Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH

Sejarah, Konsep dan Prinsip Promkes (Program Promosi Kesehatan Di


Indonesia) – Stunting

(Disusun guna memenuhi penilaian tugas kelompok Mata Kuliah Dasar Promosi
Kesehatan dan Ilmu Perilaku Kelas C)

Dosen Pengampu:

Erwin Nur Rif’ah, S.Sos., MA., Ph.D

Disusun Oleh :

1. Nendy Putra Salsabilla (182110101129)


2. Danang Abditya N (182110101130)

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

i
UNIVERSITAS JEMBER
2019

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena dengan
rahmat-Nyalah kami akhirnya bisa menyelesaikan makalah yang berjudul
“Sejarah, Konsep dan Prinsip Promkes (Program Promosi Kesehatan Di
Indonesia) –Stunting”dengan baik dan selesai tepat waktu.
Kami juga ucapkan terima kasih kepada Ibu Iken Nafikadini,S.KM.,M.Kes
selaku dosen PJMK serta Ibu Erwin Nur Rif’ah, S.Sos., MA., Ph.D; Bapak Afif
Hamdalah S.KM.,M.Kes; dan Bapak Taufan Asrisyah Ode, S.KM., M.Kes selaku
dosen pengampu mata kuliah Komunikasi Kesehatan. Kami juga mengucapkan
terima kasih kepada teman-teman kami yang selalu menjadi pendorong dan
membantu dalam hal mengumpulkan data-data dalam pembuatan makalah ini.
Dalam makalah ini kami menjelaskan tentang pengertian Bentuk,Model
Komunikasi (Komunikasi Intrapersonal dan Interpersonal,Komunikasi
Kelompok,Komunikasi Organisasi,Komunikasi Massa,Komunikasi Verbal dan
Non Verbal).
Tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhui tugas
Komunikasi Kesehatan. Mungkin dalam pembuatan makalah ini terdapat
kesalahan yang belum kami ketahui. Maka dari itu kami mohon saran dan kritik
dari teman-teman maupun dosen,demi tercapainya makalah yang sempurna.

Jember, 22 November 2019

ii
Penyusun

iii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i

DAFTAR ISI .......................................................................................................... iv

Daftar Gambar ........................................................................................................ vi

BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... vii

1.1 Latar Belakang ....................................................................................... vii

1.2 Rumusan Masalah ................................................................................. viii

1.3 Tujuan .................................................................................................... viii

1. Tujuan Umum........................................................................................ viii

2. Tujuan Khusus ....................................................................................... viii

BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................ 1

2.1 Bentuk Komunikasi ................................. Error! Bookmark not defined.

2.1.1 Bentuk Komunikasi Berdasarkan Sasaran ..... Error! Bookmark not


defined.

2.1.2 Bentuk Komunikasi Berdasarkan Cara .......... Error! Bookmark not


defined.

2.2 Model Komunikasi .................................. Error! Bookmark not defined.

2.2.1 Model Stimulus-Respon (S-R) ......... Error! Bookmark not defined.

2.2.2 Model Komunikasi Linear ..................... Error! Bookmark not defined.

2.2.3 Model Interaksional ......................... Error! Bookmark not defined.

2.2.4 Model Transaksional ........................ Error! Bookmark not defined.

BAB III PENUTUP .............................................................................................. 18

3.1 Kesimpulan .................................................................................................. 18

3.2Saran ............................................................................................................. 18

iv
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 18

v
Daftar Gambar
Gambar 2. Model Interaksional 1........................... Error! Bookmark not defined.
Gambar 2. Model Interaksional 2........................... Error! Bookmark not defined.

vi
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Anak merupakan aset bangsa di masa depan. Bisa dibayangkan, bagaimana
kondisi sumber daya manusia Indonesia di masa yang akan datang jika saat ini
banyak anak Indonesia yang mengalami malnutrisi. Dapat dipastikan bangsa ini
tidak akan mampu bersaing dengan bangsa lain dalam menghadapi tantangan
global.

Stunting merupakan permasalahan yang semakin banyak ditemukan dinegara


berkembang, termasuk Indonesia. Menurut (Kemenkes RI, 2018) Pada tahun 2017
22,2% atau sekitar 150,8 juta balita di dunia mengalami stunting dan 55% berasal
dari Asia. Menurut WHO Indonesia termasuk ke dalam negara ketiga dengan
prevalensi tertinggi di regional Asia Tenggara/South-East Asia Regional (SEAR).
Rata-rata prevalensi balita stunting di Indonesia tahun 2005-2017 adalah 36,4%.

Stunting didefinisikan sebagai keadaan tubuh yang pendek dan sangat pendek.
Stunting merupakan refleksi dari akibat atau pengaruh dari asupan energi dan zat
gizi yang kurang serta pengaruh dari penyakit infeksi.
Status sosial ekonomi keluarga seperti pendapatan keluarga, pendidikan orang
tua, pengetahuan ibu tentang gizi, dan jumlah anggota keluarga secara tidak
langsung dapat berhubungan dengan kejadian stunting. Menurut (“Riset
Kesehatan Dasar,” 2013) faktor resiko stunting paling banyak disebabkan oleh
pendapatan dan pendidikan orang tua yang rendah. Keluarga dengan pendapatan
yang tinggi tentunya akan lebih mudah memperoleh akses pendidikan dan
kesehatan sehingga status gizi anak dapat lebih baik
Malnutrisi dan stunting merupakan masalah yang bersifat domino dan
memiliki keterkaitan yang erat. Keduanya sama-sama memiliki angka kejadian
yang tinggi di Indonesia. Stunting memiliki dampak yang panjang dikehidupan
selanjutnya. Malnutrisi pada usia emas anak akan berdampak pada kehidupan
dewasanya. Menurut (Aryastami, 2017) Stunting memiliki tiga fase dampak,
jangka pendek terkait dengan morbiditas dan mortalitas pada bayi/balita, jangka

vii
menengah terkait dengan intelektualitas dan kemampuan kognitif yang buruk, dan
jangka panjang terkait dengan kualitas sumberdaya manusia dan masalah penyakit
degeneratif di usia dewasa. Apabila dibiarkan, tentunya nasib bangsa Indonesia
akan perlahan hancur melihat sumber daya generasi penerusnya buruk
dikarenakan malnutrisi. Oleh karena itu, Stunting harus ditangani secara serius
mulai dari sekarang.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa itu yang dimaksud dengan Stunting?
2. Bagaimana upaya preventif dan promotif dari Stunting?
3. Apa program dari pemerintah dalam upaya pencegahan Stunting?

