2 September 2020
https://jurnal.unigal.ac.id/index.php/artefak/article/view/3518
Abstrak
Artikel ini memiliki tujuan agar dapat memahami berbagai macam pelaksanaan
pendidikan zaman kolonial Belanda di Indonesia setelah Politik Etis diberlakukan. Pendidikan
pada zaman kolonial Belanda memiliki banyak sekali sistem pengajaran dan pembelajaran yang
dibangun Belanda berdasarkan kelompok sosial seperti sekolah untuk pribumi, Belanda/Eropa,
dan Timur Asing. Politik yang dijalankan oleh Belanda yaitu Politik Etis merupakan ujung
tombak terciptanya pendidikan-pendidikan modern di Indonesia. Metode penelitian yang
digunakan metode penelitian kepustakaan. Hasil dari pendidikan zaman kolonial Belanda yaitu
munculnya pembelajaran dengan pendidikan modern yang menumbuhkembangkan nasionalisme
dan pengajaran berbasis soft skill dalam memenuhi kebutuhan tenaga terampil. Dengan demikian,
perkembangan dan pelaksanaan pendidikan di zaman kolonial Belanda di Indonesia memiliki
tujuan meningkatkan martabat bangsa dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Abstract
This article has the aim of understanding various types of education in the Dutch colonial
era in Indonesia after the Ethical Policy was put in place. Education in the Dutch colonial era had
many teaching and learning systems built by the Netherlands based on social groups such as
schools for pribumi (natives peoples), Dutch/European, and Foreign East. The politics that is run
by the Dutch, namely Ethical Politics is the spearhead of the creation of modern education in
Indonesia. The research method used is library research methods. The result of Dutch colonial
education is the emergence of learning with modern education that fosters nationalism and soft
skill-based teaching in meeting the needs of skilled workers. Thus, the development and
implementation of education in the Dutch colonial era in Indonesia had the aim of enhancing the
nation's dignity and educating the nation's life.
Halaman | 91
Jurnal Artefak:
Vol.7 No.2 September 2020 [91-106]
Halaman | 92
Jurnal Artefak:
Vol.7 No.2 September 2020 [91-106]
Halaman | 93
Jurnal Artefak:
Vol.7 No.2 September 2020 [91-106]
pendidikan yang mereka berikan untuk Tidak hanya edukasi, penyebaran irigasi
rakyatnya. Pemerintah Hindia, juga prihatin membantu meningkatkan produksi gula dan
untuk menyediakan tenaga kerja yang patuh tanaman ekspor yang dilakukan oleh pemukim
dengan setidaknya sejumlah pelatihan, dan Belanda/Eropa di tanah desa. Emigrasi
khu-susnya, pekerja klerikal murah untuk penduduk desa Jawa mungkin kurang
pangkat yang lebih rendah dari pegawai negeri signifikan untuk bantuan yang diberikannya
sipil yang luas, memperluas dan semakin kom- ke Jawa daripada untuk menyediakan tenaga
pleks, dan perkebunannya sendiri, dan per- kerja murah yang mengurangi kekurangan
kebunan dan tambang dengan teknologi yang tenaga kerja di perkebunan Belanda di
semakin modern (Rifa’i, 2011; Geschiere, kepulauan lain luar Jawa seperti Sumatera,
1973; Suratminto, 2013). Kalimantan, dan Sulawesi. Perpanjangan
Pendirian sekolah merupakan prinsip pendidikan, jika dijaga dalam batas yang
dasar dari implementasi Politik Etis, sebab masuk akal, membantu menyediakan pegawai
Politik Etis tampaknya menjadi kebijakan dan petugas medis (medical orderlies) untuk
yang menarik ketika didengar, yang membuat kalangan bawah pemerintah dan perusahaan
simpati penduduk pribumi terhadap bisnis.
pemerintah kolonial dari konteks sosial- Dalam konsepsi ini, yang menekankan
politik. Padahal kebijakan etis sebenarnya pentingnya aspek budaya dan politik
merupakan upaya yang dirumuskan oleh para pendidikan, hampir tidak ada perhatian
sarjana Belanda dalam konteks kelanjutan diberikan untuk fungsi sekolah dalam struktur
eksploitasi kekayaan Indonesia, dengan ekonomi koloni juga hubungan antara
demikian kebijakan etis ini tidak dapat pendidikan dan situasi ketenagakerjaan saat
dipisahkan dari kepentingan kolonial, yang itu. Fakta bahwa pekerja terlatih mungkin
notabene merupakan intensifikasi dan tidak dapat menemukan pekerjaan yang cocok
eksploitasi koloni. Munculnya itu bukan tidak dirasakan sebagai kesulitan, karena
kebetulan, tetapi seiring dengan puncak pekerja ini, yang lebih terbuka terhadap ide-
imperialisme Barat sebagai manifestasi dari ide revolusioner jika dihadapkan dengan
politik kapitalisme modern abad ke-19 oleh pengangguran, akan memainkan peran aktif
bangsa Eropa (Sumarno, Aji, & Hermawan, dalam membangun masyarakat baru yang
2019: 370). akan memiliki permintaan yang lebih besar
Pentingnya kelas berpendidikan yang untuk angkatan kerja asli yang terlatih.
dibutuhkan terkait dengan bangkitnya kon- Pendidikan Barat dari pribumi pasti
jungtur internasional, perluasan dunia tidak akan mengarah pada kemajuan populasi ini,
hanya di bidang ekonomi, tetapi juga di bahkan jika untuk beberapa proses mungkin
pemerintahan, dibutuhkan bidang pengajaran tampak lambat tak tertahankan hingga
untuk membawa pekerja ke tingkat yang lebih menjelang tahun 1942. Dan tentu saja tidak
luas di tingkat lokal. Selain itu, upaya untuk semua orang Belanda di Hindia Belanda
memberikan pendidikan bagi penduduk menganggap ini sebagai tujuan utama mereka.
pribumi sebagai upaya untuk melawan Beberapa menganggap perkem-bangan seperti
pendidikan dengan model Barat, untuk itu sama sekali tidak diinginkan, yang lain
memerangi Pan-Islam yang dianggap menginginkannya tidak terlalu penting
berbahaya bagi pemerintah kolonial pasca dibandingkan dengan tujuan lain, seperti
Perang Diponegoro. Strategi ini merupakan pelestarian perdamaian dan ketertiban demi
bagian dari humanitarian untuk pekebun dan pembangunan ekonomi Hindia Belanda dan
investor asing yang memerlukan efektivitas banyak orang memperingatkan agar tidak
kegiatan produksi. tergesa-gesa memberikan pendidikan kepada
mereka (Geschiere, 1973: 154).
