Anda di halaman 1dari 109

KAWIN LARI DALAM KONTEKS KEKINIAN PADA MASYARAKAT

LALABATA KABUPATEN SOPPENG

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana
Pendidikan pada Jurusan Pendidikan Sosiologi Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar

Oleh:

Nur Alam

10538 1666 09

JURUSAN PENDIDIKAN SOSIOLOGI


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2016
ii
iii
MOTTO

Jalan terjal, berliku, keras dan membatu...

Kutapaki walau harus mendaki !!

Mimpi, asa, dan citaku di seberang sana

Harus kugapai.....!!

Kebanggan terbesar adalah bukan karena tidak pernah gagal, tapi bangkit
kembali setiap kali terjatuh.

Berusaha dan berdoalah, serta serahkan semua kepada allah, insya allah segala
sesuatu akan menjadi lebih mudah dan indah dengan izin-nya. Amin

Kupersembahkan…………..
“Karya sederhana ini sebagai tanda
baktiku kapada kedua orang tuaku serta seluruh keluarga
tercinta yang senantiasa menyayangiku, berdoa dengan tulus dan
ikhlas
dan selalu memberikan yang terbaik
serta selalu mengharapkan kesuksesanku
Doa…, Pengorbanan…, Nasehat…, serta kasih sayang yang
tulus menunjang kesuksesanku
dalam menggapai cita-citaku”

iv
ABSTRAK

Nur Alam. 2016. “Kawin Lari Dalam Kontks Kekinian Pada Masyarakat
Lalabata Kabupaten Soppeng”. Skripsi Program Studi Pendidikan Sosiologi
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar.
Dibimbing oleh Nurdin dan Suardi.

Kawin lari oleh masyarakat Kecamatan Lalabata merupakan salah satu


cara untuk melepaskan diri dari syarat-syarat terlaksananya perkawinan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pandangan masyarakat terhadap kawin
lari di Kecamatan Lalabata Kabupaten Soppeng, mengetahui implikasi sosial
kawin lari terhadap budaya siri’ dalam pelaksanaanya pada masyarakat
Kecamatan Lalabata Kabupaten Soppeng, dan bangaimana penyelesaian adat
terhadap kawin lari bagi pasangan kawin lari tersebut. Berdasar purposive
sampling daerah penelitian adalah Kecamatan Lalabata Kabupaten Soppeng.
Subjek penelitian adalah mereka yang terlibat maupun yang tidak terlibat dalam
penyelesaian kawin lari tersebut. Data primer dan data sekunder diperoleh melalui
studi kepustakaan dan survei lapangan.

Berdasarkan analisis kualitatif diketahui bahwa pandangan masyarakat


mengenai kawin lari oleh masyarakat Kecamatan Lalabata adalah betapa banyak
mereka yang melakukan kawin lari tanpa izin walinya, lalu setelah menikah iya
menyesali perbuatannya, untuk para wanita, izin orang tua adalah kunci
keberkahan dan kebahagiaan. Sedangkan implikasi sosial kawin lari adalah karena
malu pihak keluarga perempuan akan pindah dari tempat kediamannya, hubungan
anak perempuan dengan orang tua dapat terputus, hubungan antara keluarga laki-
laki dengan keluarga perempuan akan saling bermusuhan serta akan dilakukan
pembunuhan terhadap salah satu pihak atau keduanya jika ditemukan. Adapun
upaya penyelesaian secara adat terhadap kawin lari tersebut adalah dengan
mendatangkan utusan pihak laki-laki ke tempat pihak perempuan untuk
merundingkan hubungan dari pasangan yang melakukan kawin lari tersebut,
memberikan uang pengganti adat untuk membiayai selamatan serta mensyaratkan
kembali pada yang melakukan kawin lari tersebut untuk mengadakan pernikahan
kembali.

Kata kunci : Kawin lari, konteks kekinian, masyarakat

v
KATA PENGANTAR

Tiada ungkapan yang paling indah selain pujian kepada Allah swt, Tuhan
semesta alam, yang karena atas berkat limpahan rahmat dan hidayah-Nya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat dalam
menyelesaikan studi guna memperoleh gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.) pada
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar.
Shalawat dan salam senantiasa tercurahkan untuk Nabiullah Muhammad saw,
Sang revolusioner sejati, Nabi yang telah menghamparkan permadani-permadani
keislaman dan menggulung tikar-tikar kejahiliaan.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis mengalami pergulatan ilmiah dan


pergulatan religius, oleh karena itu ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya
penulis haturkan kepada:

Kedua orang tua A. Maddulungeng dan Mariattang yang telah


memberikan dukungan baik moril maupun materil pada ananda selama ini.
Terimah kasih atas kasih sayang, pengorbanan, keikhlasan dan doa restunya,
sehingga memperlancar penyelesaian studi penulis.

Dr. H. Irwan Akib, M.Pd., Rektor Universitas Muhammadiyah Makassar.


Dr. A. Sukri Syamsuri, M. Hum.,Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Muhammadiyah Makassar yang telah menyetujui dan menerima
skripsi penulis.Dr.H. Nursalam, M.Si., Ketua Jurusan Pendidikan Sosiologi yang
telah memberikan arahan dan pelayananya selama ini,dan Muhammad
Akhir.S.Pd,M.Pd., Sekretaris Jurusan Pendidikan Sosiologi Universitas
Muhammadiyah Makassar, Penasehat akademik yang telah banyak memberikan
arahan dan bimbingan selama kuliah sampai proses penyelesaian studi, Drs. H.
Nurdin, M.Pd pembimbing I dan Suardi, S.Pd., M.Pd Pembimbing II yang dengan
penuh kesabaran membimbing, mengarahkan dan memotivasi penulis dalam
penulisan skripsi ini. Semua dosen Jurusan Pendidikan Sosiologi FKIP
Universitas Muhammadiyah Makassar yang telah mengajar dan mendidik mulai
dari semester awal hingga penulis menyelesaikan studinya di Perguruan Tinggi
ini.

Bapak H. Andi Kaswadi Razak, S.E, selaku Bupati Kabupaten Soppeng


yang telah memberikan izin penulis mengadakan penelitian sehingga penulis
menyelesaikan skripsi ini. Para warga masyarakat Kecamatan Lalabata Kabupaten

vi
Soppeng yang telah berbaik hati menerima penulis selaku mahasiswa yang telah
mengadakan kegiatan penelitian serta memberikan informasi-informasi yang
sangat penting bagi penulis.

Sahabat-sahabatku yang baik, teman-teman P2k SMP Negeri 1


Barombong serta rekan-rekan angkatan 2009 kelas L tanpa terkecuali dan,
segenap penghuni Asrama V IMPS tanpa terkecuali atas pertisipasi selama
penyusunan skripsi ini. Semoga kebersamaan yang kita bangun memberikan
hikmah yang berguna bagi kita semua dalam mengarungi kehidupan ini.

Semua pihak yang tak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah
membantu penulis dalam kelancaran penyusunan skripsi ini. Semoga bantuan dan
dukungannya mendapat balasan yang setimpal dari Allah swt.

Tiada imbalan yang dapat diberikan oleh penulis, hanya kepada Allah
SWT penulis menyerahkan segalanya dan semoga bantuan yang diberikan selama
ini bernilai ibadah disisi-Nya. Amin.

Penulis sadar bahwa tidak ada karya insan yang sempurna, dan skripsi ini
merupakan satu bukti nyata bahwa karya ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh
karena itu saran dan kritik yang sifatnya konstruktif sangat penulis harapkan dari
segenap para pembaca demi karya yang lebih baik lagi dihari esok. Semoga karya
ini dapat bermanfaat bagi kita semua, Amin.

Makassar, April 2016

Penulis

vii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i


LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................. ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................................. iii

SURAT PERJAJIAN ...................................................................................... iv

MOTTO ........................................................................................................... v

ABSTRAK ....................................................................................................... vi
KATA PENGANTAR .................................................................................... vii
DAFTAR ISI .................................................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang........................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah .................................................................................. 7
C. Tujuan Penelitian ................................................................................... 8
D. Manfaat Penelitian .................................................................................. 8

BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. Kajian Pustaka ........................................................................................ 10


1. Hasil Penelitian Yang Relevan..................................................... .... 10
2. Tinjauan Umum Tentang Perkawinan. ............................................. 15
3. Cara-Cara Perkawinan. ..................................................................... 25
B. Tinjauan Umum Tentang Kawin Lari .................................................... 29
1. Pengertian Kawin Lari. ..................................................................... 29
2. Istilah Kawin Lari Pada Masyarakat Suku Bugis. ............................ 31
3. Teori Yang Relevan Dengan Kawin Lari. ........................................ 36
C. Tinjauan Umum Tentang Masyarakat .................................................... 38
1. Pengertian Masyarakat... .................................................................. 38
2. Fungsi Kebudayaan Bagi Masyarakat. ............................................. 40

viii
3. Komponen-Komponen Dalam Masyarakat. ..................................... 42
D. Kerangka Pikir. ........................................................................................ 43

BAB III METODE PENELITIAN

A. Metode Pendekatan................................................................................. 46
B. Lokasi Penelitian .................................................................................... 47
C. Deskripsi Fokus ...................................................................................... 48
D. Subjek Penelitian .................................................................................... 48
E. Data dan Sumber Data ........................................................................... 49
F. Teknik pengumpulan data ...................................................................... 50
G. Teknik analisis data ................................................................................ 51
H. Keabsahan Data ...................................................................................... 53

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

A. Gambaran Umum Masyarakat Lalabata Kabupaten Soppeng............... 55


1. Letak Geografis dan Luas Wilayah. ................................................ 55
2. Keadaan Demografi. ........................................................................ 55
3. Strafikasi Sosial Masyarakat. .......................................................... 56
B. Gambaran Umum Informan .................................................................. 60

BAB V TANGGAPAN MASYARAKAT TERHADAP KAWIN LARI

A. Proses Perkawinan Masyarakat Lalabata .............................................. 66


B. Bentuk Kawin Lari Dalam Masyarakat Lalabata .................................. 74
C. Pandangan Masyarakat Tentang Kawin Lari. ....................................... 78

BAB VI IMPLIKASI SOSIAL KAWIN LARI DALAM KONSEP SIRI

A. Dampak Negatif. .................................................................................. 86


1. Pengaruh Siri Pada Masyarakat Lalabata ..................................... 86
2. Dampak Kawin Lari Masyarakat Lalabata .................................. 88
B. Dampak Positif..................................................................................... 90

ix
BAB VII PENYELESAIAN ADAT

A. Maddeceng. .......................................................................................... 92
B. Membunuh Pasangan Yang Melakukan Kawin Lari. .......................... 95

BAB VIII PENUTUP

A. Kesimpulan. ......................................................................................... 97
B. Saran. ................................................................................................... 99
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 100

LAMPIRAN .................................................................................................... 102

RIWAYAT HIDUP

x
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masyarakat Indonesia pada dasarnya adalah masyarakat majemuk dalam arti

masyarakat yang berasal dari atau terdiri atas ratusan suku bangsa dengan latar

belakang pengalaman sejarah yang berbeda-beda. Dengan modal dasar seperti

itulah ingin diciptakan, dibina, dan dikembangkan suatu masyarakat bangsa yang

tunggal yang memiliki sistem nilai dan gagasan utama (budaya) yang sama

berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Masyarakat yang pada dasarnya majemuk dengan arah cita-cita yang tunggal

itulah yang dinyatakan dengan semboyang Bhineka Tunggal Ika dan ditegaskan

melalui penjelasan pasal 32 Undang-Undang Dasar 1945, “Kebudayaan nasional

Indonesia ialah kebudayaan yang timbul sebagai buah budaya rakyat Indonesia

seluruhnya. Kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagai puncak-puncak

kebudayaan di daerah-daerah di seluruh Indonesia terhitung sebagai kebudayaan

bangsa”.

Peristiwa sejarah selalu melibatkan seorang atau banyak orang dalam proses

melatarbelakangi lanjutan dari terjadinya suatu peristiwa. Terkadang ini sebagai

pelaku sejarah atau saksi mata yang pada akhirnya menimbulkan tradisi lisan dan

tertulis, yang pada dewasa ini di daerah tanah Bugis banyak meninggalkan

warisan masa lampau yang kaya akan tradisi yang mengandung nilai-nilai luhur.

1
2

Setiap daerah di Indonesia pasti mengenal yang namanya perkawinan, dan

setiap daerah beda-beda dalam menjalankan perkawinan itu sendiri, karena setiap

daerah memiliki budaya sendiri.

Peristiwa perkawinan merupakam kodrat bagi umat manusia. Untuk

melangsungkan pernikahan tersebut di tengah-tengah kehidupan masyarakat

Indonesia tidak terlepas dari ketentuan agama, Undang-Undang yang berlaku

maupun hukum adat masing-masing warga masyarakat. Pengertian perkawinan

menurut UU No. 1 tahun 1974 yang diatur dalam pasal 1, yang berbunyi sebagai

berikut:“Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dan seorang

wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)

yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Pada dasarnya pelaksanaan perkawinan warga masyarakat Indonesia telah

dominan dipengaruhi oleh hukum adat. Dikarenakan masyarakat Indonesia

beraneka ragam suku dan bangsanya, sudah pasti beraneka ragam pula hukum

adat yang hidup di tanah air Indonesia.

Meskipun warga masyarakat Indonesia telah banyak berpindah tempat dari

tempat keturunannya semula ketempat lain yang tak sesuku dengannya tapi ada

kalanya pegangan hukum adat daerah keturunannya masih kuat, sehingga tetap

dipakainya di daerah lain tersebut dan kemungkinan warga masyarakat di daerah

lain tersebut terpengaruh dengan adat yang dibawahnya. Namun demikian adapula

mereka yang telah berpindah dari daerah keturunannya tidak lagi memakai hukum

adatnya, tetapi mengikuti hukum adat di daerah yang yang didatanginya.


3

Pada dasarnya bentuk perkawinan yang dilakukan oleh masyarakat Lalabata

Kabupaten Soppeng yang mayoritas penduduknya adalah suku Bugis sama halnya

dengan bentuk perkawinan yang dilakukan masyarakat Indonesia terutama yang

menganut agama Islam, namun demikian dalam hal hukum adat masyarakat

Lalabata Kabupaten Soppeng yang mayoritas suku Bugis bentuk perkawinan yang

dilakukan dapat pula dengan bentuk kawin lari.

Kawin lari ini pada masyarakat Lalabata Kabupaten Soppeng biasanya terjadi

karena keluarga perempuan menolak pinangan laki-laki. Tolakan pinangan ini

bisa terjadi karena keluarga perempuan memandang calon pasangan anak

perempuannya itu tidak sesuai untuk anaknya karena kemungkinan yang sangat

banyak.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, (1977:60) mengemukakan

penyebab terjadinya kawin lari lebih disebababkan oleh laki-laki berasal dari

keturunan lapisan masyarakat yang dianggap lebih rendah, laki-laki itu dianggap

kurang dalam kesopanan, adat istiadat atau yang lainnya, anak Perempuan sudah

ripasitaro (dipertunangkan) dengan seorang jejaka lain piihan orang tuanya

(kemungkinan kerabatnya sendiri).

Beberapa penelitian mengenai kawin lari telah banyak dilakukan, seperti

yang dilakukan oleh Sudarmawan (2009), dan Wa Enda (2014).

Penelitian yang dilakukan Sudarmawan (2009) berjudul Pelaksanaan

Kawin Lari SebagaiAlternatif Untuk Menerobos Ketidaksetujuan Orang Tua

Setelah berlakunya Undang-Undang Nomor : 1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan.Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakah


4

pelaksanaan kawin lari sebagai alternatif untuk menerobos ketidaksetujuan orang

tua setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan dan bagaimanakah akibat hukum dari pada pelaksanaan kawin lari.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pelaksanaan kawin lari

sebagai alternatif untuk menerobos ketidaksetujuan orang tua setelah berlakunya

Undang-Undang Nomor I Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan akibat hukum

dari pada pelaksanaan kawin lari Dalam penelitian ini, digunakan metode

pendekatan Yuridis Empiris, dengan menggunakan data primer dan data sekunder

yang kemudian dianalisis dengan menggunakan teknik analisa kualitatif.

Hasil penelitian tentang pelaksanaan kawin lari sebagai alternatif untuk

menerobos ketidaksetujuan orang tua, berdasarkan keterangan dari lima

responden yang menjadi sampel dalam penelitian ini menyatakan, cara kawin lari

ini terpaksa dilakukan karena si laki-laki yang menjadi pilihan anaknya tidak

mendapat persetujuan dari orang tua dan keluarganya. Akibat hukum dari pada

kawin lari ini adalah apabila dari pihak wali (orang tua) merasa keberatan dengan

cara yang dilakukan oleh si laki-laki, maka orang tua dapat menyatakan keberatan

dan melaporkan kepihak yang berwajib dengan tuntutan bahwa laki-laki tersebut

telah melanggar Pasal 332 KUHPidana. Dan perkawinan tersebut dapat diterima

oleh orang tua apabila si pria dapat membayar denda atau membayar uang sesuai

pelanggaran dalam ketentuan kawin lari.Dapat disimpulkan bahwa kawin lari ini

merupakan suatu alternatif terakhir yang terpaksa dilakukan, karena hubungannya

tidak mendapat persetujuan dari orang tua dan keluarga.


5

Penelitian yang telah dilakukan memperoleh hasil Merupakan suatu

kewajiban bagi anak perempuan memperkenalkan sekaligus meminta persetujuan

orag tua dan keluarga terhadap laki-laki yang menjadi pilihannya. Namun karena

tidak mendapat persetujuan dari orang tua dan keluarga maka si anak menempuh

jalan pintas yaitu kawin lari.

Sedangkan penelitian yang dilakukan Wa Enda (2014)dengan judul Proses

Penyelesaian Kawin Lari Oleh Toko Adat Di Desa Mantobua Kecamatan Lohia

Kabupaten Muna. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebab-sebab terjadinya

kawin lari di Desa Mantobua Kecamatan Lohia Kabupaten Muna melalui

beberapa tahapan yaitu orang tua tidak setuju, perempuan telah hamil, perempuan

sudah kawin tetapi tidak ada kecocokan dalam rumah tangganya, dan menghindari

biaya perkawinan yang tinggi. Dan upaya penyelesaian kawin lari oleh Tokoh

Adat yaitu pemberitahuan (Okaforato), mengadakan musyawarah (Dofonado

orompu), pemberian mahar (Kafoampeno Ajhati), dan pelaksanaan perkawinan

(Karabuno Kakawi).

Pada bentuk perkawinan berupa kawin lari ini, masyarakat Lalabata

Kabupaten Soppeng mengenal istilah mallariang ialah membawa gadis lari dan

silariang ialah laki-laki dan perempuan sepakat melarikan diri. Bentuk kawin lari

tersebut menimbulkan peristiwa siri’. Semua anggota kerabat perempuan yang

dibawa lari atau pergi bersama laki-laki akan menjadi to-masirik mereka

berkewajiban untuk membunuh laki-laki yang melarikan anak perempuan mereka

bila menemuinya, untuk menghindari peristiwa tersebut harus melalui proses yang

disebut maddeceng artinya memperbaiki kembali. Satu contoh pada tahun 2008,
6

terdapat satu kasus kawin lari di Kecamatan Lalabata, dimana pihak laki-laki

membawa lari seorang anak perempuan lari meninggalkan desa karena tidak

direstui pernikahannya. Permasalahan ini tidak seperti pada zaman dahulu.

Keluarga keduanya tidak terlalu mempermasalahkannya, mereka lebih memilih

menyelesaikan permasalahan ini dengan hukum adat.

