Anda di halaman 1dari 29

REFERAT

TRAUMA MATA

Disusun Oleh
Ismiyati Tanjung
2016730053

Pembimbing
dr. Amelia Hidayati, Sp. M

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ILMU MATA


RUMAH SAKIT ISLAM JAKARTA PONDOK KOPI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2020
KATA PENGANTAR

Bismillahirrohmanirrohim,
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan anugrah dari-Nya saya
dapat menyelesaikan Tugas Referat tentang “Trauma Mata”.
Sholawat serta Salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan besar kepada
Nabi Muhammad SAW yang telah membawakan kita dari jaman jahiliyah ke jaman yang
modern ini dan selalu menjadi anugerah terbesar bagi seluruh alam semesta alam di muka
bumi.
Penulis sangat bersyukur karena dapat menyelesaikan tugas referat yang menjadi
tugas kepaniteraan klinik stase mata di Rumah Sakit Islam Jakarta Pondok Kopi.
Disamping itu, saya mengucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak yang telah
membantu selama pembuatan tugas referat ini berlangsung sehingga dapat terealisasikan
referat ini.
Sekiranya tinjauan pustaka ini dapat bermanfaat bagi pembaca terutama bagi
penyusun. Apabila ada kesalahan baik yang disengaja maupun tidak disengaja, penulis
memohon maaf yang sebesar-besarnya. Penyusun menerima apabila ada saran dan kritik yang
membangun.

Penulis,

Jakarta, Mei 2020


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................2
DAFTAR ISI..............................................................................................................................2
DAFTAR GAMBAR.................................................................................................................4
DAFTAR BAGAN.....................................................................................................................5
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................6
A. Latar Belakang......................................................................................................................6
B. Tujuan Penyusun...................................................................................................................6
1. Tujuan Umum......................................................................................................................6
2. Tujuan Khusus.....................................................................................................................6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................................................7
A. Anatomi.................................................................................................................................7
1. Konjungtiva........................................................................................................................7
2. Sklera..................................................................................................................................7
3. Kornea.................................................................................................................................8
B. Trauma Mata.......................................................................................................................10
1. Trauma Mekanik...............................................................................................................13
a. Benda asing ekstraokuler.................................................................................................13
1. Konjungtiva.....................................................................................................................14
2. Kornea.............................................................................................................................14
b. Trauma Tumpul...............................................................................................................15
1. Kelopak Mata..................................................................................................................16
2. Konjungtiva.....................................................................................................................16
3. Kornea.............................................................................................................................17
4. Bilik mata depan..............................................................................................................18
5. Uvea.................................................................................................................................22
6. Lensa...............................................................................................................................22
7. Fundus oculi....................................................................................................................23
c. Trauma Tembus................................................................................................................24
2. Trauma Non Mekanis.......................................................................................................27
BAB III SIMPULAN...............................................................................................................28
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................29
DAFTAR GAMBAR

7
9
2
2
3
4
4
6
6
8
2
5
6
7
DAFTAR BAGAN

11
11
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Mata merupakan salah satu Panca Indra yang mempunyai fungsi yang begitu
kompleks, dengan ukuran yang kecil. Kelainan-kelainan yang terjadi pada organ ini
menyebabkan berbagai manifestasi klinis dan bila tidak dapat ditangani dengan baik,
mengakibatkan kebutaan ataupun gangguan lainnya yang bersifat permanen. Kelainan
tersebut tidak hanya terjadi pada bola mata, namun terjadi pada seluruh kesatuan dari
Panca Indra ini yang meliputi kelopak mata, bola mata, bahkan sampai pada tempat di
mana bola mata tersebut berada.
Trauma pada mata mengakibatkan kerusakan mata serta menyebabkan
timbulnya penyulit yang dapat menyebabkan menurunnya fungsi penglihatan. Trauma
pada mata dapat disebabkan oleh beberapa hal, di antaranya trauma tumpul, trauma
tembus bola mata, trauma kimia serta trauma radiasi.
Trauma mata merupakan penyebab umum kebutaan unilateral pada anak dan
dewasa muda. Menurut penelitian, dewasa muda khususnya pria, memiliki resiko
yang tinggi untuk mengalami trauma tembus mata. Trauma pada mata yang berat
dapat menyebabkan cedera multipel pada palpebral, bola mata, dan jaringan lunak
pada orbita.

B. Tujuan Penyusun

1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui dan memahami Trauma Mata

2. Tujuan Khusus
- Untuk mengetahui dan memahami Anatomi Mata
- Untuk mengetahui dan memahami Trauma Mata
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi

1. Konjungtiva
Lapisan membran yang menutupi sklera dan kelopak bagian belakang. Bermacam –
macam obat dapat diserap melalui konjungtiva ini. Konjungtiva mengandung
kelenjar musin yang dihasilkan oleh sel Goblet. Musin bersifat membasahi bola mata
terutama kornea.
Konjungtiva terdiri atas tiga bagian, yaitu:
 Konjungtiva tarsal yang menutupi tarsus, konjungtiva tarsal sukar digerakkan dari
tarsus.
 Konjungtiva bulbi menutupi sclera dan mudah digerakkan dari sclera di bawahnya.
 Konjungtiva fornises atau forniks konjungtiva yang merupakan tempat peralihan
konjungtiva tarsal dan konjungtiva bulbi.

Konjungtiva bulbi dan forniks berhubungan dengan sangat longgar dengan jaringan di

bawahnya sehingga bola mata mudah bergerak


Gambar 2.1 Potogan membujur palpebral

2. Sklera
Jaringan ikat yang kenyal dan memberikan bentuk pada mata, merupakan jaringan
terluar yang melindungi bola mata. Bagian terdepan sclera disebut kornea yang
bersifat transparan yang memudahkan sinar masuk ke dalam bola mata.
Kelengkungan kornea lebih besar dibanding sclera. Sklera berhubungan erat dengan
kornea dalam bentuk lingkaran yang disebut limbus. Sklera berjalan dari papil saraf
optic sampai kornea.

