Anda di halaman 1dari 49

HUBUNGAN BBLR DAN ASI EKSKLUSIF DENGAN

KEJADIAN STUNTING DI DESA KONDOWA

KECAMATAN PASARWAJO KABUPATEN BUTON

WA ODE KRISNAWATI

16710009

KONSENTRASI EPIDIDEMIOLOGI KESEHATAN

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS DAYANU IKHSANUDDIN

BAUBAU

2021

i
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .......................................................................... i

DAFTAR ISI ..................................................................................... ii

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang ............................................................ 1

1.2. Rumusan Masalah ...................................................... 5

1.3. Tujuan Penelitian ........................................................ 5

1.4. Manfaat Penelitian ...................................................... 5

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Stunting ........................................................

2.1.1 Pengertian Stunting.............................................

2.1.2 Faktor-Faktor Penyebab Stunting.......................

2.1.3 Dampak Stunting.................................................

2.1.4 Metode Pengukuran Stunting..............................

2.1.5 Pencegahan Stunting..........................................

2.2. Konsep Dasar Balita....................................................

2.3. Tinjauan BBLR (Berat Badan Lahir Rendah) .............

2.4. Tinjauan Asi Eksklusif..................................................

2.5. Hubungan BBLR dengan Kejadian Stunting...............

2.6. Hubungan Asi Eksklusif dengan Kejadian Stunting.....

BAB 3 KERANGKA KONSEP

3.1. Dasar Pemikiran Variabel yang Diteliti .......................

3.2. Definisi Operasional dan Kriteria Objektif....................

ii
3.3. Hipotesis......................................................................

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN

4.1. Jenis Penelitian ...........................................................

4.2. Waktu dan Lokasi Penelitian .......................................

4.3. Populasi dan Sampel...................................................

4.4. Pengumpulan Data......................................................

4.5. Instrumen Pengumpulan Data.....................................

4.6. Pengolahan Data.........................................................

4.7. Analisis Data................................................................

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Di indonesia permasalahan utama pada balita yaitu status gizi

seperti masalah gizi kurang, gizi buruk serta stunting. Balita dengan

tubuh pendek (stunting) adalah tanda-tanda buruknya status gizi balita

dan dapat digunakan sebagai tolak ukur dalam waktu lama untuk

kekurang gizi pada anak (Senbanjo, dkk, 2011).

Stunting (kerdil) sangat berbahaya dan berdampak pada

perkembangan tubuh balita karena dapat mempengaruhi kecerdasan

dan produktivitas anak yang berlangsung dalam jangka panjang,

bahkan stunting dapat menyebabkan kematian karena secara umum

keluarga tidak menyadari stunting pada balita dan baru akan terlihat

setelah 2 tahun (Oktarina & Sudiarti, 2014). Stunting biasanya terjadi

pada balita berusia 12 hingga 59 bulan. Menurut teori, 90%

pertumbuhan otak manusia terbentuk sejak masih menjadi janin

sampai usia balita. Malahan, 70% pertumbuhan otak manusia

terbentuk saat masih berusia di bawah 2 tahun (Anisa, 2012). Masa

emas atau periode kritis merupakan masa dimana balita mengalami

proses pertumbuhan yang tidak ditemukan di masa-masa usia balita

lainnya. (Almatsier, 2003).


Menurut Unicef Framework, ada 3 faktor utama penyebab

stunting yaitu, berat badan rendah saat lahir, asupan makan yang

tidak seimbang, dan riwayat penyakit. (The, E,. & Journal, 2007).

Kurang lebih 80% anak stunting ditemukan di 24 negara berkembang

di wilayah Asia dan Afrika (UNICEF, 2014). Pada tahun 2016 United

Nations Children's Emergency Fund (UNICEF) mengemukakan bahwa

37% anak stunting tinggal di Afrika dan 56% tersebar diwilayah Asia.

Angka kejadian stunting pada tahun 2017 telah jauh menurun

dibanding pada tahun 2000. Pada tahun 2017 kurang lebih 150,8 juta

atau 22,2% balita di dunia mengalami kejadian stunting sedangkan

pada tahun 2000 angka stunting mencapai 32,6%. Pada tahun 2017,

lebih dari 55% balita stunting tingggal di Asia dan lebih dari 39%

tinggal di Afrika. Dari 83,6 juta balita stunting di Asia, 58,7% berasal

dari Asia Selatan dan yang paling sedikit atau sekitar 0,9% tinggal di

Asia Tengah.

Menurut WHO, jumlah keseluruhan kasus stunting menjadi

permasalahan kesehatan masyarakat jika mencapai lebih dari 20%.

Indonesia masih mengalami masalah gizi dan masalah pertumbuhan

dan perkembangan anak sehingga persentasi balita stunting masih

tinggi dan masih menjadi permasalahan nasional yang harus diatasi.

Laporan Nutrisi Global (GNR) tahun 2014 menunjukkan Indonesia

merupakan salah satu dari 17 negara diantara 117 negara di dunia

yang memiliki permasalahan gizi pada balita yaitu overweight, wasting


dan stunting (PSG, 2015). WHO mencatat bahwa di dunia lebih dari 2

juta kematian anak umur 6–12 tahun berhubungan langsung dengan

gizi terutama akibat stunting dan sekitar 1 juta kematian akibat KEP

(Kekurangan Energi dan Protein), vitamin A dan zinc (Martins, Florê,

Santos, Vieira, & Sawaya, 2011). Data prevalensi balita stunting yang

dikumpulkan WHO di indonesia rata-rata 36,4% pada tahun 2005-

2017.

Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar jumlah keseluruhan

kasus stunting pada tahun 2007 sampai 2018 kasus balita dengan

stunting sangat berat mengalami penurunan sebesar 6,4% sedangkan

jumlah keseluruhan balita pendek (stunting) meningkat 1,3%. Pada

tahun 2017 di Indonesia jumlah keseluruhan balita pendek (stunting)

dan sangat pendek (stunting berat) usia 0-59 bulan adalah 19,8%.

Keadaan ini mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya yaitu

jumlah keseluruhan balita pendek (stunting) sebesar 19% dan sangat

pendek (stunting berat) sebesar 8.5%. Daerah dengan jumlah kasus

tertinggi balita pendek (stunting) dan sangat pendek (stunting berat)

pada usia 0-59 bulan pada tahun 2017 adalah Provinsi Nusa

Tenggara Timur, sedangkan daerah dengan jumlah kasus terendah

adalah Provinsi Bali (KemenKes RI, 2018).

Hasil data dari Dinkes (Dinas Kesehatan) Provinsi Sulawesi

Tenggara ditahun 2017 menyebutkan prevalensi kejadian stunting


berjumlah 29,6% dan meningkat ditahun 2018 dengan jumlah kasus

berjumlah 36,4% (Dinas Kesehatan Kota Baubau, 2018)

Hasil data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Buton di tahun

2019 jumlah kasus balita stunting sebesar 30,02% dari 7 Kecamatan

berdasarkan Wilayah Kerja Puskesmas. Wilayah Kerja Puskesmas

Banabungi jumlah kasus sebesar 30,50%. Jumlah kasus stunting di

Wilayah Kerja Puskesmas Kumbewaha yaitu sebesar 37,25% . Kasus

stunting di Wilayah Kerja Puskesmas Pasarwajo yaitu sebesar

14,17%, di Wilayah Kerja Puskesmas Lasalimu Selatan yaitu sebesar

32,50%%. Siotapina 41,69%, Wolowa 31,87%, Wabula 32,54%,

Kapontori 33,55%, Lawele 47,03%, Lasalimu 37,21%, Wakaokili

31,07%, Barangka 40,79%, Tuangila 39,66% dan Wajah Jaya

17,36%.

