Anda di halaman 1dari 13

PENYULUHAN

STUNTING PADA ANAK

Oleh :
Cynthia
140100111

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA
UTARA
RSUP HAJI ADAM MALIK MEDAN
2018
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
berkat rahmat dan karunia-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas
penyuluhan ini dengan judul “ STUNTING PADA ANAK “.
Penulisan penyuluhan ini adalah salah satu syarat untuk menyelesaikan
Kepaniteraan Klinik Program Pendidikan Profesi Dokter di Departemen Ilmu
Kesehatan, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Saya menyadari bahwa penulisan penyuluhan ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, saya mengharapkan saran dan kritik dari pembaca
sebagai koreksi dalam penulisan penyuluhan selanjutnya. Kiranya penyuluhan ini
bermanfaat. Akhir kata, saya mengucapkan terimakasih.

Medan, 24 Agustus 2018

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halaman Judul............................................................................................................
Kata Pengantar.........................................................................................................ii
Daftar Isi.................................................................................................................iii
BAB I Pendahuluan..................................................................................................1
BAB II Tinjauan Pustaka.........................................................................................3
Daftar Pustaka........................................................................................................10

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Stunting menggambarkan status gizi kurang yang bersifat kronik pada masa
pertumbuhan dan perkembangan sejak awal kehidupan. Keadaan ini
dipresentasikan dengan nilai z-score tinggi badan menurut umur (TB/U) kurang
dari -2 standar deviasi (SD) berdasarkan standar pertumbuhan menurut WHO tahun
2010.1

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Nomor


1995/MENKES/SK/XII/2010 tentang Standar Antropometri Penilaian Status Gizi
Anak, pengertian pendek dan sangat pendek adalah status gizi yang didasarkan pada
indeks Panjang Badan menurut Umur (PB/U) atau Tinggi Badan menurut Umur
(TB/U) yang merupakan padanan istilah stunted (pendek) dan severely stunted
(sangat pendek). Balita pendek (stunting) dapat diketahui bila seorang balita sudah
diukur panjang atau tinggi badannya, lalu dibandingkan dengan standar, dan
hasilnya berada di bawah normal. Balita pendek adalah balita dengan status gizi
yang berdasarkan panjang atau tinggi badan menurut umurnya bila dibandingkan
dengan standar baku WHO-MGRS (Multicentre Growth Reference Study) , nilai z-
scorenya kurang dari -2SD dan dikategorikan sangat pendek jika nilai z-scorenya
kurang dari -3SD.2

Upaya peningkatan status gizi masyarakat termasuk penurunan prevalensi


balita pendek menjadi salah satu prioritas pembangunan nasional yang tercantum
di dalam sasaran pokok Rencana Pembangunan jangka Menengah Tahun 2015 –
2019. Target penurunan prevalensi stunting (pendek dan sangat pendek) pada anak
baduta (dibawah 2 tahun) adalah menjadi 28% .2

Perawakan pendek disebabkan oleh faktor lingkungan dan genetik.


Lingkungan merupakan aspek penting yang masih dapat diintervensi sehingga
perawakan pendek dapat diatasi. Faktor lingkungan yang berperan dalam

2
menyebabkan perawakan pendek antara lain status gizi ibu, pola pemberian makan
kepada anak, kebersihan lingkungan, dan angka kejadian infeksi pada anak. Selain
disebabkan oleh lingkungan, perawakan pendek juga dapat disebabkan oleh faktor
genetik dan hormonal. Akan tetapi, sebagian besar perawakan pendek disebabkan
oleh malnutrisi.3

Awal kehamilan sampai anak berusia dua tahun (periode 1000 Hari Pertama
Kehidupan) merupakan periode kritis terjadinya gangguan pertumbuhan, termasuk
perawakan pendek. Pada periode seribu hari pertama kehidupan ini, sangat penting
untuk dilakukan pemantauan pertumbuhan dan perkembangan secara berkala dan
tentu saja pemenuhan kebutuhan dasar anak yaitu nutrisi, kasih sayang, dan
stimulasi.3