Halaman | 94
Jurnal Artefak:
Vol.7 No.2 September 2020 [91-106]
Kebijakan di bidang pendidikan, pada dilematis sekali. Tentu ini, kaum konservatif
akhirnya, membawa dampak kontraproduktif Jawa dan Eropa mendukung adaptasi atas
terhadap pemerintah kolonial Belanda karena nama kemajuan dan yang lainnya mendukung
dengan munculnya kelompok-kelompok adaptasi dari sudut pandang yang lebih
terdidik di Indonesia ternyata menjadi faktor konservatif mengenai betapa pentingnya
pendorong tumbuhnya nasionalisme pendidikan bagi penduduk di Hindia Belanda.
Indonesia. Munculnya kelompok-kelompok Bahkan mereka yang siap menerima
terdidik melahirkan kelompok-kelompok gagasan bahwa beberapa perluasan
orang yang mampu memisahkan apa yang pendidikan diperlukan atas dasar ekonomi dan
baik dan apa yang tidak baik, yang melahirkan politik masih khawatir bahwa hal itu
gerakan nasional Indonesia yang dipimpin berpotensi berbahaya dalam menumbuhkan
oleh orang-orang terpelajar. Menurut ketidakpuasan. Penguasa Eropa secara khusus
Sumarno, R.N. Bayu Aji, dan Eko Satriya curiga terhadap perluasan fasilitas pendidikan
Hermawan (2019: 371) adanya sekolah- tinggi kepada penduduk pribumi, meskipun
sekolah yang mengadopsi sistem pendidikan beberapa siap untuk memberikan beberapa
Barat menggugah rasa empati dengan melihat konsesi kepada anggota aristokrasi
penderitaan para rakyat kecil dan (Zainu’ddin, 1970: 24). Sikap seperti itu dapat
meningkatnya kesadaran politik orang-orang diparalelkan di Eropa pada waktu yang hampir
terpelajar akhirnya membangkitkan harapan bersamaan berkembang ideologi sosialisme
bahwa seorang elite Indonesia akan muncul dan komunisme sehubungan dengan perluasan
untuk memimpin gerakan ini. Meskipun fasilitas pendidikan ke kelas pekerja atau
pendidikan pada awalnya diberikan sebagai penyediaan pendidikan tinggi untuk wanita.
asosiasi politik Belanda yang terintegrasi, Ada orang-orang yang lebih suka
untuk melawan pasukan anti Belanda itu menutup mata, sejauh mungkin, pada
dikha-watirkan kelak menjadi penguasa tujuan kenyataan yang tidak menyenangkan bahwa
politik di koloni tersebut. kekuasaan mereka datang dari penguasa
Tentu saja ada beberapa permintaan kolonial Belanda daripada dari hak mereka
untuk pribumi tertentu dengan pendidikan sendiri sebagai penguasa tradisional Jawa.
Barat karena pribumi kalangan bawah tidak Namun, yang lain bersedia berdamai dengan
mungkin bisa mengakses hal ini tanpa network Belanda dan menerima fasilitas untuk studi
dengan penguasa. Tetapi pasokan pekerja pembelajaran Barat. Efek dari pendidikan
berpendidikan tidak boleh melebihi seperti itu pada individu dapat menunjukkan
permintaan ini, dijelaskan P.L. Geschiere perjuangan yang telah dihadapi banyak orang
(1973: 154) karena ini akan menyebabkan Indonesia yang dipaksa untuk mengatasi
pengangguran dan ketidakpuasan di antara pembelajaran Barat dan mereka adalah budaya
mereka, sedangkan sekolah itu sendiri tradisional (Zainu’ddin, 1970: 29).
mungkin akan tumbuh menjadi lapisan panas
agitasi nasionalistik dan anarkistik subversif. Sekolah-sekolah Anak Belanda dan
Secara karakteristik, kaum konservatif di Pribumi Masa Kolonial Belanda
kalangan bangsawan Jawa dan non Jawa Sekolah pertama bagi anak Belanda
memberi tekanan paling kuat pada hubungan dibuka di Jakarta pada tahun 1817 yang segera
antara pendidikan dan situasi pekerjaan dalam diikuti oleh pembukaan sekolah di kota-kota
koloni saat itu. Minat mereka terpusat pada lain di Jawa. Jumlahnya meningkat dari 7
pengem-balian ekonomi yang dapat diberikan (tahun 1820), 19 (tahun 1835), 25 (tahun
pendidikan dan ketakutan akan orang Eropa 1845), dan 57 (tahun 1857). Prinsip yang
terhadap pendi-dikan penduduk dapat dijadikan pegangan tercantum di Statuta 1818
menyebabkan kelebihan produksi, sisi yang bahwa sekolah-sekolah harus dibuka “di tiap
Halaman | 95
Jurnal Artefak:
Vol.7 No.2 September 2020 [91-106]
tempat bila diperlukan oleh penduduk Belanda peserta didik Europese Lagere School (ELS).
dan diizinkan oleh keadaan” atau secara lebih Peserta didik di tingkat Hogere Burger School
khusus, bila jumlah murid mencapai 20 di (HBS) dimaksud bagi murid-murid Belanda
Jawa atau 15 di luar Jawa. Seorang inspektur dan golongan atas yang sanggup
pendidikan diangkat dan pada tahun 1830 menyekolahkan anaknya ke ELS kelas satu,
telah terdapat sekolah di ke-banyakan kota yang mengajarkan bahasa Perancis sebagai
(Penders, 1968: 1-29). syarat masuk HBS di samping ujian masuk
Pendirian sekolah dikarenakan seba- (Nasution, 2008: 134). Peserta didik menurut
gian besar beban ditanggung oleh pribumi jenis kelamin pada mulanya HBS tidak
yang pada akhir abad ke-19 membayar sekitar menerima peserta didik wanita, dikarenakan
80% dari total jumlah pajak yang dipungut banyak tentangan mengenai koedukasi bagi
selama masa cultuurstelsel maupun wanita/perempuan. Selain itu masih terdapat
Agrarische Wet 1870 (Furnivall, 1944: 343). anggapan bahwa penerimaan peserta didik
Selain itu, ada jenis ketimpangan regional wanita akan menimbulkan persoalan, sehingga
yang khas. Tingkat melek huruf lebih tinggi di menuai pro dan kontra. Namun pada tahun
daerah luar Jawa daripada di daerah pusat 1891 akhinya terdapat perubahan, yaitu gadis-
(Jawa dan Batavia). Pada tahun 1930, gadis diperboleh-kan dan diterima untuk
penduduk pribumi laki-laki dan perempuan di menjadi peserta didik di HBS (Nasution, 2008:
kepulauan luar Indonesia kolonial berada pada 134). Europese Lagere School (ELS) pertama
13,4% dan 4,0% masing-masing terha-dap didirikan pada tahun 1817 di Batavia (Jakarta).
