Anda di halaman 1dari 23

PAPER NAMA : BULAN MUQARRAMAH

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 150100129


FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS USU

PAPER

HOMOSISTEINURIA

Disusun oleh :
BULAN MUQARRAMAH
150100129

Supervisor :
dr. Marina Yusnita Albar, M.Ked(Oph), Sp.M

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas kasih,
berkat, dan penyertaanNya penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang
berjudul “Homosisteinuria”. Penulisan makalah ini adalah salah satu syarat untuk
menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Senior Program Pendidikan Profesi Dokter di
Departemen Mata, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada dr.
Marina Yusnita Albar, M.Ked(Oph), Sp.M selaku pembimbing yang telah
memberikan arahan dalam penyelesaian makalah ini. Dengan demikian
diharapkan makalah ini dapat memberikan kontribusi positif dalam sistem
pelayanan kesehatan secara optimal.
Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca
untuk perbaikan dalam penulisan makalah selanjutnya.

Medan, 28 September 2020

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................i


DAFTAR ISI .....................................................................................................ii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................iii
BAB 1 PENDAHULUAN.................................................................................1
1.1 Latar Belakang ............................................................................................1
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA........................................................................2
2.1 Anatomi Mata................................................................................................2
2.1.1 Struktur Lensa......................................................................................3
2.2 Proses Metabolisme Homosistein.................................................................6
2.3 Homosisteinuria............................................................................................9
2.3.1 Definisi.................................................................................................9
2.3.2 Epidemiologi........................................................................................9
2.3.3 Etiologi dan Faktor Risiko...................................................................9
2.3.4 Patogenesis...........................................................................................9
2.3.5 Manifestasi Klinis................................................................................10
2.3.6 Diagnosis..............................................................................................11
2.3.7 Tatalaksana...........................................................................................12
2.3.8 Komplikasi...........................................................................................14
2.3.9 Prognosis..............................................................................................15
BAB 3 KESIMPULAN.....................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................17

ii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Anatomi Mata.....................................................................................................3


Gambar 2.2 Struktur Lensa....................................................................................................6
Gambar 2.3 Proses Metabolisme Homosistein................................................................7
Gambar 2.4 Dislokasi Total pada Lensa pada Homosisteinuria.................................11
Gambar 2.5 Homosisteinuria.................................................................................................12

iii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Proses metabolisme dalam tubuh manusia merupakan suatu proses yang
sangat penting terutama dalam regulasi aktivitas zat-zat di dalam tubuh manusia,
dan tidak dapat lepas dari berbagai peranan komponen yang sangat penting, salah
satunya adalah dalam proses metabolisme asam amino. Salah satu komponen
yang penting dalam proses metabolisme asam amino adalah homosistein.
Homosistein merupakan suatu asam amino non-protein dan merupakan suatu
komponen kunci yang berperan dalam proses metabolisme asam amino metionin
menjadi sistein. Akan tetapi terdapat kondisi yang tidak normal dimana kadar
homosistein yang tinggi di dalam tubuh yang secara luas meliputi berbagai
manifestasi klinis yang disebabkan oleh etiologi yang berbeda-beda.1,2
Kadar normal homosistein total di dalam tubuh manusia sekitar 15 µM. Salah
satu kondisi dimana terjadi akumulasi homosistein yang berlebihan di dalam
tubuh adalah homosisteinuria. Homosisteinuria merupakan suatu penyakit
autosomal resesif yang disebabkan oleh defisiensi cystathionine-β-synthase, yang
berperan sebagai katalis pembentukan cystathionine dalam methionine pathway
pada metabolisme asam amino. Kondisi ini memiliki insidensi sekitar 1 dari
200.000 kelahiran hidup. Dikarenakan adanya gangguan proses metabolisme
asam amino, kondisi ini dapat menyebabkan kelainan pada berbagai jaringan
seperti jaringan ikat, jaringan saraf, pembuluh darah, serta jaringan lainnya.3,4
Berbagai gejala yang disebabkan oleh homosisteinuria diantaranya retardasi
mental, kelainan pembentukan tulang, tromboemboli, dan juga komplikasi yang
berhubungan dengan kelainan mata. Pada kelainan yang berhubungan dengan
oftalmologi, homosisteinuria dapat menyebabkan dislokasi pada lensa mata serta
gejala lainnya yang dapat menyebabkan gangguan visualisasi.1

