Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

Pendidikan dan kebudayaan adalah dua komponen penting yang


dapat dijadikan sebagai modal dasar untuk mewujudkan sumber daya
manusia yang berkualitas dan berdaya saing tinggi. Kebudayaan dapat
menciptakan model pendidikan yang menjadi dasar dalam
pengembangan kualitas sumber daya manusia. Hal tersebut sesuai
dengan Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional yang menyatakan bahwa sistem “pengembangan kurikulum
dilakukan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk
mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yang sesuai dengan jenjang
pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia
dengan memperhatikan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi,
dan seni”.
Menurut Tylor, dalam Ki-Supriyoko (2003) tidak ada proses
pendidikan tanpa kebudayaan dan tanpa adanya masyarakat, sebaliknya
tidak ada kebudayaan tanpa adanya proses pendidikan. Berdasarkan
pengertian tersebut, maka pendidikan dengan kebudayaan terdapat tata
hubungan yang saling mempengaruhi atau pendidikan merupakan
variabel yang mendorong terjadinya perubahan kebudayaan di dalam
tata hubungan asimetris di mana suatu variabel mempengaruhi variabel
yang lainnya. Di sisi lain beberapa unsur budaya tertentu dapat menjadi
spirit untuk dapat mengembangkan pendidikan.
Bangsa Indonesia yang beragam etnik dan beragam budaya
selalu mengutamakan kebersamaan, kesantunan dan ketakwaan kepada
Tuhan Yang Maha Esa. Masyarakat Mandailing di Sumatera memiliki
tradisi marsialapari dalam bergotong royong mengerjakan sawah. Gugur
gunung dilakukan masyarakat Gunung Kidul Yogyakarta tanpa
mengharapkan imbalan, subak dilaksanakan Masyarakat Bali dalam
proses pengerjaan sawah (Harahap, 2011).
Etnis Tolaki mengenal medulu sebagai suatu kebersamaan yang
bersifat kekeluargaan, juga dilaksanakan dalam berbagai bidang
kegiatan, seperti berladang, dan membangun rumah (Anwar, 2011; Sau-
Sau, 2016), pokadulu dilakukan Etnik Muna dalam menyelesaikan
pekerjaan pada kehidupan sehari–hari, terutama kegiatan yang

19
menyangkut kepentingan umum. Etnik Muna telah membuktikan betapa
manfaat dari pokadulu, sehingga mampu membentuk karakter
kebersamaan yang kuat dalam kehidupan sehari-hari. Para orang tua
dan kaum cerdik-pandai berusaha mewariskan dan mengembangkan
budayanya dengan cara melibatkan anak-cucunya dalam berbagai tradisi
dan aktivitas kehidupan sehari-hari.
Keberagaman budaya tersebut menjadi penting untuk dikaji
dalam kaitan dengan aspek-aspek etnopedagogi, karena mengingatkan
pada kegiatan yang dilakukan secara bersama-sama. Dalam pokadulu
merupakan suatu hal menyenangkan bagi anak, sehingga pokadulu
dipandang dari beberapa aspek mengandung muatan etnopedagogi
yang dapat diterapkan dalam proses pembelajaran di sekolah sebagai
salah satu alternatif pemecahan masalah dalam pembelajaran sekaligus
memperkenalkan kepada anak akan nilai-nilai kearifan lokal daerah
setempat (Rahcmand, 2016). Sejalan dengan itu Keller (2009)
menyatakan bahwa sebagian besar konservasionis yang bekerja di
Madagaskar menyadari bahwa jika ingin mencapai tujuan konservasi,
maka harus bekerja sama dengan orang-orang lokal dan
mempertimbangkan budaya lokal.
Salah satu model belajar yang menarik adalah model belajar
orang Cina yang kembali ke akar, yaitu menemukan kembali kekuatan
dahsyat dari budaya asli masyarakatnya. Orang Cina berusaha keras
mengawinkan era kecerdasan jaringan dengan tradisi dan akar
budayanya sendiri. Dalam melaksanakan misi tersebut, Cina
menemukan kembali bahwa banyak metode belajar yang efektif saat ini
sebenarnya telah pernah diajarkan 2.500 tahun yang lalu oleh
Confusius, diantaranya : (1) Dia menekankan pentingnya memadukan
ide baru dengan ide lama yang telah teruji, (2) menginginkan terjadinya
reformasi sosial melalui pendidikan, (3) mengandalkan konsep belajar
dengan praktek, (4) menggunakan seluruh dunia sebagai ruang
kelasnya, (5) menggunakan musik dan puisi secara meluas dalam
pembelajaran, (6) belajar tentang cara belajar sama pentingnya dengan
belajar tentang informasi, (7) setiap orang memiliki daya belajar yang
khas, dan (8) bangunlah nilai dan perilaku terpuji (Driden dan Vos,
2011).

19
Mencermati pandangan tersebut, maka tidak mengherankan
selama lebih dari 2.000 tahun Orang Cina belajar matematika lewat alat
belajar cepat paling awal di dunia yaitu Swipoa/dipoa atau sempoa.
Demikian pula dua alat belajar lain untuk matematika yaitu permainan
“kartu” dan “domino”. Dalam banyak hal Orang Cina telah
memperkenalkan Revolusi Belajar, dan kita menemukan kembali hal
tersebut. Berbagai kebenaran klasik tersebut umumnya berserakan
dalam bentuk tradisi lisan Orang Cina klasik dan selanjutnya dapat
dihubungkan dengan riset otak dan komunikasi instan mutakhir pada
masa kini.
Contoh model pembelajaran sejenis dalam model pembangunan
masyarakat Jepang yang mengakar pada Teori Z yang dikembangkan
oleh William G. Ouchi. Teori William G. Ouchi bersumber dari tradisi
masyarakat Jepang yang terbiasa hidup berdekatan, karena itu orang
Jepang memiliki kehidupan yang lebih terbuka, sehingga sedikit sekali
rahasia kehidupan pribadi yang tersembunyi. Masyarakat Jepang
memiliki lima karakter kunci yang dipandang sebagai akar kekuatan
bangsanya, yaitu: (1) Emulasi, hasrat atau upaya untuk menyamai atau
melebihi kemajuan orang lain, (2) Konsensus, kebiasaan untuk
berkompromi dan bukan konfrontasi, (3) Futurism, berpandangan jauh
ke depan menatap kemajuan bagi perorangan dan kemajuan bersama di
masa depan, (4) Kualitas, mutu menjadi faktor penarik bagi setiap
proses dan hasil produksi Jepang, dan (5) Kompetisi, sumberdaya
manusia dan produk Jepang memiliki keunggulan komparatif dan
keunggulan kompetitif dalam tata kehidupan dan tata ekonomi global
(Sudjana, 2010).
Kemajuan Jepang kemudian diikuti oleh Korea Selatan yang juga
memunculkan teori baru yang dikembangkan oleh Myon Woo Lee yang
disebut Teori W. Lee merekomendasikan pengembangan budaya
teknologi dan industri khusus Korea Selatan untuk mengantarkan negeri
ginseng ini menjadi salah satu kekuatan ekonomi dunia. Lee juga
menyarankan upaya mengoptimalkan penggunaan budaya, keunggulan
geografis, karakteristik penduduk, sumber daya alam, dan kreativitas
masyarakat. Budaya Korea Selatan menekankan aspek kekeluargaan
dan solidaritas (Sudjana, 2010). Kemajuan ketiga bangsa tersebut
dalam berbagai sektor kehidupan umumnya berakar pada budaya

