Anda di halaman 1dari 41

1

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Bahasa merupakan sebuah sistem struktur mengenai bunyi dan urutan

bunyi Bahasa yang sifatnya manasuka yang digunakan atau yang dapat digunakan

dalam komuniasi antar individu oleh sekelompok manusia dan yang secara agak

tuntas memeberi nama kepada benda-benda, peristiwa-peristiwa, dan proses-

proses dalam lingkungan hidup manusia.

Bahasa mempunyai peranan penting dalam kehidupan manusia, salah

satunya dihgunakan untuk berkomunikasi antar manusia dan menjalin hubungan

sosial. Dengan kata lain bahasa membuat sesorang dapat berkomunikasi dengan

manusia lain. Bahasa sendiri memiliki keragaman karen digunakan oleh

masyarakat atau penutur yang heterogen serta latar belakang sosial budaya yang

berbeda.

Bahasa, masyarakat, dan budaya merupakan tiga hal yang tidak dapat

dipisahkan dan saling berkaitan. Secara tidak langsung bahasa yang akan dikaji

tersebut berhubungan langsung dengan masyarakat, sebagai penutur bahasa

tersebut. Pada dasarnya bahasa tersebut mempunyai dua aspek mendasar yaitu

aspek bentuk dan makna. Aspek bentuk berkaitan dengan bunyi, tulisan, dan

struktur bahasa, sedangkan aspek makna berkaitan dengan leksikal, fungsional

maupun gramatikal (Nababan, 2007).

Manusia mengakui sisi bahasa lewat interaksi sosial pada masa balita, dan

anak-anak sudah dapat berbicara secara fasih kurang lebih pada umur tiga tahun.
2

Penggunaan bahasa telah berakar dalam kultur manusia. Oleh karena itu, selain

digunakan untuk berkomunikasi, bahasa juga memiliki banyak fungsi sosial dan

kultural, misalnya untuk menandakan identitas suatu kelompok, stratifikasi sosial,

dan untuk dandanan sosial dan hiburan.

Bahasa manusia unik bila dibandingkan dengan bentuk komunikasi lain,

bahasa manusia tidak bersifat tertutup, malah produktif. Dengannya manusia

dapat menghasilkan sekumpulan pengucapan tak terbatas dari sekumpulan elemen

terbatas dan membuat kata-kata serta kalimat baru. Hal ini menjadi mungkin

karena bahasa manusia didasarkan pada suatu kode ganda: sejumlah elemen-

elemen tanpa arti, yang terbatas, seperti suara atau huruf atau isyarat, dapat

digabungkan untuk membentuk unit-unit makna (kata-kata atau kalimat). Lebih

lanjut simbol-simbol, dan aturan tata bahasa dari setiap bahasa pada umumnya

berubah-ubah. Ini berarti bahwa sistem tersebut hanya dapat dipelajari lewat

interaksi sosial. Sistem komunikasi yang diketahui yang digunakan pada hewan,

pada sisi lain, hanya dapat menyampaikan sejumlah pengucapan yang pada

umumnya berpindah secara genetis.

Pemakaian bahasa yang bertujuan agar dalam penyampaian dan bahasanya

dapat digunakan secara efisien dan efektif. Lambang yang digunakan dalam

bahasa bugis ialah berupa bunyi, bahasa Bugis. Bahasa Bugis digunakan oleh

suku Bugis. Suku Bugis salah satu dari berbagai suku bangsa yang ada di

Indonesia dengan populasi lebih dari empat juta orang. Orang Bugis Pinrang

berasal dari suku Bugis yang berada di Sulawesi Selatan. Ibu kotanya masuk

dalam kategori kota metropolitan di Indonesia. Etnis atau suku aslinya adalah
3

Bugis Makassar, Maros, Toraja, Bone, Pare-pare, Sidrap dan Pinrang. Ketujuh e

tnis ini merupakan suku terbesar di Sulawesi Selatan.

Dialektiologi dibagi menjadi dua sub cabang yaitu geografi dialek dan

sosialinguistik. Sosialinguistik mempelajari variasi-variasi antar struktur liguistik

dan struktur sosial. Sebaliknya, geografi dialek mempelajari variasi-variasi bahasa

berdasarkan perbedaan lokal dalam suatu wilayah bahasa, dengan kata lain,

geografi dialek mengungkapkan fakta-fakta tentang perluasan ciri-ciri linguistik

yang sekarang tercatat sebagai ciri-ciri dialek. Bidang ini tidak hanya

memperhatikan masyarakat yang telah tinggal pada suatu daerah secara turun-

temurun, biasanya pendatang membawa bahasa mereka pada suatu daerah

baru(kontak bahasa). Kontak suatu bahasa atau dielek lain dengan bahasa atau

dialek suatu daerah pengguna bahasa sehingga memiliki variasi. Masyarakat di

suatu daerah selalu mempunyai bahasa atau dialek tersendiri sebagai identitas

kelompoknya, variasi tersebut disebut juga sebagai variasi leksikal.

Suku Bugis di kenal sebagai kelompok yang berasal dari Sulawesi Selatan.

Berdasrkan sensus penduduk Indonesia tahun 2000, populasi orang Bugis sekitar

enam juta jiwa. Bahasa Bugis adalah satu bahasa dari rumpun suatu Bahasa yang

digunakan oleh suku Bugis. Bahasa Bugis terdiri dari beberapa dialek, seperti

dialek Pinrang yang mirip dialek Sidrap, sementara bahasa Daerah digunakan

penutur dalam lingkungan keluarga. Jumlah bahasa Daerah terbanyak nomor dua

setelah negara Papua Nugini yang mempunyai bahasa Daerah sejumlah 820

bahasa.
4

Ada beberapa faktor penyebab munculnya variasi, yaitu faktor geografis,

faktor kedudukan sosial, faktor situasi bahasa, namun yang berpengaruh pada

penelitian ini adalah faktor geografis karna lebih berpengaruh (Ohoiwutun &

Sudrajat, 1997). Faktor geografis juga dapat digunakan sebagai dasar untuk

menentukan bahasa maupun dialek. Semakin dekat suatu daerah dengan daerah

lain, maka semakin sedikit perbedaan yang bisa kita dapat di dalam bahasanya,

begitupun sebaliknya semakin jauh letak suatu daerah dengan daerah lain, maka

semakin banyak juga perbedaaan bahasanya. Dalam hal tersebut banyak juga

dijumpai kelemahan-kelemahannya.

Kabupaten Pinrang merupakan salah satu Kabupaten yang berada di

provinsi Sulawesi Selatan. Kabupaten ini terletak 185 Km dari Kota Makassar

arah utara yang berbatasan dengan kabupaten Polewali Mandar, provinsi Sulawesi

Barat. Dilihat dari segi bahasa, bahasa Bugis Pinrang sangat mirip dengan bahasa

bugis Sidrap, Parepare, Soppeng, Wajo, dan Palopo. Suku Bugis mempunyai

bahasa tersendiri dengan dilengkapi huruf lontara, uniknya bahasa Bugis

mempunyai bahasa yang bervariasi sehingga mengakibatkan bahasa Bugis ada

yang kasar dan ada yang halus. Bahkan setiap desa atau kelurahan memiliki dialek

dan intonasi yang berbeda-beda dalam penyampainnya. Letaknya di Desa Tantu

dan Desa Paria Kabupaten Pinrang letaknya di Kecamatan Duampanua yang

mempunyai keunikan dialek yang berbeda-beda sehingga cara penyampaian

dialeknya pun berbeda-beda.

Duampanua adalah sebuah Kecamatan di Kabupaten Pinrang, daerah ini

juga merupakan Kecamatan kedua terluas wilayahnya setelah Kecamatan


5

Lembang dan kecamatan kedua dengan jumlah penduduk terbanyak setelah

Kecamatan Watang Sawitto menjadikan Duampanua menjadikan salah satu

Kecamatan terbesar di Kabupaten Pinrang.

Dialek merupakan cabang linguistik yang memepelajari variasi bahasa,

adapun yang dimaksud dengan variasi bahasa adalah perbedaan-perbedaan

bahasa, perbedaan itu mencangkup unsur kebahasaan, yaitu perbedaan bunyi

bahasa atau lafal, perbedaan struktur kalimat, perbedan makna.

Dari beberapa Daerah masing-masing memiliki variasi bahasa, variasi

tersebut dapat berupa perbedaan kata dan perbedan ucapan dari seseorang dari

waktu kewaktu dan dari tempat ke tempat lain. Dialek berguna untuk mencari

hubungan kekeluargaan diantara berbagai dialek, tujunnya yaitu mencari

perubahan bunyi dan bentuk kata, beserta maknanya sebagai ilmu dialek mencari

tahu perbedaan unsur kebahasaan yang berkaitan dengan faktor geografis, oleh

karena berkaitannya faktor geografis, dialek membutuhkan ilmu geografi untuk

melakukan pemetaan.

