Anda di halaman 1dari 20

REFERAT

UNDESCENDED TESTIS

Dokter Pembimbing:
dr. Lambok Simorangkir, Sp. U

Disusun oleh:
Haseena Hersiwinukir 41181396100045

KEPANITERAAN KLINIK
STASE BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
RS BHAYANGKARA TK. I RADEN SAID SUKANTO
28 OKTOBER – 4 JANUARI 2019
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum warrahmatullahi wabarakatuh.
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat, berkah, dan hidayahNya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan penulisan referat yang berjudul UNDESCENDED TESTIS dengan
baik. Sholawat serta salam tidak lupa penulis sampaikan kepada Rasulullah SAW
karena telah menuntun umatnya menuju jalan yang terang benderang.
Dalam proses penyusunan referat, penulis melibatkan berbagai pihak yang
memberikan semangat, bimbingan, dukungan, bantuan, dan doa, sehingga penulis
dapat menyusun referat ini dengan baik. Oleh karena itu, penulis ingin
menyampaikan terima kasih kepada pihak yang telah terlibat, di antaranya:
1. dr. Lambok Simorangkir, Sp. U, selaku pembimbing yang telah
memberikan bimbingan dan ilmu yang sangat bermanfaat,
2. Para konsulen bedah dan staf SMF bedah yang tidak dapat disebut satu
persatu yang telah membimbing, memberikan banyak ilmu,
membantu, dan menemani penulis dalam proses pengerjaan referat ini,
3. Teman-teman mahasiswa lain yang belajar bersama dan bertukar ilmu
dengan penulis pada kepaniteraan ilmu bedah ini.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari kata sempurna,
sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran membangun kepada penulis untuk
menjadikan referat ini lebih baik. Semoga referat ini dapat bermanfaat bagi
kalangan akademisi, terutama mahasiswa kedokteran dan ilmu pengetahuan.

Jakarta, 15 November 2019

Haseena Hersiwinukir

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ 2


DAFTAR ISI ........................................................................................................... 3
BAB I ................................................................................................................. 5
1.1 Latar Belakang ........................................................................................ 5
BAB II ................................................................................................................ 6
2.1 Testis ....................................................................................................... 6
2.1.1 Anatomi Testis ................................................................................ 6
2.1.2 Penurunan Testis ............................................................................. 7
2.2 Undescended Testis (UDT) ..................................................................... 8
2.2.1 Definisi UDT................................................................................... 8
2.2.2 Epidemiologi UDT .......................................................................... 9
2.2.3 Etiologi UDT................................................................................. 10
2.2.4 Patofisiologi dan Patogenesis UDT .............................................. 10
2.2.5 Diagnosis UDT ............................................................................. 13
2.2.6 Klasifikasi UDT ............................................................................ 15
UDT dapat diklasifikasi berdasarkan lokasinya menjadi: ..................................... 15
2.2.7 Penatalaksanaan UDT ................................................................... 15
2.2.8 Prognosis ....................................................................................... 18
BAB III ............................................................................................................. 19
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 20

3
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Lapisan-lapisan pada dinding anterior abdomen, skrotum, dan korda
spermatikus .................................................................................................... 7
Gambar 2.2 Pembentukan kanal inguinal dan relokasi testis ............................. 8
Gambar 2.3 Intraabdominal testis dengan pembuluh darah kolateral yang sudah
berkembang post tahap pertama F-S (diambil pada saat tahap kedua) ........ 17
Gambar 2.4 Algoritma pembedahan yang direkomendasikan .......................... 18

4
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Undescended testis (UDT) atau cryptorchidism adalah kelainan genitalia
kongenital tersering pada anak laki-laki. Insidensnya 3% - 6% pada bayi laki-laki
yang lahir cukup bulan dan meningkat menjadi 30% pada bayi prematur. Dua
pertiga kasus mengalami UDT unilateral dan UDT bilateral. Setelah 100 tahun
penelitian mengenai UDT, masih terdapat beberapa aspek yang mnejadi
kontroversi. Faktor predisposisi terjadinya UDT adalah prematuritas, berat bayi
baru lahir yang rendah. Kecil untuk masa kehamilan, kembar dan pemberian
estrogen pada trimester pertama.

