Anda di halaman 1dari 21

REFERAT

Hifema

Pembimbing:
dr. Ria , Sp.M

Disusun oleh:
Naura Andini Fadhila
41181396100089

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN MATA


PERIODE 10 JUNI – 5 JULI 2019
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN PROFESI DOKTER
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan pada kehadirat Allah SWT sebagai Tuhan
Yang Maha Esa, yang telah memberi kuasa dan nikmat-Nya hingga penulis dapat
menyelesaikan referat Hifema. Shalawat serta salam tidak lupa penulis panjatkan
pada Nabi Muhammad SAW yang selalu mendoakan seluruh umatnya mendapat
syafaat di Hari Akhir kelak.
Penyusunan referat ini dilakukan sebagai salah satu tugas kepaniteraan
klinik di bagian Ilmu Kesehatan Mata di Rumah Sakit Umum Daerah dr.
Chasbullah Abdulmajid Kota Bekasi. Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr.
Ria Sp.M sebagai dokter pembimbing dan berbagai pihak yang sudah membantu
penulis dalam proses penyusunan referat ini.
Penulis menyadari masih terdapat berbagai kekurangan dalam penyusunan
referat ini. Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua
pihak agar referat ini lebih baik kedepannya. Penulis berharap presentasi referat ini
dapat bermanfaat bagi berbagai pihak selaku pembaca, terutama dalam bidang ilmu
kesehatan mata, bidang medis lainnya, dan berbagai bidang ilmu lainnya dalam
alam semesta ini.

Bekasi, 17 Juni 2019

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………………………...……………………….....2
DAFTAR ISI…………………………………………………………...………....3
DAFTAR GAMBAR………………...………………………………...………....4
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................5
1.1 Latar Belakang………………………………………………………...5
1.2 Tujuan…………………………………………………………………5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................6
2.1Anatomi……………………………………………………….…….….6
2.1.1 Anatomi Bola Mata..............................................................................6
2.1.2 Anatomi Uvea………………………………………………………..8
2.1.3 Anatomi Bilik Mata Depan…………………………………………..9
2.2. Definisi................................................................................................10
2.3. Epidemiologi.......................................................................................11
2.4. Etiologi................................................................................................11
2.5. Patofisiologi.........................................................................................12
2.6. Diagnosis.............................................................................................15
2.7. Diagnosis Banding...............................................................................16
2.8. Tata Laksana........................................................................................16
2.9. Komplikasi…………………………………………………………18
2.11. Prognosis………………………………………………….…….….19
BAB III KESIMPULAN......................................................................................20
Daftar Pustaka......................................................................................................21

3
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Bagian sklera yang membentuk bola mata..................................................7


Gambar 2.2 Diagram bola mata dan otot-otot yang ada pada bola mata..........................7
Gambar 2.3 Komponen Jaringan Uvea............................................................................8
Gambar 2.4 Vaskularisasi Uvea Pada Mata.....................................................................9
Gambar 2.5 Bilik Mata Depan……………………………………………........................10
Gambar 2.6 Penyebab Hifema (Trauma Benda Tumpul)……………………………...12
Gambar 2.7 Klasifikasi Hifema………………………………………………...……15

4
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Trauma pada mata merupakan kasus yang sering ditemui. Trauma mata dapat
terjadi kapan saja melalui berbagai faktor dari lingkungan luar, yang merusak struktur
anatomis mata dan mengganggu fungsi penglihatan. Trauma pada mata, yang juga
disebut sebagai trauma okuli, merupakan penyebab kebutaan unilateral yang sering
terjadi.1

Kejadian trauma okuli sering terjadi pada rentang usia aktif, remaja hingga
dewasa, dan cenderung lebih sering pada jenis kelamin pria. Penyebabnya adalah
lingkungan luar, seringkali sebagai dampak dari aktivitas fisik (kecelakaan, cedera,
kekerasan fisik, dan lainnya). Kemenkes RI mengatakan bahwa sekitar 20% penyebab
gangguan penglihatan yang mengarah ke kebutaan di Indonesia sejak tahun 1993
hingga 2019 adalah trauma mata. Vision 2020, program inisiatif global oleh WHO
untuk penanganan kebutaan dan gangguan penglihatan mengatakan dari data tahun
2010 bahwa trauma mata merupakan penyebab nomor 3 pada gangguan penglihatan
dan nomor 2 pada kebutaan.1,2

