Anda di halaman 1dari 8

Pembabakan Sejarah Indonesia

March 21, 2011 Verdant Leave a comment

Pada hakekatnya masalah pembabakan atau periodesasi sejarah bukanlah sekedar menentukan
batas awal dan batas akhir, atau pembagian babak satu, dua dan tiga; melainkan juga harus
menjelaskan alasan-alasan rasional, yang berkaitan erat konsep pemenggalan waktu tersebut,
termasuk konsep ruang (spatial) dan waktu (temporal). Artinya harus jelas tempat atau ruang di
mana peristiwa itu terjadi dan kapan terjadinya. Kalau konsep serta argumentasinya tidak jelas,
maka akan terjadi kerancuan, bahkan kekacauan.

Pada awalnya pembabakan Sejarah Indonesia disusun mengikuti pembabakan yang telah dibuat
oleh para sejarawan Kolonial Belanda, khususnya buku Geschiedenis van Nederlandsch-Indië
(terbit pertama kali tahun 1939) karya Stapel dkk. Ternyata pembabakan “tiruan” itu selain
banyak mengundang kritikan karena dinilai tidak cocok dengan semangat “Indonesia Sentris”
yang berkembang waktu itu. Masalah pembabakan itu kemudian dibawa ke dalam Kongres
Nasional Sejarah pada tahun 1957 yang kemudian dibicarakana lagi pada Seminar Nasional
Sejarah ke-2 tahun 1970. Salah satu keputusan dari Seminar Nasional Sejarah yang kedua itu
adalah penulisan Sejarah Nasional Indonesia yang diharapkan nantinya menjadi semacam buku
baboon sejarah Indonesia.
Berdasarkan keputusan akhirnya pada pertengahan dekade 1970-an terbit buku “Sejarah
Nasional Indonesia” terdiri dari enam jilid, yang diterbitkan oleh Balai Pustaka-Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Pada cetakan pertama, duduk sebagai editor
umum adalah Sartono Kartodirdjo, Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto.
Dalam “pemutakhiran yang dilakukan pada tahun 1984, susunan editornya berubah menjadi
Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. Ada pun susunan pembabakannya
berdasarkan cetakan kedelapan tahun 1993 adalah sebagai berikut:

 Jilid I Jaman Prasejarah di Indonesia


 Jilid II Jaman Kuno (awal M – 1500 M)
 Jilid III Jaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia
(±1500-1800)
 Jilid IV Abad Kesembilanbelas (± 1800-1900)
 Jilid V Jaman Kebangkitan Nasional dan Masa Akhir Hindia Belanda (±1900-1942)
 Jilid VI Jaman Jepang dan Jaman Republik Indonesia (±1942-1984)

Ternyata terbitnya buku Sejarah Nasional Indonesia tidak menyelesaikan permasalahan yang
ada. Selain banyak yang pro dan kotra terhadap buku tersebut, juga dalam praktiknya masaih
banyak buku ajar sejarah, terutama untuk sekolah-sekolah menengah yang terpengaruh oleh
tulisan Stapel dkk, atau tidak jelas dalam pembabakaannya. Sebagai contoh kesalahan dalam
membuat pembabakan itu nampak pada buku ajar Sejarah Indonesia untuk SMU yang diterbitkan
oleh penerbit Bumi Aksara. Penulis buku itu membagi periodisasi Sejarah Indonesia sebagai
berikut:

1. Zaman Prasejarah, yaitu zaman ketika orang belum mengenal tulisan yang diakhir pada
abad ke-4 Masehi
2. Zaman Proto Sejarah yaitu zaman ambang sejarah. Pasa zaman ini sudah ada tulisan-
tulisan, tetapi sumber tulisan itu dari luar negeri dan beritanya samar-samar.
3. Zaman Sejarah, yaitu zaman di mana orang sudah mengenal tulisan, yang memberi
keterangan tetang peristiwa-peristiwa masa lampau.