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Stunting

Menurut World Health Organization, Stunting merupakan status gizi


kurang yang bersifat kronik pada masa pertumbuhan dan perkembangan sejak awal
kehidupan. Keadaan ini dipresentasikan dengan nilai z-score tinggi badan menurut
umur (TB/U) kurang dari -2 standar deviasi (SD) berdasarkan standar pertumbuhan
menurut WHO.1

2.2 Epidemiologi Bullying

Bullying merupakan fenomena yang tersebar di seluruh dunia, tidak hanya


di negara berkembang tetapi juga di negara maju. Menurut The American
Association of School Psychologist, terdapat sekitar 160.000 anak menghindari
sekolah akibat takut menjadi korban bullying.7 Di Indonesia, penelitian Amy pada
tahun 2006, diperkirakan 10%-16% pelajar Sekolah Dasar (SD) kelas IV-VI di
Indonesia mengalami bullying sebanyak satu kali per minggu. Bullying pada anak
paling sering terjadi di sekolah tetapi belum banyak guru di Indonesia yang
menganggap bullying sebagai masalah serius. Survei di berbagai belahan dunia
menyatakan bahwa bullying paling banyak terjadi pada usia 7 tahun (kelas II SD),
dan selanjutnya menurun hingga usia 15 tahun. Studi lain menyatakan prevalensi
bullying tertinggi pada usia 7 tahun dan 10-12 tahun. Anak laki-laki sering terlibat
dalam bullying dibanding anak perempuan.1 Menurut penelitian yang dilakukan di
Iran, dari total jumlah partisipan 834 siswa kelas 8 dan kelas 9 sekolah menengah

pertama, berdasarkan pola pembullyan, didapatkan hasil 24,7% pembullyan


dilakukan secara verbal, dan 10,3% lainnya dilakukan secara physical.8

3
2.3 Klasifikasi Bullying

Terdapat 4 klasifikasi bullying yaitu:1

a) Physical Bullying
Bullying yang bersifat fisik dimana terjadi kontak fisik antara pelaku
bullying dengan korban. Jenis ini merupakan bullying yang paling mudah
diidentifikasi karena dapat dilihat oleh mata. Contohnya adalah memukul,
menarik baju, menendang dan lain-lain.

b) Emotional bullying
Jenis bullying yang paling berbahaya karena tidak tertangkap oleh mata
atau telinga kita apabila tidak cukup awas mendeteksinya. Praktik bullying
ini terjadi diam - diam dan diluar jangkauan pemantauan kita. Contoh-
contohnya antara lain mencibir, mengucilkan, memandang sinis,
memelototi, memandang penuh ancaman, mempermalukan di depan
umum, mendiamkan, meneror lewat pesan pendek, telepon genggem atau
email, memandang yang merendahkan.

c) Verbal bullying
Verbal bullying memiliki kesamaan dengan emotional bullying, dimana
akan menimbulkan gangguan secara emosional terhadap korban. Jenis
bullying yang juga bisa terdeteksi karena bisa terungkap indra
pendengaran kita. Contoh bullying verbal antara lain membentak,
meledek, mencela, memaki-maki, menghina, menjuluki, meneriaki,
mempermalukan didepan umum, menyoraki, menebar gosip, memfitnah.

d) Cyber bullying
Bullying jenis ini merupakan tindakan yang paling banyak terjadi diera
modernisasi. Cyber bullying melibatkan internet sebagai bullying.

