Anda di halaman 1dari 24

N Jurnal Ilmiah Pendidikan ISSN : 2252 - 4975

Vol. I No. 1 Edisi Maret-Agustus 2012

PENGARUH KONDISI SOSIAL BUDAYA TERHADAP PENDIDIKAN DAN


PERANAN PENDIDIKAN DALAM PEMBANGUNAN
KEBUDAYAAN NASIONAL

Oleh : Abdul Kadir1

Abstrak:
pada budaya nasional, berdiri di atas puncak-puncak kebudayaan daerah.
Seiring dengan proses desentralisasi pendidikan yang dalam melibatkan
peran serta masyarakat mengisyaratkan pengakuan terhadap manusia
Indonesia dan masyarakat setempat (konsep otonomi daerah). Ini berarti
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional ditinjau dari persepektif
filosofis harus beranjak dari suatu paradigma baru pendidikan menuju pada
pengakuan terhadap aspirasi masyarakat dan individu. Demikian,
kebutuhan pembelajaran individu berada dalam perbedaan realitas sosio-
historis, sosio-ekonomis, suku-bangsa, sosio-psikologis. Artinya akan
dihadirkan populasi sasaran beragam dalam konteks sistem pendidikan dan
persekolahan. Kontemplasi apik antara pendidikan dan kebudayaan akan
membentuk pribadi-pribadi yang memiliki karakter yang memang
merupakan fitrah dasar manusia. Disamping faktor-faktor lainnya seperti
akhlak, moral dan watak, karakter menentukan prilaku individu untuk
berbuat berdasarkan norma-norma yang telah disepakati. Pembentukan
karakter tersebut sangat kuat dipengaruhi oleh asupan kondisi lingkungan
sosial dan lingkungan budaya bangsa, dan tentu saja nilai luhur budaya
bangsa dan lingkungan masyarakat yang terpelihara yang diwarnai oleh jati
diri bangsa yang kokoh. Bahwa kondisi sosial budaya yang terjadi saat ini
turut menentukan arah pendidikan yang dilakukan. Namun, demikian
lembaga pendidikan diharapkan tidak hanyut dalam arus perubahan yang
kadang sangat bertentangan dengan nilai-nilai kebajikan. Budaya yang kuat
adalah budaya yang mampu mempertahankan entitasnya dan tidak parsial
sehingga akan terus dijadikan pegangan bagi masyarakat penganutnya dan
bahkan dapat dijadikan sandaran bagi tumbuhnya potensi-potensi baru
demi menjaga tetap terpatrinya budaya itu. Pendidikan merupakan salah
satu wadah yang dapat secara maksimal digunakan sebagai ajang
penggemblengan karakter dan nilai-nilai kesejatian. Sebagai ajang
pembudayaan. Pendidikan menjadi instrumen kekuatan sosial masyarakat
untuk mengembangkan suatu sistem pembinaan yang relevan dengan
tuntutan perubahan zaman. Untuk itu, pendidikan hendaknya mampu
melakukan fungsinya, melakukan tugas-tugas kelembagaan sesuai dengan
hukum perkembangan masyarakat. Dalam hal ini, pendidikan hendaknya

1 Abdul Kadir, M.Pd. Kandidat Doktor Manajemen Pendidikan Universitas Negeri Jakarta. Dalam konteks
tulisan ini ia menggarisbawahi bahwa: Mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai sasaran
penyelenggaraan pendidikan nasional hakikatnya adalah proses transformasi budaya, yaitu suatu
proses transformasi dari masyarakat tradisional dan terbelakang menuju masyarakat maju dan modern,
dan masyarakat tradisional feodalistis menuju masyarakat yang maju dan demokratis serta berkeadilan
sosial.

25
N Jurnal Ilmiah Pendidikan ISSN : 2252 - 4975
Vol. I No. 1 Edisi Maret-Agustus 2012

memperhatikan benar modal kutlural dan modal sosial di samping modal-


modal dasar lainnya. Pendidikan sejatinya harus berperan maksimal dalam
mengembangkan kebudayaan nasional. Untuk itu diperlukan transformasi
pedagogik yang direncanakan, dilaksanakan dan dikontrol dengan baik.
Hal-hal yang dapat dilakukan misalnya mengembangkan civic intelligent
yang termasuk di dalamnya pendidikan multikultural dan pendidikan
karakter pada lembaga pendidikan yang menerapkan community based
education. Dalam konsep ini diharapkan akan diperoleh masyarakat madani
(civic society) yang memahami dengan baik hak-haknya dengan
menunaikan kewajiban-kewajibannya demi kemaslahatan bangsa dan
negara.

Kata Kunci : Sosial Budaya, Pendidikan, Pembangunan Kebudayaan Nasional

I. Pendahuluan
Secara singkat pendidikan merupakan produk dari masyarakat. Dikatakan
demikian karena pendidikan merupakan proses transmisi pengetahuan, sikap,
kepercayaan, keterampilan dan aspek-aspek kelakuan lainnya kepada generasi muda dan
seluruh upaya tersebut dilakukan sepenuhnya oleh kekuatan-kekuatan masyarakat.
Hampir segala sesuatu yang dipelajari manusia merupakan hasil hubungan individu
dengan orang lain baik di rumah, sekolah, tempat permainan, pekerjaan dan sebagainya.
Wajar pula apabila segala sesuatu yang diketahui adalah hasil hubungan timbal balik
yang ternyata sudah sedemikian rupa dibentuk oleh masyarakat. Pendidikan telah
dimulai ketika anggota muda dalam sebuah keluarga dijaga dan dibimbing terus untuk
mengenal dan mengamalkan nilai-nilai, pengetahuan, keterampilan dan bentuk tata
perilaku lainnya. Dengan demikian pendidikan dapat diartikan sebagai proses sosialisasi
dan pendidikan juga merupakan proses pembudayaan berkelanjutan hingga maut
menjemput.2
Apabila orang dewasa memenuhi kewajibannya secara paripurna dan
menjalankan hal-hal lain yang tertanam kuat dalam benak kesadarannya, itu berarti
mereka melakukan tugas yang sudah ditentukan secara eksternal oleh hukum-hukum
kodrat sosial (droit) dan kebiasaan-kebiasaan yang berkembang begitu alamiah dari
lingkungan sosial. Kewajiban itu muncul bukan hasil dari proses pemaksaan eksternal

2 Educational Ideologies: Contemporary Expressions of Educational


Phylosophies, California: Goodyear Publishing Comp. Inc. (Halaman, 11).

26
N Jurnal Ilmiah Pendidikan ISSN : 2252 - 4975
Vol. I No. 1 Edisi Maret-Agustus 2012

yang mekanistis melainkan selalu diikuti oleh gejala resiprositas individu dengan
lingkungan luarnya sehingga pada tahap akhirnya masyarakat telah menghasilkan
ribuan atau bahkan jutaan manusia yang tunduk lahir batin dengan ketentuan-ketentuan
kolektif3.
Kenyataan yang tak dapat ditolak bahwa masyarakat dan bangsa Indonesia terdiri
dari berbagai keragaman sosial, kelompok etnis, budaya, agama, aspirasi politik dan
lain- t
sebagai masyarakat "multikultural". Pada pihak lain, realitas "multikultural" tersebut
berhadapan dengan kebutuhan mendesak untuk merekonstruksi kembali "kebudayaan
"integrating force" yang
4
dapa
Pendidikan merupakan sistem dan cara meningkatkan kualitas hidup manusia
dalam segala aspek kehidupan manusia. Dalam sejarah umat manusia5, hampir tidak ada
kelompok manusia yang tidak menggunakan pendidikan sebagai alat pembudayaan dan
peningkatan kualitasnya, sekalipun dalam masyarakat yang masih terbelakang
(primitive). Pendidikan sebagai usaha sadar yang dibutuhkan untuk menyiapkan anak
manusia demi menunjang perannya di masa datang. Jadi, pendidikan yang dilakukan
suatu bangsa tentu memiliki hubungan yang sangat signifikan dengan rekayasa bangsa.
Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan asasi manusia, bahkan M. Natsir
menegaskan bahwa pendidikan merupakan salah satu faktor yang ikut menentukan maju
mundurnya kehidupan masyarakat tersebut.6
Dalam tataran yang lebih luas seperti lembaga negara, pemerintah memiliki
tangung jawab moril dan material yang di dalamnya melekat hak-hak sosial warga
negara. Demikian pula, bangsa Indonesia. Aspek pendidikan merupakan hak sosial