UDT dapat kembali turun spontan ke testis sekitar 70% - 77% pada usia 3
bulan. Penatalaksanaan yang terlambat pada UDT akan menimbulkan efek pada
testis di kemudian hari. UDT meningkatkan risiko infertilitas dan berhubungan
dengan risiko tumor sel germinal yang meningkat 3-10 kali. Atrofi testis terjadi
pada usia 5-7 tahun, akan tetapi perubahan morfologi dimulai pada usia 1-2 tahun.
Risiko kerusakan histologi testis juga berhubungan dengan letak abnormal testis.
Pada awal pubertas, lebih dari 90% testis kehilangan sel germinalnya pada kasus
intrabdomen, sedangkan pada kasus testis inguinal dan preskrotal, penurunan sel
germinal mencapai 41% dan 20%.

Undescended testis merupakan masalah yang sering dijumpai pada bidang


urologi, yaitu sekitar 0,8% kejadian pada anak laki-laki usia satu tahun. Hal ini
termasuk ke dalam masalah defek perkembangan dan menyebabkan testis yang
terkena menjadi berisiko terhadap munculnya kanker sel germinal. Identifikasi,
diagnosis, dan penatalaksanaan terhadap undescended testis berperan sangat
penting dalam menangani masalah ini dan mencegah komplikasi-komplikasi yang
dapat muncul jika tidak tertangani dengan baik.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Testis
2.1.1 Anatomi Testis
Testis adalah sepasang kelenjar gonad pada laki-laki berupa kelenjar
reproduktif yang memproduksi spermatozoa dan hormon testosteron. Testis
digantung di skrotum oleh korda spermatikus, dengan testis kiri tergantung lebih
inferior dibanding testis kanan.
Permukaan masing-masing testis dilapisi oleh lapisan viseral dari tunika
vaginalis, kecuai pada bagia testis melekat pada epididymis dan korda spermatikus.
Tunika vaginalis adalah kantung peritoneal tertutup yang meliputi testis. Lapisan
parietal dari tunika vaginalis yang bersebelahan dengan fasia spermatik interna,
lebih ekstensif dibandingkan dengan lapisan visera dan memanjang tidak jauh ke
superior ke bagian distal dari korda spermatikus. Adanya sedikit cairan di antara
lapisan visera dan lapisan parietal tunika vaginalis membuat testis dapat bergerak
bebas dalam skrotum.

6
Gambar 2.1 Lapisan-lapisan pada dinding anterior abdomen, skrotum, dan
korda spermatikus

2.1.2 Penurunan Testis


Testis berkembang di jaringan ikat ekstraperitoneal pada regio lumbar
superior dari dinding abdomen posterior. Male gubernaculum adalah traktus fibrosa
yang menghubungkan testis primordial dengan dinding abdomen anterolateral pada
posisi dimana deep ring kanal inguinal nantinya akan berada. Sebuah divertikel
peritoneal, prosesus vaginalis, berjalan menuju kanal inguinal yang sedang
berkembang dan membawa ikut lapisan otot dan fasia dari dinding abdomen
anterolateral sebelum memasuki primordial skrotum. Pada waktu usia gestasi 12
minggu, testis berada di pelvis, dan saat usia gestasi 28 minggu (7 bulan), testis
berada dekat dengan deep inguinal ring yang berkembang. Testis mulai melewati
kanal inguinal saat usia gestasi 28 minggu dan membutuhkan waktu sekitar 3 hari
untuk melewati kanal inguinal hingga bagian akhir. Kemudian, sekitar 4 minggu
setelahnya, testis memasuki skrotum. Setelah testis, duktus deferens, dan
neurovaskularnya berpindah, mereka terselubungi oleh ekstensi muskulofasial dari
dinding abdomen anterolateral, yang mana saat dewasa akan menjadi turunannya,
yaitu fasia spermatik internal dan eksternal serta otot cremaster. Tangkai dari
prosesus vaginalis normalnya berdegenerasi, tetapi bagian sakular distal
membentuk tunika vaginalis, yang merupakan lapisan serosa pembungkus testis
dan epididimis.

