Anda di halaman 1dari 12

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat,
hidayat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Makalah yang berjudul
“Billingualism”.

Penulis menyadari bahwa keberhasilan penulisan ini tidak lepas dari bantuan dari
berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima
kasih kepada ibu Naili Adilah Hamhij, M.Pd sebagai dosen pengampu.

Akhir kata, ”Tiada gading yang tak retak”. Oleh karena itu, penulis membuka diri
untuk berbagai saran dan kritik yang membangun guna memperbaiki laporan ini. Semoga
laporan ini dapat bermanfaat bagi semuanya.

Juni 2021

Penulis

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................... 1

DAFTAR ISI ....................................................................................................... 2

BAB I PENDAHULUAN....................................................................................... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................... 4

2.1 Definisi Bilingualisme ............................................................................. 4

2.2 Konsep-Konsep Bilingualisme ................................................................ 4

2.3Tipe-Tipe Bilingualisme............................................................................. 6

2.4Cara Mengukur Bilingualisme.................................................................... 6

BAB III KESIMPULAN....................................................................................... 8

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................. 9

2
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dari pengalaman hidup di Indonesia, kita tahu bahwa di banyak daerah dan kota,
terdapat orang-orang yang memakai bahasa yang berlainan. Bisa juga terdapat orang-
orang yang memakai lebih dari satu bahasa, umpmanya bahasa daerah dan bahasa
Indonesia. Misalnya saja bangsa Indonesia yang cenderung menguasai dua bahasa atau
lebih; bahasa Indonesia digunakan apabila mereka berkomunikasi antarsuku dan situasi
resmi, sedangkan jika berada di dalam lingkungan keluarga atau sukunya, mereka
berkomunikasi dengan bahasa daerahnya masing-masing seperti  bahasa Aceh, Melayu,
Sunda, Jawa, Madura, Bali,  Bugis dan sebagainya.

Dalam masyarakat yang terbuka, artinya yang para anggotanya dapat menerima
kedatangan anggota dari masyarakat lain, baik dari satu atau lebih dari satu masyarakat,
akan terjadilah apa yang disebut kontak bahasa, yakni adanya masyarakat yang bertemu,
dan hidup bersama-sama, sehingga berpengaruh terhadap masyarakat bahasa lain. Yang
bisa terjadi dari adanya kontak bahasa ini adalah terjadinya atau terdapatnya yang disebut
bilingualisme dan multingualisme. Orang yang hanya menguasai satu bahasa disebut
monolingual, unilingual atau monoglot yang menguasai dua bahasa disebut bilingual,
sedangkan yang menguasai lebih dari dua bahasa disebut multilingual, plurilingial atau
poligot.

Masyarakat yang bilingual atau multilingual akibat adanya kontak bahasa (dan
juga kontak budaya), terjadi peristiwa atau kasus yang disebut interferensi, integrasi,
alihkode dan campurkode. Keempat peristiwa gejalanya sama, yaitu adanya unsur bahasa
lain dalam bahasa yang digunakan. Interferensi adalah terbawa masuknya unsur bahasa
lain ke dalam bahasa yang sedang digunakan, sehingga tampak adanya penyimpangan
kaidah dari bahasa yang sedang digunakan itu. Interferensi biasanya dibedakan dari
integrasi. Dalam bahasa Indonesia yang sekarang dieja menjadi montir, riset, sopir dan
dongkrak adalah contoh yang sudah berintegrasi. Berpijak dari kerangka dasar di atas,
maka dalam makalah ini dibahas tentang bilingualisme.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Umum Bilingualisme (Kedwibahasaan)

Istilah bilingualisme (Inggris: bilingualism) dalam Bahasa Indonesia disebut


juga kedwibahasaan. Dan istilahnya secara harfiah sudah dapat dipahami apa yang
dimaksud dengan bilingualism itu, yaitu berkenaan dengan penggunaan dua Bahasa
atau dua kode Bahasa. Secara sosiolinguistik bilingualism diartikan sebagai
penggunaan dua Bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulanya dengan orang lain
secara bergantian. Untuk dapat menggunakan dua Bahasa tentunya seorang penutur
haruslah menguasai kedua Bahasa itu. Pertama Bahasa ibunya sendiri atau Bahasa
pertamanya (disingkat B 1), dan Bahasa lain yang menjadi Bahasa keduanya
(disingkat B 2). Orang yang dapat menggunakan kedua Bahasa itu disebut orang yang
bilingual (dalam Bahasa Indonesia dwibahasawan). Sedangkan kemampuan
mengunakan dua Bahasa disebut bilingualitas (kedwibahasawanan). Selain istilah
bilingualism dengan jabarannya ada juga istilah multilingualisme (keanekabahasaan)
yakni keadaan digunakannya lebih dari dua oleh seorang dalam pergaulannya dengan
orang lain secara bergantian.1

