Anda di halaman 1dari 114

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Bahasa Indonesia merupakan bahasa nasional yang menjadi salah

satu identitas Negara Indonesia. Selain itu, bahasa Indonesia juga

merupakan alat komunikasi pemersatu dari berbagai suku bangsa yang

memiliki latar belakang yang berbeda-beda. Bahasa Indonesia adalah

lambang semangat kebangsaan, alat penyatuan berbagai masyarakat

yang berbeda latar belakang kebahasaan, kebudayaan dan sukunya ke

dalam satu masyarakat nasional Indonesia, alat penghubung antarsuku,

antardaerah, dan serta antarbudaya. Selain bahasa Indonesia yang

digunakan secara nasional, terdapat pula ratusan bahasa daerah yang

digunakan oleh masyarakat Indonesia. Akibatnya, masyarakat

menggunakan bahasa Indonesia sekaligus bahasa daerah sebagai alat

komunikasi sehari-hari. Suatu daerah atau masyarakat yang memiliki dua

bahasa disebut masyarakat multibahasa membuat orang Indonesia

mampu berbicara dengan menggunakan bahasa lebih dari satu bahasa.

Bahasa daerah bagi sebagian masyarakat Indonesia adalah

bahasa pertama atau bahasa ibu. Bahasa daerah itu digunakan di

lingkungan ke lingkungan keluarga bahkan di lingkungan terdekat yaitu di

desa atau di kampung kemudian masuk ke sekolah dan berkenalan

dengan bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia itu adalah bahasa kedua

bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Satu hal yang sangat menarik

1
2

perhatian walaupun bahasa Indonesia merupakan bahasa kedua bagi

sebagian besar masyarakat Indonesia, masyarakat Indonesia tidak

merasa bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa asing.

Sosiolinguistik menempatkan kedudukan bahasa dalam

hubungannya dengan pemakaian bahasa dalam masyarakat. Hal ini

menunjukkan bahwa sosiolinguistik memandang bahasa sebagai sistem

sosial dan sistem komunikasi serta merupakan bagian dari masyarakat

dan kebudayaan. Penggunaan bahasa indonesia sebagai bahasa

nasional seakan-akan terganggu oleh bahasa daerah. Di Indonesia

bahasa daerah hidup berdampingan dengan bahasa Indonesia dan

bahasa asing tertentu, di samping dengan sesama bahasa daerah.

Artinya, antara satu sama lain terjalin kontak sosial. Dalam kontak sosial

ini sudah barang tentu tidak terhindarkan adanya saling memengaruhi di

antara bahasa-bahasa yang terlibat kontak. Bahasa yang kuat akan

bertahan dan mempersempit ruang gerak bahasa-bahasa lain yang

berkeadaan lemah.

Berdasarkan hal tersebut, maka bahasa pertama yang dikuasai

manusia sejak awal hidupnya melalui interaksi dengan sesama anggota

masyarakat bahasanya atau disebut bahasa ibu (native language atau

mother language) diperoleh secara intuitif Kridalakasana (1993: 22-23),.

Dengan demikian, dalam pemerolehan kebudayaan setempat oleh

seorang anak manusia yang menjadi anggota masyarakat di tempat itu

berlangsung pula secara intuitif dan simultan tatkala mereka mempelajari


3

bahasa Ibunya. Melaluis ungkapan yang mapan, sistem gramatika dan

leksikon yang tersedia dalam bahasa ibu, seorang anak manusia yang

menjadi anggota masyarakat telah dibentuk cara pandang, nilai-nilai yang

berlaku dalam masyarakat bahasa dan budaya setempat. Sebagai contoh,

melalui proses pemerolehan unsur-unsur kebahasaan yang berupa unsur

leksikon dan atau kaidah gramatika tentang sistem pembentukan konsep

waktu dalam bahasa.

Bahasa pertama atau bahasa ibu dalam hal ini memiliki hak untuk

dipertahankan agar tetap lestari. Pemertahanan bahasa menyangkut

masalah sikap dan penilaian terhadap suatu bahasa untuk tetap

menggunakan bahasa tersebut di tengah-tengah bahasa lainnya yang

beragam. Pengkajian pemertahanan bahasa dan pergeseran bahasa

biasanya mengarah kepada hubungan di antara perubahan dan

kemantapan yang terjadi pada kebiasaan berbahasa dengan proses

psikologis, sosial, dan budaya (Siregar 1998). Hal tersebut berlangsung

pada saat masyarakat bahasa yang berbeda berhubungan satu sama lain.

Berhasil tidaknya pemertahanan bahasa bergantung pada dinamika

masyarakat pemakai bahasa dalam kaitannya terhadap perkembangan

sosial, polotik, ekonomi, dan budaya masyarakat tersebut.

Pemerintah memberikan peluang kepada bahasa daerah untuk

bertahan sebagai bahasa pertama dan bahasa pergaulan intrasuku.

Dalam Undang-undang tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara,

serta Lagu Kebangsaan, Pasal 1 dikatakan, “ Bahasa daerah adalah


4

bahasa yang digunakan secara turun-temurun oleh warga negara

Indonesia di daerah- daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik

Indonesia”. Kemudian pada Pasal 42, ayat (1) dinyatakan bahwa

“Pemerintah daerah wajib mengembangkan, membina, dan melindungi

bahasa dan sastra daerah agar tetap memenuhi kedudukan dan fungsinya

dalam kehidupan sesuai dengan perkembangan zaman dan agar tetap

menjadi bagian dari kekayaan budaya Indonesia.”

Berdasarkan segi jumlah penutur, bahasa Bugis tergolong bahasa

yang safe, yaitu bahasa yang masih aman, artinya tidak berada dalam

keadaan ancaman kepunahan karena memiliki penutur yang sangat

banyak dan secara resmi didukung oleh pemerintah (Krauss, 1992).

Dalam hal ini, bahasa Bugis yang dipertuturkan oleh etnik atau suku

Bugis, yaitu sebanyak 4 juta di Indonesia, terutama di Sulawesi Selatan

dan Malaysia. Penuturnya tersebar di kabupaten-kabupaten: Luwu, Wajo,

Bone, Soppeng, Sinjai, Bulukumba, Sidrap, Barru, Pangkep,Pare-Pare,

Maros (Camba), dan Pinrang (Sawitto). Status bahasa adalah bahasa

Mayor (perkiraan World Almanac 2005).

Berdasarkan jumlah penutur yang masih tergolong banyak

membuat eksistensi bahasa Bugis khususya di Sulawesi Selatan masih

bisa berada di papan atas diantara bahasa daerah yang lain yang ada di

Sulawesi Selatan. Dengan jumlah penutur yang cukup banyak membuat

bahasa bugis dapat mempengaruhi bahasa lain terutama pada bahasa

kedua masyarakat bugis yaitu bahasa Indonesia. Dengan adanya jumlah


5

penutur bahasa bugis yang digolongka masih banyak membuat proses

terjadinya kontak bahasa antara bahasa bugis dan bahasa Indonesia

semakin besar.

Berdasarkan hal tersebut dapat dimaknai bahwa bahasa tidak

hanya sebagai alat komunikasi tetapi juga sebagai sistem yang

melibatkan aturan-aturan yang bersifat sosial dan kebahasaan yang harus

diperhatikan oleh setiap pemakaian bahasa tersebut. Sebagai masyarakat

yang bilingual atau multilingual yang paling sedikit menguasai dua bahasa

yaitu bahasa daerah sebagai bahasa pertama dan bahasa nasional

sebagai bahasa kedua.

Pada umumnya manusia mampu berkomunikasi dan berbicara

dengan baik berdasarkan firman Allah yang berbunyi

(QS. Ar-Rahman: 3-4) yang artinya

"Dia menciptakan manusia (3). Mengajarnya pandai berbicara (4)."

Berdasarkan hal tersebut membuat manusia memiliki kemampuan

berbicara atau berkomunikasi menggunakan dua bahasa atau lebih. Hal

tersebut dapat menjadi keuntungan dan kekurangan bagi manusia di

dalam lingkun masyarakat. Jika dilihat dari sisi positif hal tersebut menjadi

kelebihan dan membuat masyarakat dwibahasa akan lebih mudah bergaul

dan berkomunikasi dengan orang baru karena adanya kemampuan

berbahasa lebih dari satu bahasa. Jika dilihat dari sisi laini hal ini dapat

mengakibatkan kesenjangan penggunaan bahasa atau masalah-masalah

bahasa baik masalah penguasaan bahasa, terciptanya bahasa-bahasa


6

baru ataupun percampuran bahasa yang pertama dikuasai (bahasa

daerah) kedalam penggunaan bahasa kedua. Masuknya unsur suatu

bahasa ke bahasa lain kadang dapat memperkaya khazanah suatu

bahasa. Akan tetapi, kadang pula dapat menyebabkan bahasa penerima

dirugikan apabila masuknya suatu bahasa tersebut berdampak

mengacaukan struktur suatu bahasa dan dapat menyebabkan terjadinya

penyimpangan atau gejala interferensi salah satu contohnya penggunaan

kata tanya yang dimasuki klitika bahasa Bugis kenapa-ki yang artinya

kamu kenapa?

Dalam pengguaan bahasa dengan kontak yang semakin intensif

antara bahasa Indonesia dan bahasa Bugis yang membawa perubahan

dalam Iingkup bentuk pemakaian kedua bahasa tersebut. Prestise dan

daya guna bahasa Indonesia yang terus meningkat telah mendorong

penutur bahasa daerah, termasuk bahasa Bugis untuk menguasai bahasa

Indonesia. Dalam setiap komunikasi sehari-hari, terkadang dapat

disaksikan pemakaian bahasa seolah-olah dikacaukan atau tercampur

aduk antara bahasa Daerah (Bugis) dan bahasa Indonesia yang dipakai

secara silih berganti dalam suatu wacana atau kalimat dalam penuturan.

Tidak jarang pula dijumpai kalimat-kalimat yang dimulai dengan bahasa

Indonesia, tetapi di tengah-tengah terselip kata-kata bahasa Bugis atau

diawali bahasa Bugis dan sebaliknya dengan bahasa Indonesia. Hal

tersebut membuat kalimat yang demikian seolah-olah bukan kalimat

bahasa Bugis dan bukan pula bahasa Indonesia.


7

Hal tersebut tentunya erat kaitannya terhadap interferensi bahasa,

karena interferensi dianggap sebagai suatu penyimpangan dan kesalahan

kaidah berbahasa sebagaimana yang dikemukakan Chaer (2006: 35)

bahwa terjadinya proses interferensi merupakan sumber kesalahan

terbesar yang paling menonjol pada tatanan fonologi, morfologi, dan

sintaksis yang digolongkan dalam segi gramatikal. Kesalahan ini biasanya

terjadi diakibatkan karena adanya kontak bahasa berupa peristiwa

pemakaian bahasa oleh penutur, yang sama secara bergantian dari

peristiwa kontak bahasa tersebut terjadi transfer atau pemindahan unsur

bahasa yang satu kebahasa yang lain yang mencakup semua tatanan,

sehingga mengakibatkan perubahan morfem dalam bahasa tersebut

(Chaer dan Agustin, 1995: 59). Dari hal tersebut sehingga Interferensi

dianggap sebagai suatu kesalahan yang fatal.

Selain penyebab di atas, interferensi juga dapat diakibatkan karena

budaya atau kebiasaan penggunaan bahasa Ibu. Biasanya hal ini

berdampak besar terhadap penggunaan bahasa Indonesia yang dapat

mengakibatkan pencampuran kosa kata bahasa pertama terhadap bahasa

kedua yang digunakan oleh penutur yang menguasai dua bahasa.

Penguasaan dua bahasa oleh penutur dalam hal ini dapat memungkinkan

terjadinya suatu kesalahan berbahasa dalam masyarakat. Hal inilah yang

terkadang dapat mempengaruhi mereka dalam proses berbicara pada

saat menggunakan bahasa. Disengaja ataupun tidak disengaja, sering

terjadi kesalahan pada pengguanaan bahasa yang dikarenakan


8

penggunaan dua bahasa atau lebih secara bergantian dalam kehidupan

sehari-sehari. Namun hal seperti itu sulit untuk dihindari oleh masyarakat,

karena bahasa pertama yang dikuasai pada umumnya telah dipelajari

secara turun temurun.

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada bagian

sebelumnya, maka penulis tertarik melakukan penelitian dengan judul

“Interfrensi Bahasa Bugis terhadap Bahasa Indonesia pada

Masyarakat Bugis Kabupaten Soppeng.”


9

B. Fokus Penelitian

Adapun yang menjadi fokus penelitian yang dipilih adalah bentuk

interferensi bahasa Bugis terhadap bahasa Indonesia pada masyarakat

Bugis Kabupaten Soppeng dalam bidang fonologi, morfologi, dan leksikal,

serta perbandingan interferensi bahasa Bugis terhadap bahasa Indonesia

pada lingkungan formal maupun informal. .

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan fokus penelitian, maka tujuan penelitian ini adalah

mendeskripsikan bentuk interferensi bahasa Bugis terhadap bahasa

Indonesia pada masyarakat Bugis Kabupaten Soppeng dalam bidang

fonologi, morfologi, dan leksikal, dan interefensi bahasa Bugis terhadap

bahasa Indonesia di lingkungan formal maupun informal.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoretis

a) Secara teoretis penelitian ini diharapkan menjadi studi

perbandingan, seberapa jauh pengaruh bahasa Bugis terhadap

inferensi bahasa Indonesia.

b) Penelitian ini diharapakan dapat dijadikan tolok ukur bagaimana

terjadinya kesalahan berbahasa pada masyarakat.


10

2. Manfaat Praktis

a) Penelitian ini diharapkan menambah kekayaan hasil penelitian

tentang interferensi dan dapat dijadikan refrensi untuk penelitian

berikutnya.

c) Secara umum penelitian ini diharapkan mampu memberikan

gambaran tentang perlunya memperhatikan kaidah-kaidah

kebahasaan dalam berkomunikasi.


11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Hasil Penelitian

Tinjauan pustaka yang diuraikan Bab II merupakan kajian teori

yang menjadi dasar peneltian dan teori pendukung. Selaian gambaran

teori juga diuraikan tentang penelitian terdahulu yang sejenis dengan

penelitian yang akan dilakukan.

Adapun penelitian yang relevan dengan penelitian yang akan

adalah peneletian yang telah dilakukan oleh Lucy Teresia Silatonga pada

(2017) dengan judul “interferensi bahasa Angkola Mandailing terhadap

tuturan bahasa Indonesia.” Adapun persamaan dari penelitian

sebelumnya yaitu ingin melihat pengaruh interfefensi bahasa daerah

terhadapa bahasa Indonesia. Jika dilihat penelitian terlebih dahulu

penelitian sebelumnya menggunakan bahasa suku Mandailing dan

Angkola yang menaungi sebagian besar kabupaten Mandailing Natal di

Provinsi Sumatra Utara. Adapun penelitian yang akan dilakukan

menggunakan bahasa daerah Bugis yang merupakan bahasa suku Bugis

yang sebagian besar tersebar diwilayah Sulawesi Selatan.

Penelitian tersebut memiliki persamaan dengan penelitian yang

akan dilakukan yaitu adanya kedwibahasaan yang menyebabkan

terjadinya kontak bahasa dan mengakibatkan interferensi. Namun pada

penelitian yang akan dilakukan interferensi bahasa Indonesia yang terjadi

pada masyarakat penutur bugis, tetapi secara tujuan penelitian hampir


12

sama dengan penelitian sebelumnya karena memiliki tujuan yang sama

yaitu mengetahui interferensi bahasa Indonesia.

Penelitian relevan yang kedua, dilakukan oleh Perawati ( 2020)

dengan judul “interferensi bahasa Bugis dialek Wajo terhadap

penggunaan bahasa Indonesia lisan di Desa Torue Kecamatan Torue

Kabupaten Parigi Muotong.” Persamaan antara peneltian sebelmunya

dengan penelitian yang akan dilakukan yaitu sama-sama memaparkan

bagaiman bentuk interferensi bahasa Bugis terhadapa bahasa Indonesia.

Bentuk-bentuk interferensi seperti apa yang akan muncul dari hasil

penelitian yang akan dilakukan, apakah aka nada interferensi fonologi,

morfologi maupun leksikal seperti pada hasil penelitian terdahulu.

Penelitian yang ketiga yaitu penelitian yang dilakukan oleh Sri

Nugrahaeni dan Nisa Syuhada (2019) dengan judul “interfrensi bahasa

Melayu terhadap bahasa Indonesia.” Penelitian tersebut memaparkan tiga

bentuk interferensi yang bahasa Melayu terhadap bahasa Indonesia pada

pola komunikasi mahasiswa UIN Sultan Syarif Kasim Riau. Adapun

bentuk interferensi yang dimaksud yaitu inteferensi morfologi, inteferensi

fonologi dan inteferensi sintaksis. Penelitian tersebut memiliki persamaan

dengan penelitian yang akan dilakukan yaitu sama-sama akan mengkaji

tentang bentuk-bentuk interferensi daintaranya inteferensi morfologi dan

fonologi.

Penelitian keempat yaitu penelitian yang dilakukan oleh Annur

Wulan Darini S (2019) dengan judul “interfrensi morfologi, fonologi, dan


13

leksikal dalam komunikasi formal mahasiswa sastra Indonesia fakultas

ilmu budaya universitas Airlangga. Penelitian ini memiliki kemiripan

dengan penelitian yang akan dilakukan yaitu akan melihat tiga jenis jenis

interferensi bahasa Indonesia yaitu dari sisi morfologi, fonologi dan

sintaksis pada masyarakat bugis di Kabupaten Soppeng.

Penelitian kelima yaitu penelitian yang dilakukan oleh Muh. Taufik

dan Muh. Jumardi Nurali (2019) dengan judul “pengaruh interferensi

bahasa Bugis Bone terhadap morfologi bahasa Indonesia di Dusun

Polewali desa Pasaka Kecamatan Sibulue Kabupaten Bone.” Penelitian

yang telah dilakukan oleh Muh. Taufik dan Muh. Jumardi memiliki

persamaan dengan penelitian yang akan dilakukan yaitu untuk

mendeskripsikan bagaimana pengaruh interferensi bahasa Bugis terhadap

bahasa Indonesia. Jika penelitian terdahulu dilakukan di Kabupaten Bone

makan penelitian yang ini akan dilaksakan di Kabupaten Soppeng, yang

juga merupakan salah satu kabupaten dengan jumlah penutur bahasa

Bugis yang banyak.

B. Tinjauan Teori dan Konsep

1. Kontak Bahasa

Jika terdapat dua bahasa atau lebih yang digunakan dalam

masyarakat yang sama, maka pertemuan antar bahasa akan mengalami

kontak. Kontak bahasa adalah peristiwa saling mempengaruhi antara

bahasa yang satu dengan bahasa yang lain, akibat kontak bahasa
14

tersebut akan berpengaruh pada penggunaan kata dari salah satu bahasa

dari kedua bahasa yang saling kontak.

Menurut Mackey, (dalam Sukirman, 2021: 92) kontak bahasa

adalah pengaruh bahasa yang satu kepadabahasa yang lainnya baik

langsung maupun tidak langsung, sehingga menimbulkan perubahan

pada bahasa yang dimiliki oleh ekabahasawan. Sedangkan

kedwibahasaan diartikan sebagai pemakaian dua bahasa atau lebih oleh

seorang penutur. Untuk tidak mengacaukan antara kontak bahasa dan

kedwibahasaan maka, perlu dijelaskan. Kontak bahasa cenderung kepada

gejala bahasa (langue), sedangkan kedwibahasaan lebih cenderung

sebagai gejala tutur (parole). Namun, karena langue pada hakikatnya

adalah sumber dari parole, maka kontak bahasa sudah selayaknya

tampak dalam kedwibahasaan. Atau dengan kata lain, kedwibahasaan

terjadi akibat adanya kontak bahasa. Kontak bahasa terjadi dalam situasi

konteks sosial, yaitu pada situasi seseorang belajar bahasa kedua di

dalam masyarakatnya. Dalam situasi seperti itu, dapat dibedakan antara

situasibelajar bahasa, proses perolehan bahasa, dan orang yang belajar

bahasa (Sukirman, 2021: 92).

Menurut Hastuti (dalam Sekarsari, 2013: 11) kontak bahasa adalah

pengaruh suatu bahasa terhadap bahasa lain baik langsung maupun tidak

langsung, dari pengertian ini suatu bahasa dikatakan berada dalam kontak

apabilah terdapat pengaruh dari bahasa lain yang digunakan oleh penutur

bahasa. Jadi, kontak bahasa terjadi dalam diri penutur bahasa. Peristiwa
15

kontak bahasa dapat terjadi secara individual di dalam diri penutur dan

dapat pula secara sosial di dalam suatu masyrakat, menurutnya kontak

bahasa secara individu tampak dalam wujud kedwibahasawan,

sedangkan secara sosial kontak bahasa tampak pada terjadinya diglosia,

yakni dipergunakannya dua bahasa secara berdampingan dalam suatu

masyarakat dan masing-masing bahasa mempunyai peran tersendiri.