Berdasarkan data di wilayah kerja puskesmas banabungi pada

tahun 2020 jumlah kasus stunting di desa kondowa sebanyak 44

kasus. Jumlah kasus stunting di kelurahan kombeli sebanyak 44

kasus. Jumlah kasus stunting di kelurahan takimpo sebanyak 47

kasus. Jumlah kasus stunting di desa laburunci sebanyak 25 kasus.

Jumlah kasus stunting di desa awainulu 20 kasus. Jumlah kasus

stunting di desa holimombo jaya sebanyak 13 kasus. Jumlah kasus

stunting di desa banabungi sebanyak 11 kasus dan jumlah kasus

stunting di kelurahan holimombo sebanyak 10 kasus.


Berdasarkan penjelasan diatas, peneliti tertarik untuk

melakukan penelitian tentang hubungan berat badan lahir rendah dan

asi eksklusif dengan kejadian stunting khususnya di wilayah Desa

Kondowa Kecamatan Pasarwajo Kabupaten Buton tahun 2021.

1.2. Rumusan Masalah

Apakah ada hubungan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) dan

Asi esklusif dengan kejadian stunting di Desa Kondowa Kecamatan

Pasarwajo Kabupaten Buton?

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan umun dalam penelitian ini adalah untuk

menganalisis hubungan berat badan lahir rendah dan Asi

esklusif dengan kejadian stunting Desa Kondowa Di Wilayah

Kerja Puskesmas Banabungi Kecamatan Pasarwajo Kabupaten

Buton.

1.3.2 Tujuan Khusus

Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini, yaitu:

1. Untuk mengetahui apakah ada kejadian berat badan lahir

rendah (BBLR) Di Desa Kondowa Kecamatan Pasarwajo

Kabupaten Buton?

2. Untuk menganalisis bagaimanakah pemanfaatan Asi Esklusif

oleh Ibu untuk bayinya di Desa Kondowa Kecamatan

Pasarwajo Kabupaten Buton.


1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1 Bagi Peneliti

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi wahana untuk

menambah wawasan dan menjadi pengetahuan baru bagi

peneliti tentang permasalahan yang akan diteliti serta dapat

menjadi pengalaman baru peneliti dalam proses belajar

khususnya dalam bidang karya tulis ilmiah.

1.4.2 Bagi Instansi

Peneliti sangat mengharapkan hasil penelitian ini

dapat menjadi referensi, bahan kajian dan inovasi baru

tentang topik yang oleh instansi kesehatan dan instansi

terkait lainya dalam membuat keputusan atau kebijakan

selanjutnya dibidang kesehatan.

1.4.3 Bagi Perkembangan Ilmu Pengetahuan

Peneliti berharap hasil penelitian ini dapat menjadi

sumbangsih berharga dalam pengembangan ilmu

pengetahuan khususnya dalam bidang kesehatan

masyarakat.
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Stunting

2.1.1 Pengertian Stunting

Unicef (2013), dalam Mitra (2015) menjelaskan bahwa

salah satu masalah gizi yang dihadapi oleh negara-negara di

dunia khususnya negara miskin dan negara berkembang

adalah stunting (Balita Pendek). Stunting merupakan masalah

kesehatan yang dapat mengakibatkan gangguan pertumbuhan

pada anak. Stunting merupakan masalah global karena dapat

meningkatkan resiko terhambatnya pertumbuhan mental,

terlambatnya perkembangan motorik, kesakitan bahkan

kematian pada anak.

Menurut Millenium Challengga Account Indonesia

(2013), Stunting merupakan masalah kekurangan gizi dalam

waktu cukup lama yang dikarenakan asupan gizi yang kurang

akibat dari pemberian makanan yang tidak memenuhi

kebutuhan gizi. Stunting atau sering disebut “kerdil atau

pendek” adalah suatu kondisi gagalnya pertumbuhan dan

perkembangan balita utamanya pada 1.000 hari awal

kehidupan atau sejak dalam kandungan hingga berusia 2 tahun

sebagai dampak dari kekurangan gizi kronis sehingga tumbuh

kembang anak tidak sesuai dengan anak seusianya (Persagi,


2018). Kekurangan gizi pada usia dini dapat menyebabkan

penderitanya mudah terserang penyakit, postur tubuhnya tidak

maksimal setelah dewasa dan kemampuan kognitif berkurang,

bahkan dapat menyebabkan kematian pada bayi dan anak.

Pada tahun 2016 World Health Organization (WHO)

merilis prevalensi balita stunting di dunia mencapai 22,9%.

Menurur World Health Organization (WHO) dalam Lestari &

Dwihestie (2020), kasus stunting (balita pendek) merupakan

permasalahan kesahatan masyarakat apabila prevalensinya

mencapai 20% atau lebih. Dengan demikian, stunting

merupakan masalah kesehetan masyarakat di Indonesia. Hal

ini berdasarkan hasil Pemantauan Status Gizi (PSG) pada

tahun 2017 yang menunjukan bahwa prevalensi balita stunting

di Indonesia mencapai angka 29,6%.

Berdasarkan beberapa pengertian stunting diatas dapat

disimpulkan bahwa stunting merupakan kondisi terhambatnya

pertumbuhan dan perkembangan anak terutama pada 1.000

hari pertama awal kehidupan atau sejak dalam kandungan

hingga berusia 2 tahun yang dikarenakan tidak terpenuhinya

kebutuhan gizi dalam waktu yang lama sehingga menyebabkan

penderitanya mudah terserang penyakit, postur tubuhnya tidak

maksimal saat dewasa, kemampuan kognitif berkurang,


terhambatnya pertumbuhan mental dan perkembangan motorik

bahkan dapat menyebabkan kematian pada anak.

2.1.2 Faktor-faktor Penyebab Stunting

Menurut Dareth, dkk (2014) dalam Tanzil & Hafriani

(2021), faktor penyebab stunting terdiri dari beberapa faktor

yaitu faktor basic seperti faktor pendidikan ibu dan ekonomi.

Selanjutnya faktor intermediet seperti usia ibu, tinggi badan ibu,

jumlah anggota keluarga dan jumlah anak ibu, kemudian faktor

proximal seprti berat badan lahir rendah (BBLR), pemberian asi

eksklusif dan usia anak. Bappenas (2011) dalam Mugianti, dkk

(2018) menjelaskan bahwa menurut Unichef status gizi anak

dipengaruhi oleh 2 faktor, yaitu faktor langsung dan faktor tidak

langsung. Berat badan lahir rendah, penyakit infeksi, asupan

nutrisi dan jenis kelamin merupakan faktor penyebab langsung

stunting. Sedangkan faktor tidak langsung penyebab stunting

yaitu status pelayanan kesehatan, pendidikan orang tua,

kondisi ekonomi keluarga dan pola asuh tidak Asi Eksklusif.

Berdasarkan pendapat ahli di atas faktor-faktor

penyebab stunting, yaitu:

1. Asupan Nutrisi

Asupan nutrisi sangat mempengaruhi tumbuh kembang

balita khususnya pada 1.000 hari pertama kehidupan yaitu


sejak dalam kandungan sampai berusia 2 tahun. Asupan gizi

balita dapat dikategorikan menjadi:

a. Asupan gizi berlebih yaitu kondisi dimana asupan gizi

balita melebihi asupan gizi yang dibutuhkan sehingga

dapat menyebabkan obesitas atau kegemukan.

b. Asupan gizi baik yaitu kondisi dimana asupan gizi yang

diberikan sesuai dengan asupan gizi yang dibutuhkan

balita.

c. Asupan gizi kurang yaitu asupan gizi yang diberikan

belum atau tidak memenuhi asupan gizi yang dibutuhkan

sehingga balita beresiko mengalami masalah dalam

tumbuh kembangnya.