B. Tipe-tipe bilingualism menurut para ahli


Tipe-tipe bilingualisme menurut para ahli, terdiri atascompound billingualism
dancoordinate billingualism (ervein dan osgood, 1954, haugen, 1956, da
weinreich,19953).1
a) Compound bilingualism
adalah hasil belajar dalam dua bahasa dalam situasi yang sama oleh orang
yang sama. Sebagai contoh, seorang anak belajar dua bahasa, misalnya bahasa A dan
B dari Bapak dan Ibu secara berganti-ganti. Dalam situasi seperti ini kemungkinan
terjadi interferensi bahasa lebih besar.
b) Coordinate bilingualism
adalah hasil belajar dua bahasa yang berbeda dalam situasi yang berbeda,
misalnya di sekolah anak berbicara bahasa A dan di rumah bahasa B, atau dengan ibu
berbahasa A dengan teman berbicara bahasa B. Jadi, disini penggunaanbahasanya
konsisten tidak campur aduk. Meskipun demikia, perbedaan ini belum dapat
1
Samsunuwiyati Mar’at, Psikolinguistik: Suatu Pengantar, Refika Aditama, 2005, Bandung 89-91

4
diperlihatkan validitasnya dalam eksperimen-eksperimen, meskipun tidak kurang
banyaknya percobaan dan tes dilakukan mengenai pengukuran kedwibahasaan ini
(jacobovits, 1970).

C. Cara mengukur kedwibahasaan


Persoalan kedwibahasaan dapat diasumsikan belum dapat dikatakan banyak
yang meneliti terutama dalam mengukur kemampuan kedwibahasawanan. Menurut
Hamers dan Blanc (Suwandi, 2008: 21) pengukuran bilingualisme yang dalam hal ini
bilingualisme individual dengan pendekatan komparatif, tes kompetensi bilingual
(mengukur kompetensi bahasa), mengukur prilaku, mengukur bilingualitas koordinat
dan majemuk, kuesioner biografi kebahasaan, mengukur kekhususan bilingual,
mengukur korelasi kognitif bilingualitas, dan mengukur apektif bilingualitas.
Selain catatan yang dikemukakan oleh Hamers, Mackey (1956)
mengemukakan bahwa pengukuran kedwibahasan dapat dilakukan melalui beberapa
aspek, yaitu :2
a) Aspek Tingkat
Dapat dilakukan dengan mengamati kemampuan memakai unsur-unsur bahasa
seperti fonologi, morfologi, sintaksis, leksikon, serta ragam bahasa.
b) Aspek Fungsi
Dapat dilakukan melalui kemampuan pemakaian dua bahasa yang dimiliki
sesuai dengan kepentingan-kepentingan tertentu. Ada dua faktor yang harus
diperhatikan dalam pengukuran kedwibahasaan yaitu faktor internal dan faktor
eksternal. Faktor internal adalah faktor yang menyangkut pemakaian bahasa secara
internal. Sedangkan faktor eksternal adalah faktor dari luar bahasa. Hal ini antara lain
menyangkut masalah kontak bahasa yang berkaitan dengan lamanya waktu kontak
seringnya mengadakan kontak bahasa si penutur dapat ditentukan oleh lamanya waktu
kontak, seringnya kontak dan penekannya terhadap bidang-bidang tertentu. Misalnya,
bidang ekonomi, budaya, politik, dll.
c) Aspek Penggantian
Yaitu pengukuran terhadap seberapa jauh pemakai bahasa mampu berganti
dari satu bahasa kebahasa yang lain. Kemampuan berganti dari satu bahasa ke bahasa

yang lain ini tergantung pada tingkat kelancaran pemakaian masing-masing bahasa.
2
Muhammad afifuddin al Dimyati, muhadharah fi ilmu lughah al ijtimai, 2010, dar al ulum al lughah, surabaya,
hlm. 79

5
d) Aspek interferensi
Yaitu pengukuran terhadap kesalahan berbahasa yang disebabkan oleh
terbawanya kebiasaan ujaran berbahasa atau dialek bahasa pertama terhadap kegiatan
berbahasa. Robert Lado (1961) mengemukakan agar dalam pengukuran
kedwibahasaan seseorang dilakukan melalui kemampuan berbahasa dengan
menggunakan indikator tataran kebahasaan.