Terminologi dialektiolgi mengalami penyempitan pergantian yakni sebagai

kajian geografi dialek yang menyatakan bahwa kajian variasi Bahasa yang

berkaitan dengan distribusi geografis penutur, dialektiologi sebagai kajian variasi

bahasa.

Bahasa Bugis dialek Sawitto merupakan bahasa sehari-hari bagi

masyarakat Pinrang baik yang masih berada di daerah asal maupun yang sudah

merantau ke daearah lain tetapi masih aktif berbahasa Bugis dialek Sawitto.
6

Sekitar 6.000 sampai 7.000 jumlah beragam bahasa di dunia ini, sebagaian

bergantung pada perubahan antara bahasa dan dialek.

Dialek Bahasa Bugis adalah salah satu bahasa yang digunakan oleh suku

Bugis. Penutur bahasa Bugis umumnya tinggal di Sulawesi Selatan. Indonesia

kaya bahasa Daerah satu diantaranya adalah bahasa Bugis, bahasa Bugis sebagai

salah satu kekayaan bahasa Daerah di Indonesia tercermin dalam kasus ini, bahasa

Bugis adalah bahasa yang digunakan etnik Bugis di Sulawesi Selatan, yang

tersebar di kabupaten yaitu Kabupaten Maros, Kabupaten Pangkep, Kabupaten

Barru, Kota Pare-pare, Kabupaten Pinrang, Kabupaten Enrekang, sebahagian

Kabupaten Majene, Kabupaten Luwu, Kabupaten Sidenreng Rappang, Kabupaten

Soppeng, Kabupaten Wajo, Kabupaten Bone, Kabupaten Sinjai, Kabupaten

Bulukumba, dan Kabupaten Bantaeng.

Kontak suatu bahasa atau dialek lain dengan bahasa atau dialek suatu

daerah pengguna bahasa membuat bahasa memiliki berbagai variasi. Masyarakat

di suatu daerah selalu mempunyai bahasa atau dialek tersendiri sebagai identitas

kelompoknya, variasi tersebut disebut juga sebagai variasi leksikal.

Dengan demikian sebagian masyarakat Duampanua ada yang berasal dari

daerah lain, mereka datang dengan tujuan yang berbeda-beda, baik untuk

panggilan tugas, menuntut ilmu, menetap tinggal, maupun mencari nafkah. Situasi

seperti ini memungkinkan terjadinya kontak antara dialek Sawitto dengan

berbagai bahasa lainnya sehingga bisa saja terjadi pergeseran dialek Sawitto yang

telah berbaur dengan dialek bahasa lainnya. Dari kontak dan pencampuran
7

tersebut, besar kemungkinan ada satu bahasa atau dialek yang kompetensinya

lebih tinggi atau lebih dominan mempengaruhi tergesernya bahasa-bahasa lain,

termasuk dialek Sawitto.

Variasi bahasa penting untuk diteliti karena pada dasarnya meneliti variasi

bahasa yang ada dalam masyarakat penggunaan bahasa tersebut, variasi bahasa

inilah yang dikumpukan oleh peneliti bahasa untuk diberi makna. Oleh sebab itu

penelitin dengan judul variasi bahasa Bugis dialek Sawitto Kabupaten Pinrang ini

menarik untuk dikaji karena terdapat variasi bahasa yang digunakan

masyarakatnya dalam berkomunikasi dan memudahkan untuk meneliti karena

peneliti sendiri berasal dari daerah Duampanua Kabupaten Pinrang

Ada beberapa penelitian yang dipandang relevan dengan penelitian ini,

yaitu di antaranya penelitian yang dilakukan oleh Muh Arwan M (2009) dengan

judul penelitian “Variasi dialek bahasa Bugis di Kabupaten Barru (studi kasus 2

kecamatan) dengan hasil penelitian terdapat beberapa perbedaan penggunaan

bahasa antara kedua Desa tersebut yaitu Kelurahan Lompo Riaja yang terletak di

Kecamatan Tanete Riaja akan terlihat berbeda penggunaan bentuk bahasanya

dengan Desa Siawung yang terletak di Kecamatan Barru, karena Kecamatan

Tanete Riaja terutama Kelurahan Lompo Riaja merupakan daerah agraris dan

daerah pegunungan, sementara Kecamatan Barru adalah daerah pusat perkotaan

dan dekat dengan daerah pesisir. Penelitian berikutnya yang dilakukan oleh

(Rachmawati, n.d.) 2007 dengan penelitian yang berjudul “Distribusi dan

Pemetaaan Varian-varian Bahasa Bugis di Pulau Lombok”. Secara sinkronis,

pengelompokan daerah pengamatan-pengamatan yang bertetangga kedalam


8

daerah dialek atau subdialek didasarkan pada analis dialektometri. Berdasarkan

analis terungkap bahwa BBL di Pulau Lombok terbagi kedalam dua dialek, yaitu

Dialek Bugis Haji Lombok (DBHLK) dan Dialek Bugis Pelangan (DBP).

DBHLK penuturnya Sebagian besar penyebar di Desa Labuhan Haji Kecamatan

Labuhan Haji, Desa Labuhan Lombok, kecamatan Pringgabaya, dan Desa

Pelangan Kecamatan Sekotong Barat. Sementara penelitian yang akan saya

lakukan berfokus di Kecamatan Duampanua Kabupaten Pinrang meskipun secara

rumpun sama-sama menggunakan bahasa Bugis.

Dari beberapa penelitian yang pernah dilakukan, peneliti beranggapan

bahwa terdapat perbedaan dan persamaan penelitian bahasa yang akan dilakukan

yakni meneniliti tentang variasi bahasa. Penelitian ini memiliki tempat atau lokasi

yang berbeda serta menggunakan Teknik rekam, Teknik simak-catat, dan Teknik

wawancara yang berbeda dari Teknik yang digunakan peneliti sebelumnya.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah:

1. Bagaimanakah variasi fonologis bahasa Bugis dialek Sawitto Kabupaten

Pinrang?

2. Bagaimanakah variasi leksikon bahasa Bugis dialek Sawitto Kabupaten

Pinrang?

C. Tujuan Penelitian

1. Mendeskripsikan variasi fonologis bahasa Bugis dialek Sawitto Kabupaten

Pinrang.
9

2. Mendeskripsikan variasi leksikon bahasa Bugis dialek Sawitto Kabupaten

Pinrang.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapakan dapat memberikan manfaat baik secara

teoretis maupun maupun secara praktis. Manfaat yang diharapkan dari peneliti ini

adalah:

1. Manfaat Teoretis

Manfaat teoretis ini diharapkan dapat memberi masukan dan

pengembangan bahasa, khususnya di daerah Kecamatan Duampanua Kabupaten

Pinrang. Serta dapat memberikan pemikiran tentang perbedaan fonologis dan

leksikon di Duampanua Kabupaten Pinrang. Penelitian ini diharapkan dapat

memberi wawasan pengetahuan terutama dalam bidang kebahasaan khususnya

dalam bidang dialektologi.

2. Manfaat Praktis

Manfaat praktis dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan data atau

informasi tentang:

a. Perbedaan bahasa Bugis di Duampanua Kabupaten Pinrang.

b. Perkembangan bahasa Bugis di Duampanua Kabupaten Pinrang

c. Masyarakat dapat mengetahui berbagai variasi fonologis bahasa Bugis dialek

umumnya dan khususnya di Duampanua Kabupaten Pinrang.

d. Menjadi acuan bagi semua pihak yang ingin mengkaji penelitian ini lebih

dalam.
10

e. Masukan kepada pemerintah, khusunya Pusat Pembinaan dan Pengembangan

Bahasa sebagai lembaga daerah yang bertanggung jawab terhadap pembinaan

bahasa-bahasa daerah di Indonesia.


11

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

A. Tinjauan Pustaka

1. Variasi bahasa

Variasi Bahasa merupakan pola tuturan manusia yang mencakub bunyi,dan

ciri-ciri gramatikal yang secara unik dapat dihubungkan dengan faktor eksternal

seperti geografis dan faktor sosial ( Atmawati, Dwi:2006 ). Bahasa adalah sebuah

sistem, artinya bahasa itu dibentuk oleh sejumlah komponen yang berpola secara

tetap dan dapat dikaidahkan.