Siri‟ merupakan kebanggaan atau keagungan harga diri yang telah

diwariskan oleh leluhur untuk menjunjung tinggi adat istiadat yang di dalamnya

terptri pula sendi-sendi tersebut. Seiring dengan perkembangan teknologi saat ini

semakin merabah setiap sudut kehidupan, maka perubahan-perubahan akan terjadi

dalam kehidupan masyarakat. Kuatnya siri‟ yang dimiliki oleh masyarakat Bugis

sangat jelas terlihat jika harkat dan martabatnya dilanggar oleh orang lain, maka

orang yang dilanggar harkat dan martabatnya tersebut akan berbuat apa saja untuk

membalas dendam dan memperbaiki nama besar keluarganya di tengah-tengah

masyarakat. Begitupula dengan kawin lari yang oleh masyarakat Bugis dianggap

sebagai perbuatan yang menimbulkan siri‟.

Penyelenggaraan pernikahan merupakan suatu institusi sosial yang sangat

penting dalam adat istiadat masyarakat Bugis. Bagi masyarakat Bugis, kawin lari

antara laki-laki dan perempuan tanpa didahului oleh penyelenggaraan pesta

pernikahan adalah merupakan perbuatan yang sangat memalukan (mappakasiri).

Perbuatan memalukan dalam konteks ini bagi orang Bugis bukan hanya dirasakan

sebagai beban moral keluarga inti yang bersangkutan tetapi juga merupakan aib

(siri’) yang ditanggung oleh seluruh anggota kerabat dekat yang termasuk dalam

kelompok harga diri dan solidaritas bersama.


7

Perbuatan kawin lari pada masyarakat Lalabata Kabupaten Soppeng apabila

diacu segi keberlakuan hukum adat, sepintas terlihat dapat dibenarkan. Namun

demikian apabila dilihat dari sebab-sebab terjadinya perkawinan dalam bentuk

kawin lari, dapat dipandang tidak dibenarkan baik menurut ketentuan hukum

Islam maupun Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.

Meskipun demikian pada saat sekarang ini kejadian kawin lari yang

dilakukan oleh masyarakat suku Bugis masih tetap berlangsung, tidak terlepas

pula bagi masyarakat suku Bugis yang berdomisili di Kecamatan Lalabata

Kabupaten Soppeng.

Dengan tetap berlangsungnya pelaksanaan kawin lari tersebut maka peneliti

tertarik untuk meneliti masalah kawin lari di Kecamatan Lalabata Kabupaten

Soppeng dalam suatu penelitian dengan judul “Kawin Lari Dalam Konteks

Kekinian Pada Masyarakat Lalabata Kabupaten Soppeng”.

B. Rumusan Masalah

Bertolak dari latar belakang di atas, maka dapat di temukan beberapa masalah

yang di rumuskan sebagai berikut:

1. Bangaimanakah pandangan masyarakat terhadap kawin lari di Kecamatan

Lalabata Kabupaten Soppeng ?

2. Apakah implikasi sosial kawin lari terhadap budaya siri‟ (mali) yang

dipegang teguh masyarakat Kecamatan Lalabata Kabupaten Soppeng?

3. Bangaimana cara-cara penyelesaian adat yang ditempuh masyarakat

Lalabata terhadap akibat perbuatan kawin lari tersebut?


8

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas, penelitian ini bertujuan:

1. Untuk mengetahui pandangan masyarakat terhadap kawin lari di

Kecamatan Lalabata Kabupaten Soppeng.

2. Untuk mengetahui implikasi sosial kawin lari terhadap budaya siri‟ (malu)

dalam yang dipegang teguh masyarakat di Kecamatan Lalabata Kabupaten

Soppeng..

3. Untuk mengetahui cara-cara penyelesaian hukum adat yang ditempuh

masyarakat Lalabata Kabupaten Soppeng terhadap akibat perbuatan kawin

lari tersebut..

D. Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik bersifat

teoritis maupun praktis yaitu:

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat:

a. Diharapkan dapat menambah pengetahuan tentang tata cara maupun

langkah-langkah dalam menyelesaikan permasalahan kasus kawin lari.

b. Diharapkan mampu memberikan sumbangan teoritis untuk penelitian

selanjutnya pada permasalahan yang sejenis dan relevan.

2. Manfaat Praktis
9

Hasil penelitian ini diharapkan dapat:

a. Diharapkan dapat menjadi bahan informasi bagi para pembaca

mengenai kawin lari masyarakat Lalabata Kabupaten Soppeng.

b. Dapat memberikan masukan bagi pengembangan hukum adat di

Kabupaten Soppeng Khususnya maupun di Propensi Sulawesi

Selatan umumnya mengenai adat Perkawinan suku Bugis.


BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Kajian Pustaka

1. Hasil Penelitian Yang Relevan

Penelitian murni yang beranjak dari nol atau dari awal jarang

ditemui, karena biasanya suatu penelitian mengacu pada penelitian lain

yang dapat dijadikan titik tolak penelitian selanjutnya. Dengan demikian

peninjauan terhadap penelitian lain yang dapat dijadikan titik tolak

penelitian selanjutnya.

Banyaknya penelitian tentang kawin lari tersebut dapat dijadikan

salah satu bukti bahwa kawin lari pada masyarakat yang ada di Indonesia

menarik untuk diteliti. Penelitian tersebut dilakukan oleh Sudarmawan

(2009), Wa Enda (2014), dan Rahayu Liana (2006).

Penelitian yang sama juga dilakukan Sudarmawan (2009) berjudul

Pelaksanaan Kawin Lari Sebagai Alternatif Untuk Menerobos Ketidak

setujuan Orang Tua Setelah berlakunya Undang-Undang Nomor : 1 Tahun

1974 Tentang Perkawinan.Penelitian yang telah dilakukan memperoleh

hasil Merupakan suatu kewajiban bagi anak perempuan memperkenalkan

sekaligus meminta persetujuan orag tua dan keluarga

terhadap laki-laki yang menjadi pilihannya. Namun karena tidak

mendapat persetujuan dari orang tua dan keluarga maka si anak menempuh

jalan pintas yaitu kawin lari.

10
11

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakah

pelaksanaan kawin lari sebagai alternatif untuk menerobos ketidaksetujuan

orang tua setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

Tentang Perkawinan dan bagaimanakah akibat hukum dari pada

pelaksanaan kawin lari. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk

mengetahui pelaksanaan kawin lari sebagai alternatif untuk menerobos

ketidaksetujuan orang tua setelah berlakunya Undang-Undang Nomor I

Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan akibat hukum dari pada pelaksanaan

kawin lari Dalam penelitian ini, digunakan metode pendekatan Yuridis

Empiris, dengan menggunakan data primer dan data sekunder yang

kemudian dianalisis dengan menggunakan teknik analisa kualitatif.

Hasil penelitian tentang pelaksanaan kawin lari sebagai alternatif

untuk menerobos ketidaksetujuan orang tua, berdasarkan keterangan dari

lima responden yang menjadi sampel dalam penelitian ini menyatakan,

cara kawin lari ini terpaksa dilakukan karena si laki-laki yang menjadi

pilihan anaknya tidak mendapat persetujuan dari orang tua dan

keluarganya. Akibat hukum dari pada kawin lari ini adalah apabila dari

pihak wali (orang tua) merasa keberatan dengan cara yang dilakukan oleh

si laki-laki, maka orang tua dapat menyatakan keberatan dan melaporkan

kepihak yang berwajib dengan tuntutan bahwa laki-laki tersebut telah

melanggar Pasal 332 KUHPidana. Dan perkawinan tersebut dapat diterima

oleh orang tua apabila si pria dapat membayar denda atau membayar uang

sesuai pelanggaran dalam ketentuan kawin lari.


12

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan penelitian ini dapat

disimpulkan bahwa kawin lari ini merupakan suatu alternatif terakhir yang

terpaksa dilakukan, karena hubungannya tidak mendapat persetujuan dari

orang tua dan keluarga.

Penelitian yang dilakukan Wa Enda (2014) dengan judul Proses

Penyelesaian Kawin Lari Oleh Toko Adat Di Desa Mantobua Kecamatan

Lohia Kabupaten Muna. Hasil penelitian ini adalah rumusan masalah

dalam penelitian ini adalah Apa faktor-faktor penyebab terjadinya Kawin

Lari pada masyarakat Muna dan Bagaimana peranan tokoh adat dalam

proses penyelesaian kawin lari pada masyarakat Muna Desa Mantobua

Kecamatan Lohia Kabupaten Muna.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor penyebab

terjadinya Kawin Lari pada masyarakat Muna dan untuk mengetahui

peranan tokoh adat dalam proses penyelesaian kawin Lari padamasyarakat

Muna Desa Mantobua kecamatan Lohia Kabupaten Muna. Metode

pengumpulan data yang digunakanan adalah metode wawancara secara

langsung.Dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif.Yaitu untuk

menjelaskan faktor penyebab terjadinya kawin lari pada masyarakat Muna

dan peranan tokoh adat dalam penyelesaian Kawin Lari pada masyarakat

Muna Desa Mantobua Kecamatan Lohia. Hasil penelitian menunjukan

bahwa sebab-sebab terjadinya kawin lari di Desa Mantobua Kecamatan

Lohia Kabupaten Muna melalui beberapa tahapan yaitu Orangtua tidak

setuju, Perempuan telah hamil, Perempuan sudah kawin tetapi tidak ada
13

kecocokan dalam rumah tangganya, dan Menghindari biaya perkawinan

yang tinggi. Dan upaya penyelesaian Kawin Lari oleh Tokoh Adat yaitu

Pemberitahuan (Okaforato), Mengadakan musyawarah (Dofonando

orompu), Pemberian mahar (Kafoampeno Ajhati), dan Pelaksanaan

perkawinan (Karabuno Kakawi).

Sedangkan Penelitian yang dilakukan oleh Rahayu Liana (2006)

dengan judul Perkawinan Merariq Menurut Hukum Adat Suku Sasak

Lombok Nusa Tenggara Barat. Hasil dari penelitian ini adalah Pada

dasarnya bentuk perkawinan yang dilakukan oleh masyarakat Suku Sasak

Lombok sama halnya dengan bentuk perkawinan adat masyarakat

Indonesia. Dalam hukum adat Suku Sasak bentuk perkawinan yang

dilakukan dapat pula dengan bentuk kawin lari.Kawin lari dalam

masyarakat Suku Sasak biasanya terjadi karena sudah merupakan suatu

kebiasaan yang sudah ditetapkan dan diatur di dalam hukum adat Suku

Sasak.

Metode Penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif, karena

dalam penelitian ini menggambarkan suatu peristiwa sesuai dengan

kenyataan yaitu mengenai perkawinan Merarik menurut hukum adat Susu

Sasak Lombok Nusa Tenggara Barat. Metode Pendekatan yang digunakan

dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis empiris.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang dilakukan dapat

disimpulkan sebagai berikut : (a) faktor penyebab terjadinya perkawinan

Merarik pada masyarakat Suku sasak di lombok antara lain: merupakan


14

suatu kebiasaan yang sudah ditetapkan dan diatur dalam hukum adat Suku

Sasak; mengurangi terjadinya konflik diantara para pihak; dapat

menghindari perpecahan dalam keluarga akibat pilihan tidak sesuai dengan

keinginan orang tua; bebas memilih pasangan yang diinginkan, (b)

pelaksanaan kawin Merarik pada masyarakat Suku Sasak di Lombok yaitu

lari bersama antara laki-laki dan perempuan yang saling mencintai atas

keinginan bersama yang merupakan awal dari prosesi adat, (c) akibat dari

perkawinan Merarik menurut hukum adat Suku Sasak, apabila terjadi

penyimpangan maka akan diambil tindakan hukum oleh Tetua adat yang

berupa pembayaran denda, (d) Caracara penyelesaian secara adat yang

ditempuh masyarakat adat Suku Sasak apabila salah satu pihak

membatalkan perkawinan Merarik yang telah disepakati; terlebih dahulu

akan diselesaikan melalui “Gundern” (musyawarah adat) yang diikuti

dengan pembayaran denda dan sanksi adat.

Berdasarkan kajian pustaka yang dipaparkan dapat diketahui bahwa

penelitian masalah kawin lari di setiap daerah memang berbeda itu

dikarenakan setiap daerah mempunyai kebudayaan masing-masing dan

penyelesain hukum adat yang berbeda pula. Penelitian yang telah ada

tersebut memiliki kekhasan masing-masing. Begitu juga dengan penelitian

yang dilakukan penulis kali ini.

Penelitian kali ini bertujuan untuk mengetahui pandangan

masyarakat terhadap kawin lari dan penyelesain hukum adat bagi orang

yang melakukan kawin lari tersebut seperti yang dilakukan Sudarmawan


15

(2009), Wa Enda (2014), dan Rahayu Liana (2006). Walaupun sebenarnya

penelitian sebelumnya hampir sama dengan penelitian ini karena metode

yang dilakukan adalah metode penelitian kualitatif.

2. Tinjauan Umum Tentang Perkawinan

a. Pengertian Perkawinan

Pengertian perkawinan menurut UU No. 1 tahun 1974 yang diatur

dalam pasal 1, yang berbunyi sebagai berikut:

“Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dan

seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga

(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang

Maha Esa”.

Perkawinan Menurut K. Wantjik Saleh (1976:14) menyatakan

bahwaDengan “ikatan lahir bathin” dimaksudkan bahwa perkawinan itu

tidak hanya cukup dengan adanya “ikatan lahir” atau “ikatan bathin”

saja, tetapi harus kedua-duanya.

Bahwa ikatan lahir mengungkapkan adanya suatu hubungan

hukum antara seorang pria dan seorang wanita untuk hidup bersama

sebagai suami istri. Ikatan bathin merupakan hal penting dalam

perkawinan, ini menunjukkan bahwa menurut Undang-Undang tujuan

adanya perkawinan bukanlah semata-mata memenuhi hawa nafsu.

Oleh karena itu diperlukan adanya peraturan-peraturan yang

menentukan persyaratan-persyaratan apa yang harus dipenuhi untuk


16

dilangsungkan perkawinan itu disamping peraturan-peraturan tentang

kelanjutan serta terputusnya suatu perkawinan.

Sebelum berlakunya Undang-Undang No. 1 tahun 1974, terdapat

banyak perbedaan tentang pengertian perkawinan antara golongan yang

tunduk dengan KUHPerdata dengan golongan yang tunduk pada Hukum

Islam.

Pasal 26 KUHPerdata, menyatakan bahwa perkawinan hanya

dipandang dari sudut hubungannya dengan hukum perdata saja. Senada

dengan pasal 26 KUHPerdata adalah pasal 1 HOCI (Huwelijks

Ordonanntie Cristen Indonesiers), yang menetapkan bahwa tentang

perkawinan Undang-Undang yang hanya memperhatikan perhubungan

perdata saja.

Sedangkan para penganut dan golongan yang tunduk pada Hukum

Islam mengartikan perkawinan suatu perbuatan keagamaan.Akan tetapi

setelah berakunya UU No. 1 tahun 1974, maka terdapat persamaan

teentang pengertian perkawinan.

Menurut Abdurrahman dalam Riduan Syahrani (1978:9), pengertian

perkawinan dalam pasal 1 UU No. 1 tahun 1974 tidak hanya suatu

perbuatan hkum tetapi juga merupakan perbuatan keagamaan.

Disamping uraian tentang perkawinan yang telah penulis

kemukakan di atas, maka akan dikemukakan pengertian perkawinan

menurut para sarjana, yaitu :


17

1) Menurut Wirjono Prodjodikoro(1983:13) menyatakan bahwa

perkawinan adalah suatu hidup bersama dari seorang laki-laki dan

seorang perempuan yang memenuhi syarat-syarat yang termasuk

dalam peraturan tersebut.

2) Menurut R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin(1986:13)

menyatakan perkawinan adalah suatu hubungan hukum antara

seorang pria dan seorang wanita untuk hidup bersama dengan

kekal, yang diakui negara.

3) Menurut Subekti (1984:13), perkawinan adalah pertalian yang sah

antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk waktu yang

lama.

Dengan melihat beberapa pengertian perkawinan yang

dikemukakan para sarjana, maka jelaslah kiranya, bahwa para sarjana

memandang perkawinan merupakan suatu perjanjian antara seorang

laki-aki dan seorang perempuan untuk membentuk keluarga (rumah

tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

Esa.

Sedangkan pengertian perkawinan menurut Hukum Adat adalah:

“Urusan kerabat, urusan keluarga, urusan masyarakat, urusan martabat

dan urusan pribadi dan begitu pula ia menyangkut urusan keagamaan”.

Adapun tujuan perkawinan pada hukum adat menurut H. Hilman

Hadikusuma (1984:13) adalah sebagai berikut:


18

Tujuan perkawinan bagi masyarakat hukum adat yang bersifat

kekerabatan, adalah untuk mempertahankan dan meneruskan keturunan

garis kebapakkan atau keibuan atau keibi-bapakan untk kebahagiaan

rumah tangga, keluarga/kerabat, untuk memperoleh nilai-nilai adat,

budaya dan kedamaian, dan mempertahankan kewarisan.

Dikarenakan sebagian besar suku-suku bangsa Indonesia termasuk

masyarakat suku Bugis adalah beragama Islam, maka hukum adat

mereka dilandasi dengan hukum Islam. Dengan dilandasi hukum Islam,

maka tujuan perkawinannya secara tidak langsung sesuai dengan tujuan

perkawinan menurut ketentuan hukum Islam, yaitu :

1) Menegakkan agama Allah, dalam arti mentaati perintah dan

larangan Allah.

2) Mencegah maksiat, terjadinya perzinahan dan atau pelacuran.

Pada umumnya bentuk perkawinan yang diadakan oleh masyarakat

Indonesia adalah dengan peminangan, namun demikian ada juga

beberapa sku yang membenarkan perkawinan dalam bentuk kawin lari

seperti diantaranya masyarakat suku Bugis adalah seorang laki-laki

membawa lari seorang perempuan dari kampung halaman mereka

(mallari) dan seorang laki-laki dengan seorang perempuan sama-sama

bersepakat melarikan diri dari kampung haamannya (silariang).

Sahnya perkawinan yang diadakan diantara seorang laki-laki

dengan seorang perempuan menurut Undang-Undang Nomor 1 tahn

1974 adaah sebagaimana tertuang dalam pasal 2 ayat (1) yang


19

menyatakan bahwa : “Perkawinan menurut hukum masing-masing

agamanya dan kepercayaan itu”.

Sedangkan sahnya perkawinan menurut hukum adat menurut H.

Hilman Hadikusuma adalah sebagai berikut :

Sahnya perkawinan menurut hukum adat bagi masyarakat hukum adat

di Indonesia pada umumnya bagi penganut agama tergantung pada yang

dianut masyarakat yang bersangkutan. Maksudnya jika sudah

dilaksanakan menurut tata tertib hukum agamanya, maka perkawinan

itusudah sah menurut hukum adat. Kecuali mereka yang menganut

agama yang diakui pemerintah, seperti halnya mereka yang belum

menganut kepercayaan agama lama (kuno) seperti “sepelegu”(pemuja

roh) di kalangan orang batak atau agama Kaharingan dikalangan orang-

orang Dayak Kalimantan Tengah dan lainnya, maka perkawinan yang

dilakukan menurut tata tertib adat/agama mereka itu adaah sah menurut

hukum adat setempat.

Dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 sebelum

para pihak melangsungkan perkawinan terlebih dahulu harus

diberitahukan dan dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah. Kemudian

perkawinan itu dilangsungkan dihadapan Pegawai Pencatat Nikah itu

dengan didampingi oleh seorang wali nikah dan dua orang saksi.

