Anda di halaman 1dari 39

MENGUAK INGATAN KOLEKTIF

SEJARAWAN DI SEMINAR SEJARAH


NASIONAL
BATASAN MATERI
1. Sejarah Seminar Sejarah Nasional I.
2. Tokoh-tokoh Seminar Sejarah Nasional I.
3. Hasil dan pembahasan Seminar Sejarah Nasional I.
Latar Belakang
 Banyaknya jumlah dan jenis buku sejarah pada masa itu memunculkan
kekacauan di bidang pelajaran sejarah di sekolah-sekolah maupun di
kalangan masyarakat umum. Kekacauan tersebut terutama timbul
karena buku-buku sejarah itu pada umumnya menggunakan sumber
yang sama, yaitu buku pelajaran Sejarah Hindia-Belanda karya A. J.
Eykman dan F. W. Stapel yang diterbitkan pada tahun 1935
 Sebelum tahun 1942, buku sejarah Indonesia adalah buku
Geschidenies van Nederlands-Indie (Sejarah Hindia-Belanda) dan
Indische Geschiedenis (Sejarah Tanah Hindia). Antara tahun 1942-
1945, Indische Geschiedenis dijadikan “Sejarah Indonesia” di bawah
pengawasan dan sensor ketat badan-badan propaganda dan
kebudayaan bentukan Pemerintah Militer Jepang. Baru kurun tersebut
Sejarah Indonesia mendapat tempat resmi dalam kurikulum sekolah di
Indonesia
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengambil
inisiatif penyeragaman di bidang Pendidikan Sejarah
Indonesia dengan menyelenggarakan Seminar Sejarah
Nasional. Adapun penyelenggaraannya diserahkan
kepada Universitas Indonesia dan Universitas Gadjah
Mada.
Ketidakpuasan para sejarawan Indonesia terhadap
penulisan sejarah kolonialistik pada masa penjajahan
Belanda.
Kesadaran di kalangan sejarawan tentang perlunya
penulisan sejarah Indonesia yang nasionalistik.
Tujuan
Tujuan diadakannya Seminar Sejarah Nasional I adalah
untuk merintis penulisan sejarah nasional yang
Indonesia-sentris. Dengan Pembahasan Sebagai Berikut:
1. Konsep filosofis dari sejarah nasional
2. Periodisasi sejarah Indonesia.
3. Syarat untuk penulisan buku pelajarah sejarah nasional
Indonesia
4. Pengajaran tentang sejarah nasional di sekolah.
5. Pendidikan untuk sejarawan
6. Penggunaan dan pemeliharaan bahan-bahan sejarah.
Topik Seminar Sejarah Nasional I
1. Konsep Filosofis Sejarah Nasional.
2. Periodisasi Sejarah Indonesia.
3. Syarat Penulisan Buku Pelajaran Sejarah Nasional.
4. Pengajaran Sejarah Indonesia di Sekolah-sekolah.
5. Pendidikan Sejarawan.
6. Pemeliharaan dan Penggunaan bahan-bahan Sejarah
Seminar Hari Ke-1 sabtu, 14 Desember 1957
Tema diskusi: Konsepsi Filsafat Sejarah Nasional.
Pengisi materi ialah
1. Prof. Moh. Yamin
2. Soedjatmoko menggantikan Dr. M. Hatta
Konsepsi Filsafat Sejarah Nasional Pada
Seminar Sejarah Nasional I
Konsep Catur-Sila Khalduniah di ajukan oleh Moh
Yamin.
Merintis Hari Depan di ajukan oleh Soedjatmoko
Catur Sila Khalduniah Moh Yamin
 Catur-Sila Khalduniah adalah empat pilar filsafat
sejarah nasional yang dirumuskan oleh Yamin, di
mana nama Khalduniah ia gunakan sebagai
penghargaan atas pemikiran Ibnu Khaldun yang
banyak mempengaruhi juga pemikirannya tentang
sejarah. Isi Catur-Sila Khalduniah adalah: 1.