Kontak bahasa dapat terjadi secara individual di dalam diri penutur

dan dapat pula terjadi secara sosial di dalam suatu masyarakat,

menurutnya kontak bahasa secara individu tampak dalam wujud

kedwibahasaan, sedangkan secara sosial kontak bahasa tampak pada

terjadinya diglosia, yakni dipergunakannya dua bahasa secara

berdampingan dalam suatu masyarakat dan masing- masing bahasa

mempunyai peran tersendiri (Sekartaji, 2013: 11).

Kontak bahasa oleh dwibahasawan pada umumnya terjadi tanpa

direncanakan atau dipikirkan terlebih dahulu. Kontak ini terjadi secara

spontan karena antar penutur saling membutuhkan informasi, adanya

tujuan tertentu, memiliki maksud yang sama, dan dalam situasi yang

kondusif. Kemampuan seseorang untuk menggunakan bahasa atau dialek

secara bergantian baik pada peristiwa alih bahasa atau campur bahasa

sangat diharapkan pada penutur yang berkarakteristik bilingual atau

multilingual. Salah satu ciri utama kedwibahasaan adalah

dipergunakannya dua bahasa atau lebih oleh seseorang atau kelompok

orang, tetapi kedua bahasa itu tidak mempunyai peranan sendiri-sendiri di


16

dalam masyarakat pemakai bahasa. Kepada siapapun mereka berbicara,

di manapun pembicaraan berlangsung, tentang masalah apapun yang

dibicarakan dan dalam situasi bagaimanapun pembicaraan itu

berlangsung kedua bahasa atau lebih itu dapat dipergunakan. Pemilihan

bahasa manakah yang akan dipergunakan semata-mata bergantung

kemampuan pembicara dan pendengarnya (Malabar, 2015: 24).

Pemilihan bahasa ini dilakukan ketika para pembicara menguasai

benar tentang bahasanya. Jika hal ini dilaksanakan sebaikbaiknya antara

penutur dan pendengar, maka pesan yang akan disampaikan dapat

diterima secara baik. Kebiasaan melakukan pemilihan bahasa tidak

sekaligus dapat dilakukan sebaik-baiknya tetapi perlu melalui proses

belajar. Mungkin saja prosesnya terjadi secara serentak atau kedua

bahasa dipelajari secara bersama-sama. Kontak bahasa yang terjadi pada

suatu kelompok bahasawan sering terjadi pengaruh-mempengaruhi antara

bahasa yang satu dengan lainnya. Pengaruh ini akan membawa

perubahan pada langue dan parole para penutur lainnya. Kontak bahasa

ini akan mampu mempengaruhi pola pikir para penuturnya dan sekaligus

kebiasaan berbahasanya. Selain itu, performance (penampilan)

penggunaan bahasa seseorang akan berubah sewaktu penutur bahasa

selalu mengadakan kontak bahasa (Malabar, 2015: 25).

Peristiwa kontak bahasa secara individu terjadi pada diri pengguna

bahasa secara pribadi, akibat dari seseorang mengenal, memakai bahkan

menguasai lebih dari satu bahasa, sedikitnya menguasai dua bahasa


17

yang berbeda atau yang disebut dengan dwibahasawan. Seorang

dwibahasawan sangat mungkin sebagai awal terjadinya interferensi dalam

bahasa. Antara kontak bahasa dan dwibahasawan sangat erat

hubungannya, karena Interferensi merupakan salah satu peristiwa

kebahasaan yang mungkin terjadi sebagai akibat adanya kontak bahasa.

Kontak bahasa yang menimbulkan interferensi dianggap sebagai peristiwa

yang negatif, karena masuknya unsur- unsur bahasa pertama ke dalam

bahasa kedua atau sebaliknya menyimpang dari kaidah (Sianturi, 2021:

35).

Dalam masyarakat yang tergolong dwibahasa (bilingual) dan

multibahasa, kelancaran dan ketepatan penyampaian pesan, maksud,

atau tujuan merupakan hal yang harus terus menerus dipelajari. Hal ini

berarti bahwa tiap pengguna bahasa pada saat berkomunikasi secara

verbal tidak hanya ingin menyampaikan pesan melalui katakata saja tetapi

harus mengetahui fungsi, konteks, topik serta situasi yang ada. Fungsi

perlu dipahami terlebih dahulu oleh para penutur sebab bahasa yang

digunakan akan mampu mengubah persepsi para pendengarnya. Tidak

sedikit para penutur mengalami kegagalan dalam berkomunikasi dengan

orang lain karena tidak paham akan fungsi bahasanya.

Di dalam masyarakat bahasa terkadang terdapat dua atau lebih

bahasa yang hidup berdampingan secara subur. Selain itu, juga

banyaknya variasi penggunaan bahasa secara bergantian di masyarakat.

Gambaran peristiwa pengunaan variasi bahasa di dalamsuatu masyarakat


18

yang memiliki peranan tertentu disebut diglosia. Adapun konteks, topik,

dan situasi juga merupakan hal yang cukup penting dipahami terlebih

dahulu oleh antar penutur. Oleh karena itu, bahasa yang digunakan harus

dikuasai terlebih dahulu agar penutur mampu memilih konteks, topik dan

situasi yang tepat untuk melakukan komunikasi.

Dalam menggunakan dua bahasa atau dialek dalam komunikasi

mungkin saja terjadi penyimpangan-penyimpangan dari kaidah yang

mengatur bahasa atau dialek itu. Penyimpangan dari kaidah yang

dipergunakan oleh penutur sebagai akibat pengenalan bahasa yang

salah. Selain itu, penyimpangan terjadi karena penutur telah

mengidentifikasi dua buah kaidah dalam waktu yang bersamaan. Kaidah

yang dimaksudkan dapat terjadi pada tataran bunyi bahasa, bentuk,

kalimat, wacana, dan makna, sehingga penyimpangan yang dilakukan

penutur bahasa dapat berkenaan dengan tataran tersebut. Faktor urgen

yang paling menyebabkan terjadinya penyimpangan yakni penutur tidak

menguasai kaidah bahasa yang digunakan dalam komunikasi (Malabar,

2015: 25–26).

2. Kedwibahasaan

a. Pengertian Kedwibahasaan

Istilah kedwibahasaan merupakan bentukan istilah bilingual dalam

bahasa Indonesia. Adapun dari segi pengertian, kedwibahasaan sampai

saat ini belum sampai pada tingkat kesepakatan. Pertama kali pengertian

kedwibahasaan dikemukakan oleh Blomfield yang menyebutkan bahwa


19

kedwibahasaan merupakan penguasaan dua bahasa dengan sama

baiknya (1958: 56). Pendapat ini mendapat reaksi beberapa ahli yang

menganggap bahwa pengertian tersebut terlalu ideal dan sulit untuk

diukur (Rusyana, 1989: 1). Oleh karena itu, sejumlah pakar kebahasaan

memberikan pengertian kedwibahasan dari berbagai sudut pandang dan

konteks.

Hugen (dalam Sukirman 2021: 93) mengungkapkan

kedwibahasaan adalah tahu dua bahasa. Rumusan seperti ini

dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa dalam hal kedwibahasaan,

seorang dwibahasawan tidak harus menguasai secara aktif dua bahasa

tetapi menguasai secara pasif. Pada tahap selanjutnya kedwibahasaan

dapat diartikan sebagai awal, yaitu kedwibahasaan yang dialami oleh

orang terutama anak yang belajar bahasa kedua pada tahap permulaan.

Pada tahap demikian kedwibahasaan itu masih sangat sederhana dan

dalam tingkat yang sangat rendah. Namun, pada tahap ini terletak dasar

kedwibahasaan pada tataran selanjutnya.

Lado (dalam Chaer, 2004: 86) mengungkapkan bahwa

kedwibahasaan adalah kemampuan menggunakan bahasa oleh

seseorang dengan sama baik atau hampir sama baiknya. Secara teknis

pendapat ini mengacu pada pengetahuan dua bahasa bagaimana

tingkatnya oleh sesorang. Pernyataan ini lebih sederhana dari pendapat

Bloomfield sehingga memberi ruang terhadap orang lain yang tidak

sempurna dalam penguasaan dua bahasa untuk disebut dwibahasawan.


20

Weinreich (1970: 1) menitikberatkan pengertian kedwibahasaan

bukan pada kefasihan penguasaan dua bahasa yang sama baiknya,

melainkan pada kemampuan praktik menggunakan dua bahasa secara

bergantian dalam berkomunikasi. Dengan demikian, Weinreich

menggunakan istilah kedwibahasaan dengan konsep yang lebih luas,

tanpa memberikan ketentuan tingkat perbedaannya yang dipentingkan

adalah praktik penggunaan bahasa secara bergantian oleh individu yang

sama.

Pendapat yang hampir senada dengan pendapat Weinreich

dikemukakan pula oleh Mackey (Fishman, 1972: 555-556). Mackey

mendefinisikan kedwibahasaan sebagai penggunaan dua bahasa atau

lebih secara bergantian oleh individu yang sama. Berbeda halnya dengan

Weinreich dan Mackey, Haugen (1972: 309) mengembangkan lagi makna

kedwibahasaan sebagai kemampuan untuk menghasilkan bunyi-bunyi

ujaran yang bermakna dalam bentuk bahasa lain, Jadi, menutur Haugen

kedwibahasaan tidaklah harus diukur dengan penggunaan tapi cukuplah

dengan mengetahui kedua bahasa itu. Menurut analisis Rusyana (1988),

definisi dari Haugen ini merupakan tingkatan dan kriteria yang paling

rendah dan bisa diklasifikasikan sebagai kedwibahasaan pasif. (Chaer &

Leoni, 2004: 86)

Perkembangan kedwibahasaan menyangkut pula pengertian

tentang bahasa yang terlibat dalam kdwibahasaan tersebut. Dalam hal ini,

mengacu pada pengertian bahasa sebagai system kode yang mempunyai


21

ciri khusus. Mengenal dua bahasa berarti mampu menggunakan dua

sistem kode secara baik. Menggunakan dua bahasa dalam

kedwibahasaan adalah termasuk juga dua variasi bahasa. Seperti yang

diungkapkan Poedjosoedarmo, (1975: 30) kode biasanya berbentuk

variasi bahasa yang secara nyata dipakai berkomunikasi anggota suatu

masyarakat bahasa. Bagi suatu masyarakat ekabahasa kode merupakan

varian dari bahasanya yang satu. Akan tetapi, bagi masyarakat yang

dwibahasa atau aneka bahasa (multilingual), inventarisasi kode itu

menjadi lebih luas dan mencakup varian dua bahasa atau lebih. Seorang

penutur dapat berganti bahasa apabila dalam kondisi yang diciptakan

oleh: topik pembicaraan, orang yang terlibat, dan ketegangan.

Perpindahan seperti ini dapat terjadi pada bahasa tulisan maupun ujaran.

(Alwasilah, 1985: 128)

Dalam literatur, kedwibahasaan diperlihatkan derajad penguasaan

kedua bahasa tersebut yang dikenal dengan dua istilah, yaitu (compound

bilingual) dan (coordinate bilingual). Compound bilingual terbentuk apabila

seseorang mempelajari dua bahasa di dalam kondisi yang sama, karena

orang tuanya menggunakan kedua bahasa itu secara bergantian terus-

menerus. Penutur bilingual ini akan memiliki makna (rujukan) yang sama

untuk simbol yang dipertukarkan dalam dua bahasa karena dilibatkan

pada dua bahasa dalam waktu dan suasana yang sama

Coordinate bilingualism merupakan bentuk yang terjadi manakala

pengalaman kedua bahasa yang dikuasai adalah berbeda karena jarang


22

diganti dalam pemakaiannya. Hal ini disebabkan bahasa pertama

diperoleh di rumah, sedangkan bahasa yang kedua dipelajari secara

formal di sekolah. Karena kedua bahasa tersebut, diperoleh dalam dua

konteks yang berbeda, maka bagi penutur (bilingual) ini akan banyak

makna atau rujukan yang berbeda untuk simbol bahasa yang

dipertukarkan dalam dua bahasa (Sukirman, 2021: 194).

b. Tipe-Tipe Kedwibahasaan

Kedwibahasaan dapat dikelompokkan menjadi beberapa tipe.

Pembagian tipe-tipe itu bergantung pada sudut pandang para pakar

bahasa masing-masing. Weinreich (1970) membagi kedwibahasaan

menjadi tiga tipe, adalah: (1) kedwibahasaan koordinatif setara (the

coordinative type of bilingualism), (2) kedwibahasaan majemuk (the

compound type of bilingualism), (3) kedwibahasaan subordinatif (the

subordinative type of bilingualism).

Ervin dan Osgood (Rusyana, 1989: 24) mengintegrasikan

kedwibahasaan tipe majemuk dan tipe subordinatif menjadi the compound

type of bilingualism, sehingga Ervin dan Osgood hanya membagi

kedwibahasaan menjadi dua tipe, yaitu kedwibahasaan setara

(koordinatif) dan kedwibahasaan majemuk (compound).

Berdasarkan cara pemerolehannya, menurut Houston

(Beardsmore, 1982: 8) membedakan kedwibahasaan menjadi

kedwibahasaan primer dan kedwibahasaan sekunder. Kedwibahasaan

primer terjadi apabila penguasaan B2 diperoleh secara langsung dan


23

alami; tidak melalui proses pendidikan khusus. Kedwibahasaan sekunder

terjadi apabila penguasaan B2 diperoleh melalui proses pembelajaran di

sekolah. Jika, berdasarkan kemampuan menggunakan kedua bahasa,

Beardsmore (1982: 13-16), kedwibahasaan dapat dibedakan menjadi

kedwibahasaan reseptif (kedwibahasaan fasif) dan kedwibahasaan

produktif. Kedwibahasaan reseptif terjadi apabila dwibahasawan itu

memahami dua bahasa, baik secara lisan maupun tertulis, tetapi tidak

menggunakannya. Sebaliknya, Kedwibahasaan produktif terjadi apabila

dwibahasawan itu tidak saja dapat meemahami kedua bahasa, tetapi juga

mampu mempraktikannya, baik secara lisan maupun tertulis.

Menurut hasil penelitian POHL pada tahun 1965 (Breadsmore,

1982: 5), berdasarkan bahasa yang digunakan kedwibahasaan dapat

dikelompokkan menjadi tiga tipe, yaitu: (1) Kedwibahasaan horizontal, (2)

Kedwibahasaan vertikal, (3) Kedwibahasaan diagonal (Huri, 2014: 64).

c. Teknik Pengukuran Kedwibahasaan

Persoalan kedwibahasaan dapat diasumsikan belum dapat

dikatakan banyak yang meneliti terutama dalam mengukur kemampuan

kedwibahasawanan. Menurut Hamers dan Blanc (Suwandi, 2008: 21)

pengukuran bilingualisme yang dalam hal ini bilingualisme individual

dengan pendekatan komparatif, tes kompetensi bilingual (mengukur

kompetensi bahasa), mengukur prilaku, mengukur bilingualitas koordinat

dan majemuk, kuesioner biografi kebahasaan, mengukur kekhususan


24

bilingual, mengukur korelasi kognitif bilingualitas, dan mengukur apektif

bilingualitas.

Selain catatan yang dikemukakan oleh Hamers, Mackey (1956)

mengemukakan bahwa pengukuran kedwibahasan dapat dilakukan

melalui beberapa aspek yang diuraikan dibawah ini.

(1) Aspek Tingkat

Dapat dilakukan dengan mengamati kemampuan memakai unsur-

unsur bahasa seperti fonologi, morfologi, sintaksis, leksikon, serta ragam

bahasa.

(2) Aspek Fungsi

Dapat dilakukan melalui kemampuan pemakaian dua bahasa yang

dimiliki sesuai dengan kepentingan-kepentingan tertentu. Ada dua faktor

yang harus diperhatikan dalam pengukuran kedwibahasaan yaitu faktor

internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor yang

menyangkut pemakaian bahasa secara internal. Sedangkan faktor

eksternal adalah faktor dari luar bahasa. Hal ini antara lain menyangkut

masalah kontak bahasa yang berkaitan dengan lamanya waktu kontak

seringnya mengadakan kontak bahasa si penutur dapat ditentukan oleh

lamanya waktu kontak, seringnya kontak dan penekannya terhadap

bidang-bidang tertentu. Misalnya, bidang ekonomi, budaya, politik,dll.

(3) Aspek Penggantian

Aspek pengukuran terhadap seberapa jauh pemakai bahasa

mampu berganti dari satu bahasa kebahasa yang lain. Kemampuan


25

berganti dari satu bahasa ke bahasa yang lain ini tergantung pada tingkat

kelancaran pemakaian masing-masing bahasa.

(4) Aspek Interferensi

Aspek interferensi merupakan pengukuran terhadap kesalahan

berbahasa yang disebabkan oleh terbawanya kebiasaan ujaran

berbahasa atau dialek bahasa pertama terhadap kegiatan berbahasa.

Robert Lado (1961) mengemukakan agar dalam pengukuran

kedwibahasaan seseorang dilakukan melalui kemampuan berbahasa

dengan menggunakan indikator tataran kebahasaan (Huri, 2014: 68).

3. Interferensi

a. Pengertian Interferensi

Istilah interferensi pertama kali digunakan oleh Weinreich (1953)

untuk menyebut adanya perubahan sistem suatu bahasa sehubungan

dengan adanya persentuhan bahasa tersebut dengan unsur-unsur bahasa

lainnya yang dilakukan oleh penetur bilingual. Penutur bilingual adalah

penutur yang menggunakan dua bahasa secara bergantian, dan penutur

multingual adalah penutur yang dapat menngunakan banyak bahasa

secara bergantian. Namun kemampuan setiap penutur BI dan B2 sangat

bervariasi. Ada penutur yang menguasai BI dan B2 sama baiknya, tetapi

ada pula yang tidak; malah ada yang kemampuannya terhadap B2 sangat

minim. Penutur bilingual yang memiliki kemampuan terhadap BI dan B2

sama baiknya, tentu tidak mempunyai kesulitan untuk menggunakan


26

bahasa itu kapan saja diperlukan, karena tindak laku bahasa itu terpisah

dan bekerja sendiri-sendiri.

Penutur bilingual mempunyai kemampuan seperti ini oleh Ervin

dan Osgood (1965: 139) disebut kemampuan bahasa yang sejajar.

Sedangkan yang kemampuan terhadap B2 jauh lebih rendah atau tidak

sama dari kemampuan BI–nya disebut kemampuan bahasa yang

majemuk. Penutur yang mempunyai kemampuan bahasa majemuk ini

biasanya mempunyai kesulitan dalam menggunakan B2-nya (Chaer &

Leoni, 2004: 120).

Antara kedwibahasaan dan interferensi terjadi hubungan yang

sangat erat. Hal ini dapat dilihat pada kenyataan pemakaian bahasa

dalam kehidupan sehari-hari. Situasi kebahasaan masyarakat tutur

bahasa Indonesia sekurangkurangnya ditandai dengan pemakaian dua

bahasa, yaitu bahasa daerah sebagai bahasa ibu dan bahasa Indonesia

sebagai bahasa nasional. Situasi pemakaian seperti inilah yang dapat

memunculkan percampuran antara bahasa Jawa dan bahasa Indonesia.

Kebiasaan untuk memakai kedua bahasa lebih secara bergantian disebut

kedwibahasaan, peristiwa semacam ini dapat menimbulkan interferensi

(Sekartaji, 2013: 16).

Interferensi merupakan pengacauan yang terjadi akibat dari

ketidakseimbangan penguasaan bahasa yang terjadi pada diri

dwibahasawan dalam hal ini kebiasaan orang dalam bahasa utama atau
27

bahasa sumber berpengaruh pada bahasa kedua, keadaan seperti ini

disebut dengan bilingualitas majemuk (Naban, 1991).

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia interferensi merupakan

gangguan, campur tangan masuknya unsur serapan ke dalam bahasa lain

yang sifatnya melanggar kaidah bahasa yang menyerap. (Sugono, 2008:

542). Dalam Kamus Linguistik interferensi diartikan sebagai penggunaan

unsur bahasa lain oleh bahasawan yang bilingual secara individu suatu

bahasa. (Kridalaksana, 2011: 95) Hal ini sependapat dengan teori Diebold

(dalam Rusyana, 1988) yang mengemukakan bahwa interferensi

merupakan gejala porole yang pemakaiannya hanya pada diri

dwibahasawan saja, bukan merupakan gejala langue yang terjadi pada

masyarakat bahasa (Sekartaji, 2013: 18).

Chaer berpendapat bahwa interferensi yang terjadi dalam proses

interpretasi disebut interferensi reseptif, yakni berupa penggunaan bahasa

B dengan diresapi bahasa A, bahasa ibu yang pertama dikuasai memberi

pengaruh yang kuat terhadap bahasa ke dua. Sedangkan interferensi

yang terjadi pada proses representasi disebut interferensi produktif, yang

merupakan percampuran dua bahasa karena pengaruh bahasa kedua

terhadap pemakaian bahasa pertama. Interferensi reseptif dan interferensi

produktif yang terdapat dalam tindak laku bahasa penutur bilingual disebut

interferensi perlakuan. Interferensi perlakuan biasa terjadi pada mereka

yang sedang belajar bahasa kedua, karena itu interferensi ini juga disebut
28

interferensi belajar atau interferensi perkembangan (Chaer & Leoni, 2004:

122).