3. Kornea
(Latin cornum = seperti tanduk) adalah selaput bening mata, bagian selaput mata yang
tembus cahaya, merupakan lapis jaringan yang menutup bola mata sebelah depan.

Secara anatomi, kornea terdiri atas 5 lapisan yaitu lapisan epitel kornea
(bersambungan dengan epitel konjungtiva bulbaris), membrana bowman, stroma,
membran Descemet, dan lapisan endotel. Epitel merupakan lapisan pertahanan kornea
terhadap infeksi, sehingga apabila terdapat jejas pada epitel maka kornea mudah
sekali terinfeksi dan meradang.

Lapisan-lapisan anatomis kornea:

1. Epitel
 Tebalnya 50µm, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang saling
tumpang tindih; satu lapis sel basal, sel poligonal dan sel gepeng.
 Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong ke depan
mejadi lapis sel sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel gepeng, sel basal
berikatan erat dengan sel basal di sampingnya dan sel poligonal di depannya
melalui desmosom dan makula okluden; ikatan ini menghambat pengaliran air,
elektrolit, dan glukosa yang merupakan barrier.
 Sel basal menghasilkan membran basal yang melekat erat kepadanya. Bila
terjadi gangguan mengakibatkan erosi rekuren.
 Epitel berasal dari ektodrm permukaan.
2. Membran Bowman
 Terletak di bawah membran basal epitel kornea yang merupakan kolagen yang
tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan stroma.
 Lapis ini tidak mempunyai daya regenerasi.
3. Stroma
 Terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang sejajar satu dengan
lainnya, pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sedang di bagian perifer
serat kolagen ini bercabang; terbentuknya kembali serat kolagen memakan waktu
lama yang kadang-kadang sampai 15 bulan. Keratosit merupakan sel stroma kornea
yang merupakan fibroblas terletak di antara serat kolagen stroma. Diduga keratosit
membentuk bahan dasar dan serat kolagen dalam perkembangan embrio atau
sesudah trauma.
4. Membran Descement
 Merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang stroma kornea
dihasilkan sel endotel dan merupakan membran basalnya.
 Bersifat sangat elastik dan berkembang terus seumur hidup, mempunyai tebal
40 µm
5. Endotel
 Berasal dari mesotelium, berlapis satu, bentuk heksagonal, besar 20-40 µm.
Endotel melekat pada membran Descement melalui hemidesmosom dan zonula
okluden.
Kornea dipersarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari saraf siliar longus,
saraf nasosiliar, saraf ke V saraf siliar longus berjalan suprakoroid, masuk ke dalam
stroma kornea, menembus membran Bowman melepaskan selubung Schwannya.
Seluruh saraf epitel dipersarafi sampai kedua lapis terdepan tanpa ada akhir saraf.
Bulbus Krause untuk sensasi dingin ditemukan di daerah limbus. Daya regenerasi saraf
sesudah dipotong di daerah limbus terjadi dalam waktu 3 bulan.
Gambar 2.2 Anatomi kornea
Trauma atau penyakit yang merusak endotel mengakibatkan sistem pompa endotel
terganggu sehingga terjadi dekompensaasi endotel dan edema kornea. Endotel tidak
mempunyai daya regenerasi.

Kornea merupakan bagian mata yang tembus cahaya dan menutupi bola mata di
sebelah depan. Pembiasan sinar terkuat dilakukan oleh kornea, dimana 40 dioptri dari
50 dioptri pembiasan sinar masuk kornea dilakukan oleh kornea.

Pemeriksaan awal pada trauma mata.

Pada anamnesis, penting untuk mengetahui ketajaman penglihatan pasien sebelum dan
sesaat setelah cedera. Penurunan ketajaman penglihatan juga harus dibedakan terjadi
mendadak atau turun secara perlahan. Pada kasus trauma dengan riwayat mengasah,
memalu, dan ledakan, penting untuk dicari apakah ada benda asing di intraokular.

Pada pemeriksaan fisik, pertama kali lakukan pengukuran ketajaman penglihatan.


Lakuakan pemeriksaan tajam penglihatan sampai dengan metode proyeksi sinar bila
pasien mengalami penurunan ketajaman penglihatan yang parah. Periksa pergerakan
bola mata, sensasi kulit periorbital, dan palpasi bagian tepi tulang orbita bila
mencurigai adanya diskontinuitas pada tepi tulang orbita.

Dalam menilai permukaan kornea, penting untuk mengatahui apakah ditemukan benda
asing, luka, atau abrasi pada permukaan kornea. Pada kasus trauma tembus, enoftalmus
dapat dilihat dengan melihat permukaan kornea dari atas alis. Pada pemeriksaan bilik
mata depan, tentukan kejernihan dan kedalamannya. Ukuran dan bentuk pupil, serta
reaksi terhadap cahaya harus dibandingkan dengan mata lain untuk mengetahui apakah
terdapat defek pupil aferen pada mata yang mengalami cedera. Pada kasus rupture bola
mata, dapat ditemukan adanya penurunan visus sampai hanya melihat lambaian tangan,
mata dengan konsistensi lembek, defek pupil aferen, dan perdarahan pada vitreus.
Pemeriksaan pada palpebral dan konjungtiva harus lebih teliti pada kasus trauma yang
tidak merusak bola mata.

Prinsip penanganan segera pada trauma mata

Tindakan manipulasi harus dibatasi pada keadaan rupture bola mata berat. Pemeriksa
yang bukan ahli dalam bidang oftalmologi harus membatasi manipulasi ataupun
pmeriksaan, karena resiko kerusakan lebih lanjut dapat terjadi. Obat-obat siklopegik
ataupun topical jangan diberikan sebelum pembedahan, karena dapat menimbulkan
resiko toksisitas pada jaringan luka yang terpajan. Bagian mata yang mengalami trauma
harus diberikan pelindung. Pemberian antibiotik oral spektrum luas harus segera
dilakukan.