Menurut Nababan (1984: 46) bahasa ialah suatu sistem isyarat (semiotik)

yang terdiri dari unsur -unsur isyarat dan hubungan antara unsur-unsur itu.

Dalam teori struktural, bahasa dapat didefinisikan sebagai suatu sistem

tanda arbitrer yang konvensional (Soeparno, 2002: 1). Berkaitan dengan ciri

sistem, bahasa bersifat sistematik dan sistemik. Bersifat sistematik karena

mengikuti ketentuanketentuan atau kaidah yang teratur. Bahasa juga bersifat

sistemik karena bahasa itu sendiri merupakan sistem atau subsistem-subsistem.

Maryono (2002: 18) membagi wujud variasi bahasa berupa idiolek,

dialek, tingkat tutur (speech levels), ragam bahasa dan register. Penjelasan

kelima variasi bahasa tersebut dapat dijelaskan seperti berikut :

a. Idiolek merupakan variasi bahasa yang sifatnya individual, maksudnya sifat

khas tuturan seseorang berbeda dengan tuturan orang lain.

Contoh : bahasa yang dapat dilihat melalui warna suara.


12

b. Dialek merupakan variasi bahasa yang dibedakan oleh perbedaan asal

penutur dan perbedaan kelas sosial penutur, oleh karena itu, muncul

konsep dialek geografis dan dialek sosial (sosiolek)

Contoh : Enyong berarti saya yang digunakan di daerah tertentu yaitu daerah

banyumasan.

c. Tingkat tutur (speech levels) merupakan variasi bahasa yang disebabkan

oleh adanya perbedaan anggapan penutur tentang relasinya dengan mitra

tutur.

Contoh : kita memberika sesuatu pada orang yang lebih tua menggunakan

bahasa yang berbeda dengan kita memberikan kepada teman yang sebaya.

d. Ragam bahasa merupakan variasi bahasa yang disebabkan oleh adanya

perbedaan dari sudut penutur, tempat, pokok turunan dan situasi. Dalam

kaitan dengan itu akhirnya dikenal adanya ragam bahasa resmi (formal) dan

ragam ;bahasa tidak resmi (santai, akrab).

Variasi atau ragam bahasa merupakan bahasan pokok dalam studi

sosiolinguistik, sehingga Kridalaksana (1975) mendefinisikan sosiolinguistik

sebagai cabang linguistik yang berusaha menjelaskan ciriciri variasi bahasa dan

menetapkan korelasi ciri-ciri variasi bahasa tersebut dengan ciri-ciri sosial

kemasyarakatan. Kemudian dengan mengutip pendapat Fishman (1971:4)

Kridalaksana mengatakan bahwa sosiolinguistik adalah ilmu yang mempelajari

ciri dan fungsi berbagai variasi bahasa, serta hubungan di antara bahasa dengan

ciri dan fungsi dalam suatu masyarakat bahasa. Bahasa mempunyai sistem dan

subsistem yang dipahami sama oleh semua penutur bahasa. Karena penutur
13

bahasa tersebut berbeda dalam masyarakat tutur, tidak merupakan kumpulan

manusia yang homogen, maka wujud bahasa. Hartman dan Strok (1972)

membedakan variasi berdasarkan kriteria (a) latar belakang geografi dan

sosialpenutur, (b) medium yang digunakan dan (c) pokok pembicaraan. Halliday

(1970,1990) membedakan variasi bahasa berdasarkan (a) pemakai yang disebut

dialek dan (b) pemakaian yang disebut register.

Variasi bahasa itu pertama- tama kita bedakan berdasarkan penutur dan

penggunaannya. Berdasarkan penutur berarti, siapa yang menggunakan bahasa

itu, di mana tinggalnya, bagaimana kedudukan sosialnya di dalam masyarakat,

apa jenis kelaminya, dan kapan bahasa itu digunakan. Berdasarkan pengunanya

berarti bahasa itu digunakan untuk apa, dalam bidang apa, apa jalur dan alatnya,

dan bagaimana situasi keformalannya.

1. Variasi dari Segi Penutur

Variasi bahasa pertama yang kita lihat berdasarkan penuturnya adalah

variasi bahasa yang disebut idiolek. Yakni variasi bahasa yang bersifat

perseorangan. Menurut konsep idiolek, setiap orang mempunyai variasi bahasa

bahasanya atau idioleknya masing-masing.

Variasi idiolek ini berkenaan dengan warna suara,pilihan kata,gaya bahasa

susunan kalimat dan sebagainya. Namun yang paling dominan adalah warna

suara sehingga jika kita cukup akrab dengan seseorang, hanya dengan

mendengar suara bicaranya tanpa melihat orangnya, kita dapat mengenalinya.

Mengenali idiolek seseorang dari bicaranya memang lebih mudah daripada

melalui karya tulisnya. Namun kalau kita sering membaca Hamka,Alisjahbana,


14

atau Shakespeare, maka pada suatu waktu kelak bila kita menemui selembar

karya mereka, meskipun tidak dicantumkan nama mereka, maka kita dapat

mengenali lembaran itu karya siapa. Kalau setiap orang memiliki idoioleknya

masing-masing maka apakah idiolek itu menjadi banyak? Ya, memang

demikian bila ada 1000 orang penutur, misalnya maka akan ada 1000 idiolek

dengan cirinya masing-masing yang meskipun sangat kecil atau sedikit

cirinya tetapi masih tetap menunjukkan idioleknya. Dua orang kembar pun,

warna suaranya yang menandai idioleknya masih dapat dibedakan.

Variasi bahasa kedua berdasarkan penuturnya disebut dialek, yakni

variasi bahasa dari sekelompok penutur yang jumlahnya relatif yang berada

pada suatu tempat,wilayah,atau area tertentu. Karena dialek ini lazim disebut

dialek areal,dialek regional,atau dialek geografi. Para penutur dalam suatu

dialek, meskipun mereka mempunyai idioleknya masing-masing, meliki

kesamaan ciri yang menandai dialeknya juga. Misalnya, bahasa Jawa dialek

Banyumas memiliki ciri tersendiri yang berbeda dengan ciri yang dimiliki

bahasa Jawa dialek Pekalongan,dialek Semarang atau juga dialek Surabaya.

Para penutur bahasa Jawa Banyumas dapat berkomunikasi dengan baik

dengan para penutur bahasa Jawa dialek Pekalongan, Semarang ,Surabaya,

atau juga bahasa Jawa dialek lainnya. Mengapa? Karena dialek-dialek

tersebut masih termasuk bahasa yang sama, yaitu bahasa Jawa. Memang

kesaling- mengertian antara anggota dari satu dialek dengan anggota dialek

lain bersifat relatif bisa besar,kecil atau juga bisa sangat kecil. Lalu kalau

kesaling- mengertian tidak ada sama sekali maka kedua bahasa penutur dari
15

kedua dialek yang berbeda itu bukanlah dari sebuah bahasa yang sama

melainkan dari dua bahasa yang berbeda. Dalam kasus bahasa Jawa dialek

Banten dan bahasa dialek Cirebon sebenarnya kedua bahasa sudah berdiri

sendiri-sendiri, sebagai bahasa yang bukan lagi bahasa Jawa tetapi karena

secara historis keduanya adalah berasal dari bahasa Jawa, maka keduanya juga

dapat dianggap sebagai dialek-dialek dari bahasa Jawa. Penggunaan istilah

dialek dan bahasa dalam masyarakat umum memang seringkali bersifat ambigu.

Secara linguistik jika masyarakat tutur masih saling mengerti,maka alat

komunikasi adalah dua dialek dari bahasa yang sama. Namun, secara politis

meskipun dua masyarakat tutur bisa saling mengerti karena kedua lat

komunikasi verbalnya mempunyai kesamaan sistem dan subsistem tetapi

keduanya dianggap sebagai dua bahasa yang berbeda. Contohnya, bahasa

Indonesia dan bahasa Malaysia, yang secara linguistik adalah sebuah bahasa

tetapi secara politis dianggap sebagai dua bahasa yang berbeda.

Bidang studi lingustik yang mempelajari dialek-dialek ini adalah

dialektologi. Bidang studi ini dalam kerjanya berusaha membuat peta

batasbatas dialek dari sebuah bahasa, yakni dengan cara membandingkan

bentuk dan makna kosakata yang digunakan dalam dialek. Namun,perlu

dicatat bahwa dialektologi secara lebih luas juga membuat peta batas-batas

bahasa.