Secara umum. Interferensi dapat diartikan sebagai percampuran

atau penyimpangan dalam bidang bahasa. Penyimpangan yang dimaksud

adalah penyimpangan antara dua bahasa atau hubungan timbal balik

yang saling mempengaruhi antara dua bahasa. Hal ini dikemukakan

Poerwadarminto (dalam Pramudya 2006: 27) yang dimana menyatakan

bahwa interferensi berasal dari bahasa Inggris yaitu interference yang

berarti pelanggaran, pencampuran atau rintangan. Penyimpangan

interefensi bahasa ini dapat diakibatkan oleh adanya kontak bahasa

karena penutur mengenal lebih dari satu bahasa, tidak hanya dalam

penggunaan bahasa pada saat berbicara bahkan hal ini juga dapat terjadi

pada saat seseorang menulis (Taufiq & Nurali, 2021: 110).

Kamarudin (dalam Sekartaji 2013: 19) menjelaskan bahwa

interferensi merupakan pengaruh yang tidak disengaja dari satu bahasa

ke dalam bahasa lain. Pengaruh ini sangat jelas dirasakan pada

dwibahasawan yang berbicara pada ekabahasawan. Hastuti (dalam

Sekartaji 2013: 19) berpendapat bahwa peristiwa interferensi adalah

peristiwa kontak bahasa dan bagian-bagian yang rumpang pada setiap

bahasa itu saling ditutup dengan bahasa-bahasa yang berkontak, dan

sekaligus penerapan dua buah sistem secara serentak dalam satu

bahasa.
29

Interferensi atau penyimpangan yang terjadi sebagai akibat adanya

kontak bahasa karena penutur mengenal lebih dari satu bahasa, tidak

hanya dalam penggunaan bahasa pada saat berbicara saja, hal ini juga

dapat terjadi pada saat seseorang menulis. Didalam proses interferensi,

kaidah pemakaian bahasa mengalami penyimpangan karena adanya

pengaruh dari bahasa lain. Ditetapkan sebagai interferensi tidak terbatas

pada seberapa besar unsur bahasa yang mempengaruhi bahasa lain,

pengambilan unsur yang terkecilpun dari bahasa pertama yang masuk

dalam bahasa kedua dapat menimbulkan interferensi (Sekartaji, 2013:

20).

Dalam proses interferensi, terdapat tiga unsur yang mengambil

peranan, yaitu: Bahasa sumber atau bahasa donor, bahasa penyerap atau

bahasa resipien, dan unsur serapan atau importasi. Dalam peristiwa

kontak bahasa, sangat memungkinkan pada suatu peristiwa suatu bahasa

menjadi bahasa donor, sedangkan pada peristiwa yang lain bahasa

tersebut menjadi bahasa resipien, peristiwa saling serap ini adalah

peristiwa umum dalam suatu kontak bahasa. Interferensi yaitu

penyimpangan dari norma-norma bahasa dalam bahasa yang digunakan,

sebagai akibat pengenalan terhadap bahasa lain. Transfer dalam kontak

bahasa dapat terjadi dalam semua tataran linguistik, baik fonologis,

morfologis, sintaksis, semantis, maupun leksikon.

Dari beberapa pendapat mengenai batasan interferensi, dapat

diketahui bahwa interferensi merupakan akibat dari kontak bahasa yang


30

pada dasarnya merupakan pemakaian dua buah sistem secara serempak

kepada suatu unsur bahasa. Pada umumnya interferensi dianggap

sebagai gejala tutur (speech parole), dan hanya terjadi pada diri

dwibahasawan, sedangkan peristiwanya dianggap sebagai sesuatu yang

tidak perlu terjadi karena unsur-unsur serapan itu sebenarnya sudah ada

padanannya dalam bahasa penyerap. Berdasarkan uraian di atas, dapat

diketahui bahwa interferensi adalah.a) Merupakan suatu penggunaan

unsur-unsur dari bahasa ke bahasa yang lain sewaktu berbicara atau

menulis dalam bahasa lain. b) Merupakan penerapan dua sistem secara

serempak pada suatu unsur bahasa. c) Terdapatnya suatu penyimpangan

dari norma-norma bahasa masingmasing yang terdapat dalam tuturan

dwibahasawan (Sekartaji, 2013: 24).

Interferensi terjadi ketika para penutur melakukan kontak bahasa

yaitu bahasa daerah dengan bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa

daerah dalam komunikasi bahasa sehari – hari tidak lepas dari kekayaan

dan keberagaman bahasa daerah di Indonesia (Munirah, 2021).

b. Penyebab Terjadinya Interferensi

Interferensi dapat terjadi dalam semua produksi bahasa, lewat

tuturan maupun tulisan. Interferensi dapat terjadi karena dikacaukannya

unsure- unsur kosakata dalam struktur kata dan struktur tata bahasa

antara dua bahasa. Beberapa penjelasan faktor- faktor terjadinya

interferensi adalah sebagai berikut.

(1) Kedwibahasaan Peserta Tutur


31

Kedwibahasaan atau menguasai 2 bahasa merupakan kunci

terjadinya interferensi karena dari dalam diri seorang penutur yang

berdwibahasa terjadi suatu kontak antar bahasa yang berpengaruh pada

bahasa sumber, baik dari bahasa asing ataupun bahasa daerah.

Selanjutnya kontak bahasa tersebutlah yang pada akhirnya menyebabkan

terjadinya interferensi.

Dalam penelitian ini hubungan bahasa yang terjadi pada bahasa

bugis dengan bahasa Indonesia. Hal ini dikarenakan obyek penelitian

berbahasa sumber dari bahasa Indonesia di masyarakat bugis, karena

kebiasaan berbahasa awal sehingga bahasa ini akan tercampur adukkan

baik dalam menulis ataupun berbicara, akibatnya seorang yang bertutur

ataupun menulis dengan bahasa Indonesia dengan menggunakan pola

bahasa Bugis.

(2) Nihilnya Kesetiaan Pemakaian Bahasa

Nihilnya kesetiaan pengguna bahasa cenderung mengakibatkan

hal yang kurang baik bagi pengguna bahasa. Biasanya hal ini berdampak

pada tindakan pengabaian kaidah bahasa yang tengah digunakan,

dengan pengambilan unsur-unsur bahasa lain dengan sesuka hati dan

tidak tertata dan akan mengakibatkan munculnya berbagai macam bentuk

penyimpangan bahasa, baik dalam bertutur kata maupun menulis.

Dalam interferensi nihil kesetiaan dalam penggunaan bahasa juga

dapat terjadi karena sifat gengsi dari sipemakai bahasa, sehingga

cederung menggunakan kata yang lebih moderen untuk mengungkapkan


32

sesuatu hal dengan bahasa lain, padahal dalam bahasa sumber sudah

ada padanan atau panduan kata tersebut.

(3) Kurangnya Kosakata Bahasa dalam Menghadapi Kemajuan

Zaman

Kosakata atau perbendaharaan kata pada suatu bahasa umumnya

hanya sebatas pada ungkapan-ungkapan yang ada di tengah masyarakat

yang bersangkutan. Perkembangan dalam pergaulan pada masyarakat

yang sifatnya benar-benar baru, masyarakat tersebut akan mengenal

konsep yang baru pula, yang dirasa perlu untuk dimiliki, karena memang

belum memiliki kosakata yang bermakna sama untuk mengungkapkan hal

baru yang dipelajari. Interferensi semacam ini biasanya memang sengaja

dilaksanakan karena kurangnya pegangan kata yang dimiliki suatu

masyarakat.

(4) Menghilangnya Kosakat yang Jarang Digunakan

Kosakata yang renggang digunakan lama-kelamaan akan menjadi

tenggelam, terlupakan dan lama-kelamaan akan menghilang dengan

sendirinya ketika tidak pernah digunakan lagi. Jika bahasa terebut

menghadapi suatu konsep yang baru maka kata-kata yang telah hilang

tadi akan digunakan kembali untuk menampung konsep baru terebut. Jika

tidak demikian konsep baru tersebut ditempati dengan bahasa

pengungkap konsep yang baru, sehingga terjadilah suatu interferensi.

(5) Prestise Bahasa Sumber dan Gaya Bahasa


33

Pendorong timbulnya interferensi dapat ditimbulkan karena hal

yang berkenaan (prestise) dari bahasa sumber. Biasanya seorang penutur

ingin memperlihatkan bahwa dirinya dapat menguasai bahasa yang

dianggap bergengsi. Hal ini juga dapat dikaitkan dengan faktor keinginan

penutur untuk bergaya dalam berbahasa, sehingga interfereni dapat

timbul karena pengguna bahasa biasanya mencampur adukkan suatu

bahasa untuk menunjukan gaya dalam berbahasa.

(6) Terbawanya Kebiasaan dalam Bahasa Ibu

Kebiasaan bahasa ibu atau bahasa daerah bahasa sejak lahir juga

dapat mengakibatkan terjadinya suatu interferensi, hal ini terjadi pada saat

seseorang tengah menggunakan bahasa keduanya. Bahasa Ibu yang

dimaksudkan adalah bahasa yang pertama kali diperkenalkan dan

dikuasai oleh anak. Misalnya sejak anak mulai dapat berbicara sudah

dibiasakan untuk mengenal bahasa Bugis, sehingga dapat dikatakan

bahwa bahasa pertama adalah bahasa Bugis. Keterlibatan kebiasaan

dalam penggunaan bahasa bugis pada bahasa lain dapat mengakibatkan

suatu percampur adukan saat orang berbicara menggunakan bahasa

Indonesia, seorang yang berdwibahasa terkadang dalam pemikiran sudah

memolakan pada bahasa Indonesia yang tengah digunakan, akan tetapi

yang muncul dengan secara tiba-tiba bukan kosakata bahasa Indonesia,

melainkan kosakata atau bentuk pola yang berasal dari bahasa Bugis,

yang sangat dikuasai oleh penutur. Keadaan ini dapat terjadi karena tidak

ada keseimbangan dalam penguasaan bahasa, hal tersebut tentu akan


34

menyebabkan pemakai bahasa pertama mengalami kesulitan dalam

menggunakan bahasa kedua. Semua hal tersebut bisa terjadi karena

pengguna bahasa yang berdwibahasa meminjam unsur-unsur dari bahasa

pertama yang lebih dikuasai dari pada bahasa kedua yang sedang

digunakan (Damayanti et al., 2020: 112).

c. Jenis-Jenis Interferensi

Poedjosoedarmo (dalam sekartaji, 2013: 25) menyatakan bahwa

interferensi dapat terjadi pada segala tingkat kebahasaan, seperti cara

mengungkapkan kata dan kalimat, cara membentuk kata dan ungkapan,

cara memberikan kata-kata tertentu, dengan kata lain inteferensi adalah

pengaturan kembali pola-pola yang disebabkan oleh masuknya eleman-

elemen asing dalam suatu tingkat bahasa, seperti dalam fonemis,

morfologis, serta beberapa perbendaharaan kata (leksikal). Menurut

Kridalaksana (dalam Sekartaji,2013: 25), interferensi terjadi dalam sistem

fonologis, sistem gramatikal, sistem leksikal dan sistem semantik suatu

bahasa.

Suwito (1993: 186) menjelaskan bahwa interferensi merupakan

gejala umum yang terdapat dalam setiap bahasa dan interferensi dapat

terjadi dalam semua tataran kebahasaan. Hal ini berarti gejala interferensi

dapat mengenai bidang tata bunyi, tata bentuk, tata kalimat, tata makna

dan sebagainya.

(1) Interferensi Fonologi


35

Menurut Weinreich (1979: 14) interferensi bunyi terjadi bilamana

seseorang dwibahasawan mengartikan dan menghasilkan kembali bunyi

system bahasa kedua pada bunyi sistem bahasa pertama. Dengan kata

lain, interferensi bunyi terjadi apabila seorang dwibahasawan

memperlakukan – mengidentifikasi dan memproduksi – bunyi bahasa

yang satu seperti ketika ia memperlakukan bunyi bahasa lainnya.

Interferensi fonologi terjadi apabila fonem dan logat bahasa yang

digunakan dalam suatu bahasa menyerap fonem dan logat dari bahasa

lain. Verhaar mengelompokkan jenis kedua bunyi tersebut menjadi bunyi

segmental dan suprasegmental (Verhaar, 1996: 55).

Bunyi segmental mengacu pada pengertian bunyi-bunyi yang dapat

disegmentasi/dipisah-pisahkan dan bisa dibagi. Contohnya, ketika kita

mengucapkan “Bahasa”, maka nomina yang dibunyikan tersebut (baca:

fonem), bisa dibagi menjadi tiga suku kata: ba-ha-sa. Atau dibagi menjadi

lebih kecil lagi sehingga menjadi: b-a-h-a-s-a. Jelas bunyi-bunyi tersebut

menunjukkan adanya fonem. Dengan demikian, sebenarnya bunyi-bunyi

bahasa yang telah diuraikan sebelumnya adalah bunyi segmental. Bunyi

yang termasuk kedalam bunyi segmental ini adalah bunyi vokal,

konsonan, diftong.

Interferensi segmental meliputi asimilasi, penambahan fonem,

perubahan fonem, dan penghilangan fonem. Salah satu contoh

interferensi yang terjadi pada fonem segmental dapat dilihat dari

penambahan fonem. Sementara suprasegmental adalah sesuatu yang


36

menyertai fonem tersebut yang itu bisa berupa tekanan suara, panjang-

pendek suara, dan getaran suara yang menunjukkan emosi tertentu.

Semua yang tercakup ke dalam istilah suprasegmenal itu tidak bisa

dipisahkan dari suatu fonem. Verhaar mengatakan unsur suprasegmental

terdiri atas intonsi, nada, dan tekanan (aksen).

Interferensi yang terjadi pada bunyi suprasegmental ini biasanya

meliputi intonasi nada bahasa. Interferensi bunyi terjadi saat penutur

mengucapkan bahasakedua dengan menggunakan intonasi nada bahasa

pertama. Verhaar mengatakan bahwa setiap bahasa memiliki intonasi

masing-masing, intonasi tersebut berbeda pada setiap jenis kalimat. Ada

intonasi khusus untuk kalimat berita (deklatif) dan kalimat (interogatif)

dalam banyak bahasa. Untuk melihat perbedaan intonasi tersebut Verhaar

menggambarkan intonasi tersebut seperti berikut (Verhaar, 1996: 87).

(2) Interfrensi Morfologi

Abdul Chaer dan Leony Agustina, berpendapat bahwa interferensi

morfologi, antara lain terdapat dalam pembentukann kata dengan afiks

(2004: 114). Misalnya dalam BI yang sering mengalami interferensi dari

berbagai bahasa salah satunya penyerapan sufiks -wi dan –ni dari bahasa

Arab . Sufiks ini dipakai untuk membentuk adjektif pada kata-kata

manusiawi, bahasawi, sorgawi, dan gerejani.

Morfologi atau ilmu yang mempelajari seluk-beluk bentuk kata serta

pengaruh perubahan-perubahan bentuk kata terhadap golongan dan arti

suatu kata. Dapat pula dikatakan bahwa morfologi mempelajari seluk-


37

beluk atau bentuk kata serta fungsi perubahan-perubahan bentuk kata itu

sendiri, baik fungsi semantik maupun fungsi gramatikal (Chaer, 2008: 3).

Dalam pembentukan komponem morfologi ada empat proses

pembentukan kata. Komponen yang pertama adalah bentuk dasar dari

kata tersebut, sebagai contoh kata kumpul, selanjutnya ada komponen

alat pembentuk sebagai contoh untuk alat ini adalah afiksasi dan

reduplikasi. Makna gramatikal dan kata atau hasil yang diperoleh dari

proses morfologi adalah komponen lainnya dalam proses morfologi.

Pembentukan kata merupakan proses morfologis dengan kata

sebagai hasilnya. Dalam proses pembentukan kata menurut Kridalaksana

(2007: 12) terdiri dari beberapa bagian yaitu afiksasi, reduplikasi,

komposisi (pemajemukan) dan abreviasi (Kridalaksana, 2007: 12).

(a) Afiksasi

Afiksasi (Afiks atau imbuhan) merupakan morfem bentuk terikat

untuk membentuk kata baru yang dimana proses pembentukannya

dengan mengubah leksem menjadi kata yang kompleks. Dalam

pengelompokan penempatan kata. afiksasi terbagi dari beberapa jenis

imbuhan yang sering digunakan dalam penggunaan bahasa Indonesia.

 Prefiks (awalan, misalnya me-, ber-, nara-, di-, ke-, ter-, per-) contoh

kata ber-main

 Sufiks (akhiran, misalnya –an, -kan, -pun, -i) contoh kata ramai-kan

 Infiks (sisipan, misalnya –me-, –el-, -em-, -in-) contoh kata ge-me- tar
38

 Konfiks (gabungan dua afiks tunggal misalnya ke- -an, pe- -an) contoh

kata pe-makam-an

 Simufliks (afiks yang dimanifestasikan dengan ciri ciri segmental yang

dileburkan pada dasar contoh kata kopi -ngopi, soto -nyoto)

(b) Reduplikasi

Reduplikasi ada;ah proses morfemis yang mengulang bentuk

dasar, baik secara keseluruhan, secara sebagian (parsial), maupun

dengan perubahan bunyi. Oleh karena itu, lazim dibedakan adanya

reduplikasi penuh, seperti meja-meja (dari dasar meja), reduplikasi

sebagian seperti lelaki (dari dasar laki), reduplikasi dengan perubahan

bunyi, seperti bolak-balik (dari dasar balik). Disamping itu, dalam bahasa

Indonesia, Sutan Takdir Alisjahbana masih mencatat adanya reduplikasi

semu, seperti mondar-mandir, yaitu sejenis bentuk kata yang tampaknya

sebagai hasil reduplikasi, tetapi tidak jelas bentuk dasar yang diulang

(Chaer, 2012: 183).

Kridalaksana (2007: 91-99) mengemukakan ada beberapa macam

reduplikasi morfemis diantaranya (1) reduplikasi pembentuk verba, (2)

reduplikasi pembentuk ajektiva, (3) reduplikasi pembentuk nomina, (4)

reduplikasi pembentuk pronomina, (5) reduplikasi pembentuk adverbia, (6)

reduplikasi pembentuk interogativa, dan (7) reduplikasi pembentuk

numeralia.

(c) Komposisi
39

Komposisi adalah hasil dan proses penggabungan morfem dasar

dengan morfem dasar, baik yang bebas maupun yang terikat, sehingga

terbentuk sebuah konstruksi yang memiliki identitas leksikal yang

berbeda, atau yang baru. Komposis terdapat dalam banyak bahasa.

Misalanya lalu lintas, daya juang, dan rumah sakit dalam bahasa

Indonesia; akhirulkalam, malaikatmaut, dan hajaruaswad dalam bahasa

Arab (Chaer, 2012: 187).

Komposisi atau pemajemukan adalah suatu proses penggabungan

dua leksem atau lebih yang membentuk suatu kata. Dalam prosesnya

banyak sekali lema yang dibentuk, menariknya meskipun EYD telah

mengatur dengan cukup jelas tata cara penulisan gabungan suatu kata,

namun masih banyak kesalahan yang dilakukan pengguna bahasa

Indonesia dalam penulisan kata majemuk. Menurut Muslich (2008: 57)

komposisi atau pemajemukan adalah peristiwa bergabungnya dua morfem

dasar atau lebih secara padu dan menimbulkan arti yang relatif baru.

(Taufiq & Nurali, 2021).

Adapun tuturan kata majemuk yang perlu di ketahui (1) tidak dapat

di sisipi (2) tidak dapat di perluas (3) posisi tidak di tukar (4) tidak bisa di

tambah dan tidak bisa dipisahkan. Berdasarkan hal di atas selain bahasa

Indonesia, bahasa daerah atau lebih tepatnya bahasa Bugis juga

mengenal suatu proses, afiksasi, dan reduplikasi di dalam pembentukan

katanya. Menurut Masrurah Mokhtar (2000: 2).


40

Dalam hal penambahan prefiks sistem morfologi bahasa Bugis

dapat dirangkaikan menjadi prefiks rangkap tiga. Bahasa Bugis juga

mengenal unsur yang sifatnya terikat. Tetapi tidak dapat digolongkan

sebagai partikel, yakni yang lasim disebut klitik. Klitik ini ada yang bersifat

netral, hononfik, dan nonhononifik. Pada umumnya bentuk seperti ini

sangat menarik yakni digunakan oleh penutur bahasa Bugis dalam

berbahasa Indonesia pada lingkungan dan situasi yang setengah atau

tidak resmi. Malahan dalam setiap ujaran banyak ditemukan bentuk (-ki?)

dan (-ta?) digunakan dilingkungan dan situasi resmi.

Bahasa Bugis juga mengenal unsur yang sifatnya setengah terikat

dan dapat digunakan sebagai partikel (misalnya: -i dan -mi yang selalu

digunakan oleh masyarakat Bugis dalam berbahasa Indonesia) (Taufiq &

Nurali, 2021).

(3) Interferensi Leksikal

Interferensi leksikal diartikan pengacauan kosakata antara bahasa

yang satu ke dalam bahasa yang lain. Di dalam interferensi leksikal terjadi

penyerapan kosakata dari satu bahasa ke bahasa yang lain. Interferensi

dalam bidang leksikal terjadi apabila seorang dwibahasawan dalam

peristiwa tutur memindahkan leksikal bahasa pertama kedalam bahasa

kedua atau sebaliknya (Weinreich (1979: 47).

