PENDAHULUAN
Fungsi bahasa yang paling utama adalah sebagai alat untuk bekerja sama
manusiawi, artinya bahwa bahasa sebagai alat komunikasi verbal hanya dimiliki
manusia. Bahasa itu beragam, karena meskipun sebuah bahasa mempunyai kaidah
atau pola tertentu yang sama, namun karena bahasa itu digunakan oleh penutur
yang heterogen dan mempunyai latar belakang sosial dan kebiasaan yang berbeda,
memungkinkan terlibatnya peserta tutur dari berbagai latar belakang (suku, sosial,
kontak bahasa (language contact) dari beberapa bahasa yang berbeda di dalam
situasi sosial tertentu. Kontak bahasa adalah situasi atau keadaan yang melibatkan
penutur dua bahasa atau lebih yang saling berkomunikasi dengan menggunakan
satu atau lebih bahasa di dalam sebuah peristiwa tutur yang sama (Thomason,
2001).
dengan adanya faktor yang tersebut akan mempengaruhi pola penggunaan bahasa
yang digunakan oleh masyarakat. Hal tersebut selaras dengan pendapat Chaer &
1
Agustina (2004: 65) menjelaskan bahwa masyarakat akan terbuka dan dapat
menerima masyarakat kelompok lain yang berbeda suku dan bahasa. Dengan kata
lain kontak bahasa dari beberapa latar belakang etnis yang berbeda akan
multilingual yaitu di Indonesia, yang terdiri dari berbagai suku dan bahasa. Setiap
individu setidaknya memiliki dua bahasa yang dikuasai yaitu bahasa ibu dan
seseorang akan memahami atau menguasai bahasa daerah lain atau dari suku
berbeda yang bukan merupakan bahasa ibu atau bahasa pertama mereka.
mempunyai etnik yang lebih dari satu. Perebutan pengaruh pemakaian bahasa
keberlangsungan dan keeksisan bahasa yang dimiliki daerah asli tersebut. Situasi
kebahasaan ini menggembarkan bahwa telah terjadi kontak bahasa antara bahasa
ibu dan bahasa lain. Dalam peristiwa kontak bahasa pada masyarakat bilingual
antara lain alih kode (code switching), campur kode (code mixing), dan
interferensi (interference).
Fenomena dwibahasa dapat terjadi kapan saja dan dimana saja seorang
individu berada. Seorang individu dapat menjadi dwibahasawan pada waktu anak-
anak dan juga pada waktu dewasa. Sedangkan peristiwa tersebut dapat ditemukan
2
dalam lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, lingkungan desa, ataupun di
tempat-tempat lainnya. Apabila ditinjau dari beberapa aspek, kita kenal beberapa
Fenomena yang dimaksud berkaitan dengan alih kode dan campur kode
yang merupakan topik permasalahan dalam penelitian ini. Tindak tutur (acte de
informasi oleh penutur kepada mitra tuturnya dengan maksud ataupun tujuan
tertentu. Selanjutnya, Austin (1968) membagi dimensi tindak tutur ke dalam 3 hal,
yaitu tindak tutur lokusi (penyampaian pesan), tindak tutur ilokusi (menyebabkan
afeksi dari tuturan), dan tindak tutur perlokusi (tindak lanjut dari tindak tutur
berdasarkan bentuk formal dari bahasa tersebut, melainkan bahasa dapat dikaji.
Hal menarik dari interaksi sosial dari beberapa suku yang berbeda menyebabkan
terjadinya variasi kode tutur atau bahasa yang digunakan dalam sebuah peristiwa
3
harus memiliki kemampuan untuk memilih dan menggunakan kode tutur yang
kemampuan repertoar dalam menguasai lebih dari satu kode atau bahasa.