4
Bullying ini dapat melalui pesan singkat via email, website maupun media
sosial.

2.4 Penyebab terjadinya Bullying

Perilaku bullying ini merupakan sebuah perilaku negatif yang dapat


disebabkan oleh beberapa faktor antara lain:9

a. Keluarga
Pelaku bullying seringkali berasal dari keluarga yang bermasalah antara lain orang
tua yang sering menghukum anaknya secara berlebihan, atau situasi rumah yang
penuh stress, agresi, dan permusuhan.9 Anak akan mempelajari perilaku bullying
ketika mengamati konflik-konflik yang terjadi pada orang tua mereka,seperti
terjadinya perceraian orang tua, orang tua perasaan yang tidak stabil dan pikirannya,
orang tua yang saling mencaci maki, menghina, bertengkar dihadapan anak-
anaknya, bermusuhan dan tidak pernah akur, memicu terjadinya depresi dan stress
bagi anak. Seorang remaja yang tumbuh dalam keluarga yang menerapkan pola
komunikasi negatif seperti sarcasm (sindirian tajam) akan cenderung meniru
kebiasaan tersebut dalam kesehariannya dan kemudian menirunya terhadap
temantemannya.10 Jika tidak ada konsekuensi yang tegas dari lingkungan terhadap
perilaku coba-cobanya itu, ia akan belajar bahwa “mereka yang memiliki kekuatan
diperbolehkan untuk berperilaku agresif, dan perilaku agresif itu dapat
meningkatkan status dan kekuasaan seseorang”. Dari sini anak mengembangkan
perilaku bullying.9

b. Sekolah
Kecenderungan pihak sekolah yang sering mengabaikan keberadaan bullying
menjadikan siswa yang menjadi pelaku bullying semakin mendapatkan penguatan
terhadap perilaku tersebut. Selain itu, bullying dapat terjadi di sekolah jika
pengawasan dan bimbingan etika dari para guru rendah, sekolah dengan

kedisiplinan yang sangat kaku, bimbingan yang tidak layak dan peraturan yang
tidak konsisten, hukuman yang tidak bermanfaat sehingga tidak mengembangkan

5
rasa menghargai dan menghormati antar sesama anggota sekolah. Dalam penelitian
oleh Adair, 79% kasus bullying di sekolah tidak dilaporkan ke guru atau orang
tua.9,10

c. Faktor Kelompok Sebaya


Anak-anak ketika berinteraksi dalam sekolah dan dengan teman di sekitar rumah,
kadang kala terdorong untuk melakukan bullying. Beberapa anak melakukan
bullying dalam usaha untuk membuktikan bahwa mereka bisa masuk dalam
kelompok tertentu, meskipun mereka sendiri merasa tidak nyaman dengan perilaku
tersebut.9

Adapun pihak-pihak yang terlibat dalam perilaku bullying yaitu:9

1. Bullies (Pelaku bullying)


Pelaku bullying adalah orang yang melakukan tindakan bullying. Biasanya pelaku
bullying memiliki kekuatan secara fisik dengan penghargaan diri yang baik dan
berkembang. Karakteristik anak atau remaja pelaku bullying adalah hiperaktif,
agresif, destruktif, menikmati dominasi atas anak atau remaja lainnya, mudah
tersinggung, dan memiliki toleransi yang rendah terhadap frustasi. Mereka juga
cenderung sulit memproses informasi sosial, sehingga sering menginterpretasikan
secara keliru perilaku anak atau remaja lain sebagai perilaku bermusuhan, juga saat
sikap permusuhan itu ditujukan pada anak atau remaja lain.11

2. Victim (Korban bullying)


Korban bullying adalah seorang yang sering menjadi target dari perilaku agresif,
tindakan yang menyakitkan dan hanya memperlihatkan sedikit pertahanan melawan
penyerangnya.9 Karakteristik korban bullying adalah mereka yang penampilan
perilaku sehari-hari berbeda, ukuran tubuh secara fisik lebih kecil, lebih tinggi, atau
lebih berat badannya dibandingkan kebanyakan anak atau remaja seusianya, berasal
dari latar belakang etnik, keyakinan atau budaya yang berbeda dari kebanyakan
anak atau remaja di lingkungannya, memiliki kemampuan atau