7
Gambar 2.2 Pembentukan kanal inguinal dan relokasi testis

2.2 Undescended Testis (UDT)


2.2.1 Definisi UDT
Undescended testis (UDT) atau cryptorchidism adalah retensi testis pada
abdomen atau tertahannya penurunan testis pada titik manapun di jalur normalnya,
paling sering pada kanal inguinal. UDT juga dapat berarti tidak adanya minimal
satu testis pada skrotum. UDT merupakan defek lahir berkaitan dengan genitalia
eksterna yang lazim ditemukan. UDT dengan sinonim cryptorchidism, berasal dari
bahasa latin orchis, yang berarti testis dan kryptos, yang berarti tersembunyi.

8
Istilah-istilah seperti undescended testis, retensio testis, cryptorchidism, dan
maldescended testis, mendeskripsikan testis yang lokasinya tidak berada pada
skrotum. UDT dapat berarti testis berada pada titik manapun di jalur normalnya
atau di luar jalur normalnya, disebut dengan posisi ektopik.
 Cryptorchid/undescended: testis menempati atau bisa dimanipulasi ke
skrotum,
 Ektopik: penurunan yang di luar jalur normal, biasanya setelah
melewati kanal inguinal (femoral, pubopenile, perineal, atau cross
scrotal),
 Retractile: testis dapat dimanipulasi sehingga berada di skrotum dan
menetap tanpa tegangan,
 Gliding: testis dapat dimanipulasi ke bagian atas skrotum tetapi
kembali turun lagi jika dilepas,
 Acquired: testis sebelumnya turun atau setelah tindakan orchipexy
atau tindakan inguinal lain, seperti hernia, kemudian secara spontan
naik.

2.2.2 Epidemiologi UDT


Sekitar 3% dari bayi lahir cukup bulan dan 30% dari bayi lahir kurang bulan
terlahir dengan satu atau kedua testis yang tidak turun. Sekitar 80% dari kasus UDT
akan turun pada tiga bulan pertama kehidupan, sehingga total insidens menjadi
sekitar 1%.

Pada sekitar 2-4 bulan kehidupan, gonadotropin dari hipofisis menstimulasi


peningkatan mendadak sekresi testosteron yang akan mencapai puncak pada seitar
3-6 bulan. Peningkatan mendadak ini disebut ‘mini-puberty’. Maka dari itu,
insidensi UDT pada 3-12 bulan pertama kehidupan lebih rendah. Menurut
literature, penurunan spontan dari testis setelah 6 bulan sangat jarang terjadi,
sehingga strategi ‘watchful waiting’ tidak direkomendasikan pada kasus UDT.

UDT unilateral empat kali lebih sering ditemukan dibandingkan dengan UDT
bilateral. Hasil dari 2150 tindakan orchiopexy melaporkan 23% insidensi bilateral,
46% unilateral kanan, dan 31% unilateral kiri.

