Anda di halaman 1dari 183

HISTORIOGRAFI

BARAT
Edisi Revisi
Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam Terbitan (KDT)

Lubis, Nina H., 1956-


Historiografi Barat / Nina H. Lubis
xi + 167 hlm.; 21 cm

Bibliografi : Hlm. 165


ISBN 979-96353-6-5

1. Historiografii I. Judul

907.2

Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang


Pasal 44
1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan
atau memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin
untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7
(tujuh) tahun dan atau denda paling banyak Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan,
mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan
atau barang hasil ppelanggaran Hak Cipta sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan pidana paling
lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling banyak Rp
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Dr. nina h. lubis, m. s.

HISTORIOGRAFI
BARAT
Edisi Revisi

CV. Satya Historika


Historiografi Barat

Penulis : Dr. Nina H. Lubis, M. S.


Setting dan Lay Out : Tiar Anwar Bachtiar
Desain Sampul : Edi Hermawan & Legi B. Mutaqin

Diterbitkan oleh
CV. Satya Historika
JLn. Tentram 23 Telp. (022) 2034641
Bandung

Cetakan Pertama, 2000 (AlqaPrint)


Cetakan Kedua, April 2003
KATA PENGANTAR

Buku ini diterbitkan untuk keperluan para


mahasiswa jurusan sejarah dan juga untuk para
peminat sejarah pada umumnya yang ingin
mengetahui perkembangan penulisan sejarah
(historiografi) Barat. Bagi para mahasiswa, buku
ini menjadi pilihan bacaan untuk kuliah
historiografi umum yang merupakan bagian dari
kurikulum nasional.
Sebelum diterbitkan menjadi buku,
tulisan ini merupakan diktat yang telah ditulis
sejak sepuluh tahun yang lalu dan dipergunakan
dari tahun ke tahun dengan sejumlah tambahan
dan perbaikan. Diktat disusun untuk membantu
para mahasiswa sejarah yang memang
kekurangan bahan bacaan khususnya tentang
historiografi Barat yang cukup komprehensif yang
ditulis dalam bahasa Indonesia. Sementara buku-
buku berbahasa asing pun sangat kurang dan sulit
diperoleh.

v
Isi buku mencakup uraian tentang riwayat
singkat sejarawan, karya-karya yang ditulisnya,
dan pemikiran si pengarang yang erat kaitannya
dengan latar belakang sosio-budaya tempat di
mana ia hidup atau jiwa zaman (Zeitgeist)-nya.
Historiografi Barat ini meliputi sejarawan-
sejarawan di negara-negara Eropa dan Amerika.
Khusus untuk Eropa diambil sejak periode
Yunani-Romawi Kuno, sedangkan untuk Amerika,
hanya diambil periode modern, karena memang
sejarah Barat berkembang di sana sejalan dengan
perkembangan di Eropa yang sudah memasuki
periode tersebut
Bahan-bahan untuk penulisan buku ini
diambil dari beberapa textbook berbahasa
Inggris. Yang utama adalah dari buku Historians
at Work yang disunting oleh Peter Gay dan Gerald
J. Cavanaugh yang diterbitkan pada tahun 1972,
ditambah buku A History of Hsitorical Writing,
yang ditulis oleh Harry Elmer Barnes dan
diterbitkan pertamakali tahun 1937 serta dicetak
ulang pada tahun 1962, dan 1963. Bahan-bahan
dari sumber ini dilengkapi dengan data dari
International Encyclopedia of the Social Sciences
dan Encyclopedia Americana. Foto ataupun
gambar pengarang diperoleh dari sumber
mutakhir yaitu situs-situs internet. Bila foto
sejarawannya tidak diperoleh, maka diambil foto
atau gambar buku yang ditulisnya atau gambar
yang ada kaitan dengan kehidupan pengarang
tersebut. Foto atau gambar ini disertakan dalam
buku, bukan sekedar untuk hiasan, tetapi untuk
menambah gambaran tentang jiwa zaman
(zeitgeist) kapan si pengarang itu hidup.

vi
Penulis mengucapkan terima kasih yang
tulus kepada ananda Anjani Dyah Paramita yang
telah membantu tanpa kenal lelah, begadang
untuk menjelajahi internet dalam rangka
mencari data dan gambar, melakukan pe-
nyuntingan, dan menata lay-out buku ini. Ucapan
terima kasih yang tulus juga untuk ananda Amelia
Justina di Singapura, yang telah membantu untuk
mempermudah penjelajahan internet.
Tak ada gading yang tak retak, demikian
kata pepatah, yang cocok untuk buku ini. Oleh
karena mendesaknya kebutuhan penerbitan buku
ini, maka tak pelak lagi masih banyak kekurangan
di sana-sini. Penulis terbuka untuk segala saran
dan kritik untuk perbaikan buku ini. Semoga
bermanfaat.

Bandung, 29 Februari 2000

Nina Herlina Lubis

vii
KATA PENGANTAR
EDISI REVISI
Buku ini merupakan revisi dari buku
berjudul Historiografi Barat ; Dari Herodotus
hingga James Harvey Robinson yang telah diter-
bitkan pada tahun 2000 lalu.
Revisi berupa penjudulan isi buku di atas
menjadi Bagian Pertama tanpa mengalami
perubahan atau penambahan teks. Jadi, tetap
berisi riwayat hidup dan karya-karya para seja-
rawan Barat mulai dari Herodotus hingga James
Harvey Robinson. Selanjutnya, ada penambahan
beberapa bab yang berisi perkembangan pemi-
kiran tentang historiografi yang terjadi di Eropa,
khu-susnya di Jerman dan Perancis pada abad ke-
20, tanpa menguraikan riwayat hidup para tokoh.
Penambahan yang diberi judul Bagian Kedua ini
bahan-bahan sepenuhnya diambil dari buku karya
Georg G Iggers, yang ber-judul Historiography in
the Twentieth Cen-tury; From Scientific Objec-
tivity to the Postmodern Challenge yang diterbit-
kan pada tahun 1997.

viii
Semoga adanya revisi ini memberikan
tambahan pengetahuan para mahasiswa dan
pembaca umumnya.

Bandung, Januari 2003

ix
DATAR ISI

Kata Pengantar ................................... v


Kata Pengantar Edisi Revisi .................... viii
Daftar Isi .......................................... x

BAGIAN PERTAMA
Pendahuluan ................................. 1
Herodotus ( c.490 S.M. - c.430 S.M.) …….. 13
Thucydides (c.456 S.M. – 404 S.M.) ……….. 21
Polybius (c.198 S.M. – c. 125 S.M.) ………... 25
Titus Livius (Livy) (c.59 S.M. – 17 A.D.) …. 31
Julius Caesar (c.101 S.M. – 44. S.M.) ……… 37
Augustine (354 – 430) …………………………….. 43
Orosius (c. 380 – c.420) ……………………….... 49
Otto of Freising (c.1113 – 1158) …………….. 55
Niccolo Machiavelli (1469 -1527) …………… 61
Jean Mabillon (1623 – 1707) …………………… 67
David Hume (1711 – 1776) ……………………… 73

x
Voltaire (1694 – 1778) ……………………………. 79
Edward Gibbon (1737 – 1794) ………………… 87
Leopold von Rangke (1795 – 1886) ………… 93
March Bloch (1886 – 1944) …………………….. 97
Henri Pirenne (1863 – 1935) …………………… 102
James Harvey Robinson (1863 – 1936) …… 105

BAGIAN KEDUA
Historisme Klasik sebagai Model
Disiplin Sejarah ............................... 111
Krisis Historisme Klasik ..................... 119
Sejarah Sosial dan Ekonomi
di Jerman ...................................... 127
Mazhab Annales di Perancis ................ 133
Teori Kritis dan Sejarah Sosial
di Jerman ..................................... 145
Penutup ........................................ 161

DAFTAR PUSTAKA .............................. 165

xi
BAGIAN PERTAMA
Historiografi Barat

PENDAHULUAN

Asal-usul Budaya Tulisan


Dokumen sejarah di Barat, khususnya di
negara-negara Eropa, yang paling awal yang
dapat dilacak adalah gambar-gambar arkais yang
dapat ditemukan di gua-gua dan batu-batu
karang seperti di Altamira, Spanyol, Dordogne,
dan Font-de Gaume (Barnes, 1963:4). Gambar-
gambar arkais seperti telapak tangan, binatang
buruan, simbol-simbol alam, dll, juga ditemukan
di Indonesia bagian timur seperti Gua Leang-
leang di Sulawesi, Kepulauan Kei, Seram, dan
juga di Kalimantan. Gambar-gambar ini diper-
kirakan berasal dari masa 18.000- 7.000 Sebelum
Masehi (S.M.) (Holt, 1967:11-18). Meskipun
gambar ini bukan tulisan, tetapi paling tidak
sudah menyiratkan bagaimana cara manusia pada
awalnya mengekspresikan dirinya.
Tulisan mulai dikenal manusia beberapa
ribu tahun sebelum Masehi. Sekitar tahun 3000

1
Historiografi Barat

S.M. orang-orang Mesir sudah menggunakan 24


huruf hieroglif dan menggunakan sejumlah besar
symbol-simbol untuk kata-kata dan suku kata.
Alfabet pertama ditemukan di sebelah selatan
Palestina dan Semenanjung Sinai. Huruf itu
diciptakan oleh orang-orang Funisia dan Biblos
yang hidup sekitar abad ke-19 S.M. Akan tetapi
penemuan prasasti di Rasesh Shamra, dekat
Latakiyeh di daerah Ugarit Lama, membuktikan
bahwa bukan orang Funisia yang pertamakali
mengenal alfabet fonetis, melainkan orang
Semit. Alfabet Funisia baru disempurnakan pada
abad ke-13 S.M. Alfabet ini terdiri atas 22 huruf,
semua konsonan. Orang-orang Yunani kemudian
melengkapi alfabet tersebut dengan meng-
gunakan beberapa konsonan sebagai penandaan
bunyi-bunyi vokal. Alfabet Yunanyi menyebar ke
seluruh Eropa Barat melalui orang-orang Romawi
dan ke Eropa Timur melalui orang-orang
Byzantium. Orang-orang Romawi-lah yang mem-
beri perbedaan antara huruf besar (kapital) dan
huruf kecil. Huruf kapital hanya dipakai untuk
menulis karya sastra yang dianggap berharga
sedangkan huruf kecil dipergunakan untuk
keperluan komersial dan keperluan pribadi. Pada
masa Charlemagne menjadi kaisar pertama di
Franka (Perancis) sekitar tahun 742-814 sekaligus
sebagai pemegang Tahta Romawi Suci, para
biarawan menulis dengan huruf besar dan huruf
kecil bersama-sama (Barnes, 1963:10-11;
Encyclopedia. Americana, 1982.6:297).
Seiring dengan penguasaan seni menulis,
penyediaan bahan-bahan untuk menulis juga
berlangsung terus. Tiang batu atau tembok,
tablet (lembaran) tanah liat dipergunakan orang-

2
Historiografi Barat

orang Babylonia untuk menulis. Orang-orang


Mesir menggunakan papyrus, sejenis tanaman
yang diolah khusus. Bila tidak ada papyrus,
dipergunakan perkamen (kulit binatang). Kertas
yang pada awalnya dibuat dari sutera dan bubur
pohon murbei mulai dikenal di Cina pada abad
pertama Masehi. Orang Arab mulai membuat
kertas dari katun fiber pada sekitar tahun 750,
kemudian dibawa ke Spanyol, di mana rami
menggantikan katun. Kertas linen modern baru
muncul sekitar tahun 1250. Sementara itu, tinta
tertua dibuat dari air dan getah tumbuhan serta
warna hitam dari jelaga. Kemudian tinta dibuat
juga dari bahan tumbuhan dan binatang. Seka-
rang warna-warna diperoleh dari campuran zat
kimia. Pena pertama dibuat dengan tangan dari
buluh (bambu kecil), kemudian bulu ayam, bulu
angsa, dll., hingga pena baja ditemukan pada
abad ke-19 (Barnes, 1963: 11)
Penemuan tulisan dan alat-alat tulis ter-
nyata memiliki pengaruh yang besar dalam per-
kembangan peradaban manusia. Orang mulai
mengekspresikan dirinya, bukan hanya dengan
gambar saja, melainkan melalui tulisan. Ter-
masuk dalam hal ini tulisan tentang kehidupan
mereka, tentang apa yang dianggap baik dan apa
yang dianggap buruk, tentang harapan dan ke-
inginan. Akan tetapi, kemampuan menulis saja
belum cukup untuk itu. Manusia pun perlu pe-
nanggalan waktu. Sejak kapan manusia memiliki
penanggalan atau kalender?

3
Historiografi Barat

Konsep Waktu
Profesor James T. Shotwell dan Prof.
Hutton Webster telah membuktikan bahwa
penentuan kalender pada awalnya bukanlah
ditentukan manusia tetapi “ditentukan Tuhan”.
Pendapat ini didasarkan kenyataan bahwa me-
tode penentuan waktu pada awalnya muncul
untuk menentukan hari-hari tabu atau hari-hari
suci yang dipercayai memiliki signifikansi agama.
Dengan kata lain, konsep waktu diciptakan dari
kesadaran pengulangan-pengulangan alam yang
kemudian dilanjutkan dengan perhitungan-
perhitungan matematis. Kalender yang semula
dipergunakan hanya untuk kepentingan keaga-
maan kemudian dipergunakan untuk penentuan
peristiwa-peristiwa historis sekular (Barnes,
1963: 12).
Kalender yang paling sederhana dan sa-
ngat primitif adalah kalender yang didasarkan
atas peredaran bulan (lunar calendar). Satu
bulan dihitung 29½ hari dan satu tahun dihitung
354 hari. Tahun matahari (solar calendar) di-
pergunakan oleh orang-orang Mesir dan Mexico,
yang kemudian dijadikan kalender moderen.
Penduduk di Lembah Nil yang hidup dari per-
tanian dan menyembah Dewa Matahari lebih
mementingkan kedudukan matahari daripada
bulan. Tidak mengherankan bila kalender ma-
tahari sudah dikenal orang Mesir sejak tahun
4236 S.M. Dalam penanggalan ini satu tahun
dihitung 365 hari, satu bulan dihitung 30 hari.
Orang Sumeria dan Yahudi menambahkan dengan
menghitung satu minggu sama dengan 7 hari.

4
Historiografi Barat

Pada tahun 46 S.M. Julius Caesar memper-


kenalkan tahun matahari kepada bangsa Romawi,
yang kemudian dikenal dengan kalender Julian.
Perhitungan-perhitungan penanggalan selama
berabad-abad ternyata kemudian menyebabkan
adanya selisih jumlah hari antara kenyataan
dengan penanggalan sehingga pada tahun 1582
Paus Gregorius XIII menyempurnakan penanggal-
an ini dengan membuang 11 hari dari kalender
(Barnes, 1963:13). Sebagai bahan perbandingan,
di negara-negara Islam atau negara yang pendu-
duknya beragama Islam, dikenal tahun Hijrah
(Tahun Hijriyah). Penanggalan ini diperkenalkan
oleh Khalifah Umar bin Khattab, sebelas tahun
setelah terjadinya Peristiwa Hijrah Nabi
Muhammad SAW dari Mekkah ke Medinah. Tahun
pertama Hijrah yang menggunakan kalender bu-
lan, jatuh pada tanggal 15 Juli 622 Masehi. (Ensi-
klopedi Islam, 19942 : 111). Di Jawa, dikenal pula
Tahun Syaka. Dalam Babad Tanah Jawi, keda-
tangan orang Hindu ke Jawa dipertalikan dengan
permulaan Zaman Aji Saka, yaitu tahun 78
Masehi. Tahun Syaka menggunakan kalender bu-
lan dan matahari (luni-solar). Tahun Syaka rata-
rata sama dengan Tahun Masehi dikurangi 78 ta-
hun. Pada tahun 1633, Sultan Agung dari Mata-
ram mengganti Tarikh Syaka dengan Tarikh Jawa-
Islam sesuai dengan Tarikh Islam. (Ensiklopedi
Indonesia, 19856: 3404).

Kronologi dan Periodisasi


Tersedianya sejenis kalender sederhana
merupakan prasyarat utama untuk sejarah yang
sistematis. Akan tetapi hal ini saja tidak cukup,

5
Historiografi Barat

karena masih diperlukan suatu metode iden-


tifikasi angka-angka tahun secara berurut, ar-
tinya perlu suatu kronologi. Orang-orang Mesir
menggunakan tahun–tahun terjadinya peristiwa
besar sebagai kerangka kronologi. Dengan cara
ini berhasil diidentifikasi sejarah antara tahun
3500-2700 S.M. Pada tahun 275 S.M. Ptolemy
Philadelphus meminta seorang pendeta Mesir
terpelajar bernama Manetho untuk menyim-
pulkan dan menterjemahkan semua annal Mesir
dan daftar angka tahun pemerintahan.ke dalam
bahasa Yunani Hasil kerja Manetho inilah yang
dijadikan kerangka bagi para ahli Mesir moderen
untuk merekonstruksi kronologi sejarah Mesir
Kuno. Orang-orang Babylonia membuat kronologi
berbeda dari Mesir; mereka menyusun seja-
rahnya berdasarkan daftar raja-raja yang me-
merintah. Berossos, pendeta Babylonia mencoba
meniru Manetho, meski hasilnya tidak memuas-
kan. Pada periode Assyria, annal kerajaan mun-
cul pada abad ke-14 S.M. Kronologi sejarah
Assyria diperoleh dari limmu yaitu daftar ta-
hunan pengangkatan para pejabat kerajaan yang
dituliskan di atas tanah liat. Tingkat akurasinya
bisa lebih tinggi dengan cara ini. Sejak masa Raja
Nabonnasar (747 S.M.) dikenal konsep “zaman”.
Sistem kronologi Yahudi tidak pernah
berkembang ke arah yang lebih tepat daripada
sistem perhitungan genealogi kasar dengan
menghitung generasi-generasi yang setiap gene-
rasinya berlangsung rata-rata 40 tahun. Dalam
kronologi ini terdapat masa yang samar-samar,
seperti dari Masa Nabi Ibrahim hingga Masa Nabi
Daud, dan dari Masa Daud hingga masa
“Pembuangan Babylonia”. (Barnes, 1963: 14-15).

6
Historiografi Barat

Sejarawan-sejarawan Yunani awal memu-


lai kronologinya dengan serangan Troya yang
semi mitis dan menggunakan mekanisme yang
tidak biasa untuk pengukuran waktu. Kronologi
dalam 19 tahunan yang disebut “lingkaran
Meton” lunar-solar, tidaklah lebih baik daripada
pendahulunya dalam hal kronologi. Usaha per-
baikan dilakukan oleh Hellenicus dari Lesbos
pada pertengahan abad ke-5 S.M. untuk men-
ciptakan kronologi dari genealogi-genealogi.
Herodotus dan Thucydides ternyata juga tidak
pernah sungguh-sungguh menyelesaikan soal
kronologi ini. Timaeus pada tahun 300 S.M. men-
coba membuat kronologi dengan memperkenal-
kan metode yang janggal dengan perhitungan
tahun-tahun olimpiade, yang dimulai dengan
olimpiade pertama pada tahun 776 S.M. Usaha
yang terpuji dilakukan oleh Eratosthenes, kira-
kira 80 tahun setelah usaha Timaeus. Ia me-
nempatkan kronologi Yunani pada suatu dasar
perhitungan astronomis yang kuat. Sayangnya
kronologi ini hanya dipergunakan oleh sedikit
sejarawan Yunani kemudian.
Pemikiran praktis orang-orang Romawi
menimbulkan penemuan sistem kronologi yang
rasional dan dapat dipercaya. Batas waktu di-
mulai dengan berdirinya Roma secara mitis pada
tahun 753 S.M. Julius Africanus, Eusebius, dan
Jerome, memperkenalkan kronologi Kristen yang
fantastik. Inilah yang kelak menjadi dasar kro-
nologi ilmiah modern yang sesungguhnya.
Erat kaitannya dengan masalah kronologi
adalah pilihan periodisasi sejarah. Tradisi Kristen
dan Yahudi menoleh kembali ke peristiwa surga

7
Historiografi Barat

asal, periodisasi sejarah berpegang pada masa


sebelum dan sesudah “jatuhnya manusia”, dan
“pengusiran dari surga”. Orang-orang Yunani
mengembangkan suatu gagasan yang disebut
“doktrin lima zaman”-nya Hesiod, yaitu emas,
perak, perunggu, pahlawan-pahlawan, dan besi.
Sementara itu sejarawan abad pertengahan, se-
bagian besar lebih menekankan kontinuitas dari-
pada periodisasi. Mereka cenderung menganggap
zaman pertengahan sebagai kelanjutan Kekai-
saran Romawi. Sejarawan Flavius Blondus (1388-
1463) berpendapat lain, ia menyatakan bahwa
ketika rakyat Eropa Barat telah terpisah dari
Romawi, mereka menciptakan sejarah dan kebu-
dayaan mereka sendiri. Jadi ada dua periode
sejarah yaitu Zaman Kuno dan Zaman
Pertengahan. Akan tetapi Cellarius (Chritoph
Keller) pada akhir abad ke-17 membuat pe-
riodisasi yang lain yaitu: Zaman Kuno hingga Masa
Konstantin Yang Agung, Zaman Pertengahan
hingga jatuhnya Konstantinopel, dan Zaman
Modern sejak tahun 1453 hingga ke depan.
Periodisasi inilah yang banyak dipakai hingga
sekarang (Barnes, 1963: 16).

Awal Historiografi
Secara etimologis, istilah historiografi
berasal dari bahasa Yunani, yaitu “historia” yang
berarti “penyelidikan tentang gejala alam fisik”
dan “grafien” yang berarti “gambaran”, “lu-
kisan”, “tulisan”, atau “uraian”. Istilah “histo-
ria” sudah dikenal sejak beberapa abad sebelum
Masehi. Misalnya saja, Hecataeus (lahir sekitar
tahun 550 S.M.) menggunakan kata tersebut

8
Historiografi Barat

untuk menyebut hasil penelitiannya tentang ge-


jala alam yang terdapat di daerah hunian manu-
sia di Yunani. Istilah ini kemudian dipergunakan
oleh Herodotus, “Bapak sejarah dunia” untuk
melukiskan latar belakang geografis dalam kar-
yanya mengenai peperangan orang Persia (Radice
and Baldick, 1971, Kahler dalam Zed, 1984: 11-
12). Dalam perkembangan selanjutnya, kata
“historia” cenderung dipergunakan untuk
menyebut studi secara kronologis tentang tin-
dakan manusia pada masa lampau. Dalam bahasa
Inggris kemudian dikenal istilah historiography
yang didefinisikan secara umum sebagai a history
of historical writing (sejarah tentang penulisan
sejarah)
Menurut James Harvey Robinson, dalam
pengertian obyektif sejarah berarti semua yang
kita ketahui tentang apa yang dikerjakan, di-
pikirkan, diharapkan atau dirasakan manusia pa-
da masa lalu, sedangkan secara subyektif atau
psikologis, sejarah dianggap sebagai rekaman
tentang semua yang telah terjadi yang berada
dalam kerajaan kesadaran manusia. (Barnes,
1963:3). Pengertian yang terakhir inilah yang di-
sebut kisah sejarah atau tulisan sejarah atau
historiografi.
Penulisan sejarah mengalami tingkat per-
kembangan yang berbeda-beda menurut zaman,
lingkungan kebudayaan, dan tempat di mana
karya historiografi itu dihasilkan. Pada masa
lampau, seorang sejarawan mempunyai fungsi
untuk menafsirkan dan meneruskan tradisi bang-
sanya. Oleh karena itu, sangatlah penting untuk
mempelajari bagaimana pandangan seorang

9
Historiografi Barat

sejarawan tentang fakta sejarah atau bagaimana


perspektif sejarah seorang sejarawan. Dengan
kata lain studi historiografi itu untuk mem-
pelajari bagaimana para sejarawan menafsirkan
dan menuliskan kembali fakta sejarah. Hal ini
sejalan dengan pemikiran E.H. Carr (1982:30)
yang menyatakan bahwa sejarah adalah dialog
antara masa sekarang dan masa lampau.
Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap za-
man “mengharuskan” sejarawan menuliskan
kembali sejarahnya. Oleh karena itu, dapat di-
katakan bahwa sejarawan adalah wakil dari ke-
budayaannya, wakil zamannya. Bentuk, isi, dan
fungsi historiografi yang ditulis menjadi beraneka
ragam. Hal ini disebabkan oleh adanya
Kulturgebundenheit (Ikatan budaya) antara si
penulis sejarah dengan kebudayaan masyarakat
di mana sejarawan dan karyanya itu dilahirkan
dan juga karena adanya Zeitgeist (jiwa zaman)
yang mengikat si penulis sejarah dengan za-
mannya (Karl Mannheim dalam Kartodirdjo,
1988:244).

Dalam perkembangan hitoriografi di Ba-


rat, dapat diamati bahwa bukan hanya sejarawan
profesional saja yang menulis sejarah, melainkan
juga para politikus, jenderal, dan para pendeta.
Sepanjang perkembangannya, telah terjadi
beberapa kali “ledakan” yang menunjang
kemajuan historiografi di Barat. Pertama, adalah
ketika Jean Mabillon memperkenalkan cara atau
metode kritik teks dalam bukunya yang berjudul
On Diplomatics (1675). Dengan metode ini dapat
ditentukan otentisitas sebuah sumber sejarah.
Munculnya metode ini tidak lain merupakan

10
Historiografi Barat

reaksi atas penulisan sejarah konvensional


selama itu yang tidak memperhatikan otentisitas
sumber-sumber yang dipergunakan, terutama
untuk sejarah abad pertengahan yang
mengandalkan otoritas sumber-sumber gereja.
Kedua, adalah ketika muncul gagasan Leopold
von Ranke, tentang keharusan menulis sejarah
sebagaimana peristiwanya itu terjadi. Itu berarti
suatu loncatan besar, karena unsur-unsur mitis
ataupun unsur-unsur yang irasional harus
dihapuskan dari historiografi yang ilmiah. Dalam
hal ini Ranke ingin menunjukkan bahwa sejarah
adalah juga ilmu di samping sebagai seni (sastra).
Ranke-lah yang menggagas metode kritik internal
di samping kritik eksternal yang dikembangkan
oleh Mabillon. Dengan metode ini kredibilitas
sebuah sumber dapat ditentukan. Ketiga, adalah
munculnya socio-scientific approach.
Pendekatan ini muncul pada awal abad ke-20,
yang melibatkan Ilmu-ilmu sosial ke dalam
penelitian sejarah. Dalam hal ini, peranan
Mazhab Annales dari Perancis, dengan tokohnya
Marc Bloch dan Lucien Febvre, dapat dikatakan
sebagai pionir dalam penelitian sejarah yang
bersifat multidimensional (Kartodirdjo,
1987:187). Seiring dengan kedua sejarawan
Perancis tersebut, peranan sejarawan Jerman,
Karl Lamprecht, yang menghendaki studi sejarah
diperluas bukan hanya masalah politik saja tetapi
juga menyangkut masalah ekonomi dan budaya,
tidaklah dapat diabaikan. Di samping itu aliran
New History yang dimotori James Harvey
Robinson, di Amerika, semakin menunjukkan
bahwa penggunaan ilmu-ilmu sosial untuk
analisis sejarah yang ilmiah memang tidak bisa

11
Historiografi Barat

dihindarkan. Penggunaan metode kuantitatif


dalam analisis sejarah, seperti yang diperguna-
kan oleh Lamprecht, dan sejarawan-sejarawan
Jerman kemudian, akan lebih menunjukkan
bahwa sejarah adalah disiplin ilmu (Iggers, 1997:
32-35). Munculnya aliran post-modernist yang
menganggap bahwa sejarah adalah bagian dari
fiksi dan tidak memiliki kriteria kebenaran
(Iggers, 1997: 118-119) tampaknya merupakan
tantangan bagi para sejarawan pada awal abad
ke-21 ini. Bila para sejarawan tidak menjawab
tantangan ini, tampaknya ilmu sejarah akan
menjadi tidak ada gunanya lagi.
Dalam buku ini akan dipentaskan para
sejarawan Barat, sejak Herodotus hingga James
Harvey Robinson, dengan karya-karyanya yang
menunjukkan adanya proses perkembangan pe-
mikiran di kalangan para sejarawan Barat.

12
Historiografi Barat

HERODOTUS
( c. 490 S.M. - c.430 S.M.)