Trauma okuli yang disebabkan oleh benda tumpul disebut hifema. Hifema
dimasukkan dalam kategori emergensi okular karena terjadi perdarahan yang
memenuhi seluruh ruang mata. Paparan diatas membuktikan bahwa hifema memiliki
peran dalam mencetuskan permasalahan di bidang gangguan penglihatan bagi dunia
medis dan penduduk dunia.1

1.2 Tujuan

Penulis berharap dengan penulisan referat ini, penulis dapat mengembangkan


sisi pengetahuan dalam sisi medis, segi kelainan klinis mata mengenai trauma dan
hifema, sehingga lebih memahami dan dapat membedakan kondisi pasien dengan
hifema dari kelainan klinis mata lainnya. Penulis juga berharap pemahaman topik
referat ini dapat membangun pemahaman dan karakter penulis agar menjadi dokter
yang baik di masa yang akan datang.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi
2.1.1. Anatomi Bola Mata

Bola mata manusia terbungkus oleh 3 lapis jaringan: sklera, uvea, dan retina.
Sklera adalah jaringan ikat kenyal yang berfungsi untuk memberi bentuk pada mata dan
melindungi bola mata. Sklera adalah 5 per 6 bagian dari bola mata yang berwarna opak.
Sklera pada umumnya berwarna putih, pada anak-anak cenderung agak kebiruan karena
struktur lapisannya yang lebih tipis sehingga pigmen sel koroid lebih terlihat, dan pada
lansia cenderung agak kekuningan karena deposisi lemak.3

Dari sisi anterior, sklera adalah bagian warna putih yang secara umum terlihat
pada mata. Dari sisi posterior, sklera tersambung pada jaringan ikat yang menyelubungi
bola mata. Lapisan terluar sklera adalah lapisan yang halus kecuali pada bagian otot
bola mata yang terikat pada sklera. Terdapat bagian sklera yang terlubangi oleh struktur
persarafan optik, dikenal dengan nama foramen sklera posterior, pada bagian ini sklera
menyatu dengan lapisan dural dan arachnoid dari nervus optikus. Terdapat lamina
cribosa yang merupakan serat nervus optikus, yang merupakan area yang lemah. Pada
lamina cribosa terdapat arteri dan vena retina. Bagian lamina cribosa yang menonjol
keluar dinamakan cupped disk.4

Pada bagian depan sklera terdapat kornea dengan sifat transparan agar sinar
dapat masuk ke dalam bola mata. Kornea memiliki struktur kelengkungan yang lebih
besar dibandingkan sklera.3,4

Sklera terbagi dalam tiga bagian: anterior, tengah, dan posterior. Bagian anterior
dimulai dari insersi otot rectus dan merupakan percabangan arteri siliaris anterior,
berhubungan langsung dengan kornea karena terikat oleh limbus, yang dibelakangnya
terdapat kanal schlemm. Bagian tengah adalah tempat keluar vena vortex. Bagian
posterior adalah struktur kecil yang terdapat pada nervus optikus, berfungsi untuk
transmisi nervus dan pembuluh darah siliaris. 4

6
Gambar 2.1 Bagian sklera yang membentuk bola mata
(Richard Snell, 1997)4

Gambar 2.2 Diagram bola mata dan otot-otot yang ada pada bola mata
(Richard Snell, 1997)4

7
2.1.2. Anatomi Uvea

Jaringan uvea adalah jaringan vaskular, yang terdiri dari: iris, badan siliaris, dan
koroid. Pada iris terdapat pupil yang memiliki fungsi mengatur jumlah sinar yang
masuk ke dalam bola mata melalui 3 susunan otot: otot dilator, otot konstriktor, dan
otot siliar yang disertai sfingter iris. Otot dilator bertugas untuk kontraksi ketika ada
cahaya masuk, sehingga pupil dapat melebar melebihi ukuran sebelumnya dan cahaya
yang masuk akan lebih banyak. Otot konstriktor memiliki cara kerja berlawanan dengan
otot dilator yang bekerja dengan cara mengecilkan pupil sehingga cahaya yang masuk
menjadi lebih sedikit. Otot siliar dibantu oleh sfingter iris memiliki ranah kerja berbeda
yaitu mengatur bentuk lensa untuk kebutuhan akomodasi. 3