1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Mata
Mata manusia, memiliki ukuran diameter sekitar 24 mm, merupakan
instrumen neurosensoris/optik dengan fungsi yang sangat canggih, yaitu dapat
mendeteksi kuantitas cahaya dan dilengkapi dengan kemampuan dalam
memberikan persepsi penglihatan beresolusi tinggi. Secara anatomis, mata
tersusun dari tiga lapisan jaringan, yaitu, lapisan terluar berupa lapisan fibrosa
yang terdiri dari sklera dan kornea, lapisan bagian dalam yang terdiri dari retina,
serta lapisan yang berada diantara lapisan vaskuler yang berada diantara lapisan
luar dan dalam yang terdiri dari koroid, badan siliaris dan iris (uvea).5
Sesuai yang diuraikan sebelumnya bola mata tersusun dari tiga lapisan
jaringan, dari luar ke dalam yaitu sebagai berikut.
1. Sklera, merupakan jaringan ikat yang kenyal dan memberikan bentuk pada mata,
merupakan bagian terluar yang melindungi bola mata. Bagian terdepan sklera
disebut kornea yang bersifat transparan yang memudahkan sinar masuk ke dalam
bola mata. Kelengkungan kornea lebih besar dibandingkan sklera.
2. Jaringan uvea, merupakan jaringan vaskuler yang terdiri atas iris, badan siliaris
dan koroid. Pada iris dijumpai pupil yang oleh 3 susunan otot dapat mengatur
jumlah sinar masuk ke dalam bola mata. Otot dilatator dipersarafi oleh saraf
simpatis, sedangkan sfingter iris dan otot siliar dipersarafi oleh saraf
parasimpatis. Otot siliar yang terletak di badan siliar mengatur bentuk lensa
untuk kebutuhan akomodasi. Badan siliaris yang terletak di belakang iris
menghasilkan cairan bilik mata (aqueous humor), yang dikeluarkan melalui
trabekulum yang terletak pada pangkal iris di batas kornea dan sklera. Jaringan
sklera dan uvea dibatasi oleh ruang yang potensial mudah dimasuki darah bila
terjadi perdarahan pada ruda paksa yang disebut perdarahan suprakoroid.
3. Lapisan bola mata ketiga adalah retina yang terletak paling dalam dan mempunyai
susunan lapisan sebanyak 10 lapisan yang merupakan lapisan membran
neurosensoris yang akan merubah cahaya menjadi rangsangan pada saraf optik

2
dan diteruskan ke otak. Terdapat rongga yang potensial antara retina dan koroid
sehingga retina dapat terlepas dari koroid yang disebut dengan ablasi retina.
4. Organ lainnya berupa badan kaca dan lensa. Badan kaca mengisi rongga di
dalam bola mata dan bersifat gelatin yang hanya menempel papil saraf optik,
makula, dan pars plana. Bila terdapat jaringan ikat di dalam badan kaca disertai
dengan tarikan pada retina, maka akan robek dan terjadi ablasi retina. Lensa
terletak di belakang pupil yang dipegang di daerah ekuatornya pada badan siliar
melalui zonula zinn. Lensa mata mempunyai peranan pada akomodasi atau
melihat dekat sehingga sinar dapat difokuskan di daerah makula lutea.6

Gambar 1. Anatomi Mata.5

2.1.1 Struktur Lensa


Berdasarkan sudut pandang dasar, lensa kristalin pada mata dapat
dideskripsikan sebagai lensa berbentuk bikonveks yang memberikan sekitar
sepertiga (20D) dari total kekuatan dioptri pada mata. Secara kompleks, lensa
merupakan komponen optik dengan karakteristik dan fungsi sebagai berikut.
 Lensa merupakan komponen yang asferis dan inhomogen, dengan indeks
gradient refraktif (gradient lensa) yang berperan dalam fitu-fitur optik.
 Lensa merupakan unsur optik yang bersifat dinamis yang dapat berubah
bentuk selama akomodasi. Perubahan bentuk lensa dapat membuat mata
juga melakukan perubahan terhadap fokus.
 Seiring perjalanan waktu, lensa akan terus menerus tumbuh secara

3
kontinu. Pertumbuhan lensa akan menghasilkan perubahan bentuk dan
indeks gradient lensa yang bergantung pada usia yang dapat
mempengaruhi sifat-sifat optik.
 Transmisi atau proses penghamburan pada lensa akan menurun secara
progresif seiring bertambahnya usia. Meningkatnya proses
penghamburan di dalam lensa akan menyebabkan hilangnya transparensi
yang dapat berujung menjadi suatu katarak.5
Fungsi optik yang utama pada lensa adalah untuk memfasilitasi mata dalam
melakukan akomodasi, akan tetapi, perubahan seiring bertambahnya usia juga
memiliki peranan pada fungsi optik di sepanjang hidup. Pertumbuhan lensa saat
masa anak-anak merupakan faktor penting dalam proses perkembangan refraksi
mata. Sedangkan pada masa dewasa, pertumbuhan lensa dapat menyebabkan
kehilangan keseimbangan yang progresif antara kornea dan komponen okuler
bagian dalam yang dapat memperburuk kualitas penangkapan objek oleh retina.
Pada akhirnya pertumbuhan lensa yang terus menerus hingga lanjut usia
menyebabkan mata kehilangan kemampuan untuk berakomodasi, yang akhirnya
berujung pada presbiopia.5
Lensa terletak pada bagian posterior chamber mata, tepatnya di belakang
iris. Zona sentral iris akan berkontak langsung dengan permukaan anterior lensa,
dan akan langsung menuju ke arah anterior lensa saat konstriksi atau dilatasi
pupil. Lensa dikelilingi oleh aqueous humor. Permukaan posterior lensa
dipisahkan dari bagian permukaan anterior vitreous oleh ruangan kecil yang
disebut dengan Berger’s space. Lensa disokong oleh ligamentum suspensorium,
atau serat-serat zonula, yang menghubungkan lensa dengan badan siliaris pada
mata. Perubahan tekanan serat-serat zonula selama kontraksi dan relaksasi otot
siliaris akan menginduksi perubahan bentuk lensa yang membuat mata melakukan
perubahan fokus saat akomodasi.5
Kutub anterior dan posterior lensa masing-masing merupakan titik yang
terletak paling anterior dan posterior pada permukaan lensa. Garis equator lensa
merupakan garis luar yang dibentuk dengan menggabungkan titik-titik perifer
permukaan lensa. Garis ekuator lensa terletak sedikit anterior dari titik tengah