 a. Indonesia abad ke-1 s/d abad ke-14 disebut Zaman Kuno yang membicarakan masa
berkembangnya kebudayaan Indonesia yang dipengaruhi agama Hindu dan Buda

 b. Indonesia abad ke-15 s/d abad ke -18 disebut Zaman Baru yang membicarakan masa
berkembangnya budaya Islam sampai jatuhnya Mataram dan Banten ke tangan imperialis
Belanda

 c. Indonesia sesudah abad18 disebut Zaman Modern


Dari contoh ini terlihat penulis buku tidak konsisten dengan konsep yang dibuatnya
dalam menentukan periodisasi. Dia menyebutkan bahwa sejarah Indonesia dimulai sejak
abad ke-4 Masehi, yaitu dengan ditemukannya tulisan (hal yang sudah menjadi
kesepakatan umum). Jadi dasar pembabakannya itu jelas adalah adanya bukti tertulis atau
budaya aksara. Pada babak ke-1 “Zaman Prasejarah” konsep itu tercermin cukup jelas.
Namun pada babak ke-2 “Zaman Proto Sejarah” konsepnya itu menjadi kabur. Babak
kedua ini tidak lagi didasarkan pada keberadaan bukti tertulis itu sendiri melainkan atas
dasar asal bukti tertulis tersebut, yaitu dalam negeri (kepulauan Indonesia) dan luar
negeri (luar kepulauan Indonesia). Ketidak jelasan itu juga terlihat pada babak ke-3
“Zaman Sejarah”. Meskipun zaman ini disebutkan dimulai sejak abad ke-4 M, namun
dalam sub “a” yang diberi nama “Zaman Kuno”, dia menyebutkan bahwa zaman kuno
yang nota bene tercakup dalam zaman sejarah, diawali pada abad pertama Masehi
(kemungkinan besar kesalahan ini karena dia mengutip begitu saja pembabakan yang ada
dalam buku Sejarah Nasional Indonesia).

Terlepas dari masih adanya polemic sekitar buku Sejarah Nasional Indonesia yang enam jilid,
pembabakan dalam tulisan sejarah pada hakekatnya dapat disusun berdasarkan kronologis atau
tematis. Susunan secara kronologis artinya setiap babak disusun berdasarkan penggalan-
penggalan waktu kejadian sebenarnya. Pembabakan secara kronologis ini terutama sangat
membantu untuk penulisan sejarah yang mencakup kurun waktu yang panjang seperti sejarah
umum, sejarah nasional atau sejarah dunia. Misalnya Sejarah Indonesia Modern 1200-2004
karya M.C. Ricklefs yang diterbitkan oleh Serambi tahun 2005. Struktur tulisannya adalah
sebagai berikut:
I. Lahirnya Zaman Modern
II. Perjuangan Merebut Hegemoni, ± 1630-1800
III. Pembentukan Negara Jajahan, ± 1800-1910
IV. Munculnya Konsepsi Indonesia ± 1900-42
V. Runtuhnya Negara Jajahan ± 1942-50
VI. Indonesia Merdeka

Sedangkan pembabakan secara tematis akan sangat membantu jika tulisan sejarah itu semacam
studi kasus atau kajian khusus yang durasinya relative singkat namun permasalahannya cukup
rumit dan mendalam. Contoh tulisan itu antara lain Pemberontakan Petani Banten 1888 karya
Sartono Kartodirdjo yang diterbitkan oleh penerbit Pustaka Jaya tahun 1984. Ada pun struktur
penulisannya adalah sebagai berikut:
Bab I Pengantar
Bab II Latar Belakang Sosio-Ekonomis
Bab III Perkembangan Politik
Bab IV Keresahan Sosial
Bab V Kebangunan Agama
Bab VI Gerakan Pemberontakan
Bab VII Pemberontakan Dimulai
Bab VIII Penumpasan Pemberontakan dan Kelanjutannya
Bab IX Kelanjutan Pemberontakan
Bab X Akhir Kata