Variasi ketiga berdasarkan penutur yang disebut kronolek atau Dialek

temporal, yakni variasi bahasa yang digunakan oleh kelompok sosial pada

masa tertentu. Umpamanya, variasi bahasa Indonesia pada masa tahun tiga
16

puluhan, variasi bahasa Indonesia pada masa tahun lima puluhan, dan variasi

yang digunakan pada masa kini.

Variasi bahasa pada ketiga zaman itu tentunya berbeda, baik dari segi

lafal, ejaan, morfologi, maupun sintaksis. Yang paling tampak biasanya dari

segi leksikon, karena bidang ini mudah sekali berubah akibat perubahan

sosial budaya,ilmu pengetahuan, dan teknologi. Jika membaca buku yang

diterbitkan dari tiga zaman yang berbeda,kita akan melihat perbedaan itu.

Dalam bahasa Inggris zaman sebelum Shakespeare, zaman Shakespeare,

dan zaman sekarang. Variasi bahasa yang keempat berdasarkan penuturnya yang

disebut sosiolek atau dialek sosial, yakni variasi bahasa yang berkenaan dengan

status,golongan,dan kelas sosial para penuturnya. Dalam sosiolinguistik

biasanya variasi inilah yang paling banyak dibicarakan dan paling banyak waktu

untuk membicarakannya, karena variasi ini menyangkut semua masalah pribadi

para penuturnya seperti usia, pendidikan, pekerjaan, tingkat kebangsawanan,

keadaan sosial ekonomi, dan sebagainya. Berdasarkan usia, kita bisa melihat

perbedaan variasi bahasa yang digunakan oleh kanak- kanak,para remaja,orang

dewasa,dan orang yang tergolong lansia (lanjut usia).

Perbedaan variasi bahasa di sini bukanlah yang berkenaan dengan

isinya,isi pembicaraan melainkan perbedaan dalam bidang morfologi, sintaksis,

dan kosakata. Berdasarkan pendidikan kita juga bisa melihat adanya variasi

sosial ini para penutur yang beruntung memperoleh pendidikan tinggi akan

berbeda variasi bahasanya dengan mereka yang hanya berpendidikan menengah,

rendah atau tidak berpendidikan sama sekali. Perbedaan ini yang paling jelas
17

adalah dalam bidang kosakata,pelafalan,dan juga morfologis dan sintaksis.

Berdasarkan jenis kelamin penutur ada dua jenis variasi bahasa. Contohnya

percakapan yang dilakukan oleh sekelompok mahasiswi atau ibu-ibu

dibandingkan dengan percakapan yang dilakukan sekelempok bapak-bapak.

Pasti kita dapat melihat perbedaan variasi keduanya. Dalam ini juga adanya

variasi bahasa yang digunakan oleh para waria dan kaum gay,dua kelompok

yang mempunyai penyimpangan seks (Muhadjir dan Basuki Suhardi,1990).

Perbedaann pekerjaan, profesi, atau tugas para penutur dapat juga

menyebakan variasi sosial. Kita bisa melihat bahasa yang digunakan para

buruh,pedagang kecil,pengemudi kendaraan umum, para guru,para tokoh

agama,dan para pengusaha. Pasti kita akan menangkap variasi bahasa mereka

yang berbeda antara satu dengan lainnya. Perbedaan bahasa mereka terutama

karena lingkungan tugasa mereka dan apa yang mereka kerjakan. Perbedaan

variasi bahasa yang digunakan terutama tampak pada bidang kosakata yang

digunakan.

Di dalam masyarakat tutur yang masih mengenal tingkat-tingkat

kebangsawanan dapat pula kita lihat variasi bahasa yang berkenaan dengan

tingkat-tingkat kebangsawan itu. Bahasa Jawa,bahasa Sunda,dan bahasa Bali

mengenal variasi kebangsawan ini. Dalam bahasa Melayu dulu diajarkan yang

disebut “bahasa raja-raja”, yang bedakan dengan bahasa umum terutama dalam

bidang kosakatanya. Contohnya mandi dan mati maka dalam bahasa raja-raja

akan menjadi bersiram dan mangkat.


18

Keadaan sosial ekonomi para penutur dapat juga menyebakan adanya

variasi bahasa. Pembedaan kelompok masyarakat berdasarkan status sosial

ekonomi yang tidak sama dengan pembedaan berdasarkan tingkat

kebangsawanan sebab dalam zaman modern ini status sosial ekonomi yang

tinggi tidak lagi identik dengan status kebangsawanan yang tinggi. Bisa saja

terjadi berdasarkan keturunan memiliki status ekonomi yang tinggi. Sebaliknya,

tidak berketurunan bangsawanan tetapi kini memilki status sosial ekonomi yang

tinggi.

2. Variasi dari Segi Pemakaian

Variasi bahasa berkenaan dengan penggunaannya, pemakaiannya, atau

fungsi disebut fungsiolek (Nababan 1984),ragam atau register. Variasi ini

biasanya dibicarakan berdasar bidang penggunaan,gaya,atau tingkat

keformalan,dan sarana penggunaan. Variasi bahasa berdasarkan bidang

pemakaian ini adalah menyangkut bahasa itu digunakan untuk keperluan atau

bidang apa. Misalnya, bidang sastra jurnalistik,olahraga seperti sepakbola &

bulutangkis, militer, pertanian, pelayaran, perekonomian, perdagangan,

pendidikan, dan kegiatan keilmuan.

Variasi bahasa berdasarkan bidang kegiatan ini paling tampak cirinya

adalah dalam bidang kosakata. Setiap bidang kegiatan ini biasanya mempunyai

sejumlah kosakata khusus atau tertentu yang tidak digunakan dalam bidang lain.

Namun demikian, variasi berdasarkan bidang kegiatan ini tampak pula dalam

tataran morfologi dan sintaksis. Variasi bahasa atau ragam bahasa sastra

biasanya menekankan penggunaan bahasa dari segi estetis, sehingga dipilihlah


19

dan dipergunakanlah kosakata yang secara estetis memiliki ciri eufoni serta daya

ungkap yang paling tepat. Stuktur morfologi dan sintaksis yang normatif

seringkali dikorbankan dan dihindarkan untuk mencapai efek keeufonian dan

kedayaunkapan yang tepat. Begitu juga kalau dalam bahasa umum orang

mengungkapkan sesuatu secara lugas dan polos, tetapi dalam ragam bahasa

sastra akan diungkapkan secara estetis dalam bahasa umum orang,misalnya akan

mengatakan, “Saya sudah tua”, tetapi dalam bahasa sastra Ali Hasjmi,seorang

penyair Indonesia, mengatakan dalam bentuk puisi.

Pagiku hilang sudah melayang

Hariku mudaku sudah pergi

Sekarang petang datang membayang

Batang usiaku sudah tinggi

Ragam bahasa jurnalistik juga mempunyai ciri tertentu, yakni bersifat

sederhana, komunikatif,dan ringkas. Sederhana karena harus dipahami dengan

mudah; komunikatif karena jurnalistik harus menyampaikan berita secara tepat

dan ringkas karena keterbatasan ruang (dalam media cetak), dan keterbatasan

waktu (dalam media elektronika). Dalam bahasa Indonesia ragam jurnalistik ini

dikenal dengan sering ditanggalkannya awalan me- atau awalan ber- yang

didalam ragam bahasa baku harus digunakan. Contohnya, “Gubernur meninjau

daerah banjir”). Contoh, lain,”Anaknya sekolah di Bandung”(dalam bahasa

ragam baku adalah,”Anaknya bersekolah di Bandung”).

Ragam bahasa Olahraga Sepakbola yang biasa dipakai dengan isitilah

persepakbolaan contohnya, kata goal yang berarti berhasil memasukan bola ke


20

dalam gawang lawan. Sedangkan arti dalam kamus bahasa Indonesia berarti

tujuan. Mungkin bagi kalangan di luar pemain sepakbola istilah-istilah sukar

dipahami, tetapi bagi kalangan pemain sepakbola tidak menjadi persoalan.

Ragam bahasa ilmiah yang jga dikenal dengan cirinya yang lugas

jelas,bebas dari keambiguan serta segala macam metafora dan idiom. Bebas

dari segala keambiguan karena bahasa ilmiah harus memberikan informasi

keilmuan secara jelas,tampa keraguan akan makna dan terbebas dari

kemungkinan tafsiran makna yang berbeda. Oleh karena itulah juga bahasa

ilmiah tidak menggunakan segala macam metafora dan idiom.

Variasi bahasa berdasarkan fungsi ini lazim disebut register. Dalam

pembicaraan tentang register ini biasanya dikaitkan dengan masalah dialek.