Kebenaran, 2. Sejarah Indonesia, 3. Tafsiran Synthese,
dan 4. Nasionalisme Indonesia
Sila Pertama CaturSila Khalduniah: Kebenaran
Pilar utama yang diperlukan dalam kajian sejarah di Indonesia adalah mencari kebenaran. Menurut
Yamin:
“Kebenaran itu tersembunyi dalam dunia kebatinan di belakang kejadian-kejadian sejarah di zaman
yang lampau sebagai kelahiran masyarakat manusia. Walaupun kebenaran itu tidak dimiliki ahli
pemikir sejarah, tetapi dengan meninjau atau menafsirkan segala kejadian itu dia telah dan selalu
berkeyakinan secara subyektif bahwa tafsirannya ialah kesungguhan dari kebenaran secara objektif.
Pada suatu ketika maka kesungguhan yang dipegangnya itu ialah kebenaran, seperti tugas segala
ilmu pengetahuan.”
Apa yang menarik dari pemikiran Yamin tentang kebenaran adalah pandangannya bahwa selamanya
kita sebagai manusia hanya bisa mendekati kebenaran dalam proses “mencari”, bukan
“mendapatkan”, karena kebenaran hanya milik Tuhan. Ia menggambarkan hal ini seperti
kata philosophos sebagai antitesa dari kata sophos, bahwa:
“… perkataan Yunani philosophos itu mula-mulanya dibentuk karena hendak menandingi
kata sophos, yang berarti si tahu atau si pandai karena berasa telah memegang kebenaran dalam
genggaman tangannya. Sedangkan philo-sophos dalam kerendahan hati hanya mencintai dan masih
bergerak di tengah jalan menuju kebenaran.”
Dari pandangannya ini, tampak bahwa Yamin tidak memiliki garis pemisah yang tegas, untuk tidak
mengatakan bahwa ia telah menyamakan, antara kebenaran dalam ilmu pengetahuan dan kebenaran
dalam kajian filsafat.
Sila ke dua: Sejarah Indonesia

Melalui sila ini, Yamin hendak mengatakan bahwa


objek kajian filsafat sejarah nasional adalah sejarah
Indonesia, di mana pada saat itu periodisasinya sudah
mulai coba ia susun dan jabarkan dalam lima tahap,
yakni: Prasejarah (masa purba hingga permulaan abad
masehi), protosejarah (awal masehi hingga
berakhirnya masa praaksara), babakan kebangsaan
(masa kerajaan), babakan internasional (masa
kedatangan Eropa dan kolonialisme), dan abad
proklamasi (masa kemerdekaan hingga saat ini).
Sila ke tiga: Tafsiran Synthese

Yang dimaksud Yamin dengan Tafsiran Synthese adalah model


penafsiran sejarah yang bersifat holistik dan komprehensif. Bentuk
penafsiran sejarah ini tidak tergantung pada satu jenis tafsiran saja,
seperti tafsiran teologis, ekonomis, geografis, rasial, dsb, yang
menghasilkan sejarah yang juga parsial seperti sejarah ekonomi,
sejarah hukum, sejarah politik, sejarah seni, dsb. Menurut Yamin:
“Tafsiran synthese menjamin penulisan sejarah yang sempurna, dan
historiografi yang sedemikian memang jauh lebih sulit dari
penulisan sejarah yang berdasarkan suatu macam tafsiran saja.“
Oleh karenanya, menurut Yamin, penulisan sejarah (historiografi)
mengenai Indonesia harus berpegang pada sila ini, terutama
historiografi bagi buku pelajaran sekolah dan buku yang akan dibaca
oleh masyarakat umum di luar dunia perguruan tinggi
Sila ke empat: Nasionalisme Indonesia

Menurut Yamin, sila Nasionalisme Indonesia memberi tiga corak kepada filsafat
sejarah nasional yang sedang kita uraikan, yakni: Sejarah Nasional Indonesia
sebagai objek tafsiran, cara menafsirkan harus sesuai dengan jalan pikiran orang
atau bangsa yang telah merdeka (Indonesia-sentris), dan pengarang sejarah harus
menenuhi syarat isnad sesuai dengan susila perjuangan kemerdekaan.