9,7% dan 1,4% di Jawa. Menariknya, untuk Sekolah serupa ini boleh didirikan di tiap
tingkat minoritas Cina adalah sebaliknya, tempat asal jumlah muridnya mencapai 20 di
dengan 33,2% dan 7,7 % di kepulauan luar dan jawa dan 15 di luar jawa. Pada tahun 1920
47,5% dan 16% di Jawa (Frankema, 2014: 4- jumlah ELS telah meningkat menjadi 196
5; Furnivall, 1943: 76). buah (Penders, 1968: 26-27).
Pada akhir abad ke-19 hampir tercapai Sejak pertengahan abad ke-19
taraf pendidikan universal bagi anak-anak kebanyakan orang Belanda telah
Belanda di seluruh Indonesia. Anak-anak yang menyekolahkan anaknya dan tak lama
tak mampu dapat dibebaskan dari pembayaran kemudian telah tercapai pendidikan universal
uang sekolah (Nasution, 2008: 9). Suatu bagi penduduk berkebangsaan Belanda/Eropa.
sekolah menengah didirikan pada tahun 1860 Ini hanya mungkin dengan usaha dan
yang membuka kesempatan bagi anak-anak dukungan penuh dari pemerintah, dengan
Belanda untuk melanjutkan pelajarannya ke membuat ijazah ELS syarat untuk jabatan
universitas di negeri Belanda, atau untuk pemerintah, dan mendatangkan guru
menduduki tempat yang tinggi dalam secukupnya dari negeri Belanda. Sekolah ini
pemerintahan. Suatu ciri yang khas dari yang semula di-maksud untuk anak-anak
pemerintah kolonial, yaitu fasilitas pendidikan miskin mula-mula bermutu rendah karena
yang bermutu tinggi senantiasa dipertahankan guru yang kurang berwenang dan latar
selama masa kolonial yang menjaga agar belakang murid yang kurang baik.
anak-anak Belanda/Eropa selalu mendapat Orang tua yang mapan dan kaya, yang
pendidikan yang lebih baik daripada anak tidak menginginkan anaknya bercampur
Indonesia. denagn anak-anak golongan rendah. Mereka
Peserta didik Europese Lagere School lebih suka mengirim anaknya ke negeri
(ELS) menerapkan sistem pendidikan bahwa Belanda atau sekolah swasta yang memiliki
semua anak orang Eropa dan mereka yang kualitas pendi-dikan yang lebih baik daripada
secara legal dipersamakan dengan orang sekolah-sekolah yang diselenggarakan
Eropa berhak untuk memasuki dan menjadi pemerintah Hindia Belanda. Maka dirasakan
Halaman | 96
Jurnal Artefak:
Vol.7 No.2 September 2020 [91-106]
perlunya sekolah khusus untuk anak-anak dari siswa masuk ke universitas dan untuk jabatan
golonagn tinggi dan pada tahun 1833 didi- yang tidak memperlukan diploma universiter.
rikan Eerste Europese Lagere School (ELS Pada tahun 1867 didirikan HBS pertama
Pertama) yang memungut uang sekolah cukup di Jakarta, 1875 di Surabaya, 1877 di
tinggi yakni f. 6 sebulan (Penders, 1968: 27). Semarang. HBS Surabaya dan Semarang yang
Mereka yang tidak sanggup harus sedianya lamanya 3 tahun menjadi 5 tahun
memasuki ELS bukan pertama, ELS pertama, pada tahun 1879. Pada tahun 1882 didirikan
yang menyajikan pendidikan yang lebih tinggi HBS dengan jenjang tempuh studi 3 tahun
mutunya, tidak menerima anak-anak pribumi untuk anak wanita di Batavia. Kurikulum HBS
sekalipun anak ningrat tinggi dari bangsawan di Hindia Belanda tak sedikit pun berbeda
Jawa maupun bangsawan non Jawa. ELS dengan yang di negeri Belanda. Kurikulum ini
menetukan pola sekolah rendah 7 tahun, yang dirasa mantap tanpa banyak mengalami
kemudian diikuti HCS dan HIS, sehingga perubahan selama eksis-tensinya mengajarkan
sekolah-sekolah khusus untuk pribumi seperti pengetahuan Barat dan pembelajaran teacher
Volksschool dan Vervolgschool senantiasa sentris dan dapat bertahan terhadap berbagai
dalam kedaan tidak lengkap dan dengan kritik dari berbagai pihak. Meer Uitgebreid
demikian tidak memperoleh kesempatan Lager Onderwijs (MULO) tahun 1903 adalah
untuk kelanjutan pelajaran ke sekolah tahun pendirian kursus MULO yang disambut
menengah berbahasa Indonesia dan Melayu baik oleh kaum Indo-Eropa dan mereka yang
(Suratmino, 2013: 80). Bagi anak pribumi, tidak sanggup menyekolahkan anaknya ke
sekolah yang bercorak Barat tak mungkin HBS yang dianggap mahal. MULO juga
menjadi sekolah umum bagi seluruh rakyat, dianggap dapat memungkinkan lulusannya
karena akan menjauhkan anak dari bekerja di kantor pemerintahan (Sukardjo &
kebudayaannya. Lagi pula mempelajari Komarudin, 2009: 127) .