Setelah dilangsungkan perkawinan, maka kedua mempelai

menandatangani akta perkawinan yang merupakan alat bukti kawin

yang sah, akta perkawinan tersebut ditanda tangani pula oeh wali nikah,
20

dua orang saksi dan pegawai pencatat nikah. Begitu pula halnya dengan

tata cara perkawinan yang dilakukan oleh masyarakat adat Indonesia

mendasari ketentuan hukum Islam dalam pelaksanaan perkawinan,

untuk acara sebelum perkawinan berangsung dilakukan menurut hukum

adat yang biasanya dipimpin oleh kepala adat jadi wali menurut struktur

masyarakat hukum adanya masing-masing.

b. Azaz-azaz Perkawinan

Menurut Hilman Hadikusuma (1983:71) adapun azas-azas

perkawinan menurut hukum adat adalah sebagai dibawah ini :

1) Perkawinan bertujuan membentuk keluarga rumah tangga dan

hubungan kekerabatan yang rukun dan damai, bahagia dan kekal.

2) Perkawinan tidak saja harus sah dilaksanakan menurut hukum agama

dan atau kepercayaan, tetapi juga harus mendapat pengakuan dari para

anggota kerabat.

3) Perkawinan dapat dilakukan oleh seorang pria dengan beberapa wanita

sebagai isteri yang kedudukannya masing-masing ditentukan menurut

hukum adat setempat.

4) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan orang tua dan anggota

kerabat. Masyarakat dapat menolak kedudukan suami atau isteri yang

tidak diakui masyarakat adat.

5) Perkawinan dapat dilakukan oleh pria dan wanita yang belum cukup

umur atau masih anak-anak. Begitu pula walaupun sudah cukup umur

perkawinan harus berdasarkan izin orang tua/keluarga dan kerabat.


21

6) Perceraian ada yang diboehkan dan ada yang tidak dibolehkan.

Perceraian antara suami dan isteri dapat berakibat pecahnya hubungan

kekerabatan antara dua pihak.

7) Keseimbangan kedudukan antara suami dan isteri berdasarkan

ketentuan hukum adat yang beraku, ada isteri yang berkedudukan

sebagai ibu rumah tangga dan ada yang bukan ibu rumah tangga.

c. Hukum Perkawinan Adat Dalam Masyarakat

1. Sistem Perkawinan

Sistem perkawinan dilihat dari keharusan dan larangan. Mencari

calon isteri bagi setiap pria menurut Soerojo Wignjodipuro (1971:7) ada 3

sistem yaitu :

1) Sistem Endogami

Sistem endogami adalah sistem perkawinan yang dianut

dimana seorang pria harus mencari caon isteri diuar marga (klen

patrilineal) dan dilarang kawin dengan wanita yang semarga.

2) Sistem Exogami

Sistem exogami adalah dimana seorang pria diharuskan

mencari calon isteri dalam lingkungan kerabat (suku, klen, famili)

sendiri dan dilarang mencari keluar dari lingkungan kerabat.

3) Sistem Eleutherogami

Sistem eleutherogami adalah dimana seorang pria tidak lagi

diharuskan atau dilarang untuk mencari calon isteri diluar atau

didalam lingkungan kerabat/suku melainkan dalam batas-batas


22

keturunan dekat (nasab) atau periparan (musyaharah) sebagaimana

ditentukan oleh hukum Islam atau Perundang-undangan yang berlaku.

2. Bentuk-bentuk Perkawinan

Bentuk-bentuk perkawinan dalam masyarakat ada di Indonesia

menurut Hilman Hadikusuma (1981:72) ada tiga macam, Yaitu :

1) Perkawinan Jujur

Bentuk perkawinan jujur adalah perkawinan yang dilakukan

dengan pembayaran jujur dan pihak pria kepada pihak wanita.

Bentuk perkawinan ini terdapat pada masyarakat adat yang

susunannya patrilineal.

Dalam kerangka bentuk perkawinan jujur terdapat beberapa

variasi bentuk perkawinan, seperti :

a) Perkawinan ganti suami adalah dikarenakan suami wafat maka

isteri harus kawin dengan saudara pria dari suami yang telah

wafat.

b) Perkawinan ganti isteri adalah disebabkan isteri meninggal maka

suami kawin lagi dengan kakak atau adik wanita dan isteri yang

telah wafat itu (silih tikar).

c) Perkawinan mengabdi adalah dikarenakan karena ketika

diadakan pembicaraan lamaran, ternyata pihak pria tidak

memenuhi syarat-syarat permintaan dari pihak wanita,

sedangkan pihak bujang tidak menghendaki perkawinan


23

semanda lepas, sehingga setelah perkawinan maka suami akan

terus menerus bertempat kediaman di pihak kerabat isteri.

d) Perkawinan ambil beri adalah perkawinan yang terjadi diantara

kerabat yang sifatnya symetris, dimana pada suatu masa kerabat

A mengambil isteri dari kerabat B, maka pada yang lain kerabat

B mengambil isteri dari kerabat A.

e) Perkawinan ambil abak adalah perkawinan yang terjadi

dikarenakan hanya mengambil anak wanita (tunggal), maka

anak wanita itu mengambil pria (dari anggota kerabat) untuk

menjadi suaminya dan mengikuti kerabat isteri untuk selama

perkawinannya guna menjadi penerus keturunan pihak isteri.

2) Perkawinan Semanda

Bentuk prkawinan semanda adalah bentuk perkawinan tanpa

pembayaran jujur dari pihak pria kepada pihak wanita. Perkawinan

semanda terdapat pada masyarakat adat yang patrilincal alternerend

(kebapakan beralih-alih dan matrilireal).

Bentuk perkawinan semanda ini terdapat bermacam-macam

yaitu :

1) Semanda raja-raja yaitu perkawinan dimana dan isteri sebagai raja

dan ratu yang dapat menentukan sendiri tepat kedudukan rumah

tangga mereka sendiri.


24

2) Semanda lepas adalah perkawinan dimana suami melepaskan hak

dan kedudukannya dipihak kerabatnya dan masuk kepada kerabat

isteri.

3) Semanda runggu adalah perkawinan yang sifatnya sementara

dimana setelah perkawinan suami bertempat kedudukan dipihak

kerabat isteri dengan ketentuan menunggu sampai tugas

pertanggungan jawabnya terhadap keluarga mertua selesai

urusannya.

4) Semanda anak dagang adalah bentuk perkawinan yang tidak kuat

ikatannya, oleh karena kedatangan suami dipihak isteri tidak

bersyarat apa-apa, ia cukup datang dengan tangan hampa dan

begitu pula sewaktu-waktu dapat pergi tanpa membawa apa-apa.

5) Semanda ngangkit adalah perkawinan dimana seorang tidak

punya anak wanita dan hanya mempunyai anak pria maka untuk

meneruskan kedudukan dan keturunan serta mengurus harta

kekayaanya ia harus mencari wanita untuk dikawinkan dengan

anak prianya, sehingga kedua suami isteri itu nanti yang akan

menguasai harta kekayaan dan meneruskan keturunannya itu.

3) Perkawinan Mentas

Perkawinan mentas adalah bentuk perkawinan dimana

kedudukan suami isteri dilepaskan dari tanggung jawab orang

tua/keluarga kedua pihak; untuk dapat berdiri membangun keluarga

rumah tangga yang bahagia dan kekal.


25

Dalam pelaksanaan perkawinan mentas yang penting adalah

persetujuan antara pria dan wanita yang akan melakukan

perkawinan itu. Bentuk perkawinan semanda ini terdapat pada

masyarakat adat parental.

Menurut pengertian perkawinan mentas dimana suami isteri

dilepaskan dari tanggung jawab orang tua/keluarga pihak artinya

orang tua kedua mempelai sudah melepaskan keduanya untuk

membangun rumah tangga sendiri. Suatu harapan bagi kedua

mempelai untuk membangun keluarga bagagia seperti kedua orang

tua mereka.

3. Cara-cara Perkawinan

Di Indonesia ada berbagai macam cara-cara perkawinan. Antara satu

daerah dengan daerah yang lain berbeda caranya demikian juga istilah yang

digunakan berbeda juga.

Cara-cara perkawinan dapat dilaksanakan dengan melalui :

1. Perkawinan Pinang (Lamaran)

Kebiasaan yang terjadi disini yaitu setelah laki-laki datang

kepada orang tua si perempuannya itu setuju, orang tua dari si laki-laki

datang kepada orang tua si perempuan untuk meminang anak gadisnya.

Jika diterima oleh orang tua dari pihak perempuan tidak langsung

dilanjutkan dengan perkawinan tetapi diadakan prtunangan terlebih

dahulu.
26

Menurut Kompilasi Hukum Islam Bab I pasal 1 butir a yang

dimaksud peminangan adalah kegiatan upaya kearah terjadinya hubungan

perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita. Dalam

peminangan ini dapat langsung dilakukan orang yang berkehendak

mencari pasangan jodoh, tapi dapat pula dilakukan oleh perantara yang

dapat dipercaya. Sedang peminangan itu sendiri dapat dilakukan terhadap

seorang wanita yang masih perawan atau terhadap janda yang telah habis

masa iddahnya.

Pertunangan yang telah dilakukan baru mengikat apabila hadiah

pertunangan telah diserahkan. Menurut kebiasaan masyarakat alat

pengikat itu menjadi milik dari famili pihak perempuan. Alat pengikat ini

dipakai juga sebagai tanda larangan apabila ada laki-laki lain yang hendak

mengawininya. Dalam artian jangan sampai terjadi ada seorang

perempuan dipinang oleh dua laki-laki sekaligus dalam waktu yang

bersamaan. Pertunangan ini dimaksudkan juga agar mendapatkan suatu

kepastian bahwa perkawinan itu benar-benar terjadi.

Dari pihak laki-laki dapat memutuskan hubungan pertunangan

tersebut. Hal ini disebabkan karna adanya pernyataan mengenai putusnya

hubungan pertunangan itu atau secara diam-diam di laki-laki yang telah

meminang itu menjauhi dan meninggalkan perempuan yang dipinangnya.

Karena pertunangan ini belum menimbulkan akibat hukum

maka pihak bebas untuk memutuskan prtunangan. Menurut adat Bugis

Makassar apabila yang memutuskan prtunangan itu pihak perempuan


27

maka keluarganya harus mengembalikan “mahar” dua kali lipat harga

semula kepada pihak laki-laki maka “mahar” yang telah diberikan pada

perempuan yang dipinangnya itu hilang dan tidak ada kewajiban dari

perempuan untuk mengembalikan “mahar” itu.

Yang menjadi dasar alasan diadakannya pertunangan ini adalah

tidak sama di beberapa daerah, lazimnya adalah :

a. Karena ingin menjamin perkawinan yang dikehendaki itu sudah dapat

dilangsungkan dalam waktu dekat.

b. Khususnya di daerah-daerah yang ada pergaulan sangat bebas antara

muda-mudi, sekedar untuk membatasi pergaulan kedua belah pihak

yang telah diikat oleh pertunangan itu.

c. Memberikan kesempatan kepada kedua belah pihak untuk saling lebih

mengenal, sehingga mereka kelak sebagai suami isteri dapat

diharapkan menjadi suatu pasangan yang harmonis.

2. Perkawinan Lari Bersama

Bisa dikatakan juga sebagai perkawinan yang tanpa dilakukan oleh

lamaran dan pertunangan. Hal ini terjadi biasanya dikarenakan orang tua

tidak setuju. Kedua calon suami istri yang telah sepakat untuk

melangsungkan perkawinan lari ke salah seorang kerabat atau familinya

atau dapat juga ke rumah penghulu. Setelah itu baru diadakan

pembicaraan tentang adat yang berlaku.

Cara perkawinan semacam ini banyak terjadi pada masyarakat

yang menganut garis kekeluargaan patrilineal yaitu menarik garis


28

keturunan ke atas melalui garis bapak. Pada umumnya yang menjadikan

alasan dilakukannya cara perkawinan seperti ini adalah untuk

membebaskan diri dari bermacam-macam kewajiban yang harus dipenuhi

dalam perkawinan yang dilakukan dengan lamaran dan pertunangan.

Misalnya, memberi mahar pada pihak calon istri.

Menurut uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kawin lari bersama

terjadi atas kemauan pihak laki-laki dan perempuan walaupun sebenarnya

kedua belah pihak orang tua tidak menyetujui apa yang dilakukan

anaknya, karena dalam masyarakat Bugis terlalu banyak resiko yang akan

terjadi selain itu melanggar adat. Bisa saja pihak laki-laki yang membawa

anak gadis orang bisa di bunuh oleh pihak keluarga perempuan karena

merasa malu di lingkungan tempat tinggal mereka, karena setiap keluarga

dalam masyarakat Bugis mempunyai pihak To’masiri.

Ini juga menjadi solusi buat calon kedua mempelai karena tidak

ingin membebaskan diri dari bermacam-macam kewajiban yang harus

dipenuhi dalam perkawinan yang dilakukan dengan lamaran dan

pertunangan seperti uraian di atas memberikan mahar pada calon istri.

B. Tinjauan Umum Tentang Kawin Lari

1. Pengertian Kawin Lari

Istilah kawin lari bersama belum ada keseragaman pendapat

untuk mengambil suatu pengertian yang pasti karena masing-masing

daerah atau suku di Indonesia selalu menafsirkan sesuai dengan sudut


29

pandang berdasarkan adat istiadat masing-masing. Pada masyarakat

Lalabata yang mayoritas penduduknya bersuku Bugis, kawin lari ini

biasanya disebut dengan silariang.

Perkawinan silariang adalah apabila gadis atau perempuan dan

pemuda laki-laki setelah lari bersama-sama. T.H. Chabot dalam bukunya

Verwatenschap Stand en Sexe in Zuid Celebes dalam (Zainuddin, 2005:1-

2).

Bertlin dalam bukunya Huwelkijkrecht in Zuid Celebes dalam

(Zainuddin, 2005:2) mengatakan silariang adalah apabila gadis atau

perempuan dengan pemuda/laki-laki setelah lari bersama atas kehendak

bersama.

Silariang adalah sepakat lari bersama antara laki-laki dan

perempuan. Secara terminologi, kawin lari (silariang) adalah suatu

pernikahan yang dilangsungkan setelah sang laki-laki dan perempuan lari

bersama atas kehendak berdua (Natsir Said, 1962:118).

Ter Haar berpendapat bahwa perkawinan bawa lari (Schook

Huwelijik) adalah kadang-kadang lari dengan seorang perempuan yang

sudah ditunangkan atau dikawinkan dengan orang lain, terkadang-kadang

membawa lari dengan paksa. (Muhammad, 1981:86).

Berdasarkan dari pendapat di atas, dapat diartikan bahwa kawin

lari adalah suatu bentuk perkawinan yang dilakukan tanpa didahului

peminangan atau pertunangan secara resmi/formal. Lebih lanjut

dijelaskan oleh (Hilman Hadikusuma, 1993:34) menyatakan bahwa


30

terjadinya kawin lari tidak saja dilakukan bujang terhadap gadis, tetapi

ada juga yang sedang dalam ikatan perkawinan atau sudah pernah kawin.

Pengertian perkawinan silariang (bawa lari), ialah suatu

perkawinan dimana seorang laki-laki yang akan kawin membawa lari

seorang perempuan yang sudah ditunangkan atau dikawinkan dengan

paksaan. Adapun kebaikan dari perkawinan bawa lari dan prkawinan lari

bersama adalah karena si pemuda (laki-laki) dan pemudi (perempuan)

telah sungguh-sungguh saling mencintai dan berkeinginan untuk

mewujudkan suatu rumah tangga.

Sebenarnya terjadinya kasus kawin lari terhadap masyarakat

pada umumnya, bukanlah atas kehendak mereka yang sebenarnya,

melainkan mereka menginginkan perkawinannya direstui orang tua dan

keluarga dengan dilaksanakan menurut adat, ketentuan agama, dan sesuai

dengan perundang-undangan yang berlaku. Tetapi karena adanya faktor –

faktor penghambat dilangsungkannya perkawinan yang diawali dengan

cara melamar atau meminang, maka mereka nekat untuk mengawali

perkawinannya dengan cara kawin lari.

2. Istilah Kawin Lari Pada Masyarakat Suku Bugis

Kawin lari dalam masyarakat suku bugis dapat dirumuskan ke

dalam tiga istilah yakni Silariang, Rilariang dan Erangkale.

a. Silariang
31

Pada dasarnya perkawinan silariang merupakan kehendak

berdua laki-laki dan perempuan. Namun demikian persoalannya tetap

menimbulkan siri bagi pihak tomasiri yang senantiasa mempunyai

kewajiban menurut prosedur adat membunuh tau sala.

Menurut Natsir Said (1962:118) menyatakan bahwa selama

belum melaksanakan maddeceng adalah perdamain belum tercapai

sebagai akibat larinya gadis bersama seorang pemuda pujaannya. Hal

ini dipandang sebagai tantangan dan penghinaan terhadap kehormatan

pihak keluarga perempuan tersebut, namun sebenarnya perginya

seorang gadis bersama pria pujaan atas dasar kehendak berdua, tetapi

pihak pemuda tetaplah dipersalahkan sehingga disebut sebagai pihak

tau sala.

Bahwa pihak To masiri mempunyai kewajiban untuk balas

dendam, yakni dengan jalan membunuh lelaki tersebut untuk dapat

mengembalikan atau memulihkan kembali harga dirinya atau

kehormatannya dalam masyarakat. Dan apabila To masiri”tidak

berbuat sesuatu atas kejadian yang menimpa dirinya atau keluarganya

atau diam seribu bahasa maka dianggap orang yang tidak punya harga

diri atau khormatan disebut To de sirina’, meskipun diketahui bahwa

perginya seorang gadis adalah atas dasar kesepakatan berdua.

Sebagai tindakan balasan yang merupakan kewajiban untuk

membunuh To sala dengan maksud untuk menegakkan kembali harga

dirinya atau kehormatan adalah sejak gadis itu meninggalkan


32

rumahnya pergi bersama laki-laki yang dicintainya sampai

diadakannya perdamaian, tetapi kewajiban untuk membunuh pihak To

masiri”terhadap To sala”dalam keadaan terdesak cukup membuang

tutup kepala atau apa saja yang dipakainya baik baju ataupun

sarungnya, kemudian masuk pekarangan rumah kepala adat, maka

pada saat itupula toma siri tidak berhak membunuh tau sala.

Pada dasarnya perlindungan diri dari To sala oleh kepala adat di

mana To sala mendapat hak untuk tidak dihukum atau dibunuh oleh To

masiri dan perkaranya akan diselesaikan setelah diberikan sanksi atau

hukuman dan raja atau kepala adat, maka pulihlah siri bagi keluarga

gadis yang dipermalukan.

Dapat dikemukakan bahwasegala perbuatan yang dapat

menimbulkan ketersinggungan terhadap harkat dan martabat manusia

merasa terhina maka hal itu dinamakan siri, dengan siri inilah sehingga

untuk menjaga dan mempertahankanya mendorong manusia untuk

bertindak secara rasional maupun secara irasional.

b. Rilariang

Sesuai kenyataan yang sering terjadi dalam hidup dan

kehidupan masyarakat Suku Bugis tentang perkawinan, maka kawin

rilariang mempunyai kemiripan dengan kawin silariang. Hal ini dapat

dilihat dari segi akibat yang ditimbulkannya yaitu keduanya

menimbulkan siri bagi pihak keluarga sebagai pihak yang terkena siri

atau sebagai pihak toma siri maka menurut hukum adat berkewajiban
33

untuk menegakkan kembali harga dirinya. Sedangkan perbedaannya,

adalah kawin silariang merupakan kehendak bersama antara laki-laki

dan perempuan. Sedangkan kawin rilariang adalah bertentangan

dengan kehendak gadis atau permpuan yang dibawa lari tersebut.

Ter Haar yang dikutip oleh (Andi Muin, 1990:164) silariang

adalah terkadang lari dengan seorang perempuan atau seorang laki-laki

yang sudah ditunangkan atau dikawinkan dengan orang lain,

terkadang juga membawa lari perempuan dengan cara paksa.