9
2.2.3 Etiologi UDT
Etiologi dari UDT dapat dibagi menjadi beberapa grup, antara lain:
1. Anatomical
a. Anomali testis, epididymis, dan vas deferens
b. Perlekatan tidak tepat dari gubernaculum
c. Patent processus vaginalis dan inguinal herbia
d. Anomali kanal inguinal
2. Hormonal
a. Defisiensi GnRH (gonadotropin releasing hormone) dan/atau
produksi gonadotropin atau insensitivitas reseptor GnRH atau LH
b. Defisiensi produksi androgen atau insensitivitas reseptor androgen
c. Defisiensi produksi AMH atau insensitivitas reseptor AMH
d. Defisiensi produksi INSL3 atau insensitivitas reseptor INSL3
e. Defisiensi produksi CGRP (calcitonin gene-related peptide) atau
insensitivitas reseptor CGRP
3. Genetik, dapat mempengaruhi anatomi dan hormonal
a. Mutasi gen reseptor androgen (kromosom X)
b. Mutasi gen 5 alfa-reduktase (kromosom 2)
c. Mutase gen HOXA10 (kromosom 7)
d. Mutase heterozigot gen INSL3 dan LGR8 (kromosom 9)
e. Peningkatan insidensi alel polimorfik SF-1 (steroidogenis factor 1),
yang menurunkan aktivitas transkripsi. SF-1 mungkin
mempengaruhi ekspresi dari INSL3 dan LGR8
Walaupun terdapat etiologi-etiologi di atas, pada banyak kasus UDT
etiologinya tidak dapat ditentukan.

2.2.4 Patofisiologi dan Patogenesis UDT


Menurut penelitian Hutson pada dua model pengerat UDT menunjukkan
bahwa pada model pengerat tersebut terdapat defisiensi CGRP pada saraf
genitofemoral. CGRP memediasi androgen, dimana androgen berkaitan dengan
penurunan inguinoskrotal. Pada mencit dengan resistensi androgen komplit
(testicular feminization), yang mana gen reseptor androgennya (AR) telah

10
dihilangkan, terjadi blockade pada penurunan inguinoskrotal. Delesi dan mutase
dapat menyebabkan perubahan structural pada reseptor androgen, mengubah
fungsinya. Pada 50%-70% laki-laki pseudohemafroditisme, yang mana termasuk
hipospadia dan UDT, terjadi gangguan gen AR (sindrom insensitivitas androgen),
membuktikan adanya pengaruh androgen pada proses perkembangan.
Selain itu, beberapa penelitian telah menunjukkan peran dari Leydig insulin-
like hormone gene (INSL3) diduga sebagai hormone tropic dari bagian pertama
penurunan testis. INSL3 merupakan salah satu hormon yang diekspresikan oleh
testis yang sedang berkembang. Mencit dengan mutasi INSL3 terbukti dapat hidup
tetapi menunjukkan UDT bilateral.
Gen-gen homeobox (HOX) memiliki peran penting pada morfogenesis dari
struktur-struktur segmental pada aksis tubuh anteroposterior. Gen-gen ini bekerja
sebagai pengatur atau faktor transkripsi yang menentukan identitas aksial,
mengontrol pertumbuhan, dan diferensiasi sel-sel yang terkait posisi. Mencit yang
tidak memiliki gen HOX menunjukkan UDT bilateral dengan abnormalitas
perkembangan gubernaculum dan abnormalitas spermatogenesis dan infertilitas.
Faktor lain yang dapat menyebabkan UDT adalah gangguan pada endokrin
karena androgen telah banyak diketahui berkontribusi dalam patofisiologi
spermatogenesis dan penurunan testis. Diethylstilbestrol (DES) adalah bahan kimia
yang terkenal memiliki efek antiandrogen. Anak laki-laki yang terpapar DES pada
saat kehamilan memiliki angka abnormalitas genital termasuk UDT.
UDT sekunder dapat terjadi setelah pembedahan inguinal karena jaringan
parut atau sulitnya mendiagnosis UDT pada anak laki-laki dengan hernia.
UDT dapat menyebabkan infertiltas pada laki-laki dengan berbagai
mekanisme, antara lain:
 Peningkatan suhu. Suhu testis 2-7C di bawah suhu tubuh penting
untuk spermatogenesis. Ada lima fitur anatomi yang unik pada
skrotum yang penting untuk termregulasi:
1. Kulit skrotum yang tipis, seringnya tidak berambut,
beberapa kelenjar keringat
2. Tunika dartos
3. Pleksus pampiniformis

