Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Fungsi bahasa yang paling utama adalah sebagai alat untuk bekerja sama

atau berkomunikasi dalam kehidupan bermasyarakat, karena itu, tanpa bahasa

manusia akan mengalami kesulitan dalam berinteraksi. Bahasa juga bersifat

manusiawi, artinya bahwa bahasa sebagai alat komunikasi verbal hanya dimiliki

manusia. Bahasa itu beragam, karena meskipun sebuah bahasa mempunyai kaidah

atau pola tertentu yang sama, namun karena bahasa itu digunakan oleh penutur

yang heterogen dan mempunyai latar belakang sosial dan kebiasaan yang berbeda,

maka bahasa itu menjadi beragam.

Proses interaksi verbal yang terjadi dalam masyarakat akan

memungkinkan terlibatnya peserta tutur dari berbagai latar belakang (suku, sosial,

dan budaya). Secara sosiolinguistik hal tersebut menyebabkan terjadinya sebuah

kontak bahasa (language contact) dari beberapa bahasa yang berbeda di dalam

situasi sosial tertentu. Kontak bahasa adalah situasi atau keadaan yang melibatkan

penutur dua bahasa atau lebih yang saling berkomunikasi dengan menggunakan

satu atau lebih bahasa di dalam sebuah peristiwa tutur yang sama (Thomason,

2001).

Kontak bahasa juga salah satunya dapat dipengaruhi karena adanya

perpindahan penduduk dari suatu wilayah ke wilayah lain (migrasi), sehingga

dengan adanya faktor yang tersebut akan mempengaruhi pola penggunaan bahasa

yang digunakan oleh masyarakat. Hal tersebut selaras dengan pendapat Chaer &

1
Agustina (2004: 65) menjelaskan bahwa masyarakat akan terbuka dan dapat

menerima masyarakat kelompok lain yang berbeda suku dan bahasa. Dengan kata

lain kontak bahasa dari beberapa latar belakang etnis yang berbeda akan

menyebabkan terbentuknya sebuah masyarakat yang bilingual ataupun

multilingual. Contoh konkret dari masyarakat yang billingual ataupun

multilingual yaitu di Indonesia, yang terdiri dari berbagai suku dan bahasa. Setiap

individu setidaknya memiliki dua bahasa yang dikuasai yaitu bahasa ibu dan

bahasa Indonesia sebagai lingua franca. Bahkan, tidak menutup kemungkinan

seseorang akan memahami atau menguasai bahasa daerah lain atau dari suku

berbeda yang bukan merupakan bahasa ibu atau bahasa pertama mereka.

Pada masyarakat yang multilingual tersebut, fenomena kebahasaan dapat

terjadi karena disebabkan adanya kontak bahasa, khususnya di daerah yang

mempunyai etnik yang lebih dari satu. Perebutan pengaruh pemakaian bahasa

(bahasa ibu) oleh masing-masing pemilik bahasa sangat menentukan

keberlangsungan dan keeksisan bahasa yang dimiliki daerah asli tersebut. Situasi

kebahasaan ini menggembarkan bahwa telah terjadi kontak bahasa antara bahasa

ibu dan bahasa lain. Dalam peristiwa kontak bahasa pada masyarakat bilingual

sering terdapat peristiwa kebahasaan yang merupakan objek kajian sosiolinguistik

antara lain alih kode (code switching), campur kode (code mixing), dan

interferensi (interference).

Fenomena dwibahasa dapat terjadi kapan saja dan dimana saja seorang

individu berada. Seorang individu dapat menjadi dwibahasawan pada waktu anak-

anak dan juga pada waktu dewasa. Sedangkan peristiwa tersebut dapat ditemukan

2
dalam lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, lingkungan desa, ataupun di

tempat-tempat lainnya. Apabila ditinjau dari beberapa aspek, kita kenal beberapa

jenis kedwibahasaan, diantaranya jenis kedwibahasaan apabila ditinjau dari segi

ketersebaran, tingkat kedwibahasaan, cara terjadinya, kemampuan memahami dan

mengungkapkan, bahkan dari segi hubungan ungkapan dengan maknanya. Lebih

lanjut, fenomena bahasa dalam kehidupan masyarakat yang multilingual terkait

dengan perihal tindak tutur (acte de discours).

Fenomena yang dimaksud berkaitan dengan alih kode dan campur kode

yang merupakan topik permasalahan dalam penelitian ini. Tindak tutur (acte de

discours) merupakan suatu tindakan berkomunikasi dalam menyampaikan suatu

informasi oleh penutur kepada mitra tuturnya dengan maksud ataupun tujuan

tertentu. Selanjutnya, Austin (1968) membagi dimensi tindak tutur ke dalam 3 hal,

yaitu tindak tutur lokusi (penyampaian pesan), tindak tutur ilokusi (menyebabkan

afeksi dari tuturan), dan tindak tutur perlokusi (tindak lanjut dari tindak tutur

lokusi dan ilokusi; perwujudan tindakan).

Berbicara mengenai bahasa dan kaitannya dengan faktor yang melatar

belakanginya, penelitian ini tidak bisa dilepaskan dari bidang kajian

sosiolinguistik (Wardhaugh, 1986; Holmes, 2001). Bahasa tidak hanya dikaji

berdasarkan bentuk formal dari bahasa tersebut, melainkan bahasa dapat dikaji.

Hal menarik dari interaksi sosial dari beberapa suku yang berbeda menyebabkan

terjadinya variasi kode tutur atau bahasa yang digunakan dalam sebuah peristiwa

komunikasi. Berdasarkan hal ini masyarakat yang bilingual atau multilingual

3
harus memiliki kemampuan untuk memilih dan menggunakan kode tutur yang

sesuai dengan situasi tutur yang sedang berlangsung.

Secara umum masyarakat bilingual atau multilingual seperti ini memiliki

kemampuan repertoar dalam menguasai lebih dari satu kode atau bahasa.

Pemilihan kode akan menyesuaikan dengan peristiwa tutur atau situasi tutur. Hal

tersebut sering disebut juga dengan situasi yang diglosik. Keadaan diglosik ialah

di mana penutur akan memilih kode tertentu yang dianggap sesuai berdasarkan

pola-pola tertentu untuk berinteraksi dengan lawan tutur yang berasal dari etnik

yang berbeda dari penutur.