19
kompromi/kekeluargaan dan kerjasama/solidaritas, unsur-unsur budaya
tersebut umumnya dimanfaatkan melalui tradisi lisan.
Menurut Wenger (2005) cara paling cepat dan tepat untuk
mengubah dunia ini menjadi lebih baik adalah mengajak
sebanyakmungkin orang membiasakan diri melakukan pengamatan
sendiri, mengartikulasikan, mengungkapkan dan mencatat pengamatan
tersebut. Ketika mereka melakukan hal demikian, pengamatan, persepsi,
pemikiran, dan gagasan mereka akan mencuat tak terduga dan akan
berkembang laur biasa.
Bagi masyarakat Indonesia yang multi etnis, tentu memiliki
kekayaan ragam belajar asli yang telah berhasil diperaktekkan para
orang tua ratusan tahun yang lalu. Model belajar tersebut telah melalui
proses modifiksi secara alamiah berdasarkan kebutuhan dan
perkembangan zaman. Model belajar tersebut telah berhasil melahirkan
beberapa generasi cerdas yang berhasil mengembangkan teknologi
(Candi Borobudur, Candi Prambanan, dan sebagainya) dan karya sastra
(Negara Kertagama, Sutasoma, Lagaligo, dan sebagainya). Karya
monumental tersebut lahir dari proes pembelajaran yang baik, sehingga
perlu dikembangkan dalam era sekarang ini, khususnya dalam rangka
mpersipkan generasi 2045. Diharapkan pada periode 2045, generasi
Indonesia Kembali bisa menoreh prestasi yang mendunia, seperti halnya
generasi yang berhasil menciptakan teknologi yang menjadi keajaiban
dunia dan karya sastra terbesar di dunia.
Menyadari hal tersebut, Bangsa maritim khususnya Etnis Bajo
yang bermukim di wilayah pesisir terpencil atau di pulau-pulau Menurut
Ismail dan Nuraini (2013) mereka mengalami masalah dalam proses
pembelajaran masyarakat karena terjadi kelangkaan buku bahasa bajo
di wilayah konsentrasi masyarakat Bajo, sehingga mengharuskan
pemerintah mengembangkan kurikulum/buku yang Berbahasa Bajo
sebagai muatan Lokal dan menjadikan tradisi lisan seperti: iko-iko, lagu,
pantun, falsafah hidup sebagai muatan ajar yang terintegrasi.
Pentingnya iko-iko sebagai tradisi lisan yang memiliki nuansa kebaharian
nampak dari iko-iko “Papakannahan Datu Kimbayat (Cerita Raja
Kumbayat) yang menceritakan seorang anak bangsawan pedagang kaya
yang ulet dan merakyat. Ia berdagang antar pulau (Banjar dan
Singapura), dan dalam cerita tersebut nampak adanya relasi antar

19
komunitas, seperti ia (Abdul Hasani) yang menumpang perahu orang
Buton dari Banjar Pangatan ke Singapura.
Bagi masyarakat pesisir dan pulau terpencil/terluar seperti
tersebut perlu menyimak pandangan Barbara Prashing bahwa kunci
menuju sukses belajar dan bekerja adalah menemukan keunikan gaya
belajar dan gaya bekerja anda sendiri (Dryden dan Vos, 2011). Namun
disisi lain guru seharusnya membantu siswa dalam mengumpulkan
informasi dari berbagai sumber, dan menyodorkan berbagai pertanyaan
untuk membuat siswa memikirkan permasalahan dan jenis informasi
yang dibutuhkan untuk sampai pada solusi yang dapat dipertahankan.
Menurut Arends (2008) bahwa peserta didik perlu diajari tata cara
menjadi investigator aktif dan cara menggunakan metode-metode yang
sesuai dengan permasalahan yang mereka teliti, seperti: wwawancara,
observasi atau membuat catatan, termasuk etika investigator yang baik.
Pandangan tersebut mempertegas pentingnya budaya lokal yang
berserakan dalam bentuk tradisi lisan untuk dikemas dalam bentuk
muatan lokal yang terintegrasi dalam pembelajaran, sehingga terjadi
pembelajaran yang unik sesuai dengan kebutuhan dan karakter
masyarakat setempat.
Letak geografis dan keadaan alam Indonesia yang terdiri atas
gugusan pulau, menyebabkan masyarakatnya sebagian hidup dari laut
baik sebagai nelayan maupun sebagai pelayar niaga. Masyarakat yang
bermukim di wilayah pesisir dan pulau-pulau seperti komunis Buton,
Bajo, Bugis-Makassar dan Mandar merupakan masyarakat maritim dan
secara turun-temurun telah mewariskan kearifan berlayar, menangkap
ikan, dan berdagang kepada anak cucunya melalui tradisi lisan dalam
bentuk: cerita rakyat, pantun, lagu, dan ungkapan filosofi hidup.
Mereka mengembangan learning community (pendidikan informal dan
pendidikan nonformal) dengan bahan belajar dikemas dalam tradisi
lisan sekaligus langsung dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari,
sehingga memudahkan peserta didik (anak/keluarga, dan sawi) untuk
mengadopsinya. Output pembelajaran ini dipandang cukup efektif
karena berhasil menempatkan Indonesia sebagai masyarakat maritim
yang disegani di dunia pada lalu karena mereka berhasil mengarungi
laut dan samedera yang luas.

19
Seiring dengan berkembangnya sistem pendidikan formal dalam
lingkungan komunitas maritim ini, maka muatan kearifan lokal dalam
dimensi kemaritiman pada pendidikan informal dan nonformal
mengalami penurunan. Pendidikan formal yang diharapkan dapat lebih
mengembangkan nilai-nilai karakter positif dari kearifan lokal belum
mampu untuk mentransfer dalam pembelajaran termasuk dalam bentuk
integrasi sekalipun, sehingga anak-anak dari komunitas maritim seakan
mereka tercabut dari akar budayanya yang kemudian berdampak
terhadap menurunnya sikap dan minat kebaharian masyarakat
Indonesia termasuk anak dari komunitas bahari.
Mencermati fenomena tersebut, maka pendidikan formal harus
mampu mengakomodir nilai-nilai lokal tersebut yang masih berserakan
dalam bentuk tradisi lisan dari berbagai jenisnya. Artinya perlu
mengakomodir kebutuhan lokal yang ada di sekitar peserta didik. Upaya
mengakomodir kebutuhan lokal tersebut, maka Kemendikbud
mengeluarkan Permen No. 79 Tahun 2014 Tentang Muatan Lokal
Kurikulum 2013 Pasal 1 menyatakan bahwa muatan lokal adalah bahan
kajian atau mata pelajaran pada satuan pendidikan yang berisi muatan
dan proses pembelajaran tentang potensi dan keunikan lokal.
Pasal 2 (1) Muatan lokal merupakan bahan kajian atau mata
pelajaran pada satuan pendidikan yang berisi muatan dan proses
pembelajaran tentang potensi dan keunikan lokal yang dimaksudkan
untuk membentuk pemahaman peserta didik terhadap keunggulan dan
kearifan di daerah tempat tinggalnya. (2) Muatan lokal sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diajarkan dengan tujuan membekali peserta
didik dengan sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang diperlukan
untuk: (a) mengenal dan mencintai lingkungan alam, sosial, budaya,
dan spiritual di daerahnya; dan (b) melestarikan dan mengembangkan
keunggulan dan kearifan daerah yang berguna bagi diri dan
lingkungannya dalam rangka menunjang pembangunan nasional.
Muatan lokal dapat berupa: seni budaya, prakarya, pendidikan
jasmani, olahraga, dan kesehatan, bahasa, dan/atau teknologi. Muatan
pembelajaran terkait muatan lokal berupa bahan kajian terhadap
keunggulan dan kearifan daerah tempat tinggalnya, dapat diintegrasikan
antara lain dalam mata pelajaran tertentu. Dalam konteks ini muatan
lokal tradisi lisan, selain dapat diintegrasikan dalam mata pelajaran: seni

19
budaya, prakarya, pendidikan jasmani, olahraga, dan kesehatan, juga
diintegrasikan dalam Mata Pelajaran IPS SD/SMP atau Sejarah di
SMA/MA/SMK.
Salah satu upaya dalam membangun kembali semangat
kebaharian bangsa Indonesia adalah dengan memasukkan konsep
kebaharian dalam kurikulum pendidikan nasional, utamanya pada jalur
pendidikan formal di tingkat pendidikan dasar (SD, SMP, MI, MTs),
Pendidikan Menengah (SMA, SMK, MA) maupun pendidikan tinggi (PTN,
PTS). Dengan masuknya materi kebaharian sebagai bagian integral
dalam kurikulum pendidikan nasional, maka diharapkan mampu
menanamkan image positif tentang kelautan pada diri anak didik yang
kelak akan menjadi kader generasi penerus masa depan bangsa.
Keberadaan pendidikan kebaharian merupakan manivestasi investasi
jangka panjang yang dapat mengangkat citra bangsa Indonesia sebagai
bangsa bahari.
Pendidikan kebaharian mampu membangun sikap serta wawasan
anak didik terhadap kondisi geografis Indonesia sebagai bangsa bahari
dalam bentuk negara kepulauan yang terbesar di dunia. Dengan
demikian wawasan dan pemahaman cinta bahari harus terus diajarkan
dan dibiasakan sejak dini terhadap anak didik melalui pendidikan formal
yang ada. Pengembangan budaya masyarakat bahari merupakan bagian
dari respon terhadap kebijakan pemerintah tentang “Tol Laut”,
menjadi faktor yang penting dalam mendukung pembangunan,
khususnya di sektor ekonomi. Muatan kebaharian adalah seperangkat
informasi tentang berbagai aspek yang berhubungan dengan laut, yang
harus ditempuh dan dikuasai, untuk mencapai suatu tingkat kemampuan
tertentu.
Terdapat suatu alasan yang mendasar mengapa pada pendidikan
formal di semua jenjang pendidikan sangat tepat sebagai sarana
membangun kembali semangat dan jiwa kebaharian bangsa Indonesia,
yaitu: pendidikan formal pada semua jenjang pendidikan merupakan
pendidikan yang pasti akan dilalui oleh setiap peserta didik. Pendidikan
formal merupakan landasan untuk dapat memahami konsep kebaharian
secara menyeluruh. Adapun keberadaan sekolah menengah pelayaran
atau perikanan, akademi atau universitas yang membuka jurusan