D. Model Pembelajaran Bilingual di Sekolah Dasar3


Anak merupakan pribadi yang unik dan menarik. Mereka memiliki sisi-sisi
perkembangan emosi, intelektual, dan linguistik yang sangat luar biasa.
Perkembangan tersebut terus tumbuh dengan pesatnya ketika usia balita, karena pada
masa-masa ini sebenarnya otak anak sudah tumbuh 80% dari otak orang dewasa. Oleh
karena itu mereka butuh perlakuan khusus karena sisi emosional dan psikologis
mereka tidaklah sama dengan orang dewasa. Perbedaan sisi emosional dan juga
psikologis inilah yang juga membedakannya dalam proses pembelajaran. Sehingga
tidaklah bijak bagi orang tua dan guru memperlakukan anak-anak sama dengan
memperlakukan orang dewasa ketika proses belajar, sebab anak-anak memiliki
karakteristik yang berbeda.

Demikian juga dalam pembelajaran bahasa (khususnya bahasa kedua), anak-


anak perlu mendapatkan perlakuan khusus. Artinya dari sisi kurikulum, materi ajar,
dan juga metode yang digunakan harus berorientasi pada kondisi emosional dan
psikologis anak. Orang tua dan juga guru di sekolah seyogianya memperhatikan
metode-metode pembelajaran bahasa pada anak secara menyeluruh dengan
memerhatikan berbagai aspek tersebut, Sehingga anak-anak merasa nyaman dan
senang dalam belajar bahasa. “Senang” dan “nyaman” merupakan kata kunci dalam
proses pembelajaran bahasa untuk anak. Jadi dalam proses pembelajaran tersebut
anak haruslah merasa senang dengan materi ajar yang disampaikan oleh guru maupun
orang tua, dan kunci kesenangan tersebut terletak pada metode ajar yang digunakan

3
Harts, Imron Wakhid. 2010. Model Pengajaran Bilingual pada Anak Usia Dini. Bangkalan :

Universitas Trunojoyo

6
oleh guru dan orang tua. Sebab dengan kondisi belajar yang menyenangkan, secara
otomatis anak-anak akan merasa nyaman dalam proses pembelajaran bahasa.

Dengan demikian, guru maupun orang tua perlu untuk memberikan situasi dan
kondisi yang menyenangkan dan senyaman mungkin ketika proses pembelajaran.
Kondisi dan situasi yang menyenangkan bisa diciptakan melalui penataan ruang dan
juga alat-alat peraga, serta metode yang digunakan. Oleh karena itu persiapan
sebelum mengajar bagi guru sangat penting, karena hal ini akan
memberikan guidline atau rel dalam proses pembelajaran bahasa kedua.
Saat ini pembelajaran bahasa kedua, terutama bahasa Inggris sudah tumbuh
dan berkembang seiring dengan era global dan perdagangan bebas. Jika tahun 1990-
an, bahasa Inggris masih merupakan sesuatu yang eksklusif, maka saat ini bahasa
Inggris menjadi sebuah keniscayaan dan kebutuhan. Dewasa ini bahasa Inggris sudah
mulai diajarkan sejak Taman Kanak-kanak, bahkan ada yang sudah berusaha
mengenalkannya semenjak usia dini yaitu pada Kelompok Bermain atau play group.
Meskipun demikian, ternyata dalam proses pembelajarannya masih banyak
kekurangan dan kendala yang dihadapi oleh guru-guru di lapangan ketika mereka
berusaha mengenalkannya.

