Anda di halaman 1dari 17

PENGARUH SOSIAL EKONOMI DENGAN KEJADIAN STUNTING PADA

BALITA

Disusun Oleh

Kelompok 5

Anggota Kelompok

Elty Elwinna

Ernita

Maria Oktavia

Natasha Priskilla

Yoelva Giovanny E.S

PROGRAM STUDI SARJANA KEBIDANAN


FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS SARI MULIA BANJARMASIN
2020

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang
berjudul Pengaruh Sosial Ekonomi Dengan Kejadian Stunting Pada Balita ini
tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi
tugas Ekonomi dalam Pelayanan kesehatan pada Ekonomi Kesehatan.
Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang
Pengaruh Sosial Ekonomi Dengan Kejadian Stunting Pada Balita bagi para
pembaca dan juga bagi penulis.
Kami mengucapkan terima kasih kepada bapak/ibu yang telah
memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan
sesuai dengan bidang studi yang saya tekuni.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membagi sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini.
kami menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan demi
kesempurnaan makalah ini

Tim Penulis

Kelompok 5

ii
DAFTAR ISI
COVER............................................................................................................................ i
KATA PENGANTAR....................................................................................................... ii
DAFTAR ISI..................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................. 1
A. Pendahuluan......................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah................................................................................................ 3
C. Tujuan................................................................................................................... 3
BAB II KAJIAN PUSTAKA............................................................................................. 4
A. Pelayanan Kesehatan Promotif Terhadap Stunting............................................. 4
B. Pelayanan Kesehatan Preventif Terhadap Stunting............................................ 5
C. Pelayanan Kesehatan KuratifTerhadap Stunting................................................. 6
D. Program Kesehatan Promotif, Preventif, Kuratif Mengacu Pada
Ekonomi Kesehatan Need/Demand/Supply......................................................... 7
BAB III PENUTUP........................................................................................................... 12
A. Kesimpulan........................................................................................................... 12
B. Saran.................................................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Stunting adalah keadaan paling umum dari bentuk kekurangan gizi
(PE / mikronutrien), yang mempengaruhi bayi sebelum lahir dan awal
setelah lahir, terkait dengan ukuran ibu, gizi selama ibu hamil, dan
pertumbuhan janin. Menurut Sudiman dalam Ngaisyah, stunting pada
anak balita merupakan salah satu indikator status gizi kronis yang
dapat memberikan gambaran gangguan keadaan sosial ekonomi
secara keseluruhan di masa lampau dan pada 2 tahun awal kehidupan
anak dapat memberikan dampak yang sulit diperbaiki. Salah satu
faktor sosial ekonomi yang mempengaruhi stunting yaitu status
ekonomi orang tua dan ketahanan pangan keluarga.
Status ekonomi orang tua dapat dilihat berdasarkan pendapatan
orang tua. Pendapatan keluarga merupakan pendapatan total keluarga
yang diperoleh dari berbagai sumber, yaitu hasil kepala keluarga, hasil
istri, hasil pemberian, hasil pinjaman, dan hasil usaha sampingan per
bulan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ngaisyah pada
tahun 2015 menunjukkan bahwa pada kelompok stunting lebih banyak
pendapatannya adalah dibawah UMR yakni sebanyak 67 responden
(35,8%) , sedangkan yang memiliki pendapatan diatas UMR hanya
sedikit yakni sebanyak 45 orang (22%).2 Hasil penelitian lain yang
dilakukan oleh Lestari et all. tahun 2014 menunjukkan bahwa
pendapatan keluarga yang rendah merupakan faktor resiko kejadian
stunting pada balita 6- 24 bulan. Anak dengan pendapatan keluarga
yang rendah memiliki resiko menjadi stunting sebesar 8,5 kali
dibandingkan pada anak dengan pendapatan tinggi. Rendahnya
tingkat pendapatan secara tidak langsung akan menyebabkan