Categories: Tentang Sejarah

Pengertian Sejarah dan Ilmu Sejarah


March 21, 2011 Verdant Leave a comment

Kata “sejarah” yang dikenal dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Arab, syajaratun yang
berarti pohon, syajarah an-nasab berarti pohon silsilah. Oleh karena itu tidak terlalu dapat
dipersalahkan jika banyak buku sejarah di masa lampau, yang lebih banyak mengungkapkan
riwayat seseorang atau satu keluarga daripada mengungkapkan perubahan-perubahan yang
terjadi di masyarakat dan Negara. Dalam bahasa Indonesia terdapat juga kata-kata lain yang
merupakan kata serapan dari bahasa lain yang dipergunakan untuk mengkaji masa lampau
seperti: “silsilah” yang menunjuk pada asal-usul keluarga atau nenek moyang; “hikayat” yang
banyak dipergunakan untuk mengisahkan seseorang; ”babad” dan “carita” atau “cerita” yang
dipergunakan mengisahkan kejadian-kejadian tertentu; dan masih aada kata-kata lainnya yang
menjadi kebudayaan daerah tertentu seperti “tambo’ (Minangkabau) dan “tutur teteek” (Roti).

Apabila dilihat dari pemaknaan kata sejarah yang kita pahami baik sebagai masa lampau maupun
sebagai ilmu, kata sejarah itu lebih dekat dengan pengertian yang terkandung pada kata historia –
berasal dari ilmu kedokteran Yunani- yang berarti ilmu (istor artinya orang pandai); dalam
bahasa Inggris menjadi history yang mengandung arti masa lampau manusia, dan dalam bahasa
Jerman disebut gesischte yang artinya sudah terjadi. Kata-kata lainnya yang juga dipergunakan
untuk menunjukkan kajian masa lampau antara lain: chronicle (kronika), geneology (keturunan),
annals (tarikh), dan epic (kepahlawanan). Jika sejarah itu adalah masa lampau, maka apa yang
terjadi pada pagi hari telah menjadi sejarah pada siang harinya. Secara logika pernyataan seperti
itu dapat dibenarkan. Namun cara berpikir seperti itu membuat masa lampau itu menjadi
bentangan yang tidak terbatasnya– mulai dari detik-detik yang baru saja kita lewati sampai jauh
ke belakang, entah kapan dan di mana sejarah dapat mengungkapkannya. Apa saja yang harus
dimasukkan ke dalam “masa lampau” yang demikian panjang itu? Perampokan? Gempa Bumi?
Kerusuhan? Genocide? Krisis Moneter? Perang? Revolusi? Perdamaian? Kesejahteraan? dan apa
lagi?
Dari pertanyaan-pertanyaan semacam itu terlihat bahwa konsep masa lampau dalam arti sejarah,
akan mempunyai arti jika pembatasan telah dilakukan. Pembatasan yang paling awal adalah
menyangkut dimensi waktu – kapan sampai apabila. Salah satu konsensus yang dicapai adalah
bahwa sejarah satu bangsa atau etnis tertentu dimulai manakala bukti-bukti tertulis mengenai
bangsa atau etnis tersebut telah ditemukan. Atas dasar kesepakatan itu maka zaman (periode)
sejarah pun mulai bergulir. Adapun zaman yang belum ditemukan bukti-bukti tertulis disebut
zaman “prasejarah”, meskipun dari zaman ini pun ditemukan jejak-jejak peradaban manusia,
seperti seni pahat atau seni patung.

Penulisan tentang masa lampau manusia dapat dikatakan berawal di Yunani sekitar 500 tahun
sebelum Masehi. Pada waktu itu penulisan sejarah atau historiografi masih merupakan perpaduan
antara ilmu kedokteran dan ilmu hukum. Dari ilmu kedokteran misalnya, historiografi Yunani
mendapat pengaruh untuk mencari sebab-musabab dari suatu kondisi atau kasus. Dalam
menjelaskan sebab-musabab itu dilakukan melalui suatu argumentasi yang lazim dilakukan oleh
ilmu hukum (retorika), seperti dilakukan seorang jaksa penuntut untuk membuktikan kesalahan
terdakwa dan pengacara yang berusaha membuktikan bahwa terdakwa tidak bersalah. Ungkapan
retorika seperti itu tidak semata-mata untuk membuktikan kebenaran, tetapi juga menciptakan
makna atas kebenaran itu.