Herodotus adalah sejarawan Yunani Kuno,


yang oleh Cicero (106–43 S.M.), filsuf Romawi
terkenal dijuluki sebagai “Bapak sejarah”.
Beberapa sejarawan Barat modern semakin
meneguhkan julukan tersebut, misalnya saja J.L.
Meyers (1953); dan Arnaldo Momigliano (1958)
(Gay and Cavanaugh, 1972: 3).
Keterangan tentang identitas Herodotus
amatlah sedikit. Dari karyanya yang berjudul The
Histories (terj. Dalam bahasa Inggris oleh Aubrey
de Selincourt) maupun dari buku-buku lain yang
berasal dari zaman klasik hampir tidak ada
keterangan apapun yang bisa kita petik. Dalam
buku Historians at Work yang disunting oleh
Peter Gay & Gerald J. Cavanaugh dan dalam buku
The Histories, ada sedikit keterangan tentang
Herodotus sebagai berikut: Herodotus dilahirkan
di sebuah keluarga bangsawan dari
Halicarnassus, di sebelah barat daya Asia Kecil,

13
Historiografi Barat

antara tahun 490-480 S.M. Setelah terlibat dalam


suatu perselisihan di kota kela-hirannya itu, pada
tahun 454 S.M. Herodotus dibuang karena
pamannya (atau menurut sumber lain,
sepupunya) terbunuh dalam peristiwa itu.
Agaknya ia mengunjungi Samos sebelum akhirnya
pergi ke Athena, di mana ia tinggal sampai tahun
444 S.M. Pada waktu itu ia ikut andil dalam
mendirikan Koloni Thurii di Italia. Kemudian ia

Herodotus ( c. 490 S.M. - c.430 S.M.)

tinggal di sana dan merevisi karyanya. Antara


tahun 465-444 S.M. ia berkelana ke seluruh Asia
Kecil, Kepulauan Aegea, Mesir, Palestina, Thrace
sampai di Babylon dan daerah Scythia di sebelah
utara Laut Hitam. Ia meninggal, kalau tidak di

14
Historiografi Barat

Thurii mungkin di Athena, tidak lama setelah


pecahnya Perang Peloponnesus, pada tahun 425
S.M. (Selincourt, 1964: 7-8; Barnes, 1963: 28;
Gay and Cavanaugh, 1972: 1).
Dalam karyanya yang berjudul The
History of the Persian Wars (Sejarah Peperangan
Orang Persia) Herodotus berusaha untuk me-
lestarikan ingatan-ingatan tentang apa yang per-
nah dikerjakan orang dalam peperangan antara
Yunani dengan orang-orang Barbar, (menurut
istilah Herodotus) dan juga merekam apa pe-
nyebab permusuhan di antara keduanya. Dengan
mengandalkan penglihatannya, pertimbangan-
nya, dan bakat penelitiannya, Herodotus berhasil
menuliskan sebagian besar tentang sebab-sebab,
jalannya, dan kesudahan peperangan itu. Pada
zaman Yunani Kuno, tradisi sejarah yang hidup
adalah tradisi oral, kisah atau cerita yang
disampaikan dari mulut ke mulut. Jadi, dalam
rangka memasyarakatkan karyanya, Herodotus
harus membacakan karyanya kepada para
pendengar di Thurii dan Athena.

Dalam proses penelitian dan penulisan


karyanya, Herodotus mengikutsertakan para pe-
nulis sejarah, ahli-ahli ilmu pengetahuan, ahli
geografi, dan para filsuf. Ia mempertimbangkan
dan menyaring dengan hati-hati setiap laporan
lisan para saksi, dan ia menjelaskan apakah suatu
laporan itu pasti benar, mungkin benar ataupun
tidak mungkin benar. Ia juga menjelaskan
mengenai bukti yang ditemukan secara empiris
yang berkaitan dengan pengaruh etnografis
dengan geografis terhadap peristiwa sejarah dan
perkembangn-perkembangan sejarah. Seperti

15
Historiografi Barat

kata Kurt von Fritz agaknya Herodotus sebelum


menjadi sejarawan, ia adalah seorang ahli
geografi. Dalam berbagai kesempatan, ia selalu
mengunjungi tempat terjadinya peristiwa, untuk
memperkuat laporan-laporan yang dite-rimanya,
apabila hal itu memungkinkan baginya. Dalam
bukunya ia menyebut sedikit dokumen yang
membantunya mengungkapkan tentang peristiwa
tersebut. Di Persia, ia menemukan bahan-bahan
tertulis, tetapi ia tak memahami bahasanya.
Oleh karena itu, ia kemudian mengumpulkan
bahan dari warisan-warisan lisan yang dimiliki
oleh orang-orang yang selamat dari peperangan
ataupun keturunannya.
Dalam karya sejarahnya Herodotus juga
menyisipkan cerita-cerita yang berbau mitos
serta epik (syair kepahlawanan); hal ini dilakukan
bukan karena ia percaya akan kebenaran isinya,
tetapi karena ia ingin menggambarkan apa yang
dirasakan, dan dipikirkan oleh masyarakatnya
dan hal itu dianggapnya relevan bagi sejarah.
Menurut salah seorang pengagumnya, Herodotus
mengetahui benar bahwa cerita yang amat
panjang akan membosankan telinga pendengar-
pendengarnya, bila tidak diselingi dengan cerita-
cerita sisipan itu. Dalam hal ini, ia meniru
Homer, sehingga jika kita membaca buku karya
Herodotus maka kita akan membacanya sampai
suku kata terakhir dan kita akan selalu ingin
membacanya lagi. Dalam menggambarkan epik,
Herodotus berusaha memberikan karakter untuk
menghidupkan ceritanya dengan pidato-pidato
yang seolah-olah telah pernah diucapkan oleh
para pelaku dalam cerita itu.

16
Historiografi Barat

Meskipun Herodotus seorang Yunani Ionia,


dalam The History of the Persian Wars, ia
menyatakan bahwa kekuatan, kebebasan, dan
demokrasi orang-orang Athena berperan besar
mengalahkan orang-orang Persia, sehingga ia
menyatakan “orang-orang Athena adalah penye-
lamat Yunani”. Herodotus selanjutnya mengi-
sahkan tentang munculnya Kekaisaran Persia di
bawah pimpinan Cyrus, kemudian kekalahan
yang memalukan dari Croesus yang sombong dan
dua kali penyerbuan ke Yunani oleh orang-orang
Persia. Pertama, serbuan di bawah pimpinan
Darius pada tahun 490 S.M. dan kedua, serbuan
di bawah pimpinan Xerxes dan kekalahannya di
Salamis pada tahun 480 S.M., yang menye-
lamatkan Yunani dari penaklukan. Dimulailah
masa keemasan Yunani. Pada bagian ini Hero-
dotus berharap dapat mengabadikannya untuk
generasi yang akan datang. Secara Filosofis, ia
bermaksud mengabadikan sejarah Yunani, khu-
susnya orang-orang Athena, kehebatan serta
kesuksesannya, dan juga sekaligus melestarikan
ajaran moral yang diwujudkan dalam keme-
nangan kebebasan Yunani atas otokrasi orang-
orang Persia.
Meskipun Herodotus menggunakan tradisi
sastra, untunglah ia tidak terikat semata-mata
kepada tradisi itu. Ia menuliskan karyanya tidak
semata-mata sebagai suatu karya yang indah dan
imajinatif, tetapi menyampaikannya sebagai
suatu karya yang lebih pantas daripada sekedar
sebuah epik. Ia berusaha memahami apa yang
telah terjadi, mengapa hal itu terjadi, dan secara
eksplisit ia mengenali bahwa untuk memahami
hal itu orang tak perlu melihat kepada mitos-

17
Historiografi Barat

mitos Yunani atau


karya-karya Homer.
Dengan mengkombi-
nasikan ketegasan se-
orang peneliti yang
sungguh-sungguh,
skeptisisme dalam
pengumpulan dan
pengujian bukti-bukti
yang diperoleh, dan
apresiasi puitis,
Herodotus membuat
suatu terobosan
dalam tradisi sejarah
yang ada pada masa
itu. Ia membuat
suatu
Dewi Calliope (Dewi Sastra)
pemberontakan
diam-diam tetapi
disadari melawan pemikiran Homer dan puisi
mitos. Jadi ia menghormati Dewi Calliope
sebagai Dewi Sastra Yunani Kuno tetapi sekaligus
mempertahankan Dewi Clio sebagai Dewi
Sejarah. (Gay and Cavanaugh, 1972: 2-3)
Selain sebagai “Bapak Sejarah”, sebenar-
nya Herodotus juga dapat disebut sebagai “Bapak
Antropologi” (Barnes, 1972: 78). Dalam karyanya
The Histories yang tema sentralnya adalah
peperangan orang Persia dan terdiri atas
sembilan bab itu, dikemukakan pula hasil
pengamatan selama perjalanannya ke Mesir,
Asia, hampir seluruh wilayah Yunani, Sicilia, dan
Itali. Yang diamatinya bukan soal sejarah politik
saja, tapi menyangkut soal adat-istiadat, hukum,
dan agama. Berikut ini cuplikan dari karyanya.

18
Historiografi Barat

Dewi Clio (Dewi Sejarah)

Orang-orang Persia memuja matahari,


bulan, bumi, api, air, dan angin. Mereka juga
tidak biasa mendirikan kuil, altar atau membuat
patung (seperti orang Yunani), karena perbuatan
itu dianggap perbuatan orang bodoh.

19
Historiografi Barat

20
Historiografi Barat

THUCYDIDES
(c. 456 S.M. – 404 S.M.)

Thucydides disebut sebagai “sejarawan


pertama di dunia yang benar-benar bersikap
kritis” (Barnes, 1962: 29). Seperti halnya
Herodotus, hanya sedikit yang bisa kita ketahui
tentang dia. Ia adalah penduduk Athena, yang
dilahirkan di kalangan bangsawan keturunan
Tracia, yang masih sekeluarga -karena ikatan
perkawinan- dengan Miltiades, pahlawan dari
marathon. Ia mendapat pendidikan luas dan
diarahkan keluarganya untuk mengabdikan diri di
lapangan politik dan militer. Ketika Perang
Peloponnesus pecah pada tahun 431 S.M.
Thucydides mungkin berumur sekitar 25 tahun.
Dalam menghadapi perang tersebut, tahun 424
S.M. Thucydides ditunjuk sebagai jenderal untuk
memimpin pasukan Athena di Thrace. Jatuhnya
Kota Amphipolis ke tangan musuh, menyebabkan
ia dipensiunkan segera. Dalam masa pensiunnya
inilah ia melakukan perjalanan-perjalanan selama

21
Historiografi Barat

20 tahun untuk meneliti berbagai peristiwa dan


mencurahkan perhatiannya untuk menulis
sejarah. Ia meninggal di Athena pada tahun 404
S.M.
Dalam karyanya yang
berjudul History of
the Peloponnesian
War (Sejarah Perang
Peloponnesus) dia
membedakan sebab-
sebab peperangan an-
tara sebab ringan dan
sebab luas/dalam. Se-
bagai orang yang ter-
libat dalam peristiwa,
ia meyakini bahwa
penyebab terjadinya
peperangan yang se-
sungguhnya adalah
pertumbuhan kekuat-
an Athena dan bahaya yang diilhami dari
Lacedaemon. Thucydides berharap bahwa kar-
yanya itu akan memberikan manfaat bagi para
peneliti yang menuntut pengetahuan yang akurat
tentang masa lalu sebagai bantuan untuk mem-
buat interpretasi tentang masa yang akan datang,
yang dalam perjalanan hidup manusia mungkin
saja akan terjadi hal serupa atau paling tidak,
dapat merefleksikannya. Bila Herodotus
penceritaannya seringkali meluas, Thucydides le-
bih terkonsentrasi, Herodotus seringkali mela-
kukan penyimpangan (dengan memasukkan cerita
sisipan), Thucydides benar-benar membatasi diri
sesuai dengan topik yang ditulisnya.

22
Historiografi Barat

Kisah Perang Peloponnesus pada intinya


menceritakan perjuangan kepahlawanan Athena
yang demokratis tetapi bersifat kekaisaran me-
lawan Sparta yang oligarkis dan militeristis. Kar-
yanya ini dapat dipandang sebagai suatu analisis
kekuatan politik, sehingga pantas bila Thucydides
diberi gelar sebagai Bapak Sejarah Politik (Gay &
Cavanaugh, 1972:56 ). Dalam lapangan politik ia
melihat apa arti usaha manusia. Ia percaya bahwa
dalam memahami peristiwa-peristiwa politik dan
konsekuensi-konsekuensi sosial serta militernya,
perlu diteliti unsur-unsur yang esensil tentang
perilaku manusia sebagai unsur-unsur yang
diperhitungkan dalam gerak sejarah. Jadi, ia
berusaha untuk memfokuskan tentang apa yang
esensil itu. Sebagai konsekuensinya ia
menjauhkan diri dari deskripsi-deskripsi tentang
daerah-daerah yang tak dikenalnya, anekdot-
anekdot rakyat, mitos ataupun praktek-praktek
religius, dan informasi-informasi yang tidak
relevan dengan tujuan penulisan karyanya.
Berbeda dengan Herodotus, ia hanya
memfokuskan diri pada peristiwa-peristiwa yang
dekat dengan masa hidupnya saja, sehingga boleh
dikatakan sejarah yang ditulisnya adalah sejarah
kontemporer. Thucydides menyatakan bahwa ia
tak mau diganggu dengan menyelipkan sebuah
puisi ataupun komposisi-komposisi tentang kronik
yang seringkali mengorbankan kebenaran dan
hanya membicarakan hal-hal yang jauh dari
kenyataan (bukti). Hal ini dianggapnya hanya
membuang-buang waktu saja. Oleh karena itu,
tradisi oral tidak mendapat tempat dalam
karyanya. Thucydides berpendapat bahwa dalam
tradisi itu terdapat cacat yaitu orang menerima

23
Historiografi Barat

suatu cerita begitu saja tanpa menerapkan uji-


kritis apapun.
Dalam proses penulisan karyanya, Thucy-
dides menggunakan para saksi mata sebagai
sumber, dan menguji silang kesaksian-kesaksian
itu dengan laporan-laporan dari sumber lainnya.
Ia mem-bincangkan bahan-bahan karyanya secara
kritis dan rasional menurut aturan-aturan yang
keras tentang bukti-bukti yang dapat diterima.
Sesungguhnya, prestasinya sebagai sejarawan
terletak pada kekakuan acuan tentang
kehandalan historis yang ia terapkan. Ia bahkan
tak mengizinkan dirinya sendiri untuk menerima
begitu saja sumber pertama yang datang kepa-
danya, bahkan ia tak mempercayai kesannya
sendiri. Ia mengacu sebagian kepada pengli-
hatannya sendiri dan sebagian kepada pengli-
hatan orang lain. Keakuratan laporan selalu diuji
dengan pengujian yang keras dan rinci yang paling
mungkin.
Akurasi, relevansi, dan konsentrasi ten-
tang sejarah kontemporer, khususnya masalah-
masalah politik, itulah yang menjadi perhatian
Thucydides. Dengan kriteria seperti itulah ia
menulis karyanya yang berkarakter analisis yang
kritis, ketepatan yang kaku, dan memperhi-
tungkan unsur-unsur moral serta spiritual yang
luas yang menginformasikan tentang masalah-
masalah politik. Ia menyatakan bahwa adalah
sesuatu yang tidak mungkin untuk meneliti peris-
tiwa di suatu tempat yang jauh dan waktu yang
jauh telah berlalu. Hasil karyanya memang bukan
untuk mendapat aplaus pada zamannya akan
tetapi untuk menjadi milik sepanjang zaman.

24
Historiografi Barat

POLYBIUS
(c. 198 S.M. – c. 125 S.M.)

Polybius adalah seorang Yunani suku


Achaea yang dilahirkan kira-kira tahun 198 S.M.
dari suatu keluarga bangsawan, ketika dunia
Hellenisme memasuki era Graeco-Roman (Yunani-
Romawi). Ketika masih muda ia mempunyai
peranan penting dalam Liga Achaea, yang
anggota-anggotanya terutama negara-negara ko-
ta di Peloponnesus Utara. Ayahnya adalah seorang
negarawan terkemuka. Sebagai komandan
kavaleri Yunani ia berperan serta dalam Perang
Macedonia III melawan Roma. Setelah keme-
nangan Roma di Pydna pada tahun 168 S.M.
Polybius menjadi salah satu di antara tawanan
orang-orang Achaea yang dibawa ke Roma. Di
sana ia ditempatkan di Keluarga Aemilius Paulus
dan segera saja ia menjadi akrab dengan anak
keluarga itu yang bernama Scipio Aemilius. Oleh

25
Historiografi Barat

karena persahabatannya itulah, selama 20 tahun


berikutnya ia menikmati berbagai fasilitas

Polybius (c. 198 S.M. – c. 125 S.M.)

lingkungan sosial kelas atas di Roma dan juga


mendapat kesempatan untuk bepergian ke Italia,
Gaul (Perancis), Spanyol, dan Afrika Utara. Ia
menyertai Scipio ke Kartago pada tahun 146 S.M.

26
Historiografi Barat

Selama di Roma ia menemukan gagasan


untuk menulis sejarah tentang cara-cara dan jenis
kebijakan (policy) yang menyebabkan daerah-
daerah berpenghuni di dunia ditaklukan dan jatuh
ke bawah penguasaan Imperium Romawi dalam
waktu tidak sampai 53 tahun. Dalam tugasnya itu
ia memang sungguh-sungguh berbakat dan
memiliki penga-laman yang luas. Adalah suatu
keberuntungan bahwa ia mengenal secara
langsung para pemimpin politik dan militer di
Yunani dan Roma. Ia juga banyak membaca
berbagai literatur yang relevan dengan
pengkajiannya dan ia juga mempergunakan
dokumen-dokumen resmi.
Polybius selalu bertanya-tanya: kebijakan
yang bagaimana kiranya yang dipergunakan oleh
orang-orang Roma dalam Perang Punisia II,
kemudian dalam penaklukan Macedonia sehingga
dapat mengendalikan wilayah-wilayah yang telah
dikuasainya itu. Ia percaya bahwa belajar tentang
sejarah merupakan latihan untuk kehidupan
politik.
Polybius menulis karyanya sesuai dengan
tradisi yang diperkenalkan oleh Thucydides. Ia
juga dianggap sejarawan yang giat menggunakan
tradisi itu di antara para sejarawan dari dunia
kuno. Jadi, Polybius mengkhususkan diri pada
sejarah kontemporer dan menggunakan acuan
Thucydides dalam menemukan, menguji dan
menggunakan bukti-bukti. Polybius juga meng-
gunakan dokumen-dokumen resmi dan arsip-
arsip, sekaligus memperhatikan laporan-laporan
pandangan mata yang dianggap sebagai sumber
terbaik untuk penulisan karyanya. Ia sangat

27
Historiografi Barat

mengutamakan teknik uji-silang dan koroborasi


dalam mencari bukti yang dapat dipercaya.
Kedekatan hubungan dengan Scipio dan
fasilitas kelas atas yang diperolehnya di Roma,
agaknya menyebabkan ia menaruh respek bahkan
mencintai Negara Romawi yang telah menaklukan
negerinya sendiri. Akibatnya, ia bersikap tidak
obyektif. Sikap bias-nya dapat dilihat dalam
karyanya yang berjudul The Histories (Sejarah-
sejarah) Jilid ke-6. Dalam bukunya itu ia
menghentikan berita sejarahnya dan mulai meng-
analisis tentang konstitusi Roma dan meneliti
tentang institusi-institusi politik yang ada di
Roma. Ia berpendapat bahwa Roma berhasil
menguasai dunia oleh karena perundang-
undangan yang dianutnya. Ia menyatakan bahwa
yang menentukan kegagalan maupun keberha-
silan suatu negara adalah konstitusi. Bentuk
konstitusi itu berevolusi pula mengikuti siklus
bentuk politik: dari mulai monarki, tirani,
aristrokasi, oligarki, demokrasi dan anarki. Akan
tetapi teori yang dikemukakannya ini dianggap
bersifat spekulatif, (Meyerhoff, 1959: 1) bahkan
dalam eksplanasinya tentang keberhasilan orang-
orang Romawi ia menyangkal tentang adanya
unsur-unsur yang tercampur-baur dalam
konstitusi Roma yaitu monarki, aristokrasi, dan
demokrasi, dengan hanya mengakui bahwa kons-
titusi yang esensil adalah berdasarkan aristokrasi
ketika Imperium Romawi mencapai puncak kebe-
sarannya selama Perang Punisia II.
Polybius memperlihatkan kekuatan se-
kaligus kelemahannya dalam historiografi kuno, ia
berusaha keras untuk bersifat empiris dan

28
Historiografi Barat

pragmatis, meskipun seringkali ia tergelincir ke


perbatasan pendekatan apriori dan spekulatif.
Meskipun demikian ia selalu mencoba mem-
pertahankan akurasi dan sikap tidak memihak dan
memperlihatkan kekuatan dan kelayakan
metodologinya. Dibandingkan Plutarch –sejara-
wan Romawi lainnya– maka Polybius lebih berhak
mendapat pujian tinggi.

29
Historiografi Barat

30
Historiografi Barat

TITUS LIVIUS (LIVY)


(c.59 S.M. – 17 A.D.)

Titus Livius atau Livy dilahirkan di Padua


sekitar tahun 59 S.M. Hanya sedikit sekali yang
dapat diketahui tentang masa muda dan
pendidikannya, bahkan tentang latar belakang
keluarganya sama sekali tidak diketahui. Ber-
dasarkan bukti-bukti historis, ada indikasi bahwa
ia pernah menjalani pendidikan di Padua dan ia
pernah melarikan diri dari wajib militer.
Tampaknya ia tak pernah bepergian ke luar Padua
sebelum akhirnya tinggal di Roma. Di sana ia
agaknya sangat menikmati kehidupan yang tenang
dan terpelajar, karena Roma mendapat
perlindungan dari penguasanya yang dermawan
yaitu Augustus dan yang lainnya. Di sana ia
menekuni dunia sastra. Ia meninggal di Roma
sebagai sejarawan besar negara itu pada sekitar
tahun 17 Masehi.

31
32
Historiografi Barat

Kota Roma semasa Livius


Historiografi Barat

Dalam karyanya yang berjudul The History


of Rome (Sejarah Romawi), ia menegaskan bahwa
tugasnya ialah menjajaki sejarah rakyat Romawi,
sejak berdirinya. Hal itu dianggapnya sebagai
tugas yang amat luas, sebab di satu pihak ia harus
menjejaki ke belakang lebih dari 700 tahun dan di
pihak lain ia harus mengemukakan dari awal yang
kecil sampai meningkat ke suatu tingkatan yang
amat luas. Dalam pendahuluan karyanya itu,
Livius memperlihatkan afinitas intelektualnya
tentang pengkajian masa lalu dan kendali
filosofisnya yang berkaitan dengan zamannya
sendiri. Sesuai dengan tradisi Thucydides dan
Polybius, ia mempertahankan aspek-aspek yang
bermanfaat dan menguntungkan dalam
pengkajian sejarah, yaitu pelajaran-pelajaran
politik yang dapat diaplikasikan pada masa
sekarang dan yang akan datang. Romawi yang
muncul dari periode perang saudara yang
berlangsung lama memang kaya akan bahan-
bahan yang menarik perhatian sejarawan, para
teoritikus politik, dan kaum moralis.
Livius menunjukkan dirinya benar-benar
sebagai sejarawan yang mengutamakan kebe-
saran Romawi dan melepaskan diri dari peranan
sebagai pengkritik negerinya sendiri. Dalam tu-
gasnya ia lebih tertarik untuk menulis tentang
Romawi, dan sangat memuja Romawi dengan
mengatakan tak ada negara yang lebih besar dari
Romawi, tak ada yang lebih bermoral ataupun
lebih kaya dari Romawi. Karyanya tersebut,
menurut ungkapan Ronald Syme, “patriotik dan
bermoral”. Ia memang memanfaatkan pandangan
moral demi cita-cita patriotiknya. Livius
tampaknya disponsori oleh agen-agen pemerintah

33
Historiografi Barat

atau paling tidak dilindungi oleh para pemimpin


pemerintahan dan ia mempunyai hubungan
perahabatan pribadi dengan Kaisar Augustus,
sejak pemimpin Romawi ini masih menjadi
anggota Triumvirat Penguasa Romawi, bersama-
sama dengan Pompey dan Julius Caesar.
Sebenarnya dapat dipertanyakan sejauh mana
pengaruh kekuasaan Caesar terhadap karya-karya
Livius, sebab tampak sekali bahwa Livius sangat
menghormati Kaisar. Terbukti ia tak mau
melibatkan Kaisar Augustus dalam kisah
terbunuhnya Pompey yang terlibat konflik dengan
Julius Caesar.

Ketekunannnya yang luar biasa dan ke-


tepatan metodologinya tercermin dalam karyanya
(khususnya tentang sejarah Roma). Ia berusaha
menampilkan kebenaran sebagaimana dilihatnya.
Ia lebih sering menyebut sumber-sumber
penulisannya bila dibandingkan dengan se-
jarawan-sejarawan pendahulunya. Ia mencatat
dan mempertanyakan bukti-bukti yang mera-
gukan dan membuat generalisasi-generalisasi
yang luas. Di samping kelebihan yang dimilikinya,
ia juga mempunyai cacat sebagai sejarawan.
Dalam laporannya, kadang-kadang ia bersikap
anakronistis. Sikap patriotiknya yang berlebihan
menyebabkan ia kadang-kadang bersikap berat
sebelah terhadap musuh-musuh Romawi.
Kekurangan pengalamannya tentang dunia kadang
kala membuatnya salah tafsir tentang beberapa
pemimpin politik dan salah mengerti tentang
tindakan-tindakan mereka. Ternyata ia
menyadari akan kekurangannya ini, khususnya

34
Historiografi Barat

tentang hal-hal yang berkaitan dengan keku-


rangan sumber-sumber tertulis dan ia hanya
mengandalkan ingatan orang tentang peristiwa
itu.
Livius adalah seorang penulis sejarah yang
brilian dan imajinatif. Karyanya yang berbentuk
sejarah maupun epik (syair kepahlawanan)
membuktikan kualitasnya yang tinggi sebagai
narator. Untuk bagian sejarah Romawi yang hanya
berdasarkan legenda, Livius berhasil
menuliskannya dengan cara yang benar. Akan
tetapi, bukan “benar” secara ilmiah melainkan
“benar” secara artistik dan imajinatif. Bakatnya
sebagai sejarawan dan seniman memungkinkan
lahirnya sebuah karya tentang delapan abad
perjalanan sejarah Romawi yang menunjukkan
suatu integritas intelektual sekaligus keunggulan
sastra.

35
Historiografi Barat

36
Historiografi Barat

JULIUS CAESAR
( c.101 S.M. – 44. S.M.)