11
4. Otot kremaster
5. Tidak adanya jaringan adiposa
Penurunan suhu retroscrotal 1-2C secara eksperimental terbukti dapat
menghambar spermatogenesis. Varikokel dan UDT mungkin
menyebabkan gangguan infertilitas berkaitan dengan
spermatogenesis yang abnormal. UDT terjadi pada lingkungan
dengan peningkatan suhu dari abdomen atau kanal inguinal. Trauma
suhu ini dimediasi oleh reactive oxygen species dan heat-shock
proteins tertentu, yang merusak sel germinal dan juga sel sertoli.
Bahkan pada tindakan orchiopexy yang dilakukan sebelum usia 1
tahun tidak dapat mencegah perubahan morfologi testis postnatal.
 Gangguan spermatogenesis dan infertilitas. Spertmatogensis
merupakan proses dimana sel perma diproduksi. Proses ini terjadi
pada tubulus seminiferus. Gonosit fetal berubahn menjadi
spermatogonia dewasa di antara 3 dan 9 bulan pertama kehidupan,
distimulasi oleh peningkatan gonadotropin dan testosteron (mini-
puberty). Selanjutnya, setelah sebuah periode inaktivitas, spermatosit
primer berbentuk pada 5-6 tahun kehidupan, dan spermatid terbentuk
pada 10-11 tahun kehidupan. Tidak semua gonosit akan menjadi
spermatogonia. Beberapa gonosit yang tersisa akan mengalami
involusi dengan apoptosis, membersihkan testis dari sel germinal fetal
yang tidak terdiferensiasi dan pluripoten, sehingga pada 2 tahun
kehidupan tidak ada yang tersisa di testis.
UDT mengganggu transformasi gonosit menjadi spermatogonia dan
apoptosis sel. Gangguan ini menyebabkan defisiensi sel stem untuk
spermatogenesis post-pubertas dan infertilitas. Hal ini juga
menyebabkan tetap adanya sel germinal yang tidak terdiferensiasi
yang berpotensi menjadi keganasan setelah pubertas.
 Risiko tumor sel germinal testis (testicular germ cell
tumors/TGCT). Patogenesis dari perubahan malignan dari sel
germinal testis menjadi sel neoplastic intraepitel testis atau karsinoma
in situ testis belum diketahui secara pasti. Namun, beberapa studi

12
epidemiologi mengaitkan banyak faktor risiko dengan perkembangan
testis intrauterin dan perinatal, dan beberapa faktor risiko tersebut
juga berhubungan dengan UDT. Salah satu hipotesis adalah tingginya
temperatur yang abnormal yang merusak transformasi dari gonosit
menjadi spermatogonia dan menghambat apoptosis gonosit sisanya
pada UDT menyebabkan terbentuknya malignansi ini setelah
pubertas.
 Testicular dysgenesis syndrome. Ada hipotesis yang
mengelompokkan hipospadia, TGCT, penurunan konsentrasi sperma,
dan UDT sebagai testicular dysgenesis syndrome. Kondisi-kondisi ini
diduga memiliki penyebab yang sama pada perkembangan testis
prenatal, yang berefej oada diferensiasi sel leydig, sek sertoli dan sel
germinal. Pada testis yang mengalami UDT, terkadang berisi tubulus
yang terdistorsi, sel sertoli, atau mikrokalsifikasi yang
mengindikasikan adanya testicular dysgenesis.

2.2.5 Diagnosis UDT


1. Anamnesis
Penelusuran riwayat sebaiknya meliputi ada atau tidaknya prematuritas
(insidensi UDT pada anak laki-laki premature adalah 30%), penggunaan atau
paparan hormon eksogen (estrogen) saat kehamilan, lesi di sistem saraf pusat
(myelomeningokel), atau tindakan bedah inguinal sebelumnya.
Telusuri juga riwayat adanya UDT, anomali kongenital, kematian neonatus,
pubertas prekoks, dan infertilitas pada keluarga. Sebaiknya juga ditentukan apakah
testis pernah terlihat atau teraba pada skrotum saat kelahiran atau dalam jangka
waktu 1 tahun pertama kehidupan. Retraksi testis karena refleks otot kremaster
yang kuat biasanya terjadi pada 4-6 tahun pertama kehidupan dan mungkin menjadi
bias dalam diagnosis UDT.
2. Pemeriksaan fisik
Pasien diperiksa dalam keadaan litotomi. Dengan tangan yang hangat,
pemeriksa harus memeriksa ukuran, lokasi, dan tekstur dari testis yang normal di
kontralateral. Pemeriksaan UDT sebaiknya dimulai spina iliaka anterior superior