6
bakat istimewa, keterbatasan kemampuan tertentu, misalnya attention deficit
hyperactivity disorder (ADHD), gangguan belajar, retardasi mental, dan lainnya.
Umumnya anak atau remaja yang pencemas, mudah gugup, selalu merasa tidak
aman, pemalu pendiam, memiliki cacat fisik atau mental, masalah tingkah laku atau
gangguan perkembangan neurologis.11

3. Bully-victim
Pihak yang terlibat dalam perilaku agresif, tetapi juga menjadi korban perilaku
agresif. Bullying termasuk tindakan yang disengaja oleh pelaku pada korbannya,
yang dimaksudkan untuk menggangu seorang yang lebih lemah. Faktor individu
dimana kurangnya pengetahuan menjadi salah satu penyebab timbulnya perilaku
bullying, Semakin baik tingkat pengetahuan remaja tentang bullying maka akan
dapat meminimalkan atau menghilangkan perilaku bullying.

2.5 Dampak Bullying


Terdapat berbagai dampak yang ditimbulkan akibat bullying. Dampak yang
dialami korban bullying tersebut bukan hanya dampak fisik tapi juga dampak psikis.
Bullying tidak hanya berdampak terhadap korban, tapi juga terhadap pelaku.7

a. Dampak bagi korban


Hasil studi yang dilakukan National Youth Violence Prevention Resource Center
Sanders (2009) menunjukkan bahwa bullying dapat membuat remaja merasa cemas
dan ketakutan, mempengaruhi konsentrasi belajar di sekolah dan menuntun mereka
untuk menghindari sekolah. Bila bullying berlanjut dalam jangka waktu yang lama,
dapat mempengaruhi self-esteem siswa, meningkatkan isolasi sosial, memunculkan
perilaku menarik diri, menjadikan remaja rentan terhadap stress dan depresi, serta
rasa tidak aman.Dalam kasus yang lebih ekstrim, bullying dapat mengakibatkan
remaja berbuat nekat, bahkan bisa membunuh atau melakukan bunuh diri
(commited suicide).

b. Dampak bagi pelaku

7
Hasil studi yang dilakukan National Youth Violence Prevention Resource Center
Sanders (2009) menunjukan bahwa pada umumnya, para pelaku ini memiliki rasa
percaya diri yang tinggi dengan harga diri yang tinggi pula, cenderung bersifat
agresif dengan perilaku yang pro terhadap kekerasan, tipikal orang berwatak keras,
mudah marah dan impulsif. Para pelaku bullying ini memiliki kebutuhan kuat untuk
mendominasi orang lain dan kurang berempati terhadap targetnya. Dengan
melakukan bullying, pelaku akan beranggapan bahwa mereka memiliki kekuasaan
terhadap keadaan. Jika dibiarkan terus-menerus tanpa intervensi, perilaku bullying
ini dapat menyebabkan terbentuknya perilaku lain berupa kekerasan terhadap anak
dan perilaku kriminal lainnya.

Secara umum bullying mengakibatkan dampak-dampak negatif sebagai berikut:7 1.


Gangguan psikologis, misalnya rasa cemas berlebihan, kesepian.
2. Konsep diri sosial korban bullying menjadi lebih negatif karena korban
merasa tidak diterima oleh teman-temannya, selain itu dirinya juga mempunyai
pengalaman gagal yang terus-menerus dalam membina pertemanan, yaitu di bully
oleh teman dekatnya sendiri.
3. Membenci lingkungan sosialnya, enggan ke sekolah
4. Keinginan untuk bunuh diri
5. Cenderung kurang empatik dan mengarah ke psikotis
6. Pelaku bullying yang kronis akan membawa perilaku itu sampai dewasa,
akan berpengaruh negatif pada kemampuan mereka untuk membangun dan
memelihara hubungan baik dengan orang lain.
7. Korban akan merasa rendah diri, tidak berharga.
8. Gangguan pada kesehatan fisik: sakit kepala, sakit tenggorokan, flu, batuk-
batuk, gatal-gatal, sakit dada, bibir pecah-pecah.