1
terjadinya stunting hal ini dikarenankan menurunnya daya beli pangan
baik secara kuantitas maupun kualitas atau terjadinya ketidaktahanan
pangan dalam keluarga.
Menurut Peraturan Pemerintah No 68 Tahun 2002 dan UU Pangan
No 18 Tahun 2012 tentang Ketahanan Pangan, maka ketahanan
pangan merupakan kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga
yang tercermin dari ketersediaan pangan yang cukup, baik jumlah,
maupun mutunya, aman, merata, dan konsumsi pangan yang cukup
merupakan syarat mutlak terwujudnya ketahanan pangan rumah
tangga. Ketidaktahanan pangan dapat digambarkan dari perubahan
konsumsi pangan yang mengarah pada penurunan kuantitas dan
kualitas termasuk perubahan frekuensi konsumsi makanan pokok.
Ketahanan pangan keluarga erat hubungannya dengan ketersediaan
pangan yang merupakan salah satu faktor atau penyebab tidak
langsung yang berpengaruh pada status gizi anak. Gizi buruk
menyebabkan terhambatnya pertumbuhan pada balita, sehingga tinggi
badan anak tidak sesuai dengan umurnya atau disebut dengan balita
pendek atau stunting.
Berdasarkan hasil RISKESDAS pada tahun 2013 kasus stunting di
Indonesia mencapai (37,2 %), tahun 2010 (35,6%), dan tahun 2007
(36,8 %). Hal tersebut tidak menunjukkan penurunan yang signifikan.
Sementara itu dari presentase menurut Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta memiliki prevalensi stunting sebanyak 27,2%.5
Berdasarkan hasil Pemantauan Status Gizi tahun 2017 di Provinsi
Yogyakarta prevalensi stunting sebanyak 19,8%. Senada dengan hal
itu prevalensi stunting di kabupaten Gunungkidul 27,9% atau
terbanyak di provinsi DIY.
Stunting yang terjadi pada balita dapat berdampak pada
pertumbuhan dan perkembangan intelektual anak. Secara tidak

2
langsung dampak tersebut dapat berakibat pada penurunan
produktivitas, peningkatan risiko penyakit degenaratif, peningkatan
kelahiran bayi dengan berat badan lahir rendah di masa mendatang.
Dampak tersebut dapat meningkatkan kemiskinan dimasa yang akan
datang dan secara tidak langsung akan mempengaruhi ketahanan
pangan keluarga. Stunting pada balita di negara berkembang dapat
disebabkan karena faktor genetik dan faktor lingkungan yang kurang
memadai untuk tumbuh kembang anak yang optimal. Salah satu faktor
lingkungan yang dapat mempengaruhi terjadinya stunting pada balita
yaitu pendapatan orang tua. Pendapatan orang tua yang memadai
akan menunjang tumbuh kembang anak karena orang tua dapat
menyediakan semua kebutuhan anak baik yang primer maupun yang
sekunder. 7 Sedangkan, apabila pendapatan orang tua rendah maka
sebagian besar pendapatan akan digunakan untuk memenuhi
kebutuhan pangan sehingga dapat menyebabkan keluarga rawan
pangan. Keluarga yang pemiliki pendapatan rendah dan rawan pangan
dapat menghambat tumbuh kembang balita (stunting).
Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang telah dilakukan di Dinas
kesehatan kabupaten Gunungkidul, diketahui bahwa jumlah balita
stunting di Kabupaten Gunungkidul sebanyak 6396 balita (20,60%),
dan jumlah balita tidak stunting sebanyak 11970 (78,40%). Beberapa
wilayah yang termasuk dalam 3 terbanyak jumlah balita stunting yaitu
wilayah kerja Puskesmas Gendangsari II sebanyak 346 balita
(35,60%), wilayah kerja Puskesmas Rongkop sebanyak 387 balita
(33,48%), wilayah kerja Puskesmas Karangmojo II sebanyak 337
balita (30,25%). Prevalensi tersebut merupakan hasil penilaian status
gizi tahun 2017.