4. Lingkungan Formal dan Informal


41

Untuk menguasai satu bahasa, baik proses pemerolehan maupun

pembelajaran, lingkungan bahasa tidak dapat diabaikan. Keterlibatan

lingkungan bahasa sangat dibutuhkan. Keterkaitan lingkungan dengan

proses pemerolehan bahasa terutama pemerolehan bahasa kedua,

kualitas lingkungan bahasa penting diperhatikan,karena kualitas

lingkungan bahasa turut menentukan keberhasilan pemerolehan bahasa

maupun dalam pembelajaran bahasa kedua. Berkenan dengan kualitas

lingkungan bahasa, Dulay ( 1982 ) mempertegas bahwa kualitas

lingkungan bahasa adalah suatu hal yang sangat penting peranannya

dalam menentukan keberhasilan para pembelajar dalam mempelajari

bahasa kedua. Secara umum, lingkungan bahasa dalam hubungannya

dengan pemerolehan bahasa terbatas dua jenis, yaitu: (1) lingkungan

formal dan (2) lingkungan informal. Lingkungan formal dapat dikatakan

sebagai suatu lungkungan yang resmi. Lingkungan informal dapat

dikatakan situasi yang terjadi begitu saja atau situasi yang tidak dibentuk

secara resmi.

Bertitik tolak pada pandangan dan uraian diatas, jelas bagi kita

bahwa lingkungan bahasa itu ada dua bentuk yaitu lingkungan formal dan

lingkungan informal.Lingkungan formal terbentuk secara terencana,

sedangkan lingkungan informal terbentuk secara alami atau terjadi begitu

saja tanpa terencana pembentukannya (Poerba, 2013).

a. Lingkungan Formal
42

Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa lingkungan

formal adalah lingkungan yang dibentuk secara resmi dan terencana.

Adalah lingkungan yang dibentuk secara resmi dan terencana.Salah satu

yang termasuk proses pembelajaran di ruang kelas yang dibimbingi oleh

guru. Dengan demikian, dalam lingkungan formal seperti itu para

pembelajar dibimbing dan diarahkan pada guru untuk dapat menguasai

sistem-sistem atau kaidah-kaidah maupun aturan-aturan bahasa yang

dipelajari.

Disamping lingkungan formal seperti situasi proses pembelajaran di

ruang kelas yang dibimbingi oleh guru, pada hakikatnya ada lagi

lingkungan formal yang lain. Misalnya, situasi ketika membaca maupun

mempelajari buku-buku tata bahasa dari bahasa yang sedang dipelajari.

Situasi lain seperti situasi percakapan atau dialog yang dibentuk dalam

rangka mendalami penguasaan struktur bahasa yang dipelajari para

pembelajar. Situasi-situasi seperti ini tentunya melibatkan para pembelajar

secara sadar, mereka melibatkan dengan penuh kesadaran.

Memperhatikan uraian diatas, tampaknya sejalan dengan apa yang

dikemukakan oleh Dulay (1985) bahwa lingkungan formal adalah salah

satu lingkungan belajar bahasa yang memfokuskan pada penguasaan

kaidah atau aturan-aturan bahasa secara sadar dalam bahasa target.

Demikian juga halnya dengan pendapat Krashen (1983) yang langsung

mengemukakan ciri-ciri lingkungan formal. Ia mengemukakan ciri-ciri

sebagai berikut: (1) memiliki sifat yang arfisial, (2) didalam lingkungan
43

tersebut para pembelajar diarahkan untuk melaksanakan aktivitas bahasa

yang melibatkan kaidah-kaidah atau aturan-aturan bahasa yang sudah

dipelajarinya, dan apabila ditemukan atau terjadi kesalahan dari

pembelajar, para guru langsung memberikan umpan balik sebagai koreksi

atas kesalahan-kesalahan tersebut dan (3)merupakan bagian dari

keseluruhan pembelajaran bahasa di sekolah atau di kelas.

Untuk memberi gambaran yang lebih jelas tentang lingkungan formal

dalam kaitannya dengan pemerolehan maupun pembelajaran bahasa,

tampaknya secara sederhana kita dapat memperhatikan atau

memusatkan perhatian terhadap aspek sadar. Aspek sadar dalam

pemerolehan maupun pembelajaran bahasa lebih banyak terkait dengan

proses yang dilaksanakan secara formal. Pemerolehan dan pembelajaran

bahasa secara formal, kita ketahui bahwa para pembelajar lebih banyak

diarahkan pada penguasaan sistem-sistem atau aturan-aturan struktur

bahasa yang dipelajari hal seperti itu memerlukan keterlibatan aspek

sadar dari pada pembelajar dapat dipahami dan dikuasai.

Apabila kita perhatikan lebih lanjut, bahwa antara aspek sadar dengan

lingkungan formal menunjukkan adanya hubungan. Hubungan itu dapat

kita lihat dari proses perolehan dan pembelajaran bahasa secara formal,

selalu melibatkan aspek sadar, dengan demikian, dapat dikatakan bahwa

lingkungan formal adalah segala lingkungan atau situasi yang melibatkan

para pembelajar secara sadar dalam pemerolehan maupun pembelajaran

bahasa. Lingkungan formal itu selalu berhubungan dengan hal-hal yang


44

tidak dialami atau artifisial, dalam hal ini segala sesuatunya selalu

dikaitkan dengan hal buatan.Disamping itu, lingkungan formal biasanya

banyak melibatkan bimbingan atau arahan baik melalui guru maupun

buku-buku panduan yang berhubungan dengan bahasa yang dipelajari

(Poerba, 2013).

b. Lingkungan Informal

Lingkungan informal sebagaimana yang telah dikemukakan

sebelumnya yaitu lingkungan atau situasi alami (natural) tanpa dibentuk

secara terencana. Lingkungan informal ini pada hakikatnya terjadi begitu

saja dan apa adanya tanpa rekayasa dan pembentukan secara terencana.

Lingkungan informal dalam kaitannya dengan bahasa, baik dalam hal

proses pemerolehan maupun pembelajaran, cakupan jauh lebih besar

daripada lingkungan formal. Kita ataupun para pembelajar lebih banyak

dihadapkan pada lingkungan informal daripada lingkungan formal.

Lingkungan informal ini meliputi berbagai situasi seperti ketika

berkomunikasi di rumah bersama-sama keluarga, komunikasi bersama

sahabat maupun dengan orang lain,komunikasi di pasar, di kantor, atau di

mana saja serta berbagai situasi lain yang terjadi secara alami.

Lingkungan informal yang terjadi secara alami dan frekuensinya lebih

besar daripada lingkungan formal, membuat lingkungan informal tersebut

lebih banyak berperan jika dibandingkan dengan lingkungan formal dalam

hal pemerolehan maupun pembelajaran bahasa.Hal seperti ini


45

mengakibatkan lingkungan informal lebih banyak mendominasi dan

memberi bantuan bagi para pembelajar.

Pada dasarnya lingkungan informal ini lebih banyak berhubungan

dengan masalah pemerolehan bahasa.Sedangkan lingkungan formal

cenderung berhu-bungan dengan masalah pembelajaran bahasa. Hal ini

dapat diterima dengan alasan bahwa lingkungan informal yang lebih

banyak mendominasi parapembelajar, mengakibatkan pembelajar

cenderung menguasai bahannya yang dipelajarinya secara alamimelalui

pemerolehan dari berbagai situasi informal.

Sedangkan lingkungan formal yang hanya dapat terjadi pada situasi-

situasi tertentu, bahkan hanya dapat terjadi sesuai dengan rencana

program yang telah ditetapkan.Kondisi seperti ini dapat dikatakan sebagai

suatu situasi pembelajaran secara formal.Dengan demikian, lingkungan

formal lebih banyak berhubungan dengan pembelajaran.Tetapiperlu

diingat bahwa lingkungan formal bukan berarti tidak memberikan andil

apa-apa dalam pemerolehan bahasa, lingkungan formal juga sedikit

banyaknya turut berperan dalam pemerolehan bahasa khususnya dalam

pemerolehan bahasa kedua (Poerba, 2013).

5. Kerangka Pikir

Kerangka pikir merupakan alur pikir dari gagasan penelitian yang

mengacu pada pertanyaan penelitian yang telah dirumuskan (dan

elaborasi teori yang terkait). Kerangka pikir ini gunanya untuk

menghubungkan atau menjelaskan secara panjang lebar tentang suatu


46

topik yang akan dibahas. Kerangka ini didapatkan dari konsep ilmu/teori

yang dipakai sebagai landasan penelitian yang didapatkan pada tinjauan

pustaka atau kalau boleh dikatakan oleh peneliti merupakan ringkasan

dari tinjauan pustaka yang dihubungkan dengan garis sesuai variabel

yang diteliti.

Untuk penelitian yang akan dilakukan adapun gambaran untuk

kerangka pikir yaitu, akan menguraikan tentang interferensi sebagai

bentuk penyimpangan kaidah bahasa karena adanya pengaruh dari

bahasa lain. Dalam hal ini adanya penggunaan dua bahasa yaitu bahasa

Indonesia dan bahasa Bugis yang mengakibatkan terjadinya kontak

bahasa oleh dwibahasawan yang menyebabkan terjadinya interfrensi.

Interferensi adalah pemindahan unsur suatu bahasa ke dalam

bahasa lain, yang mengakibatkan adanya perubahan fungsi dan kategori

yang disebabkan oleh adanya pengaruh bahasa lain, penerapan unsur-

unsur yang tidak berlaku pada bahasa kedua ke dalam bahasa pertama

atau sebaliknya, dan adanya pengabaian struktur bahasa kedua karena

tidak terdapat padanannya dalam bahasa pertama. Indentifikasi

interferensi ini dapat terjadi pada tataran fonologi, morfologi, sintaksis, dan

leksikal.

Interferensi yang terjadi pada bidang fonologi meliputi interferensi

pada unsur segmental (berkenaan dengan fonem, baik penambahan

fonem, penghilangan fonem, maupun perubahan fonem). Interferensi

pada bidang morfologi berkenaan dengan penggunaan afiks bahasa


47

pertama ke dalam penggunaan bahasa kedua. Bentuk reduplikasi bahasa

pertama yang dipengaruhi oleh bahasa kedua atau sebaliknya. Pada

bidang leksikal terjadi karena adanya penggunaan leksikal bahasa

pertama ke dalam bahasa kedua atau sebaliknya.

Setelah melihat ada beberapa macam interferensi yang

kemungkinan terjadi maka akan dilakukan analisis untuk menemukan

sebuah hasil tentang bentuk-bentuk interferensi bahasa Bugis terhadap

bahasa Indonesia pada masyarakat kabupaten Soppeng


48

Bahasa

Bahasa Indonesia Bahasa Bugis

Kedwibahasaan

Kontak Bahasa

i
Formal
Interferensi
Informal

Fonologi Morfologi Leksikal

Data berupa betuk Data berupa Data berupa


interferensi bentuk interferensi bentuk interferensi
fonologi morfologi leksikal

Analisis
49

Temuan

Gambar 1. Bagan kerangka pikir


50

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Penelitian

Penelitian dengan judul “Interferensi Bahasa Bugis Terhadap

Bahasa Indonesia Pada Masyarakat Bugis Kabupaten Soppeng” termasuk

dalam jenis penelitian deskriptif kualitatif, merupakan salah satu jenis

penelitian yang bertujuan untuk mendeskripsikan objek dalam penelitian.

Penelitian yang akan dilaksanakan bertujuan untuk mendekripsikan

kebahasaan yang masuk pada ranah sosiolinguistik, karena interferensi

terjadi karena kebahasaan yang digunakan seseorang dalam

berkomunikasi dimasyarakat.

Metode deskriptif kualitatif adalah metode pengkajian atau metode

penelitian terhadap suatu masalah yang tidak dirancang menggunakan

prosedur-prosedur statistik. Dalam penelitian kualitatif, data yang

dikumpulkan berupa data lunak. Data itu kaya akan dsekripsi tentang

orang-orang, tempat-tempat, dan konservasi-konservasi dari orang yang

diteliti.

Fokus penelitian kualitatif lebih mengutamakan proes daripada hasil.

Hal ini disebabkan oleh hubungan antar bagian yang diteliti akan menjadi

jelas maknanya apabila diamati dalam proses. Penelitian kualitatif

cenderung menganalisis data secara induktif, tidak mencari data untuk

menguji hipotesis, tetapi cenderung membuat generalisasi atau abstraksi

yang dibangun dari tumpukan fenomena yang terjadi. Penelitian kualitatif


51

pada umumnya berusaha membentuk atau membangun teori melalui data

yang terkumpul. Penelitian kualitatif bersifat sementara sebagai

pembimbing awal untuk melangkah ke lapangan, tidak bersifat kaku dan

berstruktur ketat.

Dalam penelitian kualitatif instrumennya adalah orang atau human

instrument, yaitu peneliti itu sendiri. Untuk dapat menjadi instrument, maka

peneliti harus memeiliki bekal teori dan wawasan yang luas, sehingga

mampu bertanya, menganalisis, memotret, dan mengonstruksi situasi

sosial pendidikan yang diteliti, makan teknik pengumpulan data bersifat

trianggulasi, yaitu menggunakan berbagai teknik pengumpulan data

secara gabungan/simultan. Anlisis dotemukan di lapangan dan kemudian

dikonstruksikan menjadi hipotesis atau teori. Metode kualitatif digunakan

untuk mendapatkan data yang mendalam, suatu data yang mengandung

makna. Makna adalah data yang sebenarnya, data yang pasti yang

merupakan suatu nilai di balik data yang tampak. Oleh karena itu dalam

penelitian kualitatif tidak menekankan pada generalisasi, tetapi lebih

menekankan pada makna. Desaian dalam penelitian ini adalah

transferability (Sugiyono, 2015: 15).

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di kabupaten Soppeng yang merupakan salah

satu kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan. Kabupaten dengan


52

mayoritas warganya merupakan suku bugis dengan bahasa pertama yaitu

bahasa bugis.

2. Waktu Penelitian

Penelitian akan dilakukan pada bulan 2 tahun 2022 sampai dengan

bulan 3 tahun 2022.

C. Data dan Sumber Data

1. Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah tuturan bahasa

Indonesa masyarakat Soppeng yang terinterfrensi oleh bahasa Bugis.

2. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini adalah berupa tuturan lisan yang

diperoleh dari percakapan yang terjadi di lingkungan masyarakat

Kabupaten Soppeng dari berbagai ranah (ranah pasar, ranah keluarga,

ranah lingkungan sosial masyarakat, ranah formal). Informan dalam

penelitian ini tidak terbatas, karena pengumpulan data ini dilakukan

terhadap penutur bahasa Indonesia di Kabupaten Soppeng dalam

percakapan sehari-hari.

D. Teknik Pengumpulan Data

1. Teknik Simak

Metode penyediaan data yang dilakukan pada penelitin ini simak

dengan teknik sadap. Menggunakan metode simak karena data ingin

diperoleh dengan menyimaak prosess tuturan masyarakat Soppeng.

Metode ini memiliki teknik dasar berwujud teknik sadap. Teknik sadap
53

disebut teknik dasar berwujud teknik sadap. Teknik sadap disebut dengan

teknik dasar dalam metode simak karena pada hakikatnya kegiatan

penyimakan diwujudkan dalam bentuk penyadapan. Dalam arti bahwa,

upaya seorang peneliti untuk mendapatkan data dilakukan dengan

menyadap penggunaan bahasa seseorang atau kelompok orang yang

menjadi informan.

Peneliti menggunakan teknik sadap karena data yang diperoleh

adalah data kualitatif artinya kegiatan pemerolehan data dilakukan dengan

konteks kehidupan nyata dan tidak mendapatkan perlakuan-perlakuan

tertentu terhadap subjek penelitian. Penyadapan tuturan dilakukan ketika

peneliti tampil dan berbaur di tengah masyarakat yang berinteraksi satu

sama lain. Baik interaksi yang dilakukan oleh peneliti dengan individu

maupun peneliti dengan kelompok orang yang sedang menggunakan

bahasa Indonesia.

Teknik sadap sendiri memiliki teknik lanjutan yang berupa (1) teknik

simak libat cakap dan (2) teknik simak bebas libat cakap. Teknik simak

libat cakap adalah teknik penyadapan dengan cara berpartisipasi sambil

menyimak, berpartisipasi dalam pembicaraan, dan menyimak

pembicaraan. Dalam hal ini, peneliti terlibat langsung dalam dialog bahasa

Bahasa Indonesia. Adapun teknik simak bebas libat cakap yaitu peneliti

hanya berperan sebagai pengamat penggunaan bahasa oleh informannya

dan tidak terlibat dalam peristiwa pertuturan bahasa Indonesia yang

sedang diteliti.
54

Pada teknik simak bebas libat cakap ini, peneliti hanya menyimak

dan memperhatikan apa yang dikatakan oleh penutur dalam percakapan,

tanpa ikut serta dalam proses percakapan orang-orang yang saling

beriteraksi tersebut. Informan dalam penelitian ini tidak terbatas, karena

pengumpulan data ini dilakukan terhadap penutur bahasa Indonesia di

Kabupaten Soppeng yang melakukan percakapan sehari-hari. Misalnya,

percakapan sehari-hari pada ranah pasar dalam situasi jual beli, pada

ranah lingkungan masyarakat dalam situasi arisan, rapat, percakapan

antar tetangga, percakapan dalam pergaulan di masyarakat, dan pada

ranah keluarga dalam situasi perkumpulan keluarga, dan percakapan

antar anggota keluarga.

Pada teknik (dasar) sadap peneliti melakukan penyimakan yang

diwujudkan dengan penyadapan agar didapat data yang natural dan yang

sebenarnya dengan melakukan perekaman secara tersembunyi. Teknik

sadap tidak hanya sekadar menyimak tetapi memiliki tahap yang berfungsi

membuka data hasil simakan. Teknik itu biasa disebut dengan teknik

tindak lanjut rekam. Teknik tindak lanjut rekam berguna untuk

mendokumentasikan ujaran-ujaran dari informan. Teknik ini menggunakan

alat berupa digital voice recorder yang direkam tanpa sepengetahuan

informan. Teknik ini sangat berguna bagi peneliti untuk mengumpulkan

data-data yang diperoleh dari berbagai lokasi tempat penelitian. Selain itu

ujaran yang telah direkam dapat diputar ulang untuk membantu proses

transkripsi data (Sudaryanto, 2015: 203).


55

Pada dasarnya ada empat teknik dasar lanjutan dari teknik sadap.

Tetapi yang benar-benar diterapkan pada penelitian ini hanya tiga teknik

dasar lanjutan seperti yang telah disebutkan sebelumnya (1) teknik simak

libat cakap, (2) teknik simak bebas libat cakap, dan (3) teknik rekam.

Ketiga teknik ini digunakan secara bersama-sama.

2. Teknik Cakap

Teknik cakap adalah percakapan antara peneliti dengan informan.

Metode ini sesuai dengan penelitian dialektologi yang bersumber pada

lisan karena mampu mendeskripsikan variasi bahasa tiap titik pengamatan

titik metode cakap memiliki teknik dasar pancing. Teknik dasar pancing

memiliki teknik lanjut cakap semuka, teknik lanjut cakap semuka serta

teknik lanjut rekam (Sudaryanto, 2015: 204).

3. Teknik Rekam

Teknik rekam merupakan bagian dari teknik lanjut cakap

pelaksanaanya sama dengan metode simak, yakni dengan cara mencatat

jawaban informan langsung dalam bentuk transkrip yang disertai

perekaman dengan tape atau voice recorder tertentu sebagai alatnya

(Sudaryanto, 2015: 205).

E. Teknik Analisis Data

Analisis data dalam penelitian menggunakan teknik analisis model

Miles and Huberman yaitu menggunakan tiga tahap analisis yang pertama

data reduction (reduksi data) yaitu data yang diperoleh di lapangan yang

jumlahnya cukup banyak dicatat secara teliti dan rinci. Untuk itu perlu
56

dilakukan analisis data melalui reduksi data. Mereduksi data berarti

merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang

penting, dicari tema dan polanya dan membuang yang tidak perlu.

Selanjutnya data display (penyajian data), setelah data direduksi

maka langkah selanjutnya adalah mendisplay data. Melalui penyajian data

tersebut, maka data terorganisasikan, tersusun dalam pola hubungan,

sehingga akan semakin mudah dipahami.

Langkah terakhir adalah conclusion drawing (verivication) tahap ini

merupakan tahap penarikan kesimpulan awal yang dikemukakan bersifat

sementara dan akan berubah bila tidak ditemukan bukti-bukti yang kuat

yang mendukung pada tahap pengumpulan data berikutnya (Sugiyono,

2015).

F. Batasan Istilah

Untuk menghindari adanya perbedaan pengertian, perlu ada

penjelasan terhadap istilah yang digunakan dalam penelitian ini. Batasan

istilah yang digunakan diambil dari beberapa pendapat para pakat dalam

bidangnya. Beberapa istilah yang perlu dijelaskan sebagai berikut:

1. Intereferensi adalah perubahan sistem suatu bahasa sehubungan

dengan adanya persentuhan bahasa tersebut dengan unsur-unsur

bahasa lainnya yang dilakukan oleh penetur bilingual.