Gambar 2.3 Komponen Jaringan Uvea


(Netter, 2014)5

Uvea adalah jaringan vaskular. Vaskularisasi pada uvea terbagi dua: anterior
dan posterior. Uvea bagian anterior diperdarahi oleh 2 arteri posterior longus yang
masuk menembus sklera di bagian temporal dan nasal (tempat masuk saraf optikus) dan
7 buah arteri siliar anterior. Berikutnya, arteri siliar anterior dan arteri siliar posterior
menyatu membentuk arteri sirkularis mayor pada badan siliar. Uvea bagian posterior

8
diperdarahi 15-20 arteri siliar posterior brevis yang menembus sklera di sekitar tempat
masuk saraf optikus.3

Gambar 2.4 Vaskularisasi Uvea Pada Mata


(Netter, 2014)5

2.1.3. Anatomi Bilik Mata Depan

Bilik mata depan adalah ruang antara kornea dan iris. Ruang ini adalah tempat
yang mengandung cairan aqueous humor yang jernih. Kedalaman ruang ini kurang
lebih 2.5 mm dan semakin dangkal ketika mengarah ke perifer. Kedalaman ruang ini
cenderung tidak seragam, cenderung berbeda pada berbagai kondisi individu dan
penyakit yang diderita.7

Sudut bilik mata terletak pada pangkal iris dan merupakan tempat aliran keluar
cairan bilik mata. Sekitar sudut ini terdapat jaringan trabekulum, kanal Schlemm, baji
sklera, garis Schwalbe, dan jonjot iris. Garis Schwalbe berfungsi sebagai bagian akhir
pada endotel dan membrane descement. Kanal Schlemm berfungsi sebagai penampung
cairan mata yang keluar ke salurannya. Terdapat anyaman trabekula yang terdiri dari
uvea dan badan siliar, mengisi kelengkungan sudut filtrasi.3

9
Gambar 2.5 Bilik Mata Depan
(Netter, 2014)5

2.2 Definisi

Hifema adalah kondisi nyeri pada mata ketika terdapat darah di dalam mata.
Darah bisa terkumpul pada bagian depan mata, menutupi pupil atau iris, berupa
paerdarahan bilik mata depan. Penderita dapat merasa mengalami penurunan
penglihatan akibat darah yang menghalangi masuknya cahaya ke dalam mata.3

Hifema biasanya disebabkan oleh trauma benda tumpul yang merobek


pembuluh darah iris atau badan siliar. Trauma benda tumpul diartikan sebagai benda
yang mengenai mata tetapi tidak menusuk dan tertanam di dalam mata. Beberapa benda
yang dapat menyebabkan trauma tumpul contohnya adalah bola, batu, mainan, dan
pukulan tangan manusia. Penyebab tersering pada anak-anak adalah ketika bermain
dengan teman sebaya, pada usia lebih tua adalah cedera saat aktivitas fisik seperti
olahraga.6

10
2.3 Epidemiologi

Estimasi insiden hifema secara global adalah 17 kejadian per 100.000 populasi.
Usia yang paling sering mengalami hifema adalah 11-15 tahun, dan perbandingan jenis
kelamin laki-laki dan perempuan 4:1.6

Menurut data InfoDATIN Kemenkes, hifema akibat trauma sering terjadi pada
usia aktif mulai dari remaja hingga dewasa, dan lebih sering pada jenis kelamin pria.
Penyebab paling sering yang dilaporkan adalah dampak dari aktivitas fisik, seperti
kecelakaan, cedera saat berada di lingkungan terbuka, dan kekerasan fisik. Menurut
Vision 2020 oleh WHO hifema akibat trauma mata merupakan penyebab nomor 3 pada
gangguan penglihatan dan nomor 2 pada kebutaan. 1,2

Lebih dari 50% hifema mengakibatkan adanya perdarahan pada badan siliaris
anterior, dengan kerusakan pembuluh darah dan percabangannya: arteri koroid, vena
badan siliaris, dan beberapa arteriol yang ruptur pada insiden ruptur iris, siklodialisis,
atau iridodialisis.6