3 Tilaar, H.A. (2007). Mengindonesia Etnisitas dan Identitas Bangsa Indonesia: Tinjauan dari
Perspektif Ilmu Pendidikan, Jakarta : Rineka Cipta. Halaman 5.
4 Muhaemin el- Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural (Sebuah Kajian Awal),
Sumber: http://artikel.us/muhaemin6-04.html, Diakses, senin, 3 Mei 2010.
5 Ahmad Syafii Maarif, menyatakan apabila dilihat dari segi sejarah, pendidikan merupakan suatu
gerakan yang telah berumur sangat tua. Dalam bentuk sederhana dapat dipahami, pendidikan telah
dijalankan sejak dimulainya manusia di muka bumi ini. Penguasaan alam semesta, memberi contoh
pendidikan kepada manusia dan dilanjutkan dengan mendidik keluarga. Ahmad Syafii Maarif,
, Jurnal Pendidikan Islam (JPI), (No.2 Th.
Fakultas Tarbiyah UII, 1 Oktober 1996), hlm. 6.
6 M. Natsir, Kapita Selecta, Jakarta: Bulan Bintang, 1973, hlm. 77.

27
N Jurnal Ilmiah Pendidikan ISSN : 2252 - 4975
Vol. I No. 1 Edisi Maret-Agustus 2012

warga negara yang dicantumkan bersamaan dengan pengembangan kebudayaan


nasional pada Bab XIII Pasal 31 dan 32 UUD 1945.7 Arti penting dari dua pasal tersebut
adalah bahwa (1) Negara memiliki tanggung jawab dalam mengusahakan dan
menyelenggarakan pendidikan nasional, dan (2) Negara bertanggung jawab dalam
memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah-tengah peradaban dunia dengan
menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai
budayanya. Keluhuran budaya bangsa yang berakar dan dianut oleh seluruh masyarakat
Indonesia merupakan jati diri. Dan Jati diri inilah yang harus dipertahankan, dikuatkan
dan semampunya menjadi landasan yang kokoh bagi keberlanjutan penyelenggaraan
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Namun demikian, menurut beberapa pandangan bahwa Sistem Pendidikan

atas puncak-puncak kebudayaan daerah.8 Pendidikan diselenggarakan dengan aturan


dalam konteks mayoritas yang bersaing dan berhadap dengan minoritas dan dikelola
oleh pemerintah untuk meluaskan atau mempersempit hal-hal yang substansi atau

proses desentralisasi pendidikan yang dalam melibatkan peran serta masyarakat


mengisyaratkan pengakuan terhadap manusia Indonesia dan masyarakat setempat
(konsep otonomi daerah). Ini berarti Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional
ditinjau dari persepektif filosofis harus beranjak dari suatu paradigma baru pendidikan
menuju pada pengakuan terhadap aspirasi masyarakat dan individu. Dengan sendirinya,
paradigma baru dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional harus mengacu
pada pendidikan multikultural yaitu adanya kebudayaan beragam dalam suatu
9
Demikian
kebutuhan pembelajaran individu berada dalam perbedaan realitas sosio-historis, sosio-

7 UUD 1945 Bab XIII Pasal 31 tentang Pendidikan Nasional dan Pasal 32 tentang Kebudayaan
Nasional Indonesia.
8 Azyumardi Azra,Identitas dan Krisis Budaya, Membangun Multikulturalisme Indonesia,
From:http://kongres.budpar.go.id/ agenda/ precongress/ makalah/abstrak/58%20
azyumardi%20azra.htm, akses, Selasa, 24 Mei 2005, jam. 11.00
9 H.A.R. Tilaar, 2004, Multikulturalisme, Tantangan-Tantangan Global Masa Depan dalam
Transformasi Pendidikan Nasional, Grasindo, Jakarta, hlm. 123

28
N Jurnal Ilmiah Pendidikan ISSN : 2252 - 4975
Vol. I No. 1 Edisi Maret-Agustus 2012

ekonomis, suku-bangsa, sosio-psikologis. Artinya akan dihadirkan populasi sasaran


beragam dalam konteks sistem pendidikan dan persekolahan.10
Hubungan timbal balik antara pendidikan dan kebudayaan akan membentuk
pribadi-pribadi yang memiliki karakter yang memang merupakan fitrah dasar manusia,
disamping faktor-faktor lainnya seperti akhlak, moral dan watak, karakter menentukan
prilaku individu untuk berbuat berdasarkan norma-norma yang telah disepakati.
Pembentukan karakter tersebut sangat kuat dipengaruhi oleh asupan kondisi lingkungan
sosial dan lingkungan budaya bangsa, dan tentu saja nilai luhur budaya bangsa dan
lingkungan masyarakat yang terpelihara yang diwarnai oleh jati diri bangsa yang kokoh
sebagaimana divisualkan berikut.11

Ironisnya, keluhuran budaya bangsa yang tertanam demikian kuat dalam setiap
jiwa manusia Indonesia sedikit demi sedikit mengalami pengerusan sebagai akibat
langsung maupun tidak langsung dari sebuah tatanan baru yang bernama globalisasi.

10 Semiawan, Conny, 2002, Belajar dan Pembelajaran Dalam Taraf Usia Dini, Jakarta, PT.
Prenhallindo.
11 Suyatno, Peran Pendidikan sebagai Modal Utama dalam Pembangunan Karakter Bangsa, Makalah

Jakarta, 12 April 2010

29
N Jurnal Ilmiah Pendidikan ISSN : 2252 - 4975
Vol. I No. 1 Edisi Maret-Agustus 2012

Indonesia belum siap menerima kehadiran tamu baru tersebut karena jati diri, karakter
dan perilaku sebagian warga Negara ini masih sangat labil.12
Bukti ketidaksiapan tersebut sangat mudah dijumpai di mana saja. Pintu mana
pun yang kita buka, kita akan terperangah betapa perilaku-perilaku yang bertentangan
dengan budaya bangsa seperti sudah lumrah terjadi. Orang Indonesia pun dengan cerdas
mengelompokkannya dengan berbagai istilah seperti ancaman disintegrasi, korupsi,
kolusi, nepotisme, markus, arogansi kesukuan, konflik antaretnis, antaragama,
pengangguran terdidik, sexual harassment, BBS, dan berbagai istilah lainnya dari yang
paling birokratis sampai yang menyangkut etika moral.13
William Liddle, seorang pemerhati Indonesia mengatakan bahwa yang dominan
di Indonesia adalah apa yang disebutnya faham inbetweenness,14 suatu faham yang
setengah-setengah dalam artian tidak menganut ideologi liberal dan tidak juga komunis,
tidak sistem ekonomi pasar bebas dan tidak pula sistem ekonomi komando. Ada
baiknya mempertahankan faham ini dengan kecenderungan untuk selalu memadukan
sistem, pola pikiran dan nilai-nilai yang berlawanan atau berbeda, misalnya adalah
mengupayakan sintesa dari ideologi liberal dan sosialis atau pandangan Barat dan
pandangan Timur dalam kehidupan.
Kecenderungan ini nampaknya tetap kuat di dalam banyak bidang ekonomi,
politik, hukum dan budaya. Dalam bidang sosial budaya terjadi asimilasi budaya
setengah hati.15 Kita sepertinya tidak sepenuhnya mau menerima pengaruh budaya asing
padahal pintu-pintu bandara kita sudah terbuka lebar malah tanpa visa bagi beberapa
wisatawan dari negara lain. Dari sisi ekonomi jelas ada pemasukan negara yang cukup
besar, tetapi adalah tidak realistis menolak pengaruh budaya asing secara berlebihan dan
menudingnya sebagai perusak budaya nasional. Aturan yang memperbolehkan parabola
dan siaran satelit langsung menyerbu rumah-rumah kita secara bersamaan tentu masuk

12 Ibid, 2010 halaman 2.


13 Gabungan dari berbagai sumber.
14 R. William Liddle, Politics and Culture in Indonesia, Ann Arbor: Center for Political Studies, Institute for
Social Research, University of Michigan, Ann Arbor, 1988, pp. 55. An article length revised version has
been published as "The National Political Culture and the New Order", Prisma 46 (1989), pp. 4-
20.http://polisci.osu.edu/faculty/rwliddle/Liddle.pdf
15 H.A.R. Tilaar,2004, Multikulturalisme, Tantangan-Tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi
Pendidikan Nasional, Grasindo, Jakarta, hlm. 135.

