Anda di halaman 1dari 35

Referat

TORSIO TESTIS

Oleh:
Dora Pitasari 18360061

Pembimbing :
dr. Abdi Gunawan, Sp. B

STASE BEDAH
RSUD DR. R. DJOELHAM BINJAI
CO-ASS FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
MALAHAYATI
TAHUN 2020/2021

0
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala

rahmat, hidayat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Referat yang

berjudul “Torsio Testis”.

Penulis menyadari bahwa keberhasilan penulisan ini tidak lepas dari bantuan

dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan

ucapan terima kasih kepada dr. ......................, sebagai dosen pembimbing klinik

selama stase Bedah serta seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu oleh

penulis.

Akhir kata, ”Tiada gading yang tak retak”. Oleh karena itu, penulis membuka

diri untuk berbagai saran dan kritik yang membangun guna memperbaiki laporan ini.

Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi semuanya.

September, 2020

Penulis

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................... 2
DAFTAR ISI ....................................................................................................... 3

BAB I PENDAHULUAN....................................................................................... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................... 5


2.1 Anatomi .................................................................................................. 5
2.2 Etiologi Torsio Testis ............................................................................... 8
2.3 Manifestasi Klinis Torsio Testis ............................................................... 10
2.4 Torsio Testis.............................................................................................. 12
2.5 Penegakkan diagnosis ............................................................................... 13
2.6 Diagnosis Banding .................................................................................... 10
2.7 Terapi ........................................................................................................ 23
2.8 Komplikasi ................................................................................................ 29
2.9 Prognosis ................................................................................................... 30

BAB III KESIMPULAN....................................................................................... 31

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................. 32

2
BAB I

PENDAHULUAN

Torsio testis adalah suatu keadaan dimana funikulus spermatikus yang terpeluntir

yang mengakibatkan oklusi dan strangulasi dari vaskularisasi vena atau arteri ke testis

dan epididimis. Torsio testis merupakan suatu keadaan yang termasuk gawat darurat

dan butuh segera dilakukan tindakan bedah. Kondisi ini, jika tidak segera ditangani

dengan cepat dalam 4 hingga 6 jam setelah onset nyeri maka dapat menyebabkan

infark dari testis yang selanjutnya akan diikuti oleh atrofi testis (Sjamsuhidajat,

2014).

Torsio testis juga merupakan kegawat daruratan urologi yang paling sering

terjadi pada laki-laki dewasa muda, dengan angka kejadian 1 diantara 400 orang

dibawah usia 25 tahun dan paling banyak diderita oleh anak pada masa pubertas (12-

20 tahun). Janin yang masih berada di dalam uterus atau bayi baru lahir tidak jarang

menderita torsio testis yang tidak terdiagnosis sehingga mengakibatkan kehilangan

testis baik unilateral ataupun bilateral. Torsio testis harus selalu dipertimbangkan

pada pasien-pasien dengan nyeri akut pada skrotum dan kondisi tersebut juga harus

dibedakan dari keluhan-keluhan nyeri pada testis lainnya agar tidak terjadi kesalahan

diagnosis yang dapat berujung pada kesalahan terapi (Cuckow, 2011).

3
Penyebab dari akut skrotum biasanya dapat ditegakkan berdasarkan riwayat

penyakit, pemeriksaan fisik yang menyeluruh serta pemeriksaan diagnostik yang

tepat. Sekitar 2/3 pasien yang dicurigai menderita torsio testis dengan dilakukan

anamnesis dan pemeriksaan fisik cukup untuk menegakkan diagnosis yang tepat.

Keterlambatan dan kegagalan dalam dignosis dan terapi akan menyebabkan proses

torsio yang berlangsung lama, sehingga pada akhirnya menyebabkan kematian testis

dan jaringan disekitarnya (Cuckow, 2011).

Penatalaksanaan torsio testis menjadi tindakan darurat yang harus segera

dilakukan karena angka keberhasilan serta kemungkinan testis tertolong akan

menurun seiring dengan bertambahnya lama waktu terjadinya torsio. Adapun

penyebab tersering hilangnya testis setelah mengalami torsio adalah keterlambatan

dalam mencari pengobatan (58%), kesalahan dalam diagnosis awal (29%), dan

keterlambatan terapi (13%) (Cuckow, 2011).