Sejarawan Yunani pertama yang melakukan pembuktian semacam itu adalah Herodotus (ca. 484-
425 SM) dalam karyanya tentang “Perang Yunani-Persia” tahun 478 SM yang dilukiskan sebagai
perang peradaban antara peradaban Hellenic dan Perisa (Timur). Dalam menyusun karyanya itu
ia berusaha bertindak obyektif (dalam arti netral sehingga dianggap kurang patriotik) dengan
menggunakan sumber data dari kedua belah pihak. Oleh karena itu dia dianggap sebagai bapak
sejarah. Meskipun demikian karyanya masih mempunyai dua kelemahan, yaitu kurang akurat
dalam menyajikan data, dan masih terbelenggu oleh kerangka pemikiran budaya itu, yaitu sebab-
musabab supernatural. Artinya perang itu terjadi karena kehendak para dewa.

Tulisan pertama dari sejarawan Yunani yang dinilai mampu melepaskan diri dari sebab-musabab
supernatural adalah Thucydides (ca. 456-396 SM). Ia menulis tentang perang antara Athena dan
Sparta yang disebut sebagai Perang Peloponnesos (431-404). Dalam karyanya itu, Thucydides
sebagai seorang jenderal dan politisi, mampu menghindari penjelasan supernatural. Secara akurat
ia mempu merekonstruksi perang tersebut berdasarkan data-data yang diperolehnya dari kedua
belah pihak, sekaligus mampu menunjukkan bahwa sebab-musabab perang bukan karena
kehendak para dewa, melainkan karena ulah manusia. Perang itu terjadi karena didorong oleh
persaingan antara kedua belah pihak untuk menjadi nomor satu di wilayah Yunani.

Dari uraian di atas, khususnya dua contoh karya Herodotus dan Thucydides, dapat didefinisikan
di sini bahwa sejarah adalah rekonstruksi masa lampau manusia atau masa lalu manusia.

Meskipun Herodotus dan Thucydides sudah mengawali penulisan sejarah berdasarkan sumber
data, akan tetapi cara pembuktian para sejarawan Yunani waktu itu pada dasarnya tidak
menggunakan bukti (evidensi) seperti dokumen yang menjadi baku dalam metode sejarah masa
kini. Dokumen dalam arti naskah-naskah lebih banyak digeluti oleh para ahli naskah atau filolog,
yang membanding-bandingkan dua dokumen atau lebih untuk mencari mana yang otentik (asli)
dan mana yang tidak otentik (cara kerja ini kemudian dikenal dengan sebutan “kritik ekstern”).
Tradisi sejarawan seperti yang dilakukan para sejarawan Yunani itu berlangsung sampai sekitar
abad ke-18. Pada tahun 1776 terbit buku “The History of the Decline and Fall of the Roman
Empire” karya Edward Gibbon (1737-1794). Dalam karyanya itu Gibbon tidak lagi bersandar
pada retorika yang meyakinkan untuk membuktikan “kebenaran sejarah”, melainkan pada
dokumen-dokumen (bukti-bukti terturlis). Untuk mencari kebenaran sejarah, dia tidak saja
memanfaatkan kritik ekstern seperti yang dilakukan para filolog tetapi juga kritik intern yang
dikembangkan oleh para sejarawan. Gibbon dapat dikatakan merupakan sejarawan pertama yang
menggunakan cara kerja ilmiah.

Meskipun yang menerapkan cara kerja ilmiah dalam pembuktian sejarah adalah Gibbon, akan
tetapi yang kemudian dikenal oleh masyarakat sejarawan sebagai bapak sejarah ilmiah (science
historian) atau sejarah kritis adalah sejawan Jerman, Leopold von Ranke (1795-1886). Dia dinilai
sebagai peletak dasar dari metode sejarah yang bersifat ilmiah. Ia memperkenalkan cara-cara
menguji isi dokumen dan menetapkan fakta sejarah yang benar. Metode sejarahnya itu
diuraikannya dalam bukunya “History of Romance and Germanic Peoples, 1495-1535 yang
terbit pada tahun 1824. Selain itu Ranke menekankan pentingnya obyektivitas dalam penelitian
sejarah. Ia menganjurkan supaya menulis sejarah apa adanya dalam arti apa yang sebenarnya
terjadi, “wie es eigentlich gewesen”, sebab setiap periode sejarah akan dipengaruhi oleh
semangat zamannya (zeitgeist). Dalam bahasa Inggris kata “eigentlich” diartikan dalam dua kata,
“really” (atau essentially) dan “actuality”. Para sejarawan yang menerima “actuality” terjemahan
“eigentlich” berpendapat bahwa yang dimaksud oleh Ranke adalah menentukan fakta sejarah
seperti apa adanya tanpa diembel-embeli ide-ide tertentu sebagai pendorongnya. Sementara yang
menerima kata “essentially” atau “really” berpendapat bahwa Ranke mengakui bahwa ide-ide
tertentu menjadi faktor pendorong sejarah. Artinya ia mengakui pula bahwa ilmu sejarah
mempunyai keterkaitan dengan falsafah sejarah.