(Bertling, 1994:37), membedakan kawin silariang dengan kawin

rilariang, Kawin silariang adalah larinya seorang gadis dengan

pemuda atas dasar kehendak bersama, sedangkan rilariang adalah

larinya gadis atas dasar paksaan dan pemuda ataukah bertentangan

dengan kehendak gadis.

Dapat dikemukakan bahwa pengertian kawin lari yang

diistilahkan dengan rilariang adalah suatu perkawinan yang terjadi

setelah seorang laki-laki melarikan seorang perempuan yang

bertunangan atau kawin dengan cara paksa atau bertentangan dengan

kehendak atau tidak disetujui antara kedua belah pihak, baik

perempuan maupun pihak laki-laki.

Lebih lanjut, dikemukakan Bertling tentang sebab-sebab

terjadinya kawin rilariang:

a. Bilamana pihak laki-laki atau pemuda telah datang melamar

namun ditolak dengan alasan perbedaan dan mas kawin yang


34

terlalu tinggi atau kemungkinan wanita itu telah

dipertunangkan dengan pemuda lain.

b. Biasanya terjadi penghinaan langsung kepada pihak laki-laki

yang dianggapnya sebagai siri sehingga bagi laki-laki merasa

dirinya malu di hadapan orang atau masyarakat.

c. Erangkale

(Natsir Said, 1992:33) Kawin erangkale adalah berasal dari kata

Erang artinya bawa dan kalee berarti diri. Jadi erang kale apabila gadis

itu membawa dirinya kerumah pemuda, sehingga menimbulkan siri

bagi keluarganya.

(Bertling, 1994:23) Jika dilihat dan tata bahasanya, yakni

erangkale terjadi dari suku kata yaitu erang artinya bawa dan kale

artinya diri. Jadi erangkale adalah membawah diri.

Berdasarkan pengertian di atas maka penulis dapat memberikan

pengertian bahwa kawin erangkale adalah perkawinan yang

dilangsungkan setelah gadis dengan kemauannya sendiri membawa

dirinya ke tempat kediaman pemuda atau laki-laki yang dicintainya.

Sebab terjadinya erangkale menurut Bertling (1994:33) adalah

sebagai berikut:

1. Terjadinya hubungan cinta dengan seorang pemuda di mana

seorang gadis atau perempuan mendengar kabar pemuda itu akan

kawin dengan gadis lain, maka sebelum terjadinya pernikahan

maka gadis pergi membawa diri ke rumah kepala adat atau iman,
35

untuk menyampaikan bahwa ia harus dikawinkan dengan pemuda

pujaannya. Walaupun sebenarnya pemuda itu tidak bertanggung

jawab.

2. Biasanya satu pesta perkawinan atau tempat keramaian, dimana

seorang gadis merasa dipermalukan (ripakasiri) oleh seorang

pemuda maka biasanya terjadi erangkale.

3. (Bertling, 1994:33) menyatakan bahwa seorang perempuan yaitu

telah diketahui berpecahan dengan seorang pemuda atau laki-laki

yang telah dibicarakan di lingkungannya, sehingga perempuan

merasa malu atas dirinya maka terjadi erangkale.

Pada dasarnya akibat yang ditimbulkan erangkale hampir sama

dengan kawin silariang atau rilariang yakni adanya dua pihak yang

bertentangan yakni pihak taumasiri, yang mempunyai kewajiban

membunuh pihak tau sala dengan maksud untuk mempertahankan

harga diri atau kehormatan sampai saat maddeceng.

Berdasarkan uraian di atas, dapat dikemukakan bahwa

erangkale timbul karena adanya perasaan siri dari pihak gadis atau

perempuan dan erangkale ini dilakukan oleh seorang gadis atas

kemauan sendiri.

3. Teori Yang Relevan Dengan Kawin Lari

a. Teori Fenomenologi

Fenomenologi adalah gerakan fisafat yang dipelopori oleh

Edmund Husserl (1859-1938). Husserl mengungkapkan bahwa


36

Fenomenologi merupakan ilmu pengetahun (logos) tentang apa

yang tampak (phainomenon). Jadi, Fenomenologi menyatakan

bahwa kenyataan sosial tidak bergantung kepada makna yang

diberikan individu lain, tetapi berdasarkan pada kesadaran subjektif

aktor itu sendiri atau dari sudut pandang orang pertama yang

mengalaminya.

Menurut Bernard Raho (2007:127) menyatakan manusia

mengenal dunia hanya melalui pengalaman. Segala sesuatu tentang

dunia luar sana diterima melalui indera dan dapat diketahui hanya

melalui kesadaran. Berhubung kesadaran itu penting dan menjadi

sumber pengetahuan, maka pencarian filosofi berusaha untuk

mengerti bagaimana kesadaran itu bekerja dan bangaimana ia

mempengaruhi manusia di dalam kehidupan sehari-hari. Proses

kerja kesadaran seperti itulah yang menjadi perhatian utama dari

fenomenologi.

b. Teori Tindakan

Berdasarkan topik penelitian yang diangkat untuk diteliti,

maka peneliti menggunakan teori tindakan. Menurut peneliti teori

tindakan ini sangat relevan dengan topik penelitian. Teori tindakan

termasuk di dalam salah satu paradigma definisi sosial, yang

artinya bahwa ada korelasi yang relevan antara paradigma definisi

sosial dan teori tindakan. Teori tindakan ini dipelopori oleh Max

Weber.
37

Pip Jones dalam Yayasan Obor Indonesia (24) menyatakan

teori tindakan menekankan pentingnya kebutuhan untuk

memusatkan perhatian kepada kehidupan sosial tingkat mikro, cara

individu berinteraksi satu sama lain dalam kondisi hubungan sosial

secara individual, bukan tingkat makro yakni secara seluruh

struktur masyarakat mempengaruhi perilaku individu. Bagi teori

tindakan masyarakat adalah hasil akhir dari interaksi manusia,

bukan penyebab.

Teori tindakan dibagi 4 tipe, yaitu rasionalitas instrumental,

rasionalitas yang beriorientasi nilai, tindakan rasional, dan tindakan

afektif. Di antara topik tersebut, teori tindakan efektif lebih tepat

digunakan untuk membahas topik penelitian. Tipe tindakan ini

ditandai oleh dominasi perasaan atau emosi tanpa reflksi

intelektual atau perencanaan yang sadar. Seseorang yang sedang

mengalami perasaan meluap-luap seperti cinta, kemarahan,

ketakutan atau kegembiraan, dan secara spontan mengungkapkan

perasaan itu tanpa reflksi, berarti sedang memperlihatkan tindakan

afektif. Tindakan itu benar-benar tidak rasional karena kurangnya

pertimbangan logis, ideologis, atau kriteria rasionalitas lainnya.

Pasangan yang melakukan pernikahan dengan cara kawin lari

dapat dikatakan sebagai keputusan yang spontan dari pasangan

tersebut. Keputusan untuk melakukan sebuah pernikahan perlu

dipikirkan secara matang supaya tidak berakibat buruk terhadap


38

pasangan tersebut. Pasangan yang menikah pada usia muda rentan

terhadap perceraian.

C. Tinjauan Umum Tentang Masyarakat

1. Pengertian Masyarakat

Istilah masyarakat berasal dari kata musyarak yang berasal dari

Bahasa Arab yang memiliki arti ikut serta atau berpartisipasi, sedangkan

dalam bahasa Inggris disebut Society. Sehingga bisa dikatakan bahwa

masyarakat adalah sekumpulan manusia yang berinteraksi dalam suatu

hubungan sosial. Mereka mempunyai kesamaan budaya, wilayah, dan

identitas.

Berikut ini adalah pengertian dan definisi tentang masyarakat

menurut beberapa ahli:

1) Peter L. Berger Dalam Brian Roy (http:carapedia.com. Diakses 2

januari 2014).

Definisi masyarakat adalah suatu keseluruhan kompleks hubungan

manusia yang luas sifatnya. Keseluruhan yang kompleks sendiri

berarti bahwa keseluruhan itu terdiri atas bagian-bagian yang

membentuk suatu kesatuan.

2) Marx Dalam Brian Roy. (http:carapedia.com. Diakses 2 januari 2014).

Masyarakat ialah keseluruhan hubungan-hubungan ekonomis, baik

produksi maupun konsumsi, yang berasal dari kekuatan-kekuatan

produksi ekonomis, yakni teknik dan karya.


39

3) Gillin & Gillin Dalam Brian Roy. (http:carapedia.com. Diakses 2

januari 2014).

Masyarakat adalah suatu kelompok manusia yang mempunyai

kebiasaan, tradisi, sikap, dan perasaan persatuan yang diikat oleh

kesamaan.

4) Harold J. Laski Dalam Brian Roy. (http:carapedia.com. Diakses 2

januari 2014).

Masyarakat adalah suatu kelompok manusia yang hidup dan

bekerjasama untuk mencapai terkabulnya keinginan-keinginan mereka

bersama.

5) Robert Maciver Dalam Brian Roy. (http:carapedia.com. Diakses 2

januari 2014).

Masyarakat adalah suatu sistim hubungan-hubungan yang diterbitkan

(society means a system of ordered relations).

6) Selo Soemardjan Dalam Brian Roy. (http:carapedia.com. Diakses 2

januari 2014.

Masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama dan

menghasilkan kebudayaan.

7) Horton & Hunt Dalam Brian Roy. (http:carapedia.com. Diakses 2

januari 2014).

Masyarakat adalah suatu organisasi manusia yang saling berhubungan.

8) Mansur Fakih Dalam Brian Roy. (http:carapedia.com. Diakses 2

januari 2014).
40

Masyarakat adalah sebuah sistem yang terdiri atas bagian-bagian yang

saling berkaitan dan masing-masing bagian secara terus menerus

mencari keseimbangan (equilibrium) dan harmoni.

2. Fungsi Kebudayaan Bagi Masyarakat

Kebudayaan mempunyai fungsi yang sangat besar bagi manusia

dan masyarakat. Bermacam kekuatan yang harus dihadapi masyarakat

dan anggota-anggotanya seperti kekuatan alam, maupun kekuatan-

kekuatan lainnya di dalam masyarakat itu sendiri tidak selalu baik

baginya. Selain itu, manusia dan masyarakat memerlukan pula kepuasan,

baik di bidang spiritual maupun materil. Kebutuhan-kebutuhan

masyarakat tersebut di atas untuk sebagian besar karena kemampuan

kebudayaan yang merupakan hasil ciptaannya juga terbatas di dalam

memenuhi segala kebutuhan.

Karsa masyarakat mewujudkan norma dan nilai-nilai sosial yang

sangat perlu untuk mengadakan tata tertib dalam pergaulan

kemasyrakatan. Karsa merupakan daya upaya manusia untuk melindungi

diri terhadap kekuatan-kekuatan lain yang ada di dalam masyarakat,

kekuatan-kekuatan yang tersembunyi dalam masyarakat tidak selamanya

baik. Untuk menghadapi kekuatan-kekuatan yang buruk, manusia

terpaksamelindungi diri dengan cara menciptakan kaidah-kaidah yang

pada hakikatnya merupakan petunjuk-petunjuk tentang bagaimana

manusia harus bertindak dan berlaku di dalam pergaulan hidup.


41

Kebudayaan mengatur agar manusia dapat mengerti bagaimana

seharusnya bertindak, berbuat, menentukan sikapnya kalau mereka

berhubungan dengan orang lain. Apabila manusia hidup sendiri, tidak

akan ada manusia lain yang merasa terganggu oleh tindakan-

tindakannya. Akan tetapi, setiap orang, bagaimanapun hidupnya, akan

selalu menciptakan kebiasaan-kebiasaan orang lain, walau misalnya

mereka hidup dalam satu rumah. Jadi setiap orang akan membentuk

kebiasaan yang khusus bagi dirinya sendiri.

Menurut Mas‟ud Ibrahim (2010:94) menyatakan bahwa Kaidah-

kaidah kebudayaan berarti peraturan tentang tingkah laku atau tindakan

yang harus dilakukan dalam suatu keadaan tertentu. Dengan demikian,

kaidah sebagai bagian kebudayaan mencakup tujuan kebudayaan,

maupun cara-cara yang dianggap baik untuk mencapai tujuan tersebut.

Kaidah-kaidah kebudayaan mencakup peraturan-peraturan yang

beraneka warna yang mencakup bidang yang luas sekali. Akan tetapi,

untuk kepentingan penelitian masyarakat, secara sosiologis dapat dibatasi

pada empat hal, yaitu:

1. Kaidah-kaidah yang dipergunakan secara luas dalam suatu kelompok

manusia tertentu.

2. Kekuasaan yang memperlakukan kaidah-kaidah tersebut.

3. Hubungannya dengan ketentuan-ketentuan hidup lainnya.

Berlakunya kaidah dalam suatu kelompok manusia tergantung

pada kekuatan kaidah tersebut sebagai petunjuk tentang bagaimana


42

seseorang harus berlaku. Artinya sampai berapa jauh kaidah-kaidah

tersebut diterima oleh anggota kelompok sebagai petunjuk perilaku yang

pantas.

3. Komponen-Komponen Dalam Masyarakat

Menurut Agussalim (2005:33) menyatakan bahwa komponen-

komponen masyarakat terdiri dari :

a. Interaksi sosial. Di dalam suatu masyarakat selalu terjadi interaksi.

Faktor utama yang mempengaruhi terjadinya interaksi sosial adalah;

imitasi, sugesti, dan simpatik. Sedangkan syarat-syarat terjadinya

interaksi sosial adalah sosial contact ( kontak sosial ) dan komunikasi

sosial. Adapun bentuk-bentuk interaksi sosial adalah cooperation

(kerjasama), competition (kompetisi), conflict (konflik) dan

accomodation (akomodasi) serta kontak sosial antara individu atau

kelompok dengan kelompok.

b. Pranata sosial disebut juga social institution (lembaga

kemasyarakatan) yang berarti sistem tata kelakuan (diatur nilai-nilai

dan norma-norma sosial) yang berhubungan dengan aktifitas.

Bertujuan untuk memenuhi kompleksitas kebutuhan hidup

bermasyarakat. Fungsi pranata sosial adalah:

1) Sebagai pedoman bersikap dan berprilaku dalam hidup

bermasyarakat.

2) Menjaga keutuhan masyarakat, dan

3) Sebagai sistem pengendalian terhadap perilaku bermasyarakat.


43

D. Kerangka Pikir

Kerangka pikir adalah penjelasan sementara terhadap gejala yang

disusun menjadi obyek permasalahan. Kerangka pikir disusun berdasarkan

tinjaun pustaka dan hasil penelitian yang relevan. Fenomena kawin lari

yang terjadi di dalam masyarakat di Lalabata Kabupaten Soppeng

merupakan sesuatu yang sering terjadi di dalam masyarakat. Pada

umumnya pelaku kawin lari pada masyarakat dikarenakan tidak adanya

restu dari orang kedua orang tua salah satu pasangan tersebut dan masalah

ekonomi juga mempengaruhi sehingga bisa dilakukan kawin lari.

Strata sosial sangat berpengaruh dan tidak mendapatkan persetujuan

dari kedua orang tua salah satu pasangan merupakan faktor utama yang

melatarbelakangi terjadinya kawin lari pada masyarakat Lalabata

Kabupaten Soppeng. Kawin lari yang dilakukan oleh pasangan akan

menimbulkan rasa malu (siri’) sehingga pihak keluarga salah satu

pasangan akan membunuh atau dapat di ambil dengan cara penyelesaian

hukum adat yang dalam masyarakat bugis itu disebutmaddeceng.

Hal ini peneliti bahas lebih lanjut dengan menggunakan teori

fenomenologi dan teori tindakan. Teori tindakan termasuk dalam

paradigma definisi sosial yaitu paradigma yang pusat perhatiannya atau

fokusnya pada tindakan sosial. Arti tindakan sosial di sini adalah tindakan

individu mempunyai makna atau arti subyektif pada dirinya.

Dalam fenomena kawin lari ini peneliti mencoba melihat pandangan

masyarakat terhadap kawin lari tersbut. Selanjutnya peneliti juga akan


44

meneliti implikasi sosial kawin lari terhadapa budaya siri’(malu) yang

dipegang teguh oleh masyarakat Lalabata dan selanjutnya peneliti juga

akan meneliti cara-cara penyelesaian hukum adat yang ditempuh

masyarakat Lalabata Kabupaten Soppeng. Ketiga inilah yang akan diteliti

secara mendalam oleh peneliti sehingga apa pokok permasalahan bisa

terjawab sepenuhnya.

Seperti uraian diatas maka peneliti juga akan mencoba membuat

bagan kerangka pikir sesuai dengan rumusan masalah diatas :

Bagan Kerangka Pikir

Fenomena Masyarakat

Kawin Lari Di
Masyarakat Lalabata

Pandangan Penyelesaian
Masyarakat Implikasi Sosial Hukum Adat

Analisis

Temuan

Pembaca

Gambar 1
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini ,menggunakan

Yuridis-empiris. Pendekatan yuridis digunakan untuk menganalisa berbagai

peraturan perundang-undangan di bidang perkawinan dikaitkan dengan

masalah kawin lari.

Sedangkan pendekatan empiris digunakan untuk menganalisa hukum

bukan semata-mata sebagai suatu perangkat aturan perundang-undangan yang

bersifat normatif belaka akan tetapi hukum dilihat sebagai perilaku

masyarakat yang menggejala dan mempola dalam kehidupan masyarakat,

selalu berinteraksi dan berhubungan dengan aspek kemasyarakatan seperti

politik, ekonomi, sosial dan budaya. Berbagai temuan lapangan yang bersifat

individual akan dijadikan bahan utama dalam mengungkapkan permasalahan

yang diteliti dengan berpengan pada ketntuan yang normatif.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, karena dengan

menggunakan metode ini diharapkan akan ditemukan makna-makna yang

tersembunyi dibalik objek yang akan diteliti. Makna-makna yang akan

diungkapkan dalam penelitian ini ialah bangaimana sesungguhnya penyebab

kawin lari pada masyarakat Lalabata tersebut.

Sebagaimana ciri penelitian kualitatif, maka penelitian ini berlangsung

dengan latar belakang yang wajar/alamiah. Dengan latar yang bersifat

46 mengungkapkan tingkah laku


alamiah penelitian ini diarahkan untuk

45
46

masyarakat Lalabata yang melakukan kawin lari tersebut, penelitian ini tidak

hanya menekan hal-hal yang nampak secara eksplisit saja melainkan harus

melihat secara keseluruhan fenomena yang terjadi di dalam masyarakat.

Sanafich Faisal (1990:8) menyatakan banyak hal-hal yang dapat diangkat

dari berbagai dimensi dalam penelitian kualitatif, setelah satu diantaranya

untuk mendapatkan pemahaman yang utuh mengenai gejala, kenyataan

tingkah laku sosial dan budaya.

Selain hal-hal tersebut diatas penelitian kualitatif mempunyai beberapa

kelebihan yaitu :

1. Mudah dalam penyesuaiannya jika berhadapan dengan kenyataan ganda.

2. Menyajikan secara langsung hakekat hubungan peneliti dengan responden.

3. Lebih peka dan dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman

pengaruh bersama terhadap pola-pola nilai yang dihadapi.

B. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini berada di Kecamatan Lalabata Kabupaten Soppeng,

Alasan peneliti memilih lokasi tersebut yaitu selain karena daerah ini

merupakan tempat penelitian, juga diharapkan lokasi penelitian akan

mempermudah peneliti dalam melakukan penelitian karena lokasi penelitian

dapat terjangkau dengan mudah sehingga dalam proses penelitian diharapkan

peneliti tidak akan mengalami kesulitan dalam melakukan observasi dan

mencari informan.
47

C. Deskripsi Fokus

Dalam penelitian ini, sesuai dengan judul “Kawin Lari Dalam Konteks

Kekinian Pada Masyarakat Lalabata Kabupaten Soppeng”. Menggambarkan

segala sesuatu yang berkaitan dengan peristiwa kawin lari pada masyarakat

Lalabata, untuk kemudian dianalisa untuk mendapatkan faktor penyebab

kawin lari. Sehingga didapatkan cara-cara penyelesaian terhadap kawin lari

pada masyarakat Lalabata tersebut.