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Testis

Testis merupakan sepasang struktur berbentuk oval dg berat 10-14 gr

dengan panjang 4 cm ukuran dari anterior ke posterior 3 cm dan lebar 2,5cm dan

memiliki bagian2 yakni extremitas superior, extremitas inferior, facies lateralis,

facies medialis, margo anterior (convex), margo posterior (datar).

Testis berada didalam skrotum bersama epididimis yaitu kantung

ekstraabdomen tepat dibawah penis. Testis kiri terletak lebih rendah drpd yang

kanan. Dinding pada rongga yang memisahkan testis dengan epididimis disebut

tunika vaginalis. Tunika vaginalis dibentuk dari peritoneum intraabdomen yang

bermigrasi ke dalam skrotum primitive selama perkembangan genetalia interna

pria, setelah migrasi ke dalam skrotum, saluran tempat turunnya testis (prosesus

vaginalis) akan menutup.

Setelah pubertas, selain sebagai organ reproduksi (menghasilkan

spermatozoa) jg sebagai kelenjar endokrin yg menghasilkan hormon androgen

yang berguna untuk mempertahankan tanda2 kelamin sekunder.

5
Lapisan Pembungkus Testis (Orchis)

Testis terletak di dalam cavum scrota yg ditutupi oleh scrotum. Dimana lapisan

nya dari luar ke dalam yakni :

a. Cutis

b. Tunica dartos

c. Fascia Spermatica Externa (Aponeurosis MOAE)

d. M. Cremasterica

e. Fascia Cremasterica (Aponeurosis MOAI)

f. Fascia Spermatica Interna (Aponeurosis MTA)

g. Tunica Vaginalis Propia (Lamina Parietalis dan Lamina Visceralis)

h. Tunica Albuginea

Vaskularisasi Testis (Orchis)

6
  -- A. testicularis dextra ei sinistra cabang dr aorta abdominalis

- V. testicularis dextra yg akan bermuara ke V. Cava Inferior

- V. testicularis sinistra yg akan bermuara ke v. renalis sinistra lalu bermuara ke

Vena Cava Inferior

Innervasi Testis (Orchis)

Testis dipersarafi oleh serabut saraf dari plexus nervacus tertucularis. Plexus ini

dibentuk oleh nervus thoracalis VI-XII.

Testis terdiri dari 3 sel yaitu :

1. Sel Leydig yang berfungsi untuk menghasilkan hormon testoseron

untuk menumbuhkan ciri2 kelamin sejuder laki2. Sel ini juga sebagai

Endocrin

2. Sel Sertoli yang berfungsi untuk memberi makan sperma yang

dirangsang oleh FSH yang dihasilkan oleh Adenehypophysis. Sel ini

Sebagai sebagai Eksocrin

3. Sel Spermatozoid yang berfungsi untuk menghasilkan sperma yang

berada pada dinding Tubulus Seminiferus Contortus. Sel ini sebagai

Eksocrin

3 sel ini dibagi 2 bagian yaitu Sel Leydig Sebagai  Endocrin sedangkan

Sel Sertoli dan Sel Spermatozoid sebagai Eksocrin. Testis menghasilkan

7
hormon testosterone yg berfungsi utk memacu perkembangan system

reproduksi steroid pria dan ciri seksual sekunder pria

2.2 Etiologi Torsio Testis

Adanya kelainan sistem penyangga testis menyebabkan testis dapat

mengalami torsio jika bergerak secara berlebihan. Beberapa keadaan yang

menyebabkan pergerakan yang berlebihan itu, antara lain adalah perubahan suhu

yang mendadak (seperti pada saat berenang), ketakutan, latihan yang berlebihan,

batuk, celana yang terlalu ketat, defekasi, atau trauma yang mengenai skrotum

(Graham, 2010).

Faktor predisposisi lain terjadinya torsio meliputi peningkatan volume testis

(sering dihubungkan dengan pubertas), tumor testis, testis yang terletak

horisontal, riwayat kriptorkismus, dan pada keadaan dimana spermatic cord

intrascrotal yang panjang (Ringdahl & Teague, 2006).

