Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Sejarah Nusa Tenggara yang
diampu oleh Ibu Fransisca Setiowati Sunaryo, S. S., M. Hum.
1901561006
UNIVERSITAS UDAYANA
2021
BAB I
PENDAHULUAN
Pendidikan adalah salah satu kebutuhan manusia untuk kehidupan yang lebih
baik. Melalui pendidikan manusia menjadi sosok yang mempunyai intelektualitas dan
keterampilan tertentu, karena pada dasarnya pendidikan mengajarkan cara berpikir
dan juga praktik. Masyarakat Indonesia saat ini merupakan kelanjutan dari
masyarakat yang sudah ada sebelumnya. Turun temurun dari nenek moyang dan
mewariskan budayanya kepada masyarakat sekarang. Di masa lampau, masyarakat
sudah hidup secara berkelompok, gotong royong dan pola kepemimpinannya yang
demokratis dan rasional, yaitu primus inter pares.
Selama ada kehidupan, selama itu pula perlu adanya pendidikan di dunia.
Pendidikan di dunia telah terjadi sejak zaman purba. Dengan kata lain, pendidikan di
Indonesia telah dilaksanakan sejak sebelum kemerdekaan hingga sekarang. Kondisi
pendidikan di setiap negara berubah-ubah dan terus berkembang tergantung
zamannya, termasuk Indonesia. dalam pelaksanaan pendidikan, tentunya muncul
berbagai permasalahan, baik masalah sederhana hingga masalah yang serius.
1
Timur (NTT) mempunyai peran strategis dalam kehidupan masa lampau, terutama
sebagai jalur migrasi manusia fauna di wilayah Indonesia Timur. Kemashuran
wilayah ini bergema dan terekam dalam berbagai kitab bangsa seberang dan diakui
sebagai kawasan yang sangat unik untuk dipelajari. Pembabakan dalam tulisan ini
tidak disesuaikan dengan 3 kategori tersebut, hal ini ditujukan untuk mengetahui
dinamika pendidikan secara umum di wilayah Nusa Tenggara Timur ketika zaman
prasejarah hingga zaman kemerdekaan.
Ada sejumlah artikel yang dapat digunakan untuk menunjang studi ini.
Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Ronal Ridho’I berjudul “Motif Pendidikan di
Nusantara Dari Perspektif Historis”.2 Pada masa prasejarah pendidikan ditujukan
untuk hal-hal yang praktis agar bisa bertahan hidup (seperti berburu, meramu dan
bercocok tanam). Pada periode klasik pendidikan lebih ditekankan pada penyebaran
2
Ibid.
2
agama-agama (Hindu – Buddha dan Islam). Periode colonial pendidikan diarahkan
untuk membentuk pegawai-pegawai pemerintah dengan gaji yang murah dan agar
bisa mengawasi gerak masyarakat jika sewaktu-waktu memunculkan resistensi.
Selanjutnya, pendidikan nasional mengalami proses panjang, karena sistem
pendidikan selalu berubah setiap pergantian kekuasaan. Motif pendidikan pun
disesuaikan dengan program kerja penguasa yang tidak terlepas dari pengaruh
ideology dan ekonomi. Jika dilihat prosesnya dari waktu ke waktu, motif pendidikan
dari masa prasejarah hingga klasik memang mengalami perbedaan, dari pendidikan
praktis ke pendidikan keagamaan. Namun, sejak periode kolonial hingga saat ini
motif pendidikan di Nusantara mengalami kontinuitas, yaitu ekonomi. Hal itu dapat
dilihat dari luarannya yang memang sama-sama difokuskan untuk menjadi seorang
pekerja.
3
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, “Sejarah Daerah Nusa Tenggara Timur”,
(Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan).
4
Mochtar Bachtiar, “Pendidikan Indonesia Dari Masa ke Masa”, diakses dari
http://izzaucon.blogspot.com/2014/06/pendidikan-indonesia-dari-masa-ke-masa.html, pada
tanggal 22 Maret 2021.
3
zaman kerajaan Hindu – Buddha, zaman kerajaan Islam, zaman Portugis dan Spanyol,
zaman Belanda, dan zaman kedudukan Jepang. Sedangkan sesudah kemerdekaan
meliputi periode 1945-1969, periode 1969-1993. Pendidikan pada masa sekarang
disebut juga pendidikan era global yang banyak dipengaruhi oleh perkembangan
IPTEK. Evolusi pendidikan guru di Indonesia juga berlangsung sejak zaman Hindu-
Buddha hingga zaman sekarang. Pendidikan kerap mendapat permasalahan, dan
solusi dalam permasalahan pendidikan dapat dilakukan dengan du acara, yaitu solusi
sistem yang berkaitan dengan perbaikan sistem pendidikan, dan solusi teknis yang
berkaitan dengan teknik pelaksanaan pendidikan.