3
Berdasarkan latar belakang diatas, maka peneliti ingin membuat
sebuah makalah dengan judul Pengaruh Sosial Ekonomi Dengan
Kejadian Stunting Pada Balita

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang terdapat pada latar belakang, maka
peneliti membuat rumusan masalah sebagai berikut.
Apakah ada Pengaruh Sosial Ekonomi Dengan Kejadian Stunting
Pada Balita

C. Tujuan Penelitian
Penelitian bertujuan untuk mengkaji Pengaruh Sosial Ekonomi
Dengan Kejadian Stunting Pada Balita.

4
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Program Kesehatan
1. Pelayanan Kesehatan Promotif
Pemeriksaan kehamilan (ANC) berhubungan dengan
pengetahuan dan kejadian stunting, dikemukakan dalam hasil
penelitian Aguayo (2014), bahwa kejadian stunting lebih tinggi
pada ibu yang melakukan ANC ≤ 3 kali. Hali ini sejalan dengan
Kemenkes (2013) bahwa pemeriksaan kehamilan dapat
mendeteksi secara dini risiko komplikasi pada kehamilan dan
persalinan, memantau kesehatan ibu dan janin, dan pemberian
informasi oleh bidan, dokter. Setiap ibu yang memeriksakan
kehamilannya baik ke bidan maupun ke posyandu diberikan
informasi tentang kesehatan.
Salah satu upaya untuk meningkatkan pengetahuan ibu tentang
pencegahan stunting dan membuat ibu memahami adanya faktor
risiko stunting adalah dengan melalui penyuluhan (promosi
kesehatan) menggunakan media interaktif. Pada penelitian ini
didapatkan gambaran bahwa ibu balita hampir seluruhnya
menyatakan media kartu integrating efektif, dengan alasan lebih
mudah dipahami, menarik, belajar memahami tentang stunting
lebih mudah dengan adanya gambar dan penjelasannya. Hasil
penelitian dapat meningkatkan pengetahuan ibu balita melalui
media promosi kartu Integrating. Didapatkan data bahwa media
kartu mudah dipahami, menarik, dan belajar disertai gambar dan
penjelasannya. Kartu merupakan media informasi yang berinteraksi
dengan komunikasi, dan antar individu dapat berinteraksi.

5
Dikemukakan dalam Surat keputusan Menkes RI (Kemenkes,
2007) bahwa promosi kesehatan adalah upaya untuk
meningkatkan kemampuan masyarakat melalui pembelajaran dari,
oleh, untuk, dan bersama masyarakat, yang dapat
mengembangkan kegiatan bersumber daya masyarakat sesuai
kondisi sosial budaya setempat.
Promosi kesehatan adalah suatu kegiatan atau usaha
menyampaikan informasi kesehatan kepada masyarakat sehingga
dapat meningkatkan pengetahuan tentang kesehatan yang lebih
baik. Oleh karena itu, pemberian informasi tentang pencegahan
stunting sangatlah penting, karena dengan begitu diharapkan
kejadian stunting dapat berkurang. (Maywita, 2018).
2. Pelayanan Kesehatan Preventif
Stunting merupakan salah satu target Sustainable Development
Goals (SDGs) yang termasuk pada tujuan pembangunan
berkelanjutan ke-2 yaitu menghilangkan kelaparan dan segala
bentuk malnutrisi pada tahun 2030 serta mencapai ketahanan
pangan. Target yang ditetapkan adalah menurunkan angka
Stunting hingga 40% pada tahun 2025.
Untuk mewujudkan hal tersebut, pemerintah menetapkan
Stunting sebagai salah satu program ptioritas. Berdasarkan
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 39 Tahun 2016 tentang
Pedoman Penyelenggaraan Program Indonesia Sehat dengan
Pendekatan Keluarga, upaya yang dilakukan untk menurunkan
prevalensi Stuntingdi antaranya sebagai berikut:
a. Ibu hamil dan bersalin
1) Intervensi pada 1.000 hari pertama kehidupan
2) Mengupayakan jaminan mutu ante natal care (ANC) terpadu
3) Meningkatkan persalinan di fasilitas kesehatan

