Anda di halaman 1dari 23

LITERATURE REVIEW

Code-switching and Code-Mixing

Oleh:
1. Rafika Sinta Nurrona (rafikasintan@gmail.com) 190402090015
2. Sukma Sekar Utami (sukmasekarutami1@gmail.com) 190402090008
3. Syafadillah Wanodya A D (Syafadillah.wano17@gmail.com) 190402090036
4. Verra Indriani (veraindrian8@gmail.com) 190402090043
5. Yuni Rafika (yunirafika.20@gmail.com) 190402090030

Prodi Pendidikan Bahasa Inggris


Fakultas Ilmu dan Bahasa
Universitas PGRI Kanjuruhan Malang
2022
Literature Review
Code-switching and Code-Mixing

1. Sociolinguistics
Bahasa adalah bagian intim dari identitas sosial. Menurut (McGroarty, 1996),
orang menggunakan bahasa untuk berinteraksi dengan orang lain dalam masyarakat
kapan saja dan di mana saja. Peranan bahasa di kalangan masyarakat dalam
kehidupan ini sangatlah penting. Salah satu cabang linguistik yang mempelajari
hubungan antara bahasa dan masyarakat adalah sosiolinguistik. Sosiolinguistik adalah
studi tentang kehidupan kita sehari-hari - bagaimana bahasa bekerja dalam percakapan
biasa kita dan media yang kita hadapi, dan keberadaan norma, kebijakan, dan hukum
masyarakat yang membahas bahasa (Wardhaugh & Fuller, 2015), Sosiolinguistik berfokus
pada bagaimana bahasa bekerja dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, sosiolinguistik
juga memperhatikan bagaimana anggota masyarakat tertentu dapat mempengaruhi
istilah dengan penggunaan bahasa kita.
Holmes menyatakan ahli sosiolinguistik mempelajari hubungan antara bahasa
dan masyarakat. Mereka tertarik untuk menjelaskan mengapa kita berbicara secara
berbeda dalam konteks sosial yang berbeda, dan mereka tertarik untuk mengidentifikasi
fungsi sosial dari bahasa dan cara penggunaannya untuk menyampaikan makna sosial
(Slone, 1993). Pernyataan tersebut menyiratkan bahwa sosiolinguistik berfokus pada
berbicara dalam konteks sosial, fungsi sosial, dan makna sosial yang berbeda ketika
digunakan. Ahli sosiolinguistik juga berpendapat bahwa bahasa ada dalam konteks
bergantung pada penutur yang menggunakannya, dan bergantung pada di mana ia
digunakan dan mengapa. (Hazen, 2008). Selain itu, Gumperz dalam Wardhaugh, ia
telah mengamati bahwa sosiolinguistik adalah upaya untuk menemukan korelasi antara
struktur sosial dan struktur linguistik dan untuk mengamati setiap perubahan yang
terjadi.16 Dengan demikian, sosiolinguistik berurusan dalam menemukan hubungan
antara sosial dan linguistik untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dalam
struktur bahasa, dan setiap perubahan yang terjadi dalam penggunaan bahasa.
Berdasarkan penjelasan di atas, masyarakat dan bahasa adalah satu kesatuan.
Keduanya tidak dapat dipisahkan. Kajian tentang hubungan antara bahasa dan
masyarakat dikenal dengan sosiolinguistik. Ini adalah cabang linguistik yang
mempelajari sesuatu yang sangat signifikan antara bahasa dan komunitas sosial. Studi
sosiolinguistik memberi kita pengetahuan tentang bagaimana menggunakan bahasa
dalam aspek atau istilah sosial tertentu. Sosiolinguistik memperhatikan penggunaan
bahasa, orang-orang yang berbicara berbeda dalam konteks sosial dan tujuannya.
2. Language variation
Variasi bahasa, menurut Coupland (2007), memberikan gambaran rinci tentang
bagaimana detail linguistik dari aksen dan dialek regional dan sosial didistribusikan. Ada
variasi dalam satu komunitas bahasa tunggal. Variasi hanya menetapkan sendiri tujuan
utama lainnya, terkait dengan pemahaman sistem bahasa dan bagaimana mereka
berubah, daripada memahami tindakan sosial dan interaksi melalui Bahasa (Coupland,
2007).
Variasi bahasa terjadi pada masyarakat dwibahasa atau multibahasa di suatu
wilayah tertentu sehingga terdapat penyimpangan bahasa di dalamnya. Ini hanya akan
terjadi jika ada interaksi. Latifah dkk. (2017) menjelaskan bahwa ada tiga variasi bahasa
yang dapat dilihat dari segi tempat, situasi, waktu. Pada dasarnya, latar belakang
terjadinya variasi bahasa ditentukan oleh situasi dan kondisi pada saat proses
komunikasi berlangsung. Variasi bahasa terjadi karena kebiasaan masyarakat dalam
menggunakan bahasa ibunya dimana terjadi komunikasi antara satu dengan yang lain.
Selain itu, letak geografis, penutur, mitra tutur juga sangat mempengaruhi penjelasan
latar yang terkandung dalam suatu proses komunikasi yang terjadi (Latifah dkk., 2017).

3. Bilingualism
Semua orang di dunia, apakah mereka mengetahuinya atau tidak, adalah
bilingual. Dalam hal ini, setidaknya mereka mengetahui beberapa kata dalam bahasa
selain bahasa ibu mereka (Bhatia & Ritchie, 2004).
Istilah bilingual banyak digunakan untuk merujuk pada individu yang telah
memperoleh kemampuan untuk menggunakan lebih dari satu bahasa. Namun, menurut
Bhatia & Ritchie (2004), bilingualisme merupakan perilaku linguistik psikologis dan sosial
budaya yang kompleks serta memiliki aspek multidimensi. Selain itu, (Bhatia & Ritchie,
2004) juga menggambarkan individu bilingual yang fasih dalam satu bahasa tetapi dapat
menghasilkan ucapan yang lengkap dan bermakna dalam bahasa lain.
Definisi paling sederhana dari bilingual, menurut kamus Merriam Webster,
adalah orang yang memiliki kemampuan fungsional dalam bahasa kedua. Di banyak
bagian dunia, kemampuan berbicara lebih dari satu bahasa tidak semuanya luar biasa.
Ini hanyalah kebutuhan normal dalam kehidupan sehari-hari bahwa orang berbicara
dalam beberapa bahasa, dalam berbagai konteks, dalam berbagai situasi, dan untuk
banyak tujuan.
Bilingualisme hadir di sebagian besar negara di seluruh dunia, di semua kelas
masyarakat dan di semua kelompok umur. Ini dapat ditemukan dalam masyarakat yang
terdiri dari orang-orang yang mengetahui dan memahami dua bahasa. Kedwibahasaan
dapat didefinisikan sebagai kemampuan untuk menggunakan dua bahasa. Hal ini
seperti sesuatu yang biasa bagi setiap orang dalam bilingualisme menggunakan lebih
dari satu bahasa ketika mereka melakukan percakapan. Mereka memiliki kendali
sempurna atas lebih dari satu bahasa. Konsep kedwibahasaan mengacu pada
masyarakat yang sebagian besar penuturnya biasa menggunakan beberapa ragam
bahasa dan kedwibahasaan mengacu pada kompetensi individu yang memiliki akses ke
lebih dari satu kode linguistik.
Beberapa definisi bilingualisme melibatkan istilah penggunaan bahasa. Grosjean
dalam Cantone mendefinisikan bilingual adalah orang yang membutuhkan dan
menggunakan dua (atau lebih) bahasa dalam kehidupan sehari-hari (Cantone, 2007).
Bloomfield dalam (Pieter Muysken, 2003), yang mendefinisikan bilingualisme sebagai
penguasaan dua bahasa seperti penutur asli. Dalam hal ini, dwibahasa mengacu pada
orang yang dapat berbicara setidaknya dua bahasa yang berbeda dan mereka dapat
menguasai kedua bahasa tersebut. Menurut kamus Webster dalam Hamers dan Michel,
dwibahasa didefinisikan sebagai ̳memiliki atau menggunakan dua bahasa terutama yang
diucapkan dengan karakteristik kefasihan penutur asli; seseorang yang menggunakan
dua bahasa terutama karena kebiasaan dan dengan kontrol seperti penutur asli 'dan
bilingualisme sebagai ̳penggunaan lisan dua bahasa secara konstan (Pieter Muysken,
2003).
Berdasarkan teori-teori di atas, variasi bahasa terjadi ketika masyarakat
berinteraksi dengan orang lain di wilayah tertentu dan juga karena kebiasaan
masyarakat dalam menerapkan bahasa ibu mereka. Selain itu, variasi bahasa juga
dapat ditentukan tempat di mana orang melakukan proses komunikasi dengan orang
lain dan dengan siapa mereka bertutur.
Meskipun bilingual menguasai dua bahasa, mereka dapat diklasifikasikan ke
dalam dimensi yang berbeda. Menurut Valdes dan Figueroa dalam (Baker, 2001),
mereka berpendapat bahwa bilingual diklasifikasikan berdasarkan:

