Abstrak:
pada budaya nasional, berdiri di atas puncak-puncak kebudayaan daerah.
Seiring dengan proses desentralisasi pendidikan yang dalam melibatkan
peran serta masyarakat mengisyaratkan pengakuan terhadap manusia
Indonesia dan masyarakat setempat (konsep otonomi daerah). Ini berarti
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional ditinjau dari persepektif
filosofis harus beranjak dari suatu paradigma baru pendidikan menuju pada
pengakuan terhadap aspirasi masyarakat dan individu. Demikian,
kebutuhan pembelajaran individu berada dalam perbedaan realitas sosio-
historis, sosio-ekonomis, suku-bangsa, sosio-psikologis. Artinya akan
dihadirkan populasi sasaran beragam dalam konteks sistem pendidikan dan
persekolahan. Kontemplasi apik antara pendidikan dan kebudayaan akan
membentuk pribadi-pribadi yang memiliki karakter yang memang
merupakan fitrah dasar manusia. Disamping faktor-faktor lainnya seperti
akhlak, moral dan watak, karakter menentukan prilaku individu untuk
berbuat berdasarkan norma-norma yang telah disepakati. Pembentukan
karakter tersebut sangat kuat dipengaruhi oleh asupan kondisi lingkungan
sosial dan lingkungan budaya bangsa, dan tentu saja nilai luhur budaya
bangsa dan lingkungan masyarakat yang terpelihara yang diwarnai oleh jati
diri bangsa yang kokoh. Bahwa kondisi sosial budaya yang terjadi saat ini
turut menentukan arah pendidikan yang dilakukan. Namun, demikian
lembaga pendidikan diharapkan tidak hanyut dalam arus perubahan yang
kadang sangat bertentangan dengan nilai-nilai kebajikan. Budaya yang kuat
adalah budaya yang mampu mempertahankan entitasnya dan tidak parsial
sehingga akan terus dijadikan pegangan bagi masyarakat penganutnya dan
bahkan dapat dijadikan sandaran bagi tumbuhnya potensi-potensi baru
demi menjaga tetap terpatrinya budaya itu. Pendidikan merupakan salah
satu wadah yang dapat secara maksimal digunakan sebagai ajang
penggemblengan karakter dan nilai-nilai kesejatian. Sebagai ajang
pembudayaan. Pendidikan menjadi instrumen kekuatan sosial masyarakat
untuk mengembangkan suatu sistem pembinaan yang relevan dengan
tuntutan perubahan zaman. Untuk itu, pendidikan hendaknya mampu
melakukan fungsinya, melakukan tugas-tugas kelembagaan sesuai dengan
hukum perkembangan masyarakat. Dalam hal ini, pendidikan hendaknya
1 Abdul Kadir, M.Pd. Kandidat Doktor Manajemen Pendidikan Universitas Negeri Jakarta. Dalam konteks
tulisan ini ia menggarisbawahi bahwa: Mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai sasaran
penyelenggaraan pendidikan nasional hakikatnya adalah proses transformasi budaya, yaitu suatu
proses transformasi dari masyarakat tradisional dan terbelakang menuju masyarakat maju dan modern,
dan masyarakat tradisional feodalistis menuju masyarakat yang maju dan demokratis serta berkeadilan
sosial.
25
N Jurnal Ilmiah Pendidikan ISSN : 2252 - 4975
Vol. I No. 1 Edisi Maret-Agustus 2012
I. Pendahuluan
Secara singkat pendidikan merupakan produk dari masyarakat. Dikatakan
demikian karena pendidikan merupakan proses transmisi pengetahuan, sikap,
kepercayaan, keterampilan dan aspek-aspek kelakuan lainnya kepada generasi muda dan
seluruh upaya tersebut dilakukan sepenuhnya oleh kekuatan-kekuatan masyarakat.
Hampir segala sesuatu yang dipelajari manusia merupakan hasil hubungan individu
dengan orang lain baik di rumah, sekolah, tempat permainan, pekerjaan dan sebagainya.