6
4) Menyelenggarakan program pemberian makanan tinggi
kalori, protein, dan mikronutrien (TKPM)
5) Deteksi dini penyakit (menular dan tidak menular)
6) Pemberantasan kecacingan
7) Meningkatkan transformasi Kartu Menuju Sehat (KMS) ke
dalam buku KIA
8) Menyelenggarakan konseling Inisiasi Menyusu Dini (IMD)
dan ASI eksklusif dan
9) Penyuluhan dan pelayanan KB
b. Balita
1) Pemantauan pertumbuhan balita
2) Menyelenggarakan kegiatan Pemberian Makanan
Tambahan (PMT) untuk balita
3) Menyelenggarakan stimulasi dini perkembangan anak dan
4) Memberikan pelayanan kesehatan yang optimal
5) Pemberian multivitamin zinc dan zat besi
c. Anak usia sekolah
1) Melakukan revitalisasi Usaha Kesehatan Sekolah (UKS)
2) Menguatkan kelembagaan Tim Pembina UKS
3) Menyelenggarakan Program Gizi Anak Sekolah (PROGAS)
dan
4) Memberikan sekolah sebagai kawasan bebas rokok dan
narkoba
d. Remaja
Meningkatkan penyuluhan untuk perilaku hidup bersih dan
sehat (PHBS), pola gizi seimbang, tidak merokok dan
mengonsumsi narkoba.

7
e. Dewasa muda
1) Penyuluhan dan pelayanan keluarga berencana (KB)
2) Deteksi dini penyakit (menular dan tidak menular) dan
3) Meningkatkan penyuluhan untuk PHBS, pola gizi seimbang,
tidak merokok/mengkonsumsi narkoba. (R.I, Kementerian
Kesehatan, Buletin Jendela Data dan Informasi Kesehatan,
2018)
3. Pelayanan Kesehatan Kuratif
Untuk mengatasi permasalahan gizi ini, pada tahun 2010 PBB
telah meluncurkan program Scalling Up Nutrition (SUN) yaitu
sebuah upaya bersama dari pemerintah dan masyarakat untuk
mewujudkan visi bebas rawan pangan dan kurang gizi (zero
hunger and malnutrition), melalui penguatan kesadaran dan
komitmen untuk menjamin akses masyarakat terhadap makanan
yang bergizi. Di Indonesia, Gerakan scaling up nutrition dikenal
dengan Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi dalam
rangka Seribu Hari Pertama Kehidupan (Gerakan 1000 HPK)
dengan landasan berupa Peraturan Presiden (Perpres) nomor 42
tahun 2013 tentang Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi.
Untuk mencapai percepatan perbaikan gizi ini dibutuhkan
dukungan lintas sektor. Kontribusi sektor kesehatan hanya
menyumbang 30%, sedangkan sektor non kesehatan berkontribusi
sebesar 70% dalam penangulangan masalah gizi.5 Dalam gerakan
1000 HPK telah dijelaskan bahwa untuk menanggulangi masalah
kurang gizi diperlukan intervensi yang spesifik dan sensitif.
Intervensi spesifik dilakukan oleh sektor kesehatan seperti
penyediaan vitamin, makanan tambahan, dan lainnya sedangkan
intervensi sensitif dilakukan oleh sektor non–kesehatan seperti
penyediaan sarana air bersih, ketahanan pangan, jaminan

8
kesehatan, pengentasan kemiskinan dan sebagainya. Berdasarkan
hal di atas, penulis tertarik untuk mengidentifikasi intervensi
spesifik dan sensitif apa saja yang telah dilakukan baik sektor
kesehatan dan non kesehatan dalam menangulangi masalah gizi
balita.
4. Program Kesehatan Promotif, Preventif, Kuratif Mengacu Pada
Ekonomi Kesehatan Need/Demand/Supply
Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat
kekurangan gizi kronis terutama pada 1.000 Hari Pertama
Kehidupan (HPK). Stunting mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembangan otak. Anak stunting juga memiliki risiko lebih tinggi
menderita penyakit kronis di masa dewasanya.
Permasalahan stunting terjadi mulai dari dalam kandungan dan
baru akan terlihat ketika anak sudah menginjak usia dua tahun.
UNICEF mendefinisikan stunting  sebagai persentase anak-anak
usia 0 sampai 59 bulan, dengan tinggi badan di bawah minus
(stunting sedang dan berat) dan minus tiga (stunting kronis). Hal ini
diukur dengan menggunakan standar pertumbuhan anak yang
dikeluarkan oleh WHO. Selain mengalami pertumbuhan
terhambat, stunting juga seringkali dikaitkan dengan penyebab
perkembangan otak yang tidak maksimal.
Kementrian kesehatan telah menyusun strategi nasional dalam
menurunkan stunting. Strateginya antara lain dengan intervensi gizi
spesifik atau langsung menyasar anak yakni untuk anak dalam
1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK). Upaya yang dilakukan di
antaranya pemberian obat atau makanan untuk ibu hamil atau bayi
berusia 0-23 bulan. Juga intervensi gizi sensitif yang dilakukan
melalui berbagai kegiatan pembangunan di luar sektor kesehatan,
antara lain, penyediaan air bersih atau sanitasi, pendidikan gizi,