4
antara kutub anterior dan posterior. Lensa merupakan organ yang avaskuler dan
transparan, yang terdiri dari kapsul lensa (kapsula lentis), jaringan epitel lensa,
dan sel-sel berserat pada lensa (fibrae lentis).5,7
Kapsula lentis merupakan suatu membran aseluler yang mengelilingi lensa.
Kapsula berperan penting dalam mekanisme akomodasi dengan
mendistribusikan kekuatan yang diproduksi oleh tekanan zonula disepanjang
permukaan lensa. Kapsula lensa terdiri dari komponen matriks ekstraseluler,
terutama kolagen tipe IV. Kapsula lensa anterior lebih tebal dibandingkan
kapsula lensa posterior. Ketebalan kapsula lensa anterior dan posterior masing-
masing berkisar antara 8-25 µM dan 5-10 µM. Ketebalan kapsula lensa anterior
juga akan meningkat seiring bertambahnya usia.5
Jaringan epitel lensa merupakan lapisan tunggal yang terdiri dari banyak
sel, yang terletak dibelakang kapsula pada daerah anterior dan ekuatorial
daripada lensa. Tidak ada sel-sel epitel pada bagian posterior lensa. Ukuran sel-
sel epitel bervariasi, dimana semakin menuju perifer, maka ukuran sel akan
semakin mengecil. Sel-sel epitel yang terletak berdekatan dengan kutub memiliki
lebar 10- 20 µM dan ketebalan sekitar 5-10 µM. Zona yang terletak paling
perifer dari sel- sel epitel, pada anterior dari ekuatorial lensa, disebut zona
germinativum. Zona germinativum memiliki sel-sel yang berproliferasi lambat,
banyak terdapat pada bagian posterior, dan berdiferensiasi menjadi sel-sel
berserat ketika mencapai zona ekuatorial lensa.5
Sel-sel serat lensa tersusun dalam lapisan-lapisan, dengan serat yang baru
dibentuk terletak di atas sel-sel sebelumnya, dibawah jaringan epitel pada lensa
anterior atau dibawah kapsula lensa pada lensa posterior. Sel-sel serat lensa
memiliki bentuk heksagonal dengan ketebalan sekitar 0,5-2 µM dan lebar 8-15
µM bergantung dengan lokasinya pada lensa.5
Daerah internal lensa dibawah kapsula dan sel-sel epitel terdiri atas dua
bagian, yaitu korteks dan nukleus. Disebutkan bahwa nukleus merupakan bagian
yang sudah ada pada lensa sejak lahir, sehingga korteks disebutkan juga telah
ada bersamaan dengan nukleus sejak proses kelahiran. Nukleus memiliki
ketebalan sentral sekitar 2-3 mm dan diameter ekuatorial sekitar 7 mm.5

5
Gambar 2. Struktur Lensa. Gambaran lensa dengan struktur kapsula lentis,
jaringan epitel dan sel- sel berserat lensa (fibrae lentis)7
2.2 Proses Metabolisme Homosistein
Proses metabolisme homosistein akan melewati dua jalur metabolisme,
yaitu proses remetilasi menjadi metionin (yang membutuhkan enzim metionin
sintase serta vitamin B12 dan asam folat) dan proses transulfurisasi menjadi
sistein (yang membutuhkan vitamin B6). Defek pada salah satu jalur ini akan
menyebabkan akumulasi homosistein. Konsumsi vitamin B6, vitamin B12, dan
asam folat yang kurang dari cukup akan menyebabkan peningkatan kadar
homosistein.8
Jalur remetilasi terdiri atas jalur biokimia dan menghasilkan transfer grup
metil (CH3) ke homosistein oleh metilkobalamin atau betain (trimetilglisin).
Metilkobalamin pada awalnya menerima metil dari S-adenosilmetionin (SAMe)
atau 5-metiltetrahidrofolat, dan asam folat aktif. Setelah remetilasi, metionin
dapat digunakan kembali untuk membentuk SAMe sebagai donor universal metil
pada tubuh, yang berperan dalam jalur kunci metabolisme tertentu, diantaranya
metilasi DNA dan mielin, sintesis karnitin, koenzim Q10, keratin, epinefrin,
melatonin, metilkobalamin, dan fosfatidilkolin, sebagaimana fase kedua dari
reaksi detoksifikasi metilasi.8
Jalur transulfurisasi metionin atau degradasi homosistein akan
memproduksi asam amino sistein dan taurin, yang sangat penting terhadap
kesehatan jantung, detoksifikasi hepar, ekskresi kolesterol, pembentukan
empedu, dan produksi glutathione. Jalur ini bergantung pada konsumsi harian
yang adekuat dan konversi hepar dari vitamin B 6 menjadi bentuk aktifnya, yaitu
P5P.