D. Subjek Penelitian

Subjek penelitian adalah pihak-pihak yang dijadikan sebagai sampel

dalam sebuah penelitian. Subjek penelitian juga membahas karakteristik

subjek yang digunakan dalam penelitian. Subjek penelitian yang digunakan

dalam penelitian ini adalah masyarakat Lalabata Kabupaten Soppeng.

Tabel. 1 Informan

No Nama Informan Umur Daerah Pendidikan Pekerjaan

1. A. Abdul Wajid 57 Ompo SMA Tokoh Adat

2. A. Mattarima 50 Lapajung SMA Tokoh Adat

3. A. Mappiasse 45 Lawo SMA Imam Mesjid

4. Amiruddin 40 Lawo S1 Pegawai

5. Baddare 36 Lapajung SMA Wiraswasta

E. Data dan Sumber Data

Data yang dikumpulkan dalam penulisan skripsi ini meliputi data

sekunder dan data primer, yang diperoleh melalui studi kepustakaan maupun
48

studi lapangan. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka metode

pengumpulan data meliputi :

1. Data Primer

Yaitu data yang diperoleh langsung pada masyarakat Lalabata, data

diperoleh dengan cara wawancara mendalam, intensif dan langsung,

wawancara terikat, observasi dilokasi penelitian, sehingga dibutuhkan alat

berupa tape perekam, kamera dan buku catatan. Data ini dibutuhkan untuk

memperoleh informasi tentang Persepsi masyarakat terkait dengan kawin lari

maupun yang tidak.

2. Data Sekunder

Data sekunder dibutuhkan untuk melengkapi data primer, diperoleh

dengan cara pencarian data pada media informasi yang mana kerap menjadi

bahan pemberitaan seperti di Koran dan semacamnya terkait dengan

penelitian ini.

F. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data ini terdiri dari teknik pengumpulan data utama

dan teknik pengumpulan data penunjang. Teknik pengumpulan data

penunjang adalah daftar pertanyaan, catatan lapangan akan dilakukan dengan

cara :

1. Observasi

Observasi adalah suatu teknik yang dilakukan dengan cara pemusatan

perhatian secara teliti terhadap suatu obyek dengan menggunakan seluruh alat

indra (pengamatan langsung). Dalam melakukan penelitian ini, peneliti


49

menggunakan teknikObservasi partisipasi (participant observation), yakni

metode pengumpulan data yang digunakan untuk menghimpun data

penelitian melalui pengamatan dan pengindraan dimana observer atau peneliti

benar-benar terlibat dalam keseharian responden.

2. Wawancara

Wawancara adalah suatu teknik yang dilakukan oleh peneliti melalui

temu muka berulang antara peneliti dengan subjek yang akan diteliti.

Wawancara, baik secara terstruktur maupun tidak terstruktur, wawancara

terstruktur dilakukan dengan berpedoman kepada daftar pertanyaan-

pertanyaan yang sudah disediakan peneliti, sedangkan wawancara tak

terstruktur yaitu wawancara yang dilakukan tanpa berpedoman pada daftar

pertanyaan. Materi diharapkan berkembang sesuai dengan jawaban informan

dan situasi yang berlangsung.

3. Dokumentasi

Dukomentasi merupakan teknik pengumpulan data sekunder yang

dilakukan dengan menyimpan data dari hasil penelitian, meliputi buku-buku

dan data-data yang relevan.

Menurut Drs. Bambang Suteng Sulasmono (2007:125) berpendapat

bahwa dalam penelitian sosial, ada berbagai jenis dokumen yang bisa

dimanfaatkan sebagai alat untuk mengumpulkan data. Dokumen tersebut

misalnya meliputi catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, notulensi

rapat, surat, dan sebagainya.


50

Hal yang perlu diperhatikan peneliti dalam memanfaatkan dokumen

adalah kesesuaian antara data yang ada di dalam dokumen dengan data yang

ingin diperoleh oleh peneliti.

G. Teknik analisis data

Penelitian ini adalah deskriptif kualitatif, maka analisis tersebut berlangsung

sejak pertama kali terjun ke lapangan sampai pengumpulan data dan menjawab

sejumlah permasalahan yang ada, selanjutnya fakta yang diperoleh di lapangan

dengan menuliskan, mengedit, mengklasifiksikan dan kemudian dilanjutkan ke

penyajian.

Analisis data dilakukan dengan pertimbangan mempermudah mengadakan

penyesuaian jika menemui kenyataan ganda dan mencari data pendukung yang

relevan untuk memperkuat penarikan kesimpulan. Analisis data yang digunakan

dalam penelitian ini berdasarkan yang dikemukakan oleh Miles dan Huberman

(dalam Sugiyono 2010 : 246) yaitu:

1. Pertama – tama reduksi data, data yang diperoleh dari lapangan dicatat secara

rinci dan diteliti kemudian di pilih data yang penting, membuat kategori

sehingga data yang diperoleh di lapangan akan mudah dipahami. Reduksi

data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah hasil wawancara yang

diperoleh di lapangan. Kemudian memperbaiki hasil wawancara dalam

bentuk table dan kutipan hasil wawancara dengan informan.

2. Penyajian data, setelah data direduksi, maka langkah selanjutnya adalah

menampilkan data yang telah di reduksi. Penyajian data dalam penelitian ini
51

menyangkut identitas informan, dan hal–hal yang menyangkut rumusan

masalah dalam penelitian.

3. Yang ketiga adalah penarikan kesimpulan, berarti data yang sudah melalui

penyajian akan ditarik kesimpulan berdasarkan apa yang diperoleh di

lapangan secara keseluruhan.

Menurut Drs. Bambang Suteng Sulasmono (2007:129) menyatakan

bahwa dalam pengolahan data kualitatif, seorang peneliti dituntut memiliki

beberapa kualitas berikut:

1. Imajinasi, kreativitas, kepekaan, dan kemampuan untuk melakukan

penelaahan masalah secara mendalam.

2. Melacak, mengumpulkan, dan mengorganisasikan data yang diperlukan

secara lengkap.

3. Mengkonstruksi dan menafsirkan data secara logis serta

mengungkapkannya dalam kalimat tertulis secara konsisten.

H. Keabsahan Data

Dalam penulisan ini, cara-cara yang dipakai untuk mengumpulkan data

dari hasil wawancara pada orang-orang yang masuk ke dalam sampling dan

untuk memeriksa keabsahan data yang diperoleh tersebut, maka menggunakan

“Teknik Triangulasi Data”‟ yaitu suatu teknik dimana untuk keperluan

pengecekan yang dipakai sebagai pembanding dari data yang diperoleh.

Menurut Lexy J.Moleong (1995:178) menyatakan “Bahwa teknik

Triangulasi yang paling banyak digunakan adalah pemeriksaan melalui sumber

lainnya, Denzim (1978) membedakan empat macam triangulasi sebagai teknik


52

pemeriksaan yang dimanfaatkan penggunaan sumber, metode, penyidik, dan

teori.

Dalam penulisan ini menerapkan sistem pemeriksaan keabsahan data

melalui sumber, yaitu dengan jalan membandingkan suatu informasi yang

diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam metode kualitatif. Disini

yang dibandingkan adalah:

1. Membandingkan data hasil pengamatan dengan data wawancara.

2. Membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan apa

yang dikatakannya secara pribadi.

3. Membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi penelitian

dengan apa yang dikatakan sepanjang waktu.

4. Membedakan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat

dan pandangan orang, rakyat biasa, orang yang berpendidikan menengah

atau tinggi, orang berada, orang pemerintahan.

5. Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang

berkaitan, disini perbandingan dilakukan atas wawancara oleh penulis

kepada pihak-pihak yang menjadikan sampling dengan data-data dari

dokumen-dokumen yang ada kaitannya dengan penelitian ini.

Tetapi dalam hal ini menurut Lexy J. Meleong, mengemukakan bahwa

“dalam hal ini jangan sampai banyak mengharapkan bahwa hasil perbandingan

tersebut merupakan kesamaan pandangan, pendapat atau pemikiran, yang

penting disini ialah bisa mengetahui adanya alasan-alasan terjadinya

perbedaan-perbedaan tersebut(Patton 1987:331)”


BAB IV

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

A. Gambaran Umum Masyrakat Lalabata Kabupaten Soppeng.

1. Letak Geogrfis dan Luas Wilayah.

Lalabata, dengan luas wilayah 278 km, berada di tengah-tengah wilayah

Kabupaten Soppeng dan merupakan ibukota Kabupaten. Kecamatan ini

berbatasan dengan kecamatan Donri-Donri di bagian utara kecamatan Liliriaja di

sebelah timur Kecamatan Marioriwawo di sebelah selatan dan sebelah barat

Kabupaten Barru.

Pemerintahan Kecamatan Lalabata membawahi 7 kelurahan dan 3 desa,

kecamatan ini berada pada wilayah dengan wilayah topografi yang beragam.

Sebagian desa berada pada wilayah dengan topografi yang datar dan sebagian lagi

berada pada wilayah yang berbukit-bukit dengan ketinggian dari permukaan laut

berkisar antara 25 sampai 1.505 m di atas permukaan air laut.

2. Keadaan Demografi

a. Penduduk

Berdasarkan estimasi Sensus penduduk 2000, terdapat 42.398 orang

yang tercatat sebagai penduduk Kecamatan Lalabata. Secara rata-rata, setiap

km2 wilayah di kecamatan ini didiami 153 orang. Kelurahan Botto

merupakan desa/kelurahan yang memiliki penduduk terpadat yaitu 642 orang

per km dan desa Umpungeng Pattojo yang terjarang dengan kepadatan 43

55

53
54

setiap km2. Penduduk di kecamatan ini terdiri dari perempuan 20.315 dan

laki-laki 22.083 dengan seks rasio 92.

b. Pendidikan

Dalam hal pendidikan, ibukota kabupten ini memiliki fasilitas pendidikan

yang cukup lengkap. Dari jenjang pendidikan TK sampai dengan perguruan

tinggi terdapat di kecamatan ini. Sampai dengan tahun 2015, Di Kecamatan

Lalabata terdapat 19 unit TK, 44 unit SD dan MI, 10 unit SLTP dan MTs dan

12 unit SLTA dan MA, dan 3 unit Perguruan Tinggi.

c. Agama

Mayoritas penduduk lalabata beragama islam dan sebagian lagi

memeluk agama selain Islam. Kecamatan ini mempunyai 68 mesjid dan 6

mushalah yang tersebar disemua desa/ kelurahan. Selain itu, terdapat 3 gereja.

d. Mata Pencaharian

Kecamatan lalabata merupakan salah satu daerah penghasil padi di

Kabupaten Soppeng. Pada tahun 2015, produksi padi sebanyak 35.052 ton

yang dihasilkan dari areal tanaman seluas 3.270 Ha. Jenis buah-buahan yang

banyak diusahakan adalah mangga, pepaya, dan pisang. Sedangkan tanaman

perkebunan yang utama adalah kakao.

3. Strafikasi Sosial Masyarakat

Menurut pemahaman masyarakat Lalabata, rumah memiliki makna

simbolis dimana bentuk rumah memperlihatkan suatu gambaran stratifikasi

sosial masyarakat. Atap rumah yang dibuat bersusun tiga menandakan orang

tersebut berasal dari kalangan bangsawan. Begitu pula dengan adat istiadat
55

perkawinannya, dimana masyarakat yang berasal dari kalangan bangsawan akan

membentangkan kain putih ditangga ketika mempelai wanita atau laki-laki

datang.

Stratifikasi sosial masyarakat juga bisa dilihat pada acara mappaci,

dimana calon mempelai didudukkan di atas tikar pandan yang bulat dilengkapi

dengan alat kebesaran keluarganya yang biasanya terdiri dari: lellu’ yang

dipegang oleh 4, 6, 8 orang tergantung dari stratifikasi sosial mempelai itu

sendiri. Disamping itu pula duduk indo’ pasusu sekurang-kurangnya 2 orang.

Acara ini dimeriahkan pula dengan iringan genrang bali sumage.

Untuk kalangan bangsawan mahar yang akan di bawah ke tempat

mempelai wanita biasanya dipayungi dan pembawa payung berasal dari keluarga

dekat mempelai laki-laki sendiri. Meskipun tradisi ini telah mengalami

perubahan, tetapi masih ada beberapa golongan bangsawan di Kecamatan

Lalabata yang mempertahankan tradisi perkawinan dengan menggunakan tata

cara lama. Ada pembawa tempat sirih, dilengkapi tempat meludah, lengkap

dengan beberapa budak mereka zaman dahulu yang mengenakan jas putih.

Orang Soppeng membagi masyarakatnya dalam beberapa tingkatan

menurut derajat kebangsawanan seseorang. Tingkatan pertama adalah lapisan

ana’ matoala atau anak penerus, tingkatan kedua anak arung atau anak-anak

dari arung, tingkatan ketiga adalah tau deceng atau orang-orang baik. Golongan

keempat adalah golongan tau ammeng atau maradeka yakni orang-orang

merdeka dan golongan kelima terdiri atas para budak.


56

Gambar 1. Rumah dengan Bumbungan Tiga Susun (Nur Alam, 25


februari 2016).

Bumbungan tiga susun di Kecamatan Lalabata dahulu menandakan

rumah tersebut milik masyarakat bangsawan. Bisa dibandingkan dengan rumah

masyarakat biasa saat ini tidak memiliki bumbungan tiga susun seperti pada

gambar di bawah ini.

Hal berbeda ketika mempelai laki-laki berasal dari golongan ketiga,

maka kelak anak yang lahir tidak bisa menyandang gelar bangsawan sama

dengan ibunya karena gelar tersebut mengikut pada garis keturunan laki-laki.

Seperti gambar di bawah ini :


57

Gambar 2. Rumah Masyarakat Biasa (Nur Alam, 25 februari 2016).

Apabila terjadi peristiwa dimana bangasawan menikahi golongan

dibawahnya, maka akan terjadi penurunan derajat kebangsawanan. Apabila

mempelajari laki-laki berasal dari golongan bangsawan dan perempuan berasal

dari golongan ketiga, maka kelak anak yang lahir masih bisa menyandang status

bangsawan. Hal berbeda ketika mempelai laki-laki berasal dari golongan ketiga,

maka kelak anak yang lahir tidak bisa menyandang gelar bangsawan sama

dengan ibunya karena gelar tersebut mengikut pada garis keturunan laki-laki.

4. Bahan-bahan dan Perlengkapan dalam Proses Perkawinan

Bahan-bahan yang digunakan dalam upacara perkawinan masyarakat

Lalabata tidak jauh berbeda dengan daerah lain. Pada umumnya terdiri atas:

a. Sompa/ mahar atau mas kawin dalam bentuk uang sebagai syarat sah

peminangan menurut Islam.


58

b. Dui menre atau sejumlah uang belanja dari mempelai pria sebagai syarat

sah peminangan menurut adat yang akan digunakan untuk membiayai

pesta pernikahan mempelai wanita.

c. Ciccing pasio’, yaitu cincin emas dari mempelai pria untuk mengikat

mempelai wanita.

d. Sarung sutra sebagai hadiah untuk kedua belah pihak keluarga mempelai.

e. Seperangkat peralatan dalam acara mappacci seperti daun pacar, bantal,

pucuk daun pisang, lilin, bekkeng (tempat daun pacar logam), wenno (padi

yang disangrai) dan daun nangka.

f. Berbagai macam makanan dan kue-kue tradisional seperti beppa puteh,

nennu-nennu, palopo, barongko, paloleng, sanggarak, lapisi, cangkoneng,

bandang-bandang dan lain-lain sebagainya.

g. Bosara, yaitu tempat menyimpan kue-kue tradisional Bugis, dan

sebagainya.

B. Gambaran Umum Informan

1. Informan Berdasarkan Umur

Peneliti berhasil mewancarai sepuluh informan. Dari hasil

penelitian ini diketahui umur masing-masing informan kurang lebih 18

tahun sampai 57 tahun. Masing-masing satu informan 57, 50, 45, 40, 36,

25 dan 20 tahun. Dua informan masing-masing berusia 18 tahun.

Masyarakat yang menjadi informan dalam penelitian ini dipilih

berdasarkan teknik penentuan informan secara bertujuan atau


59

pengambilan informan berdasarkan tujuan tertentu. Namun penulis

membatasi jumlah informan karena alasan waktu.

Tabel 2

Identitas Informan

No. Nama Informan Usia Pendidikan Jenis Status

kelamin Perkawinan

1. A.Mattarimah 57 SMA Laki-Laki Menikah

2. A.Abdul Wajid 50 SMA Laki-Laki Menikah

3. Amiruddin 40 SMA Laki-Laki Menikah

4. Baddare 36 SMA Perempuan Menikah

5. Febriawan, S.E 25 S1 Laki-Laki Menikah

6. A.Mappiasse, S.Ag 45 S1 Laki-laki Menikah

7. Vd 25 SMA Laki-Laki Menikah

8. Fr 18 SMA Perempuan Menikah

9. Ag 24 SMA Laki-Laki Menikah

10. Mn 18 SMA Perempuan Menikah

Sumber: Hasil Pengolahan data Primer

Berdasarkan informasi informan, penulis sangat berterimah kasih karena

informan, sudah siap diwawancarai, sehingga penulis dapat menyelesaikan

penyusunan skripsi ini.

2. Informan Berdasarkan Pendidikan


60

Dalam penelitian ini penulis memilih informan dengan karakteristik 2 orang

strata satu, selebihnya berpendidikan SMA. Hal ini dimaksudkan untuk

mengelompokkan informan dengan tujuan mempermudah analisis data.

3. Informan Berdasarkan Jenis Kelamin

Peneliti memperoleh data dari kesepuluh informan yang dipilih. Dari sepuluh

informan tersebut tujuh berjenis kelamin laki-laki dan tiga perempuan.

4. Informan Yang Melakukan Kawin Lari

a. Pasangan Vd dan fr

Vd adalah seorang pria beragama Islam yang berusia 25 tahun dan

bekerja sebagai petani. Sedangkan isterinya bernama Fr seorang wanita

beragama Islam yang berusia 18 tahun dan menjadi seorang ibu rumah tangga.

Vd dan Vr menikah pada tahun 2015. Pendidikan terakhir Vd adalah SMU

sedangkan Fr hanya bersekolah sampai kelas 2 SMA. Pasangan ini kini telah

tinggal di rumah kontrakan 3 bulan sejak pernikahan mereka, mereka masih

tinggal bersama kedua orang tua Fr. Keterbatasan ekonomi yang menjadi alasan

Vd tidak dapat melanjutkan sekolah, menyebabkan ia hanya bekerja sebagai

petani. Pada masa duduk di bangku sekolah, Fr termasuk anak yang berprestasi,

dia juga memiliki keinginan untuk melanjutkan pendidikan untuk melanjutkan

bidan.

Pasangan ini melakukan Silariang karena Fr telah hamil terlebih

dahulu, ketika itu Fr masih duduk di kelas 2 SMA. Pada awalnya Vd membawa

kabur Fr ke rumah saudara Vd di Makassar karena mereka takut jika kedua

orang tua Fr mengetahui jika anakx hamil. Pada akhirnya ketika Fr memberikan
61

kabar kepada kedua orang tuanya jika dia akan melakukan kawin lari, maka

kakak Fr yang bernama Ag menyusul mereka di rumah paman Vd yang berada

di Makassar dan membawa mereka pulang ke rumah.