Pemilihan kode akan menyesuaikan dengan peristiwa tutur atau situasi tutur. Hal
tersebut sering disebut juga dengan situasi yang diglosik. Keadaan diglosik ialah
di mana penutur akan memilih kode tertentu yang dianggap sesuai berdasarkan
pola-pola tertentu untuk berinteraksi dengan lawan tutur yang berasal dari etnik
maupun ragam akan dipilah berdasarkan fungsinya. Pemilihan kode (code choice)
multibahasawan yang menguasai dua bahasa atau lebih, baik secara aktif ataupun
secara pasif. Oleh sebab itu, pada saat berinteraksi seorang bilingual ataupun
multilingual akan memilih sebuah kode tertentu yang akan digunakan untuk
berbicara kepada lawan tutur yang memiliki bahasa ibu berbeda (Sumarsono,
2013: 201-204).
faktor, seperti faktor partisipan, topik, suasana, ranah, dan lain sebagainya. Dalam
4
interaksi sosial sehari-hari dengan penutur lainnya, tentu biasanya secara terus
siswanya. Dalam hal ini, ia memilih satu dari minimal dua bahasa yang
satu komponen utama dan mempunyai peran penting dalam proses belajar
untuk berkomunikasi.
kode tertentu agar orang lain memahami apa yang disampaikan. Hal ini pun
peralihan pemakaian bahasa karena berubahnya situasi (alih kode), dan gejala
Beberapa fenomena tersebut dapat berasal dari dalam diri guru itu sendiri
tersebut juga terjadi di wilayah Pamona yang merupakan salah satu kecamatan di
5
berjumlah 5.238 kk, terdiri dari 9 suku dengan jumlah peretnik etnik Pamona
4.280 kk, suku Mori 328 kk, suku Bali 232 kk, suku Jawa 56 kk, suku Toraja 189,
Suku Tiongho 36 kk, suku Batak 15 kk, suku Bugis 20 kk, suku Bada 83 kk..
Kecamatan Pamona termasuk daerah wisata. Suku asli kecamatan Pamona adalah
memiliki pola yang unik, sehingga peneliti tertarik meneliti pola pemilihan bahasa
kabupaten Poso.
6
linguistik terapan yang dimaksud digunakan sebagai ilmu linguistik yang
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
penelitian ini menunjukan ada tiga kode yang dominan digunakan yaitu,
varian dan penentu pemilihan kode, alih kode dan campur kode pada
tutur jawa di kota Bontang ada kode bahasa Indonesia, bahasa Jawa dan
8
multietnik di Desa Sako, (2) mendeskripsikan polapola pemilihan kode
tinggi atau H (High) yang umumnya dipakai dalam situasi formal, bahasa
Melayu Kuantan sebagai bahasa pengantar atau lingua franca, dan bahasa-
Sebagai alat komunikasi dan alat interaksi yang hanya dimiliki oleh
manusia, bahasa dapat dikaji secara internal maupun eksternal. Kajian bahasa
secara internal artinya, pengkajian itu hanya dilakukan terhadap struktur intern
bahasa itu saja, yaitu struktur fonologis, morfologis, atau struktur sintaksisnya.
Sebaliknya, kajian secara eksternal berarti kajian itu dilakukan terhadap hal-hal
atau faktor-faktor yang berada di luar bahasa yang berkaitan dengan pemakai
dalam segala kegiatan manusia di dalam masyarakat. Pengkajian ini tidak hanya
menggunakan teori dan prosedur linguistik saja, tetapi juga menggunakan disiplin
lain yang berkaitan dengan penggunaan bahasa itu, misalnya sosiologi, psikologi,
dan antropologi. Penelitian atau kajian bahasa secara eksternal ini melibatkan dua
9
disiplin ilmu atau lebih, sehingga wujudnya berupa ilmu antar disiplin yang
mempunyai kaitan erat. Sebagai objek dalam sosiolinguitik, bahasa tidak dilihat
umum, melainkan dilihat dan didekati sebagai sarana interaksi atau komunikasi
pemberian nama bayi sampai upacara pemakaman jenazah tentu tidak lepas dari
penggunaan bahasa. Oleh karena itu rumusan mengenai sosiolinguistik tidak akan
merupakan masalah dalam sosiolinguistik, yaitu (1) identitas sosial dari penutur,
(2) identitas sosial dari pendengar yang terlibat dalam proses komunikasi,
(3)lingkungan sosial tempat peristiwa itu terjadi, (4) analisis sinkronik dan
diakronik dari dialek-dialek sosial, (5) penilaian sosial yang berbeda oleh penutur
akan perilaku bentuk-bentuk ujaran, (6) tingkatan variasi dalam ragam linguistik,
10
2. 3 Peristiwa Tutur
dalam satu bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan
lawan tutur, dengan satu pokok tuturan, dalam waktu, tempat, dan situasi tertentu
(Chaer, 2004: 47). Interaksi yang berlangsung antara seorang penjual dan
pembeli di pasar pada waktu tertentu dengan menggunakan bahasa sebagai alat
Hal yang sama juga terjadi dan kita dapati dalam acara diskusi, di ruang
percakapan baru dapat disebut sebagai peristiwa tutur (speech event) apabila
memenuhi syarat seperti yang telah disebukan dalam definisi di atas. Dell Hymes
(dalam Purnamawati, 2010) membedakan antara peristiwa tutur dan tindak tutur,.