1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan Umum


Untuk mengetahui bagaimana bentuk dan upaya serta strategi dalam
penurunan kejadian Stunting di Indonesia.

1.3.2 Tujuan Khusus


1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Stunting, mengetahui
ciri, dampak, serta faktor.
2. Untuk mengetahui upaya, langkah, dan strategi yang dilakukan untuk
penanggulangan Stunting di Indonesia.
3. Untuk mengetahui program-program dari pemerintah dalam
menanggulangi Stunting di Indonesia.

viii
BAB II PEMBAHASAN

2.1 Stunting
Stunting adalah sebuah penyakit atau gangguan pada anak kecil yang dicirikan
dengan badan yang kerdil dan terlihat kurus. Menurut (Sutarto, Mayasari, &
Indriyani, 2018) Stunting adalah keadaan dimana terjadi malnutrisi pada anak
yang berhubungan dengan ketidakcukupan zat gizi. Kekurangan asupan zat gizi
ini pada anak berdampak pada proses tumbuh kembang anak selanjutnya, dalam
kasus ini anak akan terlihat kerdil, kurus, dan memiliki masalah kecerdasan.

Anak yang mengalami stunting dapat dilihat dari postur tubuhnya, yaitu
kerdil dan kurus. Stunting atau perawakan pendek adalah suatu keadaan tinggi
badan seseorang yang tidak sesuai dengan umur, ini akibat dari kekurangan gizi
kronis sehingga anak terlalu pendek di usianya. Selain itu, dampak kekurangan
gizi ini akan berlanjut dalam kehidupan selanjutnya seperti penurunan intelektual,
rentan terhadap penyakit tidak menular, penurunan produktivitas hingga
menyebabkan kemiskinan dan risiko melahirkan bayi dengan berat lahir rendah

Menurut (Ni’mah & Nadhiroh, 2015) Stunting adalah gambaran status gizi
yang buruk dan bersifat kronik pada masa pertumbuhan dan perkembangan sejak
awal kehidupan. Masa balita merupakan periode yang sangat peka terhadap
lingkungan sehingga diperlukan perhatian lebih terutama kecukupan gizinya. Oleh
karena itu 1000 HPK (Hari Pertama Kehidupan) merupakan masa krusial bagi
perkembangan anak. Pada masa ini, yakni pada masa anak didalam kandungan
dan juga diluar kandungan, karenanya status gizi ibu hamil dan anak harus
tercukupi seluruh kebutuhan nutrisinya. Masa 1000 HPK ini merupakan fase yang
penting dalam tumbuh kembang dan merupakan kunci penting bagi proses
perkembangan anak.

2.2 Ciri – ciri Stunting


Indikator utama stunting adalah kekerdilan pada anak di usianya. Selain itu
anak akan terlihat kurus. Menurut (Sutarto dkk., 2018) Stunting atau perawakan

1
pendek adalah suatu keadaan tinggi badan dimana seseorang memiliki tinggi yang
tidak sesuai dengan umur. Ciri utama stunting memang kerdil, ini dikarenakan
kondisi gagal tumbuh pada anak akibat kekurangan gizi pada anak.
Selain terlihat dari postur tubuh anak.

2.3 Faktor Penyebab Stunting


Faktor penyebab Stunting adalah kurangnya asupan gizi pada saat balita,
sehingga tumbuh kembang menjadi terhambat atau terganggu. Faktor utama
penyebab stunting adalah kurangnya asupan zat gizi yang dibutuhkan selama
bayi/balita. Menurut (Sutarto dkk., 2018)Stunting disebabkan oleh banyak faktor
dan tidak hanya disebabkan oleh faktor mal nutrisi yang dialami oleh ibu hamil
dan balita. Seperti proses pengasuhan yang kurang baik, kurangnya pengetahuan
ibu terhadap kesehatan bayi, akses layanan kesehatan yang sulit, akses air bersih,
pola makan keluarga yang tidak bergizi.
Selain itu, menurut (Aridiyah, Rohmawati, & Ririanty, 2015) Faktor utama
stunting Ada lima penyebab yaitu kemiskinan, sosial dan budaya, peningkatan
paparan terhadap penyakit infeksi, kerawanan pangan dan akses masyarakat
terhadap pelayanan kesehatan

2.2 Sejarah Stunting


Dari survey yang pernah dilakukan di Indonesia dari tahun 1992 sampai 2013,
penurunan prevalensi hanya sebesar 4% dan prevalensi stunting di Indonesia
mengalami stagnan dari tahun 2007 hingga 2013. Menurut UNICEF pada tahun
2013, 1 dari 4 balita mengalami stunting dalam lingkup global. Berdasarkan hasil
riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2010, Indonesia terdapat 35, 6% balita
yang mengalami stunting dan terjadi peningkatan pada tahun 2013 menjadi
37,2% dan dari jumlah presentasi tersebut yaitu 19,2% anak pendek dan 18,0%
anak sangat pendek. Di berbagai media massa sudah banyak beredar bahwa
Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Nila Moeloek menyampaikan bahwa
angka stunting di Indonesia mengalami penurunan menjadi 27,67% pada tahun
2019 dari data terakhir Riskesdas 2018 yaitu sebesar 30,8%. Namun, kita tidak
boleh terlalu puas dengan angka penurunan yang menjadi 27,67% karena
nyatanya jika dibandingkan dengan negara-negara yang memiliki angka stunting

2
kecil, Indonesia tergolong dalam genting stunting karena masih memiliki angka
stunting yang besar.

2.3 Dampak Stunting

Stunting akan berdampak panjang pada kehidupan selanjutnya.