B. Trauma Mata
a) Definisi
Trauma dapat menghasilkan spektrum yang luas lesi jaringan bola mata, saraf optik,
dan adnexa, mulai dari yang relative dangkal untuk penglihatan yang mengancam.
Menurut BETT (Birmingham Eye Trauma Terminology) bahwa Trauma mata dapat
dilihat dari luka tersebut yang kemudian apakah bola mata tertutup atau bola mata
terbuka
Luka

Bola mata tertutup Bola mata terbuka

Kontusio Laserasi lamelar Laserasi Ruptur

Penetrasi Benda Asing Perforasi


Bagan 2.1 BETT. Istilah pada kotak dengan garis ganda menunjukkan diagnosis yang
digunakan pada praktek

Bag
an 2.2 BETT. Bagan 2.2 Klasifikasi Trauma Mata berdasarkan penyebab menurut
BETT. Kotak tebal menunjukkan diagnosa klinis. Trauma yang diberi tanda bintang
(*) merupakan trauma terbuka bola mata dan trauma yang diberi tanda sisipan (^)
merupakan trauma tertutup bola mata.

Gambar 2.3 Definisi menurut BETT


b) Klasifikasi
Klasifikasi menurut BETT dibagi menjadi 2
Bola mata terbuka dengan bola mata tertutup dapat dibedakan dari type, derajat, pupil
serta are mata yang terlibat. Berikut merupakan perbandingan bola mata terbuka
dengan tertutup.
Gamb
ar 2.4 Klasifikasi Bola Mata Terbuka

Gambar 2.5 Klasifikasi Bola Mata Tertutup

Secara umum trauma mata dibedakan menjadi 2 bagian besar, yaitu trauma mekanik
dan trauma non mekanik.
1. Trauma Mekanik
Insiden trauma mekanik meningkat akibat adanya peningkatan aktivitas industri dan
peningkatan aktivitas lalu lintas. Trauma mekanik dapat dikelompokkan menjadi:

a. Benda asing ekstraokuler


b. Trauma tumpul
c. Trauma tembus

a. Benda asing ekstraokuler


Kasus benda asing ekstraokular banyak ditemukan pada daerah-daerah industri. Pada
kasus benda asing intraokular diperlukan anamnesis yang baik untuk mengetahuin
terjadinya riwayat trauma dengan baik. Benda asing ekstraokuler dapat tertanam:

1. Konjungtiva
Benda asing ini dapat tertanam pada konjungtiva tarsal, sulkus subtarsalis,
konjungtiva forniks, atau konjungtiva bulbi

2. Kornea
Benda asing sering tertanam pada lapisan superfisial seperti epitelium dan jarang
sampai menembus lapisan stroma.

Gambar 2.6 Benda asing ekstraokuler di konjungtiva


Gejala klinis

Gejala klinis dari benda asing di konjungtiva adalah didapatkan tanda khas berupa
blefarospasme dan injeksi konjungtiva. Dengan pemeriksaan slit lamp, benda asing di
kornea dapat terlihat sejauh mana benda itu menembus lapisan kornea. Adanya abrasi
dan benda asing pada permukaan kornea memberikan sensasi nyeri dan iritasi sewaktu
mata dan palpebra digerakkan. Uji fluorescein membantu mewarnai membran basal
yang defek dan dapat memperjelas kebocoran aquos pada trauma tembus.
Gambar 2.7 Benda asing ekstraokuler di kornea
Tatalaksana
Penatalaksanaan benda asing ekstraokuler ialah mengambil benda asing tersebut
secepatnya. Pada kasus benda asing di konjungtiva tarsal atau forniks, dapat
menggunakan swab kapas. Bila benda asing terdapat pada konjungtiva bilbi,
pengangkatan menggunakan jarum kecil dengan bantuan anestesi topical.
Pada kasus benda asing di kornea, mata terlebih dahulu dianestesi topikal dengan
xylocaine 2 %. Pengangkatan dapat menggunakan jarum kecil dengan bantuan slit
lamp. Defek epitel kornea yang ringan diterapi dengan salep antibiotik dan balut
tekan untuk mengimobilisasi palpebral. Luka harus diperiksa setiap harinya untuk
mencari tanda-tanda infeksi sampai luka sembuh sempurna. Pada pengeluaran benda
asing, dapat diberikan anestetik topikal dan jarum berukuran kecil sewaktu
pemeriksaan dengan slit lamp. Bila terdapat fragmen yang tertanam dalam di kornea,
tindakan pengambilan harus dilakukan dengan teknik bedah mikro dalam kamar
operasi.
Jangan pernah memberikan larutan anestetik topikal pada pasien untuk dipakai ulang
setelah cedera kornea karena hal ini dapat memperlambat penyembuhan, menutupi
kerusakan lebih lanjut, dan dapat menyebabkan pembentukan jaringan parut kornea
yang permanen. Pemakaian steroid harus dihindari bila masih ada defek epitel.
Komplikasi

Konjungtivitis bacterial dapat terjadi pada kasus benda asing di konjugtiva, sedangkan
ulkus kornea dapat terjadi pada kasus benda asing di kornea.

b. Trauma Tumpul
Trauma tumpul pada mata dapat diakibatkan oleh benda yang keras atau benda yang
tidak keras, dimana benda tersebut dapat mengenai mata dengan keras atau dengan
lambat.
Tingkatan dari rudapaksa mata ini tergantung dari besar, berat, energi kinetik dari
obyek. Gelombang tekanan akibat dari rudapaksa mata menyebabkan :