Menurut Poedjosoedarmo (2008: 8) pada situasi diglosik bahasa-bahasa

maupun ragam akan dipilah berdasarkan fungsinya. Pemilihan kode (code choice)

biasanya akan muncul pada situasi yang diglosik sehingga menyebabkan

seseorang atau masyarakat dalam kondisi tersebut menjadi dwibahasawan atau

multibahasawan yang menguasai dua bahasa atau lebih, baik secara aktif ataupun

secara pasif. Oleh sebab itu, pada saat berinteraksi seorang bilingual ataupun

multilingual akan memilih sebuah kode tertentu yang akan digunakan untuk

berbicara kepada lawan tutur yang memiliki bahasa ibu berbeda (Sumarsono,

2013: 201-204).

Pemilihan bahasa merupakan gejala dalam aspek kedwibahasaan yang

dikarenakan di dalam repertoire-nya terdapat lebih dari satu bahasa. Telah

dijelaskan sebelumnya bahwa pilihan bahasa pasti bergantung pada beberapa

faktor, seperti faktor partisipan, topik, suasana, ranah, dan lain sebagainya. Dalam

4
interaksi sosial sehari-hari dengan penutur lainnya, tentu biasanya secara terus

menerus yang tanpa disadari kita telah menggunakan variasi bahasa.

Dimulai variasi bahasa itulah nantinya muncul seorang individu yang

memilih bahasa dalam komunikasinya. Misalkan guru saat berkomunikasi dengan

siswanya. Dalam hal ini, ia memilih satu dari minimal dua bahasa yang

dikuasainya, misalnya dipilih bahasa Indonesia ketika guru menegur atau

memberikan nasihat kepada siswanya. Guru yang dwibahasawan merupakan salah

satu komponen utama dan mempunyai peran penting dalam proses belajar

mengajar di kelas. Saat berlangsungnya proses belajar mengajar di kelas, sangat

memungkinkan guru yang dwibahasawan memilih kode yang hendak digunakan

untuk berkomunikasi.

Demikian pula di intansi pemerintahan, di pasar dan di tempat

perkumpulan pada saat berinteraksi masing-masing orang secara sadar memilih

kode tertentu agar orang lain memahami apa yang disampaikan. Hal ini pun

memicu masyarakat untuk melibatkan dirinya dalam beberapa fenomena bahasa

di masyarakat multilingual. Fenomena bahasa yang dimaksud meliputi gejala

peralihan pemakaian bahasa karena berubahnya situasi (alih kode), dan gejala

pencampuran pemakaian bahasa karena berubahnya situasi (campur kode).

Beberapa fenomena tersebut dapat berasal dari dalam diri guru itu sendiri

(internal) ataupun dari luar dirinya (eksternal).

Berdasarkan ulasan di atas, peneliti berusaha menjelaskan fenomena

tersebut juga terjadi di wilayah Pamona yang merupakan salah satu kecamatan di

kabupaten Poso. Penduduk yang mendiami wilayah Kecamatan Pamona

5
berjumlah 5.238 kk, terdiri dari 9 suku dengan jumlah peretnik etnik Pamona

4.280 kk, suku Mori 328 kk, suku Bali 232 kk, suku Jawa 56 kk, suku Toraja 189,

Suku Tiongho 36 kk, suku Batak 15 kk, suku Bugis 20 kk, suku Bada 83 kk..

Kecamatan Pamona termasuk daerah wisata. Suku asli kecamatan Pamona adalah

suku Pamona dan yang lain adalah suku pendatang.

Penggunaan bahasa pada masyarakat multilingual di daerah Pamona

memiliki pola yang unik, sehingga peneliti tertarik meneliti pola pemilihan bahasa

dari berbagai etnis yang ada di wilayah tersebut.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas rumusan masalah pada penelitian ini

adalah bagaimanakah pemilihan kode tutur masyarakat multietnik di kecamatan

kabupaten Poso.

1.3 Tujuan Penelitian

Bedasarkan rumusan masalah maka tujuan penelitian adalah

mendeskripsikan pemilihan kode tutur masyarakat multietnik di kecamatan

Pamona kabupaten Poso.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini secara teoretis diharapkan mampu untuk memberikan

manfaat bagi pengembangan teori kebahasaan dan juga mampu menambah

informasi khasanah penelitian dalam kajian linguistik terapan. Hal kajian

6
linguistik terapan yang dimaksud digunakan sebagai ilmu linguistik yang

memusatkan perhatiannya pada gejala kebahasaan yang terjadi di dalam suatu

masyarakat yang multietnik.

7
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penelitian Terdahulu

1. Dewi Khusnul Khotima, (2007) Pemilihan Kode Bahasa Pada

Masyarakat Tutur di Kelurahan Sukapura, Kecamatan Kiaracondong

Kabupaten Bandung. Tujuan penelitian ini untuk mendeskripsikan wujud

pemilihan bahasa dan memaparkan faktor-faktor yang menjadi penentu

pemilihan bahasa pada masyarakat tutur di kelurahan sukapura. Hasil

penelitian ini menunjukan ada tiga kode yang dominan digunakan yaitu,

kode Bahasa Indonesi, Bahasa Sunda dan Bahasa jawa.

2. Yuliah Mutmainah, (2008) Pemilihan Kode dalam masyarakat

Dwibahasa: Kajian Sosiaolinguistik Pada Masyarakat Jawa di Kota

Bontang Kalimantan Timur. Tujuan Penelitian untuk memaparkan wujud

varian dan penentu pemilihan kode, alih kode dan campur kode pada

tuturan masyarakat tutur jawa di kota Bontang Kalimantan Timur. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa kode yang digunakan oleh masyarakat

tutur jawa di kota Bontang ada kode bahasa Indonesia, bahasa Jawa dan

bahasa derah lainnya.

3. Tasliati, (2014) Pemilihan Kode Tutur dalam Masyarakat Multietnik

(Sebuah Studi Kasus di Desa Sako Kecamatan Pangean Kabupaten

Kuantan Singingi Provinsi Riau). Tujuan penelitian ini adalah: (1)

mengidentifikasikan kode-kode tutur yang terdapat dalam masyarakat

8
multietnik di Desa Sako, (2) mendeskripsikan polapola pemilihan kode

tutur, dan (3) menjelaskan faktor-faktor penentu pemilihan kode tutur.