4
BAB II
PEMBAHASAN
Pada waktu itu diduga telah dikenal juga pendidikan yang khusus dan tidak
berlaku untuk seluruh anggota masyarakat. Misalnya untuk menjadi dukun yang perlu
keahlian khusus, dan pemimpin keagamaan. Calon-calon anak yang dididik lebih
bersifat terbatas dari keluarga dukun atau pemimpin agama yang dipilih dan dianggap
mampu dan ada bakat untuk mewarisi kepandaian orang tuanya. Mengenai proses
pendidikannya akan berlangsung juga secara bertahap dengan mengikut sertakan anak
yang diarahkan mewarisi ilmu, dalam kegiatan yang dilakukan oleh orang tuanya.
5
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, “Sejarah Daerah Nusa Tenggara Timur”,
(Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan), p. 19-20.
5
Cara-cara demikian sampai belum lama berselang masih dikenal di kalangan
penduduk di berbagai wilayah di Nusa Tenggara Timur.
Pendidikan formal pada zaman kuno hampir tidak dikenal, yang ada adalah
pendidikan keluarga. Peserta pendidikan ini adalah para anggota keluarga baik laki-
laki maupun perempuan yang masih anak-anak. Proses pendidikna ini adalah secara
berangsur-angsur tetapi terus berlangsung sampai anak-anak menjadi dewasa. Di
Nusa Tenggara Timur tidak dikenal huruf-huruf daerah. Oleh karena itu juga tidak
ada sistem pendidikan secara tertulis. Namun demikian di daerah Nusa Tenggara
Timur dikenal pendidikan secara lisan melalui syair-syair adat. Dalam syair adat ini
ditekankan pada pengenalan asal-usul nenek moyang (sejarah), adat istiadat dan
etika.6
Pada zaman baru ini di samping pendidikan tradisional telah mulai dikenal
sistem pendidikan baru. Sistem pendidikan baru di wilayah Nusa Tenggara Timur erat
hubungannya dengan perkembangan agama Kristen dan Katolik. Pada tahun 1701
untuk pertama kali di Kupang telah didirikan sekolah dasar persatuan Jemaat Kristen
oleh pendeta keliling. Dalam pendidikan modern, yang mula-mula berkembang pesat
di Rote. Pada awal abad ke-18 raja Benyamin Mesa yang merupakan raja Kristen
pertama di Rote, memohon seorang guru laki-laki. Pada tahun 1735 Kompeni
menetapkan seorang Ambon bernama Hendrik Mendriks sebagai guru sekolah di
Thie.7
6
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Op. Cit., p. 35.
7
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Op. Cit., p. 50-51.
6
pengetahuan dan agama di kalangan murid-murid. Melalui merekalah tersebar pula
pengaruh kebudayaan dan Bahasa Melayu Ambon ke wilayah Timor. Perkembangan
sekolah di Rote ternyata lebih pesat dari pada di Timor sendiri pada permulaannya.
Pada tahun 1754 telah terdapat 6 sekolah di Oenole, Dengka, Termanu, Bilba,
Ringgou dan Landu dengan murid sebanyak 3.000. Bahasa Melayu diajarkan di
sekolah dan sebagai Bahasa pengatar. Pada tahun 1765 mulailah suatu sistem baru
dimana separuh dari pembiayaan sekolah ditanggung oleh Kompeni. Demikan halnya
di Timor, di Flores pendidikan formal dirintis oleh kaum agama. Pada tahun 1566
Pater Antonio da Cruz mendirikan sebuah sekolah Seminari di kota tetangga
Larantuka di Pulau Flores. Pada tahun 1596, Seminari ini memiliki 50 murid.
Pada tahun 1847 telah diangkat seorang pemuda Rote P. Pello sebagai
pembantu penyebar agama dan pemilik sekolah. Pada tahun 1851 sekolah zending di
Rote ditutup. Namun demikian pada tahun 1851 di Rote telah ada 18 buah sekolah.
Pada tahun 1862 telah terdapat 18 gouvernements onderwijzers, 11 Negorij -
onderwijzers, dan 21 helpers. Pada tahun 1971 telah terdapat 18 sekolah pemerintah,
16 sekolah desa. Guru-guru pada saat itu pada umumnya adalah orang Ambon. Untuk
kepentingan tenaga guru van der Chijs mengusulkan didirikan sekolah guru di
Kupang, namun usaha tersebut tidak dapat segera direalisasikan. Oleh karena itu
untuk pendidikan guru, banyak orang Rote dikirim ke Ambon. Lulusan pertama dari
8
Ronal Ridho’I, Op. Cit., p. 141.