Trauma dapat menjadi faktor penyebab pada sekitar 50% pasien, torsio

timbul ketika seseorang sedang tidur karena spasme otot kremaster. Kontraksi

otot ini karena testis kiri berputar berlawanan dengan arah jarum jam dan testis

kanan berputar searah dengan jarum jam. Aliran darah terhenti, dan terbentuk

edema. Kedua keadaan tersebut menyebabkan iskemia testis (Sjasuhidayat,

2014).

8
Torsio testis terjadi bila testis dapat bergerak dengan sangat bebas.

Pergerakan yang bebas tersebut ditemukan pada keadaan-keadaan sebagai

berikut :

1. Mesorchium yang panjang.

2. Kecenderungan testis untuk berada pada posisi horizontal.

3. Epididimis yang terletak pada salah satu kutub testis.

Selain gerak yang sangat bebas, pergerakan berlebihan pada testis juga dapat

menyebabkan terjadinya torsio testis. Beberapa keadaan yang dapat

menyebabkan pergerakan berlebihan itu antara lain ; perubahan suhu yang

mendadak (seperti saat berenang), ketakutan, latihan yang berlebihan, batuk,

celana yang terlalu ketat, defekasi atau trauma yang mengenai scrotum.

Pada masa janin dan neonatus, lapisan yang menempel pada muskulus dartos

masih belum banyak jaringan penyangganya sehingga testis, epididimis dan

tunika vaginalis mudah sekali bergerak dan memungkinkan untuk terpeluntir

pada sumbu funikulus spermatikus. Terpeluntirnya testis pada keadaan ini

disebut torsio testis ekstravaginal.

9
2.3 Epidemiologi

Torsio testis merupakan kondisi penyebab akut skrotum yang paling

sering.2 Insiden torsio testis adalah 1 dari 4000 laki-laki sebelum usia 25 tahun.

Torsio testis dapat terjadi pada usia berapapun, paling sering pada usia 12-16

tahun; sisi sebelah kiri lebih sering. Median usia pasien torsio testis adalah 15

tahun (Kusumajaya, 2018).

10
2.4 Klasifikasi

Torsio testis menurut penyebabnya dibagi menjadi ekstravaginal dan

intravaginal. Tipe ekstravaginal lebih sering ditemukan pada usia perinatal,

sedangkan tipe intravaginal yang mencapai 90% kasus torsio testis, paling sering

pada anak dan remaja. Torsio testis juga dibagi menurut durasinya sejak onset.

Pembagiannya diperjelas juga dengan gambaran patologis pada pemeriksaan

sonografi.

 Tipe 1 – Fase akut ; torsio testis ditandai dengan pembesaran ukuran

testis dan heterogen pada ekogenisitas, cairan subtunika dan aliran

Doppler tidak terdeteksi.

 Tipe 2 – Fase awal ; atrofi parenkim progresif ditandai dengan ukuran

testis normal dan simetris dengan testis yang sehat, hipoekogenik dan

hidrokel kecil.

 Tipe 3 – Fase terlambat ; atrofi parenkim progresif ditandai dengan

penurunan ukuran testis, peningkatan ekogenisitas testis dan tanpa

hidrokel.

2.5 Faktor Risiko

Musim dengan suhu lebih rendah dan lembap seperti musim semi dan

dingin diasosiasikan dengan tingginnya insidensi torsio. Kehamilan dengan

komplikasi seperti persalinan memanjang, pre eklamsia, diabetes

11
gestasional, kehamilan kembar, berat badan lahir besar, dan kelahiran per

vaginam menjadi faktor predisposisi torsio testis pada neonatus. Studi juga

menunjukkan adanya hubungan riwayat dalam keluarga. Kriptorkismus atau

tidak turunnya testis juga dikatakan meningkatkan 10 kali risiko torsio testis

2.6 Manifestasi Klinis Torsio Testis

Pasien-pasien dengan torsio testis dapat mengalami gejala sebagai

berikut :

1. Nyeri hebat yang mendadak pada salah satu testis, dengan atau tanpa faktor

predisposisi

2. Scrotum yang membengkak pada salah satu sisi

3. Mual atau muntah

4. Sakit kepala ringan

Pada awal proses, belum ditemukan pembengkakan pada scrotum. Testis

yang infark dapat menyebabkan perubahan pada scrotum. Scrotum akan sangat

nyeri kemerahan dan bengkak. Pasien sering mengalami kesulitan untuk

menemukan posisi yang nyaman. Selain nyeri pada sisi testis yang mengalami

torsio, dapat juga ditemukan nyeri alih di daerah inguinal atau abdominal. Jika

testis yang mengalami torsio merupakan undesendensus testis, maka gejala yang

yang timbul menyerupai hernia strangulata (Purnomo, 2010).