Wajar pula apabila segala sesuatu yang diketahui adalah hasil hubungan timbal balik
yang ternyata sudah sedemikian rupa dibentuk oleh masyarakat. Pendidikan telah
dimulai ketika anggota muda dalam sebuah keluarga dijaga dan dibimbing terus untuk
mengenal dan mengamalkan nilai-nilai, pengetahuan, keterampilan dan bentuk tata
perilaku lainnya. Dengan demikian pendidikan dapat diartikan sebagai proses sosialisasi
dan pendidikan juga merupakan proses pembudayaan berkelanjutan hingga maut
menjemput.2
Apabila orang dewasa memenuhi kewajibannya secara paripurna dan
menjalankan hal-hal lain yang tertanam kuat dalam benak kesadarannya, itu berarti
mereka melakukan tugas yang sudah ditentukan secara eksternal oleh hukum-hukum
kodrat sosial (droit) dan kebiasaan-kebiasaan yang berkembang begitu alamiah dari
lingkungan sosial. Kewajiban itu muncul bukan hasil dari proses pemaksaan eksternal
26
N Jurnal Ilmiah Pendidikan ISSN : 2252 - 4975
Vol. I No. 1 Edisi Maret-Agustus 2012
yang mekanistis melainkan selalu diikuti oleh gejala resiprositas individu dengan
lingkungan luarnya sehingga pada tahap akhirnya masyarakat telah menghasilkan
ribuan atau bahkan jutaan manusia yang tunduk lahir batin dengan ketentuan-ketentuan
kolektif3.
Kenyataan yang tak dapat ditolak bahwa masyarakat dan bangsa Indonesia terdiri
dari berbagai keragaman sosial, kelompok etnis, budaya, agama, aspirasi politik dan
lain- t
sebagai masyarakat "multikultural". Pada pihak lain, realitas "multikultural" tersebut
berhadapan dengan kebutuhan mendesak untuk merekonstruksi kembali "kebudayaan
"integrating force" yang
4
dapa
Pendidikan merupakan sistem dan cara meningkatkan kualitas hidup manusia
dalam segala aspek kehidupan manusia. Dalam sejarah umat manusia5, hampir tidak ada
kelompok manusia yang tidak menggunakan pendidikan sebagai alat pembudayaan dan
peningkatan kualitasnya, sekalipun dalam masyarakat yang masih terbelakang
(primitive). Pendidikan sebagai usaha sadar yang dibutuhkan untuk menyiapkan anak
manusia demi menunjang perannya di masa datang. Jadi, pendidikan yang dilakukan
suatu bangsa tentu memiliki hubungan yang sangat signifikan dengan rekayasa bangsa.
Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan asasi manusia, bahkan M. Natsir
menegaskan bahwa pendidikan merupakan salah satu faktor yang ikut menentukan maju
mundurnya kehidupan masyarakat tersebut.6
Dalam tataran yang lebih luas seperti lembaga negara, pemerintah memiliki
tangung jawab moril dan material yang di dalamnya melekat hak-hak sosial warga
negara. Demikian pula, bangsa Indonesia. Aspek pendidikan merupakan hak sosial
3 Tilaar, H.A. (2007). Mengindonesia Etnisitas dan Identitas Bangsa Indonesia: Tinjauan dari
Perspektif Ilmu Pendidikan, Jakarta : Rineka Cipta. Halaman 5.
4 Muhaemin el- Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural (Sebuah Kajian Awal),
Sumber: http://artikel.us/muhaemin6-04.html, Diakses, senin, 3 Mei 2010.
5 Ahmad Syafii Maarif, menyatakan apabila dilihat dari segi sejarah, pendidikan merupakan suatu
gerakan yang telah berumur sangat tua. Dalam bentuk sederhana dapat dipahami, pendidikan telah
dijalankan sejak dimulainya manusia di muka bumi ini. Penguasaan alam semesta, memberi contoh
pendidikan kepada manusia dan dilanjutkan dengan mendidik keluarga. Ahmad Syafii Maarif,
, Jurnal Pendidikan Islam (JPI), (No.2 Th.
Fakultas Tarbiyah UII, 1 Oktober 1996), hlm. 6.
6 M. Natsir, Kapita Selecta, Jakarta: Bulan Bintang, 1973, hlm. 77.
27
N Jurnal Ilmiah Pendidikan ISSN : 2252 - 4975
Vol. I No. 1 Edisi Maret-Agustus 2012
7 UUD 1945 Bab XIII Pasal 31 tentang Pendidikan Nasional dan Pasal 32 tentang Kebudayaan
Nasional Indonesia.