30
N Jurnal Ilmiah Pendidikan ISSN : 2252 - 4975
Vol. I No. 1 Edisi Maret-Agustus 2012

pula nilai-nilai budaya asing. Anehnya, tumbuh pula semacam sikap xenophobia
(ketakutan terhadap yang asing).16
Pada sisi lainnya, kecenderungan ini telah memicu munculnya resistensi dari
budaya-budaya lokal yang merasa eksistensinya terancam seiring gelombang
penyeragaman ini. Bagaimanapun, globalisasi tetap memberikan ruang toleransi
terhadap keragaman budaya. Toleransi tersebut dapat dijadikan modal sosial dan tidak
mengarah kepada proses saling mengeksklusi antara budaya satu dengan budaya
lainnya, akan tetapi menjelma menjadi modal utama bagi terciptanya dialog dan kerja
sama multikultural yang berkeadilan.17

II. Permasalahan

Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang mampu memberikan arah bagi
semakin baiknya pembelajar dalam berbagai aspek kehidupannya. Mengkaji pendapat
Dewey18 justru status pendikan kita dasarnya tidak jelas. Apakah pendidikan sebagai
kebutuhan hidup, sebagai fungsi sosial, sebagai tujuan, atau sebagai pertumbuhan?
Lebih jauh apakah fungsi pendidikan di negeri kita? Sebagai komoditi, sebagai ideologi,
atau sebagai keadilan sosial? Sebagai komoditi di mana pendidikan kita cenderung
disesuaikan dengan pesanan perusahaan-perusahaan kapitalis. Sebagai ideologi di mana
pendidikan merupakan upaya pelestarian ideologi tertentu yang mengarah pada
kekuasaan tertentu. Atau sebagai keadilan sosial di mana pendidikan merupakan hak
yang harus diterima oleh semua rakyat baik kaya maupun miskin tanpa pandang bulu.
Terdpat tiga permasalahan utama yang dikaitkan dengan peran pendidikan dalam
konteks sosial budaya yang selanjutnya diarahkan pada pembangunan negara bangsa.
(1) Bagaimana kondisi sosial budaya berpengaruh terhadap pendidikan? (2) Bagaimana
peran pendidikan sebagai ajang pembudayaan? Dan (3) Bagaimana pendidikan berperan
dalam pembangunan kebudayaan nasional?

16 Inglehart, Ronald, (1997). Modernization and Postmodernization: Cultural Economic and Political
Change in 43 Societies, New Jersey : Princeton University Press. (Halaman 14)
17 H.A.R. Tilaar,2004, Multikulturalisme, Tantangan-Tantangan Global Masa Depan dalam
Transformasi Pendidikan Nasional, Grasindo, Jakarta, hlm. 135.
18 John Dewey, 1964. Democracy and Education: The Introduction to the Phylosophy of Education,
New York : The MacMillan Comp.

31
N Jurnal Ilmiah Pendidikan ISSN : 2252 - 4975
Vol. I No. 1 Edisi Maret-Agustus 2012

III. Pembahasan

A. Kondisi Sosial Budaya dan Pengaruhnya terhadap Pendidikan

Culture is important. It can be a spur or a drag,


19
delaying or speeding up change Namun ia berpendapat bahwa budaya bukanlah
sesuatu yang statis, budaya juga berkembang. Ia mengambil contoh antara lain budaya
Jerman di tahun 1939 yang sangat berbeda dengan tahun 1959, hanya dalam 20 tahun.
Berbeda dengan pendapat Max Weber20 mencap budaya yang berbasis ajaran Konghucu
meng
dipandang sebagai penyebab suksesnya ekonomi negara-negara di Asia.21
Kondisi sosial budaya Indonesia saat ini sedang menghadapi masa turbulensi.
Kronika budaya yang dahulu menempatkan ne

ranah kehidupan sosial. Ditambah lagi dengan tekanan globalisasi, merebaknya


penggunaan ICT yang mendominasi keseharian orang Indonesia untuk berbagai urusan
hidup.
Untuk mempertahankan eksistensi hidup masyarakat yang tidak dapat
terhindarkan dari penguasaan teknologi tersebut, maka unsur kreativitas, unsur
kemandirian dalam kebersamaan, dan unsur produktivitas menjadi faktor yang sangat
penting untuk menanggapi budaya hidup teknologis itu. Berarti pendidikan yang
menghasilkan manusia-manusia kreatif menjadi tuntutan dalam pola pendidikan umum
saat ini banyaknya media yang dapat berperan sebagai sumber informasi pendidikan
bagi generasi bangsa saat ini, maka konsep pendidikan perlu mengalami pergeseran.
Pendidikan bukan sebagai usaha yang disengaja lagi akan tetapi menjadi kondisi apapun
yang dampaknya dapat menyebabkan terjadinya perubahan nilai-nilai manusia.
Di negara mana pun selalu menggunakan pendidikan sebagai upaya untuk
mempertahankan dasar-dasar hakiki masyarakatnya. Sekolah-sekolah merupakan

19 Zakaria, Fareed, 2003.The Future of Freedom, Liberal Democracy at Home and Abroad,
WW Norton & Company, New York.
20 Asian
Values
21 Alagappa, 1996.The Asian Spectrum. In L. Diamond et al., editors. The Global Resurgence
of Democracy.343-349. Baltimore, Maryland: The John Hopkins University Press.

32
N Jurnal Ilmiah Pendidikan ISSN : 2252 - 4975
Vol. I No. 1 Edisi Maret-Agustus 2012

tumpuan harapan bagi negara untuk mempertaruhkan keberlanjutan nilai-nilai dan


norma-norma terbaik yang dimiliki negara. Alasannya sederhana saja. Karena di
sekolahlah anak-anak, kaum muda dan remaja belajar, ditempa dan dibina untuk siap
memasuki sekuel pergulatan hidup kelak ditengah-tengah manusia lain dan agar berani
berbaur dengan peradaban masyarakatnya di mana ia tumbuh.22
Ada para pendidik yang menaruh kepercayaan yang besar sekali akan kekuasaan
pendidikan dalam membentuk masyarakat baru. Oleh karena itu setiap anak diharapkan
memasuki sekolah dan dapat diberikan ide-ide baru tentang masyarakat yang lebih
indah daripada yang sudah-sudah. Sekolah dapat merekonstruksi atau mengubah dan
membentuk kembali masyarakat baru. Sekolah tak dapat melepaskan diri dari
masyarakat tempat ia berada dan dari kontrol pihak yang berkuasa. Sekolah hanya dapat
mengikuti perkembangan dan perubahan masyarakat dan tak mungkin mempelopori
atau mendahuluinya. Jadi tidak ada harapan sekolah dapat membangun masyarakat baru
lepas dari proses perubahan sosial yang berlangsung dalam masyarakat itu.
Belajar dari pengalaman berbagai dunia, tentu saja sekolah dapat digunakan oleh
yang berkuasa untuk mengadakan perubahan-perubahan radikal yang diinginkan oleh
pihak yang berkuasa itu, seperti Hitler di Jerman, Partai Komunis di Uni Soviet, Jepang
di daerah jajahannya dan sebagainya. Sistem pendidikan adalah alat yang ampuh untuk
mengindoktrinasi generasi mudaagar menciptakan suatu masyarakat menurut keinginan
merekayang mengontrolnya. Perubahan kekuasaan dalam suatu negara, misalnya oleh
golongan yang menganut ideologi lain akan memanfaatkan sekolah sebagai alat untuk
membangun masyarakat baru menurut ideologi mereka. Hal ini sejalan dengan pendapat
Tilaar 23 bahwa pendidikan adalah suatu proses manusiawi berupa tindakan komunikatif
dialogis transformative antara peserta didik dan pendidik yang bertujuan etis yaitu