1. Jangka Pendek
a. Meningkatkan angka kesakitan dan kematian
Bayi stunting memiliki tingkat pertumbuhan fisik dan metabolisme
yang lebih rendah dari bayi pada umumnya. Hal ini berkaitan dengan
menurunnya fungsi kekebalan tubuh sehingga rentan terhadap penyakit.
Apabila rentan terhadap penyakit dan asupan gizi tidak tercukupi secara
maksimal maka dapat berujung meningkatkan angka kematian bayi dan
anak di usia dini.
b. Perkembangan kognitif, motorik, dan verbal pada anak tidak optimal
Pada umunya, anak yang mengalami stunting mengalami masalah
perkembangan kognitif, motorik, dan verbal. Perkembangan kognitif,
motorik, dan verbal yang tidak optimal berdampak pula pada sumber
daya manusia yang akan dihasilkan.
c. Peningkatan biaya kesehatan
Stunting juga mampu berdampak terhadap kerugian financial. Bayi dan
anak yang stunting rentan untuk sakit. Hal ini berkaitan dengan
meningkatnya biaya kesehatan dan perawatan anak tersebut ketika
sakit.
2. Jangka Panjang
a. Postur tubuh yang tidak optimal saat dewasa (lebih pendek
dibandingkan pada umumnya)
Selain berdampak pada rentannya penyakit pada anak, stunting juga
mampu berdampak pada pertumbuhan fisik yang tidak optimal saat
dewasa. Pada umumnya ditandai dengan postur tubuh yang lebih
pendek. Salah satu penyebab postur tubuh yang lebih pendek
dibandingkan pada umumnya yaitu kurangnya asupan gizi yang adekuat
sedari dalam kandungan.

3
b. Meningkatnya resiko obesitas dan penyakit lainnya
Bayi dan anak yang kurang gizi sebagian besar mengalami stunting. Hal
ini berpeluang besar pada usia dewasa, bayi tersebut rentan terserang
penyakit degenerative seperti obesitas, diabetes, kanker, dan jantung.
c. Menurunnya kesehatan reproduksi
Anak perempuan yang mengalami stunting berpeluang untuk
mengalami masalah kesehatan dan perkembangan pada keturunannya
saat sudah dewasa.
d. Produktivitas dan kapasitas kerja yang tidak optimal
Stunting dapat memengaruhi produktivitas dan kapasitas kerja
seseorang di kemudian hari. Kemampuan inteletual dan mental yang
terhambat mampu membuat anak tersebut sulit dalam berkembang dan
bersaing di dunia pekerjaan. Hal ini menyebabkan penurunan
produktivitas ekonomi yang berdampak pada perekonomian nasional.

2.6 Penilaian Stunting dengan Pengukuran Antropometri

Melakukan pengukuran status gizi merupakan salah satu cara menilai gizi
seseorang telah tercukupi dengan baik atau belum. Penilaian Antropometri
merupakan salah satu metode yang paling sering digunakan dalam penilaian status
gizi. Ilmu yang mempelajari berbagai ukuran tubuh manusia disebut dengan
antropometri. Pada umumnya, antropometri berkaitan dengan pengukuran tubuh
dari berat badan, tinggi badan, lingkar kepala, lingkar lengan atas, lingkar perut,
lingkar pinggul, tinggi lutut, dan lapisan lemak bawah kulit.

Pada penilaian antropometri tubuh terdapat indeks antropometri yang


merupakan kombinasi beberapa parameter dasar penilaian status gizi dan terbagi
menjadi 2 kelompok yaitu ukuran yang tergantung usia dan ukuran yang tidak
tergantung usia. Beberapa indeks antropometri yang merupakan ukuran yang
tergantung usia yaitu Berat Badan menurut Usia (BB/U), Tinggi Badan menurut
Usia (TB/U), Lingkar Kepala menurut Usia (LK/U) dan Lingkar Lengan Atas
menurut Usia (LLA/U). Sedangkan indeks antropometri yang merupakan ukuran
yang tidak tergantung usia yaitu Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB),

4
Lingkar Lengan Atas menurut Tinggi Badan (LLA/TB), lipatan kulit pada trisep,
subkapular, dan abdominal yang dibandingkan dengan standar/baku yang
dinyatakan dengan standar deviasi unit z (Z-Score). World Health Organization
(WHO) 2005 telah menetapkan bahwa terdapat 3 standar dasar antropometri yaitu
Berat Badan menurut Usia (BB/U), Panjang Badan atau Tinggi Badan menurut
Usia (PB/U atau TB/U), dan Berat Badan menurut Panjang Badan atau Tinggi
Badan (BB/PB atau BB/TB)

1. Berat Badan menurut Usia (BB/U)


Pengukuran berat badan merupakan antropometri yang paling sering
digunakan. Hal ini karena pengukuran berat badan mampu memberikan
gambaran massa tubuh yaitu otot dan lemak. Pengukuran berat badan juga
menggambarkan jumlah protein, air, lemak dan mineral yang terdapat pada
tulang. Pengukuran berat badan tidak hanya dipengaruhi oleh usia, tetapi
dapat juga dipengaruhi oleh jenis kelamin, aktivitas fisik, serta faktor
genetik dari seseorang. Indeks Berat Badan menurut Usia (BB/U) mampu
menentukan kondisi seseorang yaitu underweight (gizi kurang) dan
severely underweight (gizi buruk)
2. Panjang Badan atau Tinggi badan menurut Usia (PB/U atau TB/U)
Pengukuran panjang badan dan tinggi badan merupakan antropometri
kedua yang sering digunakan. Hal ini karena pengukuran tinggi badan
mampu memberikan gambaran pertumbuhan skeletal (rangka) dalam
berbagai kurun waktu. Istilah Panjang Badan digunakan untuk pengukuran
anak usia 0-24 bulan, sedangkan Tinggi Badan digunakan untuk
pengukuran anak usia diatas 24 bulan. Pertumbuhan tinggi badan pada
umumnya sejalan dengan pertambahan usia seseorang. Indeks Panjang
Badan atau Tinggi badan menurut Usia (PB/U atau TB/U) mampu
menentukan kondisi seseorang yaitu stunted (pendek) dan severely stunted
(sangat pendek)
3. Berat Badan menurut Panjang Badan atau Tinggi Badan (BB/PB atau
BB/TB)
Pengukuran Berat Badan menurut Panjang Badan atau Tinggi Badan
(BB/PB atau BB/TB) merupakan salah satu pengukuran yang terpenting