19
kelautan atau perikanan, mata pelajarannya sudah menjurus dan
mengarah pada suatu profesi atau pekerjaan tertentu.
Melalui integrasi muatan materi kebaharian dalam pembelajaran,
maka diasumsikan bahwa kelak warga negara Indonesia akan
mengubah pandangan pembangunan yang bersifat kontinental atau ke
daratan selama ini dan akan digantikan dengan pandangan yang
berwawasan kebaharian.
Perlunya pengkajian budaya dan mengaplikasikan unsur-unsur
budaya tertentu dalam pembelajaran baik di sekolah, maupun di luar
sekolah. Mengingat praktek budaya pada dasarnya merupakan proses
pembelajaran, sehingga banyak unsur budaya yang merupakan proses
pembelajaran sarat dengan nilai yang dibutuhkan dalam rangka
pewarisan dan pengembangan karakter generasi muda. Sejalan dengan
itu Sudjatmoko (1985) memandang pembangunan sebagai suatu proses
belajar.
Karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian
seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan
yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang,
berpikir, bersikap, dan bertindak. Kebajikan terdiri atas sejumlah nilai,
moral, dan norma, seperti nilai religius, demokratis, kepatuhan terhadap
aturan-aturan sosial, dan menghargai keberagaman. Interaksi seseorang
dengan orang lain menumbuhkan karakter masyarakat dan karakter
bangsa. Oleh karena itu, pengembangan karakter bangsa hanya dapat
dilakukan melalui pengembangan karakter individu seseorang.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional mengamanahkan bahwa pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,
dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
Tujuan pendidikan nasional itu merupakan rumusan mengenai kualitas
manusia Indonesia yang harus dikembangkan dan dicapai. Oleh karena
itu, rumusan tujuan pendidikan nasional menjadi dasar dalam
pengembangan karakter berbasis sosial budaya.

19
Berbasis sosial budaya adalah kegiatan yang didasarkan pada
unsur-unsur budaya yang ada pada masyarakat, oleh Koentjaraingrat
(1987: 2) diidentifikasi seperti: sistem religi dan upacara keagamaan,
sistem organsisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa,
kesenian, sistem mata pencaharian hidup, serta sistem teknologi dan
peralatan. Oleh karena manusia hidup dalam lingkungan sosial budaya
tertentu, maka pengembangan karakter individu seseorang seharusnya
dilakukan berdasarkan lingkungan sosial budaya yang berangkutan.
Artinya, pengembangan budaya dan karakter bangsa hanya dapat
dilakukan dalam suatu proses pendidikan yang tidak terlepas dari
lingkungan sosial budaya masyarakat.
Atas dasar pemikiran itu, maka kajian naskah lontarak Bajo
sebagai konteks budaya, sangat strategis, karena mengandung nilai-nilai
karakter yang relevan untuk dikembangkan dalam era sekarang ini,
seperti: nilai religius, demokratis, kepatuhan terhadap aturan-aturan
sosial, dan menghargai keberagaman. Pengembangan pendidikan
karakter berbasis budaya sangat strategis bagi keberlangsungan dan
keunggulan bangsa di masa mendatang. Pengembangan itu harus
dilakukan melalui perencanaan yang baik, pendekatan yang sesuai, dan
metode belajar serta pembelajaran yang efektif. Sesuai dengan sifat
suatu nilai, pengembangan karakter bangsa adalah usaha bersama
sekolah, masyarakat, dan pemerintah. Untuk itu, harus dilakukan secara
bersama dalam berbagai kesempatan, sehingga menjadi bagian yang
tak terpisahkan dari budaya sehari-hari.
Berikut adalah 25 butir nilai karakter sebagai prioritas penanaman
pada anak remaja:
1. Relegius
2. Kejujuran
3. Kecerdasan
4. Tanggung jawab
5. Kebersihan dan kesehatan
6. Kedisiplinan
7. Tolong-menolong
8. Berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif
9. Kesantunan
10. Ketangguhan

19
11. Demokratis
12. Kemandirian
13. Keberanian mengambil risiko
14. Berorientasi pada tindakan
15. Berjiwa kepemimpinan
16. Kerja keras
17. Percaya diri
18. Keingintahuan
19. Cinta ilmu
20. Kesadaran akan hak dan kewajiban diri dan orang lain
21. Kepatuhan terhadap aturan-aturan sosial
22. Menghargai karya dan prestasi orang lain
23. Kepedulian terhadap lingkungan
24. Nasionalisme
25. Menghargai keberagaman (Anonim, 2011).
Nilai-nilai tersebut tersebar dan tersirat dalam setiap komunitas,
baik lisan maupun tertulis. Bagi komunitas Bajo, nilai-nilai yang
dikembangkan sebagian telah ditulis dalam lontarak ini menunjukkan
bahwa Etnis Bajo memiliki peradaban yang cukup tinggi, karena sejak
dahulu kala telah mampu mengembangkan bahasa tulisan dengan
memanfaatkan bahasa dan pilihan kata yang santun. Umumnya pilihan
kata yang digunakan dalam lontarak adalah bahasa yang halus.

19
BAB II
KONSEP ETNOPEDAGOGI

A. Pengertian Etnopedogogi
Menurut Tufekčić (2014) etnopedagogi mulai mendapat
perhatian pada bagian kedua abad ke-20, dimana para ilmuan berusaha
untuk mempelajari pedagogi rakyat secara ilmiah dan menerapkan
hasilnya untuk sistem pendidikan kontemporer. Istilah ethnopedagogi
pertama kali diungkapkan oleh GN Volkov tahun 1999, yaitu ilmu yang
mempelajari tentang asuhan orang, pandangan pedagogis asli, dan
praktik pendidikan sehari-hari di dalam keluarga dan masyarakat.
Menurut Tufekčić (2016) bahwa usaha mendasar etnopedagogis
adalah untuk mencapai keharmonisan antara individu, keadaan sosial
dan lingkungan alam. Harmonisasi hubungan di masa kanak-kanak
menyiratkan pengembangan dan pelestarian aktivitas alami anak tanpa
dikendalikan sepenuhnya oleh orang dewasa.
Etnopedagogi adalah praktik pendidikan berdasarkan kearifan
lokal di berbagai bidang seperti pengobatan, seni bela diri, lingkungan
hidup, pertanian, ekonomi, pemerintah, sistem kalender, dan lain-lain.
Etnopedagogi menganggap pengetahuan atau kearifan lokal itu sebagai
sumber inovasi dan keterampilan yang bisa diberdayakan demi
kesejahteraan masyarakat.
Menurut Arsaliev (2017) formalisasi proses etnopedagogik yang
direalisasikan dalam bentuk teknologi memungkinkan pengungkapan
secara rasional, obyektif, dan berharga di bidang sistem pendidikan
etnik. Hal ini memungkinkan membuat pengalaman pendidikan menjadi
milik sejumlah besar guru. Semua itu memungkinkan untuk bergerak
maju dalam penyelesaian masalah pembentukan orang yang mampu
berfungsi dengan baik dalam lingkungan etnik yang tidak seragam,
memiliki kompetensi etnobudaya tingkat tinggi, dan mempromosikan
pengembangan teori ilmu pengetahuan etnopedagogis.
Menurut Fahrutdinova (2016) kehadiran etnopedagogis untuk
mengatasi konflik etnis yang telah berkembang di lingkungan sosio-
kultural baru, studi tentang proses interaksi dalam lingkungan
pendidikan dan pendidikan multi-etnis, identitas nasional yang muncul
selama berabad-abad, sehingga perlu mengaktualisasikan pendidikan