1. Tekanan yang sangat tinggi dan jelas dalam waktu yang singkat didalam bola mata.
2. Perubahan yang menyolok dari bola mata.
3. Tekanan dalam bola mata akan menyebar antara cairan vitreous yang kental dan
jaringan sclera yang tidak elastis.
4. Akibatnya terjadi peregangan dan robeknya jaringan pada tempat dimana ada
perbedaan elastisitas, mis: daerah limbus, sudut iridocorneal, ligamentum Zinii,
corpus ciliare.
Respon dari jaringan terhadap rudapaksa mata tumpul :
1. Vasokonstriksi dari pembuluh darah perifer, sehingga terjadi iskemia dan nekrosis
lokal.
2. Diikuti dengan vasodilatasi, hiperpermeabilitas, aliran darah yang menurun.
3. Dinding pembuluh darah robek maka cairan jaringan dan isi sel akan menyebar
menuju jaringan sekitarnya sehingga terjadi edema dan perdarahan.
Karena tiap-tiap jaringan mempunyai sifat-sifat dan respon khusus terhadap trauma
maka akan dibicarakan satu-persatu.

1. Kelopak Mata
Hematoma kelopak

Hematoma merupakan pembengkakan atau penimbunan darah di bawah kulit


kelopak akibatnya pecahnya pembuluh darah palpebral. Trauma dapat disebabkan
pukulan tinju atau benda tumpul yang keras lainnya. Bentuk hematoma kelopak yang
paling berbahaya ialah hematoma kacamata atau yang biasa disebut Racoon Eye.
Pada hematoma kacamata, arteri ophtalmica rupture dan merupakan pertanda dari
fraktur basis kranii. Pada hematoma ringan, dapat diberikan kompres air dingin
untuk menghentikan perdarahan dan menghilangkan rasa sakit. Kompres hangat
dapat diberikan pada hematoma yang belum kunjung diabsorbsi.
Gambar 2.8 Hematoma kacamata

2. Konjungtiva
Edema konjungtiva

Edema konjungtiva disebut juga kemotik konjungtiva. Kemotik yang berat dapat
mengakibatkan palpebral tidak dapat menutup sehingga bertambah rangsangan
terhadap konjungtiva. Pada keadaan kemotik ringan, dapat diberikan dekongestan untuk
mencegah pembendungan cairan didalam selaput lendir konjungtiva.

Gambar 2.9 Hematoma subkonjungtiva

Hematoma subkonjungtiva terjadi akibatnya pecahnya pembuluh darah yang


terdapat pada atau di bawah konjungtiva, seperti arteri konungtiva dan arteri episklera.
Pecahnya pembuluh darah ini dapat disebabkan oleh batuk rejan, trauma tumpul pada
basis kranii, atau pada keadaan pembuluh darah yang rentan dan mudah pecah.
Pengobatan dini pada hematoma subkonjungtiva adalah dengan kompres hangat.
Perdarahan subkonjungtiva hilang dan diabsorbsi dalam 1-2 minggu tanpa diobati.

3. Kornea
Adanya abrasi dan benda asing pada permukaan kornea memberikan sensasi nyeri
dan iritasi sewaktu mata dan palpebra digerakkan. Uji fluorescein membantu mewarnai
membrane basal yang defek dan dapat memperjelas kebocoran aquos pada trauma
tembus. Defek epitel kornea yang ringan diterapi dengan salep antibiotik dan balut
tekan untuk mengimobilisasi palpebral. Luka harus diperiksa setiap harinya untuk
mencari tanda-tanda infeksi sampai luka sembuh sempurna. Pada pengeluaran benda
asing, dapat diberikan anestetik topikal dan jarum berukuran kecil sewaktu pemeriksaan
dengan slit lamp. Bila terdapat fragmen yang tertanam dalam di kornea, tindakan
pengambilan harus dilakukan dengan teknik bedah mikro dalam kamar operasi. Jangan
pernah memberikan larutan anestetik topikal pada pasienj untuk dipakai ulang setelah
cedera kornea karena hal ini dapat memperlambat penyembuhan, menutupi kerusakan
lebih lanjut, dan dapat menyebabkan pembentukan jaringan parut kornea yang
permanen. Pemakaian steroid harus dihindari bila masih ada defek epitel.

Edema kornea
Trauma tumpul yang keras atau cepat mengenai mata, dapat mengakibatkan edema
kornea bahkan sampai ruptur membrane descement. Edema kornea memberikan
keluhan penglihatan kabur dan terlihatnya pelangi disekitar cahaya yang dilihat pasien.
Pengobtan yang diberikan adalah larutan hipertonik seperti NaCl 5% atau larutan garam
hiperrtonik 2-8%, glukosa 40%, dan larutan albumin.
Erosi kornea
Erosi kornea merupakan keadaaan terkelupasnya epitel kornea yang dapat
diakibatkan oleh gesekan keras pada epitel kornea. Pasien merasa sangat kesakitan
akibat erosi merusak kornea yang mempunyai serat sensible yang banyak, mata berair,
dengan blefarospasme, lakrimasi, fotofobia, dan penglihatan terganggu akibat media
kornea yang keruh.

4. Bilik mata depan


Hifema
Hifema atau darah dalam bilik mata depan, dapat terjadi akibat adanya trauma
tumpul yang merobek pembuluh darah iris atau badan siliar. Pasien mengeluh sakit
disertai epifora dan blefarospasme. Bila apsien duduk, hidema terlihat berkumpul
dibagian bawah bilik mata depan, dan hifema dapat memnuhi seluruh ruang bilik mata
depan. Pasien dirawat dengan posisi tidur dengan posisi kepala yang ditinggikan 30
derajat. Biasanya hifema hilang sempurna, bila tidak demikian, pasien harus dirujuk.