6
Dengan adanya komponen-komponen seperti 5- metilTHF,
metilkobalamin, betain, dan P5P serta N-asetilsistein dilaporkan dapat
menurunkan kadar homosistein tubuh.8

Gambar 3. Proses Metabolisme Homosistein8


Prekursor metabolik dari homosistein pada seluruh jaringan adalah S-
adenosilhomosistein, yang lebih sulit diukur kadarnya dibandingkan
homosistein, akan tetapi pada studi terbaru disebut sebagai penanda yang sensitif
terhadap penyakit kardiovaskuler dan penyakit Alzheimer.8
S-adenosilhomosistein dibentuk dari proses demetilasi SAMe. Enzim S-
adenosilhomosistein hidrolase mengkatalisis proses hidrolisis S-
adenosilhomosistein menjadi adenosine dan homosistein. Kekurangan enzim S-
adenosilhomosistein hidrolase merupakan kelainan genetik pada metabolisme
metionin yang menyebabkan keterlambatan perkembangan psikomotor.8
Sintesis bentuk aktif dari asam folat merupakan proses yang kompleks
membutuhkan beberapa enzim tertentu dan juga beberapa kofaktor. Folat pada
awalnya mengalami dekonjugasi pada sel-sel dinding usus membentuk
monoglutamat. Kemudian akan dikurangi menjadi dihidrofolat dan kemudian
menjadi tetrahidrofolat (THF) oleh folat dan dihidrofolat reduktase.
Kedua enzim membutuhkan nikotinamid adenin dinukleotida fosfat
sebagai kofaktor. Serin kemudian bergabung dengan P5P untuk mentransfer

7
hidroksimetil ke THF, yang akan membentuk 5,10-metilentetrahidrofolat (5,10-
metilenTHF) dan glisin. 5,10- metilenTHF akan berperan sebagai prekursor 5-
metilTHF yang berperan dalam metabolisme homosistein.8
Metilkobalamin berperan dalam proses remetilasi homosistein menjadi
metionin via enzim metionin sintase. Untuk membentuk metilkobalamin dari
sianokobalamin atau kobalamin lainnya, SAMe harus tersedia untuk
memberikan metil. Ketika metilkobalamin terbentuk, ia akan berfungsi dalam
proses regenerasi metionin dengan mentransfer metil menuju homosistein.
Metilkobalamin kemudian dapat beregenerasi oleh peran 5-metilTHF.
Kekurangan vitamin B12 akan berdampak pada terganggunya proses metilasi
berbagai senyawa hingga pada akhirnya menyebabkan terganggunya sintesis
metilkobalamin dan mengganggu metabolisme homosistein.8
Betain juga memiliki peranan pada metabolisme homosistein. Betain
memberikan salah satu dari tiga gugus metil via enzim betain-homosistein
metiltransferase kepada homosistein, yang menyebabkan regenerasi metionin.
Setelah diberikan satu gugus metil, satu molekul dimetilglisin akan tersisa.
Molekul tersebut akan dioksidasi menjadi glisin dan menjadi dua molekul
formaldehid oleh enzim yang dependen dengan riboflavin. Formaldehid dapat
berikatan dengan THF pada mitokondria untuk membentuk metilentetrafolat,
yang dapat dikonversikan menjadi 5-metilTHF dan digunakan sebagai donor
metil.8
P5P merupakan bentuk koenzim aktif dari vitamin B6. Kofaktor ini
terlibat dalam proses jalur transulfurisasi homosistein. Jalur degradasi ini
melibatkan dua proses, yang menghasilkan pembentukan sistationin dan
kemudian membelah menjadi sistein. Sistationin sintase dan sistationinase
membutuhkan P5P sebagai kofaktor, dan langkah pertama dalam degradasi
homosistein juga membutuhkan serin, sebagai turunan metabolit betain. Pada
akhirnya setelah sistein terbentuk, akan dapat berlanjut pada sintesis komponen
lainnya seperti GSH, asetil CoA, dan taurin. Tiga jalur pembentukan taurin dari
sistein diketahui juga membutuhkan P5P.8