1. Umur (Simultan/berurutan)
2. Kemampuan (incipient / reseptif / produktif)
a. Incipient
Orang yang hanya tahu bahasa lain.
b. Receptive
Orang yang hanya bisa mendengar dan membaca. Artinya, mereka dapat
memahami apa yang dibicarakan orang tetapi mereka tidak dapat
menerapkannya
c. Productive
Orang yang baru bisa berbicara dan menulis bahasa yang baru mereka
pelajari.
3. Keseimbangan dua bahasa (artinya kemampuan memperoleh keseimbangan
bahasa dari satu bahasa ke bahasa lainnya)
4. Perkembangan (ascendant – bahasa kedua berkembang; resesif – satu
bahasa menurun)
5. Konteks di mana setiap bahasa diperoleh dan digunakan (misalnya, rumah,
sekolah)
6. Dimensi kedwibahasaan yang keenam yaitu kedwibahasaan sirkumstansial
dan pilihan.
a. Bilingualisme elektif
Ini adalah karakteristik individu yang memilih untuk belajar bahasa,
misalnya di kelas. Bilingual pilihan berasal dari kelompok bahasa
mayoritas (misalnya, orang Amerika berbahasa Inggris yang belajar
bahasa Spanyol atau Prancis). Mereka menambahkan bahasa kedua
tanpa kehilangan bahasa pertama mereka.
b. Circumstantial
keadaan mereka (misalnya, sebagai imigran), mereka membutuhkan
bahasa lain untuk berfungsi secara efektif. Dwibahasa sirkumstan adalah
kelompok individu yang harus menjadi dwibahasa untuk beroperasi
dalam masyarakat bahasa mayoritas yang mengelilingi mereka
(Bialystok, 2001).
Selain penjelasan di atas, salah satu diskusi paling awal tentang bagaimana
bahasa direpresentasikan dalam pikiran penutur dwibahasa adalah analisis tiga lapis
yang dikemukakan oleh (Caloca, 1968). Ia menjelaskan bahwa, ada tiga jenis
bilingualisme, yaitu gabungan, koordinat, dan sub-koordinat. Masing-masing jenis akan
dibahas di bawah ini:

1. Bilingualisme majemuk
Pada dasarnya, cara seseorang mempelajari bahasa dikatakan berdampak
pada bagaimana konsep dikodekan dan disimpan di otak. Bilingualisme
majemuk berarti seorang individu yang mempelajari dua bahasa dalam
konteks dan situasi yang sama, sehingga dua kata (satu dalam setiap
bahasa) memiliki satu makna dan representasi yang sama di otak, sehingga
menciptakan saling ketergantungan dari kedua bahasa tersebut.
2. Bilingualisme koordinasi
Bilingualisme koordinasi menyatakan independensi antara dua bahasa:
Individu mempelajari dua bahasa dalam konteks yang berbeda, sehingga
setiap kata memiliki makna spesifiknya sendiri.
3. Sub-coordinate bilingualism
Jenis bilingualisme ketiga yang dikemukakan oleh (Caloca, 1968) adalah
subkoordinat. Dalam hal ini, bahasa yang satu lebih kuat dan lebih cepat dari
bahasa yang lain, yang berakibat terbentuknya satu makna, yaitu salah satu
bahasa yang diperoleh terlebih dahulu. Setiap kali bahasa kedua yang lebih
lemah (WL) digunakan, representasi yang diingat adalah bahasa yang lebih
kuat (SL).

Berdasarkan penjelasan (Caloca, 1968), ia membagi tiga jenis bilingual


berdasarkan ciri-ciri bagaimana dua atau lebih kode linguistik diatur dan disimpan oleh
individu. Dalam bilingual majemuk, ada dua perangkat kode linguistik yang tersimpan
dalam satu makna. Dengan kata lain, mereka memiliki satu sistem makna di otak
mereka untuk kata-kata yang digunakan dan menciptakan saling ketergantungan antara
dua bahasa. Sebaliknya, bilingualisme koordinat mereka memiliki arti masing-masing
untuk kata-kata dari kedua bahasa tersebut. Yang terakhir adalah bilingual bawahan,
mereka memiliki dua set kode linguistik, namun hanya satu unit makna yang lebih kuat
dari yang lain.
Bilingual juga dapat dikategorikan menjadi bilingual awal dan akhir, menurut usia
paparan dua (atau lebih) bahasa. Baetens Beardsmore dalam (Tracy et al., 2014)
menyatakan bahwa bilingualisme dini didefinisikan sebagai penguasaan lebih dari satu
bahasa pada fase kehidupan pra-remaja. Kedwibahasaan akhir didefinisikan sebagai
penguasaan satu bahasa sebelum dan bahasa lain setelah usia 8 tahun. Masing-masing
jenis kedwibahasaan dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Kedwibahasaan awal juga dapat digolongkan menjadi dua jenis, antara lain:
a. Simultaneous early bilingualism
Itu terjadi dalam situasi ketika seorang anak belajar dua bahasa
sekaligus, sejak lahir. Ini sering menghasilkan bilingualisme yang kuat.
b. Successive early bilingualism
Itu terjadi dalam situasi ketika seorang anak yang telah memperoleh
sebagian L1 (bahasa pertama) dan kemudian mempelajari L2 (bahasa
kedua) di awal masa kanak-kanak; contohnya adalah ketika seorang
anak pindah ke tempat lain di mana bahasa dominannya bukan bahasa
ibunya. Ini biasanya menghasilkan bilingualisme yang kuat, tetapi anak
membutuhkan waktu untuk mempelajari L2.
2. Late bilingualism
Kedwibahasaan ini mengacu pada bilingualisme yang telah mempelajari
bahasa keduanya (L2) setelah masa kritis, terutama ketika L2 dipelajari pada
masa dewasa atau remaja. Kedwibahasaan lanjut sebenarnya adalah
kedwibahasaan beruntun yang terjadi setelah perolehan L1. Pada bilingualisme
akhir, karena bilingual telah memperoleh L1, menggunakan pengalaman individu
untuk mempelajari L2.

4. Definition of code
Dalam sosiolinguistik, kode mengacu pada bahasa atau ragam bahasa. Kode
adalah sistem yang digunakan oleh orang untuk berkomunikasi. Terkadang, orang ingin
berbicara satu sama lain dan mereka harus memilih kode tertentu untuk
mengekspresikan perasaan mereka. Itu juga merupakan simbol yang digunakan oleh
orang untuk berbicara atau berkomunikasi dalam bahasa, dialek, register, aksen, atau
gaya tertentu pada berbagai kesempatan dan untuk tujuan komunikasi yang berbeda
(Harya, 2018). Kode sebagaimana dikemukakan oleh Harya (2018) juga dapat
didefinisikan sebagai suatu sistem yang digunakan untuk komunikasi antara dua pihak
atau lebih yang digunakan dalam setiap kesempatan.
Orang biasanya memilih kode yang berbeda dalam situasi yang berbeda. Orang-
orang dapat memilih kode atau variasi tertentu karena memudahkan mereka untuk
mendiskusikan topik tertentu, di mana pun mereka berbicara. Ia menyukai sistem yang
digunakan oleh orang-orang untuk berkomunikasi satu sama lain. Ketika orang ingin
berbicara satu sama lain, mereka harus memilih kode tertentu untuk mengekspresikan
perasaan mereka. Itu adalah simbol nasionalisme yang digunakan oleh orang untuk
berbicara atau berkomunikasi dalam bahasa tertentu, atau dialek, atau register, atau
aksen, atau gaya pada kesempatan yang berbeda dan untuk tujuan komunikasi yang
berbeda (Wibowo dkk., 2017). Kode, didefinisikan oleh adalah simbol nasionalisme yang
digunakan oleh orang untuk berbicara atau berkomunikasi dalam bahasa tertentu -
dialek, register, aksen atau gaya pada kesempatan yang berbeda dan untuk tujuan yang
berbeda. Suatu kode terbagi menjadi campur kode dan alih kode (Yuliana dkk., 2015).

5. Codemixing
Campur kode mengacu pada 'penanaman berbagai unit linguistik seperti
imbuhan (morfem terikat), kata (morfem tak terikat), frase dan klausa agar peserta
menyimpulkan apa yang dimaksudkan dan harus mendamaikan apa yang mereka
dengar dengan apa yang mereka pahami' (Brezjanovic-Shogren, 2011). Selanjutnya
menurut Wardhaugh dalam Fahrurrozy, 2015), campur kode adalah fenomena
sosiolinguistik dimana seseorang mencampurkan suatu bahasa dengan bahasa lain dari
daerah lain atau negara lain.
Selain itu, Sumarsih dkk., (2014) menyatakan, “Campuran kode adalah
penggabungan bahasa sesuai dengan kaidah-kaidah yang didengar dan dipahami oleh
pemakai bahasa tersebut dan hal ini terjadi karena penutur bahasa lain berbicara
dengan bahasa yang bukan bahasa ibunya sehingga percampuran terjadi secara wajar.'
Kesimpulannya, campur kode adalah bagian dari sosiolinguistik dimana orang
menggunakan lebih dari satu bahasa dan mencampurnya dalam sebuah kalimat untuk
fungsi interaksi.

