Wiji Widodo nama aslinya, dilahirkan dari keluarga katolik, di Sorogenen, Solo
26 Agustus 1962. Bapaknya seorang penarik becak, ibunya kadang menjual
ayam bumbu untuk membantu ekonomi keluarga.
Nama “Thukul” yang berarti tumbuh, disematkan kepadanya oleh Cempe Lawu
Warta ketika ia aktif berteater dengan Sarang Teater Jagat (Jagalan Tengah).
Wiji Thukul, artinya biji yang tumbuh.
Lulus sekolah dasar, ia lanjutkan sekolah di SMP Negeri 8 Solo. Semasa duduk
di bangku SMP, ia mulai tertarik menekuni dunia teater. Ia pun meneruskan
sekolahnya di Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) jurusan tari.
Pada Oktober 1989, Thukul menikahi Siti Dyah Surijah, atau kelak dikenal
dengan nama Sipon. Mereka berkenalan di Sanggar Teater jagat. Keduanya
sama-sama aktif berkegiatan seni di Solo dan seringkali tampil bersama dalam
sebuah lakon teater.
Thukul dan Sipon sama-sama berasal dari kaum marjinal, mereka lalu tinggal
di kampung Kalangan yang terkenal sering dilanda banjir ketika musim hujan.
Lingkungannya pun dipenuhi rumah-rumah petak kecil yang berjejal sehingga
terkesan kumuh.
Pada tahun 1992, sebagai warga Jagalan-Purungsawit, Thukul ikut serta dalam
demonstrasi menentang pencemaran lingkungan oleh sebuah pabrik tekstil,
PT. Sariwarna Asli Solo.
Pengungkapan peristiwa
Nyalinya yang tak takut mati berlanjut pada tahun 1994. Terjadi aksi massa
petani di Ngawi, Jawa Timur. Thukul yang memimpin massa dan melakukan
orasi dipukuli aparat militer.
Menuju konflik
Semenjak itu, ia diincar karena diduga menjadi dalang demonstrasi dan puisi-
puisinya dicurigai sebagai penggerak massa melakukan protes.
Awalnya, Jaker memiliki komitmen untuk tidak akan bergerak di bidang politik.
Namun seiring dengan makin bergejolaknya politik di Indonesia, Thukul
memutuskan bergabung dengan Partai Rakyat Demokratik (PRD) dan terlibat
dalam politik praktis.
Rekan-rekan Thukul diliputi rasa kecewa atas pilihannya masuk dalam ranah
politik, termasuk guru teaternya, Cempe Lawu Warta. Menurutnya, seorang
seniman tidak seharusnya terlibat dalam politik praktis, karena bisa
membahayakan keselamatannya sendiri. Ia katakan:
Namun, tekad Thukul sudah bulat dan siap menerima segala resiko dari
keputusannya.
Sejak tahun 1996, Thukul dikenal sebagai seorang seniman rakyat dan menjadi
bagian dari PRD, berpaham sosialis dan beroposisi politik dengan rezim Orde
Baru.
Puncak konflik
Pada 27 Juli 1996, terjadi aksi pengambilalihan secara paksa kantor DPP Partai
Demokrasi Indonesia (PDI) di Jl. Diponegoro 58 Jakarta Pusat yang saat itu
dikuasai oleh pendukung Megawati Soekarnoputri.
Penyerbuan dilakukan oleh Soerjadi (Ketua Umum versi Kongres PDI di
Medan) yang dibantu oleh aparat polisi dan ABRI. Kerusuhan meluas di
beberapa daerah di Jakarta. Beberapa gedung dan kendaraan terbakar.
Sejak itu, Thukul hinggap dari satu tempat ke tempat yang lain berusaha
menyelamatkan dirinya dari kejaran aparat. Dalam masa persembunyiannya, ia
masih menulis beberapa sajak yang di antaranya untuk kedua anaknya.
penyelesaian
Sampai sekarang, Thukul belum juga ditemukan. Entah apa yang sebenarnya
terjadi, tak ada yang mengerti. Kasusnya pun seperti ditutup-tutupi dan tidak
ada kabar dari pemerintah untuk mengungkap kasus Thukul.
Thukul tidak pernah terlibat dalam tindak kriminal, korupsi, atau represi yang
merugikan negara, melainkan memperjuangkan keadilan dan advokasi melalui
puisi. Namun, hak hidupnya direnggut tanpa prosedur hukum yang jelas.
AMANAT
Gaya bahasa dalam puisi Thukul sama sekali tak mengandung keindahan kata-
kata kiasan dan majas perumpamaan. Ia mengupas realitas sosial rakyat
pinggiran melalui puisinya, dan tidak mungkin diekspresikan dengan diksi-
diksi penuh majas nan romantis.
Sekali lagi, jasad Wiji Thukul hilang, tetapi puisi perlawanannya belumlah
hilang. Ia pernah berkata, “…jika kita menghamba pada ketakutan, kita akan
memperpanjang barisan perbudakan.”Rakyat harus selalu memperjuangkan
kebenaran dan keadilan meskipun dengan cara menentang
penguasa. Rakyat harus berani menyuarakan pendapat untuk mencapai
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Peraturan dibuat oleh
penguasa untuk menertibkan masyarakat yang berusaha
melanggarnya. Penguasa harus mengatasi tindakan masyarakat yang dapat
merusak tatanan negara.
NAMA:FUNDI ABIDIN
KELAS:XII MMB