Anda di halaman 1dari 7

orientasi

Wiji Widodo nama aslinya, dilahirkan dari keluarga katolik, di Sorogenen, Solo
26 Agustus 1962. Bapaknya seorang penarik becak, ibunya kadang menjual
ayam bumbu untuk membantu ekonomi keluarga.

Nama “Thukul” yang berarti tumbuh, disematkan kepadanya oleh Cempe Lawu
Warta ketika ia aktif berteater dengan Sarang Teater Jagat (Jagalan Tengah).
Wiji Thukul, artinya biji yang tumbuh.

Ia lahir sebagai anak pertama dari tiga bersaudara di lingkungan kaum


marjinal. Mayoritas penduduknya adalah tukang becak dan buruh, termasuk
bapaknya yang juga bekerja menjadi tukang becak.

Hidup di tengah-tengah kaum marginal, ia banyak mengamati dan merekam


realitas rakyat pinggiran melalui bait-bait puisi. Sejak duduk di bangku sekolah
dasar, Thukul sudah mulai gemar menulis puisi.

Lulus sekolah dasar, ia lanjutkan sekolah di SMP Negeri 8 Solo. Semasa duduk
di bangku SMP, ia mulai tertarik menekuni dunia teater. Ia pun meneruskan
sekolahnya di Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) jurusan tari.

Karena kendala ekonomi keluarga yang semakin sulit, ia memutuskan untuk


berhenti sekolah ketika menginjak di kelas dua. Sebagai anak sulung, ia
merasa memiliki tanggung jawab atas keluarga terutama kedua adiknya.

Setelah berhenti sekolah, ia menyambung hidup dengan berjualan koran, jadi


calo tiket bioskop, dan pernah juga menjadi tukang pelitur di sebuah
perusahaan mebel di Solo.

Melalui teman sekolahnya, ia bergabung dengan kelompok Teater Jagalan


Tengah (Jagat). Bersama dengan teman-teman Jagat inilah, Thukul pernah
mengamen puisi dari kampung ke kampung di beberapa kota seperti: Solo,
Jogja, Klaten, sampai Surabaya.

Pada Oktober 1989, Thukul menikahi Siti Dyah Surijah, atau kelak dikenal
dengan nama Sipon. Mereka berkenalan di Sanggar Teater jagat. Keduanya
sama-sama aktif berkegiatan seni di Solo dan seringkali tampil bersama dalam
sebuah lakon teater.

Thukul dan Sipon sama-sama berasal dari kaum marjinal, mereka lalu tinggal
di kampung Kalangan yang terkenal sering dilanda banjir ketika musim hujan.
Lingkungannya pun dipenuhi rumah-rumah petak kecil yang berjejal sehingga
terkesan kumuh.

Dengan pernikahannya dengan Sipon, Thukul dikaruniai seorang putri, Fitri


Nganthi Wani, dan seorang anak laki-laki, Fajar Merah. Fajar Merah kini pun
melanjutkan perjuangan ayahnya melalui musik, dengan melagukan puisi-puisi
ayahnya, Wiji Thukul.

Tubuhnya memang kurus kerempeng, meski ketakutan sudah menjadi bagian


dari hidup di bawah rezim Soeharto, Thukul seperti tak takut dengan
kematian. Puisi-puisi dan aktivitasnya selalu diwarnai dengan perlawanan
terhadap kezaliman penguasa.

Pada tahun 1992, sebagai warga Jagalan-Purungsawit, Thukul ikut serta dalam
demonstrasi menentang pencemaran lingkungan oleh sebuah pabrik tekstil,
PT. Sariwarna Asli Solo.

Pengungkapan peristiwa

Pada 1993, Thukul bersama temannya, Semsar Siahaan, membentuk Jaker


(Jaringan Kerja Rakyat), sebuah jaringan kerja seniman yang bergerak di
bidang daya cipta dan kreativitas.

Nyalinya yang tak takut mati berlanjut pada tahun 1994. Terjadi aksi massa
petani di Ngawi, Jawa Timur. Thukul yang memimpin massa dan melakukan
orasi dipukuli aparat militer.
Menuju konflik

Di tahun 1995, Thukul lagi-lagi menjadi penggerak demonstrasi besar aksi


protes karyawan PT. Sritex. Kala itu, ia dipukuli aparat sampai cedera
pendengaran dan nyaris buta, meninggalkan cacat mata karena dibenturkan
ke sebuah mobil.

Semenjak itu, ia diincar karena diduga menjadi dalang demonstrasi dan puisi-
puisinya dicurigai sebagai penggerak massa melakukan protes.

Pada 22 Juli 1996, Thukul berangkat ke Jakarta menggabungkan Jaker dengan


Partai Rakyat Demokratik (PRD). Jadilah Thukul sebagai Ketua Divisi
Propaganda dan Editor Suluh Pembebasan.

Awalnya, Jaker memiliki komitmen untuk tidak akan bergerak di bidang politik.
Namun seiring dengan makin bergejolaknya politik di Indonesia, Thukul
memutuskan bergabung dengan Partai Rakyat Demokratik (PRD) dan terlibat
dalam politik praktis.

Rekan-rekan Thukul diliputi rasa kecewa atas pilihannya masuk dalam ranah
politik, termasuk guru teaternya, Cempe Lawu Warta. Menurutnya, seorang
seniman tidak seharusnya terlibat dalam politik praktis, karena bisa
membahayakan keselamatannya sendiri. Ia katakan:

“Thukul, hati-hati memilih kalau sudah di politik praktis. Ada kemungkinan


kamu ditangkap, dibunuh, dibuang, dan dikejar-kejar.”