5.1 Functions of Codemixing


Ada beberapa fungsi penggunaan campur kode. Marasigan dalam Kurnia (2015),
mengatakan fungsi campur kode adalah: kutipan, spesifikasi, repetisi, interjeksi,
kualifikasi pesan, personalisasi dan objektivisasi, dan fasilitas ekspresi.
Penjelasannya diuraikan sebagai berikut:
a. Kutipan: kutipan berfungsi sebagai bukti bahwa seseorang mengatakan fakta di
mana orang lain harus percaya.
b. Spesifikasi: spesifikasi tidak hanya sebatas anggota-anggota peristiwa tutur yang
berinteraksi tetapi juga mengenali bahwa perilaku bahasa mereka mungkin lebih
dari sekadar masalah preferensi atau fasilitas individu, tetapi juga hubungan
peran.
c. Pengulangan: dapat berfungsi untuk mengklarifikasi apa yang dikatakan,
menekankan pesan, atau menandai lelucon.
d. Interjeksi: mengungkapkan perasaan atau emosi yang kuat. Kata seru yang
paling banyak dipelajari oleh siswa di sekolah karena guru menilai kinerja atau
perilaku siswa selama di sekolah.
e. Kualifikasi pesan: hal ini utamanya untuk mengungkapkan waktu sebuah konsep.
Dijelaskan juga bahwa kelompok bahasa campuran lainnya terdiri dari struktur
kualifikasi seperti klausa, kalimat, dan frase (pelengkap verba dan nomina).
f. Personalisasi dan objektivisasi: kode di sini terkait dengan beberapa hal, seperti
tingkat keterlibatan pembicara dan pesan atau penerima; apakah pernyataan itu
menunjukkan pendapat, perasaan atau pengetahuan, contoh spesifik atau
berstatus fakta yang diketahui secara umum.
g. Sarana berekspresi: dalam bentuk ini, orang menggunakan campur kode
sebagai sarana untuk menemukan kata-kata yang tepat saat berbicara, menulis
atau hanya sebagai tanda ketidaktahuan subjek terhadap gaya bahasa yang
mereka gunakan.
Kesimpulannya, fungsi campur kode disini sebagai media bagi masyarakat
dalam menerapkan pengetahuan tentang bahasa selain bahasa ibu yang mereka
miliki. Orang melakukan campur kode karena berbagai alasan, terutama untuk
menyampaikan pesan kepada orang lain, sehingga campur kode berfungsi sebagai
jembatan untuk menghubungkan pembicara dengan penerima agar pesan dapat
dipahami satu sama lain.
5.2 Types of Codemixing
Muysken (2000) mengatakan ada tiga jenis campur kode, yaitu; penyisipan,
pergantian, dan leksikalisasi kongruen. Uraian jenis-jenis tersebut dijelaskan sebagai
berikut:
a. Insersi
Secara umum, kata 'penyisipan' (kata benda) berasal dari kata
'menyisipkan' (kata kerja), artinya memasukkan atau memasukkan sesuatu;
sesuatu yang disisipkan (Oxford Learner's Pocket Dictionary 1995, p.217).
(Muysken, 2000) menyatakan bahwa proses campur kode dipahami sebagai
sesuatu yang mirip dengan peminjaman, artinya penyisipan item leksikal atau
item phrasal dimasukkan ke dalam struktur bahasa tertentu. Dalam pola
penyisipan, peminjaman leksikal dibatasi pada satu unit leksikal. Dalam
beberapa bahasa, penyisipan sebagian besar terdiri dari frase adverbial, kata
benda tunggal, dan kombinasi penentu + kata benda. Penyisipan
menghasilkan konstituen dari satu bahasa ke dalam struktur bahasa lain.
Lebih lanjut Suwito (dalaSutrismi, 2014) menyatakan campur kode dapat
dibedakan menjadi: penyisipan kata, penyisipan campuran, penyisipan
afiksasi, penyisipan hibrid, penyisipan reduplikasi kata, penyisipan kata.
frasa, dan penyisipan klausa. Penelitian yang dilakukan Sutrismi (2014, p.5)
menunjukkan contoh penyisipan blending di media sosial (facebook),
“Kenapa kita bisa jadi mompreneur?” (Mompreneur adalah perpaduan dari
dua kata; ibu dan pengusaha).
Selanjutnya penelitian yang telah dilakukan oleh Sutrismi (2014, p.6)
menunjukkan contoh penyisipan hybrid, “…dengar-dengar kalian bagus
banget performnya…” (kata performnya adalah hybrid, karena kata perform
adalah kata bahasa Inggris dan kata nya adalah awalan bahasa Indonesia).

b. Alternasi
Muysken (2000, p.5) mengatakan bahwa dalam pola pergantian, kedua
bahasa terjadi secara bergantian, masing-masing dengan strukturnya sendiri.
Ini didefinisikan sebagai peralihan antara struktur dari bahasa yang terpisah.
Batas dari switch bisa berupa klausa, atau beberapa elemen periferal seperti
penanda wacana atau bentuk tag. Pergantian terjadi di antara ucapan-
ucapan secara bergiliran atau di antara belokan. Berikut ini adalah contoh
pergantian dalam bahasa Spanyol dan Inggris, 'Andale pues and do come
again' (Baiklah kalau begitu, dan datang lagi) (Muysken, 2000, p.5). Selain
itu, (Adi, 2018) telah menemukan contoh pergantian dalam bahasa Indonesia
dan Inggris yang digunakan dalam email bisnis, “Menurut saya, kita lebih
fokus terhadap Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini.” (Menurut
saya, lebih baik kita fokus pada teknik pengumpulan data dalam penelitian
ini).

c. Leksikalisasi Kongruen
Leksikalisasi kongruen berbeda dengan tipe penyisipan atau pergantian,
pada dasarnya sama dengan dialek atau variasi standar dan pergeseran
gaya. Muysken (2000, p.8) menyatakan bahwa dalam leksikalisasi kongruen,
struktur gramatikal dimiliki oleh bahasa A dan B, dan kata-kata dari kedua
bahasa disisipkan secara acak. Kedua bahasa berkontribusi pada struktur
tata bahasa kalimat, yang dalam banyak hal digunakan bersama. Poin
penting dari leksikalisasi kongruen adalah bahwa hal itu terkait dengan
perubahan bahasa melalui proses konvergensi struktural. Berikut adalah
contoh masyarakat di Sumatera Utara yang menggunakan campur kode,
“Kamu bisa call me anytime” (Sumarsih dkk. 2014, p.80).

Dari uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa jenis campur kode terjadi
ketika orang bilingual atau multilingual berbicara atau menulis sesuatu dengan
menggunakan dua bahasa atau lebih. Orang melakukan penyisipan mungkin secara
bergantian atau acak dalam bahasa tertentu ke dalam bahasa struktur lainnya.

5.3 Reason of Using Codemixing


Ada beberapa alasan mengapa orang membuat dan menggunakan campur
kode. Menurut Gumperz (dalam Yuliana dkk., (2015, p.2), ada dua alasan orang
menggunakan campur kode dalam kehidupannya. Pertama, orang menggunakan
campur kode karena ingin menerapkan kata atau frase dari bahasa asing dalam
kalimat dan bahasa lain digunakan sebagai bahasa dasar. Kedua, orang mencampur
bahasa karena tidak ada topik dan situasi yang dapat diubah. Selain itu, Hockett
(dalam (Sutrismi, 2014) menyebutkan motif atau alasan penggunaan campur kode
diklasifikasikan menjadi dua: “motif pemenuhan kebutuhan dan motif pemenuhan
prestise. Motif pemenuhan kebutuhan adalah motif ketika pembicara tidak dapat
menemukan kata-kata yang memiliki arti yang sama dalam bahasa mereka. Motif
mengisi prestise adalah motif ketika penutur ingin menonjolkan status
pendidikannya.”
Lebih lanjut, Hoffman (dalam Cakrawarti, 2011, hlm.15-18) menyebutkan ada
sepuluh alasan orang menggunakan campur kode. Mereka adalah: berbicara
tentang topik tertentu, mengutip orang lain, berempati tentang sesuatu, menyela,
mengulangi untuk klarifikasi, memberikan maksud untuk memperjelas isi pidato
untuk lawan bicara, untuk mengungkapkan identitas kelompok, untuk melembutkan
atau memperkuat permintaan atau perintah, untuk menunjukkan kebutuhan leksikal
yang nyata, dan untuk mengecualikan orang lain ketika komentar hanya ditujukan
untuk audiens yang terbatas. Uraian alasan-alasan tersebut dijelaskan di bawah ini:

a. Membahas suatu topik tertentu


Orang terkadang lebih suka berbicara tentang topik tertentu dalam lebih dari
satu bahasa karena orang terkadang merasa bebas dan lebih nyaman untuk
mengungkapkan perasaan emosionalnya.
b. Mengutup seseorang
Kadang-kadang, orang mencampur bahasa untuk mengutip kata-kata,
ungkapan, dan peribahasa yang akrab atau terkenal dari bahasa lain. Di
Indonesia, kebanyakan orang mengutip kata-kata bahasa Inggris karena
bahasa Inggris adalah bahasa internasional dan sebagian besar orang
Indonesia saat ini pandai berbahasa Inggris.
c. Bersikap tegas tentang sesuatu (untuk mengekspresikan solidaritas)
Ketika seseorang yang sedang berbicara dengan bahasa lain tiba-tiba ingin
bersikap tegas terhadap suatu hal, dia baik secara sengaja maupun tidak
sengaja akan mencampurkan bahasa dari bahasa keduanya ke bahasa
pertamanya.
d. Untuk menyela (memasukkan pengisi kalimat atau penghubung kalimat)
Alasannya digunakan untuk menyampaikan kejutan, emosi yang kuat atau
untuk mendapatkan perhatian. Kata seru tidak memiliki nilai tata bahasa,
tetapi hanya kata pendek seperti: Hei! Sehat! Lihat! dll. Terkadang, orang
mengatakannya secara spontan
e. Mengulangi untuk klarifikasi
Orang bilingual atau multilingual mengklarifikasi pesan dengan mengulang
kata-kata yang mereka sampaikan kepada pendengar dalam bahasa lain
yang mereka kuasai. Pengulangan ini tidak hanya digunakan untuk klarifikasi,
tetapi juga untuk menekankan suatu pesan.
f. Untuk memberikan maksud memperjelas isi pidato untuk lawan bicara
Hal ini terjadi ketika seorang bilingual atau multilingual berbicara dengan
seorang bilingual atau multilingual lainnya, sehingga akan banyak terjadi
campur kode dan alih kode. Untuk membuat percakapan mereka dipahami
satu sama lain, pesan tersebut diulangi dalam bahasa lain dalam bentuk
yang agak dimodifikasi.
g. Untuk mengungkapkan identitas kelompok
Campur kode juga dapat digunakan untuk mengekspresikan identitas
kelompok. Cara komunikasi sivitas akademika dalam suatu kelompok
berbeda dengan kelompok lainnya.
h. Untuk melembutkan atau memperkuat permintaan atau perintah
Orang mencampur atau mengganti bahasa Indonesia ke bahasa Inggris
karena ingin meminta sesuatu, tetapi terdengar tidak langsung seperti
bahasa Indonesia. Namun, campur kode digunakan karena orang ingin
memperkuat perintah karena pembicara dapat merasa lebih kuat dari
pendengar dan mereka dapat berbicara bahasa yang orang lain tidak bisa.
i. Untuk menunjukkan kebutuhan leksikal yang nyata
Orang mencampur atau mengganti bahasa karena kurangnya leksikal
padanan dalam bahasa. Misalnya, ketika bilingual Inggris-Indonesia harus
mengatakan sesuatu tetapi kata tersebut kurang dalam bahasa Inggris, orang
akan mencari kata lain yang lebih mudah diucapkan dalam bahasa Indonesia
dan sebaliknya.
j. Untuk mengecualikan orang lain saat komentar hanya ditujukan untuk
audiens terbatas. Terkadang orang ingin berkomunikasi hanya dengan orang
atau komunitas tertentu tempat mereka berada. Ini digunakan untuk
menghindari komunitas lain atau gangguan komunikasi mereka oleh orang-
orang, mereka mungkin mencoba untuk mengecualikan orang-orang itu
dengan menggunakan bahasa yang tidak diketahui siapa pun.

Kesimpulannya, ada banyak klasifikasi alasan mengapa masyarakat


menggunakan campur kode. Orang bilingual atau multilingual menggunakan campur
kode karena mereka ingin menerapkan pengetahuan tentang bahasa semasa
sekolah dan kata-kata yang familiar atau terkenal yang sering mereka dengar dari
orang asing, sehingga mereka mengutip kata-kata yang familiar untuk diucapkan.
Selain itu, beberapa orang mencampur bahasa karena mereka hanya ingin
menunjukkan kemampuan mereka dalam menggunakan bahasa lain selain bahasa
ibu mereka. Selain itu, beberapa orang mencampur kode untuk mengklarifikasi
sesuatu karena tidak ada kata-kata dalam arti yang sama atau kurangnya leksikal
yang setara dan tidak ada topik atau situasi yang dapat diubah - berbicara tentang
topik tertentu. Selain itu, orang juga dapat mencampuradukkan kode-kode karena
ingin menekankan sesuatu, untuk menekankan pesan dan untuk mengecualikan
orang-orang dari komunitas dengan berbicara menggunakan bahasa yang mereka
tidak tahu artinya.

6. Codeswitching
Penutur yang dapat mengakses dua bahasa atau lebih, mereka dimungkinkan
untuk menggunakan satu bahasa untuk tujuan tertentu dan bahasa lain untuk tujuan
yang lain. Dalam masyarakat yang orang-orangnya memiliki dan menggunakan
setidaknya dua bahasa yang berbeda, mereka sering mencampur atau mengganti
bahasa ketika mereka berbicara dengan yang lain. Menurut (McGroarty, 1996), ketika
dua atau lebih bahasa ada dalam suatu komunitas, penutur sering beralih dari satu
bahasa ke bahasa lainnya. Fenomena ini dikenal dengan alih kode.
Alih kode yang digunakan dalam sosiolinguistik mengacu pada pergeseran
bahasa yang merupakan kecenderungan bilingual untuk beralih bahasa mereka dari
satu bahasa ke bahasa lain saat berbicara dengan bilingual lain. Lehiste di Abd. Muin
berpendapat bahwa alih kode adalah bilingual yang sempurna dapat beralih dari satu
bahasa ke bahasa lain selama percakapan berlangsung.30 Bilingual yang mampu
beralih lebih dari satu bahasa dengan sempurna, mereka dapat beralih bahasa saat
mereka sedang bercakap-cakap.
Selain itu, beberapa ahli berpendapat bahwa alih kode digunakan oleh bilingual
yang sempurna. Para ahli lainnya seperti, Edwards, Dewaele dan Wooland dalam
(Puspawati, 2018) menyatakan bahwa alih kode merupakan akibat dari
ketidakmampuan berbahasa oleh para bilingual yang dapat mengindikasikan adanya
masalah dalam penguasaan salah satu bahasa. Penutur asli bahasa Inggris seperti itu
mungkin beralih ke bahasa asli mereka karena mereka lupa kata-kata bahasa Inggris,
atau mereka tidak tahu ekspresi bahasa Inggris yang ingin mereka gunakan. Oleh
karena itu, alih kode juga digunakan untuk seseorang yang kesulitan dalam satu bahasa
kemudian mereka dapat menggunakan bahasa lain untuk mengubahnya.
(Eberhardt, 2014) mendefinisikan, alih kode mengacu pada kejadian di mana
orang mengganti setidaknya dua bahasa atau varietas bahasa dalam satu percakapan
(melintasi kalimat atau batas klausa). Berdasarkan definisi dari (Eberhardt, 2014), alih
kode dapat terjadi ketika peralihan bilingual dari satu bahasa ke bahasa lain. lain dalam
satu tuturan melalui kalimat atau klausa. Misalnya: ―Hari ini adalah hari terakhir kita.
Liburannya bakalan berakhir sampe sini aja gengs!‖. Contoh ini menunjukkan bahwa
pembicara mengalihkan bahasa dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia dengan
mengatakan ― Liburannya bakalan berakhir sampe sini aja gengs!‖. Bisa diganti
dengan kalimat bahasa Inggris ―Liburan akan berakhir di sini guys! ‖. Dengan
demikian, pembicara telah mengalihkan bahasa dalam satu percakapan di seluruh
kalimat.
Selain itu, (Pieter Muysken, 2003) menyatakan terkadang alih kode terjadi di
antara pergantian pembicara yang berbeda dalam percakapan, atau terkadang di antara
ucapan dalam satu giliran. Itu bahkan dapat terjadi dalam satu ucapan (Engku Ibrahim
et al., 2013). Ketika ada dua orang atau lebih dalam percakapan menggunakan bahasa
yang berbeda dan mereka memahami bahasa tersebut. Hal ini dapat digolongkan
sebagai alih kode yang terjadi antara pergantian penutur yang berbeda dalam
percakapan.
Selain itu, bilingual dapat menghasilkan alih kode antar ujaran dalam satu giliran
saat berbicara atau bahkan terjadi dalam satu ujaran. Seperti seorang vlogger yang bisa
mengakses dua bahasa berbeda, biasanya ia beralih dari satu bahasa ke bahasa
lainnya. Sebagai contoh:

Speaker: Hello guys, welcome back to my YouTube channel. Balik lagi sama aku
Shirinamira, kali ini aku bakal bikin make up tutorial because a lot of you guys,
banyak banget yg minta aku buatin makeup lagi. So, ya tanpa basa basi lagi,
let’s get started! Eitss, but don’t forget to like, comment and subscribe. Okay.

Berdasarkan semua definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa alih kode adalah
istilah linguistik yang mempelajari tentang pergantian dua atau lebih ragam bahasa
(kode). Penutur menghasilkan bahasa dan menerapkan alih kode ketika mereka
mengubah bahasa dalam percakapan dengan pembicara lain atau dalam ucapan
mereka. Penelitian ini menganalisis alih kode yang terjadi dalam tuturan seseorang
berdasarkan jenis dan fungsi alih kode. Penulis berfokus pada alih kode yang digunakan
oleh tutor dalam mengajar bahasa Inggris. Oleh karena itu, ini adalah jenis dan fungsi
alih kode berikut.