Intinya, penulisan sejarah Indonesia harus berangkat dari paradigma nasional yang
bertolak belakang dari paradigma barat. Oleh karenanya, misalnya ketika sedang
menceritakan tentang penjelajahan samudera di akhir abad
pertengahan/kegelapan, kita tidak lagi memandang bahwa para penjelajah
tersebut mendatangi dunia timur jauh (yang belum beradab dan kemudian
melakukan kolonisasi untuk memberadabkannya), tetapi kita sebagai bangsa
merdekalah yang didatangi oleh para penjelajah yang berasal dari barat jauh
tersebut (yang kemudian secara sepihak memaksakan nilai-nilai peradaban yang
mereka miliki). Oh ya, kita juga sebaiknya tidak lagi menyebut masa tersebut
sebagai abad pertengahan atau abad kegelapan, tapi sebaliknya, abad kejayaan
Islam atau abad kejayaan kerajaan nusantara.
Filsafat Sejarah Nasional Catur-Sila Kesimpulan Moh Yamin

“Filsafat Catur Sila Khalduniah dapat kita rumuskan


sebagai filsafat sejarah nasional Indonesia, yang
mencari kebenaran dengan menafsirkan
secara synthesis kejadian-kejadian di perjalanan
sejarah Indonesia dalam ruangan hidup rohani dan
jasmani bangsa Indonesia.”
Kritik Sodjatmoko Atas Filsafat Sejarah Ala Moh
Yamin
Dari sejak pertama kali Catur-Sila Khalduniah dipresentasikan
(Seminar Sejarah I, 1957), konsep ini sudah mengundang banyak
polemik. Di antaranya adalah Soedjatmoko yang mengatakan
bahwa rumusan filsafat sejarah nasional adalah sesuatu yang sulit
dicapai karena filsafat tidak bersifat lokalistik (nasional) tapi
bersifat universal. Cara berpikir “universal”, seperti yang telah
disepakati secara umum, adalah salah satu syarat filsafat di
samping “radikal” dan “sistematis”. Selain itu, menurut para
akademisi sejarah, paradigma penulisan sejarah Indonesia-sentris
khususnya dan seluruh gagasan Yamin tentang sejarah umumnya,
sarat dengan perspektif ideologis-politis. Bahkan muncul istilah
“Yaminisme” di antara para akademisi tersebut untuk melabeli
gagasan pemikiran Yamin tentang sejarah.
Berbeda dengan Muhammad Yamin, Soedjatmoko, dalam pidatonya menggugat gagasan
“filsafat sejarah nasional”. Ia yang datang menggantikan Muhamad Hatta, karena
berhalangan hadir, mengatakan bahwa istilah filsafat sejarah dan nasional merupakan
sesuatu yang kontradiktif, sebab yang satu mengandaikan universalitas, sedang yang lain
partikularitas. Soedjatmoko membangun argumennya dengan mengemukakan terlebih
dahulu kecenderungan ditinggalkannya konsepsi sejarah yang besar-besar yang turun
dari filsafat sejarah spekulatif (seperti Spengler, Hegel, dan Marx), dengan munculnya
para filsuf seperti Kierkegaard, Nietzsche, Heidegger. Menurutnya “zaman sistim2 fislafat
sedjarah jang besar2 ini sudah lampau dan tidak akan kembali”. Realitas sejarah,
karenanya, tidak lagi terjelaskan melalui satu atau dua prinsip saja, “melainkan bahwa
kenjataan itu hanja dapat ditangkap didalam penglihatan berbagai prinsip sekaligus”.
Demikian, menurutnya, “kenjataan sedjarah mendjadi polynterpretable” (Soedjatmoko
1958b: 41). Atas dasar itu pulalah, ia menolak adanya “konsepsi filsafat sejarah nasional”
dengan mengatakan bahwa “dengan mengadjukan masalah suatu filsafah sedjarah
nasional, sebenarnja kita telah meninggalkan bidang ilmu sedjarah sebagai ilmu, dan
telah mengindjak suatu lapangan lain, jaitu lapangan ideologi, lapangan penggunaan
sedjarah untuk keperluan politik jang achirnja bisa mendjurus kearah demagogie”
Ini adalah keberatan utama Soedjatmoko yang
beranggapan bahwa seorang sarjana itu bukan politikus
dan demagog, melainkan seorang peneliti yang
mendasarkan penelitiannya pada data empiris. Atas dasar
itu pulalah ia menegaskan bahwa renungan tentang
sejarah (filsafat sejarah) lahir setelah penyelidikan sejarah
. Dengan mengatakan itu, Soedjatmoko mengingatkan
supaya sejarah sebagai sebuah ilmu tidak menjadi abdi
suatu ideologi, dan sebaliknya harus terus memerangi
mitos-mitos dalam sejarah yang kerap mendapat
perlindungan dari kekuasaan politik
Kapan Istilah IndonesiaSentris Muncul?