Belum pernah ada orang Romawi atau


orang manapun di dunia ini dari zaman manapun
yang pada waktu yang sama menjadi politisi yang
cerdik, administrator yang banyak akal, jenderal
yang sukses, orator yang brilyan, dan sekaligus
sebagai pengarang yang berbakat, kecuali
seorang yang bernama Julius Caesar, demikian
pendapat S.A. Hanford, seorang sejarawan Barat
modern (Gay and Cavanaugh, 1972: 137).
Siapakah Julius Caesar?
Gaius Julius Caesar dilahirkan di kalangan
bangsawan golongan patricia. Ia mendapat pen-
didikan dalam bidang sejarah, fisafat, dan retorik
serta latihan militer yang pantas untuk ling-
kungannya. Faktor-faktor ini sangat berperan
ketika Julius Caesar memegang tanggung jawab

37
Historiografi Barat

Julius Caesar (c. 101 S.M. – 44 S.M.)

dalam keterkaitannya dengan Kekaisaran Ro-


mawi, yang mendorong suatu perubahan yang
mendasar dalam konstitusi negaranya.
Sebelum Caesar lahir, Gracchi (133-123
S.M.) telah melakukan reformasi agraria yang
dirancang untuk memperluas dasar demokrasi di
Romawi melalui pembagian kembali hak milik
atas tanah. Ternyata reformasi ini dirintangi serta
dihancurkan dengan perancangnya sekaligus oleh
kelompok oposisi dari kalangan para pemilik
tanah. Kemudian selama satu abad berikutnya
kekerasan politik terjadi secara terus-menerus.
Pada tahun 82 S.M., Sulla, seorang serdadu
Romawi yang hebat dan sekaligus politisi yang
cerdik, berhasil menjadi diktator dan berusaha
menciptakan hukum serta pengaturan
persemakmuran. Ia mencoba menyegarkan kem-
bali Konstitusi Romawi dan melakukan reformasi
seperti: penghapusan perbedaan antara pendu-
duk Roma dan orang-orang asing, antara pen-
duduk lama yang lebih banyak memiliki hak

38
Historiografi Barat

Gracchi

dengan penduduk baru yang memiliki hak lebih


sedikit. Di samping melakukan reformasi Sulla
mencoba untuk mempertahankan bentuk “repu-
blik lama” dengan lembaga-lembaganya. Akan
tetapi, Sulla dianggap menentang arus zaman.
Reformasi yang dilakukannya, akhirnya menga-
lami kegagalan, seperti juga yang dialami pen-
dahulunya, Gracchi.
Julius Caesar dalam tulisannya
menyatakan bahwa “republik” hanya nama
belaka. Antara tahun 60-an hingga 50-an sebelum
Masehi, Caesar terlibat dalam berbagai peristiwa
politik yang rumit serta muslihat-muslihat
militer. Pada tahun 45 S.M. ia
menduduki jabatan puncak di
Roma sebagai penguasa negara.
Saat itulah Caesar mulai
melakukan reformasi di bidang
konstitusi dan memperbaiki
kondisi-kondisi di seluruh
kekaisaran. Tak diragukan lagi
bahwa kekuasaannya
Sulla
membawa perbaikan sekaligus

39
Historiografi Barat

kecemerlangan dirinya. Akan


tetapi, suatu konspirasi yang
terdiri dari kelompok
bangsawan yang ingin
mempertahankan konstitusi
yang lama serta interes-interes Brutus
pribadi, telah mengakhiri
hidup sang Caesar. Brutus telah menyambutnya
dengan tikaman-tikaman di tangga gedung senat
pada bulan Maret tahun 44 S.M. Secara imajinatif
pengarang Shakespeare melukiskan kisah tragis
ini dengan ucapan Caesar yang terkenal di depan
pembunuhnya: “Et tu Brutus?” (artinya: Dan kamu
juga Brutus?). Sejak saat itulah dikenal istilah
“brutal”, yang diambil dari nama “Brutus”, untuk
menyebut tindakan yang dianggap kasar, tidak
bermoral.
Salah satu faktor yang menyebabkan
Caesar naik daun menuju ke puncak kekaisaran
adalah penaklukan daerah Gaul (Perancis seka-
rang). Pasukan yang ia ciptakan, sangat hebat dan
loyal. Merekalah yang menjadi modal besar yang
mengantarkan Caesar ke puncak kekuasaan. Ia
melukiskan perjuangannya dalam karya yang
berjudul Commentaries on the Gallic War. Yang
ditulis pada tahun 52 S.M. Karya ini dapat di-
tafsirkan sebagai usaha Caesar untuk membangun
citra dirinya. Hal ini tercermin dari judul asli
karangannya (yang bila diterjemahkan ke dalam
bahasa Inggris yaitu Gaius Julius Caesar’s Notes
on his Achievements ). Karyanya itu juga dapat
dipandang sebagai propaganda untuk
mengesankan kekontemporerannya. Caesar me-
mang menulis sejarah yang benar tentang kam-

40
Historiografi Barat

Senat

panyenya ke daerah Gaul. Laporannya tak di-


ragukan lagi; deskripsinya tentang orang-orang
Gaul dan Jerman telah dikonfirmasikan oleh para
antropolog, Analisisnya tentang peperangan tidak
tercela di kalangan sejarawan militer (Barnes,
1963: 37). Karyanya yang berjudul Commentaries
itu benar-benar dianggap akurat, jujur, dan lebih
banyak bercerita tentang kemenangan-
kemenangan pribadi.
Karya Caesar di atas juga mempunyai ciri
gaya yang jelas serta hemat kata-kata, tidak ada
gaya hiperbola sehingga orang yang membacanya
merasa senang. Cicero
menuliskan komentarnya ten-
tang karya-karya Caesar seba-
gai berikut: “Karya-karya
Caesar patut mendapat pujian
tertinggi untuk penulisannya
yang jelas, terus terang, dan
anggun. Karya-karyanya itu
Cicero
bebas dari hiasan oratoris

41
Historiografi Barat

seperti badan yang telanjang, dalam penulisan


sejarah tak ada yang lebih dapat diterima selain
kemurnian, kejelasan, dan keringkasan”. Caesar
sendiri memaksudkan karyanya sebagai bahan
bagi para sejarawan yang ingin mengolahnya lebih
lanjut. Akan tetapi, karyanya itu menunjukkan
bahwa prestasi Caesar bukan hanya sebagai
pembuat sejarah tetapi juga sebagai penulis
sejarah.

42
Historiografi Barat

AUGUSTINE
(354 – 430)

Augustine atau Agustinus dilahirkan pada


tahun 354 Masehi di Kota Tagaste, Propinsi
Numidia, Afrika Utara (Hart, 1989: 27). Ayahnya
adalah seorang penyembah berhala, tetapi
ibunya, Monica, adalah seorang Kristen yang
tekun yang menyebabkan Augustine menerima
ajaran itu sekalipun baru kemudian. Keluarga
Augustine memiliki status sosial yang cukup
terpandang sekalipun dukungan finansialnya le-
mah. Augustine dapat memperoleh pendidikan
yang cukup karena kedermawanan kenalan-ke-
nalan keluarganya yang kaya-kaya. Ia mendapat
pendidikan di bidang kesusastraan dengan pe-
nekanan pada karya-karya Latin seperti yang di-
hasilkan oleh Cicero, Virgil, Terence, dan Varro.
Pendidikan Augustine di bidang filsafat agak
terbatas. Hal ini terutama disebabkan oleh
kurangnya penguasaan bahasa Latin/Yunani, se-
hingga ia sangat bergantung kepada terjemahan-

43
Historiografi Barat

Augustine (354 – 430)

terjemahan popular tentang filsuf-filsuf Yunani.


Pada umur 20 tahun, Augustine memulai karier
profesionalnya. Pertama kali ia menjadi guru
sekolah di kotanya, kemudian ia menjadi dosen
retorika di Cartago. Pada tahun 383 ia pindah ke
Roma dan tahun berikutnya ia pindah ke Milan,
salah satu kota besar di Kekaisaran Romawi.
Selama tahun-tahun mengajar dan be-
lajar, Augustine hampir saja beralih agama dari
Kristen ke Manichaeanisme. Di Milan ia dipe-
ngaruhi oleh St. Ambrose, yang membuat Augus-
tine menerima ekspalanasi tentang Perjanjian
Lama, khususnya tentang tentang aliran teologi
Kristen yang disebut Neoplatonis. Pada tahun 386,
Augustine pergi mengasingkan diri, berdoa dan
berkontemplasi di gereja. Pada tahun 391 para
jemaat gerejanya mengangkatnya sebagai
pendeta di Gereja Hippo. Inilah awal karier
gerejaninya yang kemudian dilanjutkan selama 40
tahun sebagai uskup di Keuskupan Hippo. Di

44
Historiografi Barat

samping tugas-tugasnya yang berat, Augustine


menuliskan karya-karya sastra yang agung: yang
memenuhi 15 jilid ensiklopedi. Ia juga menulis
karya teologi yang menjadi dasar teologi patristik
ataupun teologi zaman pertengahan. Ia berperang
pena melawan heretik yang menghinggapi
penganut Donatis, orang-orang Pelagia, dan Aria.
Otobiografinya yang berjudul Confessions yang
ditulis kira-kira pada tahun 380, dianggap sebagai
salah satu karya sastra Barat klasik. Karyanya
yang lain, Civitate Dei (The City of God) (413-426)
merupakan karya filsafat yang hebat yang
menguraikan arti sejarah dan ajaran Kristen.
Augustine meninggal pada tahun 430 ketika
kampung halamannya yang dicintainya diserbu
oleh orang-orang vandal.
Dalam The City of
God, Augustine meng-
uraikan tentang per-
tahanan ajaran Kris-
ten dalam Kekaisaran
Romawi. Dalam rang-
ka mempertahankan
gerejanya, Augustine
mencoba menawar-
kan suatu penafsiran
baru tentang aspek
sosial politik dan spi-
ritual dalam sejarah
manusia. Ia juga me-
nawarkan pandangan baru tentang sejarah. Ia tak
tertarik tentang perisitiwa-peristiwa besar
sebagaimana Herodotus, ia juga tak melihat
sejarah sebagai pelajaran seperti yang dilakukan
Thucydides dan Polybius. Ia juga tak berusaha

45
Historiografi Barat

untuk menerangkan tentang kebesaran Romawi


seperti yang dilakukan Livius atau menerangkan
sebab-sebab kejatuhan Romawi seperti yang di-
lakukan Tacitus, atau menjelaskan sejarah Kris-
ten serta gereja seperti yang dilakukan oleh
Eusebius. Sebagai orang yang ingin memper-
tahankan gereja, Augustine berpendapat bahwa
hanya ada dua dunia dalam sejarah yaitu Kota
Dunia dan Kota Tuhan. Yang pertama, kota yang
hanya berlangsung sebentar saja dan dapat di-
suap, di mana raja berkuasa mutlak dan harus
ditaati sebab kekuasaan merupakan takdir Tuhan.
Yang kedua, Kota Tuhan yang bersifat abadi dan
tak dapat disuap, di mana Tuhan berkuasa dan
semua orang Kristen yang benar akan hidup dalam
kesetiaan spiritual. Sejarah yang ditulis Augustine
ini merupakan diskusi antara dua kota: mengenai
asal-usulnya, proses atau kemajuannya, dan akhir
yang telah ditetapkan. Sejarah Augustine menjadi
suatu sejarah yang khusus Kristen, sehingga apa
yang dianggap penting oleh sejarawan-sejarawan
terdahulu seperti Perang Persia, berdiri dan
berkembangnya Imperium Romawi menjadi tidak
penting dalam peristiwa-peristiwa besar sejarah
kemanusiaan. Kejatuhan Adam dari surga,
inkarnasi, kebangkitan, dan janji kedatangan
yang kedua, dianggap sebagai sesuatu yang
penting. Tanpa menyalahkan kedatangan orang-
orang Pagan yang menyerang Kristen, Augustine
mencoba untuk mengemukakan suatu filsafat
sejarah yang membuktikan bahwa ajaran Kristen
tidak salah. Ia membuat persuasi terhadap orang-
orang pagan tentang kebenaran dan pandangan-
pandangan Kristen tentang keadilan. Dalam buku
pertamanya ia menulis pembukaan berupa diskusi

46
Historiografi Barat

Augustine dari Hippo

tentang masyarakat yang amat jaya, kota surga


kemurahan Tuhan, dan tentang musuh-musuh
Kristus. Pada buku terakhirnya ia menyimpulkan
tentang kemenangan bersama dan kebahagiaan
abadi dari Kota Tuhan. Hal ini merupakan sesuatu
yang baru dalam filsafat sejarah.
Augustine boleh dikatakan seorang seja-
rawan yang miskin. Ia melakukan pendekatan
yang secara teoretis bersifat bias dan meng-
haruskan orang percaya terlebih dahulu terhadap
apa yang dia tulis sebelum orang memahaminya.
Kitab Injil dijadikannya sebagai sumber kebe-
naran dan keakuratan, bukan dokumentasi atau
argumentasi lainnya. Dalam karyanya, Con-
fessions, Augustine menulis: hidup manusia itu
singkat, maka ia dengan persepsinya sendiri tak
akan bisa melihat hubungan antara kondisi-
kondisi zaman dahulu serta bangsa-bangsa lain,
yang tidak ia alami sendiri. Oleh karena itu, Injil
yang diinspirasikan oleh Tuhan, telah dijadikan

47
Historiografi Barat

pegangan untuk maksud-maksud historiografis.


Jadi, karya Augustine bukanlah merupakan hasil
penelitian yang kritis, tetapi lebih merupakan
penerimaan serta pemujaan doktrin. Bukanlah
aktifitas manusia yang menjadi basis sejarah
tetapi rencana Tuhan belaka. Filsafat sejarah
yang demikian dikenal sebagai filsafat sejarah
providensial (Kartodirdjo, 1986). Jadi, yang pen-
ting dari karya Augustine ini bukanlah alat-alat
kritik ataupun metodologinya, melainkan pan-
dangannya yang berlebihan, kesan keindahan
serta bahasa yang bergairah, dan proses historis
yang diterima tanpa keraguan di antara penganut
Katolik selama lebih dari seribu tahun. Orang-
orang Kristen menerima pandangannya tentang
negara, masyarakat, seksualitas manusia, dan
hubungan-hubungan di antara sesama Kristen di
kota yang membumi.
The City of God merefleksikan konflik
dalam diri Augustine sendiri serta dalam diri
masyarakatnya, antara nilai-nilai kebudayaan
lama dengan pandangan Kristen baru. Pada ak-
hirnya orang-orang Galilea menaklukkan orang-
orang Romawi, setidak-tidaknya pada suatu wak-
tu. Augustine menyebut dirinya sebagai orang
Romawi terakhir. Untuk kalangan Kristen Barat,
Augustine tak diragukan lagi merupakan salah
satu di antara orang pertama dan terbesar di
dunia Katolik.

48
Historiografi Barat

OROSIUS
( c. 380 – c. 420)

Paulus Orosius lahir sekitar tahun 380 M.


di Propinsi Iberia, wilayah Imperium Romawi
(Barnes, 1963: 49). Hanya sedikit yang dapat
diketahui tentang masa kecilnya. Setelah men-
dapat pendidikan yang keras dalam kebudayaan
klasik dan Kristen, ia memasuki gereja ketika
menginjak usia remaja. Pada tahun 414, Orosius
melarikan diri dari negerinya ketika terjadi
penyerbuan orang-orang barbar dan ia mengungsi
ke Afrika Utara, di mana ia disambut oleh
Augustine yang berpendapat bahwa ia adalah
orang yang gampang mengerti, sigap dalam
berbicara dan memiliki semangat yang menyala-
nyala. Orosius kemudian menjalankan berbagai
tugas untuk Augustine, melakukan perjalanan ke
tanah suci, dan melibatkan diri dalam pertikaian
dengan orang-orang Pelagia. Setelah kembali ke
Hippo, Orosius, atas perintah Augustine, memulai
pekerjaan besarnya yaitu menulis The Seven

49
Historiografi Barat

Books of History Against the Pagans. Karangannya


itu dirampungkan pada tahun 418 dan setelah itu
orang menduga bahwa Orosius yang hidup
sezaman dengan Kaisar Romawi, Theodosius I,
meninggal dunia.
The Seven Books
merupakan dasar reputasi
abadi Orosius. Karangannya
itu sebenarnya merupakan
pelengkap karya Augustine,
The City of God dan karya
itu merupakan sebuah
Kaisar Theodosius I apologia, yang merupakan
(379 – 395) “jawaban terhadap
omongan kosong serta kejahatan mereka yang
disebut pagans” (penyembah berhala). Bila
Augustine menaruh perhatian kepada implikasi-
implikasi filosofis yang mulia/agung dari pan-
dangan sejarah Kristen, maka Orosius melibatkan
diri dalam tugas keduniaan yang memperluas
dasar historis dan empiris filsafat dan me-
nunjukkan kesalahan pandangan kaum pagan yang
beranggapan bahwa dunia semakin menyedihkan
setelah kedatangan agama Kristen. Orosius
menulis: “Anda meminta saya untuk menemukan
data yang dapat diperoleh tentang berbagai
contoh dari masa silam yang telah menghasilkan
peperangan, bencana penyakit, kelaparan yang
mengerikan, gempa bumi yang menakutkan,
banjir-banjir yang luar biasa, letusan api yang
dahsyat, petir dan badai es, dan juga contoh-
contoh kesengsaraan yang kejam serta kejahatan
yang memuakkan.

50
Historiografi Barat

Dalam melaksanakan tugas Augustine,


Orosius memanfaatkan ilmu pengetahuan klasik,
mengambil halaman-halaman karya Livy, Tacitus,
dan Caesar, antara lain untuk mencocokkan
bahan dengan maksud-maksudnya. Ia juga me-
ringkaskan berbagai karya sejarah dari zaman
Babylonia, Macedonia, Kartago, dan Roma, dan
semuanya dimasukkan dalam deskripsi ringkas
tentang geografi “dunia”. Dalam karya sejarah-
nya, Orosius menggunakan karya para pengarang
Kristen –Eusibius dan Augustine, misalnya- dan
menggunakan Bible sebagai ilustrasi dan pen-
dukung interprestasinya. Ia mengerjakan karya-
nya dengan tekun dan tidak kritis. Tidaklah
mengherankan bahwa ia menemukan apa yang ia
cari: “Saya telah menemukan hari-hari silam yang
bukan saja menindas seperti hal yang terjadi
sekarang tetapi hari-hari sial yang mengerikan
yang telah dialihkan dari penghiburan agama yang
benar”. Seperti Augustine, Orosius tidak mem-
punyai keraguan tentang makna dan gerak seja-
rah. Ia percaya bahwa “dunia dan manusia diarah-
kan oleh suatu Pemeliharaan Tuhan”. Karyanya
Seven Books bukan merupakan penelitian historis
tentang sebab-sebab dan perkembangan tetapi
lebih merupakan penyusunan “fakta-fakta” dalam
suatu kronologi Kristen untuk menunjukkan
kebenaran yang diharapkan yaitu kebenaran yang
validitasnya menurut pandangan dunia Kristen.
Orosius dipandang penting dalam histo-
riografi bukan karena pendekatannya terhadap
sejarah yang memang amat kurang, tidak karena
menambah pengetahuan kesejahteraan yang
memang cukup sedikit. Agaknya, seperti juga

51
Historiografi Barat

Augustine, ia penting karena sumbangannya un-


tuk filsafat sejarah, suatu filsafat Kristen yang
beralih dari konsepsi klasik dan mengakarkan
dirinya dalam teologi Injil dan patristik. Lebih
jauh lagi, ada butir penting yang harus dite-
kankan. Selama Zaman Pertengahan, The Seven
Books dipandang sebagai karya yang otoritatif
tentang sejarah kuno. Karya itu ditulis dengan
sengaja untuk mendukung argumen Augustine
dalam melawan kaum Pagan. Karya ini lebih tepat
dibanding karya Augustine sendiri, dan karya ini
juga memberikan bahan-bahan filsafat sejarah
untuk Zaman Pertengahan. Disadari atau tidak,
Orosius berangkat dari posisi Augustine untuk
butir-butir penting karyanya. Bila Augustine
memandang kesengsaraan itu bersifat konstan
dalam kebanyakan umat manusia di kota bumi,
Orosius menemukan bukti adanya kemajuan
(progress) material maupun spiritual. Bila
Augustine tidak melihat adanya evolusi baik
menyangkut bangsa maupun kerajaan-kerajaan,
maka Orosius memperluas teori lama tentang
empat kerajaan yang yang berganti: Babylonia,
Kartaginia, Macedonia, dan Romawi sebagai
puncak-puncaknya, di bawah bimbingan Tuhan,
sampai mapannya kerajaan pada masa Augustine
sejak lahir Juru Selamat. Kejadian-kejadian ini,
menurut Orosius, memberi harapan baik untuk
orang Kristen. Dalam hal ini Orosius tampak lebih
dekat pandangannya dengan Eusebius daripada
Augustine. Menurut Theodor E. Mommsen, Orosius
adalah seorang Kristen progresif yang begitu
berbeda dari filsafat Pauline yang keras.
Augustine juga tampaknya menyadari perbedaan
ini, dalam bukunya The City of God, ia

52
Historiografi Barat

mengajukan keberatan khusus terhadap pendapat


Orosius dan di tempat lain ia mengindikasikan
suatu kemunduran apresiasinya terhadap jasa
muridnya itu. Akan tetapi, sejarawan-sejarawan
abad pertengahan tam-paknya tidak menyadari
perbedaan ini. Mereka menganggap Orosius seba-
gai panganut faham Augustine dan mengabdikan
suatu filsafat sejarah yang sebenarnya merupakan
suatu kombinasi gagasan-gagasan Augustine,
Orosius, dan Eusebius. Meskipun demikian, jelas
bahwa apologia Orosius merupakan peralihan
perimbangan dari pandangan dunia klasik ke
pandangan Kristen. (Kartodirdjo, 1968: 36)

53
Historiografi Barat

54
Historiografi Barat

OTTO OF FREISING
(c. 1113 – 1158)

Otto Of Freising biasa disebut sebagai


filsuf sejarah pertama. Ia dilahirkan kira-kira
pada tahun 1113 di keluarga bangsawan Jerman
terkemuka. Ia adalah cucu Kaisar Henry IV dari
Jerman dan mempunyai hubungan erat dengan
ketiga kaisar lainnya. Sebagai anak yang lebih
muda ia ditakdirkan untuk tugas gerejani. Selama
beberapa waktu ia belajar di Paris dan pada tahun
1133 ia masuk Ordo Cistercian dan masuk Biara
Morimund di Perancis. Pada tahun 1137 ia
menjadi kepala biara di sana dan pada tahun yang
sama ia diangkat sebagai Uskup Freising di
Bavaria. Di sana ia meneruskan karier aktif,
termasuk urusan sekuler yang ia kerjakan sebaik
tugas-tugas gerejani. Ia melakukan perjalanan ke
Roma pada tahun 1145 dan dua tahun kemudian
ia menggabungkan diri dengan pasukan Perang
salib ke-2, menyertai familinya yaitu Kaisar
Conrad III, dan kemenakannya, Frederick

55
Historiografi Barat

Kaisar Henry VI (1050-1106)


Kakek Otto Of Freising
Barbarossa. Perang Salib merupakan bencana
militer, tetapi Otto berusaha mencapai Jerusalem
pada tahun 1148. Dekade terakhir hidupnya ia
habiskan di Jerman dan aktif seperti sebelumnya
meskipun kesehatannya selalu ter-ganggu. Pada
tahun 1158 ia melakukan perjalanan ke biara
kesayangannya di Morimund dan di sana ia
meninggal dengan damai di tengah para rahib
ordonya.
Warisan Otto terdiri dari dua karya yaitu
The Deeds of Emperor Frederick I (1156-1158)
yang ditulis untuk merayakan prestasi penguasa
yang digjaya itu dan Chronicle atau History of the
Two Cities (1143-1147). Karyanya itulah yang
memantapkan Otto sebagai sejarawan. Dalam
karya keduanya itu Otto mengemukakan jejak

56
Historiografi Barat

arah sejarah sejak penciptaan sampai tahun 1146.


Dalam tugasnya itu ia membawakan suatu
kemampuan intelektual yang besar dan orientasi
filosofis yang kuat. Ia telah melanjutkan suatu
karier ilmu pengetahuan yang keras ketika ia
belajar di Paris. Kemudian ia berpartisipasi dalam
Renaissance penganut Aristoteles dan mem-
pelajari hukum Negara Romawi dan gereja.
Karyanya ini merupakan karya filsafat sejarah
pertama abad pertengahan yang penting (Barnes,
1963: 84). Dalam menulis Chronicle, ia meng-
gunakan karya-karya Tacitus, Varro, Eusebius,
Josephus, dan sejarawan-sejarawan pagan dan
Kristen lainnya. Prinsip-prinsip filosofisnya
berasal dari dua sumber: “Dalam karya ini saya
mengikuti semua pendapat termasyur dari gereja,
Augustine ataupun Orosius, dan telah meren-
canakan untuk menggunakan sumber-sumber
mereka sepanjang berhubungan dengan tema dan
maksud saya”. Otto kemudian menuliskan dalam
Two Cities dan pengalaman-pengalaman kota itu
sejak penciptaan dalam tradisi Augustine. Oleh
karena hidup pada zaman ketika dunia Katolik
sedang dalam kekacauan akibat perebutan
pengaruh antara Paus dan kaisar, maka Otto
bersikap setia sebagai saudara kepada kaisar
sekaligus sebagai pelayan setia Paus. Otto
melihatnya dalam kacamata sejarah sebagai
suatu kemalangan, kesengsaraan, dan kedurhaka-
an. Apa yang menyelamatkannya dari pesimisme
adalah kepercayaan Kristen bahwa proses historis
adalah suatu penyusunan rencana Tuhan. Ia
mengamati dari sesuatu yang terlihat ke sesuatu
yang tidak terlihat dan ia menggunakan keper-
cayaannya bahwa Tuhan akan memelihara apa

57
Historiografi Barat

yang telah diciptakan-Nya. Jadi, ia dapat mere-


nungkan kematian kaisar dan kematian raja-raja
dengan tenang.
Tidak seluruhnya Chronicle berdasarkan
prinsip-prinsip teologi dan filosofis. Dalam meng-
gunakan karya-karya sejarawan-sejarawan Kris-
ten dan klasik, ia mengandalkan bukti bukti-bukti
dokumenter, pertimbangan kritis tentang makna
peristiwa-peristiwa dan motif-motif manusia.
Otto mencoba untuk melawan tradisi abad
pertengahan dan menulis sejarah. Ia berat
sebelah dalam pendekatan sejarahnya tetapi
kritis dalam menuliskannya. Tidak seperti para
penulis kronik abad pertengahan, ia tidak mene-
rima begitu saja serta mengkopi semua cerita
yang diberikan orang. Ia menunjukkan bila sum-
ber dianggap lemah atau kontradiktif. Ia me-
nunjukkan sikap skeptis terhadap beberapa le-
genda. Ia melawan secara aktif tuntutan pan-
dangan tentang gerak sejarah berdasarkan takdir
Tuhan. Apa yang ia cari adalah memberikan suatu
deskripsi yang jelas tentang sejarah yang
terhampar sebagai bukti-bukti yang dihiasi
dengan fisafatnya. Ia menyatakan bahwa ke-
benaran mungkin dipertahankan dalam kemu-
liaan, sebab hal itu lebih baik jatuh ke tangan
orang-orang daripada menghilangkan fungsi seo-
rang sejarawan yang menutupi kebenaran dengan
pandangan yang memuakkan. Meskipun dalam
fisafat sejarahnya Otto menganut faham
Augustine, tetapi masih bisa dirasakan betapa
pun samarnya, bahwa ia adalah seorang seja-
rawan empiris yang mengakui adanya fakta
tentang perkembangan gereja dan negara di
Eropa Barat sampai zamannya. Dalam Two Cities-

58
Historiografi Barat

nya ia berusaha untuk memenuhi anjuran Kristus:


“memberikan kepada Caesar apa yang menjadi
hak Caesar dan memberikan kepada Tuhan apa
yang menjadi hak Tuhan”. Persepsi ini diperluas
dalam suatu karya seni historiografis, yang
menyebabkan kemasy-hurannya sebagai sejara-
wan abad pertengahan terbesar dari Jerman.

59
Historiografi Barat

60
Historiografi Barat

NICCOLO MACHIAVELLI
(1469-1527)

Machiavelli suatu kali menulis bahwa po-


litik adalah obsessinya dan ia tak dapat me-
mikirkan yang lainnya kecuali politik. Andaikata
rejim Republik Florence yang ia dukung dapat
berlangsung terus pada masa hidupnya, ia mung-
kin tidak akan menjadi ahli politik ataupun seja-
rawan. Selama 14 tahun (1498-1512) Machiavelli
mengabdikan diri pada Republik Florence, baik
sebagai konselor maupun sebagai sekretaris De-
wan Charge of Warfare yang disebut sebagai Ten
of Liberty and Peace. Ia dikirim dalam misi
diplomatik ke Eropa, ke seberang Alps, ke
Jerman, dan ke Perancis.
Machiavelli dilahirkan pada tanggal 3 Mei
1469, dari keluarga bangsawan di Florence.
Ayahnya adalah seorang pengacara bernama

61
Historiografi Barat

Bernardo. Setelah Ke-


luarga Medici diusir
dari Florence dan Sa-
vonarola jatuh dari
puncak kekuasaan,
Machiavelli terlibat
aktif dalam politik, di
antaranya dalam misi
diplomatik. Ia menja-
di orang kepercayaan
Piero Soderini, pe-
mimpin pemerintahan
Niccolo Machiavelli
Republik Florence,
sampai kejatuhan Republik atas serbuan Spanyol.
Pemerintahan kemudian jatuh ke tangan
Keluarga Medici lagi dan Machiavelli diber-
hentikan dari jabatannya kemudian diusir. Dalam
masa pembuangan inilah lahir karyanya yang
terkenal Il Principe (The Prince) atau Sang
Penguasa, yang mungkin ditulis pada bulan-bulan
pertamanya dalam pembuangan. Dalam bukunya
ini, diperlihatkan pilihan Machiavelli sebagai
pecinta Republik Florence dan sebagai politikus
praktis yang berminat akan tindakan nyata dan
dapat diterapkan secara spontan. Buku itu di-
tujukan kepada para penguasa yang ingin mem-
pertahankan kekuasaannya dengan meniru pola
dan cara pengelolaan kekuasaan yang pernah
dipraktekkan oleh ahli-ahli startegi dan arsitek
kekuasaan. Ia menunjukkan bahwa praktek ke-
kuasaan yang nyata tidak ada hubungannya
dengan moralitas dan kekuasaan itu sekuler serta
tak ada hubungannya dengan dunia gaib.

