A. Pendahuluan
Bahasa adalah suatu sistem lambang bunyi yang arbiter yang dipergunakan oleh
masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri.
(Kridalaksana di dalam Aslinda, 2010: 1)
Bahasa dapat menggantikan peristiwa/ kegiatan yang seharusnya dilakukan oleh
individu/ kelompok. Dengan bahasa seorang individu atau kelompok dapat berinteraksi
dengan kelompok atau individu lainnya. Bahasa juga sering dianggap sebagi produk
sosial atau produk budaya, bahkan merupakan kegiatan tak terpisahkan dari kebudayaan
itu. Sebagai produk sosial atau budaya tentunya bahasa merupakan wadah aspirasi
social, kegiatan dan perilaku masyarakat.
Hampir setiap negara di dunia ini menghadapi fenomena kedwibahasaan dan diglosia
sebagai suatu bentuk kenyataan dalam kehidupan sehari-hari. Definisi kedwibahasaan
menurut Mackey (dalam Achmad, 2013) ialah pemakaian dua bahasa atau lebih oleh
seorang penutur sesuai dengan tingkatan kemampuan yang dimilikinya, sedangkan
definisi diglosia menurut Ferguson (dalam Chaer, 2014) adalah suatu situasi kebahasaan
yang relatif stabil, dimana selain terdapat sejumlah dialek atau ragam utama dari satu
bahasa terdapat juga sebuah ragam lain.
Penduduk disuatu negara pada umumnya terdiri atas berbagai golongan, suku bangsa
dengan bahasanya masing-masing. Akan tetapi beberapa penduduk dituntut untuk dapat
menguasai dan menggunakan bahasa lain selain bahasa yang digunakannya setiap hari.
Hal tersebut membuat pengguna bahasa “terpaksa” harus mempelajari suatu bahasa
sebagai tuntutan masyarakat yang tinggal di lingkungan baru, sehingga pengguna
bahasa tersebut tidak hanya menguasai satu bahasa saja.
Oleh karena itu, bila berbicara tentang kelompok masyarakat atau kelas social yang
terdapat didalamnya, tentunya tidak terlepas dari peran kedwibahasaan yang mampu
menyesuaikan kapan dan dimana seseorang akan berbicara layaknya sebagai
masyarakat yang terdidik atau kaum intelek, dan kapan masyarakat atau individu akan
bertindak atau berbicara layaknya masyarakat tutur pada umumnya.
Masyarakat yang tutur bahasa yang tertutup atau sengaja tidak ingin berhubungan
dengan masyarakat lain dan tetap menjadi masyarakat yang monolingual. Sebaliknya,
masyarakat yang tutur katanya terbuka yang mempunyai hubungan dengan masyarakat
lain yang mungkin terjadi sebagai akibat adanya kontak bahasa itu adalah apa yang ada
di dalam sosiolinguistik disebut Kedwibahasaan.
Fenomena kedwibahasaan dan diglosia tidak dapat diabaikan dalam setiap usaha
memahami perilaku berbahasa suatu masyarakat yang menguasai banyak bahasa,
terbuka komunikasinya dengan masyarakat lain, mempunyai sejarah perkembangan
masyarakat dan bangsanya sebagai suatu bangsa yang terdiri dari berbagai suku bangsa
dan mempunyai satu bahasa sebagai bahasa nasional. Kedwibahasaan dan diglosia ini
telah menjadi sendi pergaulan dalam masyarakat.
B. Kedwibahasaan
Pada umumnya sosiolinguistik mengkaji masyarakat dwibahasa atau multibahasa.
Kedwibahasaan selalu berkembang dan cenderung meluas. Kedwibahasaan dipakai
untuk konsepsi yang berkaitan tetapi berbeda, yakni kemampuan menggunakan dua
bahasa dan kebiasaan memakai dua bahasa dalam kehidupan sehari-hari. Sebagaimana
yang dikatakan oleh Nababan (dalam Warsiman, 2014:85), bahwa orang yang terbiasa
menggunakan dua bahasa dalam berinteraksi dengan orang lain disebut bilingualisme,
sedangkan kemampuan menggunakan dua bahasa disebut bilingualitas.