19
etnopedagogis dalam situasi kontemporer. Dalam konteks ini perlu
pelatihan terhadap guru dalam proses pengembangan etnopedagogis
guru masa depan di sekolah modern.
Alwasilah, et.al (2009) mengemukakan bahwa dalam konteks
budaya secara umum, etnopedagogi menaruh perhatian khusus
terhadap local genius dan local wisdom dengan mengungkap nilai-nilai
budaya Sunda sebagai model awal.  Ajip Rosidi (2009) mengingatkan
bahwa nilai budaya Sunda modern telah berbaur dengan budaya
lainnya. Beberapa postulat dikemukakan terkait karakter masyarakat
Sunda: hurip, waras, cageur, bageur, bener, pinter, ludeung, silih asah,
silih asuh, silih asih, sineger tengah, singer, motekar dan rapekan
(Kartadinata, 2010). Dapat dikatakan bahwa etnopedagogi memandang
pengetahuan atau kearifan lokal (local knowledge, local wisdom)
sebagai sumber inovasi dan keterampilan yang dapat diberdayakan demi
kesejahteraan masyarakat
Berdasarkan perspektif hakikat pendidikan, baik Alwasilah et al
(2009) maupun Kartadinata (2010) memandang bahwa pendidikan tidak
terlepas dari aspek sosial dan kultural. Pendidikan bersifat deliberatif
dalam arti masyarakat mentransmisikan dan mengabadikan gagasan
kehidupan yang baik dan berasal dari kepercayaan masyarakat yang
fundamental mengenai hakikat dunia, pengetahuan dan tata nilai
(Alwasilah, 2009). Oleh karena itu, diperlukan reorientasi landasan
ilmiah mengenai pendidikan yang harus bertumpu pada nilai-nilai
kemanusiaan, sesuatu yang selama ini luput dari perhatian dikarenakan
kurangnya studi tentang landasan budaya pendidikan. Keutamaan
pendidikan hendaknya jangan sampai tereduksi menjadi hal-hal yang
superficial, sebagaimana terjadi pada rezim standarisasi, sehingga
mengabaikan tujuan luhur dari pendidikan itu sendiri, yaitu pendidikan
yang membudayakan (Suratno, 2010).
Berdasarkan analisis terhadap dimensi budaya dan pendidikan,
Alwasilah (2009) dan Suratno (2010) memandang etnopedagogi sebagai
praktik pendidikan berbasis kearifan lokal dalam berbagai ranah serta
menekankan pengetahuan atau kearifan lokal sebagai sumber inovasi
dan keterampilan. Hal yang dapat diberdayakan demi kesejahteraan
masyarakat, yakni kearifan lokal tersebut terkait dengan bagaimana
pengetahuan dihasilkan, disimpan, diterapkan, dikelola dan diwariskan.

19
Etnopedagogi sebagai praktik pendidikan berbasis kearifan lokal
nampaknya sejalan dengan temuan Alexander (2000) yang
menunjukkan adanya hubungan yang erat antara pedagogi dengan
kehidupan sosial budaya masyarakatnya. Hal demikian juga sejalan
dengan pandangan Bernstein & Solomon (2010) yang menyatakan ‘‘How
a society selects, classifies, distributes, transmits and evaluates the
educational knowledge it considers to be public, reflects both the
distribution of power and principles of social control’ .
Menarik apa yang dikemukakan oleh Suratno (2010) tentang
upayanya untuk memposisikan etnopedagogi secara lebih strategis.
Etnopedagogi dapat berperan dalam pendidikan berbasis nilai budaya
bagi pembelajaran dalam konteks teaching as cultural activity (Stigler &
Hiebert, 1999) dan the culture of teaching. Di sisi lain, etnopedagogi
berperan dalam menciptakan secara berantai kader-kader yang memiliki
kecerdasan kultural dan konteks pendidikan guru. Oleh karena
diperlukan tindakan untuk mengangkat kembali nilai-nilai kearifan lokal
sebagai sumber inovasi dalam bidang pendidikan berbasis budaya
masyarakat lokal, dengan cara melakukan pemberdayaan melalui
adaptasi pengetahuan lokal, termasuk reinterpretasi nilai-nilai kearifan
lokal dan revitalisasinya sesuai dengan kondisi kontemporer. Selain itu
diperlukan kerjasama yang kuat antara pemerintah daerah, perguruan
tinggi dan budayawan untuk revitalisasi nilai-nilai kearifan lokal maupun
mengembangkan konsep-konsep akademik, melakukan uji coba model-
model etnopedagogi dalam pembelajaran (Anan-Nur, 2010).
Etnopedagogi adalah ilmu pendidikan yang terkait dengan suku
atau bangsa (Kartadinata, 2010). Dalam hal ini, pendidikan tidak dapat
dipisahkan dari filosofi kehidupan suatu bangsa atau etnis dalam bentuk
kearifan lokal siswa dan lingkungan hidup. Etnopedagogi adalah
pendidikan berbasis budaya masyarakat yang harus dilestarikan untuk
maju dan berkembang sehingga dapat mencapai kehidupan yang unggul
dan hidup berdampingan dengan negara-negara lain di dunia.
Etnopedagogi tidak hanya mempromosikan bidang unggul dalam
masyarakat berdasarkan budaya mereka, tetapi juga harus
mengembangkan, memperbaiki, dan mengubah kode etik atau pola pikir
masyarakat sehingga mereka dapat mengeksplorasi berbagai macam

19
pengetahuan dan mengembangkan kehidupan dengan komunitas lain
sambil melestarikan budaya mereka (Ernest, 1992).
Pengetahuan pedagogis terkait erat dengan filsafat kehidupan,
moralitas, dan pengetahuan umum. Melalui etnopedagogi, seseorang
bisa menyaksikan karya dan tindakan pendidik sebagai pengrajin,
penyanyi dan pendongeng, siapa yang memiliki kemampuan konkret
dan praktis. Komponen penting dari perkataan adalah pelajaran sejak itu
memberikan tujuan, alat, dan metode pengasuhan anak. Melalui teka-
teki, seseorang dapat menemukan kombinasi dan pengaruhnya
terhadap pemahaman anak tentang dunia dengan niat membangun
pendidikan intelektual yang selaras dengan semua aspek lain dari
pembentukan kepribadian. Peran lagu adalah untuk mengembangkan
cinta dan membangun estetika dan rasa.
Menurut Brodovskaya et al. (2016) pendidikan yang dilakukan
kepada siswa dalam bahasa ibu mereka, bisa memberi kontribusi pada
peningkatan spiritual. Guru tidak hanya orang yang dapat dipercaya,
tetapi juga memiliki pengetahuan dan keterampilan pedagogis sebelum
melakukan pembelajaran. Begitu pentingnya etnopedagogi bagi guru
karena dapat mengembangkan pendidikan spiritual dan moral kepada
generasi muda. Di sisi lain dapat meningkatkan kompetensi guru dalam
mengidentifikasi peluang penggunaan sistem pembelajaran baru.
Konsep etnopedagogi melibatkan pencapaian sejumlah tujuan:
mempersiapkan calon guru untuk bekerja memperkuat dan melestarikan
tradisi pedagogi progresif; membentuk pemahaman tentang tujuan
etnopedagogi; dan mengembangkan kemampuan untuk menggunakan
etnopedagogi dalam sistem pendidikan modern.
Etnopedagogi berdasarkan nilai-nilai tradisi masyarakat Jawa
telah dibahas oleh Ki Hajar Dewantara. Terdiri dari tiga aspek: (a)
ingngarsa sung tuladha, (b) ingmadya mangunkarsa, dan (c) tut
wurihandayani (Dewantara, 1977). Konsep pendidikan ini, diadopsi
menjadi nilai pendidikan nasional di Indonesia (Surya, 2011). Untuk
Orang Bugis, etnopedagogi didasarkan pada nilai yang awalnya
dikembangkan oleh seorang yang disebut To Accana Bone (Orang Pintar
dari Kerajaan Bone) bernama La Mellong yang juga menjabat sebagai
penasihat Raja Bone ke-6, La Uliyo, (memerintah pada 1543-1568). Ia
mengemukakan slogan yang diumpamakan seorang pemimpin yang