62
Historiografi Barat

Kita yakin apa yang diinginkan Machiavelli


dalam mempersembahkan karyanya kepada
Giuliano de’Medici adalah untuk menunjukkan
kedalaman pemahamannya atas pelaksanaan-
pelaksanaan politik praktis, serta betapa na-
sihatnya dapat sangat berguna dalam membantu
raja mencapai puncak kekuasaannya. Motif-motif
yang mirip dengan hal itu memberi inspirasi
menciptakan risalat teori dan praktek militer
klasik yang rumit, seperti dalam bukunya Art of
War maupun Discourses on Livy.
The Prince isinya pendek dan tajam, se-
dangkan Discourses panjang serta tak bersam-
bungan. Machiavelli menghabiskan waktunya
untuk mempertimbangkan karya Livy (Livius)
untuk membandingkan kebesaran Republik Roma
dengan kondisi kemerosotan di negerinya, Re-
publik Florence. Republik Roma merupakan insti-
tusi tahan lama yang mampu menyatukan Itali dan
membawa peradabannya melampaui batas Eropa.
Karier Machiavelli sendiri merupakan kesaksian

63
Historiografi Barat

bagi ketidakstabilan pemerintahan Florence. Jika


para pemimpin baru Florence membacanya,
mereka mungkin akan menemukan rahasia
kebesaran Roma (terutama yang berkaitan
dengan disiplin militer, tegangan yang sehat
antara senat dan rakyat, yang menghasilkan
semangat patriotik bagi seluruh populasi) serta
akan melihat bagaimana untuk mencapai tujuan
yang sama dalam negara sendiri. Akhirnya
sebagian dari para bangsawan mulai melihat
kebijaksanaan Machiavelli. Pada bulan Nopember
1520, Cardinal Giulio de’Medici, yang memimpin
Universitas Florentine, setuju untuk menunjuk
Machiavelli menuliskan sejarah Florence. Pada
waktu itu History of Florence sudah dilengkapi
bahan yang dipolakan oleh Paus Clement VII,
sedangkan pengarangnya sendiri menuliskan
tentang politik meskipun dalam kapasitas yang
lebih sederhana.
Tidaklah diragukan bahwa pemikiran
Machiavelli dalam tulisan sejarah yang ditulisnya
yang merupakan karya pesanan, dimaksudkan
untuk mengagungkan serta mengabadikan Flo-
rence abad ke-15. Akan tetapi, ia juga mengisi
pekerjaannya dengan hasil pengalamannya sen-
diri dan cap idealismenya yang khas. Seperti
Humanis lain sebelumnya, ia mengambil model
sejarawan Roma, dengan melalui penelitian se-
cara umum dan memprosesnya ke dalam contoh-
contoh yang khusus. Lagi pula ia menggunakan
gaya sastra dengan memikirkan seperti pidato
tertentu yang menghadirkan baik perdebatan
politik maupun deskripsi adegan-adegan perang.
Hal itu juga merupakan sesuatu yang wajar jika
sejarawan humanis mengikuti dictum Cicero serta

64
Historiografi Barat

menggunakan sejarah untuk mengajarkan moral


dengan contoh-contoh praktis. Tambahan pula
apa yang banyak dipikirkan Machiavelli lahir dari
visi dan pengalamannya sendiri.
Konselor Florentine yang lain menuliskan
sejarah para pejabat kota mereka dalam sema-
ngat yang sama seperti Machiavelli, tetapi tak
seorang pun mempunyai tujuan yang jelas seperti
Machiavelli. Pertama dalam dua seleksi di sini
dari History of Florence, Machiavelli memandang
rendah penaklukan Duke of Athena terhadap
Florence pada tahun 1342 termasuk menyatakan
secara tidak langsung kutukan atas tirani
kontemporer; hanya sebagai penghargaan untuk
siapa yang melawan tirani, dengan maksud untuk
mengilhami emosi pembacanya. Per-bandingan
Roma kuno dengan Florence dalam seleksi kedua
menunjukkan apa yang dipercayai Machiavelli
yaitu bahwa yang menjadi salah satu sebab
kelemahan Florence ialah: konflik yang sia-sia
antara para bangsawan dengan rakyat, serta
perselisihan intern antar bangsawan. Jika
semangat itu digunakan untuk mempertahankan
diri, untuk mengejar, dan memimpin ke arah
kesejahteraan republik, Florence mungkin sudah
mencapai kejayaan seperti halnya Roma.
Pembalasan dendam wangsa Medici me-
maksa Machiavelli menghentikan dirinya untuk
pekerjaan terbaiknya yang kedua kali. Ia men-
curahkan perhatiannya pada tulisan sejarahnya,
dan memasukkan ide-ide dan keinginan-keinginan
politiknya. Hal inilah yang membedakan kualitas
History of Florence dari karya historiografi
humanis pada umumnya. Karya sejarah

65
Historiografi Barat

Machiavelli berisi, seperti yang dikatakan David


Hume, “perasaan virtue yang sungguh-sungguh”.

66
Historiografi Barat

JEAN MABILLON
(1623-1707)

Marc Bloch, salah seorang sejarawan ahli


abad pertengahan terbaik dari zaman kita
sekarang, menyatakan bahwa tahun 1681 adalah
tahun atau zamannya karya dua jilid dari Dom
Jean Mabillon yang berjudul On Diplomatics, yang
disebut sebagai “salah satu pemikiran manusia
yang benar-benar akbar di bidang kritisisme
dokumen-dokumen arsip”. Bloch, seperti
Mabillon, adalah seorang sejarawan yang hebat
dan patut diteladani, yang memiliki apresiasi
yang mendalam tentang fakta yang luar biasa
yang menghasilkan suatu risalah yang lengkap
tentang Diplomatik, yaitu ilmu yang menguraikan
tentang piagam-piagam dan naskah-naskah kuno,
serta menentukan otentitasnya.
Ahli-ahli paleografi abad ke-19 dan abad
ke-20 telah memperluas lingkup diplomatika,
serta telah menunjukkan kesalahan-kesalahan
yang dilakukan oleh Mabillon dalam detail-detail

67
Historiografi Barat

tertentu. Akan tetapi, secara universal Mabillon


tetap diakui sebagai ahli yang amat penting dalam
pengetahuan sejarah.
Mabillon yang dilahirkan di kalangan ke-
luarga petani yang sederhana, menginginkan
kehidupan kebiaraan sejak usia muda. Pada tahun
1653, ia memasuki Biara St. Remy dekat kota
kelahirannya, Rheims. Kemudian ia segera
berpindah-berpindah ke biara-biara kecil lainnya,
termasuk St. Denis, sebuah biara kerajaan di luar
Kota Paris. Masuknya ia ke Biara St. Germain-des-
pres di Paris, sebagai pusat kongregasi Maurist
dari biarawan-biarawan Benediktus, pada tahun
1664, adalah suatu kebetulan yang menguntung-
kan. Dari sini ia menemukan suatu lingkungan di
mana ia dapat mencurahkan perhatiannya
terhadap sejarah gereja abad pertengahan.
Sejak abad ke-15, kelompok Maurist
membedakan diri dengan mengkhususkan diri
sebagai pelajar-pelajar sejarah patristik yang
taat. Bruder-bruder muda itu harus melaksanakan
latihan intelektual yang keras seperti indoktrinasi
kebiaraan reguler yang dituntut dari para
biarawan di mana saja. Perpustakaan-perpus-
takaan biara mereka dibangun dan dihiasi seperti
kapel-kapel mereka. Ketika Mabillon masuk biara
St. Germain-des-pres., perpustakaannya sudah
merupakan perpustakaan yang terbaik di
Perancis. Pertemuan mingguan digunakan untuk
diskusi tentang penelitian para biarawan serta
korespondensi mereka dengan sejarawan-seja-
rawan Perancis, Italia, dan Jerman Selatan. Hal
ini memberikan suatu cakrawala intelektual yang
menggembirakan bagi biara itu. Kelompok Maurist

68
Historiografi Barat

juga telah menjadi terkenal untuk ekspedisi-


ekspedisi sastra mereka ke seluruh Eropa dengan
mengunjungi berbagai perpustakaan serta arsip-
arsip keluarga dalam rangka meneliti buku-buku
dan naskah-naskah. Mabillon mengalami kemaju-
an di sini, dan menjadi ahli terbesar, serta men-
jadi salah seorang biarawan yang paling dicintai
dalam suatu masyarakat kecil yang brilian.
Setelah memasuki biara, Mabillon memu-
lai proyek pertamanya, suatu penerbitan karya-
karya St. Bernard. Catatan dan pengantar yang
dibuatnya untuk edisi ini memberikan sumbangan
yang tak ternilai untuk sejarah kebiaraan. Segera
ia menjadi asisten Uskup D’Archey dalam
memproduksi seri enam jilid tentang kehidupan
orang-orang suci di kalangan biarawan, yang
terbit pada tahun 1668 dan 1680. Pekerjaan
Mabillon membuat karya ini menonjol. Appendix
serta catatan tentang liturgi dan kebiasaan-
kebiasaan kebiaraan serta observasi umum
tentang sejarah gereja tetap merupakan
informasi yang tak ternilai. Sampai tahun 1681,
Mabillon menunjukkan dirinya sebagai orang yang
berjasa sebagai penemu ilmu pengetahuan baru.
On Diplomatics dimaksudkan sebagai
jawaban terhadap skeptisisme yang berlebihan
dari sarjana Bollandist, Daniel Papebroch, yang
pada tahun 1675, dalam karyanya Propylaeum,
atau pengantar pengkajian kehidupan orang-
orang suci, menyimpulkan bahwa kebanyakan
piagam-piagam dari zaman Merovingia yang
tersimpan di biara-biara Perancis, adalah palsu.
Lebih jauh lagi, ia menuduh otentisitas piagam-
piagam yang ada di biara St. Denis yang telah

69
Historiografi Barat

ditemukan itu diragukan. Mabillon yang tetap


loyal ke bekas biaranya dahulu, merasa terpanggil
untuk melakukan pembelaan. Ia memaksa
Papebroch untuk menarik kembali kritiknya.
Tetapi ini hanyalah satu sisi negatif saja dari
kesuksesannya.
Mabillon, dalam On Diplomatics, menye-
diakan metode-metode bagi para sejarawan
untuk menentukan otentitas suatu dokumen kuno
dengan membandingkan gaya, bentuk, segel,
serta tanda tangan dari berbagai macam piagam
pada periode yang sama. Beberapa piagam telah
disangkal kepalsuannya oleh Mabillon, tetapi yang
lainnya ia terima, bahwa sebagian berisi sisipan,
tetapi yang lainnya lagi, khususnya yang ada di St.
Denis, dibuktikannya sebagai piagam yang asli.
Adalah menyenangkan menyaksikan cara
kerja Mabillon, seperti yang dilakukannya dalam
tiga atau empat karya pilihannya dari tahun 1704
Supplement of on Diplomatics dan dari teksnya
itu sendiri. Sebagai seorang ilmuwan modern ia
memerlukan suatu konsensus pendapat ahli yang
berdasarkan penelitian empiris, dan tidak me-
nuntut suatu kepastian yang mutlak dan ke-
simpulan-kesimpulan yang tak dapat ditarik kem-
bali, yang tak mungkin bagi ilmu pengetahuan
eksperimental. Mabillon menolak skeptisisme
yang timpang, yang dikenal sebagai “Phyrronisme
sejarah”, dan ia mengantisipasi skeptisisme
konstruktif dari David Hume dan yang lainnya,
yang tidak pernah dapat menjustifikasi pene-
rimaan yang dapat dipercaya dari bukti-bukti

70
Historiografi Barat

yang tak teruji, tetapi juga menganggap peno-


lakan kesimpulan akhir yang tentatif sebagai
suatu abjurasi tugas penelitian pikiran.
Segera setelah publikasi
karyanya, Mabillon yang
sederhana, diberi hadiah
oleh Raja Matahari, Louis
XIV, sebagai orang yang
paling terpelajar di
kerajaannya. Sementara
Uskup sombong, Bossuet
merasa dengki padanya.
Mabillon mendapat izin un-
tuk masuk ke perpustakaan
Louis XIV (1638-1715) raja serta perpustakaan-
perpustakaan menteri-
menteri agung, serta dikirim ke Italia untuk
memperoleh buku-buku serta dokumen-dokumen
dari sana. Ia melanjutkan perjalanan-perja-
lanannya sampai akhir hidupnya, tetapi tanpa
melepaskan kariernya sabagai sejarawan terbesar
dari kelompok atau ordo Benediktus. Pada tahun
1686, ia menulis suatu karya, hasil peng-
kajiannya, On the Gallican Liturgy, dan pada
tahun 1691 ia mempertahankan ajaran Maurist
melawan serangan anti intelektual dari biarawan-
biarawan Trappist dalam karyanya Treatise on
Monastic Studies. Karya terakhirnya adalah
Annals of the Benedictine Order, yang mulai
ditulis pada tahun 1703 dan berakhir enam bulan
sebelum kematiannya tahun 1707. Karya indah,
serta mendalam yang terdiri dari empat jilid ini
merupakan rekaman paling lengkap tentang Ordo
Benediktus.

71
Historiografi Barat

Mabillon tidak mempunyai pendahulu da-


lam metodenya, sekalipun ada Valla, yang mem-
perlihatkan pandangan yang sama tetapi kritik
teksnya berbeda. Mabillon lebih suka mengun-
dang sarjana yang tak berprasangka daripada
Valla yang suka polemik.

72
Historiografi Barat

DAVID HUME
(1711-1776)

Reputasi Hume sudah diakui sebagai filsuf


empiris Inggris yang paling brilian dengan
karyanya –Treatise on Human Nature-. Karya ini
dianggap sebagai karya sejarah filsafat Inggris
yang mungkin dikembangkan pada saat yang akan
datang dan merupakan contoh kumpulan karya
Hume yang amat penting. Kritik pada zaman
Hume hidup, telah mengabaikan ia sebagai filsuf
formal dan juga mencemoohkan karya-karya
filosofinya yang dianggap skeptis ataupun
atheistis, tanpa mau bersusah payah menyelidiki
arti karya-karyanya lebih jauh serta latar
belakangnya. Akan tetapi sebagai sejarawan,
Hume mempunyai audience sendiri, ke-
masyhuran, dan keberuntungan yang ia cari.
Karyanya yang lengkap History of England, terbit
tahun 1762, sangat popular dan merupakan karya
sejarah Inggris terbaik yang ditulis pada abad ke-
18. Yang lebih penting lagi adalah fakta bahwa

73
Historiografi Barat

David Hume

sebagai sejarawan Hume membuat jelas maksud


atau tujuannya sebagai seorang filsuf.

Dalam otobiografinya setebal enam hala-


man, yang berjudul My Own Life, Hume menya-
takan bahwa berdasarkan pemilihan dirinya se-
bagai pustakawan di Fakultas Advokat di Edin-
burgh, ia merencanakan penulisan sejarah Ing-
gris. Kantornya inilah yang menyediakan sumber-
sumber yang diperlukan untuk penulisan itu. Akan
tetapi proyek penulisan itu sendiri merupakan
bagian dari pengkajiannya tentang “Ilmu tentang
Manusia”, yang dipublikasikan untuk pertama
kalinya pada tahun 1739 dalam Treatise.
Terdapat serangkaian catatan naskah yang masih
ada untuk penulisan karyanya itu, yang ia tulis

74
Historiografi Barat

pada pertengahan tahuin 1740-an. Hume


menyusun History of England mundur ke
belakang, sehingga jilid tentang (keluarga) Stuart
England terbit tahun 1754 dan 1757, dan pada
tahun 1762 karyanya dilengkapi dengan
menambahkan dua jilid tentang sejarah awal
dimulai dari dari invasi Julius Caesar sampai
Dinasti Tudor mantap. Dalam setiap jilid, Hume
mengkritik pandangan-pandangan tradisional da-
lam sejarah Inggris, dan ia membuat kemajuan
besar dalam penulisan sejarah Inggris modern.
Dalam karyanya itu tercermin pula prinsip-prinsip
filosofisnya.
Deskripsi Hume tentang penaklukan orang-
orang Norman dari Inggris, serta pengenalan
hukum feodal oleh William si Penakluk,
dimaksudkan sebagai kritik terhadap mitos kons-
titusi kuno, yang selama abad ke-17 dipakai oleh
para pengacara dan para anggota parlemen (Yang
paling terkenal adalah Edward Coke) untuk
mempertahankan pe-
langgaran batas terha-
dap hak-hak prerogatif
Monarki Stuart. Coke
dan sekutunya dalam
House of Commons me-
nyatakan bahwa tun-
tutan-tuntutan mereka
terhadap raja dilegiti-
masikan oleh sebuah
“konstitusi lama” dan
dijamin oleh hak-hak
dari House of Commons
yang sudah berlaku
lama ataupun hak-hak House of Commons itu,

75
Historiografi Barat

sebab negara Inggris kuno yang belum beradab


hanya sedikit sekali memberikan kebebasan.
Hume mengikuti pendapat Sir Robert Brady, yang
beroposisi terhadap Dinasti Stuart, yang hanya
berdasarkan kekeliruan anakronisme. Brady
menunjukkan bahwa penaklukan orang-orang
Norman telah mengubah sistem yang legal di
Inggris, dan membuat seluruh daerah kerajaan
menjadi daerah feodal yang besar. Bagaimana
bisa Partai Whigs mempertahankan bahwa House
of Commons selalu berjaya di atas raja dan
mereka semata-semata hanya mengembalikan
hak-hak lama mereka yang dicoba direbut oleh
Keluarga Stuart. Hume-lah yang mempopulerkan
kembali interprestasi kritis Brady tentang abad
pertengahan Inggris, pada abad ke-18. Filsuf yang
menolak untuk mengakui kemungkinan suatu
penyebab awal yang tak dapat diuji, wajar
menjadi cenderung untuk membantah eksistensi
konstitusi lama yang tak dapat didokumentasikan.
Dari jilid-jilid tentang Tudor, kita mem-
baca kembali deskripsi tentang Armada Spanyol,
dan Ratu Elizabeth yang sombong, yang amat
dicintai rakyat dan ditakuti oleh House of
Commons. Hume amat senang mencela chauvi-
misme orang-orang Inggris dalam jilid ini. Orang
Inggris telah membuat legenda yang romantis
tentang kekalahan Armada Spanyol dan Hume
menguranginya sampai ke proporsi yang dapat
dipercaya. Ketika Hume membincangkan kekua-
saan Ratu Elizabeth yang amat sewenang-wenang
yang belum pernah terjadi sebelumnya, ia
menghilangkan interprestasi Whig yang berbau
mitos, yang berdasarkan teori bahwa para peng-
ganti Elizabeth dari Keluarga Stuart itu adalah

76
Historiografi Barat

para raja yang paling sewenang-wenang yang


pernah ada di Inggris.
Jilid tentang Keluarga Stuart awal me-
rupakan bagian yang paling kontroversial. Di sini
nyata sekali anti-Whigoisme amat progresif dan
tegas. Hume mengikuti Clarendon dalam melu-
kiskan Charles I sebagai martir selama ia diadili
dan kemudian dieksekusi. Hume kurang sen-
timental bila dibandingkan Clarendon, rasa sim-
patinya terhadap Stuart yang malang tidak di-
temukan, tetapi dalam seluruh karyanya itu ter-
cermin sikap menentang interprestasi Partai
Whig. Bagi Hume, bukanlah Keluarga Raja-raja
Stuart, tetapi parlemenlah para inovator yang
berbahaya. Hume terkenal karena sikap memihak
terhadap Charles I dalam hal ini.
Hume meninjau interpretasinya tentang
sejarah Inggris yang konstitusional, dan ia me-
nyatakan bahwa meskipun teror terjadi pada
perang saudara abad ke-17, orang-orang Inggris
dapat menerima kebebasan-kebebasan yang ke-
mudian mereka peroleh, sebab sekarang mereka
dapat hidup aman dan bahagia di bawah kons-
titusi baru. Secara historis, Partai Whig bersalah,
ini harus ditekankan, tetapi Hume tidak ingin
melambangkan suatu pemerintahan yang begitu
membuat iri orang-orang Eropa dan Amerika yang
saat itu sedang berjuang memperoleh kebebasan.
Bagian appendix, merupakan prototipe sejarah
kebudayaan, dan diakhiri dengan suatu karangan
pujian tentang Sir Isaac Newton, yang amat
dikagumi oleh Hume di atas semua filsuf.
Sesudah publikasi History of England,
Hume hidup bahagia. Ia melakukan perjalanan ke

77
Historiografi Barat

Perancis dalam dinas Kedutaan Inggris dan


diterima di Istana Perancis, dan ia mendapat pu-
jian dari raja untuk karyanya itu. Ia bahkan ke-
mudian menjadi orang yang menawan hati di
dunia sastra di Perancis. James Boswell, menye-
butnya sebagai “Penulis terbesar dari Inggris”.
Hume menghabiskan tahun-tahun terakhir hidup-
nya di daerah baru Edinburgh, di Jalan St. David,
yaitu jalan yang diberi nama seorang yang
meskipun amat menentang pemujaan orang suci,
tetapi amat dicintai para filsuf.

78
Historiografi Barat

VOLTAIRE
(1694-1778)

Para sejarawan Barat pada umumnya


sepakat bahwa Francis Marie Arouet yang dikenal
sebagai Voltaire adalah penulis yang paling
representatitf dari Zaman Pencerahan, meskipun
mereka tidak seragam dalam menafsirkan zaman
tersebut. Karya-karyanya yang berwawasan luas
dan termasuk genre sastra, menunjukkan nilai-
nilai filsafati yang hidup. Untuk mencapai tingkat
keunggulan seperti yang dimiliki Voltaire,
diperlukan pengalaman, semangat tinggi, kerja
tanpa kenal lelah, dan juga relasi yang luas.
Voltaire dalam sejarah dikenal sebagai penyair,
penulis drama, penulis essay, penulis cerita
pendek, filosof, dan sejarawan (Hart, 1982: 397).

79
Historiografi Barat

Voltaire

Karier panjang Voltaire dimulai dengan


pendidikannya di Louis-le-Grand. Ia dikirim ke
Kolese Jesuit oleh orang tuanya yang borjuis
sehingga ia memiliki koneksi yang luas. Kemudian
ia masuk ke kalangan bangsawan kehakiman.
Sementara itu, Ordo Jesuit menginginkan murid-
nya yang berbakat untuk menjalani latihan yang
istimewa dan mengharapkan muridnya menjadi
orang suci yang dihargai. Akan tetapi Voltaire
menolak keinginan orang tua maupun gurunya. Ia
hanya ingin mendapat status sebagai penyair.
Meski demikian ia tetap akan mencurahkan

80
Historiografi Barat

dirinya terhadap karya-karya klasik yang


dipergunakannya bukan semata-mata untuk
mempelajari ajaran Kristen. Seperti filsuf sejarah
idolanya, David Hume, ia menolak untuk
bersubordinasi belajar dengan membatasi diri
pada pengkajian tentang etika yang diterima
sebagai doktrin keagamaan.
Perjalanan Voltaire ke Inggris pada tahun
1726, sering dianggap sebagai langkah awal
keluarnya Voltaire dari dunia penyair. Akan te-
tapi, kita dapat mendeteksi filsafatnya dalam
puisi-puisi awalnya, dalam karyanya yang panjang
dengan judul Henriade (1728). Kita juga dapat
membaca kebenciannya terhadap penyiksaan-
penyiksaan yang dilakukan oleh para rohaniawan
abad ke-16 serta toleransinya yang besar dalam
karyanya yang berbentuk surat dengan judul
Epitre a Uranie (1722). Sikap Deisme-anti Kristen-
nya mendahului pujiannya terhadap budaya
kosmopolitan, seperti tercermin dalam surat-
suratnya dari Negeri Belanda pada tahun 1722.
Filsafat menjadi inti puisi-puisi filosofisnya.
Karya-karya Voltaire yang ditulis setelah
perjalanannya ke Inggris, merupakan bom per-
tama yang akan menjatuhkan Rejim Lama
(Ancient Regime). Voltaire menyadari kekuatan
dan arti karyanya yang berjudul The Philosophical
Letters, sehingga ia berusaha menjaganya dari
peredaran umum. Akan tetapi pada bulan Juni
1734, Parlemen Paris memerintahkan agar buku
itu dibakar dan Voltaire ditangkap. Tidak lama ia
dibebaskan dari penjara Bastille dengan syarat ia
harus meninggalkan Paris.

81
Historiografi Barat

Penjara Bastille

Voltaire amat memuji toleransi beragama


serta kebebasan yang dimiliki orang-orang Inggris.
Sebaliknya ia mengecam hirarki gereja yang kaku
dan penindasan-penindasan terhadap kebebasan
yang paling mendasar di negerinya sendiri. Ia juga
memuji perdagangan bebas dan sistem egalitarian
dalam perpajakan di Inggris; sebaliknya ia menge-
cam privilese (hak-hak istimewa) di Perancis.
Secara terang-terangan ia telah mengkritik
ketidakadilan yang kelak membawa ke arah
terjadinya Revolusi Perancis, di mana salah satu
korbannya adalah Raja Louis XVI yang mengalami
eksekusi. Bahkan dalam hal tertentu, ia lebih
menyukai para filsuf Inggris yang empiris, ia juga
mengabaikan prasangka kebangsaan.
Masa-masa yang dihabiskan Voltaire ber-
sama isterinya Madame du Chatelet, merupakan
masa produksi intelektualnya yang paling besar.
Di tempat tinggalnya di Cirey, ia menghasilkan
karya-karyanya di bidang filsafat, eksperimen-

82
Historiografi Barat

Eksekusi Louis XVI

eksperimen di bidang fisika dan usaha mem-


populerkan metafisika Newton, serta menjadi
pionir dalam melakukan kritik terhadap Kitab
Injil. Yang terpenting bagi sejarawan, Voltaire-
lah yang memulai penulisan sejarah modern
dalam historiografi Perancis. Karyanya yang
terkenal di bidang sejarah adalah The Age of
Louis XIV yang ditulis pada awal tahun 1732.

83
Historiografi Barat

Kemudian ia merevisinya selama satu dekade di


Cirey dan dipublikasikan untuk pertama kali pada
tahun 1751. Karya tersebut baru dinyatakan
benar-benar selesai pada tahun 1768. Sungguh
berharga karyanya ini: sekarang orang dapat
memahami kebudayaan Perancis abad ke-17
dengan membaca adikarya yang menggunakan
ratusan memoar dan arsip sebagai sumber.
Tujuan Voltaire menulis bukunya itu adalah untuk
melukiskan semangat zaman (zeitgeist), dan ia
berhasil. Rekaman tentang peperangan dan
intrik-intrik diplomatik masa itu, meskipun tak
dapat diabaikan sama sekali, hanyalah me-
rupakan pengantar ke arah mesin adminsitrasi
yang amat kompleks dari Perancis semasa Louis
XIV. Kesenian dan kesusastraan dari periode itu
merupakan periode puncak dari kebudayaan
Perancis. Penulisan sejarah kebudayaan ini
sesungguhnya merupakan titik awal historiografi
modern.
Karya Voltaire yang berjudul The Essay on
the Customs and the Spirit of Nations, secara
sengaja ditulis untuk Madame du Chatelet,
dipublikasikan untuk pertama kalinya pada tahun
1756. Voltaire mengalihkan kembali pandangan
Kristen tentang masa lalu, yang telah diterangkan
secara fasih oleh Bossuet dan dipopulerkan oleh
Rolin, menjadi pandangan yang sama sekali
sekuler dari suatu sejarah umum. Di tangan
Voltaire, sejarah tidak lagi merupakan kisah
orang-orang pilihan dari suatu sudut di muka bumi
ini, dan Injil tidak lagi menjadi otoritas historis
tertinggi, dan geografi jauh melewati apa yang
diketahui oleh kaum Kristen atau Yahudi. Dalam
diskusinya tentang orang-orang Chaldea, India,

84
Historiografi Barat

Hindu, dan Cina, Voltaire menunjukkan sejarah


suci berkurang terus baik dalam ruang maupun
waktu. Antara tahun 1753 hingga 1768, karya
Voltaire dicetak ulang tidak kurang dari 16 kali.
Pengetahuan sejarah telah mengalami kemajuan
sejak masa Voltaire. Dialah yang menunjukkan
kepada publik terpelajar bahwa sejarah yang
profan adalah sejarah manusia dan itu adalah
subyek yang pantas dalam studi sejarah.
Setelah Madame du Chatelet meninggal
pada tahun 1749, Voltaire menjadi warga istana
Frederik Yang Agung dari Prusia. Ia menyadari
bahwa raja yang lalim itu tidak mudah diberi
penerangan. Pada pertengahan tahun 1750-an, ia
pindah ke Jenewa. Pemikirannya waktu itu adalah
bahwa Republik Calvinistis, seperti juga monarki
di negerinya atau rejim militer di Prussia,
memerlukan reformasi. Dari rumahnya yang indah
di Les Delices, Voltaire mengadakan kampanye
politik melawan penyalahgunaan hukum, politik,
agama dari rejim lama, yang terjadi di mana-
mana. Kampanye tumbuh semakin hebat. Pada
tahun 1760-an, tempat tinggalnya yang terakhir
di Ferney, Perancis, menjadi ibukota Pencerahan
Barat
Berbagai karya Voltaire yang terbit selama
30 tahun terakhir hidupnya, berdasarkan tujuan
penulisan itu, dapat digabungkan menjadi: karya
yang mewakili humanitas. Dalam puisi ataupun
prosanya, dalam drama atau cerita pendek,
dalam artikel-artikelnya tentang sejarah atau
filsafat, ia mencemooh kefanatikan agama dan
kekejaman yang disahkan oleh sistem peradilan
yang ada. Dua adikaryanya dari periode ini yang

85
Historiografi Barat

masih menjadi contoh cemerlang sekarang adalah


Candide (1759) yang merupakan karya sastra
satire sosial yang terbesar; dan Philosophical
Dictionary (1764) yang berisi kritik yang tajam
terhadap teologi Kristen. Karya-karya yang lain,
secara ringkas dapat dikatakan: berhak mendapat
penghargaan.
Hingga meninggalnya pada tahun 1778,
Voltaire terkenal dengan usahanya untuk mewa-
kili orang Perancis yang tertindas. Ia menolak
pemakaman yang seremonial di gereja Katolik.
Jenazahnya dipindahkan ke pantheon selama
Revolusi Perancis.