8
2.3 Homosisteinuria
2.3.1 Definisi
Homosisteinuria merupakan suatu kelainan metabolik autosomal resesif
yang langka, yang disebabkan oleh gangguan metabolisme asam amino metionin
yang menyebabkan akumulasi homosistein dan metionin sistemik.
Homosisteinuria melibatkan gejala-gejala dan gangguan pada berbagai aspek,
seperti penglihatan, perkembangan otak, gangguan pada warna rambut dan kulit,
dan sebagainya.9,10
2.3.2 Epidemiologi
Di berbagai negara insidensi homosisteinuria bervariasi, dengan
perbandingan 20.000 kelahiran hidup. Salah satu studi juga menjelaskan
perbandingan antara 1 dari 335.000 kelahiran hidup. Di Eropa, insidensinya
diperkirakan sekitar satu dari 40.000 kelahiran hidup.11,12
2.3.3 Etiologi dan Faktor Risiko
Berbagai inborn errors of metabolism dapat menyebabkan
homosisteinuria. Kelainan yang paling sering menyebabkan homosisteinuria
adalah defisiensi enzim cystathionine-β-synthase, yang merupakan enzim yang
bergantung pada vitamin B6 atau piridoksin, dimana defisiensi enzim
berhubungan dengan mutasi gen yang melakukan coding pada enzim tersebut.
Penyebab lainnya dapat disebabkan oleh defisiensi folat atau gangguan
metabolisme kobalamin. Konsumsi vitamin B6, vitamin B12, dan asam folat
yang kurang dari cukup berhubungan dengan peningkatan kadar homosistein
yang dapat menyebabkan homosisteinuria.8,13,14
2.3.4 Patofisiologi
Akumulasi homosistein dan metabolit lainnya disebabkan oleh adanya
gangguan pada tiga jalur yang berhubungan dengan metabolisme metionin, yaitu
defisiensi enzim cystathionine-β-synthase (CBS), defek sintesis metilkobalamin,
atau abnormalitas pada enzim metilen tetrahidrofolat reduktase (MTHFR).
Sindroma klinis yang disebabkan oleh tiap abnormalitas metabolisme tersebut
diistilahkan masing-masing dengan homosisteinuria I, II, dan III. Tiga kofaktor,
yaitu piridoksal 5-fosfat, metilkobalamin, dan asam folat dibutuhkan untuk

9
ketiga jalur metabolisme tersebut.15
Jalur metabolisme dimulai dari metabolisme metionin, dan kemudian pada
homosistein, serta membentuk sistein, yang diistilahkan sebagai jalur
transulfurisasi. Konversi kembali homosistein menjadi metionin, yang dikatalisis
oleh MTHFR dan metilkobalamin, disebut jalur remetilasi. Sebagian kecil proses
remetilasi juga diperoleh dari betain sebagai donor metil.15
Homosisteinemia secara teoritis disebabkan oleh defek pada tiga jalur
tersebut. Kelainan ini dapat muncul dari suatu kelainan genetik atau lingkungan,
diantaranya kelainan pada MTHFR, komorbid seperti gagal ginjal kronis,
hipotiroidisme, keganasan, penggunaan obat-obatan seperti metotreksat,
kontrasepsi oral, konsumsi protein hewani yang berlebihan, serta merokok. Gen
yang abnormal pada kromosom 1 pada salah satu studi telah diajukan sebagai
penyebab kelainan pada MTHFR. Akan tetapi, apakah mutasi tersebut dapat
menyebabkan homosisteinemia saat ini masih belum jelas.15
2.3.5 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis homosisteinuria bervariasi, dimana mata, sistem saraf
pusat, dan vaskuler dapat terlibat. Kebanyakan kelainan didapatkan setelah lahir
dan semakin diperburuk dengan bertambahnya usia. Beberapa manifestasi klinis
diantaranya yaitu pada sistem muskuloskeletal, yaitu pasien memiliki tubuh yang
tinggi namun mengalami osteoporosis, serta adanya marfanoid habitus. Pasien
juga memiliki karakteristik berupa rambut yang berwarna terang. Selain itu
dengan adanya kerusakan sistem saraf pusat maka penderita akan mengalami
retardasi mental (IQ rendah) dan sering mengalami episode kejang.14,15,16,17
Diantara gejala lainnya yaitu kelainan pada sistem vaskuler, dimana pasien
pada umumnya dapat mengalami tromboemboli, dimana homosisteinuria dapat
melibatkan kelainan pada arteri dan vena berukuran besar atau sedang di seluruh
tubuh. Prosedur anesthesia memiliki risiko yang tinggi akan fenomena
tromboemboli ini, dimana kelainan ini harus diidentifikasi terlebih dahulu
sebelum dilakukannya prosedur anesthesia.14,17
Temuan okuler yang paling utama pada homosisteinuria adalah adanya
dislokasi atau subluksasi pada lensa. Dislokasi lensa pada homosisteinuria bersifat