Seseorang akan dikatakan bilingual, apabila penguasaan akan bahasa pertama (B1)
dan bahasa kedua (B2) derajatnya sama baiknya atau dengan kata lain tidak setengah-
setengah yang nantinya justru akan menurunkan nilai rasa bahasa Indonesia
dibandingkan bahasa asing. Contoh penyimpangan dari pernyataan tersebut telah terjadi
di sebagian masyarakat saat ini. Masyarakat merasa lebih hebat dan lebih bergengsi, jika
dapat menyelipkan beberapa kata asing dalam bahasa Indonesia, padahal kosakata asing
yang digunakan tersebut telah ada pada kosakata bahasa Indonesia. Misalnya, beberapa
masyarakat lebih suka menggunakan atau menambahkan beberapa kata seperti, di-
pending, meeting, loundry, download, on the way, dan kata lain pada saat berinteraksi
dengan orang lain.
Pengertian kedwibahasawan selalu berkembang mulai dari pengertian yang ketat
sampai kepada pengertian yang longgar. Blommfield dalam bukunya Languange (1933)
memberikan batasan kedwibahasawan sebagai gejala penguasaan bahasa seperti penutur
jati (native speaker). Batasan ini mengimplikasikan pengertian bahwa seorang
dwibahasawan adalah orang yang menguasai dua bahasaa dengan sama baiknya.
Mackey (dalam Fishman ed 1968: 555) berpendapat bahwa kedwibahasawan
bukanlah gejala penuturan, bukan ciri kode melainkan ciri pengungkapan; bukan
bersifat social melainkan individual; dan juga merupakan kararteristik pemakaian
bahasa.
Kedwibahasawan dirumuskan sebagai praktik pemakaian dua bahasa secara
bergantian oleh seorang penutur. Kondisi dan situasi yang dihadapi dwibahasawan turut
menentukan pergantian bahasa-bahasa yang dipakai. Pandangan Mackey didukung oleh
Weinreich (1970) yang mengatakan bahwa kedwibahasaan adalah the practice of
alternately using two languages (kebiasaan menggunakan dua bahasa atau lebih secara
bergantian).
Seorang penutur bilingual menggunakan bahasa tertentu, bahasa pertama (B1) dan
bahasa kedua (B2), atau satu ragam bahasa tertentu digunakan pada saat menyangkut
masalah fungsi bahasa atau fungsi ragam bahasa tertentu di dalam masyarakat tutur
yang berhubungan dengan adanya ranah-ranah penggunaan bahasa atau ragam bahasa
tersebut. Bahasa pertama (B1) dan bahasa kedua (B2) juga digunakan bergantung pada
lawan bicara, topik pembicaraan, dan situasi sosial pembicaraan.
Kedwibahasaan bukan merupakan gejala bahasa, melainkan sifat penggunaan bahasa
yang dilakukan penutur bilingual secara berganti-ganti. Setiap bahasa di dalam
masyarakat bilingual itu tidak dapat secara bebas digunakan, melainkan harus
diperhatikan fungsinya masing-masing. Jika suatu bangsa, salah satu simbol jati diri
adalah bahasa dan sastra Indonesia. Anggota suatu komunitas etnis di Indonesia juga
memiliki simbol jati diri yakni bahasa dan sastra daerah.
Kedwibahasaan sebagai wujud dalam peristiwa kontak bahasa merupakan istilah
yang pengertiannya bersifat nibsi atau relatif (Suwito, 1982:40). Hal ini disebabkan
pengertian kedwibahasaan berubah-ubah dari masa ke masa. Perubahan tersebut
dikarenakan sudut pandang atau dasar pengertian bahasa itu sendiri berbeda-beda,
seperti halnya yang dikemukakan oleh beberapa ahli mengenai pengertian
kedwibahasaan sebagai berikut.
Menurut Weinreich (dalam Syafyahya dkk, 2014:23), “Kedwibahasaan adalah
kebiasaan menggunakan dua bahasa atau lebih secara bergantian”. Blommfield (dalam
Syafyahya dkk, 2014:23), berpendapat bahwa kemampuan seorang penutur untuk
menggunakan dua bahasa dengan sama baiknya merupakan kedwibahasaan.