Kalau dialek berkenaan dengan bahasa itu digunakan oleh siapa,di mana, dan

kapan, maka register berkenaan dengan masalah bahasa itu digunakan untuk

kegiatan apa. Dalam kehidupan mungkin saja seseorang hanya hidup dengan satu

dialek, misalnya, seorang penduduk di desa terpencil di lereng gunung atau di tepi

hutan. Tetapi, dia pasti tidak hidup hanya dengan satu register,sebab dalam

kehidupannya sebagai anggota masyarakat, bidang kegiatan yang harus dilakukan

pasti lebih dari satu. Dalam kehidupan modern pun ada kemungkinan adanya

seseorang yang hanya mengenal satu dialek; namun pada umumnya dalam

masyarakat modern orang hidup dengan lebih dari satu dialek (regional maupun

sosial) dan menggeluti sejumlah register, sebab dalam masyarakat modern orang

sudah pasti berurusan dengan sejumlah kegiatan yang berbeda.


21

3. Variasi dari Segi Keformalan

Berdasarkan tingkat keformalan menurut Martin Joos (1967) dalam

bukunya The Five Clock membagi variasi bahasa atas lima macam gaya (style),

yaitu gaya atau ragam beku (frozen), gaya atau ragam resmi (formal), gaya atau

ragam usaha (konsultatif), gaya atau ragam santai (casual), dan gaya atau

ragam akrab (intimate).

Ragam baku adalah variasi bahasa yang paling formal, digunakan

dalam situasi–situasi khidmat dan upacara resmi misalnya, dalam upacara

kenegaraan, khotbah digereja atau dimesjid, tata cara pengambilan sumpah; kitab

undang-undang, akte notaris, dan surat-surat keputusan. Disebut ragam beku

karena pola dan kaidahnya sudah ditetapkan secara mantap, tidak boleh diubah.

Dalam bentuk tertulis ragam beku ini kita dapati dalam dokumen bersejarah

seperti undang-undang dasar, naskah perjanjian jualbeli. Perhatikan contoh berikut

yang diangkat dari naskah pembukaan Undang-undang Dasar 1945.

Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh

karena itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai

dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.

Kalimat-kalimat yang dimulai dengan kata bahwa,maka,dan sesungguhnya

menandai ragam beku dari variasi bahasa tersebut. Susunan kalimat dalam ragam

beku biasanya panjang-panjang, bersifat kaku, katakatanya lengkap. Dengan

demikian para penutur dan pendengar ragam beku dituntut keseriusan dan

perhatian yang penuh.


22

Ragam resmi atau formal adalah variasi bahasa yang digunakan dalam

pidato kenegaraan, rapat dinas, surat-menyurat dinas, ceramah keagamaan, buku-

buku pelajaran, dan sebagainya. Pola dan kaidah ragam resmi sudah ditetapkan

secara mantap sebagai suatu standar. Ragam resmi ini pada dasarnya sama dengan

ragam bahasa baku atau standar yang hanya digunakan dalam situasi resmi dan

tidak dalam situasi yang tidak resmi. Jadi, percakapan antarteman yang sudah

karib atau percakapan dalam keluarga tidak menggunakan ragam resmi. Tetapi

pembicaraan dalam acara peminangan,pembicaraan dengan seorang dekan di

kantornya atau diskusi dalam ruang kuliah adalah menggunakan bahasa resmi.

Ragam usaha atau ragam konsultatif adalah variasi bahasa yang lazim

digunakan dalam pembicaraan biasa di sekolah, rapat-rapat atau pembicaraan

yang berorientasi kepada hasil atau produksi. Jadi dapat dikatakan ragam usaha

ini adalah ragam bahasa yang paling operasional. Wujud ragam usaha ini

berada di antara ragam formal dan ragam informal atau ragam santai.

Ragam santai atau ragam kasual adalah variasi bahasa yang digunakan

dalam situasi tidak resmi untuk berbincang-bincang dengan keluarga atau teman

karib pada waktu beristirahat, berolahraga, berekreasi, dan sebagainya. Ragam

santai ini banyak menggunakan bentuk kata atau ujaran yang dipendekkan.

Kosakatanya banyak dipenuhi unsur leksikal dialek dan unsur bahasa daerah.

Demikian juga dengan stuktur morfologi dan sintaksisnya. Seringkali stuktur

morfologi dan sintaksis yang normatif tidak digunkan.

Ragam akrab atau ragam intim adalah variasi bahasa yang biasa

digunakan oleh para penutur yang hubungannya sudah akrab, seperti antara
23

anggota keluarga atau antar teman yang sudah karib. Ragam ini ditandai

dengan penggunaan bahasa yang tidak lengkap,pendek-pendek dan dengan

artikulasi yang seringkali tidak jelas. Hal ini terjadi karena di antara partisipan

sudah ada saling pengertian dan memiliki pengetahuan yang sama.

Sebenarnya banyak faktor lain yang menentukan pilihan ragam mana

yang harus digunakan. Kita ambil saja contoh bahasa surat kabar meskipun

secara keseluruhan termasuk dalam penggunaan ragam jurnalistik dengan ciri-

ciri yang khas, tetapi kita lihat pada rubrik editorial atau tajuk rencana

digunakan ragam resmi, pada berita-berita kejadian sehari-hari digunakan ragam

usaha pada rubrik pojok digunakan ragam santai dan pada teks karikatur actual

digunakan ragam akrab. Namun, dalam iklan pemberitahuan dari instansi

pemerintah seperti, berita lelang, pemberitahuan mengenai masalah tanah dari

kantor pertanahan digunakan ragam beku. Jadi penggunaaan ragam- ragam

keformalan itu seringkali tidak terpisah-pisah, melainkan berganti-ganti menurut

keperluannya.

4. Variasi Bunyi Bahasa

Bunyi bahasa merupakan unsur Bahasa yang palin kecil, istilah bunyi

bahasa atau fon merupakan terjemahan dari bahasa inggris phone ‘bunyi’. Bunyi

bahasa menyangkut getaran udara. Bunyi ini terjadi karena dua benda atau lebih

bergeseran atau berbentura. Sebagai getaran udara, bunyi bahasa suara yang

dikeluarkan oleh mulut, kemudian gelombang-gelombang bunyi sehingga dapat

diterima oleh telinga.


24

Perubahan bunyi yang muncul secara teratur disebut korespondensi,

sedangkan perubahan bunyi yang muncul secara sporadis disebut variasi Mahsun,

1995:28. Variasi bunyi dapat berupa perubahan dari yang sama menjadi berbeda,

dari yang berbeda menjadi sama, pelesapan atau penghilangan, penambahan, atau

perubahan letak bunyi-bunyi yang terdapat dalam kata-kata bahasa yang

berkerabat. Perubahan bunyi yang tergolong variasi adalah:

a. Asimilasi

Asimilasi merupakan suatu proses perubahan bunyi ketika dua fonem yang

berbeda dalam bahasa proto mengalami perubahan menjadi fonem yang sama

dalam bahasa sekarang atau proses perubahan satu segmen bunyi menjadi

serupa dengan yang lainnya. Asimilasi ini ada yang disebut asimilasi total atau

identik, dan ada yang disebut sebagai asimilasi parsial atau sebagian saja.

Asimilasi total atau identik terjadi apabila perubahan terjadi secara total. atau

seluruhnya, sedangkan asimilasi parsial terjadi apabila perubahan terjadi bila

hanya sebagian ciri-ciri fonetis bunyi-bunyi tersebut yang disamakan.

b. Disimilasi

Disimilasi merupakan kebalikan dari asimilasi. Jika asimilasi perubahan

yang tidak sama menjadi sama, dalam disimilasi perubahan bunyi terjadi dari

yang sama menjadi tidak sama.

c. Metatesis

Metatesis merupakan perubahan bunyi yang berkaitan dengan perubahan

letak bunyi-bunyi bahasa. Perubahan letak bunyi-bunyi ini akan menghasilkan

kata-kata yang berbeda tetapi masih berada dalam lingkup makna yang sama.
25

d. Swarabakti

Swarabakti ini disebut juga sebagai bunyi pelancar atau pelancar bunyi.

Sering sekali bunyi-bunyi tertentu muncul ketika bunyi berupa gugus konsonan

atau gugus vokal hadir. Sebenarnya, sebagian beranggapan bahwa swarabakti

ini adalah bentuk penambahan bunyi seperti layaknya protesis, epentesis, dan

paragoge. Akan tetapi, dalam swarabakti atau bunyi pelancar ini, bunyi yang

muncul adalah bunyi-bunyi yang memang berfungsi untuk melancarkan bunyi.