7
sekolah ini untuk orang-orang asal Rote adalah tahun 1877. Sehingga pada abad 1884
telah banyak orang-orang Rote yang menjadi guru.9
Sistem pendidikan modern pada periode 1900-1942 yang semula dirintis oleh
kaum agama semakin berkembang. Sekolah-sekolah tingkat pendidikan dasar,
sekolah lanjutan dan sekolah agama berkembang pesat. Di Manggarai sekolah-
sekolah pertama adalah tahun 1911, di Reo dan Labuan Bajo sedang di Larantuka
telah ada pada tahun 1862. Pada tahun 1913 Misi mulai giat membuka sekolah. Pada
tahun 1915 telah terdapat 32 sekolah misi, dengan 70 tenaga guru dan 3000 murid.
Pada tahun 1919 jumlah sekolah misi menjadi 70 buah dengan tenaga guru 158 orang
dan murid sekolah 6300 anak. Di samping sekolah desa yang hanya mengajarkan
membaca, menulis, berhitung dan agama, didirikan pula Standaardschool yang
bermasa belajar 6 tahun.10
Pada tahun 1919 dibuka pula pendidikan guru dua tahun yakni Normaal
cursus, yang sebelumnya telah ada pula di Larantuka. Di Larantuka dan Lela
didirikan sekolah kepandaian putri. Pada tahun 1924 dibuka sekolah pertukangan di
Ende dan tahun 1928 sekolah pertukangan Santo Yosef berdiri.11 Antara tahun
9
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Op. Cit., p. 79-80.
10
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Op. Cit., p. 104-105.
11
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, “Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Nusa
Tenggara Timur.” Diakses dari http://repositori.kemdikbud.go.id/7435/1/SEJARAH
%20KEBANGKITAN%20NASIONAL%20DAERAH%20NUSA%20TENGGARA%20TIMUR.pdf
pada tanggal 4 April 2021.
8
1919-1930 jumlah sekolah desa yang dibina Misi di NTT meningkat dari 70 buah
menjadi 271 buah. Tenaga guru dari 258 orang menjadi 466 orang. Jumlah murid dari
6300 orang menjadi 25.384 orang.
9
2.6 Perkembangan Pendidikan Pada Zaman Pendudukan Jepang (1942-
1945)
Adapun keadaan pendidikan di NTT pada tahun 1975 terdapat 2.840 sekolah,
yakni 84 sekolah TK dengan jumlah murid 4.636 orang dan 116 orang guru tetap,
2.351 SD dengan jumlah murid 266.228 orang dan 11.495 orang guru tetap dengan
jumlah lulusan 28.969 orang. Kemudian ada 202 SMP dengan jumlah murid 30.241
orang dan 884 orang guru tetap dengan jumlah lulusan 5.814. Ada 62 SMEP dengan
murid 5.568 orang, 302 guru tetap, dan jumlah lulusan 1.146 orang. Ada juga 17 ST
dengan jumlah murid 3.174 orang dengan 102 guru tetap dan jumlah lulusan 568
orang. 14 SKKP dengan 1.396 murid, 79 guru tetap dengan lulusan 258 orang.
12
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Op. Cit., p. 121-122.
10
Kemudian KPA ada 7 dengan murid 381 orang dan jumlah lulusan 140 orang.
SMA/SMPP ada 40 dengan jumlah murid 6.494 orang, 246 guru tetap dengan jumlah
lulusan 1.217. SMEA ada 20 dengan murid 3.284 dengan 92 guru tetap dan jumlah
lulusan 1.081 orang. 6 buah STM dengan 1.856 murid, 44 guru tetap, dan 287
lulusan. SKKA ada 3 dengan murid 423 orang, 17 guru tetap, dan jumlah lulusan 116
orang. KPAA ada 11 dengan jumlah murid 931 orang dan jumlah lulusan 323 orang.
SPG ada 18 buah dengan murid 4.692 orang, guru tetap 119 orang dan lulusan 1.435
orang. SMOA ada sebuah dengan murid 140 orang, guru tetap 5 orang dan lulusan
245 orang.13
13
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Op. Cit., p. 137-138.
14
Sejarah Undana, diakses dari https://undana.ac.id/sejarah-undana/ pada tanggal 3
April. 2021.
11
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
12
DAFTAR PUSTAKA
Jurnal Online
Ridho’I, Ronal. 2018. “Melihat Motif Pendidikan di Nusantara Dari Perspektif Historis”,
Jurnal Pendidikan Sejarah Indonesia, Vol.1, No. 2. Diakses dari
http://journal2.um.ac.id/index.php/sejarah/article/download/9844/pdf pada tanggal 22
Maret 2021.
Artikel
Bachtiar, Mochtar. 2014. “Pendidikan Indonesia Dari Masa ke Masa”. Diakses dari
http://izzaucon.blogspot.com/2014/06/pendidikan-indonesia-dari-masa-ke-masa.html
pada tanggal 22 Maret 2021.
Buku
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1977. “Sejarah Daerah Nusa Tenggara Timur”,
(Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan).
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977 “Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Nusa
Tenggara Timur.” (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan).
13