Gertrude Johannes Resink, seorang ahli hukum yang kemudian membaca sejarah Indonesia
dengan kerangka hukum internasional, menemukan bahwa Indonesia tidak dijajah selama
350 tahun. Pernyataan ini tentu saja bertentangan dengan apa yang diyakini pada masa itu
oleh para politisi. Tapi justru di situlah persoalannya; perbedaan titik berangkat, antara
kerangka hukum internasional dan retorika para politisi, membuat perdebatan terjadi.

Pada 1950, Resink menulis sebuah artikel berjudul “Iets over europacentrische,
regiocentrische en indocentrische” (Sesuatu tentang Eropasentri, Regionalsentris, dan
Indosentris) dalam jurnal Oriëntatie. Tulisan ini merupakan dasar dari apa yang kemudian
dinamai sebagai “Perspektif Indonesiasentris”. Gagasan “Indonesiasentris” yang
disampaikan di dalam tulisan ini bukan asli berasal dari dirinya. Ia mendapat istilah itu dari
tulisan Gottfierd . Wilhem Locher, seorang Guru Besar Antropologi, dalam tulisannya yang
berjudul “Inleidende beschouwingen over de ontmoeting van Oost en West in Indonesië”
(Pengantar pertimbangan atas pertemuan. Di dalam artikel tersebut, sebagaimana ditulis
Resink, Locher membahas perbedaan antara perspektif Eropasentris dan Indonesiasentris
dalam penulisan sejarah Indonesia. Hanya saja menurutnya, Locher tidak membahas lebih
jauh apa yang dimaksud dengan hal tersebut. Karena itulah, ia bermaksud menuntaskannya
Pertama, perspektif Eropasentris adalah praktik
melihat Indonesia dari pendapat orang-orang Eropa,
dan Belandasentris adalah pengkhususan dari itu.
Contoh dari ini adalah Koloniale Geschiedenis karya
Colenbrander dan Geschiedenis van Nederlansch Indië
karya Stapel
Kedua, regiosentris adalah praktik melihat realitas
dari sudut pandang etnis tertentu, dan Javasentris
adalah yang paling dominan di antaranya. Contoh dari
praktik pengoperasian perspektif ini adalah kajian
yang dilakukan oleh para sarjana seperti Krom dan
Stutterheim yang banyak melakukan studi terkait
kebudayaan lokal yang didasarkan atas pembacaan
historiografi lokal
Sementara itu, seiring dengan terbentuknya kaum elite intelektual
Indonesia, perspektif itu kemudian bergeser menjadi Indonesiasentris,
yang salah satu tujuannya adalah untuk melawan perspektif regiosentris
(hlm. 3). Bentuk dari itu adalah praktik penulisan yang ditawarkan oleh
Van Leur. Menurut Resink, kemunculan yang terakhir ini telah
memungkinkan terjadi perubahan perspektif dari regiosentris menjadi
Indonesiasentris. Perspektif ini “bersumber dari sebuah kerangka acuan
eropasentris dan diekspresikan menggunakan istilah ilmiah Belanda”,
tulisnya. Karena itulah “Hal ini membuatnya jauh lebih tidak ekstrem
dan berlawanan dengan perspektif Eropasentris daripada yang kadang
kala dinyatakan atau disadari”, jelasnya lagi (hlm. 6). Demikian, artikel
ini menandai kemunculan secara konseptual apa yang dinamai sebagai
“perspektif Indonesiasentris”, yang istilahnya berasal dari Locher,
sedang kerangka pemikirannya dari Van Leur.