8 Azyumardi Azra,Identitas dan Krisis Budaya, Membangun Multikulturalisme Indonesia,
From:http://kongres.budpar.go.id/ agenda/ precongress/ makalah/abstrak/58%20
azyumardi%20azra.htm, akses, Selasa, 24 Mei 2005, jam. 11.00
9 H.A.R. Tilaar, 2004, Multikulturalisme, Tantangan-Tantangan Global Masa Depan dalam
Transformasi Pendidikan Nasional, Grasindo, Jakarta, hlm. 123
28
N Jurnal Ilmiah Pendidikan ISSN : 2252 - 4975
Vol. I No. 1 Edisi Maret-Agustus 2012
Ironisnya, keluhuran budaya bangsa yang tertanam demikian kuat dalam setiap
jiwa manusia Indonesia sedikit demi sedikit mengalami pengerusan sebagai akibat
langsung maupun tidak langsung dari sebuah tatanan baru yang bernama globalisasi.
10 Semiawan, Conny, 2002, Belajar dan Pembelajaran Dalam Taraf Usia Dini, Jakarta, PT.
Prenhallindo.
11 Suyatno, Peran Pendidikan sebagai Modal Utama dalam Pembangunan Karakter Bangsa, Makalah
29
N Jurnal Ilmiah Pendidikan ISSN : 2252 - 4975
Vol. I No. 1 Edisi Maret-Agustus 2012
Indonesia belum siap menerima kehadiran tamu baru tersebut karena jati diri, karakter
dan perilaku sebagian warga Negara ini masih sangat labil.12
Bukti ketidaksiapan tersebut sangat mudah dijumpai di mana saja. Pintu mana
pun yang kita buka, kita akan terperangah betapa perilaku-perilaku yang bertentangan
dengan budaya bangsa seperti sudah lumrah terjadi. Orang Indonesia pun dengan cerdas
mengelompokkannya dengan berbagai istilah seperti ancaman disintegrasi, korupsi,
kolusi, nepotisme, markus, arogansi kesukuan, konflik antaretnis, antaragama,
pengangguran terdidik, sexual harassment, BBS, dan berbagai istilah lainnya dari yang
paling birokratis sampai yang menyangkut etika moral.13
William Liddle, seorang pemerhati Indonesia mengatakan bahwa yang dominan
di Indonesia adalah apa yang disebutnya faham inbetweenness,14 suatu faham yang
setengah-setengah dalam artian tidak menganut ideologi liberal dan tidak juga komunis,
tidak sistem ekonomi pasar bebas dan tidak pula sistem ekonomi komando. Ada
baiknya mempertahankan faham ini dengan kecenderungan untuk selalu memadukan
sistem, pola pikiran dan nilai-nilai yang berlawanan atau berbeda, misalnya adalah
mengupayakan sintesa dari ideologi liberal dan sosialis atau pandangan Barat dan
pandangan Timur dalam kehidupan.
Kecenderungan ini nampaknya tetap kuat di dalam banyak bidang ekonomi,
politik, hukum dan budaya. Dalam bidang sosial budaya terjadi asimilasi budaya
setengah hati.15 Kita sepertinya tidak sepenuhnya mau menerima pengaruh budaya asing
padahal pintu-pintu bandara kita sudah terbuka lebar malah tanpa visa bagi beberapa
wisatawan dari negara lain. Dari sisi ekonomi jelas ada pemasukan negara yang cukup
besar, tetapi adalah tidak realistis menolak pengaruh budaya asing secara berlebihan dan
menudingnya sebagai perusak budaya nasional. Aturan yang memperbolehkan parabola
dan siaran satelit langsung menyerbu rumah-rumah kita secara bersamaan tentu masuk
30
N Jurnal Ilmiah Pendidikan ISSN : 2252 - 4975
Vol. I No. 1 Edisi Maret-Agustus 2012
pula nilai-nilai budaya asing. Anehnya, tumbuh pula semacam sikap xenophobia
(ketakutan terhadap yang asing).16
Pada sisi lainnya, kecenderungan ini telah memicu munculnya resistensi dari
budaya-budaya lokal yang merasa eksistensinya terancam seiring gelombang
penyeragaman ini. Bagaimanapun, globalisasi tetap memberikan ruang toleransi
terhadap keragaman budaya. Toleransi tersebut dapat dijadikan modal sosial dan tidak
mengarah kepada proses saling mengeksklusi antara budaya satu dengan budaya
lainnya, akan tetapi menjelma menjadi modal utama bagi terciptanya dialog dan kerja
sama multikultural yang berkeadilan.17
II. Permasalahan
Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang mampu memberikan arah bagi
semakin baiknya pembelajar dalam berbagai aspek kehidupannya. Mengkaji pendapat
Dewey18 justru status pendikan kita dasarnya tidak jelas. Apakah pendidikan sebagai
kebutuhan hidup, sebagai fungsi sosial, sebagai tujuan, atau sebagai pertumbuhan?