2. Berat Badan Lahir Rendah (BBLR)

Bayi yang mengalami BBLR adalah bayi yang lahir dengan

berat badan kurang dari 2.500 gram. Bayi dengan BBLR

akan beresiko mengalami hambatan dalam bertumbuhan

dan perkembangnya serta rentan terhadap terjadinya infeksi

dan hipotermia.

3. Infeksi Penyakit

Penyakit infeksi yang sudah diderita oleh balita akan susah

ditangani meskipun asupan gizi yang diberikan sudah sesuai

dengan kebutuhan tetapi hal tersebut masih belum dapat

meningkatkan status gizi dan kesehatan anak. Oleh karena


itu penggarapan asupan gizi balita lebih baik dilakukan sejak

balita berusia 6-59 bulan untuk mencegah terjadinya

penyakit infeksi. (Bappenas R.I, 2013).

Bappenas R.I (2013) menyatakan bahwa “penyakit infeksi

yang sering diderita balita seperti diare, cacingan, dan infeksi

saluran pernapasan atas (ISPA) serta infeksi lainnya sangat

erat kaitannya dengan kualitas pelayanan kesehatan dasar

khususnya kualitas lingkungan hidup, imuniasi, dan perilaku

sehat.”

4. Asi Eksklusif

Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor

33 Tahun 2012, Asi Eksklusif adalah pemberian air susu ibu

(ASI) tanpa menambahkan atau mengganti dengan makanan

atau minuman lain yang diberikan pada bayi sejak baru lahir

selama 6 bulan. Pemberian Asi Eksklusif saja telah cukup

untuk memenuhi kebutuhan nutrisi bayi 0-6 bulan. Asi

eksklusif dinilai penting karena pada usia 0-6 bulan makanan

selain Asi belum dapat dicerna dengan baik. Asi Eksklusif

memiliki banyak manfaat untuk tumbuh kembang bayi

dimulai dari meningkatkan imunitas, pemenuhan kebutuhan

nutrisi hingga memperetat hubungan batin ibu dan bayi.


5. Jenis Kelamin

Jenis kelamin mempengaruhi besar kecilnya kebutuhan gizi

seseorang. Menurut Ramli, dkk (2009) di negara

berkembang termasuk Indonesia kemungkinan bertahan

hidup bayi perempuan lebih besar daripada bayi laki-laki.

Selama masa balita, laki-laki cenderung lebih besar

kemungkinannya terkena stunting dibanding perempuan. Hal

ini dikarenakan kebutuhan energi laki-laki lebih tinggi

dibanding perempuan.

6. Tinggi Ibu

Pertumbuhan dan perkembangan seseorang dipengaruhi

faktor genetik dan lingkungan. Faktor genenik antara lain

jenis kelamin dan tinggi badan org tua. Jasmin, dkk (2011)

mengungkapkan bahwa salah satu faktor yang berpengaruh

langsung terhadap kejadian stunting adalah tinggi badan ibu.

7. Kondisi Ekonomi Keluarga

Pendapatan keluarga sangat mempengaruhi ketersediaan

pangan dalam rumah tangga, ciri beberapa rumah tangga

dengan anak pendek diantaranya, yaitu rendahnya

pendapatan keluarga sehingga pengeluaran atau biaya yang

digunakan untuk pangan juga rendah (Sihadi dan Djaiman,

2011). Sebuah penelitian di Semarang Jawa Timur juga

menyimpulkan bahwa rendahnya pendapatan perkapita


adalah faktor resiko kejadian stunting (Nasikah dan

Margawati, 2012). Selain itu penelitian yang dilakukan di

Maluku Utara dan di Nepal juga menyatakan bahwa

“stunting dipengaruhi oleh beberapa faktor salah satunya

adalah faktor sosial ekonomi yaitu defisit pangan dalam

keluarga” (Ramli et al, 2009).

8. Tingkat Pendidikan Orang Tua

Orang tua yang pendidikannya lebih tinggi cenderung

memiliki wawasan atau pengetahuan tentang kesehatan

yang lebih luas dibanding orang tua yang pendidikannya

rendah, misalnya tentang pentingnya memenuhi nutrisi saat

hamil dan pemberian asi eksklusif.

2.1.3 Dampak Stunting

Dampak buruk yang disebabkan stunting terdiri dari

dampak jangka pendek dan jangka panjang. Menurut

Bappenas (2018), terhambatannya perkembangan kognitif dan

motorik, gagalnya pertumbuhan dan perkembangan, gangguan

metabolisme dan tidak optimalnya ukuran fisik tubuh

merupakan dampak jangka pendek yang ditimbulkan stunting.

Sedangkan dampak jangka panjang yang ditimbulkan stunting,

antara lain menurunnya kemampuan intelektual, gangguan

fungsi saraf dan struktur sel otak, menurunnya produktivitas

saat dewasa dan meningkatnya resiko penyakit seperti stroke,

hipertensi, jantung koroner dan diabetes militus. Baik dampak


jangka pendek maupun dampak jangka panjang stunting dapat

mengakibatkan menurunnya kualitas sumberdaya manusia,

produktivitas dan daya saing bangsa.

2.1.4 Penilaian dan Klasifikasi Stunting

Cara penilain status gizi balita yang sering digunakan

adalah penilain antropometri. Antropometri berasal dari bahasa

Yunani yaitu anthro yang berarti manusia dan metri yang

memiliki arti ukuran. Antropometri adalah pengukuran dimensi

dan komposisi tubuh manusia seperti tinggi badan, berat

badan, ketebalan lemak dan lingkar lengan.

Menurut Supariasa, dkk (2012) indeks antropometri yang

sering digunakan yaitu Berat Badan/Usia, Tinggi Badan/Usia

dan Berat Badan/Tinggi Badan. Indeks Tinggi Badan disamping

menggambarkan status gizi masa lampau, juga erat

hubungannya dengan sosial-ekonomi.

Menurut Kepmenkes Nomor 1995/MENKES/SK/XII/2010

tentang Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak,

pengertian stunting (pendek) dan severely stunting (sangat

pendek) didasarkan pada indeks Tinggi Badan/Umur (TB/U)

atau Panjang Badan/ Umur (PB/U). Pelaksanaan penilaian

status gizi di Indonesia merujuk pada rujukan baku WHO-

MGRS (Multicentre Growth Reference Study) tahun 2005.

Standar WHO mengkasifikasikan status nilai gizi menggunakan

z-score atau z (nilai median), yaitu suatu angka salah satunya


adalah Tinggi Badan terhadap standar deviasinya, menurut

usia dan jenis kelamin (Aritonang, 2015). Balita pendek adalah

balita dengan status gizinya bila dibandingkan dengan standar

WHO, nilai z-scorenya kurang dari -2SD dan balita dapat

dikategorikan sangat pendek jika nilai z-scorenya kurang dari -

3SD (Kemenkes RI, 2015). Status gizi pada balita berdasarkan

indikator PB/U atau TB/U dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Klasifikasi Status gizi pada balita berdasarkan indikator


PB/U atau TB/U anak 0-60 bulan.
Indeks Panjang Status Gizi Ambang Batas
Badan menurut Sangat Pendek < -3 SD
Umur (PB/U) - 3 SD sampai <-2 SD
Pendek
atau Tinggi
Badan menurut Normal - 2 SD sampai 2 SD
Umur (TB/U) Tinggi > 2 SD
Sumber: Kemenkes RI Tahun 2010.

2.1.5 Pencegahan Stunting

Pencegahan stunting yang dapat dilakukan dengan

dimulai dari kelurga. Pada anak harus dilakukan sejak dini yaitu

dimulai dari pemantauan pemberian asupan makanan

pendamping yang baik dan sehat, pemantauan tinggi dan berat

badan anak yang di ukur secara berkala untuk mendapatkan

hasil yang baik dari pertumbuhan anak.

