Anda di halaman 1dari 125

i

SKRIPSI

“ALIH KODE DAN CAMPUR KODE BAHASA MAKASSAR DI DESA


TODDOPULIA KEC. TANRALILI KAB. MAROS”

“CODE WSITCHING AND MIXING THE MAKASSAR LANGUAGE CODE


IN TODDOPILIA VILLAGE, TANRALILI DISTRICT, MAROS REGENCY”

RISKA
1855041016

PRODI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA DAERAH


JURUSAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS BAHASA DAN SASTRA
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2022
iii

MOTO

“Allei Bajika Tantangi Kodia”.

“Petiklah yang Baik Tinggalkan yang Jelek”

~Riska~

iii
iv

PERSEMBAHAN

Karya ini kupersembahkan untuk orang-orang yang kusayangi dan kucintai :

1. Karya ini adalah persembahan sederhana untuk kedua orang tua tercinta.

Ketika dinia kehilangan cahayanya kepadaku, mereka memberikan seluruh

pelitanya untukku. Ketika beban yang kupikul terasa sangat berat, mereka

sanggup memberikan pundaknya untukku. Restu kalian adalah restu Allah

Swt.

2. Untuk keluarga besarku, tanpa kalian dan dorongan serta dukungan dari

kalian untuk saya, mungkin saat ini saya bukanlah apa-apa.

3. Untuk dosen pembimbing saya, terima kasih karna telah bersedia

membimbingku mewujudkan segalanya. Semoga segala kebaikan yang

telah engkau berikan selama ini, akan bernilai ibadah disisi-Nya serta

berbuah kebaikan yang lebih besar pula kepadamu.

4. Untuk teman dan sahabat saya yang selalu memberi motivasi dan bantuan

saat saya membutuhkan, terima kasih telah menjalankan peran dengan

sangat baik.

iv
v

ABSTRAK

RISKA, 2022. Pergeseran Bahasa dalam Komunikasi Masyarakat


Desa Toddopulia Kecamatan Tanralili Kabupaten Maros. Skripsi. Prodi
Pendidikan Bahasa dan Sastra Daerah. Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan. Universitas Negri Makassar. (Pembimbing Johar Amir dan
Aswati Asri).
Penelitian ini membahas tentang wujud penggunaan alih kode dan campur kode
bahasa remaja. Kajian sosiolinguistik bertujuan untuk memperoleh pengetahuan
mengenai bentuk alih kode dan campur kode dalam komunikasi antara remaja
dengan remaja lainnya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode deskriptif kualitatif. Metode deskriptif kualitatif adalah metode yang
digunakan untuk memperoleh hasil secara jelas yang bersifat deskriptif yaitu,
mengumpulkan, mengelola, mereduksi, menganalisis data dan menyajikan dengan
secara objektif. Metodfe pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah metode simak. Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik
catat, yaitu mencatat segala bentuk percakapan yanag diujarkan olah para remaja.
Hasil yang didapatkan dalam penelitian ini adalah ditemukan bentuk alih kode
dari bahasa makassar kebahasa indonesia, serta diremukan beberapa faktor yang
melatar belakangi terjadinya alih kode dan campur kode yaitu karena ingin
menyesuaikan dengan mitra tutur, mengabrabkan diri dengan mitra tutur.
Kata Kunci: Sosiolinguistik, alih kode dan campur kode .

v
vi

ABSTRACT

RISKA, 2022. Language Shift in Community Communication Toddopulia


Village, Tanralili District, Maros Regency. Thesis. Regional Language and
Literature Education Study Program. Faculty of Teacher Training and
Education. Makassar State University. (Supervisors Johar Amir and Aswati
Asri).
This study discusses the form of using code switching and code mixing for
teenagers. Sociolinguistic study aims to gain knowledge about the form of code
switching and code mixing in communication between adolescents and other
adolescents. The method used in this study is a qualitative descriptive method.
Qualitative descriptive method is a method used to obtain clear results that are
descriptive in nature, namely, collecting, managing, reducing, analyzing data and
presenting them objectively. The data collection method used in this research is
the listening method. The technique used in this study is the note-taking
technique, which is to record all forms of conversation that are uttered by the
teenagers. The results obtained in this study were found in the form of code
switching from the Makassar language to Indonesian, and some of the factors
behind the occurrence of code switching and code mixing were found, namely
because they wanted to adapt to the speech partner, familiarize themselves with
the speech partner.
Keywords: Sociolinguistics, code switching and code mixing.

vi
vii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat-Nya

kepada penulis untuk dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Pegeseran

Penggunaan Bahasa Makassar di Desa Toddopulia Kec. Tanralili Kab. Maros”

Shalawat serta salam juga semoga senantiasa Allah curahkan kepada junjungan

kita Nabi Muhammad SAW kepada para sahabat, keluarga, serta umat yang

istiqamah di jalannya.

Penyusunan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi kewajiban sebagai

salah satu persyaratan guna menempuh gelar Sarjana Pendidikan Program Studi

Pendidikan Bahasa dan Sastra Daerah, jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia,

Fakultas Bahasa dan Sastra, Universitas Negeri Makassar.

Penulis berterima kasih dengan segala ketulusan dan kerendahan hati

kepada kepada pembimbing I yaitu Prof. Dr. Johar Amir, M.Hum.sekaligus

sebagai penasihat akademik dan pembimbing II yaitu Aswati Asri, S.Pd.,M.Pd.

Ucapan terima kasih pula penulis sampaikan kepada Dr. Nensilianti,

S.S.,M..Pd.selaku penguji I dan kepada Penguji II sekaligus Ketua Prodi

Pendidikan Bahasa dan Sastra Daerah yaitu Dr. Hajrah, S.S.,M.Pd. yang telah

memberikan kritik dan saran yang tentunya bersifat membangun.

Ucapan teri kasih yang teristimewa penulis sampaikan kepada kedua orang

tua tercinta yakni Bapak Yaman Dg. Nyonri dan Ibu Sohora, seorang yang

senantiasa mendukung saya dalam hal apapun terutama pada awal kuliah

vii
viii

hingga sampai menyelesaikan skripsi dan tidak lupa m,endoakan setiap

Langkah yang membawa anaknya pada tahap lkesuksesan dikemudian hari. Untuk

kakakku Rahmin, Raisman, dan Risma dan adikku Risda dan Risna terima kasih

atas semangat dan doanya yang tidak pernah putus untuk keberhasilanku, Penulis

juga menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari kata sempurna

dikernakan terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki penulis. Oleh

karna itu, penulis mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan kritik

yang bersifat membangun dari berbagai pihak. Semoga skripsi ini dapat

bermanfaat bagi para pembaca dan semua pihak.

Makassar, 01 Juli 2022

Riska

viii
x

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL........................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................ii
MOTO..................................................................................................................iii
PERSEMBAHAN................................................................................................iv
ABSTRAK............................................................................................................v
ABSTRACT.........................................................................................................vi
KATA PENGANTAR.........................................................................................vii
DAFTAR ISI .......................................................................................................ix
BAB 1 PENDAHULUAN
Latar Belakang ...................................................................................................1
A. Rumusan Masalah ....................................................................................4
B. Tujuan Penelitian.......................................................................................4
C. Manfaat Penelitian ....................................................................................4
BAB 11 TINJAUAN PUSTAKA
A. Kajian teori................................................................................................6
1. Sosiolinguistik ..............................................................................6
2. Bahasa dan Usia ...........................................................................8
3. Penyusutan dalam Tutur................................................................10
4. Dwi bahasa dan Multi Bahasa.......................................................13
5. Alih kode.......................................................................................15
6. Campur Kode ................................................................................20
7. Pergeseran Bahasa ........................................................................23
8. Bahasa Makassar ..........................................................................29
B. Kerangka pikir ..........................................................................................31
BAB 111 METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian .........................................................................................35
B. Desain Penelitian.......................................................................................35
C. Waktu dan Tempat Penelitian ..................................................................35
D. Fokus Penelitian .......................................................................................35
E. Defenisi Penelitian ....................................................................................36
F. Data dan Sumber Data...............................................................................36
G. Teknik Pengumpulan Data .......................................................................36
H. Teknik Analisis Sata..................................................................................37

x
xi

I. ‘Instrumen Penelitian ................................................................................39


J. Keabsahan Data.........................................................................................39
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil penelitian ........................................................................................40
B. Pembahasan..............................................................................................60
BAB V KESIMPULAN DAN PEMBHASAN
A. Simpulan..................................................................................................66
B. Saran .......................................................................................................66
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................68
LAMPIRAN ........................................................................................................69
1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pergeseran bahasa merupakan fenomena sosiolinguistik yang sangat rentan

terjadi pada masyarakat pengguna lebih dari satu bahasa. Dalam makalah

penelitian Lukman dan Gusnawaty (2014) mengatakan bahwa saat ini masalah

dihadapi oleh bahasa daerah yaitu kedudukan dan fungsinya tidak lagi sesuai

dengan kedudukan dan fungsi yang diberikan kepadanya.(Darmita, 2017)

Pergeseran bahasa merupakan fenomena kebahasaan yang

terkadang mengacu pada peristiwa punahnya sebuah bahasa. Dan yang

terjadi saat ini sangat memprihatikan karna sudah tidak banyak lagi

penutur yang menggunakan bahasa makassar terutama dikalangan

remaja. Mereka bahkan sangat malu ketika ada salah satu dari mereka

yang menggunakan bahasa makassar ketika sedang berkumpul ataupun

saling sapa.

Fenomena bisa diartikan sebagai fakta social dalam kehidupan masyarakat

yang dilakukan lantaran adanya bentuk-bentuk perubahan social yang diakibatkan

Tindakan masyarakat itu sendiri. Tindakan yang dilakukan oleh beberapa anggota

masyarakat kemudian memunculkan fenomena atau suatu kejadian yang berkesan.

Sehingga terjadi fenomen a ini akan memiliki dampak negative akan tetapi juga

memiliki dampak positif. (Waluya, 2007)

Menurut Freddy Rangkuti (2011), defenisi fenomena sosial adalah fakta

1
2

sosial atau kejadian sosial yang terlihat dilapangan, Fenomena sosial ini mampu

memberikan gambaran masyarakat secara umum, dari dinamika kelompok

sosialnya atau dapat menciptakan integrasi sosialnya.

Lingkungan masyarakat adalah tempat kita untuk bersosialisasi dengan

orang lain. Karna sebagai manausia kita adalah mahluk sosial yang tidak dapat

hidup sendiri . lingkungan dapat memberikan sumber kehidupan agar manusia

dapat hidup sejahtra.

Lingkungan keluarga adalah lingkungan seseorang mendapatkan

Pendidikan pertama yang sangat mempengaruhi perilaku dan peran

dalam menentukan tujuan hidupnya.

Penelitian pergeseseran bahasa di Desa Toddopulia Kecamatan

Tanralili Kabupaten Maros bertujuan untuk mengidentifikasi terjadinya

pergeseran bahasa dikalangan remaja dalam lingkup masyarakat dan

keluarga.

Bahasa Indonesia telah menggantikan keberadaan bahasa

Makassar. Hal ini terlihat dari komunikasi masyarakat yang dominan

menggunakan bahasa Indonesia. Kalangan muda, termasuk remaja ,

rata-rata sudah tidak fasih bahkan mungkin tidak tahu menggunakan

bahasa Makassar. Bahkan menurutnya lagi, bahasa Makassar pun kini

mulai terancam. Hal ini terlihat dari penggunaan bahasa remaja Desa

Toddopulia yang lebih dominan menggunakan bahasa Indonesia.

Fenomena yang sama ketika awal bahasa Makassar beralih ke bahasa

Indonesia.
3

Berdasarkan hasil pengamatan awal peneliti pada sebuah daerah

yaitu Desa Toddopulia Kecamatan Tanralili Kabupaten Maros

ditemukan bahwa ada dua bentuk bahasa yang digunakan oleh

masyarakat, yaitu bahasa Makassar dan bahasa Indonesia. Penggunaan

bahasa tersebut digunakan pada situasi atau konteks pengguna yang

cenderung didasarkan pada usia. Berdasarkan keterangan salah seorang

warga mengatakan bahwa dulu bahasa yang digunakan oleh masyarakat

Desa Toddopulia adalah bahasa Makassar. Ia sendiri mengenal bahasa

Makassar saat bersekolah, karena bertemu dengan anak-anak yang

berbahasa Makassar, kemudian belajar sedikit demi sedikit.

Peristiwa tersebut tentu saja merupakan sebuah masalah karena

bahasa daerah yang seharusnya dipertahankan sebagai lambang identitas

masyarakat tergantikan oleh bahasa lain. Hal ini didukung oleh hasil

sebuah tes ketika beberapa remaja diminta untuk menggunakan bahasa

Makassar. Mereka mampu mengucapkan beberapa kalimat pendek,

namun untuk percakapan panjang mereka tidak bisa melakukannya.

Mereka jauh lebih fasih berbahasa Indonesia dari pada berbahasa

Makassar. Hal yang sama terjadi pada anak- anak, meskipun terkadang

terdengar campur kode antara bahasa Makassar dan bahasa Indonesia,

namun mereka lebih dominan menggunakan bahasa Indonesia.

Alasan peneliti memilih pergeseran bahasa karena dengan

penelitian ini akan dihasilkan beberapa temuan (variasi) yang bersifat

ilmiah dan dapat teruji kebenarannya, sehingga dari penelitian ini


4

peneliti bisa menjawab dan memberikan solusi yang tepat dalam

memberikan jawaban dari masalah pergeseran bahasa yang dialami oleh

masyarakat.

Penulis menemukan dua penelitian yang relevan di antaranya

peneliti yang pertama adalah peneliti yang dilakukan oleh “Nur

Ulandari (2019) dengan judul penelitian Analisis Pergeseran Bahasa

dalam Komunikasi Masyarakat Kampung Desa Maruala Kab. Barru”

hasil dari penelitian tersebut adalah pergeseran bahasa remaja di

kampung desa maruaala kabupaten Barru berdasarkan wujud

penggunaanya. Peneliti yang kledua adalah Masyithah (2020) dengan

judul penelitian Pergeseran Bahasa Bugis pada Penutur Bahasa Bugis

Dialek Barru di Makassar (tinjauan sosiolinguistik). Hasil dari

penelitian ini menunjukkan bahwa pergeseran bahasa bugis dialek Barru

penutur bahasa bugis barru di makassar terdapat pergeseran dan

dominan para penutur menggunakan bahasa Indonesia dari pada bahasa

Bugis.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang, rumusan

masalah dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimanakah wujud alih kode bahasa remaja Desa Toddopulia

Kecamatan Tanralili Kabupaten Maros !

2. Bagaimanakah wujud campur kode bahasa remaja Desa Toddopulia

Kecamatan Tanralili Kabupaten Maros !


5

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mendeskripsikan wujud alih kode pergeseran bahasa remaja Desa

Toddopulia Kecamatan Tanralili Kabupaten Maros !

2. Mendeskripsikan wujud campur kode pergeseran bahasa remaja Desa

Toddopulia Kecamatan Tanralili Kabupaten Maros !

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoretis:

a. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan yang berharga bagi

perkembangan ilmu pengetahuan dan pendidikan, terutama yang berkaiatan

dengan disiplin ilmu Sosiolinguistik tentang penggunaan bahasa Makassar,

dan bahasa Indonesia dalam kehidupan sosial di zaman sekarang.

2. Manfaat Praktis:

a. Penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi pemerintah dan

masyarakat dalam penggunaan bahasa makassar sebagai alat komunikasi

yang bermanfaat bagi masyarakat itu sendiri.

b. Bagi lembaga pendidikan hasil dari penelitian dapat dijadikan sebagai

bahan kajian, khususnya mahasiswa Jurusan Prodi dan Sastra Daerah.


6
6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

A. Tinjauan Pustaka

1. Sosiolinguistik

a. Pengertian Sosiolinguistik

Istilah sosiolinguistik muncul pertama kali pada tahun 1952

dalam karya Haver C. Currie yang menyarankan perlu adanya penelitian

mengenai hubungan antara perilaku ujaran dengan status sosial.

(Hartarini, 2012)

1. (Chaer, 2010). Sosiolinguistik mengkaji hubungan bahasa dengan

masyarakat, mengaitkan dua bidang yang dapat dikaji secara terpisah yaitu

bahasa oleh linguistik dan bahasa oleh masyarakat. Chaer (2010:2)

mengungkapkan bahwa sosiolinguistik adalah bidang ilmu antardisiplin yang

mempelajari bahasa dalam kaitannya dengan penggunaan bahasa itu di dalam

masyarakat.(Ulandari, 2019)

2. Sumarsono (2007:2), mendefinisikan sosiolinguistik sebagai linguistik

institusional yang berkaitan dengan pertautan bahasa dengan orang-orang

yang memakai bahasa itu. Sebagai objek, bahasa tidak dilihat atau didekati

sebagai bahasa sebagaimana dilakukan oleh linguistik umum, melainkan

dilihat atau didekati sebagai sarana interaksi atau komunikasi di dalam

masyarakat.

Berdasarkan dua pendapat para ahli tersebut, penulis dapat

menyimpulkan bahwa sosiolonguistik adalah ilmu yang mempelajari

6
7

ciri dan berbagai variasi bahasa, serta hubungan antara para pengguna

bahasa dengan fungsi variasi bahasa itu di dalam suatu masyarakat

bahasa. Oleh karena itu, rumusan mengenai sosiolinguistik tidak akan

terlepas dengan aspek-aspek masyarakat.

b. Masalah-Masalah Sosiolinguistik

Konfrensi sosiolinguistik pertama yang berlangsung di Unversity

of California, Los Angeles tahun 1994 merumuskun tujuh dimensi yang

merupakan masalah dalam sosiolinguistik. Ketujuh dimensi tersebut

adalah: 1) Identitas sosial dari penutur; 2) Identitas sosial dari

pendengar yang terlibat dalam komunikasi; 3) Lingkungan sosial

tempat peristiwa tutur terjadi; 4) Analisis sinkronik dan diakronik dari

dialek-dialek sosial; 5) Penilaian sosial yang berbeda oleh penutur akan

perilaku bentuk-bentuk ujaran; 6) Tingkatan variasi dan ragam

linguistik; dan 7) Penerapan praktis dari penelitian sosiolingistik.

