Anda di halaman 1dari 2

Biografi Muhammad Yamin

Muhammad Yamin dilahirkan di Sawahlunto, Sumatera Barat, pada tanggal 23 Agustus 1903. Ia menikah
dengan Raden Ajeng Sundari Mertoatmadjo. Salah seorang anaknya yang dikenal, yaitu Rahadijan
Yamin. Ia meninggal dunia pada tanggal 17 Oktober 1962 di Jakarta. Di zaman penjajahan, Yamin
termasuk segelintir orang yang beruntung karena dapat menikmati pendidikan menengah dan tinggi.
Lewat pendidikan itulah, Yamin sempat menyerap kesusastraan asing, khususnya kesusastraan Belanda.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tradisi sastra Belanda diserap Yamin sebagai seorang
intelektual sehingga ia tidak menyerap mentah-mentah apa yang didapatnya itu. Dia menerima konsep
sastra Barat, dan memadukannya dengan gagasan budaya yang nasionalis.
Pendidikan yang sempat diterima Yamin, antara lain, Hollands inlands School (HIS) di Palembang,
tercatat sebagai peserta kursus pada Lembaga Pendidikan Peternakan dan Pertanian di Cisarua, Bogor,
Algemene Middelbare School (AMS) Sekolah Menengah Umum di Yogya, dan HIS di Jakarta. Yamin
menempuh pendidikan di AMS setelah menyelesaikan sekolahnya di Bogor yang dijalaninya selama lima
tahun. Studi di AMS Yogya sebetulnya merupakan persiapan Yamin untuk mempelajari kesusastraan
Timur di Leiden. Di AMS, ia mempelajari bahasa Yunani, bahasa Latin, bahasa Kaei, dan sejarah
purbakala. Dalam waktu tiga tahun saja ia berhasil menguasai keempat mata pelajaran tersebut, suatu
prestasi yang jarang dicapai oleh otak manusia biasa. Dalam mempelajari bahasa Yunani, Yamin banyak
mendapat bantuan dari pastor-pastor di Seminari Yogya, sedangkan dalam bahasa Latin ia dibantu Prof.
H. Kraemer dan Ds. Backer.
Setamat AMS Yogya, Yamin bersiap-siap berangkat ke Leiden. Akan tetapi, sebelum sempat berangkat
sebuah telegram dari Sawahlunto mengabarkan bahwa ayahnya meninggal dunia. Karena itu, kandaslah
cita-cita Yamin untuk belajar di Eropa sebab uang peninggalan ayahnya hanya cukup untuk belajar lima
tahun di sana. Padahal, belajar kesusastraan Timur membutuhkan waktu tujuh tahun. Dengan hati masgul
Yamin melanjutkan kuliah di Recht Hogeschool (RHS) di Jakarta dan berhasil mendapatkan gelar
Meester in de Rechten Sarjana Hukum pada tahun 1932.
Sebelum tamat dari pendidikan tinggi, Yamin telah aktif berkecimpung dalam perjuangan kemerdekaan.
Berbagai organisaasi yang berdiri dalam rangka mencapai Indonesia merdeka yang pernah dipimpin
Yamin, antara lain, adalah, Yong Sumatramen Bond Organisasi Pemuda Sumatera (19261928). Dalam
Kongres Pemuda II (28 Oktober 1928) secara bersama disepakati penggunaan bahasa Indonesia.
Organisasi lain adalah Partindo (19321938).
Pada tahun 19381942 Yamin tercatat sebagai anggota Pertindo, merangkap sebagai anggotaVolksraad
Dewan Perwakilan Rakyat. Setelah kemerdekaan Indonesia terwujud, jabatan-jabatan yang pernah

dipangku Yamin dalam pemerintahan, antara lain, adalah Menteri Kehakiman (1951), Menteri
Pengajaran, Pendidikan dan Kebudayaan (19531955), Ketua Dewan Perancang Nasional (1962), dan
Ketua Dewan Pengawas IKBN Antara (19611962).
Dari riwayat pendidikannya dan dari keterlibatannya dalam organisasi politik maupun perjuangan
kemerdekaan, tampaklah bahwa Yamin termasuk seorang yang berwawasan luas. Walaupun
pendidikannya pendidikan Barat, ia tidak pernah menerima mentah-mentah apa yang diperolehnya itu
sehingga ia tidak menjadi kebarat-baratan. Ia tetap membawakan nasionalisme dan rasa cinta tanah air
dalam karya-karyanya. Barangkali halini merupakan pengaruh lingkungan keluarganya karena ayah ibu
Yamin adalah keturunan kepala adat di Minangkabau. Ketika kecil pun, Yamin oleh orang tuanya diberi
pendidikan adat dan agama hingga tahun 1914. Dengan demikian, dapat dipahami apabila Yamin tidak
terhanyut begitu saja oleh hal-hal yang pernah diterimanya, baik itu berupa karya-karya sastra Barat yang
pernah dinikmatinya maupun sistem pendidikan Barat yang pernah dialaminya.
Umar Junus dalam bukunya Perkembangan Puisi Indonesia dan Melayu Modern (1981) menyatakan
bahwa puisi Yamin terasa masih berkisah, bahkan bentul-betul terasa sebagai sebuah kisah. Dengan
demikian, puisi Yamin memang dekat sekali dengan syair yang memang merupakan puisi untuk
mengisahkan sesuatu.Puisi Yamin itu dapat dirasakan sebagai syair dalam bentuk yang bukan syair,
demikian Umar Junus. Karena itu, sajak-sajak Yamin dapat dikatakan lebih merupakan suatu pembaruan
syair daripada suatu bentuk puisi baru. Akan tetapi, pada puisi Yamin seringkali bagian pertamanya
merupakan lukisan alam, yang membawa pembaca kepada suasana pantun sehingga puisi Yamin tidak
dapat dianggap sebagai syair baru begitu saja. Umar Junus menduga bahwa dalam penulisan sajaksajaknya, Yamin menggunakan pantun, syair, dan puisi Barat sebagai sumber. Perpaduan ketiga bentuk itu
adalah hal umum terjadi terjadi pada awal perkembangan puisi modern di Indonesia.
Jika Umar Junus melihat adanya kedekatan untuk soneta yang dipergunakan Yamin dengan bentuk pantun
dan syair, sebetulnya hal itu tidak dapat dipisahkan dari tradisi sastra yang melingkungi Yamin pada
waktu masih amat dipengaruhi pantun dan syair. Soneta yang dikenal Yamin melalui kesusastraan
Belanda ternyata hanya menyentuh Yamin pada segi isi dan semangatnya saja. Karena itu, Junus
menangkap kesan berkisah dari sajak-sajak Yamin itu terpancar sifat melankolik, yang kebetulan
merupakan sifat dan pembawaan soneta. Sifat soneta yang melankolik dan kecenderungan berkisah yang
terdapat didalamnya tidak berbeda jauh dengan yang terdapat dalam pantun dan syair. Dua hal yang
disebut terakhir, yakni sifat melankolik dan kecenderungan berkisah, kebetulan sesuai untuk gejolak
perasaan Yamin pada masa remajanya. Karena itu, soneta yang baru saja dikenal Yamin dan yang
kemudian digunakannya sebagai bentuk pengungkapan estetiknyha mengesankan bukan bentuk soneta
yang murni.

Anda mungkin juga menyukai