22 Frederic Harbison dan Charles A. Myers, Manpower and Education : Country Studies in Economic
Development, New Yokr : Mc Graw-Hill Book Company (Halaman xi). Mereka menulis : It is quite
possible for countries to invest inefficiently in human resourse development, to put money into the
wrong kinds of formal education, to perpetuate the wrong kinds of incentive, and to fail to integrate
effectively formal education with in-service training. Thus education reform is just as strategic as are
increases in education investments for promoting economic and social development.
23 Tilaar, H.A. (2009) Kredo Pendidikan (My Pedagogial Credo), Jakarta : Lembaga Manajemen
Universitas Negeri Jakarta (Halaman 13)

33
N Jurnal Ilmiah Pendidikan ISSN : 2252 - 4975
Vol. I No. 1 Edisi Maret-Agustus 2012

membantu pengembangan kepribadian peserta didik seutuhnya dalam konteks


lingkungan alamiah dan kebudayaan yang berkeadaban.
Ketika berkembang dan semakin terpahaminya konsep-konsep demokrasi oleh
masyarakat, maka bermunculanlah berbagai bentuk perilaku baik pengulangan perilaku
lama yang telah mendapat sentuhan baru atau berupa perilaku baru sama sekali yang
kadang bertentangan dengan garis-garis demarkasi budaya yang dianut. Kehadiran
demokrasi ini tidak lagi hanya terbatas pada konteks pemerintahan dan pengambilan
keputusan-keputusan politik tentang bagaimana mengatur sebuah komunitas seperti
yang terjadi di Zaman Heredot abad ke-5 SM. Demokrasi yang kita hadapi hari ini
justru jauh lebih luas dan merambah ke segala aspek kehidupan baik ideologi, sosial,
politik, ekonomi, budaya, dan pertahanan keamanan.24
Menyadari terjadinya perubahan-perubahan (terkadang fundamental) tersebut,
pemerintah selalu mengupayakan berbagai inovasi untuk mengikuti arah perubahan itu.
Berusaha maksimal agar memenuhi berbagai persyaratan perubahan demi kesejahteraan
warga negaranya. Perubahan yang kadang terkesan radikal pun terpaksa harus dilakukan
karena tuntutan arus perubahan yang mengalir begitu cepat.
Salah satu upaya mendasar yang dilakukan adalah melalui jalur persekolahan.
Sekolah disiapkan untuk menjawab tantangan perubahan tersebut sesuai dengan
fungsinya. Perubahan-perubahan itu antara lain tercermin dalam perubahan dan
pembaharuan kurikulum dan sistem pendidikan. Peralihan dari jaman ke jaman
memerlukan berbagai perubahan kurikulum sesuai dengan filsafat bangsa dan
paradigma dominan yang dianut. Jadi, dengan kata lain, perubahan menuju
pembaharuan dalam pendidikan sangat tergantung kebijakan yang diambil oleh negara.
Tetapi, di Indonesia hal semacam itu belum benar-benar dipikirkan.25

24 Tilaar, H.A. (2007). Mengindonesia Etnisitas dan Identitas Bangsa Indonesia: Tinjauan dari
Perspektif Ilmu Pendidikan, Jakarta : Rineka Cipta. Halaman 27.
25 Soedijarto, (2008). Landasan dan Arah Pendidikan Nasional Kita, Jakarta : Kompas. Ahli Pendidikan

sebagai pusat pembudayaan, dalam praktik sejak 1950 melalui tiga kali perubahan UU, delapan kali
perubahan kurikulum, dan empat kali perubahan system penentuan kelulusan, penyelenggara
pendidikan nasional belum berhasil, bahkan belum tampak upaya yang sungguh-sungguh untuk

34
N Jurnal Ilmiah Pendidikan ISSN : 2252 - 4975
Vol. I No. 1 Edisi Maret-Agustus 2012

B. Pendidikan sebagai Ajang Pembudayaan

Telah kita ketahui bersama bahwasanya pendidikan lahir seiring dengan


keberadaan manusia. Bahkan dalam proses pembentukan masyarakat pendidikan ikut
andil untuk menyumbangkan proses-proses perwujudan pilar-pilar penyangga
masyarakat. Dalam hal ini, kita bisa mengingat ungkapan-ungkapan para tokoh
antropologi seperti Goodenough (1971);26 Spradley, (1972);27 danGeertz, (1973)28
mendefinisikan arti kebudayaan di mana kebudayaan merupakan suatu sistem
pengetahuan, gagasan dan ide yang dimiliki oleh suatu kelompok masyarakat yang
berfungsi sebagai landasan pijak dan pedoman bagi masyarakat itu dalam bersikap dan
berperilaku dalam lingkungan alam dan sosial di tempat mereka berada.
Sebagai sistem pengetahuan dan gagasan, kebudayaan yang dimiliki suatu
masyarakat merupakan kekuatan yang tidak tampak (invisible power), yang mampu
menggiring dan mengarahkan manusia pendukung kebudayaan itu untuk bersikap dan
berperilaku sesuai dengan pengetahuan dan gagasan yang menjadi milik masyarakat
tersebut, baik di bidang ekonomi, sosial, politik, kesenian dan sebagainya.
Sebagai suatu sistem, kebudayaan tidak diperoleh manusia dengan begitu saja
secara ascribed, tetapi melalui proses belajar yang berlangsung tanpa henti, sejak dari
manusia itu dilahirkan sampai dengan ajal menjemputnya. Proses belajar dalam konteks

diperoleh manusia melalui pewarisan atau transmisi dalam keluarga, lewat sistem
pendidikan formal disekolah atau lembaga pendidikan formal lainnya, melainkan juga
diperoleh melalui proses belajar dari berinteraksi dengan lingkungan alam dan
sosialnya.
Melalui pewarisan kebudayaan dan internalisasi pada setiap individu, pendidikan
hadir dalam bentuk sosialisasi kebudayaan, berinteraksi dengan nilai-nilai masyarakat
setempat dan memelihara hubungan timbal balik yang menentukan proses-proses

26 Goodenough, 1971, W.H. Biographical Dictionary of Social and Cultural Anthropology. Amit, Vered
ed. London and New York: Routledge. 202-203.
27 James Spradley, 1972, Conformity And Conflict - Readings In Cultural Anthropology (Paperback),
New York : Addison Wesley.
28 Clifford Geertz, 1973,The Interpretation of Cultures, Basic Books:
Boston.http://www.nytimes.com/2006/ 11/01/obituaries/01geertz.html?_r=1

35
N Jurnal Ilmiah Pendidikan ISSN : 2252 - 4975
Vol. I No. 1 Edisi Maret-Agustus 2012

perubahan tatanan sosio-kultur masyarakat dalam rangka mengembangkan kemajuan


peradabannya.29
Sebaliknya, dimensi-dimensi sosial yang senantiasa mengalami dinamika
perkembangan seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan
faktor dominan yang telah membentuk eksistensi pendidikan manusia. Penggunaan alat
dan sarana kebutuhan hidup yang modern telah memungkinkan pola pikir dan sikap
manusia untuk memproduk nilai-nilai baru sesuai dengan intensitas pengaruh teknologi
terhadap tatanan kehidupan sosial budaya. Masyarakat pun bergolak seiring dengan
kuatnya tuntutan kebutuhan dan keinganan agar dapat hidup lebih nyaman, sejahtera
dan sentosa.
Dalam hal ini, pendidikan hendaknya harus selalu siap menjadi kawah
candradimuka bagi upaya penggemblengan nilai-nilai kebajikan dan kepatuhan.
Pendidikan diharapkan berperan menjadi ajang pembudayaan. Pendidikan menjadi
instrumen kekuatan sosial masyarakat untuk mengembangkan suatu sistem pembinaan
anggota masyarakat yang relevan dengan tuntutan perubahan zaman. Abad globalisasi
telah menyajikan nilai-nilai baru, pengertian-pengertian baru serta perubahan-perubahan
di seluruh ruang lingkup kehidupan manusia yang waktu kedatangannya tidak bisa
diduga-duga. Sehingga dunia pendidikan merasa perlu untuk membekali diri dengan
perangkat pembelajaran yang dapat memproduk manusia zaman sesuai dengan atmosfir
tuntutan global.30
Penguasaan teknologi informasi, penyediaan SDM yang profesional, terampil dan
berdaya guna bagi masyarakat, kemahiran menerapkan Iptek, perwujudan tatanan sosial
masyarakat yang terbuka, demokratis, humanis serta progresif dalam menghadapi
kemajuan jaman merupakan beberapa bekal mutlak yang harus dimiliki oleh semua
bangsa di dunia ini yang ingin tetap bertahan menghadapi tata masyarakat baru
berwujud globalisasi. Alasannya, karena arus globalisasi tidak hanya membawa
kebajikan-kebajikan bagi kemaslahatan hidup umat manusia akan tetapi juga teranyam

29 Tilaar, H.A. (2007). Mengindonesia Etnisitas dan Identitas Bangsa Indonesia: Tinjauan dari Perspektif
Ilmu Pendidikan, Jakarta : Rineka Cipta. Halaman 43.
30 Idem, 2007 Halaman 44.