Sosiolinguistik menempatkan kedudukan bahasa dalam

hubungannya dengan pemakaiannya di dalam masyarakat. Ini berarti

bahwa sosiolinguistik memandang bahasa pertama-tama sebagai sistem

sosial dan sistem komunikasi, serta bagian dari masyarakat dan

kebudayaan tertentu (Suwito, 1983).

Masyarakat tutur yang terbuka, artinya mempunyai hubungan

dengan masyarakat tutur lain tentu akan mengalami kontak bahasa.

Chaer dan Agustina (2010:84) menyatakan bahwa kontak bahasa

mengakibatkan berbagai peristiwa kebahasaan, yaitu bilingualisme atau


8

kedwibahasaan, diglosia (keadaan dalam masyarakat yang terdapat dua

variasi dari satu bahasa yang berdampingan dan memiliki peran masing-

masing), alih kode, campur kode, interferensi (saling pengaruh akibat

adanya kontak bahasa), integrasi (unsur bahasa lain yang digunakan

dalam bahasa tertentu dan dianggap menjadi warga bahasa tersebut),

konvergensi, dan pergeseran bahasa.

Mengenai bahasa dan usia, bilingualisme atau dwibahasa, alih

kode, campur kode, dan pergeseran bahasa akan dibahas lebih

mendalam pada bagian selanjutnya.

2. Bahasa dan Usia

Bahasa adalah suatu sistem lambang berupa bunyi, bersifat

arbitrer, digunakan oleh suatu masyarakat tutur untuk bekerjasama,

berkomunikasi, dan mengindentifikasi diri (Chaer, 2004:1). Hal ini

memberi gambaran bahwa bahasa adalah berupa bunyi yang digunakan

oleh masyarakat untuk berkormunikasi. Keraf (1991:1) mengatakan

bahwa bahasa mencakup dua bidang, yaitu bunyi yang dihasilkan oleh

alat ucap berupa arus bunyi, yang mempunyai makna, dan menerangkan

bahwa bahasa sebagai alat komunikasi antara anggota masyarakat terdiri

atas dua bagian utama yaitu bentuk (arus ujaran) dan makna (isi).

(Pradita & Jayanti, 2021)

Menurut Sumarsono (2002:135) usia merupakan salah satu

rintangan sosial yang membedakan kelompok-kelompok manusia.

Kelompok manusia ini akan memungkinkan dialek sosial yang sedikit


9

banyak memberikan warna tersendiri pada kelompok itu. Usia akan

mengelompok masyarakat menjadikan kelompok kanak-kanak, remaja,

dan kelompok dewasa. Tentu saja batas usia itu tidak bisa secara tepat

kita pastikan.(Ulandari, 2019)

Satu hal yang membedakan dialek sosial jenis ini dengan lainnya,

adalah dialek sosial kelas buruh, atau dialeg regional. Pada dialeg sosial

kelas buruh atau dialaek regional kita mendapat ciri-ciri kebahasaan

yang relatif tetap pada penuturnya. Misalnya, orang yang berbahasa-ibu

dialek Jakarta akan selamanya membawa ciri-ciri dialek tersebut. Orang

Negro golongan buruh di Amerika akan membawa ciri kebahasaan

kelompoknya sampai tua.

Dialek sosial yang berdasarkan usia keadaanya berbeda. Ragam

tutur anak-anak yang dimiliki oleh seorang anak akan ditinggalkan jika

usianya menginjak dewasa. Ragam tutur remaja akan ditinggalkan

pemiliknya jika mereka menjadi (Suriati, 2017) tua yang relatif tetap

ragam tutur orang dewasa (Sumarsono, 2002:136).

a. Tutur remaja

Masa remaja ditinjau dari segi perkembangan, merupakan masa

kehidupan manusia yang paling menarik dan mengesankan. Masa

remaja mempunyai ciri antara lain: petualangan, pengelompokan (klik),

“kenakalan”.(Suriati, 2017)

Ciri ini tercermin pula dalam bahasa mereka keinginan untuk

membuat kelompok eksklusif menyebabkan mereka menciptakan


10

bahasa “rahasia” yang hanya berlaku bagi kelompok mereka, atau jika

semua pemuda sudah tahu, bahasa ini tetap rahasia bagi kelompok anak-

anak dan orang tua. Berikut ini dibicarakan beberapa bentuk bahasa

semacam itu yang pernah ada, setidak-tidaknya menurut pengalaman

penulis (Sumarsono, 2002:151).

1. Penyisipan konsonan V + vocal

Sebelum tahun 50-an dikalangan remaja muncul kreasi

menyisipkan konsonan v+vocal pada setiap kata yang dipakai. Vocal

dibelakang v sesuai dengan vocal yang disisipi konsonan v+vocal itu

ditempatkan dibelakang setiap suku kata, baik dalam bahasa daerah

maupun B1.

2. Penggantian suku akhir / sye

Menjelang tahun 60-an muncul bentuk lain. Setiap kata diambil

hanya suku pertamanya saja, suku yang lain dihilangkan dan diganti

dengan -sye. Kalau seluruh kata diganti dengan cara ini dan diucapkan

dengan cepat maka terdengar seperti bahasa Cina. Jika suku kata

pertama terbuka, konsonan pertama pada suku berikutnya diambil

sehingga sebelum ditambah –sye suku kata itu tetap tertutup. Misalnya:

sepeda tidak diambil se- saja melainkan sep- kemudian ditambah –sye,

menjadi sepsye.

3. Membalik fonem-fonem dalam kata (ragam walikan)

Bahasa rahasia yang unik dikalangan remaja, di sekitar tahun 1960

muncul di Malang, tetapi akhirnya juga meluas. Aturan umum dalam


11

bahasa rahasia ini ialah, dasarnya bisa bahasa Jawa atau bahasa

Indonesia. Kata-kata “dibaca” menurut urutan fonem dari belakang

dibaca terbalik (Jawa=Walikan).

4. Variasi dari model (3)

Setelah model ketiga diatas meluas pada orang-orang yang bukan

pemuda lagi (barang kali yang dulu muda kemudian menjadi dewasa),

model pembalikan itu divariasikan. Caranya: kata yang sudah dibalik itu

disisipi bunyu-bunyi tertentu, atau bunyi-bunyi tertentu dalam kata itu

diubah.

3. Penyusutan dalam tutur

Penyusutan bentuk tutur pada remaja sebagian besar menyangkut

fungtor ini tidak berarti tidak ada penyusutan yang lain, dalam bahasa

Indonesia yang mengenal imbuhan, bisa terjadi imbuhan itu dihilangkan

semua bentuk penyusutan itu merupakan tingkah laku ekonomi bahasa,

dalam arti penghilangan unsur-unsur tertentu yang dianggap tidak perlu

tanpa mengurangi efektivitas komunikas (Sumarsono, 2002:141). Lagi

pula, bentuk penyusutan yang biasa disebut bahasa telegrafis ini bukan

hanya menjadi monopoli anak-anak. 3 bukti bisa kita ajukan,

penyusutan itu juga dilakukan oleh orang dewasa, yang mungkin juga

karena alasan ekonomi dan kepraktisan, yaitu pada pengiriman

telegram, ragam nonbaku, dan pijin.(Nur, 2017)

(1) Telegram

Orang yang mengirim telegram harus menggunakan “teori


12

ekomoni praktis” agar biaya telegram tidak banyak. Caranya ialah

dengan menyusutkan kata-kata tertentu, kebanyakan fungtor, dan

mempertahankan kata-kata kontentif dengan cara ini penerima telegram

masih mampu memahami isi pesan yang ada dalam telegram itu, berita

yang kalau disampaikan lewat surat bisa memakan tempat satu halaman,

dapat diwujudkan dalam telegram dua atau tiga kalimat.

(2) Ragam nonbaku

Dalam setiap bahasa selalu ada ragam baku dan ragam nonbaku,

salah satu ciri dari ragam baku itu adalah adanya kaidah yang pasti dan

konsisten, yakni salah satu kaidah yang tidak boleh seenaknya

dilanggar. Ini berbeda dengan ragam nonbaku yang relatif “longgar”,

seolah-olah tidak ada kaidah yang pasti sewaktu-waktu dan tiap saat

orang bisa “membuat kaidah sendiri” dalam bertutur.

Karena sifat yang pasti dan konsisten itu, ragam baku

mengandung watak konservatif karena orang tidak selalu mau

terbelenggu oleh watak konservatif itu, karena orang ingin dan besifat

inovatif selalu ada orang yang ingin secara sadar atau tidak melakukan

hal-hal yang lain yang berbeda dengan yang baku dan timbullah

“penyimpangan-penyimpangan” yang dipandang dari sudut kebakuan

menjadi “salah”.

Wujud penyimpangan itu adalah penyusutan atau penyingkatan.

Dalam bahasa Indonesia ragam baku ada kaidah bahwa kata kerja yang

semestinya menggunakan awalan ber- atau meN- harus dipertahankan


13

dalam penggunaan ciri kaidah semacam ini banyak diabaikan dalam

ragam cakapan dan ragam nonbaku jika penutur ragam kreol Inggris

yang belajar bahasa Inggris baku suka menggunakan ragam baku, justru

untuk lelucon para pelawak Indonesia pun kadang-kadang

menggunakan kalimat tanya baku yang justru untuk membangkitkan

orang tertawa.

(3) Pijin – Kreol

Bahasa Inggris menunjukkan bahasa ini tersebar luas di dunia,

dipakai sebagai lingua franca atau bahasa pengantar, bahasa komunikasi

antarbangsa dan dalam penyebarannya selalu mengalami penuyusutan

dan penyederhanaan itu diakibatkan oleh berbagai sebab, salah satunya

adalah pengaruh dari bahasa ibu penutur yang bukan bahasa Inggris.

Nasib yang sama dialami pula lingua franca bahasa Indonesai yang

kemudian menjadi dialek-dialek pada daerah-daerah di Indonesia.

Dialek-dialek ini pada hakikatnya adalah kreol, dan kreol itu berasal

dari pijin.

Kita dapat mengatakan pijin adalah salah satu jenis lingua franca,

karena fungsi sosialnya sama dengan lingua franca. Latar (setting)

terjadi pijin adalah bertemunya sejumlah penutur dengan latar belakang

bahasa- ibu yang berbeda-beda, yang pada saat-saat tertentu oleh

kebutuhan sesaat memerlukan alat komunikasi.

4. Dwibahasa dan Multibahasa

Variasi atau ragam bahasa merupakan bahasan pokok dalam studi


14

sosiolinguistik sehingga Kridalaksana, yang dikutip oleh Saleh dan

Mahmudah (2006) mendefinisikan sosiolinguistik sebagai cabang

linguistik yang berusaha menjelaskan ciri-ciri variasi bahasa dan

menetapkan korelasi ciri-ciri variasi bahasa tersebut dengan ciri-ciri

sosial kemasyarakatan. Dalam hal ragam bahasa, ada dua pandangan.

Pertama, variasi atau ragam bahasa itu dilihat sebagai akibat adanya

keragaman sosial dan keragaman fungsi bahasa. Kedua, variasi atau

ragam bahasa itu sudah ada untuk memenuhi fungsinya sebagai alat

interaksi dalam kegiatan masyarakat yang beranekaragam.(Ulandari,

2019)

Kemampuan berkomunikasi (verbal repertoire) yang dimiliki oleh

penutur terdiri atas dua macam, yaitu verbal repertoire yang dimiliki

oleh setiap penutur secara individu dan verbal repertoire yang dimiliki

masyarakat tutur secara keseluruhan. Masyarakat bahasa itu sendiri,

berdasarkan verbal repertoire yang dimiliki dikelompokkan menjadi

beberapa bagian. Semakin mampu penutur berkomunikasi dengan

berbagai ragam bahasa, semakin luaslah verbal repetoire yang dimiliki.

Hal itu berarti semakin luas verbal repertoire penutur dan masyarakat

maka semakin komunikatiflah masyarakat bahasa tersebut.

Pengelompokan yang dimaksud di atas antara lain:

a. Masyarakat monolingual, yaitu masyarakat bahasa yang hanya dapat

berkomunikasi dengan satu bahasa.

b. Masyarakat bilingual, yaitu masyarakat bahasa yang dapat berkomunikasi


15

dengan menggunakan dua bahasa.

c. Masyarakat multilingual, yaitu masyarakat bahasa yang dapat menggunakan

lebih dari dua bahasa.

Hal yang berbeda diungkapkan oleh Bell yang dikutip

Sumarsono (1993). Bell mengungkapkan bahwa ada sebuah asumsi

dalam sosiolinguistik yang menyatakan bahasa itu tidak pernah

monolitik, bahasa tidak pernah tunggal karena bahasa itu selalu

mempunyai ragam atau varian. Asumsi ini mengartikan bahwa

sosiolinguistik memandang masyarakat yang dikajinya sebagai

masyarakat yang beragam.

Kenyataan memang menunjukkan bahwa sosiolinguistik pada

umumnya mengkaji tentang dwibahasa atau anekabahasa. Menegenai

dwibahasa itu sendiri memiliki kajian yang panjang. Lebih dari setengah

penduduk dunia adalah dwibahasawan (Harding dan Riley, dalam

Tarigan). Hal ini berarti bahwa sebagian besar manusia di bumi ini

menggunakan dua bahasa yang berbeda sebagai alat komunikasi. Oleh

karena itu, bilingual atau dwibahasa adalah hal umum oleh sebagian

orang.

Aslinda dan Syafiyahya (2010), menguraikan beberapa defenisi

menurut para ahli; Weinreich berpendapat kedwibahasaan adalah

kebiasaan menggunakan dua bahasa atau lebih secara bergantian.

Sedangkan Bloomfield berpendapat bahwa kedwibahasaan merupakan

penguasaan dua bahasa yang sama baiknya. Akan tetapi, pendapat


16

Bloomfield ini tidak disetujui karena itu berarti setiap bahasa dapat

digunakan dalam setiap keadaan dengan kelancaran dan ketepatan yang

sama seperti yang digunakan oleh penuturnya. Alasan yang diajukan

ahli lain mengenai kelemahan defenisi tersebut ada beberapa. Pertama,

mengenai penguasaa B2 yang seperti B1. Agak diragukan adanya orang

yang menguasai B1 secara sempurna. Kedua, mengenai taraf

kemampuan menguasai bahasa secara sempurna. Para ahli belum

mampu merumuskan secara tepat bagaimana cara mengukur

kemampuan berbahasa seseorang secara tepat. Ketiga, mengenai

perbandingan kemampuan seseorang dalam menggunakan dua bahasa

yang berlainan. Kiranya kurang tepat membandingkan dua bahasa yang

berlainan.

Beberapa pendapat ahli juga diungkapkan oleh Tarigan (2011);

W.F. Mackey mengemukakan defenisi bahwa kedwibahasaan

merupakan suatu alternatif menggunakan dua bahasa atau lebih oleh

seorang individu, sedangkan Van Overbeke mengatakan bahwa

kedwibahasaan adalah suatu alat bebas atau wajib untuk mengefisienkan

komunikasi dua arah antara dua kelompok atau lebih yang punya

linguistik yang berbeda. Selanjutnya, menurut E. Haugen,

kedwibahasaan adalah kemampuan menghasilkan ujaran yang bermakna

di dalam bahasa kedua.

Berdasarkan beberapa pendapat para ahli tersebut, penulis dapat

menyimpulkan bahasa dwibahasa adalah suatu komunikasi yang


17

dilakukan oleh seorang individu yang menggunakan dua atau lebih

bahasa yang menghasilkan ujaran yang memiliki makna.

5. Alih kode

Menurut Suwito, alih kode adalah peristiwa peralihan dari kode

yang satu ke kode yang lain. Apabilah alih kode itu terjadi antar bahasa-

bahasa daerah dalam suatu bahsa nasional, atau antara dialek-dialek

dalam suatu bahasa daerah atau antar beberapa ragam dan gaya yang

terdapat dalam satu dialek, alih kode seperti itu bersifat intern. Apa bila

yang terjadi antar bahasa asli dengan bahsa asing, maka disebut alih

kode ekstern (1983: 68-69).

Terkait dengan alih kode, Abdul Chaer dan Leonie Agustina

berpendapat banyak raga pendapat mengenai beda alih kode dan campur

kode.namun yang jelas, kalau dalam alih kode setiap bahasa atau ragam

bahasa yang digunakan itu masi memiliki funsi otonomi masing-

masing. Di lakukan dengan sadar dan sengaja dengan sebab-sebab

tertentu. Di dalam campur kode ada sebuah kode utama atau kode dasar

yang digunakan dan memiliki fungsi dan otonominya berupa

serpihan- serpihan (pieces) saja, tanpa fungsi atau keotonomian sebagai

sebuah kode (2004: 114).

Senada dengan para peneliti sebelumnya mengenai alih kode

maka Harimurti Kridalaksana mengungkapkan bahwa alih kode

pengunaan variasi bahasa lain atau bahasa basa lain dalam suatu

peristiwa bahasa sebagai strategi untuk menyesuaikan diri dengan peran


18

atau situasi lain atau karna adanya partisipan lain (2008: 9).

Dari beberapa pengertian tersebut dapat di tarik kesimpulan

bahwa Alih kode adalah peristiwa peralihan dari kode yang satu ke kode

yang lain. Dengan catatan bahwa alih kode memiliki dua bahasa yang

berbeda sistem gramatikalnya, kemudian dua bahasa itu masih

mendukung funsi-fungsi tersendiri sesuai dengan kontks, dan fungsi

masing-masing bahasa di sesuaikan dengan situasi yang relevan dengan

perubahan konteks. Alih kode intern terjadi dalam satu bahasa nasional

dan alih kode ekstern terjadi dari bahasa nasional kedalam bahasa asing.

1. Wujud alih kode

Suwito mengungkapkan bahwa alih kode mungkin berwujud

varian, alih raga, alih gaya, atau alih register.ciri-ciri alih kode

mengunakan dua bahasa (atau lebih) itu di tandai oleh (a) masing-

masing bahasa memiliki fungsi-fungsi tersendiri sesuai dengan

konteksnya, (b) fungsi masing-masing bahasa disesuaikan dengan

situasi yang relevan dengan perubahan konteks. Dapat dikatakan bahwa

alih kode menunjukkan suatu gejala adanya saling ketergantungan

antara fungsikontekstual dan situasi relevansial di dalam pemakaian dua

bagasa atau lebih (1983: 68-69).