Gambar 2.10 Hifema


Respon vaskuler yang terkena adalah Arteri Ciliaris Anterior, perdarahan vena di
Schlemm kanal dan adanya hipotoni, seperti pada siklodialisis. Pada umumnya 70 %
kasus penyerapan terjadi dalam waktu 5-6 hari.
Bila perdarahan luas koagulasi dibilik mata depan akan luas dimana terjadi
gumpalan fibrin dan darah merah. Hal ini akan memperlambat penyerapan ditambah
lagi hambatan mekanis terhadap ” outflow ” humor aquos disudut iridocorneal.
Pada beberapa produk darah menempel pada bagian anterior pigmen membran dari
iris didaerah pupil dan sudut iridocorneal.Walaupun sepintas bilik mata depan jernih,
tetapi iritis cukup kuat untuk membentuk sinekia anterior dan posterior. Hifema
sekunder pada umumnya nampak antara hari ke 2 dan ke 5. biasanya diikuti dengan
ancaman iritis.
Pada hifema ringan dapat terjadi glaukoma sekunder dengan meningkatnya tekanan
intraokuler. Hal ini dari adanya edema di trabekuler meshwork, sehingga terjadi
gangguan outflow humor aquos. Tekanan intraokuli kadang baru terjadi beberapa hari
setelah trauma, ini adalah akibat adanya perdarahan sekunder. Frekuensi perdarahan
sekunder tanpa kenaikan tekanan intraokuler 30%. Frekuensi perdarahan sekunder
dengan kenaikan tekanan intraokuler 50%.

PERAWATAN KONSERVATIF/TANPA OPERASI


 Tirah baring sempurna (bed rest total)
Penderita ditidurkan dalam keadaan terlentang dengan posisi kepala diangkat (diberi
alas bantal) dengan elevasi kepala 30º - 45º. Hal ini akan mengurangi tekanan darah
pada pembuluh darah iris serta memudahkan kita mengevaluasi jumlah
perdarahannya. Ada banyak pendapat dari banyak ahli mengenai tirah baring
sempurna ini sebagai tindakan pertama yang harus dikerjakan bila menemui kasus
traumatik hifema. Bahkan Darr dan Rakusin menunjukkan bahwa dengan tirah
baring sempurna absorbsi dari hifema dipercepat dan sangat mengurangi timbulnya
komplikasi perdarahan sekunder.
Istirahat total ini harus dipertahankan minimal 5 hari mengingat kemungkinan
perdarahan sekunder. Hal ini sering sukar dilakukan, terlebih-lebih pada anak-anak,
sehingga kalau perlu harus diikat tangan dan kakinya ke tempat tidur dan
pengawasan dilakukan dengan sabar.
 Bebat mata
Mengenai pemakaian bebat mata, masih belum ada persesuaian pendapat di antara
para ahli. Edward- Layden lebih condong untuk menggunakan bebat mata pada mata
yang terkena trauma saja, untuk mengurangi pergerakan bola mata yang sakit.
Selanjutnya dikatakan bahwa pemakaian bebat pada kedua mata akan menyebabkan
penderita gelisah, cemas dan merasa tak enak, dengan akibat penderita (matanya)
tidak istirahat Akhirnya Rakusin mengatakan bahwa dalam pengamatannya tidak
ditemukan adanya pengaruh yang menonjol dari pemakaian bebat atau tidak
terhadap absorbsi, timbuInya komplikasi maupun prognosa bagi tajam
penglihatannya.
 Pemakaian obat-obatan
Pemberian obat-obatan pada penderita dengan traumatik hifema tidaklah mutlak,
tapi cukup berguna untuk menghentikan perdarahan, mempercepat absorbsinya dan
menekan komplikasi yang timbul. Untuk maksud di atas digunakan obat-obatan
seperti :
- Koagulansia
Golongan obat koagulansia ini dapat diberikan secara oral maupun parenteral,
berguna untuk menekan/menghentikan perdarahan, Misalnya : Anaroxil, Adona
AC, Coagulen, Transamin, vit K dan vit C.
Pada hifema yang baru dan terisi darah segar diberi obat anti fibrinolitik
(Dipasaran obat ini dikenal sebagai transamine/ transamic acid) sehingga bekuan
darah tidak terlalu cepat diserap dan pembuluh darah diberi kesempatan untuk
memperbaiki diri dahulu sampai sembuh. Dengan demikian diharapkan terjadinya
perdarahan sekunder dapat dihindarkan. Pemberiannya 4 kali 250 mg dan hanya
kira-kira 5 hari jangan melewati satu minggu oleh karena dapat timbulkan
gangguan transportasi cairan COA dan terjadinya glaukoma juga imbibisio kornea.
Selama pemberiannya jangan lupa pengukuran tekanan intra okular.
- Midriatika Miotika
Masih banyak perdebatan mengenai penggunaan obat-obat golongan midriatika
atau miotika, karena masing-masing obat mempunyai keuntungan dan kerugian
sendiri-sendiri: Miotika memang akan mempercepat absorbsi, tapi meningkatkan
kongesti dan midriatika akan mengistirahatkan perdarahan. Gombos menganjurkan
pemberian midriatika bila didapatkan komplikasi iridiocyclitis. Akhirnya Rakusin
membuktikan bahwa pemberian midriatika dan miotika bersama-sama dengan
interval 30 menit sebanyak dua kali sehari akan mengurangi perdarahan sekunder
dibanding pemakaian salah satu obat saja. Darr menentangnya dengan tanpa
menggunakan kedua golongan obat tersebut pada pengobatan hifema traumatik.
- Ocular Hypotensive Drug
Semua para ahli menganjurkan pemberian acetazolamide (Diamox) secara oral
sebanyak 3x sehari bilamana ditemukan adanya kenaikan tekanan intraokuler.
Bahkan Gombos dan Yasuna menganjurkan juga pemakaian intravena urea,
manitol dan gliserin untuk menurunkan tekanan intraokuler, walaupun ditegaskan
bahwa cara ini tidak rutin.
Pada hifema yang penuh dengan kenaikan tekanan intra okular, berilah diamox,
glyserin, nilai selama 24 jam:
Bila tekanan intra okular tetap tinggi atau turun, tetapi tetap diatas normal, lakukan
parasentesa yaitu pengeluaran darah melalui sayatan di korneaBila tekanan intra
okular turun sampai normal, diamox terus diberikan dan dievaluasi setiap hari. Bila
tetap normal tekanan intra okularnya dan darahnya masih ada sampai hari ke 5-9
lakukan juga parasentesa.
- Kortikosteroid dan Antibiotika
Pemberian hidrokortison 0,5% secara topikal akan mengurangi komplikasi iritis
dan perdarahan sekunder dibanding dengan antibiotika. Yasuna menganjurkan
pemberian prednison 40 mg/hari secara oral segera setelah terjadinya hifema
traumatik guna mengurangi perdarahan sekunder.