5. Variasi Fonologis

Variasi fonologis adalah variasi bahasa yang terdapat dalam bidang

fonologi, yang mencakup variasi bunyi dan variasi fonem (Nadra dan Reniwati,

2009:23). Kajian bunyi bahasa dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu

fonetik dan fonemik. Fonetik adalah cabang kajian linguistik yang meneliti

bunyi-bunyi tanpa melihat apakah bunyi itu dapat membedakan makna atau

tidak (Chaer, 2007:10). Secara umum, fonetik dapat dibagi atas fonetik

artikulatoris, fonetikakustik, dan fonetik auditoris. Fonetik artikulatoris adalah

fonetik yang mempelajari bagaimana mekanisme alat-alat bicara manusia

bekerja dalam menghasilkan bunyi bahasa. Fonetik akustik mempelajari

bagaimana arus bunyi yang telah keluar dari rongga mulut, sedangkan fonetik

auditoris mempelajari bagaimana bunyi itu diinderakan melalui alat

pendengaran dan syaraf si pendengar (Samsuri, 1987:93).

Fonemik adalah bunyi bahasa yang dapat atau berfungsi membedakan

makna kata (Chaer, 2007:125). Pada dasarnya, bunyi bahasa dibagi menjadi

tiga kelas bunyi, yaitu konsonan, vokal, dan diftong. Namun, Samsuri
26

mengelompokkan bunyi bahasa menjadi dua golongan besar, yaitu bunyi

vokoid dan bunyi kontoid. Vokoid adalah bunyi yang diucapkan tidak

mendapatkan halangan sehingga arus udara dapat mengalir dari paru-paru ke

bibir dan keluar tanpa hambatan. Kontoid adalah bunyi yang pengucapannya

mengalami hambatan oleh penutupan laring atau jalan mulut sehingga

menyebabkan bergetarnya salah satu alat supraglotal (Samsuri, 1987:103).

Samsuri membedakan istilah vokoid dengan vokal dan kontoid dengan

konsonan. Istilah vokoid dan kontoid digunakan dalam ilmu bunyi, sedangkan

vokal dan konsonan digunakan dalam ilmu fonem (Samsuri, 1987:160).

(Chaer, 2007:113) mengelompokkan bunyi bahasa atas bunyi vokal,

diftong, dan konsonan. Bunyi vokal dapat ditentukan berdasarkan bentuk lidah

dan posisi mulut. Bentuk lidah bisa bersifat vertikal dan horizontal. Secara

vertikal, vokal dibedakan atas vokal tinggi, vokal tengah, dan vokal rendah.

Secara horizontal,vokal dibedakan atas vokal depan, vokal pusat, dan vokal

belakang. Berdasarkan posisi bentuk mulut, Chaer juga membedakan

berdasarkan vokal bundar dan vokal tak bundar. Bunyi konsonan juga

dibedakan oleh Chaer atas posisi pita suara, tempat artikulasi, dan cara

artikulasi.

Diftong atau vokal rangkap adalah posisi lidah ketika memproduksi bunyi

ini pada bagian awalnya dan bagian akhirnya tidak sama (Chaer, 2007:115).

Diftong adalah keadaan posisi lidah dalam pengucapan bunyi vokal yang satu

dengan yang lainnya saling berbeda.


27

Deret fonem terbagi atas, yaitu deret konsonan dan deret vokal. Deret

konsonan adalah dua buah konsonan yang letaknya berdampingan tetapi tidak

berada pada sebuah suku kata melainkan suku yang berlainan, dalam

pengucapan bunyi ini dibatasi oleh jeda (Chaer, 2007:33). Deret vokal adalah

urutan dua vokal atau lebih yang berjejer, tetapi masing-masing diucapkan

dengan dibatasi jeda (Moeliono, 1989:50).

Untuk memperoleh suatu variasi bahasa terlebih dahulu dilakukan analisis

fonem terhadap suatu bahasa. Untuk menentukan suatu bunyi merupakan

fonem atau hanya alofon dari suatu fonem dilakukan analisis dengan

menggunakan premis-premis berikut: (1) bunyi bahasa mempunyai

kecenderungan dipengaruhi oleh lingkungan; (2) sistem bunyi mempunyai

kecenderungan bersifat simetris.

Selain kedua premis tersebut, ada lagi dua pernyataan umum yang dipakai

sebagai hipotesis kerja, yaitu: (a) bunyi-bunyi bahasa yang secara fonetis mirip,

harus digolongkan ke dalam kelas-kelas bunyi atau fonem-fonem yang

berbeda, apabila terdapat pertentangan di dalam lingkungan yang sama atau

mirip. (b) bunyi-bunyi yang secara fonetis mirip dan terdapat di dalam

distribusi yang komplementer, harus dimasukkan ke dalam kelas-kelas bunyi

yang sama (fonem yang sama) (Samsuri, 1992: 131–132).

Transkripsi yang digunakan untuk menganalisis variasi fonologis adalah

transkripsi fonetis. Transkripsi fonetis adalah perekaman bunyi dalam bentuk

lambang tulis (Muslich, 2008: 42). Lambang bunyi atau lambang fonetis

(phonetic symbol) yang sering dipakai adalah lambang bunyi yang ditetapkan
28

oleh The International Phonetic Assosiation (IPA), yaitu persatuan para guru

bahasa yang berdiri sejak abad ke-19.

6. Variasi Leksikon

Variasi leksikon adalah atau perbeedaan bahasa yang terdapat dalam

bidang leksikon, Suatu perbedaan disebut sebagai variasi bentuk ajektiva yang

diturunkan dari nomina leksikon (Vokabuler, kosa kata, perbendaharaan kata).

Mahsun (1995: 54) mengatakan makna leksikal adalah makna yang bersifat

leksikon, bersifat leksem, atau bersifat kata. yang menjadi variasi leksikon adalah

mengenai kata atau kosa kata. Suatu perbedaan disebut sebagai perbedaan dalam

bidang leksikon, jika leksem-leksem yang digunakan untuk merealisasikan suatu

makna yang tidak berasal dari satu etymon prabahasa. Seperti yang sudah

dijelaskan Mahsun (1995: 54) sebelumnya, Variasi Fonologi dan Leksikon banyak

persamaan secara fonologi dan juga ada perbedaan dialek secara leksikon.

Sebagian besar kata benda itu sudah diserap dan hampir sama bunyi kata dengan

bahasa Bugis contohnya matindro dalam bahasa Bugis pada umumnya hampir

sama matindo dalam dialek Pattinjo, dan persamaan fonologi ada sedikit

perbedaan satu fonem atau dua fonem dalam kata tersebut, contohnya penna

dalam dialek Paria, sedangkan benna dalam dialek Pattinjo, magai dalam bahasa

Bugis pada umumnya dan dalam dialek Pattinjo adalah mapai.

Zulaeha (2010:46) juga mengatakan perbedaan bentuk kata untuk makna

yang sama dan perbedaan bentuk itu tidak trmasuk pada perbedaan fonologis.

Perbedaan ini terjadi karena sudut pandang yang berbeda antar penutur satu
29

dengan lainnya, selain itu status sosial petunjuk juga mempengaruhi terjadinya

perbedaan leksikon dalam dialek yang dituturkan.

7. Dialek Sawitto

Dari beberapa Daerah di Pinrang masing-masing memiliki variasi bahasa,

variasi tersebut dapat berupa perbedaan kata dan perbedan ucapan dari seseorang

dari waktu ke waktu dan dari satu tempat ke tempat lain. Bahasa Bugis dialek

Sawitto Kabupaten Pinrang tidak hanya berasal dari keturunan suku bugis tetapi

juga berasal dari suku lainnya, hal ini terjadi karena masyarakat Duampanua

Kabupaten Pinrang saling berbaur dan memahami bahasa satu sama lain secara

baik, yang bukan penutur Bugis dapat memahami bahasa Bugis dengan baik, dan

ada beberapa orang yang bukan keturunan suku Bugis dapat memahami bahasa

Bugis secara baik.

Bahasa Bugis dialek Sawitto Kabupaten Pinrang mempunyai leksikon

yang berbeda dengan dialek lainnya, misalnya kata ‘degaga’ jika diterjemahkan

dalam bahasa Bugis Tantu (bahasa Pattinjo) berarti ‘taeng’ yang artinya ‘tidak

ada’. Selain itu bahasa Bugis dialek Sawitto Kabupaten Pinrang juga mempunyai

intonasi khas, yaitu apabila berbicara dengan dialek tersebut maka akan terdengar

berirama seperti intonasi yang naik turun di akhir kalimat.