2.4 Etiologi

Trauma benda tumpul pada mata adalah penyebab hifema yang paling sering
terjadi. Trauma benda tajam pada mata dan perdarahan spontan saat sudah terjadi
hifema sebelumnya juga menjadi penyebab. Pasien yang baru selesai mengalami
operasi dapat mengalami hifema, biasanya terjadi intraoperasi namun dapat terjadi
postoperasi.6

Berikut ini adalah beberapa penyebab adanya darah di bilik mata depan
(hifema):7

1. Trauma
2. Post operasi
3. Iridosiklitis e.c herpes
4. Neovaskularisasi pada iris
5. Spontan (pada penyakit leukemia)

11
Pada pasien yang mengalami trauma, berikut adalah beberapa benda yang dapat
menyebabkan insiden trauma hifema:9

Gambar 2.6 Penyebab Hifema (Trauma Benda Tumpul)


(Conrad Giles, 1972)9

Pada pasien yang mengalami hifema setelah operasi, lima jenis operasi yang
cenderung menyebabkan klinis hifema adalah operasi glaukoma, ekstraksi katarak,
iridektomi, dan tertusuk jarum pada berbagai operasi lainnya. 10

2.5 Patofisiologi

Trauma benda tumpul dapat menyebabkan kerusakan secara stuktural dan


fungsional pada mata. Ketika terjadi trauma, terjadi gelombang kejut dengan kecepatan
tinggi yang langsung membentur hingga bagian belakang mata. Terjadi kompresi
diameter anteroposterior dan ekpansi garis ekuator, yang semakin parah pada trauma
benda tumpul yang lebih lebih kencang kecepatannya. Terjadi peningkatan tekanan
intraokuler sementara namun memberi dampak gangguan penyerapan pada iris,
diafragma lensa, dan dasar dari vitreous, atau pada posterior polar. Kerusakan ini
bergantung pada seberapa parah trauma yang terjadi. 6

Trauma benda tumpul menyebabkan lekukan pada permukaan bagian depan


mata, akibatnya terjadi peregangan jaringan limbal pada limbus, ekspansi sklera pada
ekuator, perubahan pergerakan aqueous humor posterior dan perifer, perubahan lensa

12
atau diafragma iris pada bagian posterior, dan peningkatan tekanan intra okuler (TIO).
Enam hal tersebut menyebabkan kerusakan jaringan pada sudut bilik mata depan. 6

Kerusakan tersebut berproses pada hifema sehingga keadaannya bisa


berkembang dari ringan menjadi berat. Pada hifema berat terjadi peningkatan TIO
secara signifikan yang dapat menyebabkan kerusakan nervus optikus, keadaan ini akan
menetap semakin lama apabila tidak segera mendapatkan penanganan dan
menyebabkan penglihatan memburuk.6

Selain karena trauma benda tumpul, hifema dapat hadir sebagai penyerta dari
penyakit berat seperti glaukoma, leukemia, dan hemoglobinopati sickle cell. Kondisi
hifema yang menyertai penyakit ini cenderung lebih sulit untuk diobati karena kondisi
biokimia dan metabolik pasien, pada keadaan ini sel eritrosit pada aqueous humor
menjadi bulan sabit, dan sel-sel eritrosit sabit ini menghambat siklus aliran dan
meningkatkan tekanan intra okuler. Hifema sebagai penyerta penyakit berat ini tidak
harus keadaan hifema berat, bisa juga terjadi pada hifema yang lebih ringan.6

Terdapat dua tipe hifema trauma benda tumpul:6

1. Primer
Hifema primer dikategorikan cenderung tidak berbahaya dan sifatnya
sementara.
2. Sekunder
Hifema sekunder biasanya cenderung lebih berat derajatnya, ditandai
dengan terjadi perdarahan berulang terus menerus dan berlangsung selama
minimal 5 hari dan maksimal 2 minggu.

Pada hifema sekunder terjadi trombolisis pada penyumbatan untuk


memperbaiki pembuluh darah yang rusak akibat trauma. Perdarahan dapat mengisi
bagian anterior pada mata.