36
N Jurnal Ilmiah Pendidikan ISSN : 2252 - 4975
Vol. I No. 1 Edisi Maret-Agustus 2012

di dalamnya hal-hal buruk dan bahkan sangat jahat yang dapat mengancam kokohnya
nilai-nilai kebajikan yang sudah tertanam baik.
Melihat urgensi hubungan antara pendidikan dan dinamika sosial budaya,
sosiologi pendidikan berusaha menerapkan analisis ilmiah untuk memahami fenomena
pendidikan dalam hubungannya dengan perubahan sosial-kebudayaan. Di mana pada
langkah awalnya akan dibangun suatu proses penjelasan hakikat kebudayaan sebagai
wahana tumbuh-kembangnya eksistensi pendidikan terhadap anggota masyarakat.
Sebagai salah satu perangkat kebudayaan pendidikan akan melakukan tugas-tugas
kelembagaan sesuai dengan hukum perkembangan masyarakat. Dari sini dapat kita
amati bersama sebuah alur pembahasan hubungan dialektik antara pendidikan dengan
realitas perkembangan sosial faktual yang saat ini tengah menggejala pada hampir
seluruh masyarakat dunia.31
Manusia dan kebudayaan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan,
sementara itu pendukung kebudayaan adalah makhluk manusia itu sendiri. Sekalipun
makhluk manusia akan mati, tetapi kebudayaan yang dimilikinya akan diwariskan pada
keturunannya, demikian seterusnya. Pewarisan kebudayaan makhluk manusia, tidak
selalu terjadi secara vertikal atau kepada anak-cucu mereka; melainkan dapat pula
secara horisontal yaitu manusia yang satu dapat belajar kebudayaan dari manusia
lainnya .Berbagai pengalaman makhluk manusia dalam rangka kebudayaannya,
diteruskan dan dikomunikasikan kepada generasi berikutnya oleh individu lain.
Menurut Morgan tingkat kemajuan masyarakat manusia dapat dibagi kedalam tiga
periode evolusi, yaitu periode masyarakat berburu atau periode liar (savage), periode
beternak (barbarism) dan periode pertanian yang berkembang ke arah peradaban atau
civilitation. Dalam konteks tersebut, para cendekiawan di masa Aufklarung selalu
menempatkan bangsa-bangsa di luar Eropa sebagai contoh orang yang tingkat
perkembangan kebudayaannya berada pada tahap awal.32
Antara pendidikan dan kebudayaan terdapat hubungan yang sangat erat dalam arti
keduanya berkenaan dengan suatu hal yang sama yakni nilai-nilai. Dalam konteks
kebudayaan justru pendidikan memainkan peranan sebagai agen pengajaran nilai-nilai

31 Idem, 2007 Halaman 48.


32 Poerwanto, Ngalim (2000), Sosiologi Pendidikan, Bandung : PT. Angkasa.(Halaman, 61).

37
N Jurnal Ilmiah Pendidikan ISSN : 2252 - 4975
Vol. I No. 1 Edisi Maret-Agustus 2012

budaya. Dari paparan terakhir dapat ditangkap bahwa pada dasarnya pendidikan yang
berlangsung adalah suatu proses pembentukan kualitas manusia sesuai dengan kodrat
budaya yangdimiliki.

Periodisasi Kebudayaan dan Peradaban UmatManusia


Menurut Pandangan Lewis H.Morgan ,187733
PERIODE TAHAPAN KRITERIA
III. Civilized (Beradab) - Sejak ditemukannya aksara sampai
dengan sekarang
II. Barbarism (Barbar) 3. Barbar atas Sejak kemahiran melebur besi dan
menggunakan besi sebagai alat.
2. Barbar madya Mulai berternak binatang dan mengenal
pertanian dengan irigasi.
1. Barbar bawah Sejak dikenalnya pembuatan barang
tembikar
II. Savagery (Liar) 3. Liar atas Sejak ditemukannya panah dan busur
2. Liar madya Sejak menguasai cara menangkap ikan
dan mampu membuat api.
1. Liar bawah Sejak awal munculnya ras mahluk
manusia sampai periode berikutnya

Afinitas mengenai pendidikan dan kebudayaan dapat kita cermati dalam ciri khas
manusia sebagai makhluk simbolik. Hanya manusialah yang mengenal dan
memanfaatkan simbol-simbol di dalam kelanjutan kehidupannya. Simbol-simbol itu
dapat kita lihat di dalam kebudayaan manusia. Mengingat kebudayaan dilestarikan dan
dikembangkan melalui simbol-simbol maka semua tingkah laku manusia terdiri dari,
dan tergantung pada simbol-simbol tersebut. Sebaliknya kebudayaan bisa lestari apabila
memiliki daya kerja yang kuat dalam memberikan arahan para pendukungnya. Oleh
karena itu kebudayaan diturunkan kepada generasi penerusnya lewat proses belajar
tentang tata cara bertingkah laku. Sehingga secara wujudnya, substansi kebudayaan itu
telah mendarah daging dalam kepribadian anggota-anggotanya.34
Uraian tentang pendidikan dan kebudayaan akan diterangkan dalam urutan
pembahasan yang penulis parafrase dari Ngalim Purwanto dalam bukunya Sosiologi
Pendidikan dibawah ini.35

33 Idem, Poerwanto,2000.Halaman 62.


34 Tilaar, H.A. (2007). Mengindonesia Etnisitas dan Identitas Bangsa Indonesia: Tinjauan dari
Perspektif Ilmu Pendidikan, Jakarta : Rineka Cipta. Halaman 56.
35 Opcit, Poerwanto,2000. Halaman 64 - 75.

38
N Jurnal Ilmiah Pendidikan ISSN : 2252 - 4975
Vol. I No. 1 Edisi Maret-Agustus 2012

1. Kepribadian dalam Proses Kebudayaan


Fungsi pendidikan dalam konteks kebudayaan dapat dilihat dalam perkembangan
kepribadian manusia. Tanpa kepribadian manusia tidak ada kebudayaan, meskipun
kebudayaan bukanlah sekadar jumlah kepribadian-kepribadian. Para pakar
antropologi,menunjuk kepada peranan individu bukan hanya sebagai bidak-bida kdi
dalam papan catur kebudayaan. Individu adalah kreator dan sekaligus manipulator
-
an dan kebudayaan terdapat suatu
interaksi yang saling menguntungkan.