12
13
2.7 Patofisiologi Torsio Testis

ETIOLOGI

Immobilisasi Trauma Tumor Adescendens Perubahan keadaan


testis testis testis testicularis extreme

Spasme otot kremaster Testis berotasi bebas Bell-clapper

Aliran darah terhenti

Iskemia testis

Nekrosis

Nyeri menjalar Impuls dari Demam Terasa terbakar


ke abdomen saraf saat berkemih

Stimulasi mual-
muntah dari
otak
14
2.8 Penegakkan diagnosis

1. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik dapat membantu membedakan torsio testis

dengan penyebab akut scrotum lainnya. Inspeksi : Testis yang mengalami

torsio pada scrotum akan tampak bengkak dan hiperemis. Eritema dan edema

dapat meluas hingga scrotumsisi kontralateral. Palpasi : Testis yang

mengalami torsio juga akan terasa nyeri pada palpasi. Jika pasien datang pada

keadaan dini, dapat dilihat adanya testis yang terletak transversal atau

horisontal. Seluruh testis akan bengkak dan nyeri serta tampak lebih besar bila

dibandingkan dengan testis kontralateral, oleh karena adanya kongesti vena.

Testis juga tampak lebih tinggi di dalam scotum disebabkan karena

pemendekan dari spermatic cord. Hal tersebut merupakan pemeriksaan yang

spesifik dalam menegakkan dianosis. Biasanya nyeri juga tidak  berkurang

bila dilakukan elevasi testis (Prehn sign) (Ringdahl & Teague, 2016).

Pemeriksaan fisik yang paling sensitif pada torsio testis ialah hilangnya

refleks cremaster. Dalam satu literatur disebutkan bahwa pemeriksaan

inimemiliki sensitivitas 99% pada torsio testis(Ringdahl & Teague, 2016).

15
2. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang berguna untuk membedakan torsio testis

dengan keadaan akut scrotum yang lain adalah dengan menggunakan

stetoskop Doppler, ultrasonografi Doppler, dan sintigrafi testis, yang

kesemuanya bertujuan untuk menilai aliran darah ke testis. Stetoskop Doppler

dan ultrasonografi konvensional tidak terlalu bermanfaat dalam menilai aliran

darah ke testis. Penilaian aliran darah testis secara nuklir dapat membantu,

tetapi membutuhkan waktu yang lama sehingga kasus bisa terlambat

ditangani. Ultrasonografi Doppler berwarna merupakan pemeriksaan

noninvasif yang keakuratannya kurang lebih sebanding dengan pemeriksaan

nuclear scanning. Ultrasonografi Doppler berwarna dapat menilai aliran

darah, dan dapat membedakan aliran darah intratestikular dan aliran darah

16
dinding scrotum. Alat ini juga dapat digunakan untuk memeriksa kondisi

patologis lain pada scrotum (Purnomo, 2012).

Pemeriksaan sedimen urin tidak menunjukkan adanya leukosit dalam

urin, dan pemeriksaan darah tidak menunjukkan adanya inflamasi kecuali

pada torsio yang sudah lama dan mengalami keradangan steril (Purnomo,

2012).

Pada umumnya pemeriksaan penunjang hanya diperlukan bila diagnosis

torsio testismasih meragukan atau bila pasien tidak menunjukkan bukti klinis

yang nyata (Minevich, 2007; Ringdahl & Teague, 2016).

Adanya peningkatan acute-fase protein (dikenal sebagai CRP) dapat

membedakanproses inflamasi sebagai penyebab akut scrotum (Rupp, 2016).

1. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan urin dilakukan untuk menyingkirkan diagnosa infeksi

traktus urinarius pada pasien dengan nyeri akut pada skrotum. Pyuria

dengan atau tanpa bakteri mengindikasikan adanya suatu proses

infeksi dan mungkin mengarah kepada epididimitis. Selain itu perlu

juga dilakukan pemeriksaan darah dan sediment urin (Purnomo, 2012).

2. Pemeriksaan Radiologis

Color Doppler Ultrasonography

a) Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat aliran darah pada arteri

testikularis.

17
b) Merupakan Gold Standar untuk pemeriksaan torsio testis dengan

sensitivitas 82-90% dan spesifitas 100%.

c) Pemeriksaan ini menyediakan informasi mengenai jaringan di sekitar

testis yang echotexture\Ultrasonografi dapat menemukan abnormalitas

yang terjadi pada skrotum seperti hematom, torsio appendiks dan

hidrokel.

d) Pada torsio testis, akan timbul keadaan echotexture selama 24-48 jam

dan adanya perubahan yang semakin heterogen menandakan proses

nekrosis sudah mulai terjadi.

Nuclear Scintigraphy :

a) Pemeriksaan ini menggunakan technetium-99 tracer dan dilakukan untuk

melihat aliran darah testis.

b) Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengkonfirmasi hasil pemeriksaan aliran

darah yang meragukan dengan memakai ultrasonografi.

c) Memiliki sensitivitas dan spesifitas 90-100% dalam menentukan daerah

iskemia akibat infeksi.

d) Pada keadaan skrotum yang hiperemis akan timbul diagnosis negatif palsu

e) Adanya daerah yang mengandung sedikit proton pada salah satu skrotum

merupakan tanda patognomonik terjadinya torsio.

18
Pemeriksaan ultrasonogram “Doppler“ berwarna menunjukkan torsi akut
mempengaruhi testis kiri pada anak laki-laki berusia 14 tahun yang memiliki rasa
sakit akut selama empat jam.

ultrasonogram menunjukkan Doppler berwarna torsi terlambat mempengaruhi testis


yang tepat pada seorang anak laki-laki berusia 16 tahun yang memiliki rasa sakit
selama 24 jam.

19
Warna Doppler ultrasonogram menunjukkan peradangan (epididymitis) pada anak laki-laki berusia 16
tahun yang memiliki rasa sakit di testis kiri selama 24 jam

20
2.6 Dianosis Banding

Torsio testis harus selalu dibedakan dengan kondisi-kondisi lain

sebagai penyebab dari akut scrotum, antara lain (Minevich, 2017; Ringdahl &

Teague, 2016) :

a. Epididimitis akut

Penyakit ini secara umum sulit dibedakan dengan torsio testis. Nyeri

scrotum akut biasanya disertai dengan kenaikan suhu, keluarnya nanah

dari uretra, adanya riwayat coitus suspectus (dugaan melakukan

senggama dengan selain isterinya), atau pernah menjalani kateterisasi

uretra sebelumnya. Pada pemeriksaan, epididimitis dan torsio testis, dapat

dibedakan dengan Prehn’s sign, yaitu jika testis yang terkena dinaikkan,

pada epididmis akut terkadang nyeri akan berkurang (Prehn’s sign

positif), sedangkan pada torsio testis nyeri tetap ada (Prehn’s sign

negative). Pasien epididimitis akut biasanya berumur lebih dari 20 tahun

dan pada pemeriksaan sedimen urin didapatkan adanya leukosituria dan

bakteriuria

b. Hidrokel

Hidrokel adalah penumpukan cairan yang berlebihan di antara

lapisan parietalis dan viseralis tunika vaginalis. Dalam keadaan normal,

cairan yang berada di dalam rongga itu memang ada dan berada dalam

keseimbangan antara produksi dan reabsorbsi oleh sistem limfatik di

sekitarnya.

21
Hidrokel yang terjadi pada bayi baru lahir dapat disebabkan karena:

belum sempurnanya penutupan prosesus vaginalis sehingga terjadi aliran

cairan peritoneum ke prosesus vaginalis (hidrokel komunikans) atau

belum sempurnanya sistem limfatik di daerah skrotum dalam melakukan

reabsorbsi cairan hidrokel.