19
mengendalikan sebuah perahu, yaitu: Rioloi Napatiroang = jika ia
berada di depan memberi contoh/panduan/petunjuk; Ritengngai
Nasiraga-raga= jika ia berada di tengah memberi semangat; Rimunri
Nappong lopi = jika ia berada di belakang memberi dorongan (Ali, 1986;
Hafid, 2014). Pada Etnis Tolaki, filsafat pendidikan berakar dari pepatah:
Inae konasara ie pinasara; inae liasara ie pinekasara = siapa tahu adat
akan dihormati; siapa yang melanggar adat akan diperlakukan dengan
kasar (Tamburaka, 2004). Secara konseptual, Cobern (2008)
menyatakan pentingnya aspek budaya dari pembelajaran sains.
Secara empiris, model etnopedagogi yang memanfaatkan
kearifan lokal telah dibuktikan oleh hasil penelitian dari Hermani (2012)
yang memfasilitasi pembelajaran kimia di sekolah menengah atas di
Jawa Barat, seperti budaya batik di Garut dan ruwatan (upacara yang
dilakukan untuk menyingkirkan hal-hal buruk) keris di Cirebon. Ini juga
sejalan dengan penelitian oleh Wahyudi (2003) tentang pembelajaran
sains alam berbasis budaya setempat. Penelitian serupa juga dilakukan
oleh Wuryandani (2013) tentang integrasi nilai-nilai kearifan lokal dalam
pembelajaran dapat menumbuhkan nasionalisme. Penelitian lain tentang
revitalisasi kalosara sebagai kearifan lokal dalam pengembangan
karakter remaja melalui pembelajaran ilmu sosial di Sekolah Menengah
Pertama (Anwar, dkk, 2018).
Menurut Fahrutdinova ( 2016) ruang multikultural dalam kondisi
sosial budaya yang baru dapat dicapai dengan mempelajari pedagogi
orang-orang Rusia dalam perjalanan etnopedagogi. Ia menyatakan
pentingnya etnopedagogi yang dimaksudkan untuk mempromosikan
pendidikan spiritual dan moral kepada generasi muda, peningkatan
kompetensi guru, serta identifikasi peluang penggunaan sistem
pengajaran, sarana, metode dan bentuk pedagogi rakyat modern.
Ajaran etnopedagogi melibatkan pencapaian sejumlah tujuan:
mempersiapkan guru masa depan untuk bekerja memperkuat dan
melestarikan tradisi pedagogis rakyat yang progresif (etnopedagogi);
membentuk pemahaman tentang tujuan sosial etnopedagogi dalam
masyarakat modern; mengembangkan kemampuan penggunaan
etnopedagogi dalam pedagogi modern. Informasi yang terkandung
dalam ini meliputi: (a) Fungsi pendidikan (pembentukan karakter moral
dan kemauan, pengembangan mental, menumbuhkan kecintaan akan

19
keindahan); (b) metode pendidikan (persuasi, contoh, perintah,
penjelasan, latihan, keinginan dan berkat, mantra, sumpah, permintaan,
nasihat, petunjuk, persetujuan, teguran, perjanjian, penyesalan, wasiat,
ancaman, hukuman); (c) sarana pendidikan (sajak, pepatah, teka-teki,
dongeng, legenda, mitos, dll).
Menurut Tufekčić (2014) pelestarian dan pengembangan budaya
spiritual tak terbayangkan tanpa praktik pedagogis yang berkembang
dan memadai. Fokus dari setiap budaya pedagogis adalah asuhan anak
untuk sukses. Dengan memperhitungkan esensi asuhan, seseorang
melihat aspek unik dari budaya pedagogis orang yang berbeda dan
begitu juga manusia pada umumnya. Semua orang mencontohkan
prestasi asli dan universal yang terkait dengan asuhan seseorang.
Kekhususan budaya pedagogis terbukti dalam proses pengasuhan di
mana orang mengumpulkan kekayaan spiritual dari generasi ke generasi
dan mengubah, memperbaiki, mengembangkan, dan memperkaya
praktik pedagogis. Setiap pengasuhan bertujuan untuk kesatuan integral
sosial dan pribadi yang menghasilkan rasa memiliki masyarakat dalam
setiap orang dan memberi identitas sosial pada pekerjaan dan perilaku
individu.
Menurut Tufekčić (2014) pengetahuan pedagogis berhubungan
erat dengan filosofi kehidupan, moralitas, dan pengetahuan umum.
Melalui pedagogi rakyat, seseorang dapat menyaksikan karya dan
tindakan dimana pendidik adalah pengrajin, penyanyi, teller cerita, yaitu
mereka yang memiliki kemampuan konkret dan praktis. Inti dari arahan
adalah asuhan yang ditunjukkan melalui contoh yang baik. Sebagai
sarana mengasuh, orang menggunakan gaya penciptaan verbal seperti:
peribahasa, teka-teki, lagu, dongeng, dan cerita. Komponen penting dari
sebuah pepatah adalah pelajarannya karena peribahasa menyediakan
tujuan, sarana, dan metode pengasuhan. Hal ini melibatkan dorongan
dan hukuman, menyediakan isi pendidikan, pekerjaan, dan pendidikan
moral. Melalui teka-teki, seseorang menemukan kombinasi pengaruh
pada pemahaman anak tentang dunia dengan tujuan membangun
pendidikan intelektual yang selaras dengan semua aspek pembentukan
kepribadian lainnya. Peran lagu juga sangat besar. Tugas utama lagu ini
adalah mengembangkan cinta, membangun estetika dan selera.

19
Menurut Tufekčić (2014) bahwa dalam budaya tradisional sehari-
hari Orang Bosnia, praktik etnopedagogi adalah tempat berlindung.
Praktik ini lahir dari satu komunitas konkrit dan mencakup keseluruhan
siklus hidup sejak lahir sampai mati. Dalam setiap situasi kehidupan,
pendidikan dibuktikan dapat mempengaruhi terciptanya hubungan yang
harmonis antara individu dan masyarakat.
Menurut Yachina et.all (2016) dalam pemilihan konten mencakup
integrasi pengetahuan, kemampuan dan keterampilan dari bidang
etnoesthetic, teknologi dan pengetahuan ilmiah, yang mampu dan
memberikan pokok bahasan pendidikan dengan kontinuitas pencapaian
nilai etnik, nilai kemanusiaan, nilai ilmiah dalam sistem persekolahan.
Penataan isi dilakukan dengan periodisasi umur sebagai faktor dalam
pengembangan kepribadian yang harmonis dan tidak hanya di bidang
teknologi, profesional, tetapi juga emosional, spiritual, kehendak, dan
estetika.
Menurut Yachina et.all (2016) untuk memberikan orientasi
inovatif pemilihan konten integratif dan pentingnya bahan yang dipilih
dalam proses belajar, maka perlu mempelajari sistem alternatif dalam
bentuk pedoman metodologi untuk pemilihan konten, metode, dan
teknologi pendidikan sebagai sarana didaktik untuk memperkaya
intelektual, kualitas spiritual, pengembangan kreativitas teknis dan
artistik.
Pandangan dan kajian empiris tersebut menyiratkan makna
bahwa model pendidikan berbasis kearifan lokal tidak dimaksudkan
mendidik masyarakat untuk sekedar mempelajari dan melestarikan
budayanya sendiri dan tidak menghargai budaya lain. Sebaliknya,
mendidik masyarakat untuk mendalami ilmu pengetahuan, keterampilan,
dan nilai berdasarkan budayanya, menjunjung tinggi tata kehidupan
bersama, yang menjadi dasar untuk meraih kehidupan demokratis
(Kartadinata, 2010). Pendidikan melalui adaptasi kearifan lokal,
termasuk reinterpretasi nilai-nilai yang terkandung dalam sejumlah
peribahasa dengan kondisi kontemporer dapat menjadi instrumen untuk
memecahkan masalah sosial, karena dalam banyak hal, masalah sosial
juga berasal dari isu lokal.
Pemimpin lebih mudah mengarahkan anggotanya dengan
memanfaatkan norma umum yang berlaku di masyarakat. Kearifan lokal

19
dapat menjadi instrumen sinergis antara modernisasi dan konservasi
keunggulan lokal. Bagi masyarakat Suku Tolaki misalnya memiliki
kearifan lokal dalam bentuk kalosara yang berfungsi sebagai media
dalam etnopedagogi.
Etnopedagogi didefinisikan sebagai model pembelajaran lintas
budaya. Para guru dapat mengajar dengan merancang budaya lokal
sebagai media pembelajaran yang mungkin berbeda dari satu tempat ke
tempat lain. Para siswa adalah pelajar lintas budaya. Para siswa
dimanapun mereka berada biasanya menunjukkan paradigma yang
sama. Dapat diartikan bahwa untuk memberikan pemahaman baru
harus disinkronkan atau disesuaikan dengan nilai-nilai budaya yang
berlaku di lingkungan setempat. Suatu hal baru dapat dengan mudah
diterima, jika mengandung nilai-nilai yang sesuai dengan nilai lokal.
Pendidikan juga memberikan nilai-nilai universal yang harus tersedia
pada setiap nilai keteraturan di dunia. Sebaliknya, nilai-nilai lokal yang
baik juga dapat dinaikkan dan disosialisasikan ke dunia yang lebih luas.
Pendidikan melalui pendekatan etnopedagogik melihat bahwa kearifan
lokal sebagai sumber inovasi dan keahlian yang dapat diberdayakan
(Surya, 2011).
Etnopedagogi terkait erat dengan pendidikan multikultural.
Pendidikan multikultural mencakup kepercayaan yang menganggap
penting tentang kearifan lokal dan keanekaragaman yang dimiliki oleh
komunitas etnis untuk membentuk gaya hidup, pengalaman sosial,
identitas pribadi, dan kelompok sosial dan negara. Etnopedagogi
menganggap pengetahuan asli atau kearifan lokal sebagai sumber
inovasi dan keterampilan, dilanjutkan dengan pendidikan multikultural
yang memberdayakan inovasi dan keterampilan agar dapat memberikan
kontribusi positif bagi kelompok sosial lain dan budaya nasional.