bahasa Belanda sukar dan menelan waktu Pada tahun 1914, kursus MULO diubah
banyak (Penders, 1968; Frankema, 2014). menjadi sekolah MULO. Sekolah ini
Kesadaran tidak menguasai bahasa merupakan sekolah pertama yang tidak
Belanda dengan baik sepenuhnya senantiasa mengikuti pola pendidikan yang berorientasi
mencekam orang Indonesia dengan rasa ke Barat dan tidak mencari penyesuaian
inferiornitas Timur dalam menghadapi orang dengan Hindia Barat. Kalangan tertentu
Belanda yang pada umumnya menuntut menginginkan MULO dikhususkan bagi anak-
pembelajaran yang sederajat. Kurikulum ELS anak Belanda, akan tetapi diputuskan agar
yang sebagian besar ditetapkan di Belanda tak MULO menjadi lembaga pendidikan untuk
mungkin relevan dengan pemenuhan semua kalangan. Sekolah Pertukangan
kebutuhan bangsa Indonesia menge-nai tenaga (Ambachtschool) merupakan sekolah
terampil. Namun ELS tetap diperta-hankan kejuruan/sekolah vokasi pertama di Hindia
pemerintah Hindia Belanda demi kepen- Belanda. Sekolah ini diusahakan oleh swasta
tingan segelintir anak yang mungkin kembali yang sejak tahun 1870 telah menanamkan
ke tanah airnya. Hogere Burger School (HBS) investasi saat UU Agraria 1870, dan dibuka di
perlunya sekolah menengah di Hindia Belanda Batavia. Sekolah Teologi Kristen yang lebih
sehingga anak-anak pribumi tidak perlu lagi bercorak sekolah dasar dengan ciri-ciri
pergi ke Belanda (Suratminto, 2013: 79). Pada pertukangan ini bertujuan untuk membantu
tahun 1848 tokoh-tokoh di Indonesia golongan peranakan Indo-Eropa agar dapat
mengadakan rapat di Batavia untuk mencari penghidupan yang layak. Sekolah
mengajukan permohonan ke-pada raja pertukangan pertama yang diusahakan oleh
Belanda agar didirikan sekolah mene-ngah. pemerintah dibuka pada tahun 1860 di
Tujuan sekolah ini untuk mempersiapkan Surabaya. Sekolah ini diperuntukkan bagi
Halaman | 97
Jurnal Artefak:
Vol.7 No.2 September 2020 [91-106]
golongan Eropa (Sukardjo & Komarudin, Agraria 1870 yang memungkinkan pihak
2009: 128). swasta menyewa tanah selama 75 tahun
Berkembangnya ide feminisme di kepada pemerintah Hindia Belanda
Eropa, mendesak diadakan pendidikan bagi (Kartodirdjo, 2014b). Tahun 1852, Sekolah
kalangan wanita di Hindia Belanda. Ide-ide Pendidikan Guru dibuka pertama kali dan
liberal yang diterapkan bagi anak-anak didirikan pula Departemen Pendidikan,
Belanda dengan menyediakan fasilitas Agama, dan Industri yang mengurusi ke-
pendidikan secukupnya, tidak dilakukan bagi giatan pendidikan nasional kolonial di Hindia
anak-anak pribumi. Karena pemerintah hanya Belanda (Zainu’ddin, 1970: 23; Suratminto,
bertanggung jawab membuat peraturan tanpa 2013: 78). Setelah 1870, ekonomi memburuk,
kewajiban menyediakan sekolah. Pendidikan membuat Belanda memotong gaji guru dan
bagi anak Indonesia tidak diabaikan sepe- timbul kecenderungan untuk menyerahkan
nuhnya. Daendels dan Van Der Capellen pendidikan ke swasta untuk meringankan
menganjurkan pendidikan rakyat. Tetapi tidak beban finansial. Mensubsidi sekolah diang-
berhasil untuk mengembangkan pendidikan, gap lebih murah daripada memelihara sekolah
hanya 3 sekolah awal yang didirikan sebagai pemerintah. Krisis gula tahun 1885
respon pemerintah kolonial. Awal abad 18, menimbulkan kerugian. Pengeluaran dibatasi,
pemerintah tak menyediakan satu sekolahpun biaya pendidikan dikurangi, sejumlah sekolah
bagi anak pribumi. Agar menghormati guru harus ditutup dan perluasan sekolah
pribumi serta lembaga-lembaga adat mereka rendah segera dihentikan. Groenevelt
dan alasan finansial akibat Perang Diponegoro menganjurkan 2 jenis sekolah, yaitu sebagai
1830 yang turut menghambat pendirian berikut. 1). Sekolah Kelas Satu untuk anak
sekolah-sekolah ke seluruh daerah di Hindia golongan atas yang akan menjadi pegawai, 2).
Belanda. Kesulitan keuangan ini Sekolah Kelas Dua untuk penduduk pribumi
menyebabkan raja Belanda menggunakan dari golongan menengah dan bawah,
kerja paksa rodi untuk memperoleh keun- selebihnya kurikulum sekolah ditentukan
tungan maksimal selama masa cultuurstelsel pemerintah pusat. Berdasarkan keputusan raja
(Penders, 1968: 14). tanggal 28 September 1892, termuat dalam
Sistem ini membuka kesempatan Lembaran Negara (Staatblad) nomor 125
berbagai penyalahgunaan yang melampaui tahun 1893, terjadi reorganisasi pada
batas kemanusiaan. Tetapi kekejaman ini kebijakan pendidikan dasar sebagai berikut.
menimbulkan keuntungan besar yaitu Sekolah dasar bumiputera dibedakan menjadi:
memperkerjakan orang bumiputera untuk a. Sekolah Dasar Kelas Satu (De Eerstse
menjaga perkebunan, peme-rintah sedapatnya School) adalah sekolah yang
harus memberi pendidikan. Tahun 1848, diperuntukkan bagi anak-anak para
pertama kalinya diberikan sejumlah ƒ. 25.000 pemuka, tokoh terkemuka, dan orang-
untuk pendirian sekolah bagi anak orang terhormat bumiputera.
bumiputera/ pribumi (Zainu’ddin, 1970: 22; b. Sekolah Dasar Kelas Dua (De Tweede
Suratminto, 2013: 78). Saat itu, pemerintahan Klasse School) adalah sekolah bagi anak-
dipegang oleh kaum liberal yang mempunyai anak bumiputera/pribumi pada umumnya,
pendidikan yang lebih luas. Walter Robert diarahkan untuk memenuhi kebutuhan
Baron van Hoevell yang datang ke Hindia pendidikan bagi masyarakat biasa pada
Belanda, berbuat banyak untuk menarik umumnya (Gunawan, 1985: 13; Jusuf,
perhatian rakyat Belanda pada keadaan yang 2012: 20). Sekolah Dasar Kelas Satu itu
menyedihkan di Hindia Belanda. kemudian menjadi ELS, untuk anak-anak
Tahun 1870, sistem tanam paksa orang Belanda di Indonesia dan anak
dihapus-kan dan digantikan Undang-Undang bangsawan; HIS (Hollandsch Inlandsche
Halaman | 98
Jurnal Artefak:
Vol.7 No.2 September 2020 [91-106]
Halaman | 99
Jurnal Artefak:
Vol.7 No.2 September 2020 [91-106]
badan penyebar buah pikiran dan d. Hollands Inlandsche School (HIS). Alasan
pengetahuan Barat, mendorong rayat agar prinsip bagi pendirian HIS adalah
menjadi lebih sadar akan pendidikan keinginan yang kian menguat di kalangan
sekolah dan meletakkan dasar untuk orang pribumi untuk memperoleh
pendidikan universal. Menurut I.J. pendidikan, khususnya pendidikan Barat.