Pada tahun 2011 Badan Perencanaan Pembangunan

Nasional mengungkapkan bahwa dalam Mellinium

Development Goals (MDGs) tahun 2015, Indonesia telah

menargetkan menurunnya permasalahan tentang gizi dan


kejadian stunting pada balita hingga mencapai 17,8%. Rencana

Pembangunan Jangka Menengah Nasional menargetkan pada

tahun 2015 angka stunting pada balita menurun hingga tersisa

32% saja (Bapenas, 2011).

Stunting merupakan salah satu target Sustainable

Development Goals (SDGs) yang termasuk pada tujuan

pembangunan berkelanjutan ke-2 yaitu menghilangkan

kelaparan dan segala bentuk malnutrisi pada tahun 2030 serta

mencapai ketahanan pangan. Target yang ditetapkan adalah

menurunkan angka stunting hingga 40% pada tahun 2025.

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 39 Tahun

2016 tentang Pedoman Penyelenggaraan Program Indonesia

Sehat dengan Pendekatan Keluarga, upaya yang dilakukan

untuk menurunkan prevalensi stunting di antaranya sebagai

berikut:

1. Ibu Hamil dan Bersalin

Pencegahan stunting yang dilakukan saat masa kehamilan,

yaitu melakukan intervensi pada 1.000 hari pertama

kehidupan (HPK), Mengupayakan jaminan mutu ante natal

care (ANC) terpadu; mengupayakan meningkatnya

persalinan di fasilitas kesehatan, menyelenggarakan

program pemberian makanan tinggi kalori, protein, dan

mikronutrien (TKPM), melakukan deteksi sekak dini terhadap

penyakit menular dan tidak menular, membasmi cacingan,


menyelenggarakan konseling Inisiasi Menyusu Dini (IMD)

dan ASI eksklusif dan penyuluhan dan pelayanan KB.

2. Balita

Pada usia balita pencegahan stunting dilakukan dengan

memantau tumbuhan kembang balita melaksanakan

kegiatan Pemberian Makanan Tambahan (PMT) balita dan

memberikan pelayanan kesehatan yang optimal.

3. Anak Usia Sekolah

Pencegahan stunting pada anak usia sekolah antara lain

dengan melakukan revitalisasi Usaha Kesehatan Sekolah

(UKS), menyelenggarakan Program Gizi Anak Sekolah

(PROGAS) dan emberlakukan sekolah sebagai kawasan

bebas rokok dan narkoba.

4. Remaja

Meningkatkan PHBS, pola gizi seimbang, tidak merokok dan

mengonsumsi narkoba, dan edukasi kesehatan reproduksi

pada anak usia remaja merupakan kegiatan pencegahan

stunting.

5. Dewasa Muda

Penyuluhan dan pelayanan keluarga berencana (KB)

pendeteksian dini penyakit menular dan tidak menular dan

meningkatkan penyuluhan untuk PHBS merupakan langkah

pencegahan stunting yang dilakukan pada usia dewasa

muda.
2.2. Konsep Dasar Balita

2.2.1 Pengertian Balita

Balita adalah anak yang berumur dibawah 5 tahun atau

berusia 0-59 bulan. Balita merupakan usia dimana

pertumbuhan dan berkembangan yang dialami anak sangat

pesat (Kemenkes RI, 2011). Balita dapat dibagi menjadi tiga

kelompok usia, yaitu usia bayi (0-2 tahun), usia batita (2-3

tahun) dan usia sebelum sekolah (<3-5 tahun). Pada usia anak

masih bergantung penuh pada orang disekitarnya dalam

melakukan aktivitas penting, misalnya makan, buang air dan

mandi (Sediatomo, 2010).

Welasasih dan Wirjadmadi (2008), usia balita adalah

masa pertumbuhan dasar anak dan masa penting dalam

proses pertumbuhan dan perkembangan anak. Masa

pertumbuhan dan perkembangan pada usia ini merupakan

masa yang berlangsung cepat dan tidak akan pernah terulang

lagi, atau sering disebut dengan usia emas. Pertumbuhan dan

perkembangan pada usia balita sangat mempengaruhi

pertumbuhan dan perkembangan pada tahap selanjutnya. Oleh

karena itu, pada masa balita dibutuhkan asupan gizi yang

cukup dan berkualitas, karena pada umumnya aktivitasnya

cukup tinggi dan masih dalam tahap belajar.

2.2.2 Karakteristik Balita


Menurut Persagi (1992) dalam Irianto (2014),

berdasarkan karakteristiknya, balita dapat dibedakan menjadi

2, yaitu batita (usia >1-3 tahun) dan pra sekolah (usia 3-5

tahun). Pada usia batita laju pertubuhan balita lebih besar

dibanding pada usia pra sekolah sehingga makanan yang

dibutuhkan pun relatif meningkat (Proverawati & Wati, 2010).

Pada usia batita, anak merupakan konsumen pasif karena

makanan yang diterima anak hanya makanan yang diberikan

oleh orang tuanya saja (Sediatomo, 2010).

Pada usia pra sekolah (3-5 tahun) sudah dapat

dikatakan sebagai konsumen aktif karena pada usia ini anak

sudah dapat memilih sendiri makanan yang disukainya. Pada

usia 3 sampai 5 tahun anak sudah mulai mengenal dan dapat

bergaul dengan sekitarnya dan aktivitas anak pun mulai

banyak. Hal ini mengakibatkan penolakan terhadap makanan

sering terjadi sehingga akan berdampak pada turunnya berat

bada anak.

2.2.3 Kebutuhan Gizi Balita

Usia balita adalah masa penting dalam proses

pertumbuhan dan perkembangan anak. Pada masa ini balita

membutuhkan asupan zat gizi dalam jumlah yang tepat dan

berkualitas. Kebutuhan gizi yang terpenting dan harus dipenuhi

pada usia balita, yaitu protein, lemak, karbohidrat dan vitamin.


Protein merupakan sumber asam amino dalam tubuh

dan diperlukan sebagai zat pembangun, yaitu untuk

pertumbuhan dan sumber energi (Andriani & Bambang, 2011).

Lemak dibutuhkan tubuh sebagai zat pelarut Vitamin A, D, E

dan K. WHO menganjurkan konsumsi lemak sebanyak 20-30%

dari total kebutuahan energi baik untuk kesehatan dan

memenuhi kebutuhuan lemak esensial (Almatsier, 2009).

Kebutuhan karbohidrat dianjurkan sebanya 60-70% dari total

kebutuhan energi. Pada usia balita Vitamin dibutuhkan untuk

menjaga keseimbangan fungsi tubu dan kesehatan tubu secara

keseluruhan.

Menurut Depkes RI (2006) dalam Andriani & Bambang

(2011), kebutuhan energi balita umur 6-24 bulan yaitu 650-850

kkal yang dapat diperoleh dari ASI dan Makanan Pengganti

ASI. Kebutuhan energi dalam sehari pada tahun pertama

kurang lebih 100-200 kkal/kg berat badan.

2.2.4 Pertumbuhan dan Perkembangan Balita

Pertumbuhan merupakan pertambahan volume, jumlah

sel dan jaringan antar sel, berarti bertambahnya ukuran fisik

pada sebagian maupun seluruh bagian tubuh yang dapat

diukur secara kuantitatif. Sedangkan perkembangan adalah

hasil interaksi kematangan susunan saraf pusat dengan organ

yang dipengaruhi atau bertambahnya fungsi tubuh secara

kompleks. Kesemua fungsi tersebut berperan penting dalam


kehidupan manusia yang utuh (Kemenkes, 2016).