Langkah-langkah yang ditempuh Ranke bukan semata-mata pembuktian terhadap kebenaran


fakta sejarah, melainkan juga untuk menjadikan sejarah sebagai disiplin ilmu atau cabang ilmu
yang otonom sederajat dengan cabang-cabang ilmu lainnya. Langkahnya itu kemudian diikuti
oleh para sejarawan lainnya, sehingga akhirnya sejarah diakui sebagai salah satu cabang ilmu
yang mandiri. Sesuai dengan ketentuan sebagai cabang ilmu (ilmiah) harus mempunyai metode
serta obyek penelitiannya, maka ilmu sejarah juga mempunyai metode penelitiannya yaitu
“metode sejarah” serta obyek penelitiannya yaitu masa lampau manusia dan struktur sosialnya.
Jika sejarah adalah rekonstruksi manusia, maka ilmu sejarah adalah ilmu yang mempelajari
sejarah dalam arti bagaimana merekonstruksi semua data-data atau unsur-unsur masa lampau
terkait dalam sesuatu deskripsi.

Categories: Tentang Sejarah

Pengertian Sejarah dan Ilmu Sejarah


March 21, 2011 Verdant Leave a comment
Kata “sejarah” yang dikenal dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Arab, syajaratun yang
berarti pohon, syajarah an-nasab berarti pohon silsilah. Oleh karena itu tidak terlalu dapat
dipersalahkan jika banyak buku sejarah di masa lampau, yang lebih banyak mengungkapkan
riwayat seseorang atau satu keluarga daripada mengungkapkan perubahan-perubahan yang
terjadi di masyarakat dan Negara. Dalam bahasa Indonesia terdapat juga kata-kata lain yang
merupakan kata serapan dari bahasa lain yang dipergunakan untuk mengkaji masa lampau
seperti: “silsilah” yang menunjuk pada asal-usul keluarga atau nenek moyang; “hikayat” yang
banyak dipergunakan untuk mengisahkan seseorang; ”babad” dan “carita” atau “cerita” yang
dipergunakan mengisahkan kejadian-kejadian tertentu; dan masih aada kata-kata lainnya yang
menjadi kebudayaan daerah tertentu seperti “tambo’ (Minangkabau) dan “tutur teteek” (Roti).

Apabila dilihat dari pemaknaan kata sejarah yang kita pahami baik sebagai masa lampau maupun
sebagai ilmu, kata sejarah itu lebih dekat dengan pengertian yang terkandung pada kata historia –
berasal dari ilmu kedokteran Yunani- yang berarti ilmu (istor artinya orang pandai); dalam
bahasa Inggris menjadi history yang mengandung arti masa lampau manusia, dan dalam bahasa
Jerman disebut gesischte yang artinya sudah terjadi. Kata-kata lainnya yang juga dipergunakan
untuk menunjukkan kajian masa lampau antara lain: chronicle (kronika), geneology (keturunan),
annals (tarikh), dan epic (kepahlawanan). Jika sejarah itu adalah masa lampau, maka apa yang
terjadi pada pagi hari telah menjadi sejarah pada siang harinya. Secara logika pernyataan seperti
itu dapat dibenarkan. Namun cara berpikir seperti itu membuat masa lampau itu menjadi
bentangan yang tidak terbatasnya– mulai dari detik-detik yang baru saja kita lewati sampai jauh
ke belakang, entah kapan dan di mana sejarah dapat mengungkapkannya. Apa saja yang harus
dimasukkan ke dalam “masa lampau” yang demikian panjang itu? Perampokan? Gempa Bumi?
Kerusuhan? Genocide? Krisis Moneter? Perang? Revolusi? Perdamaian? Kesejahteraan? dan apa
lagi?