Dapat disimpulkan bahwa bentuk alih kode adalah alih varian, alih

raga, alih gaya, atau alih register. Alih kode secara bahasa dapat dilihat

dari alih bahasa dan alih ragam dalam dua konteks yang berbeda. Jadi

alih kode ditandai dengan satu bahasa di alihkan kedalam bahasa lain.
19

Pada konteks situasi yang berbeda.

a. Faktor yang melatar belakangi alih kode

Suwito menjelaskan alih kode adalah peristiwa yang disebabkan

oleh faktor-faktor luar bahasa, terutama faktor-faktor yang sifatnya

sosio- sitiasional. Faktor-faktor yang melatar belakangi terjadinya alih

kode sebagai berikut.

1) Penutur

Seorang penutur kadang-kadang dengan sadar berusaha beralih kode

terhadap lawan tuturnya karena dengan maksud. Bisanya usaha tersebut

dilakukan dengan maksud untuk mengubah situasi, yaitu dari situasi

resmi menjadi situasi tidak resmi.

2) Lawan tutur

Setiap penutur pada umunya ingin mengimbangi bahsa yang

dipergunakan oleh lawan tuturnya

a) Hadirnya penutur ke tiga

Dua orang yang berasal daru dua etnik yang sama pada umunya

saling berinteraksi dengan bahasa kelompok etniknya. Tetapi apabila

kemudian hadir orang ketiga dalam pembicaraan itu, dan orang itu

berada latar kebahasaanya, biasanya dua orang pertama beralih kedalam

bahasa yang di kuasai oleh ketiganya.

b) Pokok pembicaraan (topik)

Pokok pembicaraan atau topik merupakan faktor yang termasuk


20

dominan dalam menentukan terjadinya alih kode.

c) Untuk membangkitkan rasa humor

Alih kode sering dimanfaatkan oleh guru, pimpinan rapat atau

pelawak untuk membangkitkan rasa humor. Bagi pimpinan rapat

bangkitnya rasa humor di perlakukan untuk menyegarkan suasana yang

dirasakan mulai lesu.

d) Untuk sekadar bergensi

Sebagai penutur yang beralih kode sekedar untuk bergensi. Hal

itu terjadi apabila baik faktor situasi, lawan bicara, topik dan faktor-

faktor sosio-situasional yang lain sebenarnya tidak mengharuskan dia

untuk beralih kode.

Penelitian ini dekat dengan faktor-faktor yang melatar belakangi

alih kode yang diungkapkan oleh suwito, namun ada sedikit perbedaan

yaitu faktor yang melatar belakangi rasa humor dan untuk sekadar

bergensi masuk pada fungsi bukan masuk pada faktor yang melatar

belakangi alih kode secara sosio-situasional.

Faktor yang melatar belakangi pengunaan alih kode jiga

disampaikan oleh Soepomo Poedjosoedarmo (1979: 44), dalam

masyarakat jawa faktor-faktor tersebut adalah (1) situasi bicara, (2)

drajad keakraban antarsi pembicara dan lawan bicara, (3) kemantapan

hubungan antara si pembicara dan lawan bicara, (4) masalah yang di

bicarakan, (6) tingkat kesadaran pembicara.

Dapat di simpulkan bahwa faktor yang melatar belakangi


21

terjadinya alih kode adalah (1) situasi pembicara,(2) hadirnya 02. (3)

hadirnya 03, (4) dan topik yang dibicarakan.

2. Fungsi alih kode

Fungsi adalah beban makna suatu bahasa; pengunaan bahasa

untuk tujuan tertentu (Harimurti Kridalasana,2008:67). Suwito

mencantumkan bahwa alih kode masing-masing bahsa mendukung

fungsi tersendiri secara eksklusif dan peralihan kode terjadi apabila

penuturnya merasa bahwa situasi relefan dengan situasi kodenya.

Dengan demikian alih kode menunjukkan suatu gejala saling

ketergantungan antara fungsi kontekstual dan fungsi relefansial didalam

pemakian satu bahsa atau lebih (1983:69).

Penelitian ini menganalisis mengenai fungsih alih kode, fungsi

yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pengunaan alih kode pada

masyarakat bilingualisme. Fungsi atau tujuan mengunakan alih kode

dalam penelitian ini lebih secara kebahasaan dan tidak terlepas dari

faktor yang melatar belakangi terjadinya sebagai suatu hasil dari proses

sosio- situasional. Jadi fungsi alih kode adalah (1) lebih persuasif,

mengajak atau menyeluruh, (2) lebih argumentatif, (3) lebih

komunikatif, (4) lebih prestis.

6. Campur kode

Menurut Suwito (1983: 75), terjadinya campur kode merupakan

ketergantungan suatu bahasa dalam masyarakat multilingual. Didalam

campur kode ciri-ciri ketergantungan ditandai dengan adanya hubungan


22

timbal balik antara peran dan fungsi kebahasaan. Peran yang dikasud

adalah siapa yang mengunakan bahasa itu, sedangkan fungsi kebahsaan

berarti apa yang hendak dicapai oleh penutur dengan tuturanya. Ciri lain

dari campur kode adalah bahwa unsur-unsur bahasa atau variasi-

variasinya yang menyisip didalam bahasa lain tidak lagi memakai

fungsi- fungsi tersendiri. Pernyataan Suwito hampir sama intinya

dengan Harimurti Kridalaksana yang menjelaskan bahwa campur kode

yaitu pengunaan satuan bahsa dari satu bahasa kebahasa lain untuk

memperluas gaya bahasa atau ragam bahasa;termasuk didalamnya

pemakaian frasa, klausa, idiom, dan sapaan.

Terkait dengan batasan campur kode maka Wardhaugh

(1988:104), menyebutkan bahwa Conversational code-mixing involves

the deliberate mixsing of two language without an associated topic

change. ‘Tuturan campur kode secara sengaja melibatkan campur dari

dua bahasa tanpa merubah keutuhan topik pembicaraan’.

Dapat ditarik kesimpulan bahwa campur kode adalah peristiwa

penyisipan suatu bahasa kedalam bahasa yang lain, ada satu bahsa

sebagai bahasa inti dan hanya terdapat dalam satu topik pembicaraan.

1. Wujud campur kode

Selanjutnya dibahas mengenai wujud campur kode. Menurut

Suwito, berdasarkan unsur-unsur kebahasaan yang terlibat didalamnya

campur kode dapat dibedakan menjadi :

a) Penyisipan unsur-unsur yang berwujud kata,


23

b) Penyisipan unsur-unsur berwujud frasa,

c) Penyisipan unsur-unsur bentuk baster,

d) Penyisipan unsur-unsur berwujud perulangan kata,

e) Penyisipan unsur-unsur berwujud perulangan kata,

f) Penyisipan unsur-unsur berwujud klausa.

Dapat disimpulkan bahwa campur kode menurut unsur-unsur

kebahasaan, berwujud (1) ksta kasar, (2) kata jadian, (3) perulangan atau

reduplikasi, (4) frasa. Bentuk-bentuk diatas akan diuji dalam analisis

campur kode pada masyarakat bilingualisme.

2. Faktor yang melatar belakangi campur kode

Menurut Suwito (1983:75), latar belakang terjadinya campur kode pada

dasarnya dapat dikategorikan menjadi dua tipe yaitu tipe yang berlatar belakang

sikap (attitudional type) dan tipe yang berlatar belakang kebahasaan

(linguistictype). Kedua tipe itu saling tergantung dan jarang tumpang tindih

(overlap). Berikut alasan atau penyebab yang mendorong terjadinya campur kode antara

lain (a) identifikasi peranan, (b) identifikasi ragam, dan (c) keinginan untuk menjelaskan

dan menafsirkan. Dalam hal ini pun ketiganya saling bergantung dan jarang tumpang

tindih (overlap). Ukuran identifikasi peran adalah sisoal, registral, dan edukasional.

Identifikasi ragam ditentukan oleh bahasa dimana seorang penutur melakukan campur

kode yang akan menempatkan dia di dalam hierarki status sosialnya. Keinginan untuk

menjelaskan dan menafsirkan nampak karena campur kode juga manandai sikap dan

hubungan terhadap orang lain, dan sikap dan hubungan orang lain terhadapnya.

Kemudian terkait dengan campur

kode, Suwito (1983: 78), menuliskan bahwa campur kode itu terjadi
24

karena adanya hubungan timbal balik antara peranan (penutur), bentuk

bahasa dan fungsi bahasa. Artinya penutur yang memiliki latar belakang

sosial tentunya, cenderung memiliki bentuk campur kode tertentu

untuk mendukung fungsi-fungsi tertentu. Pemilihan campur kode

demikian dimaksudkan untuk menunjukkan status sosial dan identitas

pribadinya di dalam masyarakat. Terkait dengan campur kode

Budiasa menyebutkan bahwa pemilihan bahasa sepenuhnya

tergantung pada faktor partisipan, tujuan, pesan, suasana, topik, dan

saluran yang digunakan yang digunakan dalam pembicaraan sehingga

dapat dipakai untuk menelaah pengunaan bahasa (2008:133-134).

Dapat disimpulkan bahwa faktor yang

melatar belakangi campur kode adalah (1) identifikasi peranan atau

peran sosial penutur, (2) prinsip kesopanan dan kesantunan penutur,

(03) keinginan untuk menjelaskan dan menafsirkan.

3. Fungsi campur kode

Fungsi campur kode yang dimaksud dalam penelitian ini adalah

pengunaan campur kode pada masyarakat bilingualisme. Menurut

Budiasa tujuan penutur (penceramah) melakukan campur kode pada

kegiatan keagamaan untuk (1) bergengsi, (2) bertindak sopan, (3)

melucu, dan (4) menjelaskan. Kemudian dijelaskan lagi faktor eksternal

ditentukan oleh katepatan rasa (makna) dan kurangnya kosakata

(2008:136).

Dapat disimpulkan bahwa fungsi campur kode adalah (1) lebih


25

argumentatif, (2) lebih persuasif, (3) lebih komunikatif, (4) lebih singkat

dan diucapkan, dan (5) lebih perstise dan bergengsi.

7. Pergeseran Bahasa

Pergeseran bahasa berkaitan dengan fenomena sosiolinguistik

yang terjadi akibat adanya kontak bahasa. Pergeseran bahasa

menyangkut masalah penggunaan bahasa oleh seorang penutur atau

sekelompok penutur yang bisa terjadi akibat perpindahan dari satu

masyarakat tutur ke masyarakat tutur lain. Bila satu kelompok baru

datang ke tempat lain dan bercampur dengan kelompok setempat, maka

akan terjadilah pergeseran bahasa (language shift). Kelompok pendatang

ini akan melupakan sebagian bahasanya dan ‘terpaksa’ memperoleh

bahasa setempat. Alasannya karena kelompok pendatang ini harus

menyesuaikan diri dengan situasi baru tempat mereka berada.

Selanjutnya kelompok pendatang ini akan mempergunakan dua bahasa,

yaitu bahasa nasional dan bahasa daerah setempat (Alwasilah, 1993).

Sumarsono dan Partana (2004:231) mendefinisikan pergeseran bahasa

sebagai fenomena di mana suatu komunitas meninggalkan suatu bahasa

sepenuhnya untuk memakai bahasa lain.(Latif, 2016)

Coulmas (2005) menyatakan bahwa orang membuat pilihan

bahasa untuk berbagai tujuan. Seseorang memilih kata-kata, ragam

bahasa, gaya bahasa, dan bahasa untuk memenuhi berbagai tujuan

komunikasi yang terkait dengan penyampaian ide, keanggotaan atau

pemisahan diri dari suatu kelompok atau komunitas, dan pembentukan


26

atau pembelaan dominasi diri.(Saragih, 2018)

Fishman dalam Garcia (2011) mengungkapkan bahwa ada tiga

topik utama sebagai identifikasi pemertahanan dan pergeseran bahasa:

1. Habitat dan pengukuran derajat dan lokasi bilingualisme di sepanjang

dimensi sosiologis yang relevan.

2. Psikis, proses sosial dan budaya dan hubungan mereka dengan stabilitas atau

perubahan penggunaan bahasa yang biasa digunakan.

3. Perilaku terhadap bahasa, termasuk perilaku sikap, perilaku kognitif perilaku

yang berlebihan.

Fishman dalam Garcia (2011) dan Chaer (2010) telah

menunjukkan terjadinya pergeseran bahasa para imigran di Amerika.

Keturunan ketiga atau keempat dari para imigran itu sudah tidak

mengenal lagi bahasa ibunya (B-ib), dan malah telah terjadi

monolingual bahasa inggris (B-in). Awalnya, para imigran itu, masih

bermonolingual dengan bahasa ibunya. Ini tentu terjadi katika mereka

baru saja dating dan beberapa tahun setelah itu. Setelah beberapa lama,

mereka sudah menjadi bilingual bawahan (bahasa ibu dan bahasa

Inggris) di mana bahasa ibu masih dominan. Pada kurun waktu

berikutnya, bilingual mereka sudah menjadi setara. Penguasaan kedua

bahasa sudah sama baiknya. Selanjutnya, mereka menjadi bilingual

bawahan kembali, namun kini penguasaan bahasa inggris jauh lebih

baik daripada bahasa ibu. Akhirnya, mereka monolingual bahasa

Inggris, bahasa ibu atau bahasa leluhur telah mereka lupakan. Secara
27

sederhana pergeseran bahasa para imigran itu dilukiskan dalam

diagram berikut.

Monolingual
Bilingual bawahan Bilingual setara
(B-ib)
(B-ib-B-in) (B-ib-B-in)

Monolingual Bilingual bahawan

(B-in) (B-in-B-ib)

Pola yang sama diperlihatkan oleh haugen dalam Musk

mengenai pola pergeseran bahasa pada bangsa Norwegia di Amerika

Utara.

A > Ab > AB > aB > B

Jadi pergeseran bahasa atas ruang dari beberapa genarasi dimulai

dan berakhir dengan monolingualisme melewati tiga tahap b: Ab, dalam

hal ini bilingual ada dalam konteks penggunaan bahasa kedua yang

masih minoritas, AB dalam hal ini kedua bahasa sudah setara, dan

aB, dalam hal ini bahasa kedua sudah menjadi mayoritas. Menurut

model ini, pemeliharaan bahasa mengalami ancaman dari saat populasi

menjadi bilingual.(Ulandari, 2019)

Pergeseran bahasa biasanya terja di di negara, daerah, atau


28

wilayah, yang memberi harapan untuk kehidupan sosial ekonomi yang

lebih baik, sehingga mengundang imigran untuk mendatanginya.

Misalnya, kota metropolitan Jakarta yang identik dengan kota yang

menjanjikan seseorang untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik

sehingga mendorong warga masyarakat dari berbagai daerah untuk

datang berbondong-bondong ke sana. Salah satu contoh, warga Maluku

yang melakukan migrasi ke Jakarta, secara perlahan, karena adanya

tuntutan situas, kondisi, dan kebutuhan maka mereka akan berpindah

mempergunakan bahasa mereka ke bahasa Indonesia.

Berdasarkan contoh di atas dapat disimpulkan bahwa pergeseran

bahasa terjadi pada masyarakat yang dwibahasa. Kedwibahasaan

tersebut kemungkinan dimulai ketika penduduk melakukan migrasi

sehingga terjadi kontak budaya yang berujung pada kontak bahasa pula

dengan penduduk asli yang memiliki bahasa yang berbeda. Keadaan itu

pun akhirnya membuat mereka menanggalkan atau tidak memakai

kembali bahasa asli mereka. Selanjutnya, peristiwa pergeseran bahasa

yang terjadi akan berujung pada dua hal, yakni apakah bahasa resepien

yang mengalami pergeseran tersebut berujung pada kepunahan atau

tetap bertahan dengan memungsikan dua bahasa (dwibahasa).

Berdasarkan beberapa pendapat para ahli penulis dapat menyimpukan

bahwa pergeseran bahasa adalah peristiwa perubahan bahasa yang

terjadi karena bertambahnya suatu bahasa baru yang biasanya terjadi

pada pelaku tutur yang berpindah dari satu tempat yang baru ketempat
29

lain dengan bahasa yang baru pula, sehingga dapat mengakibatkan

terjadinya pergeseran bahasa.

Faktor-faktor pergeseran bahasa:

Peristiwa pergeseran bahasa setidaknya disebabkan oleh

beberapa faktor, yakni:

1. Industrialisasi

Industrialisasi adalah suatu proses perubahan sosial ekonomi yang

mengubah sistem pencaharian masyarakat agraris menjadi masyarakat

industry.

Industrialisasi juga bisa diartikan sebagai suatu keadaan dimana

masyarakat berfokus pada ekonomi yang meliputi pekerjaan yang

semakin baragam (spesialisasi), gaji, dan penghasilan yang semakin

tinggi. Indusrtialisasi adalah bagian dari proses modernisasi dimana

perubahan sosial perkembangan ekonomi erat hubungannya dengan

inovasi teknologi. Dalam industrialisasi ada perubahan filosofi manusia

di mana manusia mengubah pandangan lingkungan sosialnya menjadi

lebih kepada rasionalitas (tindakan atas pertimbangan, efisiensi, dan

perhitungan, tidak lagi mengacu kepada moral, emosi, kebiasaan atau

tradisi).

2. Migrasi

Migrasi adalah perpindahan penduduk dari suatu unit- ke unit yang

lain. Migrasi merujuk pada perpindahan untuk menetap permanen yang

dilakukan oleh imigran, sedangkan turis dan pendatang untuk jangka


30

waktu pendek tidak dianggap sebagai imigran. Walaupun demikian,

migrasi pekerja musiman (umunya untuk periode kurang dari satu

tahun) sering dianggap sebagai bentuk migrasi. PBB memperkirakan

ada sekitar 190 juta imigran internasional pada tahun 2005, sekitar 3%

dari populasi dunia. Sisanya tingga di negara kelahiran mereka atau

negara penerusnya.

3. Politik

Politik (dari bahasa Yunani :politikos, yang berarti dari, untuk, atau

yang berkaitan dengan warga negara), adalah proses pembentukan dan

pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud

proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara. Pengertian

ini merupakan upaya penggabungan antara berbagai definisi yang

berbeda mengenai hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik.