Hymes berpendapat bahwa peristiwa tutur (speech event) terjadi dalam sebuah
mana setiap huruf dalam akronim tersebut adalah singkatan untuk komponen
1. S (Situation), terdiri dari dua yaitu Setting dan Scene. Setting berkenaan
dengan waktu dan tempat tutur berlangsung, sedangkan Scene mengacu pada
situasi tempat dan waktu atau situasi psikologis pembicaraan. Waktu, tempat,
bahasa yang berbeda, sebagai contoh berbicara dilapangan sepak bola pada
11
pembicaraan di ruang perpustakaan pada waktu orang banyak membaca dan
bisa pembicara dan pendengar, penyapa dan pesapa, atau pengirim dan
digunakan, misalnya anak akan menggunakan ragam atau gaya bahasa yang
berbeda bila berbicara dengan orang tuanya atau gurunya bila dibandingkan
3. E (Ends), merujuk pada maksud dan tujuan pertuturan. Peristiwa tutur yang
kasus perkara; namun para partisipan di dalam peristiwa tutur itu mempunyai
4. A (Acts Sequences), mengacu pada bentuk ujaran dan isi ujaran. Bentuk
dikatakan dengan topik pembicaraan. Bentuk dan isi ujaran dalam kuliah
umum, dalam percakapan biasa, dan dalam pesta berbeda satu dengan yang
lainnya.
5. K (Key), mengacu pada nada, cara, dan semangat di mana suatu pesan
12
dengan sombong, dengan mengejek dan sebagainya. Atau dapat ditunjukkan
mengacu pada kode ujaran yang digunakan misalnya jalur tulisan, lisan,
7. N (Norms), mengacu pada norma atau aturan dalam berinteraksi dan juga
mengacu pada penafsiran terhadap ujaran dari lawan bicara, sebagai contoh:
Istilah kode menurut Wardhaugh (1986: 45) dapat diartikan sebagai dialek,
bahasa, gaya, bahasa standar, pidgin, dan creole. Bahkan tidak menutup
karena itu, dengan adanya kode tutur, penutur akan mudah memilih kode yang
sesuai dengan peristiwa tutur yang sedang berlangsung. Kunjana (2001: 22)
kebahasaan. Oleh karena itu, variasi dalam bahasa baik berupa dialek,
tingkattutur, ragam, style, dan register termasuk ke dalam variasi tingkatan dalam
13
Masing-masing individu memiliki kemampuan memahami kode yang
perihal yang tidak mudah. Dengan demikian, seseorang yang memahami dua kode
atau lebih mereka akan dihadapkan dengan situasi bahwa mereka harus
mempertimbangkan dan memilih kode atau bahasa tertentu yang sesuai untuk
Pemilihan kode (code choice) didasarkan atas beberapa faktor yang sudah
sering kita dengar, misalnya seperti konteks atau situasi, partisipan, topik atau
beberapa bahasa akan dihadapkan pada masalah ini, oleh karena itu, istilah
bahasa, karena kode dapat diartikan sebagai bahasa, dialek, tingkat tutur, ragam
dan sebagainya. Kode yang dipilih oleh seorang penutur, menurut Hudson (1996:
52) disesuaikan dengan peristiwa tutur yang sedang terjadi dan hal tersebut
dan Fishman (dalam Chaer dan Agustina: 2004), bahwa secara sosiolinguistik,
14
Oleh karena itu, dalam membicarakan kedwibahasaan tercakup beberapa
pengertian, seperti masalah tingkat, fungsi, pertukaran bahasa atau alih kode,
percampuran bahasa atau campur kode, interferensi, dan integrasi. Dari pendapat