Hasil analisis menunjukkan: (1) Situasi kebahasaan masyarakat Desa Sako

secara umum menunjukkan pemakaian tiga kode tutur yang masing-

masing memenuhi fungsi tertentu: bahasa Indonesia sebagai ragam bahasa

tinggi atau H (High) yang umumnya dipakai dalam situasi formal, bahasa

Melayu Kuantan sebagai bahasa pengantar atau lingua franca, dan bahasa-

bahasa etnik sebagai ragam rendah atau L (Low).

2.2 Kajian Sosiolinguistik

Sebagai alat komunikasi dan alat interaksi yang hanya dimiliki oleh

manusia, bahasa dapat dikaji secara internal maupun eksternal. Kajian bahasa

secara internal artinya, pengkajian itu hanya dilakukan terhadap struktur intern

bahasa itu saja, yaitu struktur fonologis, morfologis, atau struktur sintaksisnya.

Sebaliknya, kajian secara eksternal berarti kajian itu dilakukan terhadap hal-hal

atau faktor-faktor yang berada di luar bahasa yang berkaitan dengan pemakai

bahasa itu oleh penuturnya dalam kelompok-kelompok sosial kemasyarakatan.

Pengkajian secara eksternal akan menghasilkan rumusan-rumusan atau

kaidah-kaidah yang berkenaan dengan kegunaan dan penggunaan bahasa tersebut

dalam segala kegiatan manusia di dalam masyarakat. Pengkajian ini tidak hanya

menggunakan teori dan prosedur linguistik saja, tetapi juga menggunakan disiplin

lain yang berkaitan dengan penggunaan bahasa itu, misalnya sosiologi, psikologi,

dan antropologi. Penelitian atau kajian bahasa secara eksternal ini melibatkan dua

9
disiplin ilmu atau lebih, sehingga wujudnya berupa ilmu antar disiplin yang

namanya merupakan gabungan antara disiplin ilmu-ilmu yang bergabung itu.

Misalnya sosiolinguistik yang merupakan gabungan antara disiplin ilmu sosiologi

dan disiplin linguistik. (Chaer, 2003:1).

Sosiolinguistik merupakan ilmu antardisiplin sosiologi dan linguistik yang

mempunyai kaitan erat. Sebagai objek dalam sosiolinguitik, bahasa tidak dilihat

atau didekati sebagai bahasa, sebagaimana dilakukan oleh disiplin linguistik

umum, melainkan dilihat dan didekati sebagai sarana interaksi atau komunikasi

dalam masyarakat. Setiap kegiatan kemasyarakatan manusia, mulai dari upacara

pemberian nama bayi sampai upacara pemakaman jenazah tentu tidak lepas dari

penggunaan bahasa. Oleh karena itu rumusan mengenai sosiolinguistik tidak akan

terlepas dari persoalan hubungan bahasa dengan kegiatan-kegiatan atau aspek-

aspek kemasyarakatan (Chaer, 2003:3).

Menurut konfensi sosiolinguistik yang pertama, terdapat tujuh yang

merupakan masalah dalam sosiolinguistik, yaitu (1) identitas sosial dari penutur,

(2) identitas sosial dari pendengar yang terlibat dalam proses komunikasi,

(3)lingkungan sosial tempat peristiwa itu terjadi, (4) analisis sinkronik dan

diakronik dari dialek-dialek sosial, (5) penilaian sosial yang berbeda oleh penutur

akan perilaku bentuk-bentuk ujaran, (6) tingkatan variasi dalam ragam linguistik,

dan (7) penerapan praktis dari penelitian sosiolinguistik (Chaer, 2003:5).

10
2. 3 Peristiwa Tutur

Peristiwa tutur adalah sebuah aktifitas berlangsungnya interaksi linguistik

dalam satu bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan

lawan tutur, dengan satu pokok tuturan, dalam waktu, tempat, dan situasi tertentu

(Chaer, 2004: 47). Interaksi yang berlangsung antara seorang penjual dan

pembeli di pasar pada waktu tertentu dengan menggunakan bahasa sebagai alat

komunikasinya adalah sebuah peristiwa tutur.

Hal yang sama juga terjadi dan kita dapati dalam acara diskusi, di ruang

kuliah, rapat dinas di kantor, sidang di pengadilan, dan sebagainya. Sebuah

percakapan baru dapat disebut sebagai peristiwa tutur (speech event) apabila

memenuhi syarat seperti yang telah disebukan dalam definisi di atas. Dell Hymes

(dalam Purnamawati, 2010) membedakan antara peristiwa tutur dan tindak tutur,.

Hymes berpendapat bahwa peristiwa tutur (speech event) terjadi dalam sebuah

konteks non-verbal. Klasifikasi yang ia usulkan dikenal sebagai SPEAKING, di

mana setiap huruf dalam akronim tersebut adalah singkatan untuk komponen

komunikasi yang berbeda, sebagai berikut:

1. S (Situation), terdiri dari dua yaitu Setting dan Scene. Setting berkenaan

dengan waktu dan tempat tutur berlangsung, sedangkan Scene mengacu pada

situasi tempat dan waktu atau situasi psikologis pembicaraan. Waktu, tempat,

dan situasi tuturan yang berbeda dapat menyebabkan penggunaan variasi

bahasa yang berbeda, sebagai contoh berbicara dilapangan sepak bola pada

waktu ada pertandingan dalam situasi ramai tentu berbeda dengan

11
pembicaraan di ruang perpustakaan pada waktu orang banyak membaca dan

dalam keadaan sunyi.

2. P (Participants), merujuk pada pihak-pihak yang teribat dalam pertuturan,

bisa pembicara dan pendengar, penyapa dan pesapa, atau pengirim dan

penerima. Status sosial partisipan sangat menentukan ragam bahasa yang

digunakan, misalnya anak akan menggunakan ragam atau gaya bahasa yang

berbeda bila berbicara dengan orang tuanya atau gurunya bila dibandingkan

kalau dia berbicara dengan teman sebayanya.