4. Pendidikan

Pendidikan adalah pembelajaran pengetahuan, keterampilan, dan

kebiasaan sekelompok orang yang ditransfer dari satu generasi ke

genarasi berikutnya melalui pengajaran, pelatihan, atau penelitian.

Pendidikan sering terjadi di bawah bimbingan orang lain, tetapi tidak

jarang pula secara otodidak. Setiap pengalaman yang memiliki efek

formatif pada cara orang berpikir, merasa, atau tindakan dapat dianggap

pendidikan. Pendidikan umumnya dibagi menjadi tahap seperti

prasekolah, sekolah dasar, sekolah menengah dan kemudian perguruan

tinggi, universitas atau magang.


31

5. Mobilitas sosial

Mobilitas adalah pergerakan atau perpindahan, sedangkan sosial

adalah berkaitan dengan masyarakat. Jadi mobilitas sosial adalah suatu

proses pergerakan naik (social climbing) atau turunnya (social sinking)

status seseorang atau kelompok masyarakat.

6. Jumlah penutur

Jumlah penutur ialah jumlah atau banyaknya masyarakat yang

menggunakan bahasa tersebut sehingga secara langsung ataupun tidak

langsung itu merupakan salah satu cara untuk mempertahankan suatu

bahasa agar tidak terjadi pergeseran.

7. Konsentrasi pemukiman

Konsentrasi pemukiman ialah fokus kepada pemukiman di mana

seseorang berada dan selalu menggunakan bahasa di mana ia berada

atau menyesuaikan bahasa setempat.

8. Bahasa Makassar

Bahasa Makassar (basa Mangkasaraʼ, Lontara: ( ᨅᨔ ᨆᨀᨔᨑ)

adalah sebuah bahasa dalam rumpun bahasa Austronesia yang lazimnya

dituturkan oleh penduduk bersuku Makassar di sebagian

wilayah Sulawesi Selatan, Indonesia. Dalam rumpun bahasa

Austronesia, bahasa Makassar merupakan bagian dari rumpun bahasa

Sulawesi Selatan, walaupun kosakata bahasa ini tergolong divergen jika

dibandingkan dengan kerabat-kerabat terdekatnya. Bahasa Makassar


32

memiliki sekitar 1,87 juta penutur jati pada tahun 2010.(Rabiah, 2018)

Terdapat 23 fonem dalam sistem fonologi bahasa Makassar. Bahasa

Makassar juga memiliki beberapa deret konsonan ganda atau geminat.

Sebagai bahasa aglutinatif, bahasa Makassar memiliki beragam afiks

yang masih produktif serta serangkaian klitik yang (antara lain)

memarkahi fungsi pronomina yang lazimnya mengikuti pola

persekutuan ergatif-absolutif.

Bahasa Makassar merupakan bahasa Austronesia dari subrumpun

Melayu-Polinesia cabang sulawesi selatan, khususnya kelompok

Makassar atau Mangkasarak yang juga mencakup bahasa konjo (baik

ragam penggunaan maupun pesisir) serta bahasa Selayar. Ragam bahasa

Konjo dan Selayar terkadang juga dianggap sebagai dialek bahasa

Makassar. Sebagai bagian dari rumpun bahasa Sulawesi Selatan, bahasa

Makassar juga berkerabat dekat dengan bahasa Bugis, Mandar,

dan Sa'dan (Toraja).

Dalam hal kosakata, rumpun bahasa Makassar merupakan yang

paling berbeda di antara bahasa-bahasa Sulawesi Selatan. Rerata

persentase kemiripan kosakata antara rumpun Makassar dengan bahasa-

bahasa Sulawesi Selatan lainnya adalah sebesar 43%. Secara spesifik,

dialek Gowa atau Lakiung adalah yang paling divergen; tingkat

kemiripan kosakata dialek ini dengan bahasa-bahasa Sulawesi Selatan

lainnya sekitar 5–10 poin persentase lebih rendah dibandingkan dengan

tingkat kemiripan kosakata bahasa Konjo serta Selayar dengan bahasa-


33

bahasa Sulawesi Selatan lainnya. Meski begitu,

analisis etimostatistik dan functor statistics yang dilakukan oleh linguis

Ülo Sirk menghasilkan persentase kemiripan kosakata yang lebih tinggi

(≥ 60%) antara bahasa Makassar dan bahasa-bahasa Sulawesi Selatan

lainnya. Bukti-bukti kuantitatif ini mendukung analisis kualitatif yang

menempatkan bahasa Makassar sebagai bagian dari rumpun Sulawesi

Selatan.

Ragam bahasa dalam rumpun Makassarik membentuk

sebuah kesinambungan dialek, sehingga batas antara bahasa dan dialek

sulit ditentukan. Survei bahasa di Sulawesi Selatan yang dilakukan oleh

pasangan linguis dan antropolog Charles dan Barbara Grimes

memisahkan bahasa Konjo dan Selayar dari bahasa

Makassar, sementara survei lanjutan yang dilakukan oleh linguis

Timothy Friberg dan Thomas Laskowske memecah bahasa Konjo

menjadi tiga (Konjo Pesisir, Konjo Pegunungan,

dan Bentong/Dentong). Walaupun begitu, dalam buku mengenai tata

bahasa Makassar terbitan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa,

linguis lokal Abdul Kadir Manyambeang dan tim memasukkan ragam

bahasa Konjo dan Selayar sebagai dialek bahasa Makassar.

Tidak termasuk ragam-ragam bahasa Konjo dan Selayar, bahasa

Makassar dapat dibagi ke dalam setidaknya tiga dialek, yaitu 1) dialek

Gowa atau Lakiung, 2) dialek Jeneponto atau Turatea, dan 3) dialek

Bantaeng.Perbedaan utama antara ragam-ragam dialek dan bahasa


34

dalam rumpun Makassar adalah dalam tataran kosakata; tata bahasa

ragam-ragam ini secara umum tidak jauh berbeda. Penutur dialek Gowa

cenderung bertukar menggunakan bahasa Indonesia ketika

berkomunikasi dengan penutur dialek Bantaeng atau penutur bahasa

Konjo dan Selayar, begitu pula sebaliknya. Dialek Gowa umumnya

dianggap sebagai "ragam tinggi" (prestige variety) bahasa Makassar.

Sebagai ragam yang dituturkan di wilayah pusat daerah, dialek Gowa

juga lazim digunakan oleh penutur dialek atau ragam bahasa lainnya

dalam rumpun Makassar.

B. Kerangka Pikir

Kerangka berfikir merupakan bentuk kerangka yang dianalogi

oleh peneliti untuk melakukan penelitian berdasarkan permasalahan dan

tujuan yang ingin dicapai, selain itu juga berfungsi sebagai peta konsep

dalam penelitian ini. Kerangka berfikir ini untuk membantu supaya

tidak terjadi penyimpangan dalam penelitian Beranjak dari

sosiolinguistik sebagai salah satu cabang ilmu yang mempelajari bahasa

dan hubungannya dengan masyarkat, yaitu salah satunya adalah

dwibawasa dan multibahasa yang merupakan kemampuan seseorang

untuk menggunakan lebih dari satu bahasa.

Proses pergeseran bahasa yang ada di lingkungan keluarga akan

menjadi objek penelitian pada penelitian “pergeseran penggunaan

bahasa makassar dalam lingkungan keluarga di Desa Toddopulia

Kecamatan Tanralili Kabupaten Maros”. Penelitian ini akan berfokus


35

pada pergeseran penggunaan bahasa makassar yang terjadi di

lingkungan keluarga.

Kabupaten Maros adalah sebuah wilayah yang menampakkan

penggunaan bahasa lebih dari satu dalam masyarakat. Bahasa daerah di

wilayah ini adalah bahasa Makassar. Ditambah dengan adanya

kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, maka hal ini

sangat memungkinkan untuk terjadinya dwibahasa atau multibahasa

yakni bahasa Makassar dan bahasa Indonesia. Peristiwa tersebut terjadi

pula pada masyarakat di Desa Toddopulia Kecamatan Tanralili

Kabupaten Maros. Dalam hal ini, ada dua bahasa yang terlihat dalam

masyarakat yakni, bahasa Makassar dan bahasa Indonesia.

Kontak bahasa dalam masyarakat dwibahasa atau multibahasa

seperti yang terjadi di atas seringkali menimbulkan fenomena

kebahasaan. Salah satunya adalah pergeseran bahasa, sebuah masalah

kebahasaan yang mengancam kedudukan bahasa pertama bahkan bisa

saja menyebabkan kepunahan bahasa. Dalam hal ini, bahasa pertama

yang dimiliki oleh masyarakat secara perlahan ditinggalkan dan

masyarakat beralih untuk menggunakan bahasa yang baru.

Untuk melihat bagaimana fenomena pergeseran bahasa itu

terjadi maka peneliti akan mengamati penggunaan bahasa masyarakat di

Desa Toddopulia Kecamatan Tanralili Kabupaten Maros, yaitu; bahasa

Makassar, dan bahasa Indonesia yang memungkinkan terjadi pada

berbagai situasi atau konteks yang berbeda, antara lain; penggunaan


36

bahasa pada anak-anak, penggunaan bahasa pada remaja, penggunaan

bahasa dalam lingkungan keluarga, dan penggunaan bahasa dalam

lingkungan bertetangga. Data-data di atas akan dianalisis hingga sampai

pada temuan.

Bagan Kerangka Pikir

Sosiolinguistik

Penggunaan Bahasa
Makassar

Pergeseran Bahasa
Makassar

Alih Kode Campur Kode

Analisis

Temuan
37
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Peneliti akan menggunakan jenis penelitian kualitatif, yaitu

penelitian tentang riset atau data yang bersifat deskriptif serta cenderung

menggunakan analisis. Oleh karena itu, dalam penyusunan desain harus

dirancang berdasarkan prinsip metode dekskriptif kualitatif, yaitu

mengumpulkan, mengelola, mereduksi, menganalisis data dan

menyajikan data secara objektif atau sesuai dengan kenyataan yang ada

untuk memperoleh data. Untuk itu peneliti dalam menjaring data

mendeksripsikan “Pergeseran Penggunaan Bahasa Makassar dalam

lingkup keluarga di Desa Toddopulia Kecamatan Tanralili Kabupaten

Maros.

B. Desain Penelitian

Desain penelitian yang dipergunakan adalah deskriptif kualitatif

yang bertujuan untuk mendeskripsikan penggunaan bahasa pada

masyarakat Desa Toddopulia Kecamatan Tanralili Kabupaten Maros.

C. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei-Juni 2022, di Desa

Toddopulia Kecamatan Tanralili Kabupaten Maros

D. Fokus Penelitian

Penelitian yang berjudul “ Pergeseran Penggunaan Bahasa

Makassar dalam Lingkungan Keluarga di Desa Toddopulia kecamatan

35
36

Tanralili Kabupaten Maros”, yang menjadi fokus penelitian dalam hal

ini adalah penggunaan bahasa Makassar dan bahasa Indonesia.

E. Definisi istilah

Agar tidak terjadi kesalahan dalam menafsirkan fokus penelitian

dikemukakan definisi operasional istilah. Pergeseran bahasa yang dimaksud

adalah peralihan bahasa dari bahasa Makasssar kemudian ke bahasa Indonesia.

Hal tersebut sesuai dengan keterangan beberapa masyarakat Desa Toddopulia

mengenai pemerolehan bahasa berdasarkan urutan waktunya, yaitu bahasa

yang pertama dikenal oleh mereka adalah bahasa Makassar dan selajutnya bahasa

Indonesia.

F. Data dan sumber data

1. Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari wujud penggunaan

bahasa Makassar dan bahasa Indonesia.

2. Sumber data

Data penelitian ini yakni data simak dan wawancara yang diperoleh dari

masyarakat Desa Toddopulia Kecamatan Tanralili Kabupaten Maros.

G. Teknik pengumpulan data

1. Metode simak

Metode simak adalah metode yang digunakan untuk memperoleh

data dengan menyimak penggunaan bahasa. Dinamakan metode simak

karena cara yang digunakan untuk memperoleh data yaitu dengan cara

menyimak penggunaan bahasa (Mahsun, 2007 : 29).


37

Adapun teknik simak yang digunakan adalah, sebagai berikut:

a. Teknik simak libat cakap, dalam kegiatan menyadap seorang peneliti harus

berpartisipasi dalam pembicaraan dan menyimak pembicaraan, sehingga

peneliti melakukan dialog secara langsung dengan informan.

b. Teknik simak bebas libat cakap, dalam teknik ini seorang peneliti tidak

dilibatkan secara langsung untuk ikut menentukan pembentukan dan

pemunculan calon data kecuali hanya sebagai pemerhati terhadap calon data

yang terbentuk dan muncul dari peristiwa kebahasaan yang berada diluar

dirinya.

c. Teknik rekam, dalam hal ini peneliti berusaha merekam pembicaraan

dengan informan yang dilakukannya tanpa sepengetahuannya, serta

digunakan sebagai bukti penelitian.

d. Teknik catat, di samping perekaman penelitian ini juga menggunakan teknik

catat pada kartu data yang dilanjutkan pada klasifikasi data

2. Metode cakap (wawancara)

Metode cakap merupakan metode yang dilakukan dengan jalan

melakukan percakapan dan terjadi kontak antara peneliti dengan

informan, metode ini dapat disejajarkan dengan metode wawancara.

Metode cakap ini digunakan untuk mengetahui sejarah/proses peralihan

serta faktor-faktor yang menyebabkan pergeseran bahasa terjadi.

H. Teknik analisis data

Data yang diperoleh dari penelitian diolah sehingga diperoleh

keterangan- keterangan yang berguna sehingga selanjutnya dianalisis.


38

Dalam penelitian ini analisis data yang digunakan adalah analisis data

kualitatif. Peneliti menggambarkan keadaan/fenomena yang diperoleh

kemudian menganalisisnya dengan bentuk-bentuk kata untuk

memperoleh kesimpulan.

Menurut Miles dan Huberman (dalam Sugiyono: 2016) tahap

analisis data adalah sebagai berikut:

1. Pengumpulan data

Data berupa catatan dan rekaman hasil penyimakan serta

wawancara dikumpulkan dan dianalisis secara rinci dan apa adanya.

Pengumpulan data diperoleh melalui observasi dan wawancara dari

masyarakat. Kelengkapan data penelitian juga diperoleh dari dokumen-

dokumen, seperti foto-foto dan rekaman- rekaman.

2. Reduksi data

Sebagai proses pemilihan, penyederhanaan klasifikasi data kasar

di lapangan. Data yang telah dikumpulkan selanjutnya dipilih sesuai

dengan fokus penelitian yaitu penggunaan bahasa Bugis dan bahasa

Indonesia. Data yang tidak diperlukan dalam penelitian ini akan

diabaikan oleh peneliti agar hasilnya lebih fokus dan tidak melenceng

sehingga memudahkan dalam melakukan analisis dan membuat

kesimpula

3. Penyajian data

Penyajian data berupa upaya penyusunan informasi menjadi

pernyataan. Data dalam bentuk teks yang pada mulanya terpencar dan
39

terpisah menurut sumber informasi dan pada saat diperolehnya

informasi diklarifikasikan menurut pokok-pokok permasalahan.

a. Penarikan Kesimpulan

Penarikan kesimpulan berdasarkan reduksi dan penyajian data yang telah

dilakukan.

I. Instrumen penelitian

Dalam penelitian kualitatif ini, yang menjadi instrument kunci

dalam penelitian ini adalah peneliti itu sendiri. Hal ini karena, peneliti

secara langsung melakukan penyimakan dalam proses pengumpulan

data. Selain itu, sebagai alat bantu penelitian, digunakan pula alat

perekaman dan buku catatan lapangan. Selanjutnya setelah fokus

penelitian ini menjadi jelas, maka kemungkinan akan dikembangkan

instrument penelitian sederhana, yang diharapkan dapat melengkap data

dan membandingkan dengan data yang telah ditemukan.

J. Keabsahan data

Pada penelitian kualitatif wajib menyajikan kebenaran yang bersifat

objektif. Agar kepercayaan suatu penelitian dapat tercapai, maka

diperlukan adanya keabsahan data. Dalam memperoleh keabsahan data

penelitian ini, maka dilakukan tringulasi. Triangulasi yang dimaksud

adalah Triangulasi Sumber. Triangulasi Sumber adalah pengumpulan

data dari beragam sumber yang saling berbeda dengan menggunakan

satu metode yang sama.


40
BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

1. Wujud penggunaan alih kode bahasa remaja.

Data 1

Waktu : Sore hari

Situasi :Tiga remaja (masing-masing berumur 11, 16 dan 22 tahun)

sedang menonton anak-anak yang sedang bermain. Pada situasi

ini, ketiga remaja tidak berkomunikasi satu sama lain, namun

masing-masing dari mereka berteriak memberi petunjuk pada

anak-anak yang sedang bermain. Jenis komunikasi ini adalah

komunikasi dua arah yang dilakukan ketiga remaja terhadap

anak-anak yang sedang bermain.

Tuturan :

P1 : “Burui ceppa, Mira! di sanako sebagian! lari!”(1)

“(Buru cepat, mira! Di sana sebagian! Lari!)”

P2 : “ Oper-operko!” (2)

“( oper-oper)”

P1 : “lari! lari! lari!” (3)

“(lari! Lari! Lari!)”

P2 : “Oper-operi! Di sana! Maju tasedikit-sedikitko!”(4)

“(oper-oper! Disana! Kamu maju sedikit demi sedikit)”

P3 : “Ao, diborongi. Punna nabarongiko lari makko ceppa.” (5)


40
41

“(yah, dikerumuni. Kalau kamu dikerumuni kamu berlarilah dengan

cepat)”

P1 : ”Lari cepat! (6)

“(lari cepat!)”

P3 : Sinta pajoge-na.” (7)

“(sinta yang bergoyang)”

P1 :”Majuko lagi, Nur! tidak ji. janganko lempar ke sana!(8)

“(kamu maju lagi, Nur! Tidak apa-apa kamu janagn lempar

kesana)”.