Pada awalnya kedua orang tua Fr tidak menyetujui jika anak mereka

menikah karena Fr masih kelas 2 SMA dan Vd belum memiliki pekerjaan.

Tetapi ketika mereka mengetahui jika anak mereka hamil, maka dengan terpaksa

kedua orang tua Fr menikahkan Fr dan Vd. Fr mengakui jika dia merasa malu

karena melakukan kawin lari karena hamil di luar nikah. Selain itu, dia juga

mengakui bahwa dia sangat takut ketika orang tuanya mengetahui jika dirinya

sudah hamil. Keterbatasan ekonomi karena Vd belum memiliki pekerjaan

membuat mereka masih menjadi beban kedua orang tua Fr, dan mereka juga

tinggal bersam kedua orang tua Fr. Frpun merasa menyesal kareana tidak

melanjutkan sekolah sehingga kini dirinya hanya menjadi seorang ibu rumah

tangga dan tidak bisa membantu ekonomi keluarga kecilnya.

b. Pasangan AG dan MN

AG pria beragama Islam berusia 24 tahun dan berprofesi sebagai

petani dan berstatus sebagai Mahasiswa. Sedangkan istrinya MN wanita

beragama Islam yang berusia 18 tahun dan berprofesi sebagai ibu rumah tangga.

AG pria yang berasal dari Desa Lapajung Kecamatan Lalabata Kabupaten

Soppeng, Sedangkan istrix berasal dari Kelurahan Ompo Kecamatan Lalabata

Kabupaten Soppeng. AG menempuh pendidikan terakhir hingga D3, sedangakan

istrix tidak lulus SMU karena tidak mengikuti Ujian Nasional.


62

Pasangan ini menikah pada tahun 2015, pada saat ini mereka telah

mempunyai 1 orang anak. Anak mereka masih berusia 2 bulan. Pasangan ini

memilih untuk melakukan kawin lari karena hubungan mereka tidak

mendapatkan restu dari kedua orang tua MN. Hal itu dikarenakan AG terkenal

sebagai anak nakal di desanya maupun di sekolah. Menurut pengakuan AG ia

adalah seorang preman dan suka mabuk-mabukan. Oleh sebab itu, kedua orang

tua MN tidak mengijinkan mereka berhubungan. Atas dasar suka sama suka,

pasangan ini lalu sepakat untuk melakukan kawin lari. Mereka melakukan kawin

lari dengan cara AG membawa MN ke rumah kedua orang tuanya. AG

mengatakan kepada orang tuanya jika dia akan membawah lari anak orang.

Ketika itu kedua orang tua AG tidak melarang, malah membantu untuk

menikahkan anak mereka. Kemudian, kedua orang tua AG memberi tahu kepada

orang tua MN jika MN telah di nikahkan sama anak mereka. Setelah itu, kedua

keluarga ini melakukan pertemuan untuk mendiskusikan pernikahan mereka.

Walaupun telah melakukan perundingan, orang tua MN tetap tidak

menginginkan anak mereka menikah dengan AG dan dia ingin anakx

melanjutkan sekolah. Keinginan kedua orang tua MN tersebut akhirnya tidak

bisa dipenuhi karena MN menolak melanjutkan sekolah dan lebih memilih untuk

menikah dangan AG.

Keputusan Manapun di penuhi oleh pihak keluarga dengan catatan

pasangan AG dan MN menikah kembali dengan ketntuan adat yg berlaku di desa

Lapajung.
63

AG mengakui bahwa dirinya sempat malu melakukan kawin lari

karena dirinya keturunan jawa. Di desa Lapajung , kebiasaan kawin lari itu

dilakukan oleh masyarakat asli seperti suku Bugis. AG melakukan kawin lari

semata-mata hanya karena kedua orang tua MN tidak merestui hubungan

mereka.

Kesimpulannya, kedua pasangan yang menjadi informan sebagai

pelaku kawin lari menyatakan faktor utama yang menyebabkan mereka

melakukan kawin lari adalah karena tidak mendapatkan restu dari kedua orang

tua salah satu pasangan. Di sisi lain, ada beberapa faktor lain yang menyebabkan

mereka melakukan kawin lari adalah karena hamil di luar nikah. Peristiwa ini

membuat malu keluarga perempuan, apalagi kalau kita lihat kronologis sampai

keduanya melakukan kawin lari. Penulis berharap kedepannya tidak ada lagi

yang melakukan kawin lari seperti yang terjadi saat ini, karena itu bisa saja

merusak moral generai muda sekarang.


BAB V

TANGGAPAN MASYARAKAT TERHADAP KAWIN LARI

A. Proses Perkawinan Masyarakat Lalabata

Salah satu dari tiga pengetahuan utama yang dimanfaatkan oleh

masyarakat Lalabata untuk menempatkan diri pada hierarki masyarakat adalah

pengetahuan tentang individu diperlukan dalam ritual resmi khususnya pada

acara perkawinan. Proses penyelenggaraan perkawinan masyarakat Lalabata

harus dipatuhi, mengingat hubungan intim antara laki-laki dan perempuan

menurut masyarakat Lalabata tanpa didahului dengan penyelenggaraan pesta

perkawinan, dianggap sebagai perbuatan yang sangat memalukan. Akibat rasa

malu tersebut akan berujung pada beban yang dirasakan oleh anggota keluarga.

Sebagian besar masyarakat menempatkan masalah perkawinan sebagai

urusan keluarga dan masyarakat. Dalam proses perkawinan di suatu daerah,

selain memuat aturan-aturan, tata caar dan tahapan yang harus dilalui oleh

pasangan pengantin dan pihak-pihak yang terlibat di dalamnya sehingga

perkawinan ini mendapat pengesahan dari masyarakat, tata cara rangkaian adat

perkawinan itu terangkat dalam suatu kegiatan yang diseut sebagai upacara

perkawinan.

Setiap perkawinan kedua mempelai ditampilkan secara istimewa,

dilengkapi tata rias wajah, tata rias sanggul, serta tata rias busana yang lengkap

dengan berbagai adat istiadat sebelum perkawinan dan sesudahnya. Menurut

pandangan orang Bugis, perkawinan tidak hanya menyatukan dua mempelai

dalam hubungan suami-istri, tetapi perkawinan merupakan suatu upacara yang

64
65

bertujuan untuk menyatukan dua keluarga besar yang telah terjalin sebelumnya

menjadi semakin erat atau dalam istilah orang Bugis disebut mappasideppe

mabelae atau mendekatkan yang sudah jauh (Pelras, 2006).

Tata cara perkawinan dalam masyarakat di Kecamatan Lalabata hampir

sama dengan masyarakat Bugis di daerah lain. Hal ini dipertegas oleh pendapat

informan Febri berikut:

Febriawan (Wawancara 22 januari 2016) menyatakan bahwa “Adat

istiadat perkawinan masyarakat Lalabata pada umumnya hampir sama dengan

daerah lain, yang membedakan ritualnya saja. Proses pelamaran sampai dengan

pesta dan waktunya singkat karena di desa umumnya tidak melaksanakan

kesuluruhan ritual adat perkawinan seperti daerah-daerah lain.”

Pernyataan informan tersebut di atas, sejalan dengan pendapat bahwa

perkawinan meliputi keseluruhan prosedur yang terjadi dalam proses

penyelenggaraan dan perayaan sebuah perkawinan dari pelamaran sampai

dengan perjamuan.

Masyarakat Lalabata adat istiadat perkawinan terdiri dari atas lima

tahapan utama, antara lain:

1. Tahap penjajakan ( Mammanu-manu )

Tahap penjajakan ini dilakukan secara rahasia dan dilakukan oleh

seorang perempuan paruh baya, yang akan melakukan kunjungan kepada

keluarga perempuan untuk mengetahui jati diri calon mempelai. Dari hasil

penyelidikan, apabila diketahui calon mempelai belum ada yang

meminang, maka tahap yang dilakukan selanjutnya adalah melaakukan


66

lamaran. Jika kemudian terjadi kesepakatan maka ditentukan waktu

madduta mariolo (duta resmi) seperti penjelasan Baddare Berikut ini:

Baddare (Wawancara 23 januari 2016) menyatakan bahwa “Mammanu-

manu merupakan proses awal sebelum melakukan perkawinan. Apabila

pihak perempuan belum ada yang meminang maka akan dilakukan

pelamaran secara resmi oleh keluarga laki-laki.

Biasanya orang yang datang mammanu-manu adalah orang yang

datang tahap penjajakan supaya lebih mudah menghubungkan

pembicaraan yang pertama dan kedua. Berdasarkan pembicaraan antara

pammanu-manu dengan orang tua calon perempuan, maka orang tua

tersebut berjanji akan memberi tahukan kepada keluarga dari pihak laki-

laki untuk datang kembali sesuai dengan waktu yang ditentukan.

2. Kunjungan Lamaran (Madduta)

Pihak laki-laki mengirim utusan (keluarga atau orang kepercayaan)

untuk menyampaikan lamaran. Pada proses pelamaran, biasanya orang tua

laki-laki terlibat dan pihak laki-laki juga tidak ikut serta. Utusan disebut

sebagai to madduta sedangkan pihak perempuan disebut sebagai to ridutai,

to madduta harus berhati-hati, bijaksana dan pandai membawa diri agar

kedua orang tua gadis tidak tersinggung.

Proses pelamaran bertujuan untuk mengetahui bahwa perempuan

yang dilamar sudah ada yang meminang atau tidak. Penentuan waktu

perkawinan ditentukan oleh pihak perempuan setelah dirundingkan oleh


67

keluarga perempuan. Mallino artinya terang-terangan mengatakan suatu

yang tersembunyi.

Jadi duta mallino adalah utusan resmi keluarga laki-laki ke rumah

perempuan untuk menyampaikan amanat secara terang-terangan apa yang

telah dirintis sebelumnya pada waktu tahap penjajakan dan mammanu-

manu seperti penjelasan informan Amirudding berikut ini:

Amirudding (Wawancara 24 januari 2016) menyatakan bahwa “Massita-

sita (kumpul-kumpul keluarga) dilakukan setelah proses mappese-pese‟.

Pada acara ini pihak keluarga perempuan mengundang pihak keluarga

terdekatnya serta orang-orang yang dianggap bisa mempertimbangkan hal

lamaran pada waktu pelamaran.”

Tujuan memanggil keluarga berkumpul pada proses kumpul-

kumpul keluarg untuk memberikan pertimbangan tentang hal-hal yang

berhubungan dengan pelamaran. Setelah rombongan to madduta (utusan)

datang kemudian dijemput dan dipersilahkan duduk pada tempat yang

telah disediakan. Dimulailah pembicaraan antara utusan dengan to

riaddutai, kemudian pihak perempuan pertama mengangkat bicara, lalu

pihak laki-laki mengutarakan maksud kedatangannya.

3. Penerimaan Lamaran (Mappettu ada)

Mappettu ada maksudnya kedua belah pihak bersama-sama

mengikat janji yang kuat atas kesepakatan pembicaraan yang dirintis

sebelumnya seperti penjelasan informan berikut ini:Mottiara (Wawancara

25 januari 2016) “Apabila perempuan sudah menerima lamaran pihak laki-


68

laki, maka pihak perempuan masih merasa perlu untuk merundingkan

dengan kelurganya. Apabila telah disepakati dengan keluarga, barulah

kemudian acara mappettu ada dilakukan.”

Dalam acara ini akan dirundingkan dan diputuskan segala sesuatu

yang bertahan dengan upacara perkawinan seperti tanra esso (penentuan

hari), balanca (uang belanja) doi menre (uang naik) dan sompa (emas

kawin) dan lain-lain.

Setelah acara penerimaan lamaran selesai, maka para hadirin

disuguhi hidangan yang terdiri dari kue-kue tradisional masyarakat Bugis

yang pada umumnya manis-manis agar hidup calon pengantin selalu manis

dikemudian hari. Masih ada kemungkinan pesta perkawinan tidak bisa

dilakukan, apabila tidak terjadi kesepakatan antara kedua pihak. Ketidak

sepakatan biasanya disebabkan ketidakmampuan pihak laki-laki untuk

memenuhi sejumlah uang belanja yang ditetapkan.

4. Penyerahan uang belanja (Mappenre’ dui)

Uang belanja atau dui menre’ merupakan uang antara yang harus

diserahkan oleh keluarga laki-laki kepada keluarga perempuan sebagai

biaya dari prosesi perkawinan. Penyerahan uang belanja ini juga menelan

biaya yang banyak, dimana keluarga perempuan akan membuat persiapan

yang besar untuk menyambut kedatangan rombongan calon mempelai

laki-laki yang akan membawa uang antaran.

5. Pesta (tudang botting)


69

Setelah akad perkawinan berlangsung, biasanya diadakan acara

resepsi (walimah) dimana semua tamu undangan hadir untuk memberikan

doa restu dan sekaligus menjadi saksi atas perkawinan kedua mempelai

agar masyarakat tidak berburuk sangka ketika suatu saat melihat kedua

mempelai bermesraan. Secara umum proses ini terbagi atas dua tahapan,

antara lain:

a. Upacara Sebelum Akad Perkawinan

Setelah tercipta kesepakatan antara kedua pihak, kesibukan akan

dimulai. Semakin tinggi status sosial dari keluarga yang akan mengadakan

pesta perkawinan itu lebih lama juga dalam persiapan yang dilakukan.

Untuk pelaksanaan perkawinan dilakukan dengan menyampaikan ahwa

akan ada pesta perkawinan kepada seluruh keluarga dan rekan-rekan. Hal

ini dilakukan oleh beberapa orang perempuan dan laki-laki dengan

menggunakan pakaian adat. Kegiatan ini dinamakan dengan mappaisseng.

Tiga malam berturut-turut hari perkawinan calon pengantin

mappasau (mandi uap), calon pengantin memakai bedak hitam yang

terbuat dari beras ketan yang digoreng sampai hangus yang dicampur

dengan asam jawa dan jeruk nipis. Setelah acara mappasau (mandi uap),

calon pengantin dirias untuk upacara mappacci atau tudang penni.

Acara wenni mappacci secara simbolik menggunakan daun

pacci(pacar), dimana setelah acara ini berarti calon mempelai telah siap

dengan hati yang suci bersih serta ikhlas untuk memasuki alam rumah

tangga, dengan membersihkan segalanya, termasuk: mapaccing ati (bersih


70

hati), mapaccing nawa-nawa (bersih fikiran), mapaccing pangkaukeng

(bersih/baik tingkah laku/perbuatan), mapaccing ateka (bersih itikat).

Setelah pelaksanaan acara mappacci, maka dilanjutkan dengan

akad nikah (kalau belum melakukan akad nikah). Pada masyarakat

Lalabata kadang melaksanakan akad nikah sebelum acara perkawinan

diangsungkan yang disebut istilah kawinsoro. Kalau sudah melaksanakan

kawinsoro yang dipimpin oleh indo botting. Pada acara resepsi sebelum

tamu datang, akan diadakan penyelenggaraan upacara khatam Al-Qur‟an

(mappanretemme). Pada acara resepsi juga akan ditampilkan acara hiburan

(musik) untuk menghibur para tamu yang datang.

b. Pertemuan Resmi Setelah Perkawinan

Setelah pesta selesai, maka akan diadakan acara menginap tiga

malam, dimana perempuan menginap di rumah laki-laki. Saat ini tiga

malam masa menginap dipersingkat menjadi satu malam. Setelah acara ini

selesai, maka dilanjutkan dengan siara kubur. Prosesi ini ditutup dengan

acara massitabaiseng atau pertemuan antara mertua dengan mertua.

Pada acara resepsi ada yang dinamakan dengan ana botting, hal

ini dinilai mempunyai andil sehingga merupakan sesuatu yang tidak

terpisahkan pada masyarakat Lalabata. Sebenarnya pada masyarakat

Lalabata, ana botting tidak dikenal dalam sejarah, dalam setiap

perkawinan kedua mempelai diapit oleh balibotting dan passepik yang

bertugas untuk mendampingi pengantin di pelaminan.


71

Ana botting dalam perkawinan merupakan perilaku sosial yang

mengandung nilai-nilai kemanusian dan merupakan perilaku sosial yang

mengandung nilai-nilai kemanusian dan merupakan ciri khas kebudayaan

masyarakat Lalabata pada umumnya dan orang Bugis pada khususnya,

karena kebudayaan menunjuk kepada berbagai aspek kehidupan yang

meliputi cara-cara berlaku, kepercayaan dan sikap-sikap serta hasil

kegiatan manusia yang khas untuk suatu masyarakat satu kelompok

penduduk tertentu. Dalam proses perkawinan masyarakat Lalabata, ada

nilai yang terkandung dalam setiap prosesi, antara lain:

a) Nilai Kekerabatan

Perkawinan merupakan satu wadah yang bisa mempererat hubungan

kekerabatan bukan hanya berfungsi sebagai penyatuan dua keluarga.

b) Status Sosial

Semakin meriah suatu pesta maka semakin tinggi status sosial

seseorng di masyarakat.

c) Penghargaan terhadap Perempuan

Pemberian mahar pada proses perkawinan menunjukkan betapa

muliahnya seseorang perempuaan selain itu proses pelamaran

menunjukkan penghormatan kepada perempuan sebelum melakukan

pesta perkawinan.

d) Gotong-royong

Pemberian bantuan berupa tenaga, pikiran maupun dana menunjukkan

adanya kepedulian antar sesama manusia.


72

B. Bentuk Kawin Lari Dalam Masyarakat Lalabata

Meskipun dalam bentuk perkawinan berlarian atau kawin lari ini

ada kalanya didahulukan dengan peminangan, tetapi peminangan yang

dilakukan oleh pihak laki-laki tidak diterima oleh pihak perempuan.

Hilman Hadikusuma (1984:34) menyatakan bahwa latar belakang

terjadinya kawin lari dikarenakan: Syarat-syarat pembayaran, pembiayaan

dan upacara perkawinan yang diminta pihak gadis tidak dapat dipenuhi pihak

laki-laki, Gadis belum diizinkan oleh orang tuanya untuk bersuami tetapi

dikarenakan keadaan gadis bertindak sendiri, Orang tua akan keluarga gadis

menolak lamaran pihak laki-laki, lalu gadis bertindak sendiri, Gadis yang

telah bertunangan dengan seorang pemuda yang tidak disukai oleh si gadis,

Gadis dan bujang telah berbuat yang bertentangan dengan hukum adat dan

hukum agama (gadis sudah hamil, dan lain-lain).

Begitu pula halnya dengan terjadinya kawin lari yang dilakukan

oleh masyarakat Lalabata , yang disebabkan :

a. Laki-laki yang menginginkan anak gadis dri pihak perempuan berasal dari

keturunan lapisan masyarakat yang dianggap lebih rendah.

b. Laki-laki tersebut dianggap kurang dalam kesopanan, adat istiadat

maupun lain sebagainya.

c. Anak perempuan sudah dipertunangkan dengan seorang jejaka yang

merupakan pilihan orang tuanya.


73

d. Gadis dan laki-laki telah berbuat yang bertentangan dengan hukum adat

dan hukum agama (gadis sudah hamil, dan lain-lain)

Hal tersebut di atas pada dasarnya merupakan alasan-alasan untuk

menolak pinangan pihak laki-laki yang melamar anak gadisnya, meskipun

demikian antara laki-laki yang melamar anak gadisnya, meskipun demikian

antara laki-laki yang melamar dengan anak gadis yang dilamar telah ada

hubungan dan telah suka sama suka untuk melangsungkan perkwinan.

Sebagaimana telah diketahui sebelumnya bahwa kawin lari yang terjadi

dalam masyarakat Lalabata terdiri dari dua jenis, yaitu “seorang laki-laki

membawa lari seorang gadis yang dikenal dengan istilah Mallariang dan kedua

belah pihak yakni laki-laki dengan gadis sama-sama sepakat untuk melarikan

diri yang dikenal dengan istilah Silariang”.