Variasi bahasa dari segi pemakaian terdapat proses morfemis yang berbeda

dengan bahasa pada umumnya, contohnya, kata ‘mabaju’ (memakai baju)

terbentuk dari prefiks ma + baju (memakai baju) menjadi mabaju. Fungsi prefiks

ma dalam contoh di atas sebagai pembentuk kata kerja. Kata baju yang awalnya
30

adalah kata benda, setelah melalui proses morfemis menjadi kata kerja, yaitu

mabaju (memakai baju).

Bahasa memiliki ciri atau sifat bahasa, yaitu sebuah sistem, berwujud

lambang, bunyi bersifat abiter bermaksan maupun bersifat konvensional. Dialek

adalah variasi bahasa yang berbeda-beda menurut pemakai (misalnya dari suatu

daerah tertentu, kelompok sosial tertentu, atau kurun waktu tertentu). Selain itu

variasi bahasa digunakan untuk menjelaskan hubungan yang murni dalam

memakai berbagai bentuk bahasa yang dianggap sebagai suatu identitas tersendiri.

Misalnya, bahasa Bugis yang mempunyai variasi bahasa Bugis Pattinjo dan

variasi Bahasa Bugis Paria, sehingga bahasa Bugis Pattinjo dan Paria ini

membentuk identitas tersendiri yang berbeda dengan bahasa Bugis standar.

Adapun proses terjadinya dialek karena perbedaan pola komunikasi

sehingga budaya yang berlaku disuatu tempat. Sebuah dialek dapat menjadi

bahasa baru jika digunakan untuk waktu yang lama oleh banyak orang. Kemudian

sifat lokal (unik) bahasa dapat ditemui pada setiap daerah atau individu seseorang

dari segi bahasa dan cara pengungkapan katanya, tetapi cara setiap orang

menggunakan bahasa Bugis dapat kita tentukan dari asal-usul daerah masing-

masing.

Cara orang Bugis umum berbeda dengan Bugis Pattinjo dan Paria dalam

mengungkapkan suatu dari bahasa Bugis. Sehingga keunikan itu memebentuk

aksen atau logat dialek yang disebut juga dengan idiolek-idiolek atau disebut juga

bentuk bahasa yang khas digunakan oleh seorang individu. Satu bahasa daerah

(bahasa suku bangsa) mungkin memiliki beberapa dialek. Jumlah dialek lebih
31

banyak daripada jumlah bahasa yang ada di Indonesia, dialek memperjelas teori

menyatakan bahwa bahasa amat erat dengan keadaan alam, suku bangsa, dan

keadaan politik di daerah-daerah yang bersangkutan.

Variasi dialek atau logat dimiliki oleh setiap orang yang bahkan tanpa

disadari melekat pada diri setiap orang saat mengucapkan kata dalam bahasa

daerah maupun bahasa Indonesia. Selain bahasa Indonesia yang digunakan secara

nasional, terdapat juga banyak bahasa daerah yang digunakan oleh masyarakat

Indonesia, akibatnya masyarakat menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa

Daerah sebagai alat komunikasi masyarakat sehari-sehari. Masyarakat yang

menggunakan dua bahasa disebut multibahasa yang membuat masyarakat atau

individu dapat menggunakan lebih dari satu bahasa, bahasa daerah bagi sebagian

daerah masyarakat Duampanua Kabupaten Pinrang adalah bahasa kesatuan atau

bahasa ibu.

Bahasa daerah itu digunakan dilingkungan keluarga bahkan dilingkungan

terdekat yaitu di desa atau di kampung, kemudian masuk ke sekolah dan

berkenalan dengan bahasa Indonesia, bahasa Indonesia itulah yang menjadi

bahasa kedua bagi Sebagian besar masyarakat daerah. Penggunaan bahasa

Indonesia banyak dipengaruhi oleh bahasa Daerah, seringkali masyarakat

Duampanua Kabupaten Pinrang berbahasa Indonesia menggunakan struktur

bahasa Dearah tanpa di sadari oleh dirinya sendiri, struktur bahasa daerah sudah

mandarah daging dalam masyarakat Daerah sehingga secara tidak sadar muncul

dalam percakapan ketika menggunakan bahasa Indonesia, bahasa yang digunakan

secara harfiah bahasa Daerah.


32

Secara sederhana dapat disimpulkan bahawa bahasa melahirkan dialek

yang dipelihara, dikembangkan dan diwariskan melalui tradisi lisan.

Perkembangan bahasa, dialek, dan tradisi lisan dapat menjadi luas daerah

pakainya, bahkan mungkin dapat menjadi bahasa baku ataupun sebaliknya bisa

saja lenyap sama sekali, baik perkembangannya yang membaik maupun

perkembangannya yang memburuk, semua itu tergantung faktor-faktor

penunjangnya, yaitu faktor kebahasaan atau faktor luar bahasa.

1. Kerangka Pikir

Berdasarkan pembahasan penelitian diatas, pembahasan tersebut akan di

uraikan kerangka pikir yang melandasi penelitian ini, adapun landasan yang

melandasi penelitian ini ialah variasi bahasa Bugis Pinrang yang terdiri dari

beberapa dialek Sawitto diantaranya dialek Pattinjo dan dialek Paria, penelitian ini

berfokus pada dialek Sawitto dan mengkaji tentang variasi bahasa Bugis dialek

Sawitto yang berkenaan dengan variasi vonologi, penambahan fonem, pelesapan

fonem, pergantian fonem, variasi leksikon, persebaran, deskripsi, varian leksikon

setelah itu dianalisis dan menjadi temu an. Untuk lebih jelasnya kerangka pikir

yang akan menjadi dasar dalam penelitian ini dapat dilihat pada bagan sebagai

berikut.
33

Bagan Kerangka Pikir

Bahasa Bugis Pinrang

Variasi Bahasa Bugis Pinrang

Dialek Sawitto

Variasi Fonologi Variasi Leksikon

Penambahan Fonem Persebaran

Pelesapan Fonem Deskripsi


34

Pergantian Fonem Varian Leksikon

Temuan

III. METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian kualitatif ini adalah kualitatif yang bersifat deskriptif,

dengan menghasilkan data deskriptif yaitu kata-kata yang menunjukkan variasi

bahasa Bugis. Langkah awalnya ialah dengan mengumpulkan data, setelah data

terkumpul data diolah secara deskriptif sesuai dengan tujuan penelitian. Oleh

karena itu peneliti harus mempersiapkan bekal teori dan wawasan yang luas agar

peneliti dapat lebih mudah dalam meneliti dan mengumpulkan data. Menurut

Saryono (2010) penelitian kualitatif merupakan penelitian yang digunakan untuk

menenliti, menyelidiki, menemukan, menggambarakan dan menjelaskan kualitas

atau keistimewaan dari pengaruh sosial yang tidak dapat dijelaskan, diukur atau

digambarkan melalui pendekatan kualitatif.


35

B. Desain Penelitian

Desain penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif yang

berusaha menggambarkan atau mengungkapkan keadaan dan fakta yang ditemui

oleh peneliti secara sistematis. Metode deskriptif merupakan metode atau cara

kerja dalam sebuah penelitian yang berdasar fakta empiris berupa bahasa yang

sifatnya seperti apa adanya.

C. Waktu dan Tempat Penelitian

Waktu pelaksanaan penelitian ini akan dilakukan pada Agustus-Oktober

2022.

Tempat penelitian yang digunakan dalam peneliti ini untuk

mengumpulkan data dan informasi yang diperlukan dalam penelitian ini adalah

Desa Paria dan Desa Tantu di Kecamatan Duampanua Kabupaten Pinrang.

D. Definisi Istilah

1. Variasi fonologis adalah yang mencangkup variasi bahasa dialek Sawitto yang

mencangkup varisi vokal dan variasi konsonan. Bahasa bugis salah satu bahasa

dari suku Bugis dan sebagai salah satu kekayaan bahasa Daerah di Indonesia.

Bahasa Bugis dialek Sawitto berasal dari keturunan suku Bugis dan

mempunyai leksikon yang berbeda-beda.


36

2. Variasi leksikon adalah perbedaan bahasa yang terdapat dalam bidang leksikon,

suatu perbedaan disebut sebagai variasi bentuk adjektiva yang diturunkan dari

nomina leksikon.

3. Data dan Sumber Data

Data dalam penelitian ini adalah variasi fonologi Bahasa Bugis yang

dig’unakan oleh masyarakat Desa Paria dan Desa Tantu. Sedangkan sumber data

yang digunakan adalah masyarakat di Desa Paria dan Desa Tantu yang terdiri dari

satu kecamatan yaitu kecamatan duampanua Kabupaten Pinrang.