B. Kearifan Lokal sebagai Sumber Etnopedagogi


1. Pengertian Kearifan Lokal
Setiap etnik memiliki kearifan dalam mempertahankan dan
mengembangkan kehidupannya. Kearifan lokal merupakan hal yang
multifungsi, karena terkait dengan semua aspek kehidupan manusia.
Secara umum kearifan lokal merupakan gagasan-gagasan setempat

19
yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam
dan diikuti oleh anggota masyarakatnya (Sibarani, 2012).
Pendidikan berbasis budaya lokal tidah hanya memajukan bidang-
bidang unggul dalam masyarakat berdasarkan budayanya, tetapi juga
harus mengembangkan, memperbaiki, dan mengubah tata perilaku atau
tata pikir masyarakat agar bisa mendalami berbagai ilmu pengetahuan
dan membangun kehidupan bersama dengan masyarakat di luar dirinya
sambil tetap melestarikan budayanya (Ernest, 1992). Dalam konteks
yang sama, Daud, et all, (2015) menyatakan adanya jenis praktik
budaya pasar dan bahaya kesalahpahaman budaya di sekolah. Dengan
demikian perlunya pengembangan etnopedagogik dalam praktek
pendidikan modern, sehingga dapat tercipta suasana saling memahami
antar etnis.
Kearifan lokal adalah kumpulan fakta, konsep keyakinan, dan
persepsi masyarakat tentang dunia di sekitarnya, penyelesaian masalah,
dan validasi informasi. Singkatnya, kearifan lokal adalah bagaimana
pengetahuan diproduksi, disimpan, diterapkan, diorganisir, dan
diwariskan (Surya, 2011).
Undang-undang nomor 32 tahun 2009 memberikan definisi tentang
kearifan lokal, yaitu nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan
masyarakat untuk antara lain melindungi dan mengelola
lingkungansecara lestari. Musanna (2011) mendefinisikan kearifan local
sebagai akumulasi dari pengetahuan dan kebijakan yang tumbuh dan
berkembang dalam sebuah komunitas yang mempresentasikan
perspektif teologis, kosmologis dan sosiologis. Terdapat beberapa istilah
yang digunakan dalam memaknai kearifan lokal yaitu pengetahuan lokal,
keunggulan lokal, budayalokal, budaya pribumi dan pengetahuan asli.
Etnopedagogi adalah praktik pendidikan berdasarkan pengetahuan
lokal dalam berbagai aspek kehidupan. Ini akan tumbuh menjadi
etnofilosofi, etnopsikologi, etnomusikologi, etnopolitik, dan sebagainya.
Etnopedagogi mempersepsikan pengetahuan asli atau kearifan lokal
sebagai sumber inovasi dan keahlian yang dapat diberdayakan untuk
kesejahteraan masyarakat. Menurut Alwasilah (2009), ada beberapa
karakteristik kearifan lokal, yaitu: (1) berdasarkan pengalaman, (2) diuji
setelah dipekerjakan selama berabad-abad, (3) dapat disesuaikan
dengan budaya saat ini, (4) dikombinasikan dengan praktik sehari-hari

19
dan lembaga sosial, (5) secara umum, dilakukan oleh individu atau
masyarakat secara keseluruhan, (6) dinamis dan selalu berubah, dan (7)
ini sangat terkait dengan sistem kepercayaan. Pemberdayaan melalui
adaptasi pengetahuan lokal, termasuk interpretasi nilai-nilai yang
terkandung dalam sejumlah peribahasa dengan kondisi kontemporer
adalah strategi cerdas untuk memecahkan masalah sosial (Hafid, dkk,
2015).
Sartini (2006) menyatakan bahwa kearifan lokal terbentuk
sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi
geografis dalam arti luas. Kearifan lokal merupakan produk budaya
masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup.
Gobyah dalam Sartini, (2006) menyebutkan meskipun bernilai lokal,
tetapi nilai yang terkandung di dalamnya dianggap sangat universal.
Fungsi kearifan lokal yakni: (1) untuk konservasi dan pelestarian sumber
daya alam; (2) untuk pengembangan sumber daya manusia; (3) untuk
pengembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan; (4) sebagai petuah,
kepercayaan, sastra dan pantangan; (5) bermakna sosial misalnya
upacara integrasi komunal/kerabat dan upacara daur pertanian; (6)
bermakna etika dan moral; (7) bermakna politik, misalnya upacara
nangluk mrana pada masyarakat Bali dan kekuasaan patron client. Oleh
karena itu, kearifan lokal dapat dipahami sebagai gagasan dan
pengetahuan setempat yang bersifat bijaksana, bernilai baik dan budi
luhur yang dimilki, dipedomani, dan dilaksanakan oleh anggota
masyarakatnya secara turun-temurun.
Pokadulu menurut Aderlaepe (2016) merupakan suatu bentuk
kearifan lokal masyarakat Muna. Budaya ini menunjukkan suatu bentuk
sikap kerja sama dikalangan masyarakat Muna, yang relevan
diaplikasikan dalam pembelajaran di sekolah. Meskipun budaya
pokadulu ini lahir dalam masa bercocok tanam yang dilakukan secara
bepindah-pindah (Malim, 1978), tetapi maknanya dalam bentuk kerja
sama dapat dipertahankan dalam era sekarang ini, karena memiliki
unsur-unsur etnopedagogi yang relevan diterapkan dalam pembelajaran
di sekolah.
Kearifan lokal adalah identitas atau kepribadian budaya sebuah
bangsa yang menyebabkan bangsa tersebut mampu menyerap, bahkan
mengolah kebudayaan yang berasal dari luar/bangsa lain menjadi watak

19
dan kemampuan sendiri (Wibowo, 2015). Kearifan lokal adalah
pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi
kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal
untuk menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan
mereka. Dalam bahasa asing sering juga dikonsepsikan sebagai
kebijakan setempat (local wisdom), pengetahuan setempat (local
knowledge), kecerdasan setempat (local genious) (Fajarini, 2014).
Berbagai strategi dilakukan oleh masyarakat setempat untuk menjaga
kebudayaannya.
Selanjutnya Istiawati (2016) berpandangan bahwa kearifan lokal
merupakan cara orang bersikap dan bertindak dalam menanggapi
perubahan dalam lingkungan fisik dan budaya. Suatu gagasan
konseptual yang hidup dalam masyarakat, tumbuh dan berkembang
secara terus-menerus dalam kesadaran masyarakat dari yang sifatnya
berkaitan dengan kehidupan yang sakral sampai dengan yang profan
(bagian keseharian dari hidup dan sifatnya biasa-biasa saja). Kearifan
lokal dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan lokal yang bersifat
bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik yang tertanam dan diikuti oleh
anggota masyarakatnya
Kearifan lokal menurut Ratna (2011) adalah semen pengikat
dalam bentuk kebudayaan yang sudah ada yang diciptakan oleh aktor-
aktor lokal melalui proses yang berulang-ulang, melalui internalisasi dan
interpretasi ajaran agama dan budaya yang disosialisasikan dalam
bentuk norma-norma dan dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-
hari bagi masyarakat
Pembelajaran berbasis kearifan lokal merupakan pembelajaran
yang menempatkan siswa sebagai pusat pembelajaran (student
centered) bukan teacher centered. Hal ini sejalan dengan pernyataan
Suparno (Rosala, 2016) bahwa belajar bukan sekedar kegiatan pasif
menerima materi dari guru, melainkan proses aktif menggali
pengalaman lama, mencari dan menemukan pengalaman baru serta
mengasimilasi dan menghubungkan antara keduanya sehingga
membentuk makna. Makna tercipta dari apa yang siswa lihat, dengar,
rasakan, dan alami. Untuk guru, mengajar adalah kegiatan memfasilitasi
siswa dalam mengkonstruksi sendiri pengetahuan lewat keterlibatannya
dalam kehidupan sehari-hari.