13
(SIAS), melewati bagian kunci paha dari lateral ke medial dengan tangan yang
nondominan. Saat testis teraba, pemeriksa menangkupnya dengan tangan dominan
dan menyapu testis dengan perlahan kea rah skrotum. Terkadang testis bisa
dikembalikan ke skrotum. Tahan posisi testis tetap di skrotum selama satu menit
sehingga bisa melelahkan otot kremaster, setelah itu lepas. Jika testis tetap berada
di skrotum, maka itu merupakan retractile testis. Jika testis dengan spontan naik
lagi, maka itu merupakan UDT.
Untuk pasien yang tidak kooperatif atau sulit diperiksa (anak yang gemuk),
posisi jongkok dapat membantu merelaksasi otot kremaster. Basahi jari-jari dari
tangan yang nondominan dengan gel lubrikan atau sabun. Hal ini dapat
meningkatkan sensitivitas jari dalam meraba testis yang licin.
Pada pemeriksaan dengan hasil testis yang tidak dapat teraba, 80% testis
berada pada kanal inguinal atau lokasi intraabdomen. Penemuan UDT yang terjadi
bilateral harus dicurigai ke arah gangguan endokrin.
3. Pemeriksaan penunjang
Pada anak laki-laki dengan UDT unilateral atau bilateral yang mana testisnya
dapat teraba, tidak ada pemeriksaan laboratorium yang diperlukan untuk
menegakkan diagnosis. Pada anak laki-laki dengan UDT bilateral yang tidak dapat
teraba dan pada anak laki-laki dengan hipospadia, pemeriksaan endokrinologi dan
kromosom mungkin dapat dilakukan tetapi tidak selalu diperlukan. Pada pasien usia
3 bulan atau kurang dengan UDT bilateral yang tidak dapat teraba, kadar luteinizing
hormone (LH), follicle-stimulating hormone (FSH), dan testosteron
dapatmembantu menentukan apakah testis benar ada pada pasien tersebut. Setelah
usia 3 bulan, pemeriksaan stimulasi human chorionic gonadotropin hormone (hCG)
dapat membantu menegakkan diagnosis absent testes.
USG, CT, dan MRI dapat mendeteksi testis pada regio inguinal, tetapi regio
ini mudah dipalpasi sehingga tidak begitu direkomendasikan. Menurut Hrebinko
dan Bellinger, modal pemeriksaan yang paling bisa dipercaya adalah pemeriksaan
fisik oleh urologis pediatrik (84%) dibandingkan dengan dokter umum (53%). Saat
ini pada pasien yang tidak teraba testis, peme- riksaan dilakukan dengan
berbagai cara yaitu pemeriksaan dalam anestesia, eksplorasi terbuka daerah
inguinal atau laparoskopi.

14
2.2.6 Klasifikasi UDT
UDT dapat diklasifikasi berdasarkan lokasinya menjadi:
 Skrotum atas
 Kantung inguinal superfisial
 Kanalis inguinal
 Abdomen
Untuk kepentingan klinis dan penatalaksanaan terapi, klasifikasi cukup
dibedakan menjadi teraba atau tidak.