Gagasan Resink terkait penulisan sejarah Indonesiasentris
diartikulasikan dengan lebih jelas dalam artikelnya yang terbit dua
tahun kemudian, Tussen de mythen: Van koloniale naar nationale
geschiedscrijving (Di antara mitos: Dari kolonial menuju historiografi
nasional). Sebagaimana jelas tampak dalam judul, tulisan ini berusaha
mengelaborasi pergeseran paradigma dalam penulisan sejarah
Indonesia yang mengalami masa kolonial dan sekarang sedang
memasuki periode kemerdekaan dengan karakteristik penulisan
sejarah nasional. Lagi-lagi tulisan Stapel menjadi sasaran kritik, dan
tulisan Van Leur dijadikan landasan untuk melakukan kritik. Selain itu,
ia juga menyebutkan karya Vlekke – Nusantara: a history of Indonesia –
yang menurutnya, menawarkan perspektif yang sedikit lebih netral:
tidak terlalu memihak orang Belanda, tetapi juga tidak memihak
Indonesia
Pada tahun yang sama, Soetjipto Wirjosuparto (1915-1971), seorang pengajar di bidang ilmu purbakala
dan sejarah kebudayaan di Universitas Indonesia, menerbitkan Dari lima zaman pendjadjahan
menudju zaman kemerdekaan, dimaksudkan sebagai bahan pelajaran untuk tingkat SMA bagian A, B
dan C. Sekalipun buku yang ditulisnya ini tidak didasarkan pada sebuah penelitian empiris, karya
yang ditulisnya ini menawarkan cara memandang masa lalu Indonesia dengan cukup menarik.
Perspektif yang ditawarkan olehnya sangat bertolak belakang dengan apa yang digagas oleh Resink.
Ia mengatakan bahwa bukunya tersebut “disusun sedemikian rupa, sehingga tiap-tiap pertentangan
jang telah terdjadi antara bangsa Indonesia dan kekuasaan imperialis, chususnja pemerintah Belanda
selalu dikupas dengan tadjam”. Selain itu, “dalam buku ini’, ia melanjutkan “sedapat mungkin segala
peristiwa jang terdjadi di Indonesia ditilik dari tjita-tjita kesatuan Indonesia atau kesatuan dari
sebagian Indonesia” (Wirjosuparto 1958: 4). Dengan mengatakan hal tersebut, Sutjipto Wirjosuparto
mencoba membuat penafsiran akan masa lalu Indonesia sebagai sebuah proses yang linear menuju
kesatuan Indonesia kontemporer, sebuah pernyataan yang menyiratkan bahwa prakonsepsi gagasan
Indonesia sebagai sebuah negara bangsa memiliki akar yang cukup dalam di masa lalu. Kesatuan
Indonesia yang dibayangkan telah ada di masa lalu itu kemudian dihancurkan oleh kedatangan
Belanda. Itulah sebabnya sejarah Indonesia dimaknai sebagai perjuangan untuk mengembalikan
kesatuan Indonesia. Dalam kerangka inilah, pendapat yang mengatakan bahwa Belanda baru
menjajah Indonesia pada dasawarsa kedua abad ke-20 – sebagaimana disampaikan Resink – dianggap
sebagai upaya untuk mengurangi tanggung jawab Belanda sebagai penjajah (Wirjosuparto 1962: 15).
Lebih dari setengah abad lalu pemikiran penulisan Sejarah Indonesia dibicarakan
dalam Seminar Sejarah di Yogyakarta yang diselenggarakan pada tanggal 14-18
Desember 1957.3 Pada Seminar Sejarah Indonesia pertama yang monumental itu
telah berkumpul para sejarawan dan para pemikir sejarah Indonesia untuk
menyusun konsep penulisan sejarah Indonesia. Dua persoalan pokok, yaitu konsepsi
Filsafat Sejarah Nasional dan Periodisasi Sejarah Indonesia, telah dibahasnya. Selain
itu juga disinggung tentang keperluan yang mendesak mengenai buku pelajaran
sejarah di sekolah. Mengenai konsepsi Filsafat Sejarah Nasional, diajukan dua buah
usulan, yaitu konsep ”Catur-Sila Khalduniah” oleh Moh. Yamin, dan konsep
”Merintis Hari Depan” oleh Soedjatmoko. Sementara usulan konsep Periodisasi
Sejarah Indonesia, diajukan oleh dua orang pembicara, yaitu oleh Soekanto dan A.