Anak-anak usia dini, khususnya yang berusia sampai umur sembilan atau
sepuluh tahun, memiliki karakter yang khusus, yang berbeda dengan anak-anak usia
di atasnya. Oleh sebab itu guru-guru perlu mempertimbangkan hal-hal berikut ini:3

a. Mereka cenderung belajar secara tidak langsung. Mereka lebih menyukai belajar dari
lingkungan sekitar, daripada harus fokus pada topik yang diajarkan di kelas, oleh
karena itu lingkungan belajar harus mendukung proses pembelajaran bahasa Inggris.
b. Mereka memahami sebuah materi bukan semata-mata dari penjelasan yang diberikan
oleh gurunya, tetapi dari apa yang mereka lihat dan mereka dengar. Karena itu alat
peraga sangat diperlukan untuk mendorong proses pemahaman mereka.
c. Umumnya mereka memiliki semangat yang luar biasa dalam mengenal hal-hal yang
baru dan juga memiliki rasa keingintahuan yang besar. Guru yang baik harus mampu
melayani rasa antusias dan keingintahuan murid-murid dengan baik, melalui
seperangkat kegiatan.
d. Mereka membutuhkan perhatian secara individu dan juga pendekatan secara personal.
Oleh sebab itu, guru harus mengenal karakter murid-muridnya dengan baik.

7
e. Mereka biasanya menyukai topik yang berkaitan dengan dunia mereka. Guru harus
meresponnya dengan memberikan topik yang sesuai dengan alam kehidupan mereka,
misalnya cerita bergambar.
f. Mereka gampang bosan, rata-rata konsentrasinya hanya sekitar 10 menit. Sehingga
guru harus mengubah teknik pengajaran setiap 10 menit.
g. Mereka mampu memahami makna kata, meskipun mereka tidak mengerti
terjemahannya.
h. Oleh sebab itu kegiatan-kegitan yang sesuai untuk mereka, antara lain adalah
menemukan sesuatu (finding something), kegiatan yang imajinatif, puzzle, membuat
sesuatu, menggambar, mewarnai, games yang melibatkan gerakan fisik, dan juga
lagu-lagu berbahasa Inggris.
i. Bahasa Inggris sebagai media pembelajaran juga digunakan sebagai media
komunikasi secara aktif bisa terlaksana, karena beberapa faktor berikut: (1) situasi
yang terbentuk di kelas grammar merupakan situasi kelas yang menyenangkan,
karena pengajar menciptakan situasi yang menyenangkan mungkin melalui lagu-lagu,
dengan mengajak para pembelajar bernyanyi bersama (2) pengajar yang berkualitas,
factor ini merupakan elemen yang penting karena pengajar yang kreatif dan
berkualitas akan mampu menciptakan kegiatan yang menyenangkan dan komunikasi
yang efektif dalam bahasa kedua, dalam hal ini bahasa Inggris. 

E. Pengaruh Pembelajaran di Kelas terhadap penggunaan Bahasa Inggris


sebagai Bahasa Kedua 4
Proses pembelajaran di kelas secara formal dengan sistem bilingual akan
memberikan beberapa dampak positif utamanya dalam penggunaan bahasa Inggris di
luar kelas. Pengaruh-pengaruh tersebut berkaitan dengan variasi penggunaan bahasa
yang digunakan oleh pembelajar di luar kelas, gaya bahasa yang digunakan oleh
pembelajar dalam menulis kartu ucapan ataupun sms, dan juga pengaruhnya terhadap
permainan, yaitu permainan bahasa. Penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa kedua
di luar kelas tersebut sangat erat kaitannya dengan system bilingual yang diterapkan
dalam proses pembelajaran di dalam kelas. Karena dengan pembiasaan di dalam
kelas, maka hal tersebut akan memberikan pengaruh yang besar di luar kelas.

4
Alwasilah, A. Chaedar. 1993. Pengantar Sosiologi Bahasa. Bandung: Angkasa

8
1.  Variasi Penggunaan Bahasa
Variasi penggunaan bahasa ini tentunya, adalah adanya penggunaan
bahasa Indonesia yang dicampur dengan bahasa Inggris, atau penggunaan bahasa
Inggris yang terkadang beralih kode ke dalam bahasa Indonesia. Contoh dialog
berikut adalah penggunaan bahasa Inggris yang diselingi dengan aksen bahasa
Indonesia dan juga diselipkan kosa kata khas bahasa Indonesia saat seorang
pembelajar memberikan ucapan ulang tahun kepada temannya pada waktu jam
istirahat di kelas.

Pembelajar 1 : Sis, happy birthday, ya?