Menurut pandangan Islam, perbuatan kawin lari tersebut bertentangan

dengan agama karena selain penyebabnya berupa adanya status sosial ,

penindasan hak asasi manusia dan pemaksaan kehendak tanpa adanya

musyawarah antara para pihak, serta akibat yang ditimbulkan akan dapat

menimbulkan dosa seperti terbukanya aib keluarga maupun perbuatan-perbuatan

maksiat lainnya.

Apabila kawin lari ini meskipun tidak sesuai dengan tata cara perkawinan

masyarakat Lalabata tetapi hal tersebut dibenarkan, karena hal itu tertuang dalam

hukum adat Bugis dengan penggunaan istilah mallariang dan silariang.

Menurut pandang Islam, perbuatan kawin lari tersebut, bertentangan

dengan agama karena selain penyebabnya berupa adanya status sosial,


74

penindasan hak asasi manusia dan pemaksaan kehendak tanpa adanya

musyawarah antara para pihak , serta akibat yang ditimbulkan akan dapat

menimbulkan dosa seperti terbukanya aib keluarga maupun perbuatan-perbuatan

maksiat lainnya.

Apabila kawin lari ini diacu dengan ketentuan Pasal 332 Kitab Undang-

undang Hukum Pidana yang menegaskan :

(1). Kareana melarikan wanita dipidana

Ke – 1 :Dengan pidana penjara selama-lamnya tujuh tahun, barang siapa

melarikan wanita di bawah umur dengan tidak izin orang tuanya

atau walinya, tetapi dengan kemauan si wanita itu sendiri, dengan

maksud untuk memiliki wanita itu baik dengan perkawinan

maupun tiada dengan perkawinan.

Ke – 2 : Dengan pidana penjara selama-lamanya sembilan tahun, barang

siapa melarikan wanita dengan akal tipu, kekerasan atau ancaman

kekerasan, dengan maksud untuk memiliki wanita itu baik dengan

perkawinan maupun tiada dengan perkawinan.

(2). Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan ,

(3). Pengaduan itu dilakukan,

(4). Bilamana yang memberi izin telah kawin dengan wanita yang dibawa lari itu,

serta bagi perkawinan itu berlaku Kitab Undang-undang Hukum Perdata,

pemidana tak dapat dilakukan sebelum perkawinan itu dinyatakan sah.

Dari ketentuan Pasal 332 Kitab Undang-undang Hukum Pidana tersebut

diatas, dapatlah diuraikan bahwa setiap kawin lari yang secara tidak langsung
75

membawa lari anak gadis orang lain dikenakan ancaman hukuman pidana

penjara yaitu tujuh tahun apabila perbuatan berlarian itu disetujui oleh

perempuanyang dibawa lari, tetapi apabila berlarian itu perempuannya tidak

setuju untuk melarikan diri tetapi akibat tipu daya, kekerasan atau ancaman

kekerasan maka terhadap laki-laki yang membawanya lari dikenakan ancaman

hukuman penjara selama-lamanya sembbilan tahun.

Untuk dapat melakukan penuntutan terhadap laki-laki yang membawa

lari anak gadis tersebut adalah apabila ada pengaduan, yang mana pengaduan

dapat dilakukan oleh wanita itu sendiri atau walinya apabila pada waktu dibawa

lari telah dewasa, maka pengaduan dapat dilakukan oleh wanita itu ataupun

suaminya, kalau sudah kawin. Apabila dalam berlarian itu mereka telah kawin,

maka laki-laki yang membawa lari tidak dapat dikenakan pidana sebelum

perkawinan dibatalkan.

Berdasarkan uraian tersebut diatas, bentuk kawin lari ini tidak sesuai

dengan norma dan pandangan hidup bangsa Indonesia. Namun demikian hingga

saat sekarang ini masih saja terjadi, yang diantaranya dilakukan oleh sebagian

masyarakat Lalabata Kabupaten Soppeng.

C. Pandangan Masyarakat Tentang Kawin Lari

1. Tidak Mendapat Restu Dari Orang Tua

Masyarakat yang berada di Kecamatan Lalabata memiliki adat dan

tradisi dalam melakukan sebuah upacara pernikahan. Upacara pernikahan ini

dilakukan dalam beberapa proses. Dalam proses tersebut ada fase yaitu calon

mempelai wanita di bawa atau dilarikan ke rumah pihak laki-laki untuk


76

dikenalkan dengan keluarga dari pihak laki-laki seblum pesta pernikahan

berlangsung.

Kawin lari merupakan penyimpangan dari tradisi tersebut. Perilaku

menyimpang adalah perilaku dari anggota masyarakat yang dianggap tidak

sesuai dengan kebiasaan, tata aturan, dan norma sosial yang ada di dalam

masyarakat. Penggunaan konsep perilaku menyimpang secara tersirat

mengandung makna bahwa ada jalur baku yang harus ditempuh, yaitu jalur

pranata sosial. Perilaku yang tidak melalui jalur tersebut berarti telah

menyimpang begitu juga dengan kawin lari. Tindakan melarikan gadis dari

rumah tanpa sepengetahuan orang tua termasuk dalam penyimpangan sosial.

Sesuatu yang dikatakan menyimpang tidak hanya hal-hal yang berbau kriminal,

tetapi sesuatu yang melanggar norma yang terdapat di dalam masyarakat juga

dikatakan sebagai perilaku menyimpang. Penyimpangan ini tidak hanya terjadi

ketika seseorang membawa kabur gadis tanpa seijin kedua orang tua, tetapi juga

melakukan penyimpangan terhadap adat istiadat yang terdapat didalam

masyarakat.

Fenomena kawin lari (Silariang) yang terjadi di kalangan remaja yang

ada di Kecamatan Lalabata memiliki beberapa faktor penyebab, dan beberapa

pandangan masyarakat tentang kawin lari. Untuk mengetahui faktor penyebab

yang mempengaruhi terjadinya kawin lari, maka penelitian ini dianalisis dengan

teori fenomenologi karena merupakan fenomena sosial yang nyata dalam

kehidupan masyarakat. Fenomena kawin lari di Kecamatan Lalabata Kabupaten

Soppeng relevan jika dianalisis dengan teori fenomenologi.


77

Husserl mengungkapkan bahwa fenomenologi merupakan ilmu

pengetahuan (logos) tentang apa yang tampak (phainomenon). Jadi,

fenomenologi mempelajari suatu yang tampak atau apa yang menampakkan diri.

Fenomenologi menyatakan bahwa kenyataan sosial tidak tergantung kepada

makna yang diberikan individu lain, tetapi berdasarkan pada kesadaran subjektif

aktor itu sendiri atau dari sudut pandang orang pertama yang mengalaminya.

Teori fenomenologi dalam penelitian ini digunakan untuk

menginterprestasikan pengalaman melalui interaksi dengan orang lain.

Penelitian ini juga menginterprestasikan pengalaman para pasangan pelaku

kawin lari secara mendalam sesuai dengan kenyataan dan bukan merupakan

pendapat dari peneliti. Semua yang dipaparkan merupakan peristiwa

sesungguhnya yang dialami oleh para pelaku kawin lari sesuai dengan kesadaran

mereka.

Hasil analisis penelitian tentang Fenomena Kawin Lari Di Kecamatan

Lalabata Kabupaten Soppeng adalah sebagai berikut:

Tidak mendapatkan restu dari kedua orang tua salah satu pasangan.

Pernikahan merupakan hal yang di anggap sakral dan dilakukan menurut UUD

dan agama masing-masing. Dalam agama Islam menikah memiliki syarat dan

ketentuan yang harus dipenuhi supaya pernikahan tersebut dianggap syah dan

dapat diakui di dalam Negara maupun agama. Bagi pihak perempuan, orang tua

atau wali sangatlah penting kehadirannya dalam melangsungkan pernikahan

karena akan menjadi wali. Apabila wali dari pihak perempuan tidak ada maka

pernikahan tersebut dianggap tidak sah. Kawin lari dilakukan oleh pasangan
78

remaja karena tidak mendapatkan restu dari kedua orang tua salah satu pasangan

yang biasanya adalah orang tua dari pihak perempuan. Pilihan untuk kawin lari

atau melarikan anak gadis orang adalah satu cara yang dianggap paling berhasil

supaya pernikahan tersebut mendapatkan restu. Orang tua yang mengetahui

anaknya di bawah lari orang lain dengan terpaksa menikahkan anaknya karena

khawatir nantinya anak tersebut akan melakukan hal-hal yang melanggar norma.

Banyak faktor yang menyebabkan mengapa orang tua melarang

hubungan anak mereka. Antara lain adalah karena anak mereka masih pada usia

sekolah. Selain itu juga dapat disebabkan karena orang tua mengetahui

bagaimana latar belakang laki-laki yang akan menikahi anak mereka.

Seperti pada pengakuan dari salah satu informan yaitu AG yang

menyatakan (wawancara 24 januari 2016) “ orang tua istri saya tidak mengijinkan

saya berhubungan dengan anak mereka karena saya di sini terkenal sebagai

preman yang suka mabuk-mabukan. Selain itu, mereka juga tidak setuju karena

saya hanya anak seorang petani.”

Selain faktor diatas , keinginan kedua orang tua supaya anak mereka

melanjutkan hingga ke perguruan tinggi juga melatarbelakangi hal tersebut seperti

dalam pengakuan salah satu informan yaitu Fr menyatakan (wawancara 24 januari

2016) “orang tua saya sebenarnya menginginkan saya untuk melanjutkan sekolah

mba, karena mereka tahu saya ingin jadi bidan. Saya juga pernah dipindahkan ke

Makassar supaya sekolah saya tidak berhenti dan tidak buru-buru menikah.

Setelah mereka tahu jika saya kawin lari pun saya tetap tidak boleh nikah dan
79

diminta untuk melanjutkan sekolah. Tetapi setelah mereka tahu jika saya hamil,

jadi saya dinikahkan.”

Anak yang berasal dari keluarga ekonomi menengah ke atas pasti akan

memberikan dukungan kepada anaknya untuk melanjutkan sekolah. Di sisi lain,

keinginan kedua orang tua supaya anaknya mendapatkan pekerjaan yang layak

juga menjadi latar belakang mengapa orang tua melarang anaknya untuk menikah

terlebih dahulu.

Kesimpulannya, orang tua yang melarang anaknya menikah pada usia

remaja karena orang tua ingin masa depan anak mereka lebih terjamin.

Pernikahan pada usia remaja menyebabkan kurangnya kesiapan dalam

memenuhi kebutuhan ekonomi.

2. Kawin Lari Sudah Dianggap Hal yang Biasa

Amirudding (Wawancara 28 Februari 2016) menyatakan bahwa

“Masyarakat sudah menganggap bahwa jika seseorang melakukan kawin lari

menjadi hal biasa karena yang sering terjadi pasti alasan orang tua tidak

setuju.”

Masyarakat Lalabata menganggap fenomena kawin lari menjadi hal

yang biasa. Masyarakat sudah mengaggap bahwa jika seseorang melakukan

kawin lari pasti karena alasan tidak mendapatkan restu dari orang tua atau

hamil diluar nikah. Sesungguhnya jika seorang anak melakukan kawin lari

dianggap sebagai aib keluarga. Karena menikah dengan cara membawa lari

anak gadis orang atau sama saja diculik. Cara ini merupakan cara paksaan

supaya kedua orang tua memberikan ijin untuk melakukan pernikahan. Orang
80

tua yang anaknya telah dibawah lari mau tidak mau akan memberikan ijin

untuk menikah karena kwatir nantinya anak tersebut akan melakukan

perbuatan-perbuatan yang melanggar norma.

Dari penjelasan diatas maka dapat di simpulkan bahwa pasangan

yang melakukan kawin lari tidak akan melakukan hal tersebut jika di dalam

masyarakaat tidak pernah terjadi kawin lari. Seperti yang terdapat dalam teori

interaksionis simbolik. Interaksionis simbolik mengungkapkan bahwa

interaksi adalah proses interpretif dua arah. Kita tidak hanya memahami

bahwa tindakan seseorang adalah produk bagaimana ia menginterprestasikan

perilaku orang lain, tetapi bahwa interprestasi ini akan memberi dampak

terhadap pelaku yang perilakuna diintepretasi dengan cara tertentu pula. Hal

ini dapat dilihat ketika seseorang memilih untuk melakukan kawin lari.

Seseorang menginteprestasikan apa yang dilihat di dalam kehidupan sosial

masyarakat.

Kondisi ekonomi yang lemah akan menjadi penyeab putus sekolah

pada anak-anak. Kurangnya motifasi dan keterbatasan biaya menyebabkan

seorang anak tidak memiliki keinginan untuk melanjutkan sekolah hingga ke

Perguruan Tinggi. Remaja di Masyarakat Lalabata yang tidak sekolah dan

tidak memiliki keiginan untuk sekolah pasti akan lebih memilih untuk

menikah. Hal ini terjadi karena mereka beranggapan bahwa menikah adalah

salah satu pilihan terbaik jika tidak bisa melanjutkan sekolah lagi.

Faktor ekonomi menjadi salah satu penyebab seseorang memilih

menikah dengan cara kawin lari. Kondisi sosial ekonomi dan belum memiliki
81

pekerjaan melatarbelakangi terjadinya kawin lari. Menikah memerlukan

persiapan yang matang dari segi psikologis maupun secara ekonomi.

Seseorang yang sudah memiliki keinginan untuk menikah seharusnya

memiliki bekal untuk menjalani hidup berumah tangga. Upacara pernikahan

semata-mata tidak harus dilakukan dengan menggelar pesta secara besar-

besaran. Di sisi lain, setiap daerah memiliki cara tersendiri dalam

melangsungkan upacara pernikahan. Dimana seseorang tinggal, maka orang

tersebut harus mengikuti adat dan budaya yang ada didalam masyarakat

tersebut.

3. Pandangan Tokoh Masyarakat Mengenai Kawin Lari

Menikah tanpa wali, wali si gadis tentunya, biasa disebut oleh

kebanyakan orang dengan istilah kawin lari. Karena memang orang yang

menikah tanpa wali si gadis berarti memang tidak mendapat persetujuan dari

sang wali wanita.

Agar tujuannya untuk menikah sang gadis bisa terwujud, satu-satunya

cara ialah menikah diam-diam tanpa sepengatahuan si wali wanita, atau juga

dengan membawa kabur si wanita dan menikah di tempat lain dengan wali

hakim yang keabsahannya diragukan.

Padahal kalau kita buka kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah kawin lari

punya makna yang lebih luas dan sedikit berbeda dengan pemahaman

kebanyakan orang yang mengatakan itu sebagai pernikahan tanpa wali.


82

Kawin lari ialah "perkawinan dengan cara melarikan gadis yang akan

dikawininya dengan persetujuan gadis itu untuk menghindarkan diri dari tata

cara adat yang dianggap berlarut-larut dan memakan biaya yg terlalu mahal".

Walaupun demikian, kawin lari tetap menjadi istilah populer yang

maksud dan maknanya ialah menikahi perempuan tanpa walinya yang

sah. Seperti Pandangan Tokoh masyarakat tentang kawin lari sebagai berikut :

Andi Abdul wajid (Wawancara 28 januari 2016) menyatakan bahwa

“ada madzhab Fiqih yang membolehkan menikah dengan tanpa wali. Karena

memang ada pendapat yang mengatakan demikian, maka tidak bisa juga kita

asal melarang. Lebih lanjut iya menjelaskan bahwa Wali bukanlah syarat sah

pernikahan.”

Bisa dikatakan juga sebagai perkawinan yang tanpa dilakukan oleh

lamaran dan pertunangan. Hal ini terjadi biasanya dikarenakan orang tua tidak

setuju. Seperti pandangan Andi Mappiasse (wawancara 27 januari 2016) yang

menyatakan bahwa “saya secara pribadi tidak membenarkan seorang perempuan,

bagaimanapun keadaannya untuk „nikah lari‟ tanpa ada idzin dari orang tua

khususnya walinya. Karena, orang tua, umumnya jauh lebih mengetahui

kemaslahatan putra putrinya. Betapa banyak mereka yang yakin dengan

pilihannya, lalu dia „kawin lari‟ tanpa izin walinya, lalu setelah menikah ia

menyesali perbuatannya, dan mengakui kebenaran alasan orang tuanya. Sekali

lagi, untuk para wanita, izin orang tua sangatlah perlu dan harus, karena bukan

semata untuk masalah sah tidaknya pernikahan, akan tetapi keberkahan setelah

pernikahannya. Izin orang tua adalah kunci keberkahan dan kebahagiaan.”


83

Menurut pandangan di atas maka penulis menyimpulkan bahwa kawin

lari tanpa izin walinya, dan disarankan untuk para wanita, izin orang tua

sangatlah perlu dan harus, karena bukan semata untuk masalah sah tidaknya

pernikahan, akan tetapi keberkahan setelah pernikahannya. Karena izin orang tua

adalah kunci keberkahan dan kebahagiaan.


BAB VI

IMPLIKASI SOSIAL KAWIN LARI DALAM KONSEP SIRI

A. Dampak Negatif

1. Pengaruh Siri’ (malu) Pada Masyarakat Lalabata


Seperti diketahui siri’ (malu) itu adalah berkaitan dengan harkat

dan martabat, maka sudah barang tentu kawin lari yang dilakukan akan

berpengaruh besar terhadap siri’ (malu) masyarakat suku Bugis di Kecamatan

Lalabata Kabupaten Soppeng.

Kuatnya siri’ (malu) masyarakat suku Bugis terlihat jelas bila

harkat dan martabatnya dilanggar oleh orang lain, maka orang yang dilanggar

harkat dan martabatnya dilanggar tersebut dapat berbuat apa saja untuk

membalas dendamnya atau memperbaiki nama besar keluarganya di tengah-

tengah kehidupan masyarakat. Begitu pula halnya dengan kawin lari yang

merupakan salah satu perbuatan pelanggaran siri‟ (malu), mereka yang

merasa dirugikan atas perbuatan tersebut akan membalas dengan keji.

Besarnya pengaruh siri’ (malu) ini atas perbuatan kawin lari bagi

masyarakat Bugis di Kecamatan Lalabata dijelaskan oleh A. Mattarima

(Wawancara 26 januari 2016) Tokoh Adat Desa Lapajung menyatakan

“Kuatnya siri’ (malu) dipegang oleh suku Bugis di Kecamatan ini, maka

terhadap perbuatan kawin lari sebagai pelanggaran siri‟(malu) pihak yang

dirugikan atau yang terkena aib akan mengambil tindakan berupa, a.

kemungkinan besar apabila bertemu pria yang membawa lari anak gadisnya

tersebut akan dibunuh. Hal ini lima tahun belakangan ini pernah terjadi 1 kali

84
85

pada tahun 2010, b. Apabila tidak bertemu dengan pria yang dicari tersebut

kemungkinan keluarga wanita akan pindah dari desa tersebut.”.

Kemudian ditambahkan pula oleh A. Abdul Wajid (Wawancara 28

januari 2016) selaku Tokoh Masyarakat Seppang Kecamatan Lalabata

menyatakan bahwa “ Kawin lari berpengaruh sangat besar dengan siri’ (malu)

yang dianut masayarakat Lalabata, maka apabila terjadi kawin lari, a. Pihak

keluarga wanita akan mencari si pria kemanapun dia pergi, kemudian kalau

bertemu dapat dibunuh oleh mereka, b. Pihak keluarga laki-laki akan terus

berhati-hati terhadap serangan keluarga wanita.”

Berdasarkan keterangan dua orang tersebut di atas, sangatlah jelas

bahwa perbuatan kawin lari mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap

siri’ (malu) yang dipegang teguh masyarakat suku Bugis di Kecamatan

Lalabata, sehingga apabila terjadi kawin lari bukan tidak mungkin pihak

keluarga perempuan yang harkat dan martabatnya dilanggar dengan lari atau

dilarikan anaknya tersebut akan membunuh laki-laki yang membawa anak

gadisnya.