10
bilateral dan simetris. Pada umumnya dislokasi lensa baru muncul saat usia 15
tahun dengan proporsi 80%, sedangkan 30% lainnya muncul saat bayi.
Lensa pada umumnya terletak pada inferior atau nasal, akan tetapi variasi
letak lainnya telah dilaporkan. Dikarenakan serat-serat zonule lensa diketahui
memiliki konsentrasi sistein yang tinggi, maka defisiensi sistein disebutkan
menyebabkan gangguan pada perkembangan zonule, yang menyebabkan sera-
serat dapat dengan mudah hancur.18
2.3.6 Diagnosis
a) Anamnesa, Penelusuran riwayat gejala-gejala seperti riwayat kejang
sebaiknya dilakukan, serta penelusuran riwayat anggota keluarga
sebelumnya yang pernah mengalami homosisteinuria. Tanda awal miopia
dan kelainan lensa tidak dapat diabaikan. Kelainan bentuk tulang dan
habitus pada tubuh dapat menyerupai sindroma Marfan. Akan tetapi,
sindroma Marfan membentuk pola yang bersifat autosomal dominan,
berkebalikan dengan homosisteinuria yang membentuk pola autosomal
resesif.15
b) Pada pemeriksaan fisik, sebaiknya dilakukan inspeksi pada karakteristik
tubuh pasien, seperti warna rambut, bentuk tubuh, cara berjalan.
Perhatikan apakah ada dijumpai rambut berwarna terang, tubuh yang
cenderung tinggi, adanya marfanoid habitus, serta tanda-tanda stroke akut
seperti hemiplegia, afasia, ataksia, dan pseudobulbar palsy. Hipertensi
dan kardiomegali juga merupakan tanda yang sering dijumpai akibat
adanya penyakit vaskuler.14,15
c) Pemeriksaan Penunjang, Diagnosis homosisteinuria harus segera
dikonfirmasi dengan melakukan berbagai rangkaian tes, diantaranya
pemeriksaan kadar total homosistein plasma, kadar asam amino plasma,
dan kadar asam metilmalonik plasma. Defisiensi enzim cystathionine-β-
synthase dikonfirmasi dengan memeriksa aktivitas enzim melalui kultur
fibroblas pada kulit atau dengan melakukan tes genetik. Diagnosis juga
sebaiknya dilakukan dengan pemeriksaan langsung pada urin untuk
melihat kadar homosistein pada urin.13,15 Sedangkan pada pemeriksaan

11
oftalmologi untuk melihat adanya dislokasi lensa dapat dilakukan
pemeriksaan langsung menggunakan lampu slit. Pada umumnya akan
dijumpai temuan berupa subluksasi atau dislokasi lensa yang terletak di
inferior atau nasal. Posisi lain seperti posterior dijumpai pada 20% kasus,
dan anterior pada 10% kasus.
Pupillary block dijumpai pada beberapa pasien dengan subluksasi lensa
anterior dan menyebabkan peningkatan tekanan intraokuler sehingga membentuk
suatu glaukoma akut akibat pupillary block.14

12
Gambar 4. Dislokasi Total pada Lensa pada Kasus Homosisteinuria1

Gambar 5. Homosisteinuria. Lensa dapat Berdislokasi pada Anterior


Chamber sehingga Membentuk Pupillary Block Glaucoma.14

2.3.7 Tatalaksana
Pada studi terbaru, semua kelainan yang berhubungan dengan jalur
remetilasi ditatalaksana dengan kombinasi suplementasi vitamin B12, vitamin B9
(asam folat), vitamin B6, betain, dan metionin, meskipun dosis dan rute

pemberian bervariasi bergantung pada jenis defek.1


Vitamin B12 merupakan kofaktor dari enzim metionin sintase. Bentuk
alaminya, yaitu hidroksokobalamin lebih efektif daripada bentuk sintetisnya
(sianokobalamin). Pada defisiensi CBS, hidroksokobalamin dapat diberikan
secara oral dengan dosis 1 mg/hari hingga 1 mg/minggu bergantung pada kadar
serum vitamin B12 untuk mencegah defisiensi kobalamin. Pada kelainan
remetilasi, terapi awal termasuk pemberian sediaan hidroksokobalamin
1mg/hari.
Jika terdapat defisiensi MTHFR, dapat diubah menjadi terapi oral
hidroksokobalamin (1mg/hari hingga 1 mg/minggu). Pada defek kobalamin C
(cblC), pemberian hidroksokobalamin injeksi intramuskular jangka panjang
sebaiknya dipertimbangkan.1

13
Folat atau vitamin B9 tersedia dalam tiga bentuk. Asam folat merupakan
bentuk sintetis yang stabil dari vitamin B9, sering digunakan untuk fortifikasi
makanan. Asam Folinat (5-formil-THF) merupakan bentuk yang paling stabil
dari vitamin yang aktif dan tereduksi. Dan bentuk yang terakhir yaitu 5-
metilTHF (CH3-THF), bentuk alami yang paling utama serta terdapat dalam
sirkulasi. Dalam kelainan apapun, asam folinat merupakan pilihan yang paling
tepat karena merupakan bentuk yang paling stabil, sedangkan asam folat
memiliki risiko akan defisiensi CH3-THF serebral, terutama defisiensi MTHFR.
Pada defisiensi CBS, asam folinat sebaiknya diberikan secara oral (1-5 mg/hari)
untuk mencegah penipisan folat.1
Sedangkan pada defek cblC, pemberian suplementasi asam folinat jangka
panjang dengan dosis tinggi sebaiknya diberikan untuk kompensasi terhadap
metilfolat yang tertahan dan untuk koreksi kelainan hematologic. Dosis
hariannya bervariasi dari 5 hingga 30 mg. Asam folinat juga sebaiknya diberikan
untuk defisiensi MTHFR.1