2. Penerusan Kebudayaan
Satu proses yang dikenal luas tentang kebudayaan adalah transmisi kebudayaan.
Proses tersebut menunjukkan bahwa kebudayaan itu ditransmisikan dari satu generasi
kepada generasi berikutnya. Bahkan banyak ahli pendidikan yang merumuskan proses
pendidikan tidak lebih dari proses transmisi kebudayaan. Kepribadian bukanlah semata-
mata hasil tempaan dari kebudayaan. Manusia atau pribadi adalah aktor dan sekaligus
manipulator kebudayaannya. Dengan demikian, kebudayaan bukanlah sesuatu entity
yang statis tetapi sesuatu yang terus-menerus berubah.36

3. Pendidikan dan Proses Pembudayaan


Seperti yang telah kita bicarakan mengenai transmisi kebudayaan, nilai-nilai
kebudayaan bukanlah hanya sekadar dipindahkan dari satu bejana ke bejana berikut
yaitu kepada generasi mudanya, tetapi dalam proses interaksi antara pribadi dengan
kebudayaan betapa pribadi merupakan agen yang kreatif dan bukan pasif. Didalam
proses pembudayaan terdapat pengertian seperti inovasi dan penemuan, difusi
kebudayaan, akulturasi, asimilasi, inovasi, fokus, krisis, dan prediksi masa depan serta
banyak lagi terminologi lainnya. Beberapa proses tersebut dapat dijelaskan sebagai
berikut: (1) Penemuan atau Invensi, (2) Difusi, (3) Akulturasi, (4) Asimilasi, (5)
Inovasi, (6) Fokus, (7) Krisis, dan (8) Visi Masa Depan.37

36 Opcit, Poerwanto,2000. Halaman 66.


37 Opcit, Poerwanto,2000. Halaman 67 - 69.

39
N Jurnal Ilmiah Pendidikan ISSN : 2252 - 4975
Vol. I No. 1 Edisi Maret-Agustus 2012

Sedangkan menurut Soedijarto bahwa civilization is more than culture. Untuk itu
sekolah hendaknya berfungsi sebagai pusat pembudayaan. Di sekolah diharapkan akan
terjadi proses membudayakan hal-hal yang baik melalui sebuah rangkaian proses sadar
dan bermakna. Guru hendaknya melatih siswa didik untuk berpikir tentang bagaimana
berpikir, bersikap, bertindak dan bertanggung jawab atas tindakannya sesuai peradaban
yang dianutnya.38
Pendapat di atas sejalan dengan pandangan Sosiologi Pendidikan bahwa
pendidikan adalah suatu institusi pengkonservasian yang berupaya menjembatani dan
memelihara warisan budaya suatu masyarakat yang dibentuk berdasarkan peraturan
perundang-undangan dan kebijakan yang mengikat seluruh tatanan kehidupan
berbangsa dan bernegara. Melihat perkembangan masyarakat yang sering dilanda
perubahan secara tiba-tiba, maka kemungkinan terjadinya dampaknegatif yang akan
menggejala ke dalam kehidupan masyarakat tidak dapat dihindari kehadirannya. Gejala
ketimpangan budaya atau cultural lag, harus dapat diminimalisasi pengaruhnya kedalam
tatanan kehidupan masyarakat. Untuk itu sebagai lembaga yang berfungsi menjaga dan
mengarahkan perjalanan masyarakat, pendidikan harus dapat menangkap potensi
kebutuhan masyarakat.39

4. Perubahan Sosial dan Pendidikan


Dalam proses perubahan sosial modifikasi yang terjadi seringkali tidak teratur dan
tidak menyeluruh, meskipun sendi-sendi yang berubah itu saling berkaitan secara erat,
sehingga melahirkan ketimpangan kebudayaan. Dikatakan pula olehnya bahwa cepatnya
perubahan teknologi jelas akan membawa dampak luas ke seluruh institusi-institusi
masyarakat sehingga munculnya kemiskinan, kejahatan, kriminalitas dan lain
sebagainya merupakan dampak negatif yang tidak bisa dicegah. Untuk itulah
pendidikan harus mampu melakukan analisis kebutuhan nilai, pengetahuan dan
teknologi yang paling mendesakdapat mengantisipasi kesiapan masyarakat dalam
menghadapi perubahan. Karl Manheim memfokuskan pandangannya untuk melihat
aktivitas sekolah dalam melaksanakan proses pengajaran kepada para peserta didik.

38 Soedijarto, (2003) Pendidikan Nasionalsebagai Proses Transformasi Budaya, hal. 113


39 Opcit, Poerwanto,2000. Halaman 70.

40
N Jurnal Ilmiah Pendidikan ISSN : 2252 - 4975
Vol. I No. 1 Edisi Maret-Agustus 2012

Secara jeli Manheim mengisyaratkan adanya semacam penyimpangan, dimana para


siswa seolah-olah terobsesi pada angka prestasi, padahal tujuan pendidikan bukan itu.40
Sementara itu menurut Inglehart41 bahwa perubahan sosial dalam sebuah negara
ditentukan oleh pendidikan dengan berpedoman pada Modal kultural (Cultural capital),
dan modal sosial (Social Capital) yang tampak dalam institusi-institusi masyarakat yang
dibentuk melalui pendidikan. Seperti halnya ditulis oleh Tilaar42 bahwa salah satu hak
asasi manusia ialah haknya untuk memiliki kebudayaan sendiri dan hidup menurut
kebudayaannya itu (The right to culture) dan kebudayaan itu terjalin erat dan tidak
dapat dipisahkan dari modal sosialnya. Kekuatan jalinan tersebut karena dalam modal
sosial teranyam juga modal kultural yang meliputi : (1) adanya partisipasi suatu
komunitas dalam jaringan sosial yang bersifat volunteer dan bersifat bebas, (2)
resiprositas yaitu adanya tukar-menukar kebaikan tanpa pamrih, (3) kepercayaan yaitu
adanya kesadaran yang tinggi untuk tidak mencurigai dan menerima hasil yang sebenar-
benarnya. Yang kalah harus menerima kekalahannya dan mengakui kemenangan
lawannya, (4) norma sosial yaitu adanya aturan-aturan yang harus dianut dan dipatuhi
bersama sesuai konvensi yang telah disepakati, (5) kode etik (code of conduct) yaitu
adnya nilai-nilai tertinggi yang tidak boleh dilanggar, dan (6) proaktif yaitu kemampuan
menduga hal-hal apa yang akan dilakukan selanjutnya sesuai dengan koridor
kesepakatan yang telah ditetapkan.

C. Peran Pendidikan dalam Mengembangkan Kebudayaan Nasional


Dewasa ini boleh dikatakan pendidikan telah diadopsi oleh semua negara, baik
negara berkembang maupun negara maju, dijadikan sebagai pondasi untuk menghadapi
perubahan-perubahan besar di dalam kehidupan masyarakat dalam millennium ketiga.
Hal ini dapat terbayang di dalam investasi pendidikan dari negara-negara tersebut.
Pendidikan telah dijadikan prioritas utama dan pertama dari banyak negara untuk
dijadikan sebagai pondasi membangun masyarakat yang lebih demokratis, terbuka bagi
perubahan-perubahan global dan menghadapi masyarakat digital. Pendidikan telah

40 Opcit, Poerwanto,2000. Halaman 74 - 75.


41 Inglehart, Ronald, (1997). Modernization and Postmodernization: Cultural Economic and Political
Change in 43 Societies, New Jersey : Princeton University Press. (Halaman 224)
42 Tilaar, H.A. (2007). Mengindonesia Etnisitas dan Identitas Bangsa Indonesia: Tinjauan dari
Perspektif Ilmu Pendidikan, Jakarta : Rineka Cipta. Halaman 43 - 60.

