar <56% seluruh pertanyaan.

D. Konsep Pola Asuh


1. Definisi Pola Asuh
Secara epistemologi kata pola diartikan sebagai cara kerja, dan kata
asuh berarti menjaga (merawat dan mendidik) anak kecil, membimbing
(membantu, melatih, dan sebagainya) supaya dapat berdiri sendiri, atau
dalam bahasa popularnya adalah cara mendidik (Subagia, Nyoman,. 2021:
7).
Pada dasarnya, pola asuh adalah gambaran yang dipakai oleh orang
tua dalam mengasuh, membesarkan, merawat, dan mendidik anak yang
berpengaruh secara langsung terhadap kemandirian anak dalam belajar
(Siwanto, Dedy,. 2020: 33).
Pola asuh balita berupa sikap dan perilaku ibu atau pengasuh dalam
hal kedekatannya dengan balita, memberikan makan, perawatan, menjaga
kebersihan, memberikan kasih sayang dan sebagainya. Peran petugas
kesehatan dalam memberikan promosi kesehatan melalui penyuluhan
kepada balita sakit sangat penting agar orang tua khusus ibu dapat
mengetahui lebih banyak lagi informasi kesehatan dalam pola asuh tersebut.
Hal ini berhubungan dengan keadaan ibu tentang kesehatan (fisik dan
mental), status gizi, pendidikan, penghasilan, pengetahuan dan keterampilan
tentang pengasuhan balita yang baik, peran dalam keluarga atau masyarakat,
dan sebagainya dari si ibu dan pengasuh balita (Sunarti. E,. 2000) dalam
(Magdalena, Chritina,. 2021: 3).

25
2. Jenis-jenis Pola Asuh
a. Pola Asuh Permisif
Menurut (Aidah, Nur. S,. 2020: 7), pola asuh anak jenis ini yaitu
memberikan kebebasan pada anak untuk menyatakan dorongan atau
keinginannya. Pola asuh ini tidak memberikan batasan yang tegas pada
anak. Biasanya orangtua akan mengikuti apapun yang anak inginkan
sehingga ia cenderung tidak memiliki keteraturan dan kemampuan untuk
meregulasi diri. Tidak cuma itu, orangtua biasanya memberikan tuntutan
yang. minim kontrol pada perilaku anak. Jika anak melakukan kesalahan,
orangtua dengan pola asuh ini jarang, bahkan tidak pernah memberikan
hukuman. dampak pola asuh permisif akan membawa pengaruh atas
sifat-sifat anak, seperti:
1) Suka memberontak.
2) Prestasinya rendah.
3) Suka mendominasi.
4) Kurang memiliki rasa kepercayaan diri.
5) Kurang bisa mengendalikan diri.
6) Tidak jelas arah hidupnya.
b. Pola Asuh Otoriter
Pola asuh ini orangtua menerapkan seperangkat peraturan kepada
anaknya secara ketat dan sepihak, cenderung menggunakan pendekatan
yang bersifat diktator, menonjolkan wibawa, menghendaki ketaatan
mutlak. Pola asuh otoriter adalah bentuk pola asuh yang menekankan
pada pengawasan orangtua atau kontrol yang ditujukan pada anak untuk
mendapatkan ketaatan dan kepatuhan. Pola asuh otoriter adalah
pengasuhan yang kaku, diktator, dan memaksa anak untuk selalu
mengikuti orangtua tanpa banyak alasan anak. harus tunduk dan patuh
terhadap kemauan orangtua. Apapun yang dilakukan oleh anak
ditentukan oleh orangtua (Nurachma, Hendriyani & Albertina,. 2020:
18).

26
c. Pola Asuh Authoritative
Pola asuh authoritative mendorong anak untuk mandiri namun tetap
meletakkan batas-batas dan kendali atas tindakan mereka, Pertukaran
verbal masih diizinkan dan orang tua menunjukkan kehangatan serta
mengasuh anak mereka (Hidayati, Hanifah & Sary,. 2019: 19).
d. Pola Asuh Demokratis
Pola asuh demokratis adalah pola asuh yang memprioritas kan
kepentingan anak, tetapi tidak ragu-ragu mengendalikan mereka. Orang
tua dengan perilaku ini bersikap rasional selalu mendasari tindakannya
pada rasio atau pemikiran. Orangtua ini bertipe realistis terhadap
kemampuan anak, tidak berharap yang berlebihan yang melampaui
kemampuan anak. Orangtua tipe ini juga memberikan kebebasan kepada
anak untuk me milih dan melakukan suatu tindakan dan berpendekatan
hangat kepada anak (Madyawati, 2016: 37).