Vitamin B6 atau piridoksin, melalui kerjanya sebagai kofaktor CBS, dapat


diberikan secara oral dengan dosis farmakologis pada umumnya pada pasien
dengan defisiensi CBS. Vitamin B6 dapat diberikan dengan dosis 100 hingga 500
hingga 1000 mg/hari selama satu periode dalam beberapa minggu, setelah
homosistein total diketahui kadarnya untuk mengevaluasi apakah pemberian
vitamin B6 efektif untuk menurunkan kadar homosistein atau bahkan
mengembalikannya ke kondisi normal. 1
Pemberian betain juga dipertimbangkan untuk menurunkan kadar
homosistein. Pada pasien defisiensi CBS, penggunaan betain pada umumnya
diikuti dengan peningkatan kadar metionin plasma, dan penurunan kadar
homosistein total plasma. Kadar metionin harus tetap di bawah 1000 µM karena
adanya risiko edema otak pada kadar metionin di atas 1000 µM. Pada pasien
yang nonresponsif terhadap terapi piridoksin, diet rendah metionin dapat
dilakukan disertai pemberian betain.1
Metionin oral juga disebut merupakan agent terapeutik yang menjanjikan
dalam terapi defek remetilasi untuk beberapa alasan. Penipisan metionin serebral

14
merupakan kunci utama patogen. Pemberian metionin akan berdampak sinergis
dengan betain dengan memfasilitasi penambahan metionin intraseluler, dan akan
menghasilkan koreksi kadar metionin yang sebelumnya menipis.1
Pemberian profilaksis tromboemboli sebaiknya dipertimbangkan
kapanpun pasien membutuhkan prosedur anestesi umum, dimana ini juga
termasuk suplementasi vitamin B6 beberapa minggu sebelum prosedur
pembedahan, hidrasi intravena yang baik sebelum dan sesudah prosedur
pembedahan, dan pemberian dipyridamole dan asam asetilsalisilat harian
sebelum dan sesudah pembedahan.12
Apabila lensa berdislokasi pada anterior chamber, dilatasi pupil dan
penekanan pada kornea dapat menyebabkan reposisi lensa di belakang pupil.
Pasien sebaiknya diberikan pilokarpin, dan iridotomi perifer dengan laser
dilakukan untuk mencegah pupillary-block glaucoma. Pada kasus dengan
dislokasi pada anterior chamber yang rekuren, lensektomi sebaiknya
dilakukan.12

2.3.8 Komplikasi
Pasien homosisteinuria sangat rentan terhadap kejadian tromboemboli,
terutama pada periode perioperatif dan post-operasi, bahkan dengan prosedur
pembedahan minor. Kadar homosistein preoperatif harus diturunkan mendekati
level normal. Selama dan sesudah pembedahan, hidrasi dan profilaksis terhadap
deep vein thrombosis (DVT) sangat direkomendasikan. Pasien homosisteinuria
memiliki risiko tinggi untuk menderita stroke. Pencegahan stroke sekunder
berfokus pada pengurangan faktor risiko stroke yang dijumpai. Aspirin,
klopidogrel, dan aspirin-dipyridamole telah disarankan untuk profilaksis stroke
sekunder. Akan tetapi, mengenai agen antikoagulan atau antiplatelet lainnya
yang lebih efektif masih belum diketahui.15
2.3.9 Prognosis
Pada Pada pasien yang responsif dan cocok dengan penanganan, prognosis
terhadap perkembangan intelektual cenderung baik.15

15
BAB 3
KESIMPULAN

Homosisteinuria merupakan suatu kelainan metabolik autosomal resesif


yang langka, yang disebabkan oleh gangguan metabolisme asam amino metionin
yang menyebabkan akumulasi homosistein dan metionin sistemik.
Homosisteinuria melibatkan gejala-gejala dan gangguan pada berbagai aspek,
seperti penglihatan, perkembangan otak, gangguan pada warna rambut dan kulit,
dan sebagainya.
Homosisteinuria sering disebabkan oleh defisiensi enzim cystathionine-β-
synthase, yang merupakan enzim yang bergantung pada vitamin B6 atau
piridoksin, dimana defisiensi enzim berhubungan dengan mutasi gen yang
melakukan coding pada enzim tersebut. Penyebab lainnya dapat disebabkan oleh
defisiensi folat atau gangguan metabolisme kobalamin.