Brugmans (1938) berfungsi sebagai Keinginan itu adalah konsekuensi yang
alternatif murah dan dasar untuk wajar dari perubahan sosial politik di
menjangkau penduduk pribumi Timur Jauh. Kurikulum HIS seperti
mengenyam pendidikan Barat. Untuk tercantum dalam Statuta 1914 No. 764
melan-jutkan pendidikan menengah dari meliputi semua mata pelajaran ELS,
Sekolah Desa yaitu Vervolgsschool, yang bahkan lebih kaya dengan adanya
masih merupakan bagian dari Sekolah matapelajaran menulis bahsa Melayu dan
Desa dengan jenjang pendidikan menengah Arab, secara fleksibel. Kurikulum HIS
bagi masya-rakat perdesaan seperti halnya ELS tidak banyak
(Suratminto,2013:80). mengalami perubahan. Kurikulum ini tidak
Ailsa Zainu’ddin (1970:26) menganalisis disesuaikan dengan kebutuhan anak dan
sekolah-sekolah desa memainkan sedikit masyarakat Hindia Belanda akan tetapi
atau tidak sama sekali peran dalam berorientasi pada Netherlands sentris.
transmisi budaya dan dalam sosialisasi e. Algemene Middelbare School (AMS).
politik anak-anak desa. Nilai-nilai Pendirian MULO sebagai lanjutan segala
tradisional desa ditransmisikan baik macam sekolah rendah yang berorientasi
melalui keluarga, melalui kegiatan sehari- Barat, khususnya HIS merupakan langkah
hari di desa, atau melalui sa-rana yang sangat penting dalam perkem-bangan
tradisional seperti pementasan wayang. suatu sistem pendidikan yang lengkap di
Namun sudah jelas bahwa, bahkan untuk Indonesia. Langkah berikutnya dibukanya
program tiga tahun minimal di desa-desa, AMS. Sekolah menengah ini merupakan
pengeluaran yang jauh lebih besar akan superstruktur MULO yang terbagi atas
diperlukan. Rencana untuk bagain A yang mengutamakan sastra dan
menghubungkan sekolah-sekolah bahasa sejarah dan bagian B yang mengutamakan
daerah dengan instruksi teknis ditolak matematika dan fisika. Bagian A dibagi
karena terlalu mahal. Salah satu tujuan dari lagi menjadi A1 untuk Studi Klasik Timur
pendidikan yang di-perluas adalah untuk dan bagian A2 untuk Studi Klasik Barat.
mendorong keman-dirian, dan seberapa f. Sekolah Raja (Hoofdenschool). Sejalan
baik hal ini dapat dicapai daripada dengan dengan kebutuhan pemerintah kolonial
membuat penduduk desa menyediakan untuk memperoleh tenaga terdidik dari
gedung sekolah sendiri dan golongan bangsawan pribumi yang akan
membiayainya? Ailsa (1970:25) dilibatkan dalam pekerjaan administrasi
menjelaskan dari tahun 1907, pendidikan pemerintahan-nya, maka didirikan Sekolah
bahasa daerah ditempatkan di lingkungan Raja di Tondano pada tahun 1865 dan
desa, untuk di-biayai secara lokal dan 1875. Sekolah itu kemudian didirikan juga
komunal. Penduduk desa menunjukkan di Bandung, Magelang, dan Probolinggo
keengganan yang cukup besar dalam pada tahun 1875. Bahasa pengantarnya
menyediakan dana untuk bangunan asli dan adalah bahasa Melayu dan Belanda.
murid untuk sekolah karena keterbatasan Setelah mengalami percobaan dan
biaya dan tempat untuk menyediakan perubahan pada tahun 1900, Sekolah Raja
bangunan sebagai sekolah desa. diberi nama OSVIA (Opleiding School
voor Indische Ambtenaren atau Sekolah
Halaman | 100
Jurnal Artefak:
Vol.7 No.2 September 2020 [91-106]
Halaman | 101
Jurnal Artefak:
Vol.7 No.2 September 2020 [91-106]
keleluasaan dalam menerima murid yaitu tidak Sekolah-sekolah Orang Cina Perantauan
terlalu ketat dalam menerapkan kriteria yang dan Sistem Penilaian dalam Pembelajaran
terbuka untuk mobilitas vertikal golongan di Sekolah-sekolah di Masa Kolonial
Belanda
pribumi. Sekolah-sekolah liar dikenakan wilde
Menjelang akhir abad ke-19, sejumlah
scholen ordonantie (Kartodirdjo, 2014b).
orang Cina peranakan yang berpendidikan
Memperhatikan pertumbuhan sekolah-
Belanda membenci diskriminasi sosial
sekolah pribumi yang oleh pemerintah Hindia
pemerintah kolonial melalui pasal 131 dan 163
Belanda sebut wilde scholen atau wild school,
Indiesche Staatsregeling (IS) terhadap anak-
pemerintah khawatir ketika mereka menyadari
anak keturunan Cina. Maka, pada tanggal 17
bahwa jika seluruh rakyat jelata dalam jumlah
Maret 1900, orang Cina peranakan yang di
besar memiliki dan menempuh pendidikan
pimpin Khoe Siauw Eng mendirikan
tinggi, mereka tidak akan berkeinginan
perkumpulan Tiong Hoa Hwe Koan (THHK)
menjadi pekerja kasar (Suratminto, 2013:82).