41
N Jurnal Ilmiah Pendidikan ISSN : 2252 - 4975
Vol. I No. 1 Edisi Maret-Agustus 2012

menempati kedudukan yang sangat penting dan dijadikan landasan pembangunan


masyarakatnya. Demikian pula bagi negara-negara berkembang seperti negara-negara
ASEAN boleh dikatakan semua negara memberikan prioritas utama kepada
pengembangan pendidikan yang tercermin di dalam alokasi dana pemerintah.43
Di dalam perkembangannya, pedagogik terbatas kepada masalah-masalah mikro
pendidikan, seperti perkembangan anak, proses belajar dan pembelajaran, fasilitas
pendidikan, biaya pendidikan, manajemen pendidikan dan sebagainya. Didalam
perkembangannya dewasa ini, pedagogik ternyata tidak terlepas dari perubahan-
perubahan sosial, politik dan ekonomi.44 Telah kita lihat, betapa perubahan pola-pola
kehidupan masyarakat manusia dewasa ini yang semakin terbuka. Kehidupan politik
yang semakin didominasi oleh gerakan demokratisasi.45 Hak-hak asasi manusia semakin
menonjol di dalam setiap pemerintahan dan didalam organisasi-organisasi dunia.
Semuanya mengakui betapa besar peranan pendidikan di dalam membangun masyarakat
dunia baru. Indonesia telah mulai menunjukkan gejala-gejala yang positif
memprioritaskan pendidikan di dalam proses pembangunan masyarakat Indonesia baru
di dalam APBN dan APBD maupun APBNP sekalipun belum merata.
Perubahan-perubahan sosial tersebut di atas telah membawa kepada suatu
keperluan untuk memberikan orientasi baru terhadap pedagogik. Pedagogik bukan
sekadar mencermati perkembangan anak sejak lahir sampai dewasa, atau mengenai
proses pendidikan orang dewasa, atau menyimak mengenai proses belajar dan
pembelajaran, tetapi lebih luas daripada itu, yaitu menempatkan perkembangan dan
kehidupan manusia di dalam tatanan kehidupan global. Dengan demikian, pedagogik
merupakan bagian dari perubahan politik, bagian dari perubahan sosial dan juga bagian
dari perubahan ekonomi, bukan hanya perubahan ekonomi bagi negara-negara maju,
tetapi juga ekonomi yang dihadapi oleh kebanyakan negara berkembang yakni
pemberantasan kemiskinan. Oleh sebab itu, tidak mengherankan apabila investasi di
dalam pendidikan dan pelatihan merupakan agenda paling urgen di dunia dewasa ini.

43 Alagappa, 1996.The Asian Spectrum. In L. Diamond et al., editors. The Global Resurgence of
Democracy.343-349. Baltimore, Maryland: The John Hopkins University Press.
44 Kotler, Philip, Somkid Jatusripitak dan Suvit Maesincee, (1997). The Marketing of Nations: A Strategic
Approach to Building National Wealth, New York : The Free Press.
45 Tilaar HAR. (2002). Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik Tranformatif untuk
Indonesia,Jakarta : Grasindo.Halaman 29.

42
N Jurnal Ilmiah Pendidikan ISSN : 2252 - 4975
Vol. I No. 1 Edisi Maret-Agustus 2012

Masalah-masalah pemberdayaan, partisipasi masyarakat, perencanaan dari bawah,


perbaikan gizi, pengembangan civil society, pengembangan sikap toleransi antarbangsa,
antaragama, antara lapisan kehidupan sosial ekonomi, antaretnis, multicultural
education, merupakan topik-topik hangat di dalam pedagogik arah baru.46
Pendidikan yang bersahaja hanya akan dapat dicapai melalui perencanaan
pendidikan yang baik dan berwawasan. Keterlibatan aspek nilai-nilai kearifan yang
dijunjung tinggi, salah satunya dapat dicapai melalui pendidikan karakter. 47 Ketika hal
ini tidak dijalankan maka akan muncul ekses yang namanya krisis sosial sebagaimana
dikemukakan oleh Habermas yang dikenal dengan Mazhab Frankfurt.48 Dikatakan
dalam buku itu bahwa ada tiga domain atau wawasan kelanggengan hidup, yaitu
reproduksi budaya, integrasi sosial, dan proses sosialisasi. Ketiga domain tersebut
hendaknya sejalan dalam konteks komponen structural yaitu shared knowledge,
mentaati kewajiban-kewajiban, dan perwujudan yaitu motivasi untuk menghindar dari
tindakan konfrontatif atau kemampuan berintegrasi. Berikut tanda-tanda ksisis sosial
menurut Habermas.49

Domain Komponen Struktural dalam dunia kehidupan (life


Kelanggengan world)
Hidup Budaya Masyarakat Pribadi
Krisis dalam
Reproduksi Kehilangan Kehilangan
orientasi dan
Budaya makna legitimasi
pendidikan
Integrasi
Integrasi Sosial kolektif Anomi Alienasi
diragukan
Hancurnya Hilangnya
Proses Sosialisasi Psikopatologis
kebudayaan motivasi

Sementara itu di lingkungan sekolah juga perlu melakukan integrasi kurikulum


dengan mengembangkan civic intelligence. Upaya ini dimaksudkan agar kita dapat

46 Ibid, Tilaar HAR (2002) Halaman 498.


47 Thomas Lickona, The Content of Our Character: Ten Essential Virtues, Journals of Character
Education,http://www.character-education.info/resources/articles.htmDiakses Kamis, 6 Mei 2010.
48 Kotler, Philip, Somkid Jatusripitak dan Suvit Maesincee, (1997). The Marketing of Nations: A Strategic
Approach to Building National Wealth, New York : The Free Press.
49 Habermas, Jurgen (1987). The Theory of Communication Action, Life World and System, Vol 2.Buthon
: Beacon Press. 223.

43
N Jurnal Ilmiah Pendidikan ISSN : 2252 - 4975
Vol. I No. 1 Edisi Maret-Agustus 2012

membangun masyarakat Indonesia baru, yaitu masyarakat madani (civic society) yaitu
masyarakat yang mengetahui hak-haknya dengan menunaikan kewajiban-kewajiban
demi untuk kebahagiaan seluruh masyarakat di mana ia menjadi anggotanya. Hal ini
bersentuhan dengan konsep cultural capital yang telah dikemukakan di atas di mana
pada era otonomi daerah ini budaya lokal akan tumbuh dan berkembang di dalam
bingkai keindonesiaan.
Pengembangan civic intelligence di dalam kurikulum menurut Tilaar50 sebagai
berikut:

Budaya Global

Budaya
Budaya Lokal
Budaya Primordial

Sederhananya adalah bahwa dalam pelaksanaan pembelajaran di kelas hendaknya


mengacu pada kurikulum yang dikembangkan dengan pendekatan community based
education. Budaya sekolah yang kondusif, inclusive, tolerance, dan opennes diharapkan
menjadi faktor penentu bagi tercapainya tujuan pendidikan sebagaimana yang tertuang
dalam UU Sistem Pendidikan Nasional.
Pedagogik orientasi baru tersebut di atas, menunjukkan keterkaitanyang erat
antara pedagogik dengan pertumbuhan ekonomi serta pertumbuhan politik. Demikian
selanjutnya, pedagogik tidak dapat dilepaskan dari kebudayaan dimana pendidikan itu
merupakan bagian dari padanya. Kebudayaan merupakan sarana, bahkan jiwa dari
kohesi sosial dari suatu masyarakat. Tanpa kohesi sosial tidak mungkin lahirnya proses
pendidikan.51 Oleh sebab itu, pendidikan dan kebudayaan merupakan dua sisi dari mata
uang yang sama. Mengisolasikan pendidikan dari kebudayaan berarti melihat proses
pendidikan di dalam ruang hampa. Pakar-pakar ekonomi juga pakar-pakar kebudayaan
dan politik melihat betapa pendidikan merupakan aspek yang sangat strategis di dalam

50 Tilaar HAR. (2002). Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik Tranformatif untuk
Indonesia,Jakarta : Grasindo. Halaman 453.
51 Kotler, Philip, Somkid Jatusripitak dan Suvit Maesincee, (1997). The Marketing of Nations: A Strategic
Approach to Building National Wealth, New York : The Free Press.