19
2. Jenis-jenis Kearifan Lokal
Haryanto (2014) menyatakan bentuk-bentuk kearifan lokal adalah
kerukunan beragaman dalam wujud praktik sosial yang dilandasi suatu
kearifan dari budaya. Bentuk-bentuk kearifan lokal dalam masyarakat
dapat berupa: nilai, norma, etika, kepercayaan, adat-istiadat, hukum
adat, dan aturan-aturan khusus. Nilai-nilai luhur terkait kearifan lokal
meliputi cinta kepada Tuhan, alam semesta beserta isinya, tanggung
jawab, disiplin, mandiri, jujur, hormat dan santun, kasih saying, peduli,
percaya diri, kreatif, kerja keras, pantang menyerah, keadilan daalam
kepemimpinan, rendah hati, toleransi, cinta damai, dan persatuan.
Hal serupa dikemukakan oleh Wahyudi (2014) kearifan lokal
merupakan tata aturan tak tertulis yang menjadi acuan masyarakat yang
meliputi seluruh aspek kehidupan, berupa tata aturan yang menyangkut
hubungan antar sesama manusia. Misalnya dalam interaksi sosial baik
antar individu maupun kelompok, yang berkaitan dengan hirarki dalam
kepemerintahan dan adat, aturan perkawinan, tatakrama dalam
kehidupan sehari-hari. Dalam karya sastra kearifan lokal adalah bahasa,
baik lisan maupun tulisan (Ratna, 2011). Dalam masyarakat, kearifan
lokal dapat ditemui dalam cerita rakyat, nyayian, pepatah, sasanti,
petuah, semboyan, dan kitab-kitab kuno yang melekat dalam perilaku
sehari-hari.
Kearifan lokal diungkapkan dalam bentuk kata-kata bijak
(falsafah) berupa: nasehat, pepatah, pantun, syair, dan folklore (cerita
lisan); aturan: prinsip, norma dan tata aturan sosial dan moral yang
menjadi sistem sosial; ritus, yaitu: seremonial atau upacara tradisi dan
ritual; serta kebiasaan yang terlihat dalam perilaku sehari-hari dalam
pergaulan sosial (Haryanto, 2013).
Selain berupa nilai dan kebiasaan, kearifan lokal juga dapat
berwujud benda-benda nyata salah satu contohya adalah wayang.
Wayang kulit diakui sebagai kekayaan budaya dunia karena paling tidak
memiliki nilai edipeni (estetis) adiluhung (etis) yang melahirkan kearifan
masyarakat, terutama masyarakat Jawa. Bahkan cerita wayang
merupakan pencerminan kehidupan masyarakat Jawa. Melalui wayang,
orang Jawa mencari jawab atas permasalahan kehidupan mereka
(Sutarso, 2012). Melalui pertunjukan wayang, bergabung keindahan seni

19
sastra, seni musik, seni suara, seni sungging dan ajaran mistik Jawa
yang bersumber dari agama-agama besar yang ada dan hidup dalam
masyarakat Jawa. Bentuk kearifan lokal yang terdapat pada masyarakat
jawa selain wayang adalah joglo (rumah tradisional jawa).
Pembelajaran dengan menerapkan kearifan budaya lokal atau
yang sering disebut dengan etnopedagogi semakin berkembang.
Menurut Sarbaini (2014) etnopedagogi dapat berperan dalam
pendidikan berbasis nilai budaya dalam konteks teaching as cultural
activity dan the culture of teaching”. Kearifan lokal memiliki nilai-nilai
yang mampu mempengaruhi pilihan yang tersedia dari bentuk, cara, dan
tujuan tindakan secara berkelanjutan, mengikat setiap individu untuk
melakukan suatu tindakan tertentu; memberi arah dan intensitas
emosional serta mengarahkan tingkah laku individu dalam situasi sehari-
hari. Mengangkat kembali nilai-nilai kearifan lokal sebagai sumber
inovasi dalam bidang pendidikan berbasis budaya masyarakat lokal,
dengan cara melakukan pemberdayaan melalui adaptasi pengetahuan
lokal, termasuk reinterpretasi nilai-nilai kearifan lokal, revitalisasinya
sesuai dengan kondisi kontemporer, mengembangkan konsep-konsep
akademik dan melakukan uji coba model etnopedagogi dalam
pembelajaran.
Menurut Kurniawan & Toharudin (2017) perkembangan model
pembelajaran dapat melalui proses adopsi, modifikasi bahkan kreativitas
untuk menciptakan suatu model pembelajaran yang baru (inovatif).
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi seharusnya dapat
dimanfaatkan secara maksimal untuk merancang dan mengembangkan
model pembelajaran yang inovatif. Dalam hal ini jelas bahwa inovasi
tidak bersifat kaku, sebuah inovasi dapat lahir dari berbagai macam
kombinasi yaitu dapat berupa adopsi, modifikasi bahkan krativitas sang
inovator. Namun, dari sekian banyak yang beredar luas, jarang
ditemukan model pembelajaran yang berbasis kearifan lokal (local
wisdom). Maka dari itu perlu pengembangan model pembelajaran yang
berorientasu kearifan lokal yang berlandaskan etnopedagogi dalam
berbagai mata pelajaran, berbagai jenjang, dan jenis pendidikan. Hal ini
sangat penting mengingat siswa pada zaman sekarang sudah jarang
mengenal budaya lokal. Dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran

19
mungkin saja guru menjumpai kesulitan sehubungan dengan siswa,
maka dari itu guru harus memilih yang paling tepat.

C. Kearifan Lokal Sebagai Modal Pembangunan


Kearifan lokal sebagai pengetahuan yang dimiliki etnis tertentu
dapat menjadi modal pembangunan, karena dengan menggunakan
kearifan tersebut, masyarakat bisa menyelesaikan persoalan yang
mereka hadapi dan mencapai tujuan yang mereka inginkan.
Gattang pi na Adak Karena tegas, maka dia Adat
Lanbusu pi na Karaeng Karena jujur, maka dia Raja
Tabbara pi na Guru Karena sabar, maka dia Guru
Apisona pi na Sanro Karena ikhlas, maka dia Dukun
Cuplikan pasang (pesan) dari masyarakat adat di Kajang,
Sulawesi Selatan di atas adalah salah satu contoh pengetahuan lokal
yang wajib dipatuhi bagi setiap masyarakat adat Kajang, terutama bagi
mereka yang menduduki jabatan. Para pejabat selalu berusaha untuk
berbuat jujur, sabar, pasrah dan tegas. Seorang pemimpin baru dapat
dikatakan pemimpin, jika ia bersikap jujur, sabar dan tabah dalam
memimpin masyarakat. Seorang pemimpin harus pasrah kepada Tuhan
Yang Maha Esa. Hukum baru dapat dikatakan hukum kalau
pelaksanaannya tegas (Lathief, 2008).
Warisan nilai-nilai budaya seperti contoh di atas adalah rangkaian
konsepsi abstrak yang hidup di dalam pemikiran sebagian besar atau
seluruh warga masyarakat, mengenai apa yang dianggap mulia, sakral,
apa yang diharapkan dan dicita-citakan, apa yang dianggap berharga,
apa yang disukai secara moral dan benar, dan apa yang dibenci. Nilai-
nilai ini tampak pada jati diri insani secara individu-komunal, secara
filosofis-praktis, normatif-kreatif, dan logis sekaligus intuitif. Pentingnya
peranan nilai-nilai budaya tersebut, sehingga mengikat setiap kehendak
kita yang dipikirkan yang secara etis dan logis, serta menjadi pedoman
bagi semua perilaku dan pengambilan keputusan yang akan menuntun
tindakan secara seimbang pada setiap langkah.
Menurut Bambang Rudito, masyarakat Dayak, sejak lama
meyakini tradisi pertanian dengan ladang berpindah menggunakan cara
membakar lahan. ”Cara membakar lahan mereka tidak menyebabkan
kebakaran hutan karena sekeliling lahan yang akan mereka buka sudah

19
ditebang dulu. Ini salah diadopsi oleh perkebunan-perkebunan besar
sehingga menyebabkan kebakaran skala luas (Komps com, 3 Desember
2010).
. ,” kata Bambang.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Kearifan Lokal,


Modal Pembangunan", Klik untuk baca:
https://nasional.kompas.com/read/2010/12/03/04080935/about.html.

Download aplikasi Kompas.com untuk akses berita lebih mudah dan


cepat:
Android: https://bit.ly/3g85pkA
iOS: https://apple.co/3hXWJ0L

Sumber nilai tersebut diperoleh dari warisan budaya dan


perkembangannya melalui internalisasi ajaran sejak kecil, seterusnya
diperoleh lewat sosialisasi dari segala sesuatu yang berupa ajaran,
gejala dan peristiwa sosial yang dialami secara empirik oleh setiap
warga masyarakat yang terikat pada suatu lingkungan hidup atau etnik
(kampung) tertentu, sesuai dengan masa, dan peristiwa yang
berlangsung. Wujud rajutan empirik tersebut dalam masyarakat adalah
semangat gotong-royong, kekeluargaan, sipakatau (Bgs: saling
menghormati), yang berusaha untuk saling membahagiakan, dan bukan
memenangkan diri dengan menghancurkan yang lain.
Sejatinya, keadaan geografi Indonesia dengan keragaman
ekologi, kebudayaan dan peninggalan sejarahnya bagaikan panorama
susunan masa lalu yang tanpa batas. Kita seperti melihat benda-benda
peninggalan sejarah (artefak) dari bermacam-macam lapisan dalam
situs arkeologis yang lama tenggelam, kemudian dijajarkan di atas
sebuah meja sehingga sekali pandang bisa kita lihat kilasan sejarah
manusia sepanjang ribuan tahun. Semua arus kultural yang sepanjang
tiga generasi, mengalir berurutan, memasuki Nusantara dari India, Cina,
Timur Tengah, Eropa, terwakili di tempat-tempat tertentu: di Bali yang
Hindu, permukiman Cina di Jakarta, Semarang atau Surabaya, di pusat-
pusat Muslim di Aceh, Makassar atau dataran tinggi Padang; di daerah-