3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pola Asuh


Faktor-faktor yang mempengaruhi pola asuh anak Menurut Puspita,
Sylvie (2020: 8), yakni:
a. Pertama, Pendidikan orang tua: Pendidikan dan pengalaman orang tua
dalam perawatan anak akan mempengaruhi persiapan mereka
menjalankan pengasuhan. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk
menjadi lebih siap dalam menjalankan peran pengasuhan antara lain:
terlibat aktif dalam setiap pendidikan anak, mengamati segala sesuatu
dengan berorientasi pada masalah anak, selalu berupaya menyediakan
waktu untuk anak-anak dan menilai perkembangan fungsi keluarga dan
kepercayaan anak.
b. Kedua, Lingkungan; Lingkungan banyak mempengaruhi perkembangan
anak, maka tidak mustahil jika lingkungan juga ikut serta mewarnai pola-
pola pengasuhan yang diberikan orang tua terhadap anaknya.
c. Ketiga. Budaya: Sering kali orang tua mengikuti cara-cara yang
dilakukan oleh masyarakat dalam mengasuh anak, kebiasaan-kebiasaan

27
masyarakat disekitarnya dalam mengasuh anak. Karena pola-pola
tersebut dianggap berhasil dalam mendidik anak kearah kematangan.
Orang tua mengharapkan kelak anaknya dapat diterima dimasyarakat
dengan baik, oleh karena itu kebudayaan atau kebiasaan masyarakat
dalam mengasuh anak juga mempengaruhi setiap orang tua dalam
memberikan pola asuh terhadap anaknya (Anwar, 2012) dalam (Puspita,
Sylvie,. 2020: 8).

4. Dimensi pola asuh


Menurut Baskoro, Danang,. 2019: 17), Pola asuh memiliki dua
dimensi pembentuknya yaitu dimensi kontrol dan dimensi kehangatan.
a. Dimensi kontrol, adalah dimensi yang berhubungan dengan sejauh mana
orang tua mengharapkan dan menuntut kematangan anak serta tingkah
laku yang bertanggung jawab dari anak. Contohnya adalah pembatasan,
tuntutan, campur tangan dan penggunaan kekuasaan orang tua kepada
anak.
b. Dimensi kehangatan adalah dimensi yang berhubungan dengan tingkat
respons orang tua terhadap kebutuhan anak dalam penerimaan dan
dukungan. Contohnya adalah memperhatikan kesejahteraan anak, cepat
tanggap, meluangkan waktu dalam kegiatan bersama, siap menanggapi
kecakapan anak atau keberhasilan serta menunjukkan cinta kasih, peka
terhadap emosi anak.

28
E. Kerangka Teori

Stunting Baduta

Faktor-faktor yang
mempengaruhi Tumbuh kembang baduta
1. Pendidikan
2. Tingkat pengetahuan
3. Lingkungan
4. Tinggi badan
Faktor-faktor yang
5. Jenis kelamin
mempengaruhi tumbuh
6. Status gizi
kembang
7. Pola asuh
1. Genetik
2. lingkungan

Tingkat pengetahan

Pengetahuan Pola asuh

Faktor-faktor yang
mempengaruhi pola asuh
1. Pendidikan orang tua
2. Lingkungan
3. Budaya

Skema 2.1 Kerangka Teori


Sumber: Patimah, Sitti (2021: 1); Saadah, Nurlailis (2020: 2); Yuliana &
Hakim (2019: 3); Ni’mah & Muniroh (2015); Madjid, Taufik (2020: 12);
Kemenkes, RI (2018); Rohayati, Iswari & Hartati (2022: 7); Rantina,
Hasmalena & Nengsih (2020: 3); Mulyadi & Yosrika (2020: 19); Ayu, Dwi
(2022: 57); Subagia, Nyoman (2021: 7); Puspita, Sylvie (2020: 8).

29

Anda mungkin juga menyukai