Lebih jauh apakah fungsi pendidikan di negeri kita? Sebagai komoditi, sebagai ideologi,
atau sebagai keadilan sosial? Sebagai komoditi di mana pendidikan kita cenderung
disesuaikan dengan pesanan perusahaan-perusahaan kapitalis. Sebagai ideologi di mana
pendidikan merupakan upaya pelestarian ideologi tertentu yang mengarah pada
kekuasaan tertentu. Atau sebagai keadilan sosial di mana pendidikan merupakan hak
yang harus diterima oleh semua rakyat baik kaya maupun miskin tanpa pandang bulu.
Terdpat tiga permasalahan utama yang dikaitkan dengan peran pendidikan dalam
konteks sosial budaya yang selanjutnya diarahkan pada pembangunan negara bangsa.
(1) Bagaimana kondisi sosial budaya berpengaruh terhadap pendidikan? (2) Bagaimana
peran pendidikan sebagai ajang pembudayaan? Dan (3) Bagaimana pendidikan berperan
dalam pembangunan kebudayaan nasional?
16 Inglehart, Ronald, (1997). Modernization and Postmodernization: Cultural Economic and Political
Change in 43 Societies, New Jersey : Princeton University Press. (Halaman 14)
17 H.A.R. Tilaar,2004, Multikulturalisme, Tantangan-Tantangan Global Masa Depan dalam
Transformasi Pendidikan Nasional, Grasindo, Jakarta, hlm. 135.
18 John Dewey, 1964. Democracy and Education: The Introduction to the Phylosophy of Education,
New York : The MacMillan Comp.
31
N Jurnal Ilmiah Pendidikan ISSN : 2252 - 4975
Vol. I No. 1 Edisi Maret-Agustus 2012
III. Pembahasan
19 Zakaria, Fareed, 2003.The Future of Freedom, Liberal Democracy at Home and Abroad,
WW Norton & Company, New York.
20 Asian
Values
21 Alagappa, 1996.The Asian Spectrum. In L. Diamond et al., editors. The Global Resurgence
of Democracy.343-349. Baltimore, Maryland: The John Hopkins University Press.
32
N Jurnal Ilmiah Pendidikan ISSN : 2252 - 4975
Vol. I No. 1 Edisi Maret-Agustus 2012
22 Frederic Harbison dan Charles A. Myers, Manpower and Education : Country Studies in Economic
Development, New Yokr : Mc Graw-Hill Book Company (Halaman xi). Mereka menulis : It is quite
possible for countries to invest inefficiently in human resourse development, to put money into the
wrong kinds of formal education, to perpetuate the wrong kinds of incentive, and to fail to integrate
effectively formal education with in-service training. Thus education reform is just as strategic as are
increases in education investments for promoting economic and social development.
23 Tilaar, H.A. (2009) Kredo Pendidikan (My Pedagogial Credo), Jakarta : Lembaga Manajemen
Universitas Negeri Jakarta (Halaman 13)
33
N Jurnal Ilmiah Pendidikan ISSN : 2252 - 4975
Vol. I No. 1 Edisi Maret-Agustus 2012
24 Tilaar, H.A. (2007). Mengindonesia Etnisitas dan Identitas Bangsa Indonesia: Tinjauan dari
Perspektif Ilmu Pendidikan, Jakarta : Rineka Cipta. Halaman 27.
25 Soedijarto, (2008). Landasan dan Arah Pendidikan Nasional Kita, Jakarta : Kompas. Ahli Pendidikan
sebagai pusat pembudayaan, dalam praktik sejak 1950 melalui tiga kali perubahan UU, delapan kali
perubahan kurikulum, dan empat kali perubahan system penentuan kelulusan, penyelenggara
pendidikan nasional belum berhasil, bahkan belum tampak upaya yang sungguh-sungguh untuk
34
N Jurnal Ilmiah Pendidikan ISSN : 2252 - 4975
Vol. I No. 1 Edisi Maret-Agustus 2012
diperoleh manusia melalui pewarisan atau transmisi dalam keluarga, lewat sistem
pendidikan formal disekolah atau lembaga pendidikan formal lainnya, melainkan juga
diperoleh melalui proses belajar dari berinteraksi dengan lingkungan alam dan
sosialnya.