Sartono Kartodirdjo. Pembicara pertama mengajukan usulan periodisasi yang lebih
ditekankan pada konsep pembagian zaman berdasarkan masa pemerintahan politik:
Masa pangkal sejarah, Masa Kutai-Taruma, Masa Sriwijaya-Medang-Singasari, Masa
Majapahit, Masa kerajaan-kerajaan Islam, Masa Pemerintahan Asing, dan Masa
Republik Indonesia 1945. Pembicara kedua, mengajukan konsep pembagian zaman
Seminar Hari Ke-3 Senin 16 Desember 1957

Pemateri: Soebantardjo dan Moh. Ali,


Diskusi Roundtable diketuai oleh Prof. Badher. Djohar.
Priodisasi Sejarah: Sartono Kartodirdjo
A. Prasejarah
B.  Zaman Kuno
1. Masa kerajaan-kerajaan tertua
2. Masa Sriwijaya (dari abad ke-7 hingga abad ke-13 atau 14)
3. Masa Majapahit (dari abad ke-14 hingga ke-15) masa peralihan
(abad ke-15)
C.  Zaman Baru
1. Masa Aceh, Mataram, Makassar, ternate/tidore (sejak abad ke-16)
2. Masa perlawanan terhadap imperialisme barat (abad ke-19)
3. Masa Pergerakan Nasional (Abad ke-20)
4. Masa Republik Indonesia (sejak 1945)
Priodisasi Sejarah : Prof. Dr. Sukanto
Menurut beliau periodesasi hendaknya dibagi berdasarkan
ketatanegaraan yang artinya bersifat politis. Adapun
pembagian periode tersebut yakni sebagai berikut:
A.  Masa pangkal sejarah (sampai tahun 0)
B.  Masa Kutai-Tarumanegara (0-600)
C.  Masa Sriwijaya-Medang-Singasari (600-1300)
D.  Masa Majapahit (1300-1500)
Masa kerajaan-kerajaan Islam (1500-1600)
Masa Aceh-Mataram-Makasar (1600-1700)
G.  Masa pemerintahan asing (1700-1945)
H.  Masa Republik Indonesia (1945-sekarang)
Syarat-syarat mengarang kitab sejarah
Indonesia yang bercorak Nasional
Sifat Indonesiasentris sebagai antitesis daerah sentris, sukusentris,
asingsentris harus menentukan jenis fakta, serta hubungan antar
fakta, kesadaran mengenai penentuan nasib sendiri dan
kemampuan membuat sejarah melalui perubahan-perubahan
dengan fungsinya untuk tiap jenis dan taraf pendidikan
berdasarkan perencanaan integral, dengan memperhatikan
estetika, ditaktik dan historische geographie. Kitab-kitab harus
ditinjau secara integral, Sifat kitab-kitab sejarah hendaknya
disesuaikan dengan tingkat, yaitu bahwa cara membentangkan
serta bahasa yang dipergunakan cocok dengan syarat-syarat tingkat
itu, dan buku pegangan untuk guru semestinya disesuaikan dengan
daftar pendidikan guru pada umumnya, setiap buku pegangan
dalam bentuk isi dan sifatnya harus cocok dengan fungsinya
Seminar Hari ke-4 senin, 16 Desember 1957. Acara ke-4
dilaksanakan pada pukul 19.00 hingga pukul 02.00.
Tema yang didiskusikan pada acara ke-3 yakni perihal
pelajaran sejarah Nasional di sekolah-sekolah
Pemateri yakni Soeroto dan Padmopospito, yang
diketuai oleh Prof. Badher. Djohar
Kesimpulan Seminar Hari Ke-4
Pelajaran sejarah itu harus berfungsi untuk
pendidikan, yaitu menanmkan semangat nasionalisme
serta memupuk kepribadian bangsa.