yang telah dikemukakan Mackey dan Fishman tersebut, terdapat dua hal yang
dimaksud setidaknya mengenai pertukaran bahasa atau alih kode dan percampuran
mempengaruhi dari satu kode ke kode yang lainnya, yang mana kesemuanya itu
dapat terwujud dalam bentuk alih kode ataupun campur kode. Sedangkan
penjabaran dari kedua istilah tersebut (alih kode dan campur kode) adalah sebagai
berikut yang diawali dengan definisi dan tipologi kode sebagai dasar pijakan
penjelasan selanjutnya tentang alih kode dan campur kode. Kode Menurut KBBI
(2007), dijelaskan bahwa dalam istilah linguistik, kode mempunyai arti sebagai:
(a) tanda (kata-kata, tulisan) yang disepakati untuk maksud tertentu; (b) kumpulan
dari peraturan yang bersistem; dan (c) kumpulan prinsip yang bersistem.
kode sebagai: (a) lambang atau sistem ungkapan yang dipakai untuk
15
menggambarkan makna tertentu; (b) sistem bahasa dalam suatu masyarakat; dan
kode. Poedjosoedarmo (1976; 67) mengartikan kode sebagai suatu sistem tutur
yang penerapan unsur bahasanya mempunyai ciri-ciri yang khas sesuai dengan
latar belakang penutur, relasi penutur dengan mitra tutur, dan situasi tutur yang
katakata, morfem, dan fonem. Hanya saja, adanya suatu pembatasan umum
tersebut.
Kode biasanya berbentuk varian-varian bahasa yang secara riil atau secara
mencakup varian-varian dua bahasa atau lebih. Kode-kode yang dimaksud dengan
yang lain (Poedjosoedarmo, 2008; 34). Jadi, dari beberapa definisi kode tersebut
di atas dapat disimpulkan bahwa pemakaian kode tidak lepas dari fenomena
23) mengatakan bahwa kosa kode akan banyak ditemukan pada bahasa yang
mempunyai macam dialek yang banyak, tingkat undha-usuk atau tindak tutur
16
Lebih lanjut, dikatakan pula bahwa kode selalulah mempunyai suatu
makna. Dalam bahasa Jawa, tingkat undha-usuk krama mempunyai makna sopan.
2. Alih Kode Berdasarkan KBBI (2007), alih kode adalah penggunaan bahasa lain
atau variasi bahasa lain untuk menyesuaikan diri dengan peran atau situasi lain
ataupun dikarenakan adanya partisipan yang lain. Appel (dalam Chaer dan
Agustina, 2004; 40) mengemukakan bahwa alih kode merupakan suatu gejala
Gejala peralihan bahasa yang dimaksud tentulah melibatkan lebih dari dua
bahasa yang digunakan dalam tindak komunikasi. Gal dalam Wardhaught (1992:
interpersonal relations with their rights and obligations.” Hal ini menunjukkan
Wardhaught (2010: 84), menyatakan bahwa “we will look mainly at the
pernyataan tersebut jelas bahwa dalam kedwibahasaan dan anekabahasa, kita akan
dalam sosiolinguistik, perpindahan dari satu dialek ke dialek yang lainnya lazim
disebut dengan dialect switching atau code shifting (alih kode). Nababan (1984;
24) menyatakan bahwa konsep alih kode mencakup juga kejadian dimana kita
17
beralih dari satu ragam fungsiolek (ragam santai misalnya) ke ragam lain (ragam
resmi atau formal misalnya), atau dari satu dialek ke dialek yang lainnya, dan lain
sebagainya.