Perkembangan anak adalah peningkatan fungsi organ tubuh

yang dapat dicapai melalui tingkat kematangan dan

pembelajaran. Perkembangan pada anak dapat terjadi pada

perubahan bentuk dan fungsi pematangan organ, mulai dari

aspek sosial, emosional, hingga intelektual. (Mahayu, 2016).

Pemantauan pertumbuhan dan perkembangan balita

perlu dilakukan sejak dini untuk mengetahui dan mendeteksi

ada tidaknya gangguan agar pertumbuhan dan perkembangan

balita dapat berlangsung optimal sesuai dengan umurnya.

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi tumbuh kembang

anak yaitu faktor internal (genetik) dan faktor eksternal

(lingkungan) (Febrina Suci Hati & Prasetya Lestari, 2016).

1. Faktor Internal (Genetik)

Faktor genenetik merupakan faktor bawaan anak yaitu

potensi anak yang akan menjadi ciri khasnya dan menjadi

modal dasar dalam memperoleh hasil pertumbuhan dan

perkembangannya. Faktor genetik antara lain, ras atau

bangsa, keluarga, jenis kelamin, genetik, umur dan kelainan

kromosom (Tri Sunarsih, 2008).

2. Faktor Eksternal (Lingkungan)

Faktor yang mempengaruhi tercapainya potensi bawaan

anak adalah lingkungan. Faktor lingkungan dapat dibagi

menjadi dua yaitu lingkungan prenatal dan lingkungan


pascanatal. Lingkungan prenatal yang mempengaruhi

tumbuh kembang anak antara lain: status gizi ibu saat hamil,

racun/zat kimia, mekanis, radiasi, infeksi, endokrin, psikologi

ibu, imunitas dan anoksia. Sedangkan faktor lingkungan

pascanatal yang mempengaruhi tumbuh kembang anak

antara lain: lingkungan biologis, lingkungan fisik, faktor

psikososial, faktor keluarga dan faktor adat istiadat (Tri

Sunarsih, 2008).

Proses pertumbuhan dan perkembangan anak

mempunyai ciri-ciri yang saling berkaitan. Ciri-ciri pertumbuhan

dan perkembangan anak ialah:

1. Perkembangan terjadi bersamaan dengan pertubuhan atau

perkembangan menimbulkan pertumbuhan.

2. Tumbuh kembang pada tahapan awal menentukan

pekembangan selanjutnya.

3. Tumbuh kembang anak mempunyai kecepatan yang

berbeda.

4. Perkembangan dan perkembangan saling berkorelasi.

5. Perkembangan mempunyai pola yang tetap.

6. Perkembangan anak melalui tahapan atau pola yang teratur

dan berurutan (Mahayu, 2016).

2.3. Tinjauan BBLR (Berat Badan Lahir Rendah)

2.3.1 Pengertian BBLR


Berat badan saat lahir sangat berpengaruh dengan

pertumbuhan dan perkembangan jangka panjang anak.

Menurut penelitian Anisa (2012) di Kelurahan Kalibaru

disimpulkan bahwa terdapat hubungan bermakna antara berat

badan lahir kejadian stunting. Bayi BBLR (berat badan lahir

rendah) merupakan bayi yang lahir dengan berat dibawah

2.500 gram tanpa memandang usia kehamilan. Bayi di bawah

persentil ke-10 dikatakan ringan untuk usia kehamilan

(Proverawati, 2010).

2.3.2 Tanda-tanda BBLR

Menurut Proverawati (2010),bayi yang lahir dengan

berat badan yang rendah (BBLR) mempunyai ciri-ciri yaitu:

Usia kehamilan ≤ 37 minggu, Berat badan ≤ 2500 gram,

panjang badan ≤ 46 cm, lingkar kepala ≤ 33 cm, lingkar dada ≤

30 cm, masih banyaknya rambut lanugo, tipis atau kurangnya

jaringan lemak subkutan tipis, pertumbuhan tulang rawan daun

telinga belum sempurna, tumit masih mengkilap, telapak kaki

halus, Genetalia belum sempurna, labia minora belum tertutup

oleh labia mayora, klitoris menonjol (pada bayi perempuan),

testis belum turun ke dalam skrotum, pigmentasi dan rugue

pada skrotum kurang (pada bayi laki-laki), bayi kurang aktif dan

pergerakannya lemah karena tonus otot lemah.

2.3.3 Klasifikasi BBLR


Ada beberapa cara dalam mengelompokkan bayi BBLR,

yaitu:

1. Menurut harapan hidupnya:

a. Bayi berat badan lahir rendah (BBLR) : berat bayi saat

lahir tidak mencapai 2500 gram

b. Bayi berat badan lahir sangat rendah (BBLSR) yaitu berat

bayi saat lahir antara 1000 sampai 1500 gram

c. Bayi berat lahir ekstrim rendah (BBLER) yaitu saat lahir

berat bayi tidak mencapai 1000gram.

2. Menurut masa gestasinya:

a. Prematuritas murni : waktu antara pembuahan dan

persalinan kurang dari 37 pekan dan berat badannya

sesuai dengan berat badan untuk masa gestasi berat

sesuai untuk masa kehamilan (NKB-SMK).

b. Dismaturitas : bayi yang lahir dengan berat badan yang

tidak mencapai atau dibawah berat badan yang

seharusnya untuk masa gestasi dan merupakan bayi yang

kecil untuk masa kehamilannya (KMK) (Proverawati,

2010).

2.3.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terjadinya BBLR

Lahir dalam keadaan prematur adalah penyebab

terjadinya bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR),


namun yang menjadi penyebab BBLR umumnya banyak faktor,

sehingga sulit dilakukan tindakan pencegahan.

Menurut Proverawati (2010), faktor-faktor yang

berhubungan dengan bayi BBLR secara umum yaitu sebagai

berikut:

1. Ibu

Adapun fatktor penyebab BBLR yang berasal dari ibu yaitu:

a. Penyakit

Mengalami anemia sel berat, hipertensi, pendarahan ante

partum, preeklamsia berat, eklamsia, infeksi selama

kehamilan dan menderita penyakit seperti malaria, infeksi

menular seksual, HIV/AIDS, malaria, TORCH.

b. Usia Ibu saat hamil dan kondisi kehamilan

Angka kejadian prematuritas tertinggi adalah kehamilan

Hamil pada usia < 20 tahun atau > 35 tahun memiliki

peluang kejadian prematuritas yang tinggi. Selain itu, hamil

bayi kembar, jarak kelahiran kurang dari 1 tahun serta

sebelumnya memiliki riwayat BBLR juga menjadi faktor

penyebab BBLR

c. Keadaan sosial ekonomi

Kejadian tertinggi terdapat pada golongan sosial ekonomi

rendah. Kejadian prematuritas pada bayi yang lahir dari

perkawinan yang tidak sah, yang ternyata lebih tinggi bila


dibandingkan dengan bayi yang lahir dari perkawinan yang

sah. Aktivitas fisik yang berlebihan, keadaan gizi yang

kurang baik dan kurangnya pengawasan antenatal dapat

menjadi penyebab BBLR.

d. Penyebab lain

Bayi yang dikandung oleh ibu dengan kebiasaan merokok,

meminum minuman beralkohol, memakai obat terlarang

dan menggunakan obat anti metabolik, sangat berpeluang

lahir dengan kondisi BBLR.

2. Faktor janin

Kelainan kromosom, Infeksi janin kronik, kelainan bawaan,

radiasi, kehamilan kembar atau ganda (gemeli), berkurangnya

berat plasenta maupun keduanya, lepasnya plasenta, tumor,

infark, plasentitis vilus (bakteri, virus, dan parasite) dan

sindrome transfusi bayi kembar (sindrome parabiotik)

merupakan faktor penyebab BBLR yang berasal dari janin.