PERAWATAN OPERASI
Perawatan cara ini akan dikerjakan bilamana ditemukan glaukoma sekunder, tanda
imbibisi kornea atau hemosiderosis cornea dan tidak ada pengurangan dari tingginya
hifema dengan perawatan non-operasi selama 3 - 5 hari.
Untuk mencegah atrofi papil saraf optik dilakukan pembedahan bila tekanan bola mata
maksimal > 50 mmHg selama 5 hari atau tekanan bola mata maksimal > 35 mmHg
selama 7 hari. Untuk mencegah imbibisi kornea dilakukan pembedahan bila tekanan
bola mata rata-rata > 25 mmHg selama 6 hari atau bila ditemukan tanda-tanda imbibisi
kornea. Untuk mencegah sinekia anterior perifer dilakukan pembedahan bila hifema
total bertahan selama 5 hari atau hifema difus bertahan selama 9 hari.
Intervensi bedah biasanya diindikasikan pada atau setelah 4 hari. Dari keseluruhan
indikasinya adalah sebagai berikut :
a. Empat hari setelah onset hifema total
b. Microscopic corneal bloodstaining (setiap waktu)
c. Hifema total dengan dengan Tekanan Intra Okular 50 mmHg atau lebih selama 4
hari (untuk mencegah atrofi optic)
d. Hifema total atau hifema yang mengisi lebih dari ¾ COA selama 6 hari dengan
tekanan 25 mmHg (untuk mencegah corneal bloodstaining)
e. Hifema mengisi lebih dari ½ COA yang menetap lebih dari 8-9 hari (untuk
mencegah peripheral anterior synechiae)
f. Pada pasien dengan sickle cell disease dengan hifema berapapun ukurannya dengan
Tekanan Intra Ocular lebih dari 35 mmHg lebih dari 24 jam.Jika Tekanan Inta
Ocular menetap tinggi 50 mmHg atau lebih selama 4 hari, pembedahan tidak boleh
ditunda.
Suatau studi mencatat atrofi optic pada 50 persen pasien dengan total hifema ketika
pembedahan terlambat. Corneal bloodstaining terjadi pada 43% pasien. Pasien dengan
sickle cell hemoglobinopathi diperlukan operasi jika tekanan intra ocular tidak
terkontrol dalam 24 jam.

5. Uvea
Iridoplegia
Trauma tumpul pada uvea dapat mengakibatkan kelumpuhan otot sifingter pupi
sehingga pupil menjadi lebar atau midriasis. Pasien menjadi sukar untuk melihat jarak
dekat karena gangguan akomodasi, silau akibat gangguan pengaturan masuknya sinar
pada pupil. Pupil terlihat anisokor dan bentuk pupil menjadi ireguler. Iridoplegia akibat
trauma berlangsung beberapa hari sampai beberapa minggu. Pasien iridoplegia
sebaiknya diberi istirahat untuk mencegah kelelahan sifingter.
Iridodialisis
Iridodialisis terjadi pada iris yang mengalami robekan pada pangkal iris. Pupil
berubah bentuk akibat robekan pada pangkal iris. Pasien mengeluh penglihatannya
menjadi ganda. Pasien iridodialisis sebaikanya dilakukan pembedahan degan
melakukan reposisi pangkal iris yang terlepas.
Gambar 2.11 Iridodialisis

6. Lensa
Subluksasi

Terjadi akibat putusnya sebagian zonula zinn sehingga lensa berpindah tempat.
Subluksasi lensa dapat juga terjadi spontan akibat pasien menderita kelainan pada
zonula zinn yang rapuh (sindrom Marphan). Pasien pasca trauma mengeluh penglihatan
berkurang. Subluksasi lensa memberikan gambaran pada iris berupa iridodonesis.
Akibat pegangan lensa pada zonula tidak ada maka lensa yang elastic menjadi
cembung, dan mata menjadi lebih miopik. Lensa yang menjadi sangat cembung
mendorong iris ke depan sehingga sudut bilik mata tertutup. Bila sudut bilik mata
menjadi sempit pada mata ini mudah terjadi glaucoma sekunder.