dari seorang individu yang menguasai minimal dua bahasa (bahasa ibu dan bahasa
yang dipelajari) dalam komunikasinya. Hymes (dalam Chaer dan Agustina, 2004;
57) menyatakan lain tentang alih kode seperti halnya dikemukakan oleh Appel
yang menyatakan bahwa peristiwa alih kode itu terjadi antarbahasa. Namun,
Hymes menyatakan bahwa alih kode itu bukan hanya terjadi antarbahasa,
melainkan dapat terjadi pula antara ragam-ragam atau gaya-gaya yang terdapat di
dalam satu bahasa. Secara lengkapnya, Hymes (dalam Chaer dan Agustina, 2004:
108), mengatakan ”code switching has become a common term for alternate us of
pendapat kedua tokoh tersebut di atas, Appel dan Hymes, jelas bagi kita bahwa
berubahnya situasi dari situasi tidak formal ke situasi formal, ragam santai ke
ragam resmi, dan lain sebagainya. Dalam hal ini dapat diketahui pula bahwa alih
kode akan terjadi antar bahasa atau dalam bahasa satu ke bahasa kedua, misalnya
peralihan dari bahasa Indonesia ke bahasa Prancis, bahasa Jawa ngoko ke bahasa
ditentukan oleh penutur dan mitra tutur, kehadiran P3, dan pengambilan
18
pemakaian bahasa ini dilakukan dengan adanya kesadaran dari si pemakai bahasa
tersebut. Dengan demikian, alih kode itu sendiri merupakan suatu gejala peralihan
Alih kode terjadi antarbahasa, dapat pula terjadi antarragam dalam satu
bahasa. Chaer dan Agustina (2004; 35) mengemukakan contoh dari peristiwa alih
kode. Sebagai contoh dari peristiwa alih kode, simaklah ilustrasi berikut yang
2.6 Kedwibahasaan
kontak bahasa dari kelompok masyarakat yang berbeda (Chaer, 2004: 65). Salah
satu akibat dari adanya kontak bahasa tersebut yaitu memungkinkan individu dari
darikelompok lain. Fenomena seperti ini sering kita sebut dengan masyarakat
dwibahasa atau orang yang menggunakan dua bahasa dalam berinteraksi atau
Bloomfield (1958) yang diuraikan dalam Suhardi dan Sembiring (2005: 58-59)
penguasaan dua bahasa yang memiliki tingkat kefasihan seperti penutur asli
19
seseorang baru dapat dikatakan dwibahasawan apabila ia dapat menguasai bahasa
kedua seperti penutur asli. Sehingga ada pengertian lain yang mengartikan
kedwibahasaan yaitu oleh Haugen (1968: 10) yang disampaikan juga oleh Suhardi
seseorang yang mengetahui dua bahasa, baik itu secara aktif maupun secara pasif.
Oleh karena itu kedwibahasaan adalah kemampuan yang dimiliki seseorang dalam
bahasa tidak bersifat absolut, namun bersifat „kurang lebih‟ memahami sesuai
keseluruhan yang dimiliki atas dua bahasa, maupun pemahaman atau kemampuan
minimal terhadap dua bahasa tersebut (Alwasilah, 1993: 73). Dengan demikian,
dari beberapa pendapat di atas maka dapat dikatakan bahwa kedwibahasaan tidak
memiliki batasan secara jelas. Kedwibahasaan tidak dapat dikatakan bahwa secara
20
dengan kefasihan yang sama secara berimbang, dikarenakan kemampuan yang
dimiliki seseorang dapat berbeda-beda dan dapat juga dipengaruhi oleh konteks
dengan pemahaman yang dimiliki seseorang mengenai bahasa, baik dua bahasa
ataupun pemahaman lebih dari dua bahasa. Hal tersebut dapat dilihat dari sikap
penutur dalam menggunakan bahasa A atau B dan bahkan masih banyak lagi.