C. Diglosia
Diglosia adalah suatu situasi bahasa di mana terdapat pembagian fungsional atas
variasi-variasi bahasa atau bahasa-bahasa yang ada di masyarakat. Maksud dari
penjelasan ialah bahwa terdapat perbedaan antara ragam formal atau resmi dan non-
formal atau tidak resmi. Contohnya di Indonesia terdapat perbedaan antara bahasa tulis
dan bahasa lisan.
Diglosia diperkenalkan pertama kali oleh Ferguson (dalam Chaer, 2014) untuk
melukiskan situasi kebahasaan yang terdapat di Yunani, negara Arab, Swiss, dan Haiti.
Di negara-negara tersebut terdapat dua ragam bahasa yang berbeda, masing-masing
adalah Katharevusa dan Dhimtika di Yunani, Al-fusha dan Ad-dirij di Arab,
Scriftsprache dan Schweizerdeutsch di Swiss, serta Francais dan Creole di Haiti.
Pertama adalah ragam bahasa tinggi (T) yang dipakai dalam situasi resmi, sedangkan
yang kedua adalah ragam bahasa rendah (R) yang dipakai dalam situasi sehari-hari atau
tidak resmi. Ragam bahasa yang dipakai di dalam situasi resmi seperti, perkuliahan,
sidang parlemen, dan khitbah di tempat-tempat ibadah dianggap sebagai bahasa yang
bergengsi tinggi oleh masyarakat bahasa yang bersangkutan.
Mengingat latar belakang sejarah ragam ini yang sudah sejak lama mengenal ragam
tulis dan menikmati gengsi itu, ragam inilah yang dipakai sebagai bahasa sastra di
kalangan para pemakainya. Definisi diglosia yang diberikan oleh Ferguson (dalam
Chaer, 2014) adalah sebagai berikut:
Diglosia adalah suatu situasi kebahasaan yang relatif stabil, di samping adanya
dialek-dialek utama dari bahasa meliputi ragam-ragam baku setempat, mengenal suatu
ragam yang ditinggikan, sangat berbeda, terkondisikan secara rapi (tata bahasanya lebih
rumit), berasal dari waktu lampau atau berasal dari masyarakat bahasa lain, kemudian
dipelajari melalui pendidikan formal dan sebagian besar dipakai untuk keperluan formal
lisan dan tertulis, tetapi tidak dipakai di sektor apapun di dalam masyarakat itu untuk
percakapan sehari-hari.
Pengertian diglosia kemudian dikembangkan oleh Fishman (dalam Rokhman,
2013:21) istilah diglosia tidak hanya dikenakan pada ragam tinggi dan rendah dari
bahasa yang sama, akan tetapi juga dikenakan pada bahasa yang sama sekali tidak
serumpun. Hal yang perlu ditekankan adalah perbedaan fungsi kedua bahasa atau ragam
bahasa yang bersangkutan.
Di samping itu, Fishman juga berpendapat bahwa diglosia tidak hanya terdapat pada
masyarakat yang mengenal satu bahasa dengan dua ragam bahasa semata-mata, diglosia
dapat juga ditemukan pada masyarakat yang mengenal lebih dari dua bahasa. Di
samping perbedaan, ada juga persamaan antara keduanya, yaitu bahwa ragam-ragam
bahasa itu mengisi alokasi fungsi masing-masing dan bahwa ragam tinggi hanya dipakai
di dalam situasi resmi dan ragam rendah di dalam situasi yang tidak atau kurang resmi.
Menurut Fishman (dalam Rokhman, 2013:21) diglosia tidak hanya terdapat di dalam
masyarakat aneka bahasa yang secara resmi mengakui beberapa bahasa, dan tidak hanya
terdapat dalam masyarakat yang menggunakan ragam sehari-hari dan klasik, tetapi juga
di dalam masyarakat bahasa yang memakai logat-logat, laras-laras atau ragam-ragam
jenis yang berbeda secara fungsional.
Menurut Ferguson, diglosia mempunyai ciri-ciri menonjol yang dapat ditunjukkan
melalui sembilan sudut pandang, yaitu:
1. Fungsi
Fungsi adalah kriteria yang penting bagi situasi digloasia. Pada kebanyakan situasi
diglosia bentuk ragam H lebih difungsikan dalam situasi formal. Ragam ini akan
terasa janggal apabila digunakan dalam komunikasi sehari-hari. Begitupun
sebaliknya dengan ragam L akan terasa tidak pas dan aneh apabila digunakan dalam
bentuk tulisan.