Pada orang dewasa, hidrokel dapat terjadi secara idiopatik (primer)

dan sekunder. Penyebab sekunder terjadi karena didapatkan kelainan pada

testis atau epididimis yang menyebabkan terganggunya sistem sekresi atau

reabsorbsi cairan di kantong hidrokel. Kelainan pada testis itu mungkin

suatu tumor, infeksi, atau trauma pada testis/epididimis.

Pasien mengeluh adanya benjolan di kantong skrotum yang tidak

nyeri. Pada pemeriksaan fisis didapatkan adanya benjolan di kantong

skrotum dengan konsistensi kistus dan pada pemeriksaan penerawangan

menunjukkan adanya transiluminasi. Pada hidrokel yang terinfeksi atau

kulit skrotum yang sangat tebal kadang-kadang sulit melakukan

pemeriksaan ini, sehingga harus dibantu dengan pemeriksaan

ultrasonografi.

22
c. Hernia incarserata

Pada anamnesis didapatkan riwayat benjolan yang dapat keluar

masuk ke dalam scrotum yang muncul bersamaan dengan keaadaan

peningkatan tekanan intraabdominal seperti batuk atau mengejan.

Benjolan dapat hilang bila berbaring. Ukuran benjolan dapat bervariasi

dari kecil sampai besar, Bila hernia sudah mengalami inkarserta maka

gejala yang timbul dapat berupa mual, nyeri kolik abdomen, konstipasi,

keerahan pada skrotum, dan bila di auskultasi dapat didengat bunyi bising

usus di daerah skrotum.

23
d. Tumor testis

Pembesaran testis yang tidak nyeri, biasanya terjadi pada usia 20-

50 tahun dan sering disertai dengan limfadenopati abdomen

24
e. Torsio appendix testis/epididymis

Apendiks testis adalah sisa embriologi di atas testis yang juga bisa

mengalami torsio. Hal ini dapat di deteksi sebagai titik hitam pada

transluminasi

2.7 Terapi

1. Non operatif

Pada beberapa kasus torsio testis, detorsi manual dari funikulus

spermatikus dapat mengembalikan aliran darah. Detorsi manual adalah

mengembalikan posisi testis ke asalnya, yaitu dengan memutar testis ke arah

berlawanan dengan arah torsio. Karena arah torsio biasanya ke medial maka

dianjurkan memutar testis ke arah lateral terlebih dahulu, kemudian jika tidak

terjadi perubahan dicoba detorsi ke arah medial. Hilangnya nyeri setelah

detorsi menandakan bahwa detorsi telah berhasil. Detorsi manual merupakan

cara terbaik untuk memperpanjang waktu menunggu tindakan pembedahan,

25
tetapi tidak dapat menghindarkan dari prosedur pembedahan. Jika detorsi

berhasil operasi harus tetap dilaksanakan. Dalam pelaksanaannya, detorsi

manual sulit dan jarang dilakukan. Di unit gawat darurat, pada anak dengan

scrotum yang bengkak dan nyeri, tindakan ini sulit dilakukan tanpa anestesi.

Selain itu, testis mungkin tidak sepenuhnya terdetorsi atau dapat kembali

menjadi torsio tak lama setelah pasien pulang dari RS. Sebagai tambahan,

mengetahui ke arah mana testis mengalami torsio adalah hampir tidak

mungkin, yang menyebabkan tindakan detorsi manual akan memperburuk

derajat torsio (Govindarajan, 2011).

2. Operatif

Torsio testis merupakan kasus emergensi, harus dilakukan segala upaya

untuk mempercepat proses pembedahan. Hasil pembedahan tergantung dari

lamanya iskemia, oleh karena itu, waktu sangat penting. Biasanya waktu

terbuang untuk pemeriksaan pencitraan, laboratorium, atau prosedur

diagnostik lain yang mengakibatkan testis tak dapat dipertahankan. Tindakan

operasi ini dimaksudkan untuk mengembalikan posisi testis pada arah yang

benar (reposisi) dan setelah itu dilakukan penilaian apakah testis yang

mengalami torsio masih viable (hidup) atau sudah mengalami nekrosis. Torsio

testis merupakan kasus emergensi, harus dilakukan segala upaya untuk

mempercepat proses pembedahan. Hasil pembedahan tergantung dari lamanya

iskemia, oleh karena itu, waktu sangat penting. Biasanya waktu terbuang

26
untuk pemeriksaan pencitraan, laboratorium, atau prosedur diagnostik lain

yang mengakibatkan testis tak dapat dipertahankan (Govindarajan, 2011).