86
Historiografi Barat

EDWARD GIBBON
( 1737 – 1794).

Karya Gibbon yang berjudul The Decline


and fall of the Roman Empire, dianggap bukan
hanya merupakan karya historis terbesar dalam
historiografi Zaman Pencerahan, banyak kritisi
modern menganggapnya sebagai karya historis
terbesar dalam bahasa Inggris. Sejarah monu-
mental ini berisi lebih dari satu seperempat juta
kata, yang merentang waktu 1300 tahun, dari
Roma zaman Antonius pada abad pertama Masehi
sampai awal Rennaissance, meliputi tiga benua
dari zaman kuno, serta menggambarkan ke-
bangkitan Kristen dan Islam. Untuk karyanya ini
Gibbon menghabiskan 20 tahun dari masa hidup-
nya. Kebesaran karyanya, bukan terletak pada
waktu yang dihabiskan untuk menulisnya, me-
lainkan sebagaimana yang ia ungkapkan sendiri
bahwa karyanya mungkin merupakan yang ter-
besar, yang paling dahsyat dalam sejarah ke-
manusiaan.

87
Historiografi Barat

Edward Gibbon

Gibbon adalah seorang anak yang sakit-


sakitan, tidak berbahagia, disia-siakan oleh ibu-
nya yang meninggal ketika ia berusia 10 tahun.
Sejak saat itu, oleh ayahnya yang keras, tidak
sabaran, ia dikirim ke Magdalan College, Oxford,
pada tahun 1752. Gibbon yang kutu buku dan
introvert itu menganggap bahwa membaca buku
apa saja adalah pekerjaan yang nyaman yang
mengisi saat-saat kesendiriannya.
Selama masa remajanya di Oxford, ia
mengalami perubahan dan berpindah ke agama
Katolik. Ayahnya mencoba membuangnya ke se-
buah keluarga Protestan di Swiss untuk mengem-
balikan agama anaknya. Akan tetapi, kaum
Calvinis ternyata tak dapat mencegah Gibbon dari

88
Historiografi Barat

apa yang disebut oleh Gibbon sebagai kesadaran


pertama akan kedewasaan. Malang sekali,
kecintaannya kepada Mademoiselle Susan
Curchod tidak berumur panjang. Sekali lagi ia
merasakan penindasan dari ayahnya dan ia de-
ngan patuh memadamkan api romantisme yang
pernah dirasakannya. Ia menderita tetapi ia terus
membaca.
Pada tahun 1761, setelah kembali dari
Inggris, Gibbon mempublikasikan laporan awal
tentang bacaannya yang diberinya judul An Essay
on the Study of Literature. Karya yang ditulisnya
di Perancis itu, mengungkapkan pengetahuannya
tentang sejarawan-sejarawan kuno, perhatiannya
terhadap hukum-hukum serta lembaga-lembaga
di Republik Romawi, dan perhatiannya terhadap
karya-karya Montesquie, yang kemudian banyak
mempengaruhi visinya dalam karyanya The
Decline and Fall of Roman Empire. Pada tahun
1763, perdamaian tercipta di Eropa sehingga
jalan masuk ke Benua Eropa menjadi terbuka bagi
orang Inggris. Selama satu tahun Gibbon tinggal di
Roma, di mana ia menyatakan dalam
otobiografinya, bahwa ia berada di antara puing-
puing sebuah ibukota, di mana para pendeta
telanjang kaki menyanyikan kebaktian di Kuil
Jupiter dan inilah yang memberinya gagasan
untuk menulis karya besarnya itu.
Sebelum meninggal pada tahun 1776,
David Hume merasa amat gembira menerima jilid
pertama karya Gibbon itu. Atas pujian David
Hume, Gibbon yang begitu ingin mengikuti jejak
Hume dan Robertson, menyatakan bahwa pujian

89
Historiografi Barat

itu melebihi upah kerja 10 tahun. Kita menge-


tahui bahwa karya Gibbon sendiri jauh melebihi
dua karya pendahulunya yang berasal dari Skot-
landia itu. Ketika Gibbon dalam perjalanan ke
Roma, di Paris ia mengunjungi Akademi Medali
dan Prasasti. Di sana ia menemukan tulisan
biarawan Ordo Benediktus, Jean Mabillon dan
Bernard Montfaucon. Ia menggunakan karya
mereka sebagai sumber bagi penulisan karyanya,
tanpa merasa perlu meneliti kembali karya
Mabillon tentang naskah zaman pertengahan
ataupun karya paleografi Yunani dari Montfaucon
itu.
Penemuan kedua sumber di atas ternyata
mendorongnya untuk mengkaji mata uang dan
prasasti-prasasti. Keinginannya akan karya-karya
para sarjana abad ke-17 lainnya dan perhatiannya
terhadap barang-barang antik, menyebabkan ia
langganan jurnal-jurnal yang diterbitkan oleh
akademi-akademi di Paris. Kisahnya tentang
permulaan gereja bersandarkan kepada sejarah
eklesiastik dari pendeta Caesar Baronius dan
Nanthe Tillemont penganut Jansenis. Uraiannya
tentang kerajaan di Timur, ia sandarkan pada
karya Charles du Fresne Di Cange, seorang
Perancis Byzantinis. Jadi, karya Gibbon tentang
Kerajaan Romawi di atas dapat dikatakan sebagai
sintesis dari hasil riset selama ratusan tahun
tentang sejarah kuno dan sejarah abad
pertengahan.
Sumber-sumber untuk karyanya itu meru-
pakan bagian dari intelektualitas abad ke-17,
tetapi struktur integralnya mencerminkan sema-
ngat hukumnya Montesquie dan karya sosiologis

90
Historiografi Barat

yang dibaca luas pada abad ke-18. Montesquie


mengajarkan kepada Gibbon bahwa geografi dan
iklim mempengaruhi karakter dan lembaga-
lembaga politik, serta sistem hukum seperti hal-
nya pengaruh traumatik peperangan dan invasi.
Menjadi tujuan Gibbon untuk memperlakukan
sejarah sosiologis Montesquie ke arah pengkajian
lembaga-lembaga sosial lainnya sebagai kekuatan
sejarah, khususnya agama. Bab-bab 15 dan 16
dalam bukunya, menjelaskan hal yang baik sekali
tentang kebangkitan dan sifat-sifat Kristen
sehingga membuat karyanya dianggap berbau
skandal. Bab ini mengundang kritik dan akhirnya
menghela Gibbon untuk menuliskan karyanya
yang brilian yaitu Vindication.
Gibbon secara penuh menceritakan multi-
plitas penyebab keruntuhan suatu peradaban.
Dalam karyanya, Kristen dianggap sebagai ke-
kuatan sosial yang destruktif. Pada bab-bab awal,
dipaparkan bahwa Imperium Romawi bersikap
amat toleran. Rakyat mencintai kesenangan-
kesenangan duniawi dan membangun peme-
rintahan yang kuat yang mereka pertahankan
dengan penuh keberanian. Energi mereka digu-
nakan untuk pekerjaan-pekerjaan mekanis, pe-
naklukan, dan menciptakan hukum yang beradab.
Ketika kekaisaran semakin besar dan kemudian
mulai melemah serta menderita berbagai invasi,
agama menawarkan janji hidup yang nyaman
dalam kehidupan sesudah mati kepada rakyat
yang putus asa. Konsekwensinya, mereka
mengabaikan untuk mempertahankan kekaisaran
mereka dari serangan musuh dan menggantikan
semangat yang dulu pernah ada dengan harapan

91
Historiografi Barat

hidup akhirat. Berarti ke-Kristenan sejalan de-


ngan kemunduran kekaisaran dan hal ini diper-
lukan untuk membuat eksplanasi tentang ke-
munduran itu. Sudah barang tentu bab-bab yang
ditulis sangat bagus itu merupakan contoh ironi
yang sangat kuat dari Gibbon. Hampir setiap
paragraf berisi observasi historis dan juga humor
yang tajam, hal-hal yang disukai oleh para filsuf
tetapi membuat marah penganut Kristen.
Pada bulan Juni 1787 Gibbon yang semula
ragu-ragu untuk mengakhiri karyanya, akhirnya
menyelesaikan hari-hari kerja kerasnya. Selama
tujuh tahun terakhir hidupnya, tidak banyak yang
diketahui.

92
Historiografi Barat

LEOPOLD VON RANKE


(1795-1886)

Sejarawan Jerman yang paling berpe-


ngaruh pada abad ke-19 ini, lahir pada tanggal 20
Desember 1795 di Wiche. Leluhurnya adalah
pendeta-pendeta Lutheran dan ahli hukum.
Ketika sedang menyelesaikan studinya di bidang
teologi dan filologi klasik di University of Leipzig,
ia menulis karya pertamanya dalam bahasa
Jerman yang kemudian diterjemahkan dengan
judul Histories of the Latin and Germany Nations
1494-1514. Dalam karyanya ini, Ranke
menerapkan metode filologi kritis (The Ency-
clopaedia Americana, 198223 : 253). Di samping
menulis, Ranke giat mengajar sejarah di Gymna-
sium di Frankfurt.
Ranke yang dikenal sebagai Bapak Ilmu
Sejarah Modern atau sejarah kritis terkenal
dengan pemikirannnya yang menyatakan bahwa
sejarah yang ditulis itu haruslah sebagaimana
peristiwa itu terjadi (“wie es eigentlich gewesen

93
Historiografi Barat

Leopold Von Ranke

ist” ). Kepeloporannya dalam mengembangkan


historiografi modern tidak terlepas dari usaha
para pendahulunya, seperti Jean Mabillon yang
telah menyumbangkan Ilmu Diplomatika. Mabillon
membuat formulasi kritik eksternal (yaitu untuk
menentukan otentisitas sebuah sumber) dengan
ilmunya itu, sedangkan Ranke memperluasnya
menjadi kritik eksternal dan kritik internal yang
berguna untuk menguji kredibiltas sebuah
sumber. Inilah sumbangan terbesar dari Leopold
von Ranke untuk Ilmu sejarah (Barnes, 1962: 245;
lihat juga: Garraghan, 1957).
Ranke sebagai seorang nasionalis mem-
perlihatkan sikapnya dalam karya-karyanya ten-
tang sejarah diplomatik dan politik. Ia tidak se-
pendapat dengan pandangan romantisisme yang
subur pada waktu itu, yang menekankan unsur
estetika (seni) dalam penulisan sejarah. Seorang
sejarawan haruslah berpedoman kepada penga-
turan yang ketat, imajinasi sejarawan tidak sama

94
Historiografi Barat

dengan seniman. Mereka harus tunduk kepada


dukungan bukti-bukti nyata dan kritis. Ranke
karenanya dikenal sebagai Bapak Historisisme
(Ankersmith, 1987). Historisisme lebih dari
sekedar filsafat sejarah, karena di dalamnya
melibatkan mulai dari filsafat hidup, kombinasi
konsep-konsep sains yang berkaitan dengan
manusia dan kebudayaannya, hingga konsep
tatanan politik dan sosial (Iggers, 1997:25).
Ranke menolak setiap usaha untuk menulis
sejarah dengan menggunakan sumber yang tidak
tergolong sumber primer Seperti juga Thucydides,
yang menjadi kajian untuk disertasinya, Ranke
berusaha menggabungkan rekonstruksi kebenaran
masa lampau dengan elegansi sastra (Iggers,
1997: 25). Bagi Ranke, riset ilmiah sangat erat
kaitannya dengan penggunaan metoda kritis. Oleh
karena itu, melalui berbagai seminar ia
mengadakan pelatihan dalam pengujian secara
kritis sumber-sumber sejarah. Setelah tahun
1848, semua universitas di Jerman telah
mengadopsi metodanya. Setelah tahun 1870,
studi sejarah di negara-negara Eropa semakin
meningkat profesionalitasnya. Pada umumnya
mereka mengikuti model Jerman. Boleh
dikatakan bahwa Ranke menjadi model untuk
pengetahuan sejarah yang professional pada abad
ke-19 (Iggers, 1997: 26). Penghargaan kepada
Ranke muncul di mana-mana. Lord Acton dalam
English Historical Review edisi perdana menulis
artikel berjudul “German School of History”.
Asosiasi Sejarawan Amerika, yang didirikan pada
tahun 1884, mengangkat Ranke sebagai anggota
kehormatan pertama. (Iggers, 1997: 28). Ranke
meninggal di Berlin pada tanggal 23 Mei 1886.

95
Historiografi Barat

Ranke yang sangat berkeinginan menulis


sejarah dunia itu banyak menghasilkan tulisan
yang sangat kaya. Karya-karya Ranke yang ditulis
dalam bahasa Jerman dan telah diterjemahkan ke
dalam bahasa Inggris antara lain: History of the
Popes; German History in the Age of the Refor-
mation, French History, dan English History.

96
Historiografi Barat

MARC BLOCH
(1886-1944)

Sejarawan Perancis ini dilahirkan di Lyons


pada tanggal 6 Juli 1886, dari pasangan Gustave
dan Sara Ebstein Bloch. Bloch yang berotak
cemerlang bersekolah di Lycee Louis-le-Grand di
Paris. Pada tahun 1904, ia belajar sejarah dan
geografi di Ecole Normale Superieure, kemudian
ia juga mengambil kursus-kursus antara lain di
Sorbonne, Ecole des Hautes Etudes dan College-
college Perancis di Athena dan Roma. Di samping
itu, ia juga pernah belajar di University of Berlin.
Kemudian ia menjadi profesor di Fakultas Sastra
di Lyons. Setelah itu ia diangkat menjadi guru
besar sejarah Romawi di Sorbonne pada tahun
1904, di Montpellier (1912), di Amiens (1913), dan
Strassbourg (1921). Berbagai artikel dan sejumlah
buku ditulisnya; yang terkenal di antaranya
adalah La Republique Romaine (1913), L’empire
Romain (1922).

97
Historiografi Barat

Marc Bloch

Marc Bloch dibesarkan di Paris dalam


lingkungan intelektual yang baik. Kakaknya ada-
lah seorang dokter yang juga pemusik. Ia sangat
berpengaruh terhadap pemikiran Bloch, seperti
dapat dibaca dalam salah satu bukunya. Bloch
menikah dengan Simone Vidal pada tahun 1919,
yang bertindak sebagai sekretaris dan asistennya
sekaligus.
Hal yang sangat menonjol dari karya-
karyanya adalah kepakarannya dalam masalah
sejarah abad pertengahan. Setelah pertemuannya
dengan kolega seniornya yaitu Lucien Febvre di
Strassbourg, Bloch beralih ke masalah sejarah

98
Historiografi Barat

umum, ilmu-ilmu sosial, dan ekonomi. Titik pun-


cak intelektualitasnya terjadi pada tahun 1929
ketika ia bersama Lucien Febvre menerbitkan
majalah berjudul Annales d’histoire Economique
et Sociale, yang dalam waktu sepuluh tahun
benar-benar mengubah historiografi Perancis.
Bloch mencurahkan segala pemikirannya dalam
majalah ini, khususnya yang berkaitan dengan
pendekatan sejarah yang baru. Dalam mengem-
bangkan aliran baru yang kemudian dikenal
sebagai Mazhab Annales ini, Bloch dan Febvre
mendapat bantuan pakar-pakar seperti ahli geo-
grafi ekonom, dan sosiolog. Para sejarawan
Annales ini sebenarnya tidak menganggap aliran
mereka sebagai satu aliran atau mazhab khusus.
Tampaknya Bloch mencoba masuk ke dunia eko-
nomi, sosiologi, dan psikologi, seperti juga yang
dilakukan sejarawan Huizinga. Akan tetapi tujuan
sejarahnya tetap jelas yaitu bahwa sejarah
bukanlah akumulasi berbagai peristiwa yang
terjadi pada masa lalu melainkan pengetahuan
tentang masyarakat manusia.
Karya Bloch yang tak dapat diabaikan
adalah Les Caracteres Originaux de l’histoire
Rurale Francaise (1931), sejarah pedesaan yang
ditulisnya berdasarkan pengamatannya atas pola-
pola perladangan dan interpretasi terhadap
lanskap pedesaan. Buku terakhir yang diter-
bitkannya adalah Feudal Society (1939-1940),
yang merupakan usaha untuk memfokuskan kem-
bali ratusan kajian terdahulu dalam perspektif
sejarah yang baru. Dalam buku ini diperlihatkan
pola-pola, perbedaan-perbedaan dan generalisasi
perkembangan sejarah abad pertengahan di
Eropa.

99
Historiografi Barat

Tidak bisa diragukan lagi bahwa karya-


karya Bloch banyak dibaca dan dijadikan referensi
oleh para sejarawan secara luas, bukan saja di
Perancis tetapi juga di berbagai bagian dunia.
Buku-bukunya diterjemahkan dan disebar-luaskan
ke seluruh dunia. Murid-muridnya antara lain:
Robert Boutruche, Michel Mollat, Pierre Goubert,
Paul Leuillot, dan Henri Brunschwig. Mereka pada
umumnya menunjukkan garis pemikiran yang
searah dengan gurunya.
Satu prinsipnya sebagai cendekiawan yang
patut dijadikan teladan adalah seperti yang
dituliskannya dalam sebuah surat kepada Lucien
Febvre pada tanggal 17 September 1939 (ketika
Perang Dunia mulai pecah): “Saya seharusnya
menghindarkan diri dari tugas sebagai propa-
gandis. Para sejarawan harus menjaga tangannya
tetap bersih”. Ketika Perancis berada di bawah
rejim Hitler, ia melarikan diri Ke Inggris melalui
Dunkirk. Di sana ia tinggal beberapa lama. Akan
tetapi pada tanggal 8 Maret 1944, ia bersama
teman-temannya ditangkap Gestapo. Berbulan-
bulan kemudian ia ditembak oleh pasukan Hitler
itu, hanya beberapa hari sebelum Hitler me-
nyerah (Braudel, 19721:92-94).
Mazhab Annales, terus melaju sepeninggal
Bloch. Pendekatan Ilmu-ilmu sosial dalam
penelitian sejarah bukanlah menjadi hal yang
aneh. Pada tahun 1990-an reorientasi terjadi
pada mazhab ini. Salah satu bukti adalah upaya
penerbitan kembali jurnal Annales. Pada terbitan
baru ini persoalan-persoalan yang diangkat
bertalian dengan persoalan kontemporer, seperti
pembukaan arsip Uni Sovyet, organisasi buruh di

100
Historiografi Barat

Jepang, masalah politik dan AIDS yang terjadi di


Zaire, kekerasan agama di India, dsb. Aliran post-
modernisme mengajukan kritik yang pedas
setelah membaca tulisan-tulisan tersebut. Hey-
den White menilai bahwa sejarah selalu meng-
gunakan bentuk naratif, oleh karena itu sejarah
memiliki kualitas sastra. Lebih pedas lagi, aliran
post-modernisme menuduh bahwa historiografi
merupakan sejenis fiksi yang tidak memiliki
criteria kebenaran. Tentu saja, hal ini tidak bisa
diterima begitu saja. Natalie Davis berpendapat
bahwa, narasi sejarah bukanlah sembarang ima-
jinasi atau sembarang kreativitas, karena pe-
nulisan itu mengikuti “suara masa lalu” yang
berbicara kepada kita melalui sumber sejarah.
Meskipun memang ada faktor imajinasi untuk
merangkaikan fakta itu agar dapat berbicara de-
ngan memiliki makna. Bahkan Ranke yang me-
miliki slogan wie es eigentlicht gewesen”,
mengakui perlunya imajinasi dalam historiografi.
(Iggers, 1997: 118).

101
Historiografi Barat

HENRI PIRENNE
(1863-1935)

Sejarawan Belgia ini menyelesaikan ku-


liahnya di Fakultas Sastra di University of Liege
pada tahun 1883. Setelah lulus ia mengajar di
almamaternya, tetapi setahun kemudian pindah
ke University of Ghent. Di sana ia mengajar
hingga tahun 1930, dan antara tahun 1919-1921 ia
sempat menjabat sebagai rektor di universitas
tersebut. Selain itu, ia juga mengajar mata kuliah
sejarah abad pertengahan (Van Werveke, 197211:
99).
Henri Pirenne sangat tertarik pada sejarah
sosial. Rupanya hal ini didasarkan atas penga-
laman pribadinya. Ayahnya adalah manajer pab-
rik wool di Kota Verviers. Ia menjadi sangat mena-
ruh perhatian pada masalah-masalah sosial yang
terjadi dalam industri di Belgia. Hal ini ikut men-
dorongnya belajar mengenai sejarah sosial-eko-
nomi di Jerman di bawah bimbingan Gustav
Schmoller, pendiri Mazhab Schmoller (Iggers,

102
Historiografi Barat

1997: 36 ) dan juga melalui


perkenalannya dengan se-
jarawan Jerman, Karl Lam-
precht. Kontaknya dengan
Arthur Giri di Paris antara
tahun 1884-1885 telah
memperkuat perhatiannya
dalam sejarah perkotaan.
Kajiannya tentang gerakan
sosial yang terjadi di ne-
gerinya dianalisis dari ber-
bagai segi khususnya aspek politik, sosial, dan
ekonomi. Ia juga banyak menulis mengenai
sejarah perkotaan (1893-1895). Berdasarkan pen-
elitiannya, ia menolak anggapan yang sudah ada
tentang asal-usul sebuah kota. Menurut penda-
patnya, sebuah kota berkembang sebagai hasil
bangkitnya perdagangan pada abad ke-10 dan ke-
11, dan yang menjadi inti kota adalah daerah
pemukiman para pedagang. Teorinya ini dikemu-
kakan dalam bukunya yang berjudul Les villes du
Moyen Age. Dalam bukunya ini juga dikemukakan
perbandingan dengan kota-kota di Rusia dan
Italia.
Henri Pirenne bekerjasama dengan
Georges Epinas (1906-1924) dalam menulis kar-
yanya mengenai sejarah industri. Permasalahan
yang dikajinya menyangkut pengaruh perkem-
bangan industri pakaian yang tumbuh di beberapa
kota. Pirenne sendiri tidak pernah menulis
sejarah industri sendirian.
Sejarawan Belgia ini adalah pionir dalam
sejarah demografi. Ia menulis tentang populasi di
Ypres pada abad ke-15. Kajiannya dijadikan pola

103
Historiografi Barat

dalam penelitian-penelitian serupa di Belgia.


Karya pentingnya adalah The Stages in the Social
History of Capitalism (1914), yang mendapat
perhatian besar dari dunia sejarah internasional
pada awal abad ke-20. Ia menyatakan bahwa teori
evolusi kapitalisme tidaklah mengikuti garis lurus
tetapi mengikuti pola siklis, di mana setiap fase
perkembangan menuju kemerdekaan dan kema-
juan diikuti oleh suatu ciri regulasi dan konser-
vatifisme, yang pada gilirannya digantikan pula
oleh suatu keberhasilan golongan baru untuk
memperkenalkan kembali tendensi-tendensi
progresif.
Interpretasi Pirenne yang komprehensif
tentang sejarah sosial-ekonomi abad pertengahan
diungkapkan dalam bukunya yang berjudul
Economic and Social History of Medieval Europe
(1933). Pemikirannya dalam buku ini sangat
mempengaruhi pemikiran sejarawan ekonomi pa-
ling tidak seperempat abad setelah kematiannya.
Setelah ia meninggal, sebuah karyanya yang lain
diterbitkan pula, yaitu Mohammed and Charle-
magne (1935). Dalam bukunya ini disebutkan
bahwa peralihan antara zaman kuno menjadi
zaman pertengahan bukanlah terjadi pada abad
ke-5 sebagaimana diterima orang hingga saat itu,
melainkan terjadi sekitar tahun 700-an, ketika
orang-orang Muslim menaklukkan bagian selatan
daerah Laut Tengah. Hal ini dikaitkannya dengan
faktor ekonomi. Tentu saja teorinya ini dianggap
kontroversial (van Werveke, 197211 : 100).

104
Historiografi Barat

JAMES HARVEY ROBINSON


(1863-1936)

Sejarawan Amerika ini terkenal sebagai


pendiri aliran pemikiran sejarah yang dikenal
sebagai New History, yaitu pemikiran sejarah
baru yang menekankan perlunya pendekatan
ekonomi dan sosiologi dalam wacana sejarah.
Jadi, aliran ini sejalur dengan pemikiran Mazhab
Annales di Perancis.
Robinson dilahirkan di kalangan keluarga
terpandang di Bloomington-Illinois. Mulanya ia
tertarik bidang biologi dan astronomi. Pada tahun
1883 ia kuliah di Harvard dan lulus sarjana
mudanya tahun 1887 dengan menulis tentang
Sejarah Konstitusi Amerika dan ia menyelesaikan
tesisnya di University of Freiburg, Jerman. Di sini
ia mendalami epigrafi, paleografi, leksikografi,
dan diplomatik. Sementara itu ia tetap ber-
korespondensi dengan pakar bidang biologi yang
menjadi perhatiannya sejak kecil. Rupanya cara

105
Historiografi Barat

berpikir ilmu pengetahuan alam sangat mempe-


ngaruhi pemikiran kesejarahannya. Robinson
mendeklarasikan bahwa pendekatan genetis da-
lam sejarah yang dilakukannya tidak lain dide-
rivasi dari biologi.
Pentingnya analisis tentang aspek eko-
nomi, sosial, dan psikologi berbagai peristiwa
sejarah seperti yang dikemukakan oleh Robinson,
juga ditekankan oleh beberapa sejarawan lain.
Misalnya Charles A Beard, yang melihat konflik
ekonomi dan sosial sebagai faktor penentu dalam
sejarah Amerika. Carl L. Becker dan Vernon
Parrington menekankan pentingnya ide, Perry
Miller tentang pentingnya agama. (Iggers, 1997:
42) James T Shotwell, Thorstein Veblen malah
menekankan besarnya pengaruh teknologi dan
mekanisasi dalam sejarah. Selain interesnya di
bidang psikologi, Robinson juga mempelajari
psikoanalisis, terutama melalui hubungan per-
sahabatannya dengan L Pierce Clark, pengarang
kajian psikoanalitik tentang Napoleon dan
Lincoln. Dari sini jelas sekali bahwa James Harvey
Robinson memfokuskan diri dalam sejarah
intelektual (sejarah pemikiran).
Pemikiran Robinson tak dapat diabaikan
dalam perkembangan aliran New History di luar
negeri seperti yang dikembangkan oleh Karl
Lamprecht di Jerman, Henri Berr, Charles
Seignobos, dan Alfred Rambaud di Perancis,
Guglielmo Ferrero dan Corrado Barbagallo di
Italia.

106
Historiografi Barat

Columbia University, almamater James Harvey Robinson

Karier Robinson adalah sebagai dosen se-


jarah di University of Pennsylvania dan kemudian
menjadi guru besar sejarah Eropa di Columbia
University (1895) setelah sebelumnya menjadi
associate professor di Jerman (1892). Beberapa
muridnya antara lain Carl Becker, yang menjadi
sejarawan di Cornell University, dan Arthur M.
Schlesinger, menyampaikan komentar tentang
gurunya yang memiliki kebiasaan bila mengajar,
pada awalnya sering formal dan kaku, tetapi
kemudian menjadi lebih informal meskipun kering
dari humor. Bahkan kalau memberi kuliah,
berbicara sangat pelan sehingga sulit didengar
para mahasiswanya.
Beberapa karyanya antara lain The New
History (1912), yang berpengaruh luas dalam
penulisan sejarah di Amerika sehingga mela-
hirkan sebutan “Aliran Robinson” (Robinson’s
School dan The Development of Modern Europe
(1907-1908) yang ditulisnya bersama Charles A.
Beard. Beberapa artikelnya diterbitkan bersama

107
Historiografi Barat

Harry Elmer Barnes, sejarawan Amerika yang juga


banyak menggunakan tradisi Robinson dalam
tulisannnya, dalam buku yang berjudul The
Human Comedy (1937). Buku lainnya adalah An
Introduction to the History of Western Europe
(1902-1903), Outlines of European History (1912-
1914).
Sumbangan Robinson dalam sejarah in-
telektual dikemukakan dalam sebuah symposium
yang bertema Essays in Intellectual History,
dalam rangka pengangkatan Robinson sebagai
Presiden AHA (American Historical Association)
(Barnes, 197213: 533-538). Turner dan Beard,
dalam pidatonya di depan AHA, pada tahun 1913,
secara sadar merumuskan masalah sejarah yang
mensyaratkan dipakainya suatu kerangka teo-
retis. Meskipun demikian, mereka tidak ber-
maksud mentransformasikan sejarah menjadi
ilmu sosial yang sistematis seperti dikehendaki
oleh Durkheim dan Simiand dari Perancis, Marx,
Lamprecht, dan Max Weber dari Jerman. Hu-
bungan sejarah dan ilmu sosial haruslah longgar
dan eklektik, seperti yang diinginkan oleh Henri
Berr dari Perancis dan Henri Pirenne dari Belgia.
Dalam tahun 1960-an, (Iggers, 1997: 43).