2. Prestise
Para penutur bahasa pada umumnya mengagumi ragam H, meskipun mereka kadang
tidak sepenuhnya mampu memahaminya. Ragam tersebut disikapai dengan penuh
penghargaan sebagai ragam bahasa yang elit yang mencerminkan status yang tinggi
akan penuturnya. Sementara ragam L dianggap lebih inferior.
3. Tradisi sastra
Ragam H digunakan pada karya sastra masa lalu. banyaknya kepustakaan yang
ditulis dalam H dan dikagumi oleh masyarakat bahasa tersebut. Kebiasaan tulis-
menulis masa kini dianggap merupakan kelanjutan dari tradisi besar masa lalu.
4. Pemerolehan bahasa
Sumarsono (2007: 192) menegaskan bahwa aspek penting yang terlihat dalam
fenomena diglosia adalah perbedaan proses pemerolehan ragam H dan L oleh
penutur. Ragam L adalah ragam yang lebih dulu diperoleh dan dikuasai oleh penutur,
sedangkan ragam H mereka peroleh melalui pendidikan formal. Ragam L dipelajari
secara unconsious oleh penutur dalam artian dipelajari secara normal tanpa kaidah
yang mengikat.
5. Standarisasi
Ragam H mengalami proses pembakuan dan harus dipelajari di sekolah, sedangkan
tidak setiap orang mempunyai kesempatan untuk mempelajarinya. Sebaliknya, ragam
L yang dipakai di dalam situasi tidak resmi adalah ragam bahasa yang dipakai sehari-
hari di rumah. Ragam ini tidak mengenal ragam tulis dan tidak menjadi sasaran
pembakuan bahasa.
6. Stabilitas
Diglosia dilihat sebagai situasi yang bersifat stabil. Kestabilan tersebut terjadi karena
pada umumnya situasi diglosia muncul karena dikehendaki oleh penuturnya. Adanya
ragam H dan L dalam masyarakat bahasa komunitas diglosia dipertahankan.
7. Tata bahasa
Sebenarnya ragam H dan ragam L dalam fenomena diglosia merupakan bentuk-
bentuk dari bahasa yang sama, namun dalam hal tata bahasa ternyata terdapat
perbedaan. Ditinjau dari tata bahasanya, ragam H cenderung memiliki kaidah tata
bahasa yang lebih kompleks dibandingkan ragam L.
8. Leksikon
Kosakata pada ragam H sebagian besar sama dengan kosakata yang ada pada ragam
L. Namun ada kosakata dalam raham H yang tidak terdapat padanannya pada ragam
L begitupun juga sebaliknya terdapat kosakata pada raga L yang tidak terdapat
padanannya pada ragam H. Pada fenomena diglosia pada umumnya terdapat dua
padanan kosakata yang terdapat pada ragam H dan L, misalnya pada Bahasa Jawa
untuk verba ‘makan’ ragam H adalah dhahar sedangkan ragam L adalah mangan.
9. Fonologi
Struktur fonologi antara ragam H dan L adalah berbeda. Fonologi ragam H mrupakan
sistem dasar sedangkan fonologi ragam L merupakan subsistem yang memiliki
keberagaman. Fonologi ragam H merupakan bentuk umum yang ada dalam suatu
bahasa. Di sisi lain fonologi ragam L bukan bentuk dasar dan cenderung memiliki
variasi yang beragam.
Di Indonesia, situasi diglosia dijumpai dalam beberapa bahasa daerah di Indonesia,
seperti bahasa Jawa, Sunda, Bali, Madura, yang masing-masing mempunyai ragam H
dan L pada bahasanya. Dalam masyarakat Sunda dikenal undak usuk basa, di dalamnya
terdapat aturan tata bahasa yang mengatur tingkatan ragam bahasa rendah dan ragam
bahasa tinggi seperti basa cohag (ragam kasar), basa loma (ragam untuk sesama), basa
sedeng (ragam sedang atau tengah), basa lemes (ragam halus). Di Jawa terdapat bahasa
ngoko (tingkat paling rendah), krama (tengah), krama inggil (tingkat tinggi).
DAFTAR PUSTAKA
Aslinda, dkk.2010.Pengantar Sosiolinguistik. Bandung: Refika Aditama