2. Fonologi adalah ilmu yang mempelajari bunyi bahasa yang dipakai

oleh manusia
57

3. Morfologi adalah ilmu yang mempelajari tentang bentuk – bentuk dan

pembentukan kata.

4. Leksikal adalah ilmu yang mempelajari tentang kata, leksem dan

kosakata.

5. Bahasa adalah system lambang bunyi yang arbitrer yang

digunakanoleh anggota masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi,

dan mengidentifikasi diri.

6. Bahasa Bugis adalah bahasa yang diturunkan oleh suku Bugis (suku

yang mendiami sebagian besar daerah Sulawesi Selatan).

7. Formal adalah resmi.


BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

1. Bentuk-Bentuk Interferensi Bahasa Bugis Terhadap Bahasa

Indonesia.

Pada bab 4 ini akan dideskripsikan bentuk interferensi yang terjadi

pada Bahasa Indonesia dibidang kajian fonologi, morfologi dan leksikal.

Bab ini sekaligus merupakan uraian dari fokus penelitian.

Penelitian ini dimulai pada tahapan pengumpulan data, yakni dengan

cara mengamati fenomena bahasa yang terjadi pada masyarakat di

Kabupaten Soppeng yang sedang berinteraksi menggunakan bahasa

Indonesia. Melalui hasil dari tahapan pengumpulan data yang di[eroleh,

maka peneliti dapat mendeskripsikan dan mengklasifikasi data serta

melakukan analisis terhadap data tersebut. Melalui tahap analisis dapat

diketahui seberapa besar interferensi Bahasa Bugis terhadap Bahasa

Indonesia. Adapun bentuk-bentuk interferensi yang dapat ditemukan pada

masyarakat Bugis kabupaten Soppeng adalah sebagai berikut.

a. Interferensi Fonologi

Berdasarkan uraian sebelumnya dikatakan bahwa interferensi fonologi

terjadi bilamana seorang dwibahasawan menghasilkan buyi sistem

bahasa kedua pada bunyi sistem bahasa pertama. Dengan kata lain,

interferensi bunyi terjadi apabila seorang dwibasawan memperlakukan,

mengidentifikasi dan memproduksi bunyi bahasa yang satu seperti ketika


107

ia memproduksi bunyi bahasa lainnya. Bentuk-bentuk interferensi fonologi

yang akan dikaji dalam penelitian ini yaitu interferensi fonologi diltinjau

dari kajian fonemik. (Chaer, 2009: 35).

Adapun interferensi fonologi dari kajian fofemik yang dimaksud

meliputi penghilangan fonem, penambahan fonem dan perbuhan fonem

seperti yang diuraikan pada data berikut.

a) Penghilangan Fonem

1) Penghilangan fonem [h] pada tengah dan akhir kata.

(a) Piliki pilihki

Penutur : Tinggal piliki banyak macamnya’e

(b) Lia lihat

Penutur 1 : Bu Aji singgaki lia-lia daster, ada juga setelan


celananya bu aji.

(c) Masi masih

Penutur 1 : Berapa lembar mau difoto copy?


Penutur 2 : Tiga lembar
Penutur 1 : Tabe bu, masi ada yang lain?
Penutur 2 : Ini lagi

(d) Silakan silahkan

Penutur 1 : Silakan belaja, belanja sore – sore bu. Mau beli apa?
Dari kemaring ditunggu
Penutur 2 : Mau beli anu, apa namanya ini
Penutur 1 : Kace
Penutur 2 : Kacang apa namanya itu?

Dari kata “piliki”, “lia – lia”, dan “silakan” terjadi interferensi

fonologi berupa hilangnya fonem [h] pada pertengahan kata.

Selain hilangnya fonem [h] pada pertengahan kata fonem [h] juga
kadang dihilangkan pada akhir kata seperti pada kata “masi” yang

seharusnya “masih”. Proses hilangnya fonem [h] pada

pertengahan dan akhir kata merupakan proses interferensi fonologi

yang disebabkan adanya pengaruh dari bahasa daerah atau

bahasa Bugis, karena kebiasaan pada bahasa Bugis tidak ada

yang menggunakan akhiran fonem [h]. Hilangnya fonem tersebut

terjadi pada saat penutur berbicara. Selain itu keberadaan fonem

[h] pada suatu kata terkadang keberadaanya dianggap tidak

memengarahui makna dari kata tersebut.

2) Penghilangan fonem [t] pada tengah dan akhir kata.

(a) Liha lihat

Penutur 1 : Saiqa – Saiqa liha itu di atas ada pesawat!


Penutur 2 : Mana?

(b) Lia lihat

Penutur 1 : Bu Aji singgaki lia-lia daster, ada setelah juga bu aji

(c) Taku takut

Penutur 1 : Nda taku jaki toh?


Penutur 2 : Iye, tidaji

(d) Oba obat

Dan banyak sekali yang mendunga yang kepikiran bahwa jammi


terlalu banyak obat dok, nanti rusak ginjalku. Na dottoro’e berpikir
untuk melindungi ginjalta maka dikasiki itu oba – oba jadi kalau ada
dikasiki oba disuruhki minum.

Dari kata – kata yang bercetak tebal di atas yaitu “liha”, “lia-lia”,

“taku”, dan “oba” sama – sama mengalami proses interferensi


107

fonologi yaitu dengan hilangnya fonem [t] pada akhir kata.

Hilangya fonem [t] pada akhir kata membuat kata – kata tersebut

menjadi tidak baku dalam bahasa Indonesia. Hal ini disebabkan

adanya pengaruh penutur bahasa yang terbiasa berkomunikasi

menggunakan bahasa Bugis sehingga dalam keadaan

berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia kebiasaannya

juga diterapkan.

3) Penghilangan fonem [k] pada pertengahan dan akhir kalimat.

(a) Tida tidak

Penutur 1 : Apa mubeli Dian?


Penutur 2 : Mendekat mki sini – sini terlanjur saya datang ke sini
Penutur 1 : Mauko ini?
Penutur 3 : Tida

(b) Rusa rusak

Penutur 1 : Ma, mau main itu


Penutur 2 : Tida usah nak, bahaya itu rusa

(c) Bapa bapak

Penutur 1 : Adaji bapa?


Penutur 2 : Iye, adaji mauki apa bu?
Penutur 1 : Mauka tanda tangan SKP ku

(d) Coco cocok

Penutur 1 : Cocoji?
Penutur 2 : Kelas tujuji coco
Penutur 1 : Sampulna salah kapang, tapi siapa yang ambil ruang
delapangnya?
Penutur 2 : Cocomi kelas delapan sampulnya salah

Peristiwa hilangnya fonem [k] pada akhir kata merupakan bentuk

interferensi bahasa Bugis terhadap bahasa Indonesia, seperti pada


kata “tida” yang seharusnya “tidak”, “rusa” yang seharusnya

“rusak”, “bapa” yang seharusnya “bapak” dan “coco” yang

seharusnya “cocok”. Kebiasaan menghilangkan fonem [k] pada

akhir kata adalah kebiasa yang digunakan jika berkomunikasi

dalam bahasa Bugis. Kebiasaan ini menyebabkan terjadinya

interferensi bahasa yang membuat sebuah kosakata menjadi tidak

baku dalam bahasa Indonesia.

4) Penghilangan fonem [p] pada pertengahan atau akhir kalimat

Keca kecap

Penutur 1 : Tante dimana keca?


Penutur 2 : Adaji itu di atas meja

Penghilangan fonem sebagai bentuk intereferensi fonologi juga terjadi

pada fonem [p] pada kata akhir kata “keca” yang seharusnya kecap.

b) Penambahan Fonem

1) Penambahan fonem [i]

(a) Penutur 1 : Putra panggil Fatian pi makan nasi kuning!


Penutur 2 : Tida maui masi kenyangi gare
(b) Penutur 1 : Mauki apa?
Penutur 2 : Tunggu dulu, ini sebenarnya bukuku tidak terpakai tapi
pas tanteku isi masih masuk.
Penutur 1: Ada atmnya ini?
Penutur 2 : Nda ada
Penutur 1 : Cek’i dulu ini
Kalau yang ini?
Penutur 2 : Sambungannya
(c) Penutur 1 : Eh Isal minta’i lagi sama saya uang
Penutur 2 : Kasi’i lima puluh ribu

Penambahan fonem [i] pada akhir kata sepertinya

merupakan hal yang lumrah terjadi pada masyarakat kabupaten


107

Soppeng dalam berkomununikasi. Dapat dilihat dari bebepa kata di

atas yang mendapat tambahan fonem [i] diantaranya maui,

kenyangi, cek’i, minta’i, kasi’i jika dilihat dari konteks kalimatnya

ada yang berlangsung pada situasi formal ada yang berlangsung

pada situasi santai namun tetap saja ada penambahan fonem [i]

pada beberapa kata. Sehingga jika dilihat dari kaidah kebahasaan

bahasa Indonesia maka terjadi interferensi fonologi atau

pengacauan bahasa dilihat dari kajian fonologinya.

2) Penambahan fonem [e]

(a) Penutur 1 : Tinggal piliki’e banyak macamnya’e


Penutur 2 : Berapa ini?
Penutur 1 : Sepuluh ribu
Penutur 2 : Ini?
Penutur 1 : Sepuluh ribu
Penutur 2 : Kenapa namahal semua Diah?
Penutur 1 : Nda, memang dari sananya mahal jadi mahal juga.

(b) Penutur 1 : Sayurji mau kubeli Diah, sayur apa namanya itu’e
Penutur 2 : Bisaji bagi duanya ini, lima ribu bagi dua mamiki
Penutur 1 : Kasima sepuluh ribu
Penutur 2 : Begitu supaya dapat berkahnya.

(c) Penutur 1 : Eh kapanko datang?


Penutur 2 : Tadi malam
Penutur 1 : Mana’e oleh-olehku
Penutur 2 : Tida ada kasian oleh-oleh

(d) Penutur 1 : Eh eh mana’e pesananku?


Penutur 2 : Sabarki baru dibuat
Penutur 1 : Astaga hausma kasian
Penutur 2 : Tunggu – tunggumi sebentar.

Penambahan fonem [e] juga ditemukan pada masyarakat

kabupaten Soppeng dalam berkomunikasi menggunakan bahasa

Indonesia. Interferensi fonologi berupa penambahan fonem [e]


terjadi di akhir kata. Penggunaan fonem [e] merupakan salah satu

ciri khas dialek bahasa bugis di Kabupaten Soppeng.

3) Penambahan fonem [g]

(a) Penutur 1 : Putra panggil Fatian pi makang nasi kuning


Penutur 2 : Tida mau’I masi kenyangi gare

(b) Penutur 1 : Dari mko ma vaksing?


Penutur 2 : Darima, pergi mako kurangmi orang di depan

(c) Penutur 1 : Eh Raihan jangang selalu panjat itu pohon jatuhki


nanti!
Penutur 2 : Tidaji bu

(d) Penutur 1 : Wei Indah dariko gare Citta kemaring?


Penutur 2 : Iyyo darika tapi sebentar ja pa hujang’i
Penutur 1 : Hammae baru tidak nacolek-nacolek ka
Penutur 2 : Bagaimanaje carana nalangsungja juga naculik Nini
bilang ayo ke Citta langsung tomma pergi.

(e) Penutur 1 : Kemarin kita belajar tentang rumah adat Bugis,


mewarnai rumah adat Bugis dan menulis rumah adat Bugis.
sekarang kita pindah temanya benda sekitar. Subtema alat dan
komunikasi. Yang mana termasuk alat komunikasi nak?
Penutur 2 : TV
Penutur 1 : Ya telepisi apalagi?
Penutur 2 : HP
Penutur 1 : Ya telepon, apa lagi nak? Majalah, korang, korang di
nak. Siapa yang ada telepisinya di rumah?
Penutur 2 : Saya
Penutur 1 : Itu termasuk alat komunikasi bisa melihat orang dari
jauh mendengar juga suaranya.

Penambahan fonem [g] pada akhir kata sudah sangat lazim

terjadi pada masyarakat Bugis. Hal ini dikarenakan hanya ada satu

akhiran huruf konsonan dalam bahasa bugis yaitu fonem [g] yang

membuat masyarakat Bugis sangat kental dengan penggunaan

akhiran fonem [g]. Dari beberapa contoh kata di atas dapat dilihat

bahwa penambahan fonem [g] begitu sering terjadi. Dari konteks


107

kalimatnya dapat disimpulkan bahwa kesalahan berbasahan terjadi

disemua kalangan. Fenomena tersebut merupakan salah bentuk

intereferensi bahasa dalam kajian fonologi atau penyebutan bunyi

bahasa.

c) Perubahan Fonem

1) Perubahan Fonem [t] menjadi fonem [nd]

(a) Penutur 1 : Berapa ini?


Penutur 2 : Sepuluh ribu
Penutur 1 : Kenapa na mahal semua Diah?
Penutur 2 : Nda memang dari sananya mahal jadi mahal juga

(b) Penutur 1 : Ada atmnya ini?


Penutur 2 : Nda ada
Penutur 1 : Nda ada semua?
Penutur 2 : Nda ada ka bukanmi ini kupake

(c) Penutur 1 : Ni ada ga uang kecilmu?


Penutur 2 : Uang berapa
Penutur 1 : Uang seratus
Penutur 2 : Aii nda cukup, sama etta Tutiki pergi

Perubahan fonem [t] menjadi fonem [nd] merupaka suatu

bentuk interferensi fonologi yang merupakan hasil dari pengaruh

penggunaan bahasa daerah atau bahasa bugis yang kental dan

menjadi kebiasaan pada masayarakat kabupaten Soppeng. Dari

adanya perubahan fonem tersebut mengakibatkan munculnya

fonem baru pada kaidah bahasa Indonesia karena dalam bahasa

Indonesia tidak dikenal dengan adanya fonem [nd] tetapi karena

serapan dan pengaruh dari bahasa maka terkadang dalam


berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia kata yang

harusnya menggunakan fonem [t] tergantikan dengan fonem [nd].

(d) Perubahan Bunyi

1) Perubahan bunyi [f] menjadi [p]

(a) Konfirmasi konfirmasi


Penutur 1 : Kelas tujuh kelas delapan sampulna
Penutur 2 : Agama – agama
Penutur 1 : Ruang delapang ini
Penutur 3 : Kompirmasi dulu sana

Pada aksara lontara Bugis tidak dikenal dengan adanya bunyi [f]

dan hanya ada bunyi [p]. atas dasar hal tersebut mengakibatkan

adanya kebiasaan masyarakat bugis mengganti [f] menjadi [p]

apabila berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia.

2) Perubahan bunyi [v] menjadi [P]

(a) Televisi telepisi

Penutur 1 : Kemarin kita belajar tentang rumah adat Bugis,


mewarnai rumah adat Bugis dan menulis rumah adat Bugis.
sekarang kita pindah temanya benda sekitar. Subtema alat dan
komunikasi. Yang mana termasuk alat komunikasi nak?
Penutur 2 : TV
Penutur 1 : Ya telepisi apalagi?
Penutur 2 : HP
Penutur 1 : Ya telepon, apa lagi nak? Majalah, korang, korang di
nak. Siapa yang ada telepisinya di rumah?
Penutur 2 : Saya
Penutur 1 : Itu termasuk alat komunikasi bisa melihat orang dari
jauh mendengar juga suaranya.

Pada dasarnya masyarakat Bugis hanya mengenal bunyi [p] maka

hal ini mengakibatkan konsonan [v] disamakan bunyinya dengan


107

konsonan [p]. Hal ini diterapkan apabila menggunakan bahasa

Indonesia, yang mengakibatkan terjadinya interferensi bahasa.

Pada interferensi fonologi yang mengkaji tentang bunyi bahasa ada

dua kajian yaitu tentang fonem dan fonetik. Kajian fonemik dan fonetik

adalah dua kajian yang tidak dapat dipisahkan apabila mengkaji tentang

fonologi. Begitu juga halnya jika fonologi dikaji dari segi interferensi

bahasa ada yang merupakan kajian fonemik dan ada yang merupakan

kajian fonetik. Dari kajian fonemik ditemukan adanya penghilangan fonem,

penambahan fonem dan perubahan fonem. Dari segi fonetik ditemukan

adanya perubahan bunyi konsonan. Dari penghilangan fonem ditemukan

hilanganya bunyi fonem [h], [t], [k], dan [p]. Fonem – fonem tersebut

sering sekali ditemukan hilang pada kosakata dalam percakapan bahasa

Indonesia yang dilakukan oleh masyarakat Bugis di Kabupaten Soppeng.

Jika ditinjau dari aksara lontara bahasa Bugis dan koskata bahasa

Bugis memang tidak ditemukan adanya fonem - fonem tersebut pada

akhir kata. Dalam bahasa Bugis hanya ada satu konsonan yang berada

diakhirkata yaitu fonem /g/ selain dari fonem /g/ tidak fonem lain yang

berada diakhir kosakata bahasa Bugis. Hal inilah yang mempengaruhi

masyarakat Bugis khususnya di Kabupaten Soppeng sering

menghilangkan beberapa fonem dalam berkomunikasi dengan

menggunakan bahasa Indonesia, karena adanya kebiasaan dalam

berkomunikasi menggunakan bahasa Bugis.


Setelah penghilangan fonem juga ditemukan penambahan fonem.

Seperti ditambahkannya bunyi fonem [i], [e] dan [g]. Penambahan fonem

pada kosakata bahasa Idonesia lagi – lagi dipengaruhi oleh bahasa Bugis.

Berawal dari dialek bahasa Bugis yang memang banyak menggunakan

akhiran I dan E dalam berkomunikasi. Ditambahkannya fonem [I] dan [e]

pada akhira kata dalam bahasa Indonesia sebenarnya merupakan suatu

bentuk penekanan atau penegasan. Bentuk penekanan atau penegasan

tersebut berasal dari dialek bahasa Bugis yang digunakan berkomunikasi

dalam bahasa Indonesia sehingga menimbulkan interferensi bahasa atau

pengacauan bahasa karena dialek bahasa Bugis diterapkan pada

percakapan bahasa Indonesia yang mengakibatkan rusaknya kaidah

kebahasaan bahasa Indonesia.

Selain penambahan fonem [i] dan [e] pada akhira kata juga ditemukan

penambahan fonem [g]. penambahan fonem [g] pada dasarnya

disebabkan oleh hanya ada satu konsonan yang mengakhiri kosakata

bahasa Bugis yaitu fonem [g] yang mengakibatkan adanya kebiasaan

menambahkan fonem [g] pada kosakata yang sebernanya tidak

berakhiran [g]. Pada masyarakat Bugis terkadang menambahkan fonem

[g] pada akhir kata dianggap hal wajar tapi sangat mengganggu kaidah

kebahasaan bahasa Indonesia.

Setelah penghilangan fonem dan penambahan fonem juga ditemukan

perubahan fonem yaitu berubahanya fonem [t] menjadi [nd]. Sebenarnya

dari peristiwa perubahan ini ada tiga bahasa yang digabungkan yaitu dari
107

bahasa prokem kemudian bahasa Indonesia dan bahasa Bugis. Dikatakan

demikian karena pada data yang ditemukan fonem [t] yang berubah

menjadi [nd] itu berasal dari kata tidak kemudian menjadi nda karena

adanya serapan dari dua bahasa yaitu prokem dan Bugis. dari bahasa

prokem kata tidak diubah menjadi nggak yang artinya tidak. Kata ini sering

digunakan oleh anak – anak remaja pada umumnya. Dari kata nggak

inilah kemudian dicampurkan dengan dialek bahasa Bugis maka menjadi

kosakata baru yaitu ndak yang merupakan bentuk baku dari kata tidak

dan memunculkan fonem baru yaitu [nd] yang tidak ditemukkan dalam

kaidah fonologi bahasa Indonesia.

Pada kajian fonetik ditemukan adanya perubahan bunyi yaitu bunyi [f]

menjadi [p] dan [v] menjadi [p]. Hal ini didasari dari aksara bahasa Bugis

yang memang hanya mengenal bunyi [p] sehinggan bunyin [f] dan [v]

disamakan dengan bunyi [p]. Hal ini juga diterapkan pada kosakata

bahasa Indonesia sehingga sering ditemukan adanya bunyi yang dari [f]

menjadi [p] begitu pula dengan [v] menjadi [p].

b. Interferensi Morfologi

Interferensi morfologi adalah interferensi yang terjadi pada proses

pembentukan kata atau afiks. Adapun bentuk intereferensi bahasa Bugis

terhadap bahasa Indonesia pada kajian morfologi dapat dilihat pada data

berikut.
a) Prefiks

1) Prefiks (ma-)

(a) Penutur 1 : Dari mako mavaksin?


Penutur 2 : Dari maka, kedepan mko kurangmi orang

(b) Penutur 1 : Bu Andi sudah meki mafoto?


Penutur 2 : Belum, latar apa dipake?
Penutur 1 : Latar merah ukuran 3 x 4

(c) Penutur 1 : Tega lo lau mabela ladde’ meni?


Penutur 2 : Disitu mapputar

Dari beberapa kalimat di atas, kata yang bercetak miring dan

tebal merupakan wujud intereferensi morfologi yang berasal dari

prefiks bahasa Bugis Soppeng terhadap morfem dasar bahasa

Indonesia.