19
daerah Minahasa dan Ambon yang Cavinis, atau daerah-daerah Flores
dan Timur yang Katolik (Lathief, 2008).
Mosaik historis kultural seperti di atas menyadarkan kita tentang
fakta situasi masyarakat Indonesia yang memiliki rentang struktur sosial
yang lebar, dan merangkum: sistem-sistem kerumunan Melayu-
Polynesia, di pedalaman Kalimantan atau Sulawesi, kampung-kampung
tradisional di dataran rendah di sepanjang sungai di Jawa Tengah dan
Jawa Timur; kampung-kampung nelayan dan penyelundupan yang
berorientasi pasar di pantai-pantai Kalimantan dan Sulawesi; ibu kota-
ibu kota provinsi yang kumuh dan kota-kota kecil di Jawa dan pulau-
pulau seberang; dan kota-kota metropolitan yang besar dan setengah
modern seperti Jakarta, Medan, Surabaya, dan Makassar.
Keanekaragaman bentuk perekonomian, sistem-sistem stratifikasi, atau
aturan kekerabatan juga melimpah ruah. Keragaman Indonesia raya ini
dirajut dalam sebuah semboyan Bhinneka Tunggal Ika, beraneka tetapi
tetap satu.
Kenyataannya, kebudayaan dalam bingkai Indonesia sebagai
komunitas nasional adalah rangkuman dari puncak-puncak kebudayaan
daerah. Selama masa Orde Baru, kita selalu mendapatkan sosialisasi
tentang nasionalisme sesuai dengan interpretasi dari rezim yang
berkuasa. Akibatnya, identitas lokal menjadi termarjinalkan. Identitas
lokal seperti identitas yang didasarkan suku bangsa, ras, agama, di satu
sisi ditekan luar biasa, sehingga identitas nasional ‘Indonesia’ sebagai
collective identity tidak berkembang dengan cara-cara demokratis.
Jika ditingkat mikro kita menderita krisis segregasi yang
menyedihkan, ditingkat makro kita dilanda krisis global yang
mengerikan, yakni rusaknya planet bumi sebagai akibat dari cara hidup
insan yang mengikuti pandangan dan rayuan “modernisme universal”
tersebut. Krisis jagat ini akan berlangsung terus, dan akan semakin
parah, dan tidak akan ada obat, kecuali pandangan hidup baru yang
lebih arif dan bijaksana.
Situasi seperti saat ini, maka sudah saatnya kita kembali
menggali kebudayaan sebagai sebuah pengalaman hidup yang terbukti
telah teruji menyelesaikan masalah di masyarakat lokal masing-masing.
Berbagai nilai budaya yang dimiliki oleh komunitas-komunitas lokal
adalah modal sosial yang sangat signifikan untuk pengembangan daerah

19
maupun untuk kepentingan bangsa Indonesia. Bila potensi yang besar
seperti ini kemudian tidak dikelola dengan baik, atau hanya ditempatkan
semata-mata dalam perspektif kepariwisataan, maka yang kemudian
kita anggap sebagai kekayaan dan modal sosial itu tidak akan bisa
memberikan kontribusi signifikan terhadap pengembangan bangsa ini.
Kenyataannya pengakuan eksistensi terhadap kearifan lokal relatif
baru. ”Di bawah hegemoni rasionalisme, tidak ada tempat bagi
rasionalitas. Setiap kelompok dipaksa untuk menyelesaikan satu
persoalan dengan cara yang sama. Kearifan lokal hanya khas untuk
kelompok tertentu dan tidak bisa dipaksakan untuk diterima sebagai
kearifan kelompok yang lain. Bagai masyarakat yang hidup di era global
sekarang ini, konsepsi kearifan lokal harus mampu ditransformasikan
dalam kekinian. Tanpa itu, pemaknaan kearifan lokal akan bias hanya
pada romantisme masa lalu etnis tersebut (Kompas com, 3 Desember
2010).
Nilai-nilai sosial budaya masyarakat dan kearifan lokal perlu terus
dipelihara dan dikembangkan karena merupakan acuan bagi
pengembangan tatanan sosial humanis. Pengembangan itu diupayakan
melalui reinterpretasi, refungsionalisasi, dan reaktualisasi secara
berkesinambungan. Nilai-nilai dimaksud harus mampu berkompetisi
terhadap dinamika perkembangan global (spirit zaman), sehingga
menghasilkan nilai-nilai yang rasional tetapi tetap memiliki spirit kearifan
lokal. Dengan demikian, kelembagaan masyarakat lokal memiliki akar
dan latar belakang budaya yang kuat, sehingga tidak akan pernah
merasa asing terhadap dirinya sendiri.
Sejalan dengan gerakan pembangkitan lokal, maka perlu digagas
sebuah metode tentang pengetahuan lokal yang disebut “ lokalogi”,
tentu saja harus melalui etnopedagogi. Tujuan utama lokalogi adalah
agar masyarakat setempat dapat mengetahui ‘harta’ bakal yang berada
di daerahnya atau komunitasnya. Lokalogi tidak perlu diformalisasikan
secara resmi melalui peraturan daerah (perda) maupun keputusan
bupati/walikota. Sebaliknya hal ini dimulai dari hal-hal kecil saja dahulu.
Lokalogi bisa dilakukan oleh akademisi, aparat pemda dan masyarakat
setempat, secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama.
Misalnya, kita memilih suatu kampung untuk dikunjungi lalu kita
berjalan-jalan bersama masyarakat setempat sambil mengobrol tentang

19
apa saja yang ada kaitannya tentang kampung tersebut. Kita pasti akan
terkejut atas berbagai informasi yang tersimpan di dalam masyarakat
setempat (Lathief, 2008).
Suatu awal bagi kelancaran komunikasi antara masyarakat dan
pemerintah daerah. Lalu, informasinya dicatat dengan “kartu sumber
daya lokal” atau “peta gambar” dan akan bermafaat bukan hanya bagi
pihak pemerintah, tetapi juga untuk masyarakat setempat. Melalui
proses ini akan muncul perubahan yang mendukung terciptanya good
govermance yang bukan konsep tetapi yang nyata, baik dalam
masyarakat maupun di dalam pemerintah daerah sendiri. Dalam konteks
ini, lokalogi kiranya sangat penting sebagai dasar awal pelaksanaan
pembangunan daerah di Indonesia.
Eksistensi nilai-nilai kearifan lokal semakin menurut Firdausi
(2018) bahwa pembangunan akan mengalami tantangan ketika
dilakukan tanpa memperhatikan nilai-nilai kearifan lokal sebagai falsafah
hidup  yang telah lama menjadi karakter berbagai etnis Indonesia.
Kondisi bangsa Indonesia yang harus menghadapi modernitas di
berbagai sisi kehidupan harus berjuang mempertahankan jati diri dan
identitas yang dapat mengangkat harkat dan martabat bangsa.
Pembangunan yang dilakukan tidak boleh menggerus kearifan
lokal. Sebaliknya, pembangunan harus dilakukan dengan berbasis
kearifan lokal. Usaha untuk menelusuri kembali, menyosialisasikan dan
mengaplikasikan nilai-nilai luhur bangsa perlu didukung, ditingkatkan,
diperluas dan ditransformasikan. Modal sosial dan budaya yang dimiliki
oleh berbasgai etnis di Indonesia ini merupakan sumber daya tak ternilai
dalam melakukan pembangunan dengan tidak mengabaikan jati diri dan
karakter bangsa. Pembangunan yang dilakukan dengan mengabaikan
kearifan lokal, jati diri dan karakter bangsa akan melemahkan bangsa
sendiri. Melakukan pembangunan dengan tidak berbasis pada nilai-nilai
kearifan lokal akan berdampak pada memudarnya identitas suatu
komunitas. Jika ini yang terjadi, maka komunitas yang bersangkutan
akan mengalami tantangan kuat baik karena pengaruh eksternal
maupun internal.
Pemikiran tersebut menggambarkan urgensi nilai-nilai kearifan
lokal dalam pembangunan menemukan relevansinya. Sebagai titik
sentral yang akan menjadi solusinya ada pada etnopedagogi, yaitu kita

19
belajar dari budaya masyarakat, bersama cara-cara masyarakat, dan
untuk kemaslahatan masyarakat.

19

Anda mungkin juga menyukai