6.1. Types of Codeswitching


Ada beberapa jenis alih kode yang dikategorikan oleh para ahli. Jenis-jenis
tersebut dapat membantu penulis untuk mengetahui terjadinya alih kode. Salah
satu jenis alih kode yang paling sering dibahas diberikan oleh Poplack dalam
(Pieter Muysken, 2003), yang mengidentifikasi tiga jenis alih kode. Jenisnya
adalah alih kode sentensial ekstra, peralihan intersenensial dan intrasenensial.
Masing-masing jenis akan dibahas di bawah ini:
a. Extra-sential codeswitching
Alih kode ekstra-sentensial adalah jenis alih kode pertama dari teori
Poplack. Alih kode ekstra-sentensial didefinisikan sebagai penyisipan tag dari
satu bahasa ke ucapan yang seluruhnya dalam bahasa lain. Penyisipan tag
seperti, maksud saya. Jenis ini biasa disebut dengan tag-switching dan
Poplack juga menamakan jenis ini sebagai emblematic switching. Hal ini
relevan dengan pernyataan yang diberikan oleh (Appel and Muysken, 2005)
dalam bukunya Language Contact and Bilingualism. Appel dan Muysken
mengatakan bahwa pengalihan tag melibatkan tanda seru, tag, atau tanda
kurung dalam bahasa lain selain kalimat lainnya.
Selain itu, penyisipan diidentifikasi dalam frase tag salam, perpisahan, dll.
Peralihan semacam ini membutuhkan batasan sintaksis minimal, sehingga
dapat disisipkan atau digeser dengan mudah. Contoh umum pengalihan tag
adalah ok, fine, dll (Gulzar, 2014). Dengan demikian, dapat disimpulkan
bahwa extra-sentential switching berarti menyisipkan tag atau frase tag
dalam satu bahasa ke dalam ucapan yang seluruhnya ada dalam bahasa
lain. Sebagai contoh:

1. “You know, Miss hari ini ada berita gembira untuk kalian”
Dari contoh pertama di atas, dapat diklasifikasikan sebagai alih kode
ekstra-sentensial karena penutur menyisipkan tag bahasa Inggris
“You know” ke dalam ucapan yang seluruhnya berbahasa Indonesia.

2. “Oke fine! Kita bisa cari solusinya Bersama-sama”


Dari contoh kedua di atas, ujaran penutur juga termasuk ke dalam alih
kode ekstra-sentensial karena penutur menyisipkan seruan bahasa
Inggris yaitu “Ok fine!” dengan bahasa dasar bahasa Indonesia.

b. Inter-sential codeswitching
Alih kode antarkalimat adalah peralihan pada batas klausa atau kalimat,
satu klausa dalam satu bahasa dan klausa lainnya dalam bahasa lain.
Dengan demikian, alih kode antarkalimat terjadi antara dua bahasa yang
berbeda pada tingkat klausa atau kalimat. Ini mungkin berfungsi untuk
menekankan poin yang dibuat dalam bahasa lain, menandakan peralihan
dalam percakapan peserta, menunjukkan kepada siapa pernyataan tersebut
ditujukan, atau memberikan kutipan langsung dari, atau referensi ke,
percakapan lain (Mujiono et al., 2013).
Romaine dalam (Gulzar, 2014) menyatakan, peralihan semacam ini
dianggap membutuhkan kefasihan yang lebih besar dalam kedua bahasa
daripada peralihan tag karena sebagian besar ucapan harus sesuai dengan
aturan kedua bahasa (Gulzar, 2014). Oleh karena itu, penutur harus memiliki
kefasihan dalam menggunakan kedua bahasa tersebut. Berbeda dengan tag
switching, di mana penutur hanya menyisipkan tag dari satu bahasa ke
bahasa lain. Sebagai contoh:

A : Have you done it?


B : sudah pak
A : May I see it?
B : ini pak.

Dari contoh di atas, dapat diklasifikasikan sebagai alih kode


intersentential. Perpindahan terjadi dalam percakapan peserta. Dalam hal ini
guru menanyakan siswa menggunakan bahasa Inggris kemudian siswa
menjawab menggunakan bahasa Indonesia. Guru meminta siswa kembali
menggunakan bahasa Inggris untuk memberi isyarat pergantian tetapi siswa
kembali menggunakan bahasa Indonesia. Dengan demikian, percakapan
adalah jenis inter-sentential switching yang terjadi di antara peserta
percakapan.

c. Intra-sential codeswitching
Ada juga alih kode intra-sentential, di mana peralihan dari berbagai jenis
terjadi di dalam batas klausa, termasuk di dalam batas kata. Menurut (Appel
and Muysken, 2005), Intra-sentential switch terjadi di tengah kalimat, jenis
peralihan intim ini sering disebut campur kode. Beberapa ahli bahasa juga
menyebut jenis ini sebagai campur kode karena peralihan terjadi dalam
sebuah kalimat. Alih kode intra-kalimat ditemukan ketika sebuah kata, frase,
atau klausa dari bahasa asing ditemukan di dalam kalimat dalam bahasa
dasar (Adi, 2018). Peralihan tersebut dapat berupa perubahan kode, campur
kode, penyisipan, dan leksikalisasi kongruen. Sebagai contoh:

- Menurutku that’s a good idea!


Contoh ini adalah jenis alih kode intra-sentential. Itu terjadi ketika
pembicara menggunakan kata bahasa Indonesia 'menurutku' dalam
ucapan bahasa Inggris

- Open your book and kerjakan halaman 10!


Contoh di atas juga diklasifikasikan sebagai alih kode intra sentensial
karena pembicara pada saat itu menggunakan bahasa Inggris tetapi
dia beralih ke bahasa Indonesia dalam menyelesaikan ucapannya.

6.2. Function of Codeswitching


Menurut Jiangxia dan Yao dalam (Fareed et al., 2016) alih kode terjadi
secara tidak sadar oleh guru dan digunakan sebagai strategi yang baik dalam
menjelaskan instruksi, menerjemahkan kosa kata yang sulit, mengelola kelas,
memberikan informasi latar belakang dan dalam mengurangi kegugupan
siswa.43 Mempertimbangkan penggunaan alih kode sebagai strategi , penting
untuk mengetahui fungsi dasar alih kode yang mungkin bermanfaat dalam
lingkungan belajar-mengajar bahasa.

a. The conversational Function of codeswitching


Gumperz dalam Yuliana dkk. (2015) menyajikan enam fungsi percakapan
utama alih kode, yaitu kutipan, spesifikasi alamat, interjeksi, pengulangan,
dan kualifikasi pesan.44 Masing-masing fungsi akan dibahas di bawah ini:

1) Kutipan
Dalam banyak kasus, bagian alih kode dapat diidentifikasi dengan
jelas baik sebagai kutipan langsung atau sebagai pidato yang dilaporkan.
Fungsi kutipan berarti pembicara mengganti bahasa untuk mengutip
ucapan orang lain dan melaporkannya dalam percakapan. Sebagai
contoh:

A : Anna coba jawab pertanyaan nomer 11! What does Mr. Drew say
about his son? apa yang Mr. Drew bilang tentang anaknya di audio
tadi?
S : Mr. Drew bilang His son has just graduated and he will continue to
university, Miss. Jadi jawabannya C, Miss.

Dalam percakapan antara guru dan siswa di atas, mereka berbicara


tentang jawaban dari tugas mendengarkan. Guru bertanya kepada siswa
tentang apa yang dikatakan Pak Drew tentang putranya di audio.
Kemudian, siswa tersebut menjawab pertanyaan tersebut dengan
mengutip ucapan Pak Drew dalam audio. Siswa mengatakan ‘His son
has just graduated and he will continue to university, Miss’

2) Spesfikiasi penerima
Alih kode berfungsi untuk mengarahkan pesan ke salah satu dari
beberapa penerima. Tujuan dari pengalihan ini adalah untuk memberi
tahu lawan bicara. Pembicara mengganti bahasa untuk mengundang
orang lain untuk berpartisipasi dalam percakapan

3) Interjeksi
Dalam kasus lain, alih kode berfungsi untuk menandai interjeksi
atau pengisi kalimat. Fungsi interjeksi berarti penutur menyisipkan
interjeksi atau pengisi kalimat, seperti “Look”, “Well”, “Anyway”, begitu ke
dalam ujaran untuk menyampaikan emosi atau menarik perhatian.
4) Pengulangan
Seringkali pesan dalam satu kode diulang dalam kode lain, baik
secara harfiah atau dalam bentuk yang dimodifikasi. Peralihan ini
bertujuan untuk mengulangi pesan tertentu atau sebagian darinya ke
dalam bahasa lain.

5) Kualifikasi pesan
Kelompok besar sakelar lainnya terdiri dari konstruksi yang
memenuhi syarat seperti klausa, kalimat, dan frasa (kata kerja dan pujian
kata benda). Itu tergantung pada pemahaman pembicara tentang topik
percakapan tertentu. Terkadang, topik diperkenalkan dalam satu bahasa
dan dikomentari dalam bahasa lainnya.