Namun, tekad Thukul sudah bulat dan siap menerima segala resiko dari
keputusannya.

Sejak tahun 1996, Thukul dikenal sebagai seorang seniman rakyat dan menjadi
bagian dari PRD, berpaham sosialis dan beroposisi politik dengan rezim Orde
Baru.
Puncak konflik

Di tahun yang sama, melalui puisinya yang berjudul Peringatan, Thukul telah


mempopulerkan kata “lawan!”, sampai seorang direktur Komnas HAM, Munir
Said Thalib, berkomentar:
“Kalimat pendek itu menunjukkan pilihan hidup Wiji Thukul. Bukan pilihan
yang mudah, Wiji Thukul telah membayarnya dengan mahal, dia telah menjadi
korban praktek penghilangan orang.”

Pada 27 Juli 1996, terjadi aksi pengambilalihan secara paksa kantor DPP Partai
Demokrasi Indonesia (PDI) di Jl. Diponegoro 58 Jakarta Pusat yang saat itu
dikuasai oleh pendukung Megawati Soekarnoputri.
Penyerbuan dilakukan oleh Soerjadi (Ketua Umum versi Kongres PDI di
Medan) yang dibantu oleh aparat polisi dan ABRI. Kerusuhan meluas di
beberapa daerah di Jakarta. Beberapa gedung dan kendaraan terbakar.

Pemerintah saat itu menuduh aktivis PRD sebagai dalang kerusuhan.


Akibatnya, PRD dibubarkan, para aktivis dijebloskan ke penjara, sejumlah
aktivis yang lain diculik, ditangkap, dan dihilangkan secara paksa.

Sebagai aktivis PRD yang dianggap subversif terhadap negara, Thukul


dijemput aparat di kediamannya di Solo pada Agustus 1996. Namun Thukul
menyamar dan berhasil kabur dengan memakai helm meninggalkan Sipon
istrinya, bersama kedua anaknya yang masih kecil.

Sejak itu, Thukul hinggap dari satu tempat ke tempat yang lain berusaha
menyelamatkan dirinya dari kejaran aparat. Dalam masa persembunyiannya, ia
masih menulis beberapa sajak yang di antaranya untuk kedua anaknya.

Kalau teman-temanmu tanya


Kenapa bapakmu dicari-cari polisi
Jawab saja:
“Karena bapakku orang berani”
Antara bulan Maret-April 1998 jejaknya sudah tak diketahui. ketika rezim
Soeharto berhasil dilengserkan pada 21 Mei 1998, Thukul belum juga keluar.
Akhirnya, sang istri melaporkan ke Komisi Orang Hilang dan Tindak Kekerasan
(KONTRAS) pada April 2000.

Hilangnya Thukul membuat Fosrum Sastra Surakarta (FSS) yang dimotori


penyair Sosiawan Leak dan Wowok Hesti Prabowo menggelar sebuah forum
solidaritas dengan judul “Thukul, Pulanglah” yang diadakan di Surabaya,
Mojokerto, Solo, Semarang, Yogyakarta dan Jakarta.

penyelesaian

Sampai sekarang, Thukul belum juga ditemukan. Entah apa yang sebenarnya
terjadi, tak ada yang mengerti. Kasusnya pun seperti ditutup-tutupi dan tidak
ada kabar dari pemerintah untuk mengungkap kasus Thukul.

Thukul tidak pernah terlibat dalam tindak kriminal, korupsi, atau represi yang
merugikan negara, melainkan memperjuangkan keadilan dan advokasi melalui
puisi. Namun, hak hidupnya direnggut tanpa prosedur hukum yang jelas.

Hidupnya dipenuhi dengan berbagai kepahitan. Dimulai latar belakangya yang


hanya bagian dari kaum marginal, sampai aktivitasnya yang dipenuhi dengan
getirnya memperjuangkan keadilan dan melawan kotornya kezaliman
penguasa.

AMANAT
Gaya bahasa dalam puisi Thukul sama sekali tak mengandung keindahan kata-
kata kiasan dan majas perumpamaan. Ia mengupas realitas sosial rakyat
pinggiran melalui puisinya, dan tidak mungkin diekspresikan dengan diksi-
diksi penuh majas nan romantis.

Dengan bahasa yang sederhana, Thukul menginginkan semua orang dari


kalangan intelek maupun proletar bisa memahaminya secara jelas. Dengan
bahasa yang sederhana, puisi-puisinya masih tetap digaungkan sampai
sekarang seolah menjadi semacam kutukan bagi penguasa zalim.

Dalam sajaknya, ia katakan:

Waktu aku jadi buronan politik


karena bergabung dengan Partai Rakyat Demokratik
namaku diumumkan di koran-koran
rumahku digrebek – biniku diteror
dipanggil Koramil diinterogasi diintimidasi
(anakku –4 th—melihatnya!)
masihkah kau membutuhkan perumpamaan
untuk mengatakan : AKU TIDAK MERDEKA

Sekali lagi, jasad Wiji Thukul hilang, tetapi puisi perlawanannya belumlah
hilang. Ia pernah berkata, “…jika kita menghamba pada ketakutan, kita akan
memperpanjang barisan perbudakan.”Rakyat harus selalu memperjuangkan
kebenaran dan keadilan meskipun dengan cara menentang
penguasa. Rakyat harus berani menyuarakan pendapat untuk mencapai
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Peraturan dibuat oleh
penguasa untuk menertibkan masyarakat yang berusaha
melanggarnya. Penguasa harus mengatasi tindakan masyarakat yang dapat
merusak tatanan negara. 
NAMA:FUNDI ABIDIN

KELAS:XII MMB

Anda mungkin juga menyukai