Dari pertanyaan-pertanyaan semacam itu terlihat bahwa konsep masa lampau dalam arti sejarah,
akan mempunyai arti jika pembatasan telah dilakukan. Pembatasan yang paling awal adalah
menyangkut dimensi waktu – kapan sampai apabila. Salah satu konsensus yang dicapai adalah
bahwa sejarah satu bangsa atau etnis tertentu dimulai manakala bukti-bukti tertulis mengenai
bangsa atau etnis tersebut telah ditemukan. Atas dasar kesepakatan itu maka zaman (periode)
sejarah pun mulai bergulir. Adapun zaman yang belum ditemukan bukti-bukti tertulis disebut
zaman “prasejarah”, meskipun dari zaman ini pun ditemukan jejak-jejak peradaban manusia,
seperti seni pahat atau seni patung.

Penulisan tentang masa lampau manusia dapat dikatakan berawal di Yunani sekitar 500 tahun
sebelum Masehi. Pada waktu itu penulisan sejarah atau historiografi masih merupakan perpaduan
antara ilmu kedokteran dan ilmu hukum. Dari ilmu kedokteran misalnya, historiografi Yunani
mendapat pengaruh untuk mencari sebab-musabab dari suatu kondisi atau kasus. Dalam
menjelaskan sebab-musabab itu dilakukan melalui suatu argumentasi yang lazim dilakukan oleh
ilmu hukum (retorika), seperti dilakukan seorang jaksa penuntut untuk membuktikan kesalahan
terdakwa dan pengacara yang berusaha membuktikan bahwa terdakwa tidak bersalah. Ungkapan
retorika seperti itu tidak semata-mata untuk membuktikan kebenaran, tetapi juga menciptakan
makna atas kebenaran itu.
Sejarawan Yunani pertama yang melakukan pembuktian semacam itu adalah Herodotus (ca. 484-
425 SM) dalam karyanya tentang “Perang Yunani-Persia” tahun 478 SM yang dilukiskan sebagai
perang peradaban antara peradaban Hellenic dan Perisa (Timur). Dalam menyusun karyanya itu
ia berusaha bertindak obyektif (dalam arti netral sehingga dianggap kurang patriotik) dengan
menggunakan sumber data dari kedua belah pihak. Oleh karena itu dia dianggap sebagai bapak
sejarah. Meskipun demikian karyanya masih mempunyai dua kelemahan, yaitu kurang akurat
dalam menyajikan data, dan masih terbelenggu oleh kerangka pemikiran budaya itu, yaitu sebab-
musabab supernatural. Artinya perang itu terjadi karena kehendak para dewa.

Tulisan pertama dari sejarawan Yunani yang dinilai mampu melepaskan diri dari sebab-musabab
supernatural adalah Thucydides (ca. 456-396 SM). Ia menulis tentang perang antara Athena dan
Sparta yang disebut sebagai Perang Peloponnesos (431-404). Dalam karyanya itu, Thucydides
sebagai seorang jenderal dan politisi, mampu menghindari penjelasan supernatural. Secara akurat
ia mempu merekonstruksi perang tersebut berdasarkan data-data yang diperolehnya dari kedua
belah pihak, sekaligus mampu menunjukkan bahwa sebab-musabab perang bukan karena
kehendak para dewa, melainkan karena ulah manusia. Perang itu terjadi karena didorong oleh
persaingan antara kedua belah pihak untuk menjadi nomor satu di wilayah Yunani.

Dari uraian di atas, khususnya dua contoh karya Herodotus dan Thucydides, dapat didefinisikan
di sini bahwa sejarah adalah rekonstruksi masa lampau manusia atau masa lalu manusia.