13
Terdapat lima grade hifema trauma benda tumpul, berdasarkan akumulasi darah
pada bilik mata depan:6,11

1. Microhyphema

Hanya terlihat ada sel darah merah di bilik mata depan, tidak
membentuk kelompok atau lapisan, tidak menempati bilik mata depan secara
luas.11

2. Grade 1

Hifema grade 1 memiliki resiko yang lebih kecil karena perdarahan


menempati kurang dari setengah dari bilik mata depan. Resiko ini sering terjadi
pada ras kaukasian.6 Darah menempat sepertiga dari bilik mata depan.11

3. Grade 2

Hifema grade 2 memiliki resiko yang tinggi karena menempati lebih dari
setengah anterior chamber. Lebih sering terjadi pada rasa afro-caribbean.
Terdapat peningkatan tekanan intra okuler dan perdarahan sekunder yang
menyebabkan grade 2 ini lebih parah dibanding grade 1. 6 Darah menempati
bilik mata depan sepertiga hingga setengah daerah. 11

4. Grade 3

Darah menempati setengah hingga hampir memenuhi seluruh daerah


bilik mata depan.1

5. Grade 4

Darah menempati seluruh daerah bilik mata depan. Dikenal dengan


istilah eight-ball hyphema .1

14
Gambar 2.7 Klasifikasi Hifema
(Andrew Mick, 2016)11

2.6 Diagnosis

a. Anamnesis

Pasien hifema yang disebabkan benda tumpul seringkali datang dengan ciri dan
gejala sebagai berikut:3,6

1. Saat pengamatan, pasien terlihat dengan mata berdarah.


2. Pasien mengeluh mata terasa sakit
3. Dapat disertai epifora dan blefarospasme
4. Penglihatan pasien menurun
5. Bisa terdapat iridoplegia dan iridodialisis

b. Pemeriksaan Fisik

Pada pasien dengan hifema terdapat tanda-tanda klinis sebagai berikut:6

1. Pada palpebra dapat ditemui blefarospasme, ekimosis, merah peradangan


disertai atau tidak disertai nyeri tekan.
2. Pada pemeriksaan fungsi kelopak ditemukan kelopak tidak tertutup baik
saat tidur.
3. Pada konjungtiva secara general dapat ditemui radang uveitis berupa
perspitat keratin. Pada konjungtiva tarsal superior dan konjungtiva bulbi
dapat ditemukan simblefaron.

15
4. Pada bilik mata depan dapat terlihat hifema (sel darah di dalam bilik mata
depan dengan permukaan darah yang datar). Hifema dapat dilihat tanpa slit
lamp.
5. Pada sudut bilik mata depan dapat terjadi penimbunan cairan bilik mata
sehingga terjadi peningkatan tekanan intra okuler, terjadi pada glaukoma
yang merupakan komplikasi hifema.
6. Pada badan kaca kemungkinan didapatkan kekeruhan akibat perdarahan.
Pada pemeriksaan fundus okuli kemungkinan refleks fundus tidah terlihat
akibat kekeruhan darah atau jaringan fibrosis.
7. Pada retina dapat terlihat adanya perdarahan. Hasil ini terlihat ketika pasien
diminta melihat ke langit-langit, melihat jauh ke sisi samping, dan ke bawah.

2.7 Diagnosis Banding

Hifema kadang sulit dibedakan dengan iridoplegia dan iridodialisis. Penyulit ini terjadi
karena hifema, iridoplegia, dan iridodialisis adalah tiga klinis dari trauma tumpul uvea, dan
ketiganya bisa terjadi bersamaan atau hanya dua dari ketiganya. Dapat juga terjadi masing-
masing sehingga sulit dibedakan dan butuh pemeriksaan lanjutan. 3

2.8 Tata Laksana

Hifema dapat diobati dengan cara meminta pasien untuk meninggikan kepala 30 derajat
saat bed rest, mata ditutup, dan diberi obat koagulasi dan obat penenang. 6

Tindakan parasintesis atau mengeluarkan darah dari bilik mata depan dilakukan pada
pasien dengan hifema yang terlihat tanda-tanda imbibisi kornea, glaukoma sekunder, hifema
penuh dan berwarna hitam, bila setelah 5 hari tidak terlihat tanda-tanda hifema akan
berkurang.3,6

Manajemen hifema e.c trauma benda tumpul biasanya konservatif. Pada pasien grade 1
dilakukan tahapan sebagai berikut:6

1. Pasien diutamakan untuk bed rest.


2. Dilakukan dilatasi pupil (namun cara ini masih kontroversial) dengan midriatil jangka
panjang seperti atropine atau hematropin, 2 sampai 3 kali per hari. Tujuannya adalah
untuk mengecek kerusakan segmen posterior.