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah

teknik wawancara, teknik rekam, dan teknik simak-catat.

a. Teknik wawacara

Penelitian ini menggunakan teknik wawancara jenis terbuka, dengan

wawancara jenis terbuka peneliti dapat mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang

tidak terbatas sehingga peneliti dapat memperoleh beberapa data secara lengkap.

b. Teknik rekam

Teknik rekam ini berfungsi untuk merekam komunikasi warga setempat.

Dalam teknik rekam ini, peneliti terlibat secara langsung dengan kegiatan warga

setempat, dengan kata lain peneliti melakukan observasi partisipatif untuk


37

memperoleh data yang lebih lengkap dan tajam. Peneliti melakukan teknik rekam

ini dengan merekam secara langsung suara interaksi warga setempat Desa Paria,

Desa Tantu, dan Desa Lasape di Kecamatan Duampanua Kabupatem Pinrang.

c. Teknik simak-catat

Teknik simak-catat ini dilakukan bersamaan dengan teknik rekam dan

Teknik wawancara. Saat melakukan teknik rekam, peneliti juga melakukan teknik

simak-catat, dalam kegiatan teknik rekam peneliti akan menggunakan alat

perekam untuk mendapatkan rekaman komunikasi informan saat melakukan

wawancara oleh si peneliti, pada saat rekaman sudah dinyalakan peneliti

melakukan simak-catat terhadap wawancara masyarakat tersebut agar tidak ada

data yang hilang apabila hasil rekaman kurang mendukung, hal tersebut dilakukan

agar data yang diperoleh didapat secara utuh dan valid. Teknik simak-catat juga

dilakukan peneliti untuk menstranskripkan hasil rekaman dalam sebuah tulisan,

peneliti harus mendengarkan rekaman berulang-ulang agar data yang dituliskan

benar-benar sesuai dengan data aslinya.

Teknik simak-catat yang dilakukan untuk mentranskripkan data Teknik

simak-catat juga dilakukan bersamaan dengan teknik wawancara. Dalam

mewawancarai narasumber, peneliti menggunakan teknik simak-catat untuk

memahami hasil jawaban dari pertanyaan yang diberikan kepada narasumber

untuk kemudian dicatat sebagai informasi sebagai data tambahan untuk peneliti.

G. Teknik Analisis Data


38

Teknik analisis data dalam peneiltian ini dilakukan dengan cara deskriptif

interpretatif. Dengan metode deskriptif interpretatif, data-data yang diperoleh

peneliti diinterpretasikan dengan data alamiah yang ada. Langkah-langkah yang

perlu dilakukan peneliti dalam menganalisis data adalah sebagai berikut.

a. Tahap persiapan

1. Data yang diperoleh ditranskripkan ke dalam bentuk tulisan data berupa

percakapan antara peneliti dan informan yang diperoleh dalam teknik rekam

kemudian ditulis kembali sesuai dengan hasil rekaman.

2. Pemilihan data

Setelah data ditranskripkan dalam bentuk tulisan kemudian data

dikelompokkan sesuai kepentingan masing-masing

b. Tahap pengelompokkan data

1. Klasifikasi data

Pada klasifikasi data, data yang sudah dipilih dalam tahap persiapan

kemudian di klasifikasikan berdasarkan jenis kebutuhan.

2. Penjelasan data

Data yang sudah diklasifikasikan berdasarkan jenisnya kemudian dan

dijabarkan sesuai dengan data yang telah diperoleh.

H. Instrumen Penelitian

Agar mempermudah penelitian peneliti menggunakan instrumen dengan

alat rekam yang terdiri atas kamera atau alat perekam suara.

I. Pemeriksaan Keabsahan Data


39

Pemeriksaan terhadap keabsahan data pada dasarnya, selain digunakan

untuk menyanggah balik yang dituduhkan kepada penelitian kualitatif yang

mengatakan tidak ilmiah, juga merupakan sebagai unsur yang tidak terpisahkan

dari tubuh pengetahuan penelitian kualitatif (Moleong, 2007:320). Teknik

pemeriksaan keabsahan data dalam penelitian ini meliputi uji kredibilitas, uji

transferabilitas, uji dependabilitas, dan uji konfirmabilitas. Agar data dalam

penelitian kualitatif dapat dipertanggungjawabkan sebagai penelitian ilmiah perlu

dilakukan uji keabsahan data. Pemeriksaan keabsahan data ini menggunakan teori

triangulasi, adapun yang digunakan adalah triangulasi sumber.

DAFTAR PUSTAKA

Amir, J. (2011). Sapaan dalam Bahasa Bugis Dialek Sidrap. Linguistik Indonesia :

Jurnal Ilmiah Masyarakat Linguistik Indonesia, 29 (1), 69-83

Efendi, W. (2016). Variasi Fonologis dan Variasi Leksikal Bahasa Melayu Jambi

di Kabupaten Bungo Bagian Timur (Tinjauan Geografi Dialek). Univeritas

Andalas.

Hartman, R.R.K. dan F.C. Stork. 1972. Dictionary of Language and Linguistics

London

Haryani. (2020). Reduplikasi Bahasa Bugis Dialek Sidrap. Jurnal Bahasa dan

Sastra, 24.

Husain, M. (2014). Korespondensi Bunyi Bahasa Bugis Dialek Soppeng dan


40

Dialek Ennak (Buginese Phonemic Correspondence Of Soppeng and Ennak

Dialects). SAWERIGADING, 20(3), 353–362.

Jaya. (2019). Proses Asimilasi Bunyi Konsonan Bahasa Bugis Dialek Segeri:

Kajian Transformasi Generatif. Tolis Ilmiah: Jurnal Penelitian, 45.

Januarius Soge, L. (2020). Antonim Bahasa Lamaholot Dialek Adonara Barat

Desa Waitukan Kecamatan Adonara Barat Kabupaten Flores Timur.

UNIVERSITAS FLORES.

Joos, Martin. 1967. The Five Clocks.New York: Hartcourt Brace World, Inc

Kridalaksana 1989. Sosiolinguistik dan Pengajaran Bahasa, Jakarta: Lembaga

Bahasa Unika Atma Jaya

Kusworo, H. (2013). Kajian Dialek Bahasa Jawa di Desa Muktisari Kecamatan

Kebumen Kabupaten Kebumen. ADITYA-Pendidikan Bahasa Dan Sastra

Jawa, 2(2).

Mursalin, S. (1981). Dialek Geografi Bahasa Bugis Bagian Utara Khusus di

Kabupaten Pinrang. Pusat Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa

Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan.

Muhadjir dan Basuki Suhardi (Ed) 1990. Bilingualisme dan pengajaran Bahasa.

Depok: Fakultas Sastra Universitas Indonesia.

Nababan, M. R. (2007). Aspek Genetik, Objektif, dan Afektif dalam Penelitian

penerjemahan. Udayana University.

Ningsih, F. S. P. (2013). Pemetaan Bahasa Jawa Dialek Mataraman di


41

Kecamatan Puncu Kabupaten Kediri Jawa Timur. University of

Muhammadiyah Malang.

Ohoiwutun, P., & Sudrajat, H. (1997). Sosiolinguistik: Memahami Bahasa dalam

Konteks Masyarakat dan Kebudayaan. Kesaint Blanc.

Perawati. (2020). Interferensi Bahasa Bugis Dialek Wajo Terhadap Penggunaan

Bahasa Indonesia Lisan di Desa Torue Kecamatan Torue Kabupaten Parigi

Mouton. Jurnal Bahasa Dan Sastra, 53.

Rachmawati, D. (n.d.). Distribusi dan Pemetaan Varian-varian Bahasa Bugis di

Pulau Lombok. Mabasan, 1(1), 287873.

Ramlah, M. (2014). Variasi Fonologi Bahasa Indonesia pada Komunitas Penutur

Bahasa Makassar. Sawerigading 20 (2),291.300.

Rumadhan, R. (2014). Analisis Ragam Bahasa Indonesia Dialek Fakfak Di

Asrama Fakfak Malang. University of Muhammadiyah Malang.

Susiati, S., & Iye, R. (2018). Kajian Geografi Bahasa dan Dialek di Sulawesi

Tenggara: Analisis Dialektometri. Gramatika: Jurnal Ilmiah Kebahasaan

Dan Kesastraan, 6(2), 137–151.

Yanti, S. (2020). Reduplikasi Bahasa Bugis Dialek Bone Kelurahan Tagaraja

Kecamatan Kateman Kabupaten Indragiri Hilir. Universitas Islam Riau.

Anda mungkin juga menyukai