3. Faktor lingkungan

Tinggal di dataran tinggi, terkena efek radiasi, terkontaminasi

zat racun merupakan faktor penyebab BBLR yang berasal dari

lingkungan.
Penyebab terjadinya bayi Berat Badan Lahir Rendah

(BBLR) dapat digolongkan berdasarkan tipe BBLR sebagai

berikut:

1. Berat Badan Lahir Rendah tipe KMK, disebabkan oleh:

a. Kekurangan nutrisi saat hamil.

b. Ibu hamil memiliki riwayat tekanan darah tinggi,

preeklamsia, atau kekurangan darah

c. Hamil bayi kembar, berlebihnya waktu kehamilan

d. Penyakit kronis seperti malaria kronis

e. Merokok saat sedang hamil

2. Berat Badan Lahir Rendah tipe prematur, disebabkan oleh :

a. Rendahnya berat badan ibu, hamil saat usia remaja,

hamil bayi kembar.

b. Sebelumnya sudah pernah melahirkan bayi prematur

c. Cervical incompetence (melemahnya mulut rahim

sehingga tidak sanggup menahan berat bayi).

d. Mengalami pendarahan baik sebelum maupun sesudah

persalinan (anterpartum homorrhage).

e. Ibu sakit saat sedang hamil. (Proverawati, 2010).

2.3.5 Penatalaksanaan BBLR

1. Pengaturan suhu

Guna menghindari kondisi suhu tubuh yang menurun

drastis pada bayi, hal yang perlu dilakukan ibu yaitu harus
berada di lingkungan dengan suhu yang cukup hangat untuk

bayi. Jika bayi dirawat menggunakan inkubator, maka suhu

untuk bayi dengan berat badan 2 kg adalah 35°C dan untuk

bayi dengan berat badan 2 sampai 2,5 kg adalah 34°C. Untuk

mempermudah pengawasan tentang keadaan umum, kejang,

pernafasan, warna kulit dan sebagainya sehingga penyakit

dapat dikenali sedini mungkin, maka saat didalam inkubator

bayi cukup dipakaikan popok. Jika inkubator tidak tersedia,

maka menghangatkan bayi dapat dilakukan dengan

membungkus bayi dan meletakkan beberapa botol bersuhu

hangat yang dibungkus menggunakan handuk atau

menggunakan lampu petromak didekat tempat tidur bayi agar

suhu tetap hangat.

2. Pengaturan makanan/nutrisi

Dalam memberikanan makanan pada bayi yang lahir

prematur hendaknya dilakukan secara perlahan, dengan

berhati-hati dan sedikit demi sedikit. Untuk mengurangi resiko

hipoglikemia dan dehidrasi makan yang diberikan dapat

berupa glukosa, ASI atau PASI. Secara umum bayi dengan

berat dibawah 1500 gram membutuhkan minum pertama

dengan menggunakan pipa lambung karena koordinasi

antara gerakan menelan dan menghisab belum ada.

Minum pertama untuk bayi dengan berat kurang dari


1000 gram dianjurkan larutan glukosa 5% steril sebanyak 1

ml, berat bayi 1000-1500 gram diberi 2-4 gram dan untuk bayi

dengan berat diatas 1500 gram diberi 5-10 ml.

ASI/PASI dapat diberikan secara berlanjut dalam waktu

12-48 jam jika pemberian makanan pertama pada bayi tidak

mengalami kesulitan.

3. Mencegah infeksi

Bayi yang lahir prematur gampang terserang infeksi

karena kekebalan tubuh bayi terhadap infeksi masih kurang,

belum terbentuknya antibodi dan daya fegositosis serta belum

baiknya reaksi terhadap peradangan (Lestari, 2016).

2.4 Tinjauan ASI Eksklusif

2.4.1 Pengertian ASI Eksklusif

Nurkhasanah (2011) menyatakan bahwa, “Pemberian ASI

eksklusif adalah bayi yang diberi ASI saja hingga usia 6 bulan,

tanpa diberikan makanan penambah cairan lain seperti air teh,

susu formula, air putih, jeruk, madu, dan tidak diberikan

makanan padat berupa bubur susu, tim, pisang, biskuit,

pepaya,bubur nasi, atau yang lainnya selain ASI”.

Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor

33 Tahun 2012, Asi Eksklusif adalah pemberian air susu ibu

(ASI) tanpa menambahkan atau mengganti dengan makanan


atau minuman lain yang diberikan pada bayi sejak baru lahir

selama 6 bulan. Pemberian Asi Eksklusif saja telah cukup untuk

memenuhi kebutuhan nutrisi bayi 0-6 bulan. Asi eksklusif dinilai

penting karena pada usia 0-6 bulan makanan selain Asi belum

dapat dicerna dengan baik. Asi Eksklusif memiliki banyak

manfaat untuk tumbuh kembang bayi dimulai dari meningkatkan

imunitas, pemenuhan kebutuhan nutrisi hingga memperetat

hubungan batin ibu dan bayi.

2.4.2 Kandungan ASI

Menurut Proverawati (2010), “Susu menjadi salah satu

sumber nutrisi bagi manusia, komponen ASI sangat rumit dan

berisi lebih dari 100.000 biologi komponen unik, yang

memainkan peran utama dalam perlawanan penyakit pada

bayi.” Berikut komponen penting dari ASI:

1. Protein. Dalam ASI protein terdiri dari casein dan whey yaitu

protein yang sulit dicerna dan protein yang mudah dicerna.

Kandungan whey dalam ASI lebih banyak daripada casein

sehinga ASI dapat dicerna dengan mudah.

2. Lemak merupakan penghasil energi utama dan komponen

zat gizi yang sangat bervariasi. Dalam ASI, lemak sudah

dalam bentuk emulsi sehingga mudah dicerna.

3. Laktosa Merupakan karbohidrat utama yang terdapat dalam

ASI yang berfungsinya sebagai sumber energi,


meningkatkan absorbsi kalsium dan merangsang

pertumbuhan lactobacillus bifidus.

4. Vitamin A. Kosentrasi vitamin A pada ASI berkisar pada 200

UI/dl.

Selain beberapa komponen diatas, asi juga

mengandung komponen lain yang tidak kalah pentingnya bagi

tumbuh kembang anak, yaitu kolostrum, karoten, zat besi,

taurin berupa asam amino, lactobasilus, lactoferin dan lisozim.

Komponen-komponen tersebut memiliki peranannya masing-

masing dalam menunjang tumbuh kembang anak (Proverawati,

2010).

2.4.3 Manfaat Pemberian ASI

Menurut Mufdlilah (2017), manfaat ASI eksklusif bagi

bayi yaitu meningkatkan imunitas/antibodi (perlindungan dari

penyakit infeksi dan alergi), sebagai nutrisi lengkap

(mengandung lemak, karbohidrat, kalori, protein, vitamin, dll),

meningkatkan kecerdasan mental, intelegensi, emosional dan

spiritual secara optimal serta perkembangan sikap sosial yang

baik, mudah dicerna dan diserap oleh organ pencernaan bayi,

memberikan rangsang saraf dan meningkatkan kesehatan.