Mereka setidaknya memahami lebih dari satu kode/ bahasa. Tentunya hal tersebut
fenomena alih kode dan campur kode (Chaer & Agustina, 2004: 84).
untuk varian cara tutur seseorang atau sistem tutur seseorang dalam berinteraksi
tertentu menyebabkan terjadinya kontak bahasa dari beberapa etnis yang berbeda.
Oleh karena itu, seorang penutur akan berupaya menyesuaikan penggunaan kode
21
dengan situasi yang sedang terjadi. Penyesuaian kode tersebut dapat terjadi salah
satunya dengan mengalihkan kode yang digunakan, yaitu dari satu kode tertentu
ke kode yang lain bertujuan agar lawan tutur memahami maksud yang ingin
disampaikan.
Menurut Hudson (1996 : 51-53), alih kode ialah bentuk penggunaan lebih
dari satu kode dalam sebuah peristiwa tutur tertentu, atau cara yang digunakan
seorang dwibahasawan untuk menggunakan kode yang sesuai dengan situasi dan
konteks yang sedang berlangsung. Biasanya gejala seperti ini juga secara sadar
tuturannya. Hymes (1972; 68) menjelaskan mengenai alih kode bahwa istilah
tersebut merupakan suatu cara yang digunakan untuk menamai proses beralihnya
penggunaan lebih dari satu bahasa atau dapat juga terjadi dalam variasi bahasa
yang sama, dari style atau dari segi ragam bahasa. Alih kode dapat terjadi dalam
satu bahasa yang sama, misalnya dapat terjadi antara tingkat tutur krama dan
ngoko, atau dalam satu bahasa dengan dialek yang berbeda, alih kode Oleh
karena itu, alih kode tidak hanya terjadi dari bahasa satu ke bahasa lain, melainkan
terjadi dalam berbagai bentuk baik tingkat tutur, ragam, dan gaya.
Chaer & Agustina (1995: 150) berpendapat bahwa alih kode terdiri dari
dua varian yaitu alih kode yang terjadi antarbahasa, seperti peralihan dari kode
bahasa Indonesia ke bahasa Pamona yang disebut dengan alih kode intern,
sementara alih kode yang terjadi dalam tataran bahasa tertentu, misalnya seperti
22
ragam atau dialek bahkan style disebut dengan alih kode ekstern. Suwito (1983:
81) mengungkapkan bahwa alih kode juga terbagi dua jenis. hampir sama dengan
pendapat Chaer sebelumnya, Suwito menjelaskan bahwa apabila wujud alih kode
yang terjadi masih dalam satu rumpun atau satu negara maka dapat dikatakan alih
Sementara alih kode yang kedua adalah alih kode ekstern yaitu alih kode
yang terjadi tidak dengan kode yang serumpun. Oleh karena itu, pendapat yang
menggolongkan jenis alih kode tersebut. Sejalan dengan pendapat Hymes yang
menjadi dasar dalam penelitian ini yaitu, ia menyebutkan bahwa alih kode terdiri
dari dua jenis yaitu alih kode intern (internal code switching) adalah alih kode
alih kode yang kedua yaitu alih kode ekstern (external code switching), yaitu alih
mengenai campur kode. Kedua peristiwa yang lazim terjadi dalam masyarakat
yang bilingual ini mempunyai kesamaan yang besar, sehingga seringkali sukar
dibedakan. Kesamaan yang ada dalam alih kode dan campur kode adalah
digunakannya dua bahasa atau lebih, atau dua varian dari sebuah bahasa dalam
satu masyarakat tutur. Banyak ragam pendapat mengenai beda keduanya. Dalam
alih kode setiap bahasa atau ragam bahasa yang digunakan masih memiliki fungsi
23
otonomi masing-masing, dilakukan dengan sadar, dan sengaja dengan sebab-
sebab tertentu. Pada campur kode ada sebuah kode utama atau kode dasar yang
yang terlibat dalam peristiwa tutur hanyalah serpihan-serpihan (pieces) saja tanpa