Melalui pewarisan kebudayaan dan internalisasi pada setiap individu, pendidikan
hadir dalam bentuk sosialisasi kebudayaan, berinteraksi dengan nilai-nilai masyarakat
setempat dan memelihara hubungan timbal balik yang menentukan proses-proses
26 Goodenough, 1971, W.H. Biographical Dictionary of Social and Cultural Anthropology. Amit, Vered
ed. London and New York: Routledge. 202-203.
27 James Spradley, 1972, Conformity And Conflict - Readings In Cultural Anthropology (Paperback),
New York : Addison Wesley.
28 Clifford Geertz, 1973,The Interpretation of Cultures, Basic Books:
Boston.http://www.nytimes.com/2006/ 11/01/obituaries/01geertz.html?_r=1
35
N Jurnal Ilmiah Pendidikan ISSN : 2252 - 4975
Vol. I No. 1 Edisi Maret-Agustus 2012
29 Tilaar, H.A. (2007). Mengindonesia Etnisitas dan Identitas Bangsa Indonesia: Tinjauan dari Perspektif
Ilmu Pendidikan, Jakarta : Rineka Cipta. Halaman 43.
30 Idem, 2007 Halaman 44.
36
N Jurnal Ilmiah Pendidikan ISSN : 2252 - 4975
Vol. I No. 1 Edisi Maret-Agustus 2012
di dalamnya hal-hal buruk dan bahkan sangat jahat yang dapat mengancam kokohnya
nilai-nilai kebajikan yang sudah tertanam baik.
Melihat urgensi hubungan antara pendidikan dan dinamika sosial budaya,
sosiologi pendidikan berusaha menerapkan analisis ilmiah untuk memahami fenomena
pendidikan dalam hubungannya dengan perubahan sosial-kebudayaan. Di mana pada
langkah awalnya akan dibangun suatu proses penjelasan hakikat kebudayaan sebagai
wahana tumbuh-kembangnya eksistensi pendidikan terhadap anggota masyarakat.
Sebagai salah satu perangkat kebudayaan pendidikan akan melakukan tugas-tugas
kelembagaan sesuai dengan hukum perkembangan masyarakat. Dari sini dapat kita
amati bersama sebuah alur pembahasan hubungan dialektik antara pendidikan dengan
realitas perkembangan sosial faktual yang saat ini tengah menggejala pada hampir
seluruh masyarakat dunia.31
Manusia dan kebudayaan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan,
sementara itu pendukung kebudayaan adalah makhluk manusia itu sendiri. Sekalipun
makhluk manusia akan mati, tetapi kebudayaan yang dimilikinya akan diwariskan pada
keturunannya, demikian seterusnya. Pewarisan kebudayaan makhluk manusia, tidak
selalu terjadi secara vertikal atau kepada anak-cucu mereka; melainkan dapat pula
secara horisontal yaitu manusia yang satu dapat belajar kebudayaan dari manusia
lainnya .Berbagai pengalaman makhluk manusia dalam rangka kebudayaannya,
diteruskan dan dikomunikasikan kepada generasi berikutnya oleh individu lain.
Menurut Morgan tingkat kemajuan masyarakat manusia dapat dibagi kedalam tiga
periode evolusi, yaitu periode masyarakat berburu atau periode liar (savage), periode
beternak (barbarism) dan periode pertanian yang berkembang ke arah peradaban atau
civilitation. Dalam konteks tersebut, para cendekiawan di masa Aufklarung selalu
menempatkan bangsa-bangsa di luar Eropa sebagai contoh orang yang tingkat
perkembangan kebudayaannya berada pada tahap awal.32
Antara pendidikan dan kebudayaan terdapat hubungan yang sangat erat dalam arti
keduanya berkenaan dengan suatu hal yang sama yakni nilai-nilai. Dalam konteks
kebudayaan justru pendidikan memainkan peranan sebagai agen pengajaran nilai-nilai
37
N Jurnal Ilmiah Pendidikan ISSN : 2252 - 4975
Vol. I No. 1 Edisi Maret-Agustus 2012
budaya. Dari paparan terakhir dapat ditangkap bahwa pada dasarnya pendidikan yang
berlangsung adalah suatu proses pembentukan kualitas manusia sesuai dengan kodrat
budaya yangdimiliki.