6) Personalisasi dan Objektivisasi


Dalam kelompok terakhir ini, fungsi instance yang relatif besar
agak lebih sulit untuk ditentukan dalam istilah deskriptif murni. Kontras
kode di sini tampaknya berhubungan dengan hal-hal seperti: perbedaan
antara pembicaraan tentang tindakan dan pembicaraan sebagai tindakan,
tingkat keterlibatan pembicara dalam, atau jarak dari, pesan, apakah
suatu pernyataan mencerminkan opini atau pengetahuan pribadi, apakah
itu mengacu pada contoh spesifik atau memiliki otoritas fakta yang
diketahui secara umum.

7. The similarity and the differences between code-switching and code-mixing


Perbedaan antara alih kode dan campur kode, keduanya memiliki kesamaan
yang kuat, meskipun begitu sulit untuk menemukan perbedaan di antara keduanya.
Menurut Auliya et al. (2017), Kesamaan antara alih kode dan campur kode hanyalah
fungsi ketika penutur menggunakan dua bahasa atau lebih sebagai varian bahasa
dalam masyarakat tutur. Terjadinya peristiwa yang dilakukan oleh penutur dalam
mencampur bahasa atau mengubah kode komunikasi.
Banyak peneliti telah mencoba mendefinisikan alih kode dan campur kode. Di
antara mereka adalah Halliday (1978) dan Muysken (2000). Misalnya, Hymes (1978:)
mendefinisikan alih kode hanya sebagai “konsep populer untuk penggunaan substansial
dari dua atau lebih bahasa, keragaman bahasa atau bahkan gaya bicara. “sedangkan
Bokamba (1989:281) mengangkat kedua istilah tersebut sebagai berikut: “Code-
switching adalah pencampuran kata, frase dan kalimat dari dua sistem (sub) gramatikal
yang berbeda ke dalam batas kalimat dalam sesi tuturan yang sama… campur kode
adalah pemasangan unit linguistik yang berbeda seperti afiks (morfem terikat), kata
(morfem bebas), klausa dan frasa dari peristiwa bersama di mana penutur, untuk
menunjukkan apa yang dimaksud, harus sesuai dengan apa yang mereka dengar
dengan apa yang mereka sadari.”
Menurut Al-Azzawi (2018), alih kode bukanlah pameran pengetahuan bahasa
yang tidak sempurna: pencampuran dua bahasa tanpa tata bahasa. Sebaliknya itu
adalah fenomena di mana penuturnya berbicara dalam lingkup makna. Dengan alih
kode, yang umumnya terjadi dalam sebuah dialog, pilihan tuturan mendorong pembicara
untuk berbicara tentang konteks dan proporsi sosial di mana interaksi itu terjadi.
Peristiwa alih kode diperiksa dari perspektif analisis percakapan, dan dengan demikian
dilihat sebagai pergantian reaktif di antara peserta komunitas tuturan dua bahasa.
Seringkali konsep campur kode diterapkan sebagai setara dengan alih kode dan
menunjukkan alih kode intra-sentential secara substansial. Padahal, survei terakhir telah
menunjukkan denotasi baru untuk konsep ini. Maschler menunjukkan bahwa campur
kode atau campur kode sebagai “berbicara dua bahasa dan kemudian muncul kode
baru yang ketiga, di mana aspek yang berbeda dari dua bahasa dimasukkan ke dalam
pola yang dapat ditetapkan secara struktural”. Dengan kata lain, hipotesis campur kode
menyatakan bahwa ketika dua bahasa yang ditukar kode terdiri dari kemunculan kode
ketiga, ia memiliki fitur struktural khusus untuk kode baru ini.
Selain itu, Meyerhoff (2006:115-116) mengatakan bahwa campur kode
“kebanyakan mengarah pada pergeseran antara pilihan, atau kode, dalam frase atau
klausa. Hal ini sering kali mengembangkan sebagian besar estimasi negatif daripada
variasi atau alih kode ke dalam klausa.
Thelander yang dikutip oleh Chaer & Agustina (2004:115) mencoba membedakan
antara alih kode dan campur kode. Dikatakannya alih kode adalah peristiwa tuturan
yang terjadi peralihan dari satu klausa bahasa ke klausa bahasa lain. Sedangkan ketika
terjadi peristiwa tuturan, klausa atau frase yang terdiri dari klausa hibrid dan frase hibrid,
dan kesemuanya itu tidak saling mendukung disebut campur kode.
Sedangkan menurut Ayeomoni (2006), alih kode adalah pencampuran kata,
frasa, dan kalimat dari dua sistem (sub) gramatikal yang berbeda melintasi batas kalimat
dalam peristiwa tutur yang sama. Sedangkan campur kode adalah penyisipan berbagai
unit linguistik seperti imbuhan (morfem terikat), kata (morfem tak terikat), frase dan
klausa dari suatu kegiatan kerjasama dimana para peserta, untuk menyimpulkan apa
yang dimaksud, harus mendamaikan apa yang mereka dengar dengan apa yang
mereka dengar. apa yang mereka pahami.
Selanjutnya, Bullock & Toribio (2009) menyatakan bahwa alih kode mengacu pada
kapasitas penggunaan, penggantian, atau pengalihan dua bahasa yang digunakan.
Dalam hal ini penutur setidaknya memiliki kecakapan dalam bahasa kedua selain
bahasa pertama sehingga ia dapat beralih dari bahasa pertama ke bahasa kedua dan
sebaliknya. Sedangkan campur kode menurut Nababan (1993) ditemukan terutama
dalam interaksi informal. Ada beberapa alasan mengapa orang melakukan campur
kode. Pertama, dalam campur kode, penutur dwibahasawan seolah-olah menerapkan
beberapa kata atau frasa dari bahasa asing (bagian dari satu bahasa lebih kecil dari
klausa), sedangkan bahasa lain (kode) berfungsi sebagai bahasa dasar. Kedua, penutur
dwibahasa mencampur kode ketika tidak ada topik yang berubah, begitu pula situasinya
(Gumperz, 1982).
Praktek penggunaan dua bahasa secara bergantian disebut alih kode. Alih kode
merupakan fenomena linguistik yang umumnya terjadi dalam masyarakat tutur
dwibahasa dan multibahasa (Mahootian, 2006). Orang yang beralih bahasa harus
memiliki tujuan, seperti mengutip seseorang, mengkualifikasikan pesan, memperkuat
atau menekankan, menyampaikan kerahasiaan, kemarahan, dan kekesalan, menandai
dan menekankan identitas kelompok (solidaritas), mengeluarkan seseorang dari
percakapan, mengubah peran kelompok. pembicara, menaikkan status, menambah
wibawa, menunjukkan keahlian, dan melanjutkan bahasa terakhir yang digunakan
(Grosjean, 1982). Sedangkan campur kode adalah perubahan satu bahasa ke bahasa
lain dalam ucapan yang sama atau dalam teks lisan atau tulisan yang sama (Nababan,
1993). Penggunaan campur kode mencerminkan gagasan bahwa pergantian bahasa
belum dibatasi (Azuma, 1998).
Bahkan, sebagian orang sulit membedakan antara alih kode dan campur kode.
Campur kode mentransfer unsur-unsur dari semua tingkatan dan unit linguistik mulai
dari item leksikal ke kalimat, sehingga tidak selalu mudah untuk membedakan alih kode
dari campur kode (Grosjean, 1982). Alih kode didefinisikan sebagai pergantian dua
bahasa dalam satu wacana, kalimat, atau konstituen. Pergantian intersentensial terjadi
ketika peralihan dilakukan melintasi batas kalimat (Grosjean, 1982; Torres, 1989).
DiPietro mendefinisikannya sebagai “penggunaan lebih dari satu bahasa oleh
komunikan dalam pelaksanaan tindak tutur.” (sebagaimana dikutip dalamGrosjean,
1982:145). Poplack (2000) menyatakan bahwa alih kode adalah pergantian dua bahasa
dalam satu wacana, kalimat, atau konstituen. Menurut Clyne (2000), alih kode adalah