(kalau bahasa daerahnya adalah bahasa Jawa) atau bahasa Indonesia yang ke
114-115). Menurut Suwito (dalam Rosita, 2011; 56), terjadinya campur kode
antara peranan dan fungsi kebahasaan. Peranan yang dimaksudkan adalah siapa
yang menggunakan bahasa itu, sedangkan fungsi kebahasaan berarti apa yang
berwujud kata, (2) Penyisipan unsur-unsur berwujud frasa, (3) Penyisipan unsur-
unsur berwujud baster, (4) Penyisipan unsur-unsur berwujud perulangan kata, (5)
Penyisipan unsur-unsur berwujud ungkapan atau idiom, dan (6) Penyisipan unsur-
unsur berwujud klausa. Menurut Suwito (dalam Rosita, 2011; 78), beberapa faktor
24
1) Berlatar belakang pada sikap penutur (attitudinal type) yang meliputi (1)
25
BAB III
METODE PENELITIAN
kata-kata tertulis atau lisan orang-orang dan perilaku yang diamati (moleong,
20008; 4). Penelitian kualitatif juga bisa dimaksud sebagai jenis penelitian yang
lainnya (Staruss & Corbin, 2003dalam Samsudin & Vismaia, 2009; 73).
Ciri utama penelitian kualitatif ini mewarnai sifat dan bentuk laporanya yang
dapat digunakan pada waktu tertentu. Oleh karena cirinya tersebut, laporan
penelitian kualitatif disusun dalam bentuk narasi yang kreatif, mendalam, dan
tepatnya di Tentena sebagai ibu kota kecamatan di wilayah kabupaten Poso. Yang
26
menjadi subyek dari penelitian ini adalah masyarakat yang mendiami wilayah
tentena dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 434 KK terdiri dari 9 etnik.
Sumber data adalah subjek tempat data di peroleh (Arikunto, 2010; 172)
sumber data menjadi titik mula munculnya penelitian. Sumber data membantu
peneliti memperoleh data yang akurat. Sumber data penelitian ini adalah
2007;92). Teknik simaak atau menyimak yang cocok dengan penelitian ini adalah
metode simak bebas libat cakap. Pada teknik ini peneliti tidak terlibat dialog,
konvensi, atau imbal wicara, jadi tidak ikut serta dalam proses pembicaraan
lisan, tetapi juga penggunaan bahasa secara tertulis, maka dalam penyadapan
peneliti menggunakan teknik catat sebagai gandengan teknik simak bebas labat
cakap yaitu mencatat beberapa bentuk yang relevan bagi peneliti dan penggunaan
27
3.5 Instrumen Penelitian atau Alat dan Bahan
falitas yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data agar lebih mudah
dan hasilnya baik, lebih cermat, lebih lengkap, dan sistematis, sehingga lebih
data, menilai kualitas data, menganalisis data, menafsirkan data, dan memberikan
kesimpulan.
tampa adanya bantuan. Peneliti dibantu dengan adanya alat dan bahan dalam
seperti laptop, alat tulis, dan buku tulis. Selain membutuhkan alat-alat dalam
penelitian peneliti juga membutuhkan bahan dalam penelitian yakni buku sumber
kepustakaan.
28
DAFTAR PUSTAKA
29
Sugiyono (2011). Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif,
Kualitatif, dan R&D). Alfabeta: Bandung.
Sumarsono ( 2013). Sosiolinguistik. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Suhardi, B dan Sembiring, B.C (2005). Aspek Sosial Bahasa. Jakarta: PT. Rienika
Cipta
Tarigan, Djago & Henry Guntur Tarigan, (1988). Pengajaran Analisis Kesalahan
Berbahasa. Bandung: Angkasa.
Thomason, G. Sarah. (2001). Language Contact: an Introduction. Edinburgh :
Edinburgh University Press. Ltd.
Wardhaugh, R. (2006). An Introduction to Sociolinguistics. Oxford: Blackwell
Publishing.
30