Afinitas mengenai pendidikan dan kebudayaan dapat kita cermati dalam ciri khas
manusia sebagai makhluk simbolik. Hanya manusialah yang mengenal dan
memanfaatkan simbol-simbol di dalam kelanjutan kehidupannya. Simbol-simbol itu
dapat kita lihat di dalam kebudayaan manusia. Mengingat kebudayaan dilestarikan dan
dikembangkan melalui simbol-simbol maka semua tingkah laku manusia terdiri dari,
dan tergantung pada simbol-simbol tersebut. Sebaliknya kebudayaan bisa lestari apabila
memiliki daya kerja yang kuat dalam memberikan arahan para pendukungnya. Oleh
karena itu kebudayaan diturunkan kepada generasi penerusnya lewat proses belajar
tentang tata cara bertingkah laku. Sehingga secara wujudnya, substansi kebudayaan itu
telah mendarah daging dalam kepribadian anggota-anggotanya.34
Uraian tentang pendidikan dan kebudayaan akan diterangkan dalam urutan
pembahasan yang penulis parafrase dari Ngalim Purwanto dalam bukunya Sosiologi
Pendidikan dibawah ini.35
38
N Jurnal Ilmiah Pendidikan ISSN : 2252 - 4975
Vol. I No. 1 Edisi Maret-Agustus 2012
2. Penerusan Kebudayaan
Satu proses yang dikenal luas tentang kebudayaan adalah transmisi kebudayaan.
Proses tersebut menunjukkan bahwa kebudayaan itu ditransmisikan dari satu generasi
kepada generasi berikutnya. Bahkan banyak ahli pendidikan yang merumuskan proses
pendidikan tidak lebih dari proses transmisi kebudayaan. Kepribadian bukanlah semata-
mata hasil tempaan dari kebudayaan. Manusia atau pribadi adalah aktor dan sekaligus
manipulator kebudayaannya. Dengan demikian, kebudayaan bukanlah sesuatu entity
yang statis tetapi sesuatu yang terus-menerus berubah.36
39
N Jurnal Ilmiah Pendidikan ISSN : 2252 - 4975
Vol. I No. 1 Edisi Maret-Agustus 2012
Sedangkan menurut Soedijarto bahwa civilization is more than culture. Untuk itu
sekolah hendaknya berfungsi sebagai pusat pembudayaan. Di sekolah diharapkan akan
terjadi proses membudayakan hal-hal yang baik melalui sebuah rangkaian proses sadar
dan bermakna. Guru hendaknya melatih siswa didik untuk berpikir tentang bagaimana
berpikir, bersikap, bertindak dan bertanggung jawab atas tindakannya sesuai peradaban
yang dianutnya.38
Pendapat di atas sejalan dengan pandangan Sosiologi Pendidikan bahwa
pendidikan adalah suatu institusi pengkonservasian yang berupaya menjembatani dan
memelihara warisan budaya suatu masyarakat yang dibentuk berdasarkan peraturan
perundang-undangan dan kebijakan yang mengikat seluruh tatanan kehidupan
berbangsa dan bernegara. Melihat perkembangan masyarakat yang sering dilanda
perubahan secara tiba-tiba, maka kemungkinan terjadinya dampaknegatif yang akan
menggejala ke dalam kehidupan masyarakat tidak dapat dihindari kehadirannya. Gejala
ketimpangan budaya atau cultural lag, harus dapat diminimalisasi pengaruhnya kedalam
tatanan kehidupan masyarakat. Untuk itu sebagai lembaga yang berfungsi menjaga dan
mengarahkan perjalanan masyarakat, pendidikan harus dapat menangkap potensi
kebutuhan masyarakat.39
40
N Jurnal Ilmiah Pendidikan ISSN : 2252 - 4975
Vol. I No. 1 Edisi Maret-Agustus 2012
41
N Jurnal Ilmiah Pendidikan ISSN : 2252 - 4975
Vol. I No. 1 Edisi Maret-Agustus 2012
43 Alagappa, 1996.The Asian Spectrum. In L. Diamond et al., editors. The Global Resurgence of
Democracy.343-349. Baltimore, Maryland: The John Hopkins University Press.
44 Kotler, Philip, Somkid Jatusripitak dan Suvit Maesincee, (1997). The Marketing of Nations: A Strategic
Approach to Building National Wealth, New York : The Free Press.