5
dalam antropometri. Hal ini karena pengukuran ini berhubungan dengan
Berat Badan dengan Panjang Badan atau Tinggi Badan seseorang. Indeks
Berat Badan menurut Panjang Badan atau Tinggi Badan (BB/PB atau
BB/TB) mampu menentukan kondisi seseorang yaitu kurus dan sangat
kurus yang sepadan dengan stunted (pendek) dan severely stunted (sangat
pendek)

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia juga telah membuat keputusan


tentang penentuan status gizi dengan perhitungan Indeks Massa Tubuh (IMT).
Perhitungan IMT terukur dari berat badan dalam satuan kilogram dibagi dengan
kuadrat tinggi badan dalam satuan meter.

2.7 Pencegahan Stunting

Menurut WHO (2012), diperlukan pendekatan multisektoral atau multiaktor


untuk mengatasi stunting secara efektif. Misalnya, peraturan dan kebijakan
pendidikan yang mewajibkan anak perempuan remaja tetap sekolah guna
mencegah adanya pernikahan dini dan melahirkan anak pada usia perempuan
yang belum cukup umur. Adanya undang-undang yang membatasi pemasaran
pengganti air susu ibu (ASI), pemberian perlindungan kehamilan yang
mendukung pemberian ASI ekslusif dan berkelanjutan di tempat kerja, dapat
meningkatkan kesehatan ibu dan anak-anaknya yang dapat mengatasi stunting
dengan efektif. Selain itu, kebijakan dan inovasi pertanian dan pangan harus bisa
meningkatkan ketahanan,keanekaragaman, dan keamanan pangan rumah tangga
guna membantu kontribusi pengurangan stunting.

Dalam rangka mencapai target mengurangi stunting global pada tahun 2025
perlu adanya tindakan negara dengan menganalisis situasi untuk menentukan
banyak anak balita yang terhambat dan menilai faktor-faktor penentu stunting
dalam konteks geografis dan sosial. Strategi yang paling efektif dalam
mengurangi rata-rata stunting nasional adalah membuat kebijakan yang
menargetkan populasi yang paling rentan. Tindakan yang dilakukan untuk
mencapai tujuan tersebut adalah :

6
1. Meningkatkan identifikasi, pengukuran, dan pemahaman stunting dan
meningkatkan cakupan kegiatan pencegahan stunting
a. Memperkuat metode yang menilai beban terhambatnya pertumbuhan
dengan akurat agar dapat merencanakan dan merancang program secara
efektif
b. Menggabungkan nutrisi dalam strategi kesehatan dan memperkuat
kapasitas pemberian layanan dalam sistem kesehatan primer dan
perawatan berbasis masyarakat untuk pencegahan stunting dan
kekurangan gizi akut, didukung oleh program perlindungan sosial jika
memungkinkan
c. Mengembangkan target stunting nasional yang sejalan dengan majelis
kesehatan global.
d. Memasukkan penilaian pertumbuhan kedalam layanan kesehatan anak
secara rutin untuk memberikan informasi penting terkait penetapan
target dan memantau kemajuan program
e. Mempromosikan pandangan holistik tentang kekurangan gizi melalui
pemahaman bahwa pengerdilan, pemborosan dan defisiensi
mikronutrien dapat terjadi pada anak yang sama, keluarga dan
masyarakat, dan memastikan layanan untuk gizi kurang
diimplementasikan dengan cara yang lebih kohesif.
2. Menerapkan kebijakan atau intervensi untuk meningkatkan nutrisi dan
kesehatan ibu, dimulai dengan anak perempuan remaja
a. Menerapkan program yang memberikan suplemen zat besi dan folat
setiap minggu, serta pencegahan dan pengobatan infeksi dan
suplementasi nutrisi selama kehamilan
b. Menerapkan kebijakan tenaga kerja, termasuk perlidungan kehamilan,
dalam mendukung pemberian ASI ekslusif dan berkelanjutan
c. Menerapkan instrumen peraturan seperti kode pemasaran pengganti
ASI dan peraturan keamanan untuk melindungi nutrisi bayi dan anak
kecil
3. Menerapkan intervensi untuk peningkatan praktik pemberian ASI ekslusif
dan pemberian makanan tambahan

7
a. Melindungi dan mempromosikan pemberian ASI ekslusif dalam enam
bulan pertama untuk memberikan nutrisi “aman” dan melindungi bayi
dari infeksi saluran pencernaan
b. Mendorong konsumsi makanan yang sehat dan beragam, termasuk
makanan berkualitas tinggi, makanan kaya nutrisi dalam periode
pemberian makanan pendamping ASI (6-23 bulan)
c. Mening
d. katkan asupan gizi mikro melalui fortifikasi makanan pendamping, dan
penggunaan suplemen saat dan di mana pun diperlukan
e. Menumbuhkan praktik penyimpanan dan penanganan makanan yang
aman, untuk hindari infeksi dari kontaminasi mikroba dan mikotoksin.
4. Perkuat intervensi masyarakat, termasuk peningkatan air, sanitasi, dan
kebersihan untuk melindungi anak-anak dari penyakit diare dan malaria,
cacingan usus, dan penyebab infeksi subklinis lingkungan

Di Indonesia sendiri memfokuskan pada pemenuhan gizi yang dilakukan pada


1000 HPK (Hari Pertama Kehidupan) karena pada periode ini dianggap paling
efektif. Upaya yang dilakukan meliputi :

1. Pada Saat Ibu Hamil


KEK (Kekurangan Energi Kronis) adalah penyakit yang berpotensi
dimiliki ibu hamil karena tidak memakan makanan yang baik dan
bernutrisi. Selama masa kehamilan, ibu hamil perlu mengkonsumsi tablet
tambah darah untuk mencegah anemia, minimal 90 tablet.