16
3. Pasien sebiknya kontrol rutin untuk mengecek tekanan intarokuler
4. Peningkatan tekanan diobati dengan obat anti glaukoma topikal, seperti asetazolamid
oral atau mannitol sebagai hiper osmosis.
5. Steroid topikal digunakan untuk mengobati uveitis dengan trauma atau mengurangi
resiko perdarahan sekunder.
6. Aspirin dan NSAID sebaiknya dihindari karena memiliki efek antitrombotik.
7. Pasien sebaiknya segera berobat kembali jika terjadi penurunan penglihatan atau rasa
sakit meningkat.
8. Pasien sebaiknya menghindari aktivitas fisik serius (berat) selama beberapa minggu
karena ada resiko perdarahan berulang lebih lanjut.

Pada pasien grade 2 dilakukan tahapan sebagai berikut:6

1. Pasien harus beristirahat di tempat tidur


2. Pengobatan dilatasi dengan midriatil jangka panjang seperti atropine atau hematropin,
2 sampai 3 kali per hari.
3. Pasien dipantau setiap hari sampai hifema benar-benar tidak terlihat.
4. Pengobatan untuk peningkatan tekanan intra okuler.
5. Steroid topikal
6. NSAID tidak diperbolehkan.
7. Antifibrinolitik oral: asam traneksamat (cyclokapron) 15-25 mg/kgBB dapat
mengurangi resiko perdarahan
8. Aminocaproic acid sebagai agen antifibrinolitik dengan dosis 50 mg/kgBB. Bertujuan
untuk stabilisasi sumbatan sehingga resiko perdarahan sekunder menurun. Dilakukan
pada hifema sekunder grade 2 atau ketika ada perdarahan berulang.
9. Evakuasi berupa tindakan bedah untuk mengeluarkan darah dari anterior chamber
dengan atau tanpa trabekulektomi, yang diindikasikan pada tiga kondisi berikut:
a. tekanan intra okuler > 50 mmHg selama 2 hari, atau > 35 mmHg selama 7 hari.
b. Terdapat perdarahan kornea pada masa awal, dalam hitungan jam.
c. Hifema secara keseluruhan terjadi lebih dari 5 hari, dengan tujuan mencegah
perkembangan PAS dan elevasi tekanan intra okuler secara kronik.

17
2.8 Komplikasi

Pada hifema, komplikasi tersering adalah glaukoma karena terjadi peningkatan tekanan
intra okuler setelah perdarahan. Glaukoma sekunder terjadi akibat kontusi badan siliar yang
berakibat reses sudut bilik mata sehingga terjadi gangguan pengaliran cairan mata.3

Penigkatan tekanan intra okuler setelah trauma dapat terjadi dengan tahapan sebagai
berikut:6

1. Elevasi bertahap (hingga 24 mmHg) segera setelah terjadinya cedera, dalam durasi
6 sampai 18 jam. Hal ini karena terjadi penyumbatan mekanik di trabekular
meshwork dan inflamasi akibat debris. Bis jadi terdapat cedera langsung dan edema
yang mengikuti pada trabecular meshwork.
2. Kembalinya tekanan intra okuler pada keadaan normal atau bahkan hipotoni.
Observasi dilakukan sejak hari ke 2 hingga hari ke 4 atau 5 dan terjadi peningkatan
tekanan atau perdarahan sekunder. Hipotoni dapat terjadi disebabkan adanya
reduksi pada produksi aqueous humour akibat trauma pada badan siliaris.
3. Peningkatan tekanan intra okuler secara bertahap pada hari ke 5 hingga hari ke 6.
Terjadinya hal ini karena adanya pengembalian fungsi pada badan siliaris yang
sempat terganggu karena ada obstruksi pada sirkulasi aqueous humour.
4. Kembalinya tekanan intra okuler seperti semula akibat kembalinya penyerapan
darah dan pemulihan kembali pada trabecular meshwork selama 4-18 hari.