Luksasi
Bila seluruh zonula zinn ruptur, lensa terdorong ke arah bilik mata depan. Akibat
lensa terletak didalam bilik mata depan ini, maka terjadi gangguan pengeluaran cairan
akuos dan menimbulkan glaukoma sekunder. Pada luksasi lensa, sebaiknya pasien
dirujuk ke dokter mata secepatnya dengan terlebih dahulu menurunkan tekanan bola
matanya.
i. Luksasi Lensa Anterior.
Bila seluruh zonula zinn di sekitar ekuator putus akibat trauma maka lensa dapat
masuk ke dalam bilik mata depan. Akibat lensa terletak dalam bilik mata depan
ini maka terjadi gangguan pengaliran keluar cairan bilik mata sehingga timbul
glaucoma kongestif akut dengan gejala-gejalanya. Pasien mengeluh penglihatan
menurun mendadak, disertai rasa sakit yang sangat, muntah, mata merah dengan
blefarospasme. Terdapat injeksi siliar yang berat, edema kornea, lensa di dalam
bilik mata depan. Iris terdorong ke belakang dengan pupil yang lebar. Tekanan
bola mata sangat tinggi.
ii. Luksasi Lensa Posterior
Pada trauma tumpul yang keras pada mata dapat terjadi luksasi lensa posterior
akibat putusnya zonula zinn di seluruh lingkaran ekuator lensa sehingga lensa
jatuh ke dalam badan kaca dan tenggelam di dataran bawah polus posterior
fundus okuli. Pasien mengeluh adanya skotoma pada lapang pandangannya akibat
lensa mengganggu kampus. Mata ini menunjukkan gejala mata tanpa lensa atau
afakia. Pasien melihat normal dengan lensa +12.0 dioptri untuk jauh, bilik mata
depan dalam dan iris tremulans. Lensa yang terlalu lama berada dalam polus
posterior dapat menimbulkan penyulit akibat degenerasi lensa, berupa glaucoma
fakolitik ataupun uveitis fakotoksik

7. Fundus oculi
Trauma tumpul yang mengenai mata dapat mengakibatkan kelainan pada retina,
koroid, dan saraf optik. Perubahan yang terjadi dapat berupa edema retina, perdarahan
retina, ablasi retina, maupun atrofi saraf optik.
i. Edema Retina dan Koroid
ii. Trauma tumpul pada retina dapat mengakibatkan edema retina, penglihatan
sangat menurun. Edema retina memberikan warna retina yang lebih abu-abu
akibat sukarnya melihat jaringan koroid melalui retina yang sembab, berbeda
dengan oklusi arteri retina sentral dimana terdapat edema retina kecuali macula,
sehingga pada keadaan ini terlihat cherry red spot yang berwarna merah. Edema
retina akibat trauma tumpul juga mengakibatkan edema makula sehingga tidak
terdapat cherry red spot.
Pada trauma tumpul yang paling ditakutkan adalah terjadi edema macula atau
edema berlin. Pada keadaan ini terjadi edema yang luas sehingga seluruh polus
posterior fundus okuli berwarna abu-abu.
Umumnya penglihatan normal kembali setelah beberapa waktu, tetapi dapat juga
penglihatan berkurang akibat tertimbunnya daerah macula oleh sel pigmen epitel.
iii. Ablasio Retina
Trauma diduga merupakan pencetus untuk terlepasnya retina dari koroid pada
penderita ablasi retina. Biasanya pasien telah mempunnyai bakat untuk terjadinya
ablasi retina ini seperti retina tipis akibat retinitis semata, miopia, dan proses
degenerasi lainnya.
Pada pasien akan terdapat keluhan seperti adanya selaput yang seperti tabir
menganggu lapangan pandangannya. Bila terkena atau tertutup daerah makula
maka tajam penglihatannya akan menurun.
Pada pemeriksaan funduskopi akan terlihat retina yang berwarna abu-abu dengan
pembuluh darah yang terlihat terangkat dan berkelok-kelok. Kadang-kadang
terlihat pembuluh darah seperti yang terputus-putus. Pada pasien dengan ablasi
retina maka secepatnya dirawat untuk dilakukan pembedahan oleh dokter mata.
iv. Ruptur Koroid
Pada trauma keras dapat terjadi perdarahan subretina yang dapat merupakan
akibat ruptur koroid. Ruptur ini biasanya terletak di polus posterior bola mata dan
melingkar konsentris di sekitar papil saraf optik.
Bila ruptur koroid ini terletak atau mengenai daerah makula lutea maka tajam
penglihatan akan turun dengan sangat. Ruptur ini bila tertutup oleh perdarahan
subretina agak sukar dilihat akan tetapi bila darah tersebut telah diabsorpsi maka
akan terlihat bagian ruptur berwarna putih karena sklera dapat dilihat langsung
tanpa tertutup koroid.

c. Trauma Tembus
Ruptur bola mata dapat terjadi akibat trauma tembus tajam atau gaya kontusif tumpul.
Trauma tumpul menyebabkan peningkatan tekanan dalam orbita dan intraokuler yang
disertai deformasi bola mata. Terjadi dekompresi cepat sewaktu dinding mata robek
atau saat isi orbita keluar. Limbus superonasal merupakan daerah yang sering
mengalami ruptur orbita, dikarenakan efek counter croup dari kuadran temporal
bawah yang merupakan daerah beresiko tinggi terjadinya trauma. Trauma tumpul
memiliki prognosis yang lebih buruk dikarenakan kemungkinan tingginya terjadi
ablasio retina pada trauma tumpul. Penurunan visus yang mencolok biasanya terjadi
pada trauma tembus. Hal ini sedikit berbeda pada cedera dari partikel kecil yang
berkecepatan tinggi (tindakan menggerinda & memalu), hanya menimbulkan perasaan
nyeri dan kekaburan penglihatan.
Gejala klinis yang dapat menyertai adalah kemosis hemoragik, laserasi konjungtiva,
bilik mata depan yang dangkal, dengan atau tanpa dilatasi pupil, hifema, atau
perdarahan vitreus. Bila trauma disebabkan benda tajam atau benda asing yang masuk
ke dalam bola mata maka terlihat:
 Tajam penglihatan yang menurun
 Tekanan bola mata yang rendah
 Bilik mata depan yang dangkal
 Bentuk dan letak pupil yang berubah
 Terlihatnya ruptur kornea atau sclera
 Konjugtiva kemotis
Bila terlihat salah satu tanda diatas, dapat dicurigai adanya perforasi bola mata dan
secepatnya diberikan antibiotik topikal dan mata ditutup diengan kasa. Selanjutnya
pasien harus dirujuk ke dokter spesialis mata untuk menjalani tindakan pembedahan.
Pasien harus diberikan antibiotika sistemik secara intravena dan dipuasakan untyuk
persiapan operasi. Komplikasi yang dapat timbul adalah endoftalmitis, panoftalmitis,
ablasi retina, perdarahan intraokuler, dan ftisis bulbi.