(1) Prefiks (ma-) + morfem dasar vaksin = mavaksin

(2) Prefiks (ma- )+ morfen dasar foto = mafoto

(3) Prefiks ma- + morfem dasar putar = mapputar

Prefiks (ma-) merupakan prefiks yang umumnya berfungsi

sebagai pembentuk verba transitif yang memiliki arti penghubung

untuk menyatakan suatu perbuatan ataupun ingin melakukan

pekerjaan.

2) Prefiks (pa-)

(a) Penutur 1 : Fatur pergi dulu ambil papel di kelas 7B


Penutur 2 : Awwatuh kaumo pergi

(b) Penutur 1: Datagmni pavaksin’e?


Penutur 2 : Belumpi
107

Prefiks pa- sama halnya dengan prefiks ma- yang

merupakan prefiks bahasa Bugis yang digunakan pada morfem

bahasa Indonesia.

(1) Prefiks (pa-) + pel = papel

(2) Prefiks (pa-) + vaksin = pavaksin

Prefiksi (pa-) dalam bahasa Bugis berfungsi sebagai verba

intransitif atau objek pelaku suatu perbuatan.

3) Prefiks (ta-)

(a) Penutur 1 : Edo itu kelelawar tagantung

Selain prefiks (ma-), dan (pa-) juga terdapat prefiks (ta-)

yang merupakan prefiks dalam bahasa Bugis namun digunakan

pada morfem bahasa Indonesia.

Prefiks (ta-) + gantung = tagantung

Pada dasarnya prefsik (ta-) dalam bahasa Bugis maknanya dan

fungsinya sama dengan prefiksi (ter-) dalam bahasa Indonesia

yaitu sebagai kata kerja pasif untuk menyatakan suatu kondisi.

4) Prefiks (na-)

(a) Penutur 1 : Kenapako?


Penutur 2 : Nakerjaika anak – anak di luar nabilang masuk maki
Penutur 1 : Hamma’e pantas ngos-ngosanko

Prefiks (na-) juga salah satu prefiks bahasa Bugis yang berarti

melakukan dan juga penekanan. Pengguna prefiks (na-) juga sering

diterapkan pada morfem bahasa Indonesia. Berikut adalah

penggunaan prefiks (na) dengan kosata bahasa Indonesia.


Prefiks (na) + kerja + i = Nakerjai

Prefiks (na) + bilang = Nabilang

b) Sufiks

1) Sufiksi (ji-)

(a) Penutur 1 : Tinggal pili


Penutur 2 : Sayurji mau kubeli Diah
Penutur 1 : Bisaji bagi dua ini lima ribu, bagi dua mamiki
Penutur 2 : Kasima pale itu sepuluh ribu.

(b) Penutur 1 : Cocoji?


Penutur 2 : Kelas tujuji cocok

Sufiks (ji-) adalah sebuah akhiran yang disematkan pada kata

dasar. Sufiksi (ji-) dalam kaidah kebahasaan bahasa Indonesia

tidak ditemukan, namun karena adanya pengaruh dari bahasa

Bugis maka terkadang masyarakat menggunakan bahasa

Indonesia dengan tambahan sufiks (ji-). Akhiran (ji) bermakna saja

atau hanya dan juga sebagai bentuk penegasan.

2) Sufiksi (mi-)

(1) Penutur 1 : Nda adami mbo airnya nda jalanmi


Penutur 2 : Ayo kesana

(2) Penutur 1 : Kukasiki juga lombok?


Penutur 2 : Janganmi tidak makan Lombok anakku

(3) Penutur 1 : Sifa janganmi kesi ikut adekmu!


Penutur 2 : Biarmi ikut, tidak marahji mamaku sudahmi kutanya
Penggunaan sufiks (mi-) dalam masyarakat bugis sangat lazim

tergdengar apabila menggunakan bahasa Indonesia. Tetapi di

dalam kaidah kebahasaan bahasa Indonesia dalam proses

morfologi tidak ditemukan adanya sufiks (mi-). Hal ini berarti


107

keberadaan sufiksi (mi-) dalam berkomunikasi oleh masyarakat

Bugis di Kabupaten Soppeng dalam percakapan menggunakan

bahasa Indonesia merupakan bentuk serapan atau pengaruh dari

bahasa pertama yaitu bahasa Bugis.

3) Sufiksi (ki-)

(a) Penutur 1 : Assalamulaikum


Penutur 2 : Walaikumsalam, masukki

(b) Penutur 1 : Siniki duduk! Nda demam jaki sudah di vaksin


kemarin?, ndak sesak nafas jaki juga? Munta apa ndaji?
Penutur 2 : Tida yah?
Penutur 1 : Kalau sekarang tida batuk pilekji?

(c) Penutur 1 : Ayo pulang


Penutur 2 : Tida bermalangki?
Penutur 1 : Tida
Penutur 2 : Hati – hatiki di jalan

Sufiks (ki-) sama halnya dengan sufiks (mi-), dan (ji-) tidak

ditemukan dalam proses morfologi bahasa Indonesia tapi jika dilihat

dilapangan penggunaannya sangat lazim digunakan baik disituasi

formal maupun santai. Akhiran (ki-) adalah aakhiran yang berasal

dari bahasa Bugis tetapi selalu digunakan dalam bahasa Indonesia.

Hal ini merupakan bentuk interferensi dari bahasa Bugis ke bahasa

Indonesia.

Pada kajian morfologi juga terdapat beberapa hasil dari interferens

bahasa Bugis. Interferensi tersebut ditemukan pada proses afikasi yaitu

pada sufiks dan prefiks. Pada prefiks ditemukan ada empat prefiksi

bahasa Bugis yang digunakan pada bahasa Indonesia yang merupakan

hasil serapan dari bahasa Bugis yaitu prefiks (ma), (pa), (ta) dan (na).
Keempat prefiks ini merupakan partikel dalam bahasa Bugis yang sering

digunakan dalam bahasa Indonesia menjadi sebuah akhiran. Keempatnya

ini hamper memiliki fungsi yang sama yaitu sebagai penekanan atau

penegasan.

Selain Prefiks atau awalan dalam interferensi kajian morfologi juga

ditemukan pada sufiks atau akhiran. Berdasarkan data yang telah

diuraikan ada beberapa sufiks bahasa Bugis yang digunakan pada

morfem bahasa Indonesia diantaranya sufiks (mi), (ki),(ji). Ketiga sufiks

tersebut adalah akhiran yang digunakan berkomunikasi dalam bahasa

Bugis tetapi tidak ditemukan pada bahasa Indonesia, namun masyarakat

Bugis di Kabupaten Soppeng sangat sering menggunakan akhiran

tersebut pada kosakata bahasa Indonesia. Akhiran – akhiran tersebut ada

yang berfungsi penegasan ada juga yang berfungsi sebagi bentuk

kesopanan yaitu (ki). Akhiran (ki) sangat sering digunakan pada

masyarakat Bugis dalam berkomunikasi karena merupakan bentuk

penghormatan atau lambang kesopanan, jadi wajar apabila sangat banyak

masyarakat berkomunikasi selalu menggunakan akhiran (ki) meskipun

menggunakan bahasa Indonesia.

c. Interferensi Leksikal

Interferensi leksikal diartikan pengacauan kosakata antara bahasa

yang satu ke dalam bahasa yang lain. Di dalam interferensi leksikal terjadi

penyerapan kosakata dari satu bahasa ke bahasa yang lain. Interferensi

dalam bidang leksikal terjadi apabila seorang dwibahasawan dalam


107

peristiwa tutur memindahkan leksikal bahasa pertama kedalam bahasa

kedua atau sebaliknya (Weinreich (1979: 47). Adapun bentuk – bentuk

intereferensi leksikal yang terjadi pada masyarakat Kabupaten Soppeng

dapat dilihat dari data berikut.

a) Penutur 1 : Aganna salah?


Penutur 2 : Anunna tinyya bowong makkuro
Penutur 1 : Tapi wajunna cocokmi?
Penutur 2 : Anunnami bowonna

Dari percakapan di atas dapat dilihat terjadinya interferensi leksikal

dalam proses percakapan, terjadi percampuran penggunaan kosakata

antara bahasa Indonesia dengan bahasa Bugis. Penutur pertama

menggunakan bahasa Bugis tetapi penutur kedua memberikan respon

dengan menggunakan bahasa Indonesia tetapi bahasa Indonesia

yang digunakan adalah bahasa Indonesia yang terinterferensi dengan

bahasa Bugis. Dari kalimat “tapi wajunna cocokmi?” jika dilihat dari

segi kotsakata yang digunakan ada kata tapi dan cocok yang

merupakan bahasa Indonesia namun ditambahkan akhiran (mi-)

sedangkan kata wajunna merupakan kosakata bahasa Bugis yang

artinya baju dalam bahasa Indonesia. Percampuran penggunaan

kosakata tersebut mrupakan bentuk interferensi leksikal

b) Penutur 1 : Eh engka undangmu ku Baharu?


Penutur 2 : Yang mabbeling sama anaknya Pak Rahman?
Penutur 1 : Iyyo anaknya pak Rahman yang perempuan
Penutur 2 : Aiii tidak ada sama Pak Rahmanji saya ada.

Pada percakapan di atas obrolan yang berlangsung jika dilihat semua

penutur menggunakan bahasa Indonesia namun bahasa Indonesia


yang digunakan adalah bahasa Indonesia yang pada umunya

digunakan di masyarakat Kabupaten Soppeng yaitu kosakata yang

digunakan ada dari bahasa Bugis yang dicampur dengan bahasa

Indonesia. Seperti pada kalim

at “eh engka undanganmu ku Baharu?” dan pada kalimat “yang

mebbeling sama anaknya pak Rahman”. Dari dua kalimat tersebut

ada dua kata yang merupakan kosakata bahasa Bugis yang

digunakan yaitu kata engka yang artinya ada dan kata mabbeling

yang artinya berpasangan. Secara umum bahasa yang digunakan

adalah bahasa Indonesia tapi disispi kosakata bahasa Bugis. Hal

seperti ini yang dikatan dengan interferensi leksikal.

c) Penutur 1 : Dariko kemarin mattunu relle di Kecce’e


Penutur 2 : Iyyo poleka, magimemengi demujokka?
Penutur 1 : Darika Cabbeng sama tattaku jam lima baruka pulang
Penutur 2 : Ketinggalanko lagi

Dari kalimat “dariko kemarin mattunu relle di Kecce’e”

Dari kalimat “dariko kemarin mattunu relle di Kecce’e” terjadi

interefernsi leksikal karena dalam satu kalimat pada sebuah obrolan

terjadinya penggabungan penggunaan kosakata anatara bahasa

Bugis dengan Bahasa Indonesia. kata mattunu dan relle merupakan

dua kata yang berasal dari kosakata bahasa Bugis yang artinya

membakar dan jagung. Kedua kata tersebut digunakan dengan

kosakata bahasa Indonesia membentuk sebuah kalimat

mengakibatkan terjadinya interferensi.


107

d) Penutur 1 : Berapa ini ikan bolumu?


Penutur 2 : Dua pulo lima na dua
Penutur 1 : Kalau yang ini?
Penutur 2 : Sepulu ribu satu itu
Penutur 1 : Itumo pale yang ta dua puluh limade mukasika

Dari kalimat “berapa ini ikan bolumu?” terjadi penggabungan

penggunaan kosakata antara bahasa Bugis dan bahasa Indonesia

pada kata “bolumu” merupakan kosakata bahasa bugis yang bandeng

mu. Jadi, jika kalimat diartikan secare kedalam bahasa Indonesia

maka kalimatnya berbunyi “berapa ini ikan bandeng?”. Inilah

kekurangan dari terjadinya interferensi bahasa, karena secara struktur

kebahasan bahasa Indonesia kalimat di atas tidak sesuai dengan

kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar.

e) Penutur 1 : Dariki acara mappetu adanya Yuni?


Penutur 2 : Iyya darika sama Dita
Penutur 1 : Tidak ada kuliat fotomu, eh siapa pammikepki itu?
Cantik diliat abanna bukan Yuni.
Penutur 2 : Pamikep dari Takalalla, cantikki toh nandre pake

Kalimat “dariki acara mappetu adanya Yuni?”, merupakan obrolan

yang menngunakan bahasa Indonesia tetapi ada penggunaan bahasa

Bugis yaitu ada frasa “mappetu ada” yang merukapan bahasa Bugis

yang artinya lamaran. Selain itu dalam kalimat “Pammikep dari

Takalalla, cantikki toh nandre pake” terdapat kata “pammikep” dan

“nandre pake” yang merupakan bahasa Bugis jika diartikan dalam

bahasa Indonesia artinya tukang make up dan keluar auranya.

Kalimat “Pammikep dari Takalalla, cantikki toh nandre pake” jika

diartikan secara langsung berdasarkan bahasa Indonesia maka akan


terjadi pengacauan struktur kalimat. Tapi penyisipan kosakata bahasa

Bugis dalam berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia sangat

mudah ditemukan pada penutur bahasa Indonesia di masyakarat

Kabupaten Soppeng.

Interferensi pada leksikal adalah pengacauan kosakata dari dua

Bahasa atau lebih. Berdasarkan data yang didapatkan di lapangan sangat

sering ditemukan penggunaan bahasa Indonesia dicampurkan bahasa

Bugis. Hal ini terjadi karena masyarakat merupakan dwibahawan jadi

terkadang apabila berkomunikasi terkadang kosakata bahasa Bugis

dimsukkan kedalam bahasa Indonesia. Faktor yang mempengaruhi salah

satunya adalah tentang perbendaharaan kata. Apabila perbendaharan

kata kurang maka tejadilah interferensi leksikal. Hal ini sangat sulit

dihindari dimasyarakat dwibahasawan karena memang mereka

menggunakan dua bahasa dalam berkomunikasi.

Kasus interefernsi khususnya pada kajian leksikal memang sangat

riskan terjadi dimasyarakat dwibahasawan. Kebiasaan menggunakan

bahasa pertama di lingkungan tempat tinggal dan menggunaan bahasa

kedua di lingkungan formal membuat merekan secara reflex memasukkan

menggabungkan dua bahasa dalam berkomunikasi.

2. Interferensi di Lingkungan Formal dan Informal

a. Interferensi di Lingkungan Formal

Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa lingkungan

formal adalah lingkungan yang dibentuk secara resmi dan terencana.


107

Lingkungan formal dibentuk secara resmi dan terencana tapi tidak

memungkiri dalam proses komunikasi terjadi interferensi apalagi jika

lingkungan tersebut berada di kabupaten Soppeng, sangat sulit dipungkiri

untuk menghindari adanya intereferensi bahasa Bugis. Berikut ini akan

diuraiakn bebera interferensi bahasa Bugis terhadap bahasa Indonesia

yang terjadi di lingkungan formal di kabupaten Soppeng daiantaranya

sekolah dan tempat pelayanan masyarakat seperti rumah sakit.

1) Penutur 1 : Kenapai?
Penutur 2 : Sala’e
Penutur 1 : Ruang delapan nappa ruang enang
Penutur 3 : Soalnya kelas berapa itu?
Penutur 1 : Soalnya kelas delapan nappa sampulna ruang anu
Penutur 2 : Sala tamai
Penutur 3 : Kelas tujuh ye?
Penutur 1 : Ha ?
Penutur 3 : Kelas tujuh kelas delapan sampulna
Penutur 2 : Coconi, berarti salah itu soalnya
Penutur 1 : agama, agama
Penutur 2 : Ruang delapang ini
Penutur 3 : Kompirmasi dulu sana

(Sumber : Juhra, Muhammad, Hamzah)

Percakapan di atas berlangsung di sebuah sekolah SMP Negeri di

kabupaten Soppeng, percakapan tersebut merupakan percakapan

beberapa tenaga pendidik. Dari percakapan yang berlangsung masih

terdapat beberapa interferensi bahasa Bugis yang mempengaruhi

pengucapan bahasa bugis serta struktur kalimat. Seperti kata enang

yang seharusnya enam, delapang yang seharusnya delapan hal ini

merupakan interferensi fonologi yaitu penambahan fonem /ng/

menyebabkan berubahnya bunyi suatu fonem. Selain itu terdapat juga


kata sampulna yang seharusnya sampulnya hal ini merupakan

proses penghilangan fonem yang menyebabkan perubahan bunyi.

Begitu pula pada kata kompirmasi yang seharusnya konfirmasi juga

terdapat perubahan fonem /f/ menjadi /p/ menyebabkan berubahnya

bunyi fonem.

2) Penutur 1: Apalagi berasal dari desa berbeda, kampung berbeda


dipersatukan dalam kelas seperti ini terkadang, ketika ngobrol dan
komunikasi terjadi kesalah pahaman karena tidak saling mengenal
karakter. Biasa itu ditemui ada yang suka bercanda tapi tidak suka
dicandai, ada yang memang serius metong dia nda tau bercanda
Penutur 2 : A. Dewi
Penutur 1 : Ada orang yang maunya bercanda terus dan menyamakan
semua orang.
Penutur 2 : Hilda
Penutur 1 : Ada yang hidupnya nyantai sekali pokoknya apa – apa
dianggap santai.
Penutur 2 : Santai, selow
Penutur1 : Ada yang orangnya bapera ada yang suka galau, tida usah
tunjuk - tunjuk sedari diri masing – masing. Dalam hal ini kita
mengenal karakter diri masing – masing.

(Sumber : Hajrah, Siswa kelas X Mipa 5 SMAN 2 Soppeng)


Dilihat dari konteks percakapan di atas, percakapan tersebut

berada di dalam suatu ruang kelas atau proses belajar mengajar.

Dalam proses belajar mengajar juga masih terdapat interverensi

bahasa Bugis terhadap bahasa Indonesia diantaranya adanya kata

nda yang merupakan bentuk tidak baku dari kata tidak, dan kata tida

yang kehilangan fonem /t/ menyebabkan berubahnya bunyi bahasa

tersebut. terjadinya perubahan bunyi bahasa tersebut diakibatkan dari

adanya serapan bahasa pertama dari lingkungan tempat tinggal yaitu

bahasa Bugis.
107

3) Penutur 1 : Aga bu?


Penutur 2 : Daerah yang termasuk WIB huruf besar, waktu Indonesia
Barat yaitu pulau Sumatra, pulau Jawa, magatosi Adit namammenye
pulau Madura, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah.
Dibawanya lagi daerah yang termasuk WITa, itu waktu Indonesia
bagian?
Penutur 1 : Timur
Penutur 2 : Tengah WITA
Penutur 1 : Tengah
Penutur 2 : Daerah yang termasuk WITA Waktu Indonesia bagian
tengah adalah pulau Bali
Penutur 1 : Yolo bu
Penutur 2 : Pulau Bali, Sulawesi, Kalimantan Selatan, Kalimatan
Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur.

(Sumber : Supiani, Siswa kelas 6 SD 214 Barang)

Percakapan antara murid dan guru di atas berlangsung di sebuah

SD di Kabupaten Soppeng. Terlihat dalam proses pembelajaran

bahasa pengantar yang digunakan adalah bahasa Indonesia. Bahasa

yang wajib digunakan di lingkungan formal tetapi walapun

menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar masih

terdapat sisipan bahasa Bugis seperti pada kata aga, yolo, magi

Adit nammenye. Kata – kata tersebut merupakan kosakata bahasa

Bugis yang dimasukkan ke dalam kalimat bahasa Indonesia.

4) Penutur 1 : Ryang Maggalatung?


Penutur 2 : Alpa

Dari percakapan di atas dilihat adanya interferensi bahasa Bugis

terhadap bahasa Indonesia yaitu berubahnya fonem /f/ menjadi fonem

/p/ yaitu kata alpa yang seharusnya alfa. Perubahan fonem tersebut

mengakibatkan berubahnya bunyi bahasa. Hal tersebut dikarenakan

adanya serapan dari bahasa Bugis.


(Sumber : Juhra, Siswa kelas VII B SMPN 2 Liliriaja)

5) Penutur 1 : Kemarin kita belajar tentang rumah adat Bugis, mewarnai


rumah adat Bugis dan menulis rumah adat Bugis. sekarang kita
pindah temanya benda sekitar. Subtema alat dan komunikasi. Yang
mana termasuk alat komunikasi nak?
Penutur 2 : TV
Penutur 1 : Ya telepisi apalagi?
Penutur 2 : HP
Penutur 1: Ya telepon, apa lagi nak? Majalah, korang, korang di nak.
Siapa yang ada telepisinya di rumah?
Penutur 2 : Saya
Penutur 1 : Itu termasuk alat komunikasi bisa melihat orang dari jauh
mendengar juga suaranya.

(Sumber : Darma, siswa kelas A TK Karya PKK Desa Barang)

Percakapan antara siswa dan guru pada di atas terjadi pada salah

satu taman kanak – kanak yang ada di kabupaten Soppeng. Wajib

menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa penggantar tetapi

tetap ada kosa kata yang terserap atau terinterferensi dari bahasa

Bugis. Kosakata tersebut antara lain telepon yang seharusnya telfon.

Telepisi yang seharusnya televise, korang yang seharusnya Koran.