Bagi bayi ASI merupakan makanan yang sempurna dan

memiliki berbagai manfaat, baik bagi bayi, ibu, keluarga dan

negara. Manfaat ASI bagi bayi antara lain meningkatkan


kesehatan dan kecerdasan emosional bayi. Bagi ibu manfaat

asi yaitu mencegah postpartum hemorrhage (PPH) atau

perdarahan setelah melahirkan, melancarkan involusi uteri,

mengurangi resiko kurang darah, meminimalisir resiko kanker

ovarium dan kangker payudara, memperkuat hubungan ibu dan

bayinya, mempercepat kembali ke berat badan semula dan

sebagai metode penundaan kehamilan sementara. Sedangkan

manfaat asi bagi keluarga antralain praktis (selalu tersedia dan

steril) dan menghemat biaya. Manfaat ASI bagi negara

diantaranya meningkatkan kesehatan dan menurunkan angka

kematian anak, mengurangi subsidi untuk rumah sakit,

mengurangi impor susu formula dan meningkatkan kualitas

generasi penerus bangsa (Maryunani, (2012) dan Astutik,

(2014 ))

2.5 Hubungan BBLR dengan Kejadian Stunting

Menurut Unicef Framework ada 3 faktor utama penyebab

stunting yaitu asupan makanan yang tidak seimbang, BBLR (Berat

Badan Lahir Rendah) dan riwayat penyakit (The & Journal, 2007).Bayi

BBLR (berat badan lahir rendah) merupakan bayi yang lahir dengan

berat dibawah 2.500 gram tanpa memandang usia kehamilan. Anak

mengalami stunting ketika bayi dengan BBLR sejak dalam kandungan

telah mengalami gangguan intelektual pertumbuhan intera uterin dan

akan berlanjut sampai usia selanjutnya setelah dilahirkan sehingga


mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang lebih lambat dari

bayi yang dilahirkan normal (Proverawati dan Ismawati, 2010).

Penelitian Anisa (2012) menyimpulkan bahwa terdapat hubungan

yang bermakna antara berat badan lahir dengan kejadian stunting

pada balita di Kelurahan Kalibaru. Selain itu penelitian yang dilakukan

oleh Sartono (2013) di Yogyakarta menunjukan bahwa ada hubungan

antara berat badan lahir dengan kejadian stunting.

2.6 Hubungan Asi Esklusif dengan kejadian stunting

Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33

Tahun 2012, Asi Eksklusif adalah pemberian air susu ibu (ASI) tanpa

menambahkan atau mengganti dengan makanan atau minuman lain

yang diberikan pada bayi sejak baru lahir selama 6 bulan. ASI

mengandung zat gizi yang diperlukan oleh bayi untuk kebutuhan dan

perkembangan bayi. Bayi hanya diberi ASI saja, tanpa tambahan

cairan lain seperti susu formula, air jeruk, madu, air teh, air putih dan

tanpa tambahan makanan padat seperti pisang, pepaya, bubur susu,

biskuit, bubur nasi dan tim, selama 6 bulan (Mufdlilah, 2017). .ASI

mengandung kalsium yang lebih banyak dan mudah diserap dengan

baik oleh tubuh sehingga pertumbuhan terutama tinggi badan

berlangsung optimal dan dapat terhindar dari stunting (Prasetyono,

2009).

Menurut Unicef Framework salah satu faktor penyebab terjadinya

stunting pada balita yaitu asupan nutrisi yang tidak seimbang


termasuk dalam pemberian ASI eksklusif yang tidak diberikan selama

6 bulan (Wiyogowati, 2012 dalam Fitri, 2018). Salah satu manfaat ASI

eksklusif adalah mendukung pertumbuhan bayi terutama tinggi badan

karena kalsium ASI lebih efesien,mudah dicerna dan diserap

dibanding susu pengganti ASI atau susu formula. Pemberian ASI

eksklusif di Indonesia masih jauh dari harapan. Secara nasional,

cakupan bayi mendapat ASI eksklusif pada tahun 2017 sebesar

61,33%. Namun, angka ini belum mencapai dari target cakupan ASI

eksklusif yang ditetapkan oleh pemerintah, yaitu 80% (Kemenkes,

2018c).

Menurut hasil penelitian Rohmatun (2014) ada hubungan antara

pemberian ASI eksklusif dengan kejadian stunting pada balita di Desa

Sidowarno Kecamatan Wonosari Kabupaten Klaten. Hasil penelitian

Haryani, dkk (2015), menyatakan bahwa anak yang tidak diberikan

ASI eksklusif dapat berisiko mengalam stunting 4 kali dibandingkan

dengan yang diberi ASI eksklusif. . Penelitian ini Sejalan dengan

Indrawati (2016) dimana hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat

hubungan pemberian ASI eksklusif dengan kejadian stunting pada

balita 2-3 tahun. Sedangkan menurut penelitian Lidia Fitri (2018) ada

hubungan yang bermakna antara ASI eksklusif dengan kejadian

stunting pada balita di Puskesmas Lima Puluh.


BAB 3

KERANGKA KONSEP

3.1. Dasar pemikiran Variabel Yang Diteliti

Usia balita adalah usia keemasan dan merupakan periode yang

sangat menentukan dalam proses membentuk dan menanamkan

kecerdasan, kemandirian, dan kepribadian dimana pertumbuhan mental,

kemampuan indera, kecerdasan berpikir dan berbicara serta pertumbuhan


moral terbentuk dan berkembang sangat cepat (Mariani, 2003).Namun

pada kenyataannya, masih terdapat adanya masalah gizi pada anak

usia balita. Menurut Depkes (2008) jumlah balita berstatus gizi

kurang adalah 13% bahkan terdapat 5,4% anak dengan status gizi

buruk, 6,2% balita sangat kurus dan 7,4% balita berstatus balita

kurus. Tahun 2007 menunjukkan prevalensi balita pendek di

indonesia sebesar 36,8%. Pada tahun 2010, terjadi sedikit

penurunan menjadi 35,6%. Namun prevalensi balita pendek kembali

meningkat pada tahun 2013 yaitu menjadi 37,2%. Prevalensi balita

pendek mengalami peningkatan dari tahun 2016 yaitu 27,5% menjadi

29,6% pada tahun 2017. Jumlah balita pendek jauh lebih banyak

dibandingkan balita kurang gizi dan balita kurus. Berdasarkan ambang

batas masalah gizi masyarakat WHO, jika prevalensi stunting lebih dari

20% menunjukkan adanya masalah gizi masyarakat (Depkes, 2009).

Menurut Bappenas R.I (2013) ada dua faktor penyebab stunting

yaitu faktor langsung dan tidak langsung. Asupan gizi dan adanya penyakit

menular merupakan penyebab langsung stunting sedangkan pola asuh,

pelayanan kesehatan, ketersediaan pangan, budaya, ekonomi dan banyak

faktor lainnya adalah penyebab tidak langsung.

Banyak faktor penyebab stunting pada balita dan faktor-faktor

tersebut saling berkaitan satu sama lain. Menurut UNICEF

Framework, ada 3 faktor utama penyebab stunting, yaitu tidak

seimbangnya asupan makanan, berat badan lahir rendah (BBLR)

dan riwayat penyakit (The & Journal, 2007).


a. Asupan makanan yang tidak seimbang termasuk dalam

pemberian ASI esklusif sangat mempengaruhi tumbuh kembang

pada balita karna akan berdampak pada gangguan psikomotor,

kognitif, dan sosial serta secara klinis terjadi gangguan

pertumbuhan.

b. BBLR (Berat Badan Lahir Rendah) menjadi salah satu indikator

dalam tumbuh kembang anak hingga masa dewasanya dan

menggambarkan status gizi yang diperoleh janin selama dalam

kandungan.