P2 : “Kurung Yuttu, bodoh” (9)

P3 :“ Ya, Larro mako, akbiring mako mae!”(10)

“( ya, kamu mau marah, kamu mendekat )”

P1 : “Mira, mendekat! Yuttu, bodohnya Yuttu” (11)

Peristiwa alih kode yang terjadi oleh P1 pada tuturan (1) burui ceppa

mira! Disanako sebagain! Lari!. Kemudian menggunakan bahasa Makassar pada

tuturan (2) oper-operko, selanjutnya beralih lagi menggunakan bahasa Indonesia

pada tuturan (3) lari, lari, lari, dan pada tuturan (4) oper-operi! di sana! Maju

sedikit-sedikit. Selain itu pada tuturan (5) beralih menggunakan bahasa Makassar

Ao, diborongi, punna naborongiko lari mako ceppa, kemudian beralih kebahasa

Indonesia pada tuturan (6) lari cepat, lalu beralih kebahasa Makassar pada tuturan

(7) sinta pajoge-na, kemudian pada tuturan (8) beralih menggunakan bahasa

Indonesia maju lagi, Nur!, tidakji. Jangan lempar kesana, dan pada tuturan (10)

beralih menggunakan bahasa Makassar ya, larro mako, akbiring mako mae,
42

kemudian pada tuturan (11) beralih ke bahasa Indonesia Mira mendekat, yuttu

bodohnya.

Data 2

Waktu : Siang hari

Situasi : Seorang remaja perempuan sedang menghias telapak tangannya.

Dalam situasi ini, peneliti terlibat dengan melakukan

sebuah komunikasi dengan peserta tutur.

Tuturan :

P1 : “Awwa!”(12)

P2 : “Bentuk apakah?”(13)

P1 : “Tena kuissengi.”(14)

“(Saya tidak tahu)”

P2 :”Bentuk lumba-lumba, jangang-jangang , olo-olo?”(15)

“( bentuk lumba-lumba, ayam-ayam, ulat-ulat)”.

P1 : “Apa dibilang jangang-jangang?”(16)

“(apa yang dimaksud dengan ayam-ayam)”.

Peristiwa alih kode yang terjadi oleh P1 pada tuturan (12) Awwa yang

menggunakan bahasa Makassar kemudian beralih menggunakan bahasa Indonesia

pada tuturan (13) bentuk apakah?, kemudian beralih menggunakan bahasa

Makassar pada tuturan (14) tena kuissengi, lalu beralih menggunakan bahasa

Indonesia pada tuturan (15) bentuk lumba-lumba, burung, dan ulat, dan tuturan

(16) apa yang dimaksud bentuk burung.


43

Data 3

Waktu : Sore hari

Situasi :Beberapa orang, baik anak-anak, remaja, maupun dewasa, sedang

duduk di halaman rumah salah seorang warga dan sedang

menunggu buah kelapa yang dipetik. Kemudian datang seorang

warga lain hingga terjadi sebuah komunikasi yang melibatkan

empat peserta, yaitu tiga perempuan yang tergolong dewasa, dan

seorang laki-laki dewasa.

Tuturan :

P1 : “Niakmi I ambo, sareanga anjo kalukua Sakka. tayangma! Siapa batu

ambo, sibatu, atau ruang batu?”(16)

“(Ambo sudah ada, memberikan kelapa itu sakka. Tunggu! Berapa butir

Ambo, satu atau dua biji?)”.

P2 : “Cukupkan dua. Cukupkan dua butir, nak Sakka!”(17)

P3 : “Biar di sana saja dikerja!”(18)

P1 : “Mungkin ingin dibentuk utuh oleh orang di sana untuk satu

butir.”(19)

P4 : “Antuengmi.”(20a)

“(Disana saja)”

: “Ini saja yang kau Ambil.”(20b)

: “Niak anjoeng sibatu.”(20c)

“(Disana ada satu butir)”

P1 : “Tidak usah yang itu, Ambo! Mungkin orang di sana tidak mau
44

bentuk seperti itu.”(21)

P4 : “Allemo mae ceppa.”(22)

“(Berikan saya secepatnya)”

Peristiwa alih kode yang terjadi oleh P1 pada tuturan (16) niakmi I ambo,

sareangan anjo kalukua Sakka! Tayangma ! siapa batu ambo, sibatu atau ruang

batu?, yang awalnya menggunakan bahasa Makassar kemudian beralih

menggunakan bahasa Indonesia pada tuturan (17, 18 dan 19). (17) cukuplah dua,

cukuplah dua butir. (18) Biar disana saja dikerja! (19) mungkin ingin dibentuk

utuh oleh orang disana untuk satu butir. Selain itu pada tuturan (20a) beralih

menggunakan bahasa Makassar Antuengmi, dan kalimat ketiga menggunakan

bahasa Makassar pada tuturan (20c) niak anjoeng sibatu. Kemudian beralih

menggunakan bahasa Indonesia pada tuturan (21) tidak usah yang itu ambo!

Mungkin orang disana tidak mau bentuk seperti itu, dan pada tuturan (22) beralih

menggunakan bahasa Makassar Allemo mae ceppa.

Data 4

Waktu : Sore hari

Situasi : Masyarakat sedang berkumpul dan berbincang-bincang di salah

satu rumah warga. Seorang remaja kemudian bertanya mengenai

penggunaan bahasa masyarakat. Dalam data ini, yang menjadi

fokus data adalah tuturan masyarakat dewasa, baik ketika

berkomunikasi dengan remaja maupun masyarakat dewasa lainnya.

Tuturan :

P1 : “ Janganki bertanya sama dia!”(23)


45

“(Kamu janagan bertanya sama dia)”

P2 : “Sembarang nanti natanyakanki.”(24)

“(nanti dia memeri informasi yang tidak jelas)”

P1 :” Banyak sekali na bilang itu, baru tidak jelas.”(25)

“(dia terlalu banyak bicara, dan tidak jelas)”

P3 : “Jadi, anjo riolo bahasa apa napake tawwa mangkasarak na

indonesia?” (26)

“(jadi, bahasa apa yang digunakan orang dulu, bahasa makassar atau

indonesia)”

P1 : “Pake bahasa makassarji semua, baru-baruji itu pake bahasa

Indonesia.”(27)

“(semua orang menggunakan bahasa Makassar, baru menggunakan

bahasa Indonesia)”

P4 : “Memang dulu orang pake bahasa Makassar.”(28)

“(dulu memang orang menggunakan bahasa Makassar)”

P3 : “Angngapa nakulle anjari Indonesia?”(29)

“(kenapa bisa berubah menggunakan bahasa indonesia)”

P1 :“Karena kau semua anak-anak sekarang sudah pake bahasa Indonesia

semua. Kalau tidak salah yang pertama pake bahasa Indonesia I

Sanang”(30a)

“(karna kalaian anak-anak sekarang sudah menggunakan bahasa

Indonesia. Kalau tidak salah yang pertama kali menggunakan bahasa

Indonesia adalah Sannang)”


46

“Inai tau biasa ammake bahasa Indonesia, Dalle? I anu kusakring I

Rabi.”(30b)

“(Siapa orang yang terbiasa menggunakan bahasa Indonesia, Dalle?

Perasaan Rabi.)”

P5 :“Anakna mak Yuyun, Hj. Mardiana yang aseng angngisseng ji akbasa

Mangkasarak)”(31)

“(Anaknya mak yuyun, semua anak Hj, Mardiana tau menggunakan

bahasa Makassar)”

P2 :”Anjo riolo anakku, I Akbar, I Linda, akbasa mangkasarak ngaseng

ji”(32)

“(Dulu itu anak saya, Akbar, Linda, menggunakan bahasa Makassar

semua)”

P1 :“ Iya, terakhir mami baru pake bahasa Indonesia.”(33a)

“(Iya, yang terakhir yang menggunakan bahasa Indonesia)”

“angngapa nakulle antama bahasa Indonesia di?”(33b)

“(Kenapa bisa masuk bahasa Indonesia?)”.

P4 :”Dulu kita waktu masih mengajiki pake bahasa Makassar semuaji, kalau

sekarang anak-anak pake bahasa Indonesia semuami. Kecuali Minang,

beda Makassarnya.”(34)

“( Dulu waktu kecil kami mengaji semua menggunakan bahasa Makassar,

tapi sekarang semua anak-anak menggunakan bahasa Indonesia . kecuali

Minang, menggunakan bahasa Makassar yang beda.)”.

P1 :“E, I Mussing. Kalau saya pake bahasa Makassarka, dia tetapji pake
47

bahasa Indonesia.”(35)

“(Mussing, saya menggunakan bahasa Makassar, dan dia tetap

menggunakan bahasa Indonesia)”.

Peristiwa alih kode yang terjadi oleh P1 dan P2 pada tuturan (23 dan 24)

yang menggunakan bahasa Indonesia kemudian beralih menggunakan bahasa

Makassar pada tuturan (26) jadi, anjo riolo bahasa apa napake tawwa,

mangkasarak na basa Indonesia. Selain itu tuturan (27) beralih menggunakan

bahasa Indonesia pake bahasa Makassarji semua baru-baruji itu pake bahasa

Indonesia. Pada tuturan (28) beralih menggunakan bahasa Indonesia dan

kemudian beralih pada tuturan (29) menggunakan bahasa Makassar. Kemudian

pada tuturan (30a) menggunakan bahasa Indonesia, lalu beralih pada kalimat

kedia dan ketiga menggunakan bahasa Makassar pada tuturan (30b dan 30c). dan

pada tuturan (32) juga beralih menggunakan bahasa Makassar, yang kemudian

pada tuturan (33, 34, 35) beralih menggunakan bahasa Indonesia.

Data 5

Waktu : Sore hari

Situasi : Beberapa warga berkumpul dan berbincang di halaman salah

seorang warga. Dalam lingkup peristiwa komunikasi ini terdapat

anak-anak, remaja, maupun dewasa. Namun, yang menjadi fokus

dalam data adalah P1 dan P2 yang merupakan masyarkat kategori

remaja. Sedangkan P3 merupakan masyarkat dari luar lingkungan

desa Toddopulia.
48

Tuturan :

P1 : “Maumi tinggal ini. Maumi tinggal i Amel sekolah.”(36)

“( ini sudah tinggal. Amel sudah tinggal sekolah?

P2: :“Ayo! Bilangko pulangma, teman! Ayo pergi rumahna, Amel!”(37)

“( Ayo, kamu bilang pulang, teman! Ayo kita kerumah Amel!)”

P1 : “Au… aklappoki.”(38a)

“(Yah, meletus)”.

“Pulangmi Reza. Itu pulangmi Reza.”(38b)

(Reza sudah pulang. Reza sudah pulang)”.

: “Awwe, mba mae ammekang, na anak-anaka, takliwak-liwaki.”

(38c)

“( Awwe, ayo pergi memancing, anak-anak sudah sangat

keterlaluan)”.

P3 : “Tidak berubahpi manggamu.”(39)

“(Apakah manggamu sudah berbuah)”

P1 : “Kau iya?”(40)

“(Kamu)”

P3 : “Belumpi juga.”(41)

“( Belum)”

Peristiwa alih kode yang terjadi oleh P1 pada tuturan (36 dan 37)

menggunakan bahasa Indonesia, kemudian beralih kebahasa Makassar pada

tuturan (38a dan 38c). selain itu beralih menggunakan bahasa Indonesia pada
49

tuturan (39, 40 dan 41).

Data 6

Waktu : Sore hari

Situasi : Dua orang remaja sedang memetik buah gerseng. Dalam peristiwa

tutur ini, peneliti hanya menyimak dan mengamati tuturan kedua

remaja tersebut tanpa ikut terlibat dalam komunikasi.

Tuturan :

P1 : “Lihat lagi, tidak ada mi itu.(42)

“(Lihat lagi, sudah tidak ada)”.

P2 : “Itu e.”(43)

“(itu disana)”.

P1 : “Satu ji.”(44)

“( Hanya satu)”.

P2 : “Tidak kuliatki.”(45)

“( Saya tidak melihatnya)”.

P1 : “Oh, jauhna.”(46a)

“( Sangat jauh)”

“Rassimi kantongku.”(46b)

“( Kantong saya sudah penuh)”.

P2 : “Ada kudapat, ada kudapat.”(47)

“(Saya mendapatkannya, saya mendapatkannya)”

Peristiwa alih kode yang terjadi pada tuturan (42, 43, 44,45, 46a dan 47)
50

yang menggunakan bahasa Indonesia dan beralih menggunakan bahasa Makassar

pada tuturan (46b).

Data 11

Waktu : Sore hari

Situasi : Beberapa remaja sedang bermain di halaman rumah salah seorang

masyarakat. Pada situasi ini, peneliti melakukan komunikasi pada

salah seorang remaja dan mencoba melakukan peralihan bahasa

pada remaja tersebut.

Tuturan :

P1 : “Amel, ayo main di rumah! Ada Psku. Psku.”(48)

“(Amel, ayo main di rumah! Saya mempunyai PS.)”.

P0 :“Niak kah ps nu?”(49)

“( Apakah kamu mempunyai PS)”

P1 : “Ada di rumah.”(50)

P0 : “Banyak?”(51)

P1 : “Satuji tapi banyak gamena di dalamna.”(52)

(Hanya satu, didalamnya mempunyai banyak game)”.

P0 : “Berapa?”(53)

“(Ada berapa)”.

P1 : “Seratus.”(54)

Peristiwa alih kode yang terjadi oleh P1 pada tuturan (48) yang

menggunakan Indonesia kemudian beralih menggunakan bahasa Makassar pada

tuturan (49).
51

2. Wujud penggunaan campur kode bahasa remaja

Data 1

Waktu : Sore hari

Situasi :Tiga remaja (masing-masing berumur 11, 16, 22 tahun) sedang

menonton anak-anak yang sedang bermain. Pada situasi ini,

ketiga remaja tidak berkomunikasi satu sama lain, namun masing-

masing dari mereka berteriak memberi petunjuk pada anak-anak

yang sedang bermain. Jenis komunikasi ini adalah komunikasi

dua arah yang dilakukan ketiga remaja terhadap anak-anak yang

sedang bermain.

Tuturan :

P1 : “Burui ceppa, Mira! di sanako sebagian! lari!”(1)

“(Buru cepat, mira! Di sana sebagian! Lari!)”

P2 : “ Oper-operko!” (2)

“( oper-oper)”

P1 : “lari! lari! lari!” (3)

“(lari! Lari! Lari!)”

P2 : “Oper-operi! Di sana! Maju tasedikit-sedikitko!”(4)

“(oper-oper! Disana! Kamu maju sedikit demi sedikit)”

P3 : “Ao, diborongi. Punna nabarongiko lari makko ceppa.” (5)

“(yah, dikerumuni. Kalau kamu dikerumuni kamu berlarilah dengan

cepat)”

P1 : ”Lari cepat! (6)


52

“(lari cepat!)”

P3 : Sinta pajoge-na.” (7)

“(sinta yang bergoyang)”

P1 :”Majuko lagi, Nur! tidak ji. janganko lempar ke sana!(8)

“(kamu maju lagi, Nur! Tidak apa-apa kamu janagn lempar

kesana)”.

P2 : “Kurung Yuttu, bodoh” (9)

P3 :“ Ya, Larro mako, akbiring mako mae!”(10)

“( ya, kamu mau marah, kamu mendekat )”

P1 : “Mira, mendekat! Yuttu, bodohnya Yuttu” (11)

Peristiwa campur kode oleh P1 pada tuturan (1) hal ini terlihat adanya

beberapa morfem yang merupakan pengaruh bahasa dalam bahasa Makassar,

yaitu morfem/i/ pada kata burui, morfem/ta/ pada kata tasedikit dan morfem/ko/

pada kata disanako. Pada tuturan (4) adanya morfem/ko/ pada kata disanako, dan

pada tuturan (8) adanya morfem/ko/ pada kata majuko dan janganko.

Data 2

Waktu : Pagi hari

Situasi :Dua remaja terdiri dari remaja laki-laki (15 tahun) dan remaja

perempuan (13 tahun) sedang duduk di bawah pohon kelapa sambil

menghias tangan mereka. Namun kemudian mereka menyadari bahwa

di sekitar ada banyak semut.

Tuturan :

P1 : ”Banyaknya semut. Aduh, Akbar, nagigitka semut”(12)


53

“( Aduh, banyak semut, Akbar saya digigit semut)”

P2 :.” Belumpi selesai. Mira bodoh, jelek i hasilnya.”(13)

“( Belum selesai, mira bodoh, hasilnya jelek)”

P1 : ”Na gigitki semut e. Pergiko ambil minyak tanah dulu. Banyak sekali

dibelakangku.”(14)

“( Saya digigit semut, kamu pergi ambil minyak tanah, terlalu banyak

semut dibelakang)”

P2 : “Janganko bersandar, kah kau sandarko”(15)

“( Kamu jangan sandar, kamu sudah terlanjur sandar)”

P1 : “Dari mana ini semut e kah?”(16)

“( Semut ini datang dari mana?)’

Peristiwa campur kode oleh P1 pada tuturan (12) adanya morfem/ka/ yang

merupakan sebuah kode dalam bahasa didalam bahasa Makassar yang

mengartikan saya (nagigitka : saya digigit), selain itu adanya morfem/i/ pada kata

jeleki, pada tuturan (14) adanya morfem/ko/ yang merupakan kode dalam bahasa

Makassar yang mengartikan kamu (pergiko : kamu pergi), dan pada tuturan (15)

adanya morfem/ko/ pada kata janganko dan sandarko.

Data 3

Waktu : Siang hari

Situasi : Ibu dan anak sedang duduk sambil berbincang-bincang di teras

depan rumahnya. Dalam data ini, yang menjadi fokus analisis peneliti

adalah P2 yang merupakan seorang remaja yang sedang

berkomunikasi dengan ibunya.


54

Tuturan :

P1 :” Ira, tidak terbukai besok ka?”(17)

“( Ira, besok tidak terbuka?)”