3. E (Ends), merujuk pada maksud dan tujuan pertuturan. Peristiwa tutur yang

terjadi di ruang sidang pengadilan bermaksud untuk menyelesaikan suatu

kasus perkara; namun para partisipan di dalam peristiwa tutur itu mempunyai

tujuan yang berbeda. Jaksa ingin membuktikan kesalahan terdakwa, pembela

berusaha membuktikan bahwa terdakwa tidak bersalah, sedangkan hakim

berusaha membeberkan keputusan yang adil.

4. A (Acts Sequences), mengacu pada bentuk ujaran dan isi ujaran. Bentuk

ujaran berkenaan dengan dengan kata yang digunakan, bagaimana

penggunaannya. Isi Ujaran berkenaan dengan hubungan antara apa yang

dikatakan dengan topik pembicaraan. Bentuk dan isi ujaran dalam kuliah

umum, dalam percakapan biasa, dan dalam pesta berbeda satu dengan yang

lainnya.

5. K (Key), mengacu pada nada, cara, dan semangat di mana suatu pesan

disampaikan, misalnya dengan senang hati, dengan serius, dengan singkat,

12
dengan sombong, dengan mengejek dan sebagainya. Atau dapat ditunjukkan

juga dengan gerak tubuh dan isyarat.

6. I (Instrumentalities), mengacu pada jalur bahasa yang digunakan dan juga

mengacu pada kode ujaran yang digunakan misalnya jalur tulisan, lisan,

melalui telegraf atau telepon, bahasa, dialek, ragam atau register.

7. N (Norms), mengacu pada norma atau aturan dalam berinteraksi dan juga

mengacu pada penafsiran terhadap ujaran dari lawan bicara, sebagai contoh:

berhubungan dengan cara berinterupsi, cara bertanya, dan sebagainya. G

(Genres), mengacu pada jenis bentuk penyampaian sebagai contoh: narasi,

puisi, pepatah, doa, dan sebagainya.

2.4 Kode dan Pemilihan Kode

Istilah kode menurut Wardhaugh (1986: 45) dapat diartikan sebagai dialek,

bahasa, gaya, bahasa standar, pidgin, dan creole. Bahkan tidak menutup

kemungkinan seorang penutur akan mengganti kode tuturannya pada situasi

tertentu berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi tuturannya tersebut. Oleh

karena itu, dengan adanya kode tutur, penutur akan mudah memilih kode yang

sesuai dengan peristiwa tutur yang sedang berlangsung. Kunjana (2001: 22)

menjelaskan bahwa kode adalah istilah penyebutan pada variasi tingkatan

kebahasaan. Oleh karena itu, variasi dalam bahasa baik berupa dialek,

tingkattutur, ragam, style, dan register termasuk ke dalam variasi tingkatan dalam

bahasa dan hal tersebut juga masuk ke dalam istilah kode.

13
Masing-masing individu memiliki kemampuan memahami kode yang

berbeda-beda. Fasold (1984) mengungkapkan bahwa pemilihan kode adalah

perihal yang tidak mudah. Dengan demikian, seseorang yang memahami dua kode

atau lebih mereka akan dihadapkan dengan situasi bahwa mereka harus

mempertimbangkan dan memilih kode atau bahasa tertentu yang sesuai untuk

digunakan dalam ranah interaksi.

Pemilihan kode (code choice) didasarkan atas beberapa faktor yang sudah

sering kita dengar, misalnya seperti konteks atau situasi, partisipan, topik atau

yang lainnya (Sumarsono, 2013:199). Sehingga pada masyarakat yang menguasai

beberapa bahasa akan dihadapkan pada masalah ini, oleh karena itu, istilah

pemilihan kode dianggap lebih umum digunakan pada penelitian-penelitian

bahasa, karena kode dapat diartikan sebagai bahasa, dialek, tingkat tutur, ragam

dan sebagainya. Kode yang dipilih oleh seorang penutur, menurut Hudson (1996:

52) disesuaikan dengan peristiwa tutur yang sedang terjadi dan hal tersebut

dipengaruhi oleh faktor sosial yang melatar belakanginya.

2.5 Alih kode dan Campur Kode

Berkaitan dengan definisi dan tipologi dari kedwibahasaan yang telah

dikemukakan sebelumnya, yaitu setelah menengok kembali pendapat dari Mackey

dan Fishman (dalam Chaer dan Agustina: 2004), bahwa secara sosiolinguistik,

secara umum, bilingualisme diartikan sebagai penggunaan dua bahasa oleh

seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian.

14
Oleh karena itu, dalam membicarakan kedwibahasaan tercakup beberapa

pengertian, seperti masalah tingkat, fungsi, pertukaran bahasa atau alih kode,

percampuran bahasa atau campur kode, interferensi, dan integrasi. Dari pendapat

yang telah dikemukakan Mackey dan Fishman tersebut, terdapat dua hal yang

perlu dibahas bahwa dalam dunia kedwibahasaan seorang individu ataupun

kedwibahasaan pada guru, pastilah dijumpai beberapa pengertian tentang

fenomena bahasa pada masyarakat yang multilingual. Beberapa pengertian yang

dimaksud setidaknya mengenai pertukaran bahasa atau alih kode dan percampuran

bahasa atau campur kode.

Variasi bahasa biasanya terjadi pada para dwibahasawan atau

anekabahasawan. Kontak dari penggunaan bahasa dalam guyup tutur

dwibahasawan atau anekabahasawan akan memunculkan suatu proses yang saling

mempengaruhi dari satu kode ke kode yang lainnya, yang mana kesemuanya itu

dapat terwujud dalam bentuk alih kode ataupun campur kode. Sedangkan

penjabaran dari kedua istilah tersebut (alih kode dan campur kode) adalah sebagai

berikut yang diawali dengan definisi dan tipologi kode sebagai dasar pijakan

penjelasan selanjutnya tentang alih kode dan campur kode. Kode Menurut KBBI

(2007), dijelaskan bahwa dalam istilah linguistik, kode mempunyai arti sebagai:

(a) tanda (kata-kata, tulisan) yang disepakati untuk maksud tertentu; (b) kumpulan

dari peraturan yang bersistem; dan (c) kumpulan prinsip yang bersistem.