108
Historiografi Barat

BAGIAN KEDUA

109
Historiografi Barat

110
Historiografi Barat

HISTORISME KLASIK
SEBAGAI MODEL DISIPLIN
SEJARAH

Pada awal abad ke-19 terjadi perubahan


radikal di dunia Barat menurut sejarah yang dite-
liti, ditulis, dan diajarkan ketika sejarah menjadi
suatu disiplin profesional. Sampai saat itu
terdapat dua tradisi penulisan sejarah yang domi-
nan: pertama, yang sangat menonjol yaitu histo-
riografi yang benar-benar ilmiah dan antikuarian,
kedua, historiografi yang bersifat sastra. Dalam
karya sejarawan besar Inggris abad ke-18,
Gibbon, Hume, dan Robertson, kedua tradisi ini
menyatu. Disiplin sejarah baru yang muncul di
universitas-universitas Jerman menekankan histo-
riografi ilmiah itu seharusnya juga mempunyai
“rasa” sastra. Perlu diingat bahwa profesi sejarah
baru melayani kebutuhan publik dan tuntutan
politik dan sejarah menjadi penting untuk me-

111
Historiografi Barat

nyampaikan hasil-hasil riset pada publik yang


kesadaran historisnya sudah terbentuk dan mera-
sa perlu untuk mencari identitas sejarahnya
sediri.
Persoalan ini sebenarnya sudah menjadi
perhatian sejak abad ke-19. Misalnya di University
of Berlin, yang didirikan pada tahun 1810, telah
dilakukan reorganisasi pendidikan menengah dan
pendidikan tinggi yang dilakukan oleh Wilhelm
von Humboldt. Hal ini terjadi dalam era reformasi
setelah penaklukan Prussia oleh Napoleon tahun
1806 dan 1807. Pada saat itu pegawai negeri sipil
banyak direkrut dari kelas menengah berpendidi-
kan universitas. Mereka memainkan peranan
sentral dalam tatanan politik di mana institusi-
institusi representatif belum berfungsi pada level
komunal. Humboldt berusaha mereformasi Gym-
nasia dan universitas dengan maksud untuk me-
menuhi kebutuhan ini. Saat itu diperkenalkan
konsep bildung, yang menjadi landasan untuk
menciptakan masyarakat warga yang terpelajar
dan berdedikasi tinggi.
Universitas reformis ini mewujudkan pele-
buran antara Wissenschaft dan bildung Bila uni-
versitas-universitas lama, fungsi utamanya adalah
pengajaran, maka University of Berlin menjadi
pusat di mana pengajaran digabungkan dengan
penelitian. Leopold Ranke, seorang dosen muda
di Gymnasium Frankfrut/Order,dipanggil ke Uni-
versity of Berlin tahun 1825. Ranke, baru saja
menerbitkan buku di mana ia berusaha membuat
rekontruksi berdasarkan penelitian dokumen-
dokumen penting, hanya dengan menggunakan
sumber-sumber primer. Seperti Thucydides yang
menjadi subyek disertasinya, dia berusaha menu-

112
Historiografi Barat

lis sejarah yang menggabungkan rekontruksi


kebenaran masa lampau dengan elegansi sastra.
Sejarah harus di tulis oleh seorang ahli tetapi
bukan hanya untuk konsumsi sejarawan melain-
kan juga untuk publik umum yang terpelajar.
Konsepsi Ranke tentang sejarah sebagai
ilmu menolak semua ketentuan-ketentuan nilai
dan spekulasi metafisis, dan asumsi-asumsi filo-
sofis dan politis yang secara implisit mengarahkan
penelitian. Bagi Ranke, riset ilmiah harus dilaku-
kan dengan metode kritis. Pelatihan berkesinam-
bungan untuk metode kritis ini merupakan
prasyarat penting. Ranke memperkenalkan semi-
nar-seminar di mana sejarawan masa depan dila-
tih dalam pengujian kritis dokumen-dokumen
abad pertengahan. Seminar itu sendiri tidak baru
sama sekali. Johann Christoph Gatterer telah
memperkenalkan hal serupa di University of
Gottingen tahun 1770-an, tetapi baru Ranke yang
menjadikannya sebagai komponen integral
pelatihan sejarawan. Setelah 1848 semua unive-
rsitas berbahasa Jerman sudah mengadopsinya.
Ranke berpendapat, sejarawan harus menahan
diri dari “penilaian masa lalu” dan membatasi
dirinya “menunjukan bagaimana se-suatu
sesungguhnya terjadi”.
Sementara Max Weber pada peralihan abad ke-20
mengungkapkan bahwa pendekatan historis yang
teliti menunjukan ketiadaan makna eksistensi
etika, sedangkan menurut Ranke hal tersebuti
mencerminkan dunia makna dan dunia nilai,
mengungkapkan karakter-karakter institusi-insti-
tusi sosial sesuai dengan perkembangan sejarah-
nya. Walaupun menggantikan pendekatan filoso-
fis Hegel dengan pendekatan historis, Ranke

113
Historiografi Barat

berpendapat sama bahwa semua itu adalah hasil


pertumbuhan historis. Selanjutnya Ranke ber-
kesimpulan yang sama dengan Edmund Burke,
yang menyangkal bahwa pada setiap tantangan
terhadap politik dan institusi sosial, melalui cara
revolusi atau reformasi ekstensif, merupakan
pelanggaran semangat historis. Pendekatan
‘imparsial’ ke masa lalu, yang hanya bertujuan
untuk menunjukan ‘apa yang sebenarnya terjadi’.
Jadi sebenarnya Ranke mengungkapkan tatanan
yang ada sebagaimana Tuhan menginginkannya.
Ranke pada akhirnya menjadi model untuk
ilmu pengetahuan sejarah yang profesionalis pada
abad ke-19. Namun, sebelum 1848, dia tidak
sepenuhnya tipikal Jerman, dan dalam tingkat
internasional bukan tipikal historiografi. Tradisi
pencerahan sejarah kultural masih sangat hidup
dalam tulisan-tulisan Heeren, Schlosser, Gervi-
nus, dan lain-lain yang banyak mengungkap masa-
lah-masalah politik dan menyadari pentingna
metoda-metoda filosofis tetapi menjadikan nya
hanya sebagai sebagai jimat. Perhatian sejarah
yang intens di Eropa menyebabkan penerbitan
sumber-sumber sejarah nasional menjadi gencar.
Pada abad ke-18, Muratori sudah meluncurkan
usaha seperti ini di Italia, Rerum Italicarum Scrip-
toris. Di Jerman, Monumenta Germania Historica
dimulai tahun 1802 sebagai koleksi sumber
sejarah abad pertengahan Jerman. Tahun 1821
The Ecole des Chartes didirikan di Paris untuk
melatih para sejarawan dan arsiparis dalam
pengujian-pengujian kritis. Bermunculanlah di
Prancis, Inggris Raya, dan Amerika Serikat tulisan-
tulisan sejarah dari Jules Michelet, Thomas
Babingston Macaulay dan George Bancroft.

114
Historiografi Barat

Bilamana diukur dari peran sejarawan


dalam kehidupan publik, sejarah mungkin dinilai
lebih tinggi di Prancis daripada di Jerman. Maka
sejarawan seperti Francois Guizot, Jules Miche-
let, Louis Blanc, Alphonse de Lamarine, Alexis de
Tocqueville. Hyppolyte Taine, dan Adolphe Thiers
semuanya mempunyai posisi dalam dunia politik
Prancis. Sementara di Jerman tidak demikian. Hal
ini terjadi karena sejarawan di Jerman terlokalisir
di universitas dan tunduk kepada tuntutan-
tuntutan keilmuwanan.
Di Jerman, setelah 1848, dan setelah 1870
di sebagian besar negara-negara Eropa, Amerika
Serikat, Jepang, Britania Raya, dan Belanda, studi
sejarah mengalami profesionalisasi. Model Jer-
man kemudian diikuti AmerikaSerikat, paling
tidak ketika dibuka program Ph.D di John Hopkins
University tahun 1872, di Prancis pada tahun 1868
dengan didirikannya Ecole Pratique des Hautes
Etudes di Paris. Seminar mulai menggantikan atau
paling tidak melengkapi kuliah. Kemudian diter-
bitkan jurnal-jurnal yang menyebarkan metoda
baru yang ilmiah. Misalnya Historische Zeitschrift
(1859) diikuti oleh Revue Historique (1876).
Terbit pula American Historical Review yang
diawali dengan artikel dari Lord Acton tentang
“German School of History”. Asosiasi Sejarah
Amerika yang didirikan tahun 1884, memilih Ran-
ke :”Bapak ilmu sejarah” sebagai anggota ter-
hormat pertamanya.
Perbedaan yang terjadi dalam dunia
hsitoriografi antara di Jerman dan di Prancis,
mencerminkan budaya politik yang berbeda. Akan
tetapi keduanya sangat dalam berakar pada nilai-
nilai kelas menengah yang sudah mapan, “burger-

115
Historiografi Barat

tum” atau “borjuis”. Di kedua negara ini historio-


grafi dengan terbuka mendukung posisi liberal
yang berbeda dari konservatisme Ranke.
Dalam pandangan umum, sejarah baru
atau disebut juga historisme (Historismus),
diterima sebagai kemajuan intelektual. Historis-
me lebih dari hanya sekedar teori sejarah.
Historisme melibatkan seluruh filsafat hidup,
kombinasi khas konsepsi sains, khususnya untuk
sains manusia dan budaya, dan konsepsi tatanan
politik dan sosial. Sebagaimana yang dirumuskan
Ortega y Gasset, diasumsikan bahwa “Manusia
(man), dalam satu kata, tidak mempunyai alam;
yang dia miliki adala sejarah”. Akan tetapi juga
diyakini bahwa sejarah mengungkapkan makna
dan makna itu sendiri hanya terungkap dalam
sejarah. Jika dilihat dengan cara ini, sejarah
hanya merupakan cara mempelajari masalah-
masalah manusia. Sejarawan dan filsuf sosial
seperti Ernts Troeltsch dan Friederich Meinecke
kemudian menggunakan istilah historisme untuk
mengidentifikasi pandangan dominan dalam
dunia akademis Jerman abad ke-19 bahkan
Frederich Meinecke tahun 1936 mengatakan his-
torisme sebagai titik tertinggi dalam pemahaman
tentang manusia..
Dalam kenyataannya teori ini memperluas
dan membatasi perspektif historis. Perlu diingat
bahwa ilmu pengetahuan historis mendapat
bentuk modernnya dalam dua pertiga bagian
pertama abad ke-19, sebelum industrialisasi dan
demokratisasi masyarakat Jerman. Asumsi-
asumsinya didasarkan sebagian besar tetap tidak
berubah setelah 1870 , mungkin karena prestise
tinggi yang sudah dicapai ilmu pengetahuan

116
Historiografi Barat

sejarah Jerman dan karena kondisi khusus di


dalam politik Jerman setelah revolusi 1848-1849.
Namun, sebagaimana kita ketahui, pola ilmu
sejarah Jerman menjadi model studi profesional
di mana-mana, dengan kondisi politik dan
intelektual yang berbeda. Jadi, sejarawan di luar
Jerman mengadopsi elemen-elemen penting
praktik keilmuan Jerman tanpa banyak mema-
hami keyakinan filosofis dan politis yang ber-
kaitan dengannya.
Teori historisme yang dipegang Ranke
bahwa “setiap masa adalah seketika bagi Tuhan”.
Namun, dalam kenyataannya, tidak semua zaman
dipahami Ranke, yang memiliki perspektif luas
tentang Eropa. Ranke berkeinginan menulis
sejarah dunia, tetapi sejarah dunia bagi dia
adalah samadengan sejarah masyarakat Jerman
dan Latin, sejarah Eropa Tengah dan Barat, ‘India
dan Cina’. Menurut dia, kita sudah memiliki’
suatu kronologi panjang’ tetapi sebenarnya sama
dengan ‘sejarah alamiah’, bukan sejarah dalam
arti yang dia pahami.
Setelah Ranke, fokus sejarawan selan-
jutnya menyempit dengan membatasi dirinya
hanya untuk bangsa dan kehidupan politik bangsa.
Sejarawan merasa perlu harus mempelajari arsip-
arsip, yang tidak hanya berisikan dokumen-doku-
men resmi negara tetapi juga informasi tentang
pemerintahan, ekonomi, dan ilmu sosial, yang
pada umumnya terabaikan pada masa itu.
Setelah pergantian abad Ernst Troeltsch
mengemukakan istilah’ krisis historisisme’. Ia
menyampaikan opini bahwa studi sejarah telah
membuktikan relativitas semua nilai dan meng-
ungkapkan ketiadaan makna eksistensi. Jadi,

117
Historiografi Barat

‘krisis historisisme’, yang semakin menjadi popu-


ler dalam pembahasan di Jerman setelah Perang
Dunia I, dianggap sebagai hasil utama perkem-
bangan intelektual. ‘Krisis ‘ ini dirasakan paling
nyata di Jerman karena asumsi-asumsi filosofis
awal abad sampai pertengahan abad ke-19 paling
banyak diterima dalam realitas abad ke-20.

118
Historiografi Barat

KRISIS
HISTORISME KLASIK

Pada akhir abad ke-19 di universitas-


universitas Eropa dan Amerika Serikat mulai
dilakukan pengujian kritis atas dalil-dalil yang
sudah diterima selama ini. Tak ada satupun
konsep yang muncul tentang bagaimana studi
historis harus dilaksanakan dalam zaman modern,
tetapi ada keyakinan luas bahwa pokok persoalan
sejarah harus dikembangkan dan ruang yang lebih
luas diberikan kepada peranan masyarakat,
ekonomi, dan kebudayaan. Selain itu, preferensi
naratif, terutama politik, sejarah yang berpusat
pada peristiwa dan tokoh “orang besar” mulai
ditentang, dan tuntutan dibuat agar sejarah lebih
dikaitkan kepada ilmu sosial empiris. Namun,
reaksi kritis terhadap sejarah ini kemudian diteliti
dan diajarkan di universitas-universitas di seluruh
dunia, yang kemudian memunculkan dua per-
tanyaan pokok tentang historiografi lama, yakni,
(1) bahwa sejarah akan menjadi disiplin profes-

119
Historiografi Barat

ional, dan (2) bahwa sejarah harus menjadi ilmu


yang benar-benar ilmiah.
Di Jerman pembahasan ini mendapat
intensitas dengan kontroversi sekitar karya Karl
Lamprecht, Deutsche Geschichte (sejarah
Jerman), volume pertama yang terbit tahun 1891.
Lamprecht mengajukan dua pertanyaan prinsip
dasar keilmuan sejarah konvensional: peranan
sentral yang dimiliki negara dan konsentrasi pada
orang dan peristiwa. Ia menegaskan, dalam ilmu
alam, zaman di mana metode ilmiah membatasi
diri kepada deskripsi fenomena terisolir sudah
lama pasif. Keilmuan (scholarship) historis, juga
akan menggantikan metode deskriptif dengan
pendekatan genetis. Karena ruang lingkupnya
luas, yang mencakup budaya, masyarakat, dan
politik, dan unsur-unsur lain yang terkait
Deutsche Geschichte dirasakan sangat positif oleh
publik umum, tetapi di lain pihak juga dipenuhi
dengan penolakan oleh sebagian besar sejarawan
profesional. Kritisisme dibenarkan oleh dua
landasan: pertama, penelitian yang ada mengan-
dung banyak kesalahan dan ketidakakuratan yang
memunculkan asumsi-asumsi bahwa kritisisme
disampaikan secara semrawut dan tidak cermat,
tetapi bukan berarti membatalkan tesis-tesis
dasarnya. Kedua, terbuka kepada kritisisme
karena mereka menggunakan konsepsi psikologi
kolektif yang sangat spekulatif untuk membuk-
tikan bahwa sejarah Jerman sejak zaman kuno
telah mengikuti hukum-hukum perkembangan
sejarah yang ditetapkan sebelumnya. Konsep
hukum juga merupakan bagian sentral pemaha-
man Lamprecht tentang sains. Dalam karangan-
karanagan programatisnya dia membedakan

120
Historiografi Barat

antara “ arah lama dalam ilmu sejarah”--- usaha-


usaha untuk menentukan fakta-fakta dengan
sarana penelitian yang teliti pada sumber tetapi
tanpa metoda ‘ilmiah’ untuk penjelasan perilaku
historis. Menurut Lamprecht, konsep lama
penyelidikan ilmiah atau keilmuan dalam sejarah
adalah berlandaskan asumsi metafisis bahwa,
selain penampilan yang diamati oleh sejarawan,
kekuatan besar historis atau ‘gagasan’, adalah
dengan memperhatikan koherensinya. ‘Ilmu
sejarah baru’ dimaksudkan untuk penjajaran
sejarah dengan ilmu sosial sistematik; namun
konsep kunci Lamprecht dalam Deutsche
Geschichte, berakar pada filosofi Jerman bukan
pada ilmu sosial. Ini membuat Max Weber, yang
jelas-jelas menganjurkan ilmu sosial dalam studi
sejarah, memandang Deutsche Geschichte-nya
Lamprecht sebagai spekulatif (omong besar).
Motif-motif politik juga berperan penting
dalam menentang Lamprecht. Bagi juru bicara
profesi terkenal, studi-studi sejarah, seperti yang
telah mereka kembangkan di universitas-
universitas Jerman pada abad ke-19. Beberapa
tahun sebelum kontroversi Lamprecht menge-
muka, sudah ada perselisihan tajam antara
Dietricht Schafer, yang menyampaikan pandang-
an dominan dalam hal profesi, dan Eberhard
Gothein, yang menentang perluasan cakupan
sejarah hingga meliputi aspek-aspek ekonomi,
sosial, dan budaya. Bagi Schafer negara adalah
sentral untuk sejarah; negara Jerman seperti
yang didirikan oleh Bismarck bagi dia adalah
prototipe negara modern. Kalau seseorang tidak
menempatkan negara sebagai pusat peristiwa
tidak akan mungkin menghasilkan sejarah yang

121
Historiografi Barat

koheren. Seperti rekan-rekan semasanya dia


agaknya ingin memperkuat dan memodernisasi
Jerman sebagai kekuatan dunia melalui peng-
integrasian para pekerja ke dalam bangsa.
Penolakan terhadap Lamprecht yang ham-
pir total dan penolakan sejarah budaya dan sosial
agaknya berhubungan dengan homogenitas pro-
fesi historis Jerman. Mekanisme rekruitmen yang
panjang dan melelahkan yang dapat ditolak
dengan satu suara negatif dari seluruh profesor,
yang menyebabkan hampir tidak mungkin bagi
seorang non-konformistis politik dan ideologi
untuk mendapatkan posisi di universitas.
Pengaruh Lamprecht dalam jangka panjang paling
besar dalam sejarah lokal dan regional, yang
kurang berkaitan langsung dengan politik nasional
dan karena itu banyak berhubungan dengan aspek
sosial dan kultural.
Di Prancis dan Amerika sejarawan terbukti
lebih terbuka dalam penetapan hubungan antara
historiografi dan ilmu sosial. Namun tatanan
politik yang sangat beda di negara-negara
tersebut mempunyai kaitan yang sama dengan
masalah ini. Meskipun di Jerman sejarah sosial
terpaksa bersifat defensif, di Prancis sosiologi-lah
yang menentang riset sejarah tradisional seperti
yang dipraktekkan di universitas. Emile Durkheim
pada 1888, dalam karyanya Cours de Science
Sociale menyangkal peringkat sejarah ilmu
pengetahuan, karena tidak berkaitan dengan hal
tertentu dan karena itu tidak mencapai sasaran
statemen umum validasi empiris, yang menjadi
inti prosedur dan pemikiran ilmiah. Paling baik
sejarah dapat menjadi sains tambahan yang
mensuplai informasi untuk sosiologi, yang tidak

122
Historiografi Barat

sama dengan sejarah, mampu menjadi suatu sains


yang cermat. Menurut ekonom Francois Simiand,
yang sangat dipengaruhi oleh Durkheim, sejarah
ekonomi adalah sub bagian sejarah yang seban-
ding dengan ilmu sosial karena mengguna-kan
kuantitas dan model-model.
Meskipun dalam kampanye menentang
Lamprecht di Jerman kekhawatiran demokratisasi
memainkan peranan penting, di Amerika Serikat,
‘New Historians’, yang juga menyebutkan diri
mereka sebagai ‘progressive historians’ dan
mengidentifikasi diri mereka dengan sasaran
“progressive era” di Amerika awal abad ke-20,
menetapkan untuk menulis sejarah bagi
masyarakat demokratis modern. Dalam seksi
khusus pada “historical science” dalam
pertemuan internasional di Saint Louis tahun 1904
sejarawan dari Eropa, khususnya Karl Lamprecht
dan J.H Burry, bersama dengan Frederick
Jackson, Turner, James Harvey Robinson, dan
Woodrow Wilson menyetujui perlunya reformasi
dalam studi sejarah dalam arah antar disiplin.
Walaupun perhatian baru muncul dalam
sejarah sosial dan ilmu-ilmu sosial, belum ada
satu paradigma tunggal muncul. Sebagaimana
akan kita ketahui nanti, masalah baru dengan
sejarah sosial memerlukan perubahan dalam
berbagai hal, yang menjangkau seluruh bangsa
dan mencerminkan pandangan-pandangan ideo-
logi yang berbeda. Namun selain dari semua
perbedaan-perbedaan ini, perhatian baru mem-
butuhkan berbagai asumsi dasar dengan orientasi
keilmuan lama. Sebagaimana telah kita ketahui
sebelumnya, satui karakteristik penting yang
mereka miliki bersama adalah pandangan diri

123
Historiografi Barat

mereka sendiri sebagai sejarawan profesional.


New Historians juga berada dalam institusi-insti-
tusi akademis, di departemen-departemen atau
lembaga-lembaga sejarah. Ini berarti bahwa
mereka diharapkan oleh lembaga-lembaga me-
reka memiliki keyakinan yang sama dan meme-
nuhi persyaratan keilmuan yang serupa seperti
rekan-rekan mereka yang lebih tua, lebih tradi-
sionil.
New Historians berpendirian tetap sebagai
sejarawan lama dengan anggapan bahwa penu-
lisan sejarah keilmuan dan ilmiah memerlukan
pengujian kritis yang cermat dan evaluasi sumber
daya yang teliti. Para sejarawan tetap menerima
pelatihan dalam teknik-teknik penelitian yang
mirip kepada latihan yang diterima oleh
sejarawan lama. Dalam banyak hal, konsepsi etos
sejarawan mereka tetap tidak berubah, dan
mereka memiliki asumsi yang sama tentang
perjalanan sejarah. Seperti mazhab lain, mereka
cukup yakin akan kualitas peradaban Barat.
Mereka juga memandang sejarah sebagai proses
unitas, yakni apakah mereka menegaskan teori-
teori eksplisit atau tidak. Dan selain pengakuan
yang dinilai demokratis, New Historians seperti
Frederick Jackson Turner, mempunyai gagasan-
gagasan baik tentang kemampuan kaum kulit
putih dan mengesampingkan kulit hitam dari
konsepsi demokrasi Amerika mereka.
Dalam empat bab selanjutnya akan
diungkapkan empat arah sejarah ilmu sosial yang
berbeda dalam abad ke- 20: tradisi sejarah
ekonomi dan sosial Jerman, dan kemudian
sosiologi sejarah, bentuk-bentuk sejarah ilmu
sosial, terutama di Amerika Serikat; Mazhab

124
Historiografi Barat

Annales Prancis; dan terakhir rekontruksi sejarah


sosial di Jerman setelah Perang Dunia II. Pilihan
ini hanya menyajikan sebagian kecil penulisan
sejarah kontemporer, tetapi mencerminkan con-
toh-contoh penting pemikiran sejarah pada abad
ke-20.