Pembelajar 2 : Thank you, ya

Dalam dialog di atas terlihat jelas pengaruh bahasa Indonesia sebagai


bahasa pertama. Sebab kedua pembelajar menyelipkan kata “ya”. Kata ini bukan
kata dalam bahasa Inggris, tetapi merupakan pengaruh yang sangat kuat dari
bahasa Indonesia. Biasanya kata “ya” di belakang kalimat seperti penggunaan
dalam dialog di atas bertujuan untuk menghaluskan , bersikap sopan, atau pun
mengungkapkan rasa simpati kepada lawan bicaranya. Selain pengaruh dalam
kosa kata, variasi antara bahasa Inggris dan bahasa Indonesia pada pembelajar
juga terjadi pada pola-pola struktur kalimatnya. Dialog di bawah ini
memperlihatkan kuatnya pengaruh struktur bahasa Indonesia pada kalimat yang
berbahasa Inggris.

Pembelajar 1: Ki, you perfect, how many?

Pembelajar 2: four

Pembelajar 1: I am three

Dialog di atas menunjukkan pengaruh struktur kalimat bahasa Indonesia,


sebab dalam pola kalimat bahasa Inggris yang benar, kata tanya ada di depan
kemudian disusun dengan kata kerja dan objek. Kalimat tanya pada dialog di atas
tidak menggunakan pola kata tanya dan kata kerja secara benar. Namun demikian
hal tersebut bisa dimaklumi karena merupakan proses pembelajaran bilingual
untuk anak. Sebab dengan modal keberanian menggunakan bahasa Inggris sebagai

9
bahasa kedua, maka akan mempercepat proses penguasaan bahasa Inggris itu
sendiri.

2. Gaya bahasa pembelajar


Gaya bahasa (language style) bisa dibagi menjadi tiga yaitu variasi
Fonetik. Variasi ini berkaitan dengan cara-cara yang berbeda dan berlainan saat
mengucapkan kosa kata bahasa Inggris. Kedua adalah variasi leksis, yaitu variasi
penggunaan kosa kata, misalnya, bahasa American-Slang. Sedangkan variasi yang
ketiga adalah variasi sintaksis. Variasi ini berkaitan dengan variasi dalam struktur
dan grammatika. Di SD Anak Saleh Sidoarjo, gaya bahasa yang ada adalah gaya
bahasa yang berkaitan dengan variasi leksis, yaitu yang berkaitan dengan kosa
kata.

Penggunaan gaya bahasa pembelajar ini terjadi ketika mereka diminta


untuk membuat kartu ucapan Hari Raya Idhul Fitri, atau pun ketika mereka
mengirim SMS kepada teman mereka. Daftar kata-kata di bawah ini merupakan
contoh gaya bahasa yang sering kali digunakan oleh para pembelajar untuk
berkomunikasi melalui SMS dan juga membuat kartu ucapan kepada temannya
dalam rangka Idhul Fitri ataupun ucapan ulang tahun.

BAB III
KESIMPULAN

10
Tujuan pembelajaran bilingual adalah utamanya memberikan bekal ketrampilan
berbahasa kepada siswa yang yang mencakup ketrampilan menyimak, berbicara, membaca
dan menulis dalam bahasa selain bahasa ibu, di samping membelajarkan isi melalui
ketrampilan berbahasa tersebut.
            Pembelajaran bilingual, seperti tercemin pada istilahnya adalah semacam
pembelajaran dimana dua bahasa digunakan secara kombinasi. Dalam pembelajaran bilingual
umumnya digunakan kombinasi bahasa ibu dan bahasa lain selain bahasa ibu.

DAFTAR PUSTAKA

11
Abdul Chaer, Sosiolinguistik: Perkenalan Awal, Rineka Cipta (Bandung: 2010), h. 85.

Leonard Bloomfield, Language, Henry Holt and Company Inc. (New York: 1933), h. 56.

Samsunuwiyati Mar’at, Psikolinguistik: Suatu Pengantar, Refika Aditama, 2005, Bandung


89-91

Muhammad afifuddin al Dimyati, muhadharah fi ilmu lughah al ijtimai, 2010, dar al ulum al
lughah, surabaya, hlm. 79

Alwasilah, A. Chaedar. 1993. Pengantar Sosiologi Bahasa. Bandung: Angkasa

Ohoiwutun, Paul. 2004. Sosialinguistik Memahami Bahasa Dalam Konteks Masyarakat dan

kebudayaan. Jakarta: Kesaint Blanc.

12

Anda mungkin juga menyukai