Supaya segera dilaksanakan keseragaman buku-buku 
pelajaran dan usaha-usaha untuk mempertinggi mutu
pengetahuan guru.
Seminar Hari ke-5, Selasa 17 Desember 1957 tema
diskusi “ Pendidikan Ahli Sejarah” Pemateri:
1. O. Notohamidjojodan
2. M.D. Mansur
Diskusi diketuai oleh Prof. Dr. M. Sardjito
Kesimpulan Diskusi Pendidikan Ahli Sejarah
Seorang ahli sejarah harus kepribadian dan rasa
kebangsaan, pengetahuan sejarah negara-negara tetangga
hendaklah diajarkan dengan cukup mendalam pada
calon-calon ahli sejarah, didaktik dan pendadogig
sebaiknya diajarkan secara fakulatif pada calon-calon ahli
sejarah, karena banyak dari mereka yang terjun sebagai
guru sejarah, pendidikan di PTPG supaya dititikberatkan
pada pendidikan kejuruan daripada keguruan, untuk
memperdalam pelajaran sejarah dianjurkan mengadakan
ruangan model (monster kamer) dari benda-benda atau
duplikat benda-benda sejarah.
Seminar Hari ke-6 Rabu, 18 Desember 1957
Tema: Pemeliharaan dan Penggunaan Bahan-Bahan
Sejarah
 Pemateri :
1. Drs. Sutjipto Wirjosuprapto,
Drs. Sukmono,
Drs. A. K. Pringgodigdo,
Diskusi diketuai oleh Prof. Dr. Sukanto
Drs. Sutjipto Wirjosuprapto mengemukakan bahwa, Untuk melakukan
keperluan penyelidikan sejarah Indonesia yang harus dikerjakan
secepatnya ialah Mengumpulkan dan menerjemahkan benda-benda
yang tertulis dalam bahasa indonesia, dan memusatkannya pada suatu
badan penyelidikan yang merupakan koordinasi dari seluruh lembaga
sejarah di Indonesia yang telah didirikan. Drs. R. Soekmono
mengemukakan bahwa, pokok bahasan dlam sejarah adalah manusia;
Bahan sejarah ialah semua hasil usaha manusia di waktu yang lampau,
baik tulisan maupun bukan; sejarah kebudayaan sebagai sejarah khusus
sesungguhnya, tapi lebih tepat menjadi sejarah umum; pemeliharaan
bahan-bahan sejarah ialah usaha-usaha melindungi bahan-bahan itu
dari kerusakan atau kemusnahan; penggunaan bahan-bahan sejarah
harus didasarkan atas pandangan Indonesiasentris yang sesuai dengan
asas-asas ilmiah
Drs. A. K. Pringgodigdo mengemukakan bahwa
pemeliharaan bahan-bahan sejarah ditunjukan agar
memelihara selama mungkin, penggunaan nya dengan
inventarisasi, katalogisasi, fotocopy, dan duplikat.
Para Tokoh Yang Terlibat Dalam Seminar
Sejarah I
Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan Prof. Dr. Prijono
Prof. Dr.M. Sardjito Ketua Panitia Seminar
Drs. Busono Wiwoho Sekretaris Umum
Sultan Hamungkubwono IX
Paduka Sri Paku Alam
Muh Yamin
Soedjatmoko
Soebantardjo
Moh Ali
Prof Dr Badher Djohan. Presiden Universitas Indonesia
Soeroto
Padmopuspito
O. Notohamidjojodan
M.D. Mansur ,
Prof. Dr. M. Sardjito Presiden Universitas Gadjah Mada
Johannes Berthus Avé
Boejoeng Saleh
Undangan yang tidak hadir Moh Hatta yang digantikan oleh Soedjamoko
Kritik Terhadap Historigrafi IndonesiaSentris
, paradigma Indonesia sentris ini masih perlu dibenahi dari sisi penekanan penceritaan dan
pembangunan kebanggaan sebagai bangsa merdeka. Pertama: saking bernafsunya dengan penulisan
sejarah yang Indonesai sentris, hingga saat ini kita masih menganggap jika semua tokoh atau pihak
yang menentang VOC atau barat  adalah pahlawan, sedangkan yang menjalin kerjasama dengannya
adalah pengkhianat. Alhasil kita jadi memandang banyak tokoh dan pihak secara hitam putih, bahwa
Diponegoro adalah pahlawan, sedangkan Aru Palaka adalah pengkhianat. Bahwa Kerajaan Demak yang
menantang Portugis adalah baik, sedangkan Kerajaan Sunda yang bekerjasama dengan Portugis adalah
buruk. Ke dua, oposisi biner antara us versus them, antara kita bangsa terjajah dan mereka bangsa
penjajah, yang terlalu kentara malah memupuk jiwa inferior sehabis kita mempelajari sejarah di
bangku sekolah. Barat jadi terlalu “keren” untuk ditandingi, dan menjadi bagian dari mereka dengan
mengadopsi nilai budayanya adalah jalan yang dapat ditempuh untuk bisa meraih penghargaan.