125
Historiografi Barat

126
Historiografi Barat

SEJARAH SOSIAL DAN


EKONOMI DI JERMAN

Usaha-usaha awal untuk membahas


masalah-masalah yang ditimbulkan industrialisasi
dari segi sejarah dilakukan oleh apa yang
dinamakan “Younger Historical School of Natio-
nal Economy” di Jerman, dengan tokohnya yang
terkemuka Gustav von Schmoller. Lembaga ini
berdiri menurut tradisi historisme klasik yang
menekankan bahwa ekonomi tidak ditentukan
oleh hukum-hukum yang ketat, valid secara
matematis, seperti yang dianut oleh ekonomi
politik Inggris dan Skotlandia klasik, tetapi hanya
dapat dipahami secara historis dalam kerangka
nilai-nilai dan institusi-institusi masyarakat atau
bangsa..
Mazhab Schmoller mempunyai dua asumsi
lanjutan tentang historisme Jerman klasik yaitu
penekanan pada peranan sentral negara dan
insistensi studi sejarah haruslah berhubungan
dengan sumber-sumber arsip. Mazhab ini memang
mengidentifikasi dirinya dengan Dinasti Hohen-

127
Historiografi Barat

zollern dan tatanan politik yang telah diciptakan


Bismark dalam proses unifikasi Jer-man, tetapi
juga menentang kemungkinan dan kepentingan
reformasi, khususnya dalam integrasi pekerja ke
dalam negara bangsa Jerman. Dari mazhab ini
muncul investigasi empiris besar pertama
tentang kondisi hidup para pekerja industri serta
studi tentang status dan budaya pada Abad
Pertengahan.
Terlepas dari mazhab ini, tetapi sejalan
dengan metoda-metoda dan asumsi-asumsi da-
sarnya, pada tahun 1880-an Lamprecht menulis
Sejarah Ekonomi Lembah Moselle pada akhir Abad
Pertengahan, yang mencoba membuat rekrons-
truksi komprehensif struktur-struktur yang ada
dan mentalitas wilayah. Lamprecht dalam sub-
titel karya itu menyebutkannya suatu studi
‘budaya material’. Untuk sejarah ekonomi dan
sosial karya ini yang didasarkan pengujian cermat
sumber-sumber sosial., politik, dan ekonomi
masih lebih hebat dan lebih signifikan dari pada
karyanya Deutsche Geschiche, yang karena
karakternya yang kontroversial dan ruang
lingkupnya yang luas lebih banyak menarik
perhatian pada waktu itu tetapi disajikan kurang
ilmiah.
Kelemahan karya empiris dari mazhab
Schmoller adalah ketiadaan pertimbangan
mendalam dari anggapan-anggapan teoritis dan
metodologis yang menjadi landasan investigasi
mereka. Cara-cara kerja yang tidak replektif ini,
yang mengasumsikan bahwa suatu pertimbangan
historis mengandung penjelasannya sendiri, gagal
memuaskan jumlah sejarawan sosial yang sedang
tumbuh. Pada akhir abad, beberapa filsuf Neo-

128
Historiografi Barat

Kantian penting, di antaranya yang paling


terkenal Wilhelm Dilthey, Wilhelm Windelband,
dan Heinrich Rickert, berusaha membuat meto-
dologi yang lebih jelas untuk apa yang mereka
sebut ilmu kemanusiaan atau budaya (Geistes-
wissenschaften, Kulturwissenshaften), yang me-
reka bandingkan dengan ilmu alam Metodologi ini
memerlukan konseptualisasi yang jelas jikalau
mereka ingin mengklaim status sains. Akan tetapi
meskipun maksud mereka ini agar sejarah sampai
pada tingkatan generalisai yang bersifat “nomo-
tetis”, sejarah tetap saja bersifat ”idiografis”
(unik) Masalahnya adalah bagaima-nakah ilmu
manusia atau ilmu budaya seperti riset studi-studi
sejarah dapat berlangsung dari feno-mena yang
unik ke konteks sosial dan historis yang lebih luas.
Pendekatan intuitif ini, yang merupakan
inti dari konsepsi sains historisis, ditentang oleh
sejumlah pemikir yang memperdebatkan bahwa
human science (ilmu pengetahuan tentang manu-
sia) membutuhkan metoda-metoda yang lebih
tepat. Sebagaimana yang telah kita ketahui,
Lamprecht, berpendapat bahwa sejarah harus
mengaplikasikan kategori analisis yang tepat.
Tahun 1884, Ekonom Viennese Carl Merger dalam
karyanya yang kontroversial, Kekeliruan Histo-
risisme dalam Ekonomi Nasional Jerman telah
menuduh bahwa Schmoller dan “Historical School
of Political Economy” , melalui keyakinannya
pada presentase deskriptif temuan-temuan me-
reka, telah menghindari perumusan konsep-
konsep yang jelas untuk pendekatan ilmiah. Otto
Hintze, yang dalam studinya tentang Mazhab
Schmoller dan Max Weber - yang memulai karya-
nya sebagai seorang sarjana hukum dan ekonom

129
Historiografi Barat

sebelum beralih dia ke sosiologi- berusaha mem-


perkenalkan studi empiris ke dalam konsepsi yang
jelas dalam karya Mazhab-mazhab Schmoller.
Dalam sebuah artikel penting tentang Lamprecht
dalam Historiche Zeitschrift , Otto Hinzte tahun
1897 mengambil posisi penegah dalam kontroversi
Lamprecht. Hintze menegaskan bahwa sejarah
berhubungan dengan fenomena individual dan
kolektif dan fenomena kolektif memerlukan
konsep-konsep analisis yang abstrak agar bisa
dipahami. Max Weber dalam sebuah essay penting
pada tahun 1904 mengkritik Knies, Roscher, dan
Schmoller , wakil-wakil dari “Historical School of
Natinal Economy”, atas dasar yang sama dengan
dasar-dasar kritik yang disampaikan Menger
kepada mereka, yang secara deskriptif dijelaskan
tanpa konsep-konsep yang dirumuskan secara
jelas untuk mengarahkan penelitian atau
penyelidikan mereka. Hintze dan Weber sepen-
dapat dengan historisme klasik, bahwa setiap
masyarakat harus disatukan oleh sikap dan nilai
yang perlu dipahami untuk memahami karakter
masyarakat yang unik. Oleh karena itu Weber
menyebutnya “Verstehende Soziologie”, sosiologi
yang ditujukan pada “pemahaman” masyarakat
dan budaya yang diteliti. Akan tetapi, bagi Weber
pemahaman tidak berarti sama dengan pema-
haman yang dimaksud Ranke, Droysen, dan Dil-
they, terutama aksi empati intuitif atau penga-
laman langsung, tetaspi proses yang sungguh
rasional.
Bagi Weber dan Hintze, perbedaan antara
sosiologi dan sejarah tidak sebesar perbedaannya
untuk historisisme klasik. Pada awal-awalnya di
Prancis dan Amerika sosiologi sering beroperasi

130
Historiografi Barat

dengan tipologi ahistoris, sementara sejarah


membutuhkan bentuk dan wacana naratif yang
mengusahakan abstraksi pada level minimum.
Hintze dan Weber memandang sosiologi jauh
lebih bersifat historis daripada Durkheim, tetapi
pada saat yang sama mereka memandang sejarah
jauh lebih bersifat sosiologis dari pada mayoritas
sejarawan besar. Dalam essay-nya tahun 1920
tentang feodalisme dan kapitalisme sebagai
kategori historis, Hintze mencoba merumuskan
konsep-konsep abstrak, yang dia anggap menjadi
prasyarat pemikiran ilmiah, tetapi kemudian
mengisinya dengan isi sejarah yang kongkrit. Max
Weber juga menolak apoteosis negara dan
menuntut suatu sains ‘bebas nilai’. Ilmu sosial
dapat menganalisa asumsi-asumsi dan praktik-
praktik nilai masyarakat secara ilmiah namun
tidak dapat menetapkan validitas nilai-nilai ini.
Bagi Weber, pertanyaan-pertanyaan yang
diajukan ilmuwan sosial seharusnya mencermin-
kan nilai-nilai yang dipegang, dalam riset dan
temuan-temuannya, dia harus mengutamakan
objektivitas dan kekukuhan sikap. Akan tetapi
sains tidak hanya berkenaan dengan kekukuhan
sikap tetapi juga dengan penjelasan kausal dalam
tradisi neo-Kantian, Weber menyangkal bahwa
kausalitas dikaitkan pada realitas objektif, de-
ngan pencarian hakikatnnya di dalam kategori
pemikiran ilmiah. Meskipun setiap sains berakar
di dalam budaya yang definitif, metodanya
memiliki kadar validitas dan objektivitas yang
melewati batasan-batasan masyarakat atau
budaya tertentu. Jadi dia mengamati bahwa bukti
yang benar secara metodologis dalam ilmu sosial,

131
Historiografi Barat

harus diterima sebagai sesuatu yang benar


sekalipun oleh orang Cina, yang berbeda budaya.

132
Historiografi Barat

MAZHAB ANNALES
DI PERANCIS

Mazhab sejarawan Annales Prancis, yang


terpusat sekitar jurnal Annales, menempati posisi
yang khas dalam historiografi abad ke-20. Di satu
sisi, penulis-penulisnya memiliki keyakinan
bersama tentang sejarawan berorientasi kepada
ilmu sosial lain dalam melakukan pendekatan-
pendekatan ilmiah terhadap sejarah; dan di sisi
lain, mereka menyadari batas-batas pendekatan
tersebut. Dalam rentang waktu lebih dari delapan
dekade mereka dengan seksama dan mendalam
mengubah konsepsi tentang apa saja dan siapa
saja yang membuat sejarah. Mereka menawarkan
konsepsi yang sangat beda dari konsepsi-konsepsi
yang diyakini oleh sebagian besar sejarawan
dalam abad kesembilan belas dan abad
keduapuluh. Sebenarnya hampir semua sejarawan
dari Ranke sampai Marx dan Weber, dan setelah
mereka, sejarawan Amerika yang berorientasi
ilmu sosial, telah melihat sejarah dalam bidang

133
Historiografi Barat

pergeseran dari waktu satu dimensi dari masa lalu


ke masa depan.
Para sejarawan Annales secara radikal
mengubah konsepsi ini dengan penegasan rela-
tivitas dan multilayering waktu. Sejarawan
Annales menyatakan bahwa mereka tidak
mewakili suatu “mazhab”, namun mereka sering
diidentifikasi demikian, ditandai dengan sifat
keterbukaan kepada metoda-metoda dan pende-
katan baru untuk riset sejarah. Dalam banyak hal
mereka benar. Publikasi dari anggota-anggota
perkumpulan ini mencerminkan perhatian dan
pendekatan yang sangat berbeda. Mereka belum
merumuskan teori atau filosofi sejarah yang
eksplisit; meskipun sebenarnya, riset selalu
mengutamakan refleksi teori.
Di samping protestasi mereka bahwa
mereka bukan suatu mazhab, Annales sejak
lahirnya Perang Dunia II sudah mempunyai basis
institusional yang jelas. Dan selain dari
perubahan-perubahan fundamental selama waktu
itu, sudah ada kesinambungan dalam bahasa yang
mereka gunakan dan konsep-konsep yang mereka
pergunakan dalam karya awal pendiri-pendirinya,
Lucien Febvre dan Marc Bloch. Diskusi-diskusi
tentang metoda, yang dimulai tahun 1900, ter-
dapat dalam Jurnal Henri Berr, Revue dengan
synthese historique. Buku Lucien Febvre tentang
Franche-Comte, juga disebutkan di atas,
menandai tradisi atau peralihan ke jenis baru ilmu
sejarah.
Lucien Febvre dan khususnya Mach Bloch,
antara 1908 dan 1909, mengikuti penelitian yang
dilakukan dalam sejarah sosial dan ekonomi di
Jerman. Ada kesejajaran antara buku Febvre

134
Historiografi Barat

tentang Franche-Comte dan sejarah ekonomi


awal Lamprecht dari Lembah Moselle dalam abad
pertengahan, walaupun mungkin tidak mempu-
nyai pengaruh langsung. Saat sejarah ekonomi
dan sosial di Jerman menekankan pada aspek-
aspek administratif dan konstitusional, Lam-
precht dan Febvre tertarik dengan ikatan atau
hubungan erat antara struktur sosial, ekonomi,
dan politik serat pola pemikiran dan perilaku
dalam wilayah geografis budaya tertentu.
Perhatian Febvre mencerminkan pelatihan yang
berbeda dari yang dimiliki sebagian besar
sejarawan Jerman. Di Jerman, dari 141 pemangku
guru besar sejarah universitas dalam periode dari
1850 sampai 1900, 87 mempelajari filologi
sebagai bidang kedua dan dari sini 72
mengkhususkan diri dalam filologi klasik; 23 guru
besar mempelajari teologi dan filsafat, hanya 10
ekonomi; dan 12 geografi. Sebaliknya, di Prancis
geografi merupakan bagian integral dari
agregation, ujian yang diperlukan untuk karier
universitas. Selain itu, geografi di Prancis telah
berkembang sebagai suatu disiplin akademis pada
akhir abad kesembilan belas di bawah bimbingan
Paul Vidal dengan La Blache, yang sudah sangat
terpengaruh oleh Carl Ritter dan tradisi geografi
Jerman, juga sejarah dan budaya Jerman dalam
orientasinya. Karya Vidal dan La Blache,
Geographie Humaine, yang menghindari deter-
minisme geografis dari sezamannya Frederich
Ratzel di Jerman, sangat dalam mempengaruhi
seluruh tradisi sejarawan Annales dari mulai
Febvre. Di samping geografi, ada pendekatan
sosiologis Durkheim, yang ditafsirkan untuk
sejarawan Annales oleh siswanya, ekonom

135
Historiografi Barat

Francois Simiand. Di satu sisi Durkheim ingin


mentransformasi sosiologi ke dalam sains
sebenarnya, yang bagi Simiand melibatkan formu-
lasi matematik. Di sisi lain, kesadaran, yang
dirasakan sebagai kesadaran kolektif, bagi
Durkheim adalah subjek sentral sains masyarakat,
yang mana diantaranya norma-norma, kebiasaan-
kebiasaan, dan agama merupakan komponen
penting. Dalam hal ini kebesaran Febvre dan
Bloch yang ditandai kepada struktur anonim
menjadi dapat dipahami, serta perhatian yang
mereka berikan kepada aspek-aspek feeling dan
pengalaman yang diwujudkan dalam mentalitas
kolektif yang membentuk subjek antropologi
sejarah.
Basis intelektual Annales diletakkan oleh
Febvre dan Bloch jauh sebelum mereka men-
dirikan jurnal. Karya Febvre, Philippe II et la
Franche-Comte (1911) dan karya Bloch, The Royal
Touch (1924), seni penyembuhan magis raja
Prancis dan English pada Abad Pertengahan,
muncul sebelum pendirian jurnal tahun 1929,
juga karya Febvre, Martin Luther: A Destiny.
Setelah itu muncul jurnal baru yang awalnya
dinamai D’ histoire Economique et Socialet.
Setelah 1946 namanya diganti menjadi Annales,
Economies, Societes, Civilizations, guna mene-
gaskan karakternya yang lebih bersifat antar-
disiplin. Sejarah bagi sejarawan Annales me-
nempati peran sentral di antara ilmu penge-
tahuan yang berkaitan dengan historisisme klasik.
Bilamana historisisme klasik menempatkan
negara sebagai institusi kunci di mana semua
aspek masyarakat dan budaya lainnya disubor-
dinasi, sejarawan Annales meniadakan batasan-

136
Historiografi Barat

batasan antara disiplin tradisional dalam rangka


menyatukannya ke dalam “sciences of man”
Bentuk jamak (plural) sengaja dipakai, untuk
menegaskan kemajemukan ilmu pengetahuan
(sciences). Annales, tidak mengikuti model-model
yang diberikan oleh pernyataan-pernyataan
dogmatis Ranke yang terpecah-pecah dan
pernyataan-pernyataan dogmatis Droysen yang
sistematis.
Juga jelas tidak ada dominator politik
yang dapat ditemukan dalam Annales. Walaupun
kontributornya banyak berasal dari kaum
republikan dan patriot-patriot Prancis, mereka
kurang ideologis dari pada kebanyakan sejarawan
Jerman, yang memandang fungsi primer scho-
larship mereka sebagai justifikasi tujuan nasional
Jerman dan institusi politik dan sosial dari
Imperial German. Akan tetapi, perlu dipahami
keterlibatan politik dari pendiri-pendiri Annales.
Mach Bloch, karena ia keturunan Yahudi, disiksa
dan dibunuh oleh tentara Jerman pada tahun
1944 sebagai seorang resistance fighter.
Febvre dan Bloch, sebelum dipanggil ke
Paris tahun 1933 dan 1936, bekerja di Universitas
of Strasbourg). Sejak tinggal di Paris mereka
terlibat konflik dengan Seignobos dan sejarawan
politik tradisionil di Sorbonne.
Tahun 1946 Annales menerima basis
institusional yang kuat dalam Seksi Keenam Ecole
Pratique des Hautes Etude yang baru didirikan.
Sebagaimana diketahui, Ecole sudah didirikan
sejak tahun 1868 sebagai pusat riset dengan
model Jerman. Karena kurangnya studi normal,
lembaga ini secara eksklusif dikhususkan untuk
riset dan untuk pelatihan peneliti. Dalam Seksi

137
Historiografi Barat

Keempat, yang diperuntukkan bagi studi-studi


sejarah, seminar-seminar pola Ranke diperkena-
lkan. Seksi Keenam, yang direorganisasi tahun
1972 sebagai Ecole des Hautes Etudes en Sciences
Sociales (EHESS) diperuntukkan bagi pengintegra-
sian sejarah dan disiplin ilmu-ilmu sosial di dalam
“science of man” yang komprehensip, yang tidak
hanya melibatkan ilmu-ilmu sosial tradisionil saja
(yang sangat penting pada tahun-tahun awal
Annales, yaitu ekonomi, sosiologi, dan antropo-
logi), tetapi juga linguistik, semiotik, ilmu sastra
dan seni, serta psikoanalisis.
Mengingat banyaknya pendekatan meto-
dologis dan konseptual dalam delapan puluh
tahun sekarang sejak buku Febvre tentang
France-Comte muncul tahun 1911, karya-karya
dari sejarawan Annales sudah banyak dijumpai,
seperti : Febvre, Philippe II et la France-Comte
(1911), Bloch, Feudal Society (1939-40), Febvre,
The Problem of Unbelief in Sixteenth Century:
The Religion of Rabelais (1942), Fernand Braudel,
The Mediterranean and The Mediterranean World
in the Age of Philip II (1949); Emmanuel Le Roy
Ladurie, Peasant of Languedoc (1966) dan
Montaillou (1975); dan terakhir, Civilization and
Capitalism: 15th to 19th Century (1979-87) dan The
Identity of France (1986).
Menarik sekali bahwa tak satupun dalam
karya-karya ini terdapat institusi sentral yang
berfungsi sebagai benang merah dalam karya
naratif sejarah di mana aksi perorangan
mempunyai peran yang menentukan. Ini tidak
berarti bahwa peran politik diabaikan. Dalam
penyelidiakan Bloch tentang masyarakat feodal,
masyarakat memiliki peran essensil, tetapi

138
Historiografi Barat

dengan cara yang berbeda dari studi di Jerman.


Meskipun studi di Jerman menekankan pada
aspek-aspek formal feodalisme, pada institusi
politik, eklesiastikal, dan judikal, Bloch men-
dekati feodalisme secara antropologis sebagai
suatu kompleks relasi antar-pribadi. Dengan
alasan yang sama seseorang harus cermat dengan
konsep “struktur”, yang dipakai oleh para sejara-
wan Annales. Sesungguhnya tekanan mereka ada-
lah pada struktur. Dalam buku Braudel tentang
Mediterranean, mereka ditempatkan dalam seksi
terpisah dalam sejarah politik wilayah dengan
sedikit hubungan organik kepada dua seksi
sebelumnya yang berhubungan dengan setting
geografis wilayah Mediterrania dan perubahan
struktur ekonomi dan sosialnya.
Sejarawan Annales memperkenalkan kon-
sep baru waktu sejarah. Studi-studi mereka,
termasuk studi Febvre, Bloch, Braudel, dan
Ladurie, lebih banyak menyinggung pandangan
budaya atau zaman selain dari pada aliran sejarah
yang berkenaan dengan proses perubahan melalui
zaman. Sejarawan yang telah kita bahas sebagian
besar melepas gagasan sejarah linier, sejarah
direksional, karakteristik dari banyak pemikiran
sejarah sejak masa Reinhart Kosellck yang disebut
sebagai peralihan antara sekitar tahun 1750 dan
1850 dari zaman pra-modern ke zaman modern.
Michael Foucault mempertimbangkan ide satu
sejarah menjadi penemuan zaman modern, yang
sudah berakhir. Ide ini jelas sekali dikembangkan
dalam struktur buku Mediterranean Braudel, yang
membedakan tiga zaman yang berbeda, masing-
masing dengan kecepatannya sendiri: zaman yang
hampir stasioner dari Mediteranian sebagai ruang

139
Historiografi Barat

geografis (longe duree), waktu perubahan lam-


ban dalam struktur sosial dan ekonomi (conjun-
ctures), dan perubahan tempo cepat peristiwa
politik (evenements).
Dengan ketertinggalan konsep waktu li-
nier, kepercayaan pada kemajuan dan dengan
keyakinan dalam superioritas budaya Barat juga
pecah. Tidak ada lagi konsep perkembangan
sejarah holisitik di mana narasi g;obal harus
menemukan bentuk ekspresi baru di dalam
kondisi baru ini. Sama seperti dalam novel, dalam
sejarah, cerita juga menjadi plot sentral di mana
individu-individu menempatkan diri mereka
sebagai agen bebas yang akan menghilang. Dan
negara, yang memberi identitas untuk sebagian
besar penduduk pada abad kesembilan belas dan
sampai abad keduapuluh, sebagian besar tidak
ada dalam karya-karya ini. Buku Mediterranean-
nya Braudel berhubungan dengan seluruh dunia
Mediterrania, Kristen dan Muslim. Bukunya
Structures of Everyday Life (1967) berhubungan
dengan aspek-aspek material kehidupan—
kemunculan institusi-institusi kapitalis serta
berbagai aspek kehidupan nyata dari kesehatan
sampai makanan dan mode--- dalam periode 1500
sampai 1800, yang terfokus pada Eropa tetapi di
dalam kerangka perbandingan menyeluruh yang
mencakup seluruh dunia. Karya besar Braudel
terakhir, The Identity of France (1987), kembali
ke sejarah nasional tetapi merumuskan Prancis
tidak dari pusat di Paris tetapi dalam segi
kemajemukan daerah-daerah yang identitasnya
masih tetap stabil selama berabad-abad.
Kenyataan di atas tidak menimbulkan
kesan bahwa pandangan Annales tetap konstan

140
Historiografi Barat

selama delapan puluh tahun, walaupun ada


kesinambungan antara karya-karya Febvre dan
Bloch terdahulu dan karya-karya Annales
selanjutnya. Mereka mencerminkan transformasi
paling penting dalam pemikiran sejarah abad ke-
20. Akan tetapi, seseorang mungkin dapat
membedakan empat frase historiografi yang
berbeda, yang mencerminkan empat generasi
sejarawan sejak karya awal Febvre, tetapi harus
diingat bahwa sejarawan dalam setiap generasi
telah mengalami perubahan-perubahan panda-
ngan yang mencerminkan perubahan dalam ling-
kungan intelektual di mana mereka berada. Geo-
grafi merupakan segmen penting dari historiografi
Annales, tetapi ini selalu merupakan kesadaran
“human geography” dari interaksi budaya dan
ruang fisik. Karya Bloch, French Rural History
(1931), misalnya, di mana dia mencoba untuk
merekonstruksi pola tata-guna lahan pada Abad
Pertengahan dan konsekuensi-konsekuensi buda-
ya yang muncul dari padanya dan bukti foto-foto
udara, memperkenalkan fokus pada faktor-faktor
material. Hal yang jelas tampak dalam karya-
karya Annales adalah perhatian besar yang
diberikan untuk fenomena religius, biasanya juga
dianggap sebagai bagian mentalitas kolektif
secara antropologis. Perhatian pemikir-pemikir
agama pada peralihan ke zaman modern secara
khusus disampaikan dalam keasyikan Febvre
dengan kepercayaan Luther dan ketidakper-
cayaan yang dianut Rabelais. Tradisi antropologi
budaya Prancis dari Marcel Mauss dan Levy-Bruhl
sampai Levy-Strauss mempunyai peran yang
semakin penting dalam pemikiran Febvre,

141
Historiografi Barat

bersama dengan pendekatan linguistik dan semio-


tik baru.
Dalam pengertian ini, bahasa juga meru-
pakan bagian dunia material. Namun materia-
lisme Febvre dan Bloch jauh berbeda dari apa
yanga dianut Marx. Filosofi sejarah menurut Marx
masih mengandung aspek-aspek spekulatif dari
kebanyakan filosofi sejarah abad ke-19. Bilamana
Bloch berbicara tentang teknologi, dia melihat
alat-alat dengan mana masyarakat bekerja dalam
suatu masyarakat tertentu sebagai kunci untuk
cara berfikir dan cara hidup mereka. Yang lebih
penting dari ekonomi untuk analisis masyarakat
atau budaya adalah semiotik, seperti yang Bloch
tunjukkan dalam The Royal Touch (1942) dan
dalam Feudal Society serta Febvre dalam bukunya
Rabelais-nya, karena setiap budaya adalah suatu
sistem makna yang mengekspresikan wujudnya
dalam bahasa dalam simbolisme. Febvre sendiri
mencerminkan perubahan-perubahan yang terja-
di dalam iklim intelektual selama hidupnya. Buku-
nya Rabelais, dengan orientasi semiotik-nya yang
kuat, tidak dapat ditulis tiga dekade sebelumnya
pada waktu ketika karyanya France-Comte terbit
pada tahun 1911, karya yang masih mencer-
minkan dunia sosial dan sejarah ekonomi yang
lebih transparan pada pergantian abad.
Dibandingkan dengan Bloch dan Febvre,
karya Braudel tampaknya jauh lebih kasar. Ide
bahwa dunia eksternal, yang dikenal sebagai
iklim, biologi, dan teknologi, menentukan batas-
batas yang jelas untuk hal apa yang dapat pria
dan wanita lakukan lebih pervasif di dalam
seluruh karyanya dibandingkan dalam karya
Febvre dan Bloch. Signifikansi dasar longue duree

142
Historiografi Barat

adalah bahwa sedikit perubahan selama zaman


yang dilampauinya dalam aspek kehidupan.
Braudel tentu tidak mengabaikan dampak cita
rasa, ide dan sikap. Maka perhatiannya pada
perumahan, pakaian, dan makanan sebagai
elemen tidak hanya dari segi subsistensi material
tetapi budaya material diwujudkan dalam
arsitektur, dekorasi interior, mode, dan seni
masak. Dalam sejarah ekonomi Prancisnya, yang
dia tulis bersama dengan sejarawan ekonomi
Ernest Labrouse, dia sangat tertarik pada siklus
berulang yang menentukan aktivitas ekonomi
selama beberapa dekade dan abad. Jadi ekonomi
menjadi ilmu pengetahuan keras (hard science),
lebih dekat kepada ekonom politik klasik dari
pada mashab Jerman, tetapi tanpa kepercayaan
terdahulu dalam hal kelangsungan dan kebutuhan
akan pertumbuhan.
Tahun 1960 pesona umum dalam ilmu-ilmu
sosial dengan kuantifikasi juga terjadi pada
Annales. Sejarawan Annales semakin banyak ingin
menjadi ilmuwan. Mereka sering menyebut
institut mereka “laboratorium” dan mengatakan
sejarah sebagai sains, ilmu sosial, tetapi,
sebagaimana sering mereka ulang, harus bekerja
secara kuantitatif jika sejarah diinginkan menjadi
ilmiah.

143
Historiografi Barat

144
Historiografi Barat

TEORI KRITIS DAN


SEJARAH SOSIAL
DI JERMAN

Lawrence Stone pada tahun 1978 telah


membedakan secara tajam antara ilmu sosial
analitis yang mencari penjelasan-penjelasan
yang koheren dengan sejarah naratif yang
bertujuan untuk memahami maksud dan tindakan
pria dan wanita dengan mengungkapkan tindakan
mereka dalam cerita. Sementara itu, orientasi
ilmu sosial pada tahun 1950-an dan 1960-an
berkembang sedemikian rupa, tetapi konsepsi
ilmu sosial tetap lebih berkaitan dengan budaya
dari pada dengan model-model ekonomi. Sebagai-
mana akan kita ketahui, ini berlaku sekarang dan
juga dalam historiografi Marxisme.
Studi sejarah di Jerman pada tahun 1960-
an tidak dapat dipahami tanpa mempertimbang-
kan dua faktor : (1) warisan intelektual pemikiran

145
Historiografi Barat

ilmu sosial di Jerman, yang berakar dalam budaya


klasik Jerman dan filsafat idealis; dan (2) bentuk
katastropik politik Jerman pada paruh pertama
abad ke-20. Seperti di negara lain, banyak sekali
sejarawan di negara Jerman, atau paling tidak di
bagian Baratnya, pada tahun 1960-an dan 1970-an
beralih ke model-model ilmu sosial dan pada
tahun 1980-an jadi waspada kepada model ilmu
sosial ini. Tetapi ada perbedaan-perbedaan yang
signifikan di dalamnya. Ketika di Prancis, Amerika
Serikat, Polandia, atau tempat lainnya peranan
ilmu sosial untuk riset sejarah sudah cukup mapan
dari tahun 1960-an, banyak sejarawan Jerman
masih terperangkap dalam tradisi keilmuan dan
pemikiran sejarah lama yang bisa menghambat
inovasi. Alasan-alasan untuk ini sebagian terletak
pada sejarah politik Jerman, dalam demo-
kratisasinya yang sulit dan menyakitkan. Selain
itu, sejarah telah menjadi disiplin profesional di
Jerman pada paruh pertama abad ke-19, sebelum
industrialisasi dengan konsekuensi-konsekuensi
sosialnya yang sudah dirasakan sebelumnya. Pola
pemikiran sejarah yang mencerminkan realitas
zaman pra industri dan pra demokrasi tetap cukup
mapan dalam institusi-institusi akademis Jerman
dalam paruh kedua abad ini, ketika disiplin
sejarah modern sedang diperkenalkan di negara-
negara lain. Keadaan sejarah Jerman setelah
kegagalan revolusi 1848, dan penyerahan
berikutnya oleh sejarawan Jerman atas keper-
cayaan liberal mereka selama proses unifikasi di
bawah Bismarck, telah memaksa penekanan
perhatian mereka pada sentralitas negara dan
pada masalah-masalah internasional dengan
pengor-banan sejarah masyarakat. Jadi, ketika

146
Historiografi Barat

pada pergantian abad, sejarawan di Prancis,


Belgia, Amerika Serikat, dan lain-lain berpaling ke
ilmu sosial untuk memperluas pengertian mereka
tentang masyarakat modern, industri, dan
demokratis--khususnya di Amerika kepada ilmu
ekonomi, sosiologi, dan psikologi; di Prancis
kepada ketiga disiplin ini ditambah geografi dan
antropologi manusia---profesi sejarah Jerman
hampir bisa dikatakan tidak menerima inovasi.
Sejarah sosial sebagian besar terbatas untuk
departemen-departemen ekonomi, yang mana di
Jerman memberi fokus yang lebih besar pada
sejarah dari pada di negara-negara berbahasa
Inggris atau Austria.
Perhatian yang intens pada ilmu-ilmu
sosial di Jerman Barat tahun 1960-an pada pihak
generasi muda sejarawan, yang lahir pada akhir
Republik Weimar atau bahkan setelah 1933,
tetapi secara akademis setelah 1945, sangat
terkait kepada kekukuhan mereka menghadapi
masa lampau Jerman secara kritis dan komitmen
mereka kepada masyarakat demokratis. Diban-
dingkan dengan Prancis, di mana sejarawan
dalam tradisi Annales cenderung mengikuti dunia
pramodern, praindustri, yang sering sekali ter-
tinggal oleh politik, generasi baru sejarawan
sosial Jerman menempatkan politik di pusat studi
mereka, tetapi beda dengan kolega tua mereka
yang lebih mengaitkan politik kepada kekuatan
sosial dan masalah modernisasi.
Titik awal penting untuk pembahasan
masa lalu Jerman secara kritis dalam Republik
Federal adalah karya Fritz Fischer, Germany’s
War Aims, dipublikasikan pada tahun 1961. Fritz
Fisher (lahir 1908) termasuk generasi tua, yang