2.2.7 Penatalaksanaan UDT


Alasan dilakukannya terapi adalah:
1. Meningkatknya risiko infertilitas
2. Meningkatnya risiko keganasan testis
3. Meningkatnya risiko torsio testis
4. Risiko trauma testis terhadap tulang pubis
5. Faktor psikologis terhadap kantong skrotum yang
kosong
Terdapat juga faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam penatalaksanaan
UDT adalah:
1. Identifikasi yang tepat anatomi, posisi, dan viabilitas testis
2. Identifikasi kemungkinan kelainan sindrom yang menyertai
3. Penempatan testis di dalam skrotum dengan baik untuk mencegah
kerusakan testis terhadap fungsi infertilitas atau endokrin
4. Fiksasi permanen testis pada posisi normal dalam skrotum yang
memudahkan pemeriksaan palpasi
5. Perlindungan kerusakan testis lebih lanjut akibat terapi

Terapi hormonal
Terapi hormonal primer lebih banyak digunakan di Eropa. Hormon yang
diberikan adalah hCG, GnRH atau LH-releasing hormone (LHRH). Terapi
hormonal meningkatkan produksi testosterone dengan menstimulasi berbagai

15
tingkat jalur hipotalamus-hipofisis-gonad. Terapi ini berdasarkan observasi bahwa
proses turunnya testis berhubungan dnegan androgen. Tingkat testosterone lebih
tinggi bila diberikan hCG dibandingkan GnRH. Semakin rendah letak testis,
semakin besar kemungkinan keberhasilan terapi hormonal.
International health foundation menyarankan dosis hCG sebanyak 250
IU/kali pada bayi, 500 IU pada anak usia 6 tahun dna 1000 IU pada anak lebih dari
6 tahun. Terapi diberikan 2 kali seminggu selama 5 minggu. Angka
keberhasilannya 6-55%. Secara keseluruhan, terapi hormone efektif pada beberapa
kelompok kasus, yaitu testis yang terletak di leher skrotum atau UDT bilateral. Efek
samping adalah peningkatan rugae skrotum, pigmentasi, rambut pubis, dan
pertumbuhan penis. Pemberian dosis lebih dari 15.000 IU dapat menginduksi fusi
lempeng epifisis dan mengurangi pertumbuhan somatik.
Terapi pembedahan
Salah satu terapi pembedahan yang dapat dilakukan pada UDT yang dapat
teraba adalah orchiopexy. Prinsip dasar orchiopexy adalah:
1. Mobilisasi yang cukup dari testis dan pembuluh darah
2. Ligase kantong hernia
3. Fiksasi yang kuat testis pada skrotum
Fiksasi dilakukan dengan membuat jaringan parut pada tunika vaginalis yang
dieversi ke jaringan sekitarnya. Single high scrotal incision dilakukan pada UDT
yang belokasi di distal dari eksternal inguinal ring.
Pada tahun 1950, orchiopexy direkomendasikan pada anak laki-laki usia 10-
15 tahun. Pada sekitar tahun 1970, direkomendasikan pada anak laki-laki 5-6 tahun.
10 tahun selanjutnya direkomendasikan pad aanak laki-laki usia 2 tahun. Pada saat
ini, orchiopexy direkomendasikan untuk anak laki-laki usia 6 dan 12-18 bulan.
Jika UDT tidak dapat teraba, laparoskopi merupakan pilihan pembedahan.
Sekitar setengah dari UDT intraabdomen berlokasi dekat dengan internal ring, dan
maneuver Fowler-Stephens (F-S) direkomendasikan sebagai prosedur yang sering
dilakukan.
F-S meliputi tindakan clipping dan transeksi dari pembuluh darah testis
dengan menjaga vaskularisasi kolateral dari arteri diferensial dan pembuluh darah

16
kremaster. Risikonya adalah tidak adekuatnya vaskularisasi oleh arteri diferensial
sehingga justru menyebabkan atrofi testis.
F-S dilakukan dalam 2 tahap. Tahap pertama yaitu ligase pembuluh darah
testis dan tahap ketiga yaitu melakukan orchiopexy 6-12 bulan kemudian. Ini
dilakukan untuk mennyediakan waktu untuk arteri kolateral untuk berkembang.