P2 :“ Apa?”(18)

P1 : “ Kantor kalau mauki membayar motor”(19)

“( Kantor untuk membayar motor)”

P2 : “Kenapa?”(20)

P1 : “Kan sudahma bilang kalau harusko bawaki anunya”(21)

“( Saya sudah berkata kamu bawa persyaratannya)”

P2 : “Kenapa bisa besok tidak terbuka ka?”(22)

“( Mengapa besok tidak terbuka)”

P1 : “Kah tanggal merah i, eh tidak sadarka pale kukira tanggal

merah i besok. Kamis depanpi pale.”(23)

“( Besok adalah tanggal merah, saya tidak sadar bahwa besok adalah

tanggal merah, hari kamis yang akan mendatang saja kita berangkat)”

Peristiwa campur kode oleh P1 pada tuturan (17) terdapat morfem/i/

pada kata terbukai. Selain itu pada tuturan (19) terdapar morfem/ki/ merupakan

sebuah kode bahasa di dalam bahasa Makassar yang berarti kamu (mauki : kamu

mau), kemudian morfem/ko/ dan morfem/ki/ pada tuturan (21) terdapat pada kata

harusko dan bawaki dan terdapat morfem/i/ pada kata merah i.

Data 4

Waktu : Sore hari

Situasi :Beberapa orang, baik anak-anak, remaja, maupun dewasa, sedang


55

duduk di halaman rumah salah seorang warga dan sedang

menunggu buah kelapa yang dipetik. Kemudian datang seorang

warga lain hingga terjadi sebuah komunikasi yang melibatkan

empat peserta, yaitu tiga perempuan yang tergolong dewasa, dan

seorang laki-laki dewasa.

Tuturan :

P1 : “Niakmi I ambo, sareanga anjo kalukua Sakka. tayangma! Siapa batu

ambo, sibatu, atau ruang batu?”(24)

“(Ambo sudah ada, memberikan kelapa itu sakka. Tunggu! Berapa butir

Ambo, satu atau dua biji?)”.

P2 : “Cukupkan dua. Cukupkan dua butir, nak Sakka!”(25)

P3 : “Biar di sana saja dikerja!”(26)

P1 : “Mungkin ingin dibentuk utuh oleh orang di sana untuk satu

butir.”(27)

P4 : “Antuengmi.”(28a)

“(Disana saja)”

: “Ini saja yang kau Ambil.”(28b)

: “Niak anjoeng sibatu.”(28c)

“(Disana ada satu butir)”

P1 : “Tidak usah yang itu, Ambo! Mungkin orang di sana tidak mau

bentuk seperti itu.”(29)

P4 : “Allemo mae ceppa.”(30)

“(Berikan saya secepatnya)”


56

Peristiwa campur kode oleh P4 menggunakan bahasa Makassar pada

tuturan (28a) Antuengmi, kemudian bercampur kode menggunakan bahasa

Indonesia pada tuturan (28b) ini saja yang kau ambil , lalu bercampur pada

tuturan (28c) menggunakan bahasa Makassar Niak anjoeng sibatu .

Data 5

Waktu : Sore hari

Situasi : Masyarakat sedang berkumpul dan berbincang-bincang di salah

satu rumah warga. Seorang remaja kemudian bertanya mengenai

penggunaan bahasa masyarakat. Dalam data ini, yang menjadi

fokus data adalah tuturan masyarakat dewasa, baik ketika

berkomunikasi dengan remaja maupun masyarakat dewasa lainnya.

Tuturan :

P1 : “ Janganki bertanya sama dia!”(31)

“(Kamu janagan bertanya sama dia)”

P2 : “Sembarang nanti natanyakanki.”(32)

“(nanti dia memeri informasi yang tidak jelas)”

P1 :” Banyak sekali na bilang itu, baru tidak jelas.”(33)

“(dia terlalu banyak bicara, dan tidak jelas)”

P3 : “Jadi, anjo riolo bahasa apa napake tawwa mangkasarak na

indonesia?” (34)

“(jadi, bahasa apa yang digunakan orang dulu, bahasa makassar atau

indonesia)”

P1 : “Pake bahasa makassarji semua, baru-baruji itu pake bahasa


57

Indonesia.”(35)

“(semua orang menggunakan bahasa Makassar, baru menggunakan

bahasa Indonesia)”

P4 : “Memang dulu orang pake bahasa Makassar.”(36)

“(dulu memang orang menggunakan bahasa Makassar)”

P3 : “Angngapa nakulle anjari Indonesia?”(37)

“(kenapa bisa berubah menggunakan bahasa indonesia)”

P1 :“Karena kau semua anak-anak sekarang sudah pake bahasa Indonesia

semua. Kalau tidak salah yang pertama pake bahasa Indonesia I

Sanang”(38a)

“(karna kalaian anak-anak sekarang sudah menggunakan bahasa

Indonesia. Kalau tidak salah yang pertama kali menggunakan bahasa

Indonesia adalah Sannang)”

“Inai tau biasa ammake bahasa Indonesia, Dalle? I anu kusakring I

Rabi.”(38b)

“(Siapa orang yang terbiasa menggunakan bahasa Indonesia, Dalle?

Perasaan Rabi.)”

P5 :“Anakna mak Yuyun, Hj. Mardiana yang aseng angngisseng ji akbasa

Mangkasarak)”(39)

“(Anaknya mak yuyun, semua anak Hj, Mardiana tau menggunakan

bahasa Makassar)”

P2 :”Anjo riolo anakku, I Akbar, I Linda, akbasa mangkasarak ngaseng

ji”(40)
58

“(Dulu itu anak saya, Akbar, Linda, menggunakan bahasa Makassar

semua)”

P1 :“ Iya, terakhir mami baru pake bahasa Indonesia.”(41a)

“(Iya, yang terakhir yang menggunakan bahasa Indonesia)”

“angngapa nakulle antama bahasa Indonesia di?”(41b)

“(Kenapa bisa masuk bahasa Indonesia?)”.

P4 :”Dulu kita waktu masih mengajiki pake bahasa Makassar semuaji, kalau

sekarang anak-anak pake bahasa Indonesia semuami. Kecuali Minang,

beda Makassarnya.”(42)

“( Dulu waktu kecil kami mengaji semua menggunakan bahasa Makassar,

tapi sekarang semua anak-anak menggunakan bahasa Indonesia . kecuali

Minang, menggunakan bahasa Makassar yang beda.)”.

P1 :“E, I Mussing. Kalau saya pake bahasa Makassarka, dia tetapji pake

bahasa Indonesia.”(43)

“(Mussing, saya menggunakan bahasa Makassar, dan dia tetap

menggunakan bahasa Indonesia)”.

Peristiwa campur kode oleh P1 pada tuturan (31) menggunakan

morfem/ki/ yang merupakan kode bahasa dalam bahasa Makassar yang memiliki

arti kamu (janganki – kamu jangan) dan terdapat juga morfem/ki/ pada tuturan

(32) natanyakanki. Selain itu pada tuturan (35) terdapat morfem/ji/ pada kata

Makassarji dan baru-baruji. Kemudian pada tuturan (38a) menggunakan bahasa

Indonesia kemudian bercampur bahasa kebahasa Makassar pada tuturan (38b),

pada tuturan (41a) menggunakan bahasa Indonesia lalu bercampur dengan bahasa
59

Makassar pada tuturan kedua (41b). kemudian pada tuturan (42) yang

menggunakan morfem/ki/ dan morfem/ji/ pada kata mengajiki dan semuaji. Lalu

pada tuturan (43) menggunkan morfem/i/ dan morfem-ji pada kata I mussing dan

tetapji.

Data 6

Waktu : Sore hari

Situasi : Beberapa warga berkumpul dan berbincang di halaman salah

seorang warga. Dalam lingkup peristiwa komunikasi ini terdapat

anak-anak, remaja, maupun dewasa. Namun, yang menjadi fokus

dalam data adalah P1 dan P2 yang merupakan masyarkat kategori

remaja. Sedangkan P3 merupakan masyarkat dari luar lingkungan

desa Toddopulia.

Tuturan :

P1 : “Maumi tinggal ini. Maumi tinggal i Amel sekolah.”(44)

“( ini sudah tinggal. Amel sudah tinggal sekolah?

P2: :“Ayo! Bilangko pulangma, teman! Ayo pergi rumahna, Amel!”(45)

“( Ayo, kamu bilang pulang, teman! Ayo kita kerumah Amel!)”

P1 : “Au… aklappoki.”(46a)

“(Yah, meletus)”.

“Pulangmi Reza. Itu pulangmi Reza.”(46b)

(Reza sudah pulang. Reza sudah pulang)”.


60

: “Awwe, mba mae ammekang, na anak-anaka, takliwak-liwaki.”

(46c)

“( Awwe, ayo pergi memancing, anak-anak sudah sangat

keterlaluan)”.

P3 : “Tidak berubahpi manggamu.”(47)

“(Apakah manggamu sudah berbuah)”

P1 : “Kau iya?”(48)

“(Kamu)”

P3 : “Belumpi juga.”(49)

“( Belum)”

Peristiwa campur kode oleh P1 pada tuturan (44) terdapat morfem/i/ pada

kata I Amel , kemudian pada tuturan (45) terdapat morfem/ko/ dan morfem/ma/

yang merupakan kode bahasa dalam bahasa Makassar yang memiliki arti kamu

(bilangko : kamu bilang) dan ( rumahna : rumah dia), selain itu pada tuturan

(46a) menggunakan bahasa Makassar kemudian bercampur kebahasa Indonesia

pada kalimat (46b) dan kemudian pada kalimat ketiga menggunakan bahasa

Makassar (46a). dan pada tuturan (47) redapat morfem/pi/ (berbuahpi : belum

berbuah).

Data 7

Waktu : Pagi hari

Situasi : Beberapa wanita sedang mempersiapkan bahan untuk acara

membuat kue. Dalam peristiwa ini selain masyarakat remaja

juga ada beberapa anak-anak.


61

Tuturan :

P1 : “Na panggilka pergi makan jeruk di rumahnya, tapi bilangka tidak kutahu

dimana rumahmu. Dimanakah rumahmu?”(49)

“( Dia memanggil saya untuk memakan jeruk dirumahnya, saya menjawab

saya tidak mengetahui rumah dia, dimanakah rumahmu?)”.

P2 : “Jadi, bagaimanami?”(50)

“( jadi, harus bagaimana)”.

P1 :“Sebenarnya yang mau nakasih itu adalah penjual ka. Tapi nabilang

janganmi kita karena penjual jaki, kasihmi saja I Mase. Nabilang kalau

adeknyamo saja dikasih.”(51a)

“( sebenarnya yang mau dia kasih adalah penjual. Tapi dia berkata tidak

usah karna dia adalah pedagang, berikan saja kepasa Mase, dia bilang

kau berikan saja kepada adik saya)”.

: “Tunggu dulu, nak!”(51b)

“( Tunggu sebentar, nak!)”.

P2 : “ Akpalaki, anjoeng mange.”(52)

“( dia meminta, disana.)”.

P1 : “Tunggu dulu na, baruka masakanko. Baruka masakanko, tunggu

dulu!”(53a)

“( Tunggu sebentar ya, saya baru memasak, saya baru masakan kamu,

tunggu sebentar!)”.

: “Angngapa na kulle jai lemo. Na tena nibalukang kucini?(53b)

” (Kenapa banyak jeruk, tapi belum ada yang terlihat dijual, ya?)”
62

P2 : “ Tanyai bilang kasihka satu biji, masih kerja tambak I ga?”(54)

“( Beritahu dia berikan saya satu butir, dia masih kerja kolam?)”.

P1 : “Nakana, lekbaki nabalukang pangempanna. Nakana tenapa niissengi.

Na I Munding amballi. Akkanaka kuisseng tonjin kana lekbaki naballi

mingka tena kuissengi kana nai anu. Bellana antu pangngempanna.

assikabellai.(55)

“( Dia berkata, dia sudah menjual tambaknya, dia juga berkata dia belum

tahu. Lalu Munding berkata, saya tau bahwa dia sudah membeli tambak

tapi saya tidak tahu tambak siapa yang ia beli. Tambaknya sangat jauh,

saling berjauhan.)”.

P2 : “Jauh betul ka”?(56)

“( Apakah betul sangat jauh)”.

P1 : “Seperti dari sini ke Maros kota.”(57)

“( Jaraknya ibarat dari sini ke Maros kota)”.

Peristiwa campur kode oleh P1 pada tuturan (49) adanya morfem/na/ dan

morfem/ka/ yang merupakan kode bahasa dalam bahasa Makassar yang artinya

saya ( napanggilka : dia memanggil saya), dan morfem/ka/ pada kata bilangka

(bilangka : saya bilang), selain itu pada tuturan P2 adanya morfem/mi/ pada kata

bagaimanami (ini bagaimana) dan pada tuturan ( 51a) terdapat kata kita (anda)

dan kata jaki (anda) dan morfem/i/ pada kata I mase.

Data 8

Waktu :Sore hari

Situasi : Dua orang remaja sedang memetik buah gerseng. Dalam peristiwa
63

tutur ini, peneliti hanya menyimak dan mengamati tuturan kedua

remaja tersebut tanpa ikut terlibat dalam komunikasi.

Tuturan :

P1 : “Lihat lagi, tidak ada mi itu.(58)

“(Lihat lagi, sudah tidak ada)”.

P2 : “Itu e.”(59)

“(itu disana)”.

P1 : “Satu ji.”(60)

“( Hanya satu)”.

P2 : “Tidak kuliatki.”(61)

“( Saya tidak melihatnya)”.

P1 : “Oh, jauhna.”(62a)

“( Sangat jauh)”

“Rassimi kantongku.”(62b)

“( Kantong saya sudah penuh)”.

P2 : “Ada kudapat, ada kudapat.”(63)

“(Saya mendapatkannya, saya mendapatkannya)”

Peristiwa campur kode oleh P1 pada tuturan (58) adanya morfem/mi/ yang

merupakan kode bahasa dalam bahasa Makassar yang artinya sudah pada kalimat

tidak adami itu itu sudah tidak ada), pada tuturan (59) terdapat morfem/e/ pada

kata (itue : itu ), selain itu [pada tuturan (61a) terdapat morfem/na/ yang artinya

(sangat) (jauhna : sangat jauh) dan kalimat kedua menggunakan bahasa Makassar

pada kalimat rassimi kantongku (61b). kemudian pada tuturan (62) terdapat
64

morfem/ku/ yang artinya saya (kudapat : saya dapat).

Data 9

Waktu : Sore hari

Situasi : Seorang ibu bersama tetangga di kolong rumah salah satu

warga mendengar suara remaja yang menangis, kemudian ia

bertanya kepada anaknya yang lebih tua tentang apa yang terjadi

pada adiknya. Dalam data ini, yang menjadi fokus analisis

adalah wujud tuturan sang remaja ketika berkomunikasi dengan

ibunya.

Tuturan :

P1 : “Pia, adekmu Pia. Siniko! Kenapa adekmu?”(64)

“( Pia, adik kamu. Kamu kesini! Adikmu kenapa?)”.

P2 : “Tidak mau. I mama pa bede ambilki, I mama pa beng.”(65)

“( Tidak mau. Dia menginginkan ibu untuk mengambilnya. Katanya

ibunya)’.

P1 : “Teaji, I ammak pa bede.”(66)

“( Dia tidak mau, Katanya harus ibu)”

P3 : “Anu naisseng kana niak najama ammakna.”(67)

“(Dia tahu bahwa ibunya sedang bekerja).

P2 : “Tidak mau kalo saya ambilki. Mama pa.”(68)

“( Dia tidak amu kalau saya yang mengambilnya, katanya harus ibu)”.

Peristiwa campur kode oleh P1 pada tuturan (64) adanya morfem/mu/ yang
65

artinya kamu, dan morfem/ko/ yang artinya (kamu), selain itu pada tuturan (65) (I

mama pa) terdapat morfem/i/ dan morfem/pa/. kemudian peristiwa campur kode

yaitu dengan adanya pa dan teaji pada tuturan (66), morfem-pa merupakan sebuah

kode bahasa dalam bahasa Makassar yang berarti harus, sedangkan bede adalah

kode bahasa dalam bahasa Makassar berarti menurut dan katanya.

Data 10

Waktu : Sore hari

Situasi : Beberapa remaja sedang bermain di halaman rumah salah seorang

masyarakat. Pada situasi ini, peneliti melakukan komunikasi pada

salah seorang remaja dan mencoba melakukan peralihan bahasa

pada remaja tersebut.

Tuturan :

P1 : “Amel, ayo main di rumah! Ada Psku. Psku.”(69)

“(Amel, ayo main di rumah! Saya mempunyai PS.)”.

P0 :“Niak kah ps nu?”(70)

“( Apakah kamu mempunyai PS)”

P1 : “Ada di rumah.”(71)

P0 : “Banyak?”(72)

P1 : “Satuji tapi banyak gamena di dalamna.”(73)

(Hanya satu, didalamnya mempunyai banyak game)”.

P0 : “Berapa?”(74)

“(Ada berapa)”.

P1 : “Seratus.”(75)
66

Peristiwa campur kode oleh P1 pada tuturan (69) morfem/ku/ adalah kode

bahasa dalam bahasa Makassar ku yang berarti saya. Selain itu pada tuturan (73)

adanya morfem/ji/ pada kata satuji yang berarti ( hanya satu) dan morfem/na/

yang berarti (nya).

Data 11

Waktu : Sore hari

Situasi : Dua orang anak sedang bermain di bawah rumah warga,

kemudian seorang perempuan yang merupakan tetangga pemilik

rumah melihat dan bertanya pada kedua remaja tersebut. Tidak lama

muncul pula sang pemiliki rumah sehingga terjadi komunikasi pada

mereka.

Tuturan :

P1 : “Banyak masak.”(76)

P2 : “Apa nugappa?”(77)

“( Apa ayang kamu dapat)”.

P3 : “Apa Acce?”(78)

P4 : “Jambu.”(79)

P3 : “Mana jambu?”(80)

P4 : “Di anu rumahnu, rabbannu. Di rumahnu.”(81)

“( Di kolom rumah kamu)”.

P1 : “Ku ambilmi ini?”(82)

“( Saya ambil mi ini)”.

P3 : “Ambilmi!”(83)
67

“( silahkan diambil)”.

P1 : “Ayo, ambil!”(84)

P4 : “Janganmi de.”(85)

“( Tidak usah)”.

Peristiwa campu kode oleh P4 pada tuturan (81) adanya morfem/nu/ yang

berarti (kamu)mdan pada tuturan (82) adanya morfem/ku/ yang berarti (saya) pada

kalimat Ku ambilmi ini . dan morfem/mi/ pada kata janganmi.