2. Pada Saat Bayi Lahir


Agar persalinan aman dan selamat, pertolongan persalinan dilakukan
oleh tenaga kesehatan bidan atau dokter. Setelah bayi keluar segera
dilakukan IMD (Inisiasi Menyusui Dini) yaitu bayi diletakkan di dada ibu
lalu dibiarkan secara mandiri untuk mencari puting ibu dan mulai
menyusui. Kolostrum merupakan air susu ibu yang pertama kali keluar,
kental, berwarna kekuningan, dan sangat sedikit sekitar 1 sendok the.
Kolostrum ternyata antibodi dan imunoglobulin yang dapat meningkatkan
kekebalan tubuh bayi.

8
3. Bayi Berusia 6 Bulan-2 Tahun.
Bayi diberi asi eksklusif mulai dari lahir sampai berusia 6 bulan tanpa
diberi makanan dan minuman apapun termasuk air. Ketika bayi genap
berusia 6 bulan diberi makanan pendamping asi atau MP-ASI dengan tetap
diberi asi sampai berusia 2 tahun. Selain itu anak juga diberi vitamin A
dan imunisasi dasar lengkap.
4. Memantau Pertumbuhan Balita di Posyandu.
Memantau pertumbuhan balita di posyandu merupakan upaya strategis
untuk mendeteksi adanya gangguan pertumbuhan dan perkembangan pada
anak sehingga nantinya dapat diatasi dengan cepat. Apabila gangguan
pertumbuhan dan perkembangan pada anak dapat dideteksi sedini
mungkin, maka keberhasilan pengobatan akan lebih besar.
5. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS).
Perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) harus diupayakan oleh setiap
rumah tangga seperti menjaga lingkungan dan meningkatkan akses
terhadap air bersih. PHBS dapat menurunkan kejadian penyakit infeksi
yang membuat energi untuk pertumbuhan teralihkan kepada perlawanan
tubuh menghadapi infeksi.

2.8 5 Pilar Penanganan Stunting

Gambar 1. Pilar Penanganan Stunting

Presiden Republik Indonesia menaruh perhatian yang besar terhadap isu


stunting terutama untuk mencari inovasi dalam menangani dan mengurangi
masalah stunting.

Rekomendasi rencana aksi intervensi stunting menurut (TNP2K, 2017)


diusulkan menjadi 5 pilar utama dengan penjelasan sebagai berikut :

9
1. Komitmen dan Visi Pimpinan Tertinggi Negara
Pada pilar ini, dibutuhkan Komitmen dari Presiden/Wakil Presiden untuk
mengarahkan kementerian dan lembaga terkait Intervensi Stunting baik di
pusat maupun daerah. Selain itu, diperlukan juga adanya penetapan
strategi dan kebijakan, serta target nasional maupun daerah (baik provinsi
maupun kab/kota) dan memanfaatkan Sekretariat Sustainable
Development Goals/SDGs dan Sekretariat TNP2K sebagai lembaga
koordinasi dan pengendalian program program terkait Intervensi Stunting.
2. Kampanye Nasional Berfokus Pada Pemahaman, Perubahan, Perilaku,
Komitmen Politik dan Akuntabilitas
Berdasarkan pengalaman dan bukti internasional terkait program yang
dapat secara efektif mengurangi prevalensi stunting, salah satu strategi
utama yang perlu segera dilaksanakan adalah melalui kampanye secara
nasional baik melalui media massa, maupun melalui komunikasi kepada
keluarga
3. Konvergensi, Koordinasi, dan Konsolidasi Program Nasional, Daerah, dan
Masyarakat
Bertujuan untuk memperkuat konvergensi, koordinasi, dan konsolidasi,
serta memperluas cakupan program yang dilakukan oleh
kementerian/lembaga terkait. Selain itu, dibutuhkan perbaikan kualitas dari
layanan program yang ada seperti puskesmas, posyandu, PAUD, dan yang
lainnya terutama dalam memberikan dukungan kepada ibu hamil, ibu
menyusui, dan balita pada 1000 HPK serta pemberian insentif dari kinerja
program Intervensi Stunting di wilayah sasaran yang berhasil menurunkan
angka stunting di wilayahnya. Terakhir, pilar ini juga dapat dilakukan
dengan memaksimalkan pemanfaatan Dana Alokasi Khusus (DAK) dan
Dana Desa untuk mengarahkan pengeluaran tingkat daerah intervensi
prioritas Intervensi Stunting.
4. Mendorong Kebijakan “Food Nutritional Security”
Berfokus untuk (1) mendorong kebijakan yang memastikan akses pangan
bergizi di daerah dengan kasus stunting tinggi, (2) melaksanakan rencana
fortifikasi bio-energi, makanan dan pupuk yang komprehensif, (3)

10
pengurangan kontaminasi pangan, (4) melaksakan program pemberian
makanan tambahan, (5) mengupayakan investasi melalui kemitraan
dengan dunia usaha, Dana Desa, dan lain-lain dalam infrastruktur pasar
pangan baik ditingkat masyarakat pedesaan maupun perkotaan.
5. Pemantauan dan Evaluasi
Mencakup pemantauan menyeluruh terhadap kampanye nasional,
pemahaman serta perubahan perilaku sebagai hasil kampanye nasional
stunting, pemantauan dan evaluasi secara berkala untuk memastikan
pemberian dan kualitas dari layanan program Intervensi Stunting, publikasi
secara berkala hasil Intervensi Stunting dan perkembangan anak setiap
tahun, Result-based Planning and Budgeting (penganggaran dan
perencanaan berbasis hasil) program pusat dan daerah, dan pengendalian
program-program Intervensi Stunting.
2.9 Zat Gizi yang Berperan Mencegah Stunting

Faktor yang sangat berperan terhadap masalah stunting adalah asupan energi
dan zat gizi yang tidak memadai, dan penyakit infeksi. Kualitas dan jumlah
asupan zat gizi misalnya protein memiliki efek terhadap level plasma insulin
growth factor I (IGF-I) dan juga terhadap protein matriks tulang serta faktor
pertumbuhan yang sangat berperan dalam pembentukan formasi tulang (Mikhail,
Sobhy, El-sayed, & Khairy, 2013).