alternatif penggunaan dua bahasa baik di dalam kalimat maupun di antara kalimat.
Juga, ini kontras dengan transferensi, di mana satu item ditransfer dari bahasa B ke A
(atau sebaliknya), apakah terintegrasi ke dalam sistem gramatikal dan/atau fonologis
bahasa penerima atau tidak.
Ketika bilingual beralih atau mencampur dua bahasa, mungkin ada motivasi dan
alasan untuk alih kode dan campur kode. Grosjean (1982) mengemukakan beberapa
alasan alih kode. Misalnya, beberapa bilingual mencampur dua bahasa ketika mereka
tidak dapat menemukan kata atau ungkapan yang tepat atau ketika tidak ada
terjemahan yang sesuai untuk bahasa yang digunakan. Juga, lawan bicara mereka,
situasi, pesan, sikap, dan emosi menghasilkan campur kode. Menurut Grosjean (1982),
alih kode juga dapat digunakan untuk banyak alasan lain, seperti mengutip apa yang
dikatakan seseorang (dan dengan demikian menekankan identitas kelompok
seseorang), menentukan penerima (beralih ke bahasa biasa dari orang tertentu dalam
suatu kelompok akan menunjukkan bahwa seseorang berbicara kepada orang itu),
kualifikasi yang telah dikatakan, atau berbicara tentang peristiwa masa lalu. Atas dasar
sejumlah faktor seperti dengan siapa (peserta: latar belakang dan hubungan mereka),
tentang apa (topik, konten), dan kapan dan di mana tindak tutur terjadi, bilingual
membuat pilihan bahasa mereka (Bhatia & Ritchie, 2004).
Menurut Bhatia & Ritchie (2004), sebagian besar orang bilingual memiliki
pandangan negatif terhadap tuturan campur kode. Mereka menganggap
pencampuran/pengalihan bahasa sebagai tanda “kemalasan”, tindak tutur yang “tidak
disengaja”, “ketidakmurnian”, dan contoh dekadensi linguistik dan potensi bahaya bagi
penampilan linguistik mereka sendiri. Namun, Zentella (1999) mengklaim bahwa alih
kode lebih umum terjadi selama interaksi interpersonal informal, termasuk yang terjadi
antara anggota keluarga dalam konteks alami.
Dari penjelasan di atas dapat diketahui perbedaan antara campur kode dan alih
kode. Pertama, dalam campur kode, penutur dwibahasawan seolah-olah menggunakan
beberapa kata atau frase asing (bagian dari satu bahasa lebih kecil dari klausa)
sedangkan bahasa lain (kode) berfungsi sebagai dasarnya. Penutur dwibahasa kedua
dikatakan melakukan campur kode (namun tidak berpindah dari satu ke yang lain) bila
tidak ada topik yang berubah, demikian pula situasinya.
Fasold (1996:192) menjelaskan salah satu kriteria terjadinya alih kode dan
campur kode yang berbeda. Salah satu kreasi yang terkadang ditawarkan untuk
membedakan peralihan dari pencampuran adalah bahwa tata bahasa klausa
menentukan bahasa. Dengan kriteria ini, jika seseorang menggunakan kata atau frase
dari bahasa lain, dia telah bercampur, bukan bertukar. Tetapi jika satu klausa memiliki
struktur tata bahasa dari satu bahasa dan yang berikutnya dibangun sesuai dengan tata
bahasa yang lain, buatlah sebuah kode.
Menurut (Harya, 2018), alih kode dan campur kode yang hidup dalam
masyarakat dwibahasa (atau multibahasa) memaksa orang untuk dapat berbicara
setidaknya dalam dua bahasa yang berbeda. Kami akan mengambil bahasa Jawa
sebagai contoh kasus. Orang Jawa dapat berbicara bahasa Jawa, dan bahasa ibu
mereka, dan bahasa Indonesia sebagai bahasa sekunder atau bahasa nasional mereka
minimal. Dimungkinkan untuk menemukan mereka berbicara bahasa asing juga. Karena
orang harus berbicara dengan bahasa yang berbeda (atau mengikuti tingkat
pembicaraan yang berbeda; yaitu ngoko atau krama dalam bahasa Jawa) untuk alasan
yang berbeda, yang disebut fenomena linguistik alih kode (Anda menyebutnya "alih
kode" dan campur kode ( campur kode) pasti akan terjadi. Ketika Anda berganti-ganti
antara dua (atau lebih) bahasa selama berbicara dengan orang bilingual lain itu berarti
Anda telah beralih kode. Sekarang kita dapat melihat perbedaan antara alih kode dan
campur kode. Ketika Anda mengubah bahasa dengan sengaja dan Anda melakukannya
karena tujuan tertentu (mis. kehadiran orang ketiga yang tidak menggunakan bahasa
yang sama atau perubahan topik atau situasi), dengan kata lain alih fungsi, artinya Anda
alih kode. masukkan potongan kata selain dari bahasa Anda, dan Anda tidak memiliki
tujuan atau maksud tertentu ketika melakukan itu berarti Anda mencampur kode.
Alih kode adalah istilah dalam linguistik mengacu pada penggunaan lebih dari
satu bahasa atau variasi dalam percakapan. Sementara ahli lain menyatakan bahwa alih
kode adalah percampuran kata, frase, dan kalimat dari dua sistem (sub) gramatikal yang
berbeda melintasi batas kalimat dalam peristiwa tutur yang sama. Campur kode istilah
mengacu pada penggunaan satu atau lebih bahasa untuk transfer konsisten unit
linguistik dari satu bahasa ke bahasa lain, dan oleh campuran bahasa tersebut
mengembangkan kode interaksi linguistik baru terbatas atau tidak begitu terbatas. Guru
melakukan alih kode di kelas untuk memperjelas makna dan mentransfer pengetahuan
kepada siswa dengan cara yang efisien. Namun, perlu diingat bahwa dalam jangka
panjang, ketika siswa mengalami interaksi dengan penutur asli dari bahasa sasaran; alih
kode mungkin menjadi penghalang yang mencegah saling memahami.
Kesimpulannya, dalam sosiolinguistik, terdapat variasi bahasa yang meliputi
kode. Kode mengacu pada bahasa atau berbagai bahasa. Ini adalah sistem yang
digunakan oleh orang-orang untuk berkomunikasi satu sama lain. Ketika orang ingin
berbicara satu sama lain, mereka harus memilih kode tertentu untuk mengekspresikan
ada simbol nasionalisme yang digunakan oleh orang untuk berbicara atau
berkomunikasi dalam bahasa tertentu untuk tujuan komunikasi yang berbeda (baik lisan
maupun tulisan). Kode terbagi menjadi dua, yaitu alih kode dan campur kode. Alih kode
dan campur kode yang hidup dalam masyarakat dwibahasa (atau multibahasa)
memaksa orang untuk dapat berbicara atau berkomunikasi paling tidak dalam dua
bahasa yang berbeda. Alih kode adalah mengalihkan situasi dari satu kode ke kode
lainnya. Jika seorang penutur terlebih dahulu menggunakan kode A (bahasa) maka ia
mengubah kode tersebut menjadi kode B (bahasa lain). Sedangkan campur kode adalah
mencampur dua bahasa atau menggunakan kedua bahasa secara bersamaan dalam
satu ujaran. Terkait dengan topik dan konsep, kita dapat melihat bahwa alih kode dan
campur kode dapat dilihat baik dalam bahasa tulis maupun lisan/lisan. Dalam bahasa
tulis, dapat ditemukan dalam buletin, majalah, novel, cerpen dll. Sedangkan dalam
bahasa lisan/lisan, dapat kita temukan dalam program TV, radio, lagu, film, proses
belajar mengajar, dll. Dalam kegiatan tersebut, orang tersebut sebagai dwibahasa atau
multibahasa dan menggunakan dua bahasa atau lebih, misalnya: bahasa Indonesia,
bahasa Inggris, dan bahasa daerah. Bahkan, alih kode dan campur kode banyak
digunakan dalam teknologi, misalnya di internet dan di jejaring sosial.
REFERENCES