Kosakata yang terinterferensi bahasa Bugis ada yang mengalami

perubahan fonem ada juga mengalami penambahan fonem yang

diakibatkan terserapnya kosakata bahasa Bugis ke dalam bahasa

Indonesia.

6) Dan banyak sekali yang menduga kepikiran bahwa jammi terlalu


banyak obat dok, nanti rusak ginjalku na dottoro’e berpikir untuk
melindungi ginjalta maka dikasiki itu oba – oba.

(Sumber : dr. Megawati, S.Ked)

Dari kalimat di atas yang merupakan penggalam kalimat sosialisasi

Dokter ada beberapa kata yang merupakan bentuk interferensi


107

bahasa Bugis terhadap bahasa Indonesia seperti oba – oba. Hal ini

merupakan bentuk interferensi bahasa Bugis ke bahasa Indonesia

yaitu hilangnya fonem /t/ pada akhir kata. Selain itu juga terdapat kata

jammi yang merupakan serapan dari basa Bugis dengan adanya

pemakaian engklitik mi. Selain engklitik mi juga terdapat engklitik ta

yaitu pada kata ginjalta yang seharusnya ginjal. Pemakaian engklitik

tersebut merupakan salah satu bentuk kesopanan dari bahasa Bugis

yang terserap oleh bahasa Indonesia.

Pada dasarnya lingkungan formal merupakan lingkungan yang

mewajibkan berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia. Lingkungan

formal adalah lingkungan yang merupakan tempat pertumbuhan bahasa

kedua. Lingkungan formal memiliki peran yang sangat besar dalam

pemerolehan bahasa kedua dari seorang penutur bahasa. Dikarenakan

merupakan tempat tumbuh dan berkembangnya bahasa kedua dalam hal

ini di kabupaten Soppeng bahasa kedua masyarakat yaitu bahasa

Indonesia maka ada tekanan wajib menggunakan bahasa Indonesia di

lingkungan formal. Kewajiban menggunakan bahasa Indonesia di

lingkungan formal terlaksana tetapi dikarenakan bahasa Indonesia

merupakan bahasa kedua masyarakat Soppeng, maka dalam

penggunannya masih sering terjadi interferensi bahasa Bugis. Kondisi

tersebut disebabkan masyarakat di lingkungan sekitar tempat tinggal dan

lingkungan keluarga masih dominan berkomunikasi menggunakan bahasa

Bugis.
Berkomunikasi menggunakan bahasa daerah di lingkungan sekitar

tidak dapat dilarang karena untuk tetap mempertahankan dan

melestarikan bahasa daerah. Hanya saja antara pelestarian bahasa

daerah dan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar saling

tumpang tindih. Hal ini dikarenakan kondisi masyarakat yang belum

mampu sepenuhnya membedakan dengan baik pengucapapan serta

kosakata anatara bahasa Bugis dan bahasa Indonesia. Lahir dan tumbuh

di tengah – tengah masyarakat penutur bahasa Bugis membuat

kekentalan berokumunikasi menggunakan bahasa bugis sulit untuk

dihindari, mulai dari dialek, penyebutan dan penggunaan kosakata. Hal ini

juga di bawa ke lingkungan formal, terkadang telah menggunakan bahasa

Indonesia tetapi dialeknya menggunakan dialek bahasa Bugis terlebih

menyerap kosakata bahasa Bugis ke dalam bahasa Indonesia.

Kedisiplinan element – element yang berpartisipasi di untuk

penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar di lingkungan formal

sangat dibuthkan untuk menekan terjadinya interferensi bahasa. Antara

bahasa Bugis dan bahasa Indonesia dalam berkomunikasi di lingkungan

formal harus ada titik perantarannya kapan menggunakan bahasa daera

dan kapan harus menggunakan bahasa Indonesia.

b. Interferensi di Lingkungan Informal

Lingkungan informal sebagaimana yang telah dikemukakan

sebelumnya yaitu lingkungan atau situasi alami (natural) tanpa dibentuk

secara terencana. Lingkungan informal ini pada hakikatnya terjadi begitu


107

saja dan apa adanya tanpa rekayasa dan pembentukan secara terencana.

Lingkungan informal dalam kaitannya dengan bahasa, baik dalam hal

proses pemerolehan maupun pembelajaran, cakupan jauh lebih besar

daripada lingkungan formal. Kita ataupun para pembelajar lebih banyak

dihadapkan pada lingkungan informal daripada lingkungan formal.

Lingkungan informal ini meliputi berbagai situasi seperti ketika

berkomunikasi di rumah bersama-sama keluarga, komunikasi bersama

sahabat maupun dengan orang lain,komunikasi di pasar, atau di mana

saja serta berbagai situasi lain yang terjadi secara alami, karena proses

komunikasi terjadi secara alami dan natural maka sering terjadi

interferensi bahasa, khususnya pada dwi bahasa salah satunya

masyarakat kabupaten Soppeng. Adapun interferensi yang terjadi pada

masyarakat Soppeng di ligkungan informal sebagai berikut.

1) Penutur 1 : Eh adaji mamatta?


Penutur 2 : Sakit’i
Penutur 1 : Bukaji praktek?
Penutur 2 : Saki’i
Penutur 1 : Saki’i? Nda ada pasienkah?
Penutur 2 : Nda ada, nda bukai

Pada percakapan di atas terlihat ada beberapa bentuk interferensi

bahasa Bugis terhadap bahasa Indonesia. Seperti pada kata nda

yang merupakan bentuk tidak baku dari kata tidak yang disebabkan

oleh serapan bahasa Bugis. Selanjutnya ada adaji dan bukaji dua

kata tersebut diakhiri dengan prefiksi ji yang berfungsi sebagai

engklitik ji yang merupakan serapan dari bahasa Bugis yang

dimasukkan ke dalam bahasa Indonesia.


2) Penutur 1 : Dari hari apanya sakit?
Penutur 2 : Dariku Bone, eh Jangkali
Penutur 1 : Hari apanya?
Penutur 2 : Selasanya kapang, bagaimana caranya minumka botol,
eh botol minumka anu to air satu begitu tapi mabbatui, na kukasi
habis’I dingin sekali itu kaya sampe sini sedding membeku di otakku.
Penutur 1 : Kemarin saya
Penutur 2 : Na bukan dingin, dingin es batu
Penutur 1 : Kuat sekali dinginnya
Penutur 2: Yang kuat sekali, sampe sakit tenggorokan’e begitu
minumki na ena
Penutur 1 : Hari anunya saya hari kamis, ke Soppengka baru pana
sekali
Penutur 2 : Dariku juga Jangkali, singgaki juga makan bakso tapi itu
airnya anu yang di Cabbenge, siapa namanya itu mas kumis
Penutur 1 : Mas kumis
Penutur 2 : Liwe’ dinginya toh dua gelas kuminum

Percakapan di atas merupakan percakapan saat santai menggunakan

bahasa Indonesia tetapi bahasa Indonesia yang digunakan adalah

bahasa Indonesia mengalami interferensi bahasa Bugis seperti

adanya gabungan kosakata anatar bahasa Bugis dan bahasa

Indonesia seperti adanya kata kapang yang digunakan dalam kalimat

bahasa Indonesia. Kata kapang yang artinya mungkin. Selain adanya

sisipan kosakata bahasa Bugis dalam kalimat bahasa Indonesia juga

terdapat kalimat yang berbunyi na ku kasi habis’I dari kalimat

tersebut ada awalan na dan akhiran i yang merupakan awalan dan

akhiran yang diserapa dari bahasa Bugis dimasukkan ke dalam

bahasa Indonesia.

3) Penutur 1 : Dua orang penganting?


Penutur 2 : Mungkin
Penutur 1 : Siapa?
Penutur 2 : Kudapat di tanggamu tadi
Penutur 1 : Kapannya? Tanggal sepuluh. Tanggal berapami ini?
Penutur 2 : Tanggal lima
107

Pada percakapan di atas dilihat bahwa adanya interferensi bahasa

Bugis yaitu pada kata penganting yang seharusnya pengantin.

Terdapat penambahan fonem /g/ yang menyebabkan berubahanya

bunyi bahasa.

4) Penutur 1 : Panggilma na mauka dulu pergi


Penutur 2 : Jangang – jangang
Penutur 3 : Losi lari ye
Penutur 1 : Sudami

Percakapan di atas merupakan bentuk interferensi bahasa Bugis

terhadap bahasa Indonesia seperti pada jangang – jangang dan

sudami. Pada kata jangang – jangang terdapat penambahan fonem

/g/ seharusnya jangan – jangan dan kata sudami mengalami

afiksasi mi yang seharusnya sudah.

5) Penutur 1 : Edo, itu kelelawar tagantung


Penutur 2 : Tega lo lau mabela laddemi?
Penutur 1 : Dsitu mapputar
Penutur 2 : Mana bapaknya lama sekali parkir
Penutur 1 : Mapputarki
Penutur 2 : Nda adami mbo airnya, nda jalanmi airnya kesana sama
ambo sama Dila, itu’e sana

Pada percakapan di atas pada dasarnya menggunakan bahasa

Indonesia tetapi ada lawan bicara menggunakan bahasa Bugis yang

menyebabkan adanya beberapa kosakata bahasa Bugis disisipkan ke

dalam kalimat bahasa Indonesia. selain penggunaan kosakata bahasa

Bugis juga ditemukan penggunaan awalan bahasa Bugis yang

digunakana pada kosakata bahasa Indonesia. Misalanya kata

taggantung yang seharsnya tergantung, mapputar yang seharusnya


berputar. Selain penggunaan awalan bahasa Bugis juga terdapat

akhiran bahasa Bugis yaitu mi dari kata adami.

Dari data di atas masih jelas ditampilkan bukti terjadinya interferensi

bahasa Bugis terhadap bahasa Indonesia di lingkungan informal memang

sangat sulit untuk dihindari di masyarakat dwibahasawan. Kedwibahasa

melahirkan intereferensi. Interferensi dihasilkan oleh produksi

kedwibahasaan yang merugikan atau merusak bahasa yang

bersangkutan. Kedwibahasaan memiliki kecenderungan untuk

memasukkan unsur bahasa yang satu kebahasa yang lainnya, atau

sekaligus menggunakan dua pola bahasa yang dikenalnya pada saat

menggunakan salah satu bahasa sehingga terdapat tendensi yang

bertentangan dengan informasi bahasa. Terlebih jika berada di lingkungan

informal atau lingkungan masyarakat tidak ada atura yang mengharuskan

menggunakan bahasa tertentu dalam masyarakat, hanya kesepakatan

dan kesamaan pehamanan soal bahasa yang digunakan maka

komunikasi akan berlangsung.

Di lingkungan informal tidak ada rasa malu atau canggung apabila

terjadi kesalahan berbahasa atau percampuran bahasa karena pada

dasarnya yang dibutuhkan hanya kesamaan pemahaman soal bahasa.

Jadi apabila ada yang menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Bugis

secara bersamaan dalam berkomunikasi dan lawab bicara pun memahami

maka hal dapat diterimah meskipun akan merusak kaidah bahasa.


107

Jadi interfernsi di lingkungan informal tidak bisa dihentikan hanya saja

bisa bisa minimalisir agar tidak terlalu berkembang pesat dan merusak

kaidah kebahasaan dari dua bahasa tersebut yaitu bahasa Bugis dan

bahasa Indonesia. Dikatakan tidak bisa dihentikan karena tidak ada aturan

atau larangan mencampurkan dua bahasa atau lebih dalam

berkomunikasi yang ada hanya adanya kesempahaman bahasa antara

penggunaa bahasa.

B. Pembahasan

Interferensi bahasa Bugis terhadap bahasa Indonesia yang terjadi

pada masyarakat di Kabupaten Soppeng bukan merupakan hal yang

sengaja dilakukan. Terjadinya interferensi disebabkan karena penguasaan

bahasa Bugis masyarakat lebih tinggi dibanding dengan kemampuan

berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Dalam masyarakat

dwibahasawan terjadinya interferensi sangat sulit untuk dihindari.

Percampuran bahasa antara bahasa Bugis dan dan bahasa Indonesia

kadang dianggap sebagai hal yang wajar dan hal yang benar. Dikatakan

demikian karena berdasarkan pemantauan dilapangan pada saat

observasi dan proses pengambilan data banyak yang secara fasih

menggunakan bahasa Indonesia terutama di lingkungan formal tetapi

“partikel bahasa Bugis” tetap disisipkan dengan anggapan bahwa bahasa

Indonesia yang dituturkan sudah benar.

Terjadinya interferensi di masyarakat berawal dari kebiasaan di

lingkungan sehari – hari yang dilakukan secara terus. Kebiasaan


menggunakan bahasa Bugis pada percakapan sehari – hari merupakan

hal wajar karena pada dasarnya B1 masyarakat kabupaten Soppeng

adalah bahasa Bugis. Namun hal ini tidak boleh dibiarkan karena akan

menimbulkan kekacauan struktur bahasa baik dari bahasa Bugis maupun

bahasa Indonesia.

Dari hal ini dapat diketahui bahwa awal dari terjadinya intereferensi

bahasa adalah pondasi pemakaian bahasa yang lemah. Dalam artian

pada saat proses pembelajaran B2 yang diterima masyarakat baik dari

lingkungan formal maupun informal sebenarnya telah terjadi kesalahan

berbahasa yang tidak disadari oleh pelaku bahasa. Misalnya dari

lingkungan pertama pembelajaran B2 yaitu sekolah terkadang guru – guru

di sekolah menggunakan bahasa Indonesia berkomunikasi tetapi bahasa

Indonesia yang disisipi engklitik bahasa Bugis dengan dalih supaya siswa

lebih mudah paham. Dapat diketahui bahwa pengajaran bahasa

melahirkan pemerolehan bahasa. Hal ini berkaitan erat dengan antara

bidang pengajaran bahasa dan pemerolehan bahasa. Jalur pemerolehan

bahasa ada yang melalui jalur formal ada pula informal (Junus & Junus,

2020).

Kesalahan berbahasa yang terjadi dari masyarakat merupakan

perkara yang sulit untuk dihindarkan dan tidak ada satupun pihak yang

dapat disalahkan dari terjadinya hal tersebut. Meskipun awal terjadinya

interferensi itu berada pada masyarakat dwibahasawan tapi masyarakat

juga dituntuntut untuk memamahami dan menggunakan dua bahasa yaitu


107

bahasa bahasa ibu yang merupakan bahasa daerah dan dan bahasa

kedua yaitu bahasa Indonesia yang merupakan bahasa nasioal. Bahkan

sampai diminta untuk tiga bahasa yaitu bahasa asing agar dapat bersaing

di dunia internasional dan mengikuti perkembangan global.

Hal ini merupakan slogan balai bahasa yang selalu digaung –

gaungkan yaitu “utamakan bahasa Indonesia, lestarikan bahasa daerah,

dan kuasai bahasa asing.” Jika mengacu pada slogan tersebut maka

penggunaan dwibahasa harus tetap dilakukan agar bahasa daerah tetap

lestari. Namun yang menjadi pokok permasalah dari slogan tersebut

adalah masyarakat pengguna bahasa yang tidak mampu menggunakan

bahasa daerah pada tempatnya dengan baik dan bahasa Indonesia

dengan baik, malah mencampur penggunaan keduanya.

Dari penjelasan di atas dan dengan fakta yang ditemukan di lapangan,

dapat dikatakan bahwa interferensi antara bahasa Bugis dengan bahasa

Indonesia masih banyak terjadi. Ada banyak bentuk interferensi

ditemukan. Terjadinya intereferensi bahasa pun terjadi pada semua

kalangan, baik dari kalangan anak – anak, remaja, dan orang dewasa di

lingkungan formal maupun informal.

Interferensi yang ditemukan pada masyarakat diataranya ada

interferensi fonologi pada kajian fonemik yaitu ditemukannya ada

tambahan – tambahan fonem pada suatu kata yang sebenarnya di dalam

bahasa Indonesia fonem tersebut tidak ada. Misalnya penambahan fonem

[g], [e], dan [i] fonem – fonem ini sering sekali ditambahkan pada
kosakata bahasa Indonesia yang membuat bunyi kata tersebut berubah.

Selain penambahan fonem juga ditemukan pengurang fonem seperti

hilangnya fonem [h], [p], [k], dan [t] penghilangan fonem juga berakibat

berubahnya bunyi bahasa dan terkadang membuat maknya pun ikut

berubah. Terakhir perubahan fonem juga ditemukan yaitu berubahnya

fonem [t] menjadi fonem [nd].

Sebenarrnya proses perubahan fonem ini dari bahas Indonesi yang

bentuk juga tidak baku yaitu seperti kata “ngak” kemudian menjad “nda”

karena terinterefernsi oleh bahasa bugis. Dari kajia fonologi terjadinya

intereferensi menyebabkan membuat bunyi bahasa kata jika diragkai

menjadi kalimat dalam bahasa Indonesia menjadi tidak baku dan

terkadang dapat berbeda makna karena perubahan – perubahan yang

terjadi secara fonemik.

Selain penambahan fonem, pengurangan fonem dan perubahan

fonem pada kajian fonologi juga ditemukan perubahahan bunyi.

Perubahan bunyi yang ditemukan diantara bunyi [f] berubah menjadi bunyi

[p] dan bunyi [v] berubah menjadi bunyi [p]. Perubahan bunyi tersebut

disebabkan pada aksara lontara bahasa Bugis tidak dikenal bunyi [f] dan

[v] hanya bunyi [p]. Dari dasar hal tersebutlah didasari ditemukannya ada

masyarakat Bugis di Kabupaten Soppeng yang menyamaratakan bunyi

tersebut menjadi bunyi [p].

Selain dari interferensi fonologi, juga ditemukan interferensi morfologi

yaitu pada proses afikasi. Dalam hal ini ditemukannya prefiks dan sufiks
107

dari bahasa Bugis yang diserap ke dalam bahasa Indonesia seperti

ditemukanya prefiks (pa-), (ta-), dan (ma-) yang merupakan prefiks asli

bahasa Bugis yang digunakan sebagai bentuk penagasan namun

kebanyakan masyarakat menggunakannya dengan kosakata bahasa

Indonesia seperti pada kata papel, mafoto, taggantung. Jika dilahat dari

kata yang diikuti selain sebagai bentuk penegasa prefiks tersebut juga

berfungsi sebagai bentuk melakukan pekerjan dapata penegasan

terhadap kata kerja.

Sedangakan sufiks yang diserap dari bahasa Bugis ada sufiks (-ki), (-

mi) dan (-ji). Salah satu contoh sufiks (ki) yaitu pada kata masukki. Dari

kata tersebut dapat dilihat bahwa fungsi sufiksi (-ki) disini adalah suatu

bentuk pengucapan untuk melambangkan kesopanan. Sufiks tersebut

merupakan sufiks bahasa Bugis yang dimana masyarakat

menggunakannya di dalam bahasa Indonesia. Selain sufiks (-ki)

ditemukan juga sufiksi (-mi) dan (-ji) seperti pada kata biarmi dan cocokji

kedua kada tersebut merupakan akhiran bahasa Bugis yang sering

disambungkan mengikuti morfem bahasa Indonesia. Kedua akhiran ini

juga berfungsi sebagai penegasa dan memang menjadi ciri khas

masyarakat Bugis karena sangat sering digunakan dalam apabilah

berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesi.

Dengan penggunaan afiks tersebut jelas membuat struktur bahasa

dalam kalimat bahasa Indonesia menjadi berubah. Begitupun ditinjau dari

segi makna juga akan mengalami perubahan. Adanya afiks yang


mengikuti selain dari afiks bahasa Indonesia jelas berdampak dengan

berubahnya kaidah kebahasaan bahasa Indonesia dari kata baku menjadi

tidak baku karena pengaruh dari afiks tersebut.

Interensi yang lain yang ditemukan ada pada kajian leksikal. Kajian

leksikal merupakan salah satu yang paling menampakkan bentuk

interferensi. Dikatakan demikian karena masyarkat terkadang dalam

kondisi sadar maupun tidak sadar mereka kadang memasukkan kosakata

bahasa Bugis kedalam percakapannya yang menggunakan bahasa

Indonesia.

Terbawanya kebiasaan penggunaan bahasa pertama terhadap

bahasa kedua merupakan alasan paling utama masyarakat dalam

terbentuknya interferensi. Faktor keakraban dan kekeluargaan serta tidak

adanya aturan mengenai penggunaan bahasa merupakan dasar

terbentuknya interferensi leksikal. Tidak mempedulikan kaidah bahasa

dengan dasar sesam penutur saling memahami dan pesan dapat

tersempaikan membuat para penguna bahasa sangat mudah

menggabungkan dua bahasa atau mencampurkan dua kosakata dalam

berkomunikasi yang menyebabkan terjadinya interferensi leksikal.

Penggunaan sistem bahasa tertentu atau bahasa lainnya disebut

transfer atau pemindahan sistem fonologi, morfologi dan leksikal. Transfer

yang bersifat membantu karena kesamaan atau kesejajaran tersebut

disebut transfer positif. Sebaliknya, jika transfer itu bersifat mengacaukan


107

karena perbedaan sistem bahasa maka transfer itu disebut transfer

negatif.