guna memajukan pendidikan dan kebudayaan
Sekolah-sekolah liar tahun 1930-1942
masyarakat Cina peranakan di Hindia Belanda
maupun yang sudah ada menjadi pelopor
(Jusuf, 2012: 26). Menurut Iskandar Jusuf
semangat nasionalisme tumbuh lebih
(2012: 84), pendirian THHK ini bertujuan
bersemangat di Hindia Belanda. Itu adalah
selain memberikan pengajaran ajaran
titik awal pertumbuhan pahlawan nasional
Konfusius juga mengubah kebiasaan (habit)
yang kemudian berbagi kontribusi besar dalam
pemborosan uang untuk pesta perkawinan dan
memperjuangkan kemerdekaan Indonesia
kematian. Pada saat yang sama, orang Cina
untuk mengusir kolonialisme Belanda.
peranakan yang berpendidikan Barat dan
Ordonansi sekolah liar tahun 1932
membenci kebijakan Belanda, sama-sama
menetapkan bahwa semua guru yang bekerja
kritis terhadap kebiasaan yang berlaku di
di sekolah yang tidak dikenal harus men-
masyarakat mereka sendiri, terutama praktik
daftarkan diri mereka ke pihak berwenang
pernikahan dan pemakaman yang mereka rasa
setempat dan menjalani pemeriksaan kualitas
takhayul dan sangat mahal (Suryadinata,
oleh perwakilan resmi negara (Frankema,
1972: 53).
2014:14). Protes menentang peraturan itu
Pada tanggal 25 April 1905, Dewan
sangat sengit, dan pemerintah harus mencabut
Hindia menunjukkan kekhawatirannya dengan
undang-undang itu hanya beberapa bulan
memberi nasehat kepada pemerintah untuk
kemudian. Petrus Johannes Idenburg dalam
mendirikan juga sekolah bagi orang Cina
fungsinya sebagai Direktur Pendidikan
dengan sistem pendidikan Barat. Namun,
mengusulkan perubahan drastis dalam sistem
usulan tersebut ditolak. Barulah tanggal 28
pendidikan sekolah, termasuk penghapusan
Juni 1907, Dewan Hindia mengusulkan
prinsip kesesuaian dan langkah-langkah untuk
pendirian sekolah-sekolah Belanda untuk
mengurangi kesenjangan antara pendidikan
anak-anak keturunan Cina di Hindia Belanda
elit dan nasional. Namun, mustahil untuk
(Jusuf, 2012: 87). Usulan tersebut disetujui
menilai apakah ini benar-benar awal dari
guna mencegah bangkitnya nasio-nalisme
kebijakan pendidikan yang sepenuhnya baru
orang-orang Cina di Hindia Belanda dan
sejak pemerintahan Belanda di Hindia segera
memiliki hubungan politik dengan orang Cina
setelah itu berakhir (Geschiere, 1973: 171).
totok di dataran Cina. Adapun bahasa Cina
diberikan di kelas malam dengan guru khusus
akan bertanggung jawab atas kelas-kelas ini
yang akan mencakup kursus tentang budaya,
sastra, dan bahasa Cina (Suryadinata, 1972:
58).
Halaman | 102
Jurnal Artefak:
Vol.7 No.2 September 2020 [91-106]
Jika memang harus disebutkan layanan Akhirnya, ada kesenjangan yang cukup
pendidikan khusus untuk orang-orang Cina besar dalam pendaftaran etnis dan tingkat
bisa dikatakan hanyalah satu sekolah, yakni melek huruf. Tentu saja, sebagian besar anak-
Hollandsch Chineesche School (HCS). HCS anak Belanda dan sebagian besar anak-anak
pertama kali berdiri di Batavia kemudian Indo-Eropa terdaftar di sekolah-sekolah
menyebar di Jawa dan Sumatera termasuk di Eropa, di mana mereka diajarkan kurikulum
Garut (lihat gambar 2). Jika ditelusuri lebih sekolah dasar Belanda standar. Tetapi ada juga
lanjut berdirinya HCS bukan karena inisiatif kesenjangan yang cukup besar antara Cina dan
pemerintah tetapi karena desakan dari pihak Indonesia. Kesenjangan ini terlihat jauh lebih
warga Cina yang menginginkan pendidikan jelas dalam tingkat melek huruf daripada
yang merata dan lebih baik. Pendirian HCS dalam tingkat pendaftaran sekolah yang
menunjukkan dengan jelas bagaimana sekolah tercatat secara resmi (Frankema, 2014: 5). Ini
digunakan sebagai alat politik untuk mungkin menunjuk pada peran penting untuk
mencegah orang Cina menjadi tak loyal pendidikan rumah di kalangan orang Cina,
terhadap pemerintah Belanda. Sikap acuh tak yang akan sesuai dengan kenyataan bahwa
acuh akan pendidikan anak-anak Cina tiba- orang Cina adalah yang pertama memberikan
tiba berubah menjadi minat yang besar akan tekanan pada otoritas kolonial untuk
pendidikan, mereka di paksa oleh perubahan mendukung perluasan sekolah-sekolah Cina
konstelasi politik di timur jauh. Rasa takut ke seluruh daerah seperti di Kota Malang,
akan kehilangan loyalitas orang Cina Yogyakarta, Singkawang, Makassar,
mendorong Belanda untuk menawarkan Pasuruan, dan lain-lain.
kesempatan belajar yang paling baik yang ada, Selain itu juga terdapat HCS bersubsidi,
yakni HCS yang membuka kesempatan untuk didirikan pada tahun 1924 dengan nama
memasuki MULO maupun HBS. HCS Christelijk Hollands Chineesche School di
mempunyai dasar yang sama dengan ELS. Niuwe Kerkstraat (sekarang Bubutan Koblen)
Bahasa Perancis biasanya diajarkan pada sore di Kota Surabaya. Kapasitas sekolah tersebut
hari seperti halnya dengan bahasa Inggris, terdiri 119 murid dan 5 guru. Pada tahun 1926
yang sebenarnya tidak di berikan pada ELS, membuka sekolah khusus untuk anak wanita
namun diajarkan berhubung dengan kepen- Tionghoa dengan nama Hollandsch
tingan bagi perdagangan dan administrasi Chineesche Meisje School di Cannalaan
publik (Frankema, 2014: 6). (sekarang Jalan Kanal) Kota Surabaya
mempunyai 121 murid dan 5 guru. Kurikulum
yang diajarkan sama dengan kuri-kulum ELS
yaitu menulis, membaca, berhitung, Bahasa
Belanda, sejarah, dan ilmu bumi, namun
ditambah pelajaran kete-rampilan untuk
murid-murid perempuan yaitu Bijbel dan
sejarah Inggris (Prayudi & Salindri, 2015: 25).