Kejadian stunting pada balita banyak ditemukan pada balita yang konsumsi
protein yang kurang dibanding pada balita dengan konsumsi protein cukup.
Diketahui kekurangan protein essense pada stadium berat dapat mengakibatkan
penyakit kwashiorkor pada anak-anak balita. Kekurangan protein sering
ditemukan secara bersamaan dengan kekurangan energi yang mengakibatkan
kondisi bernama marasmus. Protein sangat penting sebagai pembentuk jaringan
baru di masa pertumbuhan dan perkembangan tubuh, memelihara, memperbaiki,
serta mengganti jaringan yang rusak atau mati, dan menyediakan asam amino
yang diperlukan untuk pembentukan enzim pencernaan dan metabolisme. Anak
yang mengalami kondisi kekurangan protein yang berlangsung lama meskipun
energinya tercukupi akan mengalami pertumbuhan tinggi badan yang terhambat

11
(Sundari, 2016). Perlu diketahui bahwa kebutuhan protein anak-anak lebih tinggi
daripada kebutuhan protein orang dewasa (Chomaria, 2015).

Dalam Lancer Series mengemukakan bahwa zat gizi mikro yang sangat
dibutuhkan untuk mencegah terjadinya stunting adalah zinc (seng), zat besi,
vitamin A dan iodin.(Souganidis, 2012). Peran seng sangat penting dalam
pertumbuhan dan perkembangan anak. Kondisi stunting berkaitan dengan kadar
seng yang rendah dalam tubuh. Seng berperan dalam fungsi sel T dalam
pembentukan antibodi oleh sel B. Kadar seng yang kurang ideal selama kehamilan
berpengaruh terhadap hormon pertumbuhan, seperti rendahnya Insuline-like
Growth Factor I (IGF-1), Growth Hormone (GH), reseptor dan GH binding
protein RNA. Rendahnya konsentrasi hormon-hormon tersebut dapat menghambat
pertumbuhan linier hingga terhentinya pertumbuhan berat badan (Sundari, 2016).
Defisiensi seng selama kehamilan dapat menyebabkan pertumbuhan janin
terhambat, kehamilan serotinus atau partus lama. Bayi yang dilahirkan dengan
defisiensi seng, gejalanya akan berdampak pada masa pertumbuhan
(Soetjiningsih, 1995)

Zat besi memiliki beberapa fungsi yaitu metabolisme energi, pertumbuhan dan
perkembangan, sistem kekebalan, kemampuan belajar, dan pelarut obat-obatan.
Besi memegang peran penting dalam sistem kekebalan tubuh. Asupan besi yang
kurang pada masa anak menyebabkan terhambatnya pertumbuhan pada anak
sehingga jika berlangsung dalam waktu lama dapat menyebabkan stunting
(Sundari, 2016). Pada penelitian yang dilakukan Ulul Azmy, et al (2018) di
temukan bahwa zat besi tidak ada hubungannya dengan status gizi. Penelitian
tersebut tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sulistianingsih, et al
(2013) yang menyatakan terdapat hubungan antara asupan zat besi dengan
stunting pada balita dan balita yang asupan zat besinya kurang beresiko terkena
stunting lebih tinggi. Zat besi dikaitkan sebagai salah satu mineral yang berfungsi
sebagai kekebalan tubuh. Masa balita sangt rentan terhadap masalah gizi, oleh
karena itu konsumsi mineral khusunya zat besi dibutuhkan untuk
mempertahankan imun tubuh. Hasil penelitian menunjukkan bahwa status gizi
tidak hanya dipengaruhi oleh asupan zat besi saja namun juga zat gizi lainnya.

12
Vitamin A memiliki peran dalam fungsi faal tubuh seperti penglihatan,
diferensiasi sel, kekenalan, pertumbuhan dan perkembangan, reproduksi,
pencegahan kanker dan penyakit jantung, serta berkurangnya nasfu makan.
Suplementasi vitamin A dosis tinggi masih menjadi program wajib kementerian
kesehatan, namun peningkatan asupan vitamin A lebih dibutuhkan dari sumber
makanan yang seimbang dan beragam. (Almatzier, 2009)

Zat yodium sangat diperlukan untuk pembentukan hormon tiroksin yang


dibutuhkan tubuh untuk mengatur pertumbuhan dan perkembangan janin hingga
menjadi dewasa (Waterlow, 1988). Defisiensi yodium pada ibu hamil dapat
mengakibatkan janin diresopsi,abortus, dan bayi mati juga bayi lahir lemah
(Soetjiningsih, 1995). Dari beberapa studi ditemukan bahwa kekurangan zat
yodium dapat mengakibatkan gangguan pertumbuhan fisik dan mental pada anak.
Zat mikro lain yang perannya sangat penting bagi dalam pertumbuhan anak adalah
kalsium dan fosfor (Mikhail, 2013).

Terdapat hubungan antara asupan energi dengan status gizi. Hal ini
menunjukkan bahwa semakin baik asupan energi pada balita, maka semakin
normal pula status gizinya. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan
oleh Nagari, et al (2017) terdapat hubungan antara tingkat asupan energi dengan
status gizi pada anak. Energi dalam tubuh manusia timbul karena adanya
pembakaran dari karbohidrat, protein, dan lemak. Maka dari itu, dibutuhkan
adanya zat makanan yang bisa mencukupi kebutuhan tubuh dari seseorang
tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa semakin baik konsumsi energi pada balita
maka semakin baik status gizinya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan
Oktarina et al (2013) menunjukkan bahwa balita yang memiliki asupan energi
rendah berisiko stunting.