Apabila si laki-laki yang melarikan anak gadis tidak didapatkan,

maka untuk menghilangkan rasa malu pihak keluarga perempuan akan pindah

dari desa yang didiaminya, tetapi hal ini dalam tahun 2015 ini tidak pernah

terjadi lagi dan walaupun mereka tidak menemukan laki-laki yang melarikan

anak gadisnya tetap saja tinggal di desa lamanya.

2. Dampak Kawin Lari Masyarakat Lalabata


86

Dengan terjadinya kawin lari tersebut bukan saja mengganggu

harkat dan martabat keluarga pihak perempuan yang dibawa lari, tetapi juga

sangat berpengaruh terhadap harkat dan martabat keluarga laki-laki, sehingga

mereka dengan kejadian ini selain menanggung malu juga harus selalu

berhati-hati terhadap kemungkinan serangan dari pihak keluarga perempuan.

Jadi jelaslah bahwa kawin lari berpengaruh sangat terhadap siri’

yang dapat menimbulkan adanya suatu perbuatan pembunuhan. Kuatnya

tindakan pembunuhan yang akan ditempuh dalam hal terjadinya kawin lari ini

terlihat pada pernyataan responden masyarakat, seperti yang terlihat pada

tabel di bawah ini.

Tabel 3.

Tindakan yang Dilakukan Atas Terjadinya Kawin Lari Menurut Responden

Masyarakat.

N0 Tindakan Jumlah %

1 Biar saja 2 10

2 Laki-laki harus dibunuh 12 60

3 Keduanya harus dibunuh 6 30

Jumlah 20 100

Sumber data : 10 responden masyarakat Lalabata di Kelurahan Ompo dan 10

responden di desa Lapajung, Kecamatan Lalabata Kabupaten Soppeng.

Dari gambaran yang terlihat pada tabel 3, diketahui bahwa tindakan

yang dapat dilakukan dengan terjadinya kawin lari menurut 2 orang (10%)

responden adalah dengan membiarkan saja, sedangkan selebihnya 18 orang


87

responden lebih condong menyatakan bahwa yang melakukan kawin lari untuk

dilakukan pembunuhan, yaitu 12 orang (60%) responden menyatakan yang

dibunuh adalah laki-laki yang membawa lari anak gadis dan 6 orang (30%)

responden menyatakan bahwa kedua pihak yang melakukan kawin lari harus

dibunuh.

Selain itu perbuatan kawin lari dalam hubungannya dengan siri’(malu)

yang dianut oleh masyarakat Lalabata terlihat dengan Implikasi Sosial yang

mungkin timbul dengan kawin lari tersebut. Dalam hal ini A.Mattarima

(Wawancara 26 januari 2016), Tokoh Adat Lapajung menerangkan bahwa

“untuk tetap terjaganya siri’ (malu) atas terjadinya kawin lari, maka implikasi

sosial yang timbul dengan terjadinya kawin lari tersebut adalah: a. Hubungan

anak perempuan dengan orang tua bisa lepas, b. Hubungan antara keluarga laki-

laki dengan keluarga perempuan saling bermusuhan, c. Kemungkinan besar anak

tersebut dibunuh apa bila anak tersebut ditemukan‟‟.

Berdasarkan uraian-uraian tersebut diatas, dapat dikemukakan bahwa

perbuatan kawin lari mempunyai implikasi sosial terhadap siri’(malu) yang

dipertahankan masyarakat Lalabata, karena apabila terjadi kawin lari akan

menimbulkan implikasi sosial sebagai berikut:

1. Karena malu pihak keluarga perempuan akan pindah dari tempat

kediamannya.

2. Hubungan anak perempuan dengan orang tua dapat terputus.

3. Hubungan antara keluarga laki-laki dengan keluarga perempuan akan saling

bermusuhan.
88

4. Pembunuhan akan terjadi terhadap salah satu atau kedua pihak yang

melakukan kawin lari apabila ditemukan oleh pihak keluarga perempuan.

Saat ini siri’ yang dimiliki masyarakat berdasarkan penjelasan informan

di atas, siri salah satunya dimaknai sebagai hal yang berkaitan dengan gengsi

dalam mempertahankan status ekonomi masyarakat dalam penyelenggaraan

perkawinan. Masyarakat Kecamatan Lalabata menginterpretasikan siri’ sebagai

nilai luhur yang harus dijunjung tinggi.

B. Dampak Positif

Penyelenggaraan pernikahan merupakan suatu institusi sosial yang

sangat penting dalam adat istiadat masyarakat Bugis. Bagi masyarakat Bugis,

kawin lari antara laki-laki dan perempuan tanpa didahului oleh penyelenggaraan

pesta pernikahan adalah merupakan perbuatan yang sangat memalukan

(mappakasiri). Perbuatan memalukan dalam konteks ini bagi orang Bugis bukan

hanya dirasakan sebagai beban moral keluarga inti yang bersangkutan tetapi juga

merupakan aib (siri’) yang ditanggung oleh seluruh anggota kerabat dekat yang

termasuk dalam kelompok harga diri dan solidaritas bersama.

Andi Mappiasse (Wawancara 1 Maret 2016) menyatatakan bahwa

“Perbuatan kawin lari pada masyarakat Lalabata Kabupaten Soppeng apabila

diacu segi keberlakuan hukum adat, sepintas terlihat dapat dibenarkan. Namun

demikian apabila dilihat dari sebab-sebab terjadinya perkawinan dalam bentuk

kawin lari, dapat dipandang tidak dibenarkan baik menurut ketentuan hukum

Islam maupun Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.”


89

Meskipun demikian pada saat sekarang ini kejadian kawin lari yang

dilakukan oleh masyarakat suku Bugis masih tetap berlangsung, tidak terlepas

pula bagi masyarakat suku Bugis yang berdomisili di Kecamatan Lalabata

Kabupaten Soppeng.

Dari pernyataan di atas maka penulis menyimpulkan bahwa perbuatan

kawin lari pada masyarakat lalabata jika di pandang secara adat sepintas bisa

dibenarkan, tapi yang namanya perbuatan kawin lari ini bisa saja merusak

hubungan antara keluarga pihak perempuan dan keluarga pihak laki-laki.

Meskipun pada saat sekarang ini kawin lari masih tetap berlangsung, tapi sudah

tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, sampai ada yang membunuh salah satu

yang melakukan kawin lari.


BAB VII

PENYELESAIAN ADAT

A. Maddeceng

Di zaman yang sudah berubah ini dan semakin tertanamnya jiwa

Pancasila serta kuatnya keyakinan akan ajaran agama, maka tidak selamanya

kebencian dan dendam orang tua kepada anak maupun suami anaknya tetap

bertahan, terlebih lagi anaknya telah memberikan cucu. Dengan demikian

pihak keluarga perempuan khususnya, sedikit banyak telah terbuka hatinya

untuk menerima mereka ditengah-tengah keluarganya dan menghilangkan

saling permusuhan dengan pihak keluarga laki-laki. Namun demikian untuk

memperbaiki hubungan kembali dan disahkannya perkawinan pihak

melarikan diri tersebut. Maka dilakukanlah dengan cara penyelesaian adat (

maddeceng ).

Cara penyelesaian adat untuk memperbaiki hubungan ini oleh A.

Abdul Wajid (Wawancara 28 januari 2016) selaku Tokoh Adat desa Seppang

Kecamatan Lalabata menyatakan bahwa “ Cara penyelesaian adat ini adalah

sebelum pria datang kerumah wanita terlebih dahulu mengutus beberapa

orang seperti sesepuh adat, alim ulama, kades mupun keluarga dekat si pria.

Dalam acara ini pihak wanita meminta uang pengganti adat yang

dipergunakan untuk do,a selamat. Bagi masyarakat Lalabata yang fanatik

perkawinan yang dilakukan sebelumnya tidak sah sehingga harus dinikahkan

kembali dengan dihadiri oleh wali si wanita,‟‟.

90
91

Hasil penelitian penulis menunjukkan bahwa untuk terjalinnya

hubungan baik kembali antara anak dengan orang tua dan antar orang tua

yang melakukan kawin lari, pasangan yang melakukan kawin lari untuk

sementara dipisahkan, yaitu perempuan kembali ke rumahnya dan laki-laki

kembali kerumahnya semula. Sebelum laki-laki datang ke rumah keluarga

perempuan, terlebih dahulu harus mengutus beberapa orang yang terdiri dari:

1. Sesepuh Adat.

2. Alim Ulama.

3. Kepala Desa.

4. Ayah atau keluarga dekat dari pihak laki-laki (calon suami ).

Sesampainya utusan laki-laki di rumah pihak perempuan,

diadakanlah perundingan-perundingan yang menyangkut hubungan anak-

anak mereka dengan hak yang paling besar diterima oleh pihak perempuan.

Dalam hal ini keluarga pihak perempuan meminta semacam uang pengganti

adat yang besarnya bervariasi tergantung pada kesepakatan bersama oleh

pihak yang hadir tersebut. Pada lokasi penelitian desa Seppang uang

pengganti jumlah berkisar antara Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) sampai

Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah), sedangkan Desa Lapajung jumlah uang

pengganti ini biasanya berada pada angka Rp. 1.500.000,- (satu juta lima

ratus ribu rupiah) sampai Rp. 4.000.000,- (empat juta rupiah). Uang

pengganti adat yang diminta pihak perempuan ini adalah digunakan

mengadakan do‟a selamat.


92

Pada lokasi penelitian ditentukan cara pernikahan ganda pada

pasangan yang sama. Artinya walaupun telah dilakukan pernikahan terhadap

pasangan di tempat perbuatan kawin lari dilangsungkan, namun apabila

disepakati dengan uang pengganti adat, maka harus dilangsungkan

perkawinan kembali secara Islam dengan alasan bahwa pernikahan itu belum

sah, karena hanya dihadiri oleh wali hakim dan tidak disetujui oleh keluarga

atau ayah si perempuan. Untuk itu pasangan tersebut harus dinikahkan

kembali dan dihadiri oleh wali perempuan itu sendiri.

Adanya penyelesaian adat ini terhadap perbuatan kawin lari di desa

Seppang dan desa Lapajung Kecamatan Lalabata tahun 2015 seperti

pasangan Vd dan Fr dan pasangan AG dan At, pasangan Vd dan Fr

membayar uang pengganti sebesar 1.000.000,- , dan pasangan AG dan At

membayar uang pengganti sebesar Rp. 4.000.000,-. Pembayaran uang

pengganti ini umumnya sesuai dengan kemampuan ekonomi keluarga pihak

laki-laki yang melakukan peruatan kawin lari tersebut.

Adanya perbuatan kawin lari di desa Seppang dan desa Lapajung

Kecamatan Lalabata, mencerminkan bahwa sekalipun sudah banyak terjadi

perubahan pada kultur tradisional khususnya suku Bugis, namun masih ada

saja yang merasa bahwa perubahan-perubahan tersebut belum sesuai dengan

keinginan mereka, terutama kaum muda yang ingin dengan mudah dan bebas

untuk melakukan perkawinan. Keinginan kaum muda ini sudah barang tentu

bertentangan dengan budaya dan norma-norma serta kaidah-kaidah agama


93

serta perturan perundang-undangan yang berlaku, yang umunya oleh kaum

tua selalu dipegang teguh.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat di simpulkan bahwa cara

penyelesaian adat yang ditempuh oleh masyarakat Kecamatan Lalabata

terhadap akibat dari kawin lari adalah mendatangkan utusan pihak laki-laki

ketempat pihak perempuan untuk merundingkan hubungan dari pasangan

yang melakukan kawin lari. Pihak perempuan menerima uang pengganti adat

digunakan untuk membiayai do,a selamat dan ditanamkan sebagian

masyarakat Kecamatan Lalabata mensyaratkan adanya pernikahan kembali

pada mempelai yang melakukan kawin lari tersebut setelah diterimanya uang

pengganti.

B. Membunuh Pasangan yang Melakukan Kawi Lari

A. Abdul Wajid (Wawancara 28 januari 2016) selaku Tokoh

Masyarakat Seppang Kecamatan Lalabata menyatakan bahwa “ Kawin lari

berpengaruh sangat besar dengan siri’ (malu) yang dianut masayarakat

Lalabata, maka apabila terjadi kawin lari, a. Pihak keluarga wanita akan

mencari si pria kemanapun dia pergi, kemudian kalau bertemu dapat dibunuh

oleh mereka, b. Pihak keluarga laki-laki akan terus berhati-hati terhadap

serangan keluarga wanita.”

Berdasarkan keterangan di atas, sangatlah jelas bahwa perbuatan

kawin lari mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap siri’ (malu) yang

dipegang teguh masyarakat suku Bugis di Kecamatan Lalabata, sehingga


94

apabila terjadi kawin lari bukan tidak mungkin pihak keluarga perempuan

yang harkat dan martabatnya dilanggar dengan lari atau dilarikan anaknya

tersebut akan membunuh laki-laki yang membawa anak gadisnya.

Saat ini siri’ yang dimiliki masyarakat berdasarkan penjelasan

informan di atas, siri salah satunya dimaknai sebagai hal yang berkaitan

dengan gengsi dalam mempertahankan status ekonomi masyarakat dalam

penyelenggaraan perkawinan. Masyarakat Kecamatan Lalabata

menginterpretasikan siri’ sebagai nilai luhur yang harus dijunjung tinggi.

Apabila si laki-laki yang melarikan anak gadis tidak didapatkan,

maka untuk menghilangkan rasa malu pihak keluarga perempuan akan pindah

dari desa yang didiaminya, tetapi hal ini dalam tahun 2015 ini tidak pernah

terjadi lagi dan walaupun mereka tidak menemukan laki-laki yang melarikan

anak gadisnya tetap saja tinggal di desa lamanya.


BAB VIII

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan penjabaran-penjabaran pada bab-bab sebelumnya, maka

penulis dapat menyimpulkan hal-hal sebagai berikut :

1. Pandangan Masyarakat mengenai kawin lari pada masyarakat Lalabata

Kabupaten Soppeng adalah bagaimanapun keadaannya untuk „nikah lari‟

tanpa ada izin dari orang tua khususnya walinya. Karena, orang tua,

umumnya jauh lebih mengetahui kemaslahatan putra putrinya. Betapa banyak

mereka yang yakin dengan pilihannya, lalu dia „kawin lari‟ tanpa izin

walinya, lalu setelah menikah ia menyesali perbuatannya, dan mengakui

kebenaran alasan orang tuanya. Sekali lagi, untuk para wanita, izin orang tua

sangatlah perlu dan harus, karena bukan semata untuk masalah sah tidaknya

pernikahan, akan tetapi keberkahan setelah pernikahannya. Izin orang tua

adalah kunci keberkahan dan kebahagiaan.

2. Faktor penyebab terjadinya kawin lari pada masyarakat Lalabata Kabupaten

Soppeng adalah:

a. Keluarga pihak perempuan tak menyetujui laki-laki pilihan anaknya telah

dijodohkan sebelumnya.

b. Terlalu tinggi uang lamaran yang diminta

c. Laki-laki yang akan melaksanakan perkawinan tersebut tidak

berkelakuan baik.

d. Derajat perempuan lebih tinggi daripada


97 laki-laki.

95
96

3. Perbuatan kawin lari menimbulkan titik singgung dengan budaya siri’ (malu)

yang diyakini secara utuh sampai sekarang ini pada masyarakat Lalabata

Kabupaten Soppeng. Terjadinya kawin lari menimbulkan akibat:

a. Karena malu pihak keluarga perempuan akan pindah dari desa tempat

kediamanya.

b. Hubungan antara anak perempuan dengan keluarganya dapat terputus.

c. Hubungan antara keluarga laki-laki dengan keluarga perempuan

memburuk dan terjadi permusuhan.

d. Pembunuhan terhadapa salah satu atau kedua orang dari yang melakukan

kawin lari apabila ditemukan.

4. Cara penyelesaian adat yang ditempuh oleh masyarakat Lalabata adalah

mendatangkan utusan pihak laki-laki ketempat pihak perempuan untuk

merundingkan hubungan dari pasangan yang melakukan kawin lari. Pihak

perempuan menerima uang pengganti adat yang digunakan untuk membiayai

do,a selamat dan ditanamkan sebahagian masyarakat suku Bugis masyarakat

adanya pernikahan kembali pada mempelai yang melakukan kawin lari

tersebut setelah diterimanya uang pengganti.

B. Saran

Dalam kesempatan ini penulis dapat memberikan saran yang kiranya

dapat menjadi salah satu jalan tengah dari permasalahan kawin lari pada

masyarakat Lalabata Kabupaten Soppeng, yaitu sebagai berikut:


97

1. Hendaknya masyarakat suku Bugis tidak lagi membagi-bagi masyarakat

kedalam kelas-kelas sosial, karena dihadapkan Tuhan dan hukum manusia

adalah sederajat.

2. Para sesepuh adat hendaknya mampu mencari jalan keluar mengenai

besarnya uang lamaran, sehingga dapat memperkecil kemungkinan terjadinya

perbuatan kawin lari bagi pasangan yang hendak melangsungkan perkawinan.


DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Zarkasih 2013. Siapa Yang Sedikit Ilmunya, Pasti Banyak Ngambeknya:
Kawin Lari, (Online), Jilid 1, http://zarkasih20.blogspot.co.id. Diakses 9
januari 2013).

Akhi Yuda 2013. Makalah Nikah Siri dan Kawin Lari. (Online), Jilid 1,
http://akhi-yuda.blogspot.co.id. Diakses 8 januari 2013).

A.M. Agussalim, Ilmu Sosial Budaya Dasar, Makassar, 2005.

Anonim, Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Sulawesi Selatan, Proyek


Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, Jakarta, 1997.

Bambang Suteng Sulasmono, Penelitian Kualitatif, Phibeta Aneka Gama, Jakarta,


2007.

Carapedia, 2014. Pengertian Masyarakat Menurut Para Ahli. (Online),


https://carapedia.com/pengertian_definisi_masyarakat_menurut_para_a
hli_info488.html. Diakses 2 Januari 2014).

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1996. Kamus Besar Bahasa Indonesia,


Cet. VI: Balai Pustaka

Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, Bandung, 1983

Hilman Hadikusuma, Hukum perkawinan Indonesia Menurut Perundangan,


Hukum Adat, Hukum Agama, Bandung, CV. Mandar Maju, 1990.

Kamus Besar, 20 April, 1995. Deskripsi Dari Kawin lari. Him 3

K. Wanyik Saleh, Hukum Perkawinan di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta,


1976.

Lexy J. Maleong, Metode Penelitian Kualitatif, PT. Remaja Rosdakarya,


Bandung, 1995.

Mas‟ud Ibrahim, Struktur Dan Proses Sosial, Makassar, 2010

Rahayu Liana, Penelitian Tentsang Kawin Lari, Lombok, 2006.

98
99

Sanafih Faisal, Penelitian Kualitatif, Dasar-dasar dan Aplikasi Yayasan Asih


Asah Asuh, Malang, 1990.

Sudarmawan, Penelitian Tentang Kawin Lari, 2009

Tim Penyusun FKIP Unismuh Makassar, Pedoman Penulisan Skripsi, Makassar,


2012

Tips Serba Serbi, 2015. Pengertian Kawin Lari Pada Suku Bugis. (Online), Jilid 1,
No. 1, http://tipsserbaserbi.blogspot.co.id, Diakses 7 februari 2015).

Tips Serba Serbi, 2015. Pengertian Kawin Lari Pada Suku Bugis: Apa Itu Kawin
Lari, (Online), Jilid 1, No. 1, http://tipsserbaserbi.blogspot.co.id,
Diakses 5 januari 2015).

Wa Enda, Penelitian Tentang Kawin Lari, 2014.

Anda mungkin juga menyukai