2.6 Cara mencegah Bullying

8
1. Peran orangtua
Pencegahan agar anak tidak menjadi pelaku bullying, para orangtua diharapkan
mampu untuk mengembangkan kecerdasan emosional anak sejak dini. Ajarkan
anak untuk memiliki rasa empati, menghargai orang lain dan menyadarkan sang
anak bahwa dirinya adalah makhluk sosial yang membutuhkan orang lain dalam
kehidupannya. Peran orangtua di rumah harus mampu menciptakan komunikasi
yang baik dengan anak-anak dan membekali anak dengan pemahaman agama yang
cukup dan menanamkan akhlakul karimah yang selalu dilaksanakan di lingkungan
rumah, karena anak akan selalu meniru perilaku orangtua. Pemberian teladan
kepada anak akan lebih baik dari memberi nasihat.9

2. Peran guru
Dengan dilaksanakannya bimbingan dan konseling di sekolah diharapkan para
guru mampu mencapai:9
a) Pengembangan keharmonisan di dalam melaksanakan proses belajar
mengajar.
b) Keselarasan kerjasama dengan para siswa, terutama dengan mereka yang
memiliki masalah pribadi.
c) Kerjasama yang lebih intensif dengan orangtua siswa dan masyarakat luas
pada umumnya.

3. Putus mata rantai pelaku dan budaya bullying


Biasanya budaya bullying diwariskan dengan sistem kaderisasi yang kuat, motivasi
senioritas adalah faktor yang terkuatnya. Untuk menghindari gejala tersebut
sebaiknya bimbinglah para remaja dengan cara mengadakan kegiatan bersama
antara generasi tersebut maupun alumninya dan buatlah suatu ikatan supaya
terbentuk jalinan. Persaudaraan yang akan melahirkan kesadaran bahwa senior
harus membimbing dan para junior harus menghormati seniornya.9

DAFTAR PUSTAKA

9
1. Ni’mah, Khoirun dan Nadhiroh, S Rahayu. 2015. Faktor yang Berhubungan
dengan Kejadian Stunting pada Balita. Media Gizi Indonesia. Vol. 10, No 1 1
januari-juni 2015: hlm 13-19
2. Kementrian Kesehatan RI. 2016. Pusat Data dan Informasi :Situasi Balita
Pendek.
3. Ikatan Dokter Anak Indonesia .2016. Mencegah Anak Berperawakan pendek,
diakses pada tanggal 23 Agustus 2018 dari
http://www.idai.or.id/artikel/seputar-kesehatan-anak/mencegah-anak-
berperawakan-pendek
4. Sejiwa. (2008). Bullying: Mengatasi Kekerasan di Sekolah dan Lingkungan
Sekitar Anak. Jakarta: Grasindo.
5. Gorea RK. Bullying in schools: epidemiology and prevention.Int J Eth Trauma
Victimology 2016; 2(2):6-9
6. Dan Olweus, “In the handbook of bullying in Schools: An international
perspective”, Pp. 9-33. Edited by Jimerson, S. R., Swearer, S. M., and
Espelage, D. L. New York: Routledge, (2010), hal. 11.
7. Coloroso, B. (2007). Stop Bullying. Jakarta: Penerbit Serambi Ilmu Semesta
8. Soori H, M Rezapour, S Khodakarim. Epidemiological pattern of bullying among
school children in mazandaran province iran. J Child Adolesc Behav. 2014;
2(3):1-5
9. Astuti, P.R. (2008). Meredam Bullying: 3 Cara Efektif Mengatasi Kekerasan
Pada Anak. Jakarta: Grasindo.
10. Lestari WS. Analisis faktor-faktor penyebab bullying di kalangan peserta didik.
Science Education Journal. 2016; 3(2): 147-157
11. Surilena. Perilaku bullying (perundungan) pada anak dan remaja. CDK.
2016;43(1):35-8

10

Anda mungkin juga menyukai