Tujuan dilakukannya eksplorasi yaitu (Govindarajan, 2011):

a. Untuk memastikan diagnosis torsio testis

b. Melakukan detorsi testis yang torsio

c. Memeriksa apakah testis masih viable

d. Membuang (jika testis sudah nonviable) atau memfiksasi jika testis

masih viable

e. Memfiksasi testis kontralateral

Perbedaan pendapat mengenai tindakan eksplorasi antara lain

disebabkan oleh kecilnya kemungkinan testis masih viable jika torsio

sudah berlangsung lama (>24-48 jam). Sebagian ahli masih

mempertahankan pendapatnya untuk tetap melakukan eksplorasi

dengan alasan medikolegal, yaitu eksplorasi dibutuhkan untuk

membuktikan diagnosis, untuk menyelamatkan testis (jika masih

mungkin), dan untuk melakukan orkidopeksi pada testis

kontralateral. Saat pembedahan, dilakukan juga tindakan preventif

pada testis kontralateral. Hal ini dilakukan karena testis kontralaeral

memiliki kemungkinan torsio di lain waktu (Govindarajan, 2011).

Jika testis masih hidup, dilakuakn orkidopeksi (fiksasi testis) pada

tunika dartos kemudian disusul orkidopeksi pada testis kontralateral.

Orkidopeksi dilakukan dengan mempergunakan benang yang tidak

27
diserap pada 3 tempat untuk mencegah agar testis tidak terpluntir

kembali, sedangkan pada testis yang sudah mengalami nekrosis

dilakukan pengangkatan testis (orkidektomi) dan kemudian disusul

orkidopeksi pada testis kontralateral. Testis yang telah mengalami

nekrosis jika tetap dibiarkan berada dalam skrotum akan merangsang

terbentuknya antibodi antisperma sehingga mengurangi kemampuan

fertilitas dikemudian hari (Samsuhidayat, 2014).

Torsio testis merupakan kasus emergensi, harus dilakukan segala upaya

untuk mempercepat proses pembedahan. Hasil pembedahan tergantung dari

lamanya iskemia, oleh karena itu, waktu sangat penting. Biasanya waktu

terbuang untuk pemeriksaan pencitraan, laboratorium, atau prosedur

diagnostik lain yang mengakibatkan testis tak dapat dipertahankan

28
29
Jika testis masih viable, dilakukan orkidopeksi (fiksasi testis) pada tunika

dartos kemudian disusul pada testis kontralateral. Orkidopeksi dilakukan dengan

menggunakan benang yang tidak diserap pada tiga tempat untuk mencegah agar

testis tidak terpuntir kembali. Sedangkan pada testis yang sudah mengalami

nekrosis, dilakukan pengangkatan testis (orkidektomi) dan kemudian disusul

orkidopeksi kontralateral. Testis yang telah mengalami nekrosis jika tetap berada

di scrotum dapat merangsang terbentuknya antibodi antisperma sehingga

mengurangi kemampuan fertilitas di kemudian hari.

30
2.8 Komplikasi

Torsio testis dan spermatic cord akan berlanjut sebagai salah satu kegawat

daruratan dalam bidang urologi. Nekrosis tubular pada testis yang terlibat jelas

terlihat setelah 2 jam dari torsi. Keterlambatan lebih dari 6-8 jam antara onset

gejala yang timbul dan waktu pembedahan atau detorsi manual akan menurunkan

angka pertolongan terhadap testis hingga 55-85%. Putusnya suplai darah ke testis

dalam jangka waktu yang lama akan menyebabkan atrofi testis. Atrofi testikular

dapat terjadi dalam waktu 8 jam setelah onset iskemia. Insiden terjadinya atrofi

testis meningkat bila torsio telah terjadi 8 jam atau lebih. Komplikasi klinis dari

TT adalah kesuburan yang menurun dan hilangnya testikular apabila torsi

tersebut tidak diperbaiki dengan cukup cepat. Tingkat yang lebih ekstrim dari

torsi testis mempengaruhi tingkat iskemia testikular dan kemungkinan

penyelamatan (Greenberg, 2015).