Adi, W. T. (2018). Code Switching in Critical Eleven Novel. Undefined, 2(1), 39.
https://doi.org/10.31002/METATHESIS.V2I1.514
Al-Azzawi, Q. O. (2018). 2 0 61 : 3 ، ‫ لعدد ا‬62 ‫بابل جامعة لة مج‬، ‫ االهساهية لعلون ا‬، ‫ لد لمج ا‬Code Switching and Code
Mixing: A Sociolinguistic Study of Senegalese International Students in Iraqi Colleges.
Appel and Muysken. (2005). Language Contact and Bilingualism - René Appel, Pieter Muysken - Google Buku.
https://books.google.co.id/books?
id=0Em6D7YAsKYC&printsec=frontcover&hl=id#v=onepage&q&f=false
Auliya, F., Uin, A., & Lampung, R. I. (2017). Code Switching and Code Mixing in Teaching-Learning Process (Vol.
10, Issue 1). https://ejournal.radenintan.ac.id/index.php/ENGEDU
Ayeomoni, M. O. (2006). Code-Switching and Code-Mixing: Style of Language Use in Childhood in Yoruba
Speech Community. In Nordic Journal of African Studies (Vol. 15, Issue 1).
Azuma, S. (1998). Meaning and form in code-switching. Codeswitching Worldwide, Bd. I.
https://doi.org/10.1515/9783110812190.109/HTML
Baker. (2001). Foundations of Bilingual Education and Bilingualism - Colin Baker - Google Buku.
https://books.google.co.id/books?id=lJd-27Vu66AC&printsec=frontcover&hl=id#v=onepage&q&f=false
Bhatia, T. K., & Ritchie, C. (2004). The Handbook of Bilingualism.
Bialystok, E. (2001). Bilingualism in Development: Language, Literacy, and Cognition. Bilingualism in
Development. https://doi.org/10.1017/CBO9780511605963
Bokamba, E. G. (1989). Are there syntactic constraints on code-mixing? World Englishes, 8(3), 277–292.
https://doi.org/10.1111/J.1467-971X.1989.TB00669.X
Brezjanovic-Shogren, J. (2011). ANALYSIS OF CODE-SWITCHING AND CODE-MIXING AMONG BILINGUAL
CHILDREN: TWO CASE STUDIES OF SERBIAN-ENGLISH LANGUAGE INTERACTION A Thesis by.
Bullock, & Toribio. (2009). The Cambridge Handbook of Linguistic Code-switching. The Cambridge Handbook
of Linguistic Code-Switching. https://doi.org/10.1017/CBO9780511576331
Caloca, C. (1968). Uriel Weinreich - Languages in contact. Findings and problems (1979) (1).
https://www.academia.edu/39358679/Uriel_Weinreich_Languages_in_contact_Findings_and_problems
_1979_1_
Cantone. (2007). Review: [Untitled] on JSTOR. https://www.jstor.org/stable/40492907
Chaer, A., & Agustina, L. (2004). Sosiolinguistik : perkenalan awal / oleh : Abdul Chaer, Leonie Agustina |
OPAC Perpustakaan Nasional RI. https://opac.perpusnas.go.id/DetailOpac.aspx?id=568665
Clyne, M. (2000). Constraints on code-switching: how universal are they? The Bilingualism Reader, 254–277.
https://doi.org/10.4324/9780203461341-25
Coupland, N. (2007). Style : language variation and identity. 209.
Eberhardt, M. (2014). Gerard Van Herk, What is sociolinguistics?Malden, MA: Wiley-Blackwell, 2012. Pp. xvii,
243. Pb. $36.95. Language in Society, 43(1), 116–119. https://doi.org/10.1017/S0047404513000900
Engku Ibrahim, E. H., Ahamad Shah, M. I., & Armia, N. T. (2013). Code-Switching in English as a Foreign
Language Classroom: Teachers’ Attitudes. Undefined, 6(7), 139–150.
https://doi.org/10.5539/ELT.V6N7P139
Fahrurrozy. (2015). ANALYSIS OF CODE-MIXING IN COMMERCIAL ADVERTISEMENT.
Fareed, M., Humayun, S., & Akhtar, H. (2016). English Language Teachers’ Code-switching in Class: ESL
Learners’ Perceptions. Journal of Education & Social Sciences, 4(1).
https://doi.org/10.20547/JESS0411604101
Grosjean, F. (1982). Life with Two Languages: An Introduction to Bilingualism. Cambridge: Cambridge
University Press. https://books.google.co.id/books?
hl=id&lr=&id=VqGpxZ9pDRgC&oi=fnd&pg=PA1&dq=Grosjean,+F.+(1982).+Life+with+two+languages.
+Cambridge.++Cambridge:
+Cambridge+University+Press.&ots=ARtkgKxgbe&sig=Ff616hWdJeaQuPOa2BzWAHkaNJs&redir_esc=y#v
=onepage&q=Grosjean%2C%20F.%20(1982).%20Life%20with%20two%20languages.%20Cambridge.
%20%20Cambridge%3A%20Cambridge%20University%20Press.&f=false
Gulzar, M. S. (2014). Teachers’ Code-Switching in a Content-Focused English as a Second Language (ESL)
Classroom: Patterns and Functions. International Journal of Linguistics, 6(4), 130.
https://www.academia.edu/79798531/Teachers_Code_Switching_in_a_Content_Focused_English_as_a
_Second_Language_ESL_Classroom_Patterns_and_Functions
Gumperz, J. J. (1982). Discourse Strategies. Cambride: Cambridge University Press.
Halliday. (1978). M. A. K. Halliday, Language as social semiotic: The social interpretation of language and
meaning. London: Edward Arnold, 1978. Pp. 256. Language in Society, 9(1), 84–89.
https://doi.org/10.1017/S004740450000782X
Harya, T. Di. (2018). SOCIOLINGUISTICS (CODE: CODE SWITCHING AND CODE MIXING).
http://jurnal.stkippgribl.ac.id/index.php/lentera
Hazen, K. (2008). SALI TAGLIAMONTE, Analysing sociolinguistic variation. Language in Society, 37(02).
https://doi.org/10.1017/S0047404508080433
Kurnia, E. (2015). DESCRIPTION OF USING CODE SWITCHING AND CODE MIXING IN CONVERSATION BY THE
9th SEMESTER ENGLISH LITERATURE STUDENTS OF STATE UNIVERSITY OF SEMARANG IN THE ACADEMIC
YEAR2014/2015. Undefined.
Latifah, L., Saddhono, K., & Wardhani, N. E. (2017). LANGUAGE VARIATION BACKGROUND IN SOCIAL CONTEXT
OF COMMUNITY UTTERANCES IN CENTRAL JAVA-WEST JAVA, MAJENANG. Lingua Didaktika: Jurnal
Bahasa Dan Pembelajaran Bahasa, 11(1), 95. https://doi.org/10.24036/ld.v11i1.7675
Mahootian, S. (2006). Code Switching and Mixing. Encyclopedia of Language & Linguistics, 511–527.
https://doi.org/10.1016/B0-08-044854-2/01507-8
McGroarty, M. (1996). Language Attitudes, Motivation, and Standards BT  - SOCIOLINGUISTICS AND
LANGUAGE TEACHING, McKay, Sandra Lee, & Hornberger, Nancy H. [Eds], New York, NY: Cambridge U
Press, 1996, pp 3-46. SOCIOLINGUISTICS AND LANGUAGE TEACHING, McKay, Sandra Lee, & Hornberger,
Nancy H. [Eds], New York, NY: Cambridge U Press, 1996, Pp 3-46.
https://books.google.com/books/about/Sociolinguistics_and_Language_Teaching.html?
hl=id&id=0dHaYnma8ooC
Meyerhoff, M. (2006). Introducing Sociolinguistics. Introducing Sociolinguistics. London and New York:
Routledge Publishing.
Mujiono, M., Poedjosoedarmo, S., Subroto, E., & Wiratno, T. (2013). Code Switching in English as Foreign
Language Instruction Practiced by the English Lecturers at Universities. International Journal of
Linguistics, 5(2). https://doi.org/10.5296/IJL.V5I2.3561
Muysken, P. (2000). Bilingual speech: A typology of code-mixing. www.cambridge.org
Nababan. (1993). Sosiolinguistik: suatu pengantar - P. W. J. Nababan - Google Buku.
https://books.google.co.id/books/about/Sosiolinguistik.html?id=zV2iNQAACAAJ&redir_esc=y
Pieter Muysken. (2003). Josiane F. Hamers and Michel H.A. Blanc, Bilinguality and bilingualism. 2nd ed.
Cambridge: Cambridge University Press, 2000. Pp. xiv + 468 pages. Hb $90.00, pb $30.00. Language in
Society, 32(3), 419–421. https://doi.org/10.1017/S0047404503223058
Poplack, S. (2000). The English history of African American English. (Language in Society, 28.) Oxford:
Blackwell. Language in Society, 30(2), 311–316. https://doi.org/10.1017/S0047404501352053
Puspawati, I. (2018). Teachers’ Use of Code Switching in EFL Classroom and its Functions. Journal of Foreign
Languange Teaching and Learning, 3(1). https://doi.org/10.18196/FTL.3128
Slone, G. T. (1993). Janet Holmes An Introduction to Sociolinguistics. Language Problems and Language
Planning, 17(3), 274–275.
https://www.academia.edu/36432782/Janet_Holmes_An_introductionto_sociolinguistics
Sumarsih, Siregar, M., Bahri, S., & Sanjaya, D. (2014). Code Switching and Code Mixing in Indonesia: Study in
Sociolinguistics. English Language and Literature Studies, 4(1). https://doi.org/10.5539/ells.v4n1p77
Sutrismi. (2014). THE USE OF INDONESIAN ENGLISH CODE MIXING IN SOCIAL MEDIA NETWORKING
(FACEBOOK) BY INDONESIAN YOUNGSTERS.
Torres, L. (1989). Code-mixing and borrowing in a New York Puerto Rican community: a cross-generational
study. World Englishes, 8(3), 419–432. https://doi.org/10.1111/J.1467-971X.1989.TB00679.X
Tracy, K., Ilie, C., & Sandel, T. L. (2014). An Investigation through Different Types of Bilinguals and Bilingualism.
1600.
https://www.academia.edu/8436489/An_Investigation_through_Different_Types_of_Bilinguals_and_Bil
ingualism
Wardhaugh, R., & Fuller, J. M. (2015). 2. Languages, Dialects, and Varieties. An Introduction to Sociolinguistics,
35. https://books.google.com/books/about/An_Introduction_to_Sociolinguistics.html?
hl=id&id=0b0WBQAAQBAJ
Wibowo, A. I., Yuniasih, I., & Nelfianti, F. (2017). ANALYSIS OF TYPES CODE SWITCHING AND CODE MIXING BY
THE SIXTH PRESIDENT OF REPUBLIC INDONESIA’S SPEECH AT THE NATIONAL OF INDEPENDENCE DAY:
Vol. XII (Issue 2).
Yuliana, N., Luziana, A. R., & Sarwendah, P. (2015). CODE-MIXING AND CODE-SWITCHING OF INDONESIAN
CELEBRITIES: A COMPARATIVE STUDY.
 

Anda mungkin juga menyukai