Sayang memang. Padahal, tidak selamanya modernisasi a’la barat itu baik bagi kita. Dan juga
sesungguhnya, pada masa penjajahan yang berlangsung ratusan tahun itu tidak selamanya kita
menjadi bangsa lemah yang tertindas, menjadi korban tanam paksa, kerja rodi, dan sebagainya.
Faktanya, taman paksa dan kerja rodi hanya berlangsung dalam sebagian kecil periode penjajahan, dan
pada masa itu semua kaum priyayi masih hidup dengan cukup nyaman. Bahkan banyak di antara
mereka yang bisa melobi pemerintahan kolonial untuk bersedia mengikuti kepentingan masyarakat,
seperti meminta Belanda untuk membangunkan infrastruktur gedung, jalan, dan jembatan di wilayah
mereka. Sayang narasi ini tidak pernah muncul dalam sejarah yang secara umum kita pelajari.
Jelaslah bahwa kekacauan itu tidak mendukung pemupukan semangat kebangsaan di bidang
pendidikan. Dengan memperhatikan kekacauan ini, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan mengambil inisiatif penyeragaman di bidang Pendidikan Sejarah Indonesia
dengan menyelenggarakan Seminar Sejarah Nasional. Adapun penyelenggaraannya
diserahkan kepada Universitas Indonesia dan Universitas Gadjah Mada.14 Seminar ini semula
merupakan harapan untuk penerapan persyaratan ilmiah bagi penelitian dan penulisan
sejarah. Memang pada saat itu, penulisan sejarah yang Indonesia sentris dengan penerapan
metode ilmiah terasa sekali sebagai persoalan Sejarah Indonesia. Dari seminar inilah
perintisan nasionalisasi atau pribumisasi Historiografi modern Indonesia bahkan
menimbulkan masalah baru, yakni tentang mungkin-tidaknya penyusunan suatu Filsafat
Sejarah Nasional. Dengan kata lain, seminar justeru memunculkan masalah apakah filsafat
sejarah pada umumnya akan bermanfaat dalam upaya menyajikan sejarah bangsa atau negara
tertentu. Topik-topik seminar pun tidak dipahami sebagai bagian dari suatu totalitas dan
integral. Karena itu, pembahasan mengenai penulisan sejarah pun tidak menghasilkan
penjelasan yang mendasar. Seminar tersebut, masih menurut Mohammad Ali, hanya
menghasilkan beberapa pendapat yang simpang siur tentang penulisan dan pengajaran
Sejarah Indonesia sebagai Sejarah Nasional. Pendapat yang justeru membingungkan karena
tidak berpedoman pada disiplin ilmu sejarah.1
Laporan lengkap dari seminar tersebut juga memberi
petunjuk bahwa pandangan-pandangan tentang sejarah
di Indonesia masih bersifat magis-mistik. Hal ini
terungkap dari pernyataan O. Notohamidjojo. 16
Sekalipun seminar tersebut gagal mengambil
kesimpulan yang tegas, namun menurut Soedjatmoko,
sebagian besar pesertanyaan menyadari bahwa
penelitian baru dan penelitian ulang atas bahan-bahan
yang ada harus dilakukan terlebih dahulu sebelum
melangkah kepada upaya serius untuk menulis Sejarah
Indonesia yang baru
Terimakasih

Anda mungkin juga menyukai