Komplikasi torsi testis yang paling signifikan adalah infark gonad. Kejadian

ini bergantung pada durasi dan tingkat torsi. Analisis air mani abnormal dan

apoptosis testikular kontralateral juga merupakan sekuele yang diketahui

mengikuti ketegangan testis. Oleh karena itu, resiko subfertilitas harus

dibicarakan dengan pasien. Testis yang telah mengalami nekrosis jika tetap

dibiarkan berada di dalam skrotum akan merangsang terbentuknya antibodi

antisperma sehingga mengurangi kemampuan fertilitas dikemudian hari.

Komplikasi lain yang sering timbul dari torsio testis meliputi yaitu hilangnya

testis, infeksi, infertilitas sekunder, deformitas kosmetik (Graham, 2015).

31
2.9 Prognosis

Bila dilakukan penangan sebelum 6 jam hasilnya baik, 8 jam memungkinkan

pulih kembali, 12 jam meragukan, 24 jam dilakukan orkidektomi. Viabilitas

testis sangat berkurang bila dioperasi setelah 6 jam.

32
BAB III

KESIMPULAN

1. Torsio testis adalah terpeluntirnya funikulus spermatikus yang berakibat

terjadinya gangguan aliran darah pada testis.

2. Dari anamnesis biasanya pasien mengeluh nyeri hebat di daerah skrotum serta

mengalami pembengkakan pada testis. Sedangkan dari pemeriksaan fisis,

testis membengkak, letaknya lebih tinggi dan lebih horizontal daripada testis

sisi kontralateral serta dari pemeriksaan Ultrasonografi Doppler berwarna

merupakan pemeriksaan noninvasif yang keakuratannya kurang lebih

sebanding dengan pemeriksaan nuclear scanning.

3. Terapi pada torsio testis dengan detorsi manual, yaitu mengembalikan posisi

reposisi ke asalnya. Jika detosi manual berhasil harus dilakukan

operasi(orkidopeksi/fiksasi testis)pada tunika dartos.

4. Keberhasilan dalam penanganan torsio dengan mencegah testis mengalami

atrofi, dimana hal tesebut berhubungan secara langsung dengan durasi dan

derajat dari torsio testis. Keterlambatan intervensi pembedahan akan

memperburuk prognosis serta meningkatkan angka kejadian atrofi testis.

33
DAFTAR PUSTAKA

Cuckow, PM. 2011. Torsion of Testis. BJU International. The Hospital for Sick
Children ; Bristol, United Kingdom

Graham; Townell, Nick. 2010. Testicular Torsion. British Medical Journal (Overseas
& Retired Doctors Edition;7/31/2010, Vol. 341 Issue 7767, p249

Greenberg, Michael. 2015. Testicular Torsion page 329. Greenberg’s Text Atlas of
Emergency Medicine. Lippicott Williams – Willkins : Philadelphia

Kusumajaya. 2018. Diagnosis, etiologi dan penatalaksanaan torsio testis. CDK-269/


vol. 45 no. 10 th.

Leape.L.L . 2014. Testicular Torsion. In : Ashcraft.K.W (ed), Pediatric Urology,;


Philadelphia: W.B. Saunders Company.

Minevich.E. 2017. Testicular Torsion, Department of Surgery, Division of Pediatric


urology, akses di http://www.emedicine.com/ med/topic2780htm

Purnomo, Basuki P. Dasar-dasar Urologi. Jakarta : Sagung Seto. 2012. 8,145-148

Ringdahl, Erika MD ; Teague, Lynn MD. 2016. Testicular Torsion. American Family
Physician. University of Missouri–Columbia School of Medicine: Columbia,
Missouri 15;74(10):1739-1743.

Rupp.T.J. 2016. Testicular Torsion, Department of Emergency Medicine, Thomas


Jefferson University, akses di http://www.emedicine.com/med/topic2560.htm

Scott, Roy, Deane, R.Fletcher. Urology Ilustrated. London and New York : Churchill
Livingstone. 2015. 324-325.

Sjamsuhidajat R, Wim De Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi ke-2. Jakarta :


Penerbit Buku Kedokteran – EGC. 2014. 799.

34

Anda mungkin juga menyukai