44
N Jurnal Ilmiah Pendidikan ISSN : 2252 - 4975
Vol. I No. 1 Edisi Maret-Agustus 2012

menyiapkan suatu tata kehidupan manusia yang baru. Demikianlah kita melihat
bagaimana peranan pendidikan didalam menata suatu masyarakat baru. Masyarakat baru
yang berdasarkan paradigma baru, akan dapat dipersiapkan melalui proses pendidikan.52

IV. Penutup

A. Simpulan

Pada bagian akhir tulisan ini, terdapat tiga hal pokok yang dapat disarikan dari
paparan dalam bagian pembahasan di atas. Ketiga poin tersebut adalah sebagai
berikut:
1. Bahwa kondisi sosial budaya yang terjadi saat ini turut menentukan arah
pendidikan yang dilakukan. Namun, demikian lembaga pendidikan diharapkan
tidak hanyut dalam arus perubahan yang kadang sangat bertentangan dengan
nilai-nilai kebajikan. Budaya yang kuat adalah budaya yang mampu
mempertahankan entitasnya dan tidak parsial sehingga akan terus dijadikan
pegangan bagi masyarakat penganutnya dan bahkan dapat dijadikan sandaran
bagi tumbuhnya potensi-potensi baru demi menjaga tetap terpatrinya budaya itu.
2. Pendidikan merupakan salah satu wadah yang dapat secara maksimal digunakan
sebagai ajang penggemblengan karakter dan nilai-nilai kesejatian. Sebagai ajang
pembudayaan. Pendidikan menjadi instrumen kekuatan sosialmasyarakat untuk
mengembangkan suatu sistem pembinaan yang relevan dengan tuntutan
perubahanzaman. Untuk itu, pendidikan hendaknya mampu melakukan
fungsinya, melakukan tugas-tugas kelembagaan sesuai dengan hukum
perkembangan masyarakat. Dalam hal ini, pendidikan hendaknya
memperhatikan benar modal kutlural dan modal sosial di samping modal-modal
dasar lainnya.
3. Pendidikan sejatinya harus berperan maksimal dalam mengembangkan
kebudayaan nasional. Untuk itu diperlukan transformasi pedagogik yang
direncanakan, dilaksanakan dan dikontrol dengan baik. Hal-hal yang dapat

52 Tilaar HAR. (2002). Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik Tranformatif untuk
Indonesia,Jakarta : Grasindo. Halaman 453.

45
N Jurnal Ilmiah Pendidikan ISSN : 2252 - 4975
Vol. I No. 1 Edisi Maret-Agustus 2012

dilakukan misalnya mengembangkan civic intelligent yang termasuk di


dalamnya pendidikan multikultural dan pendidikan karakterpada lembaga
pendidikan yang menerapkan community based education. Dalam konsep ini
diharapkan akan diperoleh masyarakat madani (civic society) yang memahami
dengan baik hak-haknya dengan menunaikan kewajiban-kewajibannya demi
kemaslahatan bangsa dan negara. Selain itu, penidikan multicultural dan
pendidikan karakter juga perlu dilaksanakan.

B. Rekomendasi

1. Bahwa kondisi sosial budaya yang progresif dan berpeluang untuk


dikembangkan perlu dipertahankan. Dengan demikian, budaya-budaya yang
berpotensi merusak dapat diminimalisir. Untuk itu, perlu kiranya bangsa ini
menginventarisir kondisi sosial budaya masyarakat Indonesia dan membuat
action plan bagi upaya melestarikannya sekaligus mengembangkannya.
2. Lembaga pendidikan harus selalu siap untuk dijadikan ajang bagi proses
pembudayaan. Hal ini menjadi penting mengingat sekolah berfungsi mendidik
generasi penerus pemakai budaya. Pendidikan dapat dijadikan instrumen
kekuatan sosial dalam melestarikan budaya bangsa demi terciptanya bangsa
yang bermartabat.
3. Pendidikan dan kebudayaan nasional tidak dapat dipisahkan. Untuk itu,
pendidikan nasional hendaknya memperhatikan proses pembelajaran civic
intelligence yang bertujuan mencapai kondisi civil society dengan menerapkan
community based education.

46
N Jurnal Ilmiah Pendidikan ISSN : 2252 - 4975
Vol. I No. 1 Edisi Maret-Agustus 2012

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Pendidikan Islam dan Proses Pemberdayaan Umat , Jurnal


Pendidikan Islam (JPI), (No.2 Th. Fakultas Tarbiyah UII, 1 Oktober 1996).
Alagappa, (1996).The Asian Spectrum. In L. Diamond et al., editors. The Global Resurgence of
Democracy. 343-349. Baltimore, Maryland: The John Hopkins University Press.
Azyumardi Azra, (2005). Identitas dan Krisis Budaya, Membangun Multikulturalisme
Indonesia, From:http://kongres.budpar.go.id/ agenda/ precongress/
makalah/abstrak/58%20 azyumardi%20azra.htm, akses, Selasa, 24 Mei 2005, jam.
11.00
Clifford Geertz, (1973), The Interpretation of Cultures, Basic Books:
Boston.http://www.nytimes.com/2006/ 11/01/obituaries/01geertz.html?_r=1
Frederic Harbison dan Charles A. Myers, (1965) Manpower and Education : Country Studies in
Economic Development, New Yokr : Mc Graw-Hill Book Company.
Goodenough, (1971), W.H. Biographical Dictionary of Social and Cultural Anthropology.
Amit, Vered ed. London and New York: Routledge.
Habermas, Jurgen (1987). The Theory of Communication Action, Life World and
System, Vol 2.Buthon : Beacon Press.
Inglehart, Ronald, (1997). Modernization and Postmodernization: Cultural Economic and
Political Change in 43 Societies, New Jersey : Princeton University Press.
James Spradley, (1972), Conformity And Conflict - Readings In Cultural Anthropology
(Paperback), New York : Addison Wesley.
John Dewey, (1964). Democracy and Education: The Introduction to the Phylosophy of
Education, New York : The MacMillan Comp.
Kotler, Philip, Somkid Jatusripitak dan Suvit Maesincee, (1997). The Marketing of Nations: A
Strategic Approach to Building National Wealth, New York : The Free Press.
M. Natsir, (1973) Kapita Selecta, Jakarta: Bulan Bintang,
Muhaemin el- Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural (Sebuah
Kajian Awal), Sumber: http://artikel.us/muhaemin6-04.html, Diakses, senin, 3 Mei
2010.
Educational Ideologies: Contemporary Expressions of Educational
Phylosophies, California: Goodyear Publishing Comp. Inc. (Halaman, 11).
Poerwanto, Ngalim (2000).Sosiologi Pendidikan, Bandung : PT. Angkasa. (Halaman, 61).
R. William Liddle, (1989). Politics and Culture in Indonesia, Ann Arbor: Center for Political
Studies, Institute for Social Research, University of Michigan, Ann Arbor, 1988, pp.
55. An article length revised version has been published as "The National Political
Culture and the New Order", Prisma 46
http://polisci.osu.edu/faculty/rwliddle/Liddle.pdf
Semiawan, Conny, (2002), Belajar dan Pembelajaran Dalam Taraf Usia Dini, Jakarta, PT.
Prenhallindo.

47
N Jurnal Ilmiah Pendidikan ISSN : 2252 - 4975
Vol. I No. 1 Edisi Maret-Agustus 2012

Soedijarto, (2003).Pendidikan Nasionalsebagai Proses Transformasi Budaya, Jakarta.


Soedijarto, (2008). Landasan dan Arah Pendidikan Nasional Kita, Jakarta : Kompas.
Suyatno, Peran Pendidikan sebagai Modal Utama dalam Pembangunan Karakter Bangsa,
Makalah oleh
Kopertis Wilayah 3 DKI Jakarta, 12 April 2010
Thomas Lickona, (2006).The Content of Our Character: Ten Essential Virtues, Journals of
Character Education,http://www.character-
education.info/resources/articles.htmDiakses Kamis, 6 Mei 2010.
Tilaar HAR. (2002). Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik Tranformatif
untuk Indonesia,Jakarta : Grasindo.
Tilaar, H.A.R. (2004), Multikulturalisme, Tantangan-Tantangan Global Masa Depan dalam
Transformasi Pendidikan Nasional, Grasindo, Jakarta, hlm. 135.
Tilaar, H.A.R (2007). Mengindonesia Etnisitas dan Identitas Bangsa Indonesia: Tinjauan dari
Perspektif Ilmu Pendidikan, Jakarta : Rineka Cipta.
Tilaar, H.A.R (2009) Kredo Pendidikan (My Pedagogial Credo), Jakarta : Lembaga
Manajemen Universitas Negeri Jakarta.
UUD 1945 Bab XIII Pasal 31 tentang Pendidikan Nasional dan Pasal 32 tentang Kebudayaan
Nasional Indonesia.
Zakaria, Fareed, (2003). The Future of Freedom, Liberal Democracy at Home and
Abroad, WW Norton & Company, New York.

48

Anda mungkin juga menyukai