147
Historiografi Barat

dididik dalam masa Republik Weimar, mempunyai


perhatian terhadap sejarah tradisionil. Sebenar-
nya, sebagai seorang sarjana muda ia telah
menulis untuk Walter Franks, Nazi Reichsinstitut
fur Geschichte des Neuen Deutschland. Namun,
buku Fisher menyajikan pergolakan radikal
dengan interpretasi konvensional sejarah Jerman
modern. Walaupun keyakinannya pada sumber
pemerintah secara metodologis adalah konven-
sional, kesimpulan-kesimpulannya tidak demi-
kian. Berdasarkan sumber-sumber ini, Fisher
menyimpulkan bahwa pemerintah Imperial pada
musim panas 1914 dengan tegas menentang
perang preventif. Untuk mendukung substansi
klaimnya atas interaksi erat antara kelompok
tekanan ekonomi dan kepemimpinan politik, Firtz
menyadari bahwa, riset selanjutnya harus
memperluas ruang lingkupnya di luar riset arsip
pada pengambilan keputusan, yang sudah dila-
kukan sebelumnya, guna memperluas pengujian
kerangka struktural di dalam mana keputusan-
keputusan ini dibuat. Ini mengajukan pertanyaan
atas kesinambungan kebijaksanaan ekspansionis
Jerman dari periode Wilhelmianian ke periode
Nazi, yang mengajukan pertanyaan lanjutan:
sampai dimanakah imperialisme Jerman harus
dipahami di dalam kerangka institusi-institusi
Jerman mulai dari abad ke-19?
Fisher tidak sendirian dalam mengajukan
pertanyaan-pertanyaan ini. Sejarawan seperti
Arthur Rosenberg, Hans Rosenberg, dan Hajo
Holborn, yang memulai karier mereka dalam
Republik Weimar dan terpaksa beremigrasi tahun
1933, sudah mengajukan pertanyaan-pertanyaan
ini sebelumnya. Generasi muda sekarang menge-

148
Historiografi Barat

tahui ide-ide ini pada tahun 1960-an. Hal penting


bagi pembahasannya adalah penerbitan essay
Eckart Kehr dari periode akhir Weimar oleh Hans
Ulrich Wehler tahun 1965 dan dipublikasi pada
tahun 1966 dari disertasi doktor Kehr.
Schlachtflottenbau und Parteipolitik 1894-1901:
Versuch eines Querschnitts durch die innen-
politischen, sozialen und ideologischen Voraus-
setzungen des deutshen Imperialismus, pertama
kali dipublikasikan tahun 1930. Dalam diser-
tasinya Kehr berpendapat bahwa, keputusan
pemerintah Imperial pada tahun 1890 untuk
memasuki naval race (perlombaan angkatan laut)
tidak didorong oleh pertimbangan-pertimbangan
keamanan nasional tetapi oleh tekanan politik
dan sosial dalam negeri yang berusaha untuk
mempertahankan basis kekuatan elite industri
dan agraris atas demokratisasi dan reformasi
sosial. Kehr dan Wehler melihat industrialisasi
Jerman terbentuk oleh kerangka otoriter Imperial
German di dalam mana sudah terjadi pergeseran
nilai dan cita-cita masyarakat dan budaya
praindustri.
Bagi Kehr dan Wehler studi sejarah
berfungsi sebagai sarana untuk menyelidiki secara
kritis masa lalu bangsa Jerman. Wehler dalam
tulisannya akhir 1960-an dan 1970-an, di mana dia
berusaha meletakkan landasan “historical Social
Science”, mengembangkan suatu konsepsi ilmu
sosial yang berhubungan erat kepada “Critical
Theory” dari Mazhab Frankfurt (Max Horkheimer
dan Theodor Adorno), yang berhutang budi
kepada Marx tetapi bebas dari aspek spekulatif
dan otoriter ajaran Marxist. Wehler menentang
imperatif netralitas nilai Max Weber dalam riset

149
Historiografi Barat

ilmu sosial, suatu dalil bahwa Weber sendiri


sebagai seorang sarjana politik terkemuka me-
langgar aturan dalam praktik. Dibandingkan
dengan Kehr, walaupun Wehler menjaga jarak
secara empiris dari Marx, ia mengasumsikan
bahwa perkembangan masyarakat Jerman diten-
tukan oleh persistensi kesenjangan struktural
sosial.
Mengenai perbandingan dengan kritik
modernitas yang muncul dalam historiografi Barat
1960-an, Wehler memandang proses modernisasi
secara positif tidak bersifat represif, dan karena
itu lebih baik dari pada pandangan Weber, yang
sangat jelas mengemukakan kualitas perten-
tangan proses ini. Menurut Wehler bentuk katas-
tropi sejarah Jerman modern berakar pada
modernisasi Jerman yang tidak sempurna. Jadi ia
mengatakan bahwa penilaiannya terhadap seja-
rah Jerman ini berdasarkan asumsi bahwa
“modernisasi ekonomi progresif masyarakat
Jerman harus dibarengi oleh modernisasi
hubungan sosial politik. Industrialisasi dengan
revolusi teknologinya yang permanen harus
menimbulkan perkembangan dalam arah masya-
rakat dengan warga yang bebas secara hukum dan
bertanggung jawab secara politis yang mampu
membuat keputusan-keputusan mereka sendiri”,
di mana dalam kasus Jerman hal ini tidak jelas.
Riset Wehler dan riset sejarawan sosial
yang dekat dengan dia dalam apa yang dinamakan
“Bielefeld School” ---tidak benar-benar merupa-
kan suatu mazhab tetapi suatu perkumpulan seja-
rawan yang berpikiran serupa yang diantaranya
berada di University of Bielefeld---membuat dua
asumsi dasar: Pertama adalah bahwa sejarah

150
Historiografi Barat

harus mempunyai bentuk ilmu sosial, tetapi


berupa ilmu sosial sejarah (Historische Sozial-
wissenschsft) sebagaimana Wehler menyebutnya,
yang tidak sama dengan ilmu sosial perilaku di
dalam tradisi Amerika, mendekati masyarakat
dengan pertanyaan-pertanyaan yang terformulasi
dengan jelas yang berkaitan kepada perubahan
sosial. Kedua adalah adanya hubungan yang erat
antara riset ilmiah dan praktik sosial. Konsepsi
ilmu sejarah sosialnya Wehler dianggap sama
dengan perluasan Weber atas konsep formasi
sosial Marx, dengan mana kita bisa memahami
masyarakat dan zaman secara keseluruhan yang
ditentukan oleh faktor-faktor politik dan
sosiokultural serta oleh faktor-faktor ekonomi.
Selanjutnya dia menerima asumsi Marx bahwa
sejarah Barat dapat dipahami sebagai suatu
proses berkesinambungan sejak awal pra-seja-
rahnya. Tema sentral studi sejarah adalah trans-
formasi progresif struktur sosial.
Pada saat yang sama Wehler meyakini
bahwa sejarawan memiliki tanggungjawab poli-
tik. Ia melihat tanggungjawab ini melalui kategori
Teori Kritis seperti yang ditafsirkan oleh Max
Horkhoeimer dan kemudian oleh Jurgen Haber-
mas; Jadi, ia melihat tanggungjawab dalam ma-
syarakat dimana upaya–upaya intelektual harus
tumbuh, yang akan diorganisir sesuai dengan
logika (vernunftig), humane lines yang membantu
manusia hidup sesuai dengan martabatnya untuk
dapat berperan serta dalam pembentukan marta-
batnya. Ide ini, dengan akarnya dalam Pence-
rahan (Enlightenment), bagi Wehler berfungsi
sebagai kriteria untuk pengujian kritis masyarakat
masa lalu dan masyarakat sekarang. Jadi ide

151
Historiografi Barat

modernisasi Wehler adalah pada normatif dasar-


nya: sejarah jangan hanya menjadi ilmu sosial
tetapi juga ilmu sosial kritis.
Maka, saat nilai-nilai masyarakat modern
yang menyatukan masyarakat industri dengan
demokrasi sosial muncul dalam penelitian-pene-
litian di Barat, nilai-nilai yang sama ini banyak
ditegaskan oleh sejumlah sejarawan muda di
Republik Federal Jerman, dengan alasan banyak
berhubungan dengan persepsi mereka tentang
masa lalu Jerman. Persepsi ini melibatkan kon-
frontasi kritis dengan cara bagaimana profesi
sejarah di Jerman dipandang dan ditulis dalam
sejarah nasional. Meskipun sejarawan-sejarawan
yang mewakili pendekatan tradisional untuk
sejarah Jerman dan politik Jerman masih men-
dominasi universitas-universitas Jerman pada
tahun 1950-an, monopoli mereka terpecah tahun
1960-an, saat mereka mundur atau pensiun dan
saat universitas-universitas Jerman melanjukan
proses perluasan mereka sampai awal 1970-an.
Pada tahun 1971 University of Bielefeld dijadikan
sebagai pusat di mana studi-studi antar-disiplin
diberi tempat khusus, Center for Interdisciplinary
Research. Wehler ditunjuk atau diangkat sebagai
guru besar sejarah di sana tahun 1971 dan diikuti
oleh Jurgen Kocka pada tahun 1972. Jadi sejarah
sosial kritis mendapatkan basis institusional yang
kuat.
Dibandingkan kepada sebagian besar karya
Annales dan Past and Present, fokus Geschichte
und Gesellschaft dan seri ‘Studi-studi Kritis”
bukan pada abad pertengahan atau awal abad
modern, tetapi pada proses transformasi dalam
masyarakat industri modern. Sejarah sosial

152
Historiografi Barat

Jerman baru sudah cukup siap untuk mengguna-


kan metoda-metoda kuantitatif, tetapi lebih hati-
hati dari pada “Sejarah Sosial Baru” Amerika atau
“Histoire Serielle” Prancis. Pendahulu intelektual
Ilmu Sosial Sejarah di Jerman bukanlah ilmuwan
sosial Amerika atau sejarawan Annales Prancis
tetapi orang Jerman sendiri: Marx yang ditengahi
Max Weber, dan Max Weber sendiri; sejarawan
yang disebutkan diatas adalah yang sudah belajar
dalam Republik Weimar dan terpaksa meninggal-
kan Jerman setelah 1933---Arthur Rosenberg,
Marxist, dan Hans Rosenberg dan Hajo Hoborn,
mahasiswa Friedrich Meinecke, Eckart Kehr, yang
berada di Amerika Serikat pada Rockefeller
Fellowship ketika dia meninggal di sana pada usia
tigapuluh bulan Maret 1933; dan akhirnya sosio-
log-filsuf Frankfurt School, khususnya Max
Horkheimer. Pengaruh-pengaruh ini memberi
warna yang sangat lain bagi para sejarawan
Biefeld dari trend utama studi sejarah dan
sosiologi di Prancis atau Amerika Serikat, dan
mendorong lebih banyak berkonsentrasi pada ide-
ide dan nilai-nilai dari pada membentuk suatu
budaya politik.
Walaupun pernyataan teoritis Wehler
memberikan tempat yang sama bagi budaya
dengan ekonomi dan politik dalam perumusan
masyarakat, dan walaupun dia menafsirkan buda-
ya secara antropologis sebagai suatu kompleks
(sistem) interaksi simbolik, dia tidak pernah
menyalahkan pengabaian sisi kultural sejarah.
Kritik-kritik telah menunjukkan bahwa dalam
sejarah sosialnya individu tenggelam di dalam
struktur yang berlapis-lapis dan budaya dibahas
secara ekslusif dalam bentuknya yang terinsti-

153
Historiografi Barat

tusionalisasi seperti gereja, sekolah, universitas,


dan organisasi-organisasi formal lain. Dalam
karyanya Deutsche Gesellschaftsgeschich-te Weh-
ler membahas kondisi wanita dari segi status
hukum dan ekonomi mereka secara mendalam.
Jurgen Kocka muncul tahun 1970-an
sebagai salah satu praktisi terkemuka pendekatan
kritis, pendekatan teoritis untuk sejarah sosial
atau ilmu sosial sejarah. Dalam disertasi doktor-
nya tahun 1969, dia sudah mengaplikasikan
model-model teoritis untuk analisis perubahan
sosial. Dalam karya ini, dan juga dalam studi-studi
komparatifnya pada karyawan kerah putih di
Jerman dan Amerika antara 1890 dan 1940 di
mana dia meneliti kerentanan karyawan Jerman
kepada Sosialisme Nasional. Kocka berusaha
mengesampingkan struktur objektif dan proses
kesadaran poltik dari orang yang berpartisipasi di
dalamnya. Menurut Kocka, kekuatan dasar
penciptaan kelas pekerja modern tetap adalah
faktor ekonomi dan struktural. Dengan konsep
modernisasi, Kocka, dalam karya massif-nya ten-
tang formasi kelas pada abad ke-19 (1990),
menjelaskan perkembangan kelas pekerja mo-
dern sebagai akibat terobosan sistem upah
sebagai bagian proses industrialisasi di bawah
kondisi kapitalistik.
Seseorang tentu harus mempertimbang-
kan bahwa karya-karya Wehler dimaksud sebagai
karya sintesis, sebagai karya sejarah masyarakat
(Gesellschaftsgeschichte), bukan sebagai sejarah
sosial empiris. Akan tetapi, konsepsi sejarah
sosial-empiris Wehler memberi rangsangan untuk
pelaksanaan investigasi-investigasi empiris dalam
sejarah sosial yang berpusat pada proses indus-

154
Historiografi Barat

trialisasi dan konsekuensi-konsekuensinya terha-


dap stratifikasi sosial di antara artisan atau
seniman, pekerja industri, pekerja kerah putih
dan kelas borjuis. Perhatian terhadap konse-
kuensi industrialisasi di Jerman bukanlah barang
baru. Ini menjadi tema sentral dari working circle
for modern social history, yang didirikan Werner
Conze di Heidelberg tahun 1957.
Banyak sejarah sosial pada tahun 1970-an
dan 1980-an di Jerman dan juga pada negara-
negara Barat secara umum, dan kemudian di
negara-negara Eropa Timur, menggeser pene-
kanannya dari faktor ekonomi ke faktor budaya.
Kedua pendekatan ini tidak bisa dipisahkan satu
sama lain. Sejarah kelas pekerja di Jerman telah
melewati beberapa jenjang sejak tahun 1950-an,
seperti halnya yang terjadi di Eropa Barat dan
Amerika Utara. Studi awal yang berasal dari
Conze’s Working Circle-nya Werner khususnya
menekankan pada peranan gerakan pekerja
seperti yang muncul selama proses industrialisasi
dalam budaya politik Jerman abad ke-19 dan awal
abad ke-20.
Dalam kondisi kehidupan kelas pekerja
yang dilakukan Dieter Langewiesche, Franz-Josef
Bruggemeir, dan Klaus Tenfelde, fokus pada
politik beralih ke dalam latar belakang. Studi-
studi ini berbeda dari pendekatan kulturalis
Thompson kepada kelas pekerja dan ke perspektif
antropologis yang lebih menonjol, seperti pengu-
jian Michelle Perot dan William Sewell tentang
aspek-aspek simbolik dan ritual kelas-pekerja.
Kerangka studi mereka adalah proses indus-
trialisasi dengan formasi kelas proletar berikut-
nya ketiganya berpusat pada pekerja tambang di

155
Historiografi Barat

Lembah Ruhr dan secara cermat menggambarkan


transformasi kondisi-kondisi kerja di pertam-
bangan, rekruitmen kelas pekerja, hubungan
antara pekerja dan majikan, dan konflk sosial dan
ekonomi. Secara khusus, Bruggumeier meneliti
kondisi perubahan karena kondisi ini mempenga-
ruhi kondisi sosial. Budaya etnis yang berakar
dalam cara hidup orang Polandia dan kehidupan
agama yang memisahkan banyak pekerja ini dari
rekan-rekan mereka ini sesama orang Jerman,
tidak hanya di tempat kerja tetapi juga selama
jam istirahat dan kemudian mengurangi aksi
solidaritas pemogokan mereka.
Bruggemeier pertama-tama membahas
kondisi yang mempengaruhi populasi anonim,
yang mempelajari budaya sehari-hari di dalam
kerangka struktur politik, aspek-aspek otoriter
Kerajaan Jerman, dan ketakutan kelas mapan
atas ancaman yang bisa muncul secara politis dan
kultural kepada nilai-nilai yang dominan. Selan-
jutnya dia memeriksa biografi pekerja tambang
dan mencoba merekunstruksi apa saja harapan
dan impian mereka. Kadangkala muncul bahwa
perolehan sepotong pakaian dan sepatu bisa
mempengaruhi sense of status dan prestise. Jadi
“kehormatan “ dalam pengertian Weber atau “
modal simbolik” dalam pengertian Bourdieu,
mempunyai peranan pembuatan definisi-diri
manusia sederhana yang perasaan martabatnya
terus terkekang. Di sini menggunakan istilah
“men” karena dunia Bruggemeier menguraikan-
nya adalah seseorang yang berada di dalam
mayoritas angkatan kerja. Women (wanita) dalam
bentuk latar belakang adalah bagian perhitungan
ekonomis majikan. Mereka menyediakan peruma-

156
Historiografi Barat

han murah untuk night lodger (indekosan) tanpa


sistem penggajian yang berarti untuk kerja yang
ditangani mereka.
Perubahan dari sejarah pergerakan kelas
pekerja ke sejarah sosial buruh yang berfokus
pada pengalaman hidup individu tidak unik untuk
dunia ilmu Jerman Barat. Ini mencerminkan trend
umum dalam sejarah sosial tidak sama seperti di
Barat pada umumnya tetapi juga di negara-negara
sosialis. Di negara-negara Timur yang sosialis,
sejarah buruh cenderung menjadi elitis, yang
ditulis dari persfektif pergerakan buruh terorga-
nisir dan demokrat sosial, atau setelah 1917,
partai komunis. Berangkat dari konsepsi kelas
Marxist yang klasik, Hartmutz Zwahr pada tahun
1978 menerbitkan sebuah studi formasi proleta-
rian Leipzig yang mempelajari bagaimana proses
industrialisasi dan formasi kelas tercermin dalam
hubungan antar-pribadi, seperti ikatan keluarga
dan persahabatan dan dalam kesadaran sosial.
Sebuah varian ilmu sosial sejarah kritis
Austria akan dijumpai dalam karya yang dilakukan
oleh Michael Mitterauer dan rekan-rekannya
setelah pengangkatannya ke University of Vienna
tahun 1971 sebagai profesor sejarah sosial dan
ekonomi. Dengan tata cara Biefeled School,
Mitterauer dan rekan-rekannya sudah berusaha
menggabungkan studi struktur sosial dan proses
sosial dengan struktur dan proses budaya dan pola
hidup. Konsentrasi banyak diberikan pada masa-
lah keluarga, seksualitas, dan remaja dalam karya
mereka daripada yang dijumpai karya rekan
mereka dari Jerman. Pada saat yang sama mereka
juga banyak menggunakan metoda-metoda kuan-
titatif dan menampilkan keterbukaan yang lebih

157
Historiografi Barat

besar kepada studi-studi Inggris dan Prancis di


bidang demografi sejarah dan rekonstruksi kelua-
rga. Akan tetapi walaupun studi-studi seperti
yang dilakukan oleh Cambridge group for the
History of Population and Social Structure di
Inggris dan oleh perkumpulan demografer sejarah
sekitar Louis Henry di Prancis yang berhubungan
dengan masyarakat pramodern dan praindustri,
kelompok Vienna sendiri lebih banyak mencurah-
kan perhatian mereka kepada teori keluarga dan
masalah pubertas dan seksualitas di tengah-
tengah masyarakat industrialisasi dan masyarakat
modernisasi.
Perkembangan sejarah buruh sejajar
dengan perkembangan sejarah wanita. Sejarah
wanita di Inggris Raya, Amerika, Prancis, Jerman,
dan di mana saja pada awal abad keduapuluh,
juga mulai sebagai terorganisir, dan sering secara
khusus dar pergerakan hak pilih. Pada tahun
1960an dan 1970an banyak sejarah wanita ber-
kaitan dengan peran wanita dalam proses
industrialisasi. Kemudian secara lambat-laun
perhatian diberikan pada eksistensial kehidupan
wanita. Kemudian, pergerakan ini membutuhkan
pengkajian ulang konsep dan metoda ilmu sosial.
Sebuah usaha menarik untuk menggabungkan
konsep dan metoda ilmu sosial sejarah dengan
analisa pengalaman hidup wanita dalam studi
Dorothe Wierling yang dipublikasikan tahun 1987
untuk rumah tangga kelas menengah Jerman di
kota-kota besar pada pergantian abad. Profesi ibu
rumah tangga dipandang memiliki peranan
penting dalam pembentukan gaya hidup ”bor-
juis”; tanpa mereka gaya hidup ini tidak mungkin
akan terwujud. Sementara itu ibu rumah tangga

158
Historiografi Barat

menyerap nilai-nilai kelas menengah dan kemu-


dian mengalihkannya kepada kelas pekerja yang
selanjutnya akan menikahi mereka. Studi
Wierling berlandaskan pada data kuantitatif,
namun dengan penggunaan materi autobiografi,
surat, dan juga wawancara, dia berusaha me-
nangkap aspek kualitatif situasi hidup pembantu
rumah tangga seperti yang mereka alami dan
ingat. Jadi ini masih tetap berlaku dalam tradisi
ilmu sosial sejarah Jerman dan pada waktu yang
sama berlalu begitu saja.

159
Historiografi Barat

160
Historiografi Barat

PENUTUP
Dengan membaca uraian dalam buku
Georg G. Iggers yang dikemukakan dalam bab-bab
di atas, kita semakin dapat memahami per-
nyataan Sartono Kartodirdjo, bahwa sepanjang
perkembangan historiografi di Barat, telah terjadi
beberapa kali “ledakan” . Pertama, adalah ketika
Jean Mabillon memperkenalkan cara atau metode
kritik teks dalam bukunya yang berjudul On
Diplomatics (1675). (lihat: Gay & Wexler, 1972).
Dengan metode ini dapat ditentukan otentisitas
sebuah sumber sejarah. Munculnya metode ini
tidak lain merupakan reaksi atas penulisan
sejarah konvensional yang tidak memperhatikan
otentisitas sumber-sumber yang dipergunakan,
terutama untuk sejarah abad pertengahan yang
mengandalkan otoritas sumber-sumber gereja.
Kedua, adalah ketika muncul gagasan Leopold von
Ranke, tentang keharusan menulis sejarah
sebagaimana peristiwanya itu terjadi. (Barnes;
1962; Ankersmith, 1987) Itu berarti suatu lonca-
tan besar, karena unsur-unsur mitis ataupun
unsur-unsur yang irasional harus dihapuskan dari

161
Historiografi Barat

historiografi yang ilmiah. Dalam hal ini Ranke


ingin menunjukkan bahwa sejarah adalah juga
ilmu di samping sebagai seni (sastra). Ranke-lah
yang menggagas metode kritik internal di samping
kritik eksternal yang dikembangkan oleh Mabil-
lon. Dengan metode ini kredibilitas sebuah
sumber dapat ditentukan. Ketiga, adalah muncul-
nya socio-scientific approach. Pendekatan ini
muncul pada awal abad ke-20, yang melibatkan
Ilmu-ilmu sosial ke dalam penelitian sejarah.
Dalam hal ini, peranan Mazhab Annales dari
Perancis, dengan tokohnya Marc Bloch dan Lucien
Febvre, dapat dikatakan sebagai pionir dalam
penelitian sejarah yang bersifat multidimensional
(Kartodirdjo, 1987:187). Seiring dengan kedua
sejarawan Perancis tersebut, peranan sejarawan
Jerman, Karl Lamprecht, yang menghendaki studi
sejarah diperluas bukan hanya masalah politik
saja tetapi juga menyangkut masalah ekonomi
dan budaya, tidaklah dapat diabaikan. Di samping
itu aliran New History yang dimotori James
Harvey Robinson, di Amerika, semakin menunjuk-
kan bahwa penggunaan ilmu-ilmu sosial untuk
analisis sejarah yang ilmiah memang tidak bisa
dihindarkan.
Dengan memahami perkembangan histo-
riografi di Barat, kita dapat memposisikan sejauh
mana perkembangan historiografi di negara-
negara Timur termasuk di Indonesia yang relatif
sejajar (lihat Abdullah, ed. 1985). Sekaligus juga
kita dapat melihat sejauh mana perkembangan
teori dan metodologi sejarah di Barat. Ternyata,
di Barat sekalipun yang tingkat percepatan
kemajuan ilmu pengetahuannya lebih tinggi dari

162
Historiografi Barat

negara-negara di Timur, pemikiran baru tidak


serta-merta diterima begitu saja.

163
Historiografi Barat

164
Historiografi Barat

DAFTAR PUSTAKA

Ankersmith, F.R., 1987, Refleksi tentang Seja-


rah (terjemahan), Jakarta: Gramedia.
Barnes, Harry Elmer, 1962, A History of His-
torical Writing Sec. Rev. Edition, New
York: Dover Publication, Inc.
Burt, L.A. (ed), 1987, Sang Penguasa; Surat
Seorang Negarawan Kepada Pemimpin
Republik (terjemahan), Jakarta: Grame-
dia.
Carr, E.H. 1982. What is History?. London:
Penguin Books.
Daedalus; Journal of the American Academy of
Arts and Sciences, 1971, Richmond.
Ensiklopedi Indonesia. 1985. Jakarta: Ichtiar
Baru-Van Hoeve.
Ensiklopedi Hukum Islam. 1994. Jakarta: Ichtiar
Baru-Van Hoeve.

165
Historiografi Barat

Garraghan, Gilbert, S. J., 1957, A Guide to


Historical Method.
Gay, Peter; Cavanaugh, Gerald J.(ed), 1972,
Historians at Work, New York: Harper &
Row Publishers.
Hart, Michael H., 1989, Seratus Tokoh Yang
Paling Berpengaruh Dalam Sejarah
(terjemahan), Jakarta: Pustaka Jaya.
Holt, Claire.1966. Art in Indonesia; Continues
and Change.New York: Cornell University
Press.
Iggers, Georg G., 1997. Historiography in the
Twentieth Century; From Scientific Ob-
jectivity to the Postmodern Challenge.
London: Wesleyan University Press.
International Encyclopedia of the Social
Sciences. 1968. London: Collier-Macmillan
Publisher.
Kartodirdjo, Sartono, 1986, Ungkapan Filsafat
Sejarah Barat dan Timur, Jakarta:
Gramedia.
_____________, 1987, Kebudayaan Pemba-
ngunan Dalam Perspektif Sejarah, Yog-
yakarta: Gadjah mada University Press.
Meyerhoff, Hans, 1959, The Philosophy of
History in Our Time, New York: Doubleday
& Company Inc.
Radice, Betty; Baldick, Robert (ed), 1971,
Herodotus, The Histories, Baltimore:
Penguin Books Inc.

166
Historiografi Barat

Selincourt, Aubrey de. 1971. Herodotus The


Histories.Suffolk: Penguins Books.
The Encyclopedia Americana 1982, Connecticut:
Grolier Incorporated.
Zed, Mestika. 1984. Studi Historiografi. Padang:
Universitas Andalas..

Sumber Gambar: situs-situs internet.

167
Historiografi Barat

DR. HJ NINA HERLINA LUBIS,


M.S. adalah doktor sejarah
wanita per-tama di Jawa
Barat, dan yang ketiga di
Indonesia. Wanita Sunda ini
dilahirkan di Bandung tanggal
9 September 1956. Pendidi-
kannya dimulai di Sekolah
Dasar Negeri Cibuntu Bandung (1962-1968),
kemudian dilanjutkan ke Sekolah Menengah
Pertama Negeri I Bandung (1969-1971), dan
Sekolah Menengah Negeri 3 Bandung (1972-
1974). Setelah sempat kuliah di ITB (1975-
1977), akhirnya dipilih Program S-1 Jurusan
Sejarah di USU, yang diselesaikan di Univer-
sitas Padjadjaran Bandung tahun 1984.
Selesai kuliah ia diangkat sebagai staf penga-
jar di almamaternya ini. Program S-2 Bidang
Studi Sejarah di Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta diselesaikan tahun 1990 dengan
yudisium cum laude. Tesis yang disusunnya
berjudul Bupati R.A.A. Martanagara; Studi
Kasus Elite Birokrasi Pribumi di Kabupaten
Bandung (1893-1918). Perhatiannya yang
besar dalam mengkaji kehidupan kaum
bangsawan Sunda, ditumpahkannya benar-
benar ketika menyusun disertasinya dalam
rangka program S-3 bidang studi sejarah di
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Ia
berhasil lulus tanggal 11 Juni 1997 dengan
yudisium cum laude. Disertasinya yang ber-
judul Kehidupan Kaum Menak Priangan (1800-
Historiografi Barat

1942) sudah diterbitkan oleh Pusat Informasi


Kebudayaan Sunda (1998).Ibu dengan dua
puteri ini menikah dengan pria Mandailing,
Livain Lubis, yang adalah dosennya semasa
kuliah. Selain bekerja sebagai staf pengajar
di Jurusan Sejarah Fakultas Sastra dan di
Program Pascasarjana Unpad, ia juga memim-
pin Majelis Taklim dan Panti Asuhan Riyaa-
dlul-Jannah.

Anda mungkin juga menyukai