B. Pembahasan

Sesuai dengan keterangan salah seorang masyarakat yang berkata, “riolo

Mangkasarak ngaseng. I Ali pi pasicampuruki Mangkasarak-Indonesia. I Lewi

Indonesia narrusukmi.” (Dulu, kami semua berbahasa Makassar. Ali sudah

bercampur Makassar-Indonesia, Lewi sepenuhnya menggunakan bahasa

Indonesia. (Dg.Abbas, 51 tahun, 18 Mei 2022)

Kutipan pernyataan di atas adalah keterangan salah seorang masyarakat yang

mengatakan bahwa dirinya ketika kecil menggunakan bahasa Makassar secara

aktif, namun adiknya, Ali (lahir tahun 1985), menggunakan bahasa percampuran

Makassar- Indonesia, sedangkan adiknya yang lain, Lewi (lahir tahun 1990) sudah

sepenuhnya menggunakan bahasa Indonesia. Dengan demikian, menurut Darma

yang lahir di tahun 1982, pergeseran bahasa Makassar terhadap dirinya dan adik-

adiknya bertahap dari tahun 1980-an hingga tahun 1990-an.

Berdasarkan keterangan di atas, diketahui bahwa proses peralihan bahasa di

Desa Toddopulia juga merupakan sebuah proses panjang. Hal ini senada dengan

penelitian Fishman (dalam Chaer, 2010) mengenai transmigran Amerika bahwa


68

proses peralihan bahasa tidak berlangsung singkat, melainkan melibatkan

beberapa generasi.

Berdasakan dua belas data yang telah dianalisis dapat dikemukakan bahwa

penggunaan bahasa yang tampak pada masyarakat Desa Toddopuli Kecamatan

Tanralili Kabupaten Maros saat ini ada dua yaitu bahasa Makassar dan bahasa

Indonesia. Sebagaimana informasi yang disampaikan oleh masyarakat Desa

Toddopulia bahwa pada awalnya bahasa yang digunakan secara aktif

lingkungan tersebut hanyalah bahasa Makassar, sedangkan bahasa Indonesia

mereka dapatkan di luar lingkungan tersebut dan dulunya hanya digunakan di luar

lingkungan Desa Toddopulia seperti ammakrang, abbekae, dan carangki untuk

berkomunikasi dengan masyarakat luar yang menggunakan bahasa Indonesia.

Oleh karena itu, keberadaan penggunaan bahasa Indonesia mengindikasikan

terjadinya pergeseran bahasa yang mengancam keberadaan bahasa Makassar di

kampung tersebut.

Dalam penelitian ini analisis wujud penggunaan alih kode dan campur kode

ditinjau berdasarkan kategori remaja. Wujud penggunaan bahasa remaja, yaitu

wujud penggunaan bahasa yang digunakan oleh remaja Desa Toddopulia dalam

berkomunikasi. Berdasarkan analisis dari dua belas data menunjukkan bahwa

bahasa yang paling banyak digunakan oleh remaja Desa Toddopulia adalah

bahasa Indonesia. Kemudian bahasa yang kedua adalah bahasa Makassar. Wujud

penggunaan bahasa Indonesia pada remaja Desa Toddopulia adalah bahasa

Indonesia nonbaku. Sama halnya penggunaan bahasa Indonesia anak-anak pada

wujud penggunaan bahasa remaja. Hal tersebut terlihat dengan adanya interferensi
69

atau pengaruh bahasa daerah seperti morfem ta- (misal, tasedikit) dalam

tuturannya. Selain itu ditemukan juga peristiwa alih kode dan campur kode. Hal

ini sesuai dengan pernyataan Chaer (2011) bahwa kontak bahasa menyebabkan

berbagai peristiwa-peristiwa kebahasaan, antara lain : dwibahasa, diglosia,

interferensi, integrasi, alih kode, campur kode, konvergensi, dan pergeseran

bahasa.

Berdasarkan pengamatan dan wawancara yang telah dilakukan peneliti

terhadap beberapa remaja ditemukan bahwa remaja-remaja ini menggunakan

bahasa Indonesia dan bahasa Makassar secara bergantian, 70% penguasaan bahasa

mereka secara aktif menggunakan bahasa Indonesia, sedangkan 30% remaja

lainnya menguasai bahasa Makassar secara pasif. Bahasa Makassar digunakan

secara dominan ketika berkomunikasi dengan orang dewasa atau pun remaja

lainnya di lingkungan Desa Toddopulia, sedangkan bahasa Indonesia digunakan

ketika berkomunikasi kepada anak-anak. Dengan demikian, telah terjadi

pergeseran bahasa Makassar oleh bahasa Indonesia. Dalam hal ini, jika

dibandingkan dengan pola pergeseran yang diungkapkan oleh Fishman (dalam

Chaer, 2011), dilihat dari penggunaan bahasa secara aktif pergeseran bahasa telah

sampai pada tahap kelima (B), yaitu bahasa Makassar tidak lagi digunakan dalam

komunikasi aktif remaja.

Adapun faktor-faktor yang menyebabkan pergeseran bahasa, sebagai berikut :

a. Faktor peralihan dari bahasa Makassar ke bahasa Indsonesia:

Faktor peralihan yang pertama yaitu, hubungan perkawinan, salah satu faktor

pergeseran yang diungkapkan oleh Sumarsono dan Partana (2004) adalah jumlah
70

penutur. Berdasarkan keterangan beberapa warga yang menyebutkan orang-orang

Yang berbahasa Makassar awalnya, seperti yang diungkapkan Masati, salah satu

masyarakat Desa Toddopulia.

“ …Hanya saya Hj. Mina dan Hj Ida disini orang yang berbahasa Indonesia.

Semua bermula dari saya, Hj Rama, Haj Side polei pak tau Ralla. Orang Ralla

semua mendominasi orang Makassar…. Sama seperti ibu Tarimang sering

bersama dengan ibu Biba. Mereka adalah orang dewasa.” (H. Sarrang, 57 tahun,

18 mei 2022)

Berdasarkan informasi tersebut, orang-orang Indonesia yang masuk dan

menetap di Desa Toddopulia adalah Hj Side, Minne, Tarimang, dan Biba.

Mereka adalah orang-orang luar yang menikah dengan masyarakat Desa

Toddopulia sehingga terjadi kontak bahasa. Anak-anak mereka pun menggunakan

bahasa Indonesia. Hubungan perkawinan memicu pertumbuhan jumlah penutur

bahasa Indonesia sehingga secara tidak langsung hubungan perkawinan menjadi

faktor penyebab pergeseran bahasa.

Faktor yang kedua yaitu, perilaku terhadap bahasa. Fishman (dalam Garcia,

2011) menyebutkan salah satu topik identifikasi pemertahanan dan pergeseran

bahasa adalah perilaku terhadap bahasa. Menurut Lambert dalam Chaer (2011:

150), sikap terdiri dari tiga komponen yaitu komponen kognitif, afektif, dan

konatif. Komponen kognitif menyangkuit tentang pengetahuan, komponen afektif

menyangkut penilaian dan rasa suka atau tidak suka, sedangkan konatif

menyangkut perilaku atau perbuatan “putusan akhir”. Salah seorang warga,

Muhane, mengungkapkan, “ nasabak bahasa Indonesia, alusuki nilangngerek.


71

Jari jai anakna tawwa amminawang ngaseng akbahasa Indonesia. …” (Suryah, 50

tahun, Tanggal 19 Mei 2022)

Sesuai keterangan tersebut, masyarakat berpendapat bahwa bahasa Indonesia

terdengar lebih lembut dibandingkan dengan bahasa Makassar. Oleh karena itu,

banyak orang tua yang lebih suka menggunakan bahasa Indonesia ketika

berbicara dengan anak mereka.

Faktor yang ketiga yaitu, Pendidikan yang menjadi kewajiban setiap warga

negara mendorong masyarakat untuk keluar dari lingkungan mereka untuk

bersekolah. Ketika menempuh pendidikan, anak-anak mendapatkan bahasa lain.

Salah satu masyarakat mengungkapkan, “… anjo anak-anaka, ri sikolana ngasengi

akpijajarak akbahasa indonesia…” (Darmawati, 35 tahun, tanggal 19 Mei 2022)

Berdasarkan keterangan narasumber mengatakan bahwa bahasa yang dulu

digunakan di sekolah adalah bahasa Indonesia dan dari situlah mereka mampu

dan terbiasa berbahasa Indonesia.

Faktor yang keempat yaitu, kontak bahasa dengan teman sepermainan.

Pendidikan menyebabkan interaksi antara remaja Desa Toddopulia dengan orang

luar yang menggunakan bahasa Indonesia. Selain itu, anak-anak hasil hubungan

perkawinan antara masyakat Desa Toddopulia dengan orang luar yang berbahasa

Indonesia menyebabkan terjadinya kontak bahasa di antara remaja. Hal ini

diterangkan oleh Muhane, salah seorang warga yang berkata“… akkare-karena

siangang cikalinna akbahasa Indonesia i, jadi jadi akbahasa Indonesia tongi.

Mange assikola akbahasa Indonesia tongi agangna. Jadi jari lancaraki akbahasa

Indonesiana .” (Suryah, 50 tahun, 19 mei 2022)


72

Faktor yang kelima yaitu, pemilihan bahasa oleh orang tua terhadap anak.

Berdasarkan pengamatan peneliti, kebanyakan orang tua yang memiliki anak

balita lebih memilih menggunakan bahasa Indonesia terhadap anaknya. Dengan

demikian bahasa yang pertama kali digunakan oleh sang anak adalah bahasa

Indonesia.

Faktor yang keenam yaitu, migrasi. Masyarakat Desa Toddopulia cukup

banyak yang keluar daerah seperti, ke Kalimantan, Timika, morowali, dll. Dalam

hal ini, bahasa Indonesia akan menjadi sarana pilihan untuk melakukan

komunikasi. Oleh karena itu, ketika mereka kembali ke Desa Toddopulia untuk

menyekolahkan anak-anak mereka, anak tersebut akan cenderung menggunakan

bahasa Indonesia.

Dari berbagai faktor di atas, dapat terlihat bahwa masalah pergeseran bahasa

merupakan hal yang sangat rentan terjadi, terutama dalam masyarakat dengan

berbagai bahasa yang bedampingan. Oleh karena itu, kesadaran bagi pengguna

bahasa itu sendiri adalah faktor penting dalam rangka pemertahanan bahasa. Sikap

dan rasa bangga terhadap bahasa yang digunakan merupakan cara untuk membuat

bahasa tetap lestari. Terutama dalam hal pendidikan.

Pendidikan merupakan salah satu faktor yang dapat menyebab kan pergeseran

bahasa, namun di sisi lain, pendidikan juga dapat menjadi sarana pembelajaran

bahasa daerah. Oleh karena itu, pihak pendidik perlu menanamkan rasa bangga

pada siswa terhadap bahasa daerahnya


BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dalam analisis data dan pembahasan yang telah

diuraikan, dapat disimpulkan bahwa pergeseran bahasa Berdasarkan wujud

penggunaan alih kode adalah penutur menggunakan bahasa Indosnesia lalu

bercampur menggunakan bahasa Makassar dalam perbincangan yang sedang

berlangsung dan begitupun dengan penutur lainnya yang menggunakan bahasa

Makassar lalu beralih kode pada tuturan selanjutnya.

Campur kode yang terjadi adalah penutur menggunakan morfem kedalam

kata-kata atau kalimat yang ia ucapkan seperti kenapa-ko. Bahasa remaja di

lingkungan Desa Toddopulia, ada dua bahasa yang tampak yaitu bahasa Indonesia

dan bahasa Makassar. Namun, bahasa yang paling sering digunakan adalah bahasa

Indonesia. Bahasa Indonesia digunakan dalam komunikasi terhadap orang dewasa

dan sesamaa remaja. Bahasa Indonesia juga digunakan dalam komunikasi

terhadap anak-anak. Dengan demikian, dalam lingkup penggunaan bahasa remaja

Desa Toddopulia, keberadaan bahasa Makassar telah tergeser oleh bahasa

Indonesia. Hal ini karena secara aktif bahasa yang digunakan oleh remaja adalah

bahasa Indonesia. Berdasarkan verbal repertoar remaja Desa Toddopulia,

beberapa menguasai bahasa Makassar secara pasif dan yang lain sudah tidak

memahami bahasa Makassar.

B. Saran

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, berikut dikemukakan saran-

66
67

saran:

1. Hendaknya dalam komunikasi di lingkungan keluarga dan masyarakat

menggunakan bahasa daerah yang baik dan benar. Dengan demikian, bahasa

daerah bisa tetap dipertahankan dari generasi ke generasi.

2. Hendaknya masyarakat menyadari adanya fenomena pergeseran bahasa yang


67

3. dapat mengancam keberadaan bahasa Makassar. Dengan demikian,

masyarakat memiliki kebanggaan berbahasa makassar dan dapat melestarikan

keberadaan bahasa daerah sebagai lambang identitas daerah.


68

Daftar Pustaka

DARMITA, D. (2017). Pergeseran Bahasa dalam Komunikasi Masyarakat


Kampung Bande Desa Gentung Kabupaten pangkep. FBS.

Hartarini, Y. M. (2012). Pemertahanan Logat Bahasa Ibu di Wilayah Kota Kendal.


Latif, S. (2016). Pengaruh mobilitas sosial terhadap perubahan bahasa. EdukasI,
14(1).

Nur, Y. (2017). Karakteristik Bahasa Anak di Masyarakat Multietnik pada


Pendidikan Anak Usia Dini di Kota Palu (Characteristics Of Children
Language In Multiethnic Society On Early Childhood Education Programs In
Palu City). Asian Journal Of Environment, History and Heritage, 1(1).
\
Pakpahan, A. F., Prasetio, A., Negara, E. S., Gurning, K., Situmorang, R. F. R.,
Tasnim, T., Sipayung, P. D., Sesilia, A. P., Rahayu, P. P., & Purba, B. (2021).
Metodologi Penelitian Ilmiah. Yayasan Kita Menulis.

Pradita, L. E., & Jayanti, R. (2021). Berbahasa Produktif melalui Keterampilan


Berbicara: Teori dan Aplikasi. Penerbit NEM.

Priyono, S. D. (2004). Penggunaan bahasa jawa oleh kernet bus kota Surakarta
(studi kasus masyarakat tutur bahasa jawa di Surakarta).

Rabiah, S. (2018). Revitalisasi Bahasa Daerah Makassar melalui Pengembangan


Bahan Ajar Bahasa Makassar sebagai Muatan Lokal.

Saragih, E. L. L. (2018). Sikap dan Pemilihan Bahasa Siswa Multikultural. Jurnal


Suluh Pendidikan FKIP-UHN, 6(2), 54–64.

Suriati, N. L. (2017). Penggunaan Pngka dalam Pembentukan Kata Bahasa


Tulisan dan Plat Kendaraan. Konstruktivisme: Jurnal Pendidikan Dan
Pembelajaran, 9(1), 109–120.

Ulandari, N. (2019). Analisis Pergeseran Bahasa dalam Komunikasi Masyarakat


Kampung Desa Maruala Kabupaten Barru. Skripsi. Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan. Universitas Muhammadiyah ….

Waluya, B. (2007). Sosiologi: Menyelami fenomena sosial di masyarakat. PT


Grafindo Media Pratama.
69

LAMPIRAN
70

Lampiran 1

Identitas Informan
1. Nama : Suwandi

TTL : 15 September 2007

Kelamin: Laki-laki

Pekerjaan : Pelajar

Agama : Islam

2. Nama : Muh. Akbar

TTL : 18 Juli 2009

J. Kelamin: Laki-laki

Pekerjaan : Pelajar

Agama : Islam

3. Nama : Ira Julisranti S.

TTL : 7 Juli 2007

J. Kelamin: Perempuan

Pekerjaan : Pelajar

Agama : Islam

4. Nama : Pati

TTL : 18 Desember 1990

J. Kelamin: Perempuan

Pekerjaan : IRT

Agama : Islam
71

5. Nama : Ambo

TTL : 2 Juli 1948

J. Kelamin: Laki-laki

Pekerjaan : Petani

Agama : Islam

6. Nama : Sangkala

TTL : 31 Desember 1990

J. Kelamin: Laki-laki

Pekerjaan : Tani

Agama : Islam

7. Nama : Darmawati

TTL : 21 Mei 1962

J. Kelamin: Perempuan

Pekerjaan : IRT

Agama : Islam

8. Nama : Mira

TTL : 18 Juli 2004

J. Kelamin: Perempuan

Pekerjaan : pelajar

Agama : Islam

9. Nama : Mirda

TTL : 01 Juli 2002

J. Kelamin: Perempuan
72

Pekerjaan : Pedagang

Agama : Islam

10. Nama : Ira

TTL : 01 Desember 2007

J. Kelamin: Perempuan

Pekerjaan : Pejar

Agama : Islam

11. Nama : Halima

TTL : 01 September 1973

J. Kelamin: Perempuan

Pekerjaan : IRT

Agama : Islam

12. Nama : Risma

TTL : 22 September 2006

J. Kelamin : Perempuan

Pekerjaan : Pelajar

Agama : Islam

13. Nama : Sitti Fatma

TTL : 19 Februari 2006

J. Kelamin: Perempuan

Pekerjaan : Pelajar

Agama : Islam
73

14. Nama : Nur Azizah M.

TTL : 25 Agustus 2010

J. Kelamin: Perempuan

Pekerjaan : Pelajar

Agama : Islam

15. Nama : Fitri

TTL : 19 Maret 2007

J. Kelamin: Perempuan

Pekerjaan : Pelajar

Agama : Islam

16. Nama : Allang

TTL : 26 Juli 2005

J. Kelamin: Laki-laki

Pekerjaan : Pelajar

Agama : Islam

17. Nama : Kasmang

TTL : 26 Juli 2007

J. Kelamin: Laki-laki

Pekerjaan : Pelajar

Agama : Islam

18. Nama : Suardi

TTL : 14 Januari 2000

J. Kelamin: Laki-laki
74

Pekerjaan : Pelajar

Agama : Islam

19. Nama : Pai

TTL : 13 April 2007

J. Kelamin: Laki-laki

Pekerjaan : Pelajar

Agama : Islam
75

Lampiran 2

Tuturan

1. Percakapan 1

P1 : “Burui ceppa, Mira! Di sanako sebagian! Lari!”