Interferensi dapat terjadi dimanapun baik di lingkungan formal maupun

informal. Hanya saja jika berada di lingkungan formal tingkat interferensi

bahasa khususnya bahasa Bugis ke Indonesia masih bisa diminimalisir

dalam artian masih sedikit karena adanya aturan yang mengharuskan

menggunakan bahasa Indonesia yang baik dalam berkomunikasi.

Aturan tersebut membuat para pengguna bahasa cukup berhati – hati

dan berusaha menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar,

meskipun terkadang masih ditemukan sebahagian yang refleks

menggunakan bahasa Bugis atau konjungsi – konjungsi bahasa Bugi

dalam berkomunikasi.

Berbeda dengan lingkungan formal di lingkungan informal tingkat

interferensi bahasa cukup tinggi dan bervariasi karena memang tidak

aturan yang mengikat yang mengharuskan menggunakan bahasa

Indonesia yang baik dan benar. Terlebih apabilah masyarakat tersebut

jarang berada pada ruang formal maka kebiasaan menggunakan bahasa

Bugis masih sangat kental.

Lingkungan informal merupakan lingkungan tempat berkembanganya

bahasa pertama tetapi tidak dipungkiri telah banyak yang berkomunikasi

menggunakan bahasa Indonesia karena tetapi kembali lagi bahasa

Indonesia yang digunakan adalah bahasa Indonesia yang sangat banyak

mengalami interferensi bahasa.


Interferensi menimbulkan kesalahan berbahasa atau dengan kata lain

kesalahan berbahasa adalah produksi interferensi. Kesalahan berbahasa

yang digunakan oleh pengguna bahasa harus diperbaiki. Penemuan

kesalahan berbahasa ini merupakan umpan balik sebagai usaha

penyempurnaan bahasa Indonesia. Berdasarkan data yang diperoleh di

lapangan pada penelitian ini apabila dibandingkan dengan penelitian

sebelumnya yang dilakukan oleh Perawati dengan judul “interferensi

bahasa Bugis dialek Wajo terhadap penggunaan bahasa lisan di Desa

Toru’e Kecamatan Parigi Muotong” memperoleh kesimpulan bahwa

interferensi bahasa Bugis dialek Wajo terhadap penggunaan bahasa

Indonesia lisan di Desa Toru’e Kecamatan Parigi Muotong meliputi tataran

fonologi, morfologi, dan sintaksis, sedangkang pada penelitian ini

interferensi yang ditemukan meliputi fonologi, morfologi dan leksikal. Dari

segi fonologi penelitian sebelumnya ditemukan adanya penghilangan

fonem dan penggantian fonem, sedangkan pada penelitian ini yang

ditemukan selaian penghilangan fonem juga didapat penambahan fonem,

perubahan, serta perubahan bunyi.

Dari segi kajian morfologi antara penelitian terdahulu dengan

penelitian yang ini terdapat perbedaan, yaitu penelitian sebelumnya hanya

menemukan adanya perubahan bentuk afiks seperti afiksi (di-) diubah

menjadi (na-) afik (pe-) diubah menjadi (pa) sedangkan pada penelitian ini

pada kajian morfologi, yang ditemukan adalah afiks dan prefiks bahasa
107

Bugis yang dimasukkan ke bahasa Indonesia seperti afiks (ma-) (pa-) (ta-)

sedangkan sufiksi berupa sufiks (ji-), (mi-) dan (ki-).

Berdasarkan objek kajian yang ketiga terdapat perbedaan kajian

antara penelitian sebelumnya dengan penelitian yang ini yaitu satu

membahas tentang kajian sintaksis satu membahas tentang kajian

leksikal. Terlebih penelitian ini juga membandingkan antara interferensi

yang terjadi di lingkungan formal dan yang terjadi di lingkungan informal.

Selain yang dilakukan oleh Perawati penelitian tentang interferensi

bahasa Bugis juga pernah dilakukan oleh Muh Taufiq dan Muh Jumardi

Nurali dengan judul “Pengaruh Interferensi Bahasa Bugis Terhadap

Morfologi Bahasa Indonesia di Dusun Polewali Desa Pasa Kecamatan

Sibulue Kabupaten Bone”. Hasil penelitian ini memiliki perbedaan dari

hasil penelitian sebelumnya meskipun sama mengkaji interferensi bahasa

Bugis terhadap Bahasa Indonesia. Berdasarkan penelitian sebelumnya

yang dilakukan oleh Muh Taufiq dan Muh Jumardi Nurali fokus penelitian

hanya berfokus pada kajian morfologi tetapi mendapatkan data yang

berfariasi mulai dari afiksasi, reduplikasi dan pemajemukan. Dari hasil

penelitian yang diuraikan tingkat interferensi bahasa Bugis terhadap

bahasa Indonesia pada kajian cukup tinggi dibandingkan pada penelitian

yang dilakukan sekarang yang dilakukan di masyarakat kabupaten

Soppeng karena pada kajian morfologi hanya ditemukan pada proses

afiksasi yaitu adanya sufiksi dan konfiks bahasa Bugis yang mengikuti

morfem bahasa Indonesia.


Munirah (2021) mengemukakan bahwa penutur menyeseuaikan

dengan siapa yang diajak bicara, lawan tutur pada suatu komunikasi akan

berpengaru pada bahasa yang digunakan. Tentu ada perbedaan bahasa

yang digunakan antara yang akrab dengan yang tidak akrab (Munirah,

2021). Atas dasar hal tersebut membuat intereferensi dapat dikecualikan,

dalam artian terjadinya interferensi memang sebuah kesalahan dalam

berbahasa tapi dari hal itu perlu diketahui apa faktor yang menyebabkan

terjadinya interferensi tersebut.

Hal itu didasari salah satunya dari adanya keakraban atau saling

mempengaruhi antara lawan bicara. Misalnya pada bidang fonologi salah

satunya ditemukannya perubahan bunyi fonem. Tidak dapat dipungkiri

bahwa hal ini terjadi karena adanya proses saling mempengaruhi sesama

penutur di masyarakat membuat perubahan-perubahan bunyi bahasa

menjadi hal wajar dan dibenarkan. Bukan merupakan hal yang benar tapi

merupakan hal yang dibenarkan, karena pada dasaranya hal tersebut

merupakan kesalahan tapi karena sering terjadi berulang kali dan sudah

familiar di telinga pendengar maka kesalahan tersebut serasa menjadi

benar.

Begitu pula pada bidang morfologi, dan leksikal semua kesalahan

akan dipaksa menjadi sebuah kebenaran karena didasari pada teori

keakraban seperti yang telah dikemukakan oleh Munirah bahwa ada

perbedaan bahasa yang terjadi antara yang akrab dengan yang tidak

akrab (Munirah, 2021). Dari adanya perbedaan bahasa tersebut anatar


107

lawan tutur yang akrab dan yang tidak akrab membuat terjadinya

interferensi menjadi sebuah hal yang wajar. Melihat perbandingan antara

interferensi di lingkungan formal dan informal yang telah dilakukan

penulis. Tingkat intereferensi di lingkungan formal lebih sedikit

dibandingkan dengan lingkungan informal. Dari hal itulah diketahui bahwa

keakraban antara penutur mempengaruhi terciptanya interferensi bahasa,

di lingkungan formal interferensi sedikit karena sesama penutur kurang

akrab atau segan sedangkan di lingkungan informal interferensi lebih

banyak karena sesama penutur sangat akrab berkomunikasi setiap hari,

becanda setiap hari jadi apabila ada kesalahan dalam berkomunikasi

dianggap hal yang wajar begitupula dengan penutur tidak ada rasa malu

ketika terjadi kesalahan dalam berkomunikasi.

Menambahkan awalan atau akhiran bahasa Bugis kedalam bahasa

Indonesia, mencampurkan penggunaan kosakata bahasa Bugis ke

Bahasa Indonesia pada lingkungan informal merupakan hal yang begitu

wajar, tidak ada hal yang salah dari kejadian tersebut. Kejadian tersebut

bukan merupakan hal yang tabuh dan merupakan hal yang biasa saja

karena pada dasarnya di lingkungan informal tidak ada aturan yang

mengatur tentang tata cara berbahasa, jadi proses berbahasa dan

bahasa-bahasa yang muncul di lingkungan formal merupakan hal yang

alamiah. Mereka mendengar ada yang menggunakan bahasa Indonesia

dan memahami artinya mereka ikut menggunakan meskipun terkadang

artinyapun masih samar-samar dalam artian artinya belum jelas apakah


memang sudah benar atau tidak, tetapi tidak ada yang terlalu

mempermasalahkan hal demikian jadi kesalahan-kesalahan yang awalnya

kecil lalu menjadi kebiasaan dan menyebar membuat hal itu menjadi

lumrah. Seperti akhiran (-mi), (-ji) yang awalnya hanya satu dua orang

yang menggunakan akahinya banyak dan menjadi wajar bagi kalangan

masyarakat Bugis, karena apa? Karena kebiasaan dan keakraban.

Apabilah penutur akrab dengan lawan bicara maka kesalahan kecil tidak

akan ditegur apalagi di lingkungan informal.

Salah satu tempat yang dapat digunakan untuk menekan agar tidak

semakin banyak interferensi bahasa khususnya bahasa Bugis ke bahasa

Indonesia yaitu di lingkungan formal. Lingkungan formal berbeda dengan

lingkungan informal, lingkungan formal memiliki aturan salah satunya

menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Walapuan ada

aturan tetapi tidak dipungkiri di lingkungan formal juga masih ditemukan

interfrensi bahasa Bugis ke bahasa Indonesia khususnya di kabupaten

Soppeng. Adanya aturan yang terjadi di dalam lingkungan formal cukup

dapat menekan tingkat interferensi karena pertama sesama penutur di

lingkungan formal tidak semuanya memiliki keakraban yang dekat

sehingga dalam berkomunikasi penutur masih berusaha memperbaiki

cara berbicara agar tidak terjadi kesalahan karena adanya rasa malu

apabila asal-asalan dalam berbicara.

Rasa malau, adanya aturan dan kurangnya keakraban dapat

menekan interferensi berbahasa tetapi faktor kebiasaan dari lingkungan


107

formal atau bahasa Pertama pengaruhnya sangat tinggi sehingga masih

ditemukannya kekhilafan berbicara yang menyebabkan interferensi

bahasa.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan penulis dilihat bahwa

interferensi terjadi pada beberapa kajian dibidang linguistik yaitu, fonologi,

morfologi, dan leksikal. Terkhusus pada kajian fonologi jika dibandingkan

dengan beberapa temuan pada penelitian sebelumnya salah satunya

yang dilakukan oleh Munira (2021) ditemukan gejala bahasa yang baru

yaitu ditemukannya fonem [nd] akibat dari proses perubahan fonem,

yang sebelumnya belum ditemukan. Adanya perubahan bunyi [f] menjadi

[p], bunyi [v] menjadi [p], perubahan bunyi fonem tersebut salah satu hal

yang baru ditemukan pada kajian interfrensi bahasa. Jika dibandingkan

dengan temuan sebelumnya perubahan bunyi yang ditemukan hanya

bunyi [e] yang diubah menjdi bunyi[ẻ].

Berdasarkan hasil penelitian yang ditemukan dilapangan tentang

interfrensi bahasa khususnya bahasa Bugis terhadap bahasa Indonesia

sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Weinreich (1953) yang

menyebut adanya perubahan sistem suatu bahasa sehubungan dengan

adanya persentuhan bahasa tersebut dengan unsur-unsur bahasa lainnya

yang dilakukan oleh penetur bilingual. Dilihat dari temuan pada kajian

fonologi, morfologi, dan leksikal hasil dari interfrensi bahasa Bugis ke

bahasa Indonesia banyak menghasil tambahan fonem dan afiks serta

kosakata baru yang tidak ada dalam tataran kebahasaan bahasa


Indonesia. Hal ini terjadi dikarenakan sesuai dengan apa yang dikatakan

oleh Weinreich (1953) bahwa adanya perubahan sistem suatu bahasa

dipengaruhi oleh persentuhan bahasa dengan unsur-unsur lainnya.

Pandangan Weinreich (1953) tentang asal usul terjadinya interfrensi

sejalan dengan proses dilapangan. Interfrensi sebagai suatu gejala

kebahasaan akan tetap ada seiring dengan perkembangan zaman

kemungkinan kedepannya yang mempengaruhi adalah B3 ke B2 atau B2

ke B1 karena adanya era yang berkemajuan sehingga posisi bahasa

asing dan bahasa nasional semakin kuat dapat menggerus posisi bahasa

ibu atau bahasa daerah.

Interfrensi adalah suatu gejalah bahasa pada bidang sosiolinguistik,

bukan sebuah kesalahan berbahasa. Interfrensi bahasa tetap akan

ditemui pada proses kebahasaan dikarenakan adanya tuntutan untuk

menggunakan bahasa lebih dari satu yaitu tidak meninggalkan bahasa

daerah, menggunakan bahasa nasional dan memahami bahasa asing.


107

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasa disimpulkan bahwa

interferensi bahasa Bugis terhadap bahasa Indonesia pada masyarakat

Bugis di Kabupaten Soppeng ada tiga, yaitu interefernsi fonologi,

morfologi, dan leksikal. Interferensi dalam kajian fonologi meliputi

penghilangan fonem yaitu hilangnya fonem /h/, /k/, dan /t/. perubahan

fonem berupa berubahnya fonem /t/ menjadi fonem /nd/ penambahan

fonem yang mengikuti pelafalan dalam bahasa Bugis seperti

ditambhkannya fonem /g/, /e/ dan /g/. Selain penghilangan fonem,

perubahan fonem dan penambahan fonem juga terdapat perubahan bunyi

yaitu berubahnya bunyi [f] menjadi [p] dan [v] menjadi [p].

Interferensi dalam kajian morfologi ditemukan pada proses afiksasi

berupa prefiks dan sufiks. Prefiks dan sufiks yang ditemukan yaitu prefiksi

(ma-), (pa-) dan (ta-) sedangkan sufiksi yaitu (-mi), (-ji), dan (-ki) yang ada

pada bahasa Bugis diterapakan pada kosakata bahasa bahasa Indonesia

yang penyebabkan struktur kata jadi berubah. Interferensi pada kajian

leksikal adalah dengan terjadinya penyerapan kosakata bahasa Bugis ke

dalam bahasa Indonesia. Interferensi demikian berakibat berubahnya

stuktur kalimat dalam bahasa Indonesia.


104

Berdasarkan lingkungan informal dan formal ditemukan perbedaan

interferensi antara dua lingkungan tersebut. Pada lingkungan formal

interferensi bahasa Bugis terhadap bahasa Indonesia lebih sedikit

dibandingkan dengan di lingkungan informal lebih banyak dan bervariasi.

B. Saran

Berdasarkan hasil temuan pada penelitian tentang intereferensi

bahasa Bugis terhadapa bahasa Indonesia pada masyarakat Bugis

Kabupaten Soppeng maka ada hal yang perlu disarankan antara lain; (1)

penulis mengharap kepada semua pihak penutur bahasa Bugis maupun

bahasa daerah lain agar memperhatikan kaidah kebahasaan dalam

berkomunikasi terutama di lingkungan formal; (2) Bahasa Bugis yang

merupakan bahasa asli masyarakat Kabupaten Soppeng memiliki banyak

polemik yang harus dikaji. Diantaranya adalah kesalahan berbahasa dan

pemertahanan bahasa Bugis, maka penelitian ini wajib dilakukan secara

berkesinambungan agar masalah – masalah tersebut dapat diselesaikan;

(3) Kepada instansi pemerintahan atau pihak – pihak yang berada di

lingkungan formal agar sekiranya terbiasa menggunakan bahasa

Indonesia yang baik sesuai dengan kaidah kebahasaan bahasa

Indonesia; (4) Bagi peneliti selanjutnya yang akan meneliti tentang

interferensi bahasa khususnya bahasa Bugis terhadap bahasa Indonesia

selain mengkaji tentang struktur juga dapat melihat tentang faktor yang

mempengaruhi terjadinya interferensi bahasa dan membandingkan antara

pengaruh bahasa daerah dan bahasa asing terhadap struktur dan kaidah
107

bahasa Indonesia; (5) Sebagaia kelanjutan dari penelitian ini diharapkan

kepada peneliti selanjutnya untuk melakukan penelitian pada kajian

fonologi, morfologi, dan leksikal agar dapat menambah penemuan-

penemuan tentang interfrensi bahasa misalnya pada kajian morfologi

terdapat temuan yang baru tentang interfrensi pada proses reduplikasi

yang pada penelitian ini belum ditemukan.


106

DAFTAR PUSTAKA

Alwasilah, C. (1985). Sosiologi Bahasa. Bandung: Angkasa.


Chaer, A. (2008). Morfologi Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
Chaer, A. (2009). Fonologi Bahasa Indonesia (1 ed.). Jakarta: Rineka
Cipta.
Chaer, A. (2012). Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
Chaer, A., & Leoni, A. (2004). Sosiolinguistik Perkenalan Awal (II).
Jakarta.
Damayanti, R., Saleh, M., & Usman. (2020). Interferensi Morfologi Bahasa
Indonesia Dalam Menulis Teks Narasi Bahasa Bugis. Panrita: Jurnal
Bahasa dan Sastra Daerah, 1(2), 57–64.
Huri, D. (2014). Issn 2338-2996. PENGUASAAN KOSAKATA
KEDWIBAHASAAN ANTARA BAHASA SUNDA DAN BAHASA
INDONESIA PADA ANAK-ANAK (SEBUAH ANALISIS DESKRIPTIF-
KOMPARATIF), 2(November), 59–77.
Junus, A. M., & Junus, A. F. (2020). Anaslisi Kesalahan Berbahasa.
Makassar: Badan Penerbit UNM.
Kridalaksana, H. (2007). Pembentukan Kata Dalam Bahasa Indonesia.
Jakarta: Grmaedia Pustaka Utama.
Kridalaksana, H. (2011). Kamus Linguistik (Keempat). Jakarta: PT Ikrarr
Mandiri Abadi.
Malabar, S. (2015). Sosiolinguistik. (M. Mirnawati, Ed.). Gorontalo: Ideas
Publisihing.
Munirah, D. (2021). Interferensi Fonologis Bahasa Daerah terhadap
Bahasa Indonesia ( Studi pada Mahasiswa Penutur Bahasa Bima di
Universitas Muhammadiyah Makassar ). Nomor, Volume Page,
September Thaba, Aziz Yusuf, Akram Budiman Anjani, Hajarulhuda
Dewi Karim, Abdul, 6(September), 82–88.
Naban, P. W. . (1991). Sosiolinguistik Suatu Pengantar. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Poerba, A. (2013). Peranan Lingkungan Bahasa dalam Pemerolehan
Bahasa Kedua. Pena, 3.
Sekartaji, N. D. (2013). Interferensi Bahasa Indonesia Dalam Bahasa
Jawa Pada Album Campursari Tresna Kutha Bayu, 149.
107

Sianturi, D. (2021). UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Poliklinik


UNIVERSITAS SUMATERA UTARA. Jurnal Pembangunan Wilayah &
Kota, 1(3), 82–91.
Sudaryanto, D. . (2015). Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa.
Yogyakarta: Sanata Dharma University Press.
Sugiyono. (2015). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta.
Sugono, D., & Dkk. (2008). Kamus Besar Bahasa Indonesia (Keempat).
Jakarta: PT Gramedia.
Sukirman. (2021). Beberapa Aspek dalam Kedwibahasaan (Suatu Tinjaun
Sosiolinguistik). Jurnal Konsepsi, 9(4), 191–197. Diambil dari
https://p3i.my.id/index.php/konsepsi
Taufiq, A. M., & Nurali, M. J. (2021). Pengaruh Interferensi Bahasa Bugis
Bone Terhadap Morfologi Bahasa Indonesia Di Dusun Polewali Desa
Pasaka Kecamatan Sibulue Kabupaten Bone. Jurnal Ilmiah Mandala
Education, 7(4), 108–118. https://doi.org/10.36312/jime.v7i4.2379
108

LAMPIRAN
107

TABEL HASIL

PENELITIAN

TABEL HASIL PENELITIAN

NO KATA HASIL PENELITIAN


110

1 Piliki

2 Lia

3 Masi

4 Silakan

5 Liha

7 Taku

8 Oba

9 Tida

10 Rusa

11 Bapa

12 Coco

13 Keca

14 Maui

15 Kenyangi

16 Ceki

17 Mintai

18 Kasii

19 Pilikie

20 Macamnyae

21 Itue

22 Makang

23 Vaksing

24 Kemaring
107

25 Hujangi

26 Korang

27 Nda

28 Kompirmasi

29 Telepisi

30 Mavaksin

31 Mafoto

32 Mapputar

33 Papel

34 Pavaksine

35 Tagantung

36 Nakerjaika

37 Nabilang

38 Sayurji

39 Bisaji

40 Cocoji

50 Tujuji

51 Adami

53 Jalanmi

54 Janganmi

55 Biarmi

56 Sudami

57 Masukki
112

58 Siniki

59 Hati – hatiki

60 Cocokmi

61 Undanganmu

62 Wajunna

63 Mabbeling

64 Dariko

65 Mattunu

66 Bolumu

67 Mappettu

68 Pammikep

69 Delapang

70 Salae

71 Coconi

72 Sampulna

73 Sala

74 Aga

75 Dibawanya
107

PERSURATAN
i

Anda mungkin juga menyukai