Gambar 2.3 Intraabdominal testis dengan pembuluh darah kolateral yang


sudah berkembang post tahap pertama F-S (diambil pada saat tahap kedua)

Komplikasi dari orchiopexy antara lain:


1. Posisi testis yang tidak baik karena diseksi retroperitoneal yang tidak
komplit (10% kasus)
2. Atrofi testis karena devaskularisasi saat membuka funiculus (5% kasus)
3. Trauma pada vas deferens (1-2% kasus)
4. Torsio pasca operasi
5. Atrofi testis
6. Retraksi testis (UDT yang didapat atau rekuren)
7. Epididimoorkhitis
8. Pembengkakan skrotum
Reoperasi untuk UDT yang rekuren dan testis atrofi sebaiknya tidak
dilakukan kurang dari 6 bulan setelah operasi pertama. Testis yang atrofi atau sisa

17
dari jaringannya sebaiknya diambil dan diperiksa secara patologi untuk mencegah
perkembangan TGCT.

Gambar 2.4 Algoritma pembedahan yang direkomendasikan

2.2.8 Prognosis
Pasien dengan UDT memiliki risiko terhadap 2 hal, yaitu peningkatan
insidensi kanker testis dan risiko yang meningkat dari subfertilitas. Insidensi
keganasan terjadi pada 1 dari 500 laki-laki di Amerika yang mengidap UDT. Laki-
laki yang memiliki UDT juga terbukti memiliki risiko 6 kali lebih besar untuk
infertil dan waktu yang lebih lama dalam menunggu kehamilan. Maka dari itu
tindakan operasi sebaiknya dilakukan sebelum pasien usia 2 tahun, bahkan
beberapa penelitian menyarankan pada usia 6 – 12 bulan. Penelitian melaporkan
spermatogonia akan menurun setelah usia 2 tahun.

18
BAB III
KESIMPULAN

Undescended testis (UDT) merupakan kelainan yang serinf dijumpai pada


anak laki-laki. Penyebab dari UDT belum diketahui secara pasti dan diduga
melibatkan banyak faktor dari mulai kehamilan, hormonal, dan gangguan pada
genetik. UDT dapat menyebabkan kelainan pada laki-laki, yaitu keganasan pada
testis dan terjadinya infertilitas. Penatalaksanaan UDT dapat dilakukan melalui 2
cara yaitu hormonal dan pembedahan. Hormon yang dapat diberikan kepada
pasien-pasien UDT adalah hormon hCG, GnRH, dan LHRH, tetapi bukan
merupakan tata laksana standar untuk UDT. Namun terapi hormonal diindikasikan
untuk UDT bilateral. Pembedahan yang dapat dilakukan adalah orchiopexy dan
laparoskopi. Pembedahan sebaiknya dilakukan sebelum batas usia yang ditentukan
karena dapat mencegah terjadinya komplikasi dari UDT sedini mungkin.

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Jack WM, Tom FL. Smith & tanagho’s general urology 18th ed. McGraw
Hill. 2013: 24-5
2. Keith LM, Arthur FD, Anne MR. Moore clinically oriented anatomy 7th ed.
Lippincott Williams & Wilkins. 2014: 203-9 

3. Sadler TW. Langman’s medical embryology 8th ed. Lippincott Williams &
Wilkins. 2000: 357-9
4. Braga LH, Lorenzo AJ. Cryptorchidism: A practical review for all
community healthcare providers. Can Urol Assoc J. 2017;11(1-2Suppl1):
S26–S32. doi:10.5489/cuaj.4343
5. Leslie SW, Sajjad H, Villanueva CA. Cryptorchidism: StatPearls
Publishing; 2019 tersedia di
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK470270/
6. Firdaoessaleh. Diagnosis dan penatalaksanaan undescended testis. Majalah
Kedokteran Indonesia. 2007;7(1): 33-6
7. Jerzy KN, Elzbieta O, Jolanta SH. Undescended testis – current trends and
guidelines: a review of the literature. Arch Med Sci 2016;3: 667-77
8. Alan JW. Campbell-walsh urology 11th ed. Elsevier 2016: 560-1

donesia: 2011-2014

20

Anda mungkin juga menyukai