Gambar 2.12 Prolaps iris pada luka tembus

b. Trauma Non Mekanis


Trauma Kimia

Semua luka bakar akibat bahan kimia harus diterapi sebagai kedaduratan mata.
Bahan kimia yang dapat mengakibatkan kelainan pada mata dapat dibedakan dalam
bentuk trauma asam dan trauma basa. Pembilasan dengan air yang mengalir harus
segera dilakukan sebelum pasien dirujuk. Semua benda asing yang terlihat juga harus
diirigasi. Di ruang gawat darurat, lakukan anamnesis dan pemeriksaan singkat sebelum
permukaan mata diirigasi. Cairan saline isotonik steril diberikan segera untuk
mengirigasi dengan selang intravena ukuran standar. Untuk menetralisir trauma asam,
dapat digunakan larutan natrium bikarbonat 3%, sedangkan untuk menetralisir trauma
basa, digunakan asam borat, asam asetat 0,5%, atau buffer asam asetat 4,5% untuk
menetralisir.

Bila pasien mengalami blefarospasme, lakukan speculum palpebral dan infiltrasi


anestetik local. Analagesik, anestetik local, dan siklopegia hamper selalu diberikan
pada kasus trauma bahan kimia. Pemeriksaaan pH penting dilakukan dengan
meletakkan secarik kertas indikator di konjungtiva forniks. Irigasi diulang bila kadar
pH tidak berada di kisaran 7,3 dan 7,7. Setelah pembilasan berikan salep antibiotik dan
dibalut tekan.

Trauma basa memiliki tingkat keparahan yang lebih berat bila dibandingkan dengan
trauma cairan asam. Pada trauma basa, cairan basa cepat menembus jaringan mata dan
terus menimbulkan kerusakan. Diperlukan bilasan jangka panjang dan pemantauan pH
secara berkala. Pada trauma asam, cairan asam membentuk suatu sawar presipitat
jaringan nekrotik yang cenderung membatasi penetrasi dan kerusakan lebih lanjut. Luka
bakar alkalis meningkatkan tekanan intraokular dengan cepat karena terjadi kontraksi
sklera dan kerusakan anyaman trabecular. Dalam 2-4 jam berikutnya, terjadi
peningkatan tekanan intraokuler sekunder akibat pelepasan prostaglandin yang
berpotensi menyebabkan uveitis berat.

Gambar 2.13 Erosi kornea akibat trauma asam


Penatalaksanaan pada trauma kimia dengan memberikan steroid topikal dalam 2
minggu pertama, siklopegikm dan antiglaukoma. Pemberian steroid topikal harus
diperhatikan karena obat ini juga menghambat reepitelisasi. Tetes matas vitamin C
bermanfaat untuk luka bakar alkalis derajat sedang, tapi kurang bermanfaat pada derajat
berat. Komplikasi pada luka bakar kimia adalah glaucoma sekunder, pembentukan
jaringan parut kornea, simblefaron, entropion dan keratitis sika.

Gambar 2.14 Erosi kornea akibat trauma basa


BAB III

SIMPULAN

Trauma pada mata dapat dibedakan menjadi dua, yaitu mekanik dan non-mekanik. Pada
mekanik dibagi kembali jadi 3 bagian, yaitu: benda asing ekstaokuler ada konjungtiva dan
kornea, trauma tumpul ada kelopak mata, konjungtiva, kornea, bilik mata dapan, uvea, lensa,
fundus okuli, dan trauma tembus. Dan pada non-mekanik terdapat trauma kimia. Pada
tatalaksana trauma kimia perlu dilakukan segera irigasi atau pembilasan pada daerah mata
sampai rujuk ke Rumah Sakit. Pemakaian steroid harus dihindari bila masih ada defek epitel.
Semua jenis trauma mata harus segera dirujuk.
DAFTAR PUSTAKA

- Augsburger, Correa ZM. Ophthalmic Trauma. In: Riordan-Eva P, Cunningham ET


[editor]. Vaughan & Asbury’s general ophthalmology. 18 th ed. New York: The McGraw-
Hill Companies, 2011: 588-94.
- Ilyas S, Yulianti SR. Ilmu penyakit mata. Ed. 4. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, 2013: 276-7.
- Kuhn F, Morris R, Witherspoon CD. BETT: The Terminology of Ocular Trauma. In:
Kuhn F, Pieramici DJ (eds). Ocular Trauma. New York: Thieme Medical Publisher,Inc;
2002.
- Rao NK, Goldstein MH. Trauma Ocular. In: Yanoff M, Duker JS. Ophthalmology. 4 th Ed.
Philadelphia: Elsevier Saunders, 2014: 296-8.
- Kuckelkorn R, Schrage N, Keller G, Redbrake C. Emergency treatment of chemical and
thermal eye burns. Acta Ophthalmol Scand. 2002;4-10.
- Dal A. Mechanisms of Corneal Wound Healing and Its Modulation. 2009;22(2):169–78.
- James, Bruce, et al. 2006. Lecture Notes Oftalmologi, 9th eds. Surabaya: Airlangga.
- Kuhn Ferenc, Robert Morris, Viktoria Mester, C. Douglas Witherspoon. 2008.
Terminology of Mechanical Injuries: the Birmingham Eye Trauma Terminology (BETT)
In: Kuhn Ferenc. Ocular Traumatology. Birmingham: Springe;4,8-9,347-348 9

Anda mungkin juga menyukai