Penilaian pada masa kolonial hampir
mirip seperti sekarang ini. Walaupun
instrumennya belum beragam seperti saat ini.
Angka yang digunakan untuk apresiasi hasil
Sumber: Archief Zusters Onder de Bogen, yang diperoleh adalah dari 0-10. Instrumen tes
Maastricht tetap merupakan alat evaluasi yang uta-ma.
Dapat dikatakan hanya pemberian tugas yang
Gambar 2. Hollandsch Chineesche School di merupakan alat evaluasi tambahan. Memang
Garut, Jawa Barat.
keadaan ini pun tidak berbeda dengan prinsipil
Halaman | 103
Jurnal Artefak:
Vol.7 No.2 September 2020 [91-106]
dengan alat evaluasi yang digunakan guru mengabdi kepada penjajah atau setelah pasca
sekarang. Walaupun demi-kian guru belum kemerdekaan adalah untuk kepentingan para
mengenal bentuk tes obyektif. Bentuk soal penguasa pada saat itu dalam menggaungkan
yang digunakan masih berupa uraian (esai). nasionalisme dan persatuan di dalam
Bentuk ini digunakan sampai pasca Indonesia menemukan jati diri pendidikan nasional.
merdeka dan terus digunakan tanpa ada Karena, pada saat penjajahan semua bentuk
perubahan dalam bentuk sampai nantinya pendidikan dipusatkan untuk mebantu dan
digunakan bentuk tes obyektif. mendukung kepentingan penjajah. Pendidikan
Pendidikan kolonial untuk golongan di zaman kolonial Belanda adalah pendidikan
bangsawan serta penguasa tidak diragukan yang menjadikan penduduk Indonesia
lagi mutunya. Para pemimpin nasional diberi bertekuk lutut di bawah ketiak ko-lonialis.
kesempatan memperoleh pendidikan di Bangsa ini tidak diberikan ruang yang
sekolah-sekolah kolonial bahkan beberapa lebar guna membaca dan mengamati banyak
mahasiswa yang dapat melanjutkan ke realitas pahit kemiskinan yang sedemikian
universitas terkenal di Eropa. Dalam sejarah membumi di bumi pertiwi. Dalam pendidikan
pendidikan Indonesia dapat dikatakan bahwa kolonialis, pendidikan bagi bangsa ini
intelegensi bangsa Indonesia tidak kalah bertujuan membutakan bangsa ini terhadap
dengan orang Eropa, Timur Asing, dan Indo- eksistensi dirinya sebagai bangsa yang
Eropa. Masalah yang dihadapi oleh bangsa seharusnya dan sejatinya wajib dimerdekakan.
Indonesia pada waktu itu adalah kekurangan Konsep ideal pendidikan kolonialis adalah
kesempatan yang sama yang diberikan kepada pendidikan yang sedemikian mungkin mampu
semua anak bangsa. mencetak para pekerja yang dapat
Sistem pendidikan masa kolonial dipekerjakan oleh penjajah pula, bukan lagi
Belanda merumuskan bagaimana untuk memanusiakan manusia sebagaimana
mengintegrasikan pendidikan bagi pribumi ke dengan konsep pendidikan yang ideal itu
dalam sistem pendidikan Eropa yang ada, sendiri.
lebih maju, tetapi juga agak mahal yang telah Tujuan pendidikan kolonial tidak
dirancang untuk anak-anak elit Belanda, Cina, terarah pada pembentukan dan pendi-dikan
dan pribumi. Sampai akhir abad ke-19, anak muda untuk mengabdi pada bangsa dan
pendidikan populer (volksonderwijs) telah tanah airnya sendiri, akan tetapi dipakai untuk
ditinggalkan hampir seluruhnya ke pasar menanamkan nilai-nilai dan norma-norma
swasta. Salah satu masalah utama adalah masyarakat penjajah agar dapat di transfer
apakah sekolah Islam pribumi dan sekolah oleh penduduk pribumi dan menggiring
misionaris Kristen harus diintegrasikan ke da- penduduk pribumi menjadi budak dari
lam sistem pendidikan umum yang humanis pemerintah kolonial (Kartono, 1997: 49-50).
(Frankema, 2014: 5). Karena, pemerintah Hin- Selain itu, agar penduduk pribumi menjadi
dia Belanda berupaya mengamankan ne- pengikut negara yang patuh pada penjajah,
tralitas dalam urusan agama, yaitu mengejar bodoh, dan mudah ditundukkan serta
prinsip laisisme (kebijakan tidak berdasar dieksploitasi, tidak memberontak, dan tidak
pada agama dan agama merupakan urusan menuntut kemerdekaan bangsanya.
masing-masing tiap individu) meskipun di-
izinkan berdiri sekolah berbasis agama.
Walaupun pendidikan sebelum kemer- KESIMPULAN
dekaan begitu banyak persoalan yang menerpa
dunia pendidikan di Indo-nesia. Pendidikan Dari pernyataan diatas kita tahu bahwa
pada saat itu masih dipengaruhi oleh pendidikan zaman kolonial Belanda sangat
kolonialisme, alhasil bangsa ini dididik untuk mengutamakan pendidikan yang cukup tinggi
Halaman | 104
Jurnal Artefak:
Vol.7 No.2 September 2020 [91-106]
bagi anak-anak Belanda. Tidak semua rakyat Belanda. Memang saat zaman kolonial
Indonesia bisa mengenyam pendidikan yang Belanda, pendidikan hanya dipusatkan untuk
sama dengan anak-anak Belanda mungkin membantu dan semuannya untuk kepentingan
hanya ada beberapa diantaranya adalah penjajah terutama dalam pemenuhan
seorang bangsawan dan orang kaya saja kebutuhan tenaga ahli dan terampil. Namun,
karena sekolah yang diperuntukkan bagi anak- dalam sejarah pendidikan dapat dikatakan
anak Belanda adalah sekolah mahal dan bahwa intelegensi bangsa Indonesia tidak
banyak yang tidak mau jika anak-anak kalah dengan penjajah karena banyak
Belanda harus berbaur dengan anak pribumi bermunculan tokoh-tokoh bangsa yang
yang notabenenya miskin dan tidak ber- berpendidikan Barat membentuk organisasi
pengetahuan luas. sosiopolitik dan budaya modern dengan
Bahkan orang tua yang tidak ingin anak- strategi kooperatif maupun nonkooperatif.