Meskipun Herodotus dan Thucydides sudah mengawali penulisan sejarah berdasarkan sumber
data, akan tetapi cara pembuktian para sejarawan Yunani waktu itu pada dasarnya tidak
menggunakan bukti (evidensi) seperti dokumen yang menjadi baku dalam metode sejarah masa
kini. Dokumen dalam arti naskah-naskah lebih banyak digeluti oleh para ahli naskah atau filolog,
yang membanding-bandingkan dua dokumen atau lebih untuk mencari mana yang otentik (asli)
dan mana yang tidak otentik (cara kerja ini kemudian dikenal dengan sebutan “kritik ekstern”).
Tradisi sejarawan seperti yang dilakukan para sejarawan Yunani itu berlangsung sampai sekitar
abad ke-18. Pada tahun 1776 terbit buku “The History of the Decline and Fall of the Roman
Empire” karya Edward Gibbon (1737-1794). Dalam karyanya itu Gibbon tidak lagi bersandar
pada retorika yang meyakinkan untuk membuktikan “kebenaran sejarah”, melainkan pada
dokumen-dokumen (bukti-bukti terturlis). Untuk mencari kebenaran sejarah, dia tidak saja
memanfaatkan kritik ekstern seperti yang dilakukan para filolog tetapi juga kritik intern yang
dikembangkan oleh para sejarawan. Gibbon dapat dikatakan merupakan sejarawan pertama yang
menggunakan cara kerja ilmiah.

Meskipun yang menerapkan cara kerja ilmiah dalam pembuktian sejarah adalah Gibbon, akan
tetapi yang kemudian dikenal oleh masyarakat sejarawan sebagai bapak sejarah ilmiah (science
historian) atau sejarah kritis adalah sejawan Jerman, Leopold von Ranke (1795-1886). Dia dinilai
sebagai peletak dasar dari metode sejarah yang bersifat ilmiah. Ia memperkenalkan cara-cara
menguji isi dokumen dan menetapkan fakta sejarah yang benar. Metode sejarahnya itu
diuraikannya dalam bukunya “History of Romance and Germanic Peoples, 1495-1535 yang
terbit pada tahun 1824. Selain itu Ranke menekankan pentingnya obyektivitas dalam penelitian
sejarah. Ia menganjurkan supaya menulis sejarah apa adanya dalam arti apa yang sebenarnya
terjadi, “wie es eigentlich gewesen”, sebab setiap periode sejarah akan dipengaruhi oleh
semangat zamannya (zeitgeist). Dalam bahasa Inggris kata “eigentlich” diartikan dalam dua kata,
“really” (atau essentially) dan “actuality”. Para sejarawan yang menerima “actuality” terjemahan
“eigentlich” berpendapat bahwa yang dimaksud oleh Ranke adalah menentukan fakta sejarah
seperti apa adanya tanpa diembel-embeli ide-ide tertentu sebagai pendorongnya. Sementara yang
menerima kata “essentially” atau “really” berpendapat bahwa Ranke mengakui bahwa ide-ide
tertentu menjadi faktor pendorong sejarah. Artinya ia mengakui pula bahwa ilmu sejarah
mempunyai keterkaitan dengan falsafah sejarah.

Langkah-langkah yang ditempuh Ranke bukan semata-mata pembuktian terhadap kebenaran


fakta sejarah, melainkan juga untuk menjadikan sejarah sebagai disiplin ilmu atau cabang ilmu
yang otonom sederajat dengan cabang-cabang ilmu lainnya. Langkahnya itu kemudian diikuti
oleh para sejarawan lainnya, sehingga akhirnya sejarah diakui sebagai salah satu cabang ilmu
yang mandiri. Sesuai dengan ketentuan sebagai cabang ilmu (ilmiah) harus mempunyai metode
serta obyek penelitiannya, maka ilmu sejarah juga mempunyai metode penelitiannya yaitu
“metode sejarah” serta obyek penelitiannya yaitu masa lampau manusia dan struktur sosialnya.
Jika sejarah adalah rekonstruksi manusia, maka ilmu sejarah adalah ilmu yang mempelajari
sejarah dalam arti bagaimana merekonstruksi semua data-data atau unsur-unsur masa lampau
terkait dalam sesuatu deskripsi.

http://sejarahsingkatind.wordpress.com/page/2/

Anda mungkin juga menyukai