16
Gejala utama homosisteinuria diantaranya adalah kejang, osteoporosis,
penurunan fungsi kognitif atau retardasi mental, tromboemboli, serta dislokasi
lensa yang pada umumnya bersifat inferonasal. Diagnosis dilakukan dengan
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Penelusuran riwayat
gejala dan riwayat homosisteinuria pada keluarga sebelumnya, serta inspeksi pada
karakteristik tubuh pasien, seperti warna rambut, bentuk tubuh, cara berjalan
merupakan langkah awal diagnosis. Pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan
kadar total homosistein plasma dan urin, kultur jaringan fibrosa, dan pemeriksaan
lampu slit dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis secara pasti.
Penanganan homosisteinuria dapat dilakukan dengan pemberian
suplementasi vitamin, seperti piridoksin (B6), vitamin B12, metionin, dan
sebagainya, dengan tujuan untuk memberikan outcome yang lebih baik terutama
pada perkembangan saraf. Komplikasi yang dikhawatirkan diantaranya adalah
stroke dan tromboemboli. Prognosis akan cenderung membaik dengan pemberian
terapi awal yang tepat pada waktunya.

DAFTAR PUSTAKA

1. Schiff, M. and Blom, H.J. 2020. Homocystinuria and Hyperhomocysteinemia.


In: Goldman-Cecile Medicine 26th Edition. United States: Elsevier, Inc. pp:
1373-7e2.
2. Madan-Khetarpal, S. and Arnold, G. 2018. Genetic Disorders and Dysmorphic
Conditions. In: Zitelli and Davis’ Atlas of Pediatric Physical Diagnosis 7th
Edition. United States: Elsevier, Inc. pp: 1-43.
3. Riley, R.S. and McPherson, R.A. 2017. Basic Examination of Urine. In:
Henry’s Clinical Diagnosis and Management by Laboratory Methods 23rd
Edition. United States: Elsevier, Inc. pp: 442-80.
4. Marcdante, K.J. and Kliegman, R.M. 2019. Amino Acid Disorders. In: Nelson
Essential of Pediatrics 8th Edition. United States: Elsevier, Inc. pp: 201-5.

17
5. Artal, P. 2017. Handbook of Visual Optics Fundamental and Eye Optics
Volume I. United States: Taylor and Francis Group. pp: 211-34.
6. Ilyas, S dan Yulianti, S.R. 2016. Ilmu Penyakit Mata Edisi Kelima. Jakarta:
Balai Penerbit FK UI. hal: 1-27.
7. Kuehnel, W. 2003. Color Atlas of Cytology, Histology, and Microscopic
Anatomy 4th Edition. Germany: Thieme. pp: 458-81
8. Miller, A.L., Kelly, G.S., and Tran, J. 2013. Homocysteine Metabolism:
Nutritional Modulation and Impact on Health and Disease. In: Textbook of
Natural Medicine 4th Edition. United States: Churcill Livingstone, imprint of
Elsevier, Inc. pp: 488-504.
9. Salmon, F.J. 2019. Kanski’s Clinical Ophthalmology A Systematic Approach,
Ninth Edition. United States: Elsevier, Inc. pp: 338-41.
10. Friedman, N.J. and Kaiser, P.K. 2007. Essential of Ophthalmology 1 st Edition.
United States: Elsevier, Inc. pp: 267-9.
11. Genetics Home Reference. 2020. Homocystinuria. NIH US National Library of
Medicine. Available at: https://ghr.nlm.nih.gov/condition/homocystinuria#. [accessed
on: June, 22nd 2020].
12. American Academy of Ophthalmology. 2015. Homocystinuria. Available at:
https://www.aao.org/disease-review/homocystinuria-3. [accessed on: June, 22nd 2020]
13. Konczal, L.L. and Zinn, A.B. 2020. Inborn Errors of Metabolism. In: Fanaroff and
Martin’s Neonatal-Perinatal Medicine 11th Edition. United States: Elsevier, Inc. pp:
1706-85.
14. American Academy of Ophthalmology. 2019. Pediatric Ophthalmology and
Strabismus. 2019-2020 Basic and Clinical Science Course. pp: 348-9.
15. Mandava,P.2018.Homocystinuria/Homocysteinemia.
[emedicine.medscape.com].Availableat:https://emedicine.medscape.com/article/1952
251overview#showall. [accessed on: June, 22nd 2020]
16. Denniston, A.K.O., and Murray, P.I. 2018. Oxford Handbook of Ophthalmology 4 th
Edition. pp: 378-9.
17. Friedman, N.J., Kaiser, P.K., and Pineda, R. 2020. The Massachusetts Eye and Ear
Infirmary Illustrated Manual of Ophthalmology, Fifth Edition. pp: 325-8.

18
18. American Academy of Ophthalmology. 2019. Lens and Cataract. 2019-2020 Basic
and Clinical Science Course. pp: 59-62.
19. American Academy of Ophthalmology. 2019. Ectopia Lentis. Available at:
https://eyewiki.aao.org/Ectopia_Lentis. [accessed on: June, 22nd 2020].
20. Nussbaum, R.L. et al. 2016. The Molecular, Biochemical, and Cellular Basis of
Genetic Disease. In: Thompson & Thompson Genetics in Medicine 8th Edition.
United States: Elsevier, Inc. pp:215-55.
21. Morley, S.R. 2019. Disorders of Metabolism and Homeostasis. In:
Underwood’s Pathology 7th Edition. United States: Elsevier, Ltd. pp: 95-114.

19

Anda mungkin juga menyukai