Karbohidrat dalam tubuh manusia bermanfaat sebagai sumber energi utama


yang diperlukan untuk beraktivitas, karbohidrat yang berlebihan dalam tubuh akan
disimpan dalam bentuk lemak sebagai cadangan sumber energi. Fungsi
karbohidrat diantaranya sebagai penyuplai energi otak dan syaraf, pengatur
metabolisme, dan karbohidrat merupakan zat gizi utama yang menyuplai energi
untuk tubuh supaya dapat melakukan aktivitasnya. Karbohidrat sangat dibutuhkan

13
untuk menghasilkan energi, begitu pula dengan masa balita dimana aktivitas
bermain yang tinggi dan membutuhkan energi untuk perkembangan otak.
Semakin kurang konsumsi karbohidrat maka berisiko 1,7 kali lebih besar
mengalami stunting.

Lemak berhubungan dengan status gizi anak dikarenakan dalam lemak


terkandung asam lemak esensial yang memiliki peran dalam mengatur kesehatan.
Selain itu simpanan energi dapat berasal dari konsumsi lemak dan lemak sebagai
alat pengangkut dan pelarut vitamin larut lemak dalam tubuh dimana fungsi-
fungsi tersebut sangat mempengaruhi pertumbuhan balita. Dari hasil penelitian
menunjukkan semakin kurang konsumsi lemak maka berisiko 1,7 kali lebih besar
mengalami stunting (Azmy, 2018).

2.10 Upaya Pemerintah dalam Menangani Stunting

Mengutip dari artikel yang berjudul 100 Kabupaten/Kota Prioritas Untuk


Intervensi Anak Kerdil (Stunting)(TNP2K, 2017) kerangka Intervensi Stunting
yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia terbagi menjadi dua, yaitu Intervensi
Gizi Spesifik dan Intervensi Gizi Sensitif.

Kerangka pertama adalah Intervensi Gizi Spesifik. Ini merupakan intervensi


yang ditujukan kepada anak dalam 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) dan
berkontribusi pada 30% penurunan stunting. Kerangka kegiatan intervensi gizi
spesifik umumnya dilakukan pada sektor kesehatan. Intervensi ini juga bersifat
jangka pendek dimana hasilnya dapat dicatat dalam waktu relatif pendek.
Kegiatan yang idealnya dilakukan untuk melaksanakan Intervensi Gizi Spesifik
dapat dibagi menjadi beberapa intervensi utama yang dimulai dari masa
kehamilan ibu hingga melahirkan balita :

1. Intervensi Gizi Spesifik dengan sasaran Ibu Hamil.


Intervensi ini meliputi kegiatan memberikan makanan tambahan (PMT)
pada ibu hamil untuk mengatasi kekurangan energi dan protein kronis,
mengatasi kekurangan zat besi dan asam folat, mengatasi kekurangan
iodium, menanggulangi kecacingan pada ibu hamil serta melindungi ibu
hamil dari Malaria.

14
2. Intervensi Gizi Spesifik dengan sasaran Ibu Menyusui dan Anak Usia 0-6
Bulan
Intervensi ini dilakukan melalui beberapa kegiatan yang mendorong
inisiasi menyusui dini/IMD terutama melalui pemberian ASI
jolong/colostrum serta mendorong pemberian ASI Eksklusif.
3. Intervensi Gizi Spesifik dengan sasaran Ibu Menyusui dan Anak Usia 7-23
bulan
Intervensi ini meliputi kegiatan untuk mendorong penerusan pemberian
ASI hingga anak/bayi berusia 23 bulan. Kemudian, setelah bayi berusia
diatas 6 bulan didampingi oleh pemberian MP-ASI, menyediakan obat
cacing, menyediakan suplementasi zink, melakukan fortifikasi zat besi ke
dalam makanan, memberikan perlindungan terhadap malaria, memberikan
imunisasi lengkap,serta melakukan pencegahan dan pengobatan diare.

Kerangka Intervensi Stunting yang direncanakan oleh Pemerintah yang kedua


adalah Intervensi Gizi Sensitif. Kerangka ini idealnya dilakukan melalui berbagai
kegiatan pembangunan diluar sektor kesehatan dan berkontribusi pada 70%
Intervensi Stunting. Sasaran dari intervensi gizi spesifik adalah masyarakat secara
umum dan tidak khusus ibu hamil dan balita pada 1.000 Hari Pertama
Kehidupan/HPK. Kegiatan terkait Intervensi Gizi Sensitif dapat dilaksanakan
melalui beberapa kegiatan yang umumnya makro dan dilakukan secara lintas
Kementerian dan Lembaga. Ada 12 kegiatan yang dapat berkontribusi pada
penurunan stunting melalui Intervensi Gizi Spesifik sebagai berikut:
1. Menyediakan dan memastikan akses terhadap air bersih.
2. Menyediakan dan memastikan akses terhadap sanitasi.
3. Melakukan fortifikasi bahan pangan.
4. Menyediakan akses kepada layanan kesehatan dan Keluarga Berencana
(KB).
5. Menyediakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
6. Menyediakan Jaminan Persalinan Universal (Jampersal).
7. Memberikan pendidikan pengasuhan pada orang tua.
8. Memberikan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Universal.
9. Memberikan pendidikan gizi masyarakat.