Sel inflamasi dan partikel debris (darah, fibrin, pigmen iris, material lensa) secara
mekanik dapat menghalangi alur aliran, dan menyebabkan hambatan pada pupil dan menjadi
glaukoma sekunder atau sudut terbuka.6

Glaukoma dengan hifema dapat meningkatkan tekanan intraokuler setelah 2 – 12


minggu setelah cedera terjadi. Secara bertahap eritrosit kehilangan Hb dan dikenal dengan
istilah ghost cells. Sel-sel tersebut akan menghambat trabekular dan meningkatkan TIO dengan
proses yang lebih lama. Pada pasien dengan komplikasi glaukoma sebaiknya dilakukan
pemeriksaan berkala dengan gonioskopi. 6

18
2.9 Prognosis

Prognosis pada hifema ditentukan dari tingkat derajat keparahan hifema, kepatuhan
pasien, dan tata laksana yang diberikan saat mencegah perdarahan sekunder. 6,8

Tanda-tanda klinis yang mempengaruhi prognosis pada hifema adalah ukuran atau
tingkat keparahan hifema, warna darah, kekambuhan perdarahan, waktu penyerapan,
peningkatan tekanan intra okuler.8

19
BAB III
KESIMPULAN

Hifema adalah perdarahan pada bilik depan mata yang dapat terjadi pada korban
trauma, pasien yang baru selesai operasi, penderita iridosiklitis e.c herpes, pasien
dengan neovaskularisasi iris, dan timbul spontan pada pasien dengan penyakit penyerta
seperti Hb sickle cells atau leukimia. Trauma benda tumpul adalah kausa terbesar pada
pasien dengan hifema.

Pasien dengan hifema datang ke pelayanan kesehatan dengan mata yang sudah
berdarah. Hal yang kemungkinan menjadi keluhan pasien adalah perdarahan pada mata,
mata terasa nyeri, penurunan kemampuan melihat, dan terdapat kesulitan untuk
menggerakan (menutup) kelopak mata. Penatalaksanaan hifema antara lain adalah
simptomatik untuk menghentikan perdarahan dan pemberian obat untuk menurunkan
tekanan intra okuler, agar mencegah komplikasi lanjutan seperti perdarahan sekunder
atua glaukoma. Hifema bukan merupakan kasus kegawatdaruratan (SKDI: 3A), bagian
dari tatalaksana hifema adalah dilakukan rujukan ke dokter spesialis mata.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Situasi Gangguan Penglihatan dan


Kebutaan. Jakarta: InfoDATIN, Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI:
2019.
2. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Rencana Strategi Nasional
Penanggulangan Gangguan Pendengaran dan Ketulisan Untuk Mencapai Sound
Hearing. Jakarta: Menteri Kesehatan Republik Indonesia: 2006.
3. Yulianti, Sri Rahayu, Sidarta Ilyas. Ilmu Penyakit Mata Edisi Kelima. Jakarta: Badan
Penerbit FKUI: 2015.
4. Snell, Richard S, Michael Lamp. Clinical Anatomy of The Eye, 2nd Edition. US,
Washington D.C., The George Washington School of Medicine and Health Sciences:
Wiley-Blackwell: 1997.
5. Netter, Frank H., et al. Atlas of Human Anatomy, 7th Edition. USA, Philadelphia: El
Sevier: 2014.
6. Al-Saffar, Ali A Taqi, Ari S Hussein, Niyaz M Jamal. Traumatic Hyphema Frequency
and Management Evaluation: A Retrospective Study. Iraq, Sulaimaniya: Medical
Department, University of Sulaimani: 2017.
7. Basak, Samar K. Atlas of Clinical Ophtalmology, 2nd Edition. Kolkata, West Bengal,
India: Jaypee Brothers Medical Publishers: 2013.
8. Papaconstantinou, Dimitris, Illias Georgalas, Nikos Kourtis, et al. Contemporary
Aspects In The Prognosis of Traumatic Hyphemas. Greece: Department of
Ophtalmology, University of Athens: 2009.
9. Giles, Conrad L, William G Bromley, et al. Traumatic Hyphema: A Retrospective
Analysis From The University of Michigan Teaching Hospitals. USA: Healio, Journal
of Pediatric Ophthalmology Publisher: 1972.
10. Chaddah MR, Gupta SP. Management of Traumatic Hyphema. India: Department of
Ophthalmology Medical College Amritsar: 1978.
11. Mick, Andrew, et al. Ocular Trauma: Blunt Trauma. USA: Cochrane Library, John
Wiley & Sons: 2016.

21

Anda mungkin juga menyukai