P2 : “ Oper-operko!”

P1 : “Lari! Lari! Lari!”

P2 : “Oper-operi! Di sanako! Maju tasedikit-sedikitko, maju sedikit- sedikit!”

P3 : “Ao, diborongi. Punna nabarongiko lari makko ceppa.” (Diserang.Jika

mereka mendekat, kalian semua cepat lari. Lari!.

P1 :”Lari cepat!

P3 : “Sinta pajoge-na.”

P1 :”Majuko lagi, Nur! Tidak ji. Janganko lempar ke sana!

P2 : “Kurung Yuttu, bodoh”

P3 :“ Ya, Laro mako, akbiring mako mae!” (Sekarang lari, kamu mendekat!)

P1 : “Mira, mendekat! Yuttu, bodohnya Yuttu”

Situasi : Menonton anak-anak yang sedang bermain bola

Peserta :

P1 : Suardi (17 tahun)

P2 : Suwandi (15 tahun)

P3 : Pai (15 tahun)

2. Percakapan 2

P1 : ”Banyaknya semut. Aduh, Akbar, nagigitka semut”

P2 :.” Belumpi selesai. Mira bodoh, jelek i hasilnya.”


76

P1 : ”Na gigitki semut e. Pergiko ambil minyak tanah dulu. Banyak sekali

dibelakangku.”

P2 : “Janganko bersandar, kah kau sandarko”

P1 : “Dari mana ini semut e kah?”

Situasi : Dua remaja di bawah pohon sambil menghias telapak tangan.

Peseerta:

P1 : Damira (12 tahun)

P2 : Muhammad Akbar (16 tahun)

3. Percakapan 3

P1 : “Awwa!”

P0 : “Bentuk apakah?”

P1 : “Tena Kuissengi.” (Tidak tahu)

P0 :”Bentuk lumba-lumba, jangang-jangang , olo-olo? (Bentuk lumba-

lumba, burung, bintang?)”

P1 : “Apa dibilang manu-manu?”

Situasi : seorang remaja menghias telapak tangan

Peserta :

P1: Damira (12 tahun )

P2 : peneliti

4. Percakapan 4

P1 : Ira, tidak terbukai besok ka?

P2 :“ Apa?

P1 : “ Kantor kalau mauki membayar motor”


77

P2 : “Kenapa?”

P1 : “Kan sudahma bilang kalau harusko bawai anunya”

P2 : “Kenapa bisa besok tidak terbuka ka?”

P1 : “Kah tanggal merah I, eh tidak sadarka pale kukira tanggal merah

i besok. Kamis deapanpi pale.”

Situasi : Ibu dan anak sedang bercakap-cakap di teras rumah.

Peserta :

P1 : Hasna (50 tahun)

P2 : Ira Julisranti (21 tahun)

5. Percakapan 5

P1 : “niakmi iambo, sareanga anjo kalukua Sakka!.”(Kakek sudah datang.

Kelapa bawa kemari, Sakka!)

tayangma! Siapa batu ambo, sibatu, atau ruang batu?(Tunggu!

Berapa butir Ambo, satu atau dua?)

P2 : “Cukupkan dua.Cukupkan dua butir, nak Sakka!

P3 : “Biar di sana saja dikerja! Mungkin ingin dikerja oleh orang-orng di

sana. Bawa ke sini!”

P1 : “Mungkin ingin dibentuk utuh oleh orang di sana untuk satu

butir.”

P4 : “antuengmi.” (Di situ saja”

: “Ini saja yang kau Ambil.”

: “niak anjoeng sibatu.” (Di sana ada sebutir!)

P1 : “Tidak usah yang itu, Ambo! Mungkin orang di sana tidak mau
78

bentuk seperti itu.)

P4 : “allemo mae cippa.”(Cepat, ambil saja)

Situasi : berkumpul di halaman rumah sambal menunggu buah kelapa yang

dipetik.

Peserta :

P1 : Ira (15 tahun)

P2 : Mira (18 tahun)

P3 :Mirda (20 tahun)

6. Percakapan 6

P1 : “ Janganki bertanya sama dia!

P2 : “Sembarang nanti natanyakanki.”

P1 :” Banyak sekali na bilang itu, baru tidak jelas.”

P3 : “Jadi, anjo riolo bahasa apa napake tawwa Mangkasarak na

indonesia?” (Jadi, bahasa apa yang digunakan orang dulu, Bugis

atau Indonesia?”

P1 : “Pake bahasa makassarji semua, baru-baruji itu pake bahasa

Indonesia.”

P4 : “Memang dulu orang pake bahasa Makassar.”

P3 : “angngapa nakulle anjari mangkasarak?” (Kalau begitu, kenapa

menjadi Makassar sekarang)

P1 : “Karena kau semua anak-anak sekarang sudah pake bahasa Indonesia

semua. Kalau tidak salah yang pertama pake bahasa Indonesia I Sanang

“inai tau biasa ammake bahasa Indonesia, Dalle? I anu kusakring I


79

Rabi” (Siapa ya, anak yang menggunakan bahasa Indonesia, Dalle?

Si anu, sepertinya Rabi dulu.”

P5 :“Anakna mak Yuyun, Hj. Mardiana yangaseng angngisseng ji akbahasa

Mangkasarak.”(Anaknya ibu Minne, Hj Mariama semuanya pintar

bahasa Makassar.)

P2 : ”anjo riolo anakku, I Akbar, I Linda, ak bahasa mangkasarak ngaseng

ji.”(Dulu anaku, Akbar, Linda, dulunya semua menggunakan bahasa

Makassar.)

P1 :“ Iya, terakhir mami baru pake bahasa Indonesia.”

“angngapa nakulle antama bahasa Indonesia di?” (Kenapa dulu tiba-tiba

jadi Indonesia ya)

P4 :”Dulu kita waktu masih mengajiki pake bahasa Makassar semuaji, kalau

sekarang anak-anak pake bahasa Indonesia semuami. Kecuali Minang,

beda Makassarnya.”

P1 : “E, I Mussing. Kalau saya pake bahasa Makassarka, dia tetapji pake

bahasa Indonesia.

Situasi : Remaja sedang berkumpul dan berbincang-bincang

Peserta ;

P1 : Fitri (15 tahun)

P2 : Mira (18 tahun)

P3 : Risna (18 tahun)

P4 : Mirda (20 tahun)

P5 : Ira (15 tahun)


80

7. Percakapan 7

P1 : “Maumi tinggal ini. Mami tinggal i Amel sekolah.” (43)

P2 : “Ayo! Bilangko pulangma, teman! Ayo pergi rumahna, Amel!”

P1 : “Au… aklappoki.”(Au… meletus) “Pulangmi

Reza. Itu pulangni Reza.”

: “Awwe, mba mae ammekang, na anak-anaka, takliwak-liwaki. (Aduh,

saya mau pergi memancing, tapi anak-anak itu, keterlaluan.)

P3 : “Tidak berubahpi manggamu.”

P1 : “Kau iya?”

P3 : “Belumpi juga.”

Situasi : Berkumpul dan berbincang santai di halaman rumah salah satu

warga.

Peserta :

P1 : Murniati (26 tahun)

P2 : Halima (44 tahun)

P3 : Rizal (18 tahun)

8. Percakapan 8

P1 : “Na panggilka pergi makan jeruk di rumahnya, tapi bilangka tidak

kutahu dimana rumahmu. Dimanakah rumahmu?”

P2 : “Jadi, bagaimanami”?

P1 :“Sebenarnya yang mau nakasih itu adalah penjual ka. Tapi nabilang

janganmi kita karena penjual jaki, kasihmi saja I Mase. Nabilang kalau

adeknyamo saja dikasih.


81

: “Tunggu dulu, nak!”

P2 : “ akpalaki, anjoeng mange.” (Ternyata, ia minta di situ.)

P1 : “Tunggu dulu na, baruka masakanko. Baruka masakanko, tunggu

dulu!”

: “angngapa na kulle jai lemo. Na tena nibalukang kucini?” (Kenapa

banyak jeruk, tapi belum ada yang terlihat dijual, ya?

P2 : “ Tanyai bilang kasihka satu biji, masih kerja tambak I ga?”

P1 : “nakana, lekbaki nabalukang pangempanna. Nakana tenapa niissengi.

Na I Munding amballi. Akkanaka kuisseng tonjin kana lekbaki naballi

mingka tena kuissengi kana nai anu. Bellana antu pangngempanna.

assikabellai. (Katanya, dia sudah menjual tambak miliknya.” Dia

mengatakan bahwa ternyata kamu belum tahu padahal Si Mudding yang

membelinya. Saya mengatakan bahwa saya memang tahu kalau Mudding

telah membeli sebuah tambak, tapi saya tidak tahu tambak siapa yang ia

beli. Jauh sekali tambaknya. Sangat jauh.).

P2 : “Jauh betul ka”?

P1 : “Seperti dari sini ke Maros kota.”

Situasi : Mempersiapkan acara makan bersama

Peserta :

P1` : Mirna (17 tahun)

P2 : Risma (16 tahun)


82

9. Percakapan 9

P1 : “Lihat lagi, tidak ada mi itu.”

P2 : “Itu e.”

P1 : “Satu ji.”

P2 : “Tidak kuliatki.”

P1 : “Oh, jauhna.”

“rassimi kantongku.”

P2 : “Ada kudapat, ada kudapat.”

Situasi : Dua remaja sedang memetik buah gerseng.

Peserta :

P1: Sitti Fatimah (14 tahun)

P2 : Nur Azizah M. (17 tahun)

10. Percakapan 10

P1 : “Fitri, adekmu Fitri. Siniko! Kenapa adekmu?”

P2 : “Tidak mau. I mama pa bede ambilki, I mama pa beng.”

P1 : “Teaji, I ammak pa bede.” (Dia tidak mau. Katanya harus mama)

P3 : “anu naisseng kana niak najama ammakna.”(Dia tahu bahwa ibunya

sedang bekerja).

P2 : “Tidak mau kalo saya ambilki. Mama pa.”

Situasi : Seorang ibu memanggil anaknya saat sedang berkunjung ke rumah

tetangga.

Peserta :

P1 : Mirnawati (33 tahun)


83

P2 : Fitri (15 tahun)

P3 : Masati (44 tahun)

11. Percakapan 11

P1 : “Allang, ayo main di rumah! Ada Psku. Psku.”

P0 :“niak kah ps nu?” (apakah kamu mempunyai ps?)

P1 : “Ada di rumah.”

P0 : “Banyak?”

P1 : “satuji tapi banyak gamena di dalamna.”

P0 : “Berapa?”

P1 : “Seratus.”

Situasi: remaja sedang bermain hp.

Peserta :

P1 : Allang (17 tahun)

P0 : Peneliti

12. Percakapan 12

P1 : “Banyak masak.”

P2 : “Apa nugappa?” (Apa yang kau dapat?)

P3 : “Apa Acce?”

P4 : “Jambu.”

P3 : “Mana jambu?”

P4 : “Di anu rumahnu, rabbannu. Di rumahnu.”

P1 : “Ku ambilmi ini?”

P3 : “Ambilmi!”
84

P1 : “Ayo, ambil!”(86) P4

: “Janganmi de.

Situasi : Dua orang remaja bermain di kolong rumah salah satu warga,

kemudian sang pemilik rumah dan bertanya pada mereka.

Peserta :

P1 : Kasman (15 tahun)

P3 : Makmur (14 tahun)

P2 : Darmayanti (25 tahun)

P4 : Baharuddin (52 tahun)


85

Lampiran 3

Informan

1. Nama : Risna

Tanggal Lahir : 07 April 2002

Pekerjaan : Pelajar

Hasil wawancara:

Pertanyaan 1:

“Wattungta cakdi ngisseng jaki akbahasa Mangkasarak?” (Apakah saat kecil,

Anda sudah tahu berbahasa Makassar?)

Jawab:

“iyo, wattungku cakdi akbicara mangkasarak ja. Mingka, akcampurumi bahasa

Indonesia. Mangkasarak memang jaki. Anak-anak ribokoa mi anne akbahasa

Indonesia.riolo wattungku assikola tenapa akbahasa Indonesia sanging

mangkasarak ngaseng ji.

Pertanyaan 2:

“Tau toangta iyya kabahasa apai?” (Bagaimana dengan bahasa Orang tua

Anda?”

Jawab:

“Riolo tena papa akbahasa Indonesia. Mangkasarak narrusuk. Hj. Rama mi na

mak minne angngisseng bahasa Mangkasarak.”

Pertanyaan 3:
86

“tahung siapa kira-kira na antamak bahasa indonesia?” (Tahun berapa bahasa

Indonesia masuk di Desa Toddopulia?”

Jawab :

“Pakarammulanna Desa Toddopulia antamaki ri kecamatan manndai mingka

pada tanggala 23 mei 1992 anne desayya antamakmi riwilayah kecamatan

Tanralili na nipakasingarak akjari kacamatang beru. Jari aklettena anjo battu

ri mandai mange rikacamatang Tanralili nampami antama tong Bahasa

Indonesiayya.

2. Nama : Abbas

Tanggal Lahir : 02 Januari 1982

Pekerjaan : Pak RT

Hasil wawancara:

Pertanyaan 1:

“Tojeng anjo kana taung 90an pi na antamak Bahasa Indonesia Mange anne

kamponga?” (Apakah benar tahun 90an bahasa Indonesia sudah masuk di

kampung ini?)

Jawab :

“iya cocoki .”

Pertanyaan 2:

Inai tau pakarammula ammakae bahasa Indonesia ?” (Siapa yang pertama kali

menggunakan bahasa Indonesia?”

Jawab:
87

“tena kuissengi kana inai tau ka anjo bahasa Indonesiayya napake ngaseng

anak-anakka punna moterek ngaseng mi assikola”

Pertanyaan 3

“Wakttungta cakdi-cakdi, anggisseng memang jaki akbahasa mangkasarak?”

(Waktu Anda kecil, Anda memang tahu menggunakan bahasa Makassar?”

Jawab :

“ iyo ngissengia ka biasa tawwa sanging bahasa mangkasaraki tawwa punna

naagangiki akcarita.”

Pertanyaan 4

“kemaeki katte appilajarak akbahasa Indonesia?” (Di mana Anda belajar

bahasa Indonesia?”

Jawab :

“anrennio tonjaki rikamponga. Mingka wattungta assikola ni gabungki siagang

tau macayya akbahasa Indonesia, jari anjoeng maki akpilajaara bahasa

Indonesia mingka punna moterekki assikola nipakemi poeng bahasa

mangkasarakta.

Pertanyaan 5:

“wattunna akparammula anjo antamaka bahasa Indonesia jai inji tau ammake

bahasa mangkasarak atau tenamo najai?” (waktu pertama bahasa Indonesia

masuk apakah masih banyak orang yang memakai bahasa makassar atau sudah

tidak banyak lagi)?”

Jawab:
88

“jai inji tau ammake bahasa mangkasarak anjo tonji anak-anaka punna mangei

assikola punna moterekmi nangai mi napaccampuru bahasayya jari anjo katte tau

toa anggisseng tongki akbahasa Indonesia tassekedde..=

Pertanyaan 6:

“Sebeluimna taung 90 tena mentong tau akbahasa Indonesia renni

rikamponga”(Apakah sebelum tahun tujuh puluhan tidak ada yang menggunakan

bahasa Indonesia di kampung ini?)

Jawab:

“niakja mingka taksekre-sekre inji na anjoeng tommi biasa poeng tawwa

appilajarak.”

Pernyataan 7 :

“angngapa pale na akgiling ammake bahasa indonesiaki mange ri anakta?”

(Kenapa Anda menggunakan bahasa Indonesia pada anak Anda?”

Jawab:

“jaimi akbahasa mangkasarak, punna mangemi akkare-karena akbahasa

Indonesia ngasengi agang-agangna, jari battu mange riballaka, naagangiki

akcarita akbahasa Indonesiai jari katte amminawang tommaki.

3. Nama : Sohora

Tanggal Lahir : 28 Februari 1982

Pekerjaan : IRT

Hasil Wawancara Pertanyaan :

“Bahasa apa yang Anda gunakan saat anak-anak?”


89

Jawab :

Pokokna riolo sanging bahasa mangkasarak ngaseng nipake. Sallo-sallopi nampa

akcampurumi ka anjo anak-anaka sanging bahasa Indonesia napabattuangki punna

moterekmi assikola. Tena nasaallo kamma anjo tenamo anak-anak angngisseng

bahasa Indonesia.

Kamma-kammanne anak-anak ka liwakmi sirik-sirikna nicini akbahasa

mangkasarak, ka pakkabiasangna sanging bahasa Indonesia agang-agangna jari

malasak tommi ampilajarri anjo bahasa Mangkasaraka.


90

Lampiran 4

Gambar Keadaan Masyarakat Desa Toddopulia Kecamatan Tanralili Kab.


Maros

Gambar 1. Gambar Peneliti bersama kepala desa Toddopuliia kecamatan


tanralili kabupaten maros.(dokumentasi 10 mei 2022)

Gambar 2. Beberapa remaja sedang berkumpul di depan rumah peneliti


(dokumentasi 10 Mei 2022)
91

Gambar 3. Rapat Remaja Mesjid Desa Toddopulia Kec. Tanralili Kab.Maros


(Dokumentasi 13 Mei 2022)

Gambar 4. Bapak dan Anak yang Sedang Berbincang (Dokumentasi 15 Mei 2022
)
92

Gambar 5. Remaja yang Sedang Sibuk Bermain Game (Dokentasi 15 Mei 2022)

Gambar 6. Peneliti dan beberapa remaja lainnya berbincang-bincang


(Dokumentasi 18 Mei 2022)

Gambar 7. Remaja yang tengah asik berbincang (Dokumentasi 20 Mei 2022)


93

Gambar 8. Remaja yang sedang Bersepeda dengan Teman-Temannya


(Dokumentasi 2022)

Gambar 9. Remaja yang sedang bermain dengan adiknya (Dokumentasi 23 Mei


2022)
94

Gambar 10. Remaja yang sedang berkumpul dengan temannya setalah pulang
sekolah. (Dokumentasi 25 Mei 2022)
95

Lampiran 5
96
97
98
99
100
101
102

Anda mungkin juga menyukai