15
10. Memberikan edukasi kesehatan seksual dan reproduksi, serta gizi pada
remaja.
11. Menyediakan bantuan dan jaminan sosial bagi keluarga miskin.
12. Meningkatkan ketahanan pangan dan gizi.
Kedua kerangka Intervensi Stunting diatas sudah direncanakan dan
dilaksanakan oleh Pemerintah Indonesia sebagai bagian dari upaya nasional untuk
mencegah dan mengurangi pervalensi stunting.
Dalam Kebijakan dan program terkait intervensi stunting, pemerintah di
tingkat nasional kemudian mengeluarkan berbagai kebijakan serta regulasi yang
diharapkan dapat berkontribusi pada pengurangan prevalensi stunting, termasuk
diantaranya:
1. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005–2025
(Pemerintah melalui program pembangunan nasional ‘Akses Universal Air
Minum dan Sanitasi Tahun 2019’, menetapkan bahwa pada tahun 2019,
Indonesia dapat menyediakan layanan air minum dan sanitasi yang layak
bagi 100% rakyat Indonesia).
2. Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2015-2019 (target
penurunan prevalensi stunting menjadi 28% pada 2019).
3. Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi 2011-2015, Bappenas, 2011.
4. Undang-Undang (UU) No. 36/2009 tentang Kesehatan.
5. Peraturan Pemerintah (PP) No.33/2012 tentang Air Susu Ibu Eksklusif.
6. Peraturan Presiden (Perpres) No. 42/2013 tentang Gerakan Nasional
Percepatan Perbaikan Gizi.
7. Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes) No. 450/Menkes/SK/IV/2004
tentang Pemberian Air Susu Ibu (ASI) Secara Eksklusif Pada Bayi di
Indonesia.
8. Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No.15/2013 tentang Tata Cara
Penyediaan Fasilitas Khusus Menyusui dan/atau Memerah Air Susu Ibu.
9. Permenkes No.3/2014 tentang Sanitasi Total Berbasis Masyarakat
(STBM).
10. Permenkes No.23/2014 tentang Upaya Perbaikan Gizi.

16
11. Kerangka Kebijakan Gerakan Nasional Percepatan Gizi Dalam Rangka
Seribu Hari Pertama Kehidupan (Gerakan 1.000 HPK), 2013.
12. Hari Pertama Kehidupan (Gerakan 1000 HPK), 2013.

17
BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Stunting merupakan salah satu masalah gizi masyarakat di Indonesia dan
dunia. Stunting menggambarkan status gizi kurang yang bersifat kronis pada masa
pertumbuhan dan perkembangan sejak seribu hari awal kehidupan (1000 HPK),
keadaan ini ditandai dengan tinggi badan anak lebih pendek dari teman-teman
seusianya. Dibutuhkan upaya individu maupun pemerintah untuk mengatasi dan
mencegah stunting.

3.2 Saran
Pemerintah telah melakukan upaya-upaya yang bagus dalam mengurangi
angka stunting di Indonesia. Namun, menurut kami program yang disusun
pemerintah dalam rangka mengurangi angka stunting belum optimal , mengingat
stunting ini berkaitan dengan masa depan penerus bangsa. Bukan hanya tentang
pertumbuhan fisiknya saja, namun perkembangan otak juga menjadi dampak
jangka panjang.

Selain itu, mutu pelayanan kesehatan entah itu fasilitas maupun penyelenggara
kesehatan dan stakeholder perlu dilakukan intervensi pada peningkatan status gizi
melalui advokasi kebijakan untuk mempercepat terdeteksinya stunting sebagai
upaya mengurangi risiko stunting terutama dengan pemberian ASI eksklusif pada
anak.

18
DAFTAR PUSTAKA

Almatzier. (2009). Prinsip dasar ilmu gizi. Jakarta.


Aridiyah, F. O., Rohmawati, N., & Ririanty, M. (2015). (The Factors Affecting
Stunting on Toddlers in Rural and Urban Areas). 3(1), 8.
Aryastami, N. K. (2017). Kajian Kebijakan dan Penanggulangan Masalah Gizi
Stunting di Indonesia. Buletin Penelitian Kesehatan, 45(4), 233–240.
https://doi.org/10.22435/bpk.v45i4.7465.233-240
Azmy, U. (2018). Konsumsi Zat Gizi pada Balita Stunting dan Non-Stunting di
Kabupaten Bangkalan.
Chomaria, N. (2015). Tumbuh Kembang Anak Usia 0-5 Tahun (Vol. 1). Surakarta.
Kemenkes RI. (2018). Buletin Jendela Data dan Informasi Kesehatan—Stunting.
Pusat Data dan Informasi.
Mikhail, W. Z. A., Sobhy, H. M., El-sayed, H. H., & Khairy, S. A. (2013). Effect
of Nutritional Status on Growth Pattern of Stunted Preschool Children in
Egypt. 9.
Nagari, R. K. (2017). Tingkat Kecukupan Energi , Protein Dan Status Ketahanan
Pangan Rumah Tangga Berhubungan Dengan Status Gizi Anak Usia 6-8
Tahun.
Ni’mah, K., & Nadhiroh, S. R. (2015). FAKTOR YANG BERHUBUNGAN
DENGAN KEJADIAN STUNTING PADA BALITA. 10, 7.
Oktarina, Z. (2013). FAKTOR RISIKO STUNTING PADA BALITA (24—59
BULAN) DI SUMATERA (Risk Factors of Stunting among Children [24—
59 months] in Sumatera).
Riset Kesehatan Dasar. (2013). Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,
Kemenkes RI.
Soetjiningsih. (1995). Tumbuh Kembang Anak (Vol. 1). Bali.
Souganidis, E. (2012). The relevance of micronutrients to the prevention of
stunting. Sight and life.
Suarez, A. (2012). WHO Global Nutrition Targets 2025:Stunting Policy Brief.
Diambil dari
https://www.who.int/nutrition/topics/globaltargets_stunting_policybrief.pd
f

19
Sulistianingsih. (2013). Kurangnya Asupan Makan Sebagai Penyebab Kejadian
Balita Pendek ( Stunting ) (Vol. 5).
Sundari, E. (2016). HUBUNGAN ASUPAN PROTEIN, SENG, ZAT BESI,DAN
RIWAYAT PENYAKIT INFEKSI DENGAN Z-SCORE TB/U PADA
BALITA. 5, 20–26.
Sutarto, Mayasari, D., & Indriyani, R. (2018). Stunting, Faktor Resiko dan
Pencegahannya. 5, 6.
TNP2K. (2017). 100 KABUPATEN/KOTA PRIORITAS UNTUK INTERVENSI
ANAK KERDIL (STUNTING). Central Jakarta: Tim Nasional Percepatan
dan Penangulangan Kemiskinan.
Waterlow, J. (1988). Observations on the natural history of stunting. In: Waterlow
JC, ed. Linear growth retardation in less developed countries. New York:
Vevey/Raven Press, :1–16. (Nestle Nutrition Workshop Series, vol 14.),
hlm. 1–16.

20

Anda mungkin juga menyukai