45 Tilaar HAR. (2002). Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik Tranformatif untuk
Indonesia,Jakarta : Grasindo.Halaman 29.
42
N Jurnal Ilmiah Pendidikan ISSN : 2252 - 4975
Vol. I No. 1 Edisi Maret-Agustus 2012
43
N Jurnal Ilmiah Pendidikan ISSN : 2252 - 4975
Vol. I No. 1 Edisi Maret-Agustus 2012
membangun masyarakat Indonesia baru, yaitu masyarakat madani (civic society) yaitu
masyarakat yang mengetahui hak-haknya dengan menunaikan kewajiban-kewajiban
demi untuk kebahagiaan seluruh masyarakat di mana ia menjadi anggotanya. Hal ini
bersentuhan dengan konsep cultural capital yang telah dikemukakan di atas di mana
pada era otonomi daerah ini budaya lokal akan tumbuh dan berkembang di dalam
bingkai keindonesiaan.
Pengembangan civic intelligence di dalam kurikulum menurut Tilaar50 sebagai
berikut:
Budaya Global
Budaya
Budaya Lokal
Budaya Primordial
50 Tilaar HAR. (2002). Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik Tranformatif untuk
Indonesia,Jakarta : Grasindo. Halaman 453.
51 Kotler, Philip, Somkid Jatusripitak dan Suvit Maesincee, (1997). The Marketing of Nations: A Strategic
Approach to Building National Wealth, New York : The Free Press.
44
N Jurnal Ilmiah Pendidikan ISSN : 2252 - 4975
Vol. I No. 1 Edisi Maret-Agustus 2012
menyiapkan suatu tata kehidupan manusia yang baru. Demikianlah kita melihat
bagaimana peranan pendidikan didalam menata suatu masyarakat baru. Masyarakat baru
yang berdasarkan paradigma baru, akan dapat dipersiapkan melalui proses pendidikan.52
IV. Penutup
A. Simpulan
Pada bagian akhir tulisan ini, terdapat tiga hal pokok yang dapat disarikan dari
paparan dalam bagian pembahasan di atas. Ketiga poin tersebut adalah sebagai
berikut:
1. Bahwa kondisi sosial budaya yang terjadi saat ini turut menentukan arah
pendidikan yang dilakukan. Namun, demikian lembaga pendidikan diharapkan
tidak hanyut dalam arus perubahan yang kadang sangat bertentangan dengan
nilai-nilai kebajikan. Budaya yang kuat adalah budaya yang mampu
mempertahankan entitasnya dan tidak parsial sehingga akan terus dijadikan
pegangan bagi masyarakat penganutnya dan bahkan dapat dijadikan sandaran
bagi tumbuhnya potensi-potensi baru demi menjaga tetap terpatrinya budaya itu.
2. Pendidikan merupakan salah satu wadah yang dapat secara maksimal digunakan
sebagai ajang penggemblengan karakter dan nilai-nilai kesejatian. Sebagai ajang
pembudayaan. Pendidikan menjadi instrumen kekuatan sosialmasyarakat untuk
mengembangkan suatu sistem pembinaan yang relevan dengan tuntutan
perubahanzaman. Untuk itu, pendidikan hendaknya mampu melakukan
fungsinya, melakukan tugas-tugas kelembagaan sesuai dengan hukum
perkembangan masyarakat. Dalam hal ini, pendidikan hendaknya
memperhatikan benar modal kutlural dan modal sosial di samping modal-modal
dasar lainnya.
3. Pendidikan sejatinya harus berperan maksimal dalam mengembangkan
kebudayaan nasional. Untuk itu diperlukan transformasi pedagogik yang
direncanakan, dilaksanakan dan dikontrol dengan baik. Hal-hal yang dapat
52 Tilaar HAR. (2002). Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik Tranformatif untuk
Indonesia,Jakarta : Grasindo. Halaman 453.
45
N Jurnal Ilmiah Pendidikan ISSN : 2252 - 4975
Vol. I No. 1 Edisi Maret-Agustus 2012
B. Rekomendasi
46
N Jurnal Ilmiah Pendidikan ISSN : 2252 - 4975
Vol. I No. 1 Edisi Maret-Agustus 2012
DAFTAR PUSTAKA
47
N Jurnal Ilmiah Pendidikan ISSN : 2252 - 4975
Vol. I No. 1 Edisi Maret-Agustus 2012
48