anaknya berbaur dengan pribumi
mengirimkan anak-anak mereka ke negeri
Belanda. Namun, Pendidikan bagi anak Indo- DAFTAR PUSTAKA
nesia tidak diabaikan sepenuhnya. Daendels
Brugmans, I.J. 1938. Geschiedenis van het
dan Van Der Capellen menganjurkan onderwijs in Nederlandsch-Indië.
pendidikan rakyat Indonesia walaupun tidak Groningen: Wolters.
sepenuhnya berhasil hanya 3 sekolah Frankema, Ewout H.P. 2014. Why was the
didirikan. Karena mendirikan sekolah Dutch legacy so poor? Educational
merugikan Belanda lagipula saat itu Belanda Development in the Netherlands Indies,
kekurangan dalam finansial. Maka Belanda 1871-1942. CGEH Working Paper
Series No. 54. Utrecht, Netherlands:
menyerahkan sekolah untuk dikelola swasta.
Centre for Global Eco-nomic History
Karena kebutuhan Belanda akan tenaga Universiteit Utrecht.
terdidik semakin mendesak, maka Furnivall, John Sydenham. 1943. Educational
berkembanglah sekolah-sekolah lain seperti Progress in Southeast Asia. New York:
sekolah desa, HIS, dan sekolah raja, meskipun Institute of Pacific Relations.
tidak semua dari pribumi kalangan bawah dan Furnivall, John Sydenham. 1944. Netherlands
menengah bisa menikmati bangku sekolah. Indies: A Study of Plural Economy.
Cambridge: Cambridge University
Dari segi penilaian yang digunakan
Press.
pada zaman kolonial hampir sama dengan saat Gunawan, Ary H. 1985. Kebijakan-Kebijakan
ini meskipun dalam instrumennya belum Pendidikan di Indonesia. Jakarta: Bina
beragam, tapi penilaian menggunakan angka Aksara.
0-10 sama seperti saat ini. Setidaknya berkat Geschiere, P.L. 1973. The Education Issue in
adanya sekolah-sekolah tersebut banyak the Dutch East Indies in the Twen-tieth
Century Opinions on the Ques-tion of
bermunculan tokoh-tokoh pahlawan yang
“Western Education” versus “National
terdidik (cendekiawan), seperti Ki Hadjar Education” in W. Brulez, A.C.F. Koch,
Dewantara, Soekarno, M. Hatta, Sutan Sjahrir, E.H. Kossman, F.C. Spits, Joh. de
dr. Radjiman Wediodiningrat, dr. Cipto Vries, P. L. Geschiere, Alice. C. Carter,
Mangunkusumo, dan lain-lain. Pendidikan & J. Dhondt. 1973. Acta Historiae
kolonial untuk bangsawan pribumi juga tidak Neerlandicae/Studies on the History of
diragukan lagi bahkan banyak dian-tarannya the Netherlands VI (pp. 146-174). The
Hague, Nether-lands: Martinus Nijhoff.
yang melanjutkan ke universitas terkenal di
Jusuf, Iskandar. 2012. Dari Tiong Hoa Hwe
Eropa. Mereka tentu saja dipimpin oleh Koan 1900 sampai Sekolah Terpadu
prinsip-prinsip non-asimilasi, tetapi konsep- Pahoa 2008. Tangerang Selatan:
konsep mereka tidak banyak berpengaruh Sekolah Terpadu Pahoa.
langsung pada kebijakan pemerintah kolonial
Halaman | 105
Jurnal Artefak:
Vol.7 No.2 September 2020 [91-106]
Kartodirdjo, Sartono. 2014b. Pengantar Sutimin, Leo Agung & T. Suparman. 2012.
Sejarah Indonesia Baru 1900-1942: Sejarah Pendidikan. Yogyakarta:
Sejarah Pergerakan Nasional dari Ombak.
Kolonialisme sampai Nasionalisme. Zainu'ddin, Ailsa. 1970. Education in the
Jilid 2. Yogyakarta: Ombak. Netherlands East Indies and the
Kartono, Kartini. 1997. Tujuan Pendidikan Republic of Indonesia. Melbourne
Holistik Mengenai Tujuan Pendi-dikan Studies in Education, 12 (1) (January
Nasional. Jakarta: Pradnya Paramita. 1970): pp. 17-82.
Moehadi dkk. 1997. Sejarah Pendidikan Zed, Mestika. 2014. Metode Penelitian
Daerah Jawa Tengah. Jakarta: Proyek Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Obor
Pengkajian dan Pembinaan Nilai-nilai Indonesia.
Budaya Pusat Direktorat Sejarah dan
Nilai Tradisional Direktorat Jenderal
Kebudayaan
Nasution, S. 2008. Sejarah Pendidikan
Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.
Prayudi, Gusti Muhammad & Dewi Salindri.
2015. Pendidikan pada Masa
Pemerintahan Kolonial Belanda dii
Surabaya Tahun 1901-1942. Publika
Budaya, 1 (3) (Maret 2015): 20-34.
Penders, Christiaan Lambert Maria. 1968.
Colonial Education Policy and Practice
in Indonesia: 1900-1942. Thesis Ph.D.
unpublished. Canberra: Department of
Pacific History, The Australian
National University.
Rifa’i, Muhammad. 2011. Sejarah Pen-
didikan Nasional Dari Masa Klasik
hingga Modern. Jogjakarta: Ar-Ruzz
Media.
Salim, Agus dkk. 2007. Indonesia Belajarlah!.
Yogyakarta: Tiara Wacana.
Sukardjo & Ukim Komarudin. 2009. Landa-
san Kependidikan Konsep dan Apli-
kasinya. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada.
Sumarno, R.N. Bayu Aji, & Eko Satriya
Hermawan. 2019. Ethical Politics and
Educated Elites In Indonesian National
Movement. Advances in Social Science,
Education and Humanities Research,
Vol. 383: 369-373.
Suratminto, Lilie. 2013. Educational Policy in
The Colonial Era. Historia: Interna-
tional Journal of History Education,
Vol. XIV, No. 1 (June 2013): 77-84.
Suryadinata, Leo. 1972. Indonesian Chinese
Education: Past and Present. Indonesia,
Vol. 14 No. 10 (1972), pp. 49-71.
Ithaca, New York, USA: Cornell
University Press.
Halaman | 106