9
dan ketahanan pangan dan gizi. Strategi penurunan stunting ini,
harus dilakukan dengan bersinergi melibatkan beberapa
kementerian lembaga serta koordinasi pemerintah pusat dan
pemerintah daerah.
Menteri Kesehatan RI  Terawan Agus Putranto, menjadikan
penurunan angka stunting menjadi salah satu program utama
sesuai arahan presiden. Kasus stunting ditargetkan bisa turun
dalam tiga tahun mendatang. Makanya tak heran, beberapa saat
setelah dilantik menjadi Menteri Kesehatan Terawan  pun bergerak
cepat untuk mengatasi masalah stunting ini. Terawan langsung 
melakukan koordinasi dengan BKKBN.  Menurutnya  perlu
langkah-langkah harmonis antarbadan untuk
penangangan stunting yang menjadi prioritas. 
Ada dua program penurunan stunting yang akan dilakukan
pemerintah dalam menangani masalah ini. Program pertama
adalah pengadaan software yang berisi program
penurunan stunting. Pembuatan software ini digawangi Direktorat
Kesehatan Masyarakat. Dan program kedua melibatkan
puskesmas, yang fungsinya kembali menjadi preventif dan promotif
bukan kuratif.
Menurunnya angka stunting di Indonesia merupakan kabar
baik. Tapi masih perlu kerja keras semua pihak untuk melakukan
segala upaya penurunan stunting. Menurut standar WHO, batas
maksimal toleransinya di angka 20 persen atau seperlima dari
jumlah total anak balita yang sedang tumbuh.
Sejak kebijakan JKN digulirkan, BPJS Kesehatan belum
melaksanakan kewajiban memberikan kompensasi sesuai pasal 23
UU SJSN bagi daerah yang belum memiliki fasilitas memadai (sulit
akses). Hal ini disebabkan terjadi defisit sehingga tidak tersedianya

10
dana. Menyampaikan kajian Pusat Kebijakan dan Manajemen
Kesehatan, FKKMK UGM sebelum berlangsung Diskusi Outlook
Kebijakan Kesehatan 2020 dengan topik Penguatan Sistem
Kesehatan Untuk Pelayanan Kesehatan yang Berkeadilan, Fauzi
menyebut adanya kenaikan iuran JKN di tahun 2020 memang
untuk menutup defisit penyelenggaraan pembiayaan kesehatan
nasional tahun sebelumnya. Selain itu, juga sebagai upaya untuk
meningkatkan kualitas pelayanan. Penyebab defisit karena
penyelenggaraan belum optimal dalam hal perhitungan aktuarinya,
beberapa segmen memang berkurang atau segmen pelayanan
seperti PBPU dan PBI perhitungan tidak bagus tidak memenuh
syarat perhitungan aktuarinya. Selama ini, BPJS memang belum
melaksanakan kebijakan terkait kompensasi sehingga daerah-
daerah yang belum memiliki faskes yang memadai tidak bisa
mengakses pelayanan kesehatan,
Untuk kasus stunting, pembiayaan berasal dari JKN. Hanya
saja program stunting upaya promotif dan preventif dananya
berasal adari APBN atau APBD di luar JKN. Jadi, stunting itu
programnya ada promotif dan preventif, tapi jika harus masuk
rumah sakit karena stunting maka dicover oleh Jaminan Kesehatan
Nasional. Tapi sekali lagi untuk promotif preventif masuk ranahnya
non JKN. Misalnya untuk program peningkatan gizi, itu program
dengan dana APBN atau APBD, sedangkan yang kuratif dan
rehabilitatif masuk ranahnya JKN.

11
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pemeriksaan kehamilan (ANC) berhubungan dengan
pengetahuan dan kejadian stunting, dikemukakan dalam hasil
penelitian Aguayo (2014), bahwa kejadian stunting lebih tinggi pada
ibu yang melakukan ANC ≤ 3 kali. Salah satu upaya untuk
meningkatkan pengetahuan ibu tentang pencegahan stunting dan
membuat ibu memahami adanya faktor risiko stunting adalah dengan
melalui penyuluhan (promosi kesehatan) menggunakan media
interaktif.
Permasalahan stunting terjadi mulai dari dalam kandungan dan
baru akan terlihat ketika anak sudah menginjak usia dua tahun.
UNICEF mendefinisikan stunting sebagai persentase anak-anak usia
0 sampai 59 bulan, dengan tinggi badan di bawah minus (stunting
sedang dan berat) dan minus tiga (stunting kronis). Hal ini diukur
dengan menggunakan standar pertumbuhan anak yang dikeluarkan
oleh WHO. Selain mengalami pertumbuhan terhambat, stunting juga
seringkali dikaitkan dengan penyebab perkembangan otak yang tidak
maksimal.
Kementrian kesehatan telah menyusun strategi nasional dalam
menurunkan stunting. Strateginya antara lain dengan intervensi gizi
spesifik atau langsung menyasar anak yakni untuk anak dalam 1.000
Hari Pertama Kehidupan (HPK). Upaya yang dilakukan di antaranya
pemberian obat atau makanan untuk ibu hamil atau bayi berusia 0-23
bulan. Juga intervensi gizi sensitif yang dilakukan melalui berbagai
kegiatan pembangunan di luar sektor kesehatan, antara lain,

12
penyediaan air bersih atau sanitasi, pendidikan gizi, dan ketahanan
pangan dan gizi.
B. Saran
Bagi tenaga kesehatan baik bidan desa maupun tenaga
kesehatan lainnya untuk lebih dapat mendukung dan memotivasi
dengan melakukan pendampingan kepada ibu dan keluarga sejak
hamil agar ibu memberikan ASI eksklusif sampai bayi berusia 6 bulan
dan melanjutkan pemberian ASI sampai 24 bulan. Bagi masyarakat
terutama ibu agar lebih berpartisipasi aktif dalam pemanfaatan fasilitas
dan pelayanan kesehatan yang ada baik di puskesmas maupun
posyandu sehingga diharapkan dapat menurunkan prevalensi stunting
pada anak balita dan masalah kesehatan anak dapat selalu terpantau
dan teratasi dengan baik.

13
DAFTAR PUSTAKA

Astuti, S., Megawati, G. and CMS, S. (2018) ‘Upaya Promotif Untuk Meningkatkan
Pengetahuan Ibu Balita Tentang Pencegahan Stuntingdengan Media
Integrating Carddi Kecamatan Jatinangor Kabupaten Sumedang’, Jurnal
Pengabdian Kepada Masyarakat, 2(6).
Atin Nirmayasanti. 2019. Status Sosial Ekonomi dan Keragaman Pangan Pada Balita
Stunting dan NonStunting Usia 24-59 Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas
Wilangan Kabupaten Nganjuk. Suarabaya. Jurnal Airlangga

Dian Wahyuni. 2020. Pengaruh Sosial Ekonomi Dengan Kejadian Stunting Pada Balita
Di Desa Kualu Tambang Kampar. Volume 4, Nomor 1, April 2020. Riau. Jurnal
Kesehatan Masyarakat.
Nathan, A. J. and Scobell, A. (2012) ‘BAB II TINJAUAN PUSTAKA Vertigo’, Foreign
Affairs, 91(5), pp. 1689–1699.

Rosha, B. C. et al. (2016) ‘Peran Intervensi Gizi Spesifik dan Sensitif dalam Perbaikan
Masalah Gizi Balita di Kota Bogor’, Buletin Penelitian Kesehatan, 44(2), pp.
127–138. doi: 10.22435/bpk.v44i2.5456.127-138.

Anda mungkin juga menyukai