Dari uraian diatas maka dapat dibuat kerangka konsep sebagai

berikut

Faktor Langsung

1. Asupan Gizi
2. Penyakit Infeksi
Kejadian Stunting
Faktor Tidak Langsung
1. Ketersediaan pangan
2. Status gizi ibu saa hamil
3. Berat badan lahir rendah
4. Panjang badan lahir
5. ASI eklusif
6. MP-ASI

Keterangan:
P Hubungan

e Faktor yang tidak diteliti

Faktor yang diteliti

Gambar 3.1 Kerangka Konsep


3.2. Definisi Operasional dan Kriteria Obyektif

3.2.1. Definisi Operasional

a. Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) adalah nilai yang

menunjukan berat badan lahir bayi berdasarkan buku KIA.

b. Asi Esklusif adalah perilaku pemberian Asi pada bayi oleh

ibu tanpa makanan pendamping apapun diukur oleh

lamanya pemberian Asi tanpa makanan pendamping

minimal selama 6 bulan.

c. Stunting adalah semua nilai berat badan lahir bayi yang

tidak mencukupi standar defiasi

3.2.2. Kriteria Obyektif

1. Berat Badan Lahir Rendah (BBLR)

a. BBLR jika berat badan lahir bayi <2500 gram

b. Tidak BBLR jika berat badan lahir bayi ≥2500 gram

2. Asi Esklusif

a. Asi Esklusif jika pemberian Asi pada bayi 100% tanpa

makanan tambahan minimal 6 bulan.

b. Tidak Asi Esklusif jika pemberian Asi pada bayi tidak

100% atau dengan makanan tambahan selama 6

bulan.

3. Stunting

a. Stunting jika nilai berat badan bayi tidak mencukupi

standar defiasi
b. Tidak stunting jika nilai berat badan bayi mencukupi

standar defiasi.

3.3. Hipotesis

3.3.1. Hipotesis Alternatif (Ha)

a. Ada hubungan berat badan lahir rendah (BBLR)

dengan kejadian stunting Desa Kondowa Di

Wilayah Kerja Puskesmas Banabungi Kecamatan

Pasarwajo Kabupaten Buton.

b. Ada hubungan Asi Esklusif dengan kejadian

stunting Desa Kondowa Di Wilayah Kerja

Puskesmas Banabungi Kecamatan Pasarwajo

Kabupaten Buton.

3.3.2. Hipotesis Null (Ho)

a. Tidak ada hubungan antara berat badan lahir

rendah (BBLR) dengan kejadian stunting Desa

Kondowa Di Wilayah Kerja Puskesmas Banabungi

Kecamatan Pasarwajo Kabupaten Buton.

b. Tidak ada hubungan antara Asi Esklusif dengan

kejadian stunting Desa Kondowa Di Wilayah Kerja

Puskesmas Banabungi Kecamatan Pasarwajo

Kabupaten Buton.
BAB 4

METODOLOGI PENELITIAN

4.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

penelitian kuantitatif menggunakan pendekatan survey analitik

dengan desain studi cross sectional yaitu dengan melihat hubungan

variabel independen yaitu Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) dan Asi

Esklusif dengan variabel dependen yaitu kejadian Stunting.

4.2. Waktu dan Lokasi Penelitian

4.2.1 Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan Di Desa Kondowa Wilayah Kerja

Puskesmas Banabungi Kecamatan Pasarwajo Kabupaten

Buton.

4.2.2 Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret sampai bulan

Agustus

4.3. Populasi dan Sampel

4.3.1 Populasi Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh balita yang

ada di Desa Kondowa yang termasuk Wilayah Kerja

Puskesmas Banabungi Kecamatan Pasarwajo Kabupaten

Buton sebanyak 236 balita.

4.3.2 Sampel
Sampel dari penelitian ini adalah ibu balita yang ada di

Desa Kondowa Wilayah Kerja Puskesmas Banabungi dengan

responden ibu dari balita. Adapun jumlah dari sampel yang

akan diteliti adalah 147 responden melalui rumus slovin

sebagai berikut :

N
n= 2
1+ Nd

Keterangan :

n = besar sampel

N = besar populasi

d = tingkat kepercayaan atau ketetapan yang diinginkan 5%

Diketahui N = 236 orang dan d = 5% atau 0,05, maka

perhitungan sampel adalah sebagai berikut :

N
n= 2
1+ Nd

236
n=
1+236 (0,05¿¿ 2)¿

236
n=
1+236 (0,0025)

236
n=
1,6

n=147

Jadi besar sampel pada penelitian ini adalah 147 sampel.

4.4. Pengumpulan Data

4.4.1 Data Primer


Diperoleh dari lembaran kuisioner yang telah di isi

oleh responden yaitu ibu yang memiliki balita di Desa

Kondowa. Teknik pengumpulan data untuk data primer

dilakukan dengan menggunakan lembar kuisioner yang

akan diisi oleh responden.

4.4.2 Data Sekunder

Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari

dokumen, arsip atau data laporan tentang Stunting lengkap

dari Puskesmas Banabungi tahun 2019-2020.

4.5. Pengolahan Data

Untuk mengolah data dalam penelitian ini peneliti

menggunakan teknik pengolahan data yang terdiri dari:

a. Editing (pemeriksaan data) adalah pemeriksaan kembali

kebenaran data penelitian yang telah diperoleh atau

dikumpulkan. Editing dapat dilakukan sendiri oleh peneliti di

tempat penelitian agar apabila jika ada kekurangan data dapat

segera dilengkapi.

b. Coding merupakan pemberian kode numerik atau penomoran

terhadap data penelitan yang bertujuan untuk mengkategorikan

data penelitian dalam beberapa kategori. Pemberian kode ini

sangat penting bila pengolahan dan analisis data menggunakan


komputer. Coding berguna untuk mempermudah pada saat

analisis dan juga mempercepat pada entry data.

1) Stunting

1=terjadi stunting (kasus)

2=tidak terjadi stunting (bukan kasus)

2) Jenis kelamin

1=berisiko (laki-laki)

2=tidak berisiko (perempuan)

3) Berat Bayi Lahir

1=berisiko (<2500 gram)

2=tidak berisiko (≥2500 gram)

4) Pemberian ASI

1=berisiko (bila nilai pemberian ASI esklusif <100% dari

seluruh pertanyaanpemberian ASI Esklusif).

2=tidak berisiko (bila nilai pemberian ASI Esklusif 100%

dari seluruh pertanyaan pemberian ASI Esklusif).

c. Entri Data adalah kegiatan memasukan data dari kuesioner

kedalam paket program komputer agar dapat dianalisis

menggunakan program Statistical Package for the Social

Science (SPSS) kemudian membuat distribusi frekuensi

sederhana atau bisa juga dengan membuat tabel kontingensi.


d. Cleaning data : Pembersihan data merupakan kegiatan

pengecekan kembali data yang sudah dimasukkan ke dalam

komputer untuk memasti kan data telah bersih dari kesalahan

sehingga data siap dianalisa. (Hidayat, 2008)

4.6. Analisis Data

Analisis data dilakukan dengan menggunakan analisis statistik

yang terdiri dari :

a. Analisis Univariat

Analisis univariat merupakan analisis tiap variabel yang

dinyatakan dengan menggambarkan dan meringkas data dengan

cara ilmiah dalam bentuk table atau grafik (Setiadi, 2007).

Variabel pada penelitian ini meliputi Berat Badan Lahir Rendah

(BBLR) dan Asi Esklusif.

b. Analisis Bivariat

Analisa bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan antara

variable dependen dan independen yaitu Berat Badan Lahir

Rendah (BBLR) dan Asi Esklusif dengan kejadian stunting.

Tehnik analisa yang dilakukan yaitu dengan analisa Chi-

Square untuk variable Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) dan

Asi Esklusif. Peneliti menggunakan derajat kepercayaan 95%

sehingga jika nilai p < 0,05 berarti hasil perhitungan statistik

bermakna (signifikan) atau menunjukkan ada hubungan antara

variabel dependen dengan variabel independen, dan apabila nilai


p > 0,05 berarti hasil perhitungan statistik tidak bermakna atau

tidak ada hubungan antara variabel dependen dengan variabel

independen.

4.7. Penyajian Data

Data yang telah dianalisis selanjutnya akan disajikan dalam

bentuk tabel disrtibusi frekuensi, grafik dan disertai dengan asumsi

penjelasan atau interpretasi dari setiap tabel maupun grafik. Hal ini

dilakukan agar data yang disajikan mudah untuk dipahami.

Anda mungkin juga menyukai