Sedangkan menurut kamus linguistik (1982), dijelaskan pula tentang pengertian

kode sebagai: (a) lambang atau sistem ungkapan yang dipakai untuk

15
menggambarkan makna tertentu; (b) sistem bahasa dalam suatu masyarakat; dan

(c) variasi tertentu dalam suatu masyarakat.

Kamus linguistik pula dijelaskan bahwa bahasa manusia adalah sejenis

kode. Poedjosoedarmo (1976; 67) mengartikan kode sebagai suatu sistem tutur

yang penerapan unsur bahasanya mempunyai ciri-ciri yang khas sesuai dengan

latar belakang penutur, relasi penutur dengan mitra tutur, dan situasi tutur yang

ada. Dalam suatu kode terdapat unsur-unsur bahasa seperti kalimat-kalimat,

katakata, morfem, dan fonem. Hanya saja, adanya suatu pembatasan umum

(cooccurence restriction) yang membatasi pemakaian unsur-unsur bahasa

tersebut.

Kode biasanya berbentuk varian-varian bahasa yang secara riil atau secara

nyata digunakan untuk berkomunikasi anggota-anggota suatu masyarakat bahasa.

Bagi masyarakat multilingual, inventarisasi kode menjadi lebih luas dan

mencakup varian-varian dua bahasa atau lebih. Kode-kode yang dimaksud dengan

sendirinya mengandung arti yang sifatnya menyerupai arti unsur-unsur bahasa

yang lain (Poedjosoedarmo, 2008; 34). Jadi, dari beberapa definisi kode tersebut

di atas dapat disimpulkan bahwa pemakaian kode tidak lepas dari fenomena

penggunaan bahasa oleh manusia di dalam masyarakat. Tidak semua bahasa

mempunyai kosa kode yang sama dalam inventarisasinya. Poedjosoedarmo (2008;

23) mengatakan bahwa kosa kode akan banyak ditemukan pada bahasa yang

mempunyai macam dialek yang banyak, tingkat undha-usuk atau tindak tutur

yang kompleks, dan dipakai sebagai bahasa pengantar kebudayaan yang

mempunyai banyak ragam.

16
Lebih lanjut, dikatakan pula bahwa kode selalulah mempunyai suatu

makna. Dalam bahasa Jawa, tingkat undha-usuk krama mempunyai makna sopan.

Sedangkan tingkat ngoko mempunyai makna yang tidak santun.

2. Alih Kode Berdasarkan KBBI (2007), alih kode adalah penggunaan bahasa lain

atau variasi bahasa lain untuk menyesuaikan diri dengan peran atau situasi lain

ataupun dikarenakan adanya partisipan yang lain. Appel (dalam Chaer dan

Agustina, 2004; 40) mengemukakan bahwa alih kode merupakan suatu gejala

peralihan pemakaian bahasa karena berubahnya situasi.

Gejala peralihan bahasa yang dimaksud tentulah melibatkan lebih dari dua

bahasa yang digunakan dalam tindak komunikasi. Gal dalam Wardhaught (1992:

103) mengatakan bahwa “codeswitching is a conversational strategy used to

establish, cross or destroy group boundaries; to create, evoke or change

interpersonal relations with their rights and obligations.” Hal ini menunjukkan

bahwa di dalam peristiwa alih kode terdapat penyebab hubungan interpersonal

dimana seorang individu mengalihkan bahasa dalam komunikasinya yang

didasarkan atas suatu kebenaran ataupun suatu keharusan. Lebih lanjut,

Wardhaught (2010: 84), menyatakan bahwa “we will look mainly at the

phenomenon of code-switching in bilingual and multilingual situation.” Dari

pernyataan tersebut jelas bahwa dalam kedwibahasaan dan anekabahasa, kita akan

menemukan peristiwa alih kode. Alwasilah (1986; 245) menyatakan bahwa,

dalam sosiolinguistik, perpindahan dari satu dialek ke dialek yang lainnya lazim

disebut dengan dialect switching atau code shifting (alih kode). Nababan (1984;

24) menyatakan bahwa konsep alih kode mencakup juga kejadian dimana kita

17
beralih dari satu ragam fungsiolek (ragam santai misalnya) ke ragam lain (ragam

resmi atau formal misalnya), atau dari satu dialek ke dialek yang lainnya, dan lain

sebagainya.

Pernyataan tersebut menandakan bahwa fenomena alih kode ini muncul

dari seorang individu yang menguasai minimal dua bahasa (bahasa ibu dan bahasa

yang dipelajari) dalam komunikasinya. Hymes (dalam Chaer dan Agustina, 2004;

57) menyatakan lain tentang alih kode seperti halnya dikemukakan oleh Appel

yang menyatakan bahwa peristiwa alih kode itu terjadi antarbahasa. Namun,

Hymes menyatakan bahwa alih kode itu bukan hanya terjadi antarbahasa,

melainkan dapat terjadi pula antara ragam-ragam atau gaya-gaya yang terdapat di

dalam satu bahasa. Secara lengkapnya, Hymes (dalam Chaer dan Agustina, 2004:

108), mengatakan ”code switching has become a common term for alternate us of

two or more language, varieties of language, or even speech styles”. Dari

pendapat kedua tokoh tersebut di atas, Appel dan Hymes, jelas bagi kita bahwa

pengalihan bahasa (B1 ke B2) yang dilakukan adalah berkenaan dengan

berubahnya situasi dari situasi tidak formal ke situasi formal, ragam santai ke

ragam resmi, dan lain sebagainya. Dalam hal ini dapat diketahui pula bahwa alih

kode akan terjadi antar bahasa atau dalam bahasa satu ke bahasa kedua, misalnya

peralihan dari bahasa Indonesia ke bahasa Prancis, bahasa Jawa ngoko ke bahasa

Jawa krama, dan lain sebagainya.

Gejala peralihan pemakaian bahasa dalam suatu tindak komunikasi

ditentukan oleh penutur dan mitra tutur, kehadiran P3, dan pengambilan

keuntungan. Tindakan komunikasi seorang dwibahasawan dalam mengalihkan

18
pemakaian bahasa ini dilakukan dengan adanya kesadaran dari si pemakai bahasa

tersebut. Dengan demikian, alih kode itu sendiri merupakan suatu gejala peralihan

pemakaian bahasa yang terjadi karena berubahnya situasi.

Alih kode terjadi antarbahasa, dapat pula terjadi antarragam dalam satu

bahasa. Chaer dan Agustina (2004; 35) mengemukakan contoh dari peristiwa alih

kode. Sebagai contoh dari peristiwa alih kode, simaklah ilustrasi berikut yang

menunjukkan peristiwa alih kode dari bahasa Sunda ke bahasa Indonesia

(Widjajakusumah, 1981; 143).

2.6 Kedwibahasaan

Kontak bahasa yaitu keadaan masyarakat yang terbuka dan dapat

menerima kelompok masyarakat lain, sehingga hal ini menyebabkan terjadinya

kontak bahasa dari kelompok masyarakat yang berbeda (Chaer, 2004: 65). Salah

satu akibat dari adanya kontak bahasa tersebut yaitu memungkinkan individu dari

kelompok masyarakat tertentu akan menggunakan kode yang berasal

darikelompok lain. Fenomena seperti ini sering kita sebut dengan masyarakat

dwibahasa atau orang yang menggunakan dua bahasa dalam berinteraksi atau

dalam bahasa inggris sering disebut dengan bilingual.

Istilah kedwibahasaan atau bilingualisme pertama kali diperkenalkan oleh

Bloomfield (1958) yang diuraikan dalam Suhardi dan Sembiring (2005: 58-59)

Bloomfield mengungkapkan bahwa kedwibahasaan ialah sebuah kemampuan atau

penguasaan dua bahasa yang memiliki tingkat kefasihan seperti penutur asli

bahasa tersebut. Namun pengertian tersebut sepertinya sulit diterima dikarenakan

19
seseorang baru dapat dikatakan dwibahasawan apabila ia dapat menguasai bahasa

kedua seperti penutur asli. Sehingga ada pengertian lain yang mengartikan

kedwibahasaan yaitu oleh Haugen (1968: 10) yang disampaikan juga oleh Suhardi

dan Sembiring (2005: 58), Haugen menjelaskan bahwa kedwibahasaan adalah

seseorang yang mengetahui dua bahasa, baik itu secara aktif maupun secara pasif.

Oleh karena itu kedwibahasaan adalah kemampuan yang dimiliki seseorang dalam

memahami atau menuturkan tuturan lebih dari satu bahasa.

Menurut Nababan (1993: 27), sikap seseorang dalam berinteraksi yang

terbiasa menggunakan dua bahasa pada saat bertutur disebut sebagai

bilingualisme. Tarigan (1990: 7) mengemukakakan kedwibahasaan memiliki

pengertian bahwa kemampuan yang dimiliki seseorang dalam memahami dua

bahasa tidak bersifat absolut, namun bersifat „kurang lebih‟ memahami sesuai

dengan konteks peristiwa tutur yang berlangsung. Beberapa perbedaan pengertian

mengenai kedwibahasaan di atas muncul karena tidak adanya batasan seseorang

untuk dapat disebut sebagai dwibahasawan.

Kedwibahasaan memiliki pemahaman yang luas, yaitu seberapa besar

kemampuan seseorang dalam memahami atau menguasai dua bahasa yang

didasarkan pada frekuensi penggunaan keduanya. Mulai dari kemampuan

keseluruhan yang dimiliki atas dua bahasa, maupun pemahaman atau kemampuan

minimal terhadap dua bahasa tersebut (Alwasilah, 1993: 73). Dengan demikian,

dari beberapa pendapat di atas maka dapat dikatakan bahwa kedwibahasaan tidak

memiliki batasan secara jelas. Kedwibahasaan tidak dapat dikatakan bahwa secara

mutlak seseorang memiliki kemampuaan untuk menguasai dua bahasa sekaligus

20
dengan kefasihan yang sama secara berimbang, dikarenakan kemampuan yang

dimiliki seseorang dapat berbeda-beda dan dapat juga dipengaruhi oleh konteks

yang membangun sebuah tuturan.

Selanjutnya, dikatakan bahwa kedwibahasaan (bilingual) dengan

keanekabahasaan (multilingual) memiliki konsep yang serupa yakni berhubungan

dengan pemahaman yang dimiliki seseorang mengenai bahasa, baik dua bahasa

ataupun pemahaman lebih dari dua bahasa. Hal tersebut dapat dilihat dari sikap

penutur dalam menggunakan bahasa A atau B dan bahkan masih banyak lagi.

Pendapat tersebut seperti yang dikemukakan Sumarsono (2013: 76), ia

menjelaskan bahwa masyarakat multilingual atau masyarakat aneka bahasa adalah

masyarakat yang mempunyai lebih dari satu bahasa.

Berbeda dengan masyarakat tertutup yang biasanya monolingual,

masyarakat terbuka akan menjadi masyarakat yang dwibahasa atau multibahasa.

Mereka setidaknya memahami lebih dari satu kode/ bahasa. Tentunya hal tersebut

akan menyebabkan terjadinya kontak bahasa dan menyebabkan munculnya

fenomena alih kode dan campur kode (Chaer & Agustina, 2004: 84).

2.7 Alih Kode

Berdasarkan penjelasan subbab sebelumnya, bahwa istilah kode digunakan

untuk varian cara tutur seseorang atau sistem tutur seseorang dalam berinteraksi

dengan lawan tutur. Masyarakat yang hidup berdampingan di suatu wilayah

tertentu menyebabkan terjadinya kontak bahasa dari beberapa etnis yang berbeda.

Oleh karena itu, seorang penutur akan berupaya menyesuaikan penggunaan kode

21
dengan situasi yang sedang terjadi. Penyesuaian kode tersebut dapat terjadi salah

satunya dengan mengalihkan kode yang digunakan, yaitu dari satu kode tertentu

ke kode yang lain bertujuan agar lawan tutur memahami maksud yang ingin

disampaikan.

Menurut Hudson (1996 : 51-53), alih kode ialah bentuk penggunaan lebih

dari satu kode dalam sebuah peristiwa tutur tertentu, atau cara yang digunakan

seorang dwibahasawan untuk menggunakan kode yang sesuai dengan situasi dan

konteks yang sedang berlangsung. Biasanya gejala seperti ini juga secara sadar

dilakukan oleh seseorang yang memiliki tujuan tertentu dalam memilih

tuturannya. Hymes (1972; 68) menjelaskan mengenai alih kode bahwa istilah

tersebut merupakan suatu cara yang digunakan untuk menamai proses beralihnya

penggunaan lebih dari satu bahasa atau dapat juga terjadi dalam variasi bahasa

yang sama, dari style atau dari segi ragam bahasa. Alih kode dapat terjadi dalam

satu bahasa yang sama, misalnya dapat terjadi antara tingkat tutur krama dan

ngoko, atau dalam satu bahasa dengan dialek yang berbeda, alih kode Oleh

karena itu, alih kode tidak hanya terjadi dari bahasa satu ke bahasa lain, melainkan

terjadi dalam berbagai bentuk baik tingkat tutur, ragam, dan gaya.

2.8 Jenis- Jenis Alih Kode

Chaer & Agustina (1995: 150) berpendapat bahwa alih kode terdiri dari

dua varian yaitu alih kode yang terjadi antarbahasa, seperti peralihan dari kode

bahasa Indonesia ke bahasa Pamona yang disebut dengan alih kode intern,

sementara alih kode yang terjadi dalam tataran bahasa tertentu, misalnya seperti

22
ragam atau dialek bahkan style disebut dengan alih kode ekstern. Suwito (1983:

81) mengungkapkan bahwa alih kode juga terbagi dua jenis. hampir sama dengan

pendapat Chaer sebelumnya, Suwito menjelaskan bahwa apabila wujud alih kode

yang terjadi masih dalam satu rumpun atau satu negara maka dapat dikatakan alih

kode tersebut sebagai alih kode intern.

Sementara alih kode yang kedua adalah alih kode ekstern yaitu alih kode

yang terjadi tidak dengan kode yang serumpun. Oleh karena itu, pendapat yang

disampaikan Chaer dan Suwito memiliki pemahaman yang berbeda dalam

menggolongkan jenis alih kode tersebut. Sejalan dengan pendapat Hymes yang

menjadi dasar dalam penelitian ini yaitu, ia menyebutkan bahwa alih kode terdiri

dari dua jenis yaitu alih kode intern (internal code switching) adalah alih kode

antarbahasa daerah, antardialek, atau antarragam maupun gaya/style. Adapun jenis

alih kode yang kedua yaitu alih kode ekstern (external code switching), yaitu alih

kode yang terjadi dari bahasa asli dengan bahasa asing.

2.9 Campur Kode

Pembicaraan mengenai alih kode biasanya diikuti dengan pembicaraan

mengenai campur kode. Kedua peristiwa yang lazim terjadi dalam masyarakat

yang bilingual ini mempunyai kesamaan yang besar, sehingga seringkali sukar

dibedakan. Kesamaan yang ada dalam alih kode dan campur kode adalah

digunakannya dua bahasa atau lebih, atau dua varian dari sebuah bahasa dalam

satu masyarakat tutur. Banyak ragam pendapat mengenai beda keduanya. Dalam

alih kode setiap bahasa atau ragam bahasa yang digunakan masih memiliki fungsi

23
otonomi masing-masing, dilakukan dengan sadar, dan sengaja dengan sebab-

sebab tertentu. Pada campur kode ada sebuah kode utama atau kode dasar yang

digunakan dan memiliki fungsi dan keotonomiannya, sedangkan kode-kode lain

yang terlibat dalam peristiwa tutur hanyalah serpihan-serpihan (pieces) saja tanpa

fungsi atau keotonomiannya sebagai sebuah kode.

Seorang penutur misalnya yang dalam berbahasa Indonesia menyelipkan

serpihan-serpihan bahasa daerahnya, bisa dikatakan telah melakukan campur kode

yang menyebabkan munculnya satu ragam bahasa Indonesia yang ke Jawa-Jawaan

(kalau bahasa daerahnya adalah bahasa Jawa) atau bahasa Indonesia yang ke

Sunda-Sundaan (kalau bahasa daerahnya adalah bahasa Sunda) (Chaer, 2004:

114-115). Menurut Suwito (dalam Rosita, 2011; 56), terjadinya campur kode

merupakan ketergantungan bahasa dalam masyarakat multilingual. Di dalam

campur kode, ciriciri ketergantungan ditandai oleh adanya hubungan timbal.balik

antara peranan dan fungsi kebahasaan. Peranan yang dimaksudkan adalah siapa

yang menggunakan bahasa itu, sedangkan fungsi kebahasaan berarti apa yang

hendak dicapai pnutur dengan tuturannya.

Selanjutnya mengenai bentuk campur kode, Suwito membagi campur kode

berdasarkan unsur-unsur kebahasaan menjadi: (1) Penyisipan unsur-unsur

berwujud kata, (2) Penyisipan unsur-unsur berwujud frasa, (3) Penyisipan unsur-

unsur berwujud baster, (4) Penyisipan unsur-unsur berwujud perulangan kata, (5)

Penyisipan unsur-unsur berwujud ungkapan atau idiom, dan (6) Penyisipan unsur-

unsur berwujud klausa. Menurut Suwito (dalam Rosita, 2011; 78), beberapa faktor

penyebab terjadiya peristiwa campur kode dikategorikan menjadi dua, yaitu:

24
1) Berlatar belakang pada sikap penutur (attitudinal type) yang meliputi (1)

untuk memperhalus ungkapan, (2) untuk menunjukkan kemampuannya,

(3) perkembangan dan perkenalan budaya baru.

2) Berlatar belakang pada kebahasaan (linguistic type) yang meliputi (1)

lebih mudah diingat, (2) tidak menimbulkan kehomoniman, (3)

keterbatasan kata, (4) akibat atau hasil yang dikehendaki.

25
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif deskriptif. Penelitian

kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskripsi berupa

kata-kata tertulis atau lisan orang-orang dan perilaku yang diamati (moleong,

20008; 4). Penelitian kualitatif juga bisa dimaksud sebagai jenis penelitian yang

temuan-temuannya tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan

lainnya (Staruss & Corbin, 2003dalam Samsudin & Vismaia, 2009; 73).

Ciri utama penelitian kualitatif ini mewarnai sifat dan bentuk laporanya yang

dapat digunakan pada waktu tertentu. Oleh karena cirinya tersebut, laporan

penelitian kualitatif disusun dalam bentuk narasi yang kreatif, mendalam, dan

natural yang penuh dengan keautentikan. Penelitian deskripsi kualitatif ini

berorientasi pada bentuk teoritik yakni tingkat penggunaan konjungsi. Jenis

penelitian deskriptif kualitatif yang dilakukan oleh peneliti adalah

mendeskripsikan pemilihan kode yang digunakan oleh etnik masyarakat yang

berada di kecamatan Pamona kabupaten Poso.

3.2 Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini direncanakan akan dilaksanakan pada bulan Oktober –

November 2020. Penenlitiaan ini akan dilaksanakan di kecamatan Pamona

tepatnya di Tentena sebagai ibu kota kecamatan di wilayah kabupaten Poso. Yang

26
menjadi subyek dari penelitian ini adalah masyarakat yang mendiami wilayah

tentena dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 434 KK terdiri dari 9 etnik.

3.3 Jenis dan Sumber Data

Sumber data adalah subjek tempat data di peroleh (Arikunto, 2010; 172)

sumber data menjadi titik mula munculnya penelitian. Sumber data membantu

peneliti memperoleh data yang akurat. Sumber data penelitian ini adalah

masyarakat etnik yang berada di kecamatan Pamona Kabupaten Poso. Data

penelitian adalah Pemilihan kode yang digunakan.

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Teknik simak adalah teknik penyediaan data yang digunakan untuk

memperoleh data dilakukan dengan menyimak menggunakan bahasa (Mahsun,

2007;92). Teknik simaak atau menyimak yang cocok dengan penelitian ini adalah

metode simak bebas libat cakap. Pada teknik ini peneliti tidak terlibat dialog,

konvensi, atau imbal wicara, jadi tidak ikut serta dalam proses pembicaraan

orang-orang yang saling berbicara ( sudaryanto, 2015;203-204).

Istilah menyimak di sini tidak hanya berkaitan dengan penggunaan bahasa

lisan, tetapi juga penggunaan bahasa secara tertulis, maka dalam penyadapan

peneliti menggunakan teknik catat sebagai gandengan teknik simak bebas labat

cakap yaitu mencatat beberapa bentuk yang relevan bagi peneliti dan penggunaan

bahasa tertulis tersebut (Mahsun, 2007; 93-94).

27
3.5 Instrumen Penelitian atau Alat dan Bahan

Arikunto (2010;203) mendefinisikan instrumen penilaian sebagai alat

falitas yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data agar lebih mudah

dan hasilnya baik, lebih cermat, lebih lengkap, dan sistematis, sehingga lebih

mudah diolah. Sugiyono (2011;222) menambahkan bahwa instrumen penelitian

adalah penelitian itu sendiri. Peneliti sebagai instrumen, penelitian berfungsi

menetapkan fokus penelitian, memilih sumber data, melakukan pengumpulan

data, menilai kualitas data, menganalisis data, menafsirkan data, dan memberikan

kesimpulan.

Peneliti sebagai instrumen penelitian tidak dapat menjalankan perannya

tampa adanya bantuan. Peneliti dibantu dengan adanya alat dan bahan dalam

penelitian. Peneliti sebagai pengendali akan membutuhkan alat-alat penelitian

seperti laptop, alat tulis, dan buku tulis. Selain membutuhkan alat-alat dalam

penelitian peneliti juga membutuhkan bahan dalam penelitian yakni buku sumber

kepustakaan.

28
DAFTAR PUSTAKA

Alwasilah, A. Chaedar. (1993). Pengantar Sosiologi Bahasa. Bandung:Angkasa.

Arikunto, S. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka


Cipta.

Bloomfield, Leonard. (1995). Bahasa / Leonard Bloomfield. Penterjemah,


Sutikno, Jakarta: Gramedia
Chaer, Abdul (2004) Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka
Cipta
Chaer, Abdul dan Agustina Leonie (2010). Sosiolinguistik: Perkenalan Awal.
Jakarta: Rhineka Cipta.
Holmes, J. (2001). An Introduction to Sociolinguistics 2 nd Edition. Essex:
Pearson Education Limited
Hudson, Richard A. (1996) Sociolinguistics. Second Edition. Cambridge:
Cambridge University Press
Kamus Besar Bahasa Indonesia (2013). Edisi ke-Empat. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Kunjana, Rahardi (2010) Sosiolinguistik, Kode dan Alih Kode.Yogyakarta.Pustaka
Pelajar Offset.
Mahsun. (2007) Metode Penelitian Bahasa. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Markhamah. 2009. Ragam dan Analisis Kalimat Bahasa Indonesia. Surakarta:
Muhammadiyah University Press.
Moleong, Lexy (2001). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Nababan, P. W. J (1999). Sosiolinguistik: suatu pengantar. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.
Poedjosoedarmo, Soepomo (1982). Analisis Variasi Bahasa. Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud.
Syamsudin, A.R dan Vismaia S Damaianti (2009) Metode Penelitian Pendidikan
Bahasa. Bandung: Sekolah Pasca Sarjana UPI dan PT Remaja
Rosdakarya.
Sudaryanto. 2015. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta
Wacana University.

29
Sugiyono (2011). Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif,
Kualitatif, dan R&D). Alfabeta: Bandung.
Sumarsono ( 2013). Sosiolinguistik. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Suhardi, B dan Sembiring, B.C (2005). Aspek Sosial Bahasa. Jakarta: PT. Rienika
Cipta
Tarigan, Djago & Henry Guntur Tarigan, (1988). Pengajaran Analisis Kesalahan
Berbahasa. Bandung: Angkasa.
Thomason, G. Sarah. (2001). Language Contact: an Introduction. Edinburgh :
Edinburgh University Press. Ltd.
Wardhaugh, R. (2006). An Introduction to Sociolinguistics. Oxford